Pencarian

Raja Rampok Lereng Ciremai 1

Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Bagian 1


?" RAJA RAMPOK DARI
LERENG CIREMAI Oleh : Djair Warni
Alih versi : Danny Situmeang
Judul asli : Gembong Wungu
Sampul/ilustrasi : Djair
penerbit SARANA KARYA
cetakan pertama 1991
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
MATAHARI tepat berada di atas
kepala. Langit biru, sangat jernih.
Hanya di langit bagian selatan, di atas bukit kelihatan sepotong awan putih
bergerak perlahan ditiup angin.
Awan itu melayang berarak, lalu pecah berderai dan hilang entah ke mana.
Desa Perbutulan, sebuah desa di
lereng gunung Ciremai, tampak masih sepi. Rumah penduduk masih jarang, dan jarak
antara yang satu dengan yang lain cukup jauh. Di belakang perumahan penduduk,
tampak rangkaian bukit-bukit yang memanjang dari timur ke barat.
Hutan di situ tidak terlalu lebat, sehingga dengan jelas terlihat dua pohon
kelapa menjulang tinggi bagaikan tiang bendera. Daun-daunnya melambai-lambai
bagai menari-nari dengan amat riangnya. Di atas gundukan tanah, akar-akarnya
mencengkeram sangat ko-kohnya membuat pohon kelapa itu tetap berdiri kokoh walau
setiap hari dihembus angin. Beberapa ekor burung pipit dengan bulu-bulu berkilauan ditimpa
sinar matahari, hinggap di daun pohon kelapa lalu berkicau
sepuas-puasnya, mungkin sedang menga-barkan kegembiraannya di siang hari itu.
Tak jauh dari pohon kelapa yang
melambai-lambai itu ada sebuah warung sederhana, berukuran sekitar lima kali
enam meter. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan atapnya dari rumbia.
Agaknya bangunan itu sudah tua.
Beberapa tiang yang terbuat dari kayu bulat mulai lapuk dimakan usia.
Sekalipun demikian, warung sederhana itu selalu ramai terutama oleh para
penjudi, pemabukan serta jagoan-jagoan desa.
Dari warung itu terdengar suara
tawa terbahak-bahak, sambung-menyambung seperti bunyi bedug. Di ruangan tengah,
di atas meja dan kursi kayu, sekelompok lelaki sedang asyik minum-minum sambil
main judi. Usia mereka rata-rata empat puluh sampai lima puluh, tapi tak sedikit
pun menun-jukkan sikap sebagaimana halnya
orangtua yang bijaksana. Selain
bertampang seram, cara duduk maupun bicara mereka juga sangat kasar.
Tetapi karena pengunjung lainnya di warung itu mengetahui kehebatan
kelompok lelaki itu, tak ada yang berani melarang atau menasehati.
"Puaslah aku semalam ini. Uang dapat hiburan pun dapat," kata salah seorang di
antaranya sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu sambil menggebrak meja kuat-kuat,
ia berkata kepada pemilik warung dengan suara membentak:
"Hei, Pak Kastam! Tambahkan lagi kue getuk dan tuaknya ini. Bawa saja
sekalian gentongnya kemari. Cepat!
Jangan kelelar-keleler macam keong.
Aku sudah kehausan."
Dengan langkah tergopoh-gopoh,
Pak Kastam mengambil kue getuk
beberapa piring, kemudian menyuguhkan beberapa guci tuak ke meja para jagoan
desa itu. "Hai, kawan-kawan. Marilah kita minum sepuas hati kita. Kita nikmati sepuasnya
apa saja yang kita hendaki.
Hari ini adalah hari yang sangat
menyenangkan, bukan?"
Tiba-tiba seorang lelaki asing
masuk ke dalam warung. Seketika tawa dan suara pembicaraan mereka terhenti.
Suasana yang tadinya hingar bingar berbalik jadi sepi. Lelaki asing itu sejenak
berdiri sambil menyapu seisi ruangan dengan tatapan matanya yang mencorong tajam
bagai mata pedang.
Usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya kekar dan otot-ototnya
berisi. Sama seperti para pendekar desa Perbutulan, ia pun mengikat
rambutnya dengan sepotong kain.
Pakaiannya serba ungu, dihiasi kain sarung yang dililitkan dari bahu kanan
sampai ke pinggang.
Ada satu hal yang paling menarik
pada diri lelaki itu, yakni mata
kirinya ditutupi kain hitam sehingga mirip kaca mata, yang diikat dengan tali ke
belakang kepala. Melihat
perawakan serta sinar mata lelaki itu,
dapatlah diterka bahwa ia bukanlah orang sembarangan.
"Hei, pemilik warung. Beri aku nasi lengko satu piring dan sambal yang banyak
serta arak satu kendi,"
kata lelaki itu.
"Ini arak istimewa, tuan. Sudah tersimpan lama di dalam kendi," kata Pak Rastam
saat menyuguhkan minuman itu di hadapan tamunya.
"Bagus! Bagus! Kebetulan sekali aku bertemu dengan cakil-cakil ini.
Inikah jago-jago dari desa ini?" tanya si mata satu sambil menatap para
pendekar desa Perbutulan dengan sikap mengejek. Mendengar ucapan yang
bernada ejekan itu, para jagoan desa menjadi terkejut. Bukan saja karena tak
mengira ada orang yang berani bersikap seperti itu. Tetapi juga karena suara
lelaki itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga suara
yang berat dan serak itu terasa menggetarkan dinding dan menegakkan bulu kuduk
orang yang mendengarnya.
Belum hilang rasa terkejut
kelompok jagoan desa Perbutulan, si mata satu telah mencengkeram pundak salah
seorang di antaranya.
"Hei, cakil. Berikan semua uang yang ada dalam kantong kalian. Hm, seharusnya
kalian tahu siapa yang datang ini. Kalian harus menghor-
matiku. Ayo, kumpulkan uang itu di atas meja!"
Mendengar itu, hilanglah kesaba-
ran para jagoan desa Perbutulan.
Bagaikan dikomando, mereka sama-sama bangkit berdiri dan menatap si mata satu
dengan sinar mata merah bagaikan memancarkan api.
"Bedebah kau! Berani kurang ajar kepada jago-jago desa Perbutulan ini.
Jangan coba-coba unjuk gigi di kandang buaya kalau tak ingin mampus."
"Ha-ha-ha...! Buaya-buaya
ompong. Kalian belum kenal siapa aku.
Jangan kira aku anak kecil yang bisa digertak orang-orang tolol seperti kalian."
"Lemparkan keluar bangsat yang besar mulut itu!" Bersamaan dengan itu, para
jagoan desa segera menghunus pedang dan mengurung si mata satu.
Suasana di dalam warung seketika
menjadi tegang. Sepertinya pertumpahan darah tidak akan terhindarkan lagi.
Sekalipun demikian, si mata satu tetap tenang, bahkan masih sempat tersenyum
sinis. "Kuperingatkan sekali lagi,
serahkan semua uang kalian. Atau
kepala kalian akan kubuntungi."
"Diam kau, bangsat! Serang....!"
Maka terjadilah pertarungan seru
di dalam warung yang cukup sempit itu.
Gelas, piring dan kendi beterbangan,
meja dan kursi terbalik menimbulkan suara gaduh bercampur dengan suara teriakan
dan makian. Pak Rastam,
pemilik warung itu lari terbirit-birit menyelamatkan diri karena takut jadi
sasaran amukan para lelaki yang sedang bertarung itu.
Tepat seperti yang diperkirakan
para jagoan desa Perbutulan, si mata satu ternyata bukanlah orang sembarangan.
Di samping memiliki tenaga dalam yang dahsyat, gerakannya pun sangat cepat dan
sukar diikuti pandangan mata. Tak satu pun sabetan pedang lawan mengenai tubuhnya. Bahkan
hanya dalam beberapa jurus saja, si mata satu berhasil memukul dan menendang
lawan-lawannya hingga terlempar keluar warung. Sesosok tubuh lawan terpental
membobol dinding, sementara seorang lagi melayang membobol atap warung.
Hanya beberapa menit kemudian,
warung itu sepi kembali. Para jagoan desa Perbutulan tak berdaya sama
sekali menghadapi serangan si mata satu yang luar biasa. Mereka
bergelimpangan dengan luka-luka mengu-curkan darah segar. Dengan sangat
tenangnya, si mata satu kembali
mereguk minumannya. Ia duduk sendirian di dalam ruangan warung yang telah acak-
acakkan dengan sikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Maka saat itu juga, desa
Perbutulan menjadi gempar. Gebrakan lelaki asing bermata satu itu segera meluas
dari mulut-mulut. Para jagoan desa lainnya maupun penduduk pun
bertanya-tanya, siapakah gerangan lelaki yang memiliki kesaktian luar biasa itu"
Dari mana asalnya, siapa namanya dan apa maksudnya bikin
keonaran di desa Perbutulan"
Sepak terjang si mata satu juga
sangat menarik perhatian Gagak
Ciremai, guru silat yang paling kesohor di desa Perbutulan. Ia mendapat laporan
dari muridnya sore harinya bahwa seorang laki-laki asing bermata satu telah
membikin keonaran. Lelaki itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga hanya
dalam beberapa jurus saja, beberapa jagoan desa telah tewas di tangannya.
"Di antara kami berempat hanya sayalah yang kebetulan lolos dari pedang mautnya.
Karena saya saat itu pingsan ditendang. Saya rasa dia
datang dari sebelah selatan gunung Ciremai, Pak Guru."
"Hm... datang dari jauh untuk mengacau rasanya tidak mungkin. Pasti ada suatu
maksud tertentu. Dalam dunia persilatan, jika seseorang sampai begitu jauh
menempuh perjalanan dan sengaja membuat kerusuhan di suatu tempat, biasanya dia
bermaksud balas
dendam. Tetapi seingatku sejak masa muda aku belum pernah memusuhi orang lain.
Apalagi ketika kau sebutkan ciri-cirinya. Seingatku belumlah pernah berurusan
dengan pendekar bermata satu seperti dia."
"Kalau begitu apakah gerangan maksudnya, Pak Guru?"
"Entahlah, aku sendiri belum bisa menerkanya. Tapi kuperingatkan kepada kalian,
jangan sampai lebih dahulu mencari permusuhan dengan orang asing mana pun yang
datang ke desa ini. Barangsiapa di antara murid-muridku yang melanggar peraturan
ini, pasti akan dihukum. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!"
Setelah muridnya itu pergi,
Gagak Ciremai termenung. Hatinya masih penuh tanda tanya dan otaknya berpikir
keras mengingat-ingat barangkali pada waktu dulu ia pernah berurusan dengan
lelaki bermata satu. Tapi rasanya belum pernah sampai usianya yang
sekarang telah hampir lima puluh
tahun. Gagak Ciremai diam-diam merasa tidak enak, sebab firasatnya
mengatakan lelaki bermata satu itu pastilah hendak berurusan dengannya hingga
datang ke desa Perbutulan.
Istri Gagak Ciremai rupanya
cukup jeli memperhatikan perubahan suaminya. Tak salah lagi, pastilah ada
sangkut pautnya dengan kedatangan si
mata satu ke desa mereka. Dan itu kemudian ia katakan kepada suaminya.
"Sejak kedatangan orang asing itu, kau tampak selalu resah. Saya rasa ia akan
segera meninggalkan desa kita.
"Firasatku berkata tidak,
istriku. Ia pasti tidak akan angkat kaki dari sini sebelum maksudnya
tercapai. Barangkali kau beranggapan ia hanya seorang pengembara yang
terpaksa merampok karena kehabisan bekal. Tidak, istriku. Secara tidak langsung,
ia telah menantang aku
sebagai guru silat di desa ini."
"Jadi...."
Gagak Ciremai meraih anaknya
yang baru berusia satu tahun, dan sambil menggendong buah hatinya penuh kasih
sayang, guru silat itu berkata:
"Seorang jago silat harus
mempunyai dasar batin yang baik, agar menjadi seorang jago bersifat
kesatria. Sebaliknya jika batin itu buruk, jago silat akan menggunakan ilmunya
secara sewenang-wenang. Ia akan menjadi seorang jagoan sombong, brutal, membunuh
orang seperti menepuk lalat. Ia tidak segan-segan membunuh hanya karena uang
beberapa gulden saja. Atau melakukan pembantaian hanya untuk membakar amarah
musuhnya. Itulah makanya perlu kita ajarkan perintah Tuhan kepada murid-murid di
perguruan silatku. Ilmu tanpa agama akan runtuh, membuat orang mau berbuat kotor hanya
untuk memuaskan nafsu setannya."
Bisikan Gagak Ciremai ternyata
kemudian terbukti juga. Beberapa hari kemudian, tepatnya siang hari, sege-
rombolan lelaki warga desa Perbutulan sedang asyik mengadu ayam, hobby
mereka yang tradisional.
Para laki-laki itu saling
berteriak-teriak menjagokan ayam
kesayangannya. "Ayo, patok merah. Habisi si hitam itu. Jangan kasih hati."
"Jangan takut, hitam. Hajar si merah sampai mampus," teriak yang lainnya tak
kalah serunya. Mereka semakin terlena dalam ketegangan
menyaksikan dua ayam jago itu beradu.
Apalagi pada saat kedua ayam itu sama-sama melayang tinggi ke udara untuk saling
menyerang, para penonton
menahan nafas. Tetapi tiba-tiba terlihat
kilatan cahaya ke tengah arena. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh sangat di
luar dugaan. Kedua leher ayam jago itu sama-sama putus sebatas leher, lalu
menggelinding di atas tanah. Sedangkan tubuh ayam yang sudah buntung itu sama-
sama berkelojotan dengan darah memancar dari lehernya yang telah putus, kemudian
diam tak bergerak-gerak lagi.
Belum hilang rasa terkejut para
penonton, tiba-tiba terdengar suara serak dan berat dari arah belakang mereka.
"Maafkan, aku telah mengganggu kalian." Bersamaan dengan itu mendadak muncul
seorang lelaki asing, si mata satu!
"Jadi... jadi kaukah yang telah membunuh ayam jagoanku" Huh, bangsat tengik. Apa
maksudmu, hah?"
"Kau sudah tahu, kenapa masih bertanya" Aku hanya ingin menolong ayam itu agar
tidak tersiksa demi memuaskan hati kalian," kata si mata satu seenaknya.
"Bangsat, picak! Rupanya kau memang coba-coba ingin bermain api dengan jagoan
desa Perbutulan.
Sekarang aku akan membuat lehermu buntung seperti ayam itu."
"Ha-ha-ha...! Kalian tak ubahnya anak-anak ayam yang mencoba melawan elang
perkasa. Rupanya kalian tidak sayang nyawa. Aku bisa merobohkan kalian sekejap
dengan mata terpejam.
Sebaiknya kalian panggil guru kalian untuk menghadapi aku. Kalian dengar itu?"
Belum hilang rasa terkejut para penonton, tiba-tiba terdengar suara serak dan
berat dari arah belakang mereka.
"Maafkan, aku telah mengganggu kalian," Bersamaan dengan itu mendadak muncul
seorang lelaki asing, si mata satu!
"Bacotmu terlalu besar, manusia iblis. Langkahilah mayat murid-muridnya lebih
dulu. Ayo serbu...!"
Para lelaki yang tadi asyik
menonton adu ayam itu kini menyerang dengan senjata golok di tangan.
Tampaknya mereka benar-benar marah sehingga serangannya sangat ganas dan
mematikan. Sabetan-sabetan golok
mereka mengarah kepada bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan.
Namun rupanya ucapan si mata
satu bukanlah sekadar bualan belaka.
Semua serangan lawan-lawannya dengan mudah dapat dielakkannya. Bahkan
kemudian, dengan golok mautnya ia balas menyerang dengan gerakan yang teramat


Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sulit diikuti mata saking cepatnya. Satu per satu, lawannya bergelimpangan
bersimbah darah dengan tubuh terkena sabetan golok.
Dalam beberapa gebrakan, si mata
satu menghabisi nyawa lawannya,
kecuali satu yang memang sengaja ia biarkan hidup.
"Aku sengaja membiarkan kau
hidup, tikus kecil. Pulanglah sekarang juga dan beritahu kepada gurumu bahwa aku
menunggunya dilembah Cadas
Kuriling. Ayo, cepat!"
Lelaki yang memang murid Gagak
Ciremai itu langsung terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Ia segera
melaporkan peristiwa itu kepada
gurunya. "Guru, si mata setan itu kembali menebar maut. Ampunilah kami guru, karena kami
tak mampu menghadapi
pengacau itu. Ia juga berpesan agar guru menemuinya di lembah Cadas
Kuriling."
"Pulanglah, Warso. Aku akan
menerima tantangannya."
Sambil menatap kepergian Warso,
Gagak Ciremai menghela nafas dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-
kerut, sementara matanya menatap lurus ke luar melalui jendela. Tak salah lagi,
ilmu pedangnya memang luar
biasa. Barangkali aku pun tidak akan mampu menghadapinya. Tetapi sebagai guru
silat di desa ini dan sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, aku tak
mungkin menolak tantangannya.
Akan kuhadapi dia, semoga Tuhan
melindungiku. Gagak Ciremai berguman dalam hati.
Kemudian ia menuju ke halaman
belakang, menemui pesuruhnya Kosim yang saat itu sedang bercanda ria bersama
Ranti. "Kosim, ibu si Ranti tampaknya belum pulang juga. Mungkin dia agak lama
pulangnya. Jagalah anakku baik-baik. Aku akan pergi sebentar ke
lembah Cadas Kuriling untuk menemui seseorang."
"Baik, den. Den Ranti akan saya jaga baik-baik. Apakah aden akan lama pulangnya"
Kalau ada pesan akan
kusampaikan kepada den Ajeng."
"Oh, tidak. Aku hanya sebentar saja. Mungkin sebelum beduk lohor aku sudah
pulang." Sehabis berkata begitu, Gagak Ciremai memeluk Ranti. Dibelai-belainya
rambut anaknya itu dan
diciuminya sepuas-puas hati. Buah hatiku, doakanlah ayahmu... bisiknya dalam
hati. Entah kenapa kali ini perasaannya sangat terharu. Hampir saja airmatanya
jatuh berderai membasahi pipinya. Tetapi sebagai seorang pendekar yang telah puluhan tahun
malang melintang di dunia
persilatan, ia masih mampu menahan perasaan.
Gagak Ciremai kemudian menyerah-
kan Ranti kepada Kosim, lalu beranjak meninggalkan rumah, diiringi pandangan
mata Kosim yang keheranan, seakan-akan firasat pesuruh itu membisikkan
sesuatu yang tidak baik.
Gagak Ciremai kemudian menye-
rahkan Ranti kepada Kosim, lalu
beranjak meninggalkan rumah, diiringi pandangan mata Kosim yang keheranan,
seakan-akan firasat pesuruh itu membisikkan sesuatu yang tidak baik...
Matahari mulai bergulir ke arah
barat ketika Gagak Ciremai tiba di lembah Cadas Kuriling. Lembah itu sangat
sepi, tak ada suara hiruk pikuk orang mengadu ayam atau suara anak-anak yang
sedang bermain-main, atau suara teriakan murid-murid Gagak
Ciremai saat latihan jurus-jurus ilmu silat. Di lembah itu ada dataran kecil
mirip lapangan. Di pinggirnya, berdiri seorang lelaki, tegak dan tak
bergerak-gerak hingga mirip patung.
Itulah dia si mata satu!
Pendekar yang dalam beberapa
hari ini membuat desa Perbutulan
gempar, menatap lurus ke depan.
Matanya yang merah bagaikan memancarkan api hampir tak berkedip.
Bibirnya terkatup rapat. Dari wajahnya yang dingin itu terpancar kebengisan dan
hawa nafsu membunuh yang
sepertinya tak mampu dikekang lagi.
"Ayah, bertahun-tahun aku menuntut ilmu, kemudian mengembara mengelilingi
lereng-lereng gunung Ciremai ini.
Hari inilah aku akan menebus dendam patimu. Semoga terwujud sumpah yang pernah
kuucapkan di hadapan
jenazahmu!" Si mata satu berguman di dalam hati.
Tak lama kemudian, Gagak Ciremai
tiba di tempat itu. Guru silat yang kesohor itu melangkah perlahan,
kemudian berhenti di ujung dataran
kecil itu, sementara di ujung yang satu lagi berdiri pula si mata satu.
Kedua pendekar itu saling bertatapan.
"Ha-ha-ha, aku sangat gembira melihat kedatanganmu. Benar juga
dugaanku, orang yang selama ini
kucari-cari bukan pengecut. Kau telah datang ke sini memenuhi tantanganku.
Apakah kau sudah siap?" tanya si mata satu sembari mencekal hulu pedangnya.
"Aku datang untuk menyaksikan permainan golokmu yang luar biasa.
Mungkin inilah kesempatan yang pertama kali bagiku menyaksikan ilmu pedang luar
biasa. Akan tetapi sebelumnya perkenankanlah aku bertanya, kesalahan apakah yang
telah kulakukan hingga Anda mau bersusah payah menyusuri lereng gunung Ciremai
ini hanya untuk bertemu dengan aku yang bodoh ini"
Siapakah Anda sebenarnya?"
"Hm, rupanya kau telah lupa
dengan hutang pati yang telah kau lakukan," bentak si mata satu dengan sikap
yang tiba-tiba saja berubah jadi beringas, "Tapi baiklah. Aku pun tidak akan
puas sebelum kau mengetahui siapa aku sebenarnya. Orang-orang di lereng selatan
menyebutku Gembong Wungu.
Kedatanganku ke lereng gunung ini untuk menebus hutang nyawamu, Gagak Ciremai."
"Gembong Wungu, aku tak mengerti maksudmu."
"Jangan belagak pilon, Gagak Ciremai. Ingatkah kau seorang lelaki bernama
Gembong Kuning yang kau
robohkan lima belas tahun lalu di lereng selatan" Aku adalah anak
tunggalnya yang saat itu masih
ingusan." Gagak Ciremai tertegun sejenak.
Ia kembali mengingat-ingat pengala-mannya semasa muda, saat itu sering
mengembara ke seluruh pelosok Jawa Barat, untuk memperdalam ilmunya, termasuk
pula menumpas kaum hitam yang sering membuat penduduk sengsara dan tersiksa.
"Ya, aku ingat. Aku ingat,
Gembong Wungu. Tapi kau harus mengerti duduk persoalannya. Ayahmu seorang
perampok yang selalu mengancam ke-amanan penduduk desa di lereng
selatan. Karena itu saya harap kau tidak termakan emosi. Maksudmu
membalas dendam tidak baik, bisa
menimbulkan kesan bahwa kau menegakkan kebathilan bukannya kebaikan. Dan perlu
kau tahu, saat itu aku
sebenarnya tak bermaksud membunuh ayahmu. Aku memberinya kesempatan untuk
bertobat, tetapi nyatanya ia tetap bandel. Kewajiban seorang
pendekar adalah menumpas kejahatan dan menegakkan keadilan. Tuhan selalu berdiri
di pihak yang benar, Gembong Wungu."
"Aku tak butuh ocehanmu gagak pikun. Bagaimana pun, kau telah
membunuh ayahku. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Cabutlah
senjatamu, kita selesaikan persoalan kita sampai salah seorang di antara kita
menghadap akherat."
"Baiklah, Gembong Wungu. Aku sebenarnya tak ingin berkelahi apalagi adu nyawa
denganmu. Tapi karena kau memaksa, aku pun tidak menolak
tantanganmu. Aku sudah siap. Majulah Gembong Wungu!"
Kedua pendekar dari lereng utara
dan lereng selatan itu sama-sama
menghunus pedang. Melihat golok di tangan Gembong Wungu diam-diam
terkejut juga Gagak Ciremai. Golok itu sepintas lalu kelihatannya hanyalah
sebatang golok biasa. Namun sebagai pendekar yang sudah cukup banyak makan garam
dunia persilatan, tahulah Gagak Ciremai bahwa golok lawan merupakan golok pusaka
yang sangat kuat dan berbahaya,
Sambil berteriak dengan suara
mengguntur, Gembong Wungu menyerang dengan ganas. Golok pusakanya diayun-kan
cepat sekali hingga membentuk sinar bagaikan pelangi mengarah ke arah dada Gagak
Ciremai. Dengan
gerakan yang juga sangat cepat, guru silat desa Perbutulan itu berkelit ke
samping, lalu balas menyerang dengan
pedangnya. Pertarungan dua jago silat itu
berlangsung sangat cepat. Golok mereka diputar sangat cepat hingga membentuk
gulungan sinar kemerah-merahan,
kadang-kadang terlihat bagaikan membungkus kedua tubuh pendekar sakti itu.
Tetapi pada saat-saat tertentu, sinar itu mencelat mengincar tubuh lawan. Suara
golok beradu dan teriakan nyaring memenuhi lembah Cadas
Kuriling. Kedua tokoh dunia persilatan yang sama-sama memiliki ilmu kesaktian
tinggi itu mengeluarkan segenap
kemampuan untuk melumpuhkan lawan.
Tubuh mereka berkelebatan menyerupai bayang-bayang, sehingga orang-orang biasa
atau yang ilmu silatnya rendah pastilah sulit mengikuti gerakan
Gembong Wungu dan Gagak Ciremai.
Sampai jurus yang ke tujuh
puluhan, pertarungan maut itu masih berimbang. Gagak Ciremai masih mampu
mengimbangi serangan lawan dengan jurus-jurus andalannya. Namun setelah itu,
mulai terlihat Gagak Ciremai agak keteter. Diam-diam ia harus mengakui bahwa
tenaga lawan lebih kuat dari tenaganya. Selain itu, jurus-jurus Gembong Wungu
sangat berbahaya dan sangat tidak terduga. Jagoan bermata satu itu sering
terlihat menyerang secara ngawur, tetapi di saat lawan lengah, tiba-tiba ia
menyerang dengan
jurus-jurus mematikan. Untunglah Gagak Ciremai selalu hati-hati hingga sampai
saat ini masih bisa bertahan.
Memasuki jurus yang kedelapan
puluh, pada saat Gagak Ciremai makin terdesak, tiba-tiba Gembong Wungu menyerang
dengan jurus mautnya. Tangan kirinya membentuk cengkeraman
menyambar ke arah ubun-ubun lawan sementara pada saat yang hampir
bersamaan, kakinya terangkat dengan gerakan kilat menyambar pusar lawan.
Serangan itu begitu berbahaya,
kalau mengenai sasaran niscaya lawan akan terkapar. Diam-diam Gagak Ciremai
terkejut bukan main. Dengan gerakan secepat yang bisa ia lakukan, ia
menggeser kakinya, berkelit ke kanan hingga dua serangan itu tidak mengenai
tubuhnya. Namun pada saat itu juga ujung golok Gembong Wungu menyambar perut
Gagak Ciremai dengan telak.
Disertai jeritan panjang, tubuh
guru silat desa Perbutulan itu ambruk ke tanah. Darah segar memancar dari luka
menganga di bagian perutnya.
Sejenak tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih, lalu
kemudian diam tak bergerak. Maka
tamatlah riwayat guru silat yang luhur budi itu di ujung golok seorang tokoh
hitam dari lereng selatan.
.... tiba-tiba Gembong Wungu
menyerang dengan jurus mautnya. Tangan kirinya membentuk cengkeraman menyambar
ke arah ubun-ubun lawan sementara pada saat yang bersamaan, kakinya terangkat
dengan gerakan kuat menyambar pusar lawan...
Pada saat yang bersamaan, dengan
tangan gemetar, istri Gagak Ciremai membaca secarik kertas yang ditinggal
suaminya di atas meja. Isi surat itu singkat saja, namun cukup membuat istri
Gagak Ciremai menjadi pucat pasi dengan dada berdebar-debar tak karuan.
Istriku, sayang. Bukan aku
hendak mendahului kehendak yang Maha Kuasa. Kurasa tindakan yang paling tepat
adalah menerima tantangan si durjana ini. Bila aku tidak kembali, janganlah kau
menangis, tetapi
berdoalah. Karena semua ini adalah takdir...
"Oh, tidak! Tidak....!" jerit istri Gagak Ciremai. Dengan perasaan tak menentu,
wanita itu berlari-lari ke Cadas Kuriling. Ia tak
memperdulikan apa-apa lagi. Ia
mengerahkan segenap kemampuannya
berlari secepat mungkin agar bisa sampai secepatnya ke lembah Cadas Kuriling.
Sambil berlari-lari, wanita itu tak henti-hentinya menangis dan menyebut-nyebut
nama suaminya. Sesampai di lembah itu, maka
terhenyaklah istri Gagak Ciremai
karena jenazah suaminya sudah dike-bumikan dua orang murid suaminya itu.
Ia menubruk gundukan tanah merah itu sambil meratap sejadi-jadinya.
Perpisahan itu sungguh tak pernah
diharapkannya, tetapi kini sudah jadi kenyataan. Lelaki yang sangat dicin-tainya
dengan segenap jiwa raganya telah pergi untuk selamanya. Tiada lagi, semuanya
telah hancur. Maka pupus pulalah harapan istri Gagak Ciremai.
Wanita itu menjerit-jerit his-
teris bagaikan orang yang telah
kehilangan kewarasan. Ia bangkit
meninggalkan kuburan suaminya dan berlari ke arah semak-semak belukar di tempat
itu. Dua murid Gagak Ciremai terpaku bagai kena sihir. Keduanya hanya melongo
saja, dan ketika tubuh istri Gagak Ciremai telah lenyap di balik belukar, mereka
tersentak tersadar lalu sama-sama mengejar.
Namun tubuh wanita itu benar-benar lenyap entah ke mana.
Tamatnya riwayat Gagak Ciremai
di tangan Gembong Wungu ternyata
menjadi awal malapetaka bagi penduduk desa Perbutulan. Jagoan bermata satu dari
lereng selatan itu ternyata
tidaklah meninggalkan desa itu setelah berhasil melampiaskan dendam kesumat-nya
kepada musuhnya. Tokoh hitam itu melangkah dengan sikap bengis di
antara rumah-rumah penduduk dengan sikap siap sedia membunuh siapa saja yang
tampak oleh batang hidungnya.
Sambil membusungkan dada,
Gembong Wungu melangkah ke rumah Gagak
Ciremai. Ia langsung menendang daun pintu rumah guru silat itu hingga jebol.
Kosim yang saat itu meringkuk ketakutan sambil mendekap Ranti
semakin ketakutan lagi. Sekujur
tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi seolah-olah tak dialiri darah lagi.
"Siapa kau, kunyuk" Heh, anak siapa itu" Bawa anak itu ke mari. Ayo, jangan
merondok saja di situ!" bentak Gembong Wungu sambil berkacak
pinggang. "Ja... jangan, tuan. Jangan...
oh, ampun tuan. Dia tidak berdosa.
Jangan membunuhnya,"
"Ke sini, kataku. Aku senang dengan mata si mungil yang bening menantang
bagaikan bintang kejora itu.
Mari, sayang. Jangan takut, ya...."
Lalu dengan suara yang kembali kasar ia bertanya kepada pesuruh Gagak
Ciremai: "Hei, tolol. Siapa namamu?"
"Ko... Kosim, tuan..."
"Ha-ha-ha... Kosim. Saksikanlah.
Mulai detik ini si mungil ini menjadi anak angkatku. Akan kudidik dia
menjadi seorang pendekar yang gagah berani," kata Gembong Wungu sambil menimang-
nimang anak itu.
Sejak saat itu pula, Gembong
Wungu mengangkat dirinya sebagai
pengganti kedudukan Gagak Ciremai.
Namun banyak di antara penduduk desa yang menolak jadi muridnya, lalu
melarikan diri ke desa lain.


Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya, di desa Perbutulan semakin banyak penjahat, tokoh-tokoh dari dunia
hitam. Sebab kemudian ternyata Gembong Wungu bukannya menjadi
pemimpin yang baik seperti almarhum Gagak Ciremai, tapi menjadi gembong
komplotan garong dan rampok. Desa Perbutulan yang dulu aman tenteram, kini
berubah jadi angker. Penduduk makin hari makin tersiksa oleh
kekejaman Gembong Wungu dan pengikutnya. Di sana sini terjadi
perampokan, pemerasan, perkosaan dan kejahatan lainnya. Penduduk yang
mencoba menentang langsung ditumpas tanpa ampun.
Maka makin banyak jua lah korban yang jatuh di ujung pedang si mata satu serta
pengikutnya. Kini tiada lagi penduduk yang bisa hidup dengan tenang. Siang dan
malam mereka tertekan, tersiksa dan selalu diburu kecemasan akan kejamnya penjahat di desa
mereka. Keganasan Gembong Wungu serta
pengikutnya ternyata tidak hanya di desa Perbutulan saja, tetapi juga merembet
sampai ke kota praja.
Ganasnya sepak terjang Gembong Wungu dan pengikutnya sampai pula ke telinga para
pejabat pemerintah Kompeni
Belanda. Pemerintah penjajah ini
pernah mengirimkan bala tentara
menumpas komplotan Gembong Wungu.
Tetapi dengan mudah, pasukan
pemerintah Belanda itu ditumpas
pasukan Gembong Wungu.
Pemerintah Belanda akhirnya
merasa kewalahan juga. Di samping itu, mereka juga punya perhitungan lain,
karena berbagai pertimbangan dan
alasan mereka akhirnya merasa tak perlu menumpas komplotan penjahat itu, yang
penting anak buah Gembong Wungu tidak mempengaruhi hasil pajak yang dipungut
dari daerah-daerah.
Lagi pula Gembong Wungu bertindak hanya terbatas pada kejahatan biasa untuk
kepentingan pribadi atau kelompok kecil. Tidak ada tanda-tanda persatuan untuk
menjadi pemberontak terhadap penjajah.
Waktu pun berputar, biar lambat
namun pasti. Berbagai kejadian telah tercatat dalam sejarah, tersimpan dalam
ingatan orang dan yang kelak menjadi kenangan. Hari berganti hari kemudian
minggu bulan dan tahun pun silih berganti.
Lima belas tahun telah berlalu
sejak tewasnya Gagak Ciremai di tangan Gembong Wungu. Selama itu pula
penduduk desa Perbutulan hidup
tersiksa di bawah kejamnya tangan pendekar bermata satu itu. Bahkan komplotan
yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia hitam itu kini sudah
membentuk negeri kecil, hidup di balik tembok yang kuat, sebuah negeri
rampok. Selama lima belas tahun itu
pula, kedudukan Gembong Wungu makin kuat, tak ubahnya seorang raja. Setiap kata
yang keluar dari
mulutnya merupakan undang-undang tak tertulis bagi pengikutnya dan berlaku dalam
lingkungan desa perampok itu.
Ranti, putri tunggal almarhum
Gagak Ciremai itu pun kini sudah
menjadi seorang dara jelita yang
tangkas. Sejak anak itu pintar
berjalan, ia telah digembleng ayah angkatnya. Dalam hal yang satu ini, Gembong
Wungu memang bersikap lain. Ia dengan tulus ikhlas menurunkan semua ilmu yang
ada padanya. Tidaklah
mengherankan, jika pada usia seremaja itu, Ranti telah memiliki ilmu yang
tinggi. Gadis itu mirip ibunya. Matanya
yang mungil selalu berbinar binar.
Rambutnya yang hitam panjang dikuncir ke belakang dengan pita emas. Bibirnya
tipis dan merah merekah, sehingga jika mengulum senyuman maka terciptalah
keindahan yang mampu menggoda siapa pun yang melihatnya.
Namun karena perlakuan Gembong
Wungu, jadilah gadis itu menjadi
seorang wanita yang bersikap manja tetapi berwatak keras. Semua
kemauannya harus dituruti! Dan
sekalipun ia cantik jelita bagaikan bidadari yang turun dari langit, tak
seorangpun lelaki di desa itu berani menggodanya, apalagi bersikap kasar.
Para lelaki itu hanya bisa mengagumi kecantikan Ranti secara diam-diam.
Hari itu matahari mulai condong
ke barat. Udara mulai menyejuk. Di sebelah selatan desa Perbutulan ada sebuah
hutan yang letaknya lebih
tinggi di lereng gunung Ciremai.
Angin yang berhembus sepoi-sepoi
menyibak rambut seorang pemuda yang sedang duduk sendirian di hutan itu.
Ia masih muda, baru berusia sekitar dua puluh tahun, namun sinar matanya tampak
memancarkan kedewasaan yang mengagumkan. Wajahnya tampan dan
tampak selalu simpatik dan ramah.
Tetapi kini, ia duduk termenung.
Sinar matanya yang tadi cerah, kini berubah jadi muram. Agaknya pemuda itu
sedang gundah gulana. Dan itu kemudian tercermin dari alunan serulingnya yang
terasa menyayat-nyayat hati. Suara serulingnya kadang-kadang melengking-
lengking. Dan apabila angin berhembus kencang, suara sending itu kadang-kadang
hilang dan kadang-kadang sangat nyata, seolah-olah ditiup di dekat daun telinga.
Lagu yang dialunkannya adalah
sebuah lagu kiser, salah satu jenis
lagu rakyat Cirebon, yang sangat
romantis. Rupanya irama lagu itu
sangat menarik perhatian penghuni hutan itu, yang tak lain adalah
monyet-monyet. Sejak dulu, hutan itu memang hanya dihuni binatang tersebut, tak
ada binatang lainnya. Monyet-monyet itu berloncatan dari atas pohon menuju ke
arah suara merdu itu.
Orang menyebut hutan itu dengan
nama 'Plangon'. Dan sampai sekarang hutan itu masih banyak dihuni monyet dan
sering didatangi muda-mudi sebagai tempat rekreasi.
Parmin, demikian nama lelaki
tampan yang sedang meniup seruling itu. Ia tampak tersenyum melihat
monyet-monyet itu mengerumuni dirinya, layaknya pengagum artis.
Tanpa diduga-duga, monyet-monyet
itu berloncatan ke punggungnya. Bahkan ada pula yang ke kepala, menyibak-nyibak
rambut Parmin hendak mencari kutu. Sementara yang lainnya menyambar topi yang
terbuat dari anyaman bambu milik Parmin, lalu memakainya. Yang lainnya menarik
seruling dari tangan Parmin dan mencoba meniupnya.
Parmin betul-betul kewalahan.
Tetapi ia senang. Ia tak henti-
hentinya tertawa menyaksikan tingkah laku monyet-monyet itu. Lalu ketika monyet-
monyet itu membawa kabur topi dan serulingnya, Parmin cuma tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ah, biarlah mereka bersenang-senang dengan seruling itu. Nanti akan
kubikin lagi seruling yang lebih
bagus, kata lelaki itu dalam hati.
Ketika ia berdiri kembali,
tubuhnya terasa lebih segar dan
ringan. Rasa penatnya telah hilang, setelah sejak pagi tadi ia menempuh
perjalanan yang sangat jauh. Karena hari masih panas, ingin lah ia mandi di
sungai tak jauh dari tempatnya istirahat tadi. Maka ia pun segera menuruni
tebing-tebing yang cukup terjal.
Suara gemercik air menerpa batu-
batu terdengar dari kejauhan seperti irama lagu yang biarpun monoton namun
terasa mengandung suatu keindahan yang tiada taranya. Air sungai itu sangat
jernih, sehingga dasarnya yang cukup dalam kelihatan dengan nyata. Beberapa ekor
ikan kecil berenang cepat,
membentuk lengkungan-lengkungan cahaya warna-warni bagaikan pelangi di senja
hari. Ketika hendak membuka bajunya,
tiba-tiba terkejutlah lelaki itu
karena tak jauh di seberang sungai tampak olehnya seorang wanita. Parmin tak
habis pikir, kenapa ada wanita muda belia dan cantik lagi berani sendirian di
sungai yang sepi itu.
Wanita itu agaknya baru saja selesai
mandi. Ia tengah berdandan di atas batu di tengah kali.
Karena merasa kurang sopan
berada di sungai dekat wanita, Parmin bermaksud meninggalkan tempat itu, mandi
di tempat yang agak jauh, di hulu atau di mudik sungai.
Namun baru beberapa langkah
beranjak, tiba-tiba kilatan-kilatan cahaya menyambar tubuhnya. Parmin merasakan
ada senjata rahasia meluncur cepat sekali ke arah tubuhnya.
Sambil berseru nyaring, ia
meloncat tinggi kemudian berjumpalitan di udara, sehingga senjata-senjata
rahasia berupa pisau-pisau kecil itu tak berhasil mengenai tubuhnya. Pisau-pisau
itu tertancap ke dinding batu.
Dengan gerakan yang sangat
ringan, Parmin kemudian mendarat di atas batu, sekitar lima belas meter dari
hadapan wanita yang sedang mandi itu.
"Maafkan aku, nona. Aku tak
sengaja melihatmu tadi. Sungguh, nona.
Maafkan kelancanganku ini," kata Parmin.
"Cih, laki-laki hidung belang.
Tak tahu malu! Apa maksudmu
mengintipku mandi, heh" Kalau ayahku tahu kekurangajaranmu, lehermu pasti
dipelintir sampai buntung, bajingan.
Rupanya kau belum tahu siapa aku, ya.
Akulah putri Gembong Wungu jago silat
tanpa tanding yang kesohor di seluruh lereng Gunung Ciremai." Gadis yang tak
lain tak bukan Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai itu berkata dengan suara
membentak-bentak.
"Ah, sungguh tak dinyana hari ini aku dapat kehormatan besar bertemu dengan
putri pendekar yang sangat sakti itu. Nama ayahmu terkenal sampai ke pantai
utara, tempat asalku, nona."
"Daerah ini adalah daerah
kekuasaan ayahku. Setiap orang asing yang menginjakkan kakinya di sini harus
terlebih dulu meminta izin
kepada ayahku. Janganlah kau bertindak seenakmu di daerahku dengan permainan
silatmu yang cuma mainan anak-anak itu. Caramu mengelak seranganku tadi biasa
dilakukan anak-anak di desa kami. Karena itu, sekali lagi
kuperingatkan agar kau jangan coba-coba berbuat seperti ini lagi."
Terkejut juga Parmin mendengar
kata-kata Ranti yang angkuh dan
congkak itu, Wajahnya cantik dan
suaranya pun merdu, tapi sikapnya sungguh tidak bermoral. Tetapi sebagai orang
yang sudah berpengalaman, Parmin merasa tak perlu meladeni keangkuhan gadis itu.
Ia merasa lebih baik
secepatnya meninggalkan tempat itu.
Tetapi ketika hendak berbalik,
Ranti membentak: "Tunggu dulu, bajingan! Kau belum boleh pergi!"
"Ah, nona. Kenapa nona segalak itu" Aku benar-benar minta maaf
padamu, karena tadi maksudku
sebenarnya hanya ingin mandi. Tetapi rupanya nona sudah terlebih dulu
berada di sini. Aku melihat nona tanpa sengaja. Sekarang aku hendak membuka
baju, nona. Harap nona mau bermurah hati meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan
di lain kesempatan kita masih bisa bertemu lagi."
"Idih, dasar laki-laki tak tahu malu." Gadis itu membuang muka ketika Parmin
membuka baju, lalu dengan muka yang berubah merah padam, ia berkata :
"Tapi baiklah. Saya akan pergi. Tapi ingat, kau masih punya urusan
denganku. Bagaimana pun juga,
kelancanganmu ini tidak boleh
didiamkan."
"Terimakasih atas kemurahan hati nona. Tolong katakan kepada ayahmu, bahwa ada
seseorang yang numpang
bermalam di desa ini," kata Parmin sambil menatap kepergian gadis itu, yang
meloncat dengan gesitnya ke atas tebing.
Ranti merasa kesal, kecewa,
marah dan entah apa lagi. Sesampainya kembali di rumah, ia duduk termenung di
kamarnya. Wajah pemuda yang tadi bertemu dengannya di sungai kembali terbayang
di benaknya. Tubuh pemuda itu demikian kekarnya, bersih dan
berisi. Sinar matanya tajam dan
berbinar-binar. Wajahnya pun tampan dan mencerminkan sesuatu yang sangat
istimewa, yang tak ditemui pada wajah para jejaka di desa Perbutulan.
Ada perasaan aneh menyelinap ke
dalam hati Ranti sebagai seorang gadis yang telah menginjak dewasa. Tetapi entah
perasaan apa, ia sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas, perasaan itu selama ini
belum pernah muncul di dalam hatinya. Perubahan gadis cantik jelita itu rupanya
tidak luput dari perhatian Gembong Wungu. Tokoh dari kalangan hitam itu
menghampiri Ranti.
Ditepuknya bahu Ranti dengan penuh kasih sayang.
"Ranti anakku. Mengapa kau
termenung saja sejak tadi" Adakah sesuatu yang sedang kau pikirkan atau yang
membuatmu terganggu" Si Minem sudah menyiapkan makanan untukmu. Ayo, makanlah,
tak baik jika mengurung diri terlalu lama di kamar. Nanti kau
sakit." "Aku belum lapar, ayah. Nanti saja."
"Ah, jangan begitu anakku. Kau kan tahu, ayah sangat sayang padamu.
Ayo, makanlah anakku!"
"Baiklah, ayah!"
Sore itu, Parmin mendatangi
seorang petani di desa itu. Dengan sikap yang sopan dan ramah tamah, ia
mengutarakan maksudnya hendak mencari pekerjaan, karena ia sangat memerlukan
bekal untuk perjalanan selanjutnya.
"Nama saya Parmin, pak. Saya berasal dari desa Eretan."
"Wah, kau datang dari jauh, Nak"
Baiklah, kebetulan sekali aku sedang membutuhkan tenaga mengolah sawah.
Besok kau sudah boleh bekerja dan boleh tidur di sini kalau kau suka."
"Terimakasih, pak."
"Penghidup petani di desa ini sekarang susah, Nak. Pajaknya yang harus disetor
ke Kotapraja besar
sekali. Belum lagi uang jaminan kepada Gembong Wungu. Jika tak dibayar, anak
buahnya pasti berbuat kejam, tak
segan-segan membakar sawah saat padi mulai berbuah. O, iya Nak.
Kunasehatkan janganlah bertindak
sembarangan di desa ini. Jangan sampai mengganggu gadis cantik putri raja rampok
itu. Aku juga mengerti tentang gejolak hati kaum remaja. Tetapi
salah-salah bisa ketiban pulung."
"Terimakasih atas nasehat bapak.
Saya akan selalu mengingatnya."
Demikianlah besok harinya ketika
ayam mulai berkokok, Parmin sudah bangun. Segar sekali rasanya udara di pagi
itu. Dengan langkah ringan,
pemuda itu berangkat ke sawah, membawa dua ekor kerbau dan bajak.
Dengan bertelanjang dada, ia
membajak sawah. Tubuhnya yang kekar berkilau-kilau dibasahi keringat.
Otot-ototnya tampak sangat kekar dan kuat.
Dalam waktu tiga hari saja, ia
sudah hampir selesai mengerjakan sawah petani desa itu. Sambil memegang bajak di
belakang kedua ekor kerbau, ia sekali-kali berteriak-teriak agar kerbaunya tak
malas. Ia sama sekali tak menyadari ada
sepasang mata bening mengawasinya dari balik pepohonan. Mata itu menatapnya


Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pandangan penuh kekaguman.
Parmin baru menyadarinya ketika
gadis yang ternyata putri Gembong Wungu itu melangkah mendekat. Gadis itu
berdiri di pematang sawah sambil menatap Parmin dengan berbinar-binar.
"Eh, nona. Selamat siang, nona.
Mengapa nona berdiri di situ"
Lihatlah, matahari demikian teriknya.
Nanti kulit nona menjadi hitam," ujar Parmin sambil melirik sejenak pada gadis
itu. Setelah itu, ia kembali meneruskan pekerjaannya.
"Memangnya orang lihat tidak boleh" Kalau kulitku jadi hitam, biar saja. Apa
urusanmu?"
Parmin tersenyum geli mendengar
ucapan gadis itu. Enak juga bekerja dimandori gadis cantik, katanya dalam hati.
"Eh, nona. Selamat siang.
Mengapa nona berdiri disitu" Lihatlah, matahari demikian teriknya. Nanti kulit
nona menjadi hitam," ujar Parmin sambil melirik sejenak pada gadis itu.
Setelah itu, ia kembali meneruskan pekerjaannya.
"Hei, kamu!" teriak Ranti lagi,
"Dengarlah, aku ingin memberi saran padamu."
"Saran" Saran apa maksudmu,
nona?" "Dengarlah baik-baik. Daripada kau memeras keringat seperti ini hanya untuk upah
beberapa gulden dan sesuap nasi, lebih baik kau jadi anak buah ayahku. Ayah
pasti senang menerimamu.
Ilmu silatmu cukup tinggi."
"Ah, ilmu silatku hanya sampai tingkat anak-anak kecil di desa ini."
"Aku sungguh-sungguh!"
"Terimakasih atas saranmu. Tapi aku tak ingin jadi perampok. Merampok ada lah
pekerjaan haram. Aku lebih senang dengan upah kecil asalkan
pekerjaan itu halal."
"Haram" Apa maksudnya?"
Ah, orang ini benar-benar tak
tahu ajaran agama, pikir Parmin diam-diam. "Haram artinya sesuatu yang tidak
diridhoi Tuhan. Sesuatu yang dilarang Tuhan. Sedangkan halal
sebaliknya, nona."
"Ayahku tak pernah berkata
begitu." Ranti kemudian duduk di pematang sawah sehingga pakaiannya berlepotan
lumpur. "Nona jangan duduk di situ.
Nanti pakaian nona jadi kotor."
"Biar saja kotor. Nanti ada yang
mencucikannya. Ayahku punya banyak pelayan perempuan yang juga memijat ayah bila
sedang kecapaian."
Itu namanya, gundik nona manis,
kata Parmin dalam hati. Pemuda itu kembali meneruskan pekerjaannya, di bawah
tatapan sepasang mata Ranti yang terlalu sukar ditebak maknanya.
Dan sejak itu pula, perasaan
aneh di dalam hati Ranti makin
menjadi-jadi. Jika sedang sendirian di rumah, ia merasa tak betah. Malam
harinya, matanya sulit terpejam sebab wajah Parmin selalu terbayang-bayang di
pelupuk matanya. Ada sesuatu
gejolak perasaan tak menentu dalam dirinya jika bertemu dengan pemuda itu. Dan
jika tak ketemu, perasaan itu malah semakin tak terbendung.
Sebagai gadis yang sudah
terbiasa dimanja, Ranti pun tidak mau perduli sekarang. Pada sangkanya, ia boleh
saja berbuat sesuka hati
terhadap Parmin. Bukankah selama ini tak ada yang berani menolak
kehendaknya"
Maka saban hari, Ranti selalu
mendatangi Parmin. Ada-ada saja yang dikatakan atau ditanyakannya. Bahkan ketika
pemuda itu sedang sembahyang, Ranti tak segan-segan duduk atau
berdiri di dekatnya, sambil bertanya yang bukan-bukan. Kadang-kadang Parmin
jengkel dibuatnya.
"Kenapa kau masuk ke mari tanpa seijin tuan rumah?" tanya Parmin pada suatu
hari. Ucapannya tidaklah berupa pertanyaan, tetapi cenderung teguran atas
kelancangan gadis itu.
"Aku bebas ke mana saja aku
suka. Tak seorang pun berani
melarangku."
"Tapi ini rumah orang.
Seharusnya kau tahu sopan santun."
"Masa orang mau ketemu saja
tidak boleh. Waktu aku datang ke sini, petani tua itu tidak ada. Aku tak mungkin
capek-capek mencarinya hanya untuk permisi. Tapi kalau yang punya rumah ini
marah, boleh saja. Besok tentu dia akan dihajar ayahku sampai mampus."
"Dengar, nona! Seorang wanita masuk ke kamar laki-laki adalah
berbahaya, apalagi kau seorang
perawan." Ranti tidak tersinggung mende-
ngar ucapan itu. Ia malah tersenyum manis, hingga kecantikannya tampak semakin
nyata. "Heh, siapa namamu" Parmin, ya"
Parmin! Parmin! Kau suka sembahyang, bukan" kau santri. Kata ayahku, orang yang
suka sembahyang itu namanya
santri. Tapi ayahku tidak senang
melihat santri. Eh, apa sih gunanya sembahyang itu?"
Mendengar pertanyaan gadis itu,
tergerak juga hati Parmin untuk
menjelaskan. Bagaimana pun juga, ia menyadari Ranti jadi begitu hanya karena
pengaruh lingkungan. Orang seperti Gembong Wungu tentulah tidak mau mengajarinya
mengenai agama. Diam-diam Parmin merasa kasihan juga,
karena Ranti, telah terjerumus dalam kehidupan yang tak baik. Hidup dalam dunia
kegelapan. "Dengarlah, nona. Kau telah
diberi mata untuk melihat keindahan.
Telinga untuk mendengar musik yang merdu. Hidung untuk mencium bau yang harum
semerbak. Mulut untuk merasakan lezatnya makanan serta otak untuk berfikir. Kau
punya tangan, kaki, rambut yang ikal mayang dan punya tubuh yang indah molek.
Semua itu adalah pemberian Tuhan, yang
menciptakan semuanya itu."
"Tapi yang menciptakan aku
adalah ayah dan ibuku. Kau salah."
"Bukan, nona. Pernahkan kau
melihat seorang anak yang berwajah buruk, hidungnya pesek, mulutnya
monyong, matanya juling serta pipinya tembem" Semua itu juga pemberian
Tuhan. Ayah dan ibu si anak tentu tak menginginkan rupa anaknya seburuk itu.
Semua orang tua ingin punya anak yang cantik seperti kau. Tetapi mereka tidaklah
bisa menciptakannya itu. Ayah dan ibu hanya merupakan perantara
untuk melahirkan kita ke dunia ini."
"Ho-oh. Aku mengerti. Tetapi kalau memang begitu, berarti Tuhan tidak adil.
Kenapa ada yang cantik dan ada yang jelek?"
"Ah, kau telah salah paham nona.
Pernahkah kau lihat orang yang
wajahnya buruk tapi perangainya baik, punya wajah cantik tapi perangainya jelek"
Pasti pernah. Itulah keadilan Tuhan. Tuhan maha adil. Karena itu nona tidak
boleh memandang orang dari segi luarnya saja. Rupa itu hanyalah pembungkus yang
kelak pasti akan
hancur dimakan tanah."
"He-em. Aku mengerti. Kau betul.
Lalu apa hubungannya dengan
sembahyang?"
"Kita telah diciptakan Tuhan seadil-adilnya. Tuhan mencintai umat-nya, maha
penyayang dan pengasih. Oleh karena itu, kita wajib berterimakasih dan membalas
kasih sayangnya dengan sembahyang dan mematuhi semua perintahNYA. Merampok
adalah pekerjaan yang dilarang Tuhan, karena
perbuatan itu merampas hak orang lain, menyiksa orang lain. Suatu saat, Tuhan
akan menghukum orang yang berbuat demikian."
Ranti tampaknya belum memahami
sepenuhnya kata-kata Parmin yang mirip khotbah
itu. Tetapi ucapan itu
menambah rasa kagum di hatinya.
Kadang-kadang, gadis itu membuntuti Parmin tanpa sepengetahuannya. Atau kadang-
kadang ia mencegat di tengah jalan. Seperti di siang hari bolong itu, ketika
Parmin berjalan sendirian di hutan sambil membawa sekeranjang pisang dan kacang
tanah. "Hei, buat apa kau bawa pisang dan kacang tanah?" tanya Ranti setengah
berteriak. "Buat kawan-kawanku."
"Kawan-kawanmu" Bolehkah aku ikut" Aku ingin tahu siapa kawan-kawanmu itu.
Boleh, kan?"
"Kenapa nona selalu mengikuti aku" Aku takut terjadi apa-apa. Nanti aku pula
yang disalahkan."
"Betul, Parmin. Terus terang saja, sejak ayah tahu kita telah
berkenalan, ayah merasa tak senang padamu. Alasannya karena kau selalu
sembahyang. Kata ayah itu tidak baik.
Tapi aku senang bersahabat denganmu.
Kau baik hati, dan sikapmu lain dari pemuda-pemuda di desa ini."
Parmin manggut-manggut mendengar
ucapan gadis itu.
Tak lama kemudian, kedua insan
berlainan jenis itu sampai ke Plangon.
"Hei, kawan-kawan. Silakan
turun. Aku membawa oleh-oleh untuk kalian!" seru Parmin sambil menatap ke
sekelilingnya. Sekejap kemudian, monyet-monyet
berloncatan dari balik pepohonan, dan langsung mengerumuni Parmin. Ranti
terkejut bukan main, manusia bisa bersahabat dengan binatang, pikirnya.
"Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup rukun, tidak saling merebut hak kawannya.
Sebuah contoh yang baik bagi manusia."
"Apakah setiap hari kau mela-kukannya terhadap binatang-binatang ini" Dan apakah
hanya untuk mereka pula kau memeras keringat setiap hari"
Apa gunanya berkawan dengan monyet?"
"Oh, kau jangan salah mengerti nona. Aku bekerja bukan untuk mereka, tapi untuk
diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka tentu ada gunanya.
Karena binatang lebih tahu membalas budi kepada kita."
"Aku jadi tak mengerti."
"Mungkin karena nona belum
membuktikan sendiri. Tapi sebagai orang baik, kita harus menyayangi binatang,
karena mereka pun adalah makhluk ciptaan Tuhan. Kita tak boleh menyiksa binatang
apalagi menyiksa manusia. Kita tidaklah boleh membunuh makhluk di bumi dengan
seenaknya saja tanpa rasa perikemanusiaan. Karena itu dapatlah kau bayangkan,
betapa jahat dan terkutuknya perbuatan para
perampok."
"Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup rukun tidak saling merebut hak kawannya.
Sebuah contoh yang baik bagi manusia."
Ranti tersentak mendengar kata-
kata itu. Perampok! Hatinya berulang kali membisikkan kata-kata itu.
Bukankah ayahnya Gembong Wungu adalah perampok, bahkan rajanya perampok"
Kalau memang apa yang diucapkan
Parmin, berarti ayahnya adalah orang yang tidak baik. Tetapi selama ini ayahnya
selalu berbuat baik padanya, selalu memanjakan dan menyayanginya.
Kata-kata Parmin itu menjadi bahan pemikiran bagi Ranti pada hari-hari
selanjutnya. Kisah menarik selama lima belas
tahun terakhir ini tidak hanya terpaku pada Ranti, putri almarhum Gagak
Ciremai yang dididik serta dibesarkan Gembong Wungu.
Masih di lereng Ciremai, cukup
jauh dari tempat pembicaraan Parmin dan Ranti, ada sebuah hutan yang juga hampir
tak pernah didatangi manusia.
Hutan itu sangat lebat dan
banyak dihuni binatang buas. Tetapi sebenarnya bukan binatang-binatang berbisa
dan buas itu yang membuat orang tak mau menginjakkan kakinya di hutan itu. Ada
sesuatu di hutan itu, yang misterius sekaligus menyeramkan yang dari tahun ke
tahun menjadi buah bibir dan semacam legenda.
Di hutan itu berkeliaran
berbagai jenis makhluk halus seperti
jin, hantu, mambang, peri, siluman, setan dan entah apa lagi. Seribu satu macam
dedemit yang kabarnya tak kenal kompromi dengan manusia. Sebagian penduduk malah
percaya hutan itu
adalah tempat perkumpulan segala jenis makhluk halus. Karena itu, penduduk tidak
berani pergi ke hutan itu, sebab mereka percaya setiap orang yang
berani menginjakkan kakinya di situ, pastilah akan menemui ajalnya di
mangsa para dedemit itu.
Orangtua misalnya jika sedang
memarahi anaknya, sering menyebut-nyebut hutan itu. Kukirim kau ke hutan dedemit
itu, biar tahu rasa kamu. Dan biasanya, si anak langsung ketakutan dan tidak mau
lagi melawan orang-tuanya.
Walaupun demikian, jika misalnya
ditanya apakah sudah ada yang pernah membuktikan kebenaran adanya makhluk-
makhluk halus itu, mungkin semuanya akan menggelengkan kepala.
Di sinilah terlihat tidak
sedikit manusia yang demikian mudahnya ter-makan hasutan. Kadang-kadang, orang
juga suka mengada-ada mengatakan yang tidak ada itu ada. Karena orang yang
mendengarnya mudah terpengaruh, maka langsung saja percaya biarpun belum
membuktikan sendiri. Pada satu sisi, manusia bisa diperbudak khayalan buruk yang
tercipta karena mendengar
cerita-cerita menyeramkan.
Di sebuah tempat yang agak
lapang di tengah hutan angker itu, terdapat air terjun yang menurut
kepercayaan orang adalah tempat para jin itu mandi.
Air terjun itu cukup tinggi,
sekitar lima belas meter dan airnya pun cukup besar sehingga tekanannya cukup
kuat. Itu terbukti oleh suara air menghantam bebatuan terdengar sampai ratusan
meter. Dasar air terjun itu juga selalu mengepulkan uap mirip asap, padahal
airnya sangat dingin.
Di dekat air terjun itu, di atas
sebongkah batu tampak sesosok tubuh bergerak-gerak. Kadang-kadang lambat,
kadang-kadang cepat sekali hingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
Sosok tubuh itu rupanya sedang
memainkan jurus-jurus ilmu silat
tinggi. Apakah ada jin atau setan sedang
berlatih silat"
Tidak! Sama sekali tidak. Sosok
tubuh itu adalah manusia biasa,
tepatnya wanita. Wajahnya sudah cukup tua, mungkin sudah enam puluh tahun.
Delapan Kitab Pusaka Iblis 4 Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Pendekar Panji Sakti 10
^