Pencarian

Liang Pemasung Sukma 1

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma Bagian 1


1 Matahari tepat berada di atas kepala. Udara
di siang itu memang terasa menggelisahkan. Panas
laksana menggarang batok kepala, ketenangan
lembah dan bukit-bukit membiru di sebelah timur
Lembah seakan tidak terusik. Namun suara cericit
burung yang tengah mencari makan mewarnai ke-
sunyian lembah. Beberapa saat kemudian di ten-
gah lembah terdengar ada suara menggeram diser-
tai makian marah. Hiruk pikuk suara burung le-
nyap, mahluk-mahluk lucu itu berterbangan me-
ninggalkan lembah mencari selamat. Dan di ten-
gah-tengah suara bentakan yang menggelegar itu
terdengar suara deru angin ribut. Lalu pepohonan
besar yang tumbuh di sekitar kawasan lembah ter-
cerabut berhamburan di udara. Bukan hanya pe-
pohonan saja, bahkan batu-batu sebesar kerbau
juga nampak berpelantingan ke berbagai arah.
Hanya dalam waktu sekejap kawasan lembah
hampir gundul. Sedangkan di tengah lembah berdiri tegak
seorang laki-laki tua setengah baya dan seorang
perempuan bertubuh tinggi dan berbadan besar
seperti raksasa. Kedua orang itu saling berhada-
pan dengan mata mencorong dan wajah melua-
pkan kemarahan.
"Kau terlalu berburuk sangka, suamiku. An-
tara aku dengan Tabib Setan tidak punya hubun-
gan apa-apa. Mengapa kau marah membabi buta?"
tanya si perempuan raksasa heran.
Laki-laki raksasa yang bernama Senggana
yang bukan lain adalah suami dari perempuan itu
mendengus geram sambil palingkan wajahnya ke
jurusan lain. "Siapa percaya dengan mulutmu,
Senggini. Aku melihat dari tatapan matamu bahwa
kau menaruh gairah pada kakek keparat itu!" teriak si raksasa tua yang merasa
kesal karena di-
bakar api cemburu.
Senggini tersenyum. "Kakang Senggana, bi-
arpun kau pernah mengatakan telah merelakan
aku mencari pengganti dirimu. Tapi aku tidaklah
segila itu. Kuakui sebagai istri aku memang per-
nah kecewa dan menderita batin hebat akibat kau
tak mampu lagi menjalankan kewajibanmu seba-
gai suami. Namun aku juga harus mengerti semua
itu bukanlah kesalahanmu. Kau kehilangan ke-
perkasaanmu sebagai laki-laki sejati akibat terke-
na pengaruh racun Perubah Bentuk. Dalam hal ini
mengapa kita tidak berusaha mencari kesembu-
han dengan menemui Srimbi?" ujar Senggini.
Apa yang dikatakan oleh sang istri sebenar-
nya merupakan jalan terbaik untuk memecahkan
persoalan kemelut batin yang mereka alami selama
ini. Cuma kiranya rasa cemburu telah membakar
jiwa laki-laki raksasa itu hingga dia tidak dapat la-gi menggunakan fikiran
sehatnya. Dengan hati masih dilanda rasa cemburu
dia berkata, "Sejuta alasan bisa saja kau katakan.
Padahal jauh di lubuk hatimu aku tahu kau ber-
harap agar aku cepat mati bukan" Dengan begitu
kau bisa mengawini Tabib Setan laknat itu bu-
kan?" ujar Senggana disertai seringai sinis. Men-
dengar ucapan suaminya Senggini tundukkan wa-
jah. Dengan polos dia menjawab. "Semula aku
memang berharap begitu, kakang. Tapi kemudian
aku berpikir haruskah karena penyakitmu itu
anak-anak kita kehilangan orang tua. Padahal ka-
lau kita mau berusaha mencari obat dari penya-
kitmu itu, bukan mustahil kau bisa kembali seper-
ti sediakala!"
"Siapa percaya dengan mulut busukmu, pe-
rempuan tengik. Mungkin lebih baik kita mati ber-
sama-sama!" Habis berkata Senggana yang memi-
liki tenaga besar itu mencabut pohon yang terda-
pat di sebelah kirinya. Pohon sebesar pelukan
orang dewasa tersebut dibolang-balingkan di uda-
ra. Begitu bagian batangnya kena dicekal Sengga-
na, maka laki-laki raksasa itu menghantamkan
pucuk pohon ke bagian pinggang istrinya. Senggini
yang tidak menyangka suaminya masih dilanda
kemarahan keluarkan seruan kaget. Cepat dia me-
lompat ke samping sambil menundukkan tubuh-
nya yang tinggi seperti pohon kelapa. Dia meraih
batu besar. Dengan menggunakan batu itu dia
menangkis hantaman pohon.
Bress! Praak! Pohon yang dipergunakan untuk memukul
hancur berpatahan, sedangkan batu yang diper-
gunakan untuk menangkis patah menjadi dua.
Senggini yang semula telah berubah fikiran dan
ingin menyembuhkan suaminya dari pengaruh ra-
cun Perubah Bentuk ini kini ikut terpancing kema-
rahan suaminya.
"Kau tidak mau mendengar segala ucapan-
ku tidak menjadi apa. Rupanya memang sudah
menjadi takdir bahwa diantara kita harus mati
bersama-sama!" teriak Senggini.
"Bagus! Kini ternyata tidak ada lagi keme-
sraan dan kelembutan. Kau telah berani melawan
dan berani menentang. Sekarang aku tak segan-
segan lagi untuk membunuhmu!" geram Senggana.
Begitu selesai berucap, Senggana melesat ke arah
istrinya sambil hantamkan tangannya ke dada dan
perut Senggini.
Perempuan raksasa itu tentu saja tahu su-
aminya bermaksud jatuhkan tangan keji. Karena
itu tanpa bicara lagi dia juga menyambuti pukulan
Senggana. Akibatnya terjadilah benturan yang
amat dahsyat. Kedua suami istri itu sama-sama
terlempar sejauh dua tombak, lalu jatuh bergede-
bukan seperti suara gunung meletus.
Bentrok pukulan membuat keduanya mera-
sa tangan mereka seperti hancur sedangkan dada
terasa sakit luar biasa. Bahkan dari mulut Senggi-
ni meneteskan cairan kental berwarna merah.
Senggini menyeka mulutnya. Begitu melihat
darah perempuan itu menjadi bertambah kalap.
Dengan terhuyung-huyung dia bangkit. "Bertahun-tahun aku menjadi teman hidupmu,
telah banyak kesenangan yang kau dapatkan dari diriku. Tak
pernah kusangka kini kau malah menghendaki
kematianku!"
'Huh, jika seorang istri menjadi tidak ber-
guna malah jadi bumerang dalam hidup, buat apa
aku memeliharanya!" sahut Senggana sambil
bangkit berdiri.
"Aku sudah tahu seberapa hebat ilmumu.
Sekarang marilah kita mengadu nyawa!"
Senggana menyeringai mendengar tantan-
gan istrinya. Dengan cepat dia kerahkan tenaga
dalam lalu menyalurkannya ke bagian tangan. Se-
kejap saja kedua tangan laki-laki raksasa itu telah berubah menjadi biru
pertanda dia telah mengerahkan suatu ilmu dahsyat yang dikenal dengan
name 'Raksasa Menelan Bintang'. Senggini terke-
siap melihat suaminya menggunakan ilmu yang
menjadi andalan keluarga mereka itu. Tapi tanpa
banyak bicara perempuan itu juga tak mau men-
galah dan dengan segera melintangkan kedua tan-
gannya siap melepaskan pukulan 'Raksasa Mem-
belah Bulan'. Ilmu pukulan ini juga bukan ilmu
sembarangan. Tingkatannya hampir sama dengan
pukulan Raksasa Menelan Bintang, namun puku-
lan yang hendak digunakan Senggini mempunyai
keanehan lain yaitu bila pukulan telah slap dile-
paskan tak mungkin dibatalkan. Jika hal itu sam-
pai terjadi pasti dapat menewaskan pemiliknya
sendiri. Tapi rupanya Senggini sudah tidak meng-
hiraukan apapun yang bakal terjadi. Dalam waktu
hampir bersamaan dia hantamkan kedua tangan-
nya ke arah Senggana.
Sinar kuning kehitaman berkiblat menderu
dari telapak tangan perempuan itu, sedangkan da-
ri arah depannya menderu segulung angin panas
disertai melesatnya sinar biru. Di saat dua puku-
lan manusia raksasa itu hampir bertubrukan di
udara, pada waktu hampir bersamaan terdengar
seruan disertai berkelebatnya sosok berpakaian
serba kuning. "Tidak kubiarkan orang tua saling membunuh hanya karena persoalan
sepele!" Sambil berteriak dengan gerakan sedemikian rupa so-
sok yang besarnya tidak sampai sepersepuluh dari
kedua raksasa tersebut hantamkan kedua tangan-
nya ke dua arah.
Dua larik sinar kuning redup melesat dari
telapak tangannya. Satu memapas sinar kuning
yang melesat dari tangan Senggini sedangkan sa-
tunya lagi menghantam Senggana.
"Akh...celaka...!" Kedua suami istri itu hampir bersamaan keluar seruan kaget.
Tapi tak satu- pun dari mereka yang dapat menghentikan puku-
lan yang terlanjur mereka lepaskan.
Tak dapat dihindari terjadilah bentrokan
yang sangat keras luar biasa. Sosok berpakaian
kuning yang kebetulan berada di antara dua puku-
lan tak sanggup menyelamatkan diri. Dua pukulan
yang dimaksudkannya untuk membuyarkan puku-
lan suami istri raksasa itu tak mampu ditahannya.
Buummm! Satu ledakan keras mengguncang kawasan
lembah. Sosok berpakaian kuning yang bukan lain
adalah Anggana putera suami istri itu menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya yang baru saja kembali ke ujud
manusia normal terpelanting tinggi di udara. Lalu
meluncur ke bawah dan jatuh bergedebukan.
"Anakku!" pekik Senggini. Dia terkesiap melihat nasib buruk yang menimpa
anaknya. Tanpa fikir panjang lagi dia menubruk Anggagana. Se-
dangkan Senggana masih tertegak di tempatnya
berdiri. Dua matanya mendelik besar, nampaknya
dia masih belum percaya melihat kenyataan itu.
Dengan penuh penyesalan dia berjalan mengham-
piri Anggagana. Laki-laki itu dengan mata berkaca-
kaca duduk bersimpuh di depan anaknya. Sang
anak mengerang, pakaiannya hangus, kulit tu-
buhnya juga hangus, rambut rontok sedangkan
sepuluh jemari tangannya gosong.
Biarpun keadaan Anggana sudah sangat
parah dan tak mungkin dapat diselamatkan lagi
namun si pemuda masih dapat membuka ma-
tanya. Malah setelah memperhatikan ayah dan
Ibunya silih berganti dengan suara lirih dia berka-ta. "Ayah...uukh...ibu....
Mungkin inilah akhir dari perjalanan hidupku. Aku sama sekali tidak menyesal
jika harus mengakhiri hidup dengan cara
seperti ini. Ibu yang melahirkan aku ke dunia ini, ibu dan ayah pula yang
membesarkan. Andai sekarang harus mati aku tidak menyalahkan siapa-
siapa, tapi kuminta padamu ayah dan ibu jangan-
lah kalian bertengkar lagi memperdebatkan sesua-
tu yang tidak jelas. Jika aku mati jangan pula ka-
lian saling menyalahkan dan berniat saling bunuh.
Kalian berdua sudah sangat tua, jika dulu bisa
saling mencinta mengapa sekarang harus berakhir
dengan cara yang amat tragis. Aku tahu ada yang
menjadi ganjalan di antara kalian berdua. Tapi ku-
rasa itu bisa diselesaikan, penyakit ayah dapat pu-la disembuhkan asal kalian
mau terus berusaha
mencari nenek Srimbi. Hanya dia satu-satunya
yang mampu membuatkan obat penawar racun
agar bentuk badan kalian bisa kembali.
Ka...kalian...tidak bertengkar lagi...!" habis berkata
begitu Anggagana yang menjadi korban pukulan
ganas kedua orang tuanya langsung terkulai. Pe-
muda itu tewas dengan luka-luka mengerikan di
sekujur tubuhnya.
Menyaksikan kematian anaknya Senggini
dan Senggana meraung keras. Mereka sama me-
meluki jasad sang anak malang.
"Huk huk huk! Anakku, jika bukan ketolo-
lan ayahmu tidak mungkin kau berakhir seperti
ini." desah Senggini di sela-sela tangisnya.
"Istriku jangan lagi kau menyalahkan aku.
Kita berdua sama-sama bersalah!" ujar Senggana dengan sabar. Mungkin kini
setelah melihat hasil
perbuatannya dia harus sadar tidak ada gunanya
lagi mereka berdebat.
"Huh, kau suami tolol. Susah payah aku
melahirkan dan membesarkannya tidak tahunya
kau malah membuatnya seperti ini!" dengus Senggini masih saja memeluki mayat
Anggagana. "Jangan berkata begitu. Dalam hal ini kau
tidak boleh melupakan diriku. Anak-anak kita ter-
lahir berkat kerjasama yang baik di antara kita.
Jika kau tidak turun bakti mana mungkin kau bi-
sa hamil, andai kau tidak hamil mana mungkin
melahirkan!" ujar Senggana dengan wajah serius.
Dalam keadaan biasa ucapan suaminya pal-
ing tidak mengundang tawa bagi istrinya. Tapi
alangkah tidak patut ucapan itu dilontarkan oleh
seorang ayah di saat mereka kehilangan orang
yang mereka cintai.
Dengan geram dia mendamprat. "Laki-laki


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berguna. Anakmu tewas akibat perbuatan tolol
yang kita lakukan, dalam keadaan berduka masih
juga kau sanggup bicara melantur?"
Senggana terdiam. Rasanya percuma saja
dia meladeni sang istri yang sedang dilanda duka.
Karena itu tanpa bicara lagi laki-laki tersebut segera meninggalkan Senggini
kemudian membuat se-
buah kubur tak jauh dari sebuah lapangan kecil
yang terdapat di lembah.
Beberapa saat kemudian setelah acara pen-
guburan jenazah Anggagana selesai, Senggana
berdiri tegak di depan pusara anaknya dengan wa-
jah tertunduk dan berlinangan air mata. Sama se-
kali dia tidak berani memandang istrinya yang se-
dang menancapkan sebuah nisan di kepala ma-
kam. Senggini sendiri setelah selesai menan-
capkan batu nisan yang diambil dari batu kali se-
gera membuka mulut. "Anggagana anakku, maaf-
kanlah kesalahan Ibu dan ayahmu ini nak. Mulai
sekarang kami berjanji tidak akan bertengkar lagi."
ujar Senggini sambil melirik ke arah Senggana.
Sang suami dengan mata masih memerah ang-
gukkan kepala. "Benar anakku, ayah minta maaf. Ketololan
yang harus ayah bayar dengan mahal. Oh menga-
pa harus berakhir begini" Huk huk huk!" Sengga-na menangis tersedu-sedu.
Sebagai istri Senggini tentu saja tidak tega
membiarkan suaminya tenggelam dalam kepedi-
han. Dia segera berdiri, lalu menghampiri Sengga-
na. Dengan hati masih diliputi kesedihan dia ber-
kata. "Kakang, sudahlah. Kita tidak boleh terlalu
larut dalam kesedihan ini. Kita memang sama-
sama bersalah, tapi kelewat lama tenggelam dalam
penyesalan semua itu tak bakal menyelesaikan
persoalan yang kita hadapi." ujar Senggini sambil mengelus-elus bahu suaminya.
Mendengar ucapan
Senggini dan mendapat belaian sang Istri yang tu-
lus Senggana merasa terharu. Dia membalikkan
badan lalu memeluk perempuan itu. Beberapa saat
lamanya suami istri itu saling berpelukan. Setelah mereka melepaskan rangkulan
masing-masing Senggana membuka mulut dan berkata. "Istriku
saat ini apapun yang kau katakan aku hanya me-
nurut saja. Aku tidak ingin terjadi perpecahan di
antara kita. Kematian Anggagana kuanggap seba-
gai suatu tindakan tolol oleh orang tua seperti kita.
Saat ini jika kau punya rencana katakan saja!"
Senggini terdiam, dia mencoba berfikir ke-
ras. Rasanya saat ini satu-satunya jalan adalah
mencari nenek Srimbi. Mungkin nenek itu bisa di-
bujuk agar mau membuatkan obat pemunah ra-
cun 'Perubah Bentuk', karena bagaimanapun apa
yang menimpa suami atau dirinya adalah akibat
perbuatan Angin Pesut.
Ketika Senggini menceritakan semua ini pa-
da Senggana, orang tua itu bertanya. "Kurasa menemui nenek Srimbi memang jalan
satu-satunya yang terbaik. Tapi untuk kau ketahui nenek Srim-
bi paling tidak menyimpan dendam selangit karena
merasa dirinya diabaikan Angin Pesut. Jika dia ta-
hu Angin Pesut yang telah membuat tubuh kita
begini rupa. Sudah pasti dia menolak membuat
ramuan obat untuk kita."
Senggini manggut-manggut. Dia terdiam
cukup lama. Senggini sadar apa yang dikatakan
suaminya itu memang benar adanya. Srimbi pasti
tidak mau melakukan apa yang mereka minta ka-
rena dia begitu membenci pada Angin Pesut. Kini
rasanya tidak ada lagi jalan untuk mencari kesem-
buhan bagi mereka terkecuali memaksa Angin Pe-
sut untuk membujuk Srimbi.
"Kakang, jika nenek itu tidak mau menolong
kita kurasa ada baiknya bila kita mencari jalan
lain!" ujar Senggini setelah mempertimbangkannya cukup lama. "Jalan lain apa?"
tanya orang tua itu.
"Karena manusia laknat bernama Angin Pesut itu yang telah membuat dirimu menjadi
begini, bagaimana seandainya kita mencari bangsat yang
menjadi penyebab dari segala kesusahan kita se-
lama ini?"
"Mencari Angin Pesut tidak mudah. Tapi ki-
ta pasti menemukannya. Kabar terakhir kudengar
Angin Pesut mendapat serangan besar dari mu-
suh-musuhnya. Bahkan kudengar gua yang men-
jadi tempat tinggalnya telah diserbu. Menurut
pendapatku Angin Pesut mungkin telah kena dita-
wan oleh musuh-musuhnya."
"Bagaimana jika ternyata manusia dajal itu
telah terbunuh?" tanya Senggini ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan istrinya sepasang
mata Senggana nampak meredup. Tapi demi me-
nyenangkan hati istrinya dia berkata menghibur.
"Siapapun tahu Angin Pesut memiliki ilmu yang amat tinggi. Selain mempunyai
pukulan beracun
dia juga memiliki ilmu maha dahsyat berupa pu-
kulan 'Ratap Langit'. Ilmunya itu sanggup meng-
hancurkan benda apa saja termasuk juga lawan-
lawannya. Konon itulah satu-satunya pukulan ter-
hebat yang ada di dunia persilatan saat ini. Jadi
menurutku lawan setangguh apapun tak bakal
mudah merobohkannya!"
Senggini manggut-manggut. Dia menyadari
Angin Pesut memang manusia berkepandaian san-
gat tinggi. Namun dia yakin setiap ilmu pasti ada
kelemahannya, karena sudah menjadi kodrat ma-
nusia tidak ada sesuatupun yang sempurna di du-
nia ini kecuali Gusti Allah.
"Suamiku, kalaulah benar apa yang kau ka-
takan berarti kesempatan untuk mendapatkan ob-
at penawar bisa kita peroleh melalui perantaraan
Angin Pesut. Sabarlah kakang, jika kita berusaha
keras tentu kita bisa mendapatkan semua yang ki-
ta inginkan!"
"Jika ternyata laki-laki terkutuk itu meno-
lak bagaimana?" tanya Senggana.
Sang istri menyeringai lalu dongakkan ke-
pala. Masih dengan tatapan menerawang ke langit
perempuan itu berkata. "Jika dia menolak maka aku akan menempurnya sampai salah
seorang dari kami binasa!" tegas perempuan itu. Senggana merasa sangat terharu sekali
mendengar ucapan is-
trinya. Keharuan itu begitu mendalam hingga
membuat kuduknya menjadi dingin.
Kemudian dengan suara serak bergetar laki-
laki itu menimpali. "Istriku aku merasa senang mendengar ucapanmu. Kau tidak
sendiri, aku pas-
ti membantumu. Jika kita berdua maju bersama,
masa' kita tidak sanggup membunuhnya!" tegas
Senggana. Senggini tersenyum sambil acungkan kepa-
lan tinjunya. Senggana juga tersenyum lalu
acungkan tinjunya ke udara sebagai pertanda su-
ami istri itu telah sama mencapai kata sepakat. Tetapi sebelum senyum mereka
lenyap, mendadak
sontak dalam keheningan suasana tiba-tiba ter-
dengar suara gelak tawa melengking laksana da-
tang dari langit. Meskipun Senggana dan Senggini
sama terkejut namun mereka tetap bersikap te-
nang. Seolah mereka menganggap suara tawa yang
mengandung tenaga dalam tinggi itu bagai ngian-
gan nyamuk yang bermain di liang telinga.
Tak berselang lama suara tawa lenyap. Sua-
sana kembali berubah sunyi. Pasangan suami istri
saling pandang tapi tetap tidak lupa bersikap was-
pada. Keheningan tak berlangsung lama karena
kemudian terdengar suara orang berkata lantang.
"Dua mahluk raksasa tolol. Kalian adalah pembual yang malang. Takdir kematian
Angin Pesut sudah
ditentukan ada di tanganku. Jika kalian berani
mengusiknya bahkan membuat selembar rambut-
nya saja gugur maka jiwa kalian bakal tak kuam-
puni!" ancam suara itu lantang. Biarpun diejek raksasa tolol kedua suami istri
itu tetap berlaku
tenang tapi diam-diam memasang telinga coba
memastikan dari arah mana suara itu datang. Ke-
tika tahu suara datang dari balik pohon yang ter-
dapat di sebelah kanan mereka, Senggana yang
memiliki tinggi badan sama dengan pucuk pepo-
honan langsung gerakkan tangannya.
Braak! Pohon sebesar batang kelapa berdaun lebat
itu berderak hancur, lalu jatuh berdebum disertai
suara bergemuruh berat. Hampir bersamaan den-
gan tumbangnya pepohonan terdengar suara tawa
mengejek disertai berkelebatnya satu bayangan ke
arah Senggana. Manusia raksasa itu hantamkan
tinjunya menyambuti kedatangan orang. Sekali
kena saja bayangan serba hitam dapat dipastikan
tubuhnya hancur berantakan. Tapi sesuatu di luar
dugaan Senggana terjadi, bayangan hitam menda-
dak berkelit ke samping lalu lakukan gerakan ber-
jumpalitan sedemikian rupa dan jejakkan diri di
antara Senggana dan Senggini.
Tak lama kemudian kedua suami istri itu
melihat di depan mereka berdiri tegak sosok pe-
rempuan berambut panjang awut-awutan. Penam-
pilan maupun ujud si nenek tidak dapat dikatakan
sebagai manusia seutuhnya karena setiap saat se-
lalu berubah-ubah antara wajah manusia dan se-
rigala. "Nenek jelek muka anjing sebenarnya eng-kau punya hubungan apa dengan
Angin Pesut?"
Senggana merasa mengenal nenek bermuka seri-
gala ini ajukan pertanyaan. Si nenek mendengus
geram, namun belum lagi dia sempat menjawab
pertanyaan orang, Senggini sudah membuka mu-
lut dan berkata, "Suamiku, apakah kau tidak pernah mendengar sebuah kisah yang
meriwayatkan tentang seorang gadis nekad yang membunuh ca-
lon mertuanya?"
Senggana terdiam, keningnya berkerut sete-
lah berfikir sejenak lamanya sambil tersenyum dia
menjawab. "Ahh...sekarang aku baru ingat. Konon kudengar calon mertua tidak
merestui hubungan
gadis itu dengan anaknya karena gadis yang ber-
hasrat menjadi calon menantunya itu ternyata ha-
nyalah gadis keji berjiwa telengas."
Senggini seolah ingin membeberkan riwayat
hidup orang melanjutkan ucapan suaminya. "Kau benar suamiku. Setelah sang
kekasih tahu ayahnya tewas terbunuh di tangan gadis pujaannya,
kemudian pemuda itu menuntut balas, lalu terja-
dilah perkelahian sengit antara hidup dan mati....!"
Senggana menyambuti. "Benar...benar. Da-
lam perkelahian itu gadis pembunuh kalah. Ke-
mudian sang pemuda pujaan menjebloskannya ke
suatu tempat bernama 'Liang Pemasung Sukma'."
"Sungguh menyedihkan. Tapi bagaimana
gadis yang dulunya cantik kini mukanya bisa be-
rubah-ubah seperti serigala?" tanya Senggini.
"Oh ya, aku lupa mengatakannya padamu.
Sejak dia dijebloskan ke dalam Liang Pemasung
Sukma dendamnya pada pemuda pujaan setinggi
langit sedalam lautan. Kemarahannya itu mem-
buat dia berhasil membebaskan diri dari penda-
man Liang Pemasung Sukma. Konon jika tidak sa-
lah aku mendengar dia lalu mempelajari ilmu se-
tan yang bernama Serigala Seribu."
"Wah kalau begitu hebat juga ya?" tanya istrinya disertai senyum mengejek.
Senggana menganggukkan kepala."Kejadian
itu memang hebat, bagaimana tidak. Orang yang
dulunya sama mencinta pada akhirnya saling
bermusuhan seperti musuh bebuyutan. Cinta
memang sesuatu yang unik. Karena cinta mem-
buat orang bahagia, cinta juga bisa membuat
orang menderita. Tapi akibat cinta buta, orang bisa jadi celaka! Ha ha ha."
"Suamiku apakah mahluk tak kenal ujud
yang kini berada di hadapan kita termasuk korban
cinta buta?" tanya Senggini.
"Oh kalau yang satu ini kurasa bukan kor-
ban cinta tapi korban dendam kesumat dan letu-
san gunung!' sahut Senggana. Kedua suami istri
itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
Si nenek yang tahu dirinya disindir terus
menerus sejak tadi sebenarnya sudah tidak dapat
lagi menahan luapan amarahnya. Semua ini ter-
cermin jelas lewat wajahnya yang cepat sekali be-
rubah-rubah antara wajah manusia dan rupa seri-
gala. Sambil mendengus nenek berpakaian hitam
menggeram. "Dua manusia tolol sudah puaskah
kalian membeberkan riwayat hidupku atau mung-
kin masih ada lagi yang hendak kalian sampai-
kan?" tanya si nenek ketus.
Senggini terdiam sedangkan Senggana den-
gan tenang berkata. "Bukankah yang kami kata-
kan ini adalah kenyataan yang sebenarnya, Ni
Pambayon" Suatu kenyataan dari sebuah masa la-
lu kelabu dari perjalanan hidupmu sendiri."
Si nenek yang memang memiliki nama Ni
Pambayon atau yang lebih dikenal dengan julukan
Bayangan Maut tentu saja kaget tak menyangka
orang mengenali dirinya bahkan tahu bagaimana


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masa lalunya. Cuma rasa kaget itu berlangsung
sekejap saja karena begitu teringat pada penghi-
naan yang dilakukan kedua manusia raksasa itu
dia mengumbar kemarahannya. "Dua manusia hi-
na dina. Pandai sekali kalian membicarakan kebu-
rukan orang, padahal aku tahu kalian sendiri saat
ini sedang berada di ambang maut. Di dalam tu-
buhmu juga tubuh istrimu mendekam racun jahat
berupa racun Perubah Bentuk. Racun itu telah
membuat tubuh kalian berkembang tidak wajar
hingga menjadi sosok raksasa. Lalu... jika diri sudah berada diambang maut apa
perlunya mencari
Angin Pesut?" tanya Ni Pambayon alias Bayangan Maut disertai seringai mengejek.
Senggana dan Senggini saling berpandan-
gan. Senggini anggukkan kepala memberi isyarat
untuk menjawab pertanyaan si nenek.
"Ni Pambayon, siapapun gelarmu aku tak
peduli. Yang jelas, Angin Pesut harus memper-
tanggung-jawabkan semua perbuatannya di masa
lalu!" tegas Senggana.
"Hik hik hik! Manusia tolol, jika dulu saja
kalian tidak bisa mengalahkan si jahanam Angin
Pesut, apakah kini kalian mengira bisa membu-
nuhnya?" dengus si nenek.
Senggini melangkah maju satu tindak lalu
menyambuti ucapan si nenek. "Angin Pesut boleh mempunyai ilmu segudang, dia
boleh memiliki il-mu hebat Ratap Langit, tapi kami punya cara un-
tuk menghancurkan ilmunya."
Bayangan maut terdiam. Dia pernah men-
dengar kedua raksasa itu bukan orang sembaran-
gan. Mereka juga memiliki ilmu hebat yang tak da-
pat dipandang sebelah mata. Suaminya punya il-
mu pukulan Raksasa Membelah Bintang, sedang
istrinya memiliki pukulan Raksasa Membelah Bu-
lan. Dua pukulan hebat itu bila dilepaskan bersa-
maan bisa membuat tempat di sekitarnya jadi po-
rak poranda. Tapi nampaknya Bayangan Maut tidak per-
duli. Baginya kedua manusia raksasa itu boleh
mempunyai ilmu pukulan yang sanggup meron-
tokkan gunung sekalipun. Namun jika mereka be-
rani membunuh Angin Pesut sebelum dirinya
sempat melakukan pembalasan, kedua raksasa itu
harus berhadapan dulu dengannya.
"Dua manusia tolol, aku sudah mengatakan
bahwa takdir kematian Angin Pesut ada di tangan-
ku. Karena itu aku hanya bisa memberi saran,
mengingat hidup kalian tidak lama lagi. Mengapa
tidak kembali saja ke puncak Kemukus tempat
tinggal kalian. Anak kalian telah mati korban ketololan sendiri. Sedangkan yang
satunya lagi entah
kemana. Jika kalian berdua ingin berbulan madu
mengenang saat pertama kali dulu. Kurasa seka-
ranglah waktunya. Aku memberi kesempatan bagi
kalian untuk meneguk sorga dunia yang kedua
kali. Hik hik hik!" kata Bayangan Maut disertai ta-wa mengekeh.
"Kalau kami menolak?" tanya Senggana.
"Maksudmu?" Si nenek pura-pura tak tahu.
"Kami tetap memutuskan mencari Angin
Pesut!" tegas Senggini.
"Angin Pesut tak bakal sanggup membua-
tkan obat pemunah untuk kalian!" tegas si nenek mulai tak dapat lagi menahan
kesabarannya. "Jika dia tidak mampu berarti dia harus
menebus semua kesalahan dengan nyawanya!"
Habislah sudah kesabaran Bayangan Maut.
Dengan suara lantang menggeledek nenek itu ber-
teriak. "Aku sudah mengatakan, takdir kematian Angin Pesut ada di tanganku. Jika
ada orang berani mendahuluinya maka dia harus berhadapan
dengan Bayangan Maut. Karena kalian tetap ber-
laku nekad, sekarang terimalah kematianmu!"
Baru saja teriakan si nenek lenyap dia la-
kukan gerakan berputar setengah lingkaran. Begi-
tu tubuhnya berputar dia berkelebat ke arah
Senggana sambil berkelebat kedua tangannya yang
terpentang melesat ke bagian perut Senggana. La-
ki-laki itu tidak tinggal diam, dia segera mengangkat kakinya. Dengan
mempergunakan lutut dia
menangkis serangan lawan.
Buuuk! Breeet! Si nenek terdorong mundur. Benturan keras
antara tangan kanan dengan lutut lawannya me-
nimbulkan rasa sakit luar biasa. Tapi jemari tan-
gan kiri Bayangan Maut sempat membuat robek
paha Senggana. Laki-laki itu meringis kesakitan.
Biarpun besar dan tinggi lawan bagi raksasa ini
tak sampai setengah besar dirinya, namun caka-
ran tangan Bayangan Maut menimbulkan luka
dan mengucurkan darah.
Senggana menggerung, tangannya yang be-
sar dan panjang terjulur. Tangan yang satunya be-
rusaha mencengkeram pinggang Bayangan Maut,
sedangkan yang satunya lagi menghantam kepala
si nenek. Nenek angker yang wajahnya setiap saat be-
rubah antara wajah manusia dan serigala ini tak
mau berlaku ayal. Dia sadar jika dirinya kena di-
cengkeram atau dipukul lawan. Kalau bukan ping-
gangnya yang remuk pasti kepalanya jadi hancur.
Karena itu dengan gerakan gesit bagaikan serigala
menghindar dari sergapan harimau, dia berkelit
sambil melompat ke belakang. Baru saja Bayangan
Maut jejakkan kakinya dari arah belakang, Seng-
gini melepaskan satu tendangan menggeledek ke
bagian punggung si nenek.
Gemuruh suara angin tendangan yang tidak
ubahnya seperti pohon roboh membuat Bayangan
Maut bantingkan diri ke sebelah kanan sambil
bergulingan mencari selamat. Namun secepat apa-
pun si nenek menghindar, tendangan Senggini ter-
nyata datangnya lebih cepat dari yang nenek itu
duga. Buuk! Tendangan yang amat keras bertenaga dua
puluh kali lipat manusia biasa itu membuat
Bayangan Maut terpelanting sejauh sepuluh tom-
bak. Jika bukan tokoh sesat berkepandaian tinggi,
yang terkena tendangan perempuan raksasa itu
dapat dipastikan tubuhnya rusak.
"Kau tidak apa-apa suamiku?" Habis mele-
paskan tendangan Senggini ajukan pertanyaan.
"Kau harus hati-hati, setiap serangannya
mengandung racun jahat. Beruntung aku pernah
terkena pukulan racun Perubah Bentuk hingga
membuat racunnya tidak begitu berbahaya!" ucap Senggana menyahuti.
Sementara itu Bayangan Maut yang dibuat
terpelanting jungkir balik oleh lawannya sambil
memaki menyemburkan sumpah serapah sudah
berdiri tegak. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang
mendera punggungnya diam-diam si nenek salur-
kan tenaga dalam ke bagian tangan. Dua tangan
lalu disilangkan, mulutnya berkemak-kemik seper-
ti merapal mantra ajian. Setelah itu sambil meng-
geram dalam hati Bayangan Maut membatin. "Ke-
dua raksasa itu tidak boleh dianggap remeh. Tena-
ganya sepuluh kali lipat dari tenaga manusia bi-
asa. Aku harus membunuhnya. Dengan ajian
Bayangan Serigala ini kurasa aku bisa berbuat
banyak!" fikir si nenek. Dengan tangan masih bersilangan di depan dada dia
berteriak. "Dua manusia besar keras kepala, baru membuat aku jatuh
bukan berarti kalian telah mengalahkan aku. Lihat
serangan...!"
Belum lagi suara teriakan si nenek lenyap,
tahu-tahu tubuhnya melesat kira-kira setinggi da-
da Senggana dan Senggini. Kedua raksasa itu
mendengus lalu bersirebut saling mendahului
memukul Bayangan Maut. Tapi karena pukulan
mereka seolah menghantam angin. Karena biarpun
tubuh lawannya terkena pukulan mereka, kedua-
nya merasa seolah memukul bayangan. Malah
kemudian kedua suami istri itu saling mengadu
tinju. Bruuk! Senggana dan Senggini terhuyung dan sa-
ma-sama unjukkan wajah kaget. Sementara dari
sebelah kiri Bayangan Maut yang memendam den-
dam selangit akibat terkena tendangan Senggini
tidak menyia-nylakan kesempatan ini. Tubuhnya
yang berputar mengambang di udara meluncur de-
ras ke arah perempuan raksasa itu lalu kakinya
menghantam. Dukk! Dees! Dess! Tendangan keras membuat Senggini jatuh
berdebum. Si nenek tidak puas dan kini meluncur
deras mengikuti arah jatuhnya Senggini sambil
melancarkan serangkaian tendangan dan hujam-
kan kuku-kuku jarinya ke arah perut lawan.
Sosok besar Senggini tentu saja tidak dapat
bergerak lincah sebagaimana manusia normal
lainnya. Karena itu dia dorongkan kedua tangan-
nya, menghantam lawan dengan pukulan 'Raksasa
Membelah Bulan'. Gerakan melepaskan pukulan
termasuk terlambat karena waktu itu Bayangan
Maut tidak ubahnya seperti iblis yang berlari ken-
cang sempat menghantam perut dan hujamkan
kuku-kukunya ke dada Senggini.
Di tengah jeritan Senggini yang menyayat,
tubuh Bayangan Maut tiba-tiba seperti disentak-
kan ke belakang terhantam sinar kuning yang
memancar dari tangan lawan.
Bayangan Maut meraung begitu merasakan
bagaimana mulai dada ke atas tiba-tiba terasa se-
perti meleleh. Selagi dia terhuyung-huyung sambil
mendekap wajahnya, dari arah belakang menderu
pula sinar panas luar biasa.
Si nenek terkesiap, dia tidak sempat melihat
ke belakang. Tapi sadar seperti Senggini yang telah menghantam dirinya dengan
pukulan 'Raksasa
Membelah Bulan', Senggana juga pasti melepaskan
pukulan 'Raksasa Membelah Bintang'. Sadar akan
bahaya yang lebih besar mengancam dirinya.
Bayangan Maut dengan terhuyung-huyung me-
lompat ke samping. Tak urung pukulan Senggana
masih menyambar bagian bahunya.
Si nenek meraung keras. Tubuhnya jatuh
terpelanting, sementara Senggana meraung hebat
melihat luka yang dialami istrinya. Sebaliknya
Bayangan Maut yang cidera akibat hantaman ke-
dua lawan segera bangkit berdiri. Dengan mena-
han rasa sakit yang mendera wajah dan pung-
gungnya si nenek berkata. "Dengan menggunakan ilmu ajian Serigala Seribu aku
pasti bisa membunuhnya. Tapi ilmu itu sangat membutuhkan kon-
sentrasi penuh. Ah... kurang ajar mana mungkin
aku bisa konsentrasi dalam keadaan sakit begini.
Sebaiknya aku pergi saja. Untuk sementara biar-
lah dia meratap seperti orang gila. Kelak bila dia nekad mencari Angin Pesut,
disanalah dia kuhabi-si!" membatin si nenek. Selesai berkata begitu tanpa
membuang waktu lagi Bayangan Maut berkele-
bat meninggalkan Senggana yang tengah meratap
dan memeluki istrinya.
Senggana memang tidak tahu lawannya te-
lah melarikan diri. Dia sendiri ketika itu menangis
terguguk memeluki jasad istrinya. Ternyata akibat
luka menganga di bagian dada tembus sampai ke
bagian jantung serta tendangan beruntun yang di-
alami istrinya membuatnya tak dapat bertahan hi-
dup. "Istriku mengapa harus berakhir seperti ini?" desis Senggana getir. "Aku
tidak rela hal seperti ini terjadi. Ni Pambayon harus menerima ba-
lasanku!" kata Senggana.
Dengan mata bersimbah air mata laki-laki
itu palingkan kepala memandang ke arah jatuhnya
Bayangan Maut namun Senggana jadi melengak
kaget karena lawan yang telah menjadi penyebab
kematian istrinya ternyata sudah raib entah pergi
ke mana. Si orang tua menggeram, dua tangannya di-
kepal. Sambil menggerung dia berkata. "Kau tidak bakal lolos dari tanganku,
Bayangan Maut!" geram Senggana.
Masih dalam keadaan kalut dan duka,
Senggana menyempatkan diri menguburkan sang
istri tercinta secara layak. Setelah penguburan
sang istri selesai tidak menunggu lama lagi dia segera mengejar Bayangan Maut.
2 Pemuda itu tegak diam sambil silangkan
kedua tangannya di depan dada. Sementara ma-
tanya memandang ke arah kali Progo. Tak berse-
lang lama dia layangkan pandangannya ke arah
deretan pepohonan yang tumbuh menjulang di se-
panjang pinggiran kali. Mendadak dia palingkan
kepala ke arah bagian hulu Kali Progo. Si pemuda
bertelanjang dada yang adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon gelengkan kepala. Sekejap tadi dia
mendengar suara gemuruh aneh. Suara gemuruh
itu datangnya dari dalam tanah dan sekarang sua-
ra itu tiba-tiba lenyap.
Masih dengan sikap tertegun dan sambil
mengusap wajahnya pulang balik sang pendekar
jadi bicara sendiri. "Jelas suara yang kudengar tadi bukan suara gemuruh air
sungai tapi suara sesuatu di dalam tanah, suara apapun yang kudengar
itu jelas bergerak mendekat kemari!" Berkata begitu murid kakek Gentong Ketawa


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu hentakkan kedua kakinya hingga membuat tubuhnya melesat
di udara. Selagi tubuhnya mengambang diatas ke-
tinggian dia berkelebat ke arah pepohonan yang
terdapat di pinggir sungai. Setelah itu si gondrong jejakkan kakinya di salah
satu cabang pohon lalu
mendekam di balik kelebatan dedaunan. Pendekar
sakti 71 memasang mata mempertajam pendenga-
ran. Beberapa saat dia menunggu. Suara gemuruh
makin mendekat, tapi dia tidak mendengar tanda-
tanda kehadiran seseorang di tempat itu.
Di satu tempat tak jauh dari pohon dimana
dia berada sang pendekar melihat daun-daun dan
ranting kering yang bertebaran di atas permukaan
tanah tersibak. Dengan hati berdebar Gento me-
nunggu gerangan apa yang bakal muncul dari ba-
wah permukaan tanah. Tak begitu lama apa yang
ditunggu oleh Gento pun terjadilah. Mendadak
daun-daun kering berterbangan. Bersamaan den-
gan hembusan angin yang tak jelas datang dari
mana terjadi pula suatu ledakan yang amat dah-
syat. Tanah bermuncratan di udara sehingga ter-
jadi sebuah lubang besar. Berturut-turut dari da-
lam lubang yang menganga melesat dua sosok
bayangan. Bayangan pertama yang munculkan diri
dari dalam tanah berpakaian serba hitam, sedang-
kan yang di belakangnya berpakaian serba putih.
Dalam waktu sekejap tak jauh dari lubang
berdiri tegak seorang nenek berwajah setan se-
dangkan di sebelahnya tampak pula seorang gadis.
Yang mengejutkan gadis yang bersama si nenek
cukup dikenal oleh Gento, sedangkan nenek yang
bersamanya baru kali ini Gento melihatnya.
"Nenek satu ini mayat hidup atau setan ke-
sasar." Fikir Gento sambil mengusap tengkuknya yang merinding. "Wajahnya rusak
seperti bekas di-cacah, lidah terjulur, gigi-giginya seperti taring serigala
sedangkan bagian hidungnya lenyap hingga
cuma berupa lubang besar mengerikan. Dan satu
lagi yang aneh kulihat dada nenek itu berlubang
besar." Gento memperhatikan gerak-gerik si nenek dan dia menemukan satu
kejanggalan lagi yang
tak mungkin dimiliki oleh manusia lain. Ke-
jangggalan itu ada pada kaki si nenek. Kaki itu tidak seperti kaki manusia
karena nenek itu memi-
liki kaki seperti kaki kuda dengan bagian telapak
kaki tajam seperti mata tombak.
"Segala keburukan ada padanya. Mungkin
dia bukan manusia benaran bisa jadi dia embah-
nya siluman. Lalu apa perlunya Mutiara Pelangi
bersama nenek itu, apa dia cucu siluman juga?"
fikir Gento sambil mencoba menahan geli.
Selagi Gento cengar cengir melihat segala
keangkeran serta keanehan yang terdapat pada di-
ri si nenek. Nenek berhidung grumpung alias
sumplung itu tiba-tiba ajukan pertanyaan pada
gadis yang pernah menyelamatkan Gento dari Lu-
bang kubur. "Pelangi apa betul pemuda yang kau cintai itu miring otaknya?"
Sang dara terkejut mendengar pertanyaan
yang tidak disangka-sangka itu. Sementara di
tempatnya mendekam Gento menjadi gelisah.
"Nenek muka hantu itu mudah-mudah bu-
kan aku yang dimaksudkannya!"
"Maksud guru?" tanya Mutiara Pelangi. Si nenek delikkan matanya, dengan kesal
dia berkata. "Rupanya berapa banyak pemuda yang kau cintai?" "Cuma satu guru?"
Di atas pohon Gento mengusap habis wa-
jahnya. Kini dia semakin yakin dirinyalah yang
menjadi pusat pembicaraan. "Celaka, harusnya
aku tinggalkan tempat ini sejak tadi. Sekarang se-
galanya sudah kasip, jika aku pergi mereka pasti
melihatku!"
"Katakan siapa nama pemuda itu?" kembali terdengar suara si nenek.
"Namanya Gento guru. Terus terang dia ti-
dak sinting. Cuma tingkah lakunya saja yang se-
perti orang kurang waras." menerangkan sang da-ra dengan muka bersemu merah.
"Hik hik hik. Soal ketidak beresan otaknya
kita bisa membawanya ke pandai besi. Aku kenal
seorang pandai besi yang hebat di Mojogendeng.
Sebelum dia menjadi pendamping hidupmu kita
bisa betulkan dulu otaknya agar kau bisa mempu-
nyai pasangan hidup waras lahir dan batin."
Malu-malu sang dara palingkan wajahnya
ke jurusan lain. Dengan suara lirih dia berkata.
"Semuanya terserah guru, aku hanya mengikut sa-ja!"
Di balik kerimbunan pohon wajah Gento be-
rubah pucat, tubuh menggigil sedangkan pakaian
bersimbah keringat dingin. "Celaka! Mengapa Pelangi jadi tidak bermalu dengan
mengatakan men-
cintai aku pada gurunya" Padahal aku tidak per-
nah berbicara begitu kepadanya! Terus terang aku
memang menyukai gadis-gadis cantik. Wah urusan
benar-benar jadi kapiran!" gerutu sang pendekar.
Di bawah sana si nenek mengguman sendi-
ri. "Ternyata tidak mudah mencari bocah edan itu.
Kurasa sebaiknya kita cari dia di keramaian kota,
siapa tahu dia sedang jadi peminta-minta di sana!
Hik hik hik!"
"Nenek sial!" tanpa sadar Gento mengum-
pat. Biarpun suaranya hanya perlahan saja, tapi
rupanya si nenek mendengar makian Gento. Cepat
orang tua itu palingkan kepala dan memandang ke
arah kelebatan pepohonan. Orang tua itupun ke-
mudian berteriak keras. "Orang yang bersembunyi di pohon harap tunjukkan diri!"
perintah si nenek.
"Ah celaka sudah. Mengapa aku tidak bisa
menjaga mulut. Harusnya aku tidak keterlepasan
bicara tadi!"
Gento menggerutu menyesali diri.
Sementara itu Mutiara Pelangi nampak ke-
bingungan. "Eh...rupanya guru bicara pada siapa?"
Si nenek tidak menanggapi. Kembali dia
berteriak ditujukan pada Gento. "Jika kau tidak mau tunjukkan dirimu, aku akan
membakar mu hidup-hidup di situ!" Dan ancaman ini bukan cu-ma gertakan saja, karena begitu
selesai berkata si nenek Palasik angkat tangan kanannya siap untuk
dihantamkan. Pendekar Sakti 71 sudah melihat adanya
gelagat yang tidak baik menanggapi ucapan orang
dengan tawa tergelak-gelak. Mutiara Pelangi tentu
saja menjadi kaget karena dia memang mengenali
siapa adanya orang yang mengumbar tawa terse-
but. Dia jadi gelisah, hatinya tidak tenang dan
yang jelas dia merasa malu atas pengakuannya ta-
di karena pemuda yang mereka bicarakan ternyata
berada di tempat itu. Pada saat itu begitu puas
mengumbar tawa Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
berkata dengan nada mencemo'oh. "Nenek wajah
remuk, berani kau bicara kurang ajar pada diriku"
Apa kau tidak takut kubetoti lidah dan gigi-gigimu yang jelek itu" Ha ha ha!"
Tercengang si nenek mendengar ucapan
Gento. Seumur hidup malang melintang di dunia
persilatan belum pernah ada orang yang berani
bersikap kurang ajar kepadanya. Hari ini seolah-
olah dia mendapat mimpi buruk memalukan, apa-
lagi penghinaan ini dilakukan di depan muridnya.
Sambil menggeram dia pun menghardik. "Kadal
sialan! Siapa kau, cepat tunjukkan diri?"
"Rupanya kau setan tuli. Kau dengar...aku
adalah rajanya setan. Cepat berlutut di depanku
atau kau lebih suka menerima gebukanku"! Ha ha
ha!" balas Gento tak kalah lantangnya.
Lenyaplah sudah segala kesabaran nenek
Palasik. Sambil menggeram dia salurkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Setelah itu si nenek ber-
kata tegas. "Rupanya kau mau menjadi raja setan benaran. Untuk mengabulkan
permintaanmu itu
tidak sulit bagiku!" Selesai berkata tangan si nenek pun dihantamkan ke arah
deretan pohon dimana
Gento bersembunyi. Seketika itu juga lima larik
sinar hitam menggidikkan berhawa panas luar bi-
asa berkiblat menghantam pohon besar tempat
persembunyian Gento.
"Wualah kwalat kau!" Sekejap lagi pukulan lima sinar menghantam pohon terdengar
suara sumpah serapah yang disertai melesatnya satu so-
sok tubuh bertelanjang dada. Di belakang sosok
Gento terdengar suara ledakan berdentum. Pohon
hancur porak poranda dikobari api. Gento yang
kemudian jejakkan kaki tak jauh dari nenek Pala-
sik dan Pelangi jadi leletkan lidah. Jika dia tidak cepat menghindari tadi
mungkin dirinya saat ini
telah menjadi mayat hangus.
Sang dara sendiri begitu melihat Gento te-
gak di depannya meski sebelumnya sudah mendu-
ga tetap terkejut. Dia merasa senang bisa bertemu
dengan sang pendekar, namun jauh di dalam hati
merasa malu bila ingat pembicaraan dirinya den-
gan sang guru. Dia yakin Pendekar Sakti 71 pasti
mendengar semua yang mereka bicarakan. Dengan
muka merah padam Pelangi palingkan wajahnya
ke jurusan lain.
Sementara itu nenek Palasik kini meman-
dang ke arah Gento, memperhatikan dengan teliti
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. "Ram-
butnya gondrong, lagak cengar cengir seperti orang edan tidak memakai baju,
hemm." Gumam si nenek, lalu ajukan pertanyaan ditujukan pada mu-
ridnya. "Apakah pemuda gelo ini yang telah meron-tokkan hati dan jiwamu,
Pelangi?" Malu-malu sambil tundukkan wajahnya
sang dara menganggukkan kepala.
"Dia muridnya kakek aneh Gentong Keta-
wa!" menerangkan Pelangi juga masih dengan tundukkan wajahnya.
Mendengar muridnya menyebut Gentong
Ketawa si nenek berjingkrak kaget. Seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri si nenek
membuka mulut. "Coba katakan lagi bocah ini
murid siapa?"
"Murid kakek Gentong Ketawa."
Si nenek tiba-tiba dongakkan kepala, lalu
tertawa tergelak-gelak. "Gentong ketawa...hik hik hik! Jadi gondrong kutu kupret
ini muridnya Gentong Ketawa" Sejak dulu aku selalu meragukan
kewarasan kakak pendengkur itu. Keraguanku
ternyata terbukti. Kini dia menularkan penyakit gi-lanya pada sang murid."
dengus nenek Palasik.
Baik Gento maupun Pelangi sama terkejut
tak menyangka nenek itu kenal dengan kakek
Gentong Ketawa.
Dengan sikap acuh si nenek lalu berkata.
"Monyet gondrong kau tentu sudah mendengar
semua pembicaraan kami. Sekarang aku ingin ber-
tanya apakah kau mengenal gadis yang ada di
sampingku ini?" tanya nenek Palasik sambil menatap tajam pada Gento.
Sang pendekar tersenyum, matanya sengaja
dikedap-kedipkan, setelah itu dengan mengguna-
kan jemari tangan Gento membembengkan ma-
tanya atas bawah baru kemudian manggut-
manggut. "Ohh...aku kenal. Ternyata aku memang
mengenalnya. Cuma dia, sedangkan dirimu biar
mata ini kubembeng sepuluh kali pasti tidak ku-
kenali. Lagipula siapa sudi mengenal nenek tak
kenal ujud sepertimu. Muka rusak, hidung lenyap,
gigi runcing lidah terjulur. Ibarat pemandangan dirimu itu tidak sedap
dipandang! Ha ha ha!"
Mendengar ucapan Gento yang menjengkel-
kan gusarlah si nenek dibuatnya. Tetapi dia beru-
saha mengurut dada menabahkan hati. Dia sadar
pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa di samping tentunya kesaktian
yang sangat tinggi. Karena itu nenek Palasik me-
langkah maju dua tindak. Dengan perlahan dia
berkata. "Aku sudah mengenal gurumu, jadi kau tidak perlu lagi menerangkan siapa
dirimu. Sekarang katakan padaku apakah kau mengenal dan
mencintai muridku?"
"Ah, disinilah letak pangkal persoalan. Ka-
lau kau tanya apakah aku kenal dengan muridmu,
terus terang aku mengenalnya. Tapi masalah cinta
mana bisa kujawab!" tegas Gento.
"Aku hanya menginginkan jawaban antara
iya dan tidak!" tegas si nenek pula.
"Ah nek jangan mendesakku. Terus terang
aku menyukai pemandangan yang bagus-bagus
dan yang indah. Kalau aku suka bukan berarti
aku cinta!"
"Bocah kunyuk sialan. Kau mengira perem-
puan itu ibarat pemandangan, selagi bagus kau
pandangi terus, kemudian setelah bosan langsung
kau tinggalkan" Kurang ajar! Segala kegilaanmu
ternyata tidak berbeda jauh dengan gurumu. Le-
kas kau jawab ya atau tidak?" desak si nenek.
Gento jadi salah tingkah. Sebaliknya Mutia-
ra Pelangi merasa semakin tidak enak hati.
Beberapa saat sang pendekar terdiam. Dia
melirik ke arah Pelangi, gadis itu malah palingkan wajahnya ke arah lain. Gento
merasa serba salah,
namun sang pendekar segera membulatkan hati
dengan berkata. "Nek, terus terang aku menyukai muridmu, tapi aku tidak
men....!" Ucapan Gento langsung dipotong oleh ne-
nek Palasik. "Bocah edan, berani mampus kau
menipuku?" damprat si nenek. Cepat dia men-


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gangkat tangannya siap melepaskan pukulan me-
matikan. Tapi pada saat itu Pelangi melompat
menghalangi niat keji gurunya.
Lalu dengan getir dia berkata. "Guru, kau
hendak membunuh orang yang tidak bersalah" Se-
jak pertama aku sudah mengatakan, kau tidak bo-
leh ikut campur dalam segala urusanku. Dan kini
akibatnya kau tahu sendiri. Campur tanganmu
sama sekali tidak membawa pada suatu penyele-
saian sebaliknya malah menjadi sesuatu yang
amat memalukan bagi diriku." kata sang dara dengan suara parau.
"Kau gadis tolol yang selalu mengalah. Aku
membelamu untuk menemukan titik terang, seba-
liknya kau malah menyalahkan diriku!" damprat si nenek kesal.
"Kita hidup pada jaman yang berbeda guru.
Segala sesuatu tidak dapat lagi dipaksakan. Su-
dahlah, daripada aku menanggung rasa malu lebih
lama, sekarang juga aku mohon pamit." selesai berkata begitu Mutiara Pelangi
balikkan badan siap meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini Gento cepat berkata, "Pelangi kita harus membicarakan kesalah
pahaman yang terjadi antara kita!" Gento kemudian melangkah maju. Tapi Pelangi gelengkan
kepala. "Tidak perlu lagi Gento. Tak ada gunanya kita bicara. Perlu kau ketahui,
semula aku ingin merahasiakan semua isi
hatiku. Bahkan aku tak bermaksud mencarimu.
Tapi nenek itulah yang memaksa!"
Habis berkata begitu sang dara pun dengan
hati terluka berkelebat meninggalkan gurunya dan
sang pendekar. Nenek Palasik mencoba mencegah
sambil berteriak. "Pelangi jangan pergi dulu!"
Sia-sia saja si nenek berteriak karena sang
dara telah berkelebat lenyap meninggalkan dirinya.
Setelah Pelangi berlalu beberapa saat kehe-
ningan menyelimuti tempat itu. Gento sendiri me-
rasa serba salah. Ingin dia cepat berlalu, tapi murid kakek gendut Gentong
Ketawa takut si nenek
tersinggung. Selagi sang pendekar berada dalam keragu-
raguan tiba-tiba saja nenek Palasik membalikkan
badan sambil memandang pada Gento dengan ma-
ta melotot, sementara wajahnya yang hancur men-
gerikan nampak tegang luar biasa.
"Pemuda sinting berani sekali kau mem-
permainkan muridku?" teriak si nenek sengit.
Mendapat makian begitu rupa meskipun
kesal Gento masih dapat menahan diri. Dengan
suara perlahan dia berkata. "Nek... siapa yang berani mempermainkan muridmu,
apalagi dia per-
nah menyelamatkan nyawaku. Semua ini hanya
kesalah pahaman saja!"
"Kalau sadar pernah ditolong, kalau kau sa-
dar pernah diselamatkan, mengapa sekarang kau
lukai perasaannya?"
"Nah...nah...kau salah lagi nek. Muridmu
terlalu mengikuti perasaannya sendiri." ujar Gento.
Gusarlah si nenek mendengar ucapan sang
pendekar. Dengan suara lantang perempuan tua
itu berkata. "Apapun pendapatmu kau harus min-ta maaf pada muridku."
"Bukankah aku sudah melakukannya tadi?"
Sepasang alis mata si nenek berkerut tajam.
Nenek Palasik terdiam cukup lama. Dia berfikir ti-
dak ada gunanya berdebat dengan Gento. Karena
itu dengan geram dia berkata. "Rupanya kita harus menyelesaikan segala persoalan
ini dengan jalan
kekerasan!"
Gento tersenyum, otak cerdiknya cepat be-
kerja. Dengan serius sang pendekar kemudian be-
rucap. "Apa yang kau ucapkan itu apakah berarti perkelahian hidup dan mati di
antara kita?"
"Tepat!" sahut si nenek tegas.
"Tantanganmu itu mengerikan sekali nek.
Aku sendiri takut mati sebab kalau kuhitung anta-
ra dosa dan pahalaku tentu masih banyakan do-
sa." ujar Gento sambil mengusap-usap wajahnya.
"Kamu takut menghadapi tua bangka seper-
tiku?" tanya nenek Palasik disertai tawa mengejek.
"Nek, mungkin kau mempunyai ilmu hebat.
Tapi terus terang selama hidup aku tidak pernah
takut kepada siapapun terkecuali pada Gusti Al-
lah. Jika kau menghendaki ada kematian di antara
kita, bagiku tidak jadi soal. Asal kau mau meme-
nuhi permintaanku"
"Apa permintaanmu?" potong si nenek ce-
pat. "Syaratku begini. Jika aku kalah aku mau memenuhi permintaanmu."
"Apakah termasuk menjadi pendamping hi-
dup muridku?"
Pertanyaan itu membuat Gento menjadi ra-
gu, namun dia sadar harus mengambil keputusan
yang cepat. Sehingga dia menganggukkan kepala.
Si nenek menarik nafas lega, malah orang
tua itu sempat mengulum senyum. Dalam hati dia
berkata. "Dulu ketika aku bentrok dengan gendut gila guru bocah ini aku sanggup
mengatasi hampir
semua ilmu pukulannya. Masa' sekarang aku bisa
dikalahkan oleh bocah miring bau kencur ini" Ku-
rasa dalam tiga gebrakan aku sudah bisa mem-
buatnya bertekuk lutut!"
Yakin dengan kemampuannya sendiri den-
gan tegas si nenek berkata. "Jika ternyata aku yang kalah?" tanya si nenek.
Lagi-lagi sang pendekar tertawa. Begitu ta-
wanya lenyap Pendekar Sakti 71 berkata. "Jika kau kalah maka kau harus ikut
denganku. Bukan
cuma itu saja, kau juga harus membantu aku me-
lenyapkan seorang nenek jahat bernama Ni Pam-
bayon alias Bayangan Maut!"
Mendengar ucapan Gento, nenek Palasik
berjingkrak kaget. Ni Pambayon alias Bayangan
Maut kalau dia tidak salah mengingat adalah mu-
suh besar Angin Pesut. Lalu apa hubungannya
pemuda ini dengan Angin Pesut. Bekas tokoh sesat
yang beberapa hari lalu mempecundangi dirinya"
Merasa curiga nenek Palasik bertanya.
"Apakah yang kau minta ini ada hubungannya
dengan Angin Pesut?"
"Betul nek. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Cuah, Angin Pesut adalah bangsat yang te-
lah membunuh suamiku. Buat apa kau membela
manusia durjana itu?" tanya si nenek lagi sambil semburkan ludah.
"Dulu Angin Pesut memang manusia jahat.
Setelah dia kehilangan anak satu-satunya dia me-
nyadari segala kekeliruannya. Dia benar-benar te-
lah bertobat. Jika Tuhan mengampuni dosa ham-
banya selagi dirinya mau bertobat, sebagai manu-
sia mengapa kita begitu sombong tidak mau me-
maafkan dosa kesalahan orang?"
"Aku bukan Gusti Allah!" dengus si nenek ketus. "Siapa mengatakan dirimu Tuhan
nek. Cu-ma sebagai manusia bukankah kau punya hati
nurani, punya perasaan dan akal" Aku tidak me-
maksa, kalau kau tidak mau aku membatalkan
tawaranmu!" ujar Gento. Sang pendekar kemudian memutar tubuh siap meninggalkan
si nenek. Nenek Palasik jadi serba salah. Bagaimana
pun juga perasaannya begitu berat menerima ta-
waran Gento karena orang yang akan dia bantu
adalah musuh besar pembunuh suaminya. Dia
sendiri seperti yang telah dituturkan pada episode sebelumnya telah berusaha
membalaskan kematian sang suami. Tapi di luar dugaan Angin Pesut
dapat mengalahkannya. Kenyataan itu merupakan
suatu kejadian yang sangat memalukan. Sebagai
orang yang dikalahkan apakah dia masih punya
muka bertemu dengan Angin Pesut"
"Tunggu!" seru nenek Palasik setelah sejenak sempat bergulat dengan fikirannya
sendiri. "Kuterima tantanganmu bocah sinting. Tapi ingat tua bangka yang tegak di
belakangmu ini tidak
pernah memakai peraturan dalam perkelahian ini.
Jika nasibmu masih bagus, mungkin kau bisa lo-
los dari kematian. Tapi jika takdir matimu memang
ada di tanganku, jangan salahkan aku!"
Bersamaan dengan ucapannya itu dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata tangan si
nenek melesat ke arah Gento. Lima jari tangan
menyambar bahu Gento.
Sang pendekar terkesiap ketika merasakan
ada hawa dingin menghujam ke bagian bahu. Ce-
pat dia miringkan kepala sambil meliukkan tu-
buhnya, sementara tanpa menoleh dia kibaskan
tangannya ke belakang menangkis serangan si ne-
nek. Plak! Breet! Benturan yang keras membuat nenek Pala-
sik terhuyung, tapi salah satu kukunya masih
sempat menggores lengan Gento.
Murid kakek Gentong Ketawa segera balik-
kan badan, lengannya terasa perih dan mengucur-
kan darah. Si nenek diam-diam menjadi kaget tak me-
nyangka lawan ternyata memiliki tingkat tenaga
dalam yang tinggi, lebih terkejut lagi serangannya dapat dihindari Gento.
Nenek Palasik mengerung dahsyat. Laksana
kilat tubuhnya melesat ke arah Gento sambil lan-
carkan serangkaian serangan yang sangat cepat
luar biasa. Dalam waktu singkat sosok nenek Pa-
lasik tidak ubahnya seperti bayangan maut yang
menyambar dari segala penjuru. Setiap serangan-
nya pasti tertuju ke arah bagian-bagian tubuh
yang sangat mematikan. Biarpun Gento saat itu
telah menggunakan serangkaian jurus Belalang
Mabuk warisan kakek Gentong Ketawa, tapi apa
yang dilakukannya tidak sanggup mengatasi se-
rangan si nenek. Tak ayal lagi sang pendekar ter-
desak hebat. Pada suatu kesempatan lawan julur-
kan tangannya menghantam wajah Gento. Pemuda
itu menarik kepala ke belakang. Tapi sang pende-
kar terkecoh. Begitu kepala ditarik mundur, tan-
gan kiri si nenek menghantam ke arah dada. Gento
memang masih sempat melihat gerakan tangan ki-
ri nenek itu, tapi tidak sempat lagi menghinda-
rinya. Buuk! Hantaman yang keras membuat Pendekar
Sakti 71 jatuh terbanting. Dadanya seperti ambrol, nafas megap-megap, sedangkan
dari mulut menyemburkan darah segar.
"Aku sudah mengatakan dalam perkelahian
ini aku tidak memakai aturan. Kau salah besar ji-
ka menganggap aku bertindak setengah-setengah
dalam menyerangmu!" dengus si nenek sambil
berdiri tegak siap melancarkan serangan kembali.
Gento menyeringai, biarpun sang pendekar
menderita sakit hebat pada bagian dadanya na-
mun masih sempatnya Gento bergurau. "Orang
tua, jika baru bisa mengeluarkan kecap asin dari
mulutku kau jangan bangga dulu. Bagiku semua
itu masih belum ada artinya! Ha ha ha!" Kagetlah si nenek mendengar ucapan
Gento. "Bocah ini agaknya memang gila beneran.
Dia bersikap seolah tak merasakan apa-apa.
Mungkin dia mengharapkan aku benar-benar
mengirimnya ke neraka!" batin orang tua itu geram. Karena memang menginginkan
satu keme- nangan mutlak terhadap perkelahian yang terjadi.
Tanpa menunggu lama, selagi Gento baru saja
berdiri tegak si nenek kini melakukan serangan
kedua. Kali ini dia mempergunakan kedua kakinya
yang mirip tapak kuda namun berujung runcing
seperti tombak. Gento Guyon terpaksa mengerah-
kan segenap ilmu kepandaian yang dia miliki.
Dengan mengandalkan Jurus 'Dewa Menari di Atas
Awan' pemuda itu mencoba menangkis serangan
berbahaya nenek itu. Kenyataan yang terjadi ter-
nyata di luar perhitungan Gento. Sehebat apapun
dia mencoba menangkis atau membuat mentah se-
rangan nenek Palasik. Kenyataannya sang pende-
kar tetap terdesak. Malah serangan balasan yang
dilakukan Gento dengan mudah dapat ditepis la-
wan. Gento merasa mati kutu, sementara serangan
si nenek makin berbahaya dan tambah ganas.
Gento melompat mundur, merasa tak punya pili-
han lain dia melepas pukulan 'Iblis Ketawa Dewa
Menangis' dan pukulan 'Dewa Awan Mengejar Ib-
lis'. Berturut-turut dari telapak tangan sang pen-
dekar menderu angin berhawa panas dan dingin
disertai melesatnya sinar merah dan biru meng-
hantam tubuh si nenek.
Melihat angin kencang menghantam dirinya
si nenek malah merentangkan kedua tangan ke
atas seolah bersikap pasrah dihantam pukulan
sambil mengumbar tawa. "Hanya pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis dan Iblis Tertawa Dewa Me-
nangis, siapa takut ?" Bersamaan dengan ucapan mencemo'oh si nenek saat itu pula
tubuhnya tergi-las habis dihantam sinar dan gelombang angin
yang melesat dari tangan pendekar sakti 71.
Blam! Blam! Dua ledakan berturut-turut mengguncang
tempat itu. Di depan sana satu lubang besar men-
ganga mengepulkan asap tebal berwarna kelabu.
Namun si nenek lenyap. Gento terkejut besar. Ke-
jutan pertama dia tak menyangka lawan mengenali
dua pukulan yang dilepaskannya sedangkan keju-
tan kedua si nenek yang dihantam pukulannya ti-


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ba-tiba raib, padahal jelas pukulan tadi melibas dirinya. Selagi Gento dilanda
keheranan dan rasa
tak percaya dengan apa yang terjadi dari lubang
besar yang menganga hitam melesat satu bayan-
gan hitam yang disertai bergemuruhnya suara ta-
wa di udara. Di lain waktu di depan Gento, nenek
Palasik berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
"Jika ilmu gurumu yang kau pergunakan
untuk melawanku. Dalam dua jurus di depan di-
rimu cuma tinggal nama!" ejek si nenek.
"Ha ha ha! Jika satu jurus di depan kau tak
sanggup berlutut di depan kakiku biar aku ber-
henti jadi manusia!" sahut Gento pula tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Hik hik hik! Ingin kulihat kau bisa berbuat
apa bocah!" perempuan tua itu mendengus sinis.
Cepat dia memutar kedua tangannya siap melan-
carkan serangan yang lebih ganas ke arah Gento.
Sadar lawan memiliki kecepatan gerak dan
ilmu yang sangat tinggi, maka Gento pun silang-
kan kedua tangan di depan dada siap mengerah-
kan ilmu andalan warisan Manusia Seribu Tahun
berupa ilmu aneh bernama Merintis Bayangan Ra-
ga. Begitu sang pendekar merapal mantra aji ilmu
andalannya dari bagian ubun-ubun sang pendekar
mengepul asap tipis berwarna putih, Asap tersabut
kemudian menyelimuti diri Gento.
Melihat keanehan yang terjadi pada Gento si
nenek yang siap melancarkan serangan jadi terke-
siap. Dengan mata mendelik dia pandangi lawan-
nya. Nenek Palasik kemudian terkesima ketika me-
lihat di depan sana sosok pemuda gondrong berte-
lanjang dada itu telah mengembar menjadi lima
orang. "Kadal buntung ini, bagaimana mungkin
tubuhnya bisa berubah banyak seperti itu" Ilmu
gila apa yang dia miliki. Ilmu seaneh itu mustahil warisan dari si gendut gila
Gentong Ketawa?" desis si nenek. Menyangka apa yang dilihatnya cuma ti-puan
saja, Nenek Palasik kedipkan matanya. Sete-
lah berkedip ternyata sosok Gento tetap lima
orang. Si nenek gelengkan kepala. "Sungguh tak bisa kupercaya!" batinnya lagi
dalam hati. Selagi nenek Palasik terkesima melihat ke-
nyataan itu sosok Gento dan kembarannya berge-
rak cepat mengepung si nenek lalu lima mulut
membuka serentak.
"Hantam...!" Kelima sosok Gento berteriak, bersamaan itu pula lima sosok
bertelanjang dada
melakukan gebrakan menghujani nenek Palasik
dari segala penjuru dengan serangan-serangan ga-
nas. Melihat serangan datang dari seluruh pen-
juru itu si nenek tidak tinggal diam. Dua tangan-
nya menghantam kian kemari, tadangkan kakinya
melepaskan tendangan berputar. Setiap tendangan
yang dilepaskannya pasti mengenai sasaran. Teta-
pi anehnya biarpun tendangan mengenai sasaran,
semuanya nampak sia-sia karena tidak satupun
dari pukulan dan tendangan itu yang sanggup
menjatuhkan Gento dan empat kembarannya.
Nenek Palasik jadi kaget besar dia mencoba
menggunakan ilmu 'Menyusup Bumi' untuk
menghadapi gempuran yang dilakukan lawan-
lawannya. Namun belum lagi sempat merapal
mantra-mantra ilmunya. Pada waktu bersamaan
dari arah belakang salah satu kembaran sang
pendekar menyergap si nenek dari belakang. Si
nenek meronta sambil hantamkan sikunya ke be-
lakang. Tapi biarpun sodokan sikunya tepat men-
genai sasaran rasanya seperti menghantam angin.
Kembali si nenek dibuat kaget, sekali lagi
dia meronta. Sayang pada waktu yang sama pula
empat kembaran Gento yang lain secara beramai-
ramai mengangkat dan membanting si nenek di
atas tanah. Wuut! Ngeek! Blegkh! Nenek Palasik merasakan sekujur tubuhnya
remuk, sedangkan perabotan miliknya baik yang di
luar maupun yang di dalam seakan rontok. Selagi
si nenek mengerang kesakitan, satu sosok berpu-
tar cepat memperlakukan diri sedemikian rupa
hingga membuat posisinya seperti orang bersujud.
Sementara itu begitu sosok lima kembaran Gento
silangkan tangannya kembali ke depan dada. Se-
rentak lima mulut komat-kamit membaca mantra.
Secara perlahan satu demi satu sosok Gento kem-
baran berubah menjadi asap. Asap itu melesat ke
bagian ubun-ubun lalu lenyap. Lenyapnya keem-
pat kembaran sang pendekar membuat pemuda
itu kembali seperti sediakala.
Sementara nenek Palasik yang posisinya se-
perti orang sujud mengerang lirih. Dengan pan-
dangan nanar dia duduk berlutut, ketika dia men-
gangkat wajahnya pandangan si nenek membentur
sosok Gento yang berdiri tegak selangkah di de-
pannya. "Bocah... ternyata kehebatanmu di luar
perhitunganku. Semula aku duga dengan mudah
dapat menjatuhkan dirimu." kata si nenek sambil menyeka darah yang menetes di
bibirnya. "Apakah sekarang kau mengakui kekala-
hanmu?" tanya si pemuda.
"Sebenarnya aku belum kalah. Tapi karena
kau memiliki ilmu setan aku terpaksa mengaku
kalah. Aku tidak malu mengakui sebelumnya tak
pernah melihat ilmu seaneh itu. Kalau boleh aku
tahu, siapa yang telah mengajarkan ilmu itu pa-
damu?" "Aku tidak bisa mengatakannya padamu
nek. Yang jelas sekarang kau harus ikut dengan-
ku. Kita akan ke Wonosari karena di tempat itulah
kemungkinan bagi kita bisa menemukan Angin Pe-
sut!" Si nenek keluarkan suara menggerendeng.
Biarpun begitu dia tetap bangkit berdiri. "Kau yang memenangkan perkelahian.
Sekarang kau jalan di
depan" Gento Guyon tertawa.
"Nek...menang atau kalah itu bukan sesua-
tu yang membanggakan bagiku. Jika aku yang
berjalan di depan, siapa berani menjamin kau tak
bakal menghantamku dari belakang!" kata Gento.
"Bocah keparat! Aku boleh mempunyai rupa
yang buruk, namun hatiku tak seburuk wajahku!"
damprat si nenek kesal.
"Kalau kau bicara begitu barulah aku per-
caya!" Selesai berkata Gento berkelebat tinggalkan tempat itu sedangkan nenek
Palasik mengikutinya
tak jauh di belakang.
3 Matahari belum lagi menampakkan diri di
ufuk sebelah timur. Udara di pinggir sungai itu terasa dingin menusuk sedangkan
suasana masih disaput kegelapan. Dalam keremangan suasana
terdengar suara erangan tak berkeputusan. Dan
ternyata suara erangan itu berasal dari salah satu cabang pohon dimana
Pendekar Super Sakti 13 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Imam Tanpa Bayangan 8
^