Pencarian

Menumpas Bergola Ijo 1

Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo Bagian 1


MENUMPAS BERGOLA IJO Karya Djair Warni
SERIAL JAKA SEMBUNG
alih versi Syahlendra Maulana
penerbit SARANA KARYA
cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka.
Setelah berpisah dengan saudara angkatnya Si Gila dari Muara Bondet, Parmin
kembali berjalan menuju ke selatan melanjutkan perjalanan
tugasnya. Tak lama kemudian ia sengaja memperlambat langkah kakinya karena
daerah tujuannya sudah di ambang pintu. Apa yang telah dikatakan si pemilik
warung di desa Celancang kemarin ternyata benar. Perjalanan ke Gunung Jati
dengan berjalan kaki memakan waktu sekitar satu jam dan itu telah terbukti
ketika Parmin mulai memasuki sebuah bukit yang ditumbuhi pohon-pohon dan
merupakan tempat pemakaman yang sangat luas.
Pemandangan di sekitar bukit
tersebut sungguh menakjubkan dan mempunyai keindahan yang khas. Pohon-pohon jati
besar tumbuh di atas bukit itu, bagaikan berbaris teratur. Di sebelah barat
berdiri bukit lainnya, yaitu Gunung Sembung yang bagi Parmin terlihat berada di
sebelah kanan Gunung Jati. Awan bergulung-gulung di atas bukit itu. Desiran
angin yang bertiup menerpa pohon-pohon jati menimbulkan gemerisik dedaunan yang
bergesekan bagai satu rangkaian
nyanyian alam. Kicau burung bersahut-sahutan mengiringi suara gemerisik itu
dengan riuhnya. Dari kaki bukit sampai
ke puncak berjajar makam-makam dengan teratur.
Parmin berhenti sejenak.
Ia mengamati seluruh keadaan
bukit itu dengan penuh rasa syukur.
Nafasnya berhembus kuat-kuat ke dalam rongga dadanya menikmati udara segar yang
menyelimuti daerah tersebut.
Bukit inilah yang dinamakan orang Gunung Jati. Bukit yang penuh dengan makam-
makam di mana di puncaknya terdapat tempat persemayaman terakhir Fatahilah.
Fatahilah atau Falatehan sering disebut-sebut sebagai Sunan Gunung Jati. Tetapi
menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, hal itu tidak benar. Pasarean atau
kuburan Syarief Hidayatullah sebagai Sunan Gunung Jati sendiri terletak di
Gunung Sembung yakni sebuah bukit yang
ukurannya lebih kecil, penuh ditumbuhi pohon-pohon sembung, dan berada di
sebelah barat Gunung Jati. Di antara kedua bukit itu melintang jalan raya
perintis yang dibuat oleh Kumpeni Belanda.
Setelah merasa puas, Parmin
segera mengayunkan langkahnya menelusuri jalan setapak yang melintas di lereng-
lereng bukit Gunung Jati sampai ke puncaknya. Jalan itu terbuat dari batu yang
disusun berundak-undak terus menanjak ke puncak Gunung Jati. Kanan-kiri jalan
itu ditumbuhi rumput-rumput
liar setinggi betis kaki. Rupanya jalan itu sengaja dibuat oleh penduduk
setempat untuk mempermudah orang-orang yang datang dari seluruh pelosok daerah
berziarah ke pekuburan itu.
Sampai sekarang kedua bukit itu
menjadi tempat keramat. Apalagi pada saat bulan Maulud, menjelang tanggal dua
belas, tempat itu ramai dikunjungi orang, dari pelbagai daerah. Mereka datang
membawa kembang tujuh warna dan kemenyan yang katanya untuk
dipersembahkan kepada arwah dalam kuburan itu untuk meminta berkah. Ada juga
yang minta panjang jodoh, murah rejeki, panjang umur, dan lain-lain.
Suatu kepercayaan yang telah melanggar ajaran agama Islam itu sendiri.
Parmin terus berjalan menelusuri jalan setapak itu dengan semangat.
Cukup melelahkan juga, karena keadaan jalan itu agak licin dan menanjak.
Akhirnya tak berapa lama kemudian sampailah ia di tepi semak-belukar.
Tiba-tiba Parmin menghentikan langkahnya ketika melihat banyak sekali lalat
berterbangan di sekitar semak-belukar yang berada di hadapannya.
"Lalat bangkai! Pasti ada bangkai di balik semak-semak itu, Hm... baunya menusuk
hidung!" gumam Parmin menahan nafas. Ia segera menghampiri semak-semak itu lalu
disibaknya. Parmin terperanjat melihat sesosok tubuh
seorang laki-laki yang mulai membusuk dan mulai membengkak. Parmin lalu
berjongkok memperhatikan keadaan mayat itu. Ia mengatur nafas untuk meredam rasa
mual yang menyerang perutnya.
Kedua mata mayat itu melotot keluar dengan mulut yang menyeringai seperti
menahan rasa sakit dan takut yang teramat hebat. Tubuhnya berbalut pakaian serba
hitam dengan kain sarung lusuh bercampur tanah menyilang di dadanya. Anggota
badannya terlihat terjulur kaku dengan seluruh tubuh dikeremuni lalat.
"Tangan kanannya masih memegang sebuah golok yang sudah mulai
berkarat. Mungkin sudah beberapa hari terkapar di sini. Agaknya ia seorang jago
silat" Kemudian Parmin segera mengubur-
kan mayat itu di bawah sebuah pohon yang rindang dengan sebuah tonggak kayu
sebagai nisannya.
Hatinya bertanya-tanya.
"Mayat siapakah" Aku akan mencari keterangan orang-orang di desa. Orang itu
tewas terbunuh dengan luka sobekan yang menganga di tenggorokan dan perutnya.
Melihat dari lukanya, pasti pembunuhnya menggunakan senjata berbentuk pengait.
Benar-benar sadis"
Setelah melepaskan lelah sejenak, Parmin lalu kembali mengayunkan
langkahnya menuju perkampungan desa di
sekitar Gunung Jati. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan
mengenai kejadian tadi.
"Kurasa alat semacam itu tidak terdapat dalam dunia persilatan tetapi aku dapat
memastikan bahwa pembunuhnya adalah seorang jago silat yang
tinggi!" Tak terasa ia sudah memasuki
mulut desa itu. Tetapi begitu ia jejakkan kakinya di desa itu,
dirasakannya sesuatu yang aneh.
"He, mengapa suasana desa ini sunyi-senyap" Ada apa gerangan?"
tanyanya dalam hati sambil terus melangkah. Parmin mengamati daerah itu dengan
seksama. Tiap rumah penduduk diperhatikannya. Tidak terlihat tanda-tanda
kehidupan. Hanya suara angin yang berhembus kencang dan merontokkan daun-daun
kering sehingga berserakan di pelataran rumah-rumah itu.
"He, betul-betul sepi!
Tak seorangpun penduduk yang menampakkan batang hidungnya! Mungkinkah desa ini
terserang wabah penyakit menular yang sangat ganas" Atau ada suatu peristiwa
yang menghantui mereka sehingga tidak berani keluar dari dalam rumah" Apakah
mereka tidak mengerjakan pekerjaannya sehari-hari di sawah atau di ladang?"
desah Parmin dalam hati.
Sunyi lengang keadaan yang
menyelubungi desa itu. Jangankan
seorang penduduk yang tampak, hewan piaraanpun tidak ada juga yang tampak
berkeliaran di luar. Semua pintu rumah tertutup rapat. Tidak terdengar suara
sedikitpun dari tiap rumah yang
dilalui Parmin dan agaknya rumah-rumah itu sengaja ditinggalkan oleh
pemiliknya masing-masing.
Parmin hanya berdiri terpaku
tepat di tengah-tengah jalan desa itu.
Matanya menyapu ke segala penjuru.
Alisnya mengernyit karena merasa heran.
"Aneh bin ajaib! Desa ini betul-betul seperti desa mati!" Kemudian ia
mengayunkan langkahnya perlahan-lahan sambil memusatkan seluruh panca
inderanya mencari segala kemungkinan adanya sesuatu yang dapat dijadikan
petunjuk untuk menyingkap tabir yang menyelimuti desa itu.
"Hm.... di mana aku bisa mencari keterangan" Baiklah, aku akan mencoba mengetuk
pintu salah satu rumah!
Mudah-mudahan...!" gumamnya penuh h-rap sambil berjalan, menghampiri sebuah
rumah penduduk yang berada tepat di samping kanannya. Terlihat sampah berserakan
di pelataran rumah tersebut. Dari luar, rumah itu
terlihat gelap tanpa ada sepercik cahaya matahari yang menerobos masuk
meneranginya. Parmin mengetuk pintu papan rumah itu.
"Asalamualaikum....!"
Ia diam sejenak menunggu sahutan dari dalam, tetapi tak terdengar.
Dicobanya sekali lagi, tetap saja ia tak memperoleh jawaban. Dicobanya lagi
berulang-ulang, hasilnya tetap saja sama. Kemudian dengan
hati kesal Parmin segera meninggalkan rumah tak berpenghuni itu. Kepalanya menengadah ke
atas. Terlihat matahari mulai meninggi.
"Sudah waktunya shalat zuhur!"
ujarnya pelan sambil menghapus
keringat yang mengalir di keningnya.
Ia lalu melangkah menjauhi desa mati itu mencari masjid yang terdekat dari sana.
Sementara itu dari balik sebuah
pohon beringin yang terletak tidak jauh dari rumah yang diketuknya, berdiri
sesosok tubuh tinggi besar mengintai. Kepalanya gundul plontos.
Ia mengenakan pakaian serba hijau yang menutupi seluruh tubuhnya yang
berkulit hitam.
Kumisnya melintang lebar di bawah hidungnya yang mancung besar. Sinar matanya
memancarkan gejolak membunuh yang sangat besar sehingga tubuhnya yang berkulit
hitam itu lambat laun berubah menjadi hijau legam. Tangan kanannya terbuat dari
besi berbentuk tabung yang ujungnya dilengkapi dengan sebuah senjata pengait
yang sangat tajam, untuk menggantikan telapak tangannya yang buntung. Begitu
hebat ilmu yang
dimilikinya hingga Parmin sendiri tidak mengetahui keberadaan sosok tubuh hijau
itu yang nyaris sama dengan warna daun-daun pohon di
sekitarnya. Sorot matanya tak lepas dari
segala gerak-gerik Parmin. Ia memutar tubuhnya, terus memandangi punggung Parmin
sampai menghilang dari
pandangannya. Kemudian sosok tubuh hijau itu keluar dari tempat
persembunyiannya dan berdiri tegak tersenyum penuh arti. Ia lalu melejit entah
kemana. Siapakah sosok tubuh hijau itu"
Mengapa ia mengintai Parmin secara diam-diam" Dan apa yang selanjutnya akan
diperbuat terhadap diri Parmin"
*** Parmin mulai memasuki kawasan
masjid yang terletak di kompleks Pasarean Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung.
Masjid itu berpagar tembok dengan dua gapura berdiri kokoh
sebagai pintu gerbangnya. Di setiap tembok yang mengelilingi tempat itu terdapat
piring-piring keramik Cina
yang ditempelkan dengan jarak
tertentu. Hanya sayang di sana-sini di tumbuhi lumut sehingga terlihat agak
dekil. Ketika Parmin masuk melewati
gapura itu terlihat makam-makam yang berdiri teratur di seputar halamannya
dengan pohon-pohon beringin yang tumbuh sebagai pelindung. Angin
bertiup sepoi-sepoi bertiup menyapu tempat itu menimbulkan suasana sejuk dan
nyaman di pelataran masjid itu.
Parmin lalu berjalan menapak di
atas jalan yang terbuat dari anyaman batu bata sebagai penghubung antara pintu
gerbang menuju ke pintu masuk masjid.
"Aku ingin bertemu dengan juru kunci Pasarean ini! Mudah-mudahan aku bisa
mendapat keterangan!"
gumam Parmin dalam hati sambil melepaskan kain pengikat kepalanya dan kain sarung yang
menyilang di dada, yang kemudian diletakkannya di lantai dekat pintu masjid. Ia
berjalan menuju tempat air wudhu yang terletak di samping masjid di bawah sebuah
pohon beringin. Parmin menggulung celana pangsinya sampai batas lutut.
"Bismillah...!"
ucapnya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan air yang memancur dari sebuah guci
keramik yang besar dan berukir.
Ketika sedang membasuh wajahnya dengan
air itu, tiba-tiba Parmin merasakan adanya kehadiran seseorang di
belakangnya. "Siapa kau anak muda" Mataku yang sudah rabun ini merasa bahwa kau bukan
penduduk asli desa ini, bukan" Dari manakah asalmu, Nak?" tanyanya pelan dengan
suara agak parau memecah
kesunyian. Parmin melihat sekilas.Ternyata
ia seorang lelaki tua yang sudah berumur kira-kira tiga perempat abad dengan
kumis dan jenggot yang hampir memutih semuanya. Melalui cara ia berjalan agaknya
bapak itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Parmin tersenyum penuh hormat.
"Betul Pak!
Aku datang dari
pantai Eretan. Apakah Bapak juru kunci Pasarean ini" Kalau benar, dapatkah Bapak
memberikan keterangan mengapa desa ini seperti desa yang mati?"
tanya Parmin berharap sambil
membersihkan sela-sela jari kakinya dengan air padasan itu.
"Entahlah! Tetapi aku hanya memberi saran, berhati-hati dengan dirimu, Nak!"
Parmin agak terperanjat mendengar jawaban lelaki tua itu, singkat dan tegas.
Setelah berkata begitu orang tua itu segera berlalu dengan tergopoh-gopoh
meninggalkan Parmin yang belum
selesai melakukan wudhunya. Wajahnya terbersit rasa takut yang sangat besar.
Mungkin ia tidak mau menanggung resiko apabila banyak bercerita kepada orang
yang belum dikenalnya tentang segala sesuatu yang menyangkut keadaan desa Gunung
Sembung. Parmin menoleh memanggil orang
tua itu. "Hei, Pak! Tunggu dulu! Aku mau bertanya lagi! Tunggu...!" tetapi ia tak
mengindahkan teriakan Parmin memanggilnya ia terus saja melangkah keluar dari
pelataran masjid sampai menghilang dari pandangan.
"Hm... aneh sekali orang itu! Ada apa sebenarnya yang terjadi di daerah ini" Aku
tak habis pikir!"
Kemudian setelah Parmin
mengangkat kedua tangannya untuk berdoa sehabis wudhu, ia lalu berjalan masuk ke
dalam ruangan masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai
seorang muslim.
Seusai shalat zuhur, Parmin
menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar dalam ruangan itu dengan santai.
Pilar-pilar yang terdapat dalam
masjid Gunung Jati berjumlah sembilan buah yang berdiri kokoh menyangga bangunan
itu. Pilar-pilar tersebut berhiaskan ukiran-ukiran yang sangat indah dan piring-
piring keramik Cina yang menempel pada tembok ruangan
tersusun sedemikian rupa dari ukuran yang terkecil dikombinasikan dengan ukuran
yang besar. Mihrab masjid
dihiasi bingkai berhias kaligrafi yang berisi kalimat-kalimat suci Al Qur'an,
dengan warna kombinasi hijau, kuning dan hitam. Lantainya terbuat dari batu
pualam yang mengkilap. Bila sinar matahari memancar ke dalam ruangan masjid maka
lantai pualam itu
memantulkan cahaya yang terang namun menyejukkan suasana dan jika kita
melihatnya dari kejauhan, lantai itu seakan-akan seperti hamparan air telaga
yang jernih. Suasana yang hening dan nyaman
serta hembusan angin yang menyapu seluruh ruangan masjid itu, tiba-tiba
mendatangkan rasa kantuk Parmin yang sedang menikmati keindahan hasil karya
arsitektur yang sangat indah namun sangat unik tersebut. Berkali-kali ia
menguap, pikirannya tetap melekat pada peristiwa yang baru saja dialaminya tadi.


Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oahmmmm... aneh! Sampai mereka pun tak melakukan shalat berjamah di masjid ini
karena mungkin penduduk desa ini dicekam rasa takut keluar rumah... Oahmm!!
Biarlah aku berbaring-baring sejenak!" ucapnya pelan sambil merobohkan diri di lantai dekat
pilar itu. Tangan kanannya dilipat menjadi
tumpuan kepala dan kirinya berpangku pada kedua kakinya yang menekuk.
Parmin tidur seperti seekor kucing.
Agaknya posisi tubuh seperti itu berguna untuk dapat bergerak cepat bila
sewaktu-waktu terdapat serangan gelap yang datang mendadak. Dan tak lama
kemudian Parmin memejamkan matanya. Enak betul ia tidur. Seperti tak terjadi
sesuatu yang baru dialaminya.
Sementara di atas atap masjid
sayup-sayup terdengar suara halus, seperti suara langkah kaki orang yang sedang
berjalan. Suaranya sangat lembut hampir menyatu dengan suara angin yang
berhembus saat itu,
menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah sempurna.
Orang tersebut bertubuh tinggi besar.
langkahnya terhenti di saat mencapai pinggiran atap tepat di atas pintu masuk
masjid Gunung Sembung.
Ternyata tak lain dan tak bukan
adalah orang yang berpakaian serba hijau tadi.
Dan secara tak terduga dan sangat cepat, bayangan hijau itu melesat menyambar
tubuh Parmin yang sedang tertidur lelap. Tetapi rupanya Parmin sudah terlatih
dalam menghadapi segala bentuk serangan lawan secepat apapun.
Tubuhnya langsung melejit ke atas menghindar dari sabetan yang mengancam
jiwanya dan hanya kain sarungnya saja yang ia gunakan sebagai selimut tidur
tadi, tercampak di atas lantai.
"Traak!!"
sabetan itu hanya
mengenai pilar di dekat Parmin. Tubuh hijau itu lantas meliuk-liuk di udara dan
mendarat kakinya dengan mantap, dihadapan Parmin yang sedang
menghimpun tenaga melalui pernafasan.
Kedua tangannya tertentang diatas kepala, kemudian menyilang ke atas ubun-
ubunnya. "Tunggu dulu! Siapakah kau dan apa maksudmu!" seru Parmin siap siaga, tetapi
tubuh tinggi besar itu tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan kanannya yang
bersenjatakan pengait sambil menggeram keras.
"Hiaaaat...!" tubuhnya lantas melesat ke arah Parmin yang lebih dahulu melejit
ke atas. Senjatanya kembali menemui sasaran lain.
"Traak!" lagi-lagi pilar dalam masjid itu yang tergores. Ukiran yang menghiasi
tiang-tiang itu hancur berkeping-keping mengotori lantai.
"Hei, kau tidak menghargai sama sekali tempat suci ini! Sebutkan nama dulu,
kawan! Dan mengapa kau hendak membunuhku!"
Sampai kali inipun bukan jawaban yang diterima Parmin, tetapi serangan kilat
kembali menerjang dirinya.
"Wess..." Parmin segera bersalto di udara untuk menghindar dengan gerakan yang
sangat mengagumkan.
"Hm... manusia macam apa ini"
Gerakannya demikian gesit! Sebelum aku menginjak ke tanah, ia sudah
menyerangku lagi!"
Bayangan hijau itu terus-menerus mencecar Parmin, Rupanya ia penasaran, karena
setiap serangan luput tak mengenai sasaran. Sedangkan Parmin hanya dapat
menghindar dan tak punya kesempatan untuk
membalas serangan
itu. Dengan satu sentakan ia melejit keluar mengalihkan serangan lawannya agar
tidak merusak pilar-pilar dalam masjid itu. Parmin menghendaki pertarungan itu
dilanjutkan di pekarangan masjid, tetapi ternyata bayangan hijau tersebut tidak
mau terpancing dan meladeni kehendak Parmin. Ia tak mengejar, melainkan
menghilang entah kemana.
Parmin menjejakkan kakinya dengan menatap di tengah-tengah areal
pekuburan. Kelebatannya yang cepat merontokkan daun-daun kering di
sekitar tempat itu. Ia langsung
memasang kuda-kuda siap menghadapi serangan berikut. Tetapi bayangan hijau itu
tak kunjung muncul kembali.
Gerakan orang itu teramat
cepat sehingga tak dapat ditangkap oleh mata
Parmin. Tubuhnya seolah-olah ditelan perut bumi.
Parmin melemparkan pandangannya
ke segala penjuru tempat itu mencari jejak lawannya, tetap saja bayangan hijau
itu tak menampakkan batang hidungnya lagi. Rupanya ia tahu bahwa Parmin bukanlah
orang sembarangan seperti korban-korbannya yang
terdahulu. Jangankan melukai tubuh, menyentuh sedikitpun belum terlaksana
walaupun serangannya dilakukan secara mendadak dan bertubi-tubi.
Parmin menghela nafas panjang.
Matanya tetap memantau ke segala arah.
Hanya suara desiran angin yang dapat dirasakannya.
"Hm... licik!"
gerutu murid tunggal Ki Sapu Angin.
Perlahan-lahan ia kembali masuk
ke dalam masjid melanjutkan tidurnya yang terganggu. Ternyata dari atas sebuah
pohon beringin sepasang mata merah memandang Parmin dengan penuh geram. Tubuhnya
seakan-akan berasap karena keringatnya yang menguap
pertanda ia menahan dendam yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Lalu ia
melesat hilang ke dalam hutan.
Sementara itu di dalam sebuah madrasah, berkumpul para alim ulama setempat.
Mereka sedang mengadakan rapat tertutup. Ada suatu peristiwa yang teramat
penting yang harus segera
mereka selesaikan. Para alim ulama itu terdiri dari enam orang yang rata-rata
sudah tua. Masing-masing duduk
bersimpuh di atas tikar anyaman daun pandang saling berhadapan. Di tengah-tengah
mereka tersedia seperangkat peralatan minum lengkap dengan isinya.
Madrasah itu terbuat dari bilik anyaman bambu dengan tiang-tiang kayu yang
berdiri kokoh menumpu bangunan itu. Di salah satu sudut ruangan madrasah
terdapat sebuah rak kayu yang berisikan kitab-kitab suci Al-Qur'an dan kitab-
kitab hadits yang tersusun rapi. Di dekat salah satu tiang itu terdapat sebuah
rak sebagai tempat untuk menyimpan payung dan tombak-tombak berjajar. Pada kayu-
kayu penguat bilik terpajang berbagai macam jenis senjata tajam. Sedangkan pada
setiap tiang-tiang kayu, terukir motif hiasan yang menggambarkan daun-daun
sembung yang merupakan ciri atau lambang daerah Gunung Sembung.
Disamping sebagai tempat
pengajian, madrasah itu juga berfungsi sebagai perguruan silat. Orang-orang dari
berbagai pelosok daerah datang menuntut ilmu agama dan ilmu silat untuk bekal
hidup sebagaimana layaknya orang-orang pada jaman itu, sehingga anggota madrasah
tersebut kian hari kian bertambah banyak jumlahnya.
Sedangkan yang menjadi pemimpin
madrasah itu adalah Kiyai Haji Subekti Achmad yang sekaligus pula sebagai guru
silat di Gunung Sembung dan daerah sekitarnya.
Suasana rapat itu hening sejenak.
Setelah menghela nafas panjang
dan mengucap salam, Kiyai Subekti mulai angkat bicara yang didengarkan oleh
rekan-rekannya dengan penuh perhatian.
"Seperti anda ketahui bahwa rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya sekarang telah
mengingkari agamanya sendiri dan berpaling dari kaidah Islam! Mereka tidak lagi
menyembah Allah, tetapi menyembah iblis yang menamakan dirinya Bergola Ijo?"
suaranya terdengar berat memecah keheningan suasana dalam ruangan madrasah.
"Dan yang masih tetap beriman kepada Allah kini dapat dihitung dengan jari
saja!" sinar mata Kiyai Subekti berubah
tajam dan penuh selidik terhadap para ulama lainnya yang duduk berderet di sekelilingnya satu-
persatu. Ditatap seperti itu oleh Kiyai Subekti, mereka menjadi kikuk dan serba
salah. Apakah orang yang paling mereka segani seperti Kiyai Subekti Achmad kini
mulai meragukan dan mulai curiga terhadap keimanan para pengikutnya"
"Ini adalah suatu hal yang sangat menyedihkan dan merupakan kewajiban kita
sebagai kaum muslimin untuk menentang kemusrikan yang sudah
merajalela di kalangan masyarakat.
Seperti anda ketahui bahwa hari ini menjelang waktu zuhur, rakyat Gunung Sembung
tidak ada yang berani keluar pintu rumah. Mereka percaya kepada sang dukun yang
kesurupan roh Bergola Ijo yang mengatakan bahwa pada hari ini Bergola Ijo akan
meminta korban nyawa manusia lagi! Calon korbannya adalah orang-orang yang
keluar rumah di saat
menjelang waktu zuhur!
Masyarakat percaya akan hal itu, karena memang telah terbukti sejak beberapa
minggu ini banyak mayat bergelimpangan di tengah jalan dengan bekas luka yang
sama!" Kiaya Subekti berhenti sejenak
menarik nafas. Jelas tergurat pada wajahnya yang keriput rasa kecewa yang sangat dalam.
"Kita sekalian bertekad untuk menghancurkan kemunkaran itu! Kita berjuang sampai
titik darah penghabisan menentang orang-orang yang telah ingkar. Bila perlu kita gunakan
kekerasan! Semoga Allah selalu melindungi hamba-Nya yang beriman!" lanjut Kiyai
Subekti berapi-api, disambut dengan ucapan amien dari semua
rekannya. Kiyai Subekti mengakhiri
pembicaraannya dengan pembacaan doa diikuti oleh para ulama lainnya
sehingga terciptalah suasana sakral yang membuat keyakinan masing-masing menjadi
lebih dalam dan bertekad untuk memperjuangkan ajaran-ajaran agama Islam secara
benar. Mereka rela mati syahid demi mempertahankan agama.
*** Matahari mulai tergelincir ke
kaki langit sebelah barat. Adzan ashar baru saja menggema ke seluruh pelosok
Gunung Sembung dan Gunung Jati yang merupakan sepasang bukit kembar
berdiri berdampingan sebagai kawasan penguburan. Burung-burung mulai enggan
bernyanyi. Dan para penduduk desa masih belum berani juga menampakkan dirinya.
Mereka tidak mau mati konyol karena mereka percaya bahwa iblis pencabut nyawa
itu masih berkeliaran di luar untuk mencari mangsa.
Tetapi di ruangan lain dalam
madrasah seusai rapat tadi,
berkelebat-kelebat dua sosok tubuh saling terjang-menerjang.
Gerakan kedua orang itu terlihat lincah dan mantap.
"Awas kaki! bagus, loncatanmu cukup gesit!" teriak seorang pemuda bertubuh tegap
sambil melancarkan
pukulannya menyambar-nyambar seorang gadis yang sedang meliuk-liuk tubuhnya di
udara mengelak dari serangan yang tertuju kepadanya. Rambutnya yang panjang
hitam legam terurai sebatas pinggang turut melambai-lambai
mengikuti gerak tubuhnya lincah. Lalu ia menghenyakkan kakinya dengan mantap di
atas lantai sambil merentangkan kedua tangannya membentuk jurus baru.
"Ayo serang kau lagi!" serunya penuh semangat. Nafasnya terdengar ngos-ngosan
kelelahan. Tapi sorot matanya yang tajam namun bening
pertanda rasa percaya diri yang tak mudah goyah dalam pribadi pendekar wanita
itu. Sementara lawan latihnya hanya
berdiri tegak sambil berkacak
pinggang memperhatikan tersenyum
bangga. "Sudah! Kali ini latihan kita cukup sekian!"
katanya menggeleng-
gelengkan kepalanya sebagai tanda pujian terhadap kemajuan-kemajuan yang telah
berhasil dicapai oleh adik latihnya.
"Hm... tak sia-sia ayahmu
menggemblengmu setiap hari. Aku sudah kewalahan melawanmu. Benar-benar pesat
kemajuan yang kau capai selama ini!"
Pipi gadis itu bersemu merah
mendapat pujian dari laki-laki yang telah membantu melatihnya. Tapi ia
segera mengalihkan perasaannya dengan mengambil peragaan jurus-jurus
lanjutan. "Aku belum puas!
Ayolah kita mulai lagi beberapa jurus saja!"
pintanya merajuk.
Pemuda itu menghela nafas dan
berusaha mencari alasan.
"Agaknya kau tidak mendengar beduk magrib berbunyi" Nanti saja sehabis shalat
isya kita lanjutkan lagi!" ujarnya sambil menyambar kopiah hitam yang
disangkutkan di paku yang menancap pada tiang penyangga itu.Tapi gadis itu masih
penasaran. Ia terus saja membentuk jurus baru dengan gerakan yang lebih
semangat. Kakinya bergerak perlahan menyiku di atas lantai dengan kedua tangan
yang bergerak seperti kepak sayap burung rajawali melambai-lambai, tetapi pemuda itu
tetap tak peduli.
"Ah, sudahlah Ratna!"
katanya sambil membetulkan letak kain sarung yang melilit melingkar di pinggangnya.
Ia menoleh sebentar ke arah Ratna yang masih memasang kuda-kuda.
"Dan lain kali harus kau ingat, jika latihan lagi nanti rambut mu yang panjang
dan indah itu hendaknya diikat agar jangan awut-awutan seperti
kuntilanak yang sedang terbang!"
ledeknya sambil tertawa renyah.
"Ah, bisa saja kau!" sahut Ratna dengan kesal tapi manja. Ia lalu mencubit
pinggang pemuda itu dengan gemas. "Ih!"
"Aduh! Sakit ah!" teriak pemuda itu sambil berusaha menghindar dari cubitan
Ratna. Tanpa sengaja tangannya memegang tangan halus Ranta yang berusaha
mencubitnya lagi. Sejenak mereka diam terpaku dan saling
bertatapan mata. Pemuda itu menatap wajah gadis di hadapannya yang bundar dengan
dua lesung pipi bila ia
tersenyum, penuh gelora asmara. Ratna membalas tatapan itu dengan perasaan yang
tak menentu. Tangan mereka saling menggenggam dengan mesra. Pemuda itu
mengembangkan senyumnya, demikian halnya si gadis. Ia memandangi bibir Ratna
yang tipis seakan-akan ia ingin segera mengecup bibir yang rekah menantang itu.
Kemudian pemuda itu mendekatkan
wajahnya perlahan-lahan, sedangkan Ratna memejamkan mata menunggunya.
Tetapi di saat wajah mereka mulai dekat, tiba-tiba pemuda itu menarik kembali
wajahnya dengan cepat karena adzan maghrib yang masih berkumandang membuat ia
sadar akan perbuatannya.
"E.... aku ke masjid dulu!"
ujarnya agak gugup sambil melepaskan genggaman tangannya. Sedangkan Ratna
membuka matanya perlahan. Hatinya
kecewa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya.
Tanpa menoleh lagi pemuda itu ke luar meninggalkan madrasah itu
berjalan menuju masjid untuk segera menunaikan shalat maghrib. Ratna memandangi
punggung lelaki yang
dicintainya dari balik pintu dengan perasaan bangga. Ia memuji dalam hati.
Ia bersyukur bahwa Anwar, kekasihnya tidak melanjutkan niatnya tadi. Hal itu
menandakan bahwa keimanan pemuda pujaannya masih cukup kuat untuk menanggulangi
godaan. Siapakah kedua remaja itu"
Yang dipanggil Ratna itu atau
nama lengkapnya Ratna Zullifah adalah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan
pemuda yang bertubuh tegap itu adalah murid kesayangan Pak Kiyai sendiri.
Tampak di antara mereka telah terjalin benang cinta kasih.
*** Di saat itu dalam masjid Gunung
Sembung, Parmin duduk bersila


Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendirian seusai berzikir. Sementara orang-orang muslim yang tinggal di sekitar
masjid itu mulai banyak
berdatangan untuk turut melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Tak
ketinggalan Kiyai Subekti Achmad yang pertama kali memasuki masjid tersebut.
Ia agak terperanjat melihat seorang pemuda duduk bersila dengan tenang tanpa
merasa terusik oleh
kehadirannya. Dalam hatinya bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda pendatang itu"
Parmin sendiri merasakan adanya
orang-orang yang mulai duduk berjajar membuat saf di sekitarnya.
"Hm... baru sekarang aku bertemu dengan pendudukan desa ini. Sejak tadi aku cuma
duduk sendirian saja di sini!
Tapi... apakah mereka cuma shalat maghrib saja" Tadi siang tak kulihat mereka!"
tanya Parmin dalam hati.
Kemudian Kiyai Subekti bersama
murid kesayangannya melintas di
hadapan dan melirik ke arahnya. Parmin memperhatikan orang tua berjanggut putih
itu dengan seksama. Cara meli-riknya terasa tajam seperti menguliti dirinya
bulat-bulat. Langkahnya pelan tapi mantap menandakan ia seorang jago silat yang
berilmu tinggi.
"Guruku, Ki Sapu Angin pernah mengatakan bahwa di daerah Gunung Sembung ada
seorang alim ulama dan guru silat yang sangat termasyur! Aku rasa inilah
orangnya!" gumam Parmin.
Setelah beberapa langkah melewa-
tinya, Parmin diam-diam mendengar bisikan orang tua itu kepada muridnya.
"Siapakah anak muda yang duduk di belakang itu, Anwar" Tampaknya ia orang yang
berisi!" "Aku tidak tahu, Pak! Semua penduduk desa ini kukenal satu persatu.
Barangkali ia seorang musafir!" sahut muridnya sambil menatap Parmin.
Mereka berjalan beriringan
diikuti oleh para ulama lainnya menuju saf yang terdepan. Parmin lalu
beringsut dari duduknya turut berjalan mengikuti mereka untuk membentuk saf demi
saf. Ia kagum terhadap orang tua itu karena penglihatannya sangat tajam. Parmin
berdiri di antara
deretan jamaah dalam masjid itu.
"Hm... orang tua dan pemuda itu berdiri tepat di belakang imam. Aku akan ambil
tempat dekat mereka!"
ucapnya pelan sambil mengayunkan langkahnya
mengisi tempat yang
kebetulan kosong di sebelah kanan Kiyai Subekti.Shalat maghrib telah dimulai.
Suasana hening syahdu
menyelimuti mereka. Masing-masing
memusatkan pikirannya ke hadirat Allah penuh kekusyukan. Tetapi bagi seorang
jago silat tentu mempunyai kelebihan naluri untuk bisa menangkap hal-hal yang
terjadi disekelilingnya.
Pada saat rakaat kedua Parmin
merasakan adanya gelagat buruk yang akan menimpa mereka. Ketika Kiyai Subekti
mengangkat kedua tangannya
smabil mengucapkan takbir yang sengaja diperkeras.
"Allahu Akbar!"
Tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan hijau menyambar orang tua itu dengan cepat. Tetapi Kiyai Subekti telah
melesat lebih cepat dari
serangan gelap itu. Sedangkan muridnya Anwar melejit ke atas dan meliuk ke
samping kanan sambil berteriak. Dan Parmin yang berada di sebelah Kiyai Subekti
hanya mengelak ke samping pilar masjid berlawanan arah dengan arah datangnya
serangan tak terduga itu. Ia menyilangkan tangannya di dada siap-siaga.
Sementara Kiyai Subekti Achmad
dengan kecepatan yang tidak dapat ditangkap oleh mata orang-orang biasa terbang
keluar masjid ke pelataran sambil bersalto di udara mengalihkan perhatian
bayangan hijau agar tidak mengganggu shalat jamaah lainnya.
Begitu cepat kejadian itu sehingga mereka tidak mengetahui bahwa Kiyai Subekti
telah hilang dari tempatnya, kecuali Parmin dan Anwar. Parmin hanya
memperhatikan semua itu dengan tenang tanpa peduli. Lalu ia kembali ke dalam saf
melanjutkan shalat yang telah dibatalkannya.
Pertarungan itu dilanjutkan di
luar pekarangan masjid. Kiyai Subekti berusaha mengimbangi serangan yang
dilancarkan bayangan hijau itu
terhadap dirinya secara beruntun.
Dengan satu gerakan yang cepat
bayangan hijau itu melesat ke sana ke mari seperti sebuah meteor. Sinar hijau
terlihat berkelebat kian ke mari menjelajahi pekarangan masjid.
Dan Anwar yang melihat gurunya
sedang bertarung menghadapi serangan bayangan hijau itu segera melompat terjun
untuk membantu Kiyai Subekti.
Tetapi bayangan hijau itu melayang lenyap ke dalam semak-semak di sebelah masjid
begitu Anwar mendaratkan kakinya di atas tanah menengahi
pertarungan mereka. Hanya bias warna hijau yang tersisa melintas areal pekuburan
itu. Kiyai Subekti hanya dapat mengikuti arah tubuh itu
bergerak hilang dengan pandangan matanya tanpa dapat mengejarnya.
"Hebat! Hebat! Datang dan pergi seperti kilat menyambar! Aku yang sudah tua
bangka ini sangat kagum dengan ketangkasannya yang luar biasa.
Tetapi sangat disesalkan... ia terlalu licik!" umpat Kiyai Subekti sambil
menurunkan kedua tangannya yang
menyilang diatas kepalanya. Ia
menghela nafas dan membetulkan letak kain sarungnya yang miring.
Anwar mendekati gurunya dengan
wajah cemas. Keringatnya mengalir
membasahi keningnya. Nafasnya bergemuruh.
"Siapa dia, Pak" Dan mengapa bermaksud membunuhmu?" tanya Anwar sambil menyeka
keringat. Pak Kiyai memalingkan wajahnya.
"Seingatku aku tidak pernah mempunyai musuh. Mungkin ia seseorang yang datang
dari jauh hanya untuk menguji kemampuan ilmu silatku atau ada alasan lain! Ah...
sudahlah. Mari kita kembali ke dalam masjid!" ucap Kiyai Subekti mengajak
muridnya. Kemudian mereka berdua berjalan
untuk mengambil air wudhu lagi
melanjutkan shalat maghribnya yang tadi terputus. Orang-orang yang berada di
dalam seusai shalat berhamburan keluar melihat apa yang telah terjadi terhadap
diri Kiyai Subekti Achmad.
Sedangkan Parmin tetap duduk bersila membaca doa wirid dan tinggal
sendirian di dalam masjid. Dan Kiyai Subekti hanya tersenyum ketika mereka
bertanya tentang kejadian tadi. Ia menjelaskan bahwa ada seseorang yang
menginginkan kematiannya. Tetapi Kiyai Subekti memperingatkan kepada rekan-
rekannya agar selalu waspada terhadap rongrongan yang sewaktu-waktu datang
mematahkan semangat perjuangan mereka.
Dalam malam ini Parmin terpaksa
tidur di dalam masjid.
Malam berganti pagi. Sang surya
memancarkan cahayanya ke seluruh alam.
Cakrawala di kaki langit sebelah timur berbesit sinar kemerah-merahan.
Kokok ayam dan kicau burung bersahut-sahutan dengan riuhnya menyambut datangnya
pagi. Kabut sebagian
menyelimuti daerah Gunung Sembung dan sekitarnya.
Parmin berjalan menyusuri kampung Gunung Sembung mencari sekedar makanan untuk
sarapan pagi. Dalam hatinya timbul niat untuk tinggal beberapa hari lagi di sini
karena ia tertarik pada peristiwa yang telah dialami oleh Kiyai Subekti yang
juga pernah dialaminya kemarin.
Parmin merentangkan kedua tangannya kuat-kuat sambil menghirup udara segar pagi
ini. Ia berlari-lari kecil menelusuri jalan setapak sampai di pinggir kampung
mendadak sontak
langkahnya terhenti karena melihat suatu perubahan yang telah terjadi di kampung
tersebut. "Aneh, hari ini menjadi kebalikan dari hari kemarin! Sekarang orang-orang
justeru banyak berkeliaran di luar rumah! Ada apa gerangan?" tanya Parmin heran
dalam hati. Ia memperhatikan orang-orang kampung Gunung Sembung berduyun-duyun keluar dari
rumahnya masing-masing bersama sanak keluarganya. Gadis-gadis remaja
berpakaian kebaya berwarna-warni bercanda ria dengan sesama temannya berjalan
beriringan menuju suatu tempat. Sepertinya mereka sedang mengadakan suatu
perayaan. Tua-muda, besar-kecil, semuanya berbaur menjadi satu membentuk sebuah
barisan seperti karnaval.
Parmin mengernyitkan dahinya.
"Dan... lihat! Wajah mereka berseri-seri! Tidak ada rasa takut tergores di wajah
mereka seperti kemarin. Aneh!"
Memang seluruh penghuni kampung
Gunung Sembung dilanda suka-ria
seakan-akan beban yang telah
menghimpit mereka akhir-akhir ini lepas begitu saja pada hari ini. Dari jauh
terlibat gerombolan para pemain gamelan lengkap dengan pakaian
pertunjukkannya turut mengiringi barisan itu dengan meriahnya. Barisan itu terus
berjalan dipimpin oleh seorang laki-laki tua menuju ke suatu tempat. Sepertinya mereka mengadakan pesta
panen padi atau yang sejenisnya.
Parmin segera berbaur ke dalam
barisan itu mengikuti arus manusia entah ke mana. Di dalam otaknya penuh oleh
seribu pertanyaan.
Melihat dari dandanan para gadis desa dan segala jenis makanan berhias yang
dibawahnya agaknya mereka menuju
ke suatu perayaan perkawinan. Tetapi Parmin tetap tidak mengerti.
"Aneh sekali kelakuan penduduk desa ini! Bukankah mereka kemarin seperti
berkabung. Tapi hari ini mereka malah mengadakan pesta Apa artinya semua ini?"
Parmin lalu memperlambat langkahnya agar dapat mengikuti barisan itu dari
belakang, dan pada persimpangan jalan ia sengaja menyelinap memotong jalan
meninggalkan barisan itu. Pemuda itu segera memasuki suatu daerah di dalam hutan
dan di sana Parmin lebih heran lagi menyaksikan suatu
pemandangan yang terpampang di
hadapannya. Di sebuah pohon beringin yang sangat besar dengan akar-akar
gantungnya menjuntai sampai ke bawah, terlihat orang-orang berkumpul
membakar kemenyan dan meletakkan berbagai macam sesajian. Dari mulai kembang
tujuh warna sampai ayam
panggang tersedia rapi dipenuhi hiasan dan buah-buahan. Mereka semuanya
bertelanjang dada duduk bersila dengan teratur dengan kain lurik mem-balut
tubuhnya dengan perut sampai ke lutut yang mempunyai satu lipatan tepat didepan
pangkal pahanya masing-masing.
Kepala mereka semuanya diikat dengan kain yang serupa. Parmin berjalan mendekati
orang-orang itu dan
memperhatikan segala perbuatan mereka.
"Apa-apaan ini" Mereka menyembah pohon! Gila!" kutuknya pelan sambil berdiri
tegak di belakang mereka.
Tiba-tiba salah seorang pimpinan mereka menaburkan bubuk kemenyan di atas
pedupaan yang sudah dipenuhi bara api. Asap mengepul dari pedupaan itu
menyebarkan aroma kemenyan menyelimuti udara disekitarnya. Tubuh orang itu
bergetar hebat. Sepertinya ia
kesurupan. Matanya mendelik. Giginya gemeretuk keras. Suaranya menggeram.
Seluruh wajahnya merah padam.
Setelah sekian lama dalam keadaan begitu, perlahan-lahan orang itu lemas sambil
menundukkan kepalanya terdiam.
Kemudian tegak kembali. Matanya
terpejam. Kedua tangannya dirapatkan menempel pada dadanya. Mulutnya bergerak
komat-kamit membaca mantera. Dan para pengikutnya di belakang turut merapatkan
tangannya di dadanya
masing-masing sambil memejamkan mata memusatkan pikiran.
"Gusti Bergola Ijo, ampunilah kami yang terlambat mengadakan pesta dan
mempersembahkan sesajian ini!"
kata orang itu sambil menaburkan bubuk kemenyan ke dalam pedupaan di sebelah
kanannya. Asap kemenyan kembali mengepul.
"Kini permintaan gusti telah kami penuh semuanya. Semoga gusti tidak murka lagi
dan mohon berkah untuk kami
sekalian!" lanjutnya sambil membaca mantera. Kepala orang itu terangguk-angguk
diikuti oleh para pengikutnya.
Parmin menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Masya Allah! Mereka menempuh jalan sesat!"
Tanpa bicara sepatah katapun, ia langsung menganyunkan langkah menuju tempat di
mana suara gamelan berkumandang meninggalkan orang-orang sesat itu. Dari jauh
terlihat kerumunan orang banyak memenuhi alun-alun. Suara gamelan terdengar keras seperti
mengiringi suatu pertunjukan.
Parmin segera mendekat. Ternyata para penduduk sedang menikmati sebuah
pertunjukan wayang kulit. Dengan dalangnya yang sangat terkenal di daerah
Cirebon dan sekitarnya yakni Ki Dalang Ambet. Para penduduk berjubel saling
berdesak-desakan ingin menyaksikan pertunjukan itu dari dekat, karena pesta yang
demikian jarang sekali di selenggarakan sehingga mereka bersemangat untuk saling
berebut tempat orang menonton di barisan paling depan.
Sebagaimana dikatakan orang bahwa wayang kulit adalah suatu kesenian yang
diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa, maka setiap ajaran-ajaran Islam selalu diselipkan
dalam setiap pertunjukkan wayang kulit.
Parmin berdiri agak ke tengah-
tengah kumpulan orang-orang. Ia juga sangat menyukai pagelaran wayang kulit.
Tabuhan gamelan mulai perlahan-lahan berkumandang menandakan bahwa pertunjukan
akan segera dimulai.
Dalang Ambet melagukan tembang pembuka dengan manis sekali membuat penonton
seolah-olah terpaku tanpa bergerak sedikit pun mendengarkan tembang itu.
Dalang Ambet selain dikenal
sebagai dalang, ia juga dikenal
sebagai seorang alim ulama yang
disegani. Oleh karena itu dalam setiap lakon yang didalanginya selalu
bernilai unsur-unsur keagamaan dan keTuhanan sesuai dengan ajaran agama Islam.
Banyak orang menyukai
pertunjukannya sehingga mereka yang tinggal jauh dari tempat pertunjukan itu
rela menempuh perjalanan jauh untuk menyaksikannya.
Tak berapa lama kemudian Dalang Ambet sudah mulai menggelarkan lakon wayang
kulitnya dengan semangat. Tangan kanannya memegang tokoh Arjuna sedangkan tangan
kirinya memegang tokoh Kresna. Ki Dalang tak henti-hentinya bersuluk dengan
bahasa Jawa kuno yang merupakan syair
pengantarnya. Ia lalu menancapkan kedua tokoh wayang itu di kedebok
pisang yang terpampang di depannya, saling berhadap-hadapan dimana Kresna
berdiri tegak sedangkan Arjuna dalam posisi agak condong ke depan merendah.
Terdengar Ki Dalang Ambet bercerita disusul dengan dialog.
"Wahai adikku Dipati Arjuna, camkanlah dalam sanubarimu bahwa tiada Tuhan yang
wajib disembah melainkan Allah!" kata Ki Dalang sambil menga-ungkan tangan tokoh
Kresna seakan-akan sedang memberi petunjuk.
"Janganlah engkau menyembah pohon-pohon, gunung, laut, bumi, bulan, matahari,
jin ataupun manusia! Karena semua itu diciptakan oleh Allah.
Kakanda merasa sedih dan prihatin terhadap manusia didunia ini yang telah mulai
mengingkari agama Tuhan.
Mereka semua sekarang menyembah
seorang jin yang mereka menamakan Bergola Ijo!" ujar Ki Dalang Ambet berapi-api.
Secara tak langsung ia telah
mengingatkan para penduduk akan
kemungkaran yang telah mereka lakukan selama ini. Belum habis Sang batara Kresna
memberi wejangan kepada Adipati Arjuna, tiba-tiba wajah Ki Dalang Ambet berubah
menjadi biru mengerikan menahan rasa sakit yang meletup-letup dari dalam
tubuhnya. Bibirnya bergetar kuat. Matanya melotot.
"Hoak...!"


Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari mulutnya menyembur darah
kental kehitam-hitaman membasahi wayang kulit yang berdiri tegak di hadapannya.
Tubuhnya berkelejat-kelejat dan langsung ambruk menimpa peralatan gamelan
di belakangnya.
Tangannya mengejang keras sambil memegangi perutnya. Sekujur tubuhnya meregang
sejenak dan akhirnya diam tak berkutik untuk selama-lamanya.
Seketika itu orang-orang menjadi panik bukan main. Para pemain gamelan
berhamburan di atas panggung menabrak segala peralatannya sehingga
menimbulkan suara yang gaduh semrawut.
Orang-orang yang menyaksikan pertunjukan itu berlarian ke sana ke mari
menyelamatkan diri masing-masing karena mereka percaya kutukan Sang Bergola Ijo
menjadi kenyataan dan mereka tidak mau jadi korbannya.
Sedangkan Parmin sendiri langsung melesat hilang kembali ke masjid. Mau tidak
mau pertunjukkan wayang kulit itu terpaksa dihentikan.
Jenazah Ki Dalang Ambet kemudian dibawa ke madrasah Kiyai Subekti Achmad untuk
diurus. Para ulama lainnya datang berkumpul di dalam madrasah menyatakan rasa
bela sungkawa. Mereka duduk bersila mengelilingi jenazah Ki Dalang Ambet yang
sudah ditutupi sehelai kain putih.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun!
Semoga arwah almarhum mendapatkan tempat yang layak di alam baka. Almarhum telah
menunaikan kewajiban suci!
Almarhum telah mati syahid!" kata Kiyai Subekti memimpin doa bagi arwah Ki
Dalang Ambet. Mereka semalaman melaksanakan
tahlil, setelah sore itu juga jenazah Ki Dalang Ambet dikebumikan. Satu lagi
korban telah jatuh akibat ulah Bergola Ijo. Mereka telah kehilangan seorang alim
ulama yang cukup disegani dan selalu berjuang menyebarkan agama Islam melalui
wadah keseniannya.
Daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati telah kehilangan seorang seniman besar.
Namun kematian Ki Dalang Ambet
justru membuat para alim ulama semakin bertekad untuk menegakkan ajaran agama.
Satu hilang esa terbilang.
Sejak peristiwa mengerikan itu,
rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya semakin takut kepada Bergola Ijo.
Sebaliknya para pengikut Bergola Ijo semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi
kafir dan murtad! Kematian Ki Dalang Ambet telah membuktikan bahwa barang siapa
menentang Sang Bergola Ijo akan bernasib seperti itu.
*** Hari mulai gelap. Bulan bersinar redup soolah-olah turut berduka cita terhadap
kematian seorang ulama.
Suasana desa Gunung Sembung terlihat sunyi-senyap. Tak ada seorangpun penduduk
yang berani menampakkan diri di luar. Mereka lebih suka berdiam diri di dalam
rumah. Rasa takut akan kutukan Sang Bergola Ijo yang setiap saat mengancam telah
tertanam kuat dalam dalam keyakinan mereka. Hanya kelelawar yang berani muncul
terbang di udara dengan kepak sayapnya yang terdengar menyeramkan
dan tembang serangga-serangga malam selalu setia menemani tugas sang bulan di langit.
Dalam malam ini adalah malam yang kedua Parmin menginap di masjid Gunung
Sembung. Sampai saat ini belum
berhasil memecahkan misteri yang sedang menyelubungi desa Gunung Sembung dan
sekitarnya. Pada malam itu ia sedang duduk merenung sendirian
bersandar dengan kedua tangan dilipat sebagai bantalan kepala di sebuah pilar
dalam masjid itu. Kakinya ia rentangkan lurus-lurus. Matanya
memandang ke atas langit-langit masjid seakan-akan ia coba bertanya kepada
saksi-saksi bisu yang ada di
sekitarnya. "Aku tak habis pikir terhadap penduduk desa ini, mengapa begitu mudah
dipengaruhi faham asing"
Mungkinkah semua umat manusia akan berubah menjadi kafir" Ah, tidak!
Tidak! Tidak ada kekuatan apapun yang mampu menentang kekuasaan Tuhan!
Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Maha Kuasa!" ucap Parmin memuji
kebesaranNya. Berdasarkan rangkaian peristiwa
yang terjadi akhir-akhir ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa antara
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya saling berkaitan. Semunya
hampir memiliki persamaan yaitu
menyangkut Bergola Ijo yang mereka sebut-sebut sebagai jin penguasa desa Gunung
Sembung dan sekitarnya.
Sementara itu malam semakin
larut. Kabut mulai turun perlahan-lahan menyelimuti kaki bukit Gunung Sembung.
Para penduduk desa telah tertidur dengan lelap dibuai mimpi.
Angin bertiup kencang membawa embun malam yang membuat ngilu tulang-tulang sum-
sum. Tapi hal itu sama sekali tak dirasakan Parmin yang sedang tenggelam dalam
pikirannya. Tiba-tiba ia tersentak dari
lamunannya. Ia mendengar langkah-langkah halus di belakang masjid.
Parmin segera memusatkan panca
inderanya. "Suara orang berjalan di belakang masjid. Sangat mencurigakan! Aku harus
melihatnya!" desahnya sambil
meningkatkan pendengarannya menangkap sumber suara itu. Secepat kilat Parmin
melompat keluar dari masjid dan
melesat tanpa menimbulkan suara menuju datangnya langkah-langkah itu. Ia
bersembunyi di balik sebuah pohon besar di tengah pekuburan. Maka
terlihat olehnya dua orang berjalan di antara nisan-nisan kuburan sambil
berbisik- bisik.
"Pekerjaanmu tadi siang berhasil memuaskan, Warto! Majikan kita Bergola Ijo
pasti merasa senang dan itu
berarti hadiah satu hektar sawah untukmu!"
"Ya, waktu ada perayaan aku berpura-pura jadi tukang antar
minuman. Dan racun itu kutuangkan ke dalam gelas minuman Dalang Ambet sial itu!"
Kedua orang itu ternyata adalah
kaki tangan Bergola Ijo. Seorang laki-laki tua dengan sorot mata yang tajam
memandang puas pada Warto temannya yang bermulut monyong dengan kumis lebatnya
yang tumbuh menutupi kedua bibirnya yang tebal. Laki-laki tua itu rupanya tak
lain adalah orang yang kemarin bertemu Parmin di pelataran masjid saat ia sedang
mengambil air wudhu siang hari.
Parmin memperhatikan keduanya dengan geram.
Tak terasa tangannya mengepal
keras. "Hm, ternyata mereka adalah manusia-manusia licik dan keji!" maki Parmin dalam
hati dan tak ia sadari dahan pohon di dekatnya patah oleh remasan tangannya.
Setelah menyeberangi jalan
perintis buatan Kumpeni Belanda, kedua orang itu berjalan menuju Gunung Jati
yang letaknya berada di sebelah timur Gunung Sembung dan Parmin terus
mengikutinya tanpa suara.
"Ah, satu hektar sawah itu tak seberapa! Kau tentunya lebih kaya karena
kepandaianmu sebagai dukun palsu penyambung lidah Bergola Ijo!
Ya, kan?" "Huh, apaan! Satu kali aku pura-pura kesurupan dan mengoceh makan asap pedupaan
serta menelan setengah kilo kemenyan, upahku cuma dua ekor kerbau.
Sial!" "He... hei, jangan berkata
begitu! Nanti kau jadi korban tajamnya senjata pengait Bergola Ijo, baru tahu
rasa kau!"
Suasana hening sejenak.
Kedua orang itu terus saja
berjalan menelusuri jalan berundak-undak dengan hamparan kuburan
berderet-deret dikiri-kanannya, menuju ke puncak Gunung Jati. Nafas mereka
terdengar ngos-ngosan karena menempuh
jalan menanjak dan berliku-liku
sedemikian rupa.
Parmin mengendap-endap di sela-
sela pekuburan sambil terus mengikuti mereka. Sekali-sekali suara cicit
kelelawar mengejutkan ke dua orang itu dan pendekar muda dari pantai Eretan itu.
"Seorang telah mampus! Yang lainnya tentu menunggu giliran untuk menyusul!" seru
Warto memecah kesunyian itu sambil mendengus.
"Dengan matinya Dalang Ambet, maka tinggal seorang lagi musuh berat gusti
Bergola Ijo yakni Kiyai
Subekti!" sahut laki-laki tua itu meringis.
Pembicaraan itu membuat Parmin
mengerti akan duduk persoalan yang selama ini masih melekat dalam
otaknya. "Oh, rupanya
orang yang berpakaian serba hijau itulah yang mereka sebut sebagai Bergola Ijo!"
Sampai di puncak bukit Gunung
Jati, dua sosok tubuh itu lenyap begitu saja dari pandangan Parmin. Ia lalu
segera memburu mereka. Parmin kehilangan jejak. Matanya mengamati seluruh tempat
ketika kedua orang tadi lenyap.
"He, kemana mereka" Apakah mereka mempunyai ilmu sihir sehingga dapat lenyap
dari pandangan mata" Ah, tidak
mungkin! Tapi... apakah itu"
Sepertinya sebuah lubang gua. Mungkin mereka masuk ke dalamnya!" ujar Parmin
penuh harap. Tanpa pikir panjang lagi ia
segera merosot turun menghampiri mulut sebuah gua yang letaknya tersembunyi
dengan semak-semak yang tumbuh hampir menutupi mulut gua tersebut. Akar-akar
pohon menjuntai ke bawah menghalangi pintu gua itu. Parmin lantas menyibak
semak-semak yang sebagian berduri itu dengan perlahan-lahan. Matanya tetap
memantau tempat itu dengan cermat untuk menjaga kemungkinan adanya perangkap
rahasia yang mungkin sengaja dipasang di mulut gua tersebut. Merasa aman, Parmin
mulai memasuki mulut gua itu. Lubang gua itu ternyata kecil sekali, hanya dapat
dimasuki seorang saja dan ia terpaksa harus berjongkok untuk menelusurinya.
Dinding gua penuh ditumbuhi lumut basah sehingga
lorongnya menjadi licin.
Parmin melangkah dengan hati-hati sekali.
"Hm... biarlah aku terus masuk ke dalamnya! Mungkin di sinilah sarang Bergola
Ijo itu! Dua orang tadi
tentunya pembantu yang bertindak sebagai perantara untuk mengelabui penduduk
desa. Sungguh licin cara penipuan mereka! Tetapi atas dasar apa mereka melakukan
semua itu" Harus
kuselidiki!" gumam Parmin sambil bergerak maju terus menjajaki lorong gua itu.
Setibanya di dalam, gua itu
semakin lebar. Tanpa mengenal lelah Parmin terus merayap semakin jauh ke dalam.
Udara mulai terasa hangat.
Berarti di dalam gua ini terdapat sumber api.
"Betul! Seperti ada cahaya api dari dalam sana! Aku harus berhati-hati jangan
sampai tertangkap basah!"
desahnya sambil terus merayap. Dalam keremangan cahaya yang terpancar dari
sebuah tempat, di sekitar lantai gua itu terlihat pemandangan yang sangat
menyeramkan. Tengkorak kepala manusia banyak berserakan di atas batu-batu
runcing yang berlumut. Di langit-langit dan di dasar gua terdapat stalagnit dan
stalagtit yang menambah suasana seram dalam gua tersebut.
Parmin terus menelusuri liku-liku gua itu mendekati arah datangnya cahaya yang
memancar. Tak lama
kemudian terdengar suara seseorang yang bernada berat dan serak menggema ke
seluruh relung gua. Terlihat
seorang laki-laki bertubuh tinggi besar duduk bersila di atas sebuah batu pipih
yang berbentuk altar dengan angkuhnya sambil menatap kedua orang yang tadi
dikuntitnya, duduk
berhadapan dengan orang tersebut. Di
tengah-tengah mereka menyala kobaran api besar dari dalam sebuah kuali yang
terbuat dari kuningan berukir. Di sebelah orang yang bertubuh besar itu duduk
seorang pemuda dengan kumis tipis di atas bibirnya. Alisnya tebal dan mengenakan
ikat kepala kain putih.
Wajahnya cukup tampan. Sepertinya ia murid Bergola Ijo.
"Hm, itulah orang yang pernah coba-coba membunuhku di dalam masjid!"
gumam Parmin menggeser kaki kanannya yang mulai terasa kesemutan karena berdiri
dengan posisi kaki yang
setengah berlutut.
Rupanya Sang Bergola Ijo sedang
mendengarkan kerja kedua orang
Kisah Si Rase Terbang 18 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Tamu Dari Gurun Pasir 13
^