Pencarian

Menumpas Bergola Ijo 2

Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo Bagian 2


pembantunya. Ia tersenyum lebar. Giginya yang besar berderet tampak menyeringai seram.
"Bagus! Bagus! Rancana kita hampir berhasil! Pemerintah Kumpeni Belanda akan
memberikan penghargaan kepada kita! Ha ha ha ha!" suara tawanya menggaung
menggetarkan seluruh dinding gua itu. Parmin mengatur nafas menahan getaran
tenaga dalam yang merasuki telinganya yang terpancar melalui suara tawa itu.
Batu-batu kecil rontok dari atas dinding karena tidak kuat menahan getaran
tersebut. Tiba-tiba Bergola Ijo
menghentikan tawanya.
Seluruh tubuhnya seketika berubah menjadi hijau. Matanya merah saga menahan
amarah yang sedang bergejolak di dalam tubuhnya. Kumisnya bergerak-gerak
mengikuti gerak mulutnya yang menggeram dengan suara gigi yang menggerutuk
keras. Satu-persatu
pembantunya ditatap dengan sorot mata yang tajam. Mereka tak berani membalas
tatapan majikannya yang terkenal sangat ganas dan tak segan-segan membunuh bagi
siapa saja yang
membangkangnya. Kedua orang itu harus menundukkan kepalanya karena mereka ngeri
terhadap Sang Bergola Ijo.
"Orang-orang berotak cerdik dan kuat keagamaannya seperti Dalang Ambet harus
mampus terlebih dahulu! Sayang Kiyai Subekti Achmad belum berhasil kukirim ke
akhirat! Tetapi aku bersumpah suatu saat nantinya dia pasti menyusul Dalang itu!" dengus Bergola
Ijo. Tangan kanannya yang berbentuk senjata pengait diacung-acungkannya.
"Tahukah kalian, mengapa orang-orang seperti itu harus dilenyapkan dari muka bumi ini" Karena mereka merupakan otak dan panutan bagi
masyarakat di sekitarnya. Otak yang seperti itulah yang kelak menjadi pemimpin
dan memupuk serta mengobarkan semangat jiwa patriot rakyat agar bersatu untuk
memberontak terhadap
Pemerintah Kumpeni Belanda. Ini yang harus kita cegah mulai sekarang! Dan atas
perjuangan saudara-saudara.
Pemerintah Kumpeni Belanda akan
memberikan imbalan berupa harta
kekayaan dan pangkat jabatan untuk saudara-saudara!" sambung Bergola Ijo
membesarkan hati para pembantunya agar tetap bersemangat mengadakan
infiltrasi dan agitasinya. Maka
semangat merekapun kembali berkobar-kobar seperti kobaran api di dalam anglo
besar di hadapan mereka.
"Dan tahukah kalian! Bahwa daerah Gunung Sembung Dan Gunung Jati adalah daerah
yang akan menjadi pelopor pemberontakan di karesidenan Cirebon ini" Karena
Pemerintah Kumpeni Belanda tahu bahwa seluruh rakyat Gunung Sembung adalah
pemeluk agama Islam yang sangat kuat! Disinilah tempat berkumpulnya para alim
ulama sejak abad kelima belas dan jalan satu-satunya untuk melemahkan semangat
persatuan dan jiwa kepahlawanan itu ialah dengan jalan merontokkan iman mereka
dan mengikis kepercayaan mereka terhadap agama. Dan lihatlah, kita telah
berhasil! Mereka sebagian besar kini menyembah Bergola Ijo! Menyembah aku! Ha ha
ha ha ha ... mereka
sekarang menjadi kafir!" Bergola Ijo tertawa bangga. Suara tawanya yang
mengandung tenaga dalam yang besar
kembali menggetarkan seluruh isi gua itu. Terdengar bergemuruh seperti hendak
menggetarkan seluruh isi gua itu.
Sementara itu Parmin terus
mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama. Hatinya terbakar dan jiwa
kesatriannya bergejolak.
"Bangsat! Kini aku tahu betapa busuknya rencana mereka! Semuanya ternyata penipu
jahanam! Bergola Ijo pantas saja dapat bergerak dengan leluasa melebarkan
sayapnya karena di belakangnya berdiri Pemerintah Kumpeni Belanda! Orang seperti
dia memang pantas menjadi makanan golokku!" geram Parmin.
Beberapa saat kemudian rapat
rahasia itu dinyatakan bubar oleh Bergola Ijo. Tiba-tiba seorang pemuda yang
sejak tadi duduk berdiam diri saja di samping Bergola Ijo beringsut menghadap
gurunya duduk bersimpuh membuka suara.
Bergola Ijo dapat menangkap
gelagat perasaan muridnya.
"Apa yang hendak kau katakan, Barna?" tanyanya sambil menggeser tangan kirinya
menumpu di atas pahanya.
"Pak Guru! Kiranya sudah tepat waktu bagiku untuk melampiaskan dendam kepada
Anwar murid Kiyai Subekti itu, Pak Guru!" pinta Barna berharap.
Bergola Ijo mengernyitkan
dahinya sejenak untuk berpikir.
Ia melihat sinar mata muridnya
mengharapkan izin darinya.
"Hm...baiklah, kuijinkan!
Kepandaianmu sudah cukup untuk
menandingi orang yang menjadi
sainganmu dalam memperebutkan cinta.
Tapi ingat, jangan kau ceritakan kepada orang-orang, siapa gurumu, mengerti" Aku
datang jauh-jauh dari seberang lautan bukan cuma untuk membela kepentingan
pribadimu! Aku bersedia mengajarkan sedikit
kepandaianku hanya karena kau bersedia menjadi mata-mataku, mengerti kau,
Barna?" "Segala perintah Guru akan
kujunjung tinggi, asalkan aku bisa mendapatkan anak gadis Kiyai Subekti itu!"
sahutnya dengan mata yang berbinar-binar sambil membungkukkan tubuhnya memberi
hormat kepada orang yang bertubuh besar dihadapannya.
Hatinya lega karena kini dapat restu dari gurunya. Ternyata antara Barna dan
Anwar terlihat masalah pribadi.
Mereka berdua mencintai Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan
Barna mengaku kalah dalam mendapatkan cinta Ratna yang lebih menyukai Anwar yang
pendiam dan taat beribadah sesuai ajaran agama dibandingkan dengan dirinya yang
bersifat berandalan dan
selalu mengganggu anak gadis orang.
Timbul rasa dendam yang membara dalam dirinya terhadap Anwar sehingga ia rela
menjadi budak Sang Bergola Ijo.
Sekarang saat balas dendam itu telah tiba!
Tiba-tiba Bergola Ijo menggeram
keras memecah kesunyian dalam gua itu.
Para pembantunya pun terperanjat.
Keringat dingin mengucur membasahi kening mereka. Dalam hati mereka berdua
menduga-duga tentu ada sesuatu yang membuat majikannya menggeram seperti itu.
Pasti menyangkut masalah penting.
"Aku mau bertanya! Apakah kalian tahu siapa pemuda yang menginap di masjid
akhir-akhir ini" Apakah dia termasuk dalam kelompok musuh kita"
Jawab! Kalian harus tahu bahwa dia bukan orang sembarangan, mengerti"!"
bentak Bergola Ijo pada kedua
pembantunya. Sementara itu Parmin sendiri
terkesiap ketika dirinya disebut.
"Pak Guru, aku mengenal semua orang yang tinggal di Gunung Sembung dan Gunung
Jati ini. Kurasa ia hanya seorang musafir yang kebetulan singgah untuk berziarah
ke makam Sunan Gunung Jati atau makam pemuka agama lainnya, guru! Sepertinya dia
tidak mempunyai hubungan terhadap persoalan kita!"
sahut Barna penuh keyakinan diri.
Bergola Ijo percaya dengan
keterangan yang diberikan oleh
muridnya. Luapan amarahnya berangsur-angsur mereda. Demikian juga dengan Parmin,
ia merasa lega karena dirinya tidak dicurigai oleh Bergola Ijo dan para
pengikutnya. "Syukurlah jika demikian. Itu berarti dia tidak akan merepotkan kita!"
"Ya, gusti! Dan menurut perkiraan kami besok atau lusa dia sudah berlalu dari
sini!" ujar Warto dengan wajah berseri-seri. Hatinya lega, karena ia kuatir bila
Bergola Ijo murka terhadap mereka apabila hasil kerjanya tidak berhasil.
Majikannya tak segan-segan membunuh orangnya sendiri bila
mengecewakan. Untuk sementara Parmin segera
meninggalkan gua itu karena ia tidak ingin tertangkap basah pada saat ia sedang
mengintai. Parmin kembali ke masjid untuk melepaskan lelah. Sampai di sana ia
langsung menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar yang berdiri kokoh tepat di
tengah-tengah ruangan masjid dengan santai. Sebagian tubuhnya terbungkus kain
sarung karena udara malam mulai terasa menusuk sendi-sendi tulangnya. Pikirannya
masih dipenuhi oleh peristiwa yang baru saja dialaminya.
"Rencana Bergola Ijo itu
bertentangan dengan tekad bangsaku!
Maka merupakan tugasku untuk
merintanginya. Tunggulah saat
kehancuranmu!"
ancam Parmin dalam
hati. Satu tugas lagi harus
diselesaikannya. Dan tak terasa
tubuhnya melorot dari sandarannya karena tak kuat menahan rasa kantuk yang
menyerang dirinya. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus Parmin yang
sudah tertidur pulas.
*** Malam pun telah berganti pagi.
Sang surya memancarkan sinarnya yang keperakan menerangi segenap alam raya.
Kokok ayam terdengar riuh
rendah menyambut datangnya pagi. Burung-burung berkicauan memperebutkan
makanan di atas sebuah pohon. Dari jauh bukit Gunung Jati dan Gunung Sembung
terlihat berjajar sangat indah dengan gumpalan awan putih yang
bergulung-gulung menyelimutinya. Daun-daun padi bergerak melambai-lambai bagai
tangan seorang penari mengikuti arah tiupan angin. Gemerisik suara air pancuran
bambu yang jatuh memercik di atas batu menambah suasana pagi yang indah itu.
Perlahan-lahan sang surya bergerak meninggi.
Dari kejauhan terlihat seorang
dara berjalan lemah gemulai dengan ayunan pinggulnya yang ramping sambil
memegang sebuah bakul yang berisi makanan. Tubuhnya yang sintal
berlapiskan kain kebaya bercorak kembang-kembang, berlenggak-lenggok dengan
riangnya menelusuri pematang sawah. Jejak kakinya tak membekas pada pematang
sawah yang baru saja selesai dibuat orang karena ia tak lain dan tak bukan
adalah Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad.
Ratna berjalan menghampiri
seorang pemuda yang bertubuh tegap sedang mengayunkan cangkulnya di tengah
sawah. Tubuhnya yang kekar berman-dikan keringat terlihat legam berkilat ditimpa
sinar sang surya yang menye-ngat. Otot-otot tubuhnya
menonjol gempal ketika ia menancapkan cangkulnya ke lumpur sawah dengan sepenuh
tenaga. Pemuda tegap itu adalah Anwar kekasih Ratna.
Dan Ratna berjalan tenang sambil melantunkan sebuah nyanyian. Suaranya yang
merdu menawan berkumandang
dibawah desiran angin yang bertiup sepoi-sepoi di hamparan sawah.
"Burung elang terbang melayang, datang menyambar ayam gundul...
tahukah kanda, adinda datang harap dikau meletakkan cangkul."
Anwar yang sedang mencangkul itu tiba-tiba berhenti karena merasakan sesuatu
yang merdu merasuk ke dalam telinganya. Ia berdiri tegak menoleh sambil
menarik senyum dan ayunan
cangkulnya berhenti di awang-awang.
Anwar lalu membalas nyanyian itu penuh ceria.
"Ayam putih dipatuk elang, elang mati terkena taji... kekasih hati sudahlah
datang, kebetulan kakanda letih dan sunyi."
Kemudian ia meloncat ke pematang sawah dengan sigap. Ia segera mencuci tangan
dan kakinya dengan air yang mengalir masuk ke dalam areal
sawahnya. Lalu Anwar meraih cangkulnya yang tergeletak di tepi pematang dan
tersenyum ceria menyambut kedantangan gadis si jantung hatinya.
"Ah, Ratna! Bisa saja kau membuat aku bertambah cinta kepadamu dan teruslah kau
bernyanyi, sayang! Aku akan bertambah semangat mengayunkan cangkul bila kau sudi
menemaniku di sini! Kebetulan aku sudah merasa lapar!" ujar Anwar
menatap Ratna dalam-dalam yang telah berdiri di hadapannya dengan senyum termanis.
Hari ini ia begitu cantik menawan mengenakan kain kebaya dengan rambut yang
dibentuk membentuk sanggul.
Hatinya bangga mempunyai gadis yang penuh perhatian kepadanya. Lalu Anwar
menggandeng tangan Ratna dengan mesra berjalan ke sebuah pohon yang rindang
untuk berteduh dan membuka isi bakul yang dibawa kekasihnya. Genggaman tangan
keduanya erat sekali. Mereka duduk santai di atas rumput hijau yang terhampar di
bawah pohon itu untuk menyantap makanan.
Sementara Ratna memijit mesra
punggung tegap Anwar penuh kasih sayang. Sekali-sekali dicubitnya manja membuat
Anwar menggelinjang kesakitan.
"Aku tak ingin kau terlalu keras membanting tulang, Anwar!
Kekayaan mudah dicari, tetapi aku kuatir kalau-kalau kau jatuh sakit karena terlampau
giat bekerja!" kata Ratna manja sambil membelai
bahu kekasihnya dengan
lembut. "Ah, itu tak jadi soal! Pokoknya asal ada kau yang setiap saat
memijitku seperti ini!" sahutnya sambil mengaduk-aduk air teh dalam gelas
keramik dengan sendok.
"Dasar kolokan, ih!" seru Ratna mencubit pinggang Anwar dengan gemas sehingga
Anwar menggelinjang kegelian.
Hampir-hampir menumpahkan isi gelas yang dipegangnya. Ia membalas mencubit pipi
mulus milik kekasihnya dengan gemas pula. Ratna cemberut senang diperlakukan
seperti itu. Dalam
hatinya ia bahagia mempunyai kekasih seperti Anwar yang suka bercanda.
Ratna lalu membelakangi Anwar sambil menekuk wajahnya.
"Aduh... jangan cemberut seperti itu, sayang." goda Anwar menatap wajah Ratna
dalam-dalam. Ratna pura-pura bersungut-sungut. Tapi tak lama
kemudian mereka tertawa ceria
berbarengan. Lalu
Ratna duduk bersebelahan dengan Anwar bergelayut manja di bahunya. Sepertinya mereka tidak
mau dipisahkan oleh siapapun.
Dunia ini seolah-olah milik mereka berdua. Terasa hangat menjalar di bahu Anwar
sesuatu yang menempel hangat dan lunak pada lengan kirinya. Sesuatu yang tumbuh
sebagimana umumnya gadis yang sedang mekar. Seketika itu juga rasa lelah yang
menghantui tubuhnya lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ratna, semoga Allah memberkahi kita. Aku berjanji pada diriku sendiri bila
panen nanti hasilnya memuaskan, aku akan datang melamar kepada ayahmu!
Kita segera menikah, sayang!" bisik Anwar sambil mencium lembut kening Ratna.
"Oh, benarkah itu, Anwar!" tanya Ratna sengit. Anwar menganggukkan kepalanya.
Sinar matanya terasa lembut merasuk dalam hati Ratna. "Aku sangat bahagia
mendengarnya!"desah Ratna semakin bergelayut erat di bahu Anwar yang membelai-
belai kedua pipinya.
Kemudian mereka mulai menyantap
makanan yang terdapat dalam bakul di hadapan mereka. Ratna sengaja memasak sayur
asem kegemaran Anwar kekasihnya.
Lauk ikan asin dan sambal terasi menyemarakkan hidangan mereka hari ini. Begitu
nikmatnya mereka melaliap makanan sambil bercanda ria, sampai-sampai mereka tak
memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang
menggelegar membuyarkan suasana itu.
"Ya! Kau akan segera menikah di akhirat sana, Anwar!"
Anwar cepat menoleh mencari
datangnya suara tak ramah itu.
Terlihat dibelakang mereka berdua, tiga orang berdiri tegak berkacak pinggang
menatap nanar kepadanya. Tiga orang itu adalah Barna, Warto dan seorang laki-
laki berkepala botak


Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sepasang telinganya yang lebar.
Di pergelangan tangannya terdapat gelang akar bahar. Demikian juga dengan
pergelangan kakinya.
Anwar terperanjat sekali sehingga nasi yang berada di dalam mulutnya menyembur
ke luar. Hatinya terbakar mendengar hinaan yang dilontarkan Barna.
"Ayo kita kepung! Cari tempat masing-masing kawan! Tapi awas jangan sampai
melukai gadis itu!" teriak Barna keras sambil mencabut golok panjang yang
terselip di pinggangnya.
Sementara kawan-kawannya segera
mengambil posisi mengurung lawannya dengan ketat.
Anwar segera meraih cangkul yang ia letakkan di dekat akar pohon-pohon itu yang
menyembul ke luar dengan cepat. Sedangkan Ratna berdiri siap siaga. Matanya
menatap Barna dengan penuh kebencian.
"Barna! Kau memang benar-benar manusia licik!
Di mana letak kejantananmu sebagai laki-laki" Dasar anak dukun kafir!" maki Ratna dengan
sengit. "Diam!! Siapa suruh kau memilih calon suami kuli cangkul, hah! Harta bapakku
cukup untuk dimakan sampai tujuh turunan!"
sahut Barna menyombongkan diri. Matanya tak lepas menatap Ratna.
"Kau mengukur nilai seseorang begitu rendahnya! Tahukah kau, derajad manusia
hanya dapat diukur dengan budi baiknya bukan dengan harta benda!"
sambung Ratna lebih nyaring.
Mendapat jawaban yang terasa
menusuk hatinya, seketika darah muda Barna mendidih naik ke ubun-ubunnya.
Matanya merah saga. Nafasnya
bergemuruh. Ia sakit hati dihina di depan banyak orang, terutama di
hadapan Anwar saingannya.
"Persetan! Tidak ada lagi waktu buat main rayu-rayuan! Dan jangan kau
mengajariku! Minggir kau!" bentak Barna
menggelegar sambil mengibas-
ngibaskan golok panjangnya yang
teracung di atas kepalanya. Dengan satu teriakan yang melengking ia langsung
menerjang Anwar dengan
sepenuh tenaga. Anwar sudah siap mengayunkan cangkulnya menghadapi serangan
mereka. "Ciaaat...!" Anwar melejit ke atas menghindari sabetan senjata Barna yang
rnenderu-deru seperti angin beliung mengarah perutnya dengan cepat. Melihat
pemimpinnya mulai melakukan serangan, Warto dan si botak itu bersiap siaga
sambil menghunuskan senjatanya masing-masing. Warto
berdiri agak membungkuk sambil
memutar-mutarkan sepasang trisulanya dengan cepat dan si botak mengayunkan
senjatanya yang berbentuk seperti buah duren dengan tali rantai besi yang
panjang menimbulkan suara desingan yang menyakitkan telinga.
Pada saat Anwar akan menjejakkan kakinya di tanah, kembali sabetan golok
panjang Barna meluncur ke
arahnya, maka terpaksa ia harus
bersalto di udara dan langsung
melayang menerjang lawannya tepat berada di depannya yang sedang
menunggu. Tubuhnya dengan cepat
meliuk-liuk dan membabatkan cangkulnya menghantam si botak yang tidak sempat
mengelak dengan sekuat tenaga.
Terdengar jeritan melengking membelah langit disusul dengan ambruknya tubuh
pendek gemuk dengan punggung yang hampir terbelah dua menimbulkan suara yang
keras bagai gunung runtuh. Si botak berkelejatan seperti seekor ayam yang
dipotong kemudian meregang
sejenak dan diam untauk selama-
lamanya. Darah segar berlumuran
membasahi rumput di sekitarnya.
Barna menjadi kalap bukan main
melihat temannya tewas secara
niengerikan terkena babatan cangkul Anwar. Tanpa bicara lagi ia lantas merangsak
Anwar dengan cepat sekali.
Golok panjangnya berkelebat ke sana ke mari membentak sebuah gulungan seperti
ombak yang datang menghantam karang di tepi pantai. Sinar kuning memantul akibat
kelebatan senjatanya yang begitu cepat. Anwar
meliuk-liukkan tubuhnya di udara sambil berusaha mencari kelemahan lawannya. Pertahanan Barna
cukup ketat sehingga ayunan cangkulnya tidak dapat menembusnya.
Anwar hanya dapat menghindar tanpa dapat membalas serangan lawannya yang
bertubi-tubi. Dengan satu ayunan yang kuat, tiba-tiba cangkulnya beradu keras
golok panjang Barna ketika keduanya meloncat secara bersamaan sehingga
menimbulkan percikan api di udara. Anwar merasakan tangan kanannya
kesemutan. Tenaga dalamnya kalah setingkat dibandingkan Barna.
Mereka berdua bertarung sudah
menghabiskan sekitar tiga puluh jurus silat,
tetapi keadaannya masih
seimbang. Masing-masing saling
mendesak dengan mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang mereka dapat dari
gurunya. Tapi itu tak berselang lama.
Terlihat pertarungan itu mulai
pincang. Anwar mulai kewalahan
menghadapi serangan Barna yang semakin bertubi-tubi.
Sementara itu melihat kekasihnya terdesak, Ratna segera melompat untuk turut
membantu. Tapi tiba-tiba ia hadang Warto yang menyeringai sinis sambil
menyilangkan kedua trisula di dadanya. Giginya yang kehitam-hitaman terlihat
menjijikan saat ia tertawa.
"Ha ha ha ha ha! Kau benar-benar bandel, Ratna! Jangan turut campur urusan laki-
laki. Aku takut
melukaimu!"
Ratna tak tahan lagi membendung
amarahnya. Lalu dengan sigap ia
meloncat menyerang Warto yang segera menggeser tubuhnya sedikit maka
serangan Ratna hanya melukai tempat kosong dengan sia-sia. Gerakannya yang
kurang terarah dan kurang lincah itu disebabkan karena ia mengenakan kain kebaya
sebagaimana layaknya seorang wanita dalam keadaan sehari-hari.
Ratna hanya mengandalkan jurus tengan kosongnya saja tanpa dapat melancarkan
tendangan. Warto cuma mengelak ke kanan dan ke kiri menghindari pukulan lawannya tanpa
membalas serangan, karena ia memang ditugaskan agar tidak melukai
Ratna.Sementara itu di luar dugaan, Barna melesat cepat melintas di atas kepala
Anwar sambil membabatkan golok panjangnya hingga memutuskan gagang cangkul yang
dipegangnya mencoba melindungi batang lehernya sendiri dengan cangkul itu.
Seketika mata cangkul itu terpelanting jauh dari Anwar. Ia lalu melempar
potongan gagang cangkul itu secara mendadak menghunjam ke arah Barna yang sudah
berdiri siap menyabet
punggungnya. Dengan satu gerakan yang manis Barna menyabetkan senjatanya untuk menangkis
potongan gagang cangkul itu sehingga menjadi potongan-potongan pendek dan
berpelantingan jatuh di atas tanah.
Anwar terpana melihat kehebatan
permainan golok panjang milik Barna.
Ia benar-benar terpaku. Melihat semua Barna itu barna segera mengambil
kesempatan emas itu dengan satu
gerakan cepat langsung meloncat
menyerang Anwar secara mendadak.
"Nah, kini terimalah ajalmu, monyet sawah! Akhirnya kau akan tahu siapa aku !
Hiyaaat..!" teriakannya
menggelegar merobek-robek udara. Golok panjang di tangan kanannya mengacung
tinggi siap menebas kepala Anwar yang masih diam terpaku. Ia tak sempat lagi
mengelak. Kedua kakinya seakan-akan tak dapat digerakkan untuk menghindar.
"Allahu Akbar!" ucapannya pasrah.
Di saat yang sama, Warto berhasil mendesak Ratna yang kelihatan
tenaganya mulai mengendor. Ratna terdesak mundur ke belakang menuju sebuah pohon
menghindari babatan sepasang trisula Warto yang bergerak sangat cepat. Dengan
satu lontaran yang kuat, Warto meLempar trisulanya yang berada di tangan
kanannya meluncur ke arah Ratna dan menancap pada kain kebayanya sehingga terpantek di
batang pohon yang berada di
belakangnya. "Oh!" Ratna tak dapat bergerak.
Tubuhnya terpaku ketat pada batang pohon itu dan Warto tertawa
cengengesan melihatnya.
"Agaknya dengan cara ini aku bisa membuatmu diam. Tak usah kuatir Den Ayu, cuma
baju kebayamu saja yang cacat!" ujar Warto setengah merayu sambil berkacak
pinggang memperhatikan Ratna yang berusaha meronta-ronta melepaskan diri.
Ternyata trisula itu menancap cukup dalam karena
diluncurkan dengan tenaga dalam yang
sangat kuat sehingga sulit bagi Ratna untuk membebaskan dirinya.
Pada detik yang sama Barna sedang melayang di udara lalu menukik siap menyambar
Anwar seperti seekor burung elang yang sedang mengincar mangsanya.
Dan pada detik-detik kritis itu, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat menyambar
tangan Barna yang sedang mengayunkan senjatanya mengarah tempat di kepala Anwar.
"Auu....!" teriak Barna kesakitan. Golok panjangnya terpental jauh melejit ke
udara lalu jatuh menancap di atas tanah. Sedangkan tubuhnya sendiri terjungkal
beberapa meter ke belakang. Kemudian disusul dengan munculnya sesosok tubuh yang
tak diketahui dari mana datangnya.
Dengan sangat ringan, orang tersebut menapak di atas tanah langsung
membentuk posisi siap-siaga menghadapi Barna yang terlentang sambil memegangi
tangan kanannya yang biru bengkak akibat pukulan orang itu. Barna
menatap nanar pada orang yang berdiri dihadapannya. Seluruh wajahnya merah padam
menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur jadi satu.
"Setan! Siapakah kau" Mengapa
mencampuri urusan orang lain" Jawab!"
hardik Barna sambil berusaha bangun dan pasang kuda-kuda.
Sementara Anwar berdiri heran
menyaksikan semua itu.
Ia segera tahu bahwa orang yang
menolong dirinya tak lain adalah seorang pemuda yang turut shalat berjamaah di
masjid Gunung Sembung. Ia tak menyangka sama sekali bahwa pemuda pendatang ini
ternyata adalah seorang jago silat yang luar biasa. Apa yang dikatakan gurunya
Kiyai Subekti memang benar.
Dan Parmin tersenyum menatap
benar. "Aku adalah seorang musafir pembela yang benar dan menumpas yang jahat!" sahut
Parmin tenang. Tapi matanya dapat menangkap
sebuah serangan seseorang yang berada di belakangnya dengan sebuah senjata
trisula yang terhunus siap menghunjam punggungnya. Tubuh Warto melayang
mengancam punggung Parmin. Dengan satu gerakan yang memukau, Parmin
membalikkan tubuhnya setengah jongkok lalu menjambret tubuh Warto dengan kuat.
"Ciaat!" kedua tangannya memang-gul tubuh Warto yang berusaha meronta-ronta
melepaskan diri. Sedangkan senjatanya hilang entah ke mana.
"Lihat, kawanmu ini bisanya cuma membokong lawan dari belakang dan tukang racun
seperti pantasnya menjadi umpan buaya-buaya di sungai Pekik ini!
Nah, pergilah ke sana!" teriak Parmin sambil melemparkan tubuh Warto ke dalam
air sungai Pekik yang banyak dihuni buaya-buaya.
"Aaaa...!" teriak Warto menggema ke seluruh hamparan sawah. Tubuhnya melayang
deras ke tengah-tengah sungai dengan posisi kepala berada di bawah.
"Tolooooong!" Warto melengking menyayat hati. Air sungai yang semula tenang,
tiba-tiba menggelegak
memercikkan airnya ke udara. Air sungai itu seketika berubah menjadi merah oleh
darahnya sendiri. Tubuh Warto menggelepar-gelepar
di bawah taring seekor buaya yang sedang
kelaparan dan melahapnya dengan buas.
Tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan. Tubuhnya timbul tenggelam
dipermainkan amukan buaya-buaya itu.
Lalu tubuhnya hilang ke dalam air sungai Pekik meninggalkan gelembung-gelembung
buih di atasnya. Satu orang kaki tangan Bergola Ijo kini telah tewas menyusul
temannya yang lainnya.
Ratna menutup wajahnya tak tahan menyaksikan peristiwa yang sangat mengerikan
itu. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Anwar melihat itu langsung
menghampirinya dan mencabut trisula yang memakai baju kebaya kekasihnya. Ratna
lantas menjatuhkan kepalanya di dada bidang Anwar
menumpahkan rasa takut yang menjalar
dalam dirinya. Mereka saling
berpelukan dengan erat.
Barna menyaksikan temannya tewas secara mengerikan, seketika darahnya mendidih
deras. Ia menjadi kalap bukan main dan langsung menerjang Parmin secara membabi
buta. Dengan mengandalkan pukulan tangan kosongnya Barna mencoba merangsak Parmin
sekenanya, sehingga murid Ki Sapu Angin ini hanya dengan menggeser-geser
tubuhnya mengelak dari serangan itu.
Hawa nafsu membunuh yang menggebu-gebu telah menutup hati Barna sehingga setiap
pukulan yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong.
Pada satu kesempatan, tiba-tiba
Barna menjatuhkan dirinya untuk meraih golok panjangnya yang tertancap di tanah
tepat berada beberapa langkah didepannya.
Tetapi usaha itu kalah cepat
karena Parmin sudah terlebih dahulu mengetahui siasat buruk itu. Maka dengan
satu gerakan cepat tubuhnya meloncat dan menginjak tangan kanan Barna yang
hendak menggapai
senjatanya. "Aaaaaow!" teriak Barna kesakitan. Tangan kanannya berderak remuk. Ia
menggeliat-geliat di tanah menahan sakit yang luar biasa sambil mengurut
tangannya. Sakit dan malu ia
dipecundangi seperti itu, apalagi oleh orang yang tak dikenalnya sama sekali.
Parmin menyaksikan Barna sambil
tetap berdiri siap siaga.
"Dosamu tidak terlalu besar untuk kutangani! Kau hanya diperbudak oleh rasa
dendam cinta!" kata Parmin mengingatkan. Sebenarnya ia merasa kasihan melihat
pemuda segagah Barna berbuat pengecut dalam persoalan cinta. Mungkin karena jiwa
pemuda itu masih terlalu mentah dan kebetulan pula mendapat seorang guru seperti
Bergola Ijo. Parmin tak perlu
menyingkirkan Barna karena pemuda saingan Anwar ini tak terlibat dalam
permasalahan yang dilakukan Bergola Ijo akhir-akhir ini.
"Pulanglah! Sampaikan kepada gurumu bahwa aku menunggunya di tepi sungai Pekik
ini nanti malam! Jika dia benar-benar seorang jagoan, tentu akan datang
menyambut tantanganku!"
perintah Parmin.
Barna diam saja dan dengan
perlahan-lahan ia beringsut sambil tetap memegangi tangan kanannya yang sudah
lumpuh itu. Matanya menatap Parmin sejenak seakan-akan ingin menyatakan rasa
terimakasih kepada Parmin yang membiarkan dirinya tetap hidup. Ia juga menoleh
kepada Anwar yang berdiri di samping Ratna seperti ingin mengucapkan perasaan
bersalah dan minta maaf. Namun kedua bibirnya terkatup rapat.
Tetapi mereka mengerti.
Kemudian Barna berjalan terseok-
seok sambil menundukkan kepalanya.
Wajahnya merah padam menahan malu dipecundangi oleh seorang musafir apalagi di
hadapan Ratna, gadis yang dicintainya selama ini.
Parmin memandangi punggung Barna sampai menghilang dari pandangannya.
Ia bersyukur dalam hati dapat membuat Barna menyadari kekeliruannya. Lalu ia
segera mendekati Anwar dan Ratna yang sedang bergandengan tangan dengan mesra.


Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang merpati itu mengangguk hormat kepada pemuda pendatang yang telah
menolong mereka.
Parmin mengembangkan senyumnya
menyapa mereka.
"Assalamualaikum! Anda berdua baik-baik saja, bukan?"
"Waalaiukum salam! Kami
mengucapkan banyak terima kasih atas keringanan tangan anda untuk menolong jiwa
kami! Dan kami sangat mengagumi anda!" ucap Anwar dengan bahasa pujian.
"Ah, itu adalah kewajiban kita menolong sesama manusia! Secara
kebetulan tadi aku lewat ke sini dan melihat anda berdua dalam keadaan terdesak
oleh berandal-berandal itu!"
sahut Parmin merendah.
"Kami merasa senang jika anda sudi kiranya mampir ke pondok kami nanti!" sambung
Anwar dengan penuh harap.
"Insya Allah! Dan terima kasih atas undangan anda kepada musafir yang hina
seperti aku. Dan sudilah anda sampaikan salamku kepada Kiyai Subekti Achmad. Aku
sangat mengagumi
perjuangan beliau! Sampai jumpa lagi!"
kata Parmin melesat hilang di balik semak-semak.
Dua sejoli itu saling
berpandangan heran. Di dalam benak mereka penuh dengan berbagai macam
pertanyaan. Pemuda pengembara yang selama ini tak menarik perhatiannya selama
satu dua kali shalat berjamaah di masjid Gunung Sembung justru
sekarang sudi mengulurkan tangannya dan berhasil menyelamatkan mereka berdua.
Siapa dia sebenarnya" Dengan ilmu setinggi itu siapakah gurunya" Untuk tujuan
apakah dia mengembara sampai ke Gunung Sembung ini" Rasanya mustahil kalau dia
cuma hendak berziarah ke makam Sunan Gunung Jati!
Mereka berdua diam sejenak.
"Eh, dia menantang guru si Barna!
Mungkin dia sengaja datang dari jauh untuk menyelesaikan urusannya!" kata Ratna
memecah suasana hening itu.
"Hm...boleh jadi! Tetapi siapakah guru silat si Barna itu?" tanya Anwar sambil
melemparkan pandangannya ke arah hamparan sawah-sawah di depannya.
"Mungkin si Barna berguru di desa lain!
Kalau dari permainan ilmu
silatnya tadi, tentu gurunya sendiri bukan orang sembarangan!
Setidak- tidaknya ia setingkat dengan ayahmu, Ratna!" ujar Anwar membuyarkan lamunan
Ratna yang diam terpaku. Agaknya ada sesuatu hal yang membuat kekasihnya
melamun. Entah apa, Anwar sendiri tidak tahu. Ia lalu menatap mata kekasihnya
penuh selidik. "Eh...iya!
Tak kusangka dia
menaruh dendam kepadamu, Anwar!" sahut Ratna berusaha menyembunyikan
perasaannya itu. Perasaan seorang gadis yang tentunya bangga kalau dirinya
sampai diperebutkan oleh pemuda-pemuda yang gagah.
Kemudian Anwar menggandeng tangan kekasihnya dengan mesra kembali ke tempat
mereka tadi berteduh untuk meneruskan santapan siang. Tak terasa matahari sudah
berada tepat di atas kepala mereka di tengah-tengah
lengkungan langit. Sinarnya memancar sangat terik membuat tenggorokkan menjadi
kering. Ratna membenahi sisa makanan ke dalam bakulnya untuk segera pulang. Ia
ingin menceritakan seluruh kejadian tadi kepada ayahnya.
Sedangkan Anwar kembali menceburkan diri ke tengah sawah melanjutkan
pekerjaannya mencangkul sawah dengan penuh semangat sambil bersiul-siul kecil.
Sementara itu Parmin telah
kembali ke masjid Gunung Sembung untuk beristirahat dan melaksanakan shalat
zuhur. Sepanjang perjalanan, hatinya tergugah memikirkan kecantikan Ratna yang
hampir mirip dengan raut wajah Roijah kekasihnya. Dari mulai
rambutnya yang panjang hitam legam sampai bibirnya yang tipis merekah.
Hanya ada perbedaannya tentu. Roijah adalah seorang gadis yang penuh
kelembutan, sedangkan Ratna agak bersifat kelaki-lakian.
Ingatannya kembali melayang pada peristiwa-peristiwa lalu ketika saat pertama
kali ia berjumpa dengan Roijah kekasihnya alias Si Bajing Ireng. Pada waktu itu
ia menolong Roijah yang sedang terancam jiwanya di tangan pendekar botak yang
berjulukan Dewa Suci Penyebar Bala. Pertemuan yang singkat itu ternyata membuat
hatinya terpateri kepada anak gadis kepala desa Kandang Haur itu dan membuat
dirinya tidak dapat mencintai gadis lain.
Parmin tersenyum-senyum
sendi- rian. Karena terbuai oleh lamunan
indahnya, tak terasa dirinya telah sampai di depan pintu gerbang masjid Gunung
Sembung. Parmin tersentak kaget lalu segera bergegas menuju ke serambi masjid
untuk mengambil air wudhu.
Wajahnya terasa segar terkena siraman air yang memancur dari guci keramik itu.
Pikirannya kembali menjadi
jernih. Di dalam shalatnya ia berdoa
mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah untuk memusnahkan Sang Angkara Murka
yang telah menyebarkan ajaran-ajaran kafir dan telah menimbulkan serangkaian
pembunuhan di kawasan Gunung Sembung dan Gunung Jati. Dan seusai melalukan
shalat zuhur, Parmin merebahkan dirinya beristirahat untuk memulihkan tenaganya
dalam menghadapi pertarungan nanti malam.
*** Hari mulai malam. Bulan purnama
memancarkan sinarnya yang keemasan menerangi seluruh jagat raya. Sinarnya
memantul ke permukaan air sungai Pekik yang begitu tenang tak beriak, namun di
balik ketenangan itu tersimpan sesuatu misteri. Desiran angin
berhembus pelan membuat suasana malam itu semakin indah. Suara serangga-serangga
malam berkumandang dengan
riuhnya berbaur dengan suara nyanyian kodok-kodok sawah yang bersahut-sahutan.
Gemerisik batang-batang padi yang saling bergesekan di tiup angin yang kadang-
kadang berhembus dengan kencang terdengar seperti iringan gamelan di malam hari.
Tiba-tiba suara riuh serangan-
serangan malam terhenti karena
permukaan air sungai Pekik yang
tadinya tenang menghanyutkan seketika beriak-riak. Terlihat menyembul
berpuluh-puluh ekor buaya cukup besar, berjajar seperti potongan balok-balok
kayu yang mengapung-apung di permukaan air. Hanya sepasang matanya saja yang
memancarkan cahaya berwarna kuning terlihat jelas sehingga dari jauh seolah-olah
berpuluh-puluh kunang-kunang sedang beterbangan di permukaan air sungai Pekik.
Pemandangan malam itu sesuai dengan satu bait syair lagu yang menyatakan "Terang
bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati."
Buaya-buaya itu benar-benar sedang menikmati keindahan sinar bulan
purnama yang memberikan rangsangan bagi mereka untuk melakukan perkawinan
sehingga mereka berperilaku sangat ganas. Dan malam itu merupakan malam yang
sangat indah bagi buaya-buaya penghuni sungai Pekik.
Sementara dari kejauhan terlihat sesosok tubuh berdiri tegak di tepian
sungai Pekik memandang lepas ke permukaan air yang mengalir beriak-riak dihempas
gerakan seekor buaya-buaya yang ada di dalamnya. Sebuah pohon yang besar dan
rindang dengan batangnya menjorok ke tengah-tengah sungai itu melindungi dirinya dari pancaran
bulan purnama. Ia adalah Parmin, seorang musafir pembela
kebenaran dan keadilan.
"Aku telah menunggunya di sini sejak tadi! Tetapi belum juga tampak batang
hidung manusia kafir itu! Kalau begitu ia memang benar-benar seorang pengecut
yang hanya berani membunuh orang-orang dari belakang!" umpat Parmin dalam hati.
Tetapi matanya tetap memantau seluruh penjuru di sekitar sungai Pekik itu.
Tak berapa lama kemudian, di
sebe-ang sungai tempatnya berdiri terlihat kelebatan sebuah bayangan hijau dan
langsung berpijak di atas tanah dengan mantap seperti sebuah meteor yang jatuh
ke bumi. Biasan sinar hijau itu masih dapat terlihat walaupun sumber cahayanya
sudah sampai di tanah menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu
sudah sempurna.
"Nah, itulah dia! Dan kuharap ini adalah malam yang terakhir aku
menginap di desa Gunung Sembung!"
gumam Parmin menatap lurus-lurus ke
seberang sungai Pekik di mana Sang Bergola Ijo berdiri tegak sambil berkacak
pinggang. Tubuh orang itu terlihat dari jauh menyala-nyala seperti sebongkah
bara api berwarna hijau.
Mereka berdua saling bertatapan
tak bergerak sedikitpun. Keduanya masing-masing memusatkan pikiran dan
tenaganya. Tercipta suasana yang hening tapi menegangkan. Masing-masing belum
mau membuka serangan.
Tiba-tiba terdengar suara berat
parau menggelegar merobek-robek
kesunyian malam itu.
"Ha ha ha ha ha! Janganlah kau merasa bangga dapat mengalahkan
muridku Barna yang tolol itu, hai monyet kecil! Aku telah bertualang ke seluruh
benua Asia belum pernah
kutemui manusia bermulut besar seperti kau!"
teriak Bergola Ijo dengan
lantang. Suaranya menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Seketika juga
suara nyanyian kodok-kodok di sawah terhenti. Daun-daun kering berguguran dari
cabangnya tak sanggup menahan getaran yang ditimbulkan oleh suara itu.
Betapa dasyat tenaga dalam yang
dimiliki Bergola Ijo. Gaungnya terasa menusuk-nusuk telinga Parmin. Tapi ia
segera mengatur nafasnya dengan cepat meredam kekuatan gaung itu. Matanya
terpejam dengan kedua telapak tangannya merapat keras di depan dada.
Kepalanya agak tertunduk. Tak lama kemudian Parmin kembali berdiri tegak dan
membuka matanya perlahan-lahan.
"Sejak lahir ke dunia akupun baru menemui seorang jin yang doyan makan nasi
seperti manusia! Aku kagum dengan segala tipu muslihatmu sebagai seorang
penjilat penjajah bangsaku, hai Tuhan gadung yang gundul!" ledek Parmin dengan
sengit. "Dan jangan kau coba-coba melawan kekuasaan Ilahi! Lawanlah aku,
makhluknya terlebih dahulu!" lanjutnya menantang Bergola Ijo.
"Ha ha ha ha ha! Bacotmu ternyata sama lebarnya dengan moncong-moncong buaya
ini! Dan tahukah kau, bahwa sebentar lagi buaya-buaya ini akan berpesta pora
memperebutkan bangkaimu?" sahut Bergola Ijo menggelegar sambil menunjuk-nunjuk buaya-buaya
yang tetap mengambang tenang hilir mudik berenang tanpa merasa terusik dengan
kehadiran kedua pendekar yang saling melancarkan perang saraf dari tepi sungai
yang berlawanan.
Parmin membalas ancaman lawannya dengan sindiran yang tajam.
"Bangkaiku atau bangkai busukmu?"
Seketika wajah Bergola Ijo
berubah menjadi merah menyala, matanya
nanar. Tangan kanannya yang bersenjatakan sebuah pengait bergetar hebat.
Giginya yang besar-besar bergemeretuk keras. Dan secara tiba-tiba dengan satu
teriakan yang melengking
melumpuhkan urat-urat saraf dan
memekakan telinga bagi yang
mendengarnya, melompat ke tengah-tengah sungai Pekik untuk menerjang Parmin.
Tubuhnya besar dan tinggi itu meluncur cepat menggunakan punggung buaya-buaya
itu sebagai batu-batu loncatan untuk menyeberang. Tangan kirinya menyiku di dada
dan tangan kanannya yang bersenjata pengait mengacung tinggi siap merobek-robek
tubuh lawannya.
Parmin menahan nafas siap dengan jurus silatnya.
Bergola Ijo membabatkan senjata-
nya sekuat tenaga ke arah leher Parmin yang secara bersamaan melenting ke atas
untuk mengelak sehingga senjata Bergola Ijo hanya mengenai batang pohon di
belakang Parmin dan merobek kulit batang pohon tersebut.
Parmin melejit sambil bersalto ke udara ke tengah-tengah sungai Pekik.
Sebelum kakinya menginjak di punggung salah satu buaya Bergola Ijo kembali
menyerangnya dengan ganas sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Ia segera melesat
lagi sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggangnya untuk
menangkis kilatan senjata lawannya yang bertubi-tubi mencerca tubuhnya.
"Trang!" terdengar suara nyaring berdenting dari dua buah senjata logam yang
berisi dengan tenaga dalam
masing-masing. Akibatnya mereka berdua terjungkal dan secara berbarengan membuat
gerakan salto ke belakang mengimbangi tubuh agar tidak jatuh ke sungai kembali
ke tempatnya semula berseberangan. Masing-masing menapak-kan kakinya dengan
menatap di tanah.
Bergola Ijo memasang jurus-
jurusnya lebih handal dan sementara Parmin di seberangnya sedang memasang kuda-
kuda sambil memutar-mutarkan goloknya. Mereka menghimpun tenaga dalam. Lalu
keduanya melesat bersamaan ke tengah-tengah dan seketika terjadi bentrokan di
udara disusul dengan terdengarnya bunyi berdenting dua senjata tajam yang
berbenturan menimbulkan percikan bunga-bunga api.
Tubuh keduanya melesat ke belakang dan menjejakkan kakinya di atas punggung
buaya. Dari sela bibir mereka meleleh darah segar. Tenaga dalam mereka ternyata
setara. Sementara dari jauh di balik
semak-semak mengintai sepasang mata liar menyaksikan pertarungan itu.
Berkali-kali ia berdecak kagum
terhadap kedua pendekar itu. Sekali-sekali ia meringis kesakitan karena
udara yang bertiup malam itu sangat dingin menusuk-nusuk
luka yang dideritanya. Pergelangan
tangan kanannya terlihat di keremangan sinar bulan, agak kehitaman-hitaman seperti
dilumuri oleh ramuan obat-obatan. Ia adalah Barna murid Sang Bergola Ijo.
Telah berpuluh-puluh jurus mereka sudah kerahkan dalam pertarungan itu tetapi
masing-masing belum berhasil mendesak lawannya. Tubuh keduanya basah bermandikan
keringat. Mereka masih seimbang.
Sekarang keduanya telah berdiri
tegak berseberangan.
Bergola Ijo mengangkat senjata ke atas kepalanya perlahan-lahan sambil menggeram
dengan tangan kirinya
menyiku di depan dadanya. Sedangkan Parmin memusatkan pikirannya untuk
mengerahkan jurus andalannya yakni jurus "Hening Cipta" dengan golok yang
menyilang di dadanya. Matanya
terpejam. Sesaat kemudian mereka berdua
melesat berbarengan ke tengah-tengah sungai dan bentrok di udara. Maka pada
kesempatan itulah saat yang paling baik untuk membabatkan senjatanya masing-
masing. "Hiyaaat...!"
Teriak keduanya menggema ke
seluruh tempat itu. Tiba-tiba
terdengar jerit yang menyeramkan dari
sosok tubuh tinggi besar berwarna hijau yang meluncur ke permukaan sungai Pekik.
"Aaaaaaa...!"
Air sungai Pekik memercik tinggi ke udara tatkala tubuh Bergola Ijo amblas ke
dalamnya, yang langsung disambut oleh para penghuni sungai tersebut. Terdengar
bunyi gemeretak taring-taring tajam buaya mencabik-cabik tubuh itu dengan buas
menimbulkan riakan air yang seketika menjadi merah. Dalam sekejap tubuh Bergola
Ijo lenyap berkeping-keping masuk ke dalam perut buaya-buaya sungai Pekik yang
selalu tidak pernah merasa kenyang.
Tak lama kemudian permukaan air
sungai itu kembali tenang seperti sedia kala dan Parmin menjejakkan kakinya
dengan mantap di tepi sungai sambil menyarungkan goloknya yang berlumuran darah
Bergola Ijo. Rupanya pada saat keduanya perpapasan di udara tadi, golok Parmin
terlebih dulu bersarang dan membabat perut Bergola Ijo hingga seluruh isi
perutnya terburai keluar tanpa sempat
mengadakan serangan balasan.
"Alhamdulillah! Akhirnya aku berhasil memusnahkan setan laknat itu!" ucap Parmin


Jaka Sembung 3 Menumpas Bergola Ijo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya merasa bersyukur.
Tiba-tiba ia tersentak kaget
mendengar suara manusia berkata pelan memecah keheningan.
"Allahu Akbar! Tuhan telah
menumpas orang-orang kafir dan murtad melalui perantara seorang musafir muda
yang gagah perkasa. Kami mengucapkan syukur yang sebesar-besarnya kepadamu, ya
Allah!! Amin Ya Robal Alamin!"
Parmin menoleh mencari datangnya suara itu.Ternyata di belakangnya telah berdiri
Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya yang
menatapnya dengan penuh rasa kagum dan suka-cita. Wajah mereka penuh
keceriaan. Kemudian Kiyai Subekti Achmad melangkah ke depan dan berdiri
berhadapan dengan Parmin.
Sepasang bola matanya berkaca-
kaca. "Ternyata mata tuaku yang sudah rabun ini tak menduga adanya penipuan yang
direncanakan untuk menghancurkan keyakinan terhadap ajaran Allah, yang terjadi
di sekitarku! Kini kami tahu semua persoalan ini dan kami telah menyaksikan
pertarungan dahsyat tadi!
Kami sangat berterima kasih dan
mengagumimu, pendekar muda!" kata Kiyai Subekti sambil memeluk tubuh Parmin
erat-erat, Air matanya
berlinang mengalir di pipinya dan jatuh menetes di bahu Parmin yang juga turut
merasa haru. Kiyai Subekti lalu melepaskan
pelukannya dan kembali menatap seluruh wajah Parmin dalam-dalam. Senyumnya
mengembang sambil meremas bahu murid Ki Sapu Angin itu kuat-kuat. Parmin merasa
risih di perlakukan terlalu istimewa oleh Kiyai Subekti Achmad, seorang ulama
besar yang terkenal ke seluruh pelosok tanah Cirebon. Kemudian para ulama
lainnya secara bergantian memeluk Parmin mengucapkan selamat dan turut berbangga atas
kemenangan yang besar itu.
Sementara awan di langit mulai
bergerak sehingga bulan tampak timbul tenggelam di angkasa. Disusul dengan
tiupan angin yang berhembus kencang menyapu daerah itu seakan-akan turut
mengucapkan selamat kepada Parmin dengan tertumpasnya Sang Angkara Murka.
Lalu mereka berjalan beriringan
meninggalkan tempat itu menuju ke tempat kediaman Kiyai Subekti Achmad, sebuah
madrasah yang telah kesohor di seluruh pelosok tanah Cirebon dan seantero tanah
Pasundan. Hati mereka terasa lega karena salah satu
rintangan yang menghalangi perjuangan agama Islam telah musnah.
Di lain tempat tak jauh dari
tempat itu, muncul dari balik semak-semak seorang pemuda menatap mereka sampai
menghilang di kegelapan malam.
Perlahan-lahan Barna mengayunkan langkahnya menuju ketepi sungai Pekik.
Ia berdiri tegak niemandang tempat di mana guru Bergola Ijo tewas di makan
buaya-buaya sungai Pekik. matanya terus memandangi air sungai itu dengan nanar.
Tak terasa air matanya meleleh jatuh menetes ke atas tanah. Ia merasa kehilangan
orang yang membimbingnya hidup walaupun gurunya merupakan musuh bagi para ulama
di daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati.
Tubuhnya bergetar hebat. Di dalam hatinya mengalir darah dendam kepada Parmin.
Ia bersumpah di depan sungai Pekik, pada suatu saat membalas sakit hati dan
kematian gurunya terhadap murid Ki Sapu Angin. Dendam yang sangat besar yang
tengah berkecamuk di dalam dirinya membuat rasa sakit di pergelangan tangan
kanannya seketika hilang tak berbekas.
Setelah cukup lama Barna berdiam diri sambil memandang lepas ke tengah-tengah
sungai Pekik, perlahan-lahan langkahnya mengayun meninggalkan tempat itu pergi
entah kemana. Seiring dengan suara adzan yang berkumandang dari masjid Gunung
Sembung menggema ke seluruh pelosok.
Keesokkan harinya, Kiyai Subekti Achmad beserta para alim ulama lainnya dan
sejumlah penduduk desa Gunung Sembung, mengadakan acara sederhana
sebagai tanda syukur atas kemenangan umat Islam dalam menghadapi kekuatan Sang
Kafir. Di dalam ruangan madrasah
ditengah-tengah mereka, terhidang nasi tumpeng lengkap dengan segala lauk-
pauknya dan kue-kue khas daerah itu.
Parmin duduk bersebelahan dengan Kiyai Subekti Achmad sebagai tamu terhormat.
Sebenarnya ia malu diperlakukan
seperti itu, tapi demi menghormati Kiyai Subekti terpaksa ia lakukan semua itu.
Tiba-tiba suasana dalam madrasah yang tadinya agak
riuh, berubah menjadi hening ketika Kiyai Subekti Achmad terbatuk-batuk kecil untuk memulai
acara tersebut.
"Kami sebagai orang tertua di Gunung Sembung ini menyatakan
penghargaan setinggi-tingginya atas jasa-jasa anda sekalian dalam
perjuangan agama Islam! Terutama kepada Parmin sebagai wakil dari kaum muda
pendekar bangsa yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap agama,
bangsa dan tanah air tercinta!
Maka dengan ini perkenankanlah kami memberikan gelar atau nama ke-pendekaran
baginya yakni JAKA SEMBUNG!" kata Kiyai Subekti Achmad penuh semangat.
Ia lalu memerintahkan seorang
ulama untuk membawakan sebuah kotak
kayu jati yang berukir ke hadapannya.
Kiyai Subekti perlahan-lahan membuka kotak itu dan mengambil sebuah kalung yang
terletak di dalamnya, lantas berdiri diikuti oleh para ulama
lainnya dan sejumlah penduduk
menyaksikan Kiyai Subekti yang tengah berhadapan dengan Parmin.
"Dan terimalah kalung yang
bertuliskan kalimat syahadat ini sebagai tanda kenangan dari kami.
Kalung ini adalah harta yang paling berharga yang kami punyai! Dahulu kalung ini
adalah hadiah dari Sunan Gunung Jati kepada kakekku karena jasa beliau dalam
penyebaran agama Islam!"
kita Kiyai Subekti Achmad sambil menyematkan kalung itu di leher Parmin yang tak
kuasa menolaknya.
Peristiwa itu terasa sangat
sakral. Kemudian Kiyai Subekti memeluk Parmin erat-erat diikuti oleh para ulama
lainnya yang hadir di sana. Dan acara selanjutnya ditutup dengan pembacaan doa
oleh salah seorang ulama penuh kekusukan.
Selesai memanjatkan doa, secara serempak mereka menyantap hidangan yang tersedia
sambil berbincang-bincang penuh suka-cita. Suasana gembira menyelimuti madrasah
Kiyai Subekti Achmad.
Dan pada hari itu juga rakyat
desa Gunung Sembung mengantarkan
kepergian Parmin yang sekarang
bergelar Jaka Sembung dengan penuh keharuan yang mendalam. Mereka
berbondong-bondong melepas Jaka
Sembung sampai di perbatasan desa.
Banyak di antara mereka yang mengucur-kan air mata menghadapi perpisahan
tersebut, tak terkecuali Ratna puteri tunggal Kiyai Subekti Achmad. Gadis
pendekar yang cantik itu mengusap air matanya dengan sehelai sapu tangan.
Sementara pemuda idamannya berdiri di sampingnya memandang kepergian Parmin
sampai menghilang di balik pepohonan di kelokan jalan.
"Dia layak mendapat penghargaan dan nama julukan Jaka Sembung itu!"
ujar Anwar memancing perasaan Ratna.
"Ya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa. Kita sangat merasa kehilangan atas
kepergiannya. Andai saja agak lebih lama dia menetap bersama kita..." jawab
Ratna tertahan.
"Kita...?" tukas Anwar dengan nada agak cemburu.
Agaknya kehadiran Parmin, murid tunggal Ki Sapu Angin di Gunung Sembung, diam-
diam membuat murid Kiyai Subekti itu merasa takut kekasihnya sampai jatuh hati.
"Ya, kita! Aku, kau dan seluruh masyarakat di daerah Gunung Jati dan Gunung
Sembung ini!" jawab Ratna mengejutkan lamunan Anwar.
"Bukan kau?"
kembali Anwar bertanya karena penasaran.
"Heh, kau tak usah cemburu, sayang! Parmin bukan jenis pemuda mata keranjang
yang tega merebut kekasih temannya sendiri dan kalau memang aku menyukai dia,
aku juga tidak mau bertepuk sebelah tangan!" jawab Ratna menggoda.
Sementara Kiyai Subekti Achmad
beserta para ulama lainnya telah kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.
Demikian juga dengan para penduduk desa Gunung Sembung. Anwar dan Ratna masih
berdiri di antara orang-orang yang mulai melangkah pulang satu-persatu.
Agaknya perpisahan itu menimbul-
kan hikmah yang sangat besar di antara mereka.
SEKIAN Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Kidal 7 Si Bungkuk Pendekar Aneh Too Pek Koay Hiap Karya Boe Beng Giok Kemelut Kerajaan Mancu 7
^