Pencarian

Si Gila Dari Muara Bondet 2

Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet Bagian 2


sebuah bakul berisi pakaian kotor dengan tangis yang terisak-isak
menuju ke arahnya. Ia segera melompat dan ber-
lari menghampiri Nuraini yang jatuh terkulai di pinggir sungai sambil menangis
sesenggukan. Karta segera meraih bahu kekasihnya.
"Ain, kenapa menangis, sayang" Ada apa?"
tanya Karta dengan lembut sambil membelai
rambut indah milik kekasihnya. Rambut panjang
hitam legam yang selama ini ia kagumi.
Nuraini mengangkat wajahnya. Air ma-
tanya membasahi kedua pipinya yang mulus. Ma-
tanya merah sayu.
"Aku akan dikawinkan dengan orang yang
jadi pilihan ayahku...!" ratapnya lirih kemudian memeluk tubuh Karta erat-erat
yang diam mematung mendengar jawaban Nuraini. Ia seolah-olah
mendengar petir disiang hari! Tanpa terasa ia
membalas pelukan Nuraini dengan erat juga sea-
kan-akan mereka tidak sudi untuk dipisahkan
oleh siapapun. Betapa hancur hati keduanya. Musnahlah
seluruh harapan mereka dan mulai saat itu mata-
mata dari calon suami Nuraini selalu berada di
sekitarnya untuk menjaga sang dara dari gang-
guan pemuda lain di desa Ori Malang. Pertemuan
mereka menjadi terbatas sekali dan bersifat sembunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika fihak calon suaminya,
Badar mencium pertemuan rahasia Karta dengan
calon istrinya Nuraini. Mereka tertangkap basah sedang bercanda ria di bawah
pohon waru tempat
pertemuan mereka selama ini. Badar datang ke
tempat itu bersama beberapa orang begundalnya
yang terdiri dari jago-jago silat bayaran.
"Heii, tikus busuk! Apa yang sedang kau
perbuat dengan calon istriku, hah"!" teriak Badar geram melihat Nuraini sedang
berpegangan tangan begitu mesra dengan seorang pemuda yang
lusuh dan miskin. Matanya mendelik sengit.
Karta dan Nuraini terkejut bukan main
dengan datangnya Badar yang diketahuinya seba-
gai calon suami kekasihnya itu. Seketika pegan-
gan tangan keduanya terlepas. Nuraini ketakutan sambil menyandarkan tubuhnya ke
batang pohon kelapa di dekatnya dengan tangan berpegang erat sekali pada batang itu. Peluh
dingin merembes
keluar dari pori-pori sekujur tubuhnya dan beta-pa jantungnya serasa berhenti.
saat itu juga. Sementara itu Karta berusaha untuk bersikap te-
nang dan menguasai dirinya.
Karta menatap mereka satu persatu den-
gan dada berdebar-debar.
Badar melangkah maju menghampiri me-
reka diikuti oleh anak buahnya dari perguruan silat Ori Malang. Mereka semua
berempat. "Hmm... pantas kau selalu menghindari
aku, Nuraini! Rupanya karena ada monyet dekil
ini!" bentak Badar keras. Matanya merah menahan luapan amarahnya yang tak
terhingga. Pandangannya kemudian diarahkan kepa-
da Karta. Napasnya bergemuruh.
"Hei, monyet! Kenalkah siapa aku" kau
memang benar-benar tak tahu diri, hah!!"
Karta mengangkat alisnya karena ia me-
mang belum mengenali siapa Badar dan teman-
temannya itu. Yang ia tahu selama ini hanyalah
bahwa calon suami kekasihnya adalah seorang
anak tuan tanah yang kaya-kaya.
Melihat Karta tidak menjawab pertanyaan-
nya, seketika meledaklah amarah Badar.
"Kurang ajar!! Nih, buat pelajaran bagimu!"
teriaknya sambil mendaratkan telapak kakinya ke wajah Karta yang tidak memiliki
kepandaian bela diri apa-apa hingga terjengkang ke belakang dan berguling-guling
di tanah. Dari mulutnya mengalir darah segar. Bibirnya sobek.
Melihat kekasihnya dipukul oleh Badar,
Nuraini jadi histeris.
"Oh, Karta! Karta...!" teriaknya hendak memeluk Karta yang sedang meringis
kesakitan sambil meraba bibirnya. Tapi Nuraini segera ditarik oleh Badar dengan kasar
menjauh darinya.
"Pulang! Ayo pulang, Nur! Apa yang kau
harapkan dari kambing gembel seperti dia!! Puiih!
Anak tak tahu diuntung terhadap majikan!" bentak Badar meludahi wajah Karta yang
masih ter- golek di tanah sambil menarik-narik tangan Nu-
raini yang memberikan perlawanan kepadanya.
Darah remaja yang pantang dihina di hadapan
kekasihnya, membuat darahnya melonjak naik ke
ubun-ubun. Karta berontak. Ia langsung berdiri tegak.
Tangannya mengepal keras. Giginya gemeretak
kuat. Napasnya terdengar mendengus seperti
banteng ketaton. Ia menatap Badar dengan ge-
ramnya. Melihat gelagat itu Badar segera mele-
paskan tangan Nuraini siap menghadapi Karta
yang sudah berdiri di hadapannya siap memberi
perlawanan. "E...eh! Rupanya kau masih penasaran"
Baiklah...! Agaknya kau belum mengenal siapa
Badar sebenarnya" Ha ha ha ha ha!"
Karta langsung merangsak Badar tanpa
perhitungan. Kasihan ia. Rasa sakit hati telah
membutakan dirinya yang tak mempunyai ke-
mampuan apa-apa, walaupun ia tahu bahwa
orang yang sedang dihadapi adalah murid dari
perguruan silat Ori Malang yang sudah mencapai
tingkat lumayan.
Dengan sekali gebrak, tubuh Karta ter-
jungkal jauh ke belakang langsung ambruk ke ta-
nah akibat pukulan Bandar. Mereka tertawa ter-
bahak-bahak melihat Karta merangkak di atas
tanah dan dengan susah payah mencoba bangun.
Ia berusaha menengadahkan wajahnya untuk
menatap mereka. Matanya menyala-nyala oleh
dendam yang sangat besar. Bibirnya digigit me-
nahan sakit dan untuk sesaat tubuhnya bergetar
kuat kemudian ambruk tak sadarkan diri. Badar
dan teman-temannya kembali tertawa keras me-
nyaksikan lawannya hanya mampu memberikan
perlawanan yang tak berarti
Nuraini melolong-lolong menangisi Karta
yang pingsan. Ia berontak sekuat tenaga terhadap
orang yang akan merampas dirinya dari sisi Karta yang sangat dicintainya.
"Kau kejam! Manusia iblis! Jangan sentuh
aku! Lepaskan! Lepaskan! Aku jijik melihatmu!!"
maki Nuraini pada Badar yang hanya senyum
menanggapinya. Tapi biar bagaimanapun Badar
tak sanggup lagi menghadapi Nuraini yang terus-
terus memaki-maki dirinya. Lalu tiba-tiba tan-
gannya melayang menampar pipi gadis itu se-
hingga ia langsung terkulai lemas. Kemudian Ba-
dar memanggul tubuh Nuraini di atas pundaknya
dan membawa pulang ke rumah calon mertuanya.
Ia tersenyum simpul penuh arti. Calon mertuanya tentu akan memuji dirinya
sebagai malaikat penolong.
*** Sementara itu waktu terus berjalan dan en-
tah berapa jam kemudian Karta mulai siuman
kembali. Hari telah malam. Bulan meninggi diatas langit memancarkan cahayanya
yang kemilau. Angin bertiup lembut mendesir membelai alam
sekitarnya dan seluruh tubuhnya yang terasa ngi-lu.
Ruas-ruas tulangnya terasa hendak lepas.
Tetapi semua itu tidak terlalu dirasakannya. Yang terasa hanya hatinya yang
begitu perih seperti disayat sembilu.
Karta mencoba bangkit.
Perlahan-lahan ia merangkak mendekati
sebuah pohon kelapa lalu menyandarkan tubuh-
nya. Hatinya teramat sakit. Ia sadar bahwa di-
rinya tak kuasa untuk membalas sakit hatinya. Ia merasakan dirinya manusia
lemah, miskin, hina-dina dan tak berharga sama sekali dibandingkan
dengan Badar yang mempunyai segalanya.
Karta berjalan terseok-seok membawa tu-
buhnya pulang ke rumah majikannya. Tubuhnya
jatuh-bangun disepanjang jalan. Dan lebih me-
nyakitkan lagi tatkala ia sampai di rumah maji-
kannya, juragan Benjar Karta disambut dengan
caci-maki serta kalimat yang kotor dan kasar
yang membuatnya semakin merasa hina-dina.
"Anak tak tahu terima kasih! Berani-
beraninya kau mengganggu tunangan orang! Se-
harusnya kau menyadari siapa dirimu sebenar-
nya! Kau tak lebih dari seorang gembel! Gembel
yang kupungut dari tong sampah!" bentak majikannya geram. Tangannya mengepal
keras ingin menghajar Karta, tetapi ia masih mempunyai rasa kasihan sehingga meja yang
berada di depannya
menjadi sasaran empuk kemarahan yang meluap-
luap. Walaupun akibat dari hantaman itu mem-
buat ia sendiri meringis kesakitan karena buku-
buku jarinya ngilu.
Karta tertunduk diam menggigit bibir.
"Kau kira apa pangkatmu, gembel! Masih
untung kau tak kuadukan kepada opas!" maki majikannya tiada henti bagai semburan
mitraliur. Karta tidak sanggup lagi mendengarkan
semua itu. Sinar matanya tidak lagi memperli-
hatkan semangat hidup yang menggebu-gebu lagi
seperti hari-hari sebelumnya. Hatinya sangat perih dan ngilu teriris-iris. Ia
hanya menundukkan kepalanya tanpa bisa menjawab ataupun me-nyangkal semua
perkataan dan cacian yang men-
cerca dirinya. Ia benar-benar merasa kehilangan harga dirinya. Bahkan kehilangan
segala-galanya.
Dunia rasanya kiamat.
Dan kontan malam itu juga ia dipecat dan
diusir dari rumah majikannya tanpa pesangon
sepeserpun dengan alasan melanggar adat dan
sopan-santun yakni mencintai anak majikannya
sendiri. Di mata juragan Benjar pelanggaran se-
perti itu adalah perbuatan biadab.
Karta dengan lesu segera membereskan
semua barang-barangnya dan pergi meninggalkan
rumah juragan Benjar malam itu juga.
Ia lunglai mengayunkan langkahnya yang
terasa mengambang. Ia akan pergi entah kemana.
Ia sendiri tidak tahu.
Ketika melewati kandang kerbau gemba-
lanya, Karta sempat berhenti sejenak menatap bi-natang itu dengan sedih. Ia akan
meninggalkan hewan-hewan kesayangannya yang menjadi ka-
wan dekat sejak kecil. Diulurkan tangannya
membelai kepala seekor diantara kerbau itu pe-
nuh kasih sayang. Hewan itu sepertinya mengerti apa yang telah menimpa
gembalanya sehingga
kerbau itu melenguh panjang turut merasakan
kesedihan dan kehampaan yang sedang merun-
dung hati Karta gembalanya.
Kemudian Karta kembali melangkahkan
kakinya terus berjalan lesu sambil sesekali menoleh ke belakang seakan begitu
berat meninggalkan segala sesuatu yang pernah memberinya ke-
hidupan. Dan sejak itu pula Karta tak pernah ber-jumpa dengan jantung hatinya.
Ia telah kehilan-
gan segala-galanya. Pekerjaannya, dan lebih terpenting adalah kekasihnya
Nuraini. Hidupnya kini tak tentu arah.
Setiap hari kerjanya hanya luntang-lantung
kesana kemari seperti gelandangan dan mirip
orang sinting. Setiap orang yang menjumpainya
selalu memperhatikan dan kasihan terhadapnya.
Mereka tidak percaya bahwa Karta yang dulunya
dikenal sebagai anak yang rajin dan selalu hormat kepada semua orang tanpa
pandang bulu, kini
mereka melihat kenyataan Karta sudah
menjadi tidak waras lagi. Mereka semua merasa
kasihan tanpa bisa berbuat apa-apa.
*** Begitulah...... Karta. Hari demi hari keluar
masuk setiap kampung tanpa tujuan.
Sementara bumi terus berputar mengikuti
porosnya. Siang malam silih berganti. Minggu
berganti minggu, bulan berganti bulan dan mu-
sim panenpun tiba. Penduduk desa Ori Malang
menyambut gembira musim menunai padi itu.
Tua-muda, besar-kecil semuanya bersuka-ria
apalagi dengan adanya pesta perkawinan anak
seorang juragan terkaya dengan putri juragan
Benjar. Para penduduk benar-benar merasakan
suatu kegembiraan yang begitu besar. Pesta per-
kawinan itu diadakan selama tujuh hari tujuh
malam dengan beraneka macam tontonan gratis
seperti wayang kulit, tayuban, tari topeng, lan-gendriyan dan lain-lain.
Lain halnya dengan Karta.
Malam itu Karta duduk sendirian meman-
dangi air sungai Jamblang yang jernih dan me-
mantulkan cahaya kemilauan dari bias sinar bu-
lan purnama yang mengelus-elus permukaan air
sungai itu. Ia duduk termenung menundukkan
kepalanya seperti orang yang lagi tepekur diba-
wah sebuah pohon yang tumbuh di pinggir sungai
itu. Pohon waru condong pohon kenangan. Sunyi
mencekam meliputi dirinya. Dari jauh terdengar
sayup-sayup suara gegap-gempitanya pesta itu.


Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pesta perkawinan gadis yang dicintainya. Suara itu dirasakan Karta bagai ribuan
jarum-jarum yang menusuk hatinya. Pesta itu di selenggarakan di rumah bekas majikannya. Jiwa
Karta seperti lolos dari tubuhnya. Malam yang demikian in-
dahnya itu terasa hampa. Jiwanya merintih.
Wajah rembulan yang biasanya indah me-
nawan bila ia menatapnya bersama Nuraini kini
tampak suram dan tak ada arti apa-apa bagi Kar-
ta. Tak terasa air matanya mengalir jatuh dikedua pipinya. Air mata yang belum
pernah ia keluarkan sejak ia terlahir ke dunia.
Dan malam semakin larut. Angin mulai
dingin berhembus. Riak-riak air sungai jamblang terdengar begitu indah. Serangga
malam berden-dang riuh-rendah. Suara gending tetabuhan dari
keramaian pesta perkawinan itu masih mengalun
dan gaungnya terdengar sampai keseluruh penju-
ru desa Ori Malang.
Tiba-tiba secara tak terduga sebuah peris-
tiwa menggemparkan telah terjadi seperti membe-
lah desa Ori Malang. Terdengar suara teriakan
orang-orang di tengah-tengah perayaan itu mere-
dam bunyi gending yang masih mengalun. Pen-
ganten perempuan di malam pertama telah bu-
nuh diri karena tak sudi disentuh oleh yang tak dicintainya.
Karta tersentak nanar mendengarnya.
Berita itu seperti guntur yang membelah
dan menghancur-leburkan jiwanya. Ia seolah-olah merasa bumi yang dipijaknya
tiba-tiba merekah
menelan dirinya bulat-bulat. Karta tak sanggup
menghadapi kenyataan ini. Begitu kejam. Orang
yang dicintainya telah meninggalkan dunia ini
dengan cara yang mengerikan. Karta tak dapat la-gi melihat wajah yang selalu
dirindukannya. Be-
tapa tragis akhir percintaan mereka. Akhir dari sebuah cinta remaja yang suci.
Keesokan harinya orang berbondong-
bondong mengantarkan jenazah Nuraini ke peku-
buran. Orang-orang ramai memperbincangkan
kematian Nuraini kembang desa Ori Malang. Me-
reka sebagian mengecam ayah Nuraini yang telah
menyebabkan kematiannya. Juragan Benjar me-
nangis meraung-raung saat jenazah anaknya di-
turunkan ke dalam perut bumi dan Badar hanya
memandang semua itu dengan perasaan kecewa
yang dendam kepada seseorang yang telah me-
nyebabkan kematian istrinya.
Dan Karta sendiri menyaksikan pemaka-
man kekasihnya itu dari kejauhan. Ia mengintip
dari balik sebuah pohon besar, menangis dengan
lirih dengan hati luluh-lantak. Kemudian ia berjalan dengan gontai entah kemana.
Dilain fihak pemakaman itu telah selesai dan para penduduk
kembali ke rumahnya masing-masing. Di sepan-
jang jalan mereka masih saja memperbincangkan
peristiwa yang tragis dan menghebohkan itu.
Hari mulai malam. Sinar matahari telah
menyembunyikan wajahnya jauh dari bumi dan
berganti rembulan yang tersenyum simpul. Para
penduduk desa Ori Malang telah tertidur dengan
lelap. Seluruh desa itu sunyi mencekam. Sung-
guhpun masih dicekam oleh peristiwa bunuh diri
sang pengantin yang tak henti-hentinya menjadi
bahan percakapan. Malam itu mereka tidur den-
gan mimpi masing-masing.
Kawasan pekuburan tempat Nuraini dike-
bumikan terasa sunyi dan mencekam. Suara bu-
rung malam berkumandang menambah suasana
seram tempat itu. Kalong-kalong beterbangan di
udara dengan kepak sayapnya yang angker. Sua-
sana tanah pekuburan itu membuat bulu roma
merinding. Angin menghembuskan wewangian
bunga kamboja yang tumbuh merindang bagai
sosok-sosok makhluk yang memberi kesan magis
dan menyeramkan.
Tiba-tiba dari arah barat terlihat seseorang
pemuda berjalan menuju tanah pekuburan itu. Ia
membawa sebuah cangkul di atas bahunya. Dari
pantulan sinar bulan dapat dilihat wajah pemuda itu. Ternyata ia adalah Karta!
Ia menghentikan langkahnya di salah satu
kuburan di mana tadi siang Nuraini dimakamkan.
Dengan cepat ia menggali kuburan tersebut dan
tak lama kemudian terlihat papan-papan penutup
mayat Nuraini. Sejenak ia melepaskan cangkul-
nya, dan segera membuka papan itu perlahan-
lahan. Mayat Nuraini yang ditutupi kain kafan itu segera digendongnya ke atas.
Ia keluar dari dalam liang dan membuka kain pocong yang menutupi
tubuh kekasihnya. Didorong oleh rasa rindu ingin melihat wajah kekasihnya yang
begitu menggebu
membuat ia nekad melakukan semua ini.
Wajah Nuraini yang pucat dipandanginya
dalam-dalam. Dari mulai keningnya terus ke alis matanya, hidungnya, kedua
pipinya, sampai bibirnya. Lama sekali...
Wajah itu sangat pucat tetapi tak mengu-
rangi kecantikannya. Bahkan semakin cantik bagi Karta. "Oh, Ain! Mengapa kau
tega meninggalkan aku" Mengapa..." Tidak! Tidaaaaaaaaaaaaaak...!!
Kau tidak mati!" ratap Karta melolong-lolong me-mecah kesunyian malam. Mayat itu
terasa dingin dalam pelukannya, tapi ia tak peduli.
"Kau sedang tidur, tidur, bukan" Jangan!
Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku tak mau kau
pergi!" jerit Karta sambil meletakkan kepala mayat itu kedalam pelukannya.
Karta nekat menggali kuburan itu dan
membawa pergi jenazah Nuraini kekasihnya.
Setelah puas menumpahkan perasaannya,
Karta segera membungkus kembali mayat terse-
but dengan kain kafannya. Ia lalu menimbun
liang kuburan itu seperti semula dan pergi jauh meninggalkan tanah pekuburan
desa Ori Malang
malam itu juga membawa jenazah Nuraini.
"Mari kita pergi, sayang! Kita pergi meninggalkan orang-orang yang tak
menyenangi kita!"
kata Karta sambil memondong mayat itu.
Ia berjalan sejauh mungkin menuju ke ti-
mur dengan menelusuri tepian sungai Jamblang.
Esok harinya jika orang-orang kampung
melewati tanah pekuburan tidak tahu sama sekali bahwa kuburan Nuraini yang masih
tegak berdiri itu sesungguhnya telah kosong. Dan kemana ge-
rangan Karta pergi tak seorangpun yang menge-
tahuinya. *** Orang-orang yang kebetulan ada ditepian
sungai hanya mengetahui bahwa ada seorang
pemuda berdiri di atas sebuah rakit dan disebe-
lahnya terdapat sebuah peti kayu jati. Rakit itu meluncur mengikuti arus sungai
Bondet yang merupakan lanjutan dari sungai Jamblang setelah
bergabung dengan sungai Plumbon menuju ke
utara tempat muara sungai itu bertemu laut. Me-
reka tidak tahu siapa nama pemuda yang keliha-
tan selalu diam dan murung di atas rakitnya.
Hanya tangannya saja yang bergerak sesekali
mengayuh membelah air sungai.
Berhari-hari Karta mendayung rakitnya itu
dibawa impiannya sendiri tanpa makan dan mi-
num kecuali dari air kali dan apa yang ada di
permukaannya. Tanpa terasa lagi ia sudah berada dimuara sungai Bondet. Di
depannya terbentang
laut lepas. Laut Jawa. Seperti hamparan perma-
dani biru. Burung-burung camar menyambut ke-
datangan Karta dengan celotehnya yang riuh-
rendah. Gelombang menghantam rakit Karta se-
hingga semburan air laut membasahi wajah Karta
yang sayu. Tubuhnya kurus dan rambutnya su-
dah tumbuh panjang melewati bahunya.
Para nelayan yang kebetulan melihat ting-
kah laku seorang anak muda itu tentu merasa he-
ran karena melihat pemuda itu mengoceh sendi-
rian seperti orang sinting. Beberapa di antara mereka melemparkan sisa bekal
makanan tadi ma-
lam ke atas rakit itu. Dari sisa makanan para nelayan yang pulang dari laut
itulah Karta dapat terus menyambung hidupnya dari hari ke hari.
Sejak saat itu penduduk di pinggir kali
Jamblang sering melihat Karta hilir mudik di atas sebuah rakit dengan peti kayu
jati yang dibawanya.
Rakit itu terapung-apung hilir-mudik se-
panjang pantai teluk Cirebon. Jika matahari bergerak menggelincir ke arah barat
maka rakit itu kembali ke muara Bondet. Dua orang nelayan
yang sedang mengayuh perahunya ke pantai se-
habis menjala ikan ditengah laut berpapasan
dengan rakit Karta yang menuju ke muara. Seje-
nak perahu itu berhenti. Dua orang nelayan itu
melihat rakit Karta melewati perahunya. Salah
seorang berdiri mengangkat kaki kirinya ke atas pinggiran perahunya sehingga ia
dapat memperhatikan semua yang dilakukan Karta diatas rakit itu. "Coba lihat!
Aku tak habis pikir melihat tingkah laku orang itu! Apa saja yang dikerjakan
setiap hari mondar-mandir begitu" Cuma bicara
sendiri seperti orang gila!" katanya mengernyitkan dahinya keheranan kepada
temannya yang sedang memegang dayung duduk di sebelahnya.
"Ya, pak! Tak jemu-jemunya ia sejak bebe-
rapa minggu yang lalu dan peti yang dibawanya
berisi apa, ya" Kadang-kadang peti dielus-elusnya seperti elusan sayang!
Barangkali emas permata!"
sahutnya sambil membetulkan gulungan tali layar yang terlihat mengendor.
"Ya mungkin juga!" ujar orang itu manggut-manggut. Kemudian ia kembali
meneruskan per-
jalanannya menuju ke hilir, sementara rakit Karta meninggalkan perahu mereka
menjauh-menuju laut lepas. Minggu ditelan minggu. Bulan ditimpa bu-
lan dan sudah berjalan satu tahun Karta hilir-
mudik di Muara Kali bondet dan laut teluk Cire-
bon. Rambutnya semakin panjang tak terurus.
Wajahnya keras tetapi sinar matanya terlihat
hampa dengan pandangan yang menerawang jauh
menembus cakrawala dan kaki langit. Akhirnya
para nelayan sudah tidak lagi ambil pusing den-
gan dirinya lagi. Kini bagi mereka sudah merupakan pemandangan biasa dan tak ada
keanehan- nya sama sekali.
Dan mereka menyebutnya dengan nama SI
GILA DARI MUARA BONDET.
Sementara itu para nelayan yang menaruh
belas kasihan kepadanya tetap memberikan sisa
perbekalan makanannya pada Karta dan ia pun
tidak menolak diberi julukan Si Gila oleh mereka walaupun ia sendiri merasa
bahwa pikirannya se-ratus persen dalam keadaan waras. Mereka ka-
dang-kadang bertanya macam-macam kepada
Karta, tetapi ia menjawab dengan senyuman
hambar dan pancaran mata yang hampa. Ia tidak
mau menceritakan asal muasalnya. Ada juga
orang yang mencoba memegang peti kayu yang
dibawanya tapi segera Karta mencegah dengan
gerakan tangannya tanpa berbicara sepatah kata-
pun. Walaupun maklum, tetapi orang-orang itu
masih tetap ingin tahu apa isi peti kayu tersebut.
Namun mereka hanya bertanya pada dirinya sen-
diri apa kira-kira isi peti itu.
Tapi biar bagaimanapun mereka tidak be-
rani berbuat kurangajar terhadap Si Gila. Ada
semacam rasa menghargai terhadap hak-hak
orang lain disertai rasa belas kasihan kepadanya.
Bila malam telah sunyi. Bintang-bintang gemerlapan di atas lazuardi. Angin
bertiup sepoi seakanakan membisikkan kata-kata yang lembut. Om-
bak pantai Cirebon mengalun tenang mengusap
dan membelai rakit Si Gila penuh rasa kasih
sayang. Dia saat seperti Si Gila meratapi peti
kayu jati itu. Suara tangisnya menyayat hati. Tak seorangpun yang
mendengarkannya. Peti itu dipe-luknya erat-erat. Sebagian kakinya basah terkena
percikan ombak yang menghantam pinggiran rakit itu. Hawa dingin malam yang
menyusup ke dalam tubuh samasekali tak dirasakannya. Ia
tenggelam dalam khayalannya sendiri. Kesendi-
rian merupakan kenikmatan bagi dirinya. Ombak-
ombak laut, bulan dan bintang serta angin malam adalah saksi bisu dari segala
tingkah laku Si Gila diatas rakit itu.
*** Tahun kedua telah datang. Tampaknya ti-
dak ada perubahan pada diri Karta. Semua tetap
seperti sedia kala. Hanya rambutnya sudah pan-
jang sebatas pinggang. Kulitnya kelihatan hitam tembaga karena terus-menerus
diterpa angin laut yang kering dan sinar matahari yang menyengat.
Bulu-bulu tubuh meremang di sekitar wajahnya.
Tubuhnya berubah menjadi kekar dan berotot,
namun tatapan matanya tetap saja tampak ko-
song. Dipinggangnya kini terselip sebuah golok
panjang. Suatu keajaiban telah terjadi dalam diri
Karta. Setiap malam seperti dalam keadaan se-
tengah sadar, Karta melakukan gerakan-gerakan
yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk dan tangannya
direntangkan seiring gerak kakinya. Ia bergerak di seputaran rakitnya mengitari
peti kayu yang berada ditengah rakit itu. Semakin lama gerakan itu semakin
lincah. Karena dilakukan setiap malam
maka tubuh Karta menjadi luwes dan gesit. Gera-
kan yang semula terlihat lamban kini kian hari
kian cepat, sehingga tubuhnya bagaikan selembar daun yang dipermainkan oleh
tiupan-tiupan angin laut yang berhembus dan jika dilihat dari jauh seperti
seekor udang yang sedang melompat-lompat di atas pasir pantai. Gerakan-gerakan
itu kemudian terbentuk dengan sendirinya tanpa di-ciptakan menjadi jurus-jurus
silat yang aneh tapi sempurna.
Pada awalnya Si Gila melakukan gerakan


Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu hanya di seputaran rakitnya, tapi kini ia telah dapat melesat keatas dan
meliuk-liukkan tubuhnya di udara sambil mempermainkan golok pan-
jangnya. Rakit itu turun naik dan kadang-kadang miring karena dimainkan oleh
ombak laut. Tetapi Si Gila seperti tak menghiraukan semua itu. Bahkan ia semakin
banyak melakukan gerakan-
gerakan yang bervariasi untuk menjaga keseim-
bangan tubuhnya terhadap gerak oleng rakit yang
diinjaknya. Tubuhnya berputar-putar di udara. Bila se-
lesai melakukan rangkaian gerakan tersebut, ia
kemudian duduk bersila diatas peti kayunya me-
mejamkan matanya seiring dengan pengaturan
napas untuk menghilangkan rasa lelah sehabis
berlatih. Tanpa ia sadari ilmu peringan tubuh
Karta sudah mencapai tingkat yang sempurna.
Karta mendapatkan semua itu bukan dari seo-
rang guru maupun belajar dari kitab silat, tetapi ia dapatkan dari imajinasinya
sendiri yang timbul akibat dari tekanan jiwa yang sangat berat. Keajaiban-
keajaiban alam yang penuh misteri turut
membantu menggemblengnya.
Dan ada satu hal lagi yang merupakan kea-
jaiban. Pada suatu hari para nelayan di muara
Bondet dibuat gempar. Mereka terkejut sekali melihat ikan-ikan mati terapung di
laut lepas. Berpuluh-puluh ekor bahkan beratus-ratus ekor ikan mati terapung
dengan keadaan badan terpotong
menjadi dua bagian. Nelayan itu merasa ditimpa
suatu malapetaka. Mereka mendapat kutukan da-
ri penguasa laut Jawa. Mereka gelisah dan panik tak menentu.
"Apakah dewa laut sedang marah?"
"Ya! Kita harus menyajikan kepala kerbau
untuk dikuburkan di tengah-tengah laut!"
Para nelayan mencoba menduga-duga apa
yang menyebabkan semua ini terjadi. Masing-
masing tenggelam dalam pikiran dan ilusinya.
Hanya burung-burung camar yang merasa
senang karena kenyang dapat menikmati hikmah
dari peristiwa itu. Dan sekumpulan burung-
burung laut berdatangan menyelimuti laut pantai Cirebon berpesta pora. Sedangkan
para nelayan menyaksikan semua itu dengan gundah-gulana
dan keluh-kesah berkepanjangan.
Apakah sebab musababnya"
Betulkah dewa laut sedang marah karena
mereka lupa membuat sajian"
Kita lihat rakit Si Gila masih tenang men-
gapung diatas permukaan air laut dengan setia
mengayun-ngayunkan rakitnya. Di atasnya masih
terdapat peti kayu jati, kain sarung, dan baju pembungkus tubuhnya. Tetapi dia
sendiri tidak kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan"
Bila kita lihat lebih dekat ke permukaan air
laut itu, tampaklah gelembung-gelembung udara
yang muncul ke permukaan. Beruntun dan besar-
besar. Tidak mungkin gelembung itu ditimbulkan
dari napas seekor ikan. Ternyata di dasar muara Bondet terlihat bayangan sesosok
tubuh berkelebat kesana kemari dengan gesitnya seperti seekor ikan hiu mengikuti
mangsanya. Gerakannya
luwes sepertinya tidak terhalang oleh hambatan arus dan tekanan air laut. Tangan
kanannya memegang sebuah golok panjang yang diayun-
ayunkan melawan arus air yang ditimbulkan oleh
gerakan gelombang laut. Ia membelah-belah air
laut seperti membelah-belah udara. Begitu mu-
dahnya sehingga tampak golok panjang itu man-
tap sekali. Setiap ia berkelebat sambil mengi-
baskan pedangnya, dua atau tiga ekor ikan yang
kebetulan mendekatinya menggelepar dalam kea-
daan terpotong menjadi dua bagian yang terpisah, terkena sabetan pedangnya.
Sosok tubuh itu bukanlah seorang dewa
penguasa laut setempat dan ternyata dia adalah
Si Gila dari Muara Bondet!
Apa yang dilakukannya merupakan latihan
mempertinggi ilmu tenaga dalamnya dan sekali-
gus pula ilmu meringankan tubuhnya. Semua itu
hanya dilakukan oleh Karta seorang diri berda-
sarkan tuntunan nalurinya semata-mata. Si Gila
bergerak meluncur dan melayang sambil mengi-
baskan pedangnya membabat sasaran yang beru-
pa ikan-ikan dari yang besar sampai yang terke-
cil-kecilnya. Dan dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sabetannya, apabila ia
melakukan semua
gerakan itu di udara yang tanpa hambatan.
Bisa diukur besar tenaga itu bila benar-
benar dilakukannya di darat. Karena ikan-ikan
yang menjadi sasarannya kadang-kadang ada
yang ukurannya sebesar tubuh seorang anak ke-
cil. Sedangkan kecepatan sabetannya bisa melalui ikan kecil yang jadi korban.
Yang lebih hebat lagi pendengarannya. Ia dapat bertahan dari tekanan
air laut yang menerpa telinganya. Apalagi Si Gila kita ketahui bahwa tekanan
yang ditimbulkan di
dalam air laut tergantung dari kedalamannya.
Semakin dalam semakin besar tekanan yang di-
timbulkan. Napasnya kuat sekali. Ia dapat berla-
ma-lama melakukan latihan di dasar laut hanya
dengan satu kali tarikan napas. Dan bila Si Gila sudah kehabisan napas ia
kembali muncul ke
permukaan untuk menghirup udara lagi. Hampir
sepuluh jurus dapat ia lakukan dalam satu tari-
kan napas. Persis seperti ikan lumba-lumba. Para nelayan yang kebetulan
melihatnya sedang muncul di permukaan mengira Si Gila sedang mandi
belaka. Sekali sabet beberapa ekor ikan dan uku-
ran besar dan kecil terpotong menjadi dua bagian.
Begitulah seterusnya Si Gila selalu berlatih
dan berlatih. Hari demi hari dilalui hanya dengan se-
mangat membara yang timbul dari dasar jiwanya.
Bila saja tiba, ia segera naik ke permukaan laut
untuk kembali menuju ke muara Bondet. Napas-
nya tersengal-sengal ketika ia menggapai pinggir rakit itu dan mengangkat
tubuhnya naik. Seperti biasa ia duduk bersila mengatur napasnya di atas peti
kayu jati itu untuk menghilangkan rasa lelah dan mengembalikan kesegaran
tubuhnya. Kemudian setelah itu ia memakai pakaiannya dan sege-ra mengayuh
rakitnya. Empat tahun telah lewat tak terasa. Sela-
ma itu pula Karta hidup di atas rakitnya bersama peti kayu jati itu. Makan dan
tidur juga di situ.
Para nelayan hanya dapat melihat bahwa pemuda
gila itu tubuhnya kian kekar dengan rambut pan-
jang melambai-lambai di tiup angin dan kulit tubuh yang semakin hitam tembaga.
Semua yang ia lakukan adalah tumpahan amarah, dendam, ke-
cewa, rindu yang terlukiskan melalui gerakan-
gerakan aneh yang lama-kelamaan terbentuk
menjadi suatu rangkaian jurus-jurus silat yang
lain dari yang lain. Si Gila dari Muara Bondet telah berhasil menciptakan ilmu
silat baru yang
aneh dan langka! Sebuah ilmu silat hasil ekspresi jiwa! Suatu hari di pagi yang
cerah, Karta berkacak pinggang berdiri tegak diatas rakitnya yang dibiarkan
meluncur mengikuti gelombang air laut.
Matanya menatap kaki langit yang penuh pesona.
Hari ini ia betul-betul sedang menikmati keindahan alam.
Dua orang nelayan yang sedang melintas
dengan perahunya memperhatikan tingkah Si Gi-
la yang kali ini terlihat lain dari biasanya yang ia lakukan. Mereka saling
berpandang-pandangan.
"Lihatlah! Si Gila sekarang mempunyai se-
bilah pedang yang terselip di pinggangnya! Mungkin ia sedang berkhayal menjadi
seorang kesatria yang menang perang!"
Memang menurut penglihatan mereka, Si
Gila seperti seorang komandan perang yang berdi-ri siap menghadapi musuhnya.
Mereka tidak tahu
apa sebenarnya yang terbesit dalam pemuda ek-
sentrik itu. Si Gila hanya tersenyum mendengar
percakapan mereka. Memang sangat tajam pen-
dengarannya! Padahal jarak dari rakitnya ke pe-
rahu nelayan itu cukup jauh.
Malam itu bulan terlihat muram. Angin
berdesir kencang. Gelombang laut bergerak dina-
mis mengombang-ambingkan rakit Si Gila.
Ia sedang duduk termenung mengenang
kembali masa silamnya. Teringat masa-masa in-
dah bersama kekasihnya Nuraini. Ia teringat wa-
jahnya, hidungnya, bibirnya, belaiannya, dan segala yang ada pada diri Nuraini.
Sampai terke- nang kembali pada peris-tiwa berdarah yang telah merenggut nyawa kekasihnya.
Timbul kembali ra-sa dendam yang menyala-nyala dan meledak-
ledak dengan hebatnya. Wajahnya berubah diser-
tai napas yang bergemuruh. Tubuhnya bergetar
kuat sehingga rakitnya turut bergetar.
Tapi lama-kelamaan dendam itu kian me-
reda. Desiran angin laut seakan-akan membelai-
belai hatinya yang panas sehingga lambat-laun
mulai terasa dingin mencair, Malam itu Si Gila
seolah-olah mendengar sesuatu yang merasuk ke
dalam telinganya membuat amarahnya berang-
sur-angsur mereda. Selanjutnya setiap malam,
bisikkan itu mengiang-ngiang di telinganya. Bisikan lembut yang ia sendiri tidak
tahu dari mana datangnya.
Kalimat itu demikian jelas dan dapat di
hafal oleh Karta.
"Seorang pendekar yang sejati pantang me-
nanam dendam... sayangilah musuhmu dan doa-
kanlah semoga ia mendapatkan keinsyafan....!"
Si Gila tersentak dari lamunannya.
Ia segera memantau seluruh permukaan
laut lepas. Sejauh mata memandang hanya terli-
hat hamparan air laut saja yang terbentang luas.
Dan bila ia duduk kembali termenung, suara itu
mengiang lagi di telinganya. Bisikan itu betul-
betul meresap kedalam sanubarinya yang paling
dalam, sehingga didalam hatinya tertanam pera-
saan untuk tidak membalas dendam terhadap
musuh-musuhnya. Dan Si Gila bertekad untuk
tidak kembali ke desa Ori Malang.
Ia lebih senang luntang-lantung di sekitar
muara Bondet. Setiap orang yang mengenalnya
memanggilnya Si Gila. Sampai demikian terkenal-
nya nama itu ke seluruh pelosok desa. Apalagi di kalangan anak-anak kecil.
Setiap ia melangkahkan kakinya melewati suatu daerah, anak-anak
kecil selalu mengikuti sambil memperolok-
olokannya. Begitulah... asal mula Si Gila dari Muara
Bondet. *** "Selanjutnya anda tentu mengetahuinya!"
kata Si Gila kepada Parmin yang duduk menden-
garkannya bercerita.
Parmin menarik napas panjang setelah
mendengar seluruh penuturan itu. Tak terlu-
kiskan betapa perasaan saat itu. Haru, kagum,
dan berulang kali memuji kebesaran Tuhan yang
menciptakan seluruh kehidupan ini dengan sega-
la keajaibannya. Ia juga bersyukur bahwa Karta
dalam keputus-asaannya tidak sampai menjadi
korban bisikan iblis yang menyesatkan.
"Sesungguhnya tanah air tercinta ini mem-
butuhkan pendekar-pendekar berjiwa luhur se-
perti dia!" desah Parmin dalam hati.
Kemudian ia beringsut dari duduknya
mendekati Si Gila dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku merasa terharu mendengar riwayat
anda, Karta! Jika anda mencintai kekasih anda,
maka biarkanlah ia beristirahat dengan tenang di alam akhirat! Kita harus
menguburkan kembali
jenazahnya!"
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba Si Gila
mendengus dengan pancaran mata menolak.
"Tidak! Aku tidak mau berbuat kejam ter-
hadap Ain kekasihku!" Tangan Si Gila dari muara Bondet mencengkram kuat-kuat
bahu Parmin yang tetap bersikap tenang.
"Siapa bilang kita hendak menyakiti keka-
sihmu, Karta" Nuraini kekasihmu itu tetap ber-
samamu kemanapun kau pergi. Ia ada dalam kal-
bumu! Jiwa kekasihmu hidup abadi, Karta!" kata Parmin berusaha meyakinkan teman
barunya itu. Sinar mata Parmin memancarkan sugesti dan ini
benar-benar menusuk kalbu Si Gila.
"Tapi ketahuilah bahwa jasadnya berasal
dari alam, dari bumi ini, maka sepatutnyalah kalau isi peti ini kita kembalikan
pula ke dalam bu-mi!" sambung Parmin.
Atas nasihat-nasihat Parmin, akhirnya Kar-
ta mau juga merelakan jenazah Nuraini dikubur-
kan. Peti kayu yang sudah lima tahun berada di-
dekatnya kini harus dikubur. Lima tahun! Tentu
bisa dibayangkan bahwa didalamnya hanya ting-
gal tulang-belulang!
Lama juga Karta menekuri gundukan ta-
nah itu. Tapi ia sudah tidak menangis lagi. Ek-
spresi wajahnya mulai datar dan tatapan matanya bersinar kesadaran sebagai
seorang lelaki yang
waras. "Beristirahatlah dengan tenang, kekasihku!" kata-kata itu hanya terdegup
di dalam kalbunya. Karta duduk bersimpuh di depan kuburan
kekasihnya yang berada di bawah sebuah pohon
yang sangat rindang.
Parmin menatap punggung Karta dan turut
bersedih. Tapi ia harus membimbing Si Gila agar tak larut terus menerus dalam
kesedihan itu. "Semua orang akhirnya akan kembali ke-
pangkuan Ilahi. Kita tidak bisa menolak hal itu.


Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua pertemuan pasti diakhiri dengan perpisa-
han. Tetapi suatu perpisahan belum tentu berak-
hir dengan pertemuan. Kita harus rela melepas
kepergian orang yang kita cintai sebagaimana kita juga kelak akan meninggalkan
orang yang kita
cintai!" kata Parmin sambil berjalan menghampiri Si Gila yang semakin erat
memegang tonggak ni-san kuburan itu. Matanya menatap mata Si Gila
penuh harap. Ternyata perubahan yang diha-
rapkan sudah mulai tampak. Si Gila dari muara
Bondet mengembangkan senyumnya.
Wajahnya yang tampan itu sebenarnya
sangat manis bila tersenyum.
"Aku kini telah merelakannya! Aku tidak
merasa sendiri lagi di dunia ini. Aku telah menemukan jiwamu yang teduh dimana
aku bisa ber- naung. Aku akan ikut kemana anda pergi, pende-
kar budiman!!"
Parmin memegang bahu Si Gila dan men-
gajak kawan barunya itu untuk bangun dari du-
duknya. Si Gila segera bangkit.
"Nah, begitulah seharusnya sifat seorang
pendekar. Lupakanlah kepahitan itu dengan
mendarmabaktikan diri untuk membela bangsa
dan tanah air!" kata Parmin mengobarkan semangat kesatria yang di miliki Si Gila
agar selalu menegakkan kebenaran dan keadilan di manapun di
setiap jengkal persada bumi pertiwi ini.
"Sekarang apakah yang harus kulakukan"
Sudah sepatutnya aku yang bodoh ini menerima
segala petunjuk anda!" seru Si Gila merendahkan diri. Parmin benar-benar gembira
melihatnya, "Baiklah! Mulai saat ini kau menjadi adikku! Kita berjanji untuk sehidup-semati
berjuang bahu-membahu!" kata Parmin bersemangat.
Si Gila mengepalkan tinjunya ke atas sam-
bil mengembangkan senyum dan tatapan mata
yang optimis. Segera Parmin menyambutnya den-
gan kepalan tangan yang disilangkan ke tangan
adik angkatnya itu kuat-kuat. Semangat hidup-
nya kembali tumbuh. Matanya berbinar-binar. Si
Gila kini merasa tidak sebatang kara lagi. Ia sudah mempunyai semangat tumpuan
harapan dan tujuan hidup yakni berjuang melawan penjajah
Kumpeni Belanda yang sedang menghisap kerin-
gat dan darah bangsanya. Kini di antara kedua
pendekar muda itu telah terjalin ikatan batin
yang sangat kuat. Sepasang pendekar satu cita-
cita satu tujuan! Masing-masing bertekad untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan. Angin berdesir kencang tatkala mereka ber-
jabat tangan disusul dengan rangkulan hangat.
Seluruh hutan itu menyaksikan ikrar mereka dan
juga tanah yang masih merah di mana di dalam-
nya terbaring sosok tulang-berulang seorang ga-
dis yang setia dengan memilih mati daripada
menjadi milik orang lain.
Tiba-tiba Parmin dan Karta tersentak kaget
dan segera melepaskan rangkulan, ketika terden-
gar suara tawa terkekeh-kekeh yang datang dari
atas sebuah pohon besar tak jauh dari mereka.
"Hi hi hi hi hi hi...! Jangan kalian berkhayal macam-macam, anak muda! Sebentar
lagi ka- lian akan mati!"
"Nenek...."!"
Parmin terperangah melihat siapa sebenar-
nya sumber suara itu.
Ternyata ia adalah nenek-nenek yang bera-
da di pondok tepi hutan yang telah memberinya
nasi dan kuk untuk sarapan.
Karta pun menatapnya. Hanya saja ia sa-
ma sekali belum mengerti apa kaitannya dan
mengapa perempuan itu hadir di hadapan mere-
ka" "Ya! Dalam nasi yang kalian makan itu sudah kububuhi dengan racun yang
bekerja lambat agar kalian dapat merasakan sakitnya lalu mati
secara pelan-pelan!" lanjut nenek tersebut sambil menggosok giginya, yang
menghitam dengan su-sur tembakaunya.
Untuk sesaat Parmin tergagap.
"Si... siapakah sebenarnya anda" Mengapa
bermaksud mencelakai kami?" tanya Parmin yang mulai terpengaruh oleh sugesti
nenek bongkok yang bertengger seenaknya di atas dahan pohon
menandakan bahwa ilmu meringankan tubuhnya
sangat tinggi. "Orang menjuluki aku dengan nama NYAI
WEWE GENDEL! Hi hi hi...!" dan kali ini dalam tertawanya tampak nenek itu
semakin menye- ramkan seperti apa yang menjadi nama gelarnya.
Wewe Gendel adalah bahasa daerah setempat
yang berarti kuntilanak!
"Kau tentu ingat nama Leonard Van Ei-
sen?" tanya Wewe Gendel mendelik sehingga putih biji matanya terlihat lebih
banyak dan me- nambah seram tampangnya.
"Tentu! Dialah tuan tanah yang serakah
dan ingin menguasai desa Kandang Haur sebagai
lumbung bahan makanan bagi serdadu Kumpeni
Belanda!" jawab Parmin geram.
"Bagus! Keberadaan Leonard Van Eisen di
tanah Cirebon ini bukan tanpa dukungan, karena
bangsa Belanda itu bermaksud baik yakni akan
menata kehidupan dan mendidik bangsa kita
menjadi bangsa yang maju setaraf dengan bang-
sa-bangsa lain!"
"Dan anda adalah salah satu pendukung-
nya?" tanya Parmin lugas yang membuat keriput-keriput di wajah Nyai Wewe Gendel
seakan ber- tambah banyak secara mendadak.
"Tak salah, anak muda! Dan pertama-tama
tugasku adalah memusnahkan kerikil tajam se-
perti kau!" jawab Nyai Wewe Gendel sambil me-nudingkan jarinya dan berkacak
pinggang. "Katakan kepada orang-orang bule itu
bahwa negerinya bukan di sini! Pada mulanya
mereka datang dengan alasan untuk berdagang
segala rempah-rempah yang berasal dari negeri
ini untuk dipasarkan di Eropa sana. Tapi nya-
tanya sampai sekarang mereka masih tetap ber-
cokol disini dan semakin merajalela dengan men-
jadikan bangsa kita sebagai budak-budaknya!
Itukah yang dinamakan menata dan mendidik?"
Parmin berbicara dengan semangat yang berapi-
api dan siap untuk mendahului serangan sebelum
racun yang bersemayam didalam tubuhnya be-
nar-benar akan merenggut nyawanya.
Tapi mendadak sontak tubuh Si Gila dari
Muara Bondet menegang sambil tangannya me-
nekan perutnya sendiri.
"Kang Parmin..!!!"
Disusul dengan robohnya sang adik ang-
katnya itu ke tanah meliuk-liuk dan giginya mengatup rapat menahan rasa sakit
yang sangat hebat. Parmin segera menegakkan tubuh Si Gila
dan ia dengan cepat menekan kedua tangannya
ke perut Karta sambil menyalurkan hawa panas
dari dalam tubuhnya sendiri agar dapat mengu-
rangi rasa sakit itu. Tetapi malah sebaliknya. Tindakan ini berakibat fatal bagi
dirinya. Dari celah-celah bibir Parmin seketika meleleh darah hitam kental
sebagai luka yang sudah mengendap dalam perutnya. Tubuhnya bergetar. Parmin
mena- han perih di perutnya dan berjuang mengatur
pernapasan untuk membagikannya kepada Si Gi-
la. Bersamaan dengan itu, Nyai Wewe Gendel
melesat dari dahan pohon besar itu menukik ke
bawah. Tangannya menjulur dengan jari-jari yang berkuku runcing mengembang
terbuka seperti
cakar seekor serigala yang ganas mengancam
tengkuk Parmin dari belakang.
"Heyaaaaaaaaaaaa!!" suaranya merobek
udara pagi itu.
"Awas, kang!" teriak Karta.
Dengan gerakan reflek yang sangat kuat,
Parmin melempar diri ke samping sambil meme-
luk Si Gila erat-erat sehingga kedua pendekar
muda itu berguling-guling di atas tanah menghindar dari serangan Nyai Wewe
Gendel seperti se-
buah gulungan benang yang bergulir.
Sementara itu terkaman si nenek menye-
ruak tempat kosong dan menjebol akar-akar po-
hon tempat dua pendekar itu berada.
"Kurang ajar! Kalian tak mungkin lolos dari cengkramanku, tikus-tikus kecil!"
teriak Nyai Wewe Gendel geram karena serangannya luput.
Lalu ia memutar tubuhnya untuk memasang ju-
rus baru. Parmin tegak berdiri untuk siap siaga. Ia
berusaha agar rasa nyeri di perutnya tidak dirasakannya lagi. Konsentrasi nya
tertuju pada iblis pencabut nyawa yang garang di hadapannya. Air
liur kental bercampur warna coklat tembakau si-
rih meleleh dari sela-sela gigi nenek tersebut yang sudah tanggal beberapa biji
seperti sebuah sisir yang rompal. Kulit wajahnya yang berkerut-kerut semakin
angker dengan rona merah padam karena didorong nafsu membunuh yang menggebu-
gebu. Buah dadanya yang sudah mengendur se-
perti aliran lahar itu terpontang-panting hampir
ke pusarnya karena kain kemben yang menutupi
tubuhnya hampir terlepas ketika ia terjun bebas dari atas dahan pohon yang cukup
tinggi itu. Nyai Wewe Gendel tak perduli terhadap semua itu. Ia
siap menyerang lagi.
"Huaaaaah!! Kali ini kalian tak bisa mengelak lagi, anak muda jelek! Kalian tak
akan dapat menangkis jurus andalanku Cakar Luwak Wadon
sedang menyusui ini!" teriak Nyai Wewe Gendel sambil memasang kuda-kuda dengan
posisi kaki dan tangannya seperti seekor musang atau luwak
yang hendak mencakar lawan karena menggang-
gu anak yang sedang disusuinya.
"Bismillah....heep!" Parmin memasang jurus Hening Cipta. Sebuah jurus yang
mening- katkan kepekaan indera untuk menangkap segala
bentuk gejala yang ada pada lawan. Beberapa kali konsentrasinya buyar karena
rasa sakit yang
kembali menusuk-nusuk perutnya sepertinya ra-
cun keparat itu sedang menggerogoti usus-
ususnya dan mencabik-cabiknya. Sesekali Parmin
menggigit bibirnya sendiri dan berusaha sekuat
tenaga untuk memulihkan konsentrasinya.
Ketika telah mencapai keheningan dari
puncak jurus andalannya itu, Parmin dapat meli-
hat titik-titik lemah yang ada pada tubuh Nyai
Wewe Gendel, seperti juga titik-titik lemah seekor sejenis musang atau luwak
yang dipakai lawannya sebagai jiwa dari jurus andalannya.
Dan ketika Nyai Wewe Gendel itu berkele-
bat menyergap Parmin dengan cakar yang menyi-
lang siap mengoyak-ngoyak, ia dengan cepat
mendahuluinya dengan sebuah sodokan lurus
kearah ulu hati. Cakar nenek itu berhasil pula
menyentuh lawannya. Baju Parmin pada bagian
dadanya terkoyak menyilang, tetapi Nyai Wewe
Gendel itu menjerit lengking terjengkang ke belakang dan jatuh terlentang di
tanah. Ketika ia coba bangkit, napasnya seperti
hendak putus. Ia tersekat sehingga wajah nenek
itu menjadi pucat-pasi karena darah dari jan-
tungnya terhambat.
"Bangsat! Jurus apa yang kau pakai?"
"Jurus ikan asin menyeruak nasi!"
"Kurang ajar! Kau memperolok-olokku,
bangsat kecil!" Nyai Wewe Gendel terbatuk-batuk sambil mendekap dadanya. Ia
segera bangkit dengan kedua tangan dan jari-jarinya merentang ke
samping. Tapi nafsu membunuhnya sudah bulat-
bulat menguasai dirinya sehingga membuat sega-
lanya menjadi buta. Ia menerjang dengan ganas.
Tangan kanannya mengarah untuk mencengkram
tenggorokan, sedangkan tangan kirinya bertujuan membetot sesuatu di celah paha
Parmin. Benar-benar cara Kuntilanak dalam membantai korban-
nya. "Heyaaaaaatt!" Parmin meloncat ke udara ketika serangan itu datang sehingga
cengkraman lawan ke arah tenggorokannya kandas menembus
tempat kosong di celah pahanya. Dan tangan kiri yang ingin membetot alat
vitalnya terinjak telapak
kaki Parmin sekaligus untuk melambungkan tu-
buhnya lebih tinggi. Pada saat posisi kepala Nyai Wewe Gendel tepat di bawah
tubuhnya, segera
Parmin mengambil suatu tindakan yang cepat.
Telapak tangannya dalam keadaan miring ia sa-
betkan ke ubun-ubun lawannya.
Dengan cepat dan telak Parmin memukul
ubun-ubun Nyai Wewe Gendel dengan telapak
tangan miring Seketika terdengar suara berderak keras,
ditandai dengan retaknya kepala nenek tua itu.
Dalam sekejap rambutnya yang panjang seperti
benang lawe itu menjadi merah oleh semburan
darahnya sendiri yang memancar dari ubun-
ubunnya. Dengan jeritan melengking memilukan,
Nyai Wewe Gendel terjungkal ke tanah. Tubuh
kurus bongkok itu berkelojotan seperti seekor
udang dalam penggorengan panas! Terdengar su-
ara gemeletuk gigi-gigi ompongnya menahan sakit yang hebat dan nafasnya
menggerogok seperti
kayu digergaji. Kemudian setelah berkejat bebe-
rapa kali, nafas terakhirnya lolos dari tenggorokan dan tubuhnya lemas tak


Jaka Sembung 2 Si Gila Dari Muara Bondet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkutik lagi. Rumput-rumput di sekitarnya penuh per-
cikan darah dan sesuatu yang berwarna putih se-
perti tahu mentah.
Parmin bergidik sendirian, sementara ke-
dua kakinya telah mendapat dengan mantap di
atas tanah. Namun tiba-tiba tubuhnya oleng me-
rintih lirih sambil mendekap perutnya dengan kedua tangannya lalu roboh dengan
posisi tertekuk seperti orang sujud. Keringat dingin membasahi
seluruh tubuhnya yang menggigil hebat. Semen-
tara itu Si Gila dari muara Bondet sudah tidak
terdengar lagi suaranya dan tampaknya ia sudah
terbujur tak bergerak sambil memeluk gundukan
tanah kuburan kekasihnya.
"Ya, Allah! Kalau memang di sinilah ajalku, aku ikhlas menerimanya asal Kau
kabulkan per-mohonanku. Selamatkan nyawa saudara ang-
katku Karta untuk meneruskan perjuangan dan
tugasku!" Setelah itu tubuh Parmin perlahan-lahan
roboh ke samping untuk tak terlihat tanda-tanda ia masih hidup.
*** Entah berapa lama Parmin terkapar dalam
hutan dekat pesisir pantai teluk Cirebon itu. Angin senja membelai dedaunan dan
rerumputan semak-belukar hutan Celancang. Matahari yang
berwarna merah sudah amblas dikaki langit sebe-
lah barat. Angin senja yang terasa lembut itu juga membelai sekujur tubuh Parmin
yang tergolek tak bergerak. Sejuknya seolah-olah menyelinap ke se-genap pori-
pori tubuhnya dan beberapa saat ke-
mudian terdengar rintih lirih dari mulutnya. Ke-lopak matanya perlahan-lahan
terbuka. Pertama kali yang terlihat olehnya adalah
sosok tubuh mengabur yang sedang jongkok di
sampingnya. Ada gerak tangan yang menggun-
cang-guncangkan bahunya dengan perlahan dan
kemudian membantunya untuk bangkit duduk.
"Kau, dik....." Bagaimana kau bisa lolos da-ri serangan racun itu?" tanya Parmin
untuk per- tama kali. Ternyata yang ditanya tak lain adalah Karta, Si Gila dari muara
Bondet yang hanya tersenyum mengembang menyambut kebangkitan
saudara angkat yang ia cemaskan.
"Nyatanya kau juga selamat, kang Parmin!
Bisakah kau menjawabnya?"
"Allahu Akbar!" seru Parmin sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Pancaran
matanya penuh dengan rasa puji syukur.
"Apa yang kau ucapkan?" tanya Karta heran. "Kita selamat dari ancaman maut
karena kemurahan Tuhan. Agaknya kita berdua memang
tidak ditakdirkan mati karena racun nenek iblis yang berkedok malaikat penolong
dengan memberi kita nasi untuk makan sarapan!" ujar Parmin kepada adik angkatnya
yang sama sekali awam
terhadap ajaran agama.
"Itu artinya tugas kita masih banyak, Kar-
ta." "Ya, kang!"
Mereka membisu sejenak sambil saling
berpegangan tangan di bahu masing-masing di-
iringi tatapan mata penuh semangat. Keduanya
lalu bangun dan membenahi pakaian mereka
masing-masing yang sudah acak-acakan. Mereka
harus segera mulai menjalankan tugas dan kewa-
jiban sebagai patriot bangsa.
Kemudian Parmin memberi tugas kepada
Karta untuk mengumpulkan pendekar-pendekar
yang berjiwa patriot yang berada didaerah barat
Cirebon sesuai dengan tempat asal dan kampung
halaman Karta. Parmin sendiri pergi menuju ke
selatan kembali meneruskan tugas yang diama-
natkan oleh gurunya Ki Sapu Angin, demi tanah
air dan bangsa kepadanya.
Si Gila dari Muara Bondet melambaikan
tangannya sambil mengayunkan langkahnya me-
nuju ke barat. Demikian juga dengan Parmin. Ia
pun melangkahkan kakinya dengan rasa bangga
terhadap adik angkatnya itu. Untuk sementara
mereka berpisah dan kelak di suatu saat mereka
kembali berkumpul dan menghimpun kekuatan
untuk mengadakan pemberontakan membe-
baskan tanah air tercinta dari belenggu penjajahan Kumpeni Belanda.
Sampai episode ke dua berjudul
Si Gila dari Muara Bondet ini,
kita belum juga bertemu dengan JAKASEMBUNG.
Siapa gerangan dia" Baiklah, kita nantikan saja kehadiran episode ketiga yang
berjudul "MENUMPAS BERGOLA IJO"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jala Pedang Jaring Sutra 6 Pengemis Tua Aneh Ouw Bin Hiap Kek Karya Kho Ping Hoo Kekaisaran Rajawali Emas 2
^