Pencarian

Terdampar Di Pulau Hitam 1

Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Bagian 1


TERDAMPAR DI PULAU HITAM Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan bela-ka
1 Di atas pasir pantai dengan debur ombak yang
bergemuruh, seorang pemuda tampan dalam pakaian
seorang pendekar, perlahan-lahan membuka kelopak
matanya... "Terdampar di manakah aku..." Rasanya pantai
ini asing bagiku!"
Ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah
menimpa dirinya, dan apa yang terjadi atas diri kawan-kawannya. Belum sempat
ingatannya pulih semua, en-
tah dari mana datangnya, tahu-tahu beberapa batang
tombak telah meluncur di depan hidungnya.
Betapa terkejutnya pemuda itu menghadapi
kenyataan ini. "Ha!" Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sambil tengkurap dengan kedua tangan yang
terbelenggu rantai besi, ia memandang beberapa orang yang pakaiannya hanya
menutup sebatas kemaluan.
Orang-orang itu berkulit hitam legam, rambut keriting, raut wajah dihiasi
coretan berwarna kuning, putih dan merah serta mata yang beringas. Serentet
taring babi sebagai penghias leher dan tulang lain yang mencocok lobang hidung
dan telinga mereka, menandakan bahwa mereka belum beradab.
Suasana di pinggir pantai itu tegang sejenak.
Debur ombak terasa makin menggelegar memecahkan
telinga. Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi aba-aba dengan isyarat
gerakan tangan. Pemuda yang
masih terbelenggu itu berusaha bersikap tenang serta menuruti kemauan orang-
orang dari suku primitif itu.
Sepanjang jalan, sang pemuda yang ternyata
adalah Parmin, si Jaka Sembung, terus berpikir. Baru kali ini dia melihat orang
berkulit hitam legam dan berambut keriting dengan tubuh hampir telanjang bulat
seperti itu. "Suku apakah ini" Aku tahu maksud mereka.
Mereka ingin aku untuk ikut mereka! Yach, melawan
pun tak ada gunanya. Barang kali saja aku nanti bisa mengorek keterangan dari
orang-orang ini!" gumamnya dalam hati.
Seperti kerbau dicocok hidung, pendekar muda
ini mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang-orang bertampang seram dan
menakutkan itu.
Sebelum kita mengikuti lebih jauh lagi perjala-
nan Parmin, kita ikuti bagaimana dia bisa sampai ke
daerah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Men-
gapa Parmin bisa sampai ke tempat tersebut"
Kala itu Parmin dan kawan-kawan se-dang be-
rada di atas kapal. Baru saja ia mengatur kemudi ke
arah yang akan mereka tempuh, tiba-tiba dari arah Selatan badai datang dan
memporakporandakan kapal-
nya. Dengan menggunakan papan kepingan kapal yang
hancur itu mereka masing-masing selamat, hanya
sayangnya mereka terdampar di pulau yang berlainan.
Parmin alias si Jaka Sembung terdampar di sebuah
pulau yang bernama 'PAPUA' atau Pulau Hitam.
Di sepanjang jalan yang ditumbuhi semak be-
lukar, pepohonan raksasa serta jalan setapak yang
mereka lewati, masih saja Parmin berpikir. Kali ini pikirannya tertuju kepada
teman-temannya.
"Mudah-mudahan saja yang lainnya selamat
dan dapat berkumpul kembali!"
Parmin digiring terus dengan todongan ujung-
ujung tombak persis berada di punggung dan teng-
kuknya. Matahari telah berada tepat di atas ubun-
ubun membuat suasana saat itu panas bukan alang-
kepalang. Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung membasahi keningnya.
Setelah beberapa lama masuk hutan belantara,
akhirnya mereka sampai di sebuah dataran terbuka.
Bangunan-bangunan tempat tinggal berbentuk keru-
cut-kerucut besar yang berderet-deret dan membentuk
sebuah lingkaran yang mengelilingi sebuah halaman
yang luas dengan tonggak-tonggak kayu terpancang di
tengah-tengahnya. Jika diperhatikan lebih teliti, ternyata tonggak-tonggak kayu
tersebut adalah sebuah
patung ukir yang bersusun ke atas membentuk pilar
kayu yang cukup tinggi.
Setelah agak dalam memasuki halaman per-
kampungan suku itu, seorang yang berjalan paling de-
pan memberi isyarat berhenti. Parmin dan sejumlah
pengawal pun patuh mengikuti perintahnya. Orang itu
lalu berjalan menuju sebuah bangunan yang paling
besar beratap ijuk dengan puncak atap berukiran tra-
disionil. "Itu pasti rumah kediaman kepala suku mereka! Dan bukan tidak mungkin,
mereka adalah suku
pemakan daging manusia."
Baru saja Parmin berpikir begitu, beberapa
orang bertampang beringas datang menyeret dan men-
gikatnya kuat-kuat pada sebuah tiang di tengah hala-
man. Sebagian yang lainnya berjingkrakan mengita-
rinya sambil meneriakkan kalimat dan kata-kata yang
tak dapat dimengerti olehnya. Suara kendang yang di-
tabuh kencang-kencang menambah riuh suasana. Tak
ubahnya seperti upacara agama para suku-suku pri-
mitif. "Dugaanku tidak meleset!" bisiknya dalam hati.
Sementara itu di dalam bangunan besar yang
dihiasi berbagai tengkorak kepala binatang-binatang
buas dan taring babi, bulu-bulu burung Cendrawasih,
beberapa tombak terpampang di atas dinding. Topeng-
topeng aneh menambah seram suasana bangunan itu.
Kepala pasukan langsung menghadap kepala suku
sambil membungkukkan badan hampir rebah ke lan-
tai. Dia berbicara dengan bahasa yang mirip suara burung kepada orang yang duduk
di atas singgasana
yang terbungkus kulit-kulit binatang dan dihiasi ma-
nik-manik aneka warna dan ditemani lima orang
dayang-dayang yang terdiri dari gadis-gadis berkulit hitam dengan dada telanjang
dan tubuh bagian bawah
hanya ditutupi ram-bak rambai dari kulit kayu.
"Awom, kau mendapat tawanan orang asing"
Bagus! Aku akan datang menemuinya! Siapkan saja
segera upacara persembahan untuk nenek moyang ki-
ta!" ujar kepala suku.
Kepala suku segera berdiri meninggalkan kur-
sinya dengan diiringi dayang-dayang dan seorang pim-
pinan agama suku yang berjubah kebesaran, kepa-
lanya yang dihiasi dengan bulu-bulu burung Cendra-
wasih dan tangannya memegang tongkat dengan hia-
san-hiasan unik.
Ketika kepala suku menginjakkan kaki di ha-
laman, semua hiruk-pikuk suara manusia dan tetabu-
han mendadak sontak berhenti. Suasana menjadi hen-
ing seketika. Kepala suku terus melangkah mendekati tiang
di tengah halaman di mana Parmin si Jaka Sembung
terikat tak berkutik.
"Hai! orang asing, coba jelaskan siapa kau, dan dari mana asalmu" Ketahuilah
bahwa aku adalah ke-
pala suku di sini!"
Bukan main terkejutnya. Betapa tidak, semula
dia sangka kepala suku orang-orang primitif itu seo-
rang laki-laki yang tegap dan hitam menyeramkan, ke-
nyataannya justru bertolak belakang. Kepala suku ternyata seorang wanita cantik
berkulit putih dan berambut pirang serta bertubuh tinggi semampai dengan le-
kuk tubuh yang sangat indah, menyapanya dengan
bahasa Melayu yang cukup fasih. Parmin tak percaya
dengan apa yang dihadapinya. Rasanya ia sedang ber-
mimpi. Kepala suku primitif itu ternyata seorang gadis bule yang rupawan. Gadis
ini dapat memaklumi apa
yang sedang berkecamuk pada diri pendekar muda itu.
Maka segera dia berkata,
"Tenanglah! Anda pasti selamat! Aku percaya
anda adalah salah seorang dari suku lain yang sudah
beradab! Mereka menganggap bahasa Belanda dan ba-
hasa Melayu sebagai bahasa dewa-dewa mereka. Oleh
karena itu berbicaralah dengan bahasa yang membuat
anda seperti dewa!" si cantik itu mengajari.
"Baiklah, kepala suku! Apakah yang harus ku-
perbuat sekarang" Apakah anda akan memerintahkan
anak buah anda untuk membuatku jadi sate?" tanya Parmin.
"Tentu saja tidak! Malah aku sangat membu-
tuhkan anda. Kita bisa saling membantu! Ketahuilah, aku dengan mudah
mempengaruhi mereka, termasuk
pemimpin agama suku yang berdiri di sampingku, ini!"
katanya sambil menunjuk seorang lelaki hitam yang
sejak tadi menunjukkan tampang angkernya sebagai
seorang yang sangat berpengaruh setelah keberadaan
sang kepala suku.
"Baiklah, apa yang harus kuperbuat?"
"Sebagai orang Timur, anda pasti punya keah-
lian dalam ilmu-ilmu aneh! Nah, tunjukkanlah kepada
mereka suatu keajaiban yang mempesona! Dengan be-
gitu mereka lebih percaya bahwa anda adalah utusan
dewa!" "Baiklah!" jawab Parmin memakluminya.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening
namun menegangkan. Tiba-tiba tali yang melilit tubuh pendekar muda itu putus.
Laksana Bhatara Bayu yang sedang murka da-
lam pewayangan, Parmin mendemontrasikan jurus
'Wahyu Taqwa' suatu jurus yang maha dahsyat. Dia
melangkah ke tengah lingkaran orang-orang hitam itu
berdiri, lalu kedua kakinya dibuka untuk membentuk
kuda-kuda. Setelah itu dia me-narik nafas dalam-
dalam dan mengeluarkannya berbarengan dengan ke-
dua tangan yang terletak di atas pinggang. Hembusan
angin mendadak keluar dari kedua telapak tangannya,
diikuti bunyi gemerincing ran-tai besi yang masih
membelenggu. Hembusan angin kencang itu membuat
debu-debu berhamburan ke angkasa, daun-daun ron-
tok dari dahannya. Pohon-pohon terangkat dan tum-
bang. Binatang-binatang keluar dari tempat persem-
bunyiannya, bangunan ambruk seketika serta para
pengawal yang berada di arena upacara itu berjumpalitan, sehingga membuat kepala
suku cepat bertindak.
"Hentikan!! Cukup...!! Anda cukup hebat untuk
menjadi seorang dewa!"
Setelah pertunjukan kehebatan utusan dewa
usai, kepala suku segera berbicara kepada rakyatnya
dalam bahasa suku tersebut.
"Rakyatku! Menyembahlah kalian! Orang yang
kalian tangkap ini ternyata utusan dewa!"
Bagaikan tonggak-tonggak kayu yang roboh ter-
tiup angin, rakyat suku primitif itu segera menjatuhkan diri seketika, dan
berlutut di hadapan Parmin un-
tuk me-nyembah. Parmin melihat perlakuan seperti itu menjadi rikuh dan menahan
rasa geli dalam hati.
Setelah memberi aba-aba kepada rakyatnya un-
tuk berdiri kembali, sang kepala suku menoleh ke arah Parmin sambil berkata:
"Akan kami sediakan tempat tinggal untuk an-
da di sini. Nanti malam, aku mengundang anda untuk
bertukar pikiran serta mengenal riwayat masing-
masing!" Parmin mengangguk tanda setuju, tetapi di-am-diam Jaka Sembung merasa
risih berdekatan den-
gan seorang wanita muda bangsa asing dengan tubuh
nyaris telanjang saja yang ditutupi dengan hiasan beberapa batok kerang besar
dililit oleh seuntai tali sebagai pengikatnya.
*** 2 Matahari kian condong ke arah Barat dan hi-
lang ditelan awan yang berwarna kemerahan. Rakyat
suku primitif itu mulai memasuki tempat tinggal mas-
ing-masing dan sebagian lagi berjaga-jaga di setiap su-dut halaman dengan
senjata tombak dan panah. Sinar
matahari tak terlihat menembus sela-sela pohon, per-
tanda hari mulai berganti malam. Para penjaga pun
menyalakan api unggun untuk pemanas dan peneran-
gan perkampungan mereka.
Tak seberapa jauh dari tempat kediaman kepa-
la suku, tampaklah seorang pemuda tampan yang tak
lain adalah Parmin si Jaka Sembung sedang merebah-
kan diri di atas kasur yang terbuat dari tumpukan ijuk dan rumput ilalang.
Sebagai seorang pendekar yang
beriman, Parmin tak melupakan kewajibannya untuk
menunaikan Sholat Maghrib. Walaupun tak terdengar
suara adzan dan beduk, Parmin bisa mengirakan ka-
pan waktu Maghrib tiba.
Ia segera bangun dari istirahatnya dan lang-
sung mempersiapkan keperluan Sholat. Kemudian
Parmin keluar untuk berwudlu. Ternyata ia mendapat
kesulitan untuk mencari air, maka terpaksalah ia me-
lakukan tayammum dengan pasir halus yang cukup
bersih di halaman tempat tinggal.
Parmin menunaikan Sholat Maghrib. Tak lama
kemudian Parmin duduk tafakur seraya berdo'a sambil
mengangkat kedua belah tangannya yang masih terbe-
lenggu rantai besi. Rantai buatan serdadu kompeni Belanda yang sulit untuk
dibuka. "Ya Allah! Semoga Kau selalu memberi petunjuk
dan bimbingan kepada hamba-Mu, semoga pula kau
selamatkan kawan-kawan seperjuanganku... Amin ya


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Robbal Alamin!"
Sesaat kemudian....
"Sekarang aku perlu keterangan dari wanita
kulit putih itu," pikirnya dan langsung bergegas untuk menemui kepala suku di
tempat tinggalnya yang terletak di seberang tempat tinggalnya.
Belum jauh dia melangkah, tiba-tiba dia men-
dengar suara wanita dari arah rumah kepala suku.
"Auww...!!"
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya
Parmin melompat. Secepat kilat ia telah menjajakkan
kaki di pintu masuk rumah kepala suku dan...
"Terlambat!" keluhnya.
Setelah melihat kepala suku tak ada di tempat,
Parmin langsung melihat-lihat keadaan sekeliling
ruangan singgasana itu, dan apa yang terjadi, para
pengawal kepala suku juga sudah terbunuh semua.
Mereka bergelimpangan di sekitar kursi singga-
sana dan pintu kamar kepala suku dengan tubuh han-
gus di bagian dada. Setelah menyapu pandang ke selu-
ruh pelosok ruangan, tiba-tiba matanya melihat ke suatu tempat yang terlihat
porak poranda. "Hmm, ternyata mereka menjebol dinding terle-
bih dahulu, kemudian menculik kepala suku... Kalau
begitu aku harus segera mengejarnya!" pikir Parmin.
Parmin segera berkelebat dari ruangan singga-
sana kepala suku langsung ke dalam hutan dengan
melewati jebolan dinding itu. Ia sengaja mengambil jalan menerobos ke semak-
semak belukar, agar dirinya
tak diketahui orang lain. Baru saja akan melanjutkan perjalanannya, mendadak dia
melihat sesosok bayangan yang melintas di hadapannya. Dengan cepat Jaka
Sembung menyergap bayangan tadi.
Ternyata.... "Heh, kau panglima suku, bukan" Apa yang te-
lah terjadi dengan kepala suku mu, Awom?" tanya Parmin tak sabar.
Baru saja akan dijawab, serta merta...
"Chraaaa!!" Sebuah serangan mengancam di-
rinya sehingga Jaka Sembung harus berkelit...
"Minggir!!" teriak Parmin sambil mendorong tubuh panglima suku agar menjauh dari
bahaya, se- dangkan kakinya menggaet kaki penyerang gelap tadi.
Maka tak ayal lagi si penyerang terhuyung-huyung ja-
tuh menghantam pohon besar di hadapannya. Tetapi,
dia cepat bangkit untuk menyerang.
Dengan buasnya dia menyerang dari menghan-
tam Parmin. Untunglah Parmin bergerak cepat, kalau
tidak apa yang akan terjadi pada dirinya tentu sangat fatal. Dapat dibuktikan
bahwa serangan yang dahsyat
itu menghantam sebuah pohon besar di belakangnya.
Cengkeraman tangan lawan membuat pohon itu som-
plak dan tumbang seketika. Sekilas Parmin dapat me-
lihat wajah lawannya bertopeng tengkorak dengan ke-
pala bertanduk dan bersurai terbuat dari ijuk.
"Gila...!! Hem, aku yakin, dia pasti bukan orang sembarangan dan jurus-jurus
silatnya seperti kuken-al," gumamnya.
Penyerang gelap itu tak memberi ampun terha-
dap Parmin, dia menyerang dengan membabi buta, se-
hingga pohon-pohon banyak yang tumbang dan debu
serta kerikil berterbangan ke udara terhempas oleh tenaga dalam yang luar biasa.
Dengan menjatuhkan diri
dan berguling-guling, Parmin dapat menghindari puku-
lan maut yang dapat menghanguskan apa saja. Tetapi
di luar dugaan, serta merta penyerang gelap tersebut berkelebat pergi.
"Eh, dia pergi..." Mengapa dia lari" Kurasa akulah yang kalah bila pertarungan
tadi dilanjutkan," pikir Parmin. Belum lagi habis herannya, dia dikejutkan
oleh sesuatu yang ditinggalkan oleh lawannya tadi di atas tanah. "Heh! Bekas
telapak hitam, dan rumput-rumput sekitarnya terbakar hangus" Sebuah pukulan
yang tak asing lagi bagiku," gumamnya.
Setelah dirasakan aman, Parmin menyuruh ke-
luar sang panglima suku dari tempat persembunyian-
nya di balik semak belukar.
"Keluarlah tak ada bahaya lagi!"
Panglima suku bergegas dan menghampiri Par-
min. "Lantas ke mana kita mencari kepala suku" Bisa-kah kau memberi petunjuk
padaku?" tanya Parmin
dengan bahasa Melayu diiringi dengan gerakan-
gerakan tangan sebagai bahasa isyarat.
Dengan susah payah panglima suku mencoba
mengerti maksud Parmin, lalu dengan susah payah
pula ia memberi keterangan dengan bahasa isyarat.
"Hm, ya... ya! Aku mengerti sedikit-sedikit mak-sudmu! Kepala suku diculik oleh
suku Papua yang
bertubuh kerdil, bukan?"
"Baik, mari kau tunjukkan tempat tinggal suku
Papua kerdil itu," pinta Parmin kepada panglima suku yang bernama Awom itu.
Namun belum sempat mereka melangkah un-
tuk melanjutkan perjalanan, Parmin melihat wajah
Awom seperti hendak me-nyatakan sesuatu yang cu-
kup penting. "Ada apa lagi...?"
Dengan gaya yang tangkas dan gesit laksana
cecak menangkap mangsanya, Awom menjambret sa-
lah satu pohon tanggung yang ada di dekatnya. Dan...
"Hm, dia mencabuti daun-daunnya untuk
apa...?" tanya Parmin dalam hati.
Dengan isyarat kembali Awom memberi kete-
rangan sambil menunjuk-nunjuk daun-daun yang ba-
ru diambilnya itu. Mengertilah Parmin dengan apa
yang dimaksud panglima suku.
"Oh, kau bilang daun-daun ini harus kita ku-
nyah agar kita terbebas dari gigitan binatang-binatang yang berbisa" Baiklah,
ini memang perlu untuk menja-ga diri, terima kasih!" jawab Jaka Sembung sambil
mengunyah daun-daun itu. Awom tersenyum senang
karena melihat utusan dewa mau menuruti sarannya.
*** 3 Setelah mengunyah daun-daunan tersebut,
Parmin dan Awom melanjutkan perjalanannya untuk
mencari kepala sukunya. Sepanjang jalan mereka
menjelajahi rimba belantara pedalaman pulau Hitam
Papua. Suasana sunyi mencekam dalam perjalanan
tanpa seberkas cahaya pun menerangi langkah mere-
ka. Seringkali kaki mereka tersandung akar-akar po-
hon yang melintang atau terperosok ke dalam lobang
yang sudah tertutup humus daun-daun kering.
Berkilo-kilo meter jalan setapak dan hutan be-
lantara yang telah mereka lewati. Perjalanan yang sangat melelahkan, lapar pun
mulai menghantui perutnya.
Mata Parmin menjelajah ke atas mencari buah-buahan
untuk mengganjal perut dan sambil bersiap siaga ter-
hadap serangan mendadak atau sergapan binatang
buas, menjadi santapan segar suku pemakan daging
manusia kalau mereka lengah.
Separoh perjalanan sudah terlewati. Mereka
berdua tidak tidur, karena memang kesempatan untuk
beristirahat tidak ada. Di samping itu pula tempat
yang aman untuk pelepasan lelah kurang memungkin-
kan. Suhu udara semakin dingin mencekam sampai
tembus ke tulang sumsum. Sinar rembulan dari ke-
jauhan mulai menipis, lambat laun bergeser ke bela-
han bumi bagian Timur. Suara-suara binatang hutan
pun mulai terdengar kembali pertanda hari mulai pagi.
Pagi subuh itu Parmin mengajak Awom beristi-
rahat dan mencari air untuk men-cuci muka dan ber-
wudhu. Tetapi setelah menjelajahi seluruh hutan di
sekitarnya, mereka tak menemukan air. Akhirnya me-
reka kembali lagi ke tempat semula, tempat yang agak memadai untuk menunaikan
Sholat Shubuh. Panglima suku duduk di samping pohon besar
kemudian Parmin mencari embun yang membasahi
dedaunan untuk digunakannya sebagai air wudhu. Dia
berdiri menghadap suatu arah yang ia yakini sebagai
kiblat. Seraya mengangkat kedua tangannya sambil
berucap "Allahu Akbar...!", Parmin mulai melakukan Takbir. Awom memperhatikan
setiap gerakan Parmin.
Ia heran dan bertanya-tanya dalam hati. Dalam ha-
tinya ingin rasanya ia bertanya apa yang sedang dilakukan Parmin. Dari berdiri,
mengangkat kedua ta-
ngan, berjongkok, duduk lalu berdiri lagi terakhir ten-gok kanan kiri serta
mengusap muka dengan kedua te-
lapak tangannya,
Setelah menyelesaikan suatu rangkaian gera-
kan yang mengherankan bagi Awom, Parmin berdiri
menghampiri orang berkulit hitam yang sudah menjadi
sahabatnya itu sambil berkata,
"Kau tentu heran dengan apa yang baru kuker-
jakan tadi... Jika kau menyembah arwah nenek
moyangmu, maka aku menyembah Tuhan yang men-
ciptakan seluruh alam dan isinya, yang juga termasuk menciptakan nenek
moyangmu," Parmin berusaha
memberi keterangan dan pengertian panglima suku
itu. Namun demikian panglima suku masih keheranan,
bahkan ia bertanya lebih jauh lagi dengan bahasa isyarat perihal Tuhan yang
disebut-sebut Parmin sebagai
penguasa jagad dan isinya.
"Apakah Tuhannya lebih tinggi dari apa yang
selama ini mereka sembah?"
"Ya, tentu saja Tuhan pencipta alam ini, lebih
tinggi dari kekuatan nenek moyangmu atau dewa-dewa
sekalipun! Dia jauh lebih tinggi...! Baiklah, kelak lambat laun kau akan
mengerti! Sekarang mari kita lan-
jutkan perjalanan," jelas Parmin sambil mengajak Awom untuk melanjutkan
perjalanan. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada
di tengah hutan belantara. Ribuan pohon-pohon rak-
sasa, tanah berbatu serta sungai-sungai kecil mereka lewati. Butir-butir
keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka. Akhirnya ketika matahari mulai
me-ninggi, mereka sampai ke sebuah dataran yang indah.
Mereka melangkah ke arah batu besar yang terletak
persis di tepi bukit. Di atas batu besar itu Parmin dan
Awom melihat-lihat pemandangan yang sangat menye-
garkan mata. Bukit-bukit tinggi yang ditumbuhi pepo-
honan serta hamparan rumput ilalang, laksana gelaran permadani menambah suasana
menjadi semakin bertambah asri.
"Indah sekali lembah ini! Pernahkah kau ke si-
ni?" tanya Parmin.
Panglima suku Kaimana tak menjawab sepatah
katapun, ia hanya mengangguk sambil tersenyum
bangga dengan apa yang dimiliki negerinya. Setelah
beberapa saat melihat keindahan perbukitan itu, tiba-tiba Awom menunjuk ke arah
gunung yang menjulang
tinggi dengan puncaknya yang diselimuti sesuatu ber-
warna putih kemilau. Ia kemudian memberi penjelasan
kepada Parmin dengan bahasa isyarat.
"Oh, puncak gunung itu kalian nama-kan tem-
pat bersemayamnya arwah-arwah nenek moyang" Dan
warna putih menyilaukan di puncaknya itu kalian
anggap sebagai istana dewa-dewa?" tanya Jaka Sembung dengan hati-hati jangan
sampai teman barunya
itu tersinggung. Parmin tersenyum dan berkata dalam
hati... "Hm, sebenarnya hanya salju yang menutupi puncak gunung itu. Karena
begitu tingginya gunung-gunung di sini, maka salju itu tak pernah meleleh. Salju
abadi." Setelah menyaksikan beberapa keindahan dan
keanehan di sekitar kaki gunung yang berselimut salju tebal tadi, Parmin dan
Awom melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari Jaka Sembung dan Pan-
glima suku memasuki suatu lembah. Perjalanan mere-
ka sudah cukup jauh dari Kaimana tempat yang mere-
ka tinggalkan. Selama di perjalanan mereka saling belajar bahasa masing-masing
sambil mencari buah-
buahan apa saja yang dapat dimakan untuk menggan-
jal perut yang beberapa hari belum terisi.
"Kau bilang sudah dekat" Baiklah, kita beristi-
rahat sejenak."
Belum lagi mereka sempat merebahkan tubuh,
tiba-tiba Parmin menangkap gerakan halus dari atas
pohon yang berada di hadapannya. Lalu apa yang ter-
jadi" Secepat kilat Jaka Sembung mendorong tubuh
Awom ke samping sehingga luput dari sasaran.
"Awas!!! Hiyaaaat!!!" teriak Parmin dan tubuh Awom berguling.
Parmin berusaha sekuat daya untuk menghin-
dari serbuan jarum-jarum yang mengancam. Bukanlah
si Jaka Sembung bila dia tidak bisa menguasai kea-
daan seperti itu. Dengan ketangkasan luar biasa, melalui keahlian menangkis
senjata rahasia yang dimili-
kinya, ia mengembalikan senjata-senjata kecil tadi. Seketika itu pula rontoklah
beberapa tubuh cebol dari atas pohon termakan oleh senjatanya sendiri yang
ternyata berupa paser-paser beracun yang dilontarkan
dengan sumpitan itu.
"Kedebuk! Gusrak!" Laksana durian jatuh.
"Inikah yang kau maksud dengan suku Papua
kerdil itu?" tanya Parmin kepada panglima suku.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab menda-
dak tubuh kecil lain dari arah yang tidak terduga menyerang dengan gesitnya. Tak
dapat dipungkiri lagi
pertarungan yang tak seimbang segera terjadi.
Tidak kurang dari dua puluh orang cebol me-
nyerang Parmin dan Awom. Mereka tak memberi ke-
sempatan pada keduanya mengatur nafas barang seje-
nak. Bagaikan binatang yang ganas dan kelaparan
mereka menerjang dan menerkam dua orang penda-
tang itu. Ada yang menggigit, mencekik dan ada pula
yang mencakar bagian tubuh Parmin, sehingga baju
yang dipakainya terkoyak.
"Tubuh mereka kecil-kecil, tetapi Masya Allah
gerakannya lebih tangkas dari monyet..., kita bisa ce-laka dikeroyok suku kerdil
yang ganas ini!"
Parmin tak tinggal diam, dan tak mau ambil re-
siko. Ia segera mengerahkan tenaga dalamnya, disertai teriakan laksana binatang
buas Jaka Sembung meng-kibaskan tangan ke depan sehingga manusia-manusia
mini itu berpentalan ke segala penjuru.


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo maju lagi!" seru Parmin dengan sinar mata beringas dan mengancam.
Dengan kejadian yang baru saja mereka alami,
orang-orang kerdil itu nampak ketakutan. Langsung
saja mereka ambil langkah seribu pontang-panting me-
lintasi semak belukar meninggalkan Jaka Sembung
dan Awom. "Mereka lari! Ayo kita kejar terus, sampai kita tahu di mana tempat
persembunyian mereka," ujar Parmin. Belum lagi jauh Parmin dan panglima suku
mengejar, salah seorang dari gerombolan orang kerdil itu mengambil sesuatu dari
semak-semak pohon diikuti oleh kawan-kawannya.
"Lihat! Mereka mengambil apa dari balik se-
mak-semak?" teriak Jaka Sembung. "Oh, mereka me-nuangkan cairan kental dari
guci-guci itu! Apakah
itu?" Belum sempat Parmin berbuat sesuatu cairan itu sudah membanjiri tanah yang
berada di hadapannya. Tak ayal lagi begitu Parmin dan Awom menginjak
cairan itu, mereka tergelincir jatuh!
"Ah, licin!!" keluh Parmin kesal.
Sementara Parmin dan Awom bergulat dengan
cairan tersebut, kesempatan itu tak disia-siakan oleh gerombolan manusia kate
untuk lari jauh dari kejaran
mereka. Dengan hati dongkol namun kagum Parmin
berdesis, "Mereka cukup pintar untuk menghalangi ki-ta!"
Dalam kesempatan itu panglima suku Kaimana
berusaha menjelaskan cairan apa dan terbuat dari
apa. Karena dia belum dapat menggunakan bahasa
Melayu dengan baik, maka ia campur adukkan penje-
lasannya dengan bahasa isyarat.
"Minyak ini terbuat dari getah pohon-pohon
opak!" Sambil mengangguk tanda mengerti Parmin mengalihkan pandangannya ke arah
guci-guci itu "Aha, mereka meninggalkan guci-guci itu, salah satu di antaranya masih berisi
cairan itu. Aku yakin minyak
ajaib ini berguna buatku."
"Untuk apa?" tanya Awom.
"Nanti kau akan tahu gunanya...!"
Setelah mengambil guci itu, kemudian Parmin
mencelupkan kedua tangannya yang masih terbeleng-
gu rantai besi sampai sebatas pergelangan. Apa yang
dilakukan Parmin" Ternyata ia menggunakan minyak
itu sebagai bahan pelumas untuk melepas-kan beleng-
gu besinya. Ia mengerutkan jari jemarinya dan pelan-
pelan ia mengurut gelang besi yang sudah dilumuri
minyak yang sangat licin itu. Maka beberapa saat ke-
mudian lepaslah besi sial yang selama ini membuatnya repot. "Nah, sekarang lega
rasanya! Cukup lama belenggu ini membatasi gerakanku... Sekarang mari kita
lanjut-kan perjalanan kita! Kita ikuti saja jejak orang kate itu!"
*** 4 Setelah merasa tak ada lagi yang mengganggu
gerakannya, Parmin dan Awom melanjutkan perjala-
nannya. Berhari-hari mereka telah menempuh perjala-
nan. Siang dan malam tanpa mengenal lelah. Dengan
menelusuri lembah ngarai serta hutan belantara yang
belum terjamah manusia. Se-lama itu panglima suku
pun tak henti-hentinya memberi penjelasan mengenai
berbagai hal yang belum diketahui Parmin, agar pen-
dekar muda itu lebih hati-hati.
Dari Kaimana yang terletak di teluk Etna, kini
mereka telah sampai di pinggiran Danau Jamur di kaki pegunungan puncak
Jayawijaya. Sepanjang perjalanan, sebagaimana biasa kedua insan itu terus mene-
rus saling belajar bahasa masing-masing. Parmin su-
dah sedikit lancar bahasa suku Kaimana. Mereka me-
lewati bukit-bukit yang menjulang tinggi, terhias hamparan pohon yang hijau dan
tidak ketinggalan burung-
burung yang indah yang hanya dimiliki oleh pulau Pa-
pua, antara lain burung Cendrawasih yang terkenal
itu. Ketika Parmin menengadah ke atas dan melihat
seekor hewan yang sangat indah dipandang mata, ia
bertanya pada teman seperjalanannya itu. "Burung apakah itu" Bulunya indah
sekali!" "Suku kami menyebutnya burung surga," jelas Awom sambil tersenyum bangga.
Parmin coba lebih mendekat untuk menikmati
keindahan burung itu sambil membunyikan jari jema-
rinya dan bersiul. Burung itu menyambut sapaan
Parmin dengan membentangkan sayapnya yang berbu-
lu indah, berwarna warni. Jaka Sembung begitu ka-
gum melihatnya dan dalam hati ia memuji kebesaran
nama Sang Maha Pencipta. Diam-diam pula ia merasa
bangga bahwa sebenarnya kepulauan di kawasan Nu-
santara ini memiliki kekayaan yang sangat berlimpah, baik hasil bumi, rempah-
rempah maupun flora dan
faunanya. Seperti kata Awom tentang nama burung
itu, benarlah bahwa tanah air tercinta ini bagaikan
surga yang terbentang di katulistiwa sehingga dam-
baan bangsa-bangsa lain untuk menguasai dan memi-
likinya. Terbukti dengan adanya bangsa Belanda yang
sedang menjajah negerinya.
Tak seberapa jauh dari hutan itu nampaklah
danau yang dikelilingi bukit-bukit yang menjulang
tinggi serta pohon-pohon pinus yang berderet-deret.
"Inilah Danau Jamur! Tempat tinggal suku Pa-
pua kerdil itu, ada di sebelah sana," Awom memberitahu Parmin sambil menunjuk ke
arah pinggiran Danau
Jamur sebelah Selatan.
"Kau katakan tempat mereka dekat, tapi astaga!
Sudah berapa hari kita menempuh perjalanan ini?"
ucap Parmin yang baru sadar dengan apa yang telah
mereka tempuh selama ini.
Setelah sekian lama menyusuri pinggiran Da-
nau Jamur, sampailah mereka pada sebuah tempat
yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Sambil men-
gendap-endap di balik pepohonan, Parmin membuka
matanya lebar-lebar untuk mengamati segala penjuru
dan tak lupa bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan. "Awom! Coba kau lihat! Apakah itu?" tanya
Parmin kepada panglima suku dengan keheranan.
"Nah, itulah perkampungan suku Papua kerdil!"
jawab Awom. Parmin melihat pemandangan yang cukup
aneh. Tampaklah pada cabang-cabang pohon itu ber-
gantungan benda-benda besar seperti sarang lebah.
Yang tak lain adalah rumah-rumah tempat suku kerdil
bermukim. "Mereka memanjat dengan tang-kasnya seperti kera. Mereka adalah suku
perusuh yang paling
ditakuti oleh suku-suku lain," jelas Awom lebih jauh.
Belum lagi sempat memahami apa yang dije-
laskan Awom tiba-tiba Parmin terbelalak melihat sesosok manusia yang bertopeng
tengkorak dengan surai
ijuk dan berjubah sedang berdiri di bawah pohon-po-
hon raksasa itu.
"Apakah tidak salah penglihatanku..." Ternyata
yang berada di sana itu adalah orang yang telah mem-
bokong kita di halaman rumah kepala suku mu," ujar Parmin kepada Awom. Awom
mengangguk dengan gigi
gemeretak karana geram.
Parmin berusaha tenang sambil memperhati-
kan apa yang sedang diperbuat orang misterius itu di perkampungan suku kerdil
ini. Dengan bahasa yang tidak dimengerti orang
lain, orang berjubah dan bertopeng seram itu berteriak sambil mengangkat kedua
tangannya ke atas. Tak la-ma kemudian dari dalam sarang tawon raksasa itu, se-
rentak keluar tubuh-tubuh kecil bergelayutan ke ba-
wah. Kemudian dengan cepat mereka membentuk ba-
risan mengelilingi manusia bertopeng itu.
Suasana hening sejenak, lalu tiba-tiba dengan
bahasa suku Papua kerdil, orang itu menunjuk-
nunjuk ke suatu arah. Dengan serentak mereka berla-
rian menuju tempat yang ditunjuk. Tak lama kemu-
dian mereka kembali membawa sesosok tubuh molek
yang meronta-ronta dalam usungan mereka.
"Lepaskan aku!! Kau mau bawa ke mana diri-
ku?" teriak si tubuh molek yang ternyata seorang gadis berkulit putih dan
berambut pirang. Namun teriakan
itu tak mereka perdulikan.
Beberapa saat kemudian orang itu memerin-
tahkan orang-orang suku cebol membawa gadis bule
ke sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu yang
memang telah disiapkan di tengah-tengah halaman.
Gadis itu direbahkannya perlahan-lahan di atas
balai dengan tangan terikat ke belakang. Sang mak-
hluk menyeramkan itu kemudian menghampiri tubuh
menggiurkan dengan pakaian teramat minim tersebut.
Orang itu memperhatikan sosok tubuh yang indah mu-
lus di hadapannya sambil beberapa kali menelan ludah diiringi tatapan mata penuh
nafsu birahi. Tubuh itu
diraba-raba dari atas sampai bawah, dari pipi, leher sampai dada. Berhenti
sejenak dan menyingkap penu-tup buah dada yang besar mengencang itu. Diremas-
nya perlahan-lahan membuat sang gadis bule terus
meronta dan akhirnya dia memaki sambil menyem-
protkan air ludah ke wajah bertopeng seram itu.
"Lepaskan jahanam!!!"
"Cuihhh!!! Manusia busuk!!"
Betapa kaget dan marahnya orang itu, dengan
cepat dia meninggalkan tubuh molek itu menggeliat-
geliat dan meronta-ronta berusaha melepaskan tali
ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia, ikatan itu terlalu kuat buat seorang
gadis seperti dia.
Parmin yang sejak tadi mengintai dari kejau-
han, terkejut setelah melihat pemandangan itu.
"Astaga! Itu adalah kepala suku mu, Awom! Dia
dalam bahaya!" bisik Jaka Sembung kepada Awom
agar suaranya tak ter-dengar oleh orang-orang kerdil di depan-nya.
Jaka Sembung mulai memutar otaknya guna
mencari akal. Tak lama kemudian, dia berbisik lagi kepada Awom untuk memberi
tahu bagaimana cara me-
nyelamatkan gadis bule itu.
"Ssst! Kerjakanlah menurut petunjukku Awom!"
"Ya, baik!" Awom menjawab sebagai tanda setuju dengan maksud Parmin. Seketika
itu juga keduanya
berpencar untuk mencari tempat untuk memulai ren-
cana mereka. Tubuh molek berwajah cantik itu kini tak ber-
daya terlentang di atas balai sambil menanti apa yang akan diperbuat suku kerdil
itu terhadap dirinya. Sementara itu orang-orang kerdil yang mengelilinginya
kini sedang sibuk menumpuk kayu bakar dan ditem-
patkan di balai bambu tersebut.
Manusia misterius itu tiba-tiba berteriak,
"Ambil minyak! Lalu siramkan ke tumpukan
kayu itu!"
Secepat kilat orang-orang kerdil itu berlompa-
tan untuk masing-masing mengambil guci yang berisi-
kan minyak dan mengerjakan apa yang diperintahkan
kepada mereka. Setelah beres semuanya orang bertopeng itu
mengambil sebuah obor yang sedang dipegang oleh sa-
lah seorang suku kerdil, lalu ia lemparkan ke bawah
balai-balai bambu di mana tumpukan kayu sudah siap
untuk dibakar. Kepala suku Kaimana tak dapat berbuat apa-
apa. Karena tubuhnya terikat kuat-kuat pada balai-
balai bambu yang kini mulai terbakar. Gadis itu putus asa dan berdo'a sambil
memanggil nama ayahnya.
"Ayah!! Ayah!! Di manakah kau berada, ayah" Apakah kita harus berpisah untuk
selama-lamanya, oh Tuhan
tolonglah hambaMu! Aku tidak mau mati sebelum ber-
temu dengan ayahku!"
Api sudah mulai menjalar dan makhluk kecil
itu berjingkrakan sambil meneriakkan kata-kata sakral menurut kepercayaan
mereka. Seakan mereka bangga
dengan apa yang akan mereka persembahkan kepada
arwah-arwah nenek moyangnya.
Dari semak belukar Parmin tak punya pilihan
selain harus cepat bertindak. "Aku harus segera ber-
tindak sebelum api itu menjilat tubuh gadis kulit putih itu!" Dengan nekad
Parmin berkelebat menuju tempat upacara itu. Tapi sayang, sebelum ia sampai ke
arah tujuan, tiba-tiba makhluk misterius itu menyam-
but tubuh Parmin yang sedang melayang dengan se-
buah tendangan yang telak mengenai dadanya. Tak
ayal lagi tubuh Parmin terjerembab ke atas balai yang mulai dijilat api.
Api mengelegak seakan marah dan ingin mela-
hap korbannya. Tapi Parmin bukanlah pendekar sem-
barangan. Dia dapat bertindak cepat dalam situasi gawat sekalipun. Maka dengan
sebuah hentakan, ia
bangkit dan langsung meraih tubuh gadis itu menjauhi balai-balai bambu yang ham-
pir roboh karena dilahap
si jago merah. "Cepat anda berguling ke dalam belukar! Awom
akan melindungi anda di sana!"
Tetapi saat itu sang gadis melihat nyala api
yang membakar baju Parmin. "Aww!! Baju anda terbakar," teriaknya.
Tapi sebelum Jaka Sembung berbuat sesuatu,
mendadak dadanya digedor oleh tendangan keras yang
menerjangnya. Parmin merintih menahan sakit di da-
danya dan darah segarpun keluar dari mulutnya, se-
dangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Dengan sekuat tenaga Parmin menerjang sam-
bil menggaet kaki lawan hingga terjungkal terperosok
ke semak-semak belukar. Kesempatan yang sedetik itu
ia gunakan untuk melucuti bajunya yang sudah terba-
kar dan siap memasang kuda-kuda untuk menyambut
serangan lawan berikutnya.
Saat itu gadis kulit putih pun terancam bahaya.
Tiga orang kerdil datang menyergapnya. Betapa kaget-
nya sang gadis. Tapi beruntung baju yang berkobar api
yang dilepaskan Parmin, tanpa sengaja berhasil meno-
longnya. Tiga tubuh cebol itu terberangus oleh urukan baju tersebut, dan si
gadis pun lari mencari tempat
berlindung. Sementara itu lawan yang bertopeng seram


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terjungkal kini sudah bangun kembali dengan
menggeram siap menerjang dengan seluruh tenaganya
bertumpu pada tangannya yang berbentuk cakar sin-
ga. "Celaka! Ia bersiap-siap hendak melancarkan
pukulan yang menghanguskan itu?" gumam Jaka
Sembung dalam hati dengan cemas.
Namun tiba-tiba lawan yang misterius itu ter-
paksa menunda pukulannya karena sebuah rumah
mirip sarang laba-laba raksasa mendadak dengan de-
ras jatuh ke arahnya. Pada detik kritis itu si topeng seram menyambut benda
besar itu dengan sebuah puku-
lan dahsyat. "Hyaaaaaat...!"
Tak ayal lagi hancurlah rumah-rumah itu ber-
keping-keping. Bersama rumah yang hancur beranta-
kan, melayang jatuh sebuah benda berbentuk cakar.
Saat itu pula Parmin terkejut.
"Hah"! Tangannya copot?"
Tapi orang seram itu menubruk benda yang
masih melayang di udara dengan gerakan laksana see-
kor tupai. Kemudian dengan sebuah loncatan lagi dia
kabur ke dalam semak belukar dan menghilang di sa-
na. "Heh! Dia menghindar lagi! Agaknya ia sengaja
mengulur-ulur waktu," umpat Jaka Sembung.
*** 5 Baru saja manusia bertopeng yang memimpin
suku kerdil itu pergi, dari arah belakang Parmin puluhan orang suku kerdil
menyerang dengan tombak-
tombak mereka. Namun demikian mereka bukan la-
wan tanding Parmin. Sekali hentak, puluhan manusia
kerdil itu beterbangan laksana kapas ditiup angin.
Kendati pun demikian mereka tidak jera, bahkan ban-
gun kembali untuk menyerang. Kali ini mereka menye-
rang serentak dengan tangan-tangan yang saling ber-
gandengan seperti anyaman pagar.
"Gila! Mereka benar-benar makhluk kecil yang
ulet," pikir Parmin.
Usaha mereka tetap sia-sia. Tubuh-tubuh ber-
deret itu kembali terpelanting seperti serentetan bunga rampai. Kali ini tubuh
itu terpental menjadi santapan kobaran api, yang sudah bergelagak menelan balai
bambu tadi. Seperti kata pepatah hilang satu tumbuh
seribu, kini yang lain datang lagi menyerang dari arah belakang.
Dari arah yang berlawanan datang pula sege-
rombolan dari mereka, namun belum sempat menye-
rang tiba-tiba malaikat penolong datang dengan me-
mutuskan tali-tali pengikat rumah yang banyak berge-
lantungan di dahan pohon-pohon besar itu. Rumah-
rumah yang berjatuhan itu berhasil mengacaukan me-
reka. Ternyata itu adalah ulah Awom sang panglima
suku. Kesempatan demikian tak disia-siakan Parmin
untuk melepaskan sang gadis kulit putih itu dari tali yang masih membelenggu
tangannya. "Cepat kita lari, nona!" ajak Parmin.
Tetapi sebelum melangkah, sekonyong-konyong
Parmin membuka kain sarung yang dipakainya, dan
menyuruh gadis bule itu menggunakan kain tersebut
untuk menutupi tubuhnya yang nyaris bugil itu.
"Maaf, keindahan tubuhmu itu akan meng-
ganggu pikiranku, nona."
Baru saja gadis bermata biru itu akan menge-
nakan kain sarung yang biasa digunakan Parmin un-
tuk Sholat, mendadak terdengar suitan yang datang
dari salah seorang suku cebol. Entah apa yang terjadi seketika itu pula
terdengar suara gemuruh datang dari balik semak belukar. Membuat Parmin
terperangah. "Hah! Suara apakah itu dari dalam hutan?"
Ternyata suara itu adalah suara pasukan kava-
leri suku kerdil yang terdiri dari penunggang-
penunggang burung Kasuari. Pasukan burung Onta itu
datang sebagai bala bantuan.
Betapa kagetnya Parmin melihat se-rombongan
laskar pengendara burung ganas itu. Parmin si Jaka
Sembung mau tak mau harus melindungi kepala suku
Kaimana dengan menerjang seluruh pasukan itu se-
kuat kemampuannya. Tapi tak urung gadis bule itu
mendadak diserang oleh salah seekor burung. Untung
saja Parmin bertindak cepat dan langsung menghajar
burung itu tepat di batang lehernya, membuat si gadis berkulit putih itu lepas
dari cengkeramannya. Parmin segera menggendong tubuhnya sambil berkata: "Pegang
aku kuat-kuat, nona! Kita harus segera lari dari sini!!" Bagaikan sebuah barisan
yang rapat, burung itu mengurung Parmin dari segala penjuru. Pada saat
yang sulit itu Awom berusaha membantu Parmin dan
kepala sukunya. Dari atas pohon Awom menghajar sa-
lah seorang dari mereka dengan tombak. Sayangnya
tombak yang ada hanya satu-satunya. Namun demi-
kian Awom tak kehabisan akal. Sampailah pikirannya
untuk menggunakan ranting-ranting pohon di sekitar-
nya. Laksana anak panah yang melesat dari busur-
nya, patahan ranting-ranting itu menembus tubuh-
tubuh cebol. Burung-burung ganas itu pun tak dapat
mengelak dari serbuan ranting-ranting pohon yang di-
gunakan Awom. Parmin tak mau membuang-buang kesempatan
untuk lolos dari serbuan binatang-binatang ganas dan liar itu. Dengan sekuat
tenaga ia terus berlari sambil menggendong gadis bule tersebut. Sementara itu
luka bekas tendangan makhluk berjubah dan bertopeng
tengkorak tadi mulai terasa sakitnya, membuat nafas
Parmin menjadi sesak. Sambil terengah-engah Jaka
Sembung terus berlari, sedangkan pasukan kavaleri
yang masih tersisa terus memburunya.
"Mereka mengejar kita!" teriak kepala suku Kaimana dengan cemas. Pasukan hampir
mendekat, mereka memburu Parmin dengan kecepatan penuh.
Karena beban yang ia gendong dan pernafasannya
yang mulai sesak itulah, Parmin dengan mudah dapat
dikejar. Awom yang saat itu masih berada di atas pohon sempat melihat kesulitan
yang dialami Parmin. Dia berusaha turun untuk membantu meringankan beban
dengan mengambil alih gendongannya. Laksana mo-
nyet yang turun dari atas pohon, Awom bergelayutan
pada akar pohon untuk mencapai tempat di mana
Parmin berada. "Berikan kepala suku padaku! Aku masih
punya banyak tenaga," pintanya kepada Jaka Sem-
bung. Belum lagi terjadi timbang terima, tiba-tiba bahaya lain yang tak kalah
gilanya menghadang mereka
dari depan. Ternyata yang datang itu serombongan babi hu-
tan yang sangat buas menuju ke arahnya. Taring-
taring yang runcing dari binatang itu cukup membuat
orang bergidik melihatnya.
Karena dari dua arah yang berlawanan bahaya
mengepung, Parmin, Awom dan gadis bule itu terjepit.
Kepala suku Kaimana itu cemas, namun Parmin beru-
saha sedapat mungkin menghibur hatinya. "Aww!! Bagaimana kita kini!"
"Tenanglah! Kita pasti selamat dan dapat keluar dari bahaya ini! Bismillah...."
Disusul dengan teriakan keras Parmin mengajak Awom untuk melompati barisan
celeng-celeng yang menyerbu. "Loncat Awom!!
Hiyaaaaat!!" Bagaikan mendapat suatu dorongan tenaga baru Parmin dan Awom
meloncati gerombolan
babi hutan itu. Maka apa yang terjadi sesudahnya adalah suatu tubrukan masal
antara gerombolan babi hu-
tan dan laskar burung Onta. Hukum rimba benar-
benar berlaku di sini, siapa yang kuat mereka yang
menang. Korban pun berjatuhan. Tak sedikit dari
orang-orang kerdil itu habis tergilas oleh babi hutan.
Amanlah sudah bagi Jaka Sembung dan ka-
wan-kawannya. Mereka benar-benar dapat menarik
nafas lega. Di tempat yang jauh dari keganasan penghuni
hutan belantara, Parmin mengajak mereka beristira-
hat. Di tepi Danau Jamur itu mereka merebahkan diri
dengan terengah-engah.
"Kita berhenti dulu di sini, Awom!! Nafasku te-
rasa sesak dan mau putus!!"
"Uuuh, sungguh mengerikan," keluh gadis bule itu.
Nafas mereka laksana tersekat di tenggorokan
dan keringat jatuh bercucuran. Seluruh sendi tubuh
terasa lemas. "Tuhan telah menyelamatkan kita, saudara
Parmin! Untunglah benda ini selalu berada dalam
genggamanku!" gadis itu berkata sambil mengeluarkan sesuatu dari balik rambutnya
yang pirang itu.
"Apakah itu...?" balas Parmin.
"Salib suci! Yang selalu mengusir anasir-anasir jahat yang selalu mengancam
jiwaku di pulau Hitam
ini." "Kau tampak terluka... Dadamu sakit?"
Sambil berdiri dan menuju ke pinggir Danau
Jamur, Parmin berkata: "Tak apa-apa nona! Aku akan berusaha untuk pulih
kembali." Gadis bule dan panglima suku bingung dengan
sikap Parmin yang tenang seakan tak terjadi apa-apa
terhadap dirinya.
Setelah menuruni tepi danau, Parmin langsung
membasahi mukanya dengan air itu. Jaka Sembung
mengangkat tangannya untuk berkonsentrasi, lalu per-
lahan-lahan ia memejamkan kedua matanya dengan
mengucapkan kalimat do'a di dalam hati.
"Bismillahir Rahmanir Rahim, atas kekuasaan
ya Allah berikanlah kepadaku kesembuhan melalui
kekuatan dalam tubuh-ku...."
Setelah berucap dalam hati Parmin mulai me-
musatkan tenaga dalamnya ke arah dadanya sendiri.
Inilah jurus 'Hening Cipta' sebuah jurus yang mengu-
tamakan konsentrasi diri untuk penyembuhan. Si ga-
dis pun terpukau melihat kehebatan Jaka Sembung.
Diam-diam dia memuji kehebatan pendekar muda itu.
"Memang banyak sekali keajaiban yang kute-
mui di belahan dunia sebelah Timur ini."
Beberapa saat Parmin mengheningkan cipta.
Setelah ia merasakan tubuhnya normal kembali, sedi-
kit demi sedikit ia membuka kedua matanya sambil
mengucap: "Al-Hamdulillah...."
Dengan gembira gadis berambut pirang itu
menghampiri Parmin yang sudah segar kembali. Den-
gan pancaran mata yang ceria gadis itu menyapa Par-
min. "Anda tampak segar kembali! Sungguh menak-jubkan!"
"Tak usah heran nona! Cuma pengobatan tradi-
sionil! Bangsa kami memang belum mengenal cara pe-
nyembuhan seperti bangsa-bangsa barat! Oleh karena
itu kami hanya dapat menggunakan cara ini!"
"Tubuh manusia adalah bentuk kecil dari alam
semesta ini, hampir semua zat-zat yang ada dalam
alam terdapat pula dalam tubuh kita. Dengan latihan-
latihan tertentu kita bisa mengerahkan zat-zat dalam tubuh kita sendiri untuk
menolak zat-zat yang akan
merusak tubuh," Parmin berusaha menjelaskan kepa-da kepala suku Kaimana itu agar
ia dapat memahami
secara rasional.
Untuk sementara kita tinggalkan dulu mereka
yang sedang bercakap. Kita ikuti ke mana larinya ma-
nusia bertopeng seram yang selama ini telah bertindak sebagai kepala suku Papua
kerdil itu. Dari kejauhan nampak sosok bayangan tubuh
tersebut lari tungang-langgang dan terhuyung-huyung, kelihatannya dia terluka
dalam. Sosok bayangan itu tak lain adalah kepala suku
Papua kerdil. Dengan sangat kesal dia memaki dirinya sendiri, "Gagal lagi...!
Saatnya memang belum tepat, aku terlalu terburu-buru! Luka-luka dalam tubuhku
belum sembuh betul, inilah yang menghalangi gera-
kanku!" Sambil terus memaki dirinya, kepala suku Papua kerdil itu meneruskan
perjalanannya menembus
semak belukar. Namun pada suatu saat di bawah po-
hon yang rindang, ia merasakan nafasnya sesak dan
seketika itu juga darah beku berwarna hitam kental
keluar dari mulutnya.
"Darah! Lukaku berdarah lagi! Mungkin karena
aku terlalu banyak bergerak dan mengeluarkan tena-
ga, tapi aku penasaran kalau belum mengenyahkan
dia!" Cakar singanya menghantam tanah sebagai pe-lampiasan.
Kita kembali lagi pada Parmin. Gadis kulit pu-
tih itu sedang menceritakan riwayatnya.
"Aku bersama ayahku Van Boerman dan pende-
ta Jorgen mengemban tugas missionari dari Gereja Ka-
tholik untuk daerah Timur Jauh!"
"Kami bertolak dari negeri Belanda pada awal
musim semi menyusuri pantai Selatan Eropa, Timur
Tengah, menuju tujuan perjalanan kami yaitu Nusan-
tara. Ayahku bekerja pada biro perjalanan untuk misi Gereja, dan hampir seluruh
waktunya ia baktikan kepada kegiatan penyebaran ajaran-ajaran Yesus Kris-
tus. Sampai di Batavia, Pemerintah Kompeni Belanda
menugaskan kami untuk melanjutkan misi ke pulau-
pulau bagian Timur Nusantara ini yang penduduknya
rata-rata masih primitif dan kanibalis. Apapun yang akan terjadi aku sudah
membulatkan tekad untuk turut serta walau bahaya mengancam jiwa sekalipun."
"Aku mencintai tugas suci dan mulia itu. Kare-
na Yesus Kristus juru selamat bagi seluruh umat ma-
nusia. Dengan kasih sayangNya Ia mencari dan menye-
lamatkan domba-domba sesat menuju jalan terang!"
"Tetapi untuk menempuh jalan Tuhan memang
sangat berat. Berbagai rintangan selalu merintangi dan menghadang. Kami harus
menghadapi perompak-perompak laut yang ganas di perairan pulau Celebes
dan Halmahera. Berkat lindungan Tuhan serdadu-
serdadu pengawal kami selalu berhasil menyikat habis
setiap rintangan itu. Namun dari semua yang paling
dahsyat adalah bahaya alam."
"Kapal kami tak kuasa menahan dan melawan


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badai yang mengamuk di sekitar laut Banda dan Ara-
fura. Kapal kami hancur berkeping-keping. Aku tak ingat lagi apa yang terjadi
setelah itu, hanya Tuhan jua-lah yang menyelamatkan hambaNya. Di kala aku si-
uman, aku telah berada di pantai sebuah pulau... tapi aku seorang diri! Lalu aku
bertanya dalam hati, ya Tuhan ke mana pendeta Jorgen dan ayahku" Bagaimana
nasib mereka..." Setelah sekian lama aku tergolek tak sadarkan diri, ternyata
kuketahui bahwa aku terdampar di Kaimana di sebuah teluk yang indah. Teluk Et-
na." "Sampai akhirnya aku diketemukan oleh pri-
bumi Pulau Papua ini dan untung sekali mereka bu-
kan suku pemakan daging manusia. Justru mereka
menganggapku sebagai manusia dari langit yang ditu-
runkan untuk mereka dan mengangkat ku sebagai ke-
pala suku."
"Apa mau dikata, barangkali nasibku memang
demikian. Maka akupun menurut saja dengan apa
yang baik menurut anggapan mereka. Mereka domba-
domba sesat. Oleh karena itu harus diselamatkan."
"Suku pribumi Kaimana bukan suku Kanibalis.
Tapi mereka memuja arwah nenek moyang, sejenis
Animisme. Mereka memajang tengkorak-tengkorak le-
luhur sebagai maskot penolak bala."
"Setiap saat aku berdo'a kepada Tuhan dan
berharap selalu pada suatu saat aku dapat merubah
kepercayaan suku Kaimana menuju kepada ajaran
Tuhan! Demikianlah riwayatku kenapa aku berada di
pulau ini."
Setelah beberapa saat bercerita, gadis bule yang
bernama Yulia itu melanjutkan pembicaraannya,
"Aku selalu berdo'a untuk keselamatan pendeta
Jorgen dan ayahku Van Boer-man!" ungkapnya.
"Saudari Yulia, sangat kuhargai perjuangan
dan pengabdianmu terhadap agama. Semua agama
baik. Nabi Isa adalah Rasul Allah juga. Satu di antara dua puluh lima Rasul yang
diturunkan Allah untuk
umat-Nya di dunia ini! Anda dapat membimbing mere-
ka perlahan-lahan!" Jaka Sembung memberi semangat.
"Akupun sangat menghargai perjuangan bang-
samu yang tertindas saudara Parmin!" timpal Yulia.
Parmin agak tercengang mendengar perkataan
Yulia. Ternyata gadis ini mempunyai rasa simpati ke-
pada bangsanya yang sedang tertindas. "Syukurlah ji-ka anda mengerti jeritan
bangsaku!" jawab Parmin sambil menatap dalam-dalam mata biru Yulia.
"Aku berbicara atas nama kemanusiaan, terle-
pas dari rasa kebangsaanku sebagai gadis Belanda.
Aku berdo'a semoga bangsamu segera terlepas dari be-
lenggu penjajahan!" ungkapnya sambil memandangi ketampanan Parmin. Pemuda itu
tampak begitu tampan apalagi bulu-bulu halus tumbuh meremang di wa-
jahnya yang belum sempat bercukur itu.
Setelah cukup lama mereka saling bertukar pi-
kiran ditemani panglima suku Kaimana yang belum
banyak mengerti bahasa melayu. Akhirnya mereka
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Parmin
berdiri sambil berkata, "Sekarang marilah kita teruskan perjalanan! Insya Allah
aku bisa membantu
mencari ayahmu dan pendeta Jorgen!"
Setelah istirahat secukupnya mereka melan-
jutkan perjalanan ke arah Timur meninggalkan Danau
Jamur. 6 Berhari-hari mereka meneruskan perjalanan
menjelajahi pedalaman hutan Papua. Di tengah perja-
lanan mereka bercakap-cakap sekedar untuk menghi-
langkan ketegangan dan rasa jenuh selama perjalanan
panjang dan melelahkan itu.
"Ke mana kita mencari?" tanya Yulia.
"Kita jumpai saja setiap suku di pulau ini. Sia-pa tahu ayahmu dan pendeta
Jorgen ada di sana men-
jadi tawanan mereka!" ucap Parmin menduga-duga.
Baru saja mereka akan melanjutkan perjala-
nan, Yulia melihat burung Onta melintas di hadapan
mereka. "Parmin burung-burung Onta itu mengejar kita
kembali!" teriak Yulia.
"Hah"!" Parmin berdesis.
Baru saja Parmin dan Awom akan bertindak,
mendadak panglima suku itu melihat sesuatu keganji-
lan. Seraya berkata,
"Tapi itu bukan dari pasukan orang-orang ker-
dil! Dan lihat ada apakah itu" Asap bergulung-gulung ke udara!"
Benarlah apa kata pemuda suku Kaimana itu,
terlihat kepulan asap dari arah hutan.
"Oh! Hutan terbakar!" teriak Parmin memastikan. Betul juga dugaan Parmin.
Berpuluh-puluh bi-
natang hutan berhamburan seperti terkuras dari tem-
pat persembunyiannya masing-masing. Kasuari, Bu-
rung Cendrawasih, Babi hutan dan lain-lain bercam-
pur aduk menjadi satu. Hanya satu tujuan mereka,
yaitu menyelamatkan nyawa masing-masing dari jila-
tan api yang mengejar dengan cepat. Binatang-
binatang itu tak memperdulikan apapun kecuali
menghindar jauh-jauh dari ancaman maut yang hen-
dak merenggut. Laksana kiamat, api melahap hutan belantara.
Angin bertiup kencang membuat api itu merambat ce-
pat sekali. Pepohonan tumbang, rumput-rumput han-
gus terbakar. Saat itu udara panas sekali bagaikan di dalam neraka. Jeritan
binatang-binatang hutan menimbulkan kebisingan hingga membuat panik ketiga
orang itu. Parmin, Yulia dan Awom berusaha mencari
tempat berlindung sementara.
"Kita harus segera lari sebelum api sampai ke
mari!" teriak Awom. Belum lagi Awom bertindak, Parmin berteriak,
"Jangan lari mengikuti arah binatang-binatang
itu, Awom! Angin bertiup sangat kencang! Kita akan
kalah cepat oleh api!"
"Api telah dekat sekali apa yang harus kita perbuat"!" tanya Awom kepada Parmin
dengan tak sabar lagi. "Cari tempat yang agak lowong! Kita terobos api itu!"
jawab Jaka Sembung tegas.
Sebelum itu Parmin menyuruh mereka agar
menggunakan daun-daunan sebagai pembungkus ka-
ki. "Cepat kita bungkus dulu telapak kaki kita
dengan daun-daun yang segar! Cepat Awom, bantu ke-
pala suku mu!" pinta Parmin kepada Awom.
Pemuda Papua ini cepat tanggap dan bergegas
membantu kepala sukunya mengikatkan daun-daun
segar sebagai alas kaki sambil mengendap-endap,
mencari tempat lowong di tengah-tengah amukan api,
Pendekar Pemanah Rajawali 13 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Patung Emas 4
^