Pencarian

Mustika Lidah Naga 3 1

Mustika Lidah Naga 3 Bagian 1


MESTIKA LIDAH NAGA 3 Karya: Panjidarma
Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA
Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang
ILAMSARI seolah-olah bermimpi, ketika dirasakan-
Nny a sesuatu yang luar biasa, bahwa tubuhnya te-
rasa melesat demikian cepatnya, sehingga ia meme-
jamkan matanya erat-erat, tak ubahnya seseorang
yang sedang terjatuh dari tempat ketinggian.
Pada saat lain, gadis cantik itu membuka matanya.
Tapi apa yang dilihatnya" Pepohonan seolah-olah berlarian dengan cepatnya,
sehingga ia memejamkan matanya kembali.
"Apa yang sedang terjadi pada diriku ini?" tanya Nilamsari di dalam hatinya.
"Oh... aku rasanya seperti sedang digendong oleh seseorang. Ya... aku sedang
digendong oleh seseorang! Tapi siapa orang ini" Ah... jangan-jangan orang ini
bermaksud jahat padaku! Dan...
oooh... larinya orang ini... begini cepatnya... tak ubahnya anak panah terlepas
dari busurnya!"
Merasa bahwa tak sepatutnya ia berada dalam gen-
dongan seorang lelaki, merontalah Nilamsari. "Le-
paskan aku... mau kau bawa ke mana aku ini?"
Lelaki muda yang menggendong Nilamsari itu, yang
tak lain dari Rangga, menjawab, "Tenanglah, aku tidak bermaksud jahat padamu.
Aku hanya melaksanakan
permintaan Kang Wikrama."
"Kau... disuruh oleh ayahku?"
"Ayah angkatmu," tukas Rangga tanpa menghenti-
kan larinya. "Ayah kandungmu mendiang Kanjeng
Adipati Wiralaga, bukan"!"
"Ya... tapi aku sudah menganggapnya sebagai peng-
ganti ayahku. Dan... di mana beliau sekarang?"
"Entahlah. Mungkin masih di Cisumpit, mungkin
pula sudah pergi untuk menghindari gangguan kaki
tangan Adipati Natajaya."
"Tapi... ah... bisakah kita berhenti sebentar" Aku tidak bisa bicara dengan baik
dalam keadaan begini."
"Bersabarlah dulu, sebentar lagi kita sampai di Cigelung, tempat yang aman
bagimu." "Cigelung"!" Nilamsari terbelalak. Heran.
Dan semakin heran setelah mereka tiba di tepi su-
ngai yang besar. Dan... wuuut... Nilamsari merasa tubuhnya terbang... lalu
tibalah di seberang sungai besar itu. Sungai Cigelung itu.
Rangga menurunkan gadis itu dari gendongannya.
Lalu duduk melepaskan lelahnya di atas sebuah batu besar.
Nilamsari terpaku memandang ke arah sungai besar
itu. Dan bergumam, "Dahulu, waktu ayahku masih hidup, aku pernah dibawa ke sini.
Tapi... perjalanan dari Kawahsuling ke sini dahulu, memakan waktu dua hari dua
malam! Tapi sekarang.... begitu cepat...."
Ucapan Nilamsari terputus ketika pandangannya
beralih dan terpaku ke wajah Rangga. Wajah yang ba-ru sekarang diperhatikannya.
Oh, pikir Nilamsari, pemuda itu... begitu tampan...
dan... apa yang sudah kulakukan tadi" Tadi aku seolah-olah melekat dalam
gendongannya! Teringat ke sana, wajah Nilamsari mendadak ke-
merah-merahan. Tersipu-sipu sendiri.
"Nah," kata Rangga tiba-tiba, "sekarang katakanlah apa yang hendak kau katakan."
"Ti... tidak ada," sahut Nilamsari tergagap, karena masih dikuasai perasaan
malunya itu. "Ta... tapi... oh ya... siapa namamu?"
"Rangga," sahut yang ditanya.
"Rangga?" tukas Nilamsari. "Lantas aku harus me-
manggil apa padamu?"
"Terserah kau, mau panggil Mang boleh, mau pang-
gil Kakek juga boleh."
"Hihihi... masa manggil Kakek"!"
Kali ini Rangga yang terpukau. Tadi ketika Nilamsa-ri tertawa, Rangga melihat
dua baris gigi yang begitu rapi, begitu bersih dan membuat wajah gadis itu
tampak semakin berseri-seri.
Tapi tidak lama Rangga membiarkan dirinya dikua-
sai oleh perasaannya. Lalu pandangannya dicurahkan ke Sungai Cigelung yang
arusnya tenang itu.
"Ke mana aku akan kau bawa nanti?" tanya Nilam-
sari ketika Rangga masih tercenung di atas batu besar itu. "Entahlah, aku
sendiri masih bingung, ke mana aku harus membawamu," sahut Rangga datar. "Ayah
angkatmu tidak memberi petunjuk padaku tentang ke ma-na aku harus membawamu. Dia
hanya memintaku un-
tuk membebaskanmu dari cengkraman Adipati Nataja-
ya. Hanya itu."
Terngiang-ngiang lagi ucapan Wikrama itu di telinga Rangga, "Tolonglah anak itu,
Rangga. Jangan biarkan dia jadi korban kebinatangan Adipati Natajaya. Dia
sebenarnya bukan anakku. Tapi aku berkewajiban me-
nolongnya. Dia adalah putri Adipati Wiralaga."
"Kalau begitu, antarkanlah aku ke Cisumpit seka-
rang. Aku ingin berjumpa dengan ibu angkatku yang baik hati itu," kata Nilamsari
setelah agak lama dicengkeram keheningan.
"Ibu angkatmu"! Maksudmu istri Kang Wikrama?"
"Ya. Kenapa rupanya?"
"Dia sudah tewas. Apa kau belum tahu?"
"Tewas"! Oooh.... tidak! Tidaaak!" Nilamsari memegang kedua belah pipinya,
dengan mata terbelalak.
"Ya, dia memang sudah tewas. Kenapa kau tidak
tahu?" "Tidak, aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa pra-
jurit-prajurit kadipaten menangkapku, lalu membawa-
ku ke rumah terkutuk itu...."
"Mungkin ibu angkatmu dibunuh setelah kau diba-
wa pergi," kata Rangga memotong.
Kemudian Rangga menceritakan apa yang telah di-
alaminya waktu baru tiba di Cisumpit bersama Wi-
krama. "Biadab!" pekik Nilamsari setelah Rangga selesai
menuturkan kisah di Cisumpit itu. "Oooh... seandainya aku seorang laki-laki...
pasti aku akan menuntut balas untuk kematian wanita yang baik hati itu."
Dan Nilamsari mulai menangis.
"Yang sudah pergi, biarkanlah pergi. Tangis orang yang masih hidup atas kematian
seseorang, hanya
akan menyebabkan beratnya hati arwah yang sudah
damai di nirwana." Rangga mencoba meredakan tangis Nilamsari.
Tapi tangis Nilamsari bahkan semakin menjadi-jadi.
Di sela-sela tangisnya, gadis itu berkata tersendat-sendat, "Semuanya ini...
ditimbulkan oleh... oleh kebiada-ban Paman Adipati... ooh...!"
"Kau memanggilnya paman?"
"Ya, dia... dia sebenarnya saudara sepupu ayahku.
Tapi jiwanya... tak ubahnya jiwa binatang!"
Rangga jadi teringat cerita Nyi Tiwi. Maka katanya,
"Ya... aku pernah mendengar bahwa Adipati Natajaya itu saudara sepupu ayahmu.
Sekarang aku ingat.
Dan... oh ya... bagaimana dengan ibu kandungmu"
Kudengar ibumu disembunyikan di Leuwisapi. Benar-
kah itu?" Wajah Nilamsari mendadak cerah. "Memang benar!
Kenapa tidak dari tadi aku mengingatnya"! Bagaimana kalau aku diantarkan ke
Leuwisapi saja" Apakah kau bersedia membawaku ke sana?"
Rangga mengangguk. "Mengantarkanmu ke Leuwi-
sapi, tidak ada sulitnya. Cuma... apakah itu tidak berarti memasrahkan diri ke
kandang macan?"
Nilamsari terperangah dan baru ingat bahwa ibunya telah menjadi selir gelap
Adipati Natajaya. Dan kalau Nilamsari pergi ke Leuwisapi, pastilah salah seorang
mata-mata Adipati Natajaya akan melaporkannya.
"Oh, bingungnya aku! Aku tidak tahu lagi ke ma-
na...." Nilamsari tidak sempat menghabiskan ucapannya, karena tiba-tiba saja ia
melihat asap putih mengepul di depannya.
Lalu muncullah seorang kakek-kakek berpakaian
serba putih, dengan tongkat di tangannya.... tongkat yang terbuat dari batu
wulung! Tiba-tiba pula Rangga bersimpuh di depan lelaki tua renta itu. "Muridmu
menghaturkan sembah bakti, Ra-ma Guru!"
Kakek-kakek itu, yang tak lain dari Kudawulung,
tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang tak ubahnya ringkik kuda. "Heeee...
heeeee.... heeee! Aku telah memperingatkanmu, agar jangan turut campur pada
urusan orang lain! Tapi sekarang... kau bahkan sudah melibatkan diri dalam suatu
urusan yang akibatnya akan cukup panjang! Dasar apa yang membuatmu melakukan
semuanya ini, Rangga?"
"Ampun, Rama Guru!" Rangga menyembah kaki gu-
runya. "Membiarkan suatu kejahatan tanpa berusaha mencegahnya, sama artinya
dengan melakukan kejahatan. Bukankah begitu kata Rama Guru dahulu?"
"Lalu?" Kudawulung membelai jenggot putihnya
yang menjumbai.
"Menolong seseorang yang benar-benar membutuh-
kan pertolongan, adalah suatu perbuatan yang mulia.
Begitu pula kata Rama Guru dahulu."
Kudawulung tertawa lagi. Lalu katanya, "Baru saja
beberapa hari kau berpisah denganku, kau sudah
pandai bicara, Rangga."
"Kalau ada kesalahan, muridmu mohon petunjuk,"
Rangga menjatuhkan mukanya lagi di kaki gurunya.
"Kesalahanmu sudah cukup jelas," sahut Kudawu-
lung, "kau telah mencampuri urusan gadis ini. Ilmu yang telah kuberikan padamu,
tidak boleh membuatmu gatal untuk turun tangan dalam setiap urusan di negara
yang semrawut ini! Kemelut telah menimpa negeri ini, sehingga kita sulit
membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Dan kalau kau salah
duga... kau bahkan bisa terjerumus ke dalam pe-rangkap orang-orang sesat!"
Lalu hening beberapa saat. Kudawulung menoleh ke
arah Nilamsari, sehingga gadis itu menjadi rikuh, lantas ikut-ikutan berlutut di
samping Rangga.
Kudawulung mendadak tertawa nyaring. "Heeeehe-
heheheeeee...! Putri seorang adipati berlutut di depan seorang jembel"! Aneh...
aneh! Berdirilah, Gusti Putri!
Aku yang tua ini tidak pantas menerima penghormatan seperti itu."
"Ayahku sudah tiada. Aku bukan anak adipati lagi.
Kepada orang yang lebih tua, sepantasnyalah aku meng-hormatinya," sahut
Nilamsari. Kudawulung memandang langit biru berawan tipis,
memandang riak Cigelung yang tenang, memandang
wajah Rangga, memandang wajah Nilamsari, lalu me-
nunduk. Lama ia menunduk tanpa mengeluarkan sua-
ra sedikit pun.
Rangga dan Nilamsari tidak tahu, bahwa saat itu
Kudawulung sedang digeluti oleh nostalgianya. Tentang Rupati yang rupawan, yang
juga putri seorang adipati, yang juga berasal dari Kawahsuling, yang juga tak
kalah cantik oleh Nilamsari.
Rangga dan Nilamsari tidak tahu, bahwa pada saat
itu Kudawulung sedang mempertahankan diri, agar air matanya jangan sampai
terjatuh. Agar kenangan lamanya tidak terlalu menggugahkan perasaannya.
Untuk mengatasi rasa pilu yang tiba-tiba mence-
kamnya itu, Kudawulung mengalihkan perhatiannya
pada muridnya. Lalu katanya, "Kerajaan yang dibangun dengan susah payah oleh
nenek moyang kita ini, tampaknya semakin buram. Terlalu banyak orang yang duduk
di kursi yang bukan haknya. Mungkin kerajaan ini tinggal menunggu keruntuhannya
saja, untuk kemudian dicaplok oleh kerajaan lain yang lebih tangguh. Barangkali
kenyataan itu sulit dihindari."
Heran Rangga dibuatnya. Baru sekali itu ia mende-
ngar gurunya berbicara tentang kerajaan. Padahal biasanya Kudawulung selalu
bersikap tak mau tahu tentang negara dan seluk-beluk pemerintahan.
"Tapi sudahlah," kata Kudawulung lagi. "Membica-
rakan negara tak ubahnya air yang mengalir dari hulu sungai ke muara. Tidak akan
ada akhirnya. Dan ter-kadang, bahkan seringkali, tidak ada gunanya. Hanya
membuat mulut kita kesemutan saja."
Tiba-tiba sikap Kudawulung menjadi angker. "Rang-
ga! Kembalikan gadis ini ke rumahnya, lalu cepatlah pulang ke tempatku! Kau
belum selesai menuntut ilmu padaku! Kau ingat itu"! Menuntut ilmu separoh-
separoh, tidak akan membuat manusia bahagia!"
Di luar dugaan Kudawulung dan Rangga, tiba-tiba
saja Nilamsari mencium kaki Kudawulung dan berka-
ta, "Aku tidak mau dipulangkan ke mana pun. Terima-lah aku sebagai muridmu."
"Apa"!" Kudawulung melotot. "Kau ingin diangkat
sebagai muridku"!"
"Benar," sahut Nilamsari tegar. "Kalau tidak, bu-
nuhlah aku. Sekarang juga."
Kudawulung terundur selangkah. Dan menggerutu.
"Macam-macam saja. Perempuan ingin menjadi murid-
ku segala. Bagaimana mungkin?"
Rangga terdiam dalam keheranannya. Ia tidak men-
duga kalau gadis itu akan meminta dijadikan murid Kudawulung. Ia pun seperti
gurunya, mempertanya-kan dalam hati. "Bagaimana mungkin seorang gadis
ayu dan lembut seperti dia mau menuntut ilmu yang penuh dengan kekerasan?"
Tiba-tiba meledaklah tawa Kudawulung. "Hahaha-
haa...! Sekarang aku tahu apa sebabnya kau ingin
menjadi muridku! Kau ingin menuntut balas atas kematian ayahmu, penderitaan ibu
kandungmu, kema-
tian ibu angkatmu dan penderitaanmu sendiri, bukan"
Ooo... napasmu penuh dendam, anak manis!"
"Tidak," sahut Nilamsari, "Aku hanya ingin melin-
dungi diriku sendiri. Aku sudah merasakan pahit-getir-nya menjadi manusia lemah.
Diboyong ke sana-sini, diancam dan dikurangajari...."
"Tapi kau belum tahu siapa aku," potong Kudawu-
lung. "Kau juga belum tahu ilmu apa yang kumiliki.
Dan kau tahu-tahu ingin jadi muridku" Hahaha-
haaa...! Ilmu apa yang ingin kau tuntut dariku?"
"Dari cara berlari mm... Kang Rangga ini saja, aku sudah bisa menebak bahwa
gurunya Kang Rangga tentu lebih hebat lagi," sahut Nilamsari.
Kudawulung tertawa terpingkal-pingkal. "Jadi kau
hanya ingin belajar lari cepat, begitu?"
"Aku ingin mempelajari seluruh ilmu yang kau mi-
liki," sahut Nilamsari tegar. "Ayah angkatku pernah berkata, bahwa semakin cepat
lari seseorang, semakin tinggi ilmu yang dimiliki orang itu."
"Omong kosong!" bantah Kudawulung. "Kalau kece-
patan berlari dijadikan patokan tinggi-rendahnya ilmu seseorang, sebaiknya
manusia berguru pada binatang saja. Bukankah banyak binatang yang bisa berlari
lebih cepat daripada manusia?"
"Pokoknya aku ingin menjadi muridmu," Nilamsari
memegang pergelangan kaki Kudawulung erat-erat.
"E, ee, eee...! Kau ini mau jadi muridku apa mau
merampok"! Kalau mau jadi muridku, bukan main
paksa begitu caranya"!" Kudawulung menepiskan pe-
gangan Nilamsari. Tapi Nilamsari menangkap kakinya lagi.
Rangga menahan tawanya ketika melihat kejadian
menggelikan itu.


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tiba-tiba saja Kudawulung berkata, "Ya su-
dah... sudah! Aku akan menerimamu sebagai muridku!
Tapi lepaskan dulu kakiku ini! Aku tak biasa diperlakukan seperti ini!"
*** DIPATI Natajaya pulang ke Kawahsuling dengan
Awaj ah muram. Geram dan kecewa menyiksanya.
Setibanya di istana kadipaten, ia teringat pada Prabayani yang sore itu masih
menjadi tamunya. Pikirnya,
"Kudengar ilmu Prabayani lebih tinggi daripada ilmu Prabalaya. Mungkin aku bisa
menanyakan padanya,
apa sebenarnya yang telah terjadi tadi?"
Ketika sang Adipati berdiri di ambang pintu, dilihatnya Prabayani sedang
dilayani oleh seorang dayang kadipaten. Dayang itu tengah menyisiri rambut
Prabayani yang panjang terurai. Dan dayang itu bergegas ke luar setelah melihat
isyarat dari sang Adipati.
Adipati Natajaya melirik ke arah peraduan bertilam
sutra merah, melirik ke arah Prabayani yang tampak seperti baru selesai mandi,
lalu membuang pandangannya ke luar jendela. Ke arah gunung yang tampak jelas
dari dalam kamar itu, gunung yang pernah meletus dan kawahnya selalu melengking-
lengking seperti suling (sehingga kota kadipaten itu dinamai Kawahsuling). Lalu
katanya, "Senang kau tinggal di sini?"
"Menyenangkan sekali, Kanjeng Adipati. Hamba di-
perlakukan seperti putri raja. Makan dilayani, minum dilayani, mandi di kolam
pun dilayani oleh para
dayang yang baik hati itu," Prabayani menyunggingkan senyum manis di bibirnya.
Memperhatikan Adipati Natajaya yang sedang berdiri di dekat jendela, lalu
melanjutkan, "Tapi Kanjeng Adipati tampaknya seperti sedang bersusah hati.
Adakah sesuatu yang mengganggu perasaan Kanjeng Adipati" Bukankah kucing hutan
hamba sudah dimasukkan ke dalam kandang?"
Adipati Natajaya melangkah ke peraduan. Mele-
paskan terompahnya, lalu menghempaskan diri ke
atas peraduan bertilamkan sutra merah itu.
"Sesuatu yang aneh telah terjadi," desah sang Adipati.
Tenang Prabayani menghampiri sang Adipati. Du-
duk di tepi peraduan. Dan tanpa diminta, mulai memijati kaki sang Adipati.
"Apa yang telah terjadi, Kanjeng Adipati?" desis Prabayani dengan senyum. Karena
mengira bahwa 'sesua-tu yang aneh' itu adalah hasrat sang Adipati yang mendadak
berkobar. Namun jawaban sang Adipati tidak seperti yang Prabayani duga. "Seorang gadis
jelita yang sedang kupe-luk, tiba-tiba saja berubah menjadi kusirku sendiri.
Bukankah hal ini aneh sekali?"
"Maksud Kanjeng Adipati...?"
"Itulah yang terjadi tadi. Aku sedang memeluk seorang gadis di suatu tempat. Dan
tiba-tiba saja gadis itu berubah menjadi kusirku. Dan gadis itu hilang begitu
saja!" Prabayani terperanjat dan berkata seolah-olah un-
tuk dirinya sendiri, "Gadis yang dipeluk mendadak berubah menjadi kusir...
oooh... mungkinkah ilmu seperti itu masih ada di dunia ini"!"
"Ilmu apa?" Adipati Natajaya bangkit. Duduk sambil mengelus leher Prabayani.
"Hamba pernah mendengar dari ayah hamba, bah-
wa di daratan ini ada seorang wanita yang sangat sakti, bernama Sekarpadma.
Demikian saktinya wanita
itu, sehingga ia telah mampu menyatukan dirinya dengan alam gaib... alam yang
tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Tapi menurut keterangan ayah hamba,
wanita sakti itu telah lenyap sejak berpuluh-puluh tahun yang lampau."
"Lalu?"
"Rasanya sulit dipercaya kalau wanita sakti itu tiba-tiba muncul kembali.
Atau... mungkin juga dia telah menurunkan ilmunya kepada seseorang. Ya... sangat
mungkin Sekarpadma mengangkat seorang murid...
dan muridnya itu, pasti sakti sekali!"
Ucapan Prabayani itu mempengaruhi hati Adipati
Natajaya. "Dan murid wanita sakti itu sekarang berada di pihak yang bertentangan
denganku"!" Adipati Natajaya menghempaskan diri lagi ke atas peraduan.
Prabayani memijati kaki sang Adipati lagi. "Sudahlah, kalau cuma soal seorang
gadis, kenapa Kanjeng Adipati memusingkannya benar" Kanjeng Adipati toh bisa
mencari gadis lain, yang secantik apa pun."
Dan tangan indah tapi binal itu mulai melewati lu-
tut sang Adipati. Merayap terus ke atas.
"Dan kau?" desis sang Adipati, dengan tangan ter-
ulur dan mendarat di tengkuk Prabayani. Dan meraihnya dengan tegas. Dengan
jantan. "Terserah Kanjeng Adipati," sahut Prabayani perlahan. Perlahan sekali. Tapi
cukup jelas di telinga sang Adipati.
Lalu Adipati Natajaya mencoba mengusir kekecewa-
annya, dengan mengalihkannya kepada wajah baru.
Wajah cantik tapi seperti mengandung api itu. Dan ki-ni wajah itu telah
menghimpitnya, dengan hembusan hangatnya.
Terlalu pandai Prabayani membangkitkannya. Baru
sekali itu sang Adipati menemukan seorang gadis yang begitu berpengalaman dalam
mengobarkan birahi lelaki. Memang Prabayani bukan gadis lagi, sekalipun ia belum
pernah kawin secara resmi. Tapi sang Adipati tak peduli dengan kenyataan itu.
Sang Adipati hanya peduli satu soal: O, hebatnya perempuan ini!
Senja telah tiba. Udara mulai gelap. Seekor ular me-rayap-rayap di atas rumput,
mencari tempat persembunyian yang nyaman. Dan ia menemukannya. Dan ia
menyelinap ke dalam sela-sela akar pohon yang rimbun.
Burung-burung malam mulai memperdengarkan
suaranya. Seekor burung hantu betina merintih-rintih di puncak pohon pisang.
Memandang bulan yang baru tampak seperti sabit.
Angin malam pun berdesir-desir. Menggoyangkan
daun-daun pohon asam yang tumbuh di belakang is-
tana kadipaten.
Malam itu ada cerita tentang kecewanya seorang perempuan yang tak sampai di
tempat tujuan. Cerita tentang lelaki yang putus napas di tengah jalan.
Dan malam itu ada seorang perempuan mengumpat
di dalam hatinya. "Lelaki sialan! Garangnya seperti banteng, tenaganya kayak
ayam!" Dan malam itu ada sepasang mata berkeliaran.
Nyalang berapi-api.
Ketika malam makin larut, ada bisikan ke telinga
penjaga, "Masuklah."
Yang ditanggapi. "Ma... mana Kanjeng Adipati?"
Dibisiki lagi telinga penjaga itu. "Kanjeng Adipati sudah kembali ke kamarnya.
Masuklah.... tidak ada siapa-siapa...!"
Lalu gemetar langkah penjaga itu, memasuki kamar
yang punya peraduan bertilam sutra merah. Lalu tilam sutra merah itu kusut lagi.
Jauh lebih kusut daripada waktu dikusutkan oleh sang Adipati.
Lalu penjaga itu seperti bermimpi. Melayang di gelap malam. Jauh tinggi ke
angkasa. Lalu ada senyum bertalu-talu, di antara rintih-rintih lirih, dalam pergelutan
bergeliang-geliut.
Penjaga berpangkat rendah ini, jauh lebih perkasa daripada sang Adipati. Hanya
saja nasibnya kurang beruntung. Ketika tangan hangat itu meraba-raba
tengkuknya, ia merasa sebagai hal yang wajar. Tapi la-lu ia memekik tertahan.
Daya ingatannya kontan lenyap. Sesuatu telah terjadi.
Dan laksana boneka kayu, penjaga istana kadipaten yang masih remaja itu berjalan
ke luar. Tanpa busana.
Tanpa kedipan. Tanpa tawa maupun tangis.
Prabayani melemparkan pakaian penjaga itu jauh-
jauh ke luar. Lalu tersenyum-senyum sendiri, sambil mengenakan kembali
pakaiannya, sambil menyanggul-kan kembali rambutnya. Lalu menghempas ke atas
peraduan dan berkata di dalam hatinya, "Dia tidak akan ingat apa-apa lagi. Dia
tidak akan melaporkan apa pun
yang telah terjadi. Dan besok pagi, orang-orang akan memperbincangkan hadirnya
seorang gila baru.... seorang prajurit yang mendadak sinting!"
Lalu Prabayani tertidur dalam kepuasan.
Dan prajurit remaja yang malang itu" Berjalan te-
rus... mengelilingi istana... sampai salah seorang kawannya menemukannya.
"Ya ampuuuun... Citro! Apa-apaan kamu ini?"
Prajurit remaja yang malang itu hanya bisa menja-
wab dengan suara sederhana, "Mooo... mooo....
mooo...!" Cuma itu yang bisa diucapkan oleh prajurit remaja bernama Citro itu. Dan ketika
beberapa kawannya menanyakan, "Di mana pakaianmu" Kenapa kamu begini-
beginian?" Prajurit bernama Citro itu tetap hanya bisa menjawab dengan "Mooo...
mooo... mooooo... mooo....!"
Esok paginya gemparlah seisi istana kadipaten. Semuanya memperbincangkan si
Citro yang mendadak
sinting dan tidak mau berpakaian. Tapi tidak ada yang tahu apa sebabnya Citro
menjadi begitu. Tidak ada yang tahu bahwa salah satu urat syaraf Citro telah
diputus oleh perempuan cantik yang sedang menjadi
tamu sang Adipati itu. Bahkan sang Adipati sendiri tidak tahu apa sebabnya Citro
menjadi sinting, karena ketika sang Adipati menyapa prajurit sinting itu, hanya
suara "mooo... moo... mooo..." saja yang terlontar dari mulutnya.
Hanya Prabayani yang tahu, bahwa 'hasil pekerja-
annya' telah mengakibatkan sintingnya seorang manusia. Kasihankah dia pada
Citro" O, tidak. Perempuan iblis itu bahkan senang, karena rahasia kebinalannya
akan tetap menjadi rahasia. Kecuali sang Adipati sendiri. Tapi Prabayani yakin
sang Adipati tidak akan mengoceh sembarangan tentang hal itu (karena itu
Prabayani merasa tidak perlu mencelakakan sang Adipati).
Sebenarnya lelaki yang senasib dengan Citro itu sudah banyak. Setiap kali
Prabayani merasa bosan dengan seorang lelaki yang sudah 'dikuras' kejantanannya,
diputuskannya salah satu urat syaraf lelaki itu.
Kemudian lelaki itu menjadi sinting dan tidak ingat apa-apa lagi.
Tentu saja korban Prabayani bukan lelaki-lelaki tua yang sudah keriputan. Pada
umumnya pemuda-pemuda remaja saja yang dijadikan korbannya. Karena selain untuk
melampiaskan nafsunya yang berlebihan, Prabayani pun membutuhkan bujang-bujang
asli untuk melengkapi resep awet mudanya!
Setelah Citro diamankan, Adipati Natajaya marah-
marah saja kerjanya. Istri dan selir-selir resminya tiada yang berani
mendekatinya. Hanya Prabayani yang berani muncul di depan sang Adipati.
"Ada-ada saja," gerutu sang Adipati. "Sudah kusir keretaku telanjang-telanjangan
di depanku, sekarang prajuritku pula yang mendadak edan begitu."
"Mungkin Kanjeng Adipati harus beristirahat di
tempat yang tenang," ujar Prabayani. "Dan kalau dibu-tuhkan, hamba bersedia
menemani Kanjeng Adipati."
Adipati Natajaya menggeleng. "Tidak. Dalam kea-
daan seperti ini, mana mungkin aku bisa beristirahat dengan tenang?"
"Sebenarnya apa yang dirisaukan oleh Kanjeng Adi-
pati?" "Adikmu itu. Aku takut dia salah bicara di depan
Putra Mahkota."
Prabayani tersenyum. Melangkah ke belakang sang
Adipati dan meletakkan kedua tangannya di bahu sang Adipati (suatu tindakan yang
melewati batas buat za-
man itu, karena biasanya istri sang Adipati pun tidak berani bertindak seperti
itu). Kata Prabayani, "Hamba, kakaknya Prabalaya, kan
ada di sini. Kalau adik hamba melakukan kesalahan, hamba sendiri yang
menghukumnya. Tenanglah. Kanjeng Adipati tidak usah punya prasangka yang bukan-
bukan terhadap adik hamba. Walaupun dia bukan
seorang negarawan, dia tahu pasti apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak
boleh dikatakan."
"Tapi aku baru yakin hal itu kalau aku sudah
membuktikannya sendiri. Pembunuhan seorang pan-
glima bukan masalah kecil. Mungkin saja pihak kerajaan punya cara sendiri untuk
menyelidiki sebab-
sebab kematian Senapati Jugala. Karena itu... ah...
mungkin aku harus ke kotaraja sekarang juga."
"Tentu Kanjeng Adipati membutuhkan seorang pen-
damping yang sekaligus bisa menjadi pengawal, bu-
kan?" bisik Prabayani dengan bibir menempel di daun telinga Adipati Natajaya.
"Maksudmu?" sang Adipati menggerakkan kepa-
lanya sedikit, sehingga mata Prabayani tampak begitu dekat dengan wajah sang
Adipati. "Kalau Kanjeng Adipati membutuhkan pendamping
dan pengawal yang bisa menjamin keselamatan di perjalanan dan di kotaraja...
hamba dengan senang hati akan ikut dengan Kanjeng Adipati."
"Mmm... ya... ya... mungkin itu lebih baik. Bersiap-lah. Sebentar lagi kita
berangkat."
*** EHADIRAN Prabalaya di kotaraja, membangkitkan
Ksem angat baru di dada Aria Pamungkas. Tentu sa-
ja, karena Aria Pamungkas punya rencana besar yang masih disimpan di dalam
kepalanya. Sedangkan Prabalaya dalam tiga hari saja telah mempertunjukkan
kehebatan-kehebatannya. Jauh lebih hebat daripada Senapati Jugala.
Aria Pamungkas tidak tahu siapa sebenarnya Pra-
balaya itu. Aria Pamungkas hanya tahu bahwa pemu-
da itu memiliki ilmu yang dahsyat, sehingga dalam waktu sekejap mata saja bisa
menghabiskan duapuluh orang prajuritnya. Aria Pamungkas tidak tahu bahwa
Prabalaya seorang pemuda yang jahat, kejam dan penuh dengan tipu muslihat. Aria
Pamungkas pun tidak tahu bahwa kehadiran Prabalaya di kotaraja, sudah di-
rencanakan sebelumnya.
Dan pengatur rencana itu kini sudah mulai mema-
suki benteng kotaraja. Beberapa saat kemudian seorang prajurit menghadap Aria
Pamungkas, untuk
memberi laporan bahwa Adipati Natajaya hendak da-
tang menghadap.
"Suruh dia masuk," ujar Aria Pamungkas.
"Daulat, Gusti Aria," sahut prajurit itu, yang lalu bergegas mengundurkan diri.
Setelah prajurit itu berlalu, Aria Pamungkas menoleh pada Prabalaya yang sudah
mengenakan pakaian
bayangkara dan sedang bersila di sampingnya. Lalu kata Aria Pamungkas, "Adipati
Natajaya itu termasuk salah seorang pendukungku."
Prabalaya tidak terkejut mendengar pengakuan itu.
Bahkan katanya, "Beliau sudah kenal baik dengan
hamba." "Ah... kebetulan kalau begitu." Wajah Aria Pamungkas jadi cerah.
Lalu datanglah Adipati Natajaya, diiringi oleh Prabayani.
Prabalaya agak terkejut melihat kakaknya bersama-
sama Adipati Natajaya. Tapi ia tidak berkata apa-apa.
Takut ada rencana lain yang sedang diatur oleh Adipati Natajaya.
"Hamba menghaturkan sembah bakti, Gusti Aria,"
cetus Adipati Natajaya sambil berlutut di depan Aria Pamungkas. Prabayani pun
berlutut di belakang Adipati Natajaya.
"Kuterima, Paman Dipati," sahut Aria Pamungkas
dengan senyum renyah. "Ah... kedatangan Paman Di-
pati kali ini agak lain dari biasanya. Bersama seorang gadis cantik yang belum
kuketahui siapa dirinya."
"Dia adalah kakak kandung bayangkara baru itu,
Gusti." "Kakak kandung Prabalaya?" Aria Pamungkas me-
noleh pada Prabalaya dengan pandangan curiga.
"Benar," sahut Prabalaya. "Dia kakak hamba, Gusti Aria. Tapi hamba belum tahu
apa sebabnya dia..."
Cepat-cepat Adipati Natajaya memotong, "Berita
tentang pengangkatanmu sebagai bayangkara kera-
jaan, disampaikan oleh seorang pedagang yang baru pulang dari kotaraja ke
Kawahsuling. Karena itu kakakmu ingin menyampaikan ucapan selamat padamu


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang, Prabalaya. Begitu juga aku, sengaja datang ke sini untuk mengucapkan
selamat atas nasib baikmu."
"Nanti dulu," Aria Pamungkas mengangkat tangan
kanannya. "Seingatku, pengangkatan Prabalaya sebagai bayangkaraku belum pernah
diumumkan secara
resmi kepada pihak luar istana. Bagaimana mungkin pedagang yang Paman Dipati
katakan itu bisa mengetahuinya?"
Kali ini Adipati Natajaya agak panik. Soalnya ia sendiri baru tahu bahwa
Prabalaya diangkat sebagai ba-
yangkara, setelah melihat seragam bayangkara yang dikenakan oleh Prabalaya.
Waktu baru tiba di kotaraja itu pun, sang Adipati belum tahu apa jabatan yang
dipegang oleh Prabalaya kini.
Namun dengan cepat Prabalaya mengatasi keadaan
panik terselubung itu. "Sebenarnya begini, Gusti Aria.
Begitu hamba diangkat sebagai bayangkara, diam-
diam hamba menitipkan pesan kepada seorang peda-
gang yang akan pulang ke Kawahsuling, supaya mem-
beritahu kepada kakak hamba, tentang pengangkatan hamba sebagai bayangkara ini."
"Betul itu," tukas Adipati Natajaya dengan dada la-pang kembali. "Pedagang itu
menyampaikan pesannya kepada hamba, karena kebetulan kakaknya Prabalaya ini
bertugas sebagai pengawal hamba. Itulah sebabnya hamba sekalian datang
bersamanya, untuk membuktikan kebenaran berita itu, sekaligus untuk
memperlihatkan kesetiaan hamba kepada Gusti Aria."
"Gadis ini bertugas sebagai pengawal Paman Dipa-
ti"!" Aria Pamungkas tampak sedikit bingung. "Baru sekali ini aku mendengar
seorang adipati mengangkat seorang perempuan sebagai pengawalnya. Aaah..
mungkin Paman Dipati berkelakar. Katakan saja terus terang.... gadis ini
kekasihmu, bukan"! Hahahahaha...
Paman Dipati ini ada-ada saja!"
Adipati Natajaya tidak berani menanggapi sindiran itu. Sahutnya, "Walaupun dia
seorang perempuan,
kemampuannya tidak kalah oleh Prabalaya, Gusti
Aria." Aria Pamungkas memperhatikan Prabayani, tanpa
kepercayaan bahwa perempuan secantik itu bisa melakukan sesuatu yang 'tidak
kalah oleh Prabalaya'.
"Paman Dipati berbicara sungguh-sungguh?" tanya
Aria Pamungkas bimbang.
"O, Gusti Aria. Mana mungkin hamba berani bicara
sembarangan di depan Gusti. Kalau Gusti Aria kurang percaya, gadis ini bisa
membuktikan ucapan hamba."
Aria Pamungkas bangkit dari singgasananya. Me-
langkah ke samping Prabayani. Memperhatikan gadis itu dengan teliti. Lalu
tanyanya, "Siapa namamu?"
"Nama hamba Prabayani, Gusti Aria," sahut Pra-
bayani sehormat mungkin.
Aria Pamungkas menggendong lengannya. Kembali
ke singgasananya, sambil bergumam, "Prabayani...."
"Kalau apa yang dikatakan oleh Paman Dipati itu
benar," kata Aria Pamungkas setelah duduk kembali di singgasananya, "dengan
senang hati aku akan menon-tonnya.... menyaksikan seorang perempuan berke-
mampuan luar biasa! Ah... aku ingin membuktikannya sekarang juga, Paman Dipati."
"Baik, Gusti Aria. Hamba persilakan Gusti Aria mengutarakan apa yang harus
dilakukan oleh Prabayani
ini," sahut Adipati Natajaya.
Aria Pemungkas menoleh pada Prabalaya, sambil
berkata, "Bawalah kakakmu ke gelanggang ksatrian!"
"Daulat, Gusti Aria," sahut Prabalaya, yang lalu
mengajak kakaknya ke gelanggang ksatrian. Sementa-ra Adipati Natajaya tetap
duduk di depan singgasana Aria Pamungkas.
Di lorong menuju gelanggang ksatrian, Prabalaya
punya kesempatan untuk membisiki kakaknya, "Kena-
pa kalian mendadak datang ke sini?"
Prabayani menoleh ke kanan-kirinya. Setelah yakin tidak akan ada orang yang ikut
mendengar, ia menjawab dengan bisikan pula, "Adipati Natajaya takut kau salah
langkah... takut rencananya berantakan."
"Huhhh..." Prabalaya mendengus di hidung. "Benak
adipati itu selalu diliputi kecurigaan. Padahal kedatan-
gannya ke sini sekarang, justru bisa mengacaukan
rencana yang sudah dibuatnya sendiri."
Prabayani menoleh ke kanan-kirinya lagi. Lalu
membisikkan sesuatu lagi di telinga adiknya.
Prabalaya tercengang. Tapi lalu mengangguk-
angguk, dengan senyum di bibir.
Sementara itu, Aria Pamungkas dan Adipati Nata-
jaya, sedang berunding pula.
"Aku telah melihat sendiri bagaimana hebatnya pe-
muda itu. Mungkin tidak berlebihan kalau aku mengangkatnya langsung sebagai
bayangkara."
"Tentu tidak, Gusti Aria. Bahkan menurut pendapat hamba, Prabalaya bisa diserahi
jabatan tertinggi dalam angkatan perang Tegalinten."
"Maksud Paman, diangkat sebagai mahasenapati?"
"Betul, Gusti Aria. Sudah bertahun-tahun jabatan
itu tidak ada yang memegang."
"Ya. Tadinya aku akan mengangkat Senapati Jugala
sebagai mahasenapati. Tapi ternyata senapati yang malang itu harus gugur sebelum
aku menyampaikan
maksud baikku."
Adipati Natajaya terdiam. Ada semacam perasaan
berdosa di hatinya, karena Senapati Jugala binasa oleh suruhan Adipati Natajaya.
"Mungkin sekali Prabalaya bisa diuji, dengan men-
duduki jabatan senapati muda dulu. Tapi... usianya masih terlalu muda."
"Apa salahnya orang muda diberi jabatan tinggi,
Gusti" Malah menurut pendapat hamba, jabatan yang ada sangkut pautnya dengan
angkatan perang, harus diberikan kepada orang-orang muda."
"Memang benar. Pada umumnya orang-orang muda
itu masih lugu. Belum banyak liku-likunya. Tapi... biarlah nanti akan
kupertimbangkan usul Paman Dipati
itu." Lalu mereka berjalan menuju gelanggang ksatrian
yang terletak di bagian belakang istana raja.
"Ada satu hal yang sampai saat ini membuatku he-
ran," kata Aria Pamungkas sambil berjalan di samping Adipati Natajaya. "Tentang
pajak tahunan Kawahsuling. Sudah tiga kali kami mengutus orang ke sana, selalu
tidak kembali. Terakhir, Senapati Jugala yang di-kirimkan ke sana. Apakah dia
sempat membicarakan-
nya dengan Paman Dipati?"
"Seingat hamba, belum pernah ada utusan yang da-
tang untuk menagih pajak, Gusti. Tapi... walaupun sepuluh tahun tidak diambil,
pajak dari Kawahsuling untuk kerajaan, akan hamba simpan baik-baik di gudang
bendahara kadipaten. Tidak ada niat di hati hamba untuk melunturkan kepercayaan
yang telah Gusti letakkan di bahu hamba."
"Bagus! Itulah yang kuinginkan. Tadinya aku sudah berprasangka buruk. Kupikir
Paman Dipati sedang menyiapkan pemberontakan, sehingga dengan sengaja
membandel tak mau menyetorkan pajak yang telah di-tarik dari rakyat
Kawahsuling."
"O, sedikit pun hamba tak berpikir ke sana, Gusti,"
sahut Adipati Natajaya dengan jantung berdebar-
debar, karena merasa tersindir oleh ucapan Aria Pamungkas tadi.
Mereka lalu naik ke atas panggung kehormatan di
sebelah utara gelanggang ksatrian itu.
Sementara itu, Prabalaya dan Prabayani sudah me-
nunggu di tengah gelanggang. Lalu terdengar seruan Aria Pamungkas dari atas
panggung kehormatan.
"Prabayani! Waktu adikmu belum diterima sebagai
bayangkara, aku mengujinya dalam pertarungan me-
lawan duapuluh prajurit pilihanku. Tapi aku tidak
bermaksud mengujimu seberat itu. Sekarang perli-
hatkan saja salah satu keistimewaanmu!"
Prabayani bahkan menyahut, "Hamba akan mem-
perlihatkan sesuatu yang lebih hebat daripada apa yang pernah dilakukan oleh
adik hamba."
"Maksudmu?"
"Hamba sanggup menghadapi tigapuluh prajurit pi-
lihan." Aria Pamungkas terlongong. Ingin juga ia membuk-
tikan ucapan Prabayani itu. Tapi ia tidak ingin kehilangan prajurit-prajurit
pilihannya lagi. Maka sahutnya, "Aku tidak ingin melihatmu bertarung dengan
manusia." "Kalau begitu," kata Prabayani, "hamba persilakan Gusti Aria mengeluarkan
binatang-binatang yang pal-ing ganas. Menurut berita yang pernah hamba dengar,
Gusti Aria mempunyai harimau-harimau piaraan..."
"Tidak!" potong Aria Pamungkas. "Aku tidak ingin
melihatmu bertarung dengan makhluk hidup."
Prabalaya berkata setengah berbisik kepada kakak-
nya, "Perlihatkan saja Layon Ngincir."
Prabayani serasa diingatkan bahwa ia memiliki ilmu
'Layon Ngincir', yakni sejenis ilmu untuk menguasai benda yang lemas dan tipis
sehingga bisa dibuat seperti permainan sihir.
Kemudian Prabayani melepaskan selendang su-
tranya yang diikatkan di pinggangnya. Direntangkannya selendang sutra itu sambil
menghormat kepada
Aria Pamungkas yang berada di panggung kehormatan.
"Hahahahaaa... kenapa kau lepaskan selendang itu"
Apakah kau mau menari?" tanya Aria Pamungkas.
"Benar, Gusti. Semacam tarian maut," sahut Pra-
bayani mendadak dingin.
Lalu Prabayani menarik selendang itu pada kedua
ujungnya, sambil memejamkan matanya. Agak lama
Prabayani terdiam, sehingga Aria Pamungkas berbisik kepada Adipati Natajaya,
"Apakah pengawalmu itu
mau tidur sambil berdiri?"
Adipati Natajaya menyahut, "Barangkali lebih baik kita lihat saja dulu apa yang
akan diperlihatkannya."
Prabayani tampak seperti menggigil. Wajahnya men-
jadi pucat pasi, tapi kedua telapak tangannya tampak menjadi merah sekali.
Selendang itu tetap direntang-kan, dengan sikap seperti memegang sebatang
tongkat. Prabalaya cepat-cepat melompat ke pinggir. Ia tahu benar apa yang akan terjadi.
Tiba-tiba tubuh Prabayani berpusing, dengan tan-
gan tetap merentang-tegangkan selendang sutra itu.
Pusingan tubuh Prabayani makin lama makin cepat,
sehingga akhirnya seperti tampak 'hilang' di tengah la-pangan, akibat cepatnya
pusingan tubuhnya itu.
"Hebat," cetus Aria Pamungkas perlahan. "Dia bisa berputar begitu cepatnya...
apakah tidak membuatnya pusing?"
Adipati Natajaya yang baru sekali itu menyaksikan kehebatan Prabayani, hanya
terlongong-longong di
tempatnya. Namun sebenarnya pusingan tubuh Prabayani itu
hanya merupakan pembuka dari suatu pertunjukan
ilmu yang berbahaya. Pada suatu saat, pusingan tubuh Prabayani menimbulkan bunyi
mendengung- dengung, laksana bunyi seekor tawon raksasa yang
sedang terbang mengejar mangsa.
Dan... tiba-tiba saja selendang sutra itu terbang memusing di udara. Selendang
yang terbuat dari sutra lemas itu seakan-akan berubah menjadi sebilah golok yang
keras dan tajam.
Prabayani telah berdiri tegak. Kaku. Sambil me-
mandang ke arah selendang yang tengah berputar-
putar di udara itu. Ke mana pun selendang itu terbang, mata Prabayani
mengikutinya terus.
Selendang itu mulai menghampiri pohon beringin
yang tumbuh di pinggir sebelah selatan. Dan... laksana senjata Cakra milik
Batara Kresna, selendang itu berputar sambil membenam ke dalam batang pohon be-
ringin tersebut. Lalu apa yang terjadi" Pohon beringin itu seperti digergaji
dan... tumbang!
Aria Pamungkas terbelalak takjub menyaksikan
demonstrasi kedahsyatan perempuan yang disangka
lemah itu. Adipati Natajaya pun tercengang-cengang dibuatnya, karena baru sekali
itu melihat pertunjukan ilmu Prabayani.
Sementara itu Prabalaya melompat ke belakang Aria Pamungkas, dan berkata, "Kalau
kakak hamba tidak segera diperintahkan menghentikan ilmunya, selendang itu bisa
merusak keindahan di sekitar gelanggang ini, Gusti Aria."
Aria Pamungkas menyahut, "Biarlah selendang itu
merusak. Aku masih senang menyaksikan kehebatan
ilmu kakakmu."
Prabalaya melompat turun lagi, lalu berdiri di tempat yang agak jauh dari Aria
Pamungkas. Pada saat itulah secara diam-diam Prabalaya mengirimkan isyarat yang
hanya bisa dilihat dan dimengerti oleh Prabayani.
Lalu... selendang yang berputar seperti senjata Cakra itu melesat ke dinding
sebelah timur... grrrrrrrr....
jebollah dinding tebal itu dibuatnya. Aria Pamungkas bertepuk tangan saking
senangnya. Sedikit pun tak merasa sayang pada dinding yang jebol itu.
Tapi tiba-tiba saja selendang itu terbang ke arah...
panggung kehormatan! Nguuuuuung...!
Aria Pamungkas terperanjat dan memekik. Dan se-
belum kagetnya hilang, dilihatnya sesuatu yang mengerikan. Selendang terbang itu
membabat putus leher Adipati Natajaya!
Aria Pamungkas tidak tahu bahwa peristiwa menge-
jutkan sudah diatur oleh Prabalaya lewat isyarat rahasianya tadi. Dan kini
Prabalaya berpura-pura terkejut... berlari ke tengah gelanggang sambil berseru,
"Hentikan! Hentikan! Oooh... selendang itu mene-
waskan Kanjeng Adipati!"
Prabayani mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi, dan... selendang maut itu
menghampirinya. Lalu lemas kembali di tangannya.
Setelah mengikatkan kembali selendang itu di pinggangnya, Prabayani duduk
bersila di tengah gelanggang, sambil memejamkan matanya, seperti sedang
bersemedi. Padahal sebenarnya perempuan berhati iblis itu sedang menunggu
gelagat sambil memper-
siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Hamba sudah memperingatkannya pada Gusti Aria
tadi," kata Prabalaya dengan sikap pura-pura sedih.
"Selendang itu bisa merusak. Dan sekarang sudah ter-bukti... oooh... entah
hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Gusti Aria terhadap kakak hamba itu."
Aria Pamungkas masih terpucat-pucat melihat ke-
pala Adipati Natajaya yang sudah terpisah dari tubuhnya. Kemudian memanggil
prajurit yang menjaga pintu gelanggang.
"Urus mayat Adipati Natajaya ini sebagaimana mes-
tinya," perintah Aria Pamungkas yang segera dilaksanakan oleh prajurit itu.
Kemudian Aria Pamungkas turun dari panggung
kehormatan sambil berkata, "Kalian ikut aku."
Prabalaya dan Prabayani bergegas mengikuti Aria
Pamungkas yang sudah melangkah ke arah balairung.
Di singgasananya Aria Pamungkas tercenung, agak
lama, sehingga suasana di ruangan agung itu hening sekali.
Prabayani dan Prabalaya duduk di lantai, di depan singgasana sang Putra Mahkota
(yang sudah bertindak sebagai raja).
Lalu terdengar suara Aria Pamungkas, agak berat,
"Prabayani... sadarkah kau atas tindakan tadi?"


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sadar, Gusti Aria," sahut Prabayani tenang.
Aria Pamungkas sulit mempercayai kenyataan itu.
Bahwa perempuan cantik itu tampak tenang sekali setelah melakukan sesuatu yang
mengerikan tadi.
"Kau sadar bahwa kau telah membunuh tuanmu
sendiri?" desis Aria Pamungkas tajam.
"Kalau Gusti Aria tahu apa yang telah dilakukan
oleh Adipati Natajaya, mungkin Gusti Aria akan menganggap hamba bertindak
tepat," sahut Prabayani tegar.
"Maksudmu?" Aria Pamungkas menatap wajah Pra-
bayani dengan pandangan curiga.
"Adipati Natajaya punya rencana besar," sahut Prabayani. "Sebenarnya dia ingin
menjadi raja di negeri ini. Dan untuk merintis jalan yang ditujunya itu, dia
menyuruh seseorang untuk membunuh Senapati Jugala."
"Adipati Natajaya ingin jadi raja, lalu menyuruh
orang untuk membunuh Senapati Jugala"! Ooo... Jadi dia yang berdiri di belakang
peristiwa itu?" Aria Pamungkas berdiri, hilir mudik di balai ruang, lalu duduk
kembali. "Benar, Gusti. Orang yang disuruh membunuh Se-
napati Jugala itu adalah Kujang Gading," sahut Prabayani tenang.
Laporan palsu itu membingungkan Aria Pamung-
kas. Lalu tanyanya, "Dari mana kau tahu bahwa pembunuh Senapati Jugala itu
suruhan Adipati Natajaya?"
Jawab Prabayani, "Tadi, dalam perjalanan dari Ka-
wahsuling ke sini, Kujang Gading mencegat kami. Kemudian berbisik ke telinga
sang Adipati. Berkat ilmu yang hamba miliki, hamba bisa mendengar bisikan
itu." "Apa yang dibisikkan oleh orang itu?" tanya sang
Putra Mahkota. "Dia melaporkan tentang tugasnya yang telah dis-
elesaikan dengan baik, yakni membunuh Senapati Jugala."
"Lalu, dari mana kau bisa tahu bahwa Adipati Natajaya merencanakan untuk
mengadakan perebutan ke-
kuasaan?" "Juga dari bisikan tadi. Hamba dengar kata Adipati Natajaya... bagus... bagus...
kalau aku sudah duduk di singgasana raja Tegalinten, aku tidak akan melupa-
kanmu, Kujang Gading... aku akan mengangkatmu se-
bagai mangkubumi... begitulah yang hamba dengar ta-di, Gusti Aria."
"Baik... taruhlah apa yang kau katakan itu benar.
Tapi apa sebabnya kau langsung bertindak sebelum
memberi laporan dulu padaku?" pandangan Aria Pa-
mungkas tetap mengandung kecurigaan.
Dan Prabayani tetap tenang, "Hamba rasa, demi ke-
selamatan Gusti Aria, hamba boleh bertindak tanpa berunding dulu. Mungkin tadi
Gusti Aria tidak melihat gerak-geriknya yang sangat mencurigakan. Sebentar-
sebentar ia mencuri pandang pada Gusti Aria, dengan tangan selalu berdekatan
dengan kujangnya. Karena itu, hamba pikir lebih baik bertindak dulu daripada
menunggu terjadinya bencana itu."
Prabalaya yang sejak tadi terdiam, mulai buka sua-ra, "Ampun, Gusti Aria. Apa
yang dikatakan oleh kakak hamba itu benar sekali. Tadi, waktu hamba dan kakak
hamba berjalan menuju gelanggang ksatrian,
kisah pertemuannya dengan Kujang Gading itu telah disampaikan kepada hamba. Dan
sekarang hamba ba-ru ingat, bahwa lelaki bertopeng yang hamba kejar setelah
pembunuhan Senapati Jugala itu, memang mirip sekali Kujang Gading. Hamba yakin
itu, karena hamba pernah bentrok dengan Kujang Gading sebelumnya di alun-alun
Kawahsuling."
"Kau pernah bentrok dengan Kujang Gading?" tanya
Aria Pamungkas.
"Betul, Gusti."
"Dan kau mengaku kenal baik dengan Adipati Nata-
jaya?" "Betul, Gusti."
"Lalu kisah macam apa yang kau ceritakan padaku
ini" Kau bilang bahwa baik kau maupun Kujang Ga-
ding, sama-sama bersahabat dengan Adipati Natajaya.
Tapi kau pernah bentrok pula dengan Kujang Gading.
Ceritamu membingungkanku, Prabalaya."
Prabalaya tidak kehabisan akal untuk menceritakan sesuatu yang hanya ada di
dalam khayalannya. "Begini, Gusti. Pada saat itu terjadi bentrokan antara
Senapati Jugala dengan Kujang Gading. Dan hamba meli-
hat bahwa Senapati Jugala akan dibinasakan oleh Kujang Gading. Banyak rakyat
Kawahsuling dan balatentara kerajaan yang menyaksikan peristiwa itu. Gusti Aria
bisa menanyakan kesaksian mereka."
"Lalu?"
"Senapati Jugala sudah roboh sambil memuntah-
kan darah segar dari mulutnya saat itu. Tapi dengan kejam Kujang Gading hendak
melayangkan pukulan
mautnya, untuk menghabisi nyawa Senapati Jugala.
Pada saat itulah hamba bertindak, untuk mencegah
kekejaman Kujang Gading. Kemudian hamba bentrok
dengan Kujang Gading. Dan... dia melarikan diri... dia lenyap dari alun-alun
Kawahsuling. Tentang hal itu, Gusti Aria juga bisa menanyakan kepada saksi-saksi
yang masih hidup."
"Baiklah... ceritakan terus!"
"Tampaknya kejadian itu didalangi oleh Adipati Natajaya," kata Prabalaya. "Dia
sengaja ingin menciptakan keadaan sedemikian rupa, sehingga Kujang Gad-
ing dapat membunuh Senapati Jugala, sementara ia
akan bersikap seakan-akan tidak dapat menguasai
keadaan. Dengan licin pula Adipati Natajaya menciptakan suasana sedemikian rupa
sehingga orang-orang
mengira bahwa Kujang Gading itu berada di pihak
yang bertentangan dengan Adipati Natajaya."
"Lalu, dalam perjalanan pulang dari Kawahsuling,
bagaimana kau bisa mendadak muncul di tempat pe-
ristiwa pembunuhan Senapati Jugala itu?"
"Naluri hamba mengatakan bahwa Senapati Jugala
berada dalam bahaya. Di pihak lain, perasaan bersahabat hamba terhadap Adipati
Natajaya, sudah mulai luntur, karena hamba muak melihat kejahatannya."
"Lalu?"
"Hamba berusaha mengejar rombongan Senapati
Jugala dan ingin melindunginya dari bahaya. Tapi kedatangan hamba terlambat.
Kujang Gading telah berhasil membunuh sang Senapati."
Tampaknya Aria Pamungkas termakan oleh ucapan
berbisa itu. Selesai mendengarkan 'pengakuan' Prabalaya, sang Putra Mahkota
mengangguk-angguk dengan senyum datar. Pandangannya seolah-olah berkata...
kalau begitu, sudah sepantasnyalah Adipati Natajaya
menemui ajalnya...!
Tiba-tiba muncullah Resi Ekaraga di ruangan agung itu. Sang Resi seperti
bermimpi, terpana melihat wajah Prabayani yang sangat mirip Sutiresmi pada masa
re-majanya. Prabayani sendiri heran dipandangi dengan cara begitu oleh seorang
berpakaian brahmana.
Namun Resi Ekaraga cepat-cepat menguasai pera-
saannya. Duduk di kursi yang terletak di samping
singgasana Aria Pamungkas, sambil berkata, "Hamba melihat wajah baru di ruangan
agung ini."
"Dia ini kakaknya Prabalaya," sahut Aria Pamung-
kas. "Prabayani namanya."
"O, pantas...," gumam Resi Ekaraga acuh tak acuh.
Padahal hatinya, o, hatinya itu... seolah-olah memekik, seolah-olah diingatkan
pada masa lalunya... pada ma-sa mudanya...!
Dan kenangan itu menimbulkan suasana haru di
hati sang Resi.
*** ALAM RUANGAN tertutup yang hanya boleh dima-
Dsu ki oleh Aria Pamungkas dan Resi Ekaraga. "Be-
gitulah ceritanya, Paman Resi. Apakah Paman Resi
punya pendapat mengenai mereka?"
"Memang sulit dipercaya bahwa dalam waktu yang
begitu singkat, telah terjadi peristiwa yang begitu banyak. Dan tampaknya
Prabayani itu... mampu mela-
kukan lebih banyak lagi."
"Maksud Paman Resi?"
Resi Ekaraga terdiam. Dalam hatinya timbul perge-
lutan. Tentang Prabayani itu.
Sebagai seorang pendeta berpengalaman, Resi Eka-
raga langsung bisa menebak jiwa apa yang terselubung di balik wajah cantik
Prabayani. Tapi, entahlah, ketika Resi Ekaraga memandang wajah Prabayani itu...
wajah yang sangat mirip dengan Sutiresmi remaja itu... kontan saja timbul
perasaan sayangnya. Memang tidak
sama dengan perasaan sayangnya terhadap Sutiresmi dahulu. Tapi jelas perasaan
sayang yang masih disembunyikan itu, sangat mempengaruhi jiwa sang Resi.
Mungkin itu pula yang menyebabkan sang Resi ber-
kata, "Gadis itu dalam beberapa hal, tampaknya lebih unggul daripada Prabalaya.
Mungkin suatu kejutan
yang membahagiakan akan terjadi, jika Prabayani diberi kedudukan istimewa di
kerajaan ini."
"Cocok sekali!" Aria Pamungkas menepuk paha.
"Aku bahkan hendak mengangkatnya sebagai senapa-
ti!" "Senapati"!" terkejut juga Resi Ekaraga dibuatnya.
"Ya. Prabayani akan kuangkat sebagai senapati. Sedangkan Prabalaya akan kuangkat
sebagai adipati Kawahsuling, sebagai pengganti Adipati Natajaya yang telah
mampus itu."
"Tapi... Prabalaya bukan keturunan bangsawan.
Apakah pengangkatannya tidak akan menimbulkan
protes dari rakyat Kawahsuling kelak?" Resi Ekaraga tampak sangsi.
"Itu bisa diatur, Paman. Aku akan menghadiahi ge-
lar bangsawan kepada mereka... katakanlah sebagai hadiah atas jasa-jasa mereka
dalam mengamankan kerajaan. Kemudian... nah... tinggal angkat saja mereka
sebagai senapati dan adipati! Hahahahah... ini kejutan, Paman. Seorang gadis
menjadi senapati, seorang pemuda menjadi adipati. Seperti kukatakan tempo
hari... dalam jiwa muda itu masih ada kemurnian!"
Resi Ekaraga cuma terbengong-bengong. Memang ia
gembira mendengar Prabayani akan diangkat sebagai senapati. Berarti ia akan
sering melihat wajah yang mampu menggugahkan kenangan lamanya itu. Tapi
hati kecilnya masih sangsi, mungkinkah seorang wanita bisa memangku jabatan
panglima perang"
Maka akhirnya Resi Ekaraga hanya berkata, "Laku-
kanlah apa yang menurut Gusti Aria harus dilakukan.
Hamba ikut memberi doa restu, semoga cita-cita Gusti Aria terkabul."
Seperti biasanya, hati Aria Pamungkas seolah di-
guyur kesejukan kalau sudah mendengar 'memberi
doa restu' dari mulut pendeta istana itu. Sedikit pun ia tidak menduga bahwa
saat itu Resi Ekaraga mengucapkan 'doa restu' dengan hati yang sangsi.
Sedikit pun Aria Pamungkas tidak mengira, bahwa
saat itu kakaknya yang terlahir dari Selir Sawitri, sedang menghadap Prabu
Suriadikusumah di tempat
pertapaannya yang terletak jauh di sebelah selatan kotaraja.
"Kehadiranmu di depanku, selalu menumbuhkan
ketenangan bagi jiwaku," sabda sang Prabu. "Adakah yang ingin kau sampaikan?"
Aria Lumayung menyembah kaki ayahnya, dan ber-
kata, "Tidak, Rama Prabu. Kedatangan hamba ke sini, semata-mata ingin menengok
Rama Prabu yang sudah
cukup lama meninggalkan istana."
"Kau memang anak yang berbakti, Aria Lumayung.
Bagaimana keadaan di istana sekarang?" Prabu Suriadikusumah memegang bahu
putranya. "Semuanya dalam keadaan sehat. Hanya..." Aria
Lumayung tidak melanjutkan kata-katanya.
Membuat sang Prabu heran, "Hanya apa?"
"Ti... tidak ada apa-apa, Rama Prabu," sahut Aria
Lumayung tergagap. "Hamba hanya merasa... istana
seperti kesunyian setelah Rama Prabu meninggalkannya."
Senyum Prabu Suriadikusumah tergerai. Tapi lalu
kata-katanya menjadi tegar. "Kau tidak boleh mendus-taiku. Tentu ada sesuatu
yang ingin kau katakan padaku. Nah... katakanlah secara jujur."
Lama Aria Lumayung terdiam. Dan akhirnya, "Sejak
Rama Prabu berkenan tinggal di tempat suci ini, istana seolah-olah diliputi awan
mendung. Kematian berpuluh-puluh prajurit di Kawahsuling, disusul oleh kematian
Senapati Jugala... tampaknya belum cukup untuk mencucurkan hujan duka di
Tegalinten. Kehadiran
seorang pemuda bernama Prabalaya, harus diberi
tumbal dua puluh prajurit pilihan. Dan kemarin... Adipati Natajaya tewas dalam
keadaan yang menyedih-
kan... dengan kepala yang terpisah dari badannya...
ooh... pertanda apa gerangan semuanya ini, Rama
Prabu?" Prabu Suriadikusumah sudah mendengar berita ke-
matian Senapati Jugala itu. Tapi berita tentang Adipati Natajaya, baru sekali
itu didengarnya. Maka tanya sang Prabu, "Apa yang telah terjadi sehingga Adipati
Natajaya tewas?"
"Hamba tidak tahu pasti," sahut Aria Lumayung.
"Hamba hanya mendengar beritanya... bahwa Adipati Natajaya tewas oleh seorang
gadis yang sekarang diterima sebagai tamu istana. Hamba yang mendengar
bahwa tindakan gadis itu atas izin Rayi Aria Pamungkas, yang menganggap Adipati
Natajaya hendak mem-
berontak."
"Seorang gadis bisa membunuh Adipati Natajaya"!
Ah... bagaimana itu bisa terjadi?"
"Gadis itu bukan gadis biasa, Rama Prabu. Hanya
dengan selendangnya saja, ia mampu menumbangkan
pohon beringin di gelanggang ksatrian dan menjebol-kan dinding yang membatasi
gelanggang ksatrian dengan keputren."
Prabu Suriadikusumah termangu-mangu. Lalu,
"Siapa gadis itu?"
"Kakak kandung pemuda yang bernama Prabalaya
itu, Rama Prabu. Namanya Prabayani."
"Prabalaya... Prabayani..." gumam Prabu Suriadikusumah. "Rasa-rasanya aku pernah
mendengar nama-
nama itu. Mmm... apakah kau tahu siapa ayah me-
reka?" "Kalau tidak salah, nama ayahnya Prabaseta."
"Prabaseta"!" Prabu Suriadikusumah terperanjat.
"Ooh... bagaimana mungkin keturunan Jalak Ruyuk
bisa berkeliaran di dalam istanaku...!"
Begitu mengucapkan kata 'istanaku', sang Prabu
seperti terkejut sendiri. Karena meskipun beliau masih menjadi raja di
Tegalinten, namun secara tidak resmi kekuasaan sudah diserahkan kepada Aria
Pamungkas. Dan Aria Lumayung bersikap datar saja mendengar
julukan 'Jalak Ruyuk' itu. Kedataran yang tidak diperhatikan oleh sang Prabu.
Bahkan sang Prabu mene-
rangkan, "Jalak Ruyuk adalah gelar yang diberikan orang-orang kepada tokoh
golongan sesat bernama
Prabaseta itu."
Seperti kurang bersemangat, Aria Lumayung ber-
tanya, "Apakah Prabaseta itu menjadi pemimpin utama golongan sesat?"
"Ya," sahut sang Prabu. "Kurasa sekarang dialah
pemimpinnya."
Aria Lumayung menghela napas panjang. Menun-


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duk dan berkata, "Hamba rasa, nasi sudah menjadi
bubur, Rama Prabu."
Prabu Suriadikusumah memandang ke luar perta-
paan yang sunyi, tanpa berkata sepatah pun.
Lama pertapaan itu dicengkeram keheningan.
Sampai akhirnya Aria Lumayung berkata, "Keda-
tangan hamba ke sini, sekalian hendak mohon izin da-ri Rama Prabu. Hamba ingin
menambah pengetahuan
dan pengalaman hamba di negeri orang."
Prabu Suriadikusumah terperangah. Memandang
wajah putranya yang penyabar dan tidak berambisi
itu, dengan perasaan cemas.
"Aria Lumayung," sabda sang Prabu, "walaupun
engkau bukan terlahir dari permaisuri, namun bagaimanapun juga kau adalah putra
sulungku. Seharus-
nya kau selalu berada di negeri ini, untuk menyadarkan adikmu dari segala
kealpaannya."
"Ampun, Rama Prabu. Menurut pendapat hamba,
Rayi Aria Pamungkas sudah cukup dewasa. Bahkan
mungkin sudah tiba waktunya untuk dinobatkan se-
bagai raja Tegalinten secara resmi. Dia... dia tentu ta-hu jalan terbaik bagi
rakyat Tegalinten dan bagi dirinya sendiri. Apalagi dengan dukungan Resi
Ekaraga, hamba rasa Rayi Aria Pamungkas akan selalu mendapat nasihat-nasihat
yang luhur."
Waktu menyebutkan nama Resi Ekaraga, tampak-
nya lidah Aria Lumayung seperti berat. Sang Prabu ju-ga tahu itu. Dan seperti
seiring dengan perasaan Aria Lumayung, sang Prabu bersabda, "Sebenarnya bela-
kangan ini aku agak heran melihat sikap Resi Ekaraga, yang tampaknya jadi begitu
mendukung Aria Pamungkas. Tapi, yah, sudahlah. Seperti yang kau katakan ta-di...
nasi telah menjadi bubur."
"Lalu," sang Prabu melanjutkan, "tadi kau bilang
hendak menuntut ilmu di negeri orang... negeri mana yang hendak kau tuju itu?"
"Hamba tidak punya tujuan yang pasti. Hamba ha-
nya ingin mengikuti ke mana kaki hamba hendak me-
langkah." "Seorang putra raja hendak bepergian tanpa tujuan yang pasti"!" tukas sang Prabu
bernada keluhan. "Apa sebenarnya yang kau cari, anakku?"
"Ampun, Rama Prabu," sahut Aria Lumayung. "Se-
perti yang telah hamba haturkan tadi, hamba ingin menambah pengetahuan dan
pengalaman di negeri
orang." "Kalau hanya untuk menuntut ilmu, kau bisa me-
manggil seorang guru ke istana. Untuk apa kau bersusah-payah mencarinya ke
negeri orang?"
"Memang benar, Rama Prabu. Sebagai seorang pu-
tra raja, sebenarnya hamba bisa dengan mudah me-
manggil para cerdik-pandai, untuk memberikan pelajaran-pelajarannya kepada
hamba. Namun justru den-
gan terlalu mudahnya itu, hamba seperti yang tidak dididik untuk menyelami arti
hidup yang sebenarnya.
Hamba ingin membuktikan bahwa kenikmatan hidup
itu tidaklah harus didatangkan dari kemewahan. Bahkan sebaliknya... pada saat
ini hamba merasa kehidupan di dalam istana, laksana kungkungan yang me-
nyiksa. Sehingga sering hamba melamun, betapa
menggiurkannya kehidupan yang bebas, lepas dari segala peraturan istana yang
ketat..." Belum habis Aria Lumayung berkata, tiba-tiba da-
tanglah sang Mangkubumi, sehingga ucapan Aria Lu-
mayung terputus di tengah jalan.
"Hamba menghaturkan sembah bakti, Gusti Prabu,"
sang Mangkubumi bersimpuh di depan Prabu Suriadi-
kusumah. "Kuterima, Rayi Mangkubumi," sang Prabu mem-
perhatikan Mangkubumi Tegalinten dengan dahi ber-
kerut. Lalu sabdanya, "Rasanya belum begitu lama kita tidak berjumpa. Tapi Rayi
Mangkubumi kelihatan berubah sekali. Apakah Rayi Mangkubumi sedang sakit?"
Sang Mangkubumi terharu mendengar pertanyaan
itu. Terharu karena merasa betapa besarnya perhatian sang Prabu terhadap
dirinya. Lalu sahut sang Mangkubumi, "Hamba sehat-sehat saja, Gusti Prabu. Peru-
bahan pada diri hamba ini, mungkin hanya dipaksa
oleh ketuaan saja."
"Hahahaaa... Rayi Mangkubumi ini ada-ada saja.
Usiamu jauh lebih muda daripada usiaku, bukan"!
Nah, sekarang katakanlah... adakah sesuatu yang ingin Rayi sampaikan?"
Sang Mangkubumi tertunduk sesaat, seperti memi-
kirkan kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepa-da rajanya. Lalu, "Hamba
datang menghadap untuk
menengok keadaan Gusti Prabu di sini. Selain daripada itu, hamba ingin
menghaturkan permohonan kepa-
da Gusti Prabu, agar sudilah kiranya Gusti Prabu
mengizinkan hamba untuk mengundurkan diri dari jabatan hamba sekarang."
Prabu Suriadikusumah memijit-mijit dagunya. Wa-
jahnya tampak datar. Namun kalau melihat matanya, jelas, bahwa sang Prabu sedang
mencoba menguasai
kaget dan kecewanya.
Lalu sang Prabu mengalihkan pandangannya pada
putranya, lalu mengalihkannya lagi pada sang Mangkubumi, lalu bersabda perlahan,
"Mungkin ada sesua-tu yang sangat berarti, sehingga Rayi Mangkubumi
berniat mengundurkan diri dari jabatan Rayi."
Lirih sang Mangkubumi menjawab, "Hamba merasa
bahwa usia hamba sudah cukup tua. Mungkin sudah
tiba waktunya bagi hamba, untuk mengundurkan diri dari kesibukan-kesibukan
pemerintahan, sekaligus I-
ngin memberi kesempatan pada yang muda-muda un-
tuk menyumbangkan darma bakti mereka terhadap
negara." "Hmm... aku menangkap semacam ketidakjujuran
dari kata-kata Rayi Mangkubumi. Kenapa Rayi Mangkubumi tidak mau bicara terus-
terang bahwa sebe-
narnya banyak hal yang tidak cocok dengan jiwa Rayi di istana?"
"Ampun, Gusti Prabu. Penyebab utama dari permo-
honan hamba, adalah apa yang hamba haturkan tadi.
Penyebab kedua... mungkin seperti apa yang di-
sabdakan oleh Gusti Prabu tadi."
"Bahwa banyak hal yang tidak cocok dengan jiwa
Rayi di istana?"
"Daulat, Gusti Prabu."
Prabu Suriadikusumah bangkit. Berdiri dan me-
langkah ke pintu pertapaan. Memandang hutan lebat di sebelah timur. Dan bersabda
sambil bersandar ke pintu pertapaan. "Kalau orang-orang bijaksana sudah mulai
menyisihkan diri atau tersisih dari pemerintahan suatu negara, maka tidak bisa
tidak, negara itu mulai melangkah ke ambang keruntuhan."
Mangkubumi dan Aria Lumayung tertunduk.
Prabu Suriadikusumah duduk kembali. Tercenung
sesaat. Memandang sang Mangkubumi yang masih ter-
tunduk dan bertanya, "Apa yang akan Rayi lakukan
setelah mengundurkan diri nanti?"
"Kalau diperkenankan, hamba ingin mengiringi
Gusti Prabu, untuk mencari kedamaian dan kesucian di sini," sahut sang
Mangkubumi. Sang Prabu terdiam. Namun bola-bola matanya
tampak berkaca-kaca. Di hati sang Prabu tumbuh ke-haruan yang mendalam, atas
kesetiaan sang Mangku-
bumi yang telah bertahun-tahun mendampinginya da-
lam tugas-tugas pemerintah.
Dan akhirnya Prabu Suriadikusumah bersabda,
"Walaupun aku seorang raja, namun kekuasaanku su-
dah kuserahkan kepada Aria Pamungkas. Karena itu
aku tidak mau menghalang-halangi kehendak Rayi
Mangkubumi. Bahkan mungkin seharusnya aku mera-
sa bahagia, karena Rayi Mangkubumi ingin menema-
niku di sini, sehingga aku tidak akan merasa kesepian lagi."
"Tapi," lanjut sang Prabu, "apakah keinginan Rayi itu sudah dipikirkan matang-
matang" Maksudku, apakah memang hanya jalan itu yang terbaik menurut
pandangan Rayi?"
Dengan berat sang Mangkubumi menjawab, "Mung-
kin masih ada jalan lain. Tapi rasanya hamba sudah tak sanggup lagi memangku
jabatan sebagai mangkubumi."
"Yaaah... kalau begitu masalahnya, aku tidak bisa menghalang-halangi. Tapi
sebaiknya berbicaralah dulu dengan Putra Mahkota," sabda sang Prabu lirih.
"Daulat, Gusti Prabu. Hamba akan segera meng-
haturkannya kepada Gusti Aria Pamungkas."
Lalu Prabu Suriadikusumah menoleh kepada putra-
nya, dan bersabda, "Kau juga, anakku. Berbicaralah dulu pada adikmu, sebelum
melaksanakan keinginan-mu itu."
"Jadi Rama Prabu memperkenankan hamba meran-
tau di negeri orang?" wajah Aria Lumayung berbinar-binar, antara gembira dan
terharu. Prabu Suriadikusumah mengangguk lembut.
*** Kedatangan Aria Lumayung dan sang Mangkubumi
di istana, tepat pada saat Aria Pamungkas selesai be-
runding dengan Resi Ekaraga.
"Kebetulan," kata Aria Pamungkas, "kami baru saja selesai merundingkan sesuatu
yang besar. Sesuatu
yang akan membuat Kerajaan Tegalinten berjaya. Kita akan mempunyai seorang
senapati yang masih muda
belia. Senapati adalah kedudukan yang selalu dipegang oleh lelaki. Tapi kali ini
kita akan mempunyai seorang senapati wanita. Senapati Prabayani yang cantik tapi
perkasa." Aria Lumayung dan sang Mangkubumi terkejut. Ta-
pi mereka tidak mengeluarkan pendapat.
Aria Pamungkas melanjutkan, "Selain daripada itu, kedudukan adipati Kawahsuling
yang kosong, akan segera diisi oleh Prabalaya. Seorang pemuda yang tegas dan
akan membuat Kawahsuling sebagai daerah tela-dan di kerajaan kita."
Lagi-lagi Aria Lumayung dan sang Mangkubumi ter-
kejut. Dan lagi-lagi mereka tidak memberikan tangga-pan.
Aria Lumayung bahkan mengungkapkan maksud-
nya. "Sebenarnya kedatanganku sekarang untuk ber-
pamitan kepada Rayi, karena aku bermaksud menam-
bah pengetahuan dan pengalaman di negeri orang."
Aria Pamungkas terpengaruh. Memang ia tidak meng-
anggap Aria Lumayung sebagai kakak yang seiring dalam cita-cita. Namun kehadiran
kakak seayah yang
sabar itu, seringkali jadi penyejuk jiwanya. Seringkali mampu menenangkan
gejolak jiwa Aria Pamungkas
manakala api amarah sedang merajalela.
Aria Pamungkas tidak pernah menganggap Aria Lu-
mayung sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, ka-
rena Aria Lumayung tidak pernah memperlihatkan
ambisi terhadap pemerintahan di Tegalinten. Karena itu, Aria Pamungkas cukup
terpukul setelah menden-
gar ucapan Aria Lumayung tadi.
"Hendak meninggalkan istana, justru pada saat su-
atu keputusan besar akan dilaksanakan"! Ah... ra-
sanya Raka Aria Lumayung seperti yang sengaja hendak menggagalkan usaha kami
dalam menegakkan kehormatan kerajaan ini," protes Aria Pamungkas.
Sahut Aria Lumayung, "O, jangan berpikiran seperti itu, Rayi! Rencana
keberangkatanku tidak ada hubun-gannya dengan usaha Rayi. Tadi, sebelum Rayi
mengutarakan rencana Rayi itu, aku sudah meminta izin dari Rama Prabu. Hanya
kebetulan saja rencanaku berte-patan waktunya dengan rencana Rayi."
Aria Pamungkas terdiam. Dan tiba-tiba sang Mang-
kubumi pun mengutarakan maksudnya, "Kedatangan
hamba juga untuk memohon diri kepada Gusti Aria,
karena hamba pun bermaksud meletakkan jabatan
hamba." Aria Pamungkas tercengang. Mengalih-alihkan pan-
dangannya di antara Aria Lumayung dan sang Mang-
kubumi. Kemudian berkata lantang, "Ooo....kebusukan macam apa sebenarnya yang
terpendam di dalam hati kalian itu" Ramai-ramai berpamitan, justru pada saat aku
membutuhkan dukungan dari yang tua maupun
yang muda"!"
"Ampun, Gusti Aria," sang Mangkubumi meletakkan
kedua tangan di dada. "Sebenarnya niat hamba tidak pernah dirundingkan dengan
Elang Terbang Di Dataran Luas 7 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Jejak Di Balik Kabut 23
^