Pencarian

Makhluk Kutukan Neraka 2

Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Bagian 2


jah yang cantik.
"Nyi Sekar... mengapa kita justru berlari ke tempat terbuka?" tanya Nyi Besinga,
gadis berparas jelita dibandingkan dua gadis lainnya.
Sesaat si nenek menatap anak buahnya, la-
lu tersenyum. Masih dengan tersenyum pula dia
berkata. "Tidak jauh dari tebing karang ini dicelah dua bukit karang ada sebuah
gua. Gua itu cukup
besar untuk kita pakai berlima."
"Berlima" Apakah ini berarti aku termasuk
dalam hitungan dan sudah dianggap sebagai te-
man sendiri?" tanya si kakek lalu tertawa lagi.
"Nyi Sekar... buat apa kita melindungi ka-
rung butut ini. Menurutku lebih baik kita lempar-
kan saja ke laut!" kata Nyi Arianti menunjukkan rasa tidak sukanya.
Si gendut Gentong Ketawa usap dagunya
yang hanya ditumbuhi beberapa helai janggut.
Enak saja dia menyeletuk. "Biar butut begini jika dikehendaki masih sanggup
memberikan belasan
anak!" Wajah Nyi Arianti merona merah. Mulutnya cemberut, ketika si kakek
menatap ke arahnya dia
membuang muka ke arah lain. "Ha ha ha. Ru-
panya marah dia." Nyi Sekar menahan senyum.
Nyi Besinga dan Nyi Artawanti ikut pula terse-
nyum. "Tak usah berkecil hati, Nyi Arianti. Kakek gendeng ini otaknya memang
kurang waras, jadi
harap kau mau memakluminya!" hibur Nyi Besin-ga. Nyi Arianti si jelita yang
berbadan sedikit pendek diam tak menanggapi. Sebaliknya Gentong Ke-
tawa kembali usil. "Gadis jelita kau jangan besar hati mengira aku suka padamu.
Terus-terang aku
tak begitu tertarik pada seorang gadis pemarah.
Jika aku mempunyai istri pemarah mulutku bisa
terkunci karena tidak pernah tertawa. Terus-
terang aku lebih suka dengan Nyi Besinga. Selain
cantik tubuhnya tinggi, jadi nantinya dia bisa ku-suruh memetik buah kelapa. Ha
ha ha." "Gendut gila, siapa yang sudi padamu."
hardik Nyi Besinga.
"Apakah pernyataanmu itu karena disini
terlalu banyak orang yang ikut mendengar pembi-
caraan kita. Kalau kau mau aku bisa mengusir
mereka, atau kita pergi ke tempat lain. Disana kita bisa bicara empat mata di
tempat sejuk dan nya-man!" "Gendut... bicaramu semakin ngaco. Kubunuh kau...!"
teriak Nyi Besinga kalap, namun dia tidak beranjak dari tempatnya.
Bersikap seakan tidak perduli Gentong Ke-
tawa duduk mengejelepok diatas gundukan ka-
rang. Wajah menghadap ke laut memunggungi Nyi
Sekar Langit dan pengasuhnya.
Tak lama kemudian dengan nada sedih dia
berucap. "Rupanya nasib peruntungan diriku memang jelek sekali. Sudah tua papa
badan gembrot pula. Tiga gadis mentah-mentah menolakku.
Duh... kemana aku harus mengadu. Muridku sa-
tu-satunya yang kusayang entah kemana. Padahal
walau otaknya rada miring dia masih menaruh ra-
sa sayang dan hormat kepadaku. Aah... ah... ah!"
Si gendut usap pipinya yang tembem, pura-
pura sedih padahal hatinya tertawa terpingkal-
pingkal. Nyi Sekar Langit adalah seorang perempuan
cerdik. Mendengar si kakek menyebut-nyebut ten-
tang muridnya, nenek ini langsung mendekati
mencoba mengadu peruntungan. Tiga pengasuh-
nya jadi terheran-heran melihat sikap si nenek. Nyi Arianti dengan sinis bahkan
berbisik pada Nyi Besinga dan Nyi Artawanti.
"Bagaimana mungkin Nyi Sekar tiba-tiba
bersikap lunak pada kakek bakul nasi itu" Jan-
gan-jangan kakek sinting itu mempunyai sejenis
ilmu pelet!"
Nyi Besinga cuma diam tapi waspada. Se-
dangkan Nyi Artawanti menanggapi. "Nyi Sekar barangkali mengalami nasib apes.
Guna-guna si gembrot telah meluluhkan hati dan pikirannya."
Dengan gemas Nyi Arianti menyahut. "Awas!
Kalau gendut ini macam-macam akan kubuat ba-
bak belur dia!"
"Bicaramu begitu bersemangat berapi-api,
apakah ini berarti kau merasa cemburu dan mera-
sa mendapat saingan untuk merebut hati kakek
tembem itu?" sindir Nyi Besinga.
Mendengar sindiran itu Nyi Arianti kontan
mendelik. "Hati-hati kau bicara jaga kau punya mulut. Buat apa aku bersaing
mendapatkan si gembrot. Kalau aku mau sepuluh pemuda cakap
masih bisa kudapat dalam sekejap." dengus gadis itu. "Aku percaya. Selama mereka
tidak tahu keadaan kita yang sebenarnya. Seandainya mereka
tahu siapa kita, aku yakin mereka pasti minggat
tunggang langgang!" celetuk Nyi Besinga sambil buru-buru tekap mulut agar jangan
sampai tertawa. Sementara itu Nyi Sekar Langit telah berada
disamping si gendut. Dengan sikap berubah sopan
dan suara lembut merdu si nenek bertanya.
"Orang tua, maafkan sikap dan tingkah laku kami.
Sebenarnya kami bukan orang jahat. Kalau boleh
aku bertanya, siapakah nama muridmu itu dan
apa betul kau hidup sebatang kara?"
Melihat sikap orang yang berubah si gendut
mendadak turunkan kedua tangan yang dipergu-
nakan mendekap wajahnya. Seperti orang mengo-
mel dia berucap memberi jawab. "Memang aku sebatang kara. Dulu aku hidup dengan
muridku. Bahkan jika tidak ada topan puting beliung yang
menyergap dan membawaku ke tempat ini pasti
aku masih tetap bersama muridku."
"Siapa nama muridmu kakek Gentong Ke-
tawa?" Nyi Sekar Langit mengulangi pertanyaannya. Si gendut unjukkan tampang
kaget. "Heh...
kau memanggilku kakek" Padahal kau seorang
nenek, usia kita barangkali sebaya."
"Kau tidak suka aku memanggilmu begitu?"
"Ah, aku tidak begitu mempersoalkannya."
Gentong Ketawa gelengkan kepala. "Aku heran
mengapa kau begitu ingin tahu nama muridku.
Bocah itu bernama Gento Guyon."
Bukan hanya Nyi Sekar Langit saja yang ja-
di terkejut begitu si kakek menyebut nama Gento.
Tapi tiga gadis pengasuh sama melengak dengan
mulut ternganga.
"Gento Guyon...!" Nyi Sekar Langit mengulang menyebut nama itu. Dia lalu
memegang bahu si kakek penuh rasa bersahabat hingga si gendut
merasa senang. "Apakah pemuda yang kau mak-
sud adalah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon?"
"Haeh, kau ini bicara apa. Setahuku Gento
itu bocah edan, bagaimana kau menambahinya
dengan embel-embel Pendekar Sakti 71, angka apa
itu" Apakah tanda kematian atau apa?"
Dalam hati Nyi Sekar mengeluh kecewa. Dia
berfikir mungkin orang yang disebutkan si gendut
adalah Gento Guyon yang lain. Bukan Gento se-
perti yang dilihatnya dalam tapa semedi. Kalau
Gento yang dia harapkan pertolongannya adalah
Pendekar Sakti 71, sebagai gurunya tentu kakek
ini paling tahu bagaimana ciri-ciri muridnya.
"Bocah itu saat aku meninggalkannya bera-
da di muara sungai Ronggo Topo Wates. Saat ini
mungkin dia sudah gentayangan entah kemana."
fikir si gendut tanpa memperdulikan keresahan si
nenek. Seperti telah dituturkan pada episode Ki An-jeng Laknat. Saat terpisah
dengan muridnya, Gen-
to belum lagi dibawa oleh kakek setengah roh ber-
nama Manusia Seribu Tahun. Setelah dibawa oleh
kakek Seribu Tahun, dan mendapat gemblengan
lahir batin dan tambahan beberapa ilmu hebat ju-
ga diberi kalung Batu Raja Langit, kemudian Ma-
nusia Seribu Tahun memberinya gelar Pendekar
Sakti 71. Angka tujuh adalah simbol penting dari
unsur kehidupan sekaligus tenaga gerak manusia,
sedangkan satu ada tujuh unsur kekuatan yang
menyatu dalam raga manusia. Karena itu wajar
saja jika si kakek menjawab seadanya. Setelah terpisah dengan muridnya dia tentu
saja tidak tahu
apa yang dilakukan oleh pemuda itu.
Untuk beberapa saat lamanya semua orang
yang berada di tebing karang yang terletak di tepi pantai itu tenggelam dalam
fikiran masing-masing.
Si kakek ajukan pertanyaan begitu dia ingat den-
gan makhluk besar hitam bersayap lebar yang me-
nyerang mereka beberapa saat yang lalu.
"Nyi Sekar... sebenarnya aku heran, mak-
hluk apa yang telah menyerang kita ketika berada
di halaman pondok di teluk itu?" tanya si kakek sambil menunjuk ke arah teluk di
kejauhan. "Nyi Sekar Langit, jika Nyi Sekar ragu jan-
gan katakan apapun pada kakek itu, Siapa tahu
dia orang suruhan Dipati Durga!" ujar Nyi Besinga begitu melihat si nenek ragu-
ragu. "Dipati Durga, aku sama sekali tidak men-
genal orang yang kau sebutkan. Mendengar na-
manya saja baru kali ini." jawab si kakek tegas.
"Dipati Durga adalah orang yang meng-
inginkan diriku selama ini. Aku selalu menghindar darinya, tapi dia terus
mengejarku. Dia menginginkan agar aku menjadi istrinya. Tapi mana
mungkin, aku tak pernah menaruh rasa simpati
padanya. Lagipula dia punya banyak istri. Salah
satu diantara istrinya telah membuatku cacat be-
gini rupa!"
"Ha ha ha. Manusia aneh, banyak gadis
cantik bertebaran di bumi, mengapa dia menghen-
dakimu. Yang... maaf, aku sendiri terus terang saja tidak pernah tertarik pada
nenek tua sepertimu."
ujar si kakek. Bukannya marah, Nyi Sekar Langit malah
tersenyum. "Perihal kenyataan yang sesungguhnya kau tak usah tahu. Tapi nanti
jika aku bertemu
dengan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon baru sega-
lanya kuceritakan padanya. Sesuai dengan wangsit
yang kudapat dari semediku, hanya dia yang bisa
membantu menyembuhkan aku dari pengaruh il-
mu sesat yang kuamalkan."
"Kalau kau tak mau menjelaskan padaku
tidak mengapa. Tapi terus terang jika kau mencari Pendekar Sakti 71 Gento Guyon,
kurasa sampai kiamat kau tak bakalah menemukannya. Tapi jika
Gento Guyon yang kau maksud, kurasa aku sang-
gup membawanya kemari. Tapi kau harus menje-
laskan dulu padaku persoalan apa yang kau ha-
dapi. Lalu siapa yang telah menyerang kita dengan makhluk anehnya itu."
"Aku tidak keberatan." sahut si nenek. Setelah menarik nafas dan diam sejenak
dia melan- jutkan. "Yang menyerang kita adalah Makhluk Kutukan Neraka. Ujud yang sebenarnya
tak dapat kujelaskan secara pasti karena makhluk hitam itu
datang dan pergi dengan kecepatan laksana kilat.
Sedangkan orang yang bicara tadi, dialah Dipati
Durga. Laki-laki jahat yang terus saja memburu-
ku." "Orang itu datang dengan menunggang Makhluk Kutukan Neraka?" tanya si
kakek. "Ya...!"
"Lalu mengapa kau mengharapkan kehadi-
ran Gento?" si gendut ajukan pertanyaan.
"Jika kau ingin tahu baiklah. Tak salah jika aku mencoba menjelaskan padamu apa
yang terjadi pada aku dan tiga pengasuhku sebelum ini."
ujar Nyi Sekar Langit. Sejenak orang tua ini ter-
diam. Kemudian sepasang mata dipejamkan se-
dangkan kening berkerut seakan coba mengingat-
ingat. 8 Lima tahun yang lalu di satu malam bulan
purnama seorang gadis cantik duduk di depan
pendopo tempat kediaman gurunya. Hati dan fiki-
rannya benar-benar tidak tenang memikirkan ke-
pergian gurunya yang sudah berbulan-bulan tidak
juga kembali. Sesaat gadis berparas cantik jelita ini me-
mandang ke langit, menatap bulan bundar yang
memancarkan cahaya kuning kemilau. Segalanya
memang nampak begitu indah. Tapi segala kein-
dahan malam itu seakan tidak dapat dirasakan
oleh si jelita yang dirundung kegalauan.
"Lima bulan sudah guru pergi untuk men-
dapatkan dan mengamalkan ilmu Selubung Angin
Biru. Waktu yang dijanjikan telah lewat. Aku kha-
watir telah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya." batin si gadis.
"Anehnya lagi, tiga pengasuhku tiba-tiba saja pergi entah kemana.
Mereka seperti raib di telan bumi."
Sekali lagi si cantik jelita menarik nafas,
semakin dia berfikir tentang gurunya, maka kegeli-sahan semakin terasa menyesak
di dalam da- danya. Gadis itu baru saja hendak tinggalkan balai kayu yang didudukinya ketika
dia melihat satu
bayangan berkelebat dan jejakkan kaki tak jauh di depannya.
Melihat siapa yang datang gadis ini lang-
sung jatuhkan diri berlutut dengan sikap meng-
hormat, sementara dari mulutnya keluar seruan.
"Guru... ah ternyata akhirnya guru kembali juga!"
Nenek berambut putih berpakaian serba
kuning itu tersenyum. Sejenak dia pandangi gadis
yang duduk bersimpuh di depannya. Setelah itu
dia berucap. "Sengaja aku meninggalkan dirimu dalam waktu yang agak lama karena
aku ingin ta-hu apakah kau sabar menungguku atau tidak.


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata kau adalah murid yang baik tahan uji
dapat pula bersabar."
"Tapi guru... tiga pengasuhku, yang seha-
rusnya setia melayani diriku telah pergi dari sini satu bulan yang lalu. Aku tak
tahu mereka pergi
ke mana?" "Hi hi hi. Mengenai tiga pengasuhmu itu tak
usah kau fikirkan. Terus-terang aku membawa
mereka ke suatu tempat. Aku telah mewariskan
beberapa ilmu pukulan hebat pada mereka. Agar
kelak setelah kalian tidak lagi berada di Juwana
ini kau dan tiga pengasuhmu itu dapat menjaga
diri dari ganasnya hidup. Di dunia luar sana men-
cari sahabat tidaklah mudah. Tapi musuh berteba-
ran dimana-mana. Yang aku khawatirkan adalah
Dipati Durga. Laki-laki itu nampaknya sampai se-
karang masih tetap menginginkan dirimu. Walau-
pun aku tahu ilmu kesaktian yang kau miliki su-
dah sangat tinggi namun kesaktian Dipati Durga
lebih tinggi lagi." ujar si nenek. Dia lalu melanjutkan setelah melirik sang
murid sekejap. "Nyi Sekar Langit, katakan terus-terang padaku apakah
kau mencintai Dipati Durga?"
Mendapat pertanyaan seperti itu si gadis je-
lita berpakaian hijau berjingkrak kaget. Wajah
memerah sedangkan mata terbelalak lebar.
"Nenek Ambeng Tatap Banyu. Seujung kuku
sekalipun tiada rasa suka dihatiku pada laki-laki itu. Aku malah membencinya.
Kalau perlu aku
akan menghindar sejauh mungkin."
Sang guru yang bernama Ambeng Tatap
Banyu tersenyum. "Kau tak perlu menghindari
persoalan. Justru setiap persoalan yang datang dalam hidup manusia harus
dihadapi dan diselesai-
kan, bukan malah sebaliknya."
"Bagaimana aku bisa menang menghada-
pinya, sedangkan segala ilmu yang kumiliki bebe-
rapa tingkat berada dibawahnya." kata Nyi Sekar Langit seakan menyesalkan.
"Hik hik hik. Kau tak usah risau. Malam ini
juga aku akan menurunkan ilmu Langkah Guntur
sebagaimana yang telah kujanjikan dulu. Sekarang
tak usah membuang waktu, ikuti aku."
"Guru benarkah apa yang kau ucapkan
itu?" tanya Nyi Sekar Langit seolah tak percaya.
Nenek itu tersenyum. Sambil melangkah ke
belakang halaman pondok dia menjawab. "Kapan gurumu ini pernah berbohong?"
Terdorong oleh keinginannya untuk memili-
ki ilmu dahsyat itu, tanpa menunggu lebih lama
Nyi Sekar Langit segera mengikuti gurunya ke be-
lakang pondok. Ketika si cantik jelita sampai di belakang
pondok. Dilihatnya si nenek telah duduk di salah
satu batu bundar yang biasa dipergunakan untuk
latihan dan menghimpun tenaga dalam. Orang tua
itu dalam keadaan duduk bersila, kaki kanan ber-
tumpu diatas kaki kiri, dua tangan diletakkan di
atas lutut sedangkan matanya dalam keadaan ter-
buka. "Kau duduklah seperti yang kulakukan, dengarkan semua apa yang hendak
kukatakan!"
perintah si nenek.
Si jelita anggukkan kepala, lalu lakukan apa
yang diperintahkan si nenek.
"Nyi Sekar muridku. Untuk menguasai ilmu
Langkah Guntur, tenaga dalam yang kau miliki
harus ditingkatkan lagi hingga menjadi dua kali lipat dari seluruh tenaga yang
kau miliki saat ini."
berkata si nenek setelah Nyi Sekar Langit duduk di atas batu yang terletak di
depannya. Setelah itu
kembali bibirnya berucap melanjutkan. "Karena itu sekarang aku akan
mengarahkanmu bagaimana
cara menghimpun tenaga sakti itu."
"Guru... bukankah selama ini semua penge-
rahan tenaga dalam bersumber dari bagian pu-
sar?" tanya Nyi Sekar Langit heran
"Kau keliru. Banyak orang beranggapan be-
gitu. Tapi sesungguhnya mengerahkan dan meng-
himpun tenaga sakti bukan dari pusar perut saja.
Sekarang aku akan mengajarimu cara menghim-
pun tenaga dalam hingga mencapai tingkatan ter-
tinggi. Pusat yang dipergunakan untuk menghim-
pun tenaga sakti itu bertumpu pada otak kecilmu.
Otak keseimbangan yang terletak di bawah otak
besar di bagian belakang. Kau sudah bisa menen-
tukan dimana kira-kira letaknya, Nyi Sekar?"
"Sudah guru!" jawab si gadis sambil meraba bagian belakang kepalanya agak di
bawah. "Bagus. Sama seperti penghimpunan tenaga
yang berada di bagian pusar kita. Maka begitu pu-
la cara menghimpun tenaga sakti di bagian otak
kecil. Yang membedakannya gerak pengerahan te-
naga bertolak belakang dengan cara menghimpun
tenaga dalam biasa."
"Maksudmu caranya menyungsang begitu
guru?" tanya Nyi Sekar. Diam-diam dia jadi kaget.
Dia tahu persis cara menghimpun atau mengerah-
kan tenaga dalam seperti itu bila salah sedikit atau sampai gagal akibatnya
sangat patal sekali. Orang yang melakukannya bisa lumpuh atau meninggal
seketika. Seakan dapat membaca jalan pikiran
muridnya nenek Ambeng Tatap Banyu berkata,
membesarkan hati muridnya.
"Kau tak usah khawatir. Kau melakukannya
berdasarkan petunjukku. Tak ada seorang guru di
dunia ini yang tega mencelakakan muridnya! Yang
penting jangan ada keraguan di hatimu. Segala se-
suatu yang bersifat ragu-ragu tidak mungkin
menghasilkan apa-apa, malah terkadang memba-
wa kerugian dan mencelakakan diri kita." ujar si nenek. Sekali lagi si jelita
Nyi Sekar Langit anggukkan kepala.
"Sekarang pejamkanlah matamu!" perintah si nenek.
Dengan polos tanpa prasangka apa-apa dan
yakin atas kemampuan yang dimiliki oleh gurunya,
Nyi Sekar Langit pejamkan matanya.
Dalam keadaan mata terpejam itulah Am-
beng Tatap Banyu mulai memberi petunjuk. "Apapun yang kau rasakan, apapun
kejadiannya kau
tidak boleh bicara. Salah sedikit kau mengikuti petunjukku akibatnya bisa fatal.
Kau bisa menderita kelumpuhan seumur hidup, atau tewas seketika
tanpa terduga." ujar si nenek. Mendengar penjela-san Ambeng Tatap Banyu, si
jelita mendadak me-
rasa tengkuknya menjadi dingin laksana es. Dalam
pada itu si nenek mulai menutur memberi petun-
juk. "Otak kecil adalah pusat dari keseimbangan seluruh tubuh. Perlahan kau
tarik nafas, kosongkan fikiran dan hati, lancarkan aliran darah, be-
dakan dengan denyut jantung. Pelahan kumpul-
kan seluruh kekuatan dan tenaga, satukan inti
dingin dan kumpulkan di bagian otak kecilmu. Ge-
rakan seluruh kekuatan yang ada di tubuhmu
hanya ke atas, hanya pada satu tujuan yaitu ke
otak kecil.!" kata si nenek.
Nyi Sekar Langit lakukan apa yang dipe-
rintahkan padanya. Fikiran dan hati dikosongkan.
Aliran darah digerakkan ke bagian kepala, satu te-
naga besar mengandung hawa dingin luar biasa
bergerak dari sekujur tubuh dan mengalir deras ke bagian otak kecil dibagian
belakang batok kepala.
Nyi Sekar tersentak, tubuhnya bergetar hebat. Dia merasakan satu sengatan hebat
pada bagian otak
kecilnya. Gadis jelita itu kemudian merintih. Ke-
ringat mengucur deras membasahi sekujur tubuh-
nya. Asap putih mengepul dari bagian atas kepa-
lanya, entah mengapa mendadak gadis ini merasa-
kan pemandangannya mendadak menjadi gelap.
"Terus... himpun, jangan lengah...!" sayup-sayup dia mendengar suara gurunya
seakan da- tang dari satu tempat yang sangat jauh. Saat itu
pula telinga Nyi Sekar Langit berdengung kiri ka-
nan, suara dengungan makin menghebat. Lalu tak
lama setelah itu ada cairan yang menetes. Nyi Se-
kar merasakannya namun dia tidak dapat mendu-
ga cairan apa. Sementara kepalanya sendiri seolah mau meledak. Nyi Sekar
menjerit, cairan yang ternyata adalah darah segar makin banyak yang me-
netes. Bersamaan dengan itu pula tanpa disadari
oleh si jelita, raut wajah dan sekujur tubuhnya
mengalami perubahan berupa keriput yang ber-
munculan secara singkat. Hanya dalam waktu ti-
dak berapa lama, sosok cantik mulus itu kini telah berubah menjadi sosok nenek
tua berusia sekitar
tujuh puluhan. Sementara rasa sakit yang luar bi-
asa makin mendera diri Nyi Sekar. Pada waktu
bersamaan terdengar suara tawa melengking ne-
nek di depannya. Dalam kagetnya Nyi Sekar Langit
serta merta membuka mata. Matanya yang merah
seperti berdarah terbelalak ketika melihat sosok
gurunya kini berubah sama sekali.
"Kk... kau....'"
"Hik hik hik! Kau terkecoh, kau tertipu Nyi
Sekar! Aku bukan gurumu, aku Nyi Ronggeng ke-
kasih Dipati Durga!" kata perempuan berbaju kuning yang kini telah berdiri
berkacak pinggang. Nyi Sekar melihat ditangan kiri perempuan cantik pa-ruh baya
itu tergenggam sebuah kedok tipis ter-
buat dari semacam karet. Kedok dalam rupa guru
Nyi Sekar Langit yang baru saja ditanggalkannya.
"Nyi Ronggeng keparat! Apa maksudmu dari
semua ini?" teriak Nyi Sekar Langit geram.
Perempuan cantik yang telah tanggalkan
kedoknya dongakkan kepala, mulut mengumbar
tawa. Begitu tawanya lenyap, dengan sinis dia be-
rucap. "Kau tak perlu bertanya. Semua tujuanku telah tercapai. Kau lihat
dirimu!" Dalam kagetnya Nyi Sekar Langit pandangi
kedua tangannya. Mata gadis itu membelalak le-
bar. Tak percaya dengan kenyataan yang terjadi
dia raba wajahnya yang cantik mulus. Astaga! Wa-
jah dan sekujur tubuhnya kini telah dipenuhi ke-
rut merut dan keriput di sana sini.
Seakan tak kuasa menerima semua itu Nyi
Sekar Langit menjerit sejadi-jadinya. "Wajahku...
akh... tubuhku, mengapa tiba-tiba saja aku men-
jadi tua begini" Nyi Ronggeng jahanam katakan
apa salah dan dosaku!" teriak gadis jelita yang kini wajah dan sekujur tubuhnya
telah berubah tua, ti-ga kali dari usia yang sebenarnya.
"Kau dengar, Nyi Sekar. Kau telah menyerap
ilmu yang salah. Kau korban dari ilmu Sungsang
Jiwa. Tenaga dalammu kacau. Peredaran dan ali-
ran darahmu terbalik. Mana ada manusia yang
dapat hidup normal dengan aliran darah seperti
itu. Hik hik hik." Nyi Sekar Langit menggeram.
"Jahanam! Mengapa kau lakukan semua kekejian ini padaku?"
Perempuan cantik di depan sana umbar ta-
wanya. Lalu dia menjawab. "Aku punya beberapa alasan, Nyi Sekar. Alasan pertama
kekasihku Dipati Durga kuketahui jatuh cinta dan tergila-gila padamu, hingga dia
mengabaikan diriku. Aku tidak ingin kekasihku, orang yang kucintai menjadi
milik orang lain. Sedangkan alasan kedua, setelah kutipu dirimu dan kubuat
dirimu menjadi nenek-nenek begini, tentu kekasihku itu tidak lagi sudi kepadamu.
Dia akan merasa jijik begitu melihat
keadaanmu! Hik hik hik."
"Perempuan edan. Apa kau mengira aku
suka pada Dipati Durga, laki-laki gila yang istri dan anak turunnya tercecer
dimana-mana" Seujung rambut aku tidak pernah menaruh perasaan
apa-apa pada diri tua bangka itu. Buat apa kau
mencelakakan diriku, padahal aku sendiri tidak
pernah merasa merebut gendakmu!"
"Nyi Sekar... tapi aku akan menyingkirkan
setiap perempuan mana saja yang berani merebut
kekasihku. Sekarang tercapai sudah apa yang
kuinginkan. Nyi Sekar Langit, selamat menjalani
hidup sebagai nenek tua. Dalam keadaanmu yang
seperti sekarang ini kau pasti tersiksa seumur hidup. Kelak kau jadi putus asa,
lalu mati bunuh di-
ri secara menggenaskan! Selamat tinggal Nyi Se-
kar!" berkata begitu Nyi Ronggeng balikkan badan siap melangkah pergi. Tapi
tanpa pernah terduga
laksana kilat Nyi Sekar Langit gerakkan kaki, laksana kilat tubuhnya berkelebat
mengejar sambil
berteriak. "Mau pergi, silahkan pergi. Tapi jangan lupa tinggalkan dulu
kepalamu!"
Nyi Ronggeng terkejut begitu merasakan
ada sambaran angin mendera bahunya. Cepat dia
menoleh dan gerakkan tangannya lakukan tangki-
san. Tapi pada saat itu, jemari tangan berhasil
menyusup dan menembus tenggorokannya.
Jross! "Ahk...!"
Sambil menjerit dan tekap tenggorokannya
yang berlubang, Nyi Ronggeng masih sanggup me-
lepaskan tendangan ke perut Nyi Sekar, hingga
gadis yang kini telah berubah menjadi nenek tua
itu jatuh terhenyak. Kesempatan itu tidak disia-
siakan oleh Nyi Ronggeng. Sambil membawa lu-
kanya dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Sebe-
lum Nyi Ronggeng lenyap dari pandangan mata ti-
ga sosok serba hijau melesat menghalangi gera-
kannya disertai bentakan. "Perempuan penipu!
Hendak kabur kemana kau?"
Nyi Ronggeng terkejut melihat kehadiran ti-
ga gadis yang menghadangnya.
"Huh kalian rupanya. Bukannya berterima
kasih padaku, malah membuat masalah!" dengus Nyi Ronggeng. Dia lalu raup sesuatu
dari balik bajunya. Ternyata adalah satu benda bulat berwarna
hitam. Benda itu langsung dibantingkannya.
Buuuum!

Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga gadis berpakaian serba hijau langsung
surut, lalu dekap hidungnya masing-masing. Asap
tebal berwarna kebiruan memenuhi tempat itu
hingga membuat pemandangan menjadi gelap.
Tak lama kemudian setelah pemandangan
kembali seperti sediakala, sosok Nyi Ronggeng te-
lah lenyap. Tiga gadis berlompatan mendekati Nyi
Sekar Langit. Ketiganya belalakkan mata dan sama
keluarkan seruan tertahan ketika melihat bagai-
mana wajah Nyi Sekar Langit telah berubah men-
gerikan begitu rupa.
"Nyi Sekar wajahmu?" seru salah seorang diantaranya yang bernama Nyi Besinga.
Nyi Sekar tundukkan kepala. "Kalian juga
ternyata telah ditipunya. Cuma kalian lebih beruntung karena keadaan kalian
tidak seperti yang ku
alami!" kata nenek itu sedih.
"Nyi Sekar, bagaimana kau bisa termakan
muslihatnya?" tanya Nyi Arianti.
Nyi Sekar Langit kemudian secara singkat
menceritakan segala sesuatunya pada tiga penga-
suhnya. Beberapa saat setelah Nyi Sekar Langit sele-
sai menuturkan semuanya, Nyi Besinga bertanya.
"Heran, bagaimana dia dapat mengetahui guru kita hendak menurunkan ilmu Langkah
Guntur kepadamu?"
"Itu yang aku tidak tahu. Semuanya perlu
diselidiki. Yang aku herankan mengapa guru be-
lum juga kembali!" keluh Nyi Sekar yang telah berubah menjadi nenek tua.
"Maafkan kami karena telah meninggal-
kanmu, Nyi Sekar. Sebenarnya kami tanpa sepen-
getahuanmu telah menyelidik tentang keberadaan
guru. Kami tidak berhasil mencarinya, kemudian
tanpa terduga malah bertemu dengan Nyi Rong-
geng tadi. Dia pun menyaru sebagai guru dan me-
nipu kami dengan pura-pura mengajarkan ilmu
itu. Cuma mungkin kami sedikit beruntung." ujar gadis berbadan sedang bernama
Nyi Artawanti. "Sudahlah, aku tidak mungkin hidup dalam
keadaan begini rupa. Aku harus bisa memulihkan
keadaanku hingga seperti semula. Jika sepekan
lagi guru tidak juga kembali, kita pergi ke Teluk Rembang, aku akan bersemedi
dan mencari petunjuk disana, sekaligus menghindar dari Dipati Dur-
ga." "Nyi Sekar, kami merasa prihatin. Seperti katamu kita memang harus mencari
jalan keluar agar keadaanmu dapat kembali seperti sediakala."
ujar Nyi Besinga pula.
Nenek itu mengangguk. Perlahan dengan
wajah muram dia tatap tiga pengasuhnya satu
persatu. Kemudian dengan perasaan sedih dia ma-
suk ke dalam pondok.
*** Setelah nenek itu menuturkan segala keja-
dian yang menimpa dirinya si gendut Gentong Ke-
tawa berkata. "Nyi Sekar, nasib buruk yang kau alami mengundang rasa simpatiku.
Jika memang muridku yang kau kehendaki aku akan berusaha
untuk mencarinya dan membawanya kemari sece-
pat mungkin!" kata si kakek. Setelah diam sejenak dia lalu melanjutkan. "Tapi
harap kau jangan kecewa jika nantinya orang yang kubawa itu bukan
Gento Guyon sebagaimana yang kau harapkan!"
Nyi Sekar tersenyum. "Aku yakin hanya sa-
tu Pendekar Sakti 71 Gento Guyon yang ada di
rimba persilatan ini. Kakek... terima kasih kuu-
capkan jika kau memang mau membantuku."
"Semoga kau tidak mengecewakan ketua
kami, kakek gendut." kata Nyi Besinga dengan suara lunak.
"Eeh... rupanya kau juga walau suaramu
seperti nenek jelek ternyata adalah seorang gadis baik hati?" berkata begitu si
gendut unjukkan wajah kaget, namun mulut sunggingkan senyum.
Dengan tersipu-sipu Nyi Besinga menjawab.
"Kami semua orang baik. Tapi jika orang berlaku jahat, kami juga bisa bertindak
kejam" "Ah... ah... mengagumkan sekali." celetuk si kakek sambil kedipkan mata kirinya
pada Nyi Besinga. Tanpa terduga dara jelita itu diluar sepengetahuan yang
lainnya membalas kedipan mata si
kakek. Hingga Gentong Ketawa hidungnya makin
melar saja. "Nyi Sekar, aku mohon pamit. Aku berjanji
bocah edan itu akan kubawa kemari untuk me-
nyembuhkan penyakitmu!" kata si kakek. Dia lalu bangkit berdiri.
"Hati-hatilah kek, semoga cepat berhasil!"
ujar nenek tua itu.
Si gendut anggukkan kepala sambil mengu-
sap perutnya yang besar. Setelah itu dengan gera-
kan enteng dia berkelebat tinggalkan si nenek dan tiga gadis jelita.
Seperginya Gentong Ketawa, Nyi Arianti ber-
tanya. "Nyi Sekar, apakah gendut tadi dapat dipercaya?" "Kita lihat saja nanti!"
sambil melangkah memasuki celah sempit bukit karang Nyi Sekar
Langit menyahuti.
Tiga gadis tanpa berani bicara apa-apa lagi
segera menyusul mengikuti.
9 Suasana di tepi sungai Oyo mulai terang-
terang tanah ketika sosok berpakaian serba putih
berambut panjang keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Sesaat dia tegak di tempatnya, sedangkan
mata memandang ke setiap penjuru ingin memas-
tikan apakah ada orang lain yang tidak diharapkan berada di sekitar tempat itu.
Setelah merasa aman, dengan tergesa-gesa
sosok berpakaian serba putih yang ternyata adalah seorang gadis berwajah cantik
ini mendekati lubang kubur.
Walaupun hari sudah berganti pagi, namun
suasana didasar lubang kubur masih begitu gelap,
hingga si gadis tidak dapat memastikan apakah
Gento yang berada di bawah sana dan menjadi sa-
saran pukulan Sesat Jiwa masih hidup atau seba-
liknya. Dengan perasaan ragu, hati cemas dan sua-
ra bergetar gadis ini mulai memanggil. "Gento....
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Apakah kau ma-
sih berada disitu dan dalam keadaan selamat?"
Gema suara gadis itu memenuhi liang ku-
bur, kemudian lenyap. Suasana kembali sunyi dari
dalam liang kubur tak ada jawaban. "Jangan-
jangan dia tidak selamat!" fikir gadis itu. Wajahnya membayangkan kekhawatiran
yang begitu mendalam. Terpikir pula olehnya untuk masuk ke dalam
liang kubur yang gelap itu, namun keraguan men-
genai kemungkinan munculnya bahaya lain yang
tidak terduga mendadak muncul dalam benak ga-
dis ini. Bagaimana bila Nyi Ronggeng mendadak
muncul kembali ke tempat itu. Tentu dia tidak da-
pat berbuat apa-apa.
"Gento... Gento... aku Mutiara Pelangi, Pute-ri Kupu-Kupu Putih datang ingin
menolong. Ja- wablah aku ingin melakukan sesuatu!"
Dari dalam dasar kubur yang tidak diketa-
hui seberapa dalamnya itu sayup-sayup terdengar
suara erangan lirih. Seraut wajah yang dilanda ke-cemasan itu kini mendadak
membersitkan kegem-
biraan. "Gento... kau dengar. Aku akan menolongmu, kau hanya tinggal mengatakan
apakah aku harus turun kesitu untuk mengangkatmu atau
aku ulurkan tali. Kalau tali atau cabang pohon
yang kuturunkan apakah kau bisa memegang-
nya?" Si gadis ajukan pertanyaan.
Suara erangan di dalam liang kubur sema-
kin keras diseling dengan suara batuk disertai sesuatu menyembur dari mulut
Gento. "Ark... yang bicara diatas itu siapa" Malai-
kat atau setan kesasar. Kalau setan mengapa sua-
ranya merdu. Kalau malaikat apakah sekarang
aku sudah sampai di alam barzah" Aduh... kepa-
laku seperti mau meledak. Kuping pengang, seku-
jur tubuh seperti dicabik-cabik. Waduh, mengapa
pandanganku gelap begini apa mataku sudah tak
dapat melihat"!"
"Gento... jangan bicara begitu. Aku akan
menolongmu, aku akan turun untuk mengang-
katmu ke atas!" ujar si gadis merasa bahagia karena orang yang selalu mengusik
perasaannya sela-
ma ini ternyata dalam keadaan selamat. Dari da-
lam liang kubur terdengar suara erangan Gento.
"Memang aku ini berada dimana. Kau siapa" Malaikat yang ingin membawaku ke atas
langit" Aku
sih mau saja, tapi aku ingin bertanya apakah dis-
ana banyak bidadari cantik?"
Mutiara Pelangi tersenyum sambil menggigit
bibir. Saat itu dia menduga mungkin telah terjadi guncangan hebat pada bagian
kepala Gento akibat
pukulan yang dilepaskan Nyi Ronggeng sehingga
bicaranya melantur.
"Gento, aku Mutiara Pelangi sahabatmu. ke-
rabat Setan Sableng dan Iblis Edan."
"Ooh... jadi kau Mutiara Pelangi, kerabat
dua pemuda gila itu. Eeh... mengapa kau gen-
tayangan sampai kemari. Apakah kau tidak suka
menduduki jabatan adipati Purbolinggo?" tanya si pemuda. Suaranya seperti orang
mabuk. "Aku tidak tertarik menjadi adipati. Entah
mengapa sejak bertemu rasanya bagiku sulit sekali untuk melupakanmu." tanpa
sadar si gadis berte-rus-terang.
"Ah, bagaimana bisa begitu, padahal aku
gampang melupakan orang yang pernah kutemui.
Walah, kepalaku sakit. Perutku panas, rasanya
pengin kencing pengen kentut. Tapi entah menga-
pa ujungnya pada mampet. Walah mulesnya!"
Gento lagi-lagi merintih.
"Gento katakan padaku, bagaimana aku bi-
sa menolongmu?" tanya si gadis tambah cemas
tambah khawatir.
"Kau tak perlu turun. Huk huk, ulurkan sa-
ja kayu atau cabang pohon. Mungkin aku masih
punya tenaga untuk naik ke atas!" ujar Gento.
"Baik. Kau tunggu disitu, aku akan me-
nyiapkan ranting."
Tanpa menunggu jawaban Gento, Puteri
Kupu Kupu Putih segera beranjak dari lubang ku-
bur. Dia menghampiri semak belukar dimana ter-
dapat banyak akar pepohonan merambat disitu.
Dengan menggunakan salah dari pedang kembar-
nya si gadis memutus akar menjuntai tumbuhan
merambat. Setelah itu dia kembali mendekati mu-
lut liang kubur.
"Gento kau masih berada disitu?" tanya Mutiara Pelangi sambil ulurkan akar pohon
dan me- masukkannya ke dalam liang kubur.
"Aku masih disini dan memang tidak dapat
kemana-mana!" Gento menyahuti.
Mutiara Pelangi baru hentikan gerakan
mengulur akar panjang setelah ujung akar me-
nyentuh sesuatu didasar liang kubur itu.
"Gento, berpegangan pada ujung akar ini.
Aku hendak menarikmu ke atas!" perintah sang dara. Gento gapaikan tangannya yang
lemah tak bertenaga dan sakit luar biasa. Begitu ujung akar tersentuh dia memegangnya
dengan erat. "Aku sudah memegang sekarang hendak di-
apakan?" tanya Gento.
"Aku akan menarikmu. Peganglah dengan
kedua tanganmu agar kau tidak jatuh!"
Gento lakukan seperti apa yang dikatakan
sang dara. Tak berapa lama kemudian Mutiara Pe-
langi menarik akar panjang ke atas. Perlahan Gen-
to pun ikut terangkat naik. Tak berapa lama kepa-
la Gento muncul kepermukaan, kemudian diikuti
dengan bagian tubuh lainnya, Melihat bagaimana
tubuh dan wajah Gento yang hitam dipenuhi jela-
ga, Mutiara Pelangi memekik kaget.
Sementara sampai diatas liang kubur Gento
langsung rebah menelentang. Ada beberapa luka
dibagian dada dan bahu. Mutiara Pelangi juga me-
lihat banyak darah yang menetes dari mulut dan
hidung sang pendekar.
Sementara dalam keadaan seperti itu murid
si gendut Gentong Ketawa mengerang tak berkepu-
tusan. "Gento, kau mengalami cidera di bagian dalam. Biar kubersihkan dulu tubuh
dan lukamu. Setelah itu nanti aku akan mengerahkan hawa
murni ke tubuhmu agar luka dibagian dalam cepat
sembuh!" kata si gadis. Detik selanjutnya Mutiara Pelangi sudah bergegas ke
sungai untuk mengambil air. Gento tidak menjawab dan rasanya dia
memang tidak perlu menjawabnya. Dia menarik
nafas pendek, bagian dadanya terasa nyeri. Dico-
banya untuk mengingat tentang segala sesuatu
yang terjadi. Secara perlahan ingatan pemuda itu
pulih kembali. Ya, dia ingat waktu itu perempuan
cantik yang mengaku bernama Nyi Ronggeng su-
dah dapat ditariknya keluar dari lubang kubur. Setelah itu tanpa terduga Nyi
Ronggeng lesatkan tu-
buhnya ke atas, lalu berjungkir balik dan meng-
hantam punggung Gento. Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon kemudian jatuh ke dalam liang kubur. Ti-
dak sampai disitu saja, secara keji Nyi Ronggeng
menghantamnya dengan Pukulan Sesat Jiwa yang
baru saja berhasil dikuasainya setelah melakukan
Tapa Pocong selama dua puluh satu hari.
Gento masih beruntung karena sebelum
pukulan itu melabrak dirinya dia sempat menang-
kis dengan pukulan Membelah Jasad, salah satu
pukulan yang diwarisinya dari manusia sakti se-


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah roh, kakek Seribu Tahun. Sehingga dia ti-
dak tewas seketika terkena pukulan itu. Walaupun
demikian karena bagian liang kubur telah ditaburi dengan berbagai jenis serbuk
beracun, tak urung
membuat fikiran Gento sempat berubah seperti
orang linglung.
Sementara itu Mutiara Pelangi telah kembali
dari sungai. Dia mengeluarkan sehelai kain selebar sapu tangan. Kain itu
dibasahi air, lalu disapukan
ke sekujur tubuh Gento yang hitam dipenuhi jela-
ga. "Kau... tolong ambilkan kantong kecil dida-
lam saku celanaku sebelah kiri!" pinta Gento begitu mengenali siapa adanya gadis
cantik yang telah menolongnya ini.
Untuk lebih jelasnya mengenai pertemuan
pemuda itu dengan Mutiara Pelangi (silahkan baca
Episode Setan Sableng).
Si gadis melakukan apa yang diminta pe-
muda itu. Dari balik kantong celana sang pende-
kar sang dara mengeluarkan sebuah kantong kecil
berwarna hitam.
"Buka kantong itu, ambil isinya yang ber-
warna merah dan biru!"
Kantong dibuka, ternyata isinya beberapa
jenis pel pemberian tabib sakti, yaitu Tabib Setan.
Mutiara Pelangi mengambil pel berwarna merah
dan biru. Kedua pel itu dimasukkannya ke dalam
mulut si pemuda. Gento menelannya. Setelah me-
nelan kedua benda itu beberapa saat kemudian
ada hawa panas yang menyerang sekujur tubuh
Gento. Pemuda ini mengerang, sementara itu sang
dara kembali membersihkan tubuh Gento, hingga
kini benar-benar bersih. Tapi dia menjadi heran
ketika melihat bercak-bercak merah terdapat dis-
ekujur tubuh Gento, mulai dari bagian wajah
sampai ke ujung kaki.
Bercak merah sebesar jarum perlahan le-
nyap begitu obat pemunah racun yang ditelan
Gento bereaksi dengan sepenuhnya. Pemuda ini
terbatuk beberapa kali, lalu muntahkan cairan
berwarna hitam kebiru-biruan bercampur darah.
"Gento, aku akan salurkan tenaga dalam ke
tubuhmu untuk mengusir pengaruh racun yang
masih tersisa di dalam pembuluh darahmu. Kau
duduklah!"
"Bagaimana aku bisa duduk, tubuhku tidak
bertenaga!" keluh sang Pendekar.
"Kalau begitu kau menelungkup!" pinta Mutiara Pelangi sepenuh perasaan.
Sambil mengerang pemuda itu gerakkan tu-
buhnya hingga dalam keadaan menelungkup. Mu-
tiara Pelangi duduk bersila disamping Gento, dua
tangan dijulurkan bagian telapak tangan ditempel-
kan ke punggung Gento. Tak lama kemudian dia
kerahkan tenaga saktinya yang digerakkan dari
pusat pengendalian tenaga dalam di bagian pusar.
Setelah tenaga dalam bergerak ke bagian dada dia
menyalurkannya kedua lengannya. Perlahan Gento
dapat merasakan adanya hawa hangat mengalir
deras dari bagian tangan sang dara ke punggung-
nya. Hawa hangat terus menjalar ke sekujur tu-
buh. Mutiara Pelangi bergetar hebat, keringat bercucuran membasahi wajah dan
pakaiannya. Se-
dangkan dari bagian ubun-ubun asap putih me-
nyerupai kabut mengepul.
Gento Guyon terguncang, mulutnya menge-
rang kesakitan. Kembali dia muntah kali ini disertai menyemburnya darah segar
kehitam-hitaman.
"Terus, keluarkan semuanya!" desis gadis itu. Tak kurang dari setengah jam
Mutiara Pelangi baru hentikan penyaluran tenaga dalam ke
tubuh Gento. Wajah sang dara nampak pucat, na-
fasnya agak memburu.
Dia memutar tubuh menghadap ke arah
lain. Masih dalam keadaan bersila dan dengan ma-
ta terpejam dia atur jalan darah dan menarik nafas untuk menghimpun tenaga dalam
kembali. Gento sadar pengorbanan Mutiara Pelangi
serta pertolongan yang diberikannya sangat besar
artinya bagi keselamatan jiwanya. Walaupun tak
pernah diucapkan tadi dia merasa sangat berteri-
ma kasih sekali. Perlahan Gento duduk. Ketika dia menoleh ke samping dilihatnya
Mutiara Pelangi
masih pada sikapnya. Duduk dengan kaki terlipat
mata terpejam. Gento tidak mau mengusik, dia merasakan
tubuhnya menjadi enteng. Bercak merah yang ter-
dapat dipermukaan kulitnya lenyap. Dalam ke-
sempatan itu sang pendekar berfikir. "Nyi Ronggeng, siapapun dia adanya jelas
perempuan itu sangat berbahaya. Aneh, tenggorokannya berlu-
bang besar, tapi masih dapat bertahan hidup. Dia
mengatakan ingin mencari seseorang bernama Nyi
Sekar Langit. Agaknya antara Nyi Ronggeng den-
gan orang yang disebutnya memiliki perkara yang
cukup besar. Aku perlu menyelidik persoalan apa
yang ada diantara mereka!" batin Gento
"Bagaimana keadaanmu...?" satu suara terdengar disamping Gento, membuat pemuda
itu melengak, menoleh dan tersenyum.
"Aku bersyukur, berkat bantuanmu dan
pertolongan Gusti Allah aku tidak sampai celaka
ditangan perempuan gila itu!" sahut Gento.
"Nyi Ronggeng perempuan gila yang sangat
berbahaya! Dulu aku sering mendengar berbagai
macam kejahatan yang dilakukannya. Tapi melihat
orangnya baru tadi!"
"Jadi kau sudah berada disini sejak Nyi
Ronggeng terbungkus kain pocong?" Gento ber-
tanya sambil belalakkan matanya.
Sang dara anggukkan kepala.
"Mengapa kau tidak mengingatkan aku"
Aku telah berlaku tolol dengan menolongnya. Tak
disangka dia rupanya hanya berpura-pura." gerutu si pemuda.
Mutiara Pelangi tersenyum, sekilas dia me-
mandang ke arah Gento dengan tatapan penuh ar-
ti. "Bagaimana aku bisa memberi ingat. Kebe-
tulan jarak diantara kita tidak memungkinkan un-
tuk hal itu. Gento... sudahlah, kau perlu istirahat.
Sebaiknya lupakan dulu tentang perempuan itu."
kata Mutiara Pelangi lembut.
Sepasang mata Gento membulat besar. "Apa
lupakan" Tidak bisa... sekarang juga kita harus
berangkat mencari perempuan binyawak itu! Aku
tidak apa-apa, berkat pertolongamu kini aku sehat kembali!" ucap Gento lalu
kedipkan matanya.
Sang dara pun akhirnya mengalah. "Kalau
kau sudah memutuskan begitu aku tidak bisa
memaksamu." ujar si gadis.
Gento dan si gadis bangkit berdiri. Kemu-
dian mereka berkelebat ke arah lenyapnya Nyi
Ronggeng. 10 Pengejaran yang dilakukan oleh Tabib Setan
akhirnya sampai ke daerah Pati. Di satu tempat di atas ketinggian bukit dia
memperlambat larinya
kemudian berhenti. Dia memandang ke jurusan
depan dapat dimana dia sempat melihat orang
yang telah melarikan binatang langka yang dida-
patnya dengan susah payah melenyapkan diri. Si
kakek menyeringai, lalu usap-usap jenggot putih-
nya yang panjang.
Sambil terus memandang ke jurusan le-
nyapnya orang si kakek berkata. "Siapa pun dia kuakui orang itu memiliki ilmu
meringankan tubuh dan lari cepat yang sangat luar biasa. Tapi walau dia memiliki
ilmu lari secepat setan, aku tak mungkin membiarkannya lolos begitu saja.
Siklututjang harus bisa kurebut. Binatang itu sangat
berguna untuk meningkatkan tenaga dalam Gento.
Pesta kecil harus kulakukan bersama bocah edan
setelah sekian lama aku terpisah dengannya. Se-
karang aku harus mengambil jalan memotong." fikir si kakek. Tabib setan tak
perlu merenung lebih lama. Sekejap kemudian dia sudah menghambur
menuruni bukit, lalu sosoknya lenyap di sebelah
kiri deretan pepohonan dimana sosok serba kun-
ing tadi melenyapkan diri.
Kira-kira sepenanakan nasi Tabib Setan
berlari. Di salah satu tempat tak jauh dari lapangan rumput Tabib Setan
berlindung di balik batu
besar. Dia merasa yakin orang yang dikejarnya
pasti melintas ditempat itu karena di sebelah ka-
nan lapangan rumput terdapat jurang yang curam.
Dugaan Tabib Setan tidak meleset, dia tidak perlu menunggu lebih lama. Karena
tak lama menunggu
dari arah depan sana dia melihat satu bayangan
berkelebat ke arahnya. Si kakekpun langsung me-
lompat ke atas batu yang dijadikannya tempat ber-
sembunyi. Dia berdiri bertolak pinggang, sambil
memandang lurus ke depan si kakek umbar ta-
wanya. "Pencuri tengik, hendak lari kemana kau hah"!" hardik si kakek masih saja
terus tertawa. Orang yang berlari melengak kaget, serta
merta gerakan larinya terhenti. Ternyata dia ada-
lah seorang nenek tua berpakaian serba kuning
berambut putih bermata tajam. Di tangan nenek
itu memegang tengkuk binatang aneh berbulu dan
bersisik putih bertelinga lebar dengan tanduk
tunggal di tengah bagian atas batok kepalanya. Binatang itu masih dalam keadaan
terikat sebagai-
mana adanya. Itulah Siklututjang, binatang langka milik si kakek.
Beberapa saat lamanya kedua orang tua itu
saling berpandangan seakan ingin mengukur ke-
mampuan yang dimiliki lawannya.
"Nenek pencuri, kembalikan binatang itu
padaku jika tidak ingin kujewer telingamu!" perintah Tabib Setan lantang.
Si nenek tersenyum sinis. "Begitu berartinya binatang ini dibandingkan Empat
Kerabat Siluman
yang telah kau lepaskan, Tabib Setan?" dengus si nenek. Tabib Setan diam-diam
terkejut tak me-
nyangka orang mengetahui siapa dirinya. Tapi si
kakek sengaja tak memperlihatkannya kepada
orang. "Kalau kau sudah tahu, katakan siapa dirimu. Setelah itu letakkan
Siklututjang ke tanah
dan segera berlalu dari hadapanku!"
"Perlu apa kau tahu siapa diriku. Buat apa
kupatuhi segala perintahmu. Apa kau tidak men-
dengar bahwa kau harus menjalani hukuman aki-
bat kesalahanmu membantu membebaskan Empat
Kerabat Siluman?"
Karena nenek itu tidak mau perkenalkan
nama dan tetap ngotot pula, marahlah sang tabib.
Diapun membentak. "Nenek berpakaian kuning
tahi. Dua kerabat Siluman telah terbunuh ditan-
ganku, sedangkan yang duanya lagi jika kau beri-
kan binatang itu pasti aku akan melakukan penge-
jaran terhadap mereka. Namun kalau kau tetap
keras kepala dan ingin jatuhkan hukuman pada
diriku, katakan hukuman apa yang harus kujala-
ni?" "Hik hik hik. Akhirnya kau tahu diri dan sadar atas segala kesalahanmu.
Mengingat kau seorang tabib sesat, maka hukuman yang harus
kau lakukan adalah memotong kedua telinga dan
mencongkel kedua biji matamu. Kau sudah men-
dengar, sekarang cepat lakukan. Setelah itu kuja-
min binatang bau ini kukembalikan padamu dan
kau bebas mengejar Kerabat Perempuan dan Ke-
rabat Melamun dengan mata tidak dapat melihat!"
Nenek berpakaian kuning raba pinggangnya. Dia
mencabut sebilah pisau kecil bergagang hitam
berwarna putih berkilau dan tajam pada kedua si-
sinya. "Terimalah pisau ini, lakukan apa yang aku perintahkan!" Dan si nenek pun
angsurkan pisau di tangan dengan posisi terbalik, gagang menghadap ke arah sang
tabib sedangkan bagian ujung
yang tajam menghadap ke arah dirinya.
Tabib Setan sama sekali tak bergerak dari
atas batu, malah dia kemudian mengumbar ta-
wanya. Habis tertawa dengan sikap mengejek sang?
tabib berucap. "Nenek tua sikapmu seperti seorang ratu edan. Memerintah seenak
hatimu. Memang-nya dirimu itu siapa" Bukan istri bukan saudara-
ku, bukan ratu bukan majikanku. Enak saja kau
memberi perintah pada Tabib Setan. Ha ha ha!"
"Kau tidak mau melakukannya sendiri, biar
aku yang mencongkel matamu dan memotong ke-
dua telingamu. Lihat... binatang ini akan mati percuma!" berkata begitu tanpa
terduga nenek berpakaian kuning lontarkan Siklututjang ke udara. Sa-
tu lontaran yang keras membuat binatang itu me-
lesat tinggi udara. Tabib Setan dapat membayang-
kan lontaran setinggi itu jika sampai binatang
langka itu kemudian meluncur ke bawah dan ja-
tuh, pasti akan tewas seketika.
Seandainya mati, binatang itu tidak mem-
punyai nilai apa-apa karena darahnya tak bisa di-
manfaatkan lagi.
Sadar akan semua ini Tabib Setan kelua-
rkan suara menggerung disertai makian panjang
pendek. Tanpa menunggu binatang ini meluncur
ke bawah, si kakek jejakkan kakinya hingga kini
tubuhnya melesat di udara. Apa yang dilakukan
oleh Tabib Setan memang sesuatu yang sangat di-
tunggu oleh nenek berambut putih. Begitu Tabib
Setan melesat ke udara, si nenekpun berkelebat
mengikuti. Karena dia memiliki ilmu mengentengi


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh dan gerakan cepat yang sudah sangat luar
biasa, walaupun Tabib Setan lebih dulu bergerak
ke atas, namun dengan cepat dia tersusul. Malah
kini si nenek mampu melewati sang tabib. Di saat
dirinya berpapasan dengan sang tabib itulah mata
pisau berkelebat menyambar matanya.
Dalam kejutnya si kakek masih sempat ta-
rik kepalanya ke belakang, gerakannya menyam-
bar binatang miliknya jadi tertunda sedangkan
mulutnya memaki.
"Ah... kurang ajar!"
Dess! Sambaran mata pisau dapat dihindarinya,
tapi tendangan kaki kiri nenek itu menghantam
perutnya. Tak ayal lagi si kakek terpelanting, namun masih sanggup lakukan gerak
berjumpalitan sebelum jatuh ke tanah hingga dia dapat jatuh
dengan kedua kaki menginjak tanah lebih dulu.
Walaupun begitu tubuhnya masih limbung.
Bersikap tidak perduli si kakek laksana kilat mendongak ke atas, saat itu dia
melihat binatang mi-
liknya telah kena diraih oleh nenek itu. Dengan gerakan yang indah tubuh
lawannya berputar-putar
di udara, melayang turun. Akan tetapi sebelum ke
dua kaki lawannya sempat menyentuh tanah,
bambu pancingan di tangan si kakek menderu ke
arah si nenek disertai suara berdengung aneh, lalu berputar sedemikian rupa,
menusuk membabat
dan menggemplang bagian kepala.
Serangan yang berlangsung sangat cepat itu
memang cukup merepotkan nenek itu. Tapi ru-
panya dia termasuk tokoh silat yang sudah sangat
berpengalaman. Melihat serangan bambu pancing
datang bagaikan gelombang badai maka dia ang-
surkan Siklututjang menyambuti serangan sekali-
gus dijadikan perisai.
Dalam kagetnya tak menyangka lawan per-
gunakan binatang miliknya untuk menahan setiap
serangan, sambil semburkan sumpah serapah si
kakek terpaksa batalkan serangan. Di depannya
nenek berpakaian kuning kembali mengumbar ta-
wanya. "Hayo mengapa kau tidak teruskan serangan mu!" ejek si nenek.
"Tua bangka pengecut!" dengus Tabib Setan sambil lintangkan bambu pancingnya di
depan dada. Di ejek pengecut si nenek rupanya terpanc-
ing kemarahannya.
"Kau mengatakan aku pengecut. Baik, kita
berkelahi dengan tangan kosong. Dalam lima jurus
jika ternyata kau kalah, kau tetap harus menye-
rahkan kedua telinga berikut matamu." Si nenek lalu campakkan pisau di tangan
kirinya. Sedangkan binatang milik si kakek dilemparkannya begi-
tu saja hingga jatuh menggelundung disertai suara menguik.
"Siklututjang, kau tak apa-apa kan"!" seru
si kakek cemas.
"Jangan buang waktu, jika tidak binatang
keparat itu kuinjak mampus!" teriak si nenek hilang sabarnya.
"Baik, tantanganmu kuterima. Jika aku
menang?" tanya si kakek yang merasa tertantang.
Dalam hati dia berkata. "Masa aku yang laki-laki bisa dikalahkan oleh nenek
butut ini!"
"Jika aku kalah. Kau bebas pergi kemana
kau suka asal kau jangan melupakan tugas me-
nangkap Kerabat Perempuan dan Kerabat Mela-
mun lalu menyerahkannya padaku!"
Si kakek jadi garuk-garuk telinganya. "Itu
namanya enak di kau tak enak di aku!"
"Terserah apa tanggapanmu. Kau tidak
punya pilihan lain, aku telah berusaha memperla-
kukanmu secara adil!" Dengan muka masam si
nenek menyahuti.
Tabib Setan terdiam sejenak, tak salah sete-
lah itu dia anggukkan kepala.
"Baiklah, tantanganmu kuterima!" kata si kakek. "Kalau sudah terima bersiaplah
untuk mampus!" Apa yang terjadi kemudian memang ber-
langsung sangat cepat sekali. Si nenek baju kun-
ing tiba-tiba melompat ke depan, lalu jatuhkan diri yang diteruskan dengan gerak
bergulingan. Satu
langkah lagi jaraknya dengan Tabib Setan, dua
kakinya serentak menyambar. Satu dari sebelah
kanan, satunya lagi dari sebelah kiri dalam gerakan menggunting. Apa yang
dilakukan lawan bu-
kan serangan sembarangan, sekali kaki Tabib Se-
tan kena dijepitnya maka kaki itu bisa patah men-
jadi beberapa bagian, tidak dapat bersambung lagi, walaupun Tabib Setan memiliki
ilmu Bubut Putih
sekalipun. Si kakek agaknya menyadari bahaya yang
mengancamnya. Terbukti laksana kilat tubuhnya
melesat ke atas, melesat terus ke udara, kemudian dia menangkring diatas pohon.
Sambil berdecak
penuh rasa kagum kakek ini tertawa.
"Kita sudah sama tua, badan tinggal rong-
sokan mengapa hendak nekad mengadu tulang!
Ha ha ha!" ejek Tabib Setan acuh.
Nenek baju kuning diam-diam sempat di-
buat terkejut tak menyangka lawan bisa melo-
loskan diri dari ajian Ismu Guntingnya. Dengan
geram dia bangkit berdiri.
"Tua bangka berotak miring, lihat seran-
gan!" teriak nenek itulah tang.
Dua tangan lalu didorong keras ke atas, si-
nar biru membersit, melesat menghantam pohon
yang dijadikan dudukan si kakek.
Craas! Laksana mata pedang sinar biru membabat
putus cabang pohon itu. Si kakek berseru, lalu
melompat kalang kabut. Sementara nenek itu sen-
diri begitu melepaskan pukulan langsung melom-
pat ke udara, mengejar ke arah menghindarnya
Tabib Setan. "Eeh... ini betul-betul gila!" seru si kakek begitu melihat lawan telah berada
di depannya dalam gerak laksana bayangan setan.
Tabib Setan tidak membiarkan dirinya mati
konyol dihantam pukulan lawannya. Karena itu
dia tekuk lengannya, dengan kedua sikunya dia
memapaki pukulan lawan yang menyambar ke
arah dada. Plak! Plaaak! Dua benturan keras membuat keduanya
sama keluarkan pekikan kaget bercampur kesaki-
tan. Dua sosok tubuh sama terlempar lalu jatuh
bergedebukan menghantam batu.
Yang pertama kali bangkit berdiri adalah
nenek berpakaian kuning yang disusul dengan Ta-
bib Setan. Wajah keduanya nampak pucat, kening
mengernyit, keringat bercucuran.
Ketika nenek baju kuning memeriksa tan-
gannya yang terasa nyeri, dia jadi kaget. Kedua telapak tangannya nampak
membiru, menggembung
bengkak. "Tabib jahanam. Bagaimana tanganku bisa
dibuatnya seperti ini!" rutuk nenek itu dalam hati.
Ketika dia memandang ke arah lawannya, si nenek
melihat Tabib Setan nampak sibuk mengusap ke-
dua sikunya yang merah memar dengan air lu-
dahnya sendiri. Dasar Tabib Setan, meskipun ke-
sakitan dia tetap menyengir dan bicara pada tan-
gannya sendiri. "Tangan tak berguna, percuma sa-ja aku menggemblengmu dengan
berbagai ramuan
berkhasiat. Agaknya aku perlu merendammu den-
gan kotoran babi.!"
"Tabib Setan, tinggal satu jurus lagi. Kau
atau aku yang berangkat ke akherat duluan." te-
riak si nenek penasaran.
Tabib Setan unjukkan wajah terkejut. "Eh,
masih penasaran rupanya dia, kau mau menga-
muk lagi. Bagaimana kalau kita berangkat bersa-
ma-sama ke akherat biar asyik. Nanti malaikat
pasti menyangka kita adalah pasangan suami istri
yang serasi! Ha ha ha!"
Tawa sang tabib serta merta lenyap begitu
dia melihat lawan di depannya mendadak raib. Da-
lam hati dia memuji kecepatan gerak si nenek yang sangat luar biasa.
Belum lagi kakek ini sempat beranjak dari
tempatnya, ada deru angin disertai berkelebatnya
bayangan kuning yang menyambar dari empat su-
dut arah. Sang Tabib tidak menjadi gugup. Dia
memutar badan, sedangkan tangannya yang men-
gandung tenaga dalam penuh digerakkan pula ke
empat arah sekaligus dan hampir dalam waktu
bersamaan. Buk... buk... buk... buuuk!
Des! Des! Des! "Akh...!"
Terdengar suara jeritan susul menyusul.
Tabib Setan jatuh dengan kaki tertekuk. Dadanya
terguncang akibat benturan keras, juga terkena
pukulan lawan. Ada darah yang menetes dari su-
dut bibir si kakek. Megap-megap si kakek masuk-
kan tangannya ke dalam kantong obat. Tiga butir
pel diambilnya lalu dia telan sekaligus. Setelah itu si kakek duduk ngejelepok
mengatur nafas dan
coba lancarkan jalan darah yang sempat kacau.
Di depan sana sejauh empat tombak, si ne-
nek yang menjadi lawannya dalam keadaan rebah
menelentang. Bentrokan pukulan tadi membuat
persendian tulang belulangnya laksana tanggal.
Nafas si nenek memburu, wajah memutih laksana
mayat, hidung dan mulutnya mengucurkan darah.
Dia mencoba bangkit, setengah merayap dia ak-
hirnya dapat duduk. Bila dia memandang ke de-
pan dia lihat Tabib Setan sibuk mengurut da-
danya. "Tua bangka itu bagaimana masih dalam keadaan segar bugar" Aku telah
menghantamnya dengan tiga pukulan, tapi... tapi dia menghantam
ku dengan empat pukulan sakti! Uh... uh, tua
bangka sial!" maki si nenek.
Selagi nenek ini bersusah payah mengatur
jalan nafas, Tabib Setan dengan langkah sem-
poyongan datang menghampiri. Dia julurkan tan-
gannya serahkan obat serupa yang tadi ditelannya.
"Telanlah obat ini, luka dalammu tidak rin-
gan. Jika perkelahian kita teruskan, kita berdua
bisa tewas bersama-sama. Aku mengaku salah te-
lah melakukan satu kekeliruan. Jika kau ingin
agar aku mencari Kerabat Melamun dan Kerabat
Perempuan aku akan mencarinya. Nanti setelah
ketemu pasti kuserahkan padamu!"
"Siapa sudi menelan obatmu!" dengus si nenek sambil palingkan wajahnya ke
jurusan lain. "Walah sudah tua malah besar adat!" gerutu si kakek. Tapi Tabib Setan tetap
membujuk. "Aku hanya tak ingin melihatmu mengalami nasib celaka. Aku tahu kau
memukulku dengan pukulan ke-
ji. Dan aku membalasnya dengan pukulan Manis-
nya Godaan Setan. Pukulan itu sama berba-
hayanya dengan pukulan yang kau hantamkan
padaku. Kau tidak percaya tarik nafasmu tiga
kali!" Si nenek jadi kaget. Tanpa sadar dia lakukan apa yang dikatakan sang
tabib. "Uhk...!" Perempuan tua itu mengeluh sambil dekap dadanya yang terasa nyeri
laksana mau meledak. "Apa kataku. Makan obat ini jika tak mau
celaka!" Si nenek terdiam, namun akhirnya dengan
agak ragu-ragu dia terima dan telan obat pembe-
rian si kakek. Beberapa saat setelah menelan obat itu dia merasakan dadanya
menjadi sejuk. Si nenek merasa lega, ternyata bukan racun yang dibe-
rikan oleh tabib yang terkenal akan kesesatannya
itu. Tabib Setan sendiri tanpa menunggu segera
mengambil Siklututjang lalu menggantungkannya
di ujung bambu pancingnya.
"Nenek apakah kau masih hendak menghu-
kumku?" tanya sang tabib dengan nada bersahabat. Si nenek gelengkan kepala.
"Kalau begitu apakah ini berarti aku boleh
pergi?" "Kau boleh pergi. Tapi jangan kau lupakan tugasmu. Seandainya dua orang
yang kuinginkan
telah kau dapat kau harus membawanya ke bukit
Juwana." suara si nenek berubah lunak.
"Nenek, kalau kau tidak keberatan apakah
aku boleh mengajukan satu pertanyaan?"
Si nenek buka matanya yang terpejam sete-
lah itu memandang lurus ke arah Tabib Setan.
"Apa pertanyaanmu!"
"Pertama siapa namamu" Yang kedua sebe-
narnya ada silang sengketa apa antara kau dengan
Empat Kerabat Siluman?"
Mendapat pertanyaan seperti itu wajah si
nenek mendadak berubah merah padam.
Dia menjawab dengan sengit. "Siapa saja
yang punya hubungan sahabat dengan Dipati
Durga memang patut dilenyapkan. Manusia itu
hanya menjadi biang bencana saja bagi orang
lain!" "Dipati Durga... aku tidak kenal dengan nama itu." Membatin Tabib Setan.
"Nek, Dipati Durga apakah musuhmu?"
"Pertanyaanmu banyak amat tabib. Padahal
tadi kau mengatakan cuma ingin mengajukan satu
pertanyaan. Tidak kujawab sekalipun nantinya


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau akan mengetahuinya sendiri!"
Tabib Setan tersenyum mentertawakan ke-
bodohannya sendiri.
"Baiklah, maafkan aku. Selamat tinggal
nek!" kata sang tabib, lalu kakek ini memutar langkah dan langsung berkelebat
pergi. "Tabib Setan, dulu dia adalah tabib jahat
dan sesat. Bagaimana kini dia bisa berubah?" fikir si nenek.
"Hem...aku harus kembali ke Juwana. Lima
bulan muridku kutinggalkan. Entah bagaimana
keadaannya kini." Berkata begitu perlahan si ne-
nek bangkit berdiri, lalu melangkah tinggalkan
tempat itu. 11 Bangunan yang bernama Singgasana Abadi
itu berada di sebelah timur Kudus, terletak di satu pendataran yang luas di
kelilingi oleh tebing yang curam. Bangunan itu sepenuhnya terbuat dari ba-tu,
berbentuk seperti kerucut, bagian atasnya
menjulang tinggi seakan hendak menggapai langit.
Di dalam bangunan itulah seorang tokoh
sesat bernama Dipati Durga berdiam selama ber-
tahun-tahun. Pagi itu matahari belum lagi memperli-
hatkan tanda-tanda munculkan diri ketika Kerabat
Perempuan dan Kerabat Melamun melewati unda-
kan anak-anak tangga yang terdapat di depan pin-
tu depan Singgasana Abadi. Tidak berapa lama ke-
dua ibu dan anak itu hentikan langkah setelah
sampai di pintu utama.
Kerabat Perempuan tanpa membuang-
buang waktu lagi segera mengetuk pintu yang se-
penuhnya terbuat dari batu sebanyak tiga kali.
Tak lama kemudian dia menunggu.
Setelah itu dari dalam terdengar suara se-
seorang. "Siapa?"
"Kami sahabatmu. Kerabat Perempuan dan
Kerabat Melamun!" kata perempuan berpakaian
serba hitam itu menyahuti.
"Sahabat... diharap tidak kunjung datang,
tidak ditunggu malah datang sendiri!" Orang di dalam mengomel. Tak lama setelah
itu terdengar su-
ara berkerotakan seperti orang yang membuka
pintu. Ternyata memang benar, pintu kemudian
terbuka. Dari balik pintu batu dalam ruangan-
ruangan yang terang temaram muncul seorang la-
ki-laki angker berpakaian hitam panjang menjela
seperti jubah. Orang itu berbadan tinggi semampai kedua alis matanya hitam
kereng menyatu antara
yang kanan dengan kiri. Wajahnya ditumbuhi ku-
mis dan janggut lebat, bagian pipi juga ditumbuhi bulu-bulu halus, sedangkan
sepasang matanya
mencorong angker seperti mata burung hantu da-
lam kegelapan malam.
Sejenak laki-laki berpakaian hitam itu pan-
dangi si perempuan dan pemuda belasan tahun
yang berdiri bengong seperti patung. Dengan sikap yang terkesan meremehkan orang
lain orang itu ajukan pertanyaan.
"Kalian datang berdua sahabatku. Empat
Kerabat Siluman biasanya selalu pergi kemana
pun dalam keadaan kompak selalu. Kemana Kera-
bat Menangis dan Sesepuh Tua?"
Kerabat Melamun hanya diam saja, tatapan
matanya yang menerawang kosong memandang ke
arah dinding tembok. Tapi tanpa dia sadari air ma-ta pemuda belasan tahun itu
bergulir membasahi
pipi. Sementara Kerabat Perempuan sempat tun-
dukkan kepala, wajahnya menunjukkan kesedihan
yang begitu mendalam.
Dia lalu berkata. "Bolehkah kami masuk
untuk menjelaskan segala sesuatunya?"
Laki-laki angker yang bernama Adipati Dur-
ga itu tertawa bergelak lalu anggukkan kepala.
"Pintu kediamanku ini selalu terbuka bagi
semua sahabatku. Terlebih-lebih kalian yang me-
rasa bersimpati atas keinginanku untuk menda-
patkan Nyi Sekar Langit. Gadis jelita yang selalu menyiksa perasaanku siang dan
malam. Masuk-lah...!" Dipati Durga bungkukkan badan sambil kembangkan kedua
tangan mempersilahkan sang
tamu masuk ke dalam.
Kerabat Perempuan dan Kerabat Melamun
memasuki ruangan luas bundar yang didalamnya
dipenuhi dengan berbagai jenis perabotan yang se-
luruhnya terbuat dari batu itu. Mereka duduk di
tengah ruangan ini di atas kursi yang menghadap
ke meja bundar yang sepenuhnya terbuat dari ba-
tu. Tak lama setelah Dipati Durga duduk di ha-
dapan mereka, laki-laki itu kembali ajukan perta-
nyaan. "Kemana suamimu dan juga anak perem-
puanmu yang cantik itu, Kerabat Perempuan"'
Yang ditanya menarik nafas pendek, setelah
itu menghembuskannya dalam-dalam. Dia menco-
ba menenangkan perasaan dan menabahkan hati
akibat kehilangan orang yang dia cintai. Setelah
itu dengan suara bergetar dia menjawab.
"Suamiku Sesepuh Tua dan putriku Kerabat
Menangis tewas terbunuh di tangan seorang tabib
sakti bernama Tabib Setan!"
"Hah... Tabib Setan?" seru Dipati Durga ter-
kejut dan belalakkan matanya.
"Benar, apakah kau mengenalnya?"
Laki-laki itu gelengkan kepala.
"Kenal langsung atau bertemu orangnya
aku memang belum pernah. Tapi siapa yang tidak
kenal Tabib Setan" Dia sangat ahli dalam hal ilmu pengobatan selain itu dia juga
memiliki ilmu kesaktian tinggi. Konon kudengar dia juga mempu-
nyai beberapa saudara, yaitu Sesat Timur, Sesat
Barat dan Sesat Selatan yang juga memiliki kesak-
tian tinggi. Aneh... apa yang dicarinya di daerah ki-ta ini hingga dia
gentayangan sampai kemari?"
"Aku tidak tahu." sahut Kerabat Perem-
puan. Dipati Durga terdiam, pandangan matanya
tertuju lurus ke arah Kerabat Melamun, otaknya
berfikir dan hatinya berkata. "Pemuda ini walaupun masih terlalu muda, tapi
matanya menyimpan
kesaktian tinggi. Seandainya hati, jiwa dan fiki-
rannya tidak selalu gentayangan kemana-mana,
tentu kematian ayah dan kakak perempuannya
menggoncangkan perasaannya hingga bisa diha-
rapkan muncul perasaan marah dalam hatinya
untuk membalas dendam. Agaknya nanti aku ha-
rus melakukan sesuatu, mengembalikan hati dan
fikirannya yang menerawang hingga dia dapat hi-
dup sebagaimana manusia lain. Di samping itu
tentu aku bisa memanfaatkan tenaganya untuk
kepentinganku sendiri." batin Dipati Durga.
Kini pandangannya beralih pada Kerabat
Perempuan. Setelah memperhatikan perempuan
itu dia ajukan pertanyaan.
"Tabib Setan membunuh dua kerabatmu,
hal itu kurasa tak mungkin dia lakukannya tanpa
sebab-sebab yang jelas, karena kalian pun sebe-
narnya tidak mengenalnya!"
"Kau benar, terus-terang memang kami
yang mencari perkara. Sebenarnya dia telah meno-
long kami." ujar Kerabat Perempuan. Dia lalu menceritakan petaka yang dialaminya
bersama ti-ga kerabatnya ketika seorang nenek bernama Am-
beng Tatap Banyu menyerang mereka dengan ilmu
pukulan Watos Atos Loro, hingga tubuh mereka
hampir membeku menjadi patung. Mendengar Ke-
rabat Menangis menyebut tentang Ambeng Tatap
Banyu, Dipati Durga tampak unjukkan wajah ter-
kejut. "Jadi yang membuat kalian hampir menjadi batu tak berguna adalah Ambeng
Tatap Banyu, nenek keparat guru Nyi Sekar Langit. Perempuan
itu sungguh sangat berbahaya. Mungkin sekarang
sudah saatnya untuk menyingkirkannya. Selama
dia masih hidup, aku tidak akan pernah leluasa
untuk mendapatkan muridnya. Yang kusesalkan
mengapa kau mengambil sikap memusuhi Tabib
Setan, padahal dia orang yang telah menyela-
matkan kalian. Padahal jika kau mau mengajak-
nya bersahabat, kita bisa mendapatkan satu keun-
tungan besar. Paling tidak kau bisa belajar ilmu
pengobatan, atau ilmu meramu racun. Seandainya
semua ini telah kau dapatkan, tidaklah keliru jika kau kemudian membunuhnya!"
sesal Dipati Durga.
"Segalanya sudah terjadi, keluargaku ter-
bunuh. Aku bersumpah untuk menuntut balas.
Tabib Setan tak mungkin berkeliaran sampai ke
daerah Pati ini jika dia tidak punya suatu kepen-
tingan. Aku ingin bertanya padamu sahabatku,
apakah kau mau membantuku untuk mele-
nyapkan Tabib Setan atau tidak?"
Mendapat pertanyaan seperti itu mendadak
air muka Dipati Durga berubah dalam seketika.
"Hanya menghadapi seorang tabib saja kau
sudah tidak berdaya, Kerabat Perempuan. Percu-
ma saja kau punya seorang anak yang memiliki
kesaktian tinggi jika dia tidak dapat kau harapkan bantuannya untuk membela
kepentinganmu."
"Kau sudah tahu keadaannya. Meskipun pe-
tir menyambar kepalanya dia tetap dalam keadaan
seperti itu. Diam tanpa ekpersi tanpa kemauan!"
jawab Kerabat Perempuan seolah putus asa.
Dipati Durga menyeringai. "Aku tahu cara
membuatnya terjaga agar dia tidak hidup dialam
angan dan mimpi-mimpi. Nanti aku akan salurkan
tenaga saktiku ke tubuhnya. Tapi kau jangan ter-
lalu banyak berharap padaku untuk menangkap
seorang tabib. Urusanku sendiri saat ini terlalu
banyak sekali yang harus diselesaikan." kata laki-laki itu. Dalam hati dia
memaki. "Perempuan ini dan suaminya punya otak. Namun hampir tak
pernah mempergunakannya dalam hidup. Jika dia
pintar, tentu dia bisa memanfaatkan kehadiran
Tabib Setan untuk menyerang nenek keparat Am-
beng Tatap Banyu.
"Sahabat... aku berterima kasih atas petun-
jukmu. Biarlah segala persoalanku kuselesaikan
sendiri berdua bersama Kerabat Melamun. Tapi
kalau boleh aku bertanya bukankah kau punya
satu ganjalan besar pada nenek itu?"
"Kau benar, tapi kurasa aku dapat menga-
tasi persoalanku sendiri. Ambeng Tatap Banyu
memang suatu kendala, dia juga adalah ganjalan
yang merintangi dari apa yang kuinginkan. Tapi
bagiku yang terpenting adalah bagaimana Nyi Se-
kar Langit. Jika gadis itu menjadi istriku dan dia rela kukawini, gurunya bisa
kubunuh." "Dipati Durga... untuk kau ketahui. Kami
sampai bentrok dengan nenek keparat itu semata-
mata karena membela dirimu. Nenek itu mengata-
kan pada kami, siapa saja yang mempunyai hu-
bungan sahabat denganmu pasti akan disingkir-
kannya. Karena itu menurut pendapatku alangkah
baiknya jika kita bekerja sama dalam menghadapi
musuh-musuh kita."
"Jika dia bicara begitu aku tidak keberatan.
Tapi sampai saat ini sebenarnya aku masih dilan-
da kebimbangan."
"Kebimbangan apa?" tanya Kerabat Perem-
puan. "Aku baru tahu kalau orang yang kucintai tertipu oleh bekas kekasihku, Nyi
Ronggeng. Aku tidak tahu bagaimana bentuk penipuan yang telah
dilakukannya. Yang jelas kini Nyi Sekar Langit wajah dan tubuhnya mendadak
berubah menjadi ne-
nek tua." Mendengar pengakuan Dipati Durga, Kera-
bat Perempuan nampak terkejut sekali.
"Apa yang kukatakan ini sulit kupercaya.
Tapi hal seperti itu bisa saja terjadi mengingat Nyi Ronggeng merasa kau sia-
siakan. Hingga dia men-dendam padamu, namun melampiaskan dendam-
nya pada orang yang kau cinta. Jika Nyi Sekar
Langit sudah dibuatnya cacat begitu rupa, dia berharap kau tidak mengejarnya
lagi." "Nyi Ronggeng memang perempuan terku-
tuk. Ingin sekali aku membunuhnya dengan kedua
tanganku. Tapi... entah mengapa aku jadi tidak te-ga. Setidaknya dia pernah
membagi kebahagiaan
bersamaku, menikmati manis madunya cinta!"
"Dia pasti masih mengharapkan dirimu dan
merasa tidak rela kau jadi milik orang lain." ujar Kerabat Perempuan.
Dipati Durga tertawa bergelak.
"Agaknya aku begitu perkasa, hingga begitu
banyak perempuan tergila-gila padaku. Tapi aneh,
terhadap Nyi Sekar Langit mengapa aku menjadi
seperti orang yang tidak berguna?"
Mendengar keluhan Dipati Durga, Kerabat
Perempuan berkata menghibur. "Kau tak usah merasa berkecil hati. Cepat atau
lambat kau pasti
mendapatkan perempuan itu. Tapi bagaimana kau
yang segagah ini mau menikahi gadis yang telah
berubah menjadi nenek bau tanah."
"Ha ha ha. Aku tahu apa yang akan kula-
kukan nanti terhadapnya. Sudahlah, sekarang se-
baiknya kita selesaikan saja dulu masalah anakmu
ini!" kata Dipati Durga, seraya lalu bangkit berdiri dan melangkah mendekat
Kerabat Melamun.
Pemuda belasan tahun ini sama sekali tidak


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perduli melihat kehadiran Dipati Durga. Tatap ma-
tanya tetap menerawang kosong seperti orang yang
tenggelam dalam lamuan yang mendalam.
"Kerabat Perempuan, kau berjaga-jagalah di
depan anakmu. Jika dia hendak melakukan sesua-
tu atas apa yang kulakukan katakan bahwa aku
bermaksud memulihkan semangatnya yang hi-
lang!" Kerabat Perempuan anggukkan kepala.
Dipati Durga lalu duduk di belakang Kera-
bat Melamun. Dua tangan ditempelkan di bagian
punggung pemuda berusia lima belas tahun itu.
Setelah secara perlahan dan bertahap pula dia sa-
lurkan tenaga dalamnya ke punggung Kerabat Me-
lamun. Si pemuda tersentak, tubuhnya bergetar
ketika hawa panas mengalir deras di sepanjang tu-
lang punggungnya dari bawah dan langsung men-
jalar ke bagian leher dan terus naik ke atas kepala.
Tenaga dalam yang disalurkan dipati Durga menja-
lar ke bagian otak kecil dan otak besar. Kembali
terjadi sentakan hebat, Kerabat Melamun menjerit.
Dari kepala di bagian ubun-ubun mengepul asap
tipis menyerupai kabut berwarna kehitaman.
Di belakang Kerabat Melamun, Dipati Durga
tubuhnya telah basah bersimbah keringat. Kedua
tangannya menggeletar, namun dia tetap salurkan
tenaga saktinya ke tulang punggung lawan yang
terus dialirkan ke bagian kepala.
"Arggggkh...!"
Bekerjanya tenaga dalam di bagian otak Ke-
rabat Melamun membuat pemuda itu akhirnya
menjerit, menangis dan menggerung! Melihat si
pemuda dalam keadaan histeris seperti itu, Dipati
Durga segera tarik kedua tangannya. Dia kemu-
dian bergerak menjauh dan berdiri disamping Ke-
rabat Melamun. Mulut orang tua itu berkomat-
kamit. Selanjutnya terdengar dia berucap.
"Kau harus terjaga dari lamunanmu. Ayah
dan saudaramu tewas... kau harus melakukan se-
suatu untuk membalasnya! Ingat satu nama, Am-
beng Tatap Banyu dan Tabib Setan. Mereka orang
yang harus kau bunuh!" tegas Dipati Durga.
Seakan baru terjaga dari sebuah tidur yang
panjang, Kerabat Melamun menangis mendengar
ayah dan kakaknya tewas. Dengan tatapan liar
penuh amarah dia memandang lurus ke arah
ibunya. "Benarkah ayah dan kakak Kerabat Menan-
gis telah meninggal, ibu?"
Perempuan itu dengan perasaan haru meli-
hat anaknya terjaga dari lamunan langsung ang-
gukkan kepala. "Mengapa aku tidak mengetahuinya?"
"Kau tahu, kau melihat tapi otakmu tidur."
"Aku tidur selama itu?"
"Ya, karena tidurmu dalam lamunan!"
Kerabat Melamun kebingungan. Dia dekap
wajahnya, lalu menangis tersedu-sedu.
"Saudara dan ayahku tewas dibantai orang,
aku melihat tapi aku tak tahu. Oh betapa tololnya diriku ini." kata Kerabat
Melamun. Kerabat perempuan datang menghampiri,
lalu memeluk anaknya yang hanya tinggal satu-
satunya itu. "Anakku, kau sedih hati ibumu ini lebih se-
dih lagi. Janganlah kau melamun lagi, kau harus
bisa membalaskan segala sakit hati dendam ke-
sumat serta kematian saudara berikut ayahmu
pada Tabib Setan. Jangan pula kau lupa untuk
melenyapkan perempuan bernama Ambeng Tatap
Banyu!" "Hu hu hu. Ibu aku akan mengingatnya.
Akan kubunuh mereka dengan kekuatan kedua
mataku.!" sahut Kerabat Melamun.
"Bagus! Aku senang mendengarnya. Arwah
ayah dan kakakmu pasti tidak akan tenang sebe-
lum kedua orang tua dapat kau bunuh!"
Mendengar ucapan ibunya, tanpa menghi-
raukan Dipati Durga, serta merta si pemuda bang-
kit berdiri. "Kalau begitu ibu, tak baik bagiku berada di sini lebih lama. Aku akan mencari
mereka!" Selesai berkata begitu Kerabat Melamun melesat ke arah
pintu depan. Karena pintu itu dalam keadaan ter-
kunci. Tanpa pernah terduga Kerabat Melamun
pergunakan kekuatan matanya. Begitu mata di-
pentang lebar, dari kedua matanya membersit si-
nar merah berhawa panas luar biasa. Sinar itu
langsung meluncur deras ke arah pintu batu. La-
lu.... Buuuum! Terdengar ledakan berdentum. Pintu batu
hancur berkeping-keping, diantara kepulan debu
Kerabat Melamun melesat keluar lalu lenyap dari
pandangan mata.
"Anakku!" seru Kerabat Perempuan ber-
maksud mengejar, tapi langsung dicegah oleh Di-
pati Durga. "Biarkan. Tak usah dikejar. Biarkan bocah
hebat itu menyelesaikan urusannya. Kau tetap be-
rada di sini, tinggal bersamaku!" kata Dipati Durga lalu kedipkan matanya.
Kerabat Perempuan paksakan senyumnya.
Dia tahu arti dibalik kedipan mata Dipati Durga.
Bukankah selama ini dia sering mengadakan pe-
nyelewengan dengan laki-laki itu. Dan tentu saja
semuanya diluar sepengetahuan suami maupun
kedua anaknya. Tanpa sadar Kerabat Perempuan hampiri
Dipati Durga, lalu sandarkan kepalanya di dada
kekasih gelapnya yang bidang. Dipati Durga lang-
sung merengkuh dan memeluk Kerabat Perem-
puan. TAMAT SEGERA TERBIT SANG PETAKA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pendekar Bodoh 2 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Laron Pengisap Darah 8
^