Pencarian

Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 2

Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Bagian 2


sisinya berada di belakang pemilik tanah, secepat kilat berbalik dan membokong
petani itu dari belakang sehingga goloknya terpental jauh. Sementara itu, suru-
han yang tadinya berpura-pura mencabut patok, sege-
ra memungut golok dan menghantam pemilik sawah
yang belum sempat bangun. Tetapi di luar dugaan, su-
atu tendangan keras mengenai tepat di dada penye-
rang sehingga ia tak pernah bangun lagi untuk sela-
ma-lamanya. Namun pertarungan itu belum berakhir.
Melihat temannya jatuh tergeletak di tanah, si pembokong yang semula mencabut
goloknya dan membacok
dari belakang tanpa sempat terjengkang oleh petani
malang itu. Melihat korbannya bermandi darah, si tu-
kang pukul segera ngibrit ketakutan.
Sementara itu, pemilik tanah yang menderita lu-
ka parah tersebut tampak beringsut perlahan-lahan
mendekati patok dan dengan tenaganya yang masih
tersisa, ia berhasil mencabut patok yang membawa
malapetaka itu. Kemudian dengan pasrah ia menutup
usianya setelah berjuang mempertahankan hak milik-
nya... Di bagian lain di desa itu juga, peristiwa perampasan tanah milik para
petani oleh orang-orang Yan
van Eisen terus berlangsung. Tanah-tanah petani yang bernyali kecil, direbut
dengan paksa tanpa perlawanan, tetapi petani-petani yang berani, tetap
mempertahankan tanah miliknya, meskipun harus nyawa tan-
tangannya. Peristiwa perampasan tanah yang sering terjadi di
Kandanghaur itu, semakin menggelisahkan rakyat. Ke-
tenangan dan kenyamanan hidup di desa tersebut be-
rangsur-angsur semakin hilang. Rakyat semakin terte-
kan dan penderitaan mereka semakin mendalam.
Pada saat-saat seperti itu, kembali mereka mem-
butuhkan orang seperti Jaka Sembung dan Bajing
Ireng. Tetapi kapan orang-orang seperti itu muncul lagi untuk membela mereka"
Pertanyaan itu hampir timbul
setiap hari di tengah-tengah masyarakat desa, tetapi juga mereka menyadari Jaka
Sembung dan Bajing
Ireng tidak mungkin datang lagi untuk menjadi pembe-
la. Belum lenyap lagi bermacam ancaman yang di-
alami oleh para petani, muncul pula berita yang tersebar dari mulut ke mulut
tentang banyak petani yang
terbunuh akibat mempertahankan hak miliknya di-
rampas oleh begundal-begundal tuan tanah Yan van
Eisen. Para pemuka masyarakat yang mengerti hukum,
berkali-kali berusaha untuk mencari keadilan, teruta-ma di pejabat tingkat atas
di Cirebon, tetapi usaha itu sama sekali tidak pernah membawa hasil. Leonard
anak tuan tanah Yan van Eisen mampu mempetieskan
semua pengaduan tersebut.
Di suatu bagian desa, masih dalam Desa Kan-
danghaur terjadi pula suatu peristiwa yang hampir-
hampir tidak masuk akal.
Seperti biasa, dua orang begundal kaki tangan
Yan van Eisen datang ke tanah sawah seorang petani
yang sedang menggarap tanahnya. Dengan sikap sama
sekali tidak memperdulikan pemiliknya, langsung me-
mancang patok "van Eisen" di pinggir sawah yang sedang digarang itu. Melihat
kenekatan dan kesombon-
gan begundal-begundal tersebut, pemilik tanah meng-
hentikan pekerjaannya. Petani itu datang mendekati
dan bertanya: "Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-
sen?" Pertanyaan itu tidak dijawab. Kedua pelaku tersebut seakan-akan
memperlihatkan kesan, kok ada
orang yang berani bertanya seperti itu pada mereka.
"Hei, kalian budek?" ulang pemilik sawah dengan nada kesal.
"Sedikit budek," jawab salah seorang di antara mereka, "Ada apa rupanya?"
"Mengapa di sawahku kau pancang patok van Ei-
sen?" ulang petani itu dengan nada kesal.
"Heii... kau mimpi barangkali"! Dengar kataku,
tanah ini telah lama kau jual kepada van Eisen dan
uangnya sudah habis kau pakai untuk mengawinkan
anakmu yang janda itu, bukan?"
Petani itu sejenak tercengang, "Aku belum pernah
berhubungan sekalipun dengan tuan tanah kejam itu.
Apalagi untuk menjual tanah sawah warisan ayahku
ini," bantah pemilik sawah dengan nada heran.
"Aku tidak pernah punya anak perempuan, apa-
lagi mengawinkan anak yang sudah janda seperti ka-
lian katakan," tambah pemilik sawah dengan dongkol.
"Ha...! Petani ini pandai berbohong juga ru-
panya," ujarnya tukang pukul gemuk yang berkumis lebat. "Kalian yang pembohong
dan mengada-ada!" bantah petani itu dengan marah. "Sekarang segera cabut patok
itu!" "Kalau kami tak mau mencabutnya?" tanya kedua tukang pukul itu serentak.
"Kalian harus mencabut, kalau kau tidak mau ri-
but denganku!"
"Tidak!" jawab mereka berbarengan.
"Jadi, kalian benar-benar hendak mencari gara-
gara denganku?"
"Kalau ya, bagaimana?" kedua kaki tangan van Eisen itu memang mencari ribut.
"Ooh, kalian menantangku?" tanya pemilik sawah itu setengah berteriak sambil
secepat kilat mengayunkan paculnya menyerang kedua jagoan tuan tanah itu.
Tetapi, secepat kilat pula kedua mereka mengelak ke
samping dan salah seorang di antara mereka berhasil
menangkap tangan petani itu serta mempelintirnya
dengan kuat sehingga pacul yang dipegangnya terpen-
tal jauh, serentak dengan terdengar suara pekik kesa-kitan, petani itu pun jatuh
ke lumpur akibat lambungnya tersodok deras oleh musuh.
Ketika petani itu berusaha bangun kembali, be-
gundal gemuk yang berkumis tebal bersiap-siap hen-
dak menginjak tengkuknya, tetapi tiba-tiba ia tersentak kuat. Tangan kanannya
terbelit ketat dengan seu-
tas tali besar dan tubuhnya terjungkal ke belakang
masuk lumpur. "Jangan bertindak sekasar itu, mengerti!" terdengar suatu bentakan lembut yang
ke luar dari mulut
seorang wanita cantik yang duduk tenang di atas ku-
danya, yang tak lain adalah Elsye van Eisen sendiri.
"Tapi... ini perintah Tuan Besar Leonard, Nona,"
kata si kumis gendut itu membela diri.
"Aku tahu, tetapi bukan berarti kalian harus bertindak semau-maunya. Kalian
tidak dibenarkan ber-
tindak di luar batas menghajar para petani yang tidak berdosa, mengerti?"
"Mengerti, Nona!" jawab mereka serentak.
"Kalau kalian tidak mengindahkan nasihatku,
aku takkan segan-segan menghukum kalian. Laksana-
kan perintah majikanmu ini dengan baik, dengar?"
Kedua begundal itu mengangguk. "Nah! Tinggal-
kan tempat ini segera!" perintah Nona Belanda dengan tegas. Sementara itu
pemilik sawah yang penuh dengan lumpur bangun berlutut dengan penuh hormat
sambil berkata:
"Terimakasih! Nona telah menolong hamba! Jika
Nona tidak ada, tentulah hamba telah mati di tangan
mereka!" Elsye hanya mengangguk lembut. Di hatinya tim-
bul rasa iba dan terharu, adakah pantas manusia se-
lembut dan sesopan itu harus dianiaya dan diperas terus menerus"
"Sayang sekali, aku tidak dapat berbuat banyak
untuk membebaskan kalian dalam hal ini, meskipun
Leonard itu abang kandungku, namun jalan hidup
kami berlainan. Maafkan aku dan selamat berpisah!"
ujar Nona yang baik hati itu.
Ketika Elsye van Eisen meninggalkan tempat
yang hampir-hampir saja meminta korban, petani pe-
milik sawah itu perlahan-lahan bangun dan berdiri tegak. Di hatinya, terlintas
suatu pengakuan, "Rupanya tidak semua orang Belanda berhati kejam, tetapi
sayang jumlah yang baik seperti itu sedikit sekali. Kapan kiranya bangsa
Indonesia bisa lepas dari belenggu penjajahan ini" Sayang orang-orang seperti
Jaka Sembung sudah tiada."
Petani itu terus berdiri sambil memandang gadis
Belanda yang baik hati itu sampai kudanya menghi-
lang di kelokan yang penuh semak belukar, sementara
hari berangsur-angsur menjadi remang-remang senja.
Malam semakin larut. Rakyat Kandanghaur se-
bagian besar telah tertidur pulas. Mereka lelah akibat kerja keras di sawah dan
di ladang-ladang. Sawah dan ladang itulah tumpuan hidup mereka, di samping
usaha-usaha lain sebagai sambilan untuk memanjangkan
hidup. Suasana sunyi meliputi desa kecil itu. Hanya ca-
haya bulan yang remang-remang telah membuat desa
itu sedikit hidup dan bergairah.
Dalam cahaya yang remang-remang itulah keliha-
tan dari jauh sesosok tubuh mungil berjalan setengah mengendap-endap menuju
pabrik penggilingan padi
milik Yan van Eisen.
Pabrik penggilingan padi ini, sejak kehadiran
Leonard di Kandanghaur sudah dirombak menjadi ru-
mah tahanan yang penuh dengan kamar-kamar berje-
ruji besi. "Semoga James telah mengatur segala-galanya,"
gumam sosok tubuh itu sendirian. Sementara lang-
kahnya semakin dipercepat menuju ke rumah tahanan
itu. Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu menyeli-
nap dengan hati-hati ke dalam rumah tahanan. Di de-
pan pintu gerbang besi yang kukuh, sosok tubuh ter-
sebut berhenti. Matanya tertuju kepada seseorang serdadu yang sedang berjaga-
jaga di bagian depan.
"James!" serunya perlahan. Yang dipanggil tersentak sambil melihat ke arah
datangnya suara yang
seperti sudah dikenal itu.
"Elsye!" seru Jemas membalas.
"Sssst," desis Elsye sambil mengisyaratkan telun-juk di mulutnya pertanda hati-
hati. Elsye masuk per-
lahan-lahan mendekati James.
"Bagaimana semua telah kau atur?"
"Semua aman, masuklah!" ujar penjaga itu dengan yakin.
"Di mana perempuan itu ditahan?"
"Kau mau bicara dengannya?"
Elsye mengangguk sambil tersenyum. Ia memang
gadis cantik yang ramah, yang mampu menundukkan
hati laki-laki, apalagi James sebagai bawahan abangnya. James mengantarkan Elsye
sampai ke pintu ka-
mar, tempat Roijah si Bajing Ireng ditahan.
"Ya, Dank U Well!" ujar Elsye sambil mengisyaratkan James kembali ke tempat
penjagaannya semu-
la. Elsye segera bertemu dan bertatapan muka den-
gan pendekar wanita terkenal di seluruh daerah Cire-
bon itu. Kesan pertama yang menyelusup di benaknya
ketika itu ialah kecantikan Roijah, kesederhanaan sikap dan kewibawaannya yang
dapat terasa. "Oh, siapa Anda?" tanya Roijah ketika melihat seorang gadis berambut pirang di
tengah malam masuk ke kamar tahanannya.
"Aku Elsye, adik kandung Leonard van Eisen."
"Perwira tinggi yang pernah hendak menghu-
kumku dengan hukuman yang luar biasa itu?"
Elsye mengangguk, "Tetapi janganlah Anda men-
ganggap aku musuh. Kehadiranku di hadapan Anda di
tengah malam seperti ini semata-mata karena ingin
bersahabat dan jika mungkin ingin menolong Anda,"
ucap Elsye dengan suara tulus yang dapat dirasakan
oleh Roijah. "Anda bermaksud menolongku?" tanya Roijah
dengan tenang. "Benar! Aku ingin membantu Anda untuk lari da-
ri tempat celaka ini."
"Apa yang mendorong Anda melakukan pekerjaan
yang begitu berbahaya untuk diri Anda?" tanya Roijah si Bajing Ireng tambah
heran. "Aku tak sampai hati kaum ku disiksa dengan bi-
adab, meskipun kita berlainan kulit dan bangsa," jawab Elsye dengan lembut,
"Tetapi perikemanusiaan tidak pernah membeda-bedakan itu," tambah Elsye
sampai memegang bahu Roijah yang duduk dengan
kedua tangannya terbelenggu rantai.
"Elsye, apa yang Anda ketahui tentang nasibku
selama dalam tahanan ini?" tanya Roijah ingin tahu.
"Anda akan bernasib sangat buruk, Roijah! Anda
akan menerima hukuman yang sama buruknya den-
gan hukuman yang pernah gagal dilaksanakan bebe-
rapa waktu yang lalu" jawab Elsye dengan nada sedih.
"Ceritakan kawan, seburuk apa pun hukuman
yang akan ditimpakan kepadaku, supaya aku akan
bersiap-siap menerimanya dengan tabah."
"Anda akan diseret dengan kuda sepanjang jalan
desa besok pagi."
"Besok pagi?" tanya Roijah tersendat nafasnya.
"Sekarang bersiaplah untuk lari bersamaku!"
tanya Elsye dengan bersungguh-sungguh.
Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Elsye,
Roijah si Bajing Ireng terkesima. Ia menatap Elsye
dengan pandangan yang mendalam. Roijah seperti
bermimpi mendengar kata-kata seorang gadis Belanda
yang sedang berlutut di depannya.
"Anda ragu, Roijah?"
"Tidak!"
"Kalau begitu cepatlah! Serdadu-serdadu jaga di luar adalah orang-orangku.
Mereka telah ku sogok dan Anda dapat ke luar dengan aman," tambah Elsye
meyakinkan. Tetapi, baru saja sampai di situ ia berkata, di
luar terdengar suara letusan senjata api.
"Ha"! Suara apa itu?" tanya Roijah yang sudah siap untuk lari.
"Aku tak tahu," jawab Elsye dengan gugup. Ia segera melompat ke luar. Hatinya
tiba-tiba menjadi ke-
cut, kemudian ia terperanjat ketika melihat tubuh
James terkapar di depan pintu gerbang berlumuran
darah. Sesosok tubuh menyeringai kepadanya dengan
sebuah pistol yang masih berasap di tangannya
"Mengapa kau ada di sini?" tiba-tiba terdengar suara Leonard.
Aku mau bertemu dengan James, yang sekarang
telah kau bunuh," jawab Elsye dengan sangat marah.


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa kau ke kamar tahanan?"
"Mengapa, kalau aku hanya ingin buang air ke-
cil," jawab Elsye dengan lancar tanpa kegugupan di wajahnya sedikit pun.
"Bukan dengan seorang tahanan?"
"Tidak ada yang kukenal di dalam tahanan mu,"
jawab Elsye jengkel.
"Godverdomme!" teriak Leonard sambil men-
gayunkan gagang pistolnya ke muka Elsye sehingga
Elsye jatuh terduduk. Tidak puas dengan perlakuan
yang sekasar itu, ia menarik tangan adiknya dengan
kuat, kemudian menyeret tubuhnya dengan bengis.
Semua yang terjadi di depan tahanan disaksikan
oleh Roijah dengan penuh rasa haru. Di sepanjang ja-
lan menuju ke rumahnya, Elsye diseret dengan kejam
sehingga pakaiannya robek-robek dan lutut beserta be-tisnya luka berdarah.
"Lepaskan aku Leonard, lepaskan! Lepaskan!" te-riaknya.
Kekejaman Leonard benar-benar diperagakan
dengan sungguh-sungguh. Elsye diseret dari rumah
tahanan militer sampai ke rumahnya yang jauhnya ti-
dak kurang dari seratus lima puluh meter.
Sesampai di rumah, kedua belah tangan Elsye di-
ikat kuat-kuat ke sebuah tiang. Kemudian dengan se-
buah cambuk, Elsye dicambuki bertubi-tubi sehingga
kulitnya yang mulus itu terkelupas mengeluarkan da-
rah. Tubuhnya seperti mengkerut dan kejang. Elsye
meratapi dengan sedih dan memilukan, tetapi tidak
berhasil menggugah kekerasan hati abangnya yang ke-
jam itu. Leonard benar-benar sudah kemasukan setan.
Dengan kalap ia terus mencambuk adiknya sehingga
akhirnya Elsye tidak mampu bertahan dan pingsan.
Teriakan Elsye dan suara cambuk yang berkali-
kali itu akhirnya membangunkan Yan van Eisen dari
tidur nyenyaknya. Dengan sempoyongan tuan tanah
tamak itu keluar dari kamar tidurnya menuju ke ruan-
gan tempat suara hiruk pikuk itu terdengar
"Hei, apa yang kau lakukan" Berhenti!" teriak Papinya dengan marah.
"Papi! Elsye bersekongkol dengan ekstremis itu!"
lapor Leonard dengan wajah bengis dan penuh kerin-
gat. "Dia telah berkhianat kepada negara!" tambahnya.
"Jadi, hendak kau apakan dia" Hendak kau bu-
nuh" Hendak kau gantung?" damprat Papinya marah,
"Jika itu yang kau inginkan bunuh dan gantunglah aku. Aku sudah tua dan mungkin
tidak kau perlukan
lagi dalam segala hal!" wajah Yan van Eisen merah pa-
dam. "Papi! Ik adalah penguasa penuh di daerah ini.
Jadi tak ada seorang pun berhak mencampuri urusan-
ku!" tukas Leonard dengan tegas tanpa mempertimbangkan lagi siapa yang sedang
berbicara di depannya.
"O, begitu?" tanggap Papienya dengan cepat, "Tetapi harus kau ingat, jika kau
bertindak sembarangan kepada Elsye anakku, kau akan berhadapan denganku
di pengadilan militer kelak."
Leonard terdiam. Pengawal-pengawalnya pun ter-
diam. "Peter! Lepaskan dia!" perintah Leonard kepada ajudannya. Peter segera
melaksanakan perintah itu.
Elsye bangkit perlahan-lahan dituntun oleh Papinya.
Elsye yang seluruh badannya disengat cambukan Leo-
nard, menangis tersedu-sedu di kamar Papinya, Yan
van Eisen. Luka-luka yang diderita Elsye dibersihkan dengan teliti oleh Papinya
dan kemudian diobati,
*** 4 Peristiwa di rumah tahanan militer yang terjadi
malam itu sangat dirahasiakan, James yang hanya ter-
tembak di bahunya segera diangkut ke rumah sakit
dan dirawat. Regu pengawal digantikan dengan regu baru. Te-
tapi dl luar pengetahuan serdadu-serdadu jaga itu menyelinap sesosok tubuh
dengan langkah ringan tanpa
sedikit pun bersuara.
Seorang serdadu yang sedang berjaga-jaga di pin-
tu gerbang, tiba-tiba jatuh terkapar hanya dengan sua-
tu pukulan tangan tepat di kuduknya. Serdadu itu ru-
buh terduduk tanpa sedikit pun mengeluarkan suara.
Sosok tubuh itu tanpa banyak membuang waktu lalu
masuk ke pintu gerbang kemudian menyelonong ke
kantor. "Ini dia," gumam orang itu sambil merenggut se-rangkaian kunci yang tergantung
di kantor itu. Kemu-
dian dengan langkah tenang tetapi pasti, membuka se-
buah kamar yang terletak di tengah-tengah.
"Klek!" terdengar suara kunci dengan jelas.
Roijah yang masih belum tidur karena hatinya
gelisah memikirkan nasib Elsye yang ingin menolong-
nya, tapi akhirnya ia sendiri mendapat malapetaka.
Mendengar suara kunci kamarnya seperti dibuka
orang, ia mengangkat kepala lambat-lambat. Tiba-tiba suatu panggilan terdengar
jelas di telinganya,
"Roijah! Roijah!"
"Siapa?" tanya Bajing Ireng setengah berbisik karena suara yang memanggil
namanya itu sudah sangat
terkenal di telinganya. Di depannya berdiri sesosok tubuh samar-samar yang
terlihat dari cahaya lampu
yang terpasang di tengah-tengah gang.
"Oh. Kau Akang Parmin" Kau masih hidup.
Akang?" ucap Roijah sambil merangkul orang yang sangat disayangi itu.
"Roijah! Aku masih hidup!" ujar bayangan samar itu dengan nada rindu dan
berusaha meyakinkan kekasihnya bahwa pertemuan itu bukan dalam mimpi.
"Akang datang tepat waktunya," kata Roijah dengan gembira. "Kalau tidak, mungkin
kita tidak akan bertemu lagi untuk selama-lamanya." Roijah semakin ketat memeluk
Parmin, seakan-akan tak hendak dile-paskan lagi.
"Apa maksudmu, Ijah?"
"Besok pagi aku harus menjalani hukuman seret
dengan kuda di sepanjang jalan desa," jelas Roijah dengan titikan air mata yang
terasa hangat di bahu
Parmin. "Bagaimana kau tahu, Dik?"
"Panjang ceritanya, Kang! Nanti akan ku-
ceritakan sesampai di luar," jawab Bajing Ireng sambil memperlonggar pelukan.
"Kalau begitu, marilah kita keluar segera dari neraka ini," ujar Parmin si Jaka
Sembung sambil menarik tangan Roijah. Sebagai seorang pendekar yang
memiliki ilmu tinggi untuk keluar masuk seperti itu ti-daklah sukar.
Parmin dan Roijah segera keluar dari kamar ta-
hanan itu. Mereka berjalan di gang dengan perlahan-
lahan. Sesampai di samping kantor, Roijah berbisik,
"Banyak penjaganya, Kang!"
"Jangan ragu, Insya Allah, Tuhan selalu menyer-
tai maksud baik kita," Parmin balas berbisik sambil meremas tangan Roijah dengan
lembut. Sementara itu,
di luar pintu gerbang kelihatan dua orang serdadu
mengawal seorang tangkapan. Salah seorang di anta-
ranya setengah berteriak minta dibuka pintu.
Parmin dan Roijah melihat kesempatan itu, "Ber-
siaplah, Dik!" kata Parmin dan begitu pintu terbuka berkelebatlah dua bayangan
serentak dengan jatuhnya
ketiga serdadu yang ada di depan pintu gerbang. Kejadian yang mendadak itu,
telah membuat suasana ka-
lang kabut, panik dan ketakutan.
Roijah dan Parmin telah berada di luar Rumah
Tahanan. Di ufuk Timur tampak fajar kemerah-merahan.
Kokok ayam jantan mulai terdengar di sana sini. Seo-
rang dua penduduk mulai meninggalkan rumahnya
menyusuri jalan desa menuju ke alun-alun dan ke
tempat-tempat lain untuk mencari penghidupan.
Sementara itu suasana sibuk di Rumah Tahanan
Militer semakin memuncak. Ketiga Serdadu yang jatuh
kelengar di pintu gerbang, setelah mendapat perawa-
tan seperlunya bangun kembali dengan terheran-
heran. Seorang tangkapan yang sempat melihat peristi-
wa aneh itu dan kebetulan tidak berniat melarikan diri, padahal kesempatan itu
ada, didengar keterangannya.
Ia diperiksa oleh penjaga kepala dengan teliti.
"Kau lihat orang itu?" tanya pemeriksa dengan nada biasa.
"Hanya sepintas lalu, Tuan."
"Berapa orang mereka?"
"Kalau tidak salah dua orang; seorang laki-laki dan seorang perempuan."
"Siapa nama mereka?" pemeriksa mulai membentak. "Saya tidak kenal, Tuan!" jawab
orang separuh baya itu dengan gugup.
"Masa tidak kenal, begitu kau hendak masuk dan
pintu terbuka ia mabur dari sini. Pasti kau ada hu-
bungan dengan dia," tuduh pemeriksa dengan wajah mulai bengis.
Ketika kepala jaga itu hendak melanjutkan peme-
riksaan, seorang serdadu masuk ke kamar periksa dan
melapor. "Tugas telah dilaksanakan! Jenderal akan segera ke mari. Laporan selesai."
Mendengar laporan itu, hati Kepala Jaga menda-
dak tidak enak. Ia bangkit dari kursinya sambil me-
manggil seorang serdadu lain yang sedang tugas di
luar. "Bawa tahanan ini ke sel," perintahnya sambil menarik tangan serdadu yang
baru selesai melapor
dan mengajaknya ke suatu tempat istirahat di bagian
belakang. "Apa reaksi Jenderal mendengar laporanmu?"
tanya Kepala Jaga itu khawatir.
"Ia marah-marah dan memukul-mukul meja se-
perti orang kalap," jawab serdadu yang ditanya dengan nada prihatin.
"Celaka!" seru Kepala Jaga sambil bersandar ke sandaran kursinya dengan lesu.
"Mengapa Kapitan?"
"Ia pasti menghukum kita karena dianggap kita
teledor dalam menjalankan tugas, terutama aku," jelas Kepala Jaga itu dengan
gelisah. "Apa mungkin begitu?" tanya serdadu bawahan tersebut seperti tidak yakin.
"Kau belum tahu wataknya karena kau baru di-
tempatkan di sini, tetapi contohnya pasti kau ingat
James, Kepala Jaga yang semalam ditembak oleh Jen-
deral Leonard hanya karena tidak ada di tempat keti-
ka, ia datang ke kantor jaga.
Sehabis berkata begitu, Kepala Jaga terkejut
langsung bangkit dari kursinya kembali ke kantor jaga seperti didorong oleh
firasatnya. Benar saja, baru ia membenah-benah mejanya, Letnan Jenderal Leonard
van Eisen datang marah-marah dengan wajah bengis.
"Rasek! Sebentar lagi hari akan pagi. Kau kutu-
gaskan sekarang untuk segera mencari Bajing Ireng
dan penolongnya. Tangkap mereka dan bawa ke mari
hidup-hidup, mengerti?" perintah Leonard dengan tegas, "Kurasa mereka belum jauh
dari desa ini," tambah Jenderal yang berdisiplin ketat itu.
Ketika Rasek meninggalkan Rumah Tahanan Mi-
liter itu, hari mulai terang. Angin pagi Kandanghaur berhembus sejuk, seakan-
akan hendak menyejukkan
hati Rasek dan Jenderal Leonard van Eisen yang pe-
nuh dendam. Rasek sebagai seorang pendekar yang tinggi ilmu
hitamnya, sejenak bersemadi untuk mengetahui ke
arah mana kedua buronan itu lari. Kemudian dengan
tersenyum ia segera menggunakan ilmu lari angin dan
menuju ke tempat sasarannya. Ia bergerak seperti seekor tupai dari pohon ke
pohon sambil mengintai lawan yang dicarinya itu. Tubuhnya yang ringan itu
melesat ke sana ke mari dengan mudah dan akhirnya matanya
yang seperti radar itu sempat melihat dua orang yang sedang berlari cepat menuju
ke arah Utara. Rasek tersenyum dan dengan diam-diam ia ber-
maksud membuat suatu kejutan, menghadang kedua
buruannya itu dari depan. Ia seperti terbang dan se-
bentar sudah berada di depan Parmin dan Roijah da-
lam jarak kurang lebih lima puluh meter.
"Kita terperangkap, Roijah!" ujar Parmin terhenti.
"Jadi?" bisik Roijah.
"Kita terpaksa mundur karena melawan Rasek
sama artinya dengan bunuh diri," kata Parmin sambil menarik tangan Roijah untuk
lari. Tetapi, alangkah
kaget mereka, tidak jauh dari tempat itu kelihatan Rasek lain semakin dekat
menuju ke arah mereka.
"Aneh, Rasek ada di depan dan di belakang kita,"
keluh Roijah dengan sedikit khawatir, "Tidak ada pilihan lain Akang, sebagai
pendekar kita harus mela-
wan." "Aku bukan Rasek! Aku musuhnya, biarlah aku melawan dia!" kata orang yang
mirip dengan Rasek sambil tersenyum, "Kalian bukan tandingannya, anak muda!"
"Alhamdulillah!" ucap Parmin sambil menatap Roijah yang sedang siap-siap untuk
bertempur, "Mundur Dik, biar kita jadi penonton hari ini," tambah Parmin. Roijah
berangsur-angsur baru pulih dari ketegangannya.
Kelihatannya Rasek sama sekali tidak memperha-
tikan kehadiran orang lain yang semakin dekat ke
arahnya. Ia hanya melihat dan memusatkan perha-
tiannya kepada kedua buronan yang sedang dikejarnya
itu. "Hei, bocah! Kalian mau lolos ke mana?" teriak Rasek dengan suara yang
menggema di setiap penjuru.
"Lupakan mereka, Kawan!" seru pendekar berbaju hitam, yang wajahnya mirip
dirinya, "Kau hanya berani dengan anak ingusan yang
bukan tandingan mu!"
Rasek terkesima sejenak, kemudian bertanya
dengan kasar, "Siapa kau yang suka mencampuri urusan orang lain?"
"Ha, ha, ha.... Kau tidak kenal lagi padaku?" jawab orang yang ditanya dengan
senyum mengejek. "Se-tahun lebih aku mencari kau ke mana-mana, akhirnya
kutemukan juga disini telah menjadi begundal Belanda dan ikut memusuhi bangsa
sendiri." Rasek menatap musuh yang tidak dicari-cari itu.
Semakin dipandang semakin ia teringat kepada ka-
kaknya yang sudah lama tidak pernah bertemu. "Apakah ia saudaraku itu," tanya
Rasek dalam hatinya dengan ragu. "Kalau saudaraku mengapa ia datang tidak untuk
membantuku, tetapi sebaliknya berpihak
pada buronan ku" Sungguh terlalu orang ini dan aku
ingin memberikan sedikit pelajaran kepada tamu yang
tidak sopan ini."
"Kau siapa sebenarnya" Aku tidak kenal padamu!
Tetapi datang-datang seperti ingin mencari musuh
denganku," ujar Rasek menahan hati.
"Ooo, baiklah! Aku akan jelaskan kepadamu," jawab orang itu dengan tersenyum,
"Aku ini adalah prajurit Sultan Hasanuddin dari Banten yang berjuang


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahu membahu dengan adikku mengusir Belanda dari
tanah tumpah darah ini, tetapi sayang adikku kini telah memilih jalan terburuk
bagi sejarah hidupnya se-
kaligus juga bagi keturunan ayah dan ibunya. Ia men-
jual harga dirinya demi kepentingan orang kulit putih yang membunuh dan menjajah
bangsanya, bukankah
itu sangat memalukan, Kawan?"
Rasek terkesima sejenak. Kenangannya melayang
jauh di masa ia menjadi prajurit setia Sultan Hasa-
nuddin. "Kalau begitu orang yang berdiri di hadapanku dengan pongah ini adalah
saudaraku."
"Jadi, apa maksudmu?" tanya Rasek tetap berpura-pura tidak kenal bahwa yang
berdiri di depannya itu adalah kakaknya sendiri.
"Aku hendak mengajak kau kembali ke jalan yang
benar!" ujar pendekar berbaju hitam itu dengan tegas,
"Tinggalkan segera loji orang kulit putih yang bukan tempatmu," tambah orang itu
tegas. "Kalau aku tak mau?" Rasek bersikeras
"Agaknya kau benar-benar telah berubah, lebih
mementingkan dirimu sendiri daripada kepentingan
tanah air dan bangsa mu," ujar pendekar itu dalam mata yang mulai berapi-api.
"Jadi, kalau aku tak mau mendengar khotbahmu
itu, kau mau apa?" tantang Rasek yang juga mulai kesal. "Aku ingin menagih
sumpah pengawal Hasanuddin, yang pernah kau ucapkan di depan kitab suci se-
tahun yang lalu. Kalau sumpah itu tak kau penuhi aku akan membunuhmu," ancam
pendekar tersebut sambil menyerang dengan cepat.
"Caaat!"
Rasek melejit dengan cepat sambil melakukan ge-
rakan salto di atas untuk kemudian dapat menyerang
lawannya dari belakang. Sementara ia melejit itu ia
sempat melepaskan kata, "Aku jemu menjadi pengikut
Sultan Hasanuddin yang fanatik itu!"
"Karena kau silau dengan gemercing uang Belan-
da!" jawab pendekar yang tangguh itu sambil berkelit memutar badannya dengan
cepat sehingga sasaran
tendangan Rasek sama sekali tidak mengena. Akhirnya
terjadilah suatu pertempuran seru antara abang adik
kembar tapi berbeda prinsip itu, yang semula sama-
sama menjadi pengawal Sultan Hasanuddin dari Ban-
ten. Alam sekitarnya menjadi porak poranda akibat terkena angin pukulan tenaga
dalam dari kedua pendekar yang sama-sama tangguh itu.
Jaka Sembung dan Bajing Ireng menyaksikan
pertempuran ini dari jauh di semak-semak belukar.
Ketika pertempuran itu berlangsung semakin hebat,
tiba-tiba pasukan kecil serdadu kompeni Belanda di
bawah pimpinan Leonard muncul. Yan van Eisen yang
matanya cukup jeli meskipun sudah tua, sepintas lalu berhasil menangkap
sekelebat bayangan yang diperki-rakan tidak lain dari Roijah dan penolongnya.
Dengan gerak reflek ia segera membidik dan melepaskan suatu tembakan. Nasib
Roijah belum naas. Roijah berhasil
dengan cepat menjatuhkan diri ke tanah sambil den-
gan cepat pula melemparkan goloknya ke arah Belanda
gendut itu. Hasilnya sungguh sangat memuaskan, go-
lok Roijah tepat menancap di hulu hati Yan van Eisen sehingga pistol yang
digunakan untuk menembak Bajing Ireng terjatuh, serentak dengan dirinya rubuh
pula. "Papi!" seru Leonard memburu ke dekatnya, tetapi ia tertegun karena sesosok
tubuh melesat ke arah-
nya. Pistol yang ada di tangannya dengan cepat di-
arahkan ke tubuh Parmin, tapi sebelum senjata itu
berhasil meletus tongkat besi Parmin telah melayang
ke mukanya dan pistolnya terpental jauh.
Parmin secepat kilat menyerang perwira tinggi
Belanda itu dan dengan satu tatakan di tengkuk mela-
lui tangan kanan Parmin, ditambah suatu sodokan
dengan tangan kiri di ulu hati. Leonard ambruk mun-
tah darah dan menemui ajalnya seketika.
Pada waktu Parmin hendak meninggalkan tempat
itu, ia mendadak kaget karena laras senapan-senapan
tertuju ke tubuhnya hanya tinggal ditarik pelatuknya saja. Ajal Parmin belum
ditentukan Tuhan di tangan mereka. Parmin dengan tenang memandang mereka
satu per satu. Kemudian berpura-pura mengangkat
tangannya ke atas, tetapi tiba-tiba tangan yang diangkat itu dengan cepat
menggebrak! Keempat serdadu Belanda itu sehingga keempat
senjatanya hendak ditembakkan kepadanya terpental
jauh. Serdadu-serdadu yang rubuh itu pun tidak per-
nah bangun lagi.
Keenam orang Belanda yang datang ke situ telah
menemui ajalnya semua. Parmin dan Roijah meneliti
satu per satu tubuh lawan yang tergeletak itu.
"Belanda ini yang memerintahkan aku digan-
tung," kata Parmin sambil menunjuk dengan kakinya kepada Yan van Eisen.
"Tetapi, yang paling kejam, Kang, ini!" ujar Roijah yang berdiri dekat Leonard.
"Dia ini yang merencana-kan hukuman picis untuk. Kalau Akang tidak datang
mengeluarkan aku dari Rumah Tahanan Militer itu,
hari ini aku sedang diseret si jahat ini di sepanjang jalan desa."
"O, ya bagaimana kau tahu hukuman seperti itu
yang akan kau terima?" tanya Parmin sambil menarik tangan Roijah ke tempat
persembunyiannya semula.
"Nona Elsye adik kandung Leonard yang datang
ke kamar tahanan ku sebelum Akang datang."
"Untuk apa?" tanya Parmin heran.
"Ia hendak menolong aku minggat dari tahanan."
"Tetapi, mengapa tak jadi?"
"Keburu ketahuan oleh abangnya ini. Seorang
Kepala Jaga yang bersekongkol dengan Elsye ditembak
di tempat. Elsye sendiri disiksa dan diseret di sepanjang jalan mulai dari Rumah
Tahanan sampai ke ru-
mah van Eisen. "Aneh juga! Apa yang mendorong gadis itu hen-
dak menolongmu?" tanya Parmin.
"Sederhana saja alasannya," jawab Roijah. "Ia tidak sampai hati membiarkan
kaumnya diperlakukan
di luar perikemanusiaan."
"Lantas?" tanya Parmin, namun Roijah tak perlu menjawab.
"Mari kita lihat pertempuran sengit antara kedua orang Banten itu, Kang!"
Ketika itu, dari jauh terlihat kedua mereka itu ti-
dak lagi bertarung fisik dan kecekatan silat, tetapi sudah menggunakan
pertarungan tenaga dalam dari ja-
rak jauh. Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu
tinggi itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam masing-
masing, sehingga pada titik konsentrasi tertinggi kekuatan tenaga dalam itu
mereka salurkan ke arah lawan.
Rumput-rumput yang ada di antara jarak kedua mere-
ka mendadak hangus kekeringan. Tubuh mereka mas-
ing-masing bergetar hebat, tetapi tidak ada seorang
pun yang jatuh dan menderita luka dalam. Mereka
sama kuat dan sama tangguh.
Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa
salah seorang atau kedua-duanya harus mati.
Pendekar berbaju hitam dan menyebut dirinya
sebagai pengawal Sultan Hasanuddin Banten, menyi-
langkan kedua belah tangannya di dada sampai men-
capai bahu, ia berkata, "Demi keagungan Sultan... kau harus mati, Rasek."
Sedangkan Rasek sendiri dengan membentang-
kan kedua belah tangannya ke samping, ia berkata:
"Maafkan.... Matilah kau, Kakang!"
Dan apa yang terjadi"
Sejenak kedua mereka seperti menahan sakit
yang luar biasa. Kemudian tiba-tiba tubuh mereka
ambruk. Di mulut mereka keluarlah darah hitam ken-
tal. Melihat pendekar berbaju hitam itu ambruk,
Parmin dan Roijah segera keluar dari semak-semak.
Kedua pendekar muda itu datang melihat orang yang
sudah menyelamatkan mereka, yang kemudian mereka
tahu orang itu pula yang telah menyelamatkan Pak Ki-
nong dari moncong harimau hutan Loyang.
"Kami sangat berterima kasih kepada Bapak,"
ujar Parmin dengan rasa terharu. Roijah yang selama
ini tidak pernah menangis, kini menangis di dalam ha-ti. Air matanya setitik
demi setitik mengalir ke pipinya kemudian jatuh ke baju hitam pendekar kesatria
itu. Sebelum ia menutup mata terakhir ia sempat
berpesan kepada Parmin, "Teruskan perjuangan mu melawan penjajah dalam bentuk
apapun, anak muda.
Karena kalian berdua merupakan harapan rakyat yang
lemah dan memerlukan pembelaan mu."
Sejenak terdiam. Nafasnya turun naik dengan
kencang, kemudian biasa kembali. Ketika dia mene-
ruskan pula pesannya, "Aku telah mendengar namamu yang kesohor, Jaka Sembung.
Kau jangan khawatir,
seluruh rakyat Banten berdiri di belakangmu dan doa
mereka tidak habis-habisnya untuk kalian," sampai di sini pesan itu terhenti
lagi. Parmin yang selama ini seperti berhati baja, tidak
pernah menyerah dalam kedukaan apa pun, kali ini
tanpa terasa air matanya menetes juga. Keharuannya
yang mendalam telah menyebabkan ia sadar, bahwa
dirinya juga tidak terlepas dari perasaan dan kelema-han. "Jaka Sembung dan
Bajing Ireng, kepadamu ku gantungkan harapan agar para pendekar tangguh di
setiap daerah Nusantara kita bersatu untuk mengusir
penjajah. Semoga Tuhan melindungi perjuangan ki-
ta...." sampai di situ ia berpesan, perlahan-lahan kepalanya lunglai ke samping
kanan... "Ia telah meninggalkan kita," ujar Parmin sambil membuka ikat kepalanya menutup
wajah pendekar yang baik hati itu. "Inna lillahi wa innailaihi roo-jiuun...."
Parmin dan Roijah bangkit perlahan-lahan. Hati
mereka seperti tersayat-sayat. "Sayang orang gagah dan setia seperti ini harus
meninggalkan kita," ujar Jaka Sembung dengan nada haru.
Angin petang berhembus lembut seperti memba-
wa cerita damai yang mengakhiri peperangan. Seluruh
padang luas itu bermandikan sinar matahari sementa-
ra beberapa pohon rindang seperti mengundang orang
untuk berteduh di bawahnya.
"Kita berteduh di bawah pohon itu, yuk!" ajak Parmin seraya menarik tangan
Roijah. "Belum waktunya bersantai, Kang! Keamanan diri
kita belum terjamin lagi," kata Roijah menolak dengan halus.
"Itulah yang hendak kita rencanakan, Dik!" jelas Parmin tersenyum.
"Apa rencana kita sekarang, Kang?" tanya Roijah sambil duduk di rumput hijau.
"Menurut Ijah apa?" Parmin balas bertanya.
Roijah tidak menjawab. Matanya memandang lu-
rus jauh ke depan.
"Aku ingin dengar rencanamu, Ijah!" kata Parmin, tapi Roijah justru bangun dari
duduknya seperti ada
sesuatu yang terlihat dari jauh, "Tunggu, Kang!" ujarnya dengan sungguh-sungguh.
"Ada apa?" Parmin setengah berbisik.
"Kelihatannya ada seorang gadis yang Sedang
menangis di sana!"
Parmin bangkit perlahan-lahan dari duduknya.
Kemudian memejamkan matanya sejenak untuk me-
nangkap suara yang dibawa angin.
"Benar! Ia berbicara bahasa Belanda dan menye-
but-nyebut Papi."
"Tidak salah lagi, Kang! Itu dia Elsye!" kata Roijah sambil mengangkat kaki
hendak berlari ke tempat itu.
"Tunggu dulu, Ijah! Mungkin itu sebuah perang-
kap untuk kita," jelas Parmin berpandangan jauh. Roijah segera mengurungkan
maksudnya dan perlahan-
lahan duduk kembali.
Apa yang terlihat oleh Roijah memang benar. Seo-
rang serdadu yang berhasil lolos datang menemui El-
sye membawa berita kematian orang tuanya dan ka-
kaknya. Dengan hati yang gundah dan pikiran kacau,
gadis yang baik hati itu langsung menuju ke tempat
yang diberitahukan oleh serdadu itu.
Begitu melihat Papinya yang sudah tidak ber-
nyawa lagi, ia memeluk dan mencium serta meratap
sejadi-jadinya.
"Papi! Mengapa kau meninggalkan Ik sendiri di
negeri orang yang memusuhi mu" Mengapa Papi memi-
lih kematian yang tidak terhormat di negeri yang ra-
kyatnya lemah lembut dan sopan terhadap siapa pun.
Ike tidak mampu menyalahkan mereka... bagaimana
pun mereka tetap benar karena mereka mempertahan-
kan haknya di negerinya sendiri."
Kemudian Elsye menoleh pula ke arah mayat ab-
angnya. "Kau Leonard sombong dan angkuh di negeri ini,
padahal semua yang kau makan dan kau minum hasil
bumi negeri ini; hasil keringat rakyat di sini, tetapi kau bertindak terlalu
kasar dan ondankbaar terhadap mereka bahkan kepadaku adikmu sendiri. Sekarang
apa yang ku takuti tentang diri kalian semua sudah terjadi.
Patah sudah tempat aku bergantung, hilang sudah
tempat aku berpijak. Tak ada tempat aku berharap ka-
sih lagi. Satu-satunya jalan yang terbaik untukku ialah menyusulmu Papi." ratap
Elsye sambil mencoba men-jangkau sebuah pistol yang tergeletak tidak jauh dari
mayat Leonard. Tetapi, tiba-tiba tangannya terhalang oleh sebuah kaki bersepatu.
Elsye menjadi heran sehingga pandangannya perlahan-lahan diangkat ke
atas. "Elsye, kekasihku," terdengar suatu suara. "Oh, James! Kau masih hidup?"
tanya Elsye seperti bermimpi.
"Aku pernah dirawat, tetapi seorang kawanku
yang dekat dengan Leonard mengatakan, jika aku hi-
dup aku akan diadili dan dihukum berat karena ber-
sekongkol dengan ekstrimist," cerita James dengan sedih. "Lantas?" tanya Elsye
tak sabar karena apa yang menimpa diri James tidak lepas dari kesalahannya ju-
ga. "Klinik yang merawatku menaruh kasihan kepadaku. Dia seorang kawan karib ku
yang pernah ku be-
la dan kuselamatkan dari maut. Tanpa setahuku ia
membuat laporan resmi kepada Leonard. Dalam lapo-
ran itu ia menyatakan aku telah meninggal akibat luka yang ku derita"
Leonard sebagai perwira tinggi yang terlalu sibuk,
laporan kawanku tanpa diperiksa lalu di-acc saja. Ba-danku yang kelihatan
seperti mayat akibat bius, segera diamankan oleh kawan-kawanku dengan bantuan
pri- bumi sehingga aku selamat seperti yang kau lihat se-


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karang ini," James menutup ceritanya sambil tersenyum.
"Oh, James! Kini aku sebatangkara, tidak punya
siapa-siapa lagi, kecuali kau," kata Elsye pasrah.
"Jangan bersedih, sayang! Aku akan menemani-
mu dan menjaga mu untuk selama-lamanya," ujar
James turut terharu.
Semua percakapan James dengan Elsye disadap
oleh kedua pendekar Jaka Sembung dan Bajing Ireng
melalui penginderaan yang sudah terlatih. Kini mereka tahu pasti, James bukan
lagi berstatus serdadu Belanda, tetapi orang asing sipil yang menyimpan rahasia
tersendiri. Rahasia James berada di tangan mereka.
Karena itu, Parmin dan Roijah tak ragu datang mende-
kati mereka untuk menyatakan rasa belasungkawanya
kepada Elsye. "Maafkan kami, Elsye!" kata Roijah lembut sambil melirik ke arah James yang
kelihatan salah tingkah.
"Roijah?" tanya Elsye kaget. Ia menatap Bajing Ireng dengan heran. Roijah
mengangguk perlahan, "Terima kasih atas kebaikan Nona, yang menyebabkan
Nona banyak mendapat kesulitan," ucap Roijah dengan tulus. Ketulusan itu terasa
ke hati Elsye. Ia bangkit perlahan-lahan dari sisi James sambil mengulurkan
tangan kepada Roijah dan Parmin. Mereka bersalaman
dengan penuh rasa haru.
James pun segera mengulurkan tangan kepada
Parmin dan Roijah.
"Benar kata-katamu yang terakhir kepadaku di
rumah tahanan malam itu, Elsye, bahwa rasa kema-
nusiaan itu akan mampu membuat bangga yang ber-
lainan dan berbeda kulit hidup bersahabat," kata Roijah dengan tersenyum.
"Kau masih ingat saja, Roijah?"
"Memang tak ingin kulupakan, apalagi kata-kata
mutiara itu baru pernah kudengar dari mulutmu."
"Tetapi, maafkan kami Elsye dan James!" tukas Parmin.
"Tentang apa?" tanya James ramah, berubah sikap. "Tuan Yan van Eisein menemui
ajalnya bukan karena niat kami ingin membalas dendam, tetapi di-alah yang mula-
mula mencoba membunuh Roijah den-
gan tembakan, sehingga akhirnya untuk membela diri
Roijah tidak punya pilihan lain," jelas Parmin si Jaka Sembung.
"Begitu pula dengan Tuan Leonard," jelas Roijah.
"Ia sangat menaruh dendam pada Jaka Sembung ini."
James dan Elsye begitu kaget ketika mengetahui,
yang berdiri di depan mereka adalah orang yang per-
nah dihukum gantung oleh kompeni beberapa waktu
yang lalu. "Bagaimana mungkin ia masih hidup?" pikir
James seperti tidak percaya. Pikiran yang sama juga
melintas di benak Elsye, tetapi kedua mereka belum
berani bertanya dengan terus terang.
"Roijah dan Jaka Sembung!" kata Elsye dengan tenang, "Aku mengerti semua dari
penjelasan kalian berikan tadi. Karena itu aku ingin melupakannya untuk selama-
lamanya, yang sudah biarlah berlalu."
Sementara itu, matahari mulai tenggelam di ufuk
Barat. Cahaya kemerah-merahan seperti menunggang
awan yang sedang berarak semakin lama semakin
menghilang dan akhirnya lenyap.
Suasana di tempat naas itu semakin remang.
"Elsye dan James, mari kita bersahabat; saling
menghormati!" ujar Roijah dengan penuh keikhlasan.
"Kalian berdua akan kami lindungi sebagai warga terhormat di Kandanghaur ini.
Kalian tidak perlu kha-
watir, aku Parmin si Jaka Sembung dan ini Roijah si
Bajing Ireng menjadi jaminan atas keselamatan kalian berdua," kata Parmin
selanjutnya. "Aku tidak pernah meragukan kebaikan hati me-
reka," bisik Elsye kepada James. Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng telah
berlalu. "Aku juga, Els!" bisik James sambil merangkul pinggang Elsye dengan penuh
kemesraan. *** 5 Berita munculnya kembali Jaka Sembung dan
Bajing Ireng, dengan kemenangan mereka menghan-
curkan tirani tuan tanah asing yang memperalat para
pendekar pribumi untuk merampas tanah rakyat dan
menimbulkan kesengsaraan di Kandanghaur, telah
tersebar luas dari mulut ke mulut.
Rakyat yang selama ini tertekan dan selalu di-
rundung rasa ketakutan, kini mulai bersemangat lagi.
Gairah hidup mereka bangkit kembali. Bek Marto,
ayah Roijah almarhum mendapat tekanan dari tuan
tanah Belanda, sehingga terpaksa melakukan tinda-
kan-tindakan yang sangat merugikan rakyat. Tetapi,
rakyat Kandanghaur yang sebagian besar terdiri dari para petani tidak dapat
mendalami perasaan Bek Marto itu. Mereka hanya tahu, Bek Marto turut menekan
rakyat. Kepala Desa itu benar-benar dalam keadaan
serba salah. Membela rakyat ia terancam oleh tuan tanah yang disokong oleh
Kompeni Belanda. Sebaliknya,
membantu tuan tanah ia jelek di mata rakyat. Kedu-
dukannya benar-benar terjepit.
Kini hati Kepala Desa itu tiada lagi. Seandainya ia
masih hidup, ia menyambut calon menantunya itu
dengan gembira.
Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng muncul di
Desa Kandanghaur, penduduk desa menyambutnya
dengan meriah. Setiap orang yang bertemu dengan ke-
dua pendekar itu, lupa tujuannya hendak ke mana.
Mereka pasti mengikuti dan mendampingi tamu agung
yang pulang ke desa membawa kemenangan. Mereka
merasa bangga, Desa Kandanghaur memiliki pahlawan
rakyat. Sebelum Jaka Sembung dan Bajing Ireng tiba di
rumah almarhum Bek Marto, penduduk desa kelihatan
berdatangan terus menerus dan bergabung menjadi
barisan yang panjang.
Mereka berteriak-teriak: "Hore, horee, horee!" tak henti-hentinya.
Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak berhambu-
ran ke luar rumah dan berdiri di tepi pagar menunggu arakan panjang itu lewat
dan sekaligus ingin menyaksikan wajah Jaka Sembung dan Bajing Ireng, meski-
pun Bajing Ireng alias Roijah sudah banyak yang kenal karena gadis itu
dilahirkan dan dibesarkan di Desa
Kandanghaur. Sampai malam hari pawai kemenangan dan ke-
gembiraan rakyat terus berlangsung.
"Gagah orangnya, ya?" kata seorang gadis cantik ketika melihat Jaka Sembung yang
jalan berdampin-gan dengan Bajing Ireng.
"Calon istrinya juga cantik!" jawab yang ditanya.
"Dia Jaka Sembung, ya?"
"Ya, mengapa?"
"Kata ayahku, Jaka Sembung itu sangat sakti. Ia sudah digantung Belanda sampai
mati, tetapi hidup
lagi," kata seorang anak laki-laki gemuk yang terus menerus matanya mengikuti
arakan Jaka Sembung itu
sampai jauh dan akhirnya menghilang di sebuah kelo-
kan. Begitulah pandangan rakyat Desa Kandanghaur
dari yang kecil sampai orang dewasa yang akhirnya
lambat-lambat laun menjadi legenda yang berkembang
dan terpatri dalam hati masyarakat daerah Cirebon.
Sementara arak-arakan itu berlangsung terden-
gar jel-jel yang meneriakkan, "Hidup Pahlawan kita Ja-ka Sembung dan Bajing
Ireng! Hidup Pemimpin kita!
Kami akan selalu setia mengikuti perjuangan mu!"
Arak-arakan itu berakhir tengah malam di depan
rumah Bek Marto. Dari situ, penduduk satu per satu
meninggalkan halaman rumah tersebut sesudah pamit
pada Jaka Sembung dan Bajing Ireng.
Seminggu kemudian, sesuai dengan rencana Ja-
ka Sembung dan Bajing Ireng, Pak Kinong dan Bu Ki-
nong mempersiapkan suatu upacara ulang pernikahan
Bajing Ireng dengan Jaka Sembung yang pernah dahu-
lu gagal akibat penyerbuan serdadu kompeni Belanda
di rumah Penghulu.
Menjelang waktu pernikahan tiba, rakyat dari
berbagai desa datang membawa beras, sayur mayur
bahkan beberapa orang kaya di desa itu menyumbang
kambing, sapi dan kerbau. Pendeknya pesta yang akan
berlangsung itu sama sekali tidak membuat tuan ru-
mah pusing kepala. Pak Kinong dan Bu Kinong hanya
mengatur orang yang bekerja dan menyiapkan perala-
tan yang diperlukan untuk sebuah pesta besar.
Kalau pesta yang sering berlangsung di desa itu
memilih-milih orang yang diundang dan terbatas, pesta kali ini untuk merayakan
hari pernikahan dan perkawinan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, sama sekali ti-
dak dikeluarkan undangan.
"Mengapa begitu, Kang?" tanya Roijah heran.
"Aku takut, Ijah, kalau ada orang-orang di desa
ini yang terlupakan dan luput dari undangan," jelas Jaka Sembung.
"Jadi, bagaimana mereka tahu?"
"Aku sudah bicara pada Pak Kinong agar beliau
menghubungi semua penduduk desa Kandanghaur
dan sekitarnya untuk hadir di pesta kita. Tak ada seorang pun yang harus kita
perlakukan istimewa, semua
sama rata. Hanya...."
"Hanya siapa, Kang?"
"Hanya Elsye dan James yang harus kita undang
khusus karena mereka warga terhormat dan istimewa
di Kandanghaur," jawab Jaka Sembung dengan tersenyum, "Setuju kau..,?"
"Sangat setuju, Kang."
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba.
Kesibukan di rumah keluarga almarhum Marto me-
mang luar biasa. Belum pernah terjadi suatu peralatan perkawinan yang begitu
besar, yang mengundang
orang seluruh wilayah Kandanghaur. Benar-benar se-
buah pesta dari rakyat untuk rakyat.
Mulai pagi para undangan sudah berdatangan.
Laki-laki perempuan hadir ke pesta yang meriah itu.
Semua yang hadir berpakaian indah dan baru. Bau
kapur barus dan minyak wangi yang keluar dari pa-
kaian simpanan yang sudah lama tidak dipakai cam-
pur aduk dalam ruangan. Si kecil Kinong pun tampak
dalam keramaian itu dengan riangnya. Dia adalah
anak tunggal Pak Kinong dan Bu Kinong.
Setiap tamu yang datang segera dilayani dengan
makan. Mereka silih berganti datang dan pergi tak
henti-hentinya. Seksi tamu yang terdiri dari muda-
muda yang tangkas, dengan penuh pengorbanan be-
kerja tanpa mengenal lelah. Mereka tampak gembira
dan serba ramah.
Parmin dan Roijah yang bersanding di kursi pe-
laminan tampak tersenyum. Pak Kinong dan Bu Ki-
nong berdiri di samping Parmin dengan bangga, karena mereka adalah pengganti
orang tua kedua mempelai.
Sedangkan di samping Roijah tampak Elsye dan James
yang tak kalah bangga, karena menjadi warga khusus
di Desa Kandanghaur.
Para undangan banyak yang heran melihat sepa-
sang orang asing turut memeriahkan perkawinan Par-
min dan Roijah dengan suasana sangat bersahabat.
"Banyak sekali yang hadir, Kang!" bisik Roijah dengan suara sangat bahagia.
"Untung acara pernikahan sudah berlangsung semalam."
Parmin hanya mengangguk. Matanya ter-tuju ke-
pada seorang penari muda yang menari dengan lemah
gemulai seirama dengan gendang dan gung yang dita-
buh. "Kau bisa menari, Roijah?" tanya James yang berdiri di dekatnya. Roijah
mengangguk ramah, "Hampir semua gadis Jawa Barat dapat memainkan kese-
nian daerahnya, James!"
"Bagus sekali!" puji pemuda Belanda itu sambil menoleh kepada Elsye.
Pesta perkawinan Jaka Sembung dengan Bajing
Ireng berlangsung selama tujuh hari, tujuh malam dan terus menerus dibanjiri
oleh penonton yang datang da-ri tiap penjuru desa tanpa habis-habisnya sehingga
pesta itu hampir-hampir mirip pasar malam. Bisa di-
maklumi karena saat itu Desa Kandanghaur adalah
desa yang paling makmur di daerah Cirebon.
*** 6 Malam itu desa Kandanghaur bermandikan ca-
haya bulan. Hamparan sawah yang luas setantang ma-
ta sampai ke pantai Laut Jawa, memberikan suatu
pemandangan sejuk teram-temaram. Di setiap hala-
man rumah terlihat anak-anak bermain galah atau
kucing-kucingan. Kadang-kadang terdengar nyanyian
traditional yang mendayu-dayu dari kejauhan, yang
sekali-sekali ditingkahi oleh suara seruling yang mer-du. Parmin dan Roijah
duduk berdua di sebuah ba-
lai-balai menikmati keheningan alam dan panorama
sawah yang membentang luas di sekitar tempat tinggal mereka.
"Akang Parmin! Boleh aku tahu sesuatu yang
aneh tentang dirimu?" ujar Roijah sambil mendekatkan badannya ke bahu Parmin.
"Apa yang aneh padaku, Dik?" tanya Parmin si Jaka Sembung sambil memperbaiki
duduknya. "Banyak keanehan yang belum pernah Akang ce-
ritakan padaku,"
"Antaranya?"
"Tentang kau yang sudah menjalani hukuman
gantung di tiang gantungan di alun-alun pasar sampai mati, kok tiba-tiba hidup
lagi" Ceritakan kepadaku,
Kang!" "Eeeh, apa aku belum pernah ceritakan pada-
mu?" tanya Parmin.
"Yah! Kalau Akang sudah ceritakan untuk apa
aku tanya lagi?"
"Memang keterlaluan aku ini! Kukira hal itu su-
dah kuceritakan kepadamu," ujar Jaka Sembung yang
kadang-kadang memang suka melucu.
"Ah, jangan berolok-olok lagi, Kang!" kata Roijah sambil mencubit tangan
suaminya, "Untuk apa sih harus diceritakan, aku sendiri
sudah lupa," kata Jaka Sembung tersenyum.
"Ceritakan, tidak?" desak Roijah sambil memper-ketat cubitannya.
"Aduh! Aduh! Sakit Roijah, sakit!"
"Hayo ceritakan!"
"Aduh, aduh, aduh... Aduh! Ya, akan kucerita-


Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan!" "Tapi, syaratnya tidak boleh ceritakan orang lain, janji?"
"Ya, janji!"
"Dahulu, aku pernah mendaki Gunung Ciremai
untuk mencari ilmu. Di gunung itu, aku bertemu den-
gan seorang petapa bongkok tua yang wajahnya mirip
Begawan Dorna dalam dunia pewayangan. Ngomong-
ngomong akhirnya pertapa sakti ini mengangkat aku
sebagai muridnya. Tentu saja aku tidak menolak kare-
na kehadiranku di puncak Gunung Ciremai itu me-
mang untuk mencari ilmu," sampai di sini Jaka Sembung berhenti sejenak.
"Wah, Kang! Apa hubungannya dengan Akang ta-
han digantung?" tanya Bajing Ireng tak sabar.
"Eeeh! Tak sabar benar nyonya ini!" Parmin ber-canda, "Tak mau cerita lagi ahk."
Parmin pura-pura beranjak dari balai.
"Teruskan, tidak?" ancam Roijah sambil mencubit lagi. "Ya, ya aku cerita!"
"Beberapa waktu aku tinggal bersamanya di se-
buah pondok. Di situ aku mendapat pelajaran silat, il-mu menggunakan tongkat dan
ilmu penginderaan un-
tuk mendengar percakapan orang dari jarak jauh yang
Dik Roijah miliki juga. Selain itu ada suatu ilmu khusus dan langka yang
diberikan kepadaku dan kua-
nggap sangat penting dan aneh ialah 'Ilmu Pernapasan Bebek'."
"Ilmu Pernapasan Bebek" Aneh sekali namanya!"
seling Roijah dengan kening berkerut.
"Ya, kegunaannya pun aneh, digantung berjam-
jam masih tidak mati," ujar Parmin sambil tersenyum.
"Jadi, Akang lolos gantungan karena ilmu itu?"
"Bukan" Tetapi karena pertolongan Tuhan lewat
ilmu itu," jawab Parmin memperbaiki anggapan yang bersifat takabur.
"Aku masih merasa aneh dengan ilmumu itu,
Kang!" "Aneh" Mengapa harus merasa aneh" Secara akal
saja pun dapat dimengerti."
"Secara akal, kata Akang?"
"Ya, coba dengar baik-baik! Jika seseorang mem-
beli seekor bebek dari pasar, orang pasti memegang lehernya, sehingga kakinya
tergantung ke bawah, ka-
dang-kadang cukup lama. Tetapi, bebek itu tidak mati meskipun lehernya tercekik
dalam waktu yang lama.
Sampai di rumah pembelinya, binatang itu masih tetap hidup. Itulah kira-kira
persamaannya!"
Roijah mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti
dan masuk akal.
"Mengapa bebek itu bisa bertahan meskipun le-
hernya tercekik?" tanya Roijah dengan sungguh-
sungguh sambil memperbaiki duduknya.
"Karena bebek mempunyai jalan pernapasan ke-
dua yaitu melalui lubang duburnya," jelas Parmin.
"Bagaimana dengan Akang?" tanya Roijah ingin tahu. "Prinsipnya sama. Ketika aku
digantung, aku pun menggunakan cara bernafas bebek. Aku tak mungkin
bernapas dengan paru-paru karena jalan pernapasan
ku lewat leher sudah tercekik. Aku cepat-cepat meng-
gunakan ilmu "Hening Cipta" yaitu memusatkan per-hatianku untuk bernafas dengan
perut besar dan me-
mompa udara melalui lubang dubur."
"Jadi dengan cara itu, Akang dapat terus berna-
fas?" "Tentu! Tetapi cara bernapas yang demikian memerlukan latihan lama," jelas
Parmin. "Orang-orang Belanda mengira, Akang benar-
benar sudah mati," ujar Roijah sambil mengajak Parmin masuk ke rumah.
"Kau juga mengira begitu, bukan?"
"Semua orang pun mengira begitu," jawab Roijah.
"Karena itu, aku sangat kaget ketika Akang datang ke kamar tahanan ku pagi-pagi
buta itu."
"Mengapa kau mau berpelukan dengan orang itu,
padahal kau tahu aku telah mati?" tanya Parmin men-guji. "Tidak! Aku yakin kau
yang datang."
"Mengapa kau yakin?"
"Suara Akang meyakinkan aku!"
"O, begitu?"
"Tapi, Kang! Menurut berita yang tersiar di Ru-
mah Tahanan Militer itu yang dapat kutangkap, jena-
zah mu telah dikuburkan oleh serdadu-serdadu kom-
peni di hutan Loyang, tetapi bagaimana caranya kau
dapat ke luar dari kuburan itu?" tanya Roijah sambil menyediakan makan malam.
"Aku tidak pernah dikuburkan oleh serdadu-
serdadu itu, tetapi aku dicampakkan begitu saja ke dalam jurang, lantas mereka
pulang. Ketika aku dicam-
pakkan dari atas jurang, aku segera menggunakan il-
mu meringankan tubuh sehingga ketika jatuh aku ti-
dak mengalami luka yang berarti."
"Lantas bagaimana, Kang?"
"Seekor harimau sebesar sapi, dengan mata yang
melotot seperti obor mendekati tubuhku yang sedang
berpura-pura mati. Semakin lama semakin dekat den-
gan tubuhku dan pada waktu ia mengaum keras hen-
dak menerkam, suatu tendangan keras ku arahkan ke
moncongnya dan ia terpental jauh jatuh terjerembab.
Kemudian diam-diam binatang buas itu berlalu. Ru-
panya ia jera mendapat calon korban yang sanggup
membela diri. Tidak lama kemudian, di sana-sini di hutan
Loyang terlihat obor-obor yang menyala menerangi se-
luruh hutan. Suara hiruk-pikuk mulai terdengar. Ru-
panya mereka orang-orang kampung yang datang ke
hutan itu untuk mencari jenazah ku."
"Aneh!" seru seorang di antara mereka, "Jangan-kan jenazahnya, suatu bekas pun
tak ada yang dapat
dijadikan petunjuk untuk mencarinya." kata salah seorang pemimpin rombongan.
"Ya," potong yang lain, "Jika jenazah Jaka Sembung itu sudah dimakan harimau,
tentu sekurang-
kurangnya ada bekas-bekas darah yang tercecer. Ini
sama sekali tidak ada." celoteh mereka.
"Tetapi, bukankah banyak di antara penduduk
yang mencari Akang itu, menyangka Akang masih hi-
dup karena mereka mendengar suara seruling mem-
bawakan lagu sendu?"
"Ah, itu mungkin hanya perasaan mereka saja,"
jawab Parmin. Ia diam sejenak, kemudian ia tersenyum sambil
berkata, "Lucu juga kalau kuingat-ingat, Ijah!" kata Parmin menutup ceritanya.
Angin malam yang sejuk berhembus sepoi-sepoi
mengusap daun padi yang mulai menguning membawa
hawa dingin yang nyaman. Sementara nyanyian Bubui
Bulan yang mengalun di malam sepi itu terdengar
sayup-sayup, dinyanyikan oleh para remaja desa dari
kejauhan seakan-akan mengantar kedua penganten
baru itu ke peraduan.
TAMAT Pembaca yang budiman. Hanya sampai di sinilah
kisah Jaka Sembung" Apakah perjuangannya terhenti
di sekitar desa Kandanghaur saja" Apakah semangat
pendekar kita itu tidak setegar dulu setelah menikah dengan Bajing Ireng"
Jawabannya akan Anda temukan pada episode
selanjutnya, yaitu: Badai di Laut Arafura
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kasih Diantara Remaja 2 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Pedang Keadilan 31
^