Pencarian

Mustika Lidah Naga 3 2

Mustika Lidah Naga 3 Bagian 2


Gusti Aria Lumayung.
Demikian pula Gusti Aria Lumayung tidak pernah merundingkan maksud kepergiannya
kepada hamba. Ha-
nya secara kebetulan, tadi hamba berjumpa dengan
Gusti Aria Lumayung di tempat pertapaan Gusti Pra-bu. Ternyata Gusti Aria
Lumayung pun sedang memo-
hon perkenan dari Gusti Prabu, untuk menuntut ilmu di negeri orang."
"Memang betul begitu, Rayi," Aria Lumayung mem-
perkuat ucapan sang Mangkubumi. "Secara kebetulan saja kami berjumpa di tempat
pertapaan Rama Prabu.
Lalu bersama-sama ke sini."
Aria Pamungkas mendengus di hidung. Lalu ka-
tanya dingin, "Kalau mau pergi, pergilah! Pergilah! Aku mengerti sekarang, bahwa
kalian sebenarnya tidak setuju dengan pengangkatanku sebagai putra mahkota."
"Jangan berprasangka buruk, Rayi. Di dalam hatiku tak pernah tersimpan perasaan
iri-dengki terhadap adikku sendiri. Bahagia hati Rayi, adalah bahagia hatiku
juga.. Kalau Rayi sudah menjadi raja di negeri ini, hatiku juga merasa bangga.
Dan aku akan tetap mendoa-
kan, semoga Rayi selalu dibimbing oleh kebenaran dan keadilan, untuk menciptakan
kehidupan yang makmur dan sejahtera di kerajaan ini," ujar Aria Lumayung lembut.
Namun wajah Aria Pamungkas tetap dingin.
*** Beberapa hari kemudian, istana Raja Tegalinten
mulai dihias seindah-indahnya. Persiapan-persiapan mulai dilakukan, untuk
upacara pengangkatan Prabayani dan Prabalaya sebagai senapati Tegalinten dan
Adipati Kawahsuling.
Namun pada hari itu pula Aria Lumayung dan sang
Mangkubumi meninggalkan istana. Pada hari itu pula Aria Pamungkas tampak murung
di istananya. Sampai datang Resi Ekaraga.
"Tampaknya kepergian mereka mengandung rahasia
yang belum terpecahkan, Gusti Aria."
"Maksud Paman Resi?"
"Yaaah... hamba tidak berani mengatakannya. Ter-
lebih lagi kalau mengingat bahwa Gusti Aria Lumayung
itu kakak Gusti sendiri."
"Paman Resi, dalam beberapa hal aku menganggap
Paman Resi sebagai orang yang terdekat denganku.
Rasanya hubunganku dengan Rama Prabu pun, tidak
seakrab hubunganku dengan Paman Resi. Karena itu, sampaikanlah apa pun yang
bersangkutan dengan diriku, meski pertalian keluarga terdapat di dalam apa yang
hendak Paman sampaikan itu."
Resi Ekaraga mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Entahlah... hati hamba kali ini berdetak lain, Gusti.
Hamba... hamba takut kalau mereka merencanakan
sesuatu yang tidak terduga-duga oleh Gusti Aria."
"Merencanakan sesuatu"!"
"Ya. Mungkin saja secara diam-diam mereka sedang
mengatur siasat untuk merobohkan Gusti Aria, karena mereka tidak setuju atas
pengangkatan Prabayani dan Prabalaya yang akan dilaksanakan itu. Gusti melihat
sendiri bagaimana bentuk wajah mereka ketika Gusti mengutarakan rencana
pengangkatan Prabayani dan
Prabalaya itu. Wajah-wajah yang dingin dan mengandung rahasia."
Aria Pamungkas menyeringai. Lalu mendengus di
hidung. "Hhh... apa yang bisa mereka lakukan terhadap diriku"!"
"Biasanya, orang tersandung oleh batu kecil. Bukan oleh batu sebesar bukit,"
kata Resi Ekaraga.
Aria Pamungkas menyipitkan matanya. "Maksud
Paman...."
"Sudah jelas, Gusti Aria jangan mengabaikan ke-
mungkinan terkecil sekalipun. Ratakanlah jalan yang hendak Gusti lalui, serata-
ratanya." "Dengar, Paman Resi... kalau mereka punya renca-
na macam-macam, akan kuhabisi mereka!"
"Lalu sekarang menunggu mereka kuat dahulu, be-
gitu?" Aria Pamungkas terhenyak di singgasananya. Pikir-
nya, "Ya....kecurigaan Paman Resi cukup beralasan.
Bukankah dalam soal harta dan tahta itu, tidak mengenal saudara" Bukankah sikap
Aria Lumayung yang
seperti tidak peduli terhadap pemerintahan itu patut dicurigai" Bukankah tusukan
dari belakang itu lebih berbahaya daripada tusukan dari depan" Lalu... apakah
mereka sekarang diam-diam akan menusukku da-
ri belakang" Ooo... tidak! Tidak! Aku tidak akan membiarkan mereka mendahuluiku!
Karena itu aku harus mendahuluinya!"
Lalu, "Menurut pendapat Paman Resi, apa yang ha-
rus kulakukan?"
"Terserah Gusti Aria. Hamba hanya ingin menyam-
paikan, bahwa hamba melihat bahaya terselubung itu.
Dan hamba ingin agar rencana Gusti Aria berjalan lan-car, tanpa hambatan seujung
jari pun."
Aria Pamungkas termenung sesaat. Kemudian me-
manggil salah seorang prajuritnya. Lalu, "Panggil Prabalaya ke mari."
"Daulat, Gusti Aria."
Prajurit itu bergegas menuju puri khusus yang di-
sediakan untuk Prabayani dan Prabalaya.
Setelah Prabalaya datang, Aria Pamungkas menga-
jaknya ke ruangan tertutup. Di situlah Aria Pamungkas mengucapkan perintah
rahasianya. Perintah iblis.
Bahwa Prabalaya bertugas untuk mengejar dan mem-
bunuh Aria Lumayung!
Prabalaya terkejut juga mendengar perintah Putra
Mahkota itu. Karena sekalipun jahatnya bukan main, Prabalaya sangat menyayangi
kakaknya (Prabayani).
Tapi sang Putra Mahkota justru memerintahkan untuk membunuh kakaknya sendiri!
Walaupun begitu, cepat saja Prabalaya menyahut,
"Baik, Gusti Aria! Titah Gusti akan segera hamba laksanakan."
"Dan ingat," kata Aria Pamungkas, "tugasmu harus
selesai sebelum pengangkatanmu sebagai Adipati Kawahsuling."
"Baik, Gusti."
*** Sebelum melaksanakan tugasnya, Prabalaya men-
jumpai kakaknya dulu di puri khusus itu.
"Aku diberi tugas istimewa," kata Prabalaya. "Aku harus berangkat sekarang
juga." "Tugas apa?" tanya Prabayani.
Prabalaya menjawabnya dengan bisikan, "Aku dis-
uruh membunuh Aria Lumayung."
"Hah"!" Prabayani terbelalak.
"Mungkin karena dia dianggap membahayakan ke-
dudukan sang Putra Mahkota sebagai calon raja di negara ini."
"Lalu... kau perlu dibantu?"
"Hahahaha, tidak usah. Untuk membereskan ma-
nusia lemah begitu, dengan menggerakkan ujung ke-
lingking juga selesai!"
Dan beberapa saat kemudian, sesosok tubuh mele-
sat secepat kilat, meninggalkan istana lewat pintu belakang.
*** EBENARNYA kecurigaan Aria Pamungkas sangat
Sber lebihan dan tidak beralasan. Sang Mangkubumi menuju tempat pertapaan Prabu
Suriadikusumah yang
terletak di sebelah selatan Tegalinten, sedangkan Aria Lumayung menuju ke arah
utara. Dua arah yang ber-lawanan itu, justru dianggap sebagai 'siasat untuk me-
nyesatkan' para pendukung Aria Pamungkas.
Aria Lumayung telah mengganti pakaian keningrat-
annya dengan pakaian rakyat biasa. Tanpa ditemani oleh seorang pengiringpun, ia
mulai memasuki hutan belantara. Dengan buntalan yang dipikul di bahu kirinya,
membuat Aria Lumayung sama sekali tidak mirip putra raja. Bahkan tukang-tukang
kayu yang berpapa-san dengannya di tepi hutan pun, tersenyum pun tidak padanya,
karena mengira ia hanya seorang pengembara biasa.
Namun Aria Lumayung tidak peduli dengan itu se-
mua. Ia hanya mempedulikan satu hal: "Jalan pintas lewat hutan ini akan
membuatku tiba sepuluh hari lebih cepat daripada kalau aku lewat jalan biasa
yang memutar-mutar jauh itu."
Baru saja setengah hari Aria Lumayung berada di
dalam hutan yang sedang ditembusnya, tiba-tiba dari arah timur muncul sesosok
tubuh... menyelinap dari balik pohon yang satu ke pohon yang lain...
memperhatikan gerak-gerik Aria Lumayung dengan sikap yang sangat mencurigakan.
Yang sedang mengintai Aria Lumayung itu adalah
seorang lelaki berperawakan tinggi besar, dengan cam-bang dan kumis yang hampir
memenuhi wajahnya.
Sebilah golok panjang terselip di pinggangnya.
Tiba-tiba lelaki brewokan itu mengeluarkan aba-aba rahasia. "Cuiiiiiiit...
cuuiiiit... cuuuiiiit...!"
Diikuti dengan berlompatannya lima orang lelaki
dari atas pohon, yang langsung mengepung Aria Lu-
mayung dengan sikap garang. Kelima lelaki itu sama-sama memegang golok panjang,
yang seolah-oleh siap
untuk mencabut nyawa Aria Lumayung.
Lelaki brewok itu pun lalu melompat dari tempat
persembunyiannya, dan berdiri di depan Aria Lu-
mayung dengan sikap yang galak.
"Serahkan buntalan itu pada kami!" bentak lelaki
brewok itu sambil menunjuk ke buntalan yang sedang dipikul oleh Aria Lumayung.
Aria Lumayung segera sadar bahwa ia sedang ber-
hadapan dengan komplotan perampok. Memang, hu-
tan belantara di sebelah utara Tegalinten itu sering dijadikan tempat
persembunyian para perampok.
Dan kini Aria Lumayung sedang berhadapan den-
gan anggota 'Langgir Pati', sebuah komplotan perampok yang terkenal sangat ganas
dalam operasi-operasi kejahatannya. Ciri khas mereka terlihat dari golok mereka
yang bergerigi pada bagian punggungnya.
Tapi Aria Lumayung tampak tenang-tenang saja.
Menundukkan kepala sambil berkata, "Isi buntalan ini tidak ada gunanya bagi
kalian. Hanya dua pasang pakaian dan beberapa buah kitab suci Weda."
Lelaki brewokan itu membentak garang, "Serahkan
buntalan itu! Kami tidak menanyakan apa isinya!"
Aria Lumayung menggeleng. "Maaf saja, aku tidak
bisa mengabulkan permintaan kalian. Aku sangat
membutuhkan pakaian dan kitab-kitab suci Weda ini, untuk bekalku mengembara."
"Keparat! Kamu berani membangkang pada per-
kumpulan Langgir Pati, heh"!" lelaki brewokan itu menghunus goloknya. Sreet...!
Dan tanpa menunggu
perintah lagi, kelima anak buahnya langsung mema-
sang kuda-kuda, dengan goloknya masing-masing.
"Aku kasihan pada usiamu yang masih begitu mu-
da," kata si Brewok, "karena itu, untuk terakhir ka-linya kuminta agar kau
menyerahkan buntalan itu,
atau terpaksa kami membunuh dan mencincangmu!"
"Tidak!" Aria Lumayung menggeleng dengan se-
nyum. "Isi buntalan ini tidak ada gunanya bagi orang lain, tapi sangat penting
bagiku." Si brewok hilang sabar. Dengan gerakan kuat, ia
menyabetkan goloknya ke arah leher Aria Lumayung.
Dan Aria Lumayung sedikit pun tidak mengelak!
Namun pada saat itulah dari arah barat melejit sebutir batu kerikil, dan
menghantam golok si brewok yang hampir menebas batang leher Aria Lumayung...
triiing...! Golok si Brewok terpental. Dan pemiliknya merin-
gis-ringis sambil memegangi tangan kanannya yang kesemutan. Kelima kawannya
terheran-heran. Sementara Aria Lumayung pun melirik ke arah barat, dengan senyum
aneh di bibirnya.
Walau pun perasaan heran dan kagetnya belum sir-
na, si Brewok memberi aba-aba kepada anak buahnya,
"Bunuh dia!"
Serempak kelima perampok itu menerjang Aria Lu-
mayung dari lima jurusan. Sementara si Brewok me-
mungut kembali goloknya yang tergeletak di tanah.
Tapi... begitu golok itu diangkat.... tiba-tiba saja golok itu patah dua!
Rupanya hantaman batu kerikil kecil tadi telah meretakkan golok si Brewok, tapi
tidak langsung mematahkannya. Dan ketika golok itu diangkat, barulah patah
menjadi dua. Sementara itu, kelima perampok dari komplotan
Langgir Pati telah mengurung Aria Lumayung semakin rapat. Dan secara serempak
mereka menusukkan golok mereka dari lima jurusan.
Namun... sebelum kelima golok itu menyentuh tu-
buh Aria Lumayung tiba-tiba saja kelima perampok itu berteriak-teriak sambil
berlari-lari ke sana ke mari:
Hahahahaaaa... hihihihi... geliiiiii... adududududu-duuuh... geliiii...
gelllelllellliii... hahahahahaha hihihihihihihi...!"
"Hai! Kenapa kalian ini?" seru si Brewok terheran-heran melihat anak-anak
buahnya seperti monyet-monyet kebakaran buntut... berjingkrak-jingkrak sambil
tertawa-tawa aneh.
"Adudududuuuuuh... ada yang ngitik-ngitiiiik... hihihi... geeli... geliii...
geliliii... hihihihihihihi...!" sahut kelima perampok itu sambil berlari
berserabutan sambil berhamburan ke arah utara, lalu tidak terlihat lagi.
Hanya tawa gelinya yang masih terdengar sampai ke tempat Aria Lumayung.
Dan Aria Lumayung mengernyitkan dahinya. Melirik
tenang ke kanan-kirinya. Sementara si Brewok masih terbengong-bengong heran.
Namun akhirnya ia pun
melarikan diri ke arah utara.
Tinggallah Aria Lumayung sendiri. Dengan pandan-
gan tenang, tapi secara diam-diam melirik ke kanan-kirinya, seolah-olah
bertanya, "Siapa yang menolongku itu" Kenapa dia tidak mau muncul di depanku
secara terang-terangan?"
Seperti menunggu munculnya 'penolong misterius'
itu, Aria Lumayung berdiri terpaku di tempat semula.
Dan... tiba-tiba saja muncullah seorang lelaki tua bertubuh kurus, berjubah
merah dengan lambang kalajengking berwarna kuning emas, dengan tongkat perak di
tangannya. Inilah Lodrawaja, pemimpin tertinggi komplotan Langgir Pati!
( Langgir = kalajengking)
"Aku tidak mengenal siapa kau," bentak Lodrawaja
dengan mata menyipit, "tapi kau telah menggunakan ilmu jahatmu untuk mengganggu
anak buahku!"
Aria Lumayung menjawab tenang, "Siapa yang
menggunakan ilmu jahat" Aku sendiri heran, siapa se-
benarnya yang telah menolongku itu."
"Hmmm... aku yakin kau hanya berpura-pura bo-
doh, anak muda. Tapi di depanku, kau tidak bisa berpura-pura lagi," ujar
Lodrawaja dingin dan tajam. "Sekarang kau pilih sendiri, kuhabisi riwayatmu atau
kau sendiri yang memenggal lehermu!"
Aria Lumayung yang penyabar itu bahkan tertawa
kecil. Dan katanya, "Kau bicara seperti maharaja gila saja. Ada hak apa kau
ingin menghabisi nyawaku"
Bukankah aku tidak pernah mengganggu anak buah-
mu?" Lodrawaja menghentakkan tongkat peraknya ke ta-
nah, sehingga terdengar suara berdentam nyaring, pertanda bahwa ia memiliki ilmu
yang cukup tinggi. Hen-takan tongkat perak itu disusul oleh melesatnya tubuh
Lodrawaja ke udara, diiringi bentakannya, "Kau cari mampus, anak muda!"


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil bersalto di udara, Lodrawaja melakukan ge-
rakan yang licik dan tak terduga. Demikian cepatnya tangan Lodrawaja menyelinap
ke balik jubah merahnya, dan tahu-tahu beterbanganlah tujuh bilah pisau kecil...
secepat kilat melesat ke arah Aria Lumayung!
Namun pada saat yang sama, tujuh butir kerikil kecil beterbangan ke arah
barat....yang langsung me-nyampok ketujuh pisau kecil itu... tring....tring...
ting... ting... tring... tiing... triiing....!
Ketujuh pisau kecil itu berjatuhan di tanah dan tidak berhasil mencapai
sasarannya. Disusul oleh 'hing-gapnya' Lodrawaja di atas sebuah batu besar.
Lodrawaja mengira bahwa semua itu 'hasil perbuat-
an' Aria Lumayung. Maka dari atas batu besar itu ia berseru, "Rupanya kau pemuda
berilmu juga, ya"! Tapi salah besar kalau kau mengira bisa mengalahkan Lodrawaja
ini!" Lodrawaja mulai memutar-mutarkan tongkatnya,
demikian cepatnya, sehingga tubuhnya seolah-olah dibungkus oleh bayangan tipis
berkilauan. Dan... wuut...
tiba-tiba saja tubuh Lodrawaja melesat ke arah Aria Lumayung yang masih saja
berdiri terpaku di tempat semula.
Biasanya, kalau sudah bergerak sambil 'dibungkus'
oleh putaran tongkat peraknya itu, Lodrawaja sedang merasa bahwa musuh yang
dihadapinya seorang berilmu tinggi. Dengan cara seperti itu, ia merasa aman
karena terlindung oleh putaran tongkat peraknya, sementara ia menyiapkan
serangan tersembunyi yang
biasanya dilakukan dengan cara yang licik dan kejam.
Tapi Aria Lumayung tetap berdiri tenang di tempatnya seolah-olah tidak mengerti
bahwa terjangan maut tengah melesat ke arah dirinya. Dan... ketika putaran
tongkat perak Lodrawaja hampir saja menyentuh tubuh Aria Lumayung... tiba-tiba
saja Lodrawaja terpental beberapa depa ke belakang! Blug...! Lodrawaja jatuh
terjengkang sambil meringis.
Lodrawaja memegangi dadanya, seperti merasa se-
sak sekali. Namun secepatnya ia bangkit kembali dengan bantuan tongkat peraknya.
"Gila!" pikir Lodrawaja. "Ilmu pemuda ini sangat
tinggi! Baru sekali ini aku menghadapi lawan yang tidak bergerak sama sekali,
tapi bisa membuatku ke-
payahan begini!"
Lodrawaja tetap mengira bahwa yang membuat ter-
pental tadi adalah pemuda yang sedang berdiri tenang di depannya itu.
Setelah berdiri tegak kembali, niat jahat Lodrawaja mulai timbul. "Dengan
terjangan terbuka, mungkin
aku takkan mampu merobohkan pemuda ini. Tapi aku
masih punya siasat...!"
Lodrawaja lalu berpura-pura memegangi perutnya,
seperti merasakan sesuatu yang sakit sekali. Padahal secara diam-diam ia
membenamkan tangan kanannya
ke sebuah kantung berisi serbuk racun yang sangat di-andalkannya: Racun Langgir
Geni. Tentu saja ia sendiri sudah memiliki obat pemunah racun itu. Kalau tidak,
begitu menyentuh serbuk itu, ia akan tewas seketika.
Kemudian Lodrawaja menghampiri Aria Lumayung
dengan sikap 'bersahabat', sambil berkata, "Ilmumu tinggi sekali, anak muda.
Kuucapkan selamat padamu, karena di usia semuda itu, kau telah memiliki ilmu
yang begitu tinggi."
Sambil berkata begitu, Lodrawaja mengulurkan ta-
ngannya, seolah-olah hendak mengajak bersalaman
kepada Aria Lumayung. Padahal ia menyimpan renca-
na busuk dan keji, bahwa begitu tangannya bersentuhan dengan Aria Lumayung,
racun Langgir Geni itu
akan 'pindah' ke tangan Aria Lumayung, lalu mene-
waskan putra raja itu.
Dengan sikap yang lugu, Aria Lumayung pun meng-
ulurkan tangannya, untuk menyambut uluran tangan
Lodrawaja. Tapi... sebelum tangan mereka bersentuhan.... tiba-tiba saja terdengar suara
lantang dari arah selatan.
"Hahahahaaa... Lodrawaja... Lodrawaja...! Engkau
tidak akan berhasil membunuh pemuda itu sebelum
mengalahkan pendukung gelapnya! Racunmu bahkan
bisa berbalik menjadi ancaman maut bagi dirimu sendiri!"
Lodrawaja terkejut dan menarik kembali tangan be-
racunnya. Disusul dengan melesatnya sesosok tubuh dari arah selatan. Tubuh
Prabalaya! Prabalaya menjejakkan kakinya dengan ringan, di
antara Lodrawaja dengan Aria Lumayung. Dan, baik
Lodrawaja maupun Aria Lumayung, sama terkejut
dengan kehadiran Prabalaya itu.
Pikir Aria Lumayung, "Diakah yang berkali-kali menolongku tadi" Ah... sedikit
pun aku tidak mengha-rapkan pertolongan dari orang seperti dia."
Bagaimana dengan Lodrawaja" Begitu melihat siapa
pemuda yang mendadak muncul di hadapannya itu,
Lodrawaja kontan menjatuhkan diri, berlutut dan berkata hormat, "Bahagia sekali
hati hamba dapat berjumpa lagi dengan sang Ajag Hawuk!"
Melihat sikap Lodrawaja yang begitu hormat kepada Prabalaya, juga mendengar
julukan 'sang Ajag Hawuk'
itu, Aria Lumayung mengernyitkan dahinya... seperti ada sesuatu yang sedang
dipertimbangkan olehnya.
Prabalaya memandang Aria Lumayung dengan su-
dut matanya, lalu berkata kepada Lodrawaja, "Usiamu sudah cukup tua, tapi
ketajaman pancaindramu belum juga sempurna, Lodrawaja. Tidakkah kau tahu bahwa
lawanmu didukung oleh seorang pengecut yang tidak berani muncul secara terang-
terangan?"
Lodrawaja agak bingung. "Maksud sang Ajag Ha-
wuk... pemuda ini tidak sendirian?"
"Ya," Prabalaya mengangguk. "Seseorang bersembu-
nyi di belakangnya... dan aku ingin tahu siapa orang itu!"
Lalu Prabalaya berteriak, "Hooooi! Keluarlah kau
dari tempat persembunyianmu!"
Tiba-tiba asap putih mengepul di depan ketiga
orang itu. Lalu muncullah seorang pemuda yang se-
baya dengan Aria Lumayung. Pemuda itu, adalah...
Rangga! Prabalaya langsung menyambut kemunculan Rang-
ga dengan sindiran tajam, "Huhhh...! Seorang pende-
kar sejati tidak akan menggunakan ajian Halimunan dalam menghadapi lawan-
lawannya!"
Tenang saja Rangga menjawab, "Untuk memberan-
tas kejahatan itu banyak caranya, Prabalaya!"
Prabalaya terundur selangkah sambil mengepalkan
kedua tangannya dan meletakkannya di bawah perut-
nya. "Aku tidak pernah mengenalmu, tapi kau sudah mengetahui namaku."
Rangga ketawa kecil, dan, "Sebenarnya kita pernah berjumpa di Kawahsuling. Masih
ingatkah kau, seekor ular Dadali untuk membinasakan Kujang Gading" Hihihi...
waktu itu kau membawa-bawa seekor serigala.
Mana sekarang serigalamu itu" Kenapa tidak dibawa"
Aku senang sekali melihat tingkah laku binatang yang lucu itu."
Dengan cepat Prabalaya mengingat peristiwa yang
dikatakan oleh Rangga itu. Dengan cepat pula Prabalaya ingat, bahwa ular
kesayangannya binasa dalam peristiwa itu. Binasa dengan cara yang mengejutkan
dan hampir tidak masuk di akalnya. Dengan cepat pu-la Prabalaya ingat, bahwa
dalam peristiwa itu ia sempat roboh dan tak sadarkan diri selama beberapa saat,
karena mendapat hantaman yang tidak diketahui dari mana datangnya. Prabalaya
juga masih ingat, bahwa saat itu, ketika ia tersadar kembali, tahu-tahu Kujang
Gading lenyap dari alun-alun Kawahsuling.
Maka pikir Prabalaya, "Diakah yang menolong Ku-
jang Gading di Kawahsuling tempo hari" Kalau dia
orangnya... aku harus berhati-hati, karena tentu ilmunya tinggi sekali."
Sementara itu, Aria Lumayung belum mengerti apa
sebabnya Prabalaya bisa mendadak muncul di tengah hutan itu. Yang pasti, Aria
Lumayung melihat pandangan tajam Prabalaya tidak lagi memanggil 'Gusti Aria'
padanya. Prabalaya bahkan bersikap seperti musuh besar
Aria Lumayung. Dengan tudingan ke arah Aria Lu-
mayung, Prabalaya berkata, "Persis seperti yang dita-kutkan oleh Gusti Aria
Pamungkas... kau memang telah menjalin persekutuan rahasia untuk menumbang-
kan sang Putra Mahkota secara tersembunyi. Hmmm...
rupanya kau sudah mendapat pendukung kuat, ya"!"
Aria Lumayung tidak mengerti apa yang dituduhkan
padanya itu. Tapi tenang saja ia menjawab, "Aku tidak mengenal pemuda ini.
Bagaimana aku bisa dituduh
menjalin persekutuan rahasia" Hmmm... Prabalaya...
Prabalaya! Dalam hidupku, tidak pernah terpikir niat busuk apa pun."
"Kalau begitu, kau segera akan menjadi bangkai busuk!" tiba-tiba saja Prabalaya
menyebarkan pasir beracun ke arah Aria Lumayung.
Sebutir pasir saja menyentuh kulit manusia biasa, bisa dipastikan bahwa manusia
itu akan berkelojotan dan lalu mati. Begitulah ganasnya pasir beracun milik
Prabalaya itu. Namun seketika itu juga Rangga mengibaskan ta-
ngannya ke depan. Dan... butir-butir pasir beracun itu berbalik arah...
menerjang pemiliknya!
Prabalaya terkejut dan secepat kilat bersalto jungkir balik ke belakang untuk
menghindari 'senjatanya' sendiri! Tapi butir-butir pasir beracun itu masih
mengejar Prabalaya, terdorong oleh kekuatan batin Rangga yang begitu tinggi!
Pada saat itulah Prabalaya mempertunjukkan siapa
dirinya. Bahwa tidaklah salah kalau golongan hitam sangat menghormati Prabaseta
dan putra-putrinya.
Ya.... ketika Prabalaya masih bersalto di udara, sementara butir-butir pasir itu
seperti mengejarnya, tubuh
Prabalaya melesat ke atas tanpa harus menginjakkan kakinya dulu di tanah,
sehingga butir-butir pasir beracun itu lewat di bawah kaki Prabalaya, lalu
bertanca-pan di batang-batang pohon. Dan pohon-pohon yang
tersentuh butiran pasir beracun itu, mendadak layu...
seperti terbakar oleh api yang sangat panas!
Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau
butir-butir pasir beracun itu menyentuh tubuh manusia! Prabalaya menukik dan
menjejakkan kakinya tepat di muka Rangga. Kini Prabalaya bersikap hati-hati
sekali, karena telah menyadari bahwa pemuda yang belum dikenalnya itu berilmu
tinggi. Tapi itu tidak berarti bahwa Prabalaya mulai takut menghadapi Rangga. Tidak.
Bahkan sebaliknya, ia semakin bernafsu untuk menjajaki sampai di mana tingginya
ilmu lelaki muda yang belum dikenalnya itu.
"Siapa namamu dan siapa gurumu?" tanya Praba-
laya dengan pandangan menyelidik.
"Namaku Rangga," sahut yang ditanya.
"Siapa gurumu?" Prabalaya mengulangi pertanyaan
yang belum terjawab.
Rangga menjawab, "Aku tidak biasa membawa-bawa
nama guruku dalam persoalan yang sedang kuhadapi."
Prabalaya terheran-heran, karena Rangga tidak
mau menyebutkan nama gurunya. Pada masa itu, seo-
rang pendekar yang enggan menyebutkan nama gu-
runya, dianggap sebagai murid yang tidak menghorma-ti gurunya sendiri. Tentu
saja Prabalaya tidak tahu bahwa Rangga memang dilarang menyebut-nyebut
nama gurunya. Sementara itu Lodrawaja sudah berdiri di tempat
yang agak jauh. Dan anak buahnya mulai berdatangan ke tempat di tengah hutan
itu. Aria Lumayung pun sudah duduk di atas sebuah
batu besar, seolah-olah siap untuk menonton sebuah pertunjukan mengasyikkan.
Sedikit pun ia tidak terlihat seperti cemas ataupun gentar.
Sedangkan Prabalaya dan Rangga sudah berdiri
berhadapan, dalam jarak yang tidak lebih dari lima langkah.
"Aku tidak tahu di pihak mana sebenarnya kau
berdiri saat ini," kata Prabalaya, "Tapi jelas... ikut campurmu dalam
persoalanku, harus kau pertang-gungjawabkan secara ksatria."
Rangga bahkan menjawab dengan tawa kecil. "Hihi-
hihi... ksatria itu apa, Prabalaya" Aku ini bukan keturunan ksatria kok. Dan
kurasa kau sendiri pun bukan keturunan ksatria. Kita sama-sama keturunan jembel.
Tak usahlah ngomong-ngomong soal ksatria segala
macam!" Merah padam wajah Prabalaya dibuatnya. Namun
saat itu juga ia berpikir, "Tidak mudah bagiku untuk membunuh Aria Lumayung,
karena tampaknya pemuda bernama Rangga ini siap untuk membelanya. Dan...
aku baru bisa leluasa membunuh pangeran itu, setelah menamatkan riwayat pemuda
bernama Rangga ini
dulu." "Tapi," pikir Prabalaya lagi, "pemuda bernama Rang-ga ini tampaknya tidak mudah
kutundukkan. Mungkin hanya dengan siasat yang licin saja aku bisa menamatkan
riwayatnya. Atau... mungkin juga aku bisa
menipunya, supaya aku bisa leluasa membawa Aria
Lumayung ke tempat kematiannya."
Setelah mereka-reka siasat di dalam benaknya, Prabalaya berkata sambil
memperhatikan Rangga secara diam-diam, "Setiap kali bertemu dengan seseorang
berilmu tinggi, aku selalu gatal untuk menguji diriku
sendiri. Sekarang marilah kita menguji diri kita masing-masing, dengan..."
Belum habis Prabalaya berkata, Rangga sudah me-
motongnya, "Kenapa kau jadi banyak basa-basi begitu"
Biasanya kau menyerang orang dulu, baru bicara kemudian!"
Merah lagi wajah Prabalaya, karena waktu dia ber-
bicara tadi, secara diam-diam ia tengah menyiapkan serangan Raga Puyuh, yakni
terjangan yang tidak akan terduga-duga oleh lawannya pada saat si lawan sedang
diajak berbicara. Sebenarnya serangan Raga Puyuh itu termasuk jurus yang amat
licik, karena si lawan akan dibuat 'terbius' oleh kata-kata yang diucapkan oleh
Prabalaya tadi, merupakan bagian dari mantra untuk membuat lawannya terlena...
kemudian diserang secara mendadak.
Namun Rangga bukan anak kemarin sore yang bisa
ditipu begitu saja. Dengan melihat kedua tangan Prabalaya yang disimpan di dada
pun, Rangga bisa segera tahu bahwa tokoh muda bergelar Ajag Hawuk itu sedang
memusatkan pancaindranya.
Dan pemusatan pancaindra Prabalaya itu kontan
buyar, karena ucapannya langsung dipotong oleh
Rangga. Maka Prabalaya tak mau 'berbasa-basi' lagi.
Dengan sikap seperti seekor harimau menerkam
mangsanya, Prabalaya menerjang Rangga, diiringi suara menggerung yang terdengar
menyeramkan. Itulah
jurus Sukma Maung, yang konon 'dibantu' oleh roh si-luman macan. Tentu saja ilmu
ini termasuk ilmu sesat.
Lodrawaja dan anak buahnya kontan terundur be-
berapa langkah, karena merasa ngeri mendengar ge-
rungan Prabalaya yang disertai ilmu gaib sesat itu.
Tapi Rangga dengan tenang mengangkat tangan ki-
rinya ke atas dan menurunkan tangan kanannya sebatas pinggang. Lalu...
disambutnya terjangan Prabalaya itu dengan gerakan yang sangat cepat dan tampak
ka-cau balau. Tak ubahnya gerakan seekor kera yang sedang berjingkrak-jingkrak.
Rangga melompat-lompat ke sekeliling Prabalaya,
membuat tokoh muda yang jahat itu kebingungan, karena baru sekali itulah ia
melihat jurus yang begitu aneh namun sangat berbahaya.
Itulah jurus Lutung Edan, yang merupakan hasil
ciptaan Kudawulung dan telah diwariskan kepada
Rangga. Sebuah jurus yang memusingkan lawan, ka-
rena gerakan-gerakannya seperti tidak teratur, tapi setiap kali bergerak
diiringi oleh pukulan berbahaya.


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan... plak... plak... plak...! Berkali-kali pipi Prabalaya tertampar oleh
tangan Rangga. Untungnya Rangga tidak bermaksud mencelakakan lawannya, sehingga
tamparan-tamparannya hanya meninggalkan rasa pe-
dih dan panas di pipi Prabalaya. Seandainya Rangga berjiwa kejam, dengan mudah
ia dapat menyertakan
tenaga batin dalam setiap tamparannya... yang mungkin akan membuat kepala
Prabalaya pecah beranta-
kan! Tapi Prabalaya memang tidak tahu diri. Ia tidak sabar bahwa setiap tamparan
Rangga tadi merupakan
peringatan, agar ia cepat-cepat mengundurkan diri secara terhormat. Ia bahkan
menganggap Rangga sengaja mempermainkannya. Dan hal itu membuat amarahnya
berkobar-kobar!
"Keparat!" bentak Prabalaya sambil melompat mun-
dur. "Kau memaksaku untuk mengadu jiwa rupanya!"
Prabalaya mengepalkan kedua telapak tangannya,
lalu menyimpannya di depan perutnya, dengan gigi gemeletuk dan napas tertahan.
Cepat saja Rangga tahu
bahwa lawannya sedang mengumpulkan hawa racun
pada kedua telapak tangannya.
Ya, ketika Prabalaya membuka kembali kedua tela-
pak tangannya, tampaklah betapa merahnya kedua telapak tangan itu... karena hawa
racun telah terkumpul di situ... untuk mencelakakan lawannya!
Namun secara diam-diam Rangga mulai menyelimu-
ti tubuhnya dengan hawa pemunah racun, yang meru-
pakan bagian dari ilmu 'Bebenteng Rahayu' (ilmu yang mampu memunahkan racun
seganas apa pun).
Dan... tiba-tiba saja Prabalaya menyeruduk dengan kedua tangan diluruskan ke
depan. Pada saat itu Prabalaya berpikir, "Kalau kau berani menahan tanganku ini
dengan tanganmu... riwayatmu akan segera ber-akhir!"
Tapi Rangga justru meluruskan pula kedua tangan-
nya ke depan. Dan... plak...! Kedua telapak tangan Prabalaya bertemu dengan
kedua telapak tangan Rangga.
Lalu... telapak tangan mereka seperti melekat dengan kuatnya.
Mereka berdiri terpaku, sambil 'menempelkan' ta-
ngan satu sama lain. Sebenarnya mereka sedang terli-bat dalam adu tenaga dalam
yang disalurkan lewat tangannya masing-masing.
Pada saat itulah Prabalaya merasa heran, karena
hawa racun yang disalurkan lewat kedua tangannya
seperti tidak berpengaruh sedikit pun terhadap lawannya.
"Edan," pikir Prabalaya. "Aku telah mengerahkan
hawa racun dan tenaga dalamku, tapi dia tampak
enak-enak saja! Apakah ilmunya sudah sedemikian
tingginya, sehingga dia tidak terpengaruh sedikit pun?"
Prabalaya menambah tekanan hawa racunnya, su-
paya bisa merasuki pori-pori tangan Rangga. Tekanan
itu membuat wajah Prabalaya sendiri merah padam
dan mulai meneteskan butir-butir keringat.
Tapi apa yang terjadi"
Dari antara sela-sela tangan Prabalaya dan tangan Rangga, mengepullah uap
berwarna merah jambu. Ini adalah suatu pertanda bahwa hawa racun Prabalaya
yang seharusnya berwarna merah, telah 'dinetralisir'
oleh hawa pemunah racun Rangga yang berwarna pu-
tih. Warna merah, kalau 'bergelut' dengan warna putih, hasilnya akan menjadi
warna merah jambu.
Sementara itu, kaki Prabalaya mulai melesak ke dalam tanah, sedikit demi
sedikit. Sedangkan kaki Rangga belum masuk ke dalam tanah, masih berdiri dalam
posisi yang normal.
Itu saja seharusnya dijadikan bukti, bahwa tenaga dalam Prabalaya masih belum
bisa menandingi tenaga dalam Rangga. Tapi Prabalaya benar-benar tidak tahu diri.
Prabalaya masih melanjutkan adu tenaga dalam yang mulai tidak seimbang itu.
Akibatnya... pada suatu saat Prabalaya memekik...
tubuhnya terpental ke belakang... dan mulutnya me-muntahkan darah segar!
Prabalaya berusaha sekuat tenaga supaya tidak
pingsan. Sambil mengerahkan sisa-sisa tenaganya, ia memegangi dadanya sendiri.
Melirik pada Aria Lumayung yang tetap duduk di atas batu besar, seperti yang
tidak mengerti apa yang telah terjadi. Kemudian melirik kepada Rangga yang masih
berdiri tegak pada tempatnya semula. Kemudian melirik ke arah Lodrawaja dan
anak-anak buahnya.
"Lain kali kita berjumpa lagi, Rangga!" seru Prabalaya dengan suara serak.
Lalu... ia berlari ke arah selatan, dan lenyap di kelebatan hutan belantara.
Lodrawaja dan anak buahnya segera menyadari apa
yang telah terjadi. Bahwa Prabalaya yang sangat terkenal dan ditakuti di dunia
hitam, telah dikalahkan oleh pemuda bernama Rangga itu. Lalu... perampok-
perampok ganas itu mendadak seperti anak ayam ke-
hilangan induknya... lari berserabutan ke arah timur dan lenyap di kegelapan
hutan. Tinggallah Rangga dan Aria Lumayung di bekas
tempat pertarungan itu.
*** "Kau sangat baik hati. Terima kasih atas pertolong-
anmu," kata Aria Lumayung sambil membungkukkan
badannya dengan sikap hormat.
Rangga belum tahu bahwa pemuda yang sebaya
dengannya itu seorang putra raja. Tapi Rangga me-
mang terkesan oleh kesahajaan sikap Aria Lumayung.
Hal itu pula yang menyebabkannya turun tangan un-
tuk menolong Aria Lumayung tadi.
"Sesama manusia, selayaknyalah tolong-menolong,"
sahut Rangga ramah. "Tapi, hutan ini terlalu berbahaya bagimu. Kenapa kau berani
berjalan sendirian di tempat hutan ini?"
"Aku sengaja mengambil jalan pintas, supaya cepat sampai ke pantai utara."
"Pantai utara"!" Rangga terbelalak. "Begitu jauh jarak yang harus kau tempuh...
mungkin bisa sepuluh hari kau baru tiba di sana, karena hutan yang harus kau
tembus ini makin ke utara makin lebat!"
"Apa boleh buat," ujar Aria Lumayung sambil ter-
senyum. "Kalau aku memakai jalan biasa yang memu-
tar-mutar itu, pasti harus memakan tempo lebih lama lagi."
Rangga memperhatikan wajah Aria Lumayung se-
saat. Lalu tanyanya, "Bolehkah aku tahu, siapa namamu?"
"Lumayung," sahut yang ditanya, tanpa menyebut
gelar 'Aria'. "Lumayung?" tukas Rangga. "Rasa-rasanya aku
pernah mendengar nama itu. Tapi... di mana ya?"
"Mungkin saja ada orang lain yang namanya sama
dengan namaku."
"Ya, mungkin. Mungkin saja. Tapi... tadi Prabalaya berbicara soal persekutuan
rahasia untuk menumbangkan putra mahkota segala macam. Apakah kau
seorang anggota perkumpulan rahasia yang bermak-
sud menumbangkan kekuasaan raja?"
Kali ini pandangan Rangga penuh selidik. Dan Aria Lumayung menggelengkan kepala
sambil tersenyum.
"Tuduhan itu sangat tidak beralasan. Aku tidak pernah tertarik pada soal-soal
pemerintahan. Bagaimana
mungkin orang seperti aku ini bisa menjadi anggota perkumpulan rahasia segala"!"
Rangga percaya bahwa apa yang dikatakan oleh
Aria Lumayung itu adalah jawaban yang jujur. "Ta-
pi...," kata Rangga, "ada satu hal yang kuherankan, mengenai Prabalaya itu.
Kalau menilai dari ucapannya tadi, dia seperti yang sudah menjadi orang
kerajaan."
"Memang benar," sahut Aria Lumayung, "Prabalaya
akan segera diangkat menjadi Adipati Kawahsuling, sedangkan kakaknya akan
diangkat menjadi senapati Tegalinten."
Tanpa disadari, Aria Lumayung membuka 'kedok-
nya' sendiri, dengan mengungkapkan hal yang belum diketahui oleh rakyat banyak.
"Prabalaya akan diangkat menjadi Adipati Kawah-
suling"!" Rangga terperanjat, lalu memandang Aria Lumayung dengan pandangan
bercuriga lagi. "Dan
kau... siapa sebenarnya kau ini?"
"Sudah kukatakan tadi, namaku Lumayung."
"Maksudku... kenapa kau bisa tahu semuanya itu?"
Aria Lumayung terkejut dan segera sadar bahwa ta-
di ia telah kelepasan bicara, sehingga akhirnya terpak-salah ia mengakui siapa
dirinya yang sebenarnya.
"Tentu saja aku tahu semuanya itu, karena yang akan mengangkat Prabalaya dan
kakaknya, adalah adikku
sendiri." "Adikmu"! Siapa adikmu itu?"
"Aria Pamungkas."
Rangga terperanjat dan segera menjatuhkan diri,
berlutut di depan Aria Lumayung. "Duh, Gusti Aria!
Ampunkanlah hamba... karena hamba tidak mengenal
Gusti Aria... Ya... sekarang hamba ingat bahwa Gusti Aria terlahir dari Gusti
Selir Sawitri, bukan"!"
Aria Lumayung memegang bahu Rangga, dan berka-
ta lembut, "Bangunlah, Rangga. Aku justru tidak ingin penyamaranku ini diketahui
orang banyak. Barusan
aku menceritakan rahasiaku, karena percaya bahwa
kau seorang yang baik."
"Kalau boleh hamba tahu, kenapa Gusti Aria me-
ninggalkan istana dan bepergian tanpa seorang pengawal pun di dalam hutan yang
penuh bahaya ini?"
"Kuminta kau tidak lagi menyebutku Gusti Aria,"
sahut Aria Lumayung. "Sebutan itu hanya akan mem-
persulit langkahku. Panggillah aku dengan sebutan Raka atau Kakang saja, supaya
tidak banyak yang ta-hu siapa aku sebenarnya. Demikian pula, aku tidak ingin kau
membahasakan dirimu dengan sebutan
hamba. Anggap saja aku sebagai sahabatmu yang
usianya lebih tua darimu."
"Ta... pi... hamba tidak berani memanggil Gusti Aria dengan..."
"Rangga!" sergah Aria Lumayung agak tajam. "Kalau kau masih memakai bahasa
hamba-hambaan dan gusti-gustian, lebih baik kau pergi sajalah dan tinggalkan aku
sendiri." "Bab... baiklah hamba... eh... aku akan memanggil Ra... Raka pada Gusti eh,
padamu..."
Tergerai lagi senyum lembut Aria Lumayung. Lalu
katanya, "Aku senang dengan penghormatanmu terha-
dap keluarga raja. Tapi dalam keadaan seperti ini, penghormatanmu justru akan
menyulitkanku, Rangga."
"Nah," lanjut Aria Lumayung, "tadi kau bertanya
kenapa aku meninggalkan istana dan bepergian tanpa seorang pengawal pun di dalam
hutan yang penuh bahaya ini, bukan?"
"Betul, Gus... eh... Kakang."
Aria Lumayung berdiri, meninggalkan batu besar itu beberapa langkah, sambil
berkata, "Aku hanya ingin menambah pengetahuan dan pengalaman di negeri
orang." Rangga masih ingin bertanya, apa sebabnya sang
Pangeran akan menuju pantai utara" Tapi Rangga tidak berani menanyakannya.
"Dan kau sendiri, mau ke mana?" tanya Aria Lu-
mayung. "Hamba, eh, aku hanya seorang pengembara yang
tidak punya tujuan pasti, Gus... Kakang."
Dan tiba-tiba saja Rangga teringat kembali pada pesan gurunya. Ya. Rangga masih
ingat benar, bahwa di dekat Sungai Cigelung itu, ia menceritakan apa yang telah
dialaminya, terutama tentang hasil pengintaian-nya di ruangan rahasia yang
terletak di bawah tanah dalam istana Adipati Natajaya itu. Dan setelah mendengar
cerita Rangga, Kudawulung berkata, "Kalau be-
gitu, tampaknya kerajaan berada di dalam bahaya.
Memang gawat kalau Prabaseta dan anak-anaknya su-
dah turut campur dalam urusan pemerintahan. Bisa
habis rakyat Tegalinten dibantainya."
Rangga juga masih ingat benar, saat itu ia bertanya pada gurunya, "Lalu apa yang
harus kulakukan?"
Dan Kudawulung menjawab, "Aku tetap tidak terta-
rik untuk ikut campur dalam urusan kerajaan. Tapi, demi keselamatan rakyat
banyak, mungkin tak ada salahnya kalau kau melihatnya dari dekat."
"Jadi, Rama Guru mengizinkanku pergi ke kotara-
ja?" "Boleh. Tapi syarat lama tetap berlaku bagi dirimu.
Kau tidak boleh menyebut-nyebut namaku di mana
pun kau berada nanti. Dan tentang murid baruku ini, biarlah akan kubawa ke
puncak Limagagak,"
Kemudian Rangga berpisah dengan Kudawulung
dan Nilamsari. "Dari mana kau berasal?" tanya Aria Lumayung,
membuyarkan terawangan Rangga.
"Dari Tilugalur," sahut Rangga. "Tapi sudah lama...
aku tidak pulang ke kampungku."
"Sudah punya istri?"
"Dulu pernah. Tapi. A mm... istriku sudah mati tiga tahun yang lalu."
Aria Lumayung mengerutkan dahinya. Lalu, "Kau
seorang pemuda berilmu tinggi. Siapa gurumu, Rang-ga?"
"Maafkan aku... aku tidak bisa menyebutkan siapa
guruku." "Kenapa begitu?"
"Guruku melarangku."
Aria Lumayung tersenyum. "Mungkin gurumu tidak
ingin namanya dikenal orang banyak."
"Mung... mungkin."
"Baiklah. Sekarang kita berpisah dulu. Mudah-mu-
dahan kita bisa berjumpa lagi di kemudian hari."
"Ja... jadi Kakang akan melanjutkan perjalanan
sendirian?"
"Ya. Kenapa rupanya?"
"Ti... tidak. Tapi... seandainya Kakang membutuh-
kan bantuanku, aku bersedia menemani Kakang sam-
pai di pantai utara."
"Hm... terima kasih atas tawaran baikmu. Tapi se-
jak meninggalkan istana, aku telah membulatkan te-kad untuk melakukan perjalanan
seorang diri saja,"
sahut Aria Lumayung. "Walaupun begitu, kebaikanmu tidak akan kulupakan. Mudah-
mudahan saja Yang
Maha Agung masih mempertemukan kita di kemudian
hari. Selamat berpisah, Rangga."
Aria Lumayung menepuk bahu Rangga, kemudian
melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Dan Rangga berdiri terpaku, dengan
perasaan berat dan khawatir.
Entahlah, begitu berjumpa dengan Aria Lumayung
tadi, timbullah perasaan hormat dan bersahabat di ha-ti Rangga. Memang jauh
sebelumnya Rangga juga sering mendengar cerita-cerita orang tentang raja dan
putra-putrinya. Rangga juga sering mendengar cerita tentang Pangeran Aria
Lumayung, yang kata orang jauh lebih baik daripada Pangeran Aria Pamungkas.
"Sekarang aku telah membuktikannya," pikir Rang-
ga. "Dia memang seorang pangeran yang baik, lembut, lugu dan tidak gila hormat.
Aku benar-benar kagum padanya."
"Tapi," pikir Rangga lagi, "sekarang dia akan melanjutkan perjalanan seorang
diri dalam hutan yang penuh bahaya ini. Sedangkan dia tidak memiliki ilmu
kedigjayan... ya... aku lihat itu, dia tidak memiliki ilmu
kedigjayan... tapi sekarang akan menempuh perjalanan yang begitu jauh, begitu
penuh bahaya... ah... aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatannya.


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang, tampaknya dia tidak ingin ditemani oleh siapa pun."
*** Sementara itu, sekalipun bagian dalam dadanya
masih terluka, Prabalaya masih bisa mempergunakan ilmu larinya, untuk tiba di
istana Tegalinten dalam tempo sesingkat mungkin.
Ketika ia tiba kembali di istana, wajahnya tampak muram. Dan Aria Pamungkas
membawanya ke dalam
ruangan tertutup, lantas menanyainya, "Bagaimana"
Sudah kau selesaikan tugasmu?"
Lesu Prabalaya menjawab, "Dugaan Gusti Aria tidak meleset. Tampaknya dia sedang
merencanakan sesuatu yang berbahaya."
"Ceritakanlah yang jelas, apa yang telah terjadi?"
"Dia mempunyai seorang pendukung yang setia,
Gusti Aria."
"Mempunyai seorang pendukung"!"
"Betul, Gusti. Pendukungnya itu tangguh sekali."
"Dan kau dikalahkan olehnya?"
"Tidak," sahut Prabalaya, takut kehilangan pamor-
nya di depan Aria Pamungkas. "Hamba sudah berta-
rung mati-matian dengan pendukungnya itu."
"Lalu?"
"Di... dia melarikan diri ke dalam hutan, Gusti," sahut Prabalaya berdusta.
"Dan... dan hamba tidak berhasil mengejarnya, karena dia menghilang di antara
gelap dan lebatnya hutan."
Aria Pamungkas mengepalkan tangannya erat-erat,
dengan gigi gemeletuk dan wajah merah padam. "Siapa
pendukungnya itu"!" gertaknya.
"Entahlah, hamba hanya sempat mengetahui na-
manya... Rangga..."
"Rangga"! Rangga itu suatu gelar atau kedudukan
dalam pemerintahan. Lantas siapa namanya?"
"Dia hanya mengaku bernama Rangga. Dan hamba
rasa bukan gelar ataupun kedudukan seperti yang dis-ebutkan oleh Gusti."
"Jadi... nama orang itu Rangga. Begitu?"
"Benar, Gusti. Orangnya masih muda, kira-kira se-
baya dengan Gusti Aria Lumayung. Tapi ilmunya, wah, terus-terang saja... hamba
baru sekali tadi berjumpa dengan pendekar setangguh itu. Kalau hamba sempat
berjumpa lagi dengannya... hamba tidak akan mem-biarkannya lolos lagi."
Sepenuhnya Aria Pamungkas percaya pada apa
yang dikatakan oleh Prabalaya itu. Sepenuhnya Aria Pamungkas percaya bahwa
seseorang yang bernama
Rangga telah menjadi pendukung Aria Lumayung, un-
tuk maksud-maksud yang belum diketahui. Sepenuh-
nya Aria Pamungkas percaya bahwa pemuda bernama
Rangga itu berilmu tinggi, tapi masih dapat dikalahkan oleh Prabalaya.
Ya, bagaimanapun juga Aria Pamungkas masih per-
caya kepada Prabalaya. Masih memiliki semacam keya-kinan, bahwa ia segera akan
menjadi seorang raja besar, berkat dukungan Prabalaya dan Prabayani.
"Apakah kau punya dugaan tentang apa yang akan
mereka lakukan?" tanya Aria Pamungkas.
Prabalaya yang ingin memancing di air keruh, men-
jawab, "Hamba memang punya dugaan kuat bahwa
mereka tengah mempersiapkan sesuatu, untuk...
mungkin saja untuk merebut kedudukan putra mah-
kota, Gusti Aria."
"Hmm... sikap Aria Lumayung yang berlagak tidak
peduli dengan pemerintahan, seharusnya sejak lama kucurigai," Aria Pamungkas
seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.
Dan Prabalaya menanggapinya, "Gusti Aria tak
usah cemas. Hamba dan kakak hamba akan selalu
siap untuk mempertaruhkan jiwa-raga, demi terca-
painya segala cita-cita besar Gusti Aria."
Aria Pamungkas terdiam. Dan Prabalaya mengira
bahwa sang Putra Mahkota mulai meragukan kemam-
puannya. Maka dengan nada yang 'meyakinkan', Pra-
balaya berkata, "Setangguh-tangguhnya musuh Gusti Aria, kalau hamba sudah
meminta bantuan pada ayah hamba, hmm... tidak akan ada suatu kekuatan pun
yang mampu mengalahkan kami, Gusti Aria."
Aria Pamungkas seperti diingatkan pada sesuatu
yang selama ini belum diketahuinya. Maka tanyanya,
"Ayahmu masih hidup?"
"Masih, Gusti Aria."
"Apakah dia juga berilmu kedigjayan seperti kau?"
Prabalaya menjawab, "Dalam zaman ini, hamba ra-
sa sulit sekali mencari orang yang mampu menandingi ayah hamba."
"Dan kau mendapatkan ilmu kedigjayan itu dari
ayahmu?" "Benar, Gusti Aria."
Tanpa menanyakan siapa nama dan gelar ayah Pra-
balaya (yang sudah sangat terkenal di dunia hitam itu), Aria Pamungkas langsung
saja merasa lega. Pikirnya,
"Dengan banyaknya orang-orang sakti yang memban-
tuku, aku akan berhasil mewujudkan cita-cita besar-ku!"
Cita-cita besar lagi! Apa sebenarnya cita-cita yang terpendam di dalam hati Aria
Pamungkas" Bukankah
singgasana raja sudah mulai didudukinya walaupun ia belum diresmikan menjadi
Raja Tegalinten" Cita-cita besar itu masih dirahasiakan oleh Aria Pamungkas.
Yang pasti, Aria Pamungkas lalu berkata kepada
Prabalaya, "Dalam upacara pengangkatan kau dan kakakmu nanti, aku ingin berjumpa
dengan ayahmu."
"Baik, Gusti Aria. Dengan senang hati hamba akan
mengundang ayah hamba supaya datang pada waktu-
nya nanti."
*** Setelah pertemuan rahasia itu selesai, Prabalaya
menemui kakaknya di purinya. Dengan bisik-bisik,
Prabalaya menceritakan apa sebenarnya yang telah
terjadi di dalam hutan tadi.
Prabayani mendengarkan pengakuan adiknya de-
ngan sungguh-sungguh. Lalu, "Siapa nama pemuda
itu?" "Rangga."
"Rangga... rasa-rasanya baru sekali ini aku mendengar nama itu. Siapa gurunya?"
"Itulah anehnya... dia tidak mau menyebutkan na-
ma gurunya."
"Hmm... memang aneh. Tapi... pada masa sekarang,
mungkin tinggal dua atau tiga orang yang masih memiliki ajian Halimunan seperti
itu." "Siapa ketiga orang sakti itu?"
"Yang pernah kudengar dari ayah kita, di wilayah
Tegalinten ini hanya ada tiga orang sakti yang bisa menghilang berkat ajian
Halimunan. Pertama, Citralaga... guru ayah kita sendiri. Kedua Kidangkancana.
Ketiga, Kudawulung."
Prabalaya seperti menghapalkan ketiga nama besar
itu: Citralaga, Kidangkancana dan Kudawulung.
Lalu kata Prabayani lagi, "Menurut cerita yang pernah kudengar dari ayah kita,
Kidangkancana telah meninggalkan negeri ini sejak limabelas tahun yang lalu.
Entah di mana dia berada sekarang. Bahkan mungkin juga dia sudah mati, karena
waktu meninggalkan negeri ini pun, usianya sudah tua sekali."
"Mengenai guru ayah kita bagaimana?" tanya Praba-
laya. "Beliau pasti tidak punya murid lagi. Ayah kita adalah satu-satunya murid
beliau." Prabalaya mengangguk-angguk. Memang ia pernah
mendengar cerita dari ibunya, bahwa Citralaga sangat kecewa setelah mengetahui
bahwa murid satu-satunya (Prabaseta) terjun ke dunia hitam. Karena itu,
Citralaga tidak mau menurunkan seluruh ilmunya kepada
Prabaseta. Citralaga bahkan bersumpah untuk tidak mengangkat murid lagi, karena
takut muridnya terse-sat seperti Prabaseta.
"Lalu bagaimana dengan Kudawulung?" tanya Pra-
balaya. "Mungkin... sangat mungkin pemuda yang kau ceri-
takan itu murid Kudawulung," sahut Prabayani sambil memandang ke arah taman yang
tampak dari jendela
purinya. "Tapi, bukankah Kudawulung sudah cuci tangan
dari segala urusan duniawi?"
"Dia memang telah lama mengundurkan diri dari
dunia kedigjayan kelas tinggi," sahut Prabayani. "Tapi itu tidak berarti bahwa
dia sama sekali tidak berhasrat untuk mengangkat murid, bukan?"
Prabalaya tercenung. Lama. Lalu tanyanya, "Apa
yang harus kita lakukan seandainya pemuda bernama Rangga itu benar-benar murid
Kudawulung dan berdiri di pihak yang bertentangan dengan kita?"
Prabayani balik bertanya, "Apakah kau benar-benar tak dapat mengatasinya tadi?"
"Dia benar-benar hebat," sahut Prabalaya. "Kalau
dia bermaksud mencelakakanku, mungkin aku sudah
tewas tadi."
"Tenanglah," hibur Prabayani. "Kalau kita sudah sangat terdesak, kita bisa
meminta bantuan guru ayah kita."
"Tapi... bukankah dia sudah memutuskan hubung-
annya dengan ayah kita?"
"Ya. Tapi dengan kedudukan yang akan diberikan
kepada kita nanti, kurasa tidak terlalu sulit bagi kita untuk membujuknya.
Hihihihi... bukankah kita tidak berdiri di pihak golongan hitam lagi?"
Prabalaya mengangguk dengan senyum. "Ya, seben-
tar lagi kita akan diresmikan sebagai pejabat-pejabat tinggi di negeri ini."
Prabayani ikut tersenyum. Ikut membayangkan ke-
dudukan penting yang akan dipegangnya. Ikut mem-
bayangkan betapa berkuasanya ia nanti.
"Gusti Aria ingin agar ayah kita hadir dalam upaca-ra pelantikan kita nanti,"
kata Prabalaya lagi.
"Wah... ini agak gawat!" Prabayani tidak begitu menyambut. "Kalau ada salah
seorang tokoh yang men-
genal siapa ayah kita... bisa jadi ribut juga nanti."
"Kita hadapi semuanya. Apa yang akan terjadi, ter-jadilah."
"Tapi, apa maksud Gusti Aria sehingga beliau me-
minta agar ayah kita dihadirkan dalam upacara itu?"
"Tampaknya beliau ingin didukung oleh orang-
orang kuat sebanyak-banyaknya. Beliau bahkan ingin agar kawan-kawan ayah kita
diundang semua."
"Apakah Gusti Aria sudah tahu siapa ayah kita?"
"Belum," Prabalaya menggeleng. "Tapi kurasa seka-
lipun beliau sudah mengetahuinya, mmm... beliau
memang sedang membutuhkan dukungan sebanyak
mungkin, tanpa peduli dari pihak mana datangnya dukungan itu. Pokoknya asal bisa
memperkokoh kekua-
saannya." Prabalaya melanjutkan ucapannya dengan berbisik-
bisik perlahan sekali. "Dia juga jahat, seperti kita. Bahkan mungkin lebih jahat
lagi. Buktinya... kakaknya sendiri mau dibunuh."
Prabayani mengangguk dengan senyum.
Dan ketika malam tiba, Prabayani meninggalkan is-
tana secara diam-diam, untuk menjumpai ayahnya.
*** OTARAJA tampak lain sekali dari biasanya. Istana
Kraj a telah dihias secantik-cantiknya. Panji-panji Kerajaan Tegalinten berderet
di sepanjang jalan utama menuju istana raja.
Yang cukup menarik perhatian, adalah bahwa di
tengah alun-alun di depan istana, telah dibangun sebuah panggung yang cukup
luas. Menurut pengumu-
man yang telah disebarkan, panggung itu akan dipakai untuk menguji calon-calon
'sahabat baru', karena Kerajaan Tegalinten akan mengumpulkan 'orang-orang
kuat' sebanyak-banyaknya.
Panggung itu sudah dijaga oleh para prajurit kerajaan. Dan rakyat yang akan
menonton, tidak diperbo-lehkan berdiri terlalu dekat dengan panggung istimewa
itu. Para pembesar Tegalinten, baik yang di pusat maupun yang di daerah, sudah
berdatangan ke alun-alun.
Mereka ditempatkan di deretan kursi yang berada di
depan panggung. Sementara rakyat Tegalinten sudah berjejalan di sebelah utara
dan selatan, agak jauh dari
'panggung ujian' itu.
Alun-alun yang sangat luas itu terletak di antara candi dan istana raja. Candi
pemujaan itu terletak di sebelah barat, sementara istana raja berada di sebelah
timur dan menghadap ke barat.
Upacara belum juga dimulai. Padahal para pembe-
sar Tegalinten sudah datang semua. Banyak di antara mereka memperhatikan deretan
kursi di sebelah utara, yang masih kosong. Banyak pula di antara mereka
yang bertanya-tanya di dalam hati, "Untuk siapa kursi-kursi itu" Bukankah para
pembesar Tegalinten sudah datang semua?"
Pertanyaan itu baru terjawab beberapa saat menje-
lang pembukaan upacara. Serombongan 'orang-orang
tak dikenal' datang dan dipersilakan duduk di kursi-kursi yang masih kosong itu.
Para pembesar Tegalinten memandang ke arah uta-
ra dengan perasaan heran. Mereka sama-sekali tidak mengenal orang-orang yang
baru datang tersebut. Lalu siapa mereka itu"
Yang membuat para pembesar Tegalinten sangat he-
ran, adalah tampang orang-orang yang baru datang
itu... pada umumnya aneh-aneh dan menyeramkan!
Sikap mereka pun macam-macam. Sama sekali tidak
menunjukkan sikap para bangsawan. Ada yang terta-
wa keras-keras, ada yang bersiul-siul, ada yang membuang dahak seenaknya, ada
yang mengorek-ngorek
hidung dan kuping di depan umum, ada yang men-
gangkat kaki tinggi-tinggi, ada yang duduk sambil menggoyang-goyang lutut (yang
menurut tradisi se-tempat merupakan kebiasaan 'tulang miskin'), ada ber-tolak
pinggang sambil cengar-cengir... pokoknya sikap
mereka sangat urakan. Tapi mereka ditempatkan di deretan kursi yang sejajar
dengan para pembesar Tegalinten. Tentu saja hal itu membuat para pembesar
Tegalinten jengkel, sekalipun kejengkelan mereka dipen-dam saja dalam hatinya
masing-masing. Para pembesar Tegalinten tidak tahu bahwa orang-
orang 'urakan, menyebalkan dan menyeramkan' itu,
adalah orang-orang yang sengaja diundang oleh Prabaseta, untuk memenuhi
permintaan anak-anaknya
(Prabalaya dan Prabayani) yang menghendaki agar tokoh-tokoh berilmu tinggi
dihadirkan di alun-alun Tegalinten hari itu. Sebagai dedengkot golongan hitam,
tentu saja Prabaseta hanya mengundang orang-orang
yang sealiran dengannya.
Maka tanpa disadari oleh Aria Pamungkas sendiri,
pada hari itu tokoh-tokoh golongan hitam telah hadir secara resmi di kotaraja!
Tentu saja mereka membawa anak buahnya masing-masing, yang kini telah ber-campur
baur dengan rakyat Tegalinten di sekitar alun-alun!
Gamelan pusaka mulai ditabuh, merdu mengalun,
mengiringi kedatangan sang Putra Mahkota di pang-
gung kehormatan, yang letaknya berhadapan dengan
'panggung ujian' itu. Hadirin serempak berdiri, untuk memberikan penghormatan.
Bahkan beberapa penjilat memekikkan "Hidup Putra Mahkota!" yang disambut
dengan pekikan penjilat-penjilat lainnya.
Dengan sikap angkuh, Aria Pamungkas mengangkat
tangan kanannya, sambil memperhatikan siapa saja


Mustika Lidah Naga 3 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyambutnya tadi. Biasanya, beberapa hari
kemudian, ada hadiah khusus untuk orang yang me-
mekikkan "Hidup Putra Mahkota" tadi.
Setelah tiba saatnya bagi Aria Pamungkas untuk
menyampaikan amanatnya, suasana di alun-alun yang
dipadati manusia itu mendadak hening. Tidak ada seorang pun yang berani
mengeluarkan suara.
Kemudian terdengar suara Aria Pamungkas, lan-
tang, dari panggung kehormatan, "Para pembesar dan rakyat Tegalinten! Seperti
yang telah diumumkan terlebih dahulu, hari ini kerajaan akan meresmikan beberapa
peristiwa penting, yang patut diketahui oleh kalian semua!"
Aria Pamungkas menyapukan pandangan ke sekeli-
ling panggung kehormatan, kemudian berkata lagi,
"Pertama, kerajaan telah memutuskan untuk men-
gangkat seorang senapati baru, sebagai pengganti Senapati Jugala yang telah
gugur dalam menjalankan tugasnya. Senapati baru itu telah mendapat gelar
kebangsawanan dari kerajaan, gelar yang sesuai dengan kedudukannya. Selain
daripada itu, kerajaan pun telah memutuskan untuk mengangkat seorang adipati
baru yang akan memimpin daerah Kawahsuling, sebagai
pengganti Adipati Natajaya yang juga telah gugur dalam masa jabatannya. Calon
adipati baru itu pun ber-hak atas gelar kebangsawanan yang sesuai dengan
kedudukannya. Perlu kalian ketahui, bahwa kerajaan
mengambil langkah baru dalam rangka memperteguh
kekuatan pemerintahan, baik di kotaraja maupun di daerah. Langkah baru ini belum
pernah diambil oleh para pendahulu kita. Terutama kedudukan senapati
yang dahulu selalu diberikan kepada laki-laki, maka kali ini kami justru akan
mengangkat seorang wanita!"
Hadirin agak gempar, karena hampir tidak percaya
bahwa sang Putra Mahkota akan mengangkat seorang
wanita untuk menduduki jabatan senapati.
"Tenang! Tenang!" Aria Pamungkas mengangkat ta-
ngannya tinggi-tinggi, sehingga hadirin pun menjadi tenang kembali. Kemudian
Aria Pamungkas melan-
jutkan, "Tanpa kemampuan yang luar biasa, tidak
mungkin kami akan mengangkat seorang wanita untuk menduduki jabatan senapati.
Wanita yang akan kami angkat itu benar-benar luar biasa. Kemampuannya
jauh melebihi kemampuan Senapati Jugala. Untuk
membuktikan ucapanku, kalian bisa menyaksikannya
sendiri nanti! Selanjutnya, kedudukan adipati yang akan memimpin daerah
Kawahsuling, juga akan kami
berikan kepada seorang pemuda yang masih penuh
dengan semangat. Kemampuannya dijamin jauh mele-
bihi kemampuan mendiang Adipati Natajaya."
Aria Pamungkas menghentikan amanatnya sesaat.
Memperhatikan reaksi para pembesar Tegalinten, untuk menebak-nebak apakah mereka
akan menentang atau tidak. Kemudian, "Setelah pengangkatan senapati dan
adipati baru itu nanti, kami akan menyelenggarakan sesuatu yang belum pernah
terjadi pada masa lalu.
Yakni, kami akan mempersilakan siapa saja yang merasa dirinya mampu, untuk naik
ke atas panggung besar itu, supaya bisa memperlihatkan kemampuannya
kepada kita semua. Kerajaan pada saat ini memang
sangat membutuhkan orang-orang tangguh, untuk di-
angkat sebagai anggota barisan khusus. Barisan khusus ini akan kami bentuk dalam
tempo sesingkat
mungkin. Dan anggota-anggotanya, adalah orang-
orang yang lulus dalam panggung ujian itu nanti!"
Kemudian Aria Pamungkas menguraikan panjang
lebar, tentang rencananya dalam rangka meningkatkan kejayaan Kerajaan
Tegalinten. Akhirnya tibalah saatnya bagi Aria Pamungkas, un-
tuk meresmikan pengangkatan Prabayani sebagai se-
napati kerajaan, sekaligus untuk memperkenalkan senapati baru itu kepada para
pembesar dan rakyat Te-
galinten. Ketika Prabayani melangkah ke arah panggung ke-
hormatan, dengan lenggang-lenggoknya yang aduhai, para pembesar dan rakyat
Tegalinten tercengang...
hampir tak percaya pada pendengaran dan pengliha-
tannya masing-masing!
Benarkah wanita muda yang sikapnya begitu me-
rangsang akan diangkat sebagai Senapati Kerajaan Tegalinten" Apakah sang Putra
Mahkota sudah sinting, sehingga wanita seperti itu diangkat sebagai senapati"
Apakah Kerajaan Tegalinten sudah kehabisan lelaki perkasa, sehingga kedudukan
yang seharusnya dipegang oleh ahli perang itu justru diberikan kepada wanita
yang begitu genit" Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Tegalinten kalau
balatentaranya sudah di-pimpin oleh seorang wanita seperti itu"
Demikianlah antara lain pikiran para pembesar dan rakyat Tegalinten yang hadir
di alun-alun itu. Namun, tiada seorang pun yang berani buka suara.
Sementara itu, Prabayani telah berada di atas panggung kehormatan. Berlutut di
depan Aria Pamungkas.
Dan sang Putra Mahkota meletakkan tangan kanannya di bahu Prabayani, sambil
berkata, "Atas nama Rama Prabu, aku mengangkatmu sebagai Senapati Kerajaan
Tegalinten!"
Guooooooong... Guooooong... gooooooong...!
Gong pusaka kerajaan ditabuh tiga kali, pertanda
sudah resminya Prabayani diangkat sebagai Senapati Kerajaan Tegalinten.
Dan tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai dari arah utara, dari kelompok aliran
hitam itu. "Hidup Senapati Prabayani!"
"Hiduuuuuup!"
"Hidup Senapati Prabayani!"
"Hiduuuuup!"
"Hidup Senapati Prabayani!"
"Hiduuuup...!"
Mau tidak mau, para pembesar dan rakyat Tegalin-
ten pun mengikuti sorak sorai itu, dengan sama-sama meneriakkan 'hidup',
walaupun banyak di antara para pembesar yang kurang rela meneriakkannya.
Kemudian Senapati Prabayani turun dari panggung
kehormatan, menuju kursi khusus yang telah disediakan untuknya di depan panggung
ujian. Aria Pamungkas melanjutkan acara itu, dengan me-
resmikan Prabalaya sebagai Adipati Kawahsuling. Pe-laksanaannya hampir sama
dengan peresmian Senapa-
ti Prabayani tadi.
Dan setelah gong pusaka ditabuh tiga kali lagi, sebagai pertanda bahwa Prabalaya
sudah resmi diangkat sebagai Adipati Kawahsuling, lagi-lagi kelompok yang duduk
di sebelah utara itu bersorak-sorai.
"Hidup Adipati Prabalaya!"
"Hiduuuuup...!"
"Hidup Adipati Prabalaya!"
"Hiduuuup....!"
"Hidup Adipati Prabalaya!"
"Hiduuuuup...!"
Kemudian Adipati Prabalaya turun dari panggung
kehormatan, menuju kursi yang kosong di antara deretan para adipati.
Suasana menjadi hening kembali.
Aria Pamungkas telah duduk lagi di kursi kebesar-
annya, di atas panggung kehormatan. Kemudian ia
memberi isyarat kepada Senapati Prabayani, yang
langsung ditanggapi oleh senapati baru itu... dengan lompatan yang sangat indah
ke arah panggung ujian!
Hadirin tercengang lagi. Kali ini mereka kagum. Ka-
gum sekali. Karena baru sekali itu melihat seorang manusia bisa melompat
demikian jauh dan indahnya...
terlebih lagi lompatan itu dilakukan oleh seorang wanita!
Di atas panggung ujian itu, Senapati Prabayani berteriak lantang, dengan suara
yang terdengar jelas ke seluruh alun-alun, karena suaranya disertai pengera-han
tenaga batin yang tinggi.
"Atas perkenan Gusti Putra Mahkota, dengan ini diumumkan, bahwa Kerajaan
Tegalinten akan memben-
tuk barisan khusus, untuk memperkuat balatentara
kerajaan yang selama ini dibiarkan dalam keadaan lemah. Karena itu, siapapun
yang bermaksud melamar
untuk menjadi anggota barisan khusus itu, dipersilakan naik ke atas panggung."
Aria Pamungkas berdiri dan berkata, "Benar! Sena-
pati Prabayani sendiri yang akan menguji calon anggota barisan khusus itu!"
Hadirin saling pandang. Suasana menjadi hening la-gi. Gamelan pusaka pun tidak
ditabuh lagi. Dan... tiba-tiba saja sesosok tubuh melesat ke arah panggung ujian. Begitu tiba
di atas panggung, orang itu berkata, "Aku naik ke atas panggung, bukan untuk
mendaftarkan diri sebagai calon anggota barisan khusus. Aku hanya ingin menguji,
apakah senapati baru ini mampu memegang jabatannya atau tidak."
Senapati Prabayani menyipitkan matanya, menatap
orang itu dengan tajam. Sangat jelas bahwa orang itu meragukan kemampuannya,
sekaligus menantangnya!
(Bersambung) Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Pendekar Sadis 13 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Wanita Gagah Perkasa 13
^