Pencarian

Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 1

Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Bagian 1


MAHLIGAI CINTA SEPASANG PENDEKAR
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-81S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan bela-ka
1 Matahari semakin condong ke Barat dan bering-
sut perlahan-lahan menuju ke kaki langit. Cahaya
yang terang berangsur-angsur pudar dan membeku
kemerah-merahan, pertanda siang akan segera bergan-
ti malam. Burung-burung tampak pulang ke sarang,
sementara penduduk Desa Kandanghaur melakukan
tugasnya sebagai muslim, shalat jemaah di surau atau di rumah masing-masing. Di
rumah Pak Penghulu,
yang letaknya di pinggir jalan desa, kelihatan cahaya lampu yang terpancar dari
celah-celah dinding. Beberapa orang laki-laki dan perempuan, bergegas-gegas
masuk ke halaman dan menuju ke rumah yang lu-
mayan besarnya.
"Barangkali kita terlambat," ujar salah seorang ibu dari rombongan itu dengan
nada ragu. Ketika itu, terdengar suara adzan sayup-sayup dari jauh.
"Tidak," jawab Pak Kinong, "Itu baru adzan Isya.
Paling-paling Pak Penghulu sedang menunggu kita."
Ibu Kinong memberi salam sambil mengetuk pin-
tu. Tidak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam.
Cahaya lampu yang menyembul ke luar dari pintu
memperjelas wajah-wajah tamu yang datang.
"Oh, kalian, masuklah!" Ibu Penghulu yang sudah mengenal kedua orang tua itu
mempersilahkan tamunya masuk dengan ramah.
"Ada Bapak, Bu?" tanya pemuda yang berdada bidang dan berperawakan cukup kekar.
"Tentu! Ia memang menunggu kalian sejak tadi."
Tidak lama kemudian, Pak Penghulu pun mem-
persilahkan tamu-tamunya duduk di tikar yang telah
tersedia dan memulai acara pernikahan kedua muda-
mudi yang sangat terkenal di desa kecil itu.
"Pak Penghulu!" kata Pak Kinong mewakili kedua muda-mudi yang hendak menikah
itu. "Berhubung kedua calon mempelai ini tidak mempunyai orang tua la-
gi, sebagai wali dan saksi adalah saya sendiri."
Kedua calon pengantin itu mengangguk, membe-
narkan. "Baiklah, kita mulai," ujar Pak Penghulu dengan membuka kitab Pengantar Nikah
sambil bertanya kepada calon pengantin laki-laki.
"Siapa namanya?"
"Parmin, Pak!"
"Nama Neng, siapa?"
Roijah tersenyum. Ia merasa lucu karena sudah
kenal masih berpura-pura belum kenal.
"Nama saya Roijah, Pak!"
"Roijah, kau mencintai Parmin?" Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
"Kau, Parmin" Juga mencintai Roijah?"
"Saya mencintainya, Pak!"
"Bagus! Suatu perkawinan yang tidak dilandasi
oleh rasa saling mencintai, tidak akan kekal sampai
kakek-nenek, mengerti?"
"Mengerti, Pak!" jawab kedua calon pengantin itu serentak.
"Alhamdulillah"
Sejenak suasana menjadi hening. Semua yang
hadir menundukkan kepala menunggu acara akad ni-
kah yang akan segera berlangsung. Tetapi tiba-tiba keheningan itu mendadak
berubah dengan suara hiruk
pikuk yang datang dari luar, diawali dengan dobrakan jendela dan pintu bertubi-
tubi. "Tenang!" ujar Penghulu dengan suara gugup.
Melihat gejala yang tidak baik itu, Parmin bangun
dan secepat kilat melompat ke depan pintu diikuti oleh Roijah. Mereka berdiri
bahu-membahu siap untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
"Kalian siapa?" bentak Parmin dengan gemas."
"Kami malaikat maut yang hendak mencabut
nyawamu, mengerti?" jawab salah seorang pengepung itu dengan sombong, sementara
kawannya mengusap-usap mata golok yang ada di tangannya.
"Begitu mudah kau pikir?" sela Roijah dengan sinis. "Sebaiknya kita tidak perlu
banyak bacot dengan orang-orang seperti ini, Kang," tambah gadis itu dengan
menahan amarahnya.
Serentak dengan kata-kata Roijah berakhir, Par-
min dengan cekatan yang luar biasa menyerang orang-
orang yang berniat jahat itu. Sekali gebrak, kedua musuh itu terpental dan jatuh
tak berkutik lagi dengan tangan memegang dada menahan sakit.
Roijah dengan nalurinya sebagai pesilat dan ge-
rak matanya yang cukup waspada, tiba-tiba mendapat
serangan dari belakang yang sama sekali tidak diduga.
Tetapi, gadis itu bukan wanita sembarangan. Dengan
gerakan secepat kilat membalik badannya sambil
membetot kain yang sedang dipakainya dan mengga-
sak kedua penyerang gelap itu. Dengan tangan kirinya yang terlatih ia menghunjam
pukulan keras ke muka
lawannya yang berada di depan, sedangkan lawan
yang berada di belakangnya dikebut dengan pintalan
kain yang berisi tenaga dalam, sehingga terjengkang
jatuh dan disudahi dengan suatu tendangan maut te-
lak di dadanya.
Pada saat senggang itu, Parmin mendekati keka-
sihnya sambil berbisik, "Hati-hati Dik, tempat ini telah terkepung rapat. Kita
harus berusaha menerobos mereka." Roijah mengangguk dan menatap Parmin sejenak,
seakan-akan menyatakan, ia bersedia mati ber-
sama. Sementara itu, seorang musuh yang berperawa-
kan tinggi tegap dengan golok panjang di tangan berdi-ri tegak di halaman, tidak
begitu jauh dari Parmin dan Roijah berada.
"Bagus! Akhirnya kau ke luar juga mengantar
nyawa kepadaku," katanya sambil tersenyum sinis. Ia menatap Parmin dengan wajah
garang serta mengan-cam, "Kalau kau tidak turun ke halaman dan menyerah kepada
kami, aku akan membunuhmu dan mem-
bakar rumah ini menjadi abu, dengar?"
Gertak yang begitu, sudah tidak asing lagi di te-
linga Parmin. Karena itu, ancaman tersebut sedikit
pun tidak digubris. Hanya yang menjadi pikiran, nasib Pak Kinong. Dia orang awam
dalam hal seperti itu.
"Pak Kinong! Selamatkan diri Bapak," seru Parmin dari jauh.
"Aduh! Berhati-hatilah, Den!" jawab Pak Kinong khawatir.
Pertempuran meluas ke halaman. Parmin dan
Roijah memberikan perlawanan sengit. Korban di pi-
hak lawan berjatuhan. Kedua pendekar muda itu men-
gamuk sejadi-jadinya. Mereka bertekad mempertahan-
kan diri sampai tetes darah terakhir. Namun yang me-
risaukan hati, pasukan pengepung terus bertambah,
seakan-akan tidak pernah habis. Mati satu tambah se-
puluh. Kedua pendekar itu benar-benar merasa kela-
bakan, hampir tak ada celah yang memungkinkan me-
reka dapat menyelamatkan diri. Tetapi, watak pende-
kar tidak pernah menyerah. Parmin dan Roijah terus berlaga sekuat tenaga. Tekad
dan semangat bertempur
kedua pendekar muda itu, hampir-hampir saja mem-
buat musuh yang berlipat ganda tidak dapat bertahan.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba dari sebuah
sudut yang gelap muncul tiga sosok tubuh. Salah seo-
rang di antaranya maju ke depan sambil bertolak ping-
gang. "Ha, ha, ha...!" tokoh itu tertawa dingin seraya memberi perintah kepada
bawahannya dengan suara
yang berwibawa.
"Minggirlah kalian! Biar aku menyelesaikan si
Ujang dan si Neng ini. Kelihatannya kalian menjadi
makanan empuk si Jaka Sembung dan si Bajing Ireng
itu." Parmin yang disebut si Jaka Sembung dan Roijah si Bajing Ireng terkesima
sejenak. Mereka serentak
menatap wajah keras dan sorot mata yang tajam dari
musuh yang baru hadir itu. Parmin sempat berbisik
kepada Roijah, "Kelihatannya dia pembunuh berdarah dingin yang tidak boleh
dianggap enteng." Roijah hanya mengangguk membenarkan kesan kekasihnya
itu. "Seorang serdadu kompeni Belanda men-
dampinginya, Kang!"
"Ya, kini baru jelas padaku. Mereka semua tidak lain dari antek-antek kompeni
Belanda yang menjual
harga dirinya sebagai bangsa sekaligus mengkhianati
kita semua," jelas Parmin dengan kesal. Roijah mengangguk tanpa tanggapan,
kecuali menyatakan kesan
bahwa jagoan yang menjual diri kepada musuh itu
seakan-akan berasal dari daerah Banten.
"Apakah kau termasuk juga seorang pengkhianat
bangsa yang silau dengan gemercingnya uang gulden?"
tanya Parmin tanpa disadari kata-kata itu melompat
dari mulutnya. "Hei, Ujang! Kau jangan bicarakan tentang pen-
gabdian kepadaku! Itu terlalu muluk. Aku hanya ingin yang gampang-gampang saja.
Perut tidak bisa dibujuk
dengan alasan pengabdian, tetapi harus disumbat
dengan kenyataan: Harus makan!"
"Oh, begitu?"
"Mengapa tidak!" jawab si wajah seram itu.
"Kalau begitu, kau hampir sama dengan anjing,
yang jika dikasih daging akan menggigit siapa saja
musuh tuannya," tukas Parmin dengan nada keras.
"Kau menghinaku?" tanya pendekar itu dengan suara datar.
"Bukan saja menghina, tetapi aku ingin manusia
seperti kau tidak boleh hidup lama," jawab Parmin sambil menyerang berbarengan
dengan Roijah. Sementara orang itu masih tetap berdiri pada posisi kedua tangan
di dada. Ketika itu terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa.
Pada jarak sedepa sebelum serangan Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng sampai ke tubuhnya, tiba-tiba
tubuh Parmin dan Roijah terlempar keras ke belakang
sejauh sepuluh depa.
Ketika Parmin bangkit dan menyiapkan sebuah
jurus andalan yang baru, pendekar berdarah dingin itu masih tetap tegak berdiri
di tempatnya dengan tenang.
"Oh, celaka! Orang ini memiliki ilmu kontak,"
gumamnya perlahan, "Meminjam tenaga lawan untuk suatu pukulan balik."
Sebelum Parmin dan Roijah sempat berpikir lebih
jauh, tiba-tiba orang itu berteriak dengan sekuat-
kuatnya sambil melepaskan gerak tangannya secepat
kilat. Angin kibasan dalam jarak 10 depa itu membuat tubuh Parmin dan Roijah
seperti terlipat ke belakang akibat dorongan keras laksana angin puting beliung.
Parmin dan Roijah berusaha meluruskan badan-
nya kembali dalam posisi tegak, tetapi pendekar yang lebih mementingkan perut
itu sekali lagi membuat gerakan melilit seperti memeras kain cucian. Akibat
gerakan isyarat yang luar biasa itu, tubuh kedua pendekar muda tersebut melintir
hebat, kemudian jatuh tak berdaya. Tubuh Parmin dan Roijah jungkir balik dan
menggelepar mengikuti gerak tangan musuhnya seper-
ti benda elektronik yang dikendali dengan remote con-trol. Lebih parah lagi,
sendi-sendi tulang mereka geme-rutuk lemas laksana seekor ular yang disentak
dari kepala dan ekornya, sehingga sama sekali tidak ber-
daya. Melihat keberhasilannya, pendekar hitam itu segera melangkah ke dekat
kedua pendekar muda, yang
sudah tidak dapat menggerakkan otot-otot mereka lagi.
"Oh, kasihan! Hanya begitu sajakah kemampuan
kalian?" ujarnya dengan nada sinis. Tetapi ejekan itu tidak mendapat tanggapan
sama sekali. Pendekar berwajah angker yang diiringi oleh serdadu kompeni Be-
landa itu memanggil beberapa orang anak buahnya
dan memerintahkan agar kedua korban itu diikat den-
gan tali yang kuat.
"Good! Kowe orang Inlander yang baik, Rasek!"
puji perwira kompeni Belanda itu, dengan tersenyum.
"Tuan besar van Eisen akan sangat senang dengan ke-berhasilanmu. Ia pasti
menyediakan hadiah besar buat Kowe orang dan Kowe orang akan menjadi kaya."
Malam itu juga, mereka mengusung Parmin dan
Roijah seperti mengusung binatang hasil buruan. Ir-
ing-iringan para pemburu itu bersorak sorai. Mereka
berbondong-bondong menuju ke gedung tuan tanah
Belanda, Yan van Eisen.
Pak Kinong dengan sangat terharu mengikuti dari
dekat peristiwa Parmin dan Roijah. Ia kelihatan begitu terharu sambil mengeluh
pada dirinya. "Waduh celaka, Den Parmin dan Den Roijah tertangkap oleh begundal-
begundal kompeni Belanda. Ya, Allah ya Tuhan lin-
dungilah mereka!"
Dengan rasa putus asa dan tubuh basah kuyup
karena keringat dingin dan air mata yang berlinang,
Pak Kinong dan Bu Kinong meninggalkan tempat ber-
sejarah itu dengan terhuyung-huyung kembali ke ru-
mahnya diikuti oleh para pengiring yang lain.
Dengan langkah yang terseok-seok Pak Kinong
menuju ke pondok ladangnya yang terletak di tepi hu-
tan Loyang. Sebelum ia sampai ke pondoknya, ia seperti
mendengar suatu panggilan yang menyebut namanya,
"Pak Kinong tunggu!" Orang tua itu sangat mengenal suara tersebut. Itu pasti
suara burung beo Parmin
yang pandai berbicara.
Sebenarnya Penghulu Kinong sudah tak asing la-
gi dengan hutan Loyang, baik bahaya atau kepantan-
gannya. Tetapi, karena perasaan terharunya terhadap
nasib Parmin dan Roijah, ia lupa bahwa memasuki hu-
tan Loyang di malam seperti ini sungguh sangat ber-
bahaya. Akibat kelalaiannya itu hampir saja ia menjadi korban binatang buas yang
sangat ditakuti penduduk
setempat. Ketika Pak Kinong hampir dekat ke pondoknya,
sekonyong-konyong seekor raja hutan yang cukup be-
sar muncul dari balik semak-semak. Binatang itu
mengaum dengan sekuat-kuatnya. Karena terlalu ka-
get ia jatuh terkulai dan pingsan tidak berapa jauh da-ri tempat raja hutan itu


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada. Burung beo kesayangan Parmin yang terus mem-
bayang-bayangi Pak Kinong kelihatan sangat cemas.
Burung itu berusaha menghalang-halangi harimau be-
sar yang hendak mendekat ke tubuh orang tua yang
tidak berdaya itu. Berkali-kali harimau buas hutan
Loyang itu hendak melahap tubuh Pak Kinong, tetapi
selalu saja dihalangi oleh sang Beo dengan cara ter-
bang cepat sambil mengepak-ngepak sayapnya dekat
mata si raja hutan tersebut. Akhirnya burung beo yang cerdik itu terkena juga
cakaran sang harimau sehingga berdarah.
Kini sang Raja Hutan yang lapar itu sudah tak
acuh lagi pada burung Beo. Binatang itu telah bersiap-siap untuk menerkam tubuh
Pak Kinong, sementara
burung Beo yang berusaha melindunginya sudah tidak
berdaya lagi. Ketika binatang buas tersebut hendak
menerkam tubuh Pak Kinong dengan bernafsu, tiba-
tiba tubuh harimau itu terpelanting ke belakang den-
gan keras. Binatang itu meraung dengan suara yang
menggetarkan. Raja Hutan Itu sangat marah karena
maksudnya terhalang. Tidak jauh dari tempat itu ber-
diri tegak sesosok tubuh kekar dengan pakaian serba
hitam. Harimau jantan yang merasa terhina itu, segera menyerang penghalang
maksudnya tadi. Dengan raun-gan yang menggentarkan seisi hutan Loyang, harimau
besar itu meloncat dan menerkam musuh barunya, te-
tapi secepat kilat pendekar baju hitam itu berhasil
mengelak, bahkan dengan tangan kanan yang cekatan
berhasil menghunjamkan pukulan ke lambung hari-
mau ganas itu sehingga jatuh tersungkur ke tanah dan tidak pernah bangun
kembali. Setelah berhasil melumpuhkan sang raja hutan,
orang berbaju hitam itu dengan langkah perlahan
menghampiri Pak Kinong yang masih tergeletak di ta-
nah. Sang penolong itu segera mengeluarkan sebuah
botol kecil dalam saku baju hitamnya. Isi botol yang sudah dibukanya diciumkan
ke hidung Pak Kinong.
Tak lama kemudian orang tua itu pun siuman kembali.
Setelah melihat kiri kanan, Pak Kinong perlahan-lahan menoleh kepada
penolongnya, Pak Kinong mencoba
mengusap-ngusap matanya beberapa kali, tetapi yang
terlihat wajah penolongnya yang itu juga. Pak Kinong mencoba mengingat-ingat
kembali kemudian dengan
yakin ia bertanya.
"Andakah yang membunuh harimau itu?"
Orang itu mengangguk.
"Aneh!" seru Pak Kinong pada dirinya.
"Apa yang aneh?" tanya orang yang baru menolongnya dengan heran.
"Mengapa Anda tidak membiarkan saja aku mati
di tangan binatang buas itu" Nyawaku ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan
dengan nyawa Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang Anda bunuh."
"Apa maksudmu orang tua?"
"Bukankah Anda yang melumpuhkan Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng?" tubuh Pak Kinong dengan na-da benci.
"Aku tak mengerti bicaramu, Sobat! Dan aku juga tidak pernah melumpuhkan orang-
orang yang kau sebut Jaka Sembung dan Bajing Ireng itu?"
"Anda yang menangkap mereka sesudah Anda
melumpuhkannya dengan ilmu iblis seperti yang Anda
gunakan untuk melumpuhkan harimau tadi."
Pendekar berbaju hitam itu mengerutkan ke-
ningnya sejenak pertanda ia tidak mengerti sama seka-li tentang tuduhan yang
dilancarkan Pak Kinong kepa-
danya. "Pak! Aku baru saja datang dari Kulon dan secara kebetulan aku lewat di tempat
ini dan melihat Bapak
dalam bahaya serta aku dengan ikhlas menolongnya,
tidak lebih dari itu!" jelas pendekar berbaju hitam itu dengan polos.
"Jadi, Anda anggap aku yang keliru menuduh?"
"Mungkin Bapak keliru!"
"Kalau aku bohong, biarlah aku dimakan Iblis,"
ujar Pak Kinong dengan penuh keyakinan. "Andalah orang yang telah memperlakukan
Den Parmin dan Den
Roijah secara biadab di Desa Kandanghaur semalam."
"Kalau Bapak tidak percaya kepadaku, terserah-
lah!" kata Pendekar berbaju hitam sambil melangkah pergi meninggalkan tempat
itu. Sementara Pak Kinong
terus menyumpah-nyumpahnya.
Penolong Pak Kinong itu mencoba memahami tu-
duhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya, tetapi ia
tetap tidak mengerti bahkan tidak merasa sama sekali pernah melakukan apa yang
dituduhkan oleh orang
tua itu. Ketika Pak Kinong hendak meninggalkan hutan
Loyang, ia kembali meyakinkan diri apakah harimau
itu benar-benar telah mati" Dalam hati orang tua itu, timbul lagi tanda tanya,
"Mengapa orang itu mau menolongku?" Tetapi Pertanyaan itu tetap tidak terjawab.
Pada waktu Pak Kinong melangkah beberapa
langkah, setitik darah segar jatuh dari pohon mengenai telapak tangannya. Ia
kaget, "Darah siapakah gerangan ini?" pertanyaan itu timbul mendadak dan
mendorong orang tua itu untuk mengetahuinya.
"Pak Kinong!" ujar, Beo ajaib dengan suara nyar-ing di atas pohon. "Syukur kau
selamat! Apa yang telah terjadi dengan Den Parmin dan Den Roijah?"
"Kau di situ, Beo" Turunlah!"
Beo yang cerdik itu pun turun dan bertengger di
tangan Pak Kinong.
"Kau terluka Beo?" gumam Pak Kinong bersahabat, "Apa yang pernah terjadi
denganmu" Mari kita segera pulang! Lukamu bisa membusuk jika tidak cepat
diobati." Dengan Beo di tangan, Pak Kinong bergegas-
gegas meninggalkan tempat itu. Pak Kinong sangat
mengkhawatirkan keselamatan Beo ajaib tersebut.
*** 2 Setelah Jaka Sembung dan Bajing Ireng dilum-
puhkan begundal kompeni Belanda bernama Rasek,
kedua pendekar muda itu diusung beramai-ramai den-
gan kedua tangan mereka diikat erat-erat ke belakang.
Peristiwa tertangkapnya Jaka Sembung dan Baj-
ing Ireng, malam itu juga tersebar luas di desa kecil Kandanghaur. Mereka diam-
diam berkumpul dan memanjatkan doa demi keselamatan kedua pendekar itu.
Tuan tanah Yan Van Eisen, raja Kandanghaur
yang terkenal kejam itu, tertawa lebar melihat orang-orang yang selama ini
selalu menghambat segala ambi-
sinya, sudah tertangkap hidup-hidup dan tidak meru-
pakan halangan lagi terhadap usaha mereka memeras
rakyat. Keesokan harinya, Parmin si Jaka Sembung dan
Roijah si Bajing Ireng, dihadapkan kepada Yan van Eisen, penguasa Kandanghaur di
rumah kediamannya
yang cukup besar dan luas itu. Dengan tangan yang
terikat ketat ke belakang, kedua pendekar rakyat,
pembela hak asasi serta keadilan dan kebenaran itu, duduk berlutut di lantai
tanpa hak membela diri.
Yan van Eisen menatap kedua tahanannya itu
dengan penuh kebencian dan rasa dendam, tanpa se-
dikit pun merasa berterima kasih dan berhutang budi
pada rakyat Kandanghaur yang telah memberikan ke-
hidupan manis kepadanya sebagai bangsa yang me-
numpang hidup di kepulauan Nusantara yang ramah
dan makmur. Sebelum Yan van Eisen melampiaskan rasa ma-
rahnya kepada Jaka Sembung dan Bajing Ireng yang
sedang meringkuk di hadapannya, Tuan tanah itu ber-
kata dengan manis kepada Leonard van Eisen, anak-
nya yang menjadi perwira dan memimpin langsung pe-
nangkapan atas kedua pendekar rakyat Kandanghaur
itu. "Leonard, aku sangat bangga dengan keberhasilanmu menangkap kunyuk-kunyuk
ini," Yan van Eisen menuding Parmin dan Roijah. "Peristiwa besar ini akan
kulaporkan ke atas dan kuharapkan Jij akan mendapat penghargaan yang layak,"
tambah Yan van Eisen menatap anaknya yang senyum bangga.
"Kuharapkan begitu, Papie,"
Yan van Eisen mengangguk-angguk. Kemudian ia
menoleh ke arah Rasek yang berdiri di belakang Leo-
nard. "En Jij Rasek! Kowe orang Inlander jempolan.
Kowe orang berjasa besar kepada Kompeni. Jij berhasil menangkap pemberontak yang
mencoba melawan pemerintah Kerajaan Belanda di sini. Ik akan memberi-
kan hadiah uang kepada Kowe orang, supaya Kowe
orang senang hati dan selalu membantu pemerintah
Belanda yang ada di Kandanghaur ini, mengerti?"
"Saya, Tuan. Saya selalu siap membantu Tuan,"
ujar Rasek dengan bangga sambil mengangkat tangan
memberi hormat.
"Goed!" Yan van Eisen merasa sangat puas dengan begundalnya yang satu itu.
Kemudian tuan tanah
yang kejam itu menoleh ke arah Jaka Sembung dan
Bajing Ireng yang dengan pasrah menyerahkan nasib-
nya kepada Tuhan.
"God verdomme zeg!" sekonyong-konyong Belanda gemuk itu menghardik kedua
tahanannya yang tidak
berdaya dengan kasar.
"Kowe orang berdua musti terima hukum berat,
mengerti" Kalian harus dihukum mati karena berontak
melawan pemerintah Belanda yang berkuasa."
"Terserah Tuan!" cetus Parmin. Di wajahnya ter-
bayang rasa benci dan muak melihat tuan tanah yang
telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan kepada
rakyat. "Seharusnya, Tuan dan sebangsa Tuan yang hi-
dup di kepulauan Nusantara kami berterima kasih ke-
pada bangsa dan negeri kami yang telah memberikan
Tuan-tuan kehidupan dan kemewahan, yang di negeri
Tuan-tuan belum tentu Tuan-tuan peroleh," tambah Parmin dengan berarti.
Mendengar kata-kata Parmin
yang cukup pedas itu, van Eisen seperti disambar pe-
tir. Cuping telinganya yang besar tampak bergerak-
gerak, pertanda sangat marah.
"Kowe orang berani melawan orang Belanda, ya?"
ujar Belanda gemuk itu sambil mendekati Parmin. Ke-
mudian dengan tidak disangka, Yan van Eisen men-
gayunkan tongkatnya ke kepala Parmin, tetapi untung
pendekar itu berhasil mengelak ke samping sehingga
pukulan yang keras itu tidak mengena telak di kepa-
lanya. Parmin menatap Yan van Eisen dengan tatapan
marah sambil berkata:
"Sungguh Tuan tidak kesatria! Tuan hanya bera-
ni dengan orang yang tangannya terbelenggu seperti
saya. Lepaskan saya, saya tidak takut bertarung den-
gan Tuan satu lawan satu. Itu adat kami di kepulauan ini, selalu menyelesaikan
masalah secara jantan."
Yan van Eisen terpaku sejenak: Kata-kata Jaka
Sembung benar-benar terasa pada dirinya dan ia san-
gat terpukul. Kemudian dengan menahan marah, ia
mendekati Jaka Sembung dan berkata dengan nada
datar. "Jaka Sembung! Sebaiknya Kowe orang mau bekerja sama dengan kompeni. Kami
sangat senang dan
kami memberi Kowe orang dengan gaji yang besar,"
sampai di situ berhenti sejenak sambil memperhatikan wajah Jaka Sembung,
kemudian Belanda itu mene-
ruskan saran dan bujukkannya yang sekaligus berisi
ancaman, "Jika saran ku tidak dapat kau pertimbangkan, kau tidak mempunyai waktu
lagi untuk besok,
mengerti"!"
"Maksud Tuan?" tanya Jaka Sembung dengan
marah. "Besok pagi-pagi Kowe orang akan digantung di
tiang gantungan."
Parmin alias Jaka Sembung terdiam sejenak. Ha-
tinya tergoncang juga mendengar nasibnya akan be-
rakhir di tiang gantungan. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi mati, tetapi
soal Roijah benar-benar meri-saukannya.
"Bagaimana Jaka Sembung?" Yan van Eisen
mendesak. "Lebih baik gantunglah aku dari pada aku beker-
jasama dengan penjajah bangsaku dan penindas ra-
kyat Kandanghaur," jawab Parmin tanpa sedikit pun merasa gentar.
Mendengar Jaka Sembung berkata begitu, pitam
Yan van Eisen mendadak naik ke kepala dan suatu
tamparan kuat melayang ke pipi pendekar itu. Roijah
menjerit di hatinya melihat kekasihnya diperlakukan
sekasar itu, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terbelenggu dengan kaki
tangannya seperti lumpuh:
Seketika di hatinya melintas niat untuk meminta maaf kepada Belanda tuan tanah
itu, demi keselamatan
Parmin, tetapi kemudian ia menyadari, ia seorang ke-
satria yang berjuang tidak hanya untuk membela ke-
kasih, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Kepentingan rakyat lebih utama
baginya daripada kepentin-
gan pribadi semata-mata.
Yan van Eisen yang sedang kalap itu, tidak saja
menampar Parmin berkali-kali, tetapi juga menendang
dadanya sampai Parmin jatuh telentang. Namun den-
gan kekuatan semadinya yang kuat, Parmin tidak me-
rasa terlalu sakit akibat pukulan dan tendangan itu.
"Bagaimana nasib kita, Kang?" tanya Roijah setengah berbisik ketika Belanda
buncit itu meninggal-
kan mereka berdua.
"Tawakallah Dik, semoga Tuhan selalu bersama
kita," jawab Parmin dengan tersenyum, meskipun di dalam hatinya menangis. Roijah
mengangguk perlahan
dan dari sudut matanya menetes setitik air mata ben-
ing yang mengalir menelurusi pipinya dan akhirnya jatuh ke pangkuannya sendiri
tanpa tangan menyekanya
karena kedua tangannya terikat ketat ke belakang.
"Kau menangis Roijah?" tanya Parmin dengan suara parau. Roijah menggeleng lemah
dan menundukkan kepala melihat air matanya yang membasahi
kainnya. "Jangan menangis, Dik! Karena tangisan seorang
pejuang bisa berarti suatu penyesalan tentang apa
yang telah kita baktikan kepada orang banyak. Kau
menyesal dalam pengorbanan mu selama ini, Dik?"
"Tidak, Kang!" bantah Roijah dengan tegas.


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Parmin mengangguk-angguk; angguk yang penuh
arti, "Alhamdulillah." ucapnya dengan tersenyum pa-hit. "Kalau kita menangis,
Dik, rakyat akan terus menangis karena kehilangan harapan," tambah Parmin.
"Kang!" tiba-tiba Roijah berpaling ke arah Parmin dan berkata dengan nada haru.
"Kalau kau dihukum gantung oleh Belanda, bagaimana aku" Aku tak tahu
apa yang harus kulakukan. Aku lebih senang turut di-
gantung bersamamu."
"Mengapa harus berkata begitu, Dik" Bukankah
patah tumbuh, hilang berganti" Kalau aku digantung
oleh Belanda karena membela rakyat dan martabat
bangsa, aku tidak begitu gundah karena kau masih
ada untuk melanjutkannya, bukan begitu?"
* * * Pada waktu Yan van Eisen memperagakan keke-
jamannya terhadap Parmin, sepasang mata mengintip
di balik kain pintu. Seorang gadis bermata biru dengan rambut panjang ikal
berwarna kuning emas menyaksikan langsung bagaimana perlakuan Papinya terhadap
rakyat di tempat mereka tinggal. Setiap pukulan tan-
gan dan kaki yang dihunjamkan Papinya terhadap
Parmin, disaksikan dengan mata sendiri.
"Aku setuju! Salah benar, Nederland selalu yang terbaik," gumam gadis itu
mewakili suara hati nuraninya, "Tetapi perlakuan Papi terhadap anak negeri
seperti itu, sungguh-sungguh mengurangi rasa hormatku
kepadanya. Aku tak sampai hati melihat kekejaman itu berlangsung di depan
mataku, walaupun itu dilakukan
terhadap pemberontak yang merongrong kekuasaan
pemerintah Belanda."
Malam itu juga, di alun-alun pasar Kandanghaur
dipersiapkan sebuah tiang gantungan. Rasek dan
orang-orangnya segera menyebarkan berita bahwa seo-
rang pemberontak akan segera dihukum mati di tiang
gantungan itu. Rakyat Kandanghaur semua merasa duka,
meskipun antek-antek kompeni Belanda tidak membe-
ritahukan siapa yang akan digantung itu. Rakyat su-
dah dapat menebak. Kegelisahan rakyat terjadi di pelosok-pelosok desa di seluruh
Kandanghaur. Mereka ti-
dak tahu jalan apa yang mereka tempuh untuk menye-
lamatkan Jaka Sembung.
Daerah Kandanghaur sehari sebelumnya, tampak
lengang. Penduduk hampir tidak melakukan kegiatan
apa-apa. Kesedihan dan rasa cemas terbayang di wa-
jah setiap penduduk. Mereka sangat prihatin, jika benar-benar Jaka Sembung alis
Parmin dihukum gan-
tung. Ada pikiran-pikiran di sebagian masyarakat un-
tuk mengajukan permintaan kepada Yan van Eisen
agar hukuman mati atas Parmin diganti dengan hu-
kuman lain yang lebih ringan. Tetapi pikiran itu tidak pernah ada yang berani
mengajukan kepada Yan van
Eisen. Mereka takut kalau usul yang demikian beraki-
bat jelek terhadap mereka.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, pelaksanaan
hukuman mati di tiang gantungan atas diri Jaka Sem-
bung alias Parmin dilaksanakan. Tubuhnya tergantung
tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Jaka Sembung
secara jasad sudah tiada, tetapi jasanya hidup dan
tumbuh terus di hati setiap rakyat Kandanghaur, ke-
cuali yang berjiwa pengkhianat.
Penduduk yang lewat di alun-alun, menatap ja-
sadnya sejenak kemudian meninggalkan tempat itu
dengan air mata dan kesedihan yang mendalam. Caci
maki rakyat terhadap Yan van Eisen serta begundal-
begundalnya, terdengar di mana-mana: Keji! Biadab!
Sampai siang hari, alun-alun pasar Kandanghaur
menjadi sepi, tak seorang pun penduduk yang keluar.
Mereka berkabung diam-diam di rumah masing-
masing. Sementara jenazah Jaka Sembung terus ter-
gantung di tiang gantungan tanpa ada seorang pun
yang berani menurunkannya. Di leher Jaka Sembung
tergantung tulisan: JAKA SEMBUNG DE EXTREMIST!
Di balik tembok tahanannya, Roijah alias Bajing
Ireng menatap tenang lewat jeruji besi. Ia tidak me-
nangis; setitik air matanya tidak kelihatan. Di wajahnya hanya terbayang Parmin
dan terngiang di telin-
ganya pesan-pesan yang pernah diucapkan oleh pen-
dekar itu. "Kalau kita menangis, Dik, rakyat akan menangis terus karena kehilangan
harapan." Kata-kata itu terngiang terus-menerus di telinga
Roijah. Roijah bertanya pada dirinya, apakah aku da-
pat memenuhi pesan Parmin: Patah tumbuh hilang
berganti" Roijah hanya berdoa semoga ia tabah dan mam-
pu meneruskan perjuangan kekasihnya yang sangat
dicintainya. Dari pandangan matanya yang bening dan
pasrah terpancar rasa begitu tawakal.
Sore harinya, jenazah Jaka Sembung itu baru di-
turunkan. Para penduduk Kandanghaur berdatangan
dari tiap penjuru. Mereka berbondong-bondong ingin
meminta jenazah pendekar Parmin untuk dikebumikan
secara Islam, tetapi maksud tersebut ditolak mentah-
mentah oleh Yah van Eisen. Malahan penduduk yang
datang diancam untuk ditembak jika tidak lekas-lekas meninggalkan alun-alun
pasar itu. Mungkin Belanda
takut, kalau-kalau rakyat Kandanghaur kalap mela-
wan mereka. Akhirnya dengan penuh rasa haru ber-
campur benci kepada Belanda buncit, Yan van Eisen,
mereka terpaksa juga mundur tanpa berhasil memba-
wa jenazah Jaka Sembung.
Rakyat Kandanghaur, kembali ke rumah masing-
masing dengan rasa penuh prihatin. Sebagian besar
mereka berkumpul di surau-surau atau di masjid,
memanjatkan doa untuk Jaka Sembung, semoga ar-
wahnya diberikan tempat yang layak, sesuai dengan
amal ibadahnya. Tujuh hari penuh, surau dan masjid
dipadati oleh kaum muslimin yang memanjatkan
doanya untuk Jaka Sembung.
Malam itu juga, setelah rakyat Kandanghaur me-
ninggalkan alun-alun, Yan van Eisen memberikan pe-
rintah kepada orang-orangnya untuk segera mem-
buang jenazah pendekar itu ke hutan Loyang sehingga
binatang-binatang buas yang ada di hutan tersebut
dapat melalapnya tanpa bekas.
Sementara itu, para penduduk tidak berputus
asa, mereka tetap ingin memperoleh jenazah Jaka
Sembung untuk dimakamkan secara baik dan menu-
rut agama Islam. Karena itu, mereka memilih beberapa orang yang dapat dipercaya
untuk mencari keterangan
di mana jenazah Jaka Sembung itu disembunyikan
atau dibuang oleh tuan tanah gendut itu.
Akhirnya, berkat kesungguhan para penyelidik
rakyat, mereka berhasil mengetahui bahwa jenazah
Jaka Sembung dibuang ke jurang hutan Loyang.
Ketika begundal-begundal Yan van Eisen itu telah
meninggalkan hutan Loyang, penduduk Kandanghaur
yang sangat mencintai Jaka Sembung, malam itu juga
berangkat menuju hutan Loyang. Nyala suluh dan obor
penduduk mencari jenazah Jaka Sembung membuat
seluruh hutan itu menjadi terang benderang. Mereka
bertekad untuk sepenuh hati untuk mencari jenazah
Parmin Jaka Sembung sampai dapat meskipun hanya
tulang belulangnya.
Usaha pencaharian jenazah itu sampai tengah
malam belum juga diketemukan petunjuk, bahkan da-
rahnya pun tidak setitik terlihat, seandainya jenazah tersebut sudah dilahap
binatang buas. "Hei, Opang! Kok tidak ada jenazah itu di hutan ini?" tanya seorang pemuka
rakyat, "Di mana kau lihat jenazah Jaka Sembung mereka buang?"
"Kalau saya tak salah di lembah ini, Pak."
"Sungguh heran!" keluh pemuka rakyat itu dengan lesu.
"Kau yakin?" tanya Pak Kuwu seraya menatap Opang.
"Berani sumpah, Pak," jawab Opang dengan polos. "Tetapi, kenapa tidak ada bekas-
bekasnya?" keluh yang lain.
"Diseret macan ke sarangnya barangkali," duga yang lain lagi.
Tetapi, percakapan menduga-duga itu segera ter-
henti. Darah mereka tersirap mendengar suara serul-
ing dengan lagu rakyat daerah Cirebon. Suara seruling itu begitu merdu dan
mengalun sedih melukiskan kedukaan hati peniupnya.
Sejenak suasana menjadi senyap, kecuali suara
seruling itu yang terus mendayu-dayu menyayatkan
hati, sehingga ada di antara mereka yang hadir itu
menitikkan air mata, apalagi kesedihan dan rasa ber-
kabung memang sedang menyelinap di hati mereka itu.
Saking terharunya, satu demi satu mereka terduduk di tanah seperti mendengar
suara seruling ajaib yang datang tiba-tiba dari langit.
Ketika suara seruling itu berhenti, barulah mere-
ka tersentak. "Kobel, mengapa kau menangis?" tanya seorang tua yang duduk di dekatnya. "Jaka
Sembung, Wak!"
Semua yang mendengar ucapan si Kobel, menekur ke-
pala. "Aku yakin, Jaka Sembung tidak wafat. Dia telah bangkit kembali dan
menjadi Dewa," kata seseorang di antara mereka dengan suara yang meyakinkan.
"Aku juga yakin," kata yang lain. "Semasa hidupnya ia memang suka memainkan
seruling. Suara serul-
ing itu pasti tiupan Jaka Sembung, tetapi dia tidak
mungkin jadi Dewa, karena ia sangat taat pada ajaran agama Islam."
"Mungkin beliau seorang nabi, yang memperli-
hatkan mukjizatnya kepada kita," ujar seorang anak muda dengan nada sungguh-
sungguh, tetapi cepat di-potong oleh seorang kyai yang sejak tadi tidak
memberikan komentar.
"Ngawur kamu! Mana ada nabi yang turun sesu-
dah Nabi Muhammad S.A.W!"
"Makanya, kalau tidak tahu, jangan sok tahu,"
ujar seorang anak muda lain sambil tertawa.
"Siapa yang sok tahu, hah?" bentak anak muda pertama dengan nada marah.
"Hei! Mengapa jadi bertengkar kalian?" tegur Pak Kuwu menengahi.
Akhirnya berita tentang seruling di tengah hutan
Loyang yang dianggap ditiup oleh Jaka Sembung, men-
jalar dari mulut ke mulut dengan cepat serta saling
membumbui, lambat laun menjadi legenda. Orang-
orang yang tidak suka berpikir, lantas cepat percaya bahwa Jaka Sembung tidak
mati, tetapi lenyap begitu
saja. Padahal menurut cerita yang disaksikan dengan
mata kepala oleh kaki tangan Yan van Eisen, Jaka
Sembung itu sudah tewas digantung, kemudian jena-
zahnya dibuang di lembah hutan Loyang. Seekor hari-
mau besar segera menyeret mayat itu ke sarangnya
dan apa yang terjadi... tidak ada yang tahu.
Selama berbulan-bulan, rakyat Kandanghaur
masih saja membicarakan keanehan yang terjadi di
hutan Loyang sehubungan dengan bunyi seruling gaib
dan lenyapnya jenazah Jaka Sembung.
Di warung-warung cerita itu terus menjadi pem-
bicaraan hangat.
"Kau percaya itu, Kawan?" tanya seseorang yang sedang ngopi di sebuah warung
kepada kawannya.
"Kalau ya, biarlah! Biar roh Jaka Sembung da-
tang menyabut nyawa Belanda gendut yang suka me-
meras itu!" jawab yang ditanya dengan seenaknya.
Akhirnya desas desus yang berkembang dalam
masyarakat desa di Kandanghaur, sampai juga ke te-
linga Yan van Eisen.
"Onmoeglijk," teriak Yan van Eisen, seperti menu-tupi rasa ketakutannya, tetapi
di hatinya timbul kera-
gu-raguan. "Celaka, kalau itu benar!" gumamnya dengan gelisah. Ia menggaruk-
garuk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa bawahannya yang hadir di kamar
kerjanya ketika itu diam-diam dapat membaca kekhawati-
ran yang timbul dalam benak atasannya itu.
Ketika Leonard van Eisen datang menghadap ke
kamarnya karena dipanggil, Yan van Eisen berdiri dari kursinya dan bertanya
dengan suara setengah berbisik. "Kau dengar sas-sus tentang Jaka Sembung yang
kini tersebar luas dalam masyarakat Kandanghaur?"
"Ya, Papi."
"Bagaimana pendapatmu, aku ingin dengar!"
"Nonsens, Papi! Menurut laporan Inlanders baya-
ran itu, mayat Jaka Sembung mereka lihat dimakan
harimau." "Apakah mereka bisa dipercaya?"
"Ik yakin, Papi. Papi tidak perlu ragu!" jawab anaknya yang perwira kompeni itu
dengan meyakinkan. "Goed! Papi puas dengan penjelasan mu."
Sepeninggal Leonard, Yan van Eisen masih juga
mondar-mandir di kamar kerjanya. Kegelisahannya
yang tadi mereda, ketika itu muncul kembali. Ia tetap masih ragu-ragu pada
keterangan orang-orangnya. Desas-desus Jaka Sembung masih hidup benar-benar
sangat mempengaruhi ketenangannya. Kini ia merasa
lebih ketakutan lagi daripada sebelum Parmin dihu-
kum gantung... *** 3 Suatu petang kelihatan Leonard van Eisen se-
dang bersiap-siap dengan kuda hitamnya. Dari jauh
adiknya, Elsye memperhatikan Leonard dengan cer-
mat. "Ini pasti ada urusan penting yang hendak diselesaikan," gumam gadis itu
dengan penuh rasa ingin ta-hu. "Aku harus mencegatnya dan mengetahui renca-na
itu. Ini mungkin mengenai Bajing Ireng!" bisik hatinya. Ketika Leonard memacu
kudanya dengan cepat,
tiba-tiba Elsye mencegatnya dari jauh. Leonard meng-
hentikan kudanya sambil bertanya dengan heran.
"Ada apa, Elsye!"
"Boleh aku tahu?"
"Tentang apa?" Leonard tambah heran.
"Kau hendak ke mana?"
"Aku hendak ke tangsi untuk membicarakan se-
suatu dengan orang-orangku tentang...."
"Tentang Bajing Ireng, bukan?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Naluriku sebagai wanita, Leonard!"
"Lantas apa maksudmu?" tanya Leonard agak
kesal kepada adiknya itu.
"Aku tidak bermaksud apa-apa, Leonard," jawab Elsye dengan nada lembut, "Hanya


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku ingin tahu hukuman apa yang dijatuhkan Papi kepada perempuan
muda itu" Apakah ia akan digantung juga seperti ke-
kasihnya, Jaka Sembung?"
"Tidak!" jawab Leonard dengan tegas sambil turun dari kudanya.
"Ia akan mendapat hukuman yang lebih berat da-
ripada Jaka Sembung karena selain ia seorang ekstre-
mis yang membangkang terhadap Kompeni, juga seo-
rang pencuri yang telan menguras persediaan-
persediaan padi di gudang Papi."
"Hukuman yang lebih berat bagaimana maksud-
mu?" usut Elsye ingin tahu.
"Papi telah menjatuhkan hukuman siksa kepada
Bajing Ireng itu."
"Hukum siksa?" tanya Elsye dengan kening berkerut, "Dalam bentuk apa, Leonard?"
"Seluruh badannya akan digores-gores dengan
pisau. Kemudian di luka-luka itu dipoleskan air asam dan garam," jelas Leonard
dengan nada kesombongan.
"Wow, alangkah pedihnya," ujar Elsye dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Bukankah itu suatu perbuatan yang sadis, Leonard?"
"Justru itu yang dikehendaki Papi!"
"Kau tidak mengubahnya dengan hukuman lain?"
"Kurasa tidak! Papi memang menginginkan pe-
rempuan itu mati secara pelan-pelan," jawab Leonard seperti menyokong keputusan
Yan van Eisen ayahnya.
"Untuk apa hukuman sesadis itu" Bukankah kita
orang Belanda berbudaya tinggi?" cetus Elsye dengan rasa haru di wajahnya.
Mendengar ucapan Elsye yang keluar dari hati
nuraninya yang dalam, Leonard van Eisen sejenak ter-
diam. Ia menatap adiknya dengan perasaan kecut.
"Sebenarnya, sejak dahulu aku mengenalmu se-
bagai Leonard van Eisen, seorang perwira yang bijak-
sana, tetapi sekarang...." kalimat itu terputus.
"Hei, sebenarnya kau hendak mengatakan apa
terhadapku?" bentak sang kakak.
"Aku tidak mampu mengatakan apa-apa kepa-
damu, tetapi aku memerlukan kebenaran. Sebenarnya
siapa yang menjatuhkan vonis seperti itu kepada Baj-
ing Ireng, Papi atau Kau" Aku ingin kejujuran," kata Elsye dengan sungguh-
sungguh. "Aku yang mengusulkan kepada Papi dan Papi
menyetujuinya," jawab Leonard dengan jujur pada akhirnya.
Leonard adalah seorang perwira yang memulai
karirnya sejak berdinas di Batavia. Selama karirnya itu ia dikenal atasannya
sebagai perwira yang sangat
luwes dan pandai mengambil hati pribumi. Karena itu, tidak heran kalau dia
selalu berhasil menjinakkan
pemberontakan baik melalui bujukan maupun kekera-
san. Karena kelebihannya itu, oleh Gubernur Jenderal ia ditunjuk untuk menumpas
pemberontak di daerah
Cirebon. Ia datang ke Kandanghaur bersama adiknya
yang perempuan, Elsye, sedang Yan van Eisen ayah-
nya, sudah sebelumnya berada di daerah itu sebagai
tuan tanah. Elsye datang dari negeri Belanda ke Batavia untuk melewatkan masa
libur sekolahnya dan ke-
betulan ikut Leonard abangnya, ke Kandanghaur seka-
ligus untuk berkumpul dengan orang tuanya.
"Jadi, kau yang mengusulkan dan Papi hanya
menyetujui?"
Leonard mengangguk seperti malu kepada adik-
nya itu. "Kalau begitu, tidak ada salahnya kalau kau pula yang menarik kembali usul itu
dan menggantikannya
dengan hukuman lain." saran Elsye dengan nada hormat. "Baiklah akan ku coba,
lihat saja nanti!"
"Dank U Wei, Leonard!" Ketika Leonard hendak menaiki kudanya, Elsye menahannya.
"Apa lagi, Elsye?"
"Satu lagi pertanyaanku, keberatan kau?"
"Apa" Seharusnya kau tidak bertanya lebih ba-
nyak kepadaku di jalan," jawab Leonard tersenyum,
karena sebenarnya ia menyayangi adik perempuannya
itu. "Tidak banyak yang kutanyakan lagi, apalagi li-buran ku hanya tinggal
beberapa waktu saja."
"Jadi, apa yang ingin kau tanya?"
"Rupanya, Papi sangat gembira dengan dinas mu
di daerah Cirebon ini."
"Maksudmu?"
"Kau sangat berarti bagi Papi. Beliau akan menggunakan kekuasaanmu di daerah ini
untuk merampas kembali tanah-tanah milik pribumi yang selama ini telah dibebaskan oleh Jaka
Sembung dan Bajing Ireng.
Yang ingin kutanyakan bagaimana sikapmu sebagai
perwira" Apakah kau juga sependapat dengan Papi?"
"Mengapa tidak?" jawab Leonard tanpa berpikir,
"Tugasku selain untuk mengabdi kepada negara, juga sekaligus mengabdi kepada
orang tua. Aku harus
mengembalikan tanah-tanah Papi seperti sediakala."
"Tetapi, bukankah tanah-tanah itu milik pribumi yang diperoleh dengan
menggunakan pengaruh pemerintah Belanda?" tanya Elsye secara terbuka dan jujur.
"Elsye!" ujar Leonard dengan nada membujuk.
"Pribumi tidak perlu punya tanah. Mereka cukup makan dengan upah yang diperoleh
dari Papi sebagai
tuan tanah. Mereka orang-orang bodoh Elsye, dan kita lebih pandai dari mereka.
Lagi pula yang harus kau ingat, kekayaan Papi juga berarti kekayaan kita,
bukan?" Elsye tidak menjawab. Ia hanya menatap Leonard
dengan tatapan yang penuh arti. Tatapan gadis yang
polos itu terasa menusuk hati Leonard, tetapi ia tidak pernah membuka hatinya
lagi untuk kepentingan
orang lain, selain kepentingan pribadi yang selalu di atas segalanya.
Meskipun demikian, pembicaraan singkat yang
pernah berlangsung dengan adiknya itu, pada saat-
saat senggang selalu terngiang dan secara diam-diam
ia membenarkan kata-kata adiknya itu.
Tetapi kekuasaan yang ada di tangannya, tampak
lebih deras memacu daripada kebenaran yang datang
sekali-sekali. Beberapa waktu setelah pembicaraan Elsye
dengan Leonard berlangsung, kesibukan di kalangan
kompeni Belanda di Kandanghaur nampak menonjol
seperti pada waktu peristiwa penangkapan Jaka Sem-
bung dan Bajing Ireng. Para penduduk yang melihat
kesibukan-kesibukan itu mulai bertanya-tanya lagi.
Sebagian besar mereka menduga, kesibukan kompeni
itu pasti erat hubungannya dengan Bajing Ireng.
"Kita bakal berkabung lagi," ujar seorang tokoh masyarakat.
"Berkabung?" tanya orang-orang yang mendengar pernyataan itu dengan serentak,
"Berkabung tentang apa?" "Mungkin Bajing Ireng hendak digantung pula oleh
kompeni." "Bapak tahu dari mana?" tanya seorang dengan nada cemas.
"Hanya perasaanku," jawab tokoh masyarakat itu, pelan.
"Mudah-mudahan tidak, Pak!"
"Semua juga mengharapkan begitu, Jang!"
Pembicaraan yang singkat di warung itu segera
menyebar luas sampai ke pelosok-pelosok desa, apalagi dugaan itu datangnya dari
seorang tokoh masyarakat.
Belum lagi hilang rasa sedih dan berkabung atas
gugurnya pahlawan rakyat Jaka Sembung, kini kedu-
kaan lain menyusup pula ke hati rakyat laksana sem-
bilu tajam yang menyayat-nyayat mereka.
Kesibukan kompeni tambah meningkat. Suatu
pagi serdadu-serdadu Belanda di bawah komando Leo-
nard van Eisen, mengeluarkan perintah kepada para
penduduk, agar seluruh rakyat di wilayah itu berkum-
pul di halaman Desa Kandanghaur. Setiap orang yang
lalu lalang, diperintahkan oleh serdadu-serdadu itu
agar turut mengumpulkan kawan-kawan mereka sede-
sa. Mereka yang sudah berkumpul itu segera digiring
ke alun-alun. "Benar dugaan Pak Hambali, Bajing Ireng akan
dihukum gantung pula oleh kompeni keparat itu," bisik seorang anak muda dengan
nada penuh kemara-
han. Salah seorang penduduk yang tidak mengerti
masalah, dengan lugu berbisik kepada kawannya, "Ada apa ini, hah?"
"Paling-paling Belanda hendak mempertontonkan
kekejamannya lagi kepada kita," jawab yang ditanya dengan bernafsu. Ia tidak
sadar bahwa di belakangnya ada seorang serdadu. Serdadu itu segera menyentak-nya
dengan keras, kemudian memukul dengan gagang
senjata di kepalanya sampai pingsan, sambil menghar-
dik. "Mampus!" Orang-orang yang menyaksikan keja-dian itu menundukkan kepala.
Mereka tidak dapat
berbuat apa-apa. Itulah tragisnya orang lemah!
Ketika semua rakyat sudah berkumpul di alun-
alun pasar, mereka kaget. Di tengah-tengah lapangan, terlihat seorang gadis
dipalang di sebuah tonggak segi tiga dengan kedua kaki tangannya terikat ketat.
Leonard dan Rasek, penghianat bangsanya, berdiri tidak
jauh dari tempat Bajing Ireng dipalang.
Semua yang menyaksikan peristiwa itu tampak
ciut hatinya dan putus asa. Mereka membayangkan
bagaimana seramnya hukuman yang akan diderita
oleh Roijah. Tidak jauh dari tempat Roijah dipalang itu, terli-
hat pisau dan sebuah mangkok yang berisi cairan.
"Mungkin Bajing Ireng akan menerima hukuman
picis atau hukuman siksa," pikir mereka yang mengerti, "Sungguh keji! Kejam!"
Beberapa saat suasana menjadi tegang. Alun-
alun diselimuti oleh rasa sedih dan duka yang menda-
lam. Tiba-tiba penduduk yang turut dipaksa menyak-
sikan kekejaman itu tersentak dari lamunan. Leonard
van Eisen maju sedikit ke depan dan dengan suara ke-
ras ia berkata.
"Perhatian. Perhatian! Sebagaimana yang sedang
Kowe orang saksikan, seorang pemberontak yang be-
rani menentang kekuasaan Belanda, Bajing Ireng, hari ini akan menjalankan
hukumannya. Atas nama Gubernur Jenderal dan demi kemuliaan Kerajaan Belan-
da, kami menjatuhkan hukuman picis kepada pembe-
rontak dan maling besar Bajing Ireng ini," sambil menunjuk kepada Roijah, "Dan
Kowe orang semua harus melaksanakannya."
"Kami?"
"Kami?"
"Kami" Yang harus melakukannya" Sungguh bi-
adab, tidak! Tidak!"
"Tidak, tidak pantas sama sekali, budi baik dibalas dengan kekejaman. Lebih
pantas rasanya kalau ba-
jingan itu yang kita hukum bersama-sama," kata seorang kyai melampiaskan gejolak
hatinya. Setelah berpidato di depan penduduk Kandang-
haur yang isi pidatonya tanpa disadari menyatakan
kebencian kepada orang-orang Belanda secara tidak
langsung, perwira tinggi Kerajaan Belanda itu melangkah perlahan-lahan ke arah
Bajing Ireng alias Roijah, kemudian dengan kedua tangannya yang cukup kukuh
itu merobek baju kebaya Roijah di bagian atas, sambil berkata:
"Hendaknya hukuman ini menjadi contoh bagi
Kowe orang yang mau berontak dan sekarang setiap
orang harus maju ke depan untuk mengiris tubuh Baj-
ing Ireng ini."
Sejenak suasana menjadi tegang. Rakyat yang
hadir di alun-alun itu tidak seorang pun yang kelihatan maju ke depan untuk
melakukan perintah Belanda
itu. Melihat kekakuan yang demikian, serdadu-
serdadu kompeni Belanda segera bertindak. Seorang
serdadu maju mendorong seorang penduduk yang ber-
diri paling depan. "Ayo Kowe orang maju!" Orang yang dipaksa itu tidak beranjak
sedikit pun dari tempatnya.
Akhirnya dengan sedikit kekerasan, serdadu mendo-
rongnya dari belakang dengan senjata.
"Ayo, cepat sayatkan kulitnya dengan pisau dan
oleskan lukanya dengan air garam dan air asam ini,"
perintah sang serdadu dengan kasar. Tampaknya se-
makin dipaksa, penduduk-penduduk itu semakin se-
perti lumpuh dan tak mampu berdiri.
"Lakukan, Pak! Aku rela demi keselamatanmu,"
ujar Roijah dengan nada lembut. "Aku rela kalian yang melakukannya daripada
Belanda busuk itu."
Mendengar kata-kata Roijah, justru mereka tidak
mampu melakukannya. Tubuh mereka menjadi geme-
tar dan keringat dingin membasahi sekujur badan me-
reka. "Ayo lakukan cepat, goblok!" desak serdadu yang memaksa mereka.
"Tidak, tidak!" kata orang itu setengah berteriak.
Kemudian menangis tersedu-sedu sambil bersimpuh di
kaki Roijah. "Oh, Gusti Allah! Cabutlah nyawaku saja daripa-
da berkhianat kepada orang yang telah membela ka-
mi." "God verdomme zeg!" bentak serdadu itu kehilangan akal. Sambil mengayunkan
gagang bedil yang ada
di tangannya ke kepala penduduk yang tidak berdosa
itu. Orang itu jatuh tersungkur di tanah, disaksikan oleh penduduk lainnya.
"Mampus Kowe!" bentaknya.
"Hei, serdadu busuk! Tembak saja aku ini!" kata orang itu dengan nekad
kehilangan sabar. Melihat sikap penduduk tersebut yang berani melawan, serdadu-
serdadu kompeni Belanda yang memang berwatak ka-
sar segera memasukkan laras bedilnya ke mulut pen-
duduk yang malang dan berbudi itu.
"Kau harus mampus!" bentak serdadu itu dengan keras dan suatu letusan terdengar,
dibarengi dengan
suara teriakan pilu yang singkat. Orang itu pun rubuh ke tanah dan meninggal
seketika. Roijah yang melihat peristiwa itu, darahnya sea-
kan-akan mendidih. Ia mencoba meronta, tetapi ikatan di tangan dan kakinya
terlalu mengetat.
"Biadab!"seru Roijah sambil menatap mata serdadu yang kejam itu dengan tajam.
"Ha... ha...!" ketawanya dengan mengejek, "Itu suatu contoh yang baik. Setiap
orang yang mencoba
melawan kompeni, akan kami kirim ke neraka!"
Seorang pemuka masyarakat dengan berani ber-
kata gamblang: "Saudara-saudara, batas kesabaran kita sudah
dilangkahi oleh kunyuk-kunyuk gila ini. Kita harus
melawan!" Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pemimpin mereka, suasana segera berubah. Di
luar dugaan serdadu-serdadu Belanda itu mendadak
rakyat Kandanghaur unjuk gigi. Kini rasa takut mere-
ka lenyap seketika. Semangat kesetiakawanan menda-
dak menyala di dada mereka. Dendam terhadap kebu-
asan Belanda mulai berkobar.
"Gantung Leonard!"
"Cincang Belanda busuk!"
"Usir anjing keparat!" dan banyak lagi ungkapan rakyat yang melukiskan kebencian
dan dendam kepada orang-orang Belanda. Perlahan-lahan rakyat men-
gepung mereka. Leonard tercengang heran. Kakinya
seperti terpaku di tanah. Sementara rakyat semakin
marah dan akhirnya rakyat tidak terkendalikan lagi.
Dengan kekuatan dan keberanian yang luar biasa, me-
reka menyikat habis-habisan serdadu Belanda. Banyak
serdadu kompeni Belanda yang tewas. Leonard kewa-
lahan mempertahankan diri. Tetapi perlawanan ini ti-
dak berlangsung lama. Akhirnya rakyat terpaksa mela-
rikan diri ketika Rasek, pendekar dari Banten itu turun ke gelanggang membantu
Belanda. Dengan ilmu
iblisnya, Rasek menggebrak ke sana ke mari sehingga
dalam sekejap saja penduduk yang melawan Belanda
itu banyak yang menjadi korban.
Setelah peristiwa itu terjadi, semangat Leonard
van Eisen untuk malang melintang di Kandanghaur
menjadi turun. Peristiwa yang tidak disangka-sangka
itu, ternyata banyak membawa hikmah. Hukuman pi-
cis yang dijatuhkan kepada pendekar Bajing Ireng di-
batalkan. Leonard tidak berani lagi melaksanakannya.
Selain itu, sejak peristiwa tersebut, perwira tinggi Belanda, Leonard van Eisen
mulai bersikap sangat hati-
hati dan tak mau lagi menganggap rakyat enteng.
Beberapa hari kemudian, Leonard mengundang
adiknya ke kamar kerjanya.
"Leonard! Kau panggil aku?" tanya Elsye ketika gadis yang cerdas itu memenuhi
undangan tersebut.
"Ya, kau keberatan?"
"Malah aku senang diundang abang ku," jawab Elsye tersenyum.
"Bukan mengejek kegagalan ku?"
"Tidak! Aku tak suka mengejek orang lain, apala-gi kau abang ku, tetapi ada yang
akan berani mengejek kegagalanmu itu," kembali Elsye tersenyum.
"Siapa?" tanya Leonard penasaran.
"Mungkin dirimu sendiri yang tidak suka mem-
pertimbangkan saran orang lain," jawab Elsye, "Dan mungkin juga penyesalan mu."
"Kau berfilsafat denganku, mentang-mentang kau
kuliah di Fakultas Filsafat," ujar Leonard dengan ke-banggaan yang disembunyikan
di hatinya, ia sangat
bangga pada Elsye, tidak saja karena adiknya itu me-
mang cantik, tetapi buah pikirannya juga brilian.
"Elsye, maafkan aku!" ujar Leonard sambil duduk dekat adiknya.
"Mengenai apa?"
"Mengenai saran mu yang tidak pernah kuper-
timbangkan tentang hukuman terhadap Bajing Ireng,"
jawab Leonard. "Ya, ternyata kau meleset, bukan?" sesal Elsye tidak langsung. "Pribumi di
negeri mana pun yang akan kau hadapi, jangan kau anggap merasa takut kepada
kita karena kita kuat dan bersenjata."
"Begitu analisis mu?" potong Leonard dengan tersenyum.
"Malahan kita yang harus menghargai mereka
karena mereka pemilik negeri ini. Soal kita berhasil menjajah mereka, itu soal
kekuatan fisik," ujar Elsye sungguh-sungguh.
"Itukah sebab aku gagal menghukum Bajing
Ireng?" tanya perwira tinggi itu setengah berdiskusi.
"Antara lain memang itu, tetapi yang lebih pokok ialah cara bertindak mu yang
salah. Seandainya kau
memilih hukum tembak saja, amanah pribumi tidak
akan meluap sehebat itu. Karena itu, kalau boleh aku
mengusulkan hukuman terbaik bagi Bajing Ireng ialah
hukum tembak. Begitu juga bagi ekstremis-ekstremis
lain," jelas Elsye berpendapat.
"Saran mu kurasa cukup, Elsye," ujar Leonard ti-ba-tiba seperti tersinggung,
merasa didikte. "Aku akan memilih cara lain yang dapat memuaskan hatiku." ujar
Leonard yang ternyata memiliki sifat pantang untuk
disinggung. "Aku boleh tahu, cara apa yang kau pikirkan
itu?" "Bajing Ireng akan diikat dan diseret dengan ku-da di sepanjang jalan
desa. Untuk pengamanannya
akan ku datangkan sejumlah serdadu, bersenjata
lengkap dari Cirebon," jelas Leonard menahan hati.
"Hentikan nafsu sadisme itu! Aku tidak setuju
dengan caramu itu," bantah Elsye meskipun ia tahu Leonard sudah mulai kesal
dengan saran-sarannya.
"Elsye! Kau harus tahu, aku ini adalah Letnan
Jenderal Leonard van Eisen yang diserahi kekuasaan
di daerah Cirebon ini untuk menumpas pemberontak
pribumi. Karena itu tidak seorang pun berhak mem-
bantah kemauan dan keputusanku, mengerti?"
Elsye terdiam dan tersinggung. Tetapi, ia tahu
benar sifat abangnya yang sama sekali tak mau mem-
pertimbangkan pendapat orang lain. Karena itu, ia tidak ingin mempersoalkan hal
itu lagi sebab memang
bukan haknya. Elsye bangkit dari duduknya dan pamit
kepada abangnya tanpa sedikit pun memperlihatkan
rasa tersinggungnya.
Sepeninggal Elsye, perwira tinggi kompeni Belan-
da itu termenung sejenak. Rasa penyesalannya berkata kasar kepada Elsye sempat
mengusiknya beberapa
saat... Leonard, seorang militer yang suka menggunakan tangan besi hampir dalam
setiap masalah. Sebagai
perwira tinggi, ia sama sekali tidak mudah terpengaruh dengan pendapat orang
lain, termasuk pendapat adiknya yang sudah duduk di perguruan tinggi seperti El-
sye. Dalam masalah tanah, Leonard benar-benar tu-
run tangan langsung. Ia bertekad untuk terus mem-
bantu Papinya dalam usaha merampas kembali tanah-
tanah penduduk yang pernah diperjuangkan oleh Jaka
Sembung sebelum ia digantung.
Sekarang Jaka Sembung sudah tak ada lagi. Ke-
bebasan Yan van Eisen untuk menindas dan meram-
pas milik rakyat, sudah tidak terhalang lagi. Bajing Ireng yang masih hidup,
sudah tidak dapat berbuat
apa-apa karena meringkuk dalam tahanan Leonard
van Eisen. Yan van Eisen dengan memperalat anaknya; Leo-
nard, menghimpun sejumlah tukang pukul yang dita-
kuti rakyat dengan tugas mematok kembali tanah-
tanah yang selama ini digarap oleh para petani, yang semasa Jaka Sembung masih
hidup berhasil diperjuangkan dan dikembalikan kepada para petani pemilik.
Itulah asal mulanya permusuhan antara tuan ta-
nah Yan van Eisen dengan Parmin Jaka Sembung dan
Roijah Bajing Ireng, yang kemudian berakhir dengan
tragis untuk kemenangan tuan tanah Yan van Eisen
yang dibantu langsung oleh kekuatan militer di bawah pimpinan Leonard van Eisen.
Suatu hari yang naas, serombongan tukang pu-
kul Yan van Eisen mendapat perintah dari majikan
mereka untuk kembali mematok tanah-tanah yang du-
lu pernah pindah tangan menjadi milik Yan van Eisen.
Desas-desus itu sudah lama didengar para petani dan
mereka telah bersiap-siap untuk mempertahankan hak
miliknya, sumber hidup mereka.
Sebidang tanah yang sedang digarap oleh pemi-
liknya didatangi oleh tukang pukul tuan tanah. Tanpa bertanya dan berbasa-basi
sedikit pun, orang-orang
Yan van Eisen yang berwajah seram dan kasar itu me-
lakukan pematokan dan mendirikan tanda pemilik
yang berbunyi : TANAH MILIK VAN EISEN. Tentu saja
pemiliknya menjadi marah.
"Hei, tunggu dulu! Apa itu?" tanya seorang pemilik sawah.
"Kalian tidak bisa baca, apa?" jawab tukang pukul itu dengan kasar.
"Tanah milik van Eisen?" keluh para petani itu,
"Sungguh lucu! Kapan Belanda buncit itu datang ke mari membawa tanah, hah?"
"Hei, kalian jangan banyak bacot," hardik tukang pukul sambil mengeluarkan
goloknya. "Siapa yang masih ingin hidup tinggalkan tanah ini. Mulai hari ini
sawah yang kalian garap menjadi hak van Eisen kembali, mengerti?"
"Edan!" keluh petani pemilik.
"Siapa yang edan?" tantang tukang pukul sambil menjambret leher baju para petani
sekaligus ditolak-nya jatuh ke lumpur sawah. Tidak puas dengan perla-
kuan kasar seperti itu, rumahnya didatangi dan anak
bininya diancam akan dibunuh. Akhirnya tanah itu ja-
tuh juga ke tangan van Eisen.
Lain lagi dengan petani-petani yang bernyali be-
sar. Mereka tetap mencoba mempertahankan hak mi-
liknya. Kalah memang urusan belakangan.
Seorang petani yang memergoki orang-orang su-
ruhan van Eisen memancang patok di pinggir tanah-
nya, langsung melabrak.
"Hei, apa-apaan ini" Cabut kembali, sebelum go-
lokku berbicara," ancam petani yang berani. Tukang pukul itu kaget mendadak.
Kemudian perlahan-lahan
kagetnya hilang. Mereka mulai memperlihatkan se-
nyum mengejek, sambil berkata:
"O, kau berani juga rupanya menghadapi kami."
"Mengapa harus takut" Tanah ini milikku yang
sah, warisan turun temurun dari nenek moyang ku,
bukan milik Belanda buncit itu, tahu?"
"Kemarin memang milikmu," bantah tukang pukul bayaran dengan tegas, "Tetapi hari
ini sudah menjadi milik van Eisen."
"Kalian boleh menganggap begitu, tetapi patok itu harus kalian cabut sekarang
juga," kata petani yang berbadan tegap, sambil mencabut goloknya.
"Kalau tidak kami cabut?"
"Harus kataku, sebelum golokku berbicara," ancam sang petani.
Sejenak suasana menjadi tegang. Kedua suruhan
van Eisen berunding sebentar. Kemudian dengan nada
mengalah berkata, "Baiklah kalau begitu, patok akan ku cabut." Ia berkata
demikian sambil mendekati patok sementara kawannya yang lain berpura-pura me-
ninggalkan tanah sawah itu. Hati pemilik sawah men-
jadi lega. Rasa marahnya lenyap seketika, tetapi apa yang terjadi"
Ketika seorang di antara mereka berpura-pura
mencabut patok, temannya yang seorang lagi yang po-
Tengkorak Maut 14 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Rahasia Ciok Kwan Im 4
^