Pencarian

Liang Pemasung Sukma 2

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma Bagian 2


tergantung sosok tubuh
seorang kakak berambut dan beralis merah. Kea-
daan kakek itu memang sangat mengenaskan. Pa-
kaian hitam yang melekat di tubuhnya hancur ter-
cabik-cabik. Sedangkan tubuh kakek itu sendiri
dipenuhi luka mengerikan akibat cambukan rotan
berduri. Sementara darah mengucur dari setiap
luka yang ada di tubuhnya.
Di tempat itu ternyata si kakek tidak sendiri
karena tidak jauh dari pohon tempat di mana di-
rinya tergantung dengan posisi kaki menghadap ke
atas dan kepala menghadap ke bawah. Tampak
pula seorang gadis cantik berpakaian serba merah.
Di bagian pinggang gadis itu tergantung sebilah
pedang. Bagian rangka padang terbilang unik ka-
rena rangka itu tidak terbuat dari kayu atau besi
sebagaimana mestinya melainkan berasal dari po-
tongan tangan manusia. Sedangkan di tangan
sang dara tergenggam sebatang rotan berduri.
Agaknya benda itulah yang dipergunakan gadis
berpakaian serba merah ini untuk menyiksa si ka-
kek. Sejak tadi si gadis tidak henti-hentinya me-
mandang ke arah si kakek. Agaknya ia merasa he-
ran melihat daya tahan yang dimiliki oleh kakek
itu. Dan kini setelah sekian lama ia memperhati-
kan si kakek dengan tatapan dingin. Akhirnya dia
membuka mulut berkata. "Angin Pesut, ternyata selama ini nama besarmu hanya
kosong belaka. Gelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan di de-
panku tidak ada artinya sama sekali. Dulu guruku
pernah mengatakan bila bagian tubuhmu terpo-
tong dengan cepat bersambung kembali. Satu dari
dua yang dikatakan guruku telah kulakukan. Dan
kini tinggal satu lagi untuk menguji kebenaran ce-
rita itu. Aku sebenarnya sangat ingin memotong
tanganmu atau membuntungi kakimu supaya da-
pat kulihat apakah anggota tubuhmu yang telah
tercerai berai dapat menyambung kembali. Tapi
kuanggap hal itu kurang sedap jika tidak kulaku-
kan di depan guruku!" ujar si gadis yang adalah Indah Sari ini dengan suara
ketus. Kakek yang tergantung dan dalam keadaan
terluka cukup parah itu mengerang. Bibirnya yang
bengkak membiru itu berkata, "Indah Sari, segala yang dikatakan gurumu bukan
suatu kebohongan.
Terkecuali niatnya mengelabui dirimu selama ini.
Aku tidak mau melakukan apa yang bisa kulaku-
kan karena aku tahu kau adalah putriku, anakku
yang hilang!"
"Cukup!" hardik Indah Sari. "Sekali lagi kau mengaku-ngaku aku sebagai anakmu
aku pasti membunuhmu! Ketahuilah kedua orang tuaku te-
lah lama mati, bahkan mereka mampus sejak aku
masih kecil!" dengus sang dara dengan muka merah padam menahan kegeraman.
"Kalau itu katamu, aku tidak memaksa. Sa-
tu hal yang patut kau ketahui andai aku mau
membunuhmu bagiku hanya pekerjaan semudah
membalikkan telapak tangan. Biarpun tubuhmu
mengandung racun hal itu tidaklah begitu berarti
bagiku!" kata Angin Pesut.
Mendengar ucapan si kakek mendidihlah
darah gadis ini. Sungguh dia tidak habis mengerti
mengapa Angin Pesut yang sudah tidak berdaya
masih saja bisa bicara sombong. Padahal kini dia
sudah tak sanggup melakukan tindakan sekecil
apapun. "Angin Pesut, tua bangka keparat! Benarkah
kau dapat membunuhku" Hik hik hik!" Indah Sari tertawa dingin. Dengan tatapan
sinis dia melanjutkan ucapannya. "Mulutmu memang kelewat ta-
kabur kakek keparat. Jika aku tidak ingat dengan
pesan guruku, pasti saat ini aku telah membu-
nuhmu!" geram sang dara. Kemudian tanpa berka-ta apa-apa lagi gadis itu segera
melecutkan rotan
panjang yang dipegangnya sejak tadi. Begitu rotan
melibat pinggang si kakek sang dara langsung me-
nyentakkan tubuh Angin Pesut.
Dheel! Masih dalam keadaan terikat Angin Pesut
jatuh berdebum. Orang tua itu mengeluh. Indah
Sari tertawa tergelak-gelak. Tak berselang lama seperti orang kesetanan segera
menyeret tubuh si
kakek. Karena gadis itu mengerahkan ilmu lari ce-
patnya, tak ayal lagi tubuh Angin Pesut yang telah terluka itu membentur
bebatuan dan batang pepohonan. Angin Pesut benar-benar merasakan de-
rita hebat akibat perbuatan darah dagingnya sen-
diri. Setelah sekian lama Indah Sari berlari sam-
bil menyeret tubuh Angin Pesut yang sudah tidak
berdaya tiba-tiba sang dara menghentikan lang-
kahnya. Dia palingkan kepala ke belakang, kening
Indah Sari berkerut tajam. Dalam hati dia berkata.
"Aku merasakan ada orang yang membayangiku.
Tapi mengapa orangnya tidak kelihatan?"
Indah Sari menarik nafas, lalu berkata lagi.
"Aku tidak perduli. Siapapun yang coba-coba
menghalangiku pasti kubunuh!"
Beberapa saat sang dara menunggu, setelah
merasa yakin memang tidak ada orang yang men-
gikutinya dia pun segera balikkan badan dan siap
melanjutkan perjalanan kembali. Tapi alangkah
kagetnya gadis ini ketika melihat di depannya sana kini telah berdiri tegak
seorang kakek tua berambut kaku. Kakek itu berpakaian serba hitam ber-
badan tegak, sedangkan kepalanya selalu dige-
lengkan tak mau diam.
"Kakek keparat ini siapa dia adanya" Dia
muncul begitu saja seperti setan. Sedangkan aku
sendiri tidak mengetahuinya. Sungguh menakjub-
kan! Aku yang memiliki ilmu begini tinggipun tidak bisa mengetahui
kehadirannya!" fikir Indah Sari.
Namun rasa herannya cuma berlangsung sekejap.
Dia yang sejak kecil dididik untuk tidak mengenal
rasa takut pada siapapun segera membentak.
"Rambut macam ijuk. Aku tidak punya si-
lang sengketa denganmu, cepat menyingkir dari
hadapanku!"
Si kakek bukannya menuruti perintah sang
dara. Sebaliknya malah dongakkan kepala. Den-
gan kepala terus menggeleng tak mau diam seba-
gaimana kebiasaannya kakek itu tertawa tergelak-
gelak. Tak berselang lama begitu tawanya lenyap
si Kakek memandang lurus ke arah Indah Sari.
Dengan ketus dia berkata, "Aku Tapa Gedek tak pernah patuh pada perintah raja
apalagi perintah
rakyat jelata dan anak durhaka sepertimu. Ha ha
ha!" Mendengar ucapan si kakek Indah Sari jadi belalakkan matanya. Dia heran
bagaimana kakek
rambut kaku itu bisa mengatakan dirinya anak
Angin Pesut. Bahkan menuduh dia sebagai anak
yang durhaka" Agaknya yang tegak di depan sana
itu adalah sahabat Angin Pesut. Karena merasa
curiga Indah Sari kemudian ajukan pertanyaan.
"Kakek gila kau ini siapa" Ada hubungan apa kau dengan Angin Pesut?"
Sebelum menjawab pertanyaan orang kem-
bali si kakek mengumbar tawa. "Kau adalah seorang gadis yang cantik. Namun
sayangnya tuli.
Aku sudah mengatakan namaku Tapa Gedek. Hu-
bunganku dengan kakek hebat namun berlaku to-
lol itu seperti minyak dengan air. Yang jelas dia
bukan sanak bukan kadangku." jawab si kakek.
"Kalau bukan apa-apamu mengapa kau
membelanya?" hardik Indah Sari jengkel.
Tapa Gedek mengulum senyum. "Angin Pe-
sut sudah kesohor tentang segala kejahatan dan
rasa penyesalannya. Siapapun tahu kisah getirnya
akibat kehilangan anak. Dia telah mengatakan se-
galanya kepadamu. Mengapa kau masih tidak per-
caya?" Sang dara terdiam, wajahnya merah padam.
Jelas sekali saat itu dia sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Kakek itu
mengetahui se- mua pembicaraan antara dirinya dengan Angin Pe-
sut jelas ini merupakan pertanda si kakek telah
berada di sekitar sungai sejak lama.
"Tua bangka bermulut usil, kau sudah ter-
lalu jauh mencampuri segala urusanku. Kurasa
aku harus membungkam mulutmu!"
Tapa Gedek mengguman tidak jelas. Semen-
tara itu Angin Pesut yang sempat memperhatikan
kakek itu dengan matanya yang bengkak lebam
dengan suara perlahan namun jelas segera berka-
ta. "Orang tua, siapapun dirimu harap jangan
campuri urusan kami. Persoalan diantara kami
adalah masalah yang sangat pribadi. Tak boleh
ada orang luar yang ikut campur!" ujar Angin Pe-
sut mengingatkan.
"Walah, Angin Pesut. Siapa yang mencam-
puri persoalan dalam" Sejak tadi aku dengan gadis
itu juga membicarakan urusan luar, tidak sampai
ke dalam segala. Aku heran Angin Pesut! Dulu kau
adalah manusia jahat yang mudah menurunkan
tangan jahat tanpa pandang bulu siapapun la-
wanmu. Kejahatanmu selangit tembus. Bahkan
kalau di atas langit masih ada langit pasti tembus lagi. Sekarang mengapa hanya
menghadapi anak
yang durhaka ini kau tidak berdaya" Apakah se-
mua ini suatu pertanda ilmu yang kau miliki telah
rontok?" "Aku tidak mungkin jatuhkan tangan keras
pada anakku sendiri!" jawab si kakek.
Tapa Gedek kembali mengumbar tawa.
"Sampai, dunia kiamat kau mengaku dia sebagai anakmu, bocah itu tak bakal
mempercayainya. Karena jiwanya sejak kecil diracuni oleh musuh be-
sarmu sendiri! Angin Pesut, bersikap pasrah pada
ketentuan takdir itu memang sudah menjadi ke-
tentuan manusia. Tapi pasrah seperti yang kau la-
kukan ini adalah perbuatan tolol besar! Apakah
kau mau menunggu keajaiban dari langit, atau
kau sedang menunggu datangnya malaikat maut?"
tanya Tapa Gedek disertai seringai mengejek.
Indah Sari sendiri tidak bergeming. Sejak
kecil dari gurunya si gadis selalu mendapat gem-
blengan agar tidak mempercayai semua ucapan
orang terkecuali gurunya sendiri.
Karena itu apapun yang dikatakan baik oleh
Angin Pesut maupun Tapa Gedek tentang dirinya
dia sudah tidak mau mendengarnya lagi. Sebelum
Angin Pesut memberi tanggapan apa-apa atas
ucapan Tapa Gedek. Sang dara melangkah maju
dua tindak. Dengan suara lantang dia berkata.
"Orang tua jika kau tidak menyingkir dari hadapanku, tidak ada pilihan lain aku
pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha! Dengan apa kau membunuhku"
Dengan pukulan beracun atau dengan mengguna-
kan Pedang Tumbal Perawan?" tanya si kakek.
"Mengapa harus menggunakan pedang"
Dengan kedua tanganku ini aku sudah sanggup
membungkammu!" tegas sang dara. Baru saja ga-
dis ini selesai berucap dengan kecepatan laksana
kilat sosoknya melesat ke arah Tapa Gedek. Tan-
gan kanan menyambar wajah si kakek sedangkan
tangan kiri sang dara meluncur deras ke bagian
dada. Angin yang menyambar dari tangan sang
dara menebarkan bau busuk luar biasa pertanda
serangan yang dilancarkan lawan mengandung ra-
cun jahat. Tapa Gedek langsung menutup jalan
pernafasannya. Dia lalu jatuhkan tubuhnya, me-
mungut sepotong ranting, lalu bergulingan ke
samping. Sambil bergulingan ranting di tangan se-
gera dikibaskan ke atas.
Tak! Tak! Hantaman ranting yang keras mengandung
tenaga dalam tinggi membuat tangan Indah Sari
tersentak, gadis itu bahkan terhuyung namun ti-
dak sampai terjatuh. Hantaman ranting yang di-
lancarkan si kakek membuat kedua tangannya un-
tuk beberapa ketika seakan menjadi lumpuh, nyeri
dan panas luar biasa. Namun semua itu segera le-
nyap begitu sang dara salurkan tenaga dalamnya
ke bagian tangan.
Belum lagi Indah Sari siap dengan serangan
kedua, Tapa Gedek kini balas melancarkan seran-
gan yang tidak kalah dahsyatnya. Di tangan si ka-
kek ranting itu kini menjadi amat berbahaya.
Tetapi Indah Sari yang memiliki ilmu merin-
gankan tubuh serta gerakan cepat yang sudah
sangat sempurna itu secara mengagumkan dapat
menghindari serangan si kakek. Malah sang dara
kemudian melompat tinggi di udara, setelah itu
dengan gerakan cepat dia melepaskan tendangan
beruntun ke arah bagian kepala Tapa Gedek.
Si kakek menyadari betapa berbahayanya
serangan kaki Indah Sari. Jika tendangan sampai
menghantam kepala, dapat dipastikan kepalanya
hancur. Sebaliknya si kakek juga menyadari jika
dia menangkis serangan lawan. Tentu tangannya
yang dipergunakan untuk menangkis, pasti tan-
gannya keracunan karena sekujur tubuh gadis itu
memang mengandung racun jahat. Merasa tidak
punya pilihan lain sambil bergerak mundur meng-
hindari setiap tendangan lawan, Tapa Gedek mele-


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paskan pukulan 'Tiga Topan Menggulung Bumi'
serta pukulan 'Tanpa Ujud'. Tiga larik sinar biru
menderu dari tangan si kakek. Sedangkan dari
tangan yang satunya lagi melesat hawa yang amat
ganas luar biasa. Indah Sari yang tak pernah me-
nyangka lawan melepaskan dua pukulan sekaligus
jadi terkesiap. Dia mencoba menarik kedua ka-
kinya sekaligus lakukan gerakan jungkir balik un-
tuk menyelamatkan diri. Sayang tindakan yang di-
lakukan oleh sang dara kalah cepat dibandingkan
serangan lawan. Tak ampun lagi kedua pukulan
itu menghantam kaki kiri Indah Sari.
Tubuh sang dara jatuh terguling. Kakinya
yang terkena pukulan lawan seperti hangus. He-
batnya dengan penuh ketabahan dan sama sekali
tidak memperlihatkan rasa sakit yang dialaminya
dengan terpincang-pincang indah Sari bangkit
berdiri. Sejenak dia pandangi kakinya. Bagian kaki celananya sebelah bawah
ternyata hangus, kasut
kulit yang dipakainya juga hangus. Sang dara me-
nyeringai, sakitnya dirasakannya memang cukup
hebat, namun lebih hebat lagi kemarahan yang
melanda jiwanya.
"Kakek keparat! Kau telah melakukan suatu
kesalahan besar. Aku pasti tak bakal mengampuni
jiwamu!" geramnya.
"Ha ha ha! Siapa yang minta ampun pada
bocah ingusan sepertimu!" sahut si kakek sinis.
Dalam hati dia berkata. "Hari ini aku tidak ubahnya dengan memakan buah
simalakama. Bila ku-
serang dia dalam jarak rapat aku khawatir tubuh-
nya yang beracun dapat membahayakan jiwaku.
Sebaliknya bila aku menjaga jarak sama saja ar-
tinya dengan membuka kesempatan bagi dia un-
tuk melancarkan serangan-serangan dengan ju-
rus-jurus serigalanya! Mungkin sudah saatnya ba-
giku untuk menggunakan Ilmu pukulan
'Gelombang Naga'. Dengan begitu dia tak bakal
mempunyai kesempatan untuk menggunakan Pe-
dang Tumbal Perawan!"
Pada waktu begitu selesai laksana kilat In-
dah Sari memutar kedua tangannya di atas kepala.
Sepuluh jari berkuku runcing, berwarna hitam
mengandung racun itu berkelebat menyambar
atau menghantam dari atas ke bawah siap menca-
bik-cabik. Angin Pesut yang melihat jurus-jurus sang
dara dalam hati berkata. "Kakek berambut jabrik itu. Kurasa sulit baginya untuk
meloloskan diri da-ri serangan Indah Sari. Saat ini bocah itu telah
mengerahkan jurus 'Seribu Serigala Menyapa Ke-
gelapan'. Dugaan Angin Pesut memang tidak berlebi-
han. Begitu Indah Sari merangsak ke depan, Tapa
Gedek langsung bersurut langkah. Gempuran he-
bat yang dilakukan lawan membuat si kakek da-
lam beberapa gebrakan di depan jadi terdesak he-
bat. Malah ketika sang dara mencecar bagian pe-
rut Tapa Gedek kakek ini nyaris menjadi korban
cakaran lawan. Tapi dengan segala kegesitannya
ditambah tempaan pengalaman selama berpuluh-
puluh tahun membuat Tapa Gedek dapat melo-
loskan diri dari serangan sepuluh kuku lawannya.
Indah Sari mendengus geram. Dia terus me-
rangsak maju. Tiga kali tendangan berturut-turut
dilepaskannya. Si kakek melompat ke samping. Ti-
dak terduga begitu si kakek ini berkelit, sambil miringkan tubuhnya lima jari
tangan sang dara ber-
kelebat di bagian dada. Serangan tak terduga itu
tak dapat dielakkan oleh Tapa Gedek.
Breet! Baju di bagian dada robek besar. Tidak
hanya itu saja, kuku lawan sempat menggores ku-
lit, tembus ke bagian daging. Bukan cuma darah
berwarna merah kehitaman saja yang mengucur,
tapi sakitnya juga luar biasa. Tapa Gedek ter-
huyung, dia sadar adanya racun ganas yang ter-
dapat di dalam lukanya. Karena itu si kakek cepat
menotok beberapa nadi besar di sekitar bagian lu-
ka untuk mencegah menjalarnya racun ke jan-
tung. Selagi Tapa Gedek dibuat sibuk oleh lu-
kanya. Pada waktu itu pula Indah Sari yang mera-
sa berada di atas angin menerjang kembali sambil
melepaskan satu pukulan ke bagian kepala lawan-
nya. Cahaya hitam berkiblat menghantam kepala
Tapa Gedek di saat lawan hantamkan pukulannya.
Si kakek berseru kaget ketika secara tiba-tiba da-
patkan dirinya terbungkus sinar pukulan yang di-
lepaskan lawan. Akan tetapi dia yang sebelumnya
telah siap dengan pukulan 'Gelombang Naga' tidak
menjadi gugup. Dua tangan yang mendekap dada
segera dihantamkannya ke depan menyambuti
pukulan sang dara. Di depan sana Indah Sari jadi
tercekat saat merasakan tubuhnya seperti meng-
hantam tembok baja. Selain itu sayup-sayup dia
seperti mendengar pekikan aneh seperti suara na-
ga di tengah-tengah deru gelombang laut yang
menggila. Segala sesuatunya berlangsung cuma dalam
sekejapan saja. Begitu dirinya merasa menghan-
tam tembok baja, pada saat lain mendadak tubuh-
nya seperti dilamun badai topan menggila. Indah
Sari menggerung, lalu lipat gandakan tenaga da-
lam ke bagian tangan dan kembali menghantam ke
arah Tapa Gedek. Tetapi sehebat apapun dia men-
coba mendobrak serangan lawan. Tetap saja sang
dara tak sanggup bertahan.
Bagaikan pohon kering tubuh sang dara
tersapu angin dahsyat berhawa panas dan dingin
yang bersumber dari Pukulan Gelombang Naga.
Indah Sari jatuh terpelanting, lalu terguling-
guling dan terkapar tak jauh dari tempat Angin Pe-
sut tergeletak. Gadis itu jelas menderita cidera di bagian perut dan dada.
Sedangkan pakaiannya robek di beberapa bagian. Selagi Angin Pesut terke-
sima tak menyangka kakak berambut jabrik memi-
liki ilmu pukulan sehebat itu, Indah Sari yang terluka dan tak mau mengambil
resiko terhadap ke-
mungkinan bahaya-bahaya yang lebih besar cepat
bangkit berdiri. Kemudian dengan terbungkuk-
bungkuk dia menyambar rotan berduri yang diper-
gunakannya untuk menyeret Angin Pesut. Setelah
itu tanpa menunggu lebih lama Indah Sari berke-
lebat tinggalkan lawan sambil menyeret Angin Pe-
sut. "Anak durhaka hendak lari kemana kau?"
Tapa Gedek memaki. Dia cepat merogoh saku ce-
lananya, mengambil lima butir pil berbentuk bulat
berwarna merah. Kelima pil itu langsung ditelan-
nya. Beberapa saat setelah menelan obat tersebut
Tapa Gedek segera merasakan reaksinya. Bagian
dadanya yang terluka terasa panas bagai terbakar.
Tapa Gedek mengerang kesakitan. Dia jatuhkan
diri, lalu bersila. Tapa Gedek menarik nafas sambil pejamkan matanya.
"Aku harus memulihkan kondisi tubuhku
dulu. Gadis itu pasti pergi ke Kalimayat. Aku tidak mungkin mengejar dalam
keadaan seperti ini. Paling tidak aku membutuhkan waktu sepekan untuk
menyembuhkan luka beracun yang kuderita.
Huakh... aku hanya bisa berharap semoga ada
orang lain yang dapat menyingkirkan manusia-
manusia seperti Indah Sari dan gurunya!" batin Tapa Gedek. Habis berkata begitu
masih dengan mata terpejam si kakek salurkan tenaga sakti ke
bagian lukanya. Dari bagian luka terlihat ada uap
tipis kebiruan mengepul keluar. Si kakek mencium
bau seperti daging terbakar. Tapi dia tidak perduli, berkali-kali tenaga dalam
disalurkan ke bagian lu-ka tersebut.
4 Kemarau yang berkepanjangan membuat
Kalimayat kering kerontang. Sejauh mata meman-
dang dari arah hulu hingga ke hilir yang terlihat
hanya bebatuan sungai dan hamparan pasir me-
mutih bagaikan untaian mutiara yang gemerlapan
tertimpa cahaya matahari.
Sementara tak jauh di bagian hulu Kali-
mayat tepatnya di sebuah gua seorang nenek ber-
wajah angker berambut panjang riap-riapan du-
duk bersila menghadap ke arah sebuah perapian
yang berasal dari sumber api abadi. Sedangkan di
atas tungku perapian yang senantiasa mengobar-
kan api tersebut tergantung sebuah benda berben-
tuk empat persegi, terbuat dari batu tebal. Benda
dari batu tersebut bentuk yang sesungguhnya
sangat mirip dengan ayunan bayi, cuma ukuran
dan panjangnya saja yang lebih besar dan lebih
panjang. Sewaktu-waktu ayunan batu tersebut
bergerak turun naik memasuki lubang perapian
yang bagian dasarnya memiliki kedalaman satu
tombak. Anehnya setiap ayunan bata seukuran
tinggi orang dewasa itu masuk ke dalam liang ma-
ka api yang menyala-nyala yang keluar dari liang
perapian seolah-olah menjadi padam. Namun bila
ayunan batu bergerak naik ke atas apipun kembali
berkobar. Ke arah liang perapian abadi dan ayunan
batu tersebutlah perhatian si nenek tercurah sejak tadi. Entah berapa lama si
nenek tenggelam dalam lamunannya. Yang jelas kemudian si nenek
tersenyum sambil menarik nafas pendek. Sepa-
sang mata orang tua itu berkilat tajam ketika dia
teringat pada kejadian sekitar dua puluh lima ta-
hun yang lalu. "Saat pembalasan itu kini sudah hampir ti-
ba. Iblis jahanam itu harus tahu bagaimana ra-
sanya tidur dalam ayunan batu kemudian di pen-
dam dalam liang perapian. Liang Pemasung Suk-
ma... begitu dulu Angin Pesut memberi nama liang
perapian itu. Sekarang dia segera tahu tempat itu
bukanlah tempat yang nyaman untuk dijadikan
sebagai tempat ketiduran. Hik hik hik!" Setelah berkata begitu, si nenek kembali
terdiam. Semen-
tara tatapan matanya yang menyorot tajam me-
mandang lurus ke arah liang perapian yang dulu
pernah membuatnya nyaris celaka.
Dalam keadaan menunggu seperti itu agak-
nya menimbulkan rasa bosan bagi si nenek. Pe-
rempuan renta ini lalu pejamkan matanya. Tetapi
itupun tidak berlangsung lama. Mata setan si ne-
nek terbuka kembali begitu pendengarannya yang
tajam mendengar suara berkeresekan seperti ben-
da yang diseret dan dibawa lari cepat. Suara itu
datangnya jelas dari arah gua.
Agaknya biarpun belum tahu siapa orang
yang datang ke gua itu, namun dia punya penden-
garan yang baik. Terbukti si nenek kemudian
nampak sunggingkan seulas senyum kemenangan.
"Mudah-mudahan dia. Jika memang dia,
berarti usahaku dalam membesarkannya selama
ini tidaklah sia-sia. Hik hik hik!" si nenek tertawa perlahan.
Tawa si nenek kemudian lenyap karena di
depan pintu gua kini telah berdiri sosok seorang
gadis berpakaian serba merah. Pakaian gadis itu
tidak lagi utuh tapi robek di sana sini.
"Guru, aku datang menghadap!" kata si gadis setelah jatuhkan diri berlutut di
belakang si nenek. Nenek angker yang dikenal dengan julukan
Bayangan Maut sama sekali tidak menoleh. Dia te-
tap duduk sebagaimana tadi. Lama si nenek ter-
diam, barulah kemudian dia berkata. "Kau telah kembali, tapi apakah tugas yang
kuberikan kepadamu telah kau lakukan dengan semestinya?"
"Perintahmu telah kulaksanakan. Malah ji-
ka aku tidak ingat dengan pesanmu pasti aku te-
lah membunuhnya!" habis berkata begitu Indah
Sari sentakkan rotan di tangannya. Laksana kilat
sesosok tubuh melesat melewati bagian atas kepa-
la sang dara lalu jatuh bergedebukan persis di de-
pan si nenek. Sosok yang baru terjatuh itu menge-
rang, dia mencoba menggerakkan tangan dan ka-
kinya yang terikat, tapi usahanya tidak membawa
hasil. "Ha ha ha ha! Angin Pesut.... akhirnya kau bertekuk lutut di bawah kaki
muridku. Sekarang
apakah kau masih mengenali diriku?" tanya si nenek sambil bangkit berdiri.
Setelah itu dia meng-
hampiri Angin Pesut. Dengan sikap penuh kesom-
bongan diinjaknya dada si kakek. Perlahan Angin
Pesut membuka matanya yang bengkak dan lebam
membiru. Dengan susah payah dipandanginya pe-
rempuan tua itu. Angin Pesut menyeringai.
"Aku tak bakal melupakanmu Ni Pambayon.
Bagaimana aku bisa melupakan pembunuh orang
tuaku sendiri?" sahut si kakek.
"Bagus! Sekarang kulihat kau tidak berdaya
Angin Pesut" Padahal baru muridku yang turun
tangan. Hik hik hik!"
"Muridmu.... bukankah muridmu itu adalah
anakku" Anak yang kau culik belasan tahun yang
lalu?" tanya Angin Pesut.
"Hik hik hik! Aku tidak pernah menculik
anakmu." Dengus Ni Pambayon alias Bayangan
Maut berbohong. "Kau salah besar jika menyangka Indah Sari adalah anakmu!" tegas
si nenek dengan
suara keras. Hal ini memang disengaja agar mu-
ridnya ikut mendengar segala apa yang di-
ucapkannya.

Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha! Sepanjang hidup boleh saja kau
berdusta Ni Pambayon. Tapi sebagai orang tua aku
tak dapat ditipu. Terlebih-lebih setelah melihat no-da tahi lalat di punggung
Indah Sari."
"Puah... kau boleh saja menyebut seribu
tanda. Cuma perlu kau ketahui ketika aku men-
gambilnya sebagai murid, orang tua Indah Sari te-
lah meninggal terserang wabah penyakit aneh!" tegas si nenek.
Meskipun Angin Pesut tahu Indah Sari me-
mang anaknya. Namun karena si nenek tetap ngo-
tot akhirnya dia berkata. "Baiklah Ni Pambayon.
Kurasa cuma Tuhan yang tahu kebenaran dari
semua pengakuanmu. Lalu sekarang kau mau
apa?" tanya si kakek.
Bayangan Maut tidak menjawab. Perem-
puan tua itu kitarkan pandangan matanya ke se-
genap penjuru ruangan gua. Barulah setelah itu
perhatiannya tertuju ke arah liang tungku pera-
pian. "Puluhan tahun yang lalu kau pernah
membawaku ke tempat ini. Kau tahu apa yang kau
lakukan pada diriku, Angin Pesut?" tanya si nenek.
Angin Pesut diam-diam jadi terkesiap. Tanpa sadar
dia menoleh dan menatap ke arah liang perapian
dimana pada bagian atasnya tergantung sebuah
ayunan batu yang dapat digerakkan turun naik.
"Celaka... perempuan ini pasti berniat men-
jebloskan aku ke dalam Liang Pemasung Sukma."
batin si kakek. "Harapanku untuk menyadarkan
Indah Sari agaknya tinggal harapan. Semua per-
juanganku sia-sia, kini paling tidak aku masih
punya kesempatan untuk menyelamatkan diri!" fikir si kakek.
Diam-diam Angin Pesut mengerahkan ajian
saktinya untuk melenyapkan luka-luka yang dia
derita. Satu perubahan tidak terduga kemudian
segera terjadi. Sekujur permukaan kulit si kakek
mengepulkan asap tipis. Bayangan Maut kelua-
rkan suara kaget ketika melihat bagaimana luka-
luka yang terdapat di seluruh tubuh Angin Pesut
lenyap. Untuk menjaga segala sesuatu dari ke-
mungkinan lolosnya Angin Pesut si nenek segera
jentikkan tangannya ke arah tiga bagian tubuh
Angin Pesut. Berturut-turut dari ujung jemari tan-
gannya si nenek melesat lima larik sinar biru
menghantam tubuh Angin Pesut.
Tess! Tess! Angin Pesut mengeluh tertahan ketika han-
taman sinar tersebut membuat sekujur badannya
mendadak menjadi kaku tak dapat digerakkan.
"Hik hik hik! Kau boleh sanggup menyem-
buhkan luka-lukamu dengan Ilmu setanmu Angin
Pesut. Tapi kau tak bakal kubiarkan lolos Liang
Pemasung Sukma telah menantimu. Sekarang su-
dah waktunya bagimu untuk menerima pembala-
san dariku!" dengus si nenek.
Sementara itu di belakang sana di depan
mulut gua Indah Sari tentu saja terperangah meli-
hat Angin Pesut dapat sembuh dari luka-lukanya
secepat itu. "Tak kusangka kakek itu ternyata
memang mempunyai ilmu setan. Kulihat luka di
tubuhnya bertaut kembali. Mengapa proses pe-
nyembuhan itu tidak dilakukannya ketika aku me-
lakukan berbagai penyiksaan?" fikir Indah Sari.
"Apakah mungkin dia memang ayahku" Ah...tidak, aku tidak pernah memiliki ayah
sejahat itu!"
Dalam kesempatan itu Angin Pesut berkata.
"Ni Pambayon, rupanya hukuman pendam di da-
lam liang perapian selama bertahun-tahun tidak
juga menyadarkan dirimu. Tidak hanya itu saja
kau kemudian melakukan perbuatan salah kaprah
dengan meracuni jiwa seorang anak yang tidak
berdosa!" "Kau tidak usah membual Angin Pesut. Kau
juga tak perlu mempengaruhi muridku dengan
mengaku sebagai ayahnya. Sekarang meskipun
kau sanggup menyembuhkan luka-lukamu, kau
tak bakal lolos dari Liang Pemasung Sukma." dengus Bayangan maut. Begitu selesai
berucap si ne- nek berpaling ke arah muridnya. Setelah itu dia
berkata. "Indah Sari. Cepat bantu aku memasukkan bangsat terkutuk itu ke dalam
ayunan batu. Biar dia rasakan betapa pedihnya dipendam di da-
lam Liang Pemasung Sukma!"
"Guru... demi baktiku kepadamu, apapun
pasti kulakukan! Sekarang muridmu ini siap me-
lakukan perintah!" sahut Indah Sari. Dengan cepat gadis itu menghampiri Angin
Pesut. Kemudian dia
berdiri tegak di depan si kakek. Sekilas dia mena-
tap ke arah Angin Pesut, namun ketika si kakek
menatapnya dengan sorot mata penuh rasa belas
kasih sang dara cepat palingkan kepala dan me-
mandang ke jurusan lain.
Sementara itu tanpa menunggu lebih lama
lagi Bayangan Maut segera menekan salah satu
tonjolan batu yang berfungsi sebagai alat untuk
menggerakkan ayunan.
Begitu tombol batu diinjak terdengarlah su-
ara bergemuruh dahsyat tidak ubahnya sedang
terjadi gempa hebat. Ayunan batu yang tergantung
di atas liang perapian bergerak turun dan jatuh di samping lubang menganga
tersebut. "Angin Pesut. Jika dulu kobaran api di
Liang Pemasung Sukma tidak bisa menghan-
guskan tubuhku. Maka kini yang terjadi adalah
sebaliknya. Aku telah memasukkan suatu cairan
yang membuat Liang Pemasung Sukma menjadi
panas berlipat ganda. Jangankan hanya tubuh
manusia, besi sekalipun bisa meleleh. Hik hik hik!"
"Perempuan keparat! Manusia keji durjana
pembunuh orang tuaku. Dosamu tak bakal kuam-
puni. Tidak hanya itu saja aku pasti akan mem-
bunuhmu!" teriak Angin Pesut dan untuk pertama kalinya setelah dirinya bertobat
kini si kakek telah kehilangan kesabarannya.
"Tua bangka keparat! Berani kau mengan-
cam guruku, terimalah tendanganku!" habis berkata begitu Indah Sari melepaskan
satu tendangan ke bagian perut Angin Pesut.
Buuk! Si Kakek meskipun telah melindungi tu-
buhnya dengan pengerahan tenaga dalam tetap sa-
ja merasakan suatu derita sakit yang luar biasa.
"Anak durhaka yang melupakan asal usul,
jika kau tidak dapat menggunakan otakmu untuk
membedakan mana yang benar dan mana yang sa-
lah. Aku bersumpah atas nama Gusti Allah
umurmu pasti tak bakal lama!" rutuk si kakek.
Tapi tak kalah sengitnya Indah Sari menja-
wab. "Aku tidak punya orang tua sepertimu. Kau sudah menjadi penyebab biang
kesengsaraan guruku, karena itu sekarang sudah selayaknya kau
menerima balasan dari semua perbuatanmu!" Se-
telah bicara begitu sang dara berpaling dan me-
mandang ke arah Bayangan Maut sambil berkata.
"Guru... aku sudah tidak sabar untuk memasuk-
kannya ke dalam ayunan batu."
"Hik hik hik! Kau benar muridku, sekarang
gurumu ini telah gatal tangan untuk melakukan
tugas. Mari kita angkat dia!" tegas si nenek. Tanpa menunggu lebih lama murid
dan guru itu segera
menggotong Angin Pesut. Begitu si kakek dima-
sukkan ke dalam ayunan maut tersebut dia mera-
sakan sekujur tubuhnya panas bukan main seper-
ti dipanggang. "Celaka...! Satu-satunya untuk mengatasi
ajian panas di dalam liang itu hanya dengan men-
gerahkan ajian Selimut Es. Tapi seberapa lama
aku bisa bertahan. Saat ini aku bukan saja dalam
keadaan terikat tapi juga tertotok. Bagaimana pun
aku harus berusaha membebaskan diri. Anakku
sudah tidak dapat lagi diharapkan kesadarannya.
Biarpun begitu aku harus mencari kesempatan
untuk meloloskan diri!" batin si kakek.
"Angin Pesut, sekarang kau rasakanlah be-
tapa nyamannya berada di dalam pendaman Liang
Pemasung Sukma. Sekejap lagi kau akan menjadi
daging panggang hangus yang tidak berguna! Hik
hik hik!" Selesai berucap si nenek dan muridnya segera tinggalkan Angin Pesut.
Dia kemudian menekan tonjolan batu yang berfungsi sebagai niat
penggerak ayunan batu. Kemudian tombol batu di-
tekan maka ayunan batu terangkat naik setelah
posisinya tepat berada di mulut perapian abadi
yang dikenal dengan nama Liang Pemasung Suk-
ma itu. Ayunan batu itupun dengan cepat bergerak
turun memasuki liang perapian. Kobaran api men-
dadak lenyap, sebaliknya api kini membakar ayu-
nan batu dimana Angin Pesut terbaring.
Panas luar biasa yang membakar bagian
bawah ayunan batu dalam waktu sekejap menjalar
kemana-mana. Angin Pesut meraung dan menjerit
kesakitan. Dalam waktu sekejap seiring dengan le-
nyapnya ayunan batu dari pandangan mata seku-
jur tubuh Angin Pesut basah bersimbah keringat.
Tapi biarpun derita siksa sedemikian hebat si ka-
kek masih dapat menggunakan otak cerdiknya.
Diam-diam dia kerahkan ilmu ajian Selimut Es un-
tuk melindungi diri dari pengaruh sengatan panas
yang membakar ayunan batu juga dirinya.
Angin Pesut sadar pengerahan ajian secara
terus menerus tak mungkin dapat dilakukannya.
Tapi dengan menggunakan ajian pelindung tubuh
dari sengatan panas luar biasa paling tidak telah
memberinya kesempatan dan waktu untuk menca-
ri jalan meloloskan diri.
Sementara itu Bayangan Maut tampak me-
rasa puas begitu berhasil menjebloskan orang
yang sangat dibencinya ke dalam Liang Pemasung
Sukma. Dengan disertai seringai sinis dia berkata.
"Jahanam tua yang mengaku sebagai ayahmu itu
pasti segera mampus tak lama lagi. Muridku seka-
rang alangkah baiknya jika kita keluar dari gua ini.
Kau harus menceritakan bagaimana caranya me-
ringkus Angin Pesut!"
"Meringkus kakek gila itu tidaklah sesulit
yang kau bayangkan guru. Cuma ketika aku
membawanya kemari aku mendapat satu rintan-
gan besar."
"Rintangan besar apakah?" tanya Bayangan Maut sambil melangkah meninggalkan
ruangan gua. Indah Sari menjawab. "Guru tentu sudah
melihat keadaanku yang begini rupa. Semua ini
terjadi akibat ulah seorang kakek bernama Tapa
Gedek." Mendengar ucapan muridnya si nenek ke-
rutkan kening. "Tapa Gedek" Aku belum pernah
mendengar nama itu. Kulihat bukan hanya pa-
kaianmu saja yang hancur, kulihat kasut mu juga
rusak. Bagaimana ciri-ciri orangnya?" tanya si nenek. Dengan perasaan masih
memendam geram akibat kekalahannya ketika menghadapi Tapa Ge-
dek dia menerangkan ciri-ciri si kakek. Nenek itu
manggut-manggut. "Kau tak usah berkecil hati. Ji-ka pada waktu itu kau sempat
mempergunakan Pedang Tumbal Perawan yang tergantung di ping-
gangmu itu. Aku yakin kakek yang bernama Tapa
Gedek itu tak bakal dapat menyelamatkan diri
meskipun dia menggunakan seribu ilmu hebat."
ujar si nenek. "Tapi aku masih penasaran guru. Kakek itu
mempunyai ilmu aneh yang membuatku hampir
celaka!" ujar sang dara.
Bayangan Maut tersenyum sinis. Dia kemu-
dian membelai kepala muridnya. Tak berselang
lama murid dan guru itu lenyap dari pandangan
mata setelah sosok mereka melewati pintu gua.
5 Tak jauh dari tebing curam yang terdapat di
Kalimayat, kakek gendut berpakaian hitam tak
terkancing itu sejak tadi terus menerus meman-
dang ke arah gua. Sesekali si kakek gendut besar
mengusap wajahnya yang keringatan. Setelah itu
dia kembali mendekam di balik pohon besar, se-
dangkan mulutnya berkata: "Orang yang diseret oleh gadis berbaju merah tadi aku
yakin adalah Angin Pesut. Jika memang benar dugaanku men-
gapa Angin Pesut berlaku tolol. Dia memiliki ilmu
kesaktian tinggi. Padahal jika Angin Pesut meng-
gunakan salah satu ilmu simpanannya, aku yakin
gadis itu tak bakal bisa meloloskan diri bukan ma-
lah sebaliknya. Dasar kakek tolol, kurasa dia me-
milih mengambil sikap mengalah agar anaknya
mau menyadari bahwa sebenarnya Angin Pesut
adalah orang tua gadis itu. Tolol... sungguh tolol.
Bagaimana gadis itu mau mengakui dia sebagai
orang tua jika sejak kecil bocah itu berada dalam
didikan musuh besarnya?" batin si kakek. Setelah terdiam sejenak sambil garuk-
garuk keningnya
yang lebar si kakek gendut yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa guru Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon ini kembali julurkan kepala. Sepasang mata
si kakek yang bulat bundar memandang tak ber-
kesip ke arah mulut gua yang sunyi. Kemudian si


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gendut bicara sendiri. "Apa yang terjadi di dalam gua itu. Apakah Angin Pesut
sudah tewas atau dia
menjadi betah karena bertemu dengan bekas ke-
kasihnya?" Kakek Gentong Ketawa gelengkan ke-
pala. Dia tidak yakin Bayangan Maut mau men-
gampuni jiwa bekas dedengkot tokoh sesat itu.
Apalagi urusannya menyangkut persoalan den-
dam. Lalu apa yang harus dia lakukan kini" Satu-
satunya kemungkinan untuk menolong Angin Pe-
sut adalah dengan cara menyerbu ke dalam gua.
Tapi si kakek nampak meragu. "Kudengar Bayan-
gan Maut adalah manusia yang sangat berbahaya.
Jika aku menyerbu ke dalam, boleh jadi Bayangan
Maut dan muridnya menyerangku secara tiba-tiba.
Kalau mereka menyerangku dari dalam nasibku
bisa konyol, mati penasaran sebelum dapat meno-
long kakek goblok Angin Pesut." kata si gendut.
Di tengah-tengah keraguannya itu si gendut
tiba-tiba belalakkan mata ketika melihat dari mu-
lut gua keluar dua sosok tubuh. Satu diantaranya
yang berpakaian merah adalah gadis yang tadi
menyeret Angin Pesut. Sedangkan satunya lagi
seorang nenek berpakaian hitam. Kakek Gentong
Ketawa menduga, nenek yang bersama gadis ber-
baju merah itu pastilah guru sang dara yang ber-
gelar Bayangan Maut. "Mereka telah keluar, tapi aku tidak melihat Angin Pesut
ada diantara mereka. Mungkinkah kakek itu telah mereka bunuh"
Hemm.... aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Apapun yang telah terjadi atas diri kakek malang
tersebut aku harus mengetahuinya. Sekarang se-
lagi mereka duduk di depan mulut gua, aku akan
membuat suatu kejutan!" berfikir begitu si gendut siap keluar dari tempat
persembunyiannya, namun belum lagi si gendut sempat mendadak son-
tak terdengar suara gemuruh hebat yang datang
dari arah sebelah selatan Kalimayat. Selagi si gendut dibuat terkesima dan belum
tahu gerangan apa kiranya yang mengeluarkan suara aneh laksa-
na gempa. Dari arah hulu sungai yang kering ke-
rontang muncul satu sosok yang tingginya menca-
pai pucuk pohon. Sosok itu bukan saja bertubuh
tinggi, tapi juga memiliki badan yang sangat besar seperti raksasa. Setiap
kakinya menindak selalu
mengeluarkan suara gemuruh dan guncangan pa-
da tanah yang dipijaknya. Melihat kehadiran sosok
raksasa itu si gendut jadi terkagum-kagum sendiri.
"Ada manusia setinggi dan sebesar itu. Apakah mungkin dia termasuk salah satu
korban pukulan beracun Perubah Bentuk" Lalu apa yang hendak
dilakukannya di tempat ini?" kata si kakek seorang diri. Si kakek urungkan
niatnya, dia menunggu gerangan apa kiranya yang bakal terjadi.
Sementara begitu muncul diri, raksasa be-
rusia sekitar hampir enam puluh tahun ini dengan
langkah lebar langsung berjalan menuju mulut
gua. Langkah laki-laki itu baru terhenti sepuluh
tombak di depan gua begitu dia melihat orang yang
dicarinya berada disitu bersama seorang gadis
yang tidak dikenalnya. Dengan mulut menyeringai
dan tatapan nyalang si kakek raksasa berteriak.
"Bayangan Maut manusia jahanam! Seperti yang
telah kuduga setelah membunuh istriku ternyata
kau bersembunyi di Kalimayat ini. Kau pasti men-
gira aku tak bakal mengejarmu bukan?" kata raksasa itu dengan suara menggeledek.
Gentong Ke- tawa buru-buru menutup pendengarannya yang
pengang akibat teriakan sang raksasa. "Raksasa gila, teriak tidak kira-kira.
Untung tidak ada orang hamil disini. Jika tidak bisa melahirkan mendadak."
gerutu si gendut dengan mulut cemberut.
Sementara itu Bayangan Maut dan murid-
nya sudah tegak berdiri. Indah Sari langsung me-
nutup telinganya yang pengang. Sedangkan
Bayangan Maut dengan sikap tenang sambil ber-
kacak pinggang setelah mengumbar tawa segera
menyahuti. "Senggana... bagimu masih terbuka
kesempatan untuk hidup. Mengapa kau datang
mencari penyakit?" Manusia raksasa yang berna-ma Senggana dongakkan kepala, dari
mulutnya keluar suara menggeram. Lalu dengan penuh rasa
benci Senggana berkata. "Bagiku penyakit telah datang sejak dulu. Kedatanganku
kemari adalah untuk mengambil jiwa busukmu!" tegas si kakek.
"Ah, apakah kau telah kehilangan minat un-
tuk minta obat penawar racun Perobah Bentuk?"
tanya si nenek disertai senyum sinis.
"Racun Perobah Bentuk. Keadaanku sudah
terlanjur begini. Keinginan untuk menyembuhkan
diri telah lenyap begitu istriku terbunuh di tan-
ganmu!" "Hik hik hik. Apa kau mengira jika istrimu
masih hidup kau punya harapan untuk menda-
patkan obat penawar racun" Huh... ketahuilah,
Angin Pesut barang kali saat ini sudah mampus
menjadi arang karena aku telah menjebloskannya
ke dalam Liang Pemasung Sukma!" kata Bayangan Maut. Sang raksasa kembali
memperlihatkan seringai dingin. "Aku sudah menduganya Ni Pam-
bayon. Kau memang manusia segala keji yang ti-
dak layak hidup lebih lama lagi di dunia ini!"
"Kakek sialan! Jangan sekali-kali mencoba
menghina guruku, karena aku pasti tidak tinggal
diam!" kata Indah Sari. Senggana menatap sang dara dengan sorot mata angker
penuh rasa tidak
suka sedangkan Bayangan Maut melalui ilmu me-
nyusupkan suara memberi peringatan pada mu-
ridnya. "Hati-hati muridmu, dia memiliki tenaga sepuluh kali lebih besar dari
manusia biasa. Aku
sendiri hampir kena dicelakainya. Tapi kau tak
perlu risau, kurasa jika keadaan memaksa kita bi-
sa membasahi pedang Tumbal Perawan yang ada
di pinggangmu dengan darahnya!" Indah Sari anggukkan kepala. Senggana yang
memang tidak ken-
al pada gadis berbaju merah itu dengan suara se-
rak namun tetap menyengat telinga berucap.
"Kau masih muda bocah. Gurumu itu ada-
lah nenek gila yang punya dendam selangit tembus
pada Angin Pesut. Selama ini kau telah ditipunya
mentah-mentah. Jika kau mau menurut apa kata-
ku, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan
kami. Pergilah dari tempat ini selagi masih ada kesempatan!" ujar Senggana.
Rupanya meskipun
saat itu Senggana tengah dilanda kemarahan be-
sar akibat kematian istrinya yang telah dibunuh
Bayangan Maut, namun kiranya dia tidak mau
melibatkan gadis itu. Tetapi sayang secara tak terduga niat baik manusia raksasa
itu oleh si gadis
ditanggapi dengan penuh kegusaran. Dengan gu-
sar pula dia mencabut pedang miliknya yang ter-
gantung di bagian punggung. Lalu sambil menyi-
langkan pedang di depan dada Indah Sari berseru.
"Kakek raksasa, seperti Angin Pesut rupanya kau juga manusia gila. Kau tidak
usah memberi nase-hat padaku. Bagiku aku rela mati demi membela
guruku. Karena itu saat ini aku merasa punya ke-
wajiban untuk mewakilinya!" selesai berkata begitu sang dara tiba-tiba
lentingkan tubuhnya ke udara.
Sadar lawan memiliki tinggi badan lima kali lipat
dengan tinggi tubuhnya sendiri, maka Indah Sari
pun menyerang lawan dengan mengandalkan ilmu
mengentengi tubuhnya yang sudah sangat sem-
purna. Setelah tubuh sang dara berada di atas ke-
tinggian, dengan gerakan cepat dia memutar tu-
buhnya baru kemudian melesat lalu babatkan pe-
dang di tangannya ke arah Senggana. Orang tua
itu sadar meskipun si gadis masih begitu muda,
tapi dia pasti memiliki ilmu kesaktian tak jauh di-bawah gurunya. Itulah
sebabnya begitu melihat
sinar putih menyambar ke bagian wajah dan teng-
gorokannya manusia raksasa ini segera melompat
mundur sejauh satu langkah, kemudian tangan-
nya ditarik ke atas setelah itu dengan cepat segera di hantamkannya ke bagian
kepala sang dara.
Singg! Wuut! Pedang sang dara melenceng dari sasaran
karena begitu dia mendengar suara menderu yang
datang dari bagian atas kepala gadis ini juga ter-
paksa selamatkan kepala dari hantaman lawan.
Tiga kali Indah Sari lakukan gerakan berjumpali-
tan. Dilain waktu dia jejakkan kakinya di atas ta-
nah. Gadis ini tidak menunggu lebih lama, begitu
melihat lawan julurkan tangannya. Dia menyerbu
ke depan. Yang menjadi sasaran adalah bagian
kaki Senggana. Si kakek keluarkan seruan kaget
ketika merasakan sambaran angin dingin disertai
berkelebatnya sinar putih bergulung-gulung mela-
brak bagian kaki. Cepat kakinya yang menjadi sa-
saran pedang lawan diangkat. Begitu lawan berada
di bawah telapak kakinya si kakek segera hentak-
kan kakinya. Sekali serangan Senggana mengenai
sasaran dapat dipastikan tubuh Indah Sari amblas
ke dalam tanah dan remuk seketika.
Tapi pada saat itu gurunya berteriak. "Indah
Sari, awas dari atasmu."
Sang dara tak sempat memandang ke atas,
namun dia sadar akan bahaya yang mengancam-
nya. Sambil memaki sang dara segera jatuhkan di-
ri, lalu bergulingan hindari hantaman kaki lawan.
Blaaaarr! Tanah tempat dimana Indah Sari tadi berpi-
jak amblas, terjadi guncangan yang sangat keras.
Si nenek yang mengawasi berlangsungnya perke-
lahian antara murid dan raksasa itu nampak lim-
bung. Sedangkan Gentong Ketawa yang juga turut
mengawasi perkelahian sengit yang terjadi meng-
gerutu. "Raksasa itu agaknya memiliki kesaktian tinggi. Tapi aku khawatir jika
Bayangan Maut ikut
melakukan penggeroyokan, dia tak bakal dapat
meloloskan diri dari kematian. Aku harus bersikap
waspada. Jika Bayangan Maut berlaku curang aku
juga tak bakal tinggal diam menonton atau jadi
orang tolol. Senggana perlu dibantu." batin si kakek. "Tapi biar bagaimanapun
Angin Pesut tidak boleh mati begitu saja. Bayangan Maut tadi sempat mengatakan
pada manusia raksasa itu bahwa
Angin Pesut kemungkinan telah menemui ajal
menjadi arang yang tidak berguna. Akh ... tololnya aku, mengapa tak kupergunakan
saja kesempatan
ini. Selagi Bayangan Maut lengah, aku bisa mela-
kukan pemeriksaan di dalam gua!"
Setelah mengambil keputusan begitu, kakek
Gentong Ketawa segera berkelebat menuju ke arah
gua. Tapi rupanya kemunculan si kakek kiranya
sempat diketahui oleh Bayangan Maut.
"Tamu tak diundang, berani kau masuk ke
dalam gua jiwamu tak bakal kuampuni!" bersa-
maan dengan bentakan si nenek dia dorongkan
kedua tangannya ke arah sosok si gendut yang
saat itu tak pernah menduga mendapat serangan
seperti itu keluarkan seruan kaget. Karena posi-
sinya mengambang di atas ketinggian begitu se-
rangkum hawa dingin menebar bau tak sedap me-
labrak tubuhnya, membuat si kakek jadi kehilan-
gan keseimbangan. Jungkir balik dalam gerakan
kalang kabut si kakek berputar-putar di udara.
Tak urung dia masih dapat jatuhkan diri dengan
kedua kaki menjejak tanah terlebih dulu.
Kini si kakek berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Sementara perkelahian antara Indah Sa-
ri dan Senggana berlangsung makin sengit, seba-
liknya Bayangan Maut terkesima melihat kehadi-
ran kakek gendut berwajah bundar berpipi tem-
bem yang satu ini.
"Apa yang hendak kau lakukan di dalam
gua hingga kau mencoba memasukinya?" tanya
Bayangan Maut curiga.
Si Gendut unjukkan sikap seperti orang ti-
dak bersalah, enteng saja dia menjawab:"Aku masuk kemana saja ku suka perlu apa
kau tahu?"
"Kau ini siapa?" tanya si nenek yang merasa geram mendengar jawaban si gendut.
Si kakek bersikap acuh. Dia pura-pura me-
mandang ke arah perkelahian dimana Indah Sari
saat itu jatuh terjengkang akibat terkena jotosnya Senggana. Gadis itu cepat
bangkit berdiri, selan-jutnya kembali menyerbu ke arah lawan dengan
serangan yang amat berbahaya.
Sekilas saja si kakek memandang ke arah
itu, seolah bosan dia layangkan pandang ke arah
si nenek sambil berkata: "Jika kau mau mengenal siapa diriku cepat bebaskan dulu
Angin Pesut!"
"Hah ....!" si nenek terperangah. Dengan mata mendelik dia ajukan pertanyaan:
"Kau memintaku membebaskan Angin Pesut dari Liang
Pemasung Sukma" Hik ...hik ...hik!" Bayangan
Maut tertawa mengikik. "Kau ini siapa" Kerabatnya atau sahabatnya?"
"Aku boleh dikatakan orang yang bersimpati
atas nasib buruk yang menimpanya." sahut si
gendut. Seperti orang tolol orang tua itu lalu ikut-ikutan tertawa.
"Ketahuilah, Angin Pesut mungkin sekarang
sudah mampus. Buat apa kau mengurusi manusia
terkutuk seperti dia"!" hardik Bayangan Maut
sambil unjukkan muka garang. Sebaliknya kakek
Gentong Ketawa menyibukkan diri dengan mengu-
sap wajahnya yang selalu berkeringat. Selanjutnya
dengan mulut terpencong dia berucap. "Nenek ga-lak, kurasa yang keparat itu
adalah dirimu. Di du-
nia ini mana ada orang yang tega memisahkan


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak dari bapaknya. Bukankah gadis itu sesung-
guhnya adalah anak Angin Pesut. Tapi dengan ak-
al bulusmu kau menipunya sejak bocah itu masih
kecil!" "Gendut kurang ajar. Buat apa kau mencampuri urusanku" Persoalanku
dengan Angin Pe-
sut menyangkut urusan pribadi, orang luar tak bo-
leh campuri" hardik si nenek.
"Ha ha ha. Nenek sinting, keinginanku ma-
suk ke dalam gua juga menyangkut kepentingan
pribadi, mengapa kau menghalangiku?" Si nenek menjadi gusar mendengar jawaban
Gentong Ketawa. Dia berfikir si gendut itu kalau dilayani omongan lama kelamaan
dirinya bisa ikutan menjadi gi-
la karena itu dengan geram dia berkata.
"Gendut berhidung pesek, kau boleh meli-
hat ke dalam gua, kau juga kuizinkan menjenguk
Angin Pesut di dalam Liang Pemasung Sukma,
namun kau harus meninggalkan kepalamu dulu di
sini!" Di luar dugaan kakek Gentong Ketawa menyahuti. "Kau menginginkan kepalaku
nek" Buat apa, lagipula kepala tanpa badan tidak ada gunanya. Lalu kepala yang
sebelah mana yang kau
inginkan" Ha ha ha!"
"Kau benar-benar gendut gila. Memangnya
kepalamu ada berapa bangsat!" damprat si nenek marah. Gentong Ketawa yang merasa
tidak punya kesempatan masuk ke dalam gua sebelum dapat
merobohkan Bayangan Maut segera menanggapi.
"Ha ha ha! Aku lupa aku punya berapa, coba kau hitung saja sendiri!" kata si
kakek diselingi tawa bergelak.
Merah padam wajah Bayangan Maut begitu
menyadari arti ucapan si kakek, hilang pula kesa-
barannya. Tanpa bicara lagi dan tidak membuang
waktu si nenek tiba-tiba keluarkan satu jeritan
melengking. Bersamaan dengan terdengarnya sua-
ra jeritan perempuan itu sosoknya berkelebat lak-
sana kilat. Dua kaki secara beruntun lepaskan se-
rangkaian tendangan secara susul menyusul. Ber-
samaan dengan tendangan yang dilepaskannya si
nenek juga lancarkan pukulan berupa jotosan
dengan menggunakan tangan kiri, sedangkan tan-
gan kanan dengan jemari terkembang menyambar
bagian wajah. Kakek Gentong Ketawa begitu melihat se-
rangan itu sebenarnya sempat dibuat terkejut. Be-
lum pernah dia melihat seorang lawan dapat me-
lancarkan serangan secara bersamaan dengan ke-
cepatan seperti itu. Namun dasar kakek konyol
sambil melompat selamatkan diri dia masih sem-
pat menggumam. "Hebat kurasa inilah jurus nenek moyang serigala. Tak kusangka
rupanya kau masih punya hubungan dengan mahluk menjijikkan
itu. Serigala tua sambutlah gebukanku!" berkata begitu si gendut hantarkan
tangan kirinya menangkis tendangan Lawan. Sementara tangan kiri
berusaha lancarkan totokan di bagian bawah ke-
tiak Bayangan Maut.
Duuk! Benturan keras antara tangan dan kaki la-
wan membuat tubuh si kakek tergetar. Sebaliknya
si nenek juga keluarkan seruan kaget. Tubuhnya
yang mengapung di udara sempat terdorong mun-
dur, tapi lebih celaka lagi jika dia tidak cepat menarik pukulannya dapat
dipastikan totokan lawan
mengenai sasarannya. Si kakek begitu melihat la-
wan kehilangan keseimbangan dengan gerakan-
gerakan gerubak gerubuk seperti orang mabuk
merangsang maju. Kini dia melesat ke udara me-
nyusul lawan, sementara tangannya yang terkepal
dihantamkan ke bagian punggung lawan.
Bayangan Maut tidak sempat lagi menghin-
dar. Tak ayal tubuhnya terpental tinggi sejarak sepuluh tombak terkena hantaran
tinju orang tua
itu. Melihat ini Gentong Ketawa terus melenting-
kan tubuhnya mengejar sosok lawannya yang te-
rus melambung. "Ha ... ha, ha, ha! Rupanya kau mau terbang ke langit. Bayangan
Maut, kau ingin
mendarat di bulan, biarlah tua bangka jelek ini
membantumu sampai ke tempat tujuan!" berkata
begitu kakek Gentong Ketawa hantamkan satu
pukulan lagi. Si nenek yang masih belum sempat
menguasai diri terpental tinggi ke udara. Kini ja-
raknya dengan tanah sekitar tiga puluh batang
tombak. Si nenek yang kemudian meluncur deras ke
bawah setelah pada puncak batas tenaga hanta-
man si Gendut meraung hebat. Dia tidak lagi
menghiraukan rasa remuk redam yang mendera
punggungnya akibat serangan penuh kegilaan
yang dilancarkan kakek Gentong Ketawa. Dia juga
kehilangan keseimbangan hingga saat jatuh ke ta-
nah Bayangan Maut jatuh dengan punggung terle-
bih dulu menghantam tanah.
Bayangan Maut menggeliat. Dia yang semu-
la menganggap remeh lawannya kini menyadari
bahwa lawan yang dihadapinya sesungguhnya bu-
kanlah manusia gila. Tapi seorang kakek konyol
yang menyembunyikan segala kesaktiannya di ba-
lik tampang yang tidak meyakinkan.
"Huarkh...!" begitu berdiri tegak si nenek meraung hebat. Rasa amarah yang
melanda jiwa si
nenek kiranya melebihi rasa sakit yang melanda
punggungnya. Dengan tatapan bengis perempuan
tua itu berseru. "Gendut kurang ajar, aku Bayangan Maut jika hari ini tidak bisa
membunuhmu bi- arlah aku akan berguru pada raja iblis!"
Gentong Ketawa tertawa pendek. Dia lalu
menirukan ucapan si nenek. "Nenek kerempeng,
aku Gentong Ketawa jika hari ini tidak dapat
membetot telingamu biarlah aku juga ingin bergu-
ru pada setan ompong. Klak klak klak!"
Bukan main geramnya Bayangan Maut me-
lihat tingkah si gendut. Sambil katubkan mulut-
nya si nenek jatuhkan diri ke tanah. Dari mulut
orang tua itu terdengar suara racau aneh. Hanya
beberapa saat dia keluarkan racauan dengan sikap
seperti serigala hendak menerkam. Setelah itu ke-
tika nenek tersebut tegak seperti semula. Maka ki-
ni wajahnya nampak mengalami perubahan wajah
itu sama sekali bukan wajah si nenek seutuhnya
melainkan berubah-ubah antara wajah si nenek
atau bagian muka serigala.
Kakek Gentong Ketawa sempat dibuat ter-
kesiap melihat perubahan dan penampilan lawan-
nya. Dia segera menyadari kalau pada saat itu la-
wan tengah mengerahkan salah satu ilmu yang
menjadi andalannya.
Si kakek tua tidak mau mengambil resiko,
sadar lawan mengeluarkan ilmu simpanan maka si
kakek lipat gandakan tenaga dalam. Tenaga dalam
lalu disalurkan ke bagian tangan dan kaki. Semen-
tara itu di depan sana Bayangan Maut mengelua-
rkan suara lolongan panjang. Tak lama setelah su-
ara lolongan lenyap Bayangan Maut berkelebat le-
nyap dari pandangan kakek Gentong Ketawa. Si
gendut cepat memutar tubuhnya sambil memen-
tang kedua matanya. Lawan tetap tak terlihat ter-
kecuali satu bayangan hitam yang menyambar
mengelilingi si kakek disertai berkelebatnya tangan dan kaki yang menyambar ke
beberapa bagian tubuh si kakek. Sadar lawan dapat melancarkan se-
rangan dengan kecepatan luar biasa si kakek tiba-
tiba jejakkan kakinya hingga tubuhnya melesat di
udara. Tapi secara tak terduga lawan dengan cepat
menyusulnya, tahu-tahu tangan Bayangan Maut
terjulur lalu menyambar bagian pinggang kakek
Gentong Ketawa. Si gendut mendapat serangan
begitu rupa masih dapat menghindar. Tapi seran-
gan berikutnya yang datang tidak terduga bertu-
rut-turut menghantam pinggulnya.
Kakek Gentong Ketawa jatuh bergedebukan.
Sebelum orang tua ini sempat berdiri tegak lawan
yang berada di atas ketinggian kini meluncur ke
bawah lalu melepaskan serangkaian tendangan
menggeledek. Meskipun si gendut telah menggu-
nakan jurus Belalang Mabok untuk menghindari
tendangan Bayangan Maut namun salah satu ten-
dangan itu masih menyambar dadanya. Tubuh be-
sar dengan bobot lebih dari dua ratus kati itupun
terpental, lalu jatuh dengan berlutut.
Untuk sementara kita tinggalkan perkela-
hian sengit antara kakek Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang berlangsung menegangkan.
Kita kembali pada si raksasa Senggana dan Indah
Sari yang juga terlibat perkelahian tak kalah se-
runya dengan kakek gendut.
Saat itu perkelahian antara sang dara den-
gan Senggana sudah berlangsung lebih dari tujuh
puluh jurus. Dalam perkelahian yang cukup pan-
jang itu Indah Sari beberapa kali terkena pukulan
keras yang dilancarkan lawannya. Bahkan darah
nampak pula menetes dari sudut bibir Indah Sari.
Gadis itu sebenarnya sudah merasakan betapa
berbahayanya serangan Senggana. Tubuh sang da-
ra yang terkena pukulan seolah remuk. Beruntung
Indah Sari mendapat gemblengan dari gurunya
sehingga dia dapat bertahan. Sebaliknya serangan
baik berupa pukulan dan tendangan beracun yang
dilancarkan sang dara juga mengenai punggung,
dada maupun perut kakek raksasa itu. Tapi seran-
gan-serangan itu bagi sang raksasa tidak menga-
kibatkan suatu cidera yang berarti. Celakanya bi-
arpun tubuh maupun pukulan sang dara mengan-
dung racun hebat, tapi raksasa Senggana ini kebal
terhadap serangan beracun maupun sentuhan
anggota tubuh lawannya. Hal ini dapat dimengerti
karena sebenarnya di dalam tubuh si kakek juga
mendekam racun yang tak kalah hebatnya berupa
racun Perubah Bentuk.
Akibatnya serangan sang dara yang men-
gandalkan racun yang terkandung di sekujur tu-
buhnya tidak mempunyai arti apa-apa bagi lawan-
nya. Indah Sari kini merasa telah kehilangan ak-
al untuk menghadapi lawannya. Sementara meng-
harapkan bantuan gurunya saat itu tidak mungkin
mengingat sang guru sendiri sedang menghadapi
gempuran kakek gendut yang tidak dia kenal.
Indah Sari memang berada dalam posisi ter-
jepit, manusia raksasa yang bernama Senggana
tersebut ternyata terlalu tangguh baginya. Dia ti-
dak punya pilihan lain. Satu-satunya cara untuk
menghadapi gempuran manusia raksasa yang ber-
bahaya itu adalah dengan menggunakan Pedang
Tumbal Perawan. Karenanya beberapa saat setelah
tubuhnya terpental sejauh delapan tombak akibat
tendangan Senggana. Indah Sari yang kembali
muntahkan darah segar sambil terbungkuk-
bungkuk bangkit kembali. Senggana yang melihat
kenekadan si gadis saat itu segera memperin-
gatkan. "Masih ada kesempatan bagimu untuk
pergi dari tempat ini. Asal kau berjanji mau bertobat dan bersedia meninggalkan
gurumu aku pasti
bersedia mengampuni jiwamu! Sekarang tinggal-
kanlah tempat ini!" perintah si kakek dengan suara nyaring.
Bukannya pergi, Indah Sari sambil mengge-
ram segera mencabut pedang Tumbal Perawan da-
ri rangkanya. Rangka pedang itu sendiri seperti diketahui berasal dari lengan
tangan seorang gadis
perawan lengkap dengan jari-jarinya.
Sang raksasa sempat sipitkan matanya ke-
tika melihat pedang hitam berikut rangka pedang
yang tergantung di pinggang sang dara. Dia bah-
kan sempat tertegun ketika melihat pedang terse-
but langsung menggeletar seolah menjadi hidup
ketika berada dalam genggaman lawan.
"Hemm, aku yakin pedang di tangannya itu
bukanlah senjata biasa. Dia merupakan sebuah
senjata sakti yang menyimpan pengaruh dan ke-
kuatan iblis. Rasanya sekarang merupakan saat
yang tepat bagiku untuk melepaskan pukulan
'Raksasa Membelah Bintang." fikir si kakek.
Tak lama kemudian begitu Indah Sari me-
nyerbu ke arahnya dengan serangkaian serangan
mautnya, Senggana segera salurkan tenaga dalam
ke arah kedua belah tangannya. Dua tangan ke-
mudian diangkat tinggi melewati bagian atas kepa-
la begitu dia melihat sinar hitam pekat berhawa
dingin luar biasa bergulung-gulung disertai suara
deru nyaring memekakkan telinga.
Kira-kira dua depa lagi ujung pedang mem-
babat putus kaki Senggana, manusia yang tinggi,
dia segera menghantam Indah Sari yang berada di
bawahnya. Wuut! Wuut! Berturut-turut serangkum sinar biru menyi-
laukan mata berkiblat. Hawa panas menggidikkan
langsung menyergap diri sang dara. Indah Sari
yang siap membabat perut Senggana menjerit ka-
get begitu merasakan sambaran hawa panas luar
biasa. Bahkan hawa dingin yang memancar dari
pedang Tumbal Perawan berubah meredup. Tak
punya pilihan lain Indah Sari terpaksa memutar
pedang di tangannya di bagian atas kepala mem-
bentuk perisai diri.
Begitu pedang diputar hawa dingin kembali


Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebar. Tak berselang lama terjadilah benturan
dahsyat luar biasa. Satu ledakan keras bagai men-
cerai beraikan sekujur tubuh orang-orang yang be-
rada di tempat itu. Bahkan Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang terlibat perkelahian sengit
juga sempat jatuh terjengkang. Begitu juga halnya
Bayangan Maut. Tetapi kedua orang tua itu segera
bangkit kembali, lalu kembali terlibat perkelahian seru. Sementara itu begitu
terjadi ledakan keras
Indah Sari jatuh terkapar. Pakaian yang melekat di tubuhnya hancur, wajahnya
menghitam. Biarpun
tidak hangus tapi panasnya luar biasa. Sedangkan
Pedang Tumbal Perawan masih tergenggam di tan-
gan si gadis. Pedang tersebut terus menggeletar
tak mau diam. Di depan sana Senggana yang tegak
tergontai-gontai nampak tertegun namun juga ka-
get. Dia terkejut karena ternyata lawan dapat ber-
tahan dari pukulan maut yang dilepaskannya, pa-
dahal jika orang lain yang terkena pukulan itu
pasti jiwanya tidak bakal selamat.
"Pasti ada yang salah." gumam Senggana
dalam hati. Sesaat dia memperhatikan si gadis
yang kini sudah bangkit berdiri. "Tak mungkin dia dapat bertahan seperti itu.
Pedang di tangannya
itu, aku yakin pasti senjata itulah yang membuat-
nya dapat bertahan dari pukulan."
Di depan kakek raksasa itu Indah Sari me-
natap tajam ke arah lawannya dengan pandangan
sinis. "Orang tua, ilmu pukulanmu memang hebat.
Tapi selama padang Tumbal Perawan berada di
tanganku jangan harap kau bisa mengalahkan
aku. Sekarang lihat serangan...!" Indah Sari berteriak lantang. Dengan gerakan
cepat sang dara me-
nyerbu ke depan. Bersamaan dengan itu pedang di
tangannya terus menggeletar seolah hidup berke-
lebat menyambar ke bagian perut Senggana. Rak-
sasa itu tekankan kedua kakinya ke tanah, selan-
jutnya tubuh sang raksasa melesat ke udara. Da-
lam gerak cepat luar biasa Indah Sari yang gagal
menghantam perut lawan kini memutar
><><><> 82-83
6 Untuk sementara kita tinggalkan dulu ka-
kek Gentong Ketawa dan Bayangan Maut yang ter-
libat perkelahian antara hidup dan mati. Kini kita lihat dulu bagaimana nasib
Angin Pesut yang di-masukkan ke dalam ayunan batu lalu dipendam
ke dalam Liang Pemasung Sukma.
Setelah Bayangan Maut dan muridnya ber-
lalu meninggalkan gua. Angin Pesut tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Dia sadar meskipun di-
rinya mengerahkan ilmu Selubung Es untuk me-
lawan hawa panas yang membakar ayunan batu,
hal itu tidak mungkin dapat dipertahankannya se-
cara terus menerus karena dapat menguras habis
seluruh tenaga yang dia miliki. Karenanya Angin
Pesut kemudian sambil tetap melindungi diri sege-
ra mencari jalan keluar. Dia berfikir tak mungkin
dirinya dapat keluar dari Liang Pemasung Sukma
jika dirinya tetap dalam keadaan tertotok juga terikat kedua kaki dan tangan.
"Aku tak tahu Ni Pambayon menggunakan
ilmu totokan apa. Tapi aku dapat merasakan pen-
garuh totokan sangat kuat sekali. Satu-satunya
cara adalah dengan menghancurkan totokan den-
gan penyaluran tenaga dalam. Namun jika ini
sampai gagal resiko yang kutanggung sangat ting-
gi, lalu aku akan kehilangan semua tenaga. Jika
tenagaku terkuras habis, dapat kupastikan tu-
buhku bisa hangus." Batin si kakek.
Dia terdiam lagi, sambil mencoba mengatur
jalan nafas sementara sekujur tubuhnya meskipun
telah diselimuti ajian Selimut Es tetap saja ber-
mandi keringat.
Tak berselang lama kemudian Angin Pesut
mengambil keputusan nekad. Dia tetap bertekad
membebaskan diri dari pengaruh totokan Bayan-
gan Maut meskipun resikonya jika dia gagal tu-
buhnya harus hangus. Sebaliknya jika usaha si
kakek berhasil dia paling tidak akan kehilangan
setengah dari tenaga dalam dan kekuatan yang dia
miliki. Perlahan Angin Pesut memusatkan fikiran
dan segenap panca inderanya. Secara perlahan pu-
la si kakek salurkan tenaga yang bersumber dari
bagian pusar. Hawa panas mengalir deras dari
arah pusar ke bagian yang terkena totokan. Begitu
tenaga dalam yang disalurkan menyentuh bagian-
bagian tubuh yang kena totokan maka...
Dess! Dess! Terjadi letupan dua kali berturut-turut. Dari
permukaan kulit yang ditotok mengepulkan asap
tipis berwarna kelabu.
"Kurang ajar. Mengapa bisa gagal!" desis si kakek dengan hati berdebar dan
perasaan kecut.
"Akan kucoba dua kali lagi. Jika sampai
gagal habislah sudah. Berarti hidupku memang
cuma sampai di sini!" guman Angin Pesut. Si kakek lalu pejamkan matanya. Dia
melipat gandakan
tenaga dalamnya. Setelah itu jika pertama tadi dia salurkan tenaga dalam ke arah
totokan dengan ca-ra perlahan maka kini dilakukannya secara cepat.
Deep! Deep! Deep!
Asap tebal mengepul di udara. Si kakek
menarik ><><><><><> hal 86-87
lagi. Tapi mengapa tubuhku jadi oleng begi-
ni" Eeh... benar-benar oleng!" kata si nenek dengan tubuh termiring-miring.
"Coba kau ingat-ingat nek. Barangkali kau
mabuk, bukankah tadi kau sempat minum air
sungai" Siapa tahu air sungainya diracun orang."
celetuk Gento kesal.
"Gento, kau jangan bercanda. Apa kau kira
Rajawali Hitam 7 Keturunan Pendekar Karya Rajakelana Pendekar Cengeng 3
^