Pencarian

Mustika Lidah Naga 2 2

Mustika Lidah Naga 2 Bagian 2


matkan oleh orang Cisumpit. Lalu... di mana sekarang putri itu disembunyikan?"
Nyi Tiwi mulai memancing hasrat Rangga lagi, de-
ngan pelukan hangat dan selusuran bibirnya di dada lelaki muda itu. Tapi Rangga
masih terhanyut dalam arus pikirannya. "Kalau menilai dari cerita wanita ini
ditambah dengan apa yang pernah kusaksikan sendiri, tampaknya Adipati Natajaya
itu bukan orang baik. Sudah beristri... menggilai dan menculik keponakannya
sendiri... ah... lelaki baik-baik mana yang mau bertin-
dak seperti itu" Jangan-jangan perkumpulan Bajing
Bodas itu pun dipimpin oleh Adipati Natajaya sendiri?"
Dugaan Rangga diperkuat oleh ucapan Nyi Tiwi be-
rikutnya, "Untunglah, sejak Kawahsuling dipimpin oleh Kanjeng Adipati Natajaya,
perkumpulan Bajing Bodas tidak pernah datang mengganggu lagi."
Rangga menyeringai. Pikirnya, "Makin jelas... tam-
paknya perkumpulan gelap itu ada hubungannya de-
ngan Adipati Natajaya. Tapi... apakah tujuan Adipati Natajaya hanya sampai ingin
menjadi adipati di Kawahsuling?"
Tiba-tiba saja Rangga teringat isi percakapan miste-rius di ruang bawah tanah
dalam istana Adipati Natajaya tadi. "Ah! Bukankah tadi mereka memperbincangkan
rencana pembunuhan terhadap Senapati Jugala"
Oh... apa sebenarnya tujuan Adipati Natajaya itu" Apakah dia menghendaki
kedudukan yang lebih tinggi la-gi?"
Nyi Tiwi semakin berhasrat. Dan tak malu-malu lagi merintih, "Aku sudah siap,
Kang. Lakukanlah...!"
Tapi, tiba-tiba saja Rangga melompat sambil berse-
ru di dalam hatinya, "Senapati itu sedang dalam bahaya!"
Dan pada saat berikutnya, tubuh Rangga berkelebat
ke luar, lalu lenyap di kegelapan malam.
Nyi Tiwi tercengang-cengang sendiri. Pikirnya, "Baru sekali ini aku menemukan
lelaki muda yang begitu
aneh. Apakah dia sengaja ingin menghindari hasratku"
Apakah aku ini tidak menarik baginya" Bukankah de-
mikian banyak lelaki yang menggilaiku, tapi selalu ku-tolak dengan bermacam-
macam cara" Lalu kenapa le-
laki yang satu itu seperti yang tidak tertarik sedikit pun olehku?"
Tanpa terasa, malam sudah merayap ke arah dini-
hari. Dan Nyi Tiwi mengenakan kembali pakaiannya,
dengan mata berlinang-linang, dengan kecewa sedalam lautan.
Kabut menyelimuti Kawahsuling, membuat para
penjaga istana Adipati Natajaya menggigil kedinginan.
Tapi batin Nyi Tiwi jauh lebih kedinginan lagi!
Dan, manakala ayam-ayam jantan mulai berkokok
di sana-sini, Nyi Tiwi belum bisa memicingkan ma-
tanya. Pikirannya melayang-layang tak menentu...
jauh... jauh sekali...!
*** Rangga sudah tahu jalan mana yang biasa ditem-
puh oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam perjalanan dari kotapraja ke
Kawahsuling dan sebaliknya. Dengan maksud ingin menyelamatkan Senapati Jugala
dari bencana yang direncanakan oleh Adipati Natajaya itu, Rangga mengerahkan ilmu
lari cepatnya di jalan yang pasti dilalui oleh rombongan Senapati Jugala
tersebut. Demikian cepatnya Rangga berlari, sehingga telapak kakinya seakan-akan tidak
menginjak tanah.
"Rasanya aku sudah mendapat gambaran tentang
arti perundingan rahasia Adipati Natajaya dengan
orang bernama Prabaseta itu," pikir Rangga tanpa
mengurangi kecepatan larinya. "Orang bernama Prabaseta itu menginginkan agar
anaknya diangkat sebagai senapati setelah tujuan Adipati Natajaya berhasil.
Jelas bahwa Adipati Natajaya mengincar kedudukan
yang lebih tinggi daripada senapati. Dan setahuku, menurut undang-undang dasar
Kerajaan Tigalinten,
hanya terdapat dua kedudukan yang berada di atas
senapati, yakni kedudukan mahapatih dan raja! Lan-
tas kedudukan apa yang diincar oleh Adipati Natajaya"
Apakah ia ingin menjadi Mahapatih Tegalinten" Atau-
kah secara diam-diam ia punya rencana untuk meng-
gulingkan raja dari tahtanya?"
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur.
Tiba-tiba saja Rangga menghentikan larinya, karena sekalipun ia sedang berlari
demikian cepatnya, namun telinganya yang sudah sangat terlatih itu bisa
menangkap sesuatu - bunyi napas manusia!
Dan Rangga tahu pasti bahwa bunyi napas itu ber-
asal dari balik rimbunan semak-semak di sebelah selatan jalan yang sedang
dilaluinya. Dengan hati-hati Rangga menyibakkan semak-
semak yang dicurigainya. Benar saja. Seorang lelaki tergeletak di balik semak-
semak itu, dalam keadaan kritis... seperti sedang menghadapi sakaratul maut!
Melihat pakaian lelaki itu, cepat saja Rangga tahu bahwa lelaki itu seorang
prajurit kerajaan. Dan cepat saja Rangga tahu bahwa prajurit itu sudah
dirisaukan sejenis racun yang demikian hebatnya, sehingga tampaknya prajurit itu
tidak mungkin bisa disembuhkan lagi.
Rangga mengeluarkan prajurit itu dari dalam se-
mak-semak, lalu meletakkannya di atas rumput.
"Kasihan," pikir Rangga. "Prajurit ini tidak mungkin bisa ditolong lagi. Racun
jahat telah merasuki tubuhnya dan telah sampai di jantungnya! Sayang sekali, aku
tidak akan dapat menolongnya."
Tapi Rangga masih bisa menanyai prajurit yang su-
dah berada di ambang ajalnya itu. "Apa yang telah terjadi" Bukankah kau anak
buah Senapati Jugala?"
Dengan lemah dan terputus-putus, prajurit itu
menjawab, "Racun ini... ter... terlalu hebat... oh... Kanjeng Senapati juga...
te... telah tewas...!"
Rangga terperanjat. "Senapati Jugala maksudmu?"
"Be... betul... ah...!"
Rangga ingin bertanya lebih jauh. Tapi ternyata prajurit itu telah menghembuskan
napas terakhirnya.
"Terlambat!" gumam Rangga kecewa. "Senapati Ju-
gala sudah terbunuh. Dan aku yakin, kaki tangan Adipati Natajaya itulah yang
membunuhnya. Sayang seka-li aku tidak sepat menolongnya."
Matahari pagi mulai menampakkan diri. Udara pun
mulai terang. "Sayang sekali aku tidak dapat menyelidiki lebih
jauh ke kotaraja, karena tujuan utamaku belum tercapai. Nanti, kalau aku sudah
berhasil membebaskan Nilamsari, aku akan pergi ke kotaraja, khusus untuk
menyelidiki masalah ini."
*** EGALINTEN adalah kotaraja yang dikelilingi oleh
Tgu nung-gunung tinggi. Bangunan-bangunan yang
terdapat di sana, pada umumnya terbuat dari batu
pualam dan batu-batu lain yang berwarna putih. Di
sekitar Tegalinten memang terdapat banyak sekali ba-tu-batuan berwarna putih,
sehingga kerajaan meman-
faatkannya untuk bahan utama bangunan-bangunan
di kotaraja itu. Maka kalau seseorang berdiri di salah satu puncak gunung yang
mengelilingi kota itu, sambil memandang ke arah Tegalinten, ia akan melihat
bangunan-bangunan putih yang memantulkan cahaya ma-
tahari itu laksana tebaran intan di tengah lapangan luas. Itulah sebabnya
kotaraja tersebut dinamai Tegalinten (lapangan intan).
Mudahnya mendapatkan batu pualam dan batu-
batuan lain yang sejenis, tidak hanya dimanfaatkan untuk istana dan pemukiman
rakyat yang berdiam di
sekitar benteng istana. Seniman-seniman pahat me-
manfaat-kannya untuk membuat patung-patung, se-
mentara para resi bekerja sama dengan ahli-ahli bangunan untuk membuat candi
pemujaan yang menju-
lang tinggi di sebelah barat istana raja. Itu semua membuat Tegalinten indah
dipandang mata. Di setiap tikungan jalan di dalam kotaraja itu, berdiri patung-
patung pualam. Sehingga Tegalinten tidak hanya indah dipandang mata, melainkan
juga menimbulkan kesan
tertib dan berwibawa.
Namun sayang sekali, pemerintah di Tegalinten ti-
dak setertib tata-kotanya. Sejak negara itu berdiri, berkali-kali terjadi
persaingan yang tidak sehat, untuk memperebutkan singgasana raja.
Demikian pula pada saat cerita ini terjadi.
Secara tradisional, atau katakanlah semacam un-
dang-undang dasar, putra sulung raja dari permaisuri, dengan sendirinya diangkat
sebagai putra mahkota.
Tapi pada kenyataannya, putra yang pandai 'menye-
suaikan diri' dengan raja, punya kemungkinan lebih besar untuk diangkat sebagai
putra mahkota. Prabu Suriadikusumah, demikian gelar raja Tegalin-
ten saat itu, tidak mempunyai anak laki-laki dari per-maisurinya. Maka menurut
tradisi Kerajaan Tegalin-
ten, putri sulung dari permaisuri harus diangkat sebagai calon ratu (putri
mahkota). Dari permaisuri, sang Prabu mempunyai dua orang
putri kembar, yang diberi nama Banondara dan Ba-
nondari. Tampaknya kelahiran putri kembar itu menjadi ma-
salah di kemudian hari. Masalahnya adalah, siapa
yang berhak atas singgasana raja kelak" Sedangkan
undang-undang dasar Kerajaan Tegalinten tidak per-
nah menyinggung-nyinggung soal putra atau putri
kembar. Prabu Suriadikusumah sendiri jadi bingung dibuat-
nya. Siapa yang harus diangkat sebagai putri mahko-ta" Banondara atau Banondari"
Ketika Prabu Suriadikusumah masih belum dapat
mengambil keputusan tentang siapa yang akan dino-
batkan sebagai putri mahkota, Pangeran Aria Pamungkas mengambil kesempatan untuk
'memancing di air
keruh'. Pangeran Aria Pamungkas adalah putra Prabu Suriadikusumah dari salah
seorang selirnya.
Aria Pamungkas memang sangat berambisi untuk
menjadi penguasa tertinggi di Kerajaan Tegalinten. Terlebih lagi dengan dukungan
moril dari Dayangwaru
(ibunya), ambisi Aria Pamungkas semakin menggelora di dalam dadanya.
Lalu, secara diam-diam Aria Pamungkas dan ibunya
mengirimkan misi kasak-kusuk ke sana-sini. Para
pembesar yang berada di kotaraja, mulai dipengaruhi.
Demikian pula para adipati yang berada di bawah kekuasaan Tegalinten, mulai
diberi 'perlakuan khusus', supaya pada waktunya nanti mendukung Aria Pamungkas.
Adipati Natajaya pun termasuk salah seo-
rang adipati yang dipengaruhi oleh misi rahasia Aria Pamungkas.
Tentu saja Aria Pamungkas dan ibunya pun berusa-
ha mempengaruhi Sri Baginda sendiri, dengan segala daya. Sebab, tidak ada
gunanya mereka mempengaruhi para pembesar Tegalinten, jika Sri Baginda sendiri
tidak dipengaruhi. Bukankah kekuasaan dalam menentukan keputusan akhir terletak
pada raja"
Dayangwaru dengan kecantikan dan pelayanannya
yang serba memuaskan, mulai 'menghembuskan angin
baru' ke telinga sang Prabu. Bahwa alangkah bahagianya hati sang Selir, jika
sang Prabu berkenan men-
gangkat Aria Pamungkas sebagai putra mahkota.
Pada mulanya Prabu Suriadikusumah menganggap
keinginan selirnya itu sebagai hal yang mustahil, karena dalam sejarah Kerajaan
Tegalinten, belum pernah terjadi seorang putra dari selir diangkat sebagai putra
mahkota, maka secara halus sang Prabu menolak bu-jukan selirnya itu.
Namun Dayangwaru dan Aria Pamungkas tidak pu-
tus asa. Pada suatu saat, ketika Kerajaan Tegalinten menye-
lenggarakan upacara kebesaran yang dihadiri oleh seluruh pembesar Tegalinten,
Aria Pamungkas mulai
memanfaatkan kesempatan itu. Beberapa pembesar
yang sudah dipengaruhi olehnya, disuruh 'membuka
jalan' bagi tercapainya cita-cita Aria Pamungkas.
Sebagaimana biasanya, seusai melaksanakan upa-
cara kebesaran seperti itu, para pembesar Tegalinten berkumpul di balairung,
untuk membicarakan soal-soal negara dan pemerintahan. Pada saat itulah salah
seorang pendeta istana yang telah bersekutu dengan Aria Pamungkas, mulai membuka
pembicaraan ke arah yang dikehendaki oleh Dayangwaru dan Aria Pa-
mungkas. Resi Ekaraga, demikian nama pendeta itu, berkata,
"Gusti Prabu, pada saat ini para pembesar Tegalinten hadir seluruhnya. Dalam
keadaan lengkap begini, alangkah bahagianya hati hamba, apabila Gusti Prabu
berkenan memperkenalkan Putra Mahkota, khususnya
untuk mendapat restu dari kami para pendeta."
Prabu Suriadikusumah agak terhenyak di singga-
sananya. Menyapukan pandangannya kepada hadirin,
menunduk sesaat, dan akhirnya bersabda, "Sebenar-
nya aku sendiri masih bingung, siapa di antara kedua putriku yang harus kuangkat
sebagai putri mahkota.
Banondara dan Banondari mempunyai sifat ingin sama dalam segala hal. Kalau salah
seorang di antara mereka diberi sesuatu, yang lainnya pasti meminta yang sama."
Prabu Suriadikusumah menyapukan pandangannya
lagi ke arah hadirin, lalu bersabda lagi, "Masalah mahkota, adalah masalah kita
semua, karena menyangkut masa depan rakyat, negara dan pemerintahan Tegalinten.
Karena itu, berilah kami saran-saran dari hadirin semua, yang pasti akan kami
pertimbangkan."
Karena sudah diatur sebelumnya, Resi Ekaraga
langsung mengemukakan pendapatnya, "Benar sekali,
Gusti Prabu. Masalah mahkota, adalah masalah kita
semua, karena menyangkut masa depan rakyat, nega-
ra dan pemerintahan Tegalinten. Maka... ampunkanlah hamba, Gusti... karena
menurut pendapat hamba, kedua putri Gusti Prabu kurang tepat untuk diangkat
sebagai putra mahkota... ya... kita selalu memakai istilah putra mahkota, dan
bukannya putri mahkota. Istilah itu saja telah menunjukkan kepada kita semua,
bahwa dalam sejarah Kerajaan Tegalinten, belum pernah ada seorang wanita yang
dinobatkan sebagai ratu, walaupun adat kita tidak melarangnya."
Resi Ekaraga menghentikan ucapannya sesaat, mem-
perhatikan reaksi Baginda dan hadirin, kemudian me-lanjutkannya, "Kita tidak
pernah memakai istilah Raja, kalau rakyat yang dipimpinnya hanya puluhan atau
ratusan orang. Gelar Raja, adalah gelar untuk pemimpin yang menguasai suatu
wilayah kerajaan, bukan
untuk pemimpin yang hanya menguasai suatu desa
kecil, apalagi untuk pemimpin yang hanya berkuasa
dalam rumahnya sendiri! Maka jelaslah, seorang Raja di sini mempunyai kekuasaan
dan tanggung jawab
yang nyata terhadap rakyatnya, terhadap angkatan pe-
rangnya, terhadap agamanya, terhadap perkembangan
negaranya dan banyak lagi. Maka... ampunkanlah
hamba, Gusti... hamba berpendapat bahwa pada masa
sekarang, kedudukan seberat itu tidak mungkin bisa diserahkan kepada seorang
wanita! Sebab, bagaimana mungkin seorang wanita bisa memimpin negaranya
dengan baik jika ia sedang dalam keadaan hamil, misalnya. Bagaimana mungkin
seorang wanita bisa me-
mimpin angkatan perang yang terdiri dari puluhan ri-bu prajurit" Bagaimana
mungkin seorang wanita bisa menegakkan kewibawaannya, sedangkan pada suatu


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat ia harus mengabdi kepada suaminya?"
Hadirin menjadi agak riuh. Ada yang tertawa kecil, ada yang bertepuk tangan, ada
pula memijat-mijat perutnya sendiri.
Maka Resi Ekaraga semakin bersemangat melan-
carkan agitasi halusnya. "Masalah yang kedua... jika Gusti Prabu mengangkat
Gusti Putri Banondara sebagai putri mahkota, mungkin Gusti Putri Banondari
merasa diperlakukan tidak adil. Demikian pula sebaliknya, kalau Gusti Putri
Banondari diangkat sebagai putri mahkota, tentulah Gusti Putri Banondara merasa
diabaikan. Sedangkan pedoman utama seorang raja,
adalah keadilan."
Adipati Mundingrana, bangsawan yang berkuasa di
daerah Pasirluhur, adalah salah seorang pembesar
yang belum sempat dihasut oleh Aria Pamungkas. Ia
merasa bahwa pembicaraan Resi Ekaraga akan 'di-
arahkan' pada sesuatu yang belum diketahuinya. Se-
bagai seorang adipati yang patuh terhadap adat-
istiadat Tegalinten, Adipati Mundingrana menganggap ucapan Resi Ekaraga mulai
menyimpang. Dan sang
Adipati merasa berkewajiban meluruskannya kembali.
Karena itu, sebelum Resi Ekaraga melanjutkan uca-
pannya, Adipati Mundingrana mohon berkenan sang
Prabu, supaya bisa ikut berbicara.
Setelah mendapat perkenan dari Baginda, berkata-
lah Adipati Mundingrana, "Melanggar adat-istiadat Tegalinten, adalah sama dengan
menyakiti hati para arwah nenek moyang kita yang telah membangun negara
ini dengan susah-payah. Menurut pendapat hamba,
Gusti Putri Banondara dan Gusti Putri Banondari, sa-ma-sama berhak atas mahkota
kerajaan. Karena itu,
tiada salahnya kalau mereka diangkat sebagai putri mahkota. Kelak, bila tiba
saatnya mereka dinobatkan sebagai ratu, tiada salahnya pula kalau kerajaan ini
dibagi dua secara adil. Sebagian dipimpin oleh Gusti Putri Banondara dan
sebagian lagi dipimpin oleh Gusti Putri Banondari..."
"Hahahahaaaaa!" tiba-tiba saja Aria Pamungkas me-
motong ucapan Adipati Mundingrana, dengan gelak
tawanya yang begitu keras, sehingga beberapa bang-
sawan yang hadir di balairung itu mengerutkan da-
hinya. Seolah-olah bertanya pada dirinya masing-
masing, begitulah cara tertawa seorang bangsawan"
Seperti tawa pedagang di pasar atau nelayan di pantai"! Huh... memalukan!
Tapi tidak ada seorang pun yang berani mengemu-
kakan keheranan mereka. Dan Aria Pamungkas melan-
jutkan tawanya dengan sanggahan terhadap usul Adi-
pati Mundingrana. "Dengan seenaknya Adipati Pasir-
luhur berkata seakan-akan ingin menghormati hasil je-rih-payah nenek moyang
kita, tapi secara tidak langsung, usulnya bermaksud meruntuhkan negara ini!
Kerajaan lain justru memperbesar wilayah kekuasaannya, tapi Adipati Pasirluhur
justru ingin memecah-
belahnya."
Kemudian Aria Pamungkas berlutut di depan ayah-
nya. Dan bertanya, "Ampunkan hamba, Rama Prabu...
seandainya Ibunda Permaisuri melahirkan kembar
empat, apakah kerajaan ini harus dibagi empat?"
Prabu Suriadikusumah menggeleng bimbang. Dan
wajah Adipati Mundingrana kontan merah padam, ka-
rena merasa ditelanjangi oleh putra raja dari selir itu.
Resi Ekaraga memanfaatkan saat-saat kebimban-
gan sang Prabu itu, untuk melanjutkan agitasinya
yang belum selesai. "Gusti Aria memang calon pemimpin yang berjiwa besar.
Pandangannya jauh ke depan.
Tidak kekanak-kanakan seperti Adipati Pasirluhur.
Masalah yang sedang kita hadapi ini, adalah masalah negara. Kita tidak bisa
seenaknya saja membagi dua kerajaan seperti membelah seekor ayam panggang!"
Lalu kata Resi Ekaraga lagi, "Ampunkan hamba,
Gusti Prabu... kalau diperkenankan, hamba akan
langsung mengajukan usul hamba."
"Katakanlah," sabda sang Prabu perlahan.
Kata Resi Ekaraga, "Hamba mengusulkan, agar
Gusti Pangeran Aria Pamungkas diangkat sebagai pu-
tra mahkota!"
Tiba-tiba saja para pengikut Aria Pamungkas berse-
ru serempak, "Setujuuuu...!"
Prabu Suriadikusumah terperangah. Heran, karena
begitu banyak bangsawan yang melanggar adat kebia-
saan di dalam istana raja... bahwa mereka langsung menyatakan isi hatinya
sebelum sang Prabu menanya-kannya pada mereka. Tak ubahnya suara 'aklamasi'
dalam sidang bebek!
Beberapa bangsawan yang tidak atau belum terpe-
ngaruh oleh Aria Pamungkas hanya tercengang-ce-
ngang. Heran. Kaget. Tidak menyangka kalau putra
sang Prabu dari selir itu telah cukup banyak mempengaruhi para pembesar Kerajaan
Tegalinten. Tiba-tiba saja Aria Lumayung (putra Baginda dari
Selir Sawitri) maju ke muka, bersimpuh di depan Baginda, dan berkata,
"Ampunkanlah hamba, Rama Pra-
bu. Atas perkenan Rama Prabu, hamba mau mohon
diri untuk tidak mengikuti sidang ini lebih lanjut."
Sang Prabu menjawab, "Apa yang dirundingkan di
dalam ruangan ini, tampaknya tidak menarik bagimu.
Tapi duduklah dulu dengan tenang, sampai perunding-an ini selesai."
"Daulat, Rama Prabu," Aria Lumayung menyembah
kaki ayahnya, lalu kembali ke tempatnya semula.
Kemudian sang Prabu melirik ke arah Aria Pa-
mungkas. Menunduk sesaat. Dan sabdanya, "Sebe-
narnya usul untuk mengangkat Aria Pamungkas seba-
gai putra mahkota, bukan usul baru. Sudah agak lama aku mempertimbangkannya.
Dan... memang sulit me-mutuskannya. Barangkali di antara hadirin masih ada yang
ingin mengajukan usul?"
Hadirin terdiam semua. Suasana di dalam balairung
itu menjadi hening sekali. Sampai akhirnya Baginda bertanya kepada Aria
Lumayung, "Aria Lumayung, walaupun engkau bukan terlahir dari Permaisuri, tapi
engkau adalah putra sulungku. Cobalah kemukakan
isi hatimu, mungkin ada gunanya bagi kita semua."
Aria Lumayung menjawab, "Ampunkan hamba, Ra-
ma Prabu. Sesungguhnya hamba tidak ingin mencam-
puri masalah ini. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa bagaimanapun juga Rayi
Aria Pamungkas, adalah adik hamba sendiri. Demikian pula Rayi Banondara dan
Rayi Banondari, adalah adik-adik hamba sendiri. Maka dalam hal ini, hamba akan
berdiri di tengah saja.
Hamba hanya akan mematuhi apa pun yang dipu-
tuskan oleh Rama Prabu. Demikian isi hati hamba,
Rama Prabu."
"Aria Lumayung anakku, berdiri netral dalam meng-
hadapi masalah besar, bukanlah sikap bijaksana. Terlebih lagi dalam masalah yang
sedang dibicarakan sekarang. Karena itu, kemukakanlah pendapatmu secara tegas,
tidak usah takut-takut," sabda Baginda lembut.
Aria Lumayung melirik ke arah Aria Pamungkas.
Dan ia melihat adik berlainan ibu itu seperti sedang menunggu dukungannya.
Tadinya ia akan berbicara
terus terang, bahwa ia tidak setuju Aria Pamungkas diangkat sebagai putra
mahkota. Tapi setelah melihat pandangan Aria Pamungkas yang tampak seperti
meminta belas kasihannya itu, ia menjadi bimbang.
Dan akhirnya Aria Lumayung berkata, "Menurut
pendapat hamba, alangkah baiknya kalau Rayi Banon-
dara dan Rayi Banondari dibawa serta dalam musya-
warah ini. Mungkin bijaksana sekali kalau Rama Prabu menyerahkan keputusan akhir
pada mereka berdua,
supaya tidak ada ganjalan di kemudian hari."
"Baik," Baginda mengangguk. "Usulmu kuterima,
anakku." Lalu Baginda memanggil salah seorang dayang.
"Pergilah ke keputren dan panggil kedua putriku ke mari," sabda Baginda.
"Daulat, Gusti Prabu," dayang itu menyembah, lalu
mengundurkan diri dari balairung.
Menunggu datangnya Banondara dan Banondari,
merupakan saat-saat yang sangat menegangkan bagi
Aria Pamungkas. Namun Resi Ekaraga yang duduk di
samping Aria Pamungkas, lalu berbisik ke telinga pa-ngeran itu, "Tenanglah ...
hamba akan mempengaruhi batin mereka berdua."
Dan Aria Pamungkas kontan tenang kembali. Soal-
nya ia tahu benar bahwa Resi Ekaraga mampu men-
guasai jiwa seseorang lewat ilmu gaibnya.
*** Di luar dugaan Prabu Suriadikusumah, kedua putri
kembarnya menyatakan tidak berkeberatan untuk me-
lepaskan hak mereka atas mahkota Kerajaan Tegalin-
ten, kemudian menyerahkannya kepada Aria Pamung-
kas! Saat itu, hanya Resi Ekaraga dan Aria Pamungkas
yang tahu, bahwa keputusan dua putri kembar itu
berkat ilmu gaib Resi Ekaraga yang ternyata cukup
ampuh. Kalau batin Banondara dan Banondari tidak
dipengaruhi oleh kekuatan gaib Resi Ekaraga, mung-
kin kedua putri kembar itu akan bersikap sebaliknya.
Begitulah... beberapa hari kemudian, walaupun de-
ngan hati yang berat, akhirnya Prabu Suriadikusumah mengangkat Aria Pamungkas
sebagai Putra Mahkota
Tegalinten. Kenyataan itu, adalah suatu keberhasilan bagi Aria Pamungkas, untuk memenangkan
persaingan di dalam
keluarga istana.
Sebaliknya dengan Prabu Suriadikusumah sendiri,
setelah meresmikan Aria Pamungkas sebagai putra
mahkota, sang Prabu lebih banyak menyendiri di da-
lam peraduan atau di dalam taman. Ada semacam pe-
nyesalan di hati beliau, karena suatu keputusan yang keliru telah diumumkan.
Padahal beliau tahu benar
bahwa Aria Pamungkas bukanlah orang yang tepat un-
tuk diangkat sebagai putra mahkota.
Makin lama Baginda makin sadar, bahwa keputu-
san yang telah diumumkan di hadapan para pembesar
dan rakyat Tegalinten itu, adalah suatu keputusan
yang tergesa-gesa. Tapi bagaimanapun dalamnya pe-
nyesalan Baginda, keputusan itu tak mungkin dapat
ditarik kembali. Sebab, sekali saja seorang raja membatalkan keputusannya
sendiri, rakyatnya tidak akan
menghormatinya lagi.
Dari hari ke hari, Prabu Suriadikusumah bergulat
dengan batinnya sendiri. Akibatnya, beliau mulai sering jatuh sakit. Dan beliau
tidak peduli lagi, apakah Aria Pamungkas semakin memperlebar pengaruhnya
atau tidak. Beliau bahkan sampai pada suatu titik
yang patut disesalkan, bahwa beliau tidak peduli lagi dengan segala urusan
kenegaraan. Walaupun Aria Pamungkas belum dinobatkan seba-
gai raja, namun sesungguhnya ia telah memegang
tampuk pemerintahan secara tidak resmi, karena
hampir setiap urusan kenegaraan sudah dipegang
olehnya. Sedangkan Prabu Suriadikusumah, seolah-
olah tinggal menjadi lambang belaka. Beliau hanya
tinggal menyetujui apa pun yang diusulkan oleh Aria Pamungkas.
Demikianlah riwayat singkat Kerajaan Tegalinten
pada masa kisah ini terjadi.
*** Dan kini Aria Pamungkas sedang mengadakan per-
temuan empat mata dengan Resi Ekaraga, tokoh yang
sangat berjasa dalam keberhasilan Aria Pamungkas.
Setelah membuktikan sendiri bagaimana hebatnya
ilmu Resi Ekaraga waktu mempengaruhi batin Banon-
dara dan Banondari dalam saat yang sangat menentu-
kan itu, Aria Pamungkas sangat menghargai pendeta
istana itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir setiap langkah Aria Pamungkas,
selalu 'dengan bimbingan' Resi Ekaraga.
Tapi keputusan Aria Pamungkas untuk mengirim-
kan Senapati Jugala dan balatentaranya ke Kawahsuling, tidak meminta persetujuan
Resi Ekaraga terlebih dahulu. Justru persoalan itulah yang sedang dibahas
oleh mereka berdua.
"Hamba sudah memperingatkan kepada Gusti Aria,
jangan menentukan keputusan yang penting, sebelum
berunding dengan hamba. Sungguh, hamba bukan in-
gin mendikte Gusti Aria, melainkan ingin agar Gusti Aria selalu berhasil dalam
segala masalah."
"Paman Resi begitu lama meninggalkan istana. Se-
dangkan aku tidak tahu di mana Paman Resi berada
saat itu. Bagaimana mungkin aku bisa berunding da-
hulu dengan Paman?"
"Tapi, sebenarnya Gusti Aria bisa menunda keputu-
san penting itu, sampai hamba datang."
"Nanti dulu," kata Aria Pamungkas. "Paman Resi ke-
lihatannya seperti menganggap keputusanku mengirim Senapati Jugala ke
Kawahsuling, sebagai keputusan
yang keliru dan berbahaya. Begitu?"
"Betul, Gusti Aria," Resi Ekaraga mengangguk.
"Pandangan batin hamba mengatakan bahwa ada se-
macam bahaya besar yang dipancing oleh keputusan
Gusti Aria itu."
"Bahaya apa?" Aria Pamungkas mendadak tidak be-
gitu mempercayai kata-kata Resi Ekaraga. "Kawahsuling hanya salah satu dari
tujuhbelas daerah kadipaten.
Taruh katakanlah Adipati Natajaya mau berontak. Bisa apa dia" Mampukah dia
menghadapi laskar Tegalinten" Hahaahaaa... dalam satu hari saja, Kawahsuling
bisa diratakan dengan tanah!"
Resi Ekaraga menghela napas panjang. Berkata,
"Orang muda di mana-mana sama saja. Terburu-buru,
berdarah panas dan kadang-kadang terlalu percaya
pada kekuatannya sendiri."
Aria Pamungkas tidak tersinggung mendengar sin-
diran itu. Katanya, "Katakan saja terus-terang, bahaya apa sebenarnya yang Paman
takutkan?"
"Untuk diri hamba sendiri, hamba tidak pernah me-
rasa takut," sahut Resi Ekaraga. "Tapi untuk kesela-matan Gusti Aria... hamba
memang sering merasa ce-
mas." "Aaaah! Bicara sajalah secara jelas. Apa yang Pa-
man maksud dengan bahaya besar itu?"
Belum sempat Resi Ekaraga menjawab, tiba-tiba
terdengar suara bergemuruh di luar istana. Dan bergegas Aria Pamungkas melongok
dari jendela. "Ada apa"
Oh... prajurit-prajurit itu sudah kembali, Paman Resi!"
Seperti Patung, Resi Ekaraga tidak bereaksi sedikit pun. Wajahnya tetap
tegang... seolah-olah sudah mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi.
Dan Aria Pamungkas bergegas melangkah ke luar,


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menyongsong prajurit-prajurit yang baru pulang dari Kawahsuling itu.
*** Kembalinya balatentara Tegalinten, jauh dari hara-
pan Aria Pamungkas. Mereka bahkan pulang dengan
membawa dukacita - membaringkan jenazah Senapati
Jugala di altar istana, melaporkan peristiwa yang telah mereka alami dan
memperkenankan seorang pemuda
yang mereka anggap sebagai 'juru selamat'.
"Kalau tidak ada pemuda ini, tentu hamba semua
sudah menjadi korban keganasan orang jahat itu, Gus-ti. Untunglah pemuda ini
datang dan berhasil menghalau orang bertopeng itu. Hanya sayangnya, pemuda ini
datang setelah Kanjeng Senapati gugur."
Demikianlah laporan salah seorang prajurit kepada
Aria Pamungkas.
"Kalian begitu banyaknya, tidak mampu menghada-
pi satu orang pengacau saja"! Oooh... prajurit macam apa kalian ini"!" suara
Aria Pamungkas terdengar din-
gin dan tajam. "Ampun, Gusti. Orang itu... sakti sekali. Kanjeng
Senapati pun hanya mampu menghadapi beberapa ge-
brakan saja," sahut si Prajurit.
Aria Pamungkas bertolak pinggang, dengan sikap
angkuh. Lalu melirik ke arah pemuda yang sedang
bersila di samping prajurit pelapor itu.
"Dan kau berhasil mengusir orang bertopeng itu?"
tanya Aria Pamungkas, dengan pandangan penuh seli-
dik. "Benar, Gusti," sahut pemuda itu. "Sayangnya ham-
ba tidak berhasil membekuknya, karena orang itu melarikan diri ke dalam hutan."
"Siapa namamu?"
"Nama hamba Prabalaya, Gusti."
Aria Pamungkas tidak pernah berkecimpung di da-
lam rimba petualangan, karena itu ia belum pernah
mendengar cerita tentang keluarga Prabaseta yang di-anggap sebagai pemimpin
golongan sesat itu. Ya, Aria Pamungkas belum pernah mendengar cerita-cerita
mengerikan tentang kejahatan Prabaseta dan anak-anaknya itu.
Aria Pamungkas bahkan berpikir, orang bertopeng
yang diceritakan itu jelas lebih sakti daripada Senapati Jugala, karena orang
itu berhasil membunuh Senapati Jugala. Tapi pemuda bernama Prabalaya ini
berhasil menghalau penjahat itu. Berarti Prabalaya ini lebih hebat lagi. Dan...
bukankah aku sedang membutuhkan orang-orang hebat untuk mendukung rencana-
rencana besarku" Tiba-tiba Resi Ekaraga muncul di depan mereka.
Tadinya sang Resi akan mengatakan sesuatu kepada
Aria Pamungkas, tentang ramalannya yang menjadi
kenyataan - bahwa pengiriman Senapati Jugala dan
balatentaranya ke Kawahsuling, mengundang bahaya
besar. Dan itu telah terbukti dengan tewasnya sang Senapati. Tapi begitu melihat
Prabalaya, Resi Ekaraga tertegun. Memperhatikan wajah pemuda itu sesaat.
Menoleh ke arah Aria Pamungkas. Bertanya, "Siapa
pemuda ini, Gusti Aria?"
Aria Pemungkas menyahut, "Pemuda ini telah berja-
sa, menyelamatkan kehancuran pasukan Senapati Ju-
gala, walaupun dia tidak sempat mencegah kematian
Senapati."
Resi Ekaraga tidak puas dengan jawaban Aria Pa-
mungkas. Wajah pemuda itu mengingatkan sang Resi
pada seseorang, sekaligus mengingatkannya pada ma-
sa silamnya. Maka sang Resi bertanya langsung kepa-da Prabalaya, "Siapa namamu,
anak muda?"
"Nama hamba Prabalaya," sahut yang ditanya.
"Siapa ayahmu?"
"Ayah hamba bernama Prabaseta."
Resi Ekaraga terperangah - Dugaanku tak meleset.
Wajahnya seolah-olah paduan Prabaseta dengan Sutiresmi!
"Kenapa, Paman Resi?" tanya Aria Pamungkas, he-
ran, karena melihat Resi Ekaraga terlongong-longong.
"Ti... tidak. Tidak ada apa-apa, Gusti Aria," sahut Resi Ekaraga tergagap.
"Hamba... hamba hanya ingin tahu apa yang akan Gusti lakukan terhadap pemuda
ini?" Aria Pamungkas berbisik ke telinga Resi Ekaraga.
"Ada yang ingin kurundingkan dengan Paman Resi.
Mari kita masuk ke dalam."
Resi Ekaraga mengangguk, lalu mengikuti langkah
Aria Pamungkas, masuk ke dalam ruangan tertutup.
Di situlah Aria Pamungkas berkata, "Tampaknya pe-
muda itu sangat hebat. Sorot matanya begitu tajam,
keras dan menakutkan. Justru orang seperti dialah
yang kubutuhkan."
"Lalu, apa yang akan Gusti lakukan?" tanya Resi
Ekaraga mengambang, karena masa lalunya ter-
bayang-bayang lagi, lebih menghantui daripada tadi.
"Menurut pendapat Paman Resi, cocokkah pemuda
itu kalau kuangkat sebagai pengawal pribadiku?"
Resi Ekaraga terperanjat. "Dia akan dijadikan pen-
gawal Gusti"! Oooh... memelihara anak macam itu
berbahaya, Gusti."
"Memelihara anak macam bagaimana, Paman?" Aria
Pamungkas heran.
Resi Ekaraga terkejut sendiri, karena ia sudah ke-
terlanjuran bicara. Tergagap ia menjawabnya kini,
"Ti... tidak, Gusti. Ha... hamba hanya... merasa bahwa... mungkin pemuda itu
terlalu... terlalu muda begitu."
"Justru dalam jiwa pemudalah terdapat sifat-sifat
yang masih boleh diandalkan."
"Hamba rasa... ah... hamba tidak dapat memberikan
pendapat kali ini, Gusti Aria."
"Kenapa begitu?"
Resi Ekaraga tidak menjawab. Bayang-bayang masa
lalunyalah yang menjawabnya, bagi dirinya sendiri.
Tentang masa mudanya yang kelabu, penuh dengan
hal menyedihkan, menggembirakan dan juga memalu-
kan. Ia masih ingat benar, lebih dari tiga tahun ia bersahabat dengan Prabaseta,
dalam langkah baik mau-
pun buruk. Ia pernah membunuh bersama Prabaseta.
Ia pernah ditangkap, dipukuli dan dipermalukan, bersama Prabaseta.
Bahkan ia pun pernah mencintai seorang gadis,
yang juga dicintai oleh Prabaseta. Ah... kalau ingat ke sana, ia suka
menggertakkan giginya. Dalam geram
campur dendam. Betapa tidak" Prabaseta yang dahulu sahabat dekatnya itu, lalu
menjadi saingan utamanya.
Dalam memperebutkan cinta seorang gadis bernama
Sutiresmi. Dan Prabaseta memenangkan persaingan
itu. Sutiresmi dijadikan istrinya. Lalu tinggallah Ekaraga dalam duka nestapa,
dalam kecewa yang tak ter-perikan.
Apa yang menyebabkan Ekaraga mengubah jalan
hidupnya secara drastis - menjadi seorang resi, hanya Ekaraga sendiri yang tahu.
Yang jelas, sebelum menjadi seorang resi yang disegani oleh para bangsawan
Tegalinten, ia harus berguru dulu pada seorang resi tua selama tujuh tahun,
kemudian hidup mengasingkan
diri dalam hutan pertapaan selama sepuluh tahun.
Lalu muncullah seorang resi baru di Tegalinten. Re-si yang sering dipercayai
untuk memimpin upacara-
upacara keagamaan. Dan para bangsawan Tegalinten
menyukai resi itu, Resi Ekaraga itu, tanpa mengetahui masa lalu sang Resi.
Bahkan berkat penampilannya
yang menarik dan meyakinkan, Resi Ekaraga lalu di-
angkat sebagai pendeta istana. Dan akhirnya, Resi
Ekaraga merupakan orang yang paling dekat dengan
Aria Pamungkas.
Bertahun-tahun Resi Ekaraga hidup di dalam ling-
kungan istana, dengan segala kenyamanannya. Kata-
kanlah hidupnya sudah cukup senang karena apa pun
yang diinginkannya bisa didapat dengan mudah di dalam lingkungan istana. Ia pun
menjadi orang yang cukup disegani, bahkan sang Prabu sendiri menghorma-
tinya. Tapi sebenarnya ada satu hal yang diam-diam ma-
sih melekat di dalam pikirannya, sekalipun ia sudah menjadi seorang resi. Bahwa
ia tidak bisa melupakan Sutiresmi. Ada semacam rasa penasaran yang tak ter-
lampiaskan di dalam hatinya.
Memang ia menjadi dingin terhadap wanita. Tapi
hal itu bukan disebabkan kepasrahannya terhadap kesucian hidup. Bukan. Ia tidak
mempedulikan lawan
jenisnya, semata-mata karena ia tidak dapat melupakan Sutiresmi. Katakanlah ia
mengalami semacam fru-strasi (versi "zaman baheula"), sehingga ia tidak bisa
menaruh perhatian kepada wanita-wanita secantik apa pun.
Dan keluarga raja mengira bahwa Resi Ekaraga su-
dah mengabdikan jiwa raganya untuk kesucian sema-
ta, karena sang Resi tidak pernah berbuat mesum
dengan wanita mana pun. Padahal pendeta-pendeta istana terdahulu, justru sering
mengumbar nafsu birahi mereka, dengan wanita-wanita yang 'disuguhkan' oleh
keluarga raja. Itulah salah satu sebab mengapa keluarga raja sa-
ngat menghormati Resi Ekaraga. Dan mereka tetap tidak tahu masa lalu sang Resi
yang penuh dengan lembaran hitam.
Dan tadi... Resi Ekaraga melihat paduan wajah Pra-
baseta dengan Sutiresmi, pada wajah pemuda berna-
ma Prabalaya itu! Hal itu mengingatkan sang Resi pada persaingannya dalam
memperebutkan hati Sutiresmi,
yang ternyata dimenangkan oleh Prabaseta.
O, mendidih rasanya darah Resi Ekaraga setelah
melihat wajah Prabalaya tadi. Karena sang Resi membayangkan 'terjadinya' pemuda
itu. Tentu sebagai hasil asmara Prabaseta dengan Sutiresmi. Tentu. Tentu sa-ja.
Dendam dan cemburu berdesir-desir di dalam jiwa sang Resi, setelah melihat wajah
Prabalaya tadi.
Tapi kini, tiba-tiba... ya, tiba-tiba saja Resi Ekaraga berkata kepada Aria
Pamungkas, "Ya! Pemuda itu sa-
ngat tepat untuk dijadikan pengawal Gusti Aria! Bahkan mungkin pemuda itu bisa
diserahi kedudukan
yang tinggi!"
Aria Pamungkas tercengang mendengar ucapan
sang Resi yang mendadak berbalik haluan itu.
Tapi lalu Resi Ekaraga berkata, "Itulah bisikan gaib yang hamba dengar barusan,
Gusti Aria."
Dan Aria Pamungkas percaya, bahwa tadi sang Resi
termenung-menung karena sedang 'berbincang-
bincang dengan dunia gaib'.
*** Aria Pamungkas menghampiri Prabalaya. Bertanya,
"Sanggupkah kau menjalani ujian kedigjayaan?"
Prabalaya terheran-heran.
Aria Pamungkas menjelaskan. "Aku ingin mengang-
katmu sebagai pengawalku. Tapi untuk itu, kau harus menjalani ujian terlebih
dahulu." Prabalaya menyeringai. Jauh di dalam hatinya, ia
berkata-kata sendiri, O, tujuanku justru jauh lebih tinggi daripada kedudukan
yang kau tawarkan itu!
Aku datang ke kotaraja ini, bukan sekedar ingin jadi pengawalmu! Tapi...
bukankah lebih baik aku memperlihatkan sikap patuh pada putra mahkota ini"
Bukankah aku sudah mempunyai rencana yang akan didu-
kung oleh Adipati Natajaya"
Maka akhirnya Prabalaya berkata, "Hamba siap un-
tuk diuji, Gusti Aria."
Aria Pamungkas menepuk bahu Prabalaya. "Bagus!
Bersiaplah untuk menempuh ujian itu!"
Kemudian Aria Pamungkas memanggil salah seo-
rang prajuritnya. "Bawa pemuda ini ke gelanggang ksatrian!" perintah Aria
Pamungkas. "Segera hamba laksanakan, Gusti," sembah prajurit
itu. Kemudian Prabalaya dibawa ke gelanggang ksa-
trian, sementara Aria Pamungkas melangkah ke balai prajurit.
Gelanggang ksatrian yang akan dijadikan tempat
ujian bagi Prabalaya, adalah sebidang lapangan yang dikelilingi oleh tembok
tinggi. Gelanggang ini biasa dipakai latihan keprajuritan, khusus untuk putra-
putra raja. Di gelanggang inilah putra-putra raja Tegalinten melatih diri dalam
ilmu memanah, ilmu tombak, perkelahian dengan senjata tajam, perkelahian dengan
tangan kosong dan sebagainya.
Di sebelah utara, tampak sebuah panggung kehor-
matan, yang biasa dipakai oleh Baginda sendiri. Tapi kini Aria Pemungkas naik ke
atas panggung kehormatan itu, sementara Prabalaya sudah berdiri di tengah
gelanggang. Dari atas panggung kehormatan, Aria Pamungkas
berseru, "Prabalaya! Engkau akan dihadapkan pada
dua orang prajurit pilihanku. Apabila kau sanggup mengalahkan mereka, berarti
kau lulus dalam ujian per-tamamu."
Tiba-tiba melompatlah dua orang prajurit ke tengah gelanggang.
Kedua prajurit itu berlutut di depan panggung ke-
hormatan. Aria Pamungkas berseru lagi, "Ujian perta-ma ini adalah perkelahian
dengan tangan kosong!
Apakah kau sudah siap, Prabalaya?"
Dengan sikap hormat, tapi dengan nada suara ang-
kuh, Prabalaya menyahut, "Gusti Aria! Mungkin ham-
ba terlalu berat bagi kedua prajurit ingusan ini. Sebaiknya Gusti Aria memanggil
delapan belas prajurit lainnya. Kalau jumlah mereka duapuluh orang, mungkin bisa
agak seimbang!"
"Apa kau bilang"!" seru Aria Pamungkas agak kaget, dan mengira Prabalaya sudah
sinting. Sementara wajah kedua prajurit itu mendadak jadi
merah padam. Betapa tidak. Mereka adalah anggota
pasukan elite, yang telah mendapat gemblengan sela-ma bertahun-tahun, khusus
untuk menjadi 'perisai'
keluarga raja. Dan kini mereka mendengar ucapan
Prabalaya itu, yang lebih tepat disebut penghinaan.
Maka salah seorang prajurit itu, dengan kumis me-
lintang dada berbulu, melompat ke depan Prabalaya.
"Kau terlalu congkak, anak muda!" bentaknya. "Kau
pikir kami bisa digertak seperti anak ayam" Pertunjukkan dulu kemahiranmu, baru
ngomong!" Namun Prabalaya bersikap seakan-akan tidak meli-
hat kehadiran prajurit itu di depannya. Menoleh pun tidak pada prajurit itu.
Bahkan bertanya kepada Aria Pamungkas yang masih berdiri di panggung kehormatan,
"Gusti Aria, hanya dua orang ini saja prajurit Gusti" Hamba mohon delapan belas
orang lagi."
Aria Pamungkas menjawab, "Kalahkan dulu kedua
prajurit itu, baru kemudian aku akan mempertim-
bangkan semangat mudamu, Prabalaya!"
"Baik," desis Prabalaya. "Hamba akan menghadapi
kedua prajurit picisan ini, tanpa menggerakkan kedua kaki hamba."
Kemudian Prabalaya berdiri tegak, sambil bertolak


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggang, sambil berkata pada kedua prajurit itu, "Se-ranglah aku! Nanti kalian
tahu bagaimana cara berbicara denganku!"
Kedua prajurit itu tidak mengerti apa yang dimak-
sud 'cara berbicara denganku', lalu langsung menerjang saja dengan pukulan yang
menurut mereka 'he-
bat' (tapi cuma pukulan pasaran bagi Prabalaya).
Tentu saja kedua prajurit yang baru memiliki ilmu
pasaran itu, bukan tandingan Prabalaya. Tanpa menggerakkan kakinya, Prabalaya
hanya mengibaskan ta-
ngan kirinya ketika kedua prajurit itu menerjang dari kanan kirinya. Dan...
tahu-tahu kedua prajurit itu terhempas ke tanah... gedebuk... gedebuk!
Lalu... tiba-tiba saja kedua prajurit itu meraung-
raung seperti anak kecil yang sedang menangis.
"Huu... huuuu... waaaaw... waaaaw... huuuu...
waaaaw...!"
Aria Pamungkas terkejut sekali melihat kejadian a-
neh itu. Sedikit pun ia tidak mengerti bahwa tadi Prabalaya menggunakan angin
pukulan dahsyatnya, un-
tuk menghantam kedua prajurit itu, sekaligus mene-
kan salah satu urat syaraf mereka yang lalu membuat mereka menangis tak
tekendalikan! Itulah yang dimak-sud 'cara berbicara denganku' oleh Prabalaya!
Lalu, dengan nada kocak tapi dengan sikap dingin,
Prabalaya berseru, "Barangkali kedua prajurit Gusti Aria ini belum sarapan pagi.
Apakah mereka biasa menangis begitu kalau sedang lapar, Gusti?"
"Memalukan!" bentak Aria Pamungkas sambil
menghentakkan kakinya di lantai panggung kehorma-
tan. "Benar-benar prajurit memalukan! Hanya dalam
sekejap mata saja bisa roboh!"
Tapi di dalam hatinya, Aria Pamungkas berkata,
"Masih begitu muda sudah demikian hebatnya... orang seperti inilah yang
kubutuhkan!"
Kedua prajurit yang masih bergulingan sambil me-
raung-raung itu, lalu digotong ke luar gelanggang. Sementara Prabalaya tetap
berdiri di tengah gelanggang, dengan sikap dingin.
"Prabalaya! Apakah kau sanggup membuktikan
omonganmu, bahwa kau mampu menghadapi duapu-
luh prajurit sekaligus?" seru Aria Pamungkas.
"Tentu saja, Gusti Aria," Prabalaya membusungkan
dadanya. Aria Pamungkas berbisik kepada salah seorang pra-
jurit yang berdiri di dekat panggung kehormatan. Kemudian prajurit itu
meninggalkan gelanggang.
*** Duapuluh prajurit memasuki gelanggang. Semua-
nya membawa tombak dan perisai.
Melihat dari cara melangkah keduapuluh prajurit
itu saja Prabalaya sudah tahu bahwa mereka lebih 'be-risi' daripada dua prajurit
yang dibikin meraung-raung tadi. Jumlahnya pun sepuluh kali lebih banyak.
Keduapuluh prajurit itu mulai mengitari Prabalaya, dengan sikap kokoh. Tapi
Prabalaya tenang-tenang sa-ja memandang ke arah panggung kehormatan, seolah-
olah tak mempedulikan kehadiran duapuluh prajurit bertombak dan berperisai itu.
Lalu terdengar Aria Pamungkas berseru lantang dari atas panggung kehormatan.
"Prabalaya! Kau akan diberi senjata yang sesuai denganmu. Senjata apa yang akan
kau minta?"
"Terima kasih, Gusti Aria. Hamba punya senjata
sendiri," sahut Prabalaya sambil mengeluarkan sesua-tu dari balik bajunya.
Seutas rantai berpisau pada ujungnya.
Sebenarnya rantai berpisau itu bukan senjata anda-
lan Prabalaya. Senjata 'pasaran' itu dikeluarkan oleh Prabalaya, karena
menganggap lawan-lawannya hanya
pendekar-pendekar picisan.
"Prabalaya!" seru Aria Pamungkas, "Seperti yang
kau lihat, lawan-lawanmu sekarang tidak bertangan
kosong. Karena itu, aku ingin bertanya dulu padamu, apakah kau tidak akan
menyesal kalau mereka melu-
kai atau menewaskanmu nanti" Kalau kau agak sang-
si, aku bersedia membatalkan ujian berat ini!"
Prabalaya tersinggung oleh ucapan Aria Pamungkas
itu. Tapi ditahan-tahannya kemarahannya, lalu men-
jawab, "Hamba tidak pernah mundur dari tengah ge-
langgang, Gusti Aria! Sebaliknya hamba ingin bertanya kepada Gusti Aria...
apakah Gusti tidak akan menyesal kalau kehilangan prajurit-prajurit kesayangan
Gusti ini?"
"Maksudmu... kalau mereka terbunuh begitu?"
"Benar, Gusti Aria. Karena begitu melihat gerak-
gerik mereka, kontan saja hamba dapat menilai...
bahwa mereka bisa hamba binasakan dengan mudah
sekali." Prajurit-prajurit itu menjadi geram. Wajah Aria Pamungkas pun menjadi merah
padam. "Kau terlalu sombong, Prabalaya! Aku kuatir ke-
sombonganmu akan mencelakakan dirimu sendiri," se-
ru Aria Pamungkas sambil menyeringai.
"Tidak, Gusti Aria. Hamba berani bersumpah untuk
memotong leher hamba sendiri, jika hamba tidak sanggup menghabiskan keduapuluh
prajurit yang hanya
gagah seragamnya saja ini!"
"Baiklah... mulai!" Aria Pamungkas bertepuk tangan satu kali.Dan keduapuluh prajurit itu serempak bergerak me-
mutari Prabalaya, dengan tombak bergerak zig-zag ke tengah lingkaran. Prabalaya
tersenyum dingin dan segera tahu bahwa keduapuluh prajurit pilihan itu sedang
memperagakan gerakan 'Cakrayuda'.
Bagi lawan biasa, gerakan Cakrayuda itu sangat
berbahaya, karena keduapuluh prajurit itu berlari-lari terus, mengelilingi
lawannya, dengan lingkaran yang kian lama kian menyempit. Selain lawan akan
dibuat pusing, ujung-ujung tombak mereka selalu siap untuk mengoyak dada atau leher
lawan. Sedangkan perta-hanan mereka sendiri, tampaknya seperti tidak mungkin
bisa dijebolkan.
Tapi apa yang bisa mereka lakukan terhadap Praba-
laya" Ketika kurungan mereka makin menyempit, tiba-
tiba saja Prabalaya 'lenyap' dari pandangan mereka.
Rupanya Prabalaya melejit ke udara, jauh di atas kepala prajurit-prajurit itu.
Dan sebelum kaki Prabalaya menyentuh tanah, ran-
tainya mulai berputar demikian cepatnya, sehingga hanya suaranya saja yang
terdengar... wuuut... wuuut...
wuuut... wuut... wuuut...!
Lalu apa yang terjadi selanjutnya"
Aria Pamungkas yang sedang berdiri di panggung
kehormatan, terbelalak... seperti bermimpi... melihat kepala prajurit-prajurit
itu berjatuhan satu persatu di atas panggung kehormatan, persis di depan kaki
Aria Pamungkas!
Suasana di gelanggang ksatrian mendadak hening.
Keduapuluh prajurit itu sudah bergeletakkan di tengah gelanggang, tanpa kepala
lagi. Dan di depan Aria Pamungkas, duapuluh kepala manusia menggunduk se-
perti bukit kecil... dengan darah yang masih mengalir dari bagian lehernya yang
terputus... membasahi lantai panggung kehormatan dan menimbulkan bau anyir
yang menegakkan bulu roma.
Aria Pamungkas bergidik. Terundur beberapa lang-
kah, dengan mata melotot, tertuju ke gundukan kepala manusia itu.
Sepanjang hidupnya, baru sekali itulah Aria Pa-
mungkas menyaksikan peristiwa yang begitu mengeri-
kan. "Kepala prajurit-prajuritku beterbangan dari lehernya masing-masing," pikir Aria
Pamungkas, "Lalu berjatuhan secara teratur di depanku. Oh... pemuda itu benar-
benar hebat, kejam dan berbahaya! Tapi aku justru membutuhkan orang yang seperti
dia!" *** DIPATI Natajaya tampak gelisah di pendapat ista-
Anan ya. Kereta kebesarannya sudah menunggu di
halaman muka istana. Demikian pula tujuh orang prajurit yang akan bertugas
mengawal kereta sang Adipa-ti, sudah siap di dekat kudanya masing-masing. Tapi
sang Adipati belum tampak siap berangkat. Padahal
hari sudah siang, matahari sudah tegak lurus di atas kepala.
"Jadi berangkat apa tidak?" tanya kusir kereta sang Adipati pada salah seorang
prajurit yang berdiri paling dekat dengannya.
"Tidak tahu," prajurit itu menggeleng. "Mungkin
masih ada yang ditunggu oleh Kanjeng Adipati."
"Siapa sih yang ditunggu?"
Prajurit yang ditanya cuma angkat bahu. Dan tiba-
tiba saja matanya melotot tak berkedip... memandang ke arah seorang gadis cantik
yang tengah melangkah dengan pinggul bergoyang genit, memasuki pintu gerbang.
Yang tampak aneh pada gadis itu adalah, bahwa ia berjalan sambil memeluk seekor
kucing hutan yang tampak garang, tapi kelihatannya begitu bersahabat dengan si
Gadis. "Siapa gadis itu?" bisik si Prajurit pada kusir kereta sang Adipati.
Kusir kereta itu memandang ke arah si Gadis.
Mempertanyakannya sesaat. Lalu menggeleng. "Entah-
lah. Rasanya baru sekali ini aku melihatnya. Cantik sekali, ya?"
"Memang cantik. Tapi cara melangkahnya itu, adu-
hai... seperti memancing birahi lelaki...!"
Kusir kereta itu agak payah menahan tawanya. Dan
gadis yang sedang dibicarakan itu sudah tiba di depan pintu pendapa. Dua orang
penjaga merintanginya. Gadis itu berkata, "Tolong sampaikan kepada Kanjeng
Adipati, kakaknya Prabalaya ingin menghadap."
Salah seorang prajurit kadipaten bergegas masuk ke dalam. Menghadap Adipati
Natajaya yang masih gelisah.
"Seorang gadis yang mengaku kakaknya Prabalaya,
ingin menghadap, Kanjeng Adipati," lapor prajurit itu.
Ketegangan di wajah Adipati Natajaya mencair. "Su-
ruh dia masuk," sahutnya lebih lembut dari biasanya.
Penjaga pintu pendapa bergegas kembali ke tempat
tugasnya. Kemudian mempersilakan gadis itu masuk.
Sebenarnyalah gadis itu kakak kandung Prabalaya.
Dan kucing hutan yang selalu berada dalam pelukan-
nya, membuatnya dijuluki "Meong Koneng" (kucing hutan kuning).
Cantik memang gadis itu. Potongan tubuhnya pun
memenuhi syarat untuk membangkitkan birahi lelaki.
Sepasang payudara yang montok, pinggang yang ram-
ping, buah pinggul yang besar, kulit yang kuning lang-sat, mata yang sayu
seperti mengajak tidur, hidung yang meruncing, sikap yang genit... ah...
semuanya itu memang seperti mengundang birahi lelaki. Namun kalau orang sudah
tahu siapa gadis itu, tentu akan bergidik ngeri.
Prabayani, demikian nama gadis bergelar Meong
Koneng itu, dalam beberapa hal memang tampak lebih
menarik daripada adiknya (Prabalaya). Namun sesungguhnya jiwa gadis itu jauh
lebih jahat daripada Prabalaya! Kalau Prabalaya mampu membunuh orang sam-
bil tersenyum, maka Prabayani mampu melakukannya
sambil tertawa genit. Kalau Prabalaya tidak pernah menggubris anak kecil, maka
Prabayani justru tiap
malam bulan purnama sengaja mencari anak kecil...
untuk dibunuh dan diambil hatinya! Untuk apa hati
anak-anak kecil itu" Prabayani memiliki semacam ilmu yang membuatnya tampak jauh
lebih muda daripada
usia sebenarnya. Dan salah satu syarat ilmunya itu, adalah makan hati anak kecil
di setiap malam bulan purnama. Maka setiap bulan selalu saja ada anak kecil yang
hilang. Dan orang tua yang pernah kehilangan
anaknya, cuma mengira bahwa anaknya itu diterkam
binatang buas atau dilarikan makhluk halus.
Adipati Natajaya pun tidak tahu bahwa gadis cantik yang sekarang bersimpuh di
depannya, jauh lebih jahat daripada Prabalaya. Dan memang baru sekali itulah
sang Adipati bertemu dengan Prabayani.
Pikir Adipati Natajaya saat itu, "Gadis ini kakaknya Prabalaya"! Kenapa
kelihatannya justru lebih muda daripada Prabalaya?"
Memang Prabayani tampak muda sekali. Usianya
sudah hampir 30 tahun, tapi penampilannya seperti
gadis belasan tahun.
"Hamba mau menghaturkan laporan, tentang tugas
yang diberikan pada adik hamba," kata Prabayani dengan lirikan genitnya.
Adipati Natajaya yang mata keranjang itu, langsung tergiur. Tapi ia berusaha
menguasai dirinya. Lalu tanyanya, "Sudah selesai?"
"Sudah, Kanjeng Adipati."
Adipati Natajaya melirik ke kanan kirinya. Lalu ka-
tanya, "Laporan mengenai hal itu sangat rahasia sifat-nya. Karena itu... marilah
ikut denganku."
"Baik, Kanjeng Adipati," sahut Prabayani sambil
mengikuti langkah Adipati Natajaya ke sebuah kamar tertutup.
Tadinya Adipati Natajaya akan membawa Prabayani
ke kamar rahasia di bawah tanah itu. Tapi setelah teringat bahwa kamar di bawah
tanah itu memiliki pintu rahasia yang biasa dipakai jalan Prabaseta, sang
Adipati membatalkan maksudnya. Sang Adipati ingin berbicara dengan Prabayani,
tanpa diketahui oleh siapa pun, termasuk ayah Prabayani sendiri.
Setelah berada di kamar tertutup yang biasanya di-
pakai untuk memadu asmara dengan gundik-gundik-
nya, sang Adipati berkata, "Nah... sekarang ceritakanlah. Apa yang telah
terjadi?" "Senapati Jugala sudah binasa, Kanjeng Adipati.
Hamba sendiri yang melakukannya," sahut Prabayani.
"Kau yang melakukannya"! Dan sekarang kau da-
tang ke sini secara terang-terangan begini"! Oooh...
bagaimana kalau ada mata-mata kerajaan melihat-
mu?" Adipati Natajaya tampak cemas sekali.
"Kanjeng Adipati tak usah kuatir," kata Prabayani.
"Waktu hamba melakukannya, hamba mengenakan
topeng. Pakaian yang hamba kenakan pun pakaian la-
ki-laki. Percayalah, tidak ada seorang pun yang mengenal hamba, kecuali adik
hamba sendiri."
Kemudian Prabayani menuturkan kisah penyerga-
pan yang telah dilakukannya.
"Dengan mengenakan pakaian laki-laki dan topeng
penutup wajah itu, hamba menyergap mereka. Bebe-
rapa prajurit merintangi hamba, sehingga terpaksa
hamba binasakan. Kemudian Senapati Jugala sendiri
yang hamba kirim ke neraka. Setelah itu, datanglah
adik hamba. Pura-pura bertempur dengan hamba. Dan
hamba melarikan diri ke dalam hutan, seperti yang telah direncanakan
sebelumnya."
"Beberapa orang prajurit yang kau bunuh?" tanya
Adipati Natajaya.
"Hanya lima orang, Kanjeng Adipati."
"Dan sisanya?"
"Tentu pulang ke kotaraja, untuk melaporkan peris-
tiwa itu... dan adik hamba akan diperlakukan sebagai pahlawan penyelamat."
"Mana Prabalaya sekarang?"
"Dia ikut ke kotaraja bersama sisa prajurit kerajaan itu."
"Ke kotaraja"! Oooh... kenapa bisa jadi begitu" Bukankah aku sudah memerintahkan
supaya ia cepat-
cepat kembali ke sini, untuk kemudian bersamaku
pergi ke kotaraja" Mengapa ia nyelonong pergi sendirian" Apakah adikmu ingin


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengkhianatiku?"
"Tidak, Kanjeng Adipati. Adik hamba justru ingin
melindungi Kanjeng Adipati dari kecurigaan yang
mungkin saja timbul di pihak kerajaan. Dengan hadirnya adik hamba di sisi para
prajurit yang masih hidup itu, laporan yang tidak diinginkan bisa dihindari.
Selain daripada itu, adik hamba ingin memberi kesan
pada Pangeran Aria Pamungkas, bahwa peristiwa itu
terjadi secara kebetulan. Bukan disengaja, bukan diatur oleh Kanjeng Adipati."
Adipati Natajaya termenung sesaat. Lalu mengang-
guk-angguk. "Ya... mungkin itu lebih baik. Tapi yakin-kah kau bahwa adikmu tidak
akan mengkhianatiku?"
"Percayalah, Kanjeng Adipati. Adik hamba biasa
bertualang, tapi tidak biasa mengkhianati orang yang telah berbuat baik padanya.
Terlebih lagi kepada Kanjeng Adipati yang telah bersahabat dengan ayah ham-
ba." Adipati Natajaya mengangguk-angguk lagi. Lalu
memandang wajah cantik itu, dari sudut kelelakian-
nya. Dan ia yakin, mata indah yang bergoyang perlahan itu seolah-olah
mengundangnya. Tapi tiba-tiba sa-ja ia ingat seseorang... Nilamsari... ya,
bukankah Nilamsari sedang disembunyikan di suatu tempat dan
akan dijumpainya hari ini"
"Baiklah," kata Adipati Natajaya. "Sekarang aku
mau pergi dulu. Dan kau boleh menungguku sampai
aku pulang nanti malam."
"Hamba harus menunggu di sini?" tanya Prabayani
dengan kerlingan memancing.
"Ya," sahut sang Adipati. "Kau akan diperlakukan
sebagai tamu istimewa. Kebutuhan-kebutuhanmu
akan dipenuhi oleh para pelayanku. Tapi binatang
itu... sebaiknya kau simpan dulu di dalam kandang."
"Kenapa, Kanjeng Adipati?" Prabayani mengelus
leher kucing hutannya.
"Binatang itu... menakutkanku."
"Ah, Kanjeng Adipati. Binatang kesayangan hamba
ini tahu benar siapa kawan dan siapa lawan hamba.
Dia hanya akan bertindak kalau sudah disuruh oleh
hamba. Tapi baiklah... hamba akan memasukkannya
ke dalam kandang nanti sore... supaya Kanjeng Adipati tidak terganggu," desis
Prabayani dengan senyum me-mikat.
Tergetar batin Adipati Natajaya melihat senyum itu.
Tapi bayang-bayang wajah Nilamsari masih membe-
lenggunya. Maka ia tekan gelora itu, untuk sementara.
Dan beberapa saat kemudian, Adipati Natajaya su-
dah berada di dalam keretanya, dikawal oleh tujuh
orang prajurit berkuda, yang mulai bergerak meninggalkan pintu gerbang.
*** ERETA yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam itu
Kber henti di halaman sebuah rumah, yang terletak
di daerah terpencil, jauh di sebelah selatan Kawahsuling. Beberapa prajurit
kadipaten tampak menjaga rumah itu.
Adipati Natajaya turun dari keretanya. Lalu me-
langkah ke dalam rumah megah milik pribadinya itu.
Seorang dayang berdatang sembah di ruang cengke-
rama. "Hamba menghaturkan sembah bakti, Kanjeng
Adipati." "Kuterima. Bagaimana" Sudah kau dandani dia?"
Adipati Natajaya menghempas ke sebuah kursi berukir indah.
"Sudah," sahut dayang itu. "Tapi dia menangis te-
rus, Kanjeng Adipati."
Adipati Natajaya berdiri lagi. Melangkah ke arah
pintu kamar pertama. Membuka pintu itu. Lalu dili-
hatnya gadis itu... gadis yang sedang mencucurkan air mata di peraduan mewah
itu. Itulah Nilamsari, putri mendiang Adipati Wiralaga, yang kini digilai oleh
Adipati Natajaya. Yang kini di-hampiri oleh Adipati Natajaya.
"Nilamsari maniiiiis...! Akhirnya kau terbawa lagi ke sini, bukan"! Sejak dulu
aku sudah bilang, jangan co-ba-coba melarikan diri. Karena walaupun kau lari ke
ujung dunia, aku akan menemukanmu dan memba-wamu ke sini lagi," desis Adipati
Natajaya sambil duduk di tepi peraduan, sambil memperhatikan wajah Nilamsari.
"Ah... kau semakin cantik saja, Nilamsari. Dalam tempo tiga tahun kita tidak
pernah berjumpa.
Dan... ternyata kau sekarang tak ubahnya bidadari tu-
run dari Kahyangan."
Adipati Natajaya menyentuh dagu Nilamsari. Tapi
cepat-cepat Nilamsari membuang muka, sehingga sen-
tuhan di dagunya hanya sekejap mata saja. Itu justru membuat Adipati Natajaya
makin penasaran. Kerindu-annya yang disekap selama tiga tahun itu, seolah-olah
mau meledak dari dadanya.
Maka, tak peduli dengan apa pun lagi, Adipati Natajaya menerkam pinggang gadis
itu. Memeluknya erat-
erat, dengan napas berdengus-dengus.
"Paman Adipati!" Nilamsari meronta-ronta. "Sadar-
lah, Paman! Kalau Paman Adipati menghendaki Ibu,
mungkin masih bisa dimaafkan, karena antara Paman
dengan Ibu tidak ada pertalian darah. Tapi hamba ini...
hamba ini keponakan Paman sendiri...!"
"Ah, aku sudah pernah mendengar kata-kata seperti
itu tiga tahun yang lalu." Adipati Natajaya mempererat pelukannya. "Dan aku
tidak peduli! Ayahmu adalah
kakak sepupuku. Bukan kakak kandungmu. Kenapa
harus mempersoalkan pertalian darah itu" Bukankah
aku sudah berjanji untuk menyenangkanmu di sini?"
"Jangan, Paman! Jangaaaan...!"
Nilamsari meronta dan meronta terus. Dan Adipati
Natajaya tidak mau melepaskannya lagi. Adipati Natajaya ingin melampiaskan
sesuatu yang dipendamnya
selama tiga tahun belakangan ini.
Tapi... tanpa disadari oleh sang Adipati, pada saat itu ada sesuatu yang
bergerak... sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa.
Pandangan Adipati Natajaya sudah tertipu oleh 'se-
suatu' itu. Dalam pandangan sang Adipati, manusia
yang sedang dipeluknya itu, adalah Nilamsari. Padahal barusan, dalam sekejap
mata saja Nilamsari telah diganti oleh kusir kereta sang Adipati sendiri. Dan
kusir kereta itu telah 'dikerjain' oleh seseorang, yang membuatnya tidak bisa
mengeluarkan suara apa pun.
Adipati Natajaya, dengan pandangannya yang su-
dah ditipu oleh suatu ilmu tingkat tinggi, mengira bahwa Nilamsari sudah pasrah,
karena suaranya tak
terdengar lagi, rontaannya pun telah hilang.
Begitu bernafsu sang Adipati menelanjangi kusir kereta itu, yang disangkanya
Nilamsari. Begitu bernafsu sang Adipati menelanjangi dirinya sendiri.
Lalu... dengan dengus napas yang semakin membu-
ru, Adipati Natajaya menghimpit tubuh kusirnya itu.
Menciumnya dengan ganas. Dan desisnya, "Kali ini
aku harus memilikimu. Harus...."
Ucapan Adipati Natajaya terputus di tengah jalan,
karena pengaruh ilmu seseorang yang 'jahil' itu telah hilang. Dan kini tampak di
matanya, bahwa manusia yang sedang dipeluknya itu bukan Nilamsari, melainkan
seorang lelaki tua yang sudah terlalu dikenalnya.
"Kau... kau... keparaaaat! Kenapa kau bisa ada di
sini"!" bentak sang Adipati pada lelaki tua yang sudah ditelanjanginya itu.
"H... hhh... hamba sendiri he... heran... kenapa bisa ada di... di sini...,"
sahut kusir kereta itu sambil menyambar celananya dan cepat-cepat mengenakannya
kembali. Geram dan malu seakan-akan meledak dari dada
sang Adipati. Geram, karena tadi ia merasa hampir ti-ba di tempat tujuannya,
namun lalu gairahnya men-
dadak terbunuh begitu saja setelah menyadari siapa yang berada di depan matanya
itu. Malu, karena saat itu sang Adipati sudah tidak mengenakan apa-apa lagi, di
depan mata kusir kereta yang biasanya sangat
menghormatinya itu.
Dan, tentu saja kecewanya sang Adipati bukan
main hebatnya. "Cepat kau keluar dari sini!" bentak Adipati Nata-
jaya sambil menyambar pakaiannya. Bergegas menge-
nakannya kembali.
Kusir kereta itu menghambur ke luar, dengan pera-
saannya heran dan takut melihat kemarahan sang
Adipati. *** Adipati Natajaya memanggil semua prajurit kadipa-
ten yang ada di tempat itu. Kepada mereka sang Adipati bertanya, "Siapa di
antara kalian yang melihat seorang gadis berlari ke luar?"
Prajurit-prajurit kadipaten itu tidak ada yang me-
nyahut, berarti tak seorang pun di antara mereka melihat seseorang berlari ke
luar dari rumah megah itu.
"Kalian goblok semua! Ayo cari dia di sekitar tempat ini!" bentak Adipati
Natajaya, yang lalu diikuti dengan berhamburannya prajurit-prajurit ke
sekeliling rumah megah itu.
Namun mereka tidak menemukan gadis yang mere-
ka cari itu. Nilamsari hilang tanpa bekas!
(Bersambung) Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Pedang Ular Merah 4 Pendekar Elang Salju Karya Gilang Petualang Asmara 21
^