Pencarian

Mustika Lidah Naga 5 2

Mustika Lidah Naga 5 Bagian 2


Tubuh Rangga meluncur... meluncur terus dalam
kecepatan yang sangat tinggi... meluncur terus di dalam lubang yang seakan tak
ada ujungnya itu.
Pasti Rangga terkejut sekali jika ia tahu bahwa ja-
rak yang telah ditempuhnya di dalam lubang itu, jauh lebih panjang daripada
jarak yang telah ditempuhnya dalam pelayaran bersama Aria Lumayung beberapa
hari yang lalu!
Dan Rangga meluncur di dalam lubang itu selama
dua hari dua malam, dalam keadaan tak sadar.
Lalu terjadilah sesuatu yang juga tidak disadari oleh Rangga sendiri. Bahwa kali
ini tubuhnya seperti dido-rong ke atas, setelah melewati belokan lubang yang
menekuk kurang lebih sembilan puluh derajat.
Dan... tiba-tiba saja tubuh Rangga 'dimuntahkan'
ke daratan pantai yang diselimuti kabut... daerah pantai yang sangat sunyi dan
dingin. *** EHADIRAN Manusagara di istana Tegalinten, me-
Kru pakan angin segar bagi Senapati Prabayani. Ka-
rena hanya Senapati Prabayani sendiri yang sadar, betapa tangguhnya lawan-lawan
yang harus dihadapinya
kelak. Hal itu tergambar dalam pikiran sang Senapati.
"Orang-orang kuat mendadak bermunculan di Tegalin-
ten. Pemuda bernama Rangga itu, jelas tidak boleh dibawa main-main, sementara
aku belum tahu juga sia-
pa gurunya. Dan sekarang muncul pula perempuan
berpakaian laki-laki itu, yang katanya murid Kidangkancana. Jelas aku akan
menghadapi lawan-lawan be-
rat, karena dengan sendirinya, guru Rangga dan guru perempuan itu akan ikut
campur dan menjadi lawan-lawanku yang berat... terlalu berat!"
"Maka," pikir Senapati Prabayani lagi, "Kehadiran
Kakek Manusagara, merupakan hal yang menggembi-
rakan bagiku. Karena tampaknya manusia setengah si-
luman itu mampu menghadapi Kidangkancana sekali-
pun. Aku harus membujuknya dengan segala daya,
supaya ia bersedia tetap tinggal di istana ini, karena aku sangat
membutuhkannya. Menurut cerita yang
pernah kudengar dari ayahku, tidaklah sulit untuk
menjadi sahabat Kakek Manusagara. Manusia yang bi-
sa mengubah-ubah tubuhnya seperti karet itu, hanya
menggemari dua hal... panggang hati harimau... dan
gadis-gadis cantik! Kalau kedua hal itu bisa kusuguhkan secara berkala, pasti
dia akan kerasan tinggal di istana ini!"
Ketika hal itu disampaikan kepada Aria Pamungkas,
pada mulanya sang Putra Mahkota menolaknya. "Ba-
gaimana mungkin istanaku mau dijadikan sarang
makhluk yang punya kegemaran mengerikan begitu"!
Tidak. Kalau membutuhkan dukungan dari orang-
orang kuat, carilah orang-orang yang waras saja. Jangan meminta bantuan manusia
sinting dan menjijik-
kan begitu."
Tapi Senapati Prabayani berkata, "Gusti Aria belum
tahu siapa manusia setengah siluman itu, sehingga
begitu meremehkan usul hamba."
"Manusia setengah siluman"!" Aria Pamungkas ter-
perangah. "Benar, Gusti Aria," Senapati Prabayani mengang-
guk dengan senyum. "Manusagara dilahirkan dari wa-
nita siluman yang menguasai laut barat, sementara
ayahnya seorang bajak laut yang paling ditakuti pada zamannya."
Aria Pamungkas bahkan tambah ngeri mendengar
keterangan Senapati Prabayani itu.
Tapi Senapati Prabayani membentangkan rencana-
nya lebih lanjut.
"Manusagara tidak usah ditampilkan di depan
umum. Hamba bisa menyekap dia dalam puri khusus,
asalkan keinginan-keinginannya terpenuhi. Dengan
demikian, kita mempunyai pendukung yang sangat
tangguh, yang mampu menghadapi pendekar-pendekar
kelas satu di negeri ini. Dia memang hebat sekali, Gusti Aria. Apa salahnya kita
memakai dia sebagai tokoh di balik layar" Bukankah saat ini Gusti Aria sedang
membutuhkan bantuan sebanyak-banyaknya untuk
mewujudkan rencana besar itu?"
Banyak lagi yang dikatakan oleh Senapati Prabayani
untuk membujuk Aria Pamungkas, supaya mau mene-
rima kehadiran Manusagara di dalam istana. Dan ak-
hirnya Aria Pamungkas berkata, "Baiklah, urusan itu kuserahkan padamu. Tapi
kuminta kehadiran dia tidak menimbulkan kegemparan di negeri ini."
"Beres, Gusti Aria. Hamba akan menempatkannya
di dalam ruangan rahasia yang berdampingan dengan
puri hamba itu," sahut Senapati Prabayani senang.
"Satu hal yang harus kau ingat," kata Aria Pamung-
kas, "jangan kau serahkan gadis-gadis istana kepada manusia setengah siluman
itu." "O, tidak... tidak! Gusti Aria tak usah cemas tentang hal itu. Hamba tahu pasti
gadis mana saja yang boleh dijadikan mangsa Manusagara. Bahkan kalau perlu,
hamba akan mengirimkan orang-orang khusus ke Tan-
junganom, untuk menculiki gadis-gadis di sana dan..."
"Haaa!" Sergah Aria Pamungkas, "Itu rencana ba-
gus! Aku setuju sepenuhnya! Tanjunganom kita bikin
resah dulu dengan bermacam-macam cara, barulah
kemudian kita laksanakan rencana besar itu...!"
Senang sekali Senapati Prabayani mendengar perse-
tujuan Aria Pamungkas itu. Karena sesungguhnya ia
sangat berkepentingan dengan kehadiran Manusagara
di istana Tegalinten.
Ya, sebenarnya Senapati Prabayani punya tujuan
khusus terhadap Manusagara, sehingga ia mati-matian mengusulkan agar manusia
setengah siluman itu di-tempatkan di istana Tegalinten.
Terlepas dari tujuan-tujuan ekspansional Aria Pa-
mungkas, sebenarnya Senapati Prabayani ingin memi-
liki ilmu Manusagara yang dijuluki 'Bangkong Laut Kulon' itu.
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aria Pa-
mungkas, bergegas Senapati Prabayani menjumpai
Manusagara. "Kakek akan mendapat perlakuan istimewa di sini,"
kata Senapati Prabayani. "Setiap hari Kakek akan
mendapat hidangan panggang hati harimau yang di-
masak oleh jurumasak-jurumasak istana. Selain dari-
pada itu, setiap bulan purnama, tiga orang gadis cantik akan dipersembahkan
kepada Kakek, untuk dimili-
ki sepuasnya."
Manusia cebol itu terbelalak, lalu berjingkrak-jingkrak seperti orang gila.
"Heheheheheeeeee... rupanya aku sedang bernasib baik! Heheheheheeee...!"
"Tapi..." tiba-tiba saja Manusagara menghentikan
jingkrakannya, "tadi kau bilang bahwa aku akan disu-guhi tiga gadis cantik di
setiap bulan purnama."
"Betul, Kek," sahut Senapati Prabayani.
"Dan itu berarti bahwa aku boleh tinggal lebih dari sebulan di dalam istana yang
menyenangkan ini"!"
"Iya, Kakek boleh tinggal selama-lamanya di istana
ini. Syaratnya hanya satu... aku harus diangkat sebagai muridmu."
Manusia cebol itu terperanjat. "Apa"! Engkau ingin
diangkat sebagai muridku"!"
"Betul," sahut Senapati Prabayani. "Kakek tidak
berkeberatan, bukan"!"
Manusagara terdiam, tidak mau menjawab.
Datanglah dua orang pelayan istana, membawa hi-
dangan khusus yang dipersiapkan secara kilat: pang-
gang hati harimau!
"Adududuuuuh... ," Manusagara mengendus-endus
seperti kucing mencium bau ikan, "ini tidak salah la-gi... ini bau makanan
kegemaranku! Oh... Oh... oh..."
Senapati Prabayani tersenyum dan berkata, "Me-
mang benar. Hidangan seperti itu akan selalu kami hi-dangkan untuk Kakek,
asalkan Kakek mengerti apa
yang kuinginkan."
Tanpa basa-basi lagi, Manusagara menyerbu baki
berisi panggang hati harimau itu. "Heheheheeee... aku tidak tahan lagi... tidak
tahan lagi!"
Manusagara melahap panggang hati harimau itu,
dengan bercipak-cipak seperti anjing. Kedua pelayan itu bergidik dibuatnya, lalu
cepat-cepat berlalu.
Senapati Prabayani tidak demikian. Ia bahkan terse-
nyum-senyum menyaksikan lahapnya Manusagara
menyantap panggang hati harimau itu.
Hal seperti itu tidak aneh bagi Senapati Prabayani, yang memang berasal dari
golongan hitam. Bahkan
menyantap hati manusia pun, merupakan hal yang
'biasa-biasa saja' baginya.
"Cepak, cepak, nyem-nyem-nyemmm... baru sekali
ini aku merasakan panggang hati harimau yang begini lezatnya... nyemmm..
nyemmm.. epak. , epak... heheheee... enak sekali... sedap sekali," desis
Manusagara yang tampak begitu asyik melahap panggang hati harimau itu.
"Ya," sahut Senapati Prabayani. "Engkau sudah mu-
lai makan hidangan istana. Dan itu berarti bahwa engkau sudah menyetujui
permintaanku, bukan"!"
"Ah... jangan ganggu dulu kenikmatanku. Soal yang
begituan nanti saja kita bicarakan lagi," gumam Manusagara dengan mulut penuh
dan berminyak-minyak.
"Baiklah. Makan dulu sekenyangmu, barulah nanti
kita bicarakan urusan kita," kata Senapati Prabayani sambil tersenyum-senyum.
"Hmmm... enak sekali... enak sekali..."
"Tentu saja. Yang membuat panggang hati harimau
itu bukan orang biasa, melainkan jurumasak-juruma-
sak pilihan istana. Tentu saja hasil kerja mereka ter-jamin enaknya."
"Yayaya... kalau dipikir enak juga jadi raja, ya" Tiap hari bisa makan apa saja
yang digemarinya. Tapi,
wah... pusing juga jadi raja. Tiap hari harus memikirkan rakyatnya... tiap hari
harus memikirkan ini dan itu. Tidak. Tidak. Aku tak mau jadi raja."
"Memang tidak enak jadi raja," kata Senapati Pra-
bayani. "Yang enak itu tinggal di istana, mendapat suguhan lezat tiap hari,
mendapat suguhan gadis-gadis cantik tiap bulan purnama..."
"Hahahahaa... kau ngomong soal itu lagi!" sergah
Manusagara yang telah menghabiskan hidangan isti-
mewanya. "Kau seperti mau memerasku! Tapi baik-
lah... begini saja... aku tidak mau mengikatkan diriku dengan segala macam
murid-muridan. Aku akan menurunkan beberapa ilmu Laut Kulon padamu. Tapi
aku tidak mau jadi gurumu, dan kau pun tidak usah
menjadi muridku."
Gembira sekali hati Senapati Prabayani mendengar
ucapan Manusagara itu. Pikirnya, "Memang tidak perlu mengangkatnya sebagai
guruku. Yang terpenting, aku
bisa menguras ilmunya!"
"Bagaimana dengan murid Kidangkancana itu?" ta-
nya Manusagara tanpa menyeka bibirnya yang berlepo-
tan lemak harimau.
"Dia sudah disekap dalam ruang tahanan berlapis
besi. Dia tidak akan mampu berontak..."
"Bukan itu maksudku," potong Manusagara. "Apa-
kah kau sudah menyebarkan berita tentang tertang-
kapnya murid Kidangkancana?"
"Sudah," sahut Senapati Prabayani. "Kurasa dua ti-
ga hari lagi berita itu sudah tersebar ke seluruh wilayah Kerajaan Tegalinten."
"Bagus," Manusagara mengangguk-angguk. "Kalau
berita itu sudah terdengar oleh Kidangkancana... hm...
Kidangkancana akan muncul di Tegalinten, untuk meng-adakan perhitungan
denganku!"
"Tapi... apa tidak ada jalan lain?" tanya Senapati
Prabayani. "Jalan lain bagaimana maksudmu?" Manusagara
balik bertanya.
"Dengan ilmumu yang tinggi, murid Kidangkancana
itu bisa dijadikan kawan kita, bukan?"
Manusagara terbelalak dan berseru, "Otakmu ce-
merlang sekali! Hahahahaaaa... aku akan melakukan
sesuatu yang sangat menyakitkan hati Kidangkancana!
Aku akan membuat muridnya menjadi musuhnya! Ayo
antarkan aku ke tempat tahanan perempuan itu!"
*** Nyi Tiwi disekap di dalam ruangan kecil berdinding
besi. Kedua kaki dan kedua tangannya terbelenggu
rantai besi yang sangat kuat.
Tampaknya Senapati Prabayani tidak mau main-
main dengan tawanannya yang satu ini. Nyi Tiwi di-
anggap sebagai lawan yang sangat berbahaya, karena
Senapati Prabayani sendiri pernah merasakan betapa
hebatnya ilmu murid Kidangkancana itu.
Ketika Nyi Tiwi siuman dan menyadari dirinya ber-
ada di dalam ruang tahanan berdinding besi, ia berusaha untuk memberontak...
berusaha memutuskan
rantai pembelenggu itu dengan tenaga gaibnya.
Tapi Nyi Tiwi tidak kuat melakukannya. Salah satu
urat penting di tubuhnya, telah 'diamankan' oleh Manusagara, sehingga Nyi Tiwi
tidak bisa mengerahkan
tenaga gaibnya secara sempurna.
Lalu, Nyi Tiwi hanya bisa berteriak-teriak dalam ge-ramnya. "Lepaskan aku!
Lepaskaaaaaaan! Perempuan
iblis! Lepaskan aku!"
Tapi akhirnya Nyi Tiwi bosan sendiri, karena teriakan-teriakannya tidak ada yang
mendengarkan. Bah-
kan lalu pikirnya, "Untuk apa aku berteriak-teriak seperti anak kecil" Bukankah
lebih baik diam sambil
memikirkan cara untuk membebaskan diri"!"
Nyi Tiwi menghentikan teriakannya, lalu mulai ber-
pikir, mencari akal untuk membebaskan diri.
Nyi Tiwi berpikir dan berpikir terus.
Dan ketika seorang penjaga lewat ke depan pintu
ruang penyekapan itu, tiba-tiba saja Nyi Tiwi menemukan akal baru. Nyi Tiwi
tersenyum sendiri. Lalu me-
manggil penjaga itu dengan suara dimerdu-merdukan,
"Kang... tolonglah buka belenggu ini, sebentar saja...
aku tak tahan kepingin kencing, nih."
"Kencing saja di situ," sahut si Penjaga. "Kenapa harus membuka belenggu segala
macam?" "Ah, jangan samakan aku dengan tahanan laki-laki,
Kang. Aku kan wanita... bagaimana mungkin bisa ken-
cing di mana saja seperti anjing."
Penjaga itu malah tertawa. "Hahahahaaa...! Kau pi-
kir aku ini anak kecil yang mudah saja ditipu mentah-mentah"! Hihihihi... mau


Mustika Lidah Naga 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayak anjing kek, kayak babi kek, terserah. Pokoknya aku tidak mau membuka be-
lenggumu. Kalau mau kencing, kencing sajalah di si-
tu!" "Penjaga sialan!" umpat Nyi Tiwi. "Kusumpahin deh kamu, kalau bini kamu mau
melahirkan, biar susah
nongolnya itu bayi!"
Kebetulan penjaga itu punya istri yang sedang ha-
mil pertama kalinya. Maka dengan sangat cemas ia
melongokkan kepalanya ke pintu ruang tahanan Nyi
Tiwi, sambil bertanya tergagap, "A... apa" Apa ka... ka-tamu tadi?"
Sahut Nyi Tiwi, "Kamu bikin orang susah kencing!
Mangkanya kusumpahin kamu... kalau bini kamu mau
melahirkan, kudoakan biar susah keluarnya itu bayi
yang ada di dalam perut kamu! Ngerti nggak"!"
"Ah... jangan suka mendoa-doakan yang buruk be-
gitu sama orang lain, Nyi," penjaga itu gemetaran dan membuka pintu besi dengan
gugup. Dengan tangan gemetaran pula, diambilnya anak
kunci yang tergantung di ikat pinggangnya, untuk
membuka kunci belenggu Nyi Tiwi.
Tapi... dasar penjaga itu malang nasibnya. Baru sa-
ja anak kunci itu hendak dimasukkan ke dalam gem-
boknya, tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja ia memekik.
"Aaaa...!"
Penjaga itu terkulai, ambruk, berkelojot dan mele-
paskan nyawanya, dengan punggung hangus tersengat
racun! Dan Senapati Prabayani berdiri di ambang pintu,
sambil berdesis dingin, "Itulah hukuman bagi prajurit yang melanggar tata-
tertib!" Nyi Tiwi yang maklum bahwa penjaga itu dibunuh
oleh Senapati Prabayani, lalu mengutuk, "Perempuan
iblis! Nyawa manusia seakan-akan hanya barang ma-
inan bagimu!"
Senapati Prabayani menyahut dengan senyum di-
ngin, "Tidak ada yang perlu kau herankan, Nyi. Sebentar lagi kau juga akan sama
kerasnya dengan aku. Hihihi...! Kita memang akan menjadi sahabat kental."
"Cuhhh!" Nyi Tiwi meludah ke lantai. "Siapa sudi
menjadi sahabat betina iblis seperti kamu?"
Pandangan Nyi Tiwi berapi-api. Seakan-akan ingin
membakar Senapati Prabayani.
Namun tiba-tiba saja sebuah tangan yang panjang...
demikian panjangnya... mengulur dengan cepatnya da-
ri pintu... dan... plok... telapak tangan itu membekap muka Nyi Tiwi, sehingga
murid Kidangkancana itu ge-lagapan... tapi lalu terkulai lemas dan tidak
sadarkan diri! Tangan yang bisa memanjang seperti karet itu lalu
kembali memendek. Dan muncullah seorang lelaki ce-
bol di ambang pintu: Manusagara.
"Sudah"!" desis Senapati Prabayani setengah berbi-
sik. "Belum," sahut Manusagara, "Aku baru membuat-
nya pingsan saja."
Manusagara melangkah maju. Memeriksa wajah Nyi
Tiwi sesaat. Lalu gumamnya, "Cantik sekali murid Kidangkancana ini."
"Hihihiii... kau naksir?" cetus Senapati Prabayani
geli. Manusagara menyeringai dan menyahut, "Kita lihat-
lihat dulu keadaannya nanti."
Kemudian manusia cebol yang dapat mengubah-
ubah tubuhnya itu duduk bersila di depan Nyi Tiwi
yang masih pingsan.
Senapati Prabayani mundur beberapa langkah, ka-
rena ia tahu bahwa Manusagara hendak mengerahkan
kesaktiannya. Memang benar, Manusagara menyimpan kedua ta-
ngannya di dada, sambil berkomat-kamit membacakan
mantra. Dan... tiba-tiba saja sekujur tubuh Manusagara me-
ngepulkan uap hijau... menyerubung ke atas kepala-
nya ... berkumpul di situ menjadi sebuah bulatan uap hijau... dan bulatan uap
hijau itu lalu melayang perlahan-lahan ke arah Nyi Tiwi!
Bola uap hijau itu 'hinggap' di atas kepala Nyi Tiwi...
lalu menyelinap ke balik rambutnya yang hitam lebat...
dan meresap ke dalam kulit kepalanya!
Senapati Prabayani terpaku menyaksikan pertunju-
kan ilmu manusia cebol itu. Dan semakin terpaku ke-
tika disaksikannya wajah Nyi Tiwi mulai membiru...
menghitam... lalu mengepulkan uap putih!
Tubuh Nyi Tiwi menggigil hebat. Wajahnya membiru
kembali. Lalu menjadi coklat... lalu menjadi merah padam... memudar sedikit demi
sedikit... dan akhirnya kembali seperti biasa, kembali berwarna kuning lang-sat.
Manusagara menghentikan pembacaan mantranya,
kemudian melirik ke arah Senapati Prabayani sambil
tersenyum. "Sudah?" tanya Senapati Prabayani perlahan.
Manusagara mengangguk dengan senyum aneh.
"Sebentar lagi dia akan siuman," desisnya. "Kemudian dia akan menjadi pengikut
kita yang sangat setia."
"Bagaimana dengan ilmunya yang didapat dari Ki-
dangkancana?" tanya Senapati Prabayani.
"Dia tidak akan kehilangan ilmunya. Dia hanya
akan kehilangan pendiriannya, lalu semata-mata men-
gikuti pendirian kita," sahut Manusagara sambil memperhatikan wajah Nyi Tiwi.
"Jadi, kita bisa memanfaatkan kehebatannya seba-
gai murid Kidangkancana?"
"Ya. Kita bisa meminta apa saja darinya... termasuk nyawanya!"
Tiba-tiba Nyi Tiwi membuka matanya perlahan. Me-
lirik ke arah Senapati Prabayani, tanpa sorot dendam lagi, lalu melirik ke arah
Manusagara... dengan senyum di bibir!
Sambil tersenyum-senyum pula Manusagara meme-
gang rantai pembelenggu Nyi Tiwi.
Dan... tring... triiiing... tring... triiing... rantai yang membelenggu anggota
badan Nyi Tiwi putus begitu sa-ja. Bebaslah Nyi Tiwi dari belenggu itu.
Senapati Prabayani bersiap-siap, takut kalau Manu-
sagara gagal menguasai jiwa Nyi Tiwi, yang tentu saja akan membuat Nyi Tiwi
galak lagi. Tapi ternyata tidak.
Nyi Tiwi jadi tampak begitu jinak. Bangkit sambil
menggosok-gosok matanya, seperti baru habis tidur.
Dan tanya Manusagara, "Murid Kidangkancana!
Siapa namamu sebenarnya?"
"Tiwi," sahut yang ditanya, jinak.
"Engkau tahu siapa yang berdiri di depanmu itu?"
tanya Manusagara lagi sambil menunjuk ke arah Se-
napati Prabayani.
"Gusti Senapati," sahut Nyi Tiwi terlontar begitu sa-ja. "Apakah kau
menganggapku sebagai musuhmu?"
tanya Senapati Prabayani,
Nyi Tiwi menjawab, "Tidak", dengan gelengan kepa-
la. "Kita memang bersahabat," kata Senapati Prabayani sambil menepuk bahu Nyi
Tiwi. "Ya," Nyi Tiwi mengangguk. "Kita memang bersaha-
bat." "Musuh besarmu Kidangkancana, Tiwi!" bentak Ma-
nusagara, membuat Nyi Tiwi terperanjat.
Tapi lalu Nyi Tiwi menjawab dengan suara aneh,
"Ya, musuh besarku adalah Kidangkancana!"
"Hahahahaaa... bagus... bagus! Kidangkancana
memang harus dihancurkan!" Manusagara tertawa ter-
gelak-gelak. "Ya, Kidangkancana harus dihancurkan!" Nyi Tiwi
mengepalkan tangannya, seolah olah sedang meremas
sesuatu yang lunak.
Manusagara melirik ke arah Senapati Prabayani,
sambil berdesis perlahan, "Apakah kau masih me-
nyangsikanku?"
"Tidak," Senapati Prabayani menggeleng. "Tentu sa-
ja tidak. Aku percaya, engkau memang seorang tokoh
yang hebat,.. benar-benar hebat."
Manusagara menyeringai dan berdesis lagi, "Lalu
kenapa kau tidak segera meninggalkanku" Kenapa
mayat penjaga ini tidak segera disingkirkan?"
Senapati Prabayani bergegas menyeret mayat penja-
ga itu ke luar ruang tahanan. Dan pada waktu kembali lagi ke ruangan kecil itu,
dilihatnya Manusagara tengah menanggalkan pakaian Nyi Tiwi!
Senapati Prabayani tergagap berkata, "Kau... kau
harus kutinggalkan di sini?"
Manusagara menjawab setengah membentak, "Iya!
Bukankah tadi aku sudah mengatakannya" Hehehe-
heee... Tubuh yang begini indah... sayang sekali kalau kubiarkan begitu saja...
heheheheheee..."
Dan Nyi Tiwi tak ubahnya robot pada zaman seka-
rang... yang dengan patuh mengikuti kehendak Manu-
sagara! Senapati Prabayani bergegas meninggalkan tempat
tahanan itu, sambil tersenyum-senyum sendiri. Pikirnya, "Mampus kau, Tiwi!
Sekarang kau harus meladeni
kegilaan kakek-kakek cebol yang tetap doyan gadis
remaja itu! Hihihihihi... aku yang haus lelaki ini pun, tidak akan mau meladeni
lelaki cebol dan tua bangka seperti Manusagara. Tapi murid Kidangkancana itu...
hihihihi... salahnya sendiri, cari gara-gara di Tegalinten!"
*** ANGGA menggosok-gosok sepasang matanya dan
Rm enoleh ke kanan kirinya.
"Oh... di mana aku berada kini?" Rangga bangkit
dan lalu terkejut sendiri. "Hai! Kakiku tidak lumpuh lagi! Tanganku juga! Oh...
apakah aku sudah berada di akhirat" Ya... bagaimana mungkin anggota badanku
bisa pulih kembali tanpa ada yang mengobatiku?"
Rangga hampir yakin bahwa dirinya sudah mati, la-
lu dibangkitkan kembali di alam kekal. Terlebih lagi setelah ia memandang ke
alam di sekitarnya... alam yang begitu ganjil dan samar-samar, karena di sana-
sini terselimuti kabut.
Rangga berada di daerah pantai. Tapi dilihatnya
laut tidak berombak sedikit pun, sehingga tampaknya seperti hamparan kaca yang
mahaluas saja. Dan ketika pandangannya teralih ke daratan, dilihatnya bukit-
bukit karang berbentuk kerucut, yang setiap puncak-
nya tampak berkilauan.
Sunyi. Sunyi sekali alam di sekitar Rangga saat itu.
Dan semakin yakinlah Rangga bahwa dirinya sudah
berada di akhirat. "Ya, pasti aku sudah berada di alam kekal. Karena kulihat
laut tiada berombak, kabut
menghalangi pandangan, bukit-bukit karang berpun-
cak permata, tiada suara apa-apa... ah... apakah aku
berada di sorga?"
Tapi, tiba-tiba saja pandangan Rangga tertumbuk
ke sebilah papan dan seutas tali di dekat kakinya.
Rangga membungkuk dan mengamati kedua macam
benda itu. Lalu kata Rangga dalam hatinya, "Ah... papan ini
pasti berasal dari perahu layar Kakang Lumayung!
Ya... tali ini pun bekas pengikat tubuhku di buritan perahu itu! Lalu...
mungkinkah benda-benda seperti
ini terbawa ke akhirat?"
Dalam penasarannya, Rangga lalu mencubit lengan-
nya sendiri. Terasa sakit. Lalu dicubitnya pula pipinya.
Juga terasa sakit.
"Kalau begitu, mungkin aku masih hidup... mung-
kin aku masih berada di dunia... tapi di mana" Ya.. di mana aku berada sekarang
ini?" pikir Rangga sambil
melangkah ke arah daratan.
Dan lagi-lagi ia menemukan sesuatu yang baru kali
ini disadarinya. Bahwa pasir yang diinjaknya, bukan pasir biasa, melainkan pasir
yang gemerlapan... tak ubahnya hamparan permata yang tak terhitung lagi
banyaknya! Maka pikir Rangga lagi, "Seandainya aku masih hi-
dup, mengapa alam yang tampak di sekitarku ini serba aneh" Hai... mungkinkah aku
berada di Nusa Aheng"
Bukankah Kidangkancana pernah bercerita bahwa Nu-
sa Aheng itu penuh dengan keajaiban dan sesuai de-
ngan namanya"!"
Lalu Rangga mengingat-ingat lagi ucapan Kidang-
kancana yang pernah didengarnya: "Sesuai dengan
namanya, Nusa Aheng tidak bisa dikunjungi oleh sem-
barangan manusia. Bahkan burung-burung laut pun
tidak berani terbang ke dekat pulau itu."
Rangga lalu memperhatikan keadaan di sekitarnya
secara lebih seksama lagi. Memang tidak tampak ada-
nya kehidupan di sekitarnya. Tak ada burung camar,
tak ada angin, tak ada ombak... tak ada apa-apa selain kesunyian yang sangat
mencekam... kesunyian yang
mulai membangkitkan bulu roma Rangga.
Dan dinginnya, bukan main. Padahal setahu Rang-
ga, daerah-daerah pantai yang pernah dikunjunginya, selalu berhawa panas.
*** Ketika Rangga masih terheran-heran memperhati-
kan alam di sekitarnya, tiba-tiba dilihatnya sesuatu di angkasa sana... sesuatu
yang berwarna merah dan
tengah menukik ke arah dirinya!
"Burung"!" seru Rangga dalam hati. "Hai... mung-
kinkah ada burung sebesar itu?"
Memang benar. Yang tengah menukik ke arah
Rangga itu seekor burung berwarna merah muda, ben-
tuknya mirip burung elang, dengan ukuran tubuh
yang tidak lebih kecil daripada seekor kuda!
Burung raksasa itu adalah makhluk bernyawa per-
tama yang Rangga lihat di daratan serba ganjil itu. Dan yang sangat mengejutkan,
adalah bahwa burung itu
langsung menyerang Rangga dengan kepakan sayap-
nya yang panjangnya kurang lebih lima depa!
"Kaaaaak...!" burung itu mengeluarkan pekikan
nyaring, ketika dilihatnya serangannya tak mengenai sasaran, karena Rangga masih
sempat bersalto ke belakang. Dan sebuah kerucut karang hancur, terkena
pukulan burung yang meleset itu.
"Gila," pikir Rangga. "Pukulan sayapnya begitu
kuat! Terjangannya pun begitu cepat dan terarah!
Apakah burung raksasa ini memiliki ilmu?"
Rangga yang yakin bahwa dengan pulihnya kelum-
puhannya bisa mengerahkan segala ilmu yang dimili-
kinya, lalu bersiap-siap untuk menghadapi serangan
burung itu selanjutnya.
Dan burung itu benar-benar menerjangnya lagi, di-
barengi dengan pekikan yang bergema ke seluruh dae-


Mustika Lidah Naga 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah pantai itu. "Koooaaaaaakhhh...!"
Terjangan burung raksasa itu benar-benar berbaha-
ya. Kedua sayapnya tertekuk ke depan, seperti lengan yang hendak mencengkeram,
sementara kedua kakinya membentuk serangan seperti tendangan. Rangga
mencoba menghadapinya dengan mengerahkan tenaga
gaibnya. Karena pikirnya, burung itu tidak mungkin
dihadapi dengan kegesitan, karena burung itu bisa
terbang dengan sangat pesatnya ke mana saja ia mau.
Maka menurut pikir Rangga, satu-satunya jalan untuk menghadapi burung raksasa
itu, adalah dengan mengerahkan tenaga gaibnya. Dan jika kaki atau sayap burung
itu bersentuhan dengan tangan Rangga, akan terjadi tolakan batin yang dahsyat,
untuk menjatuhkan
burung itu. Namun ternyata Rangga keliru. Ketika kaki burung
raksasa itu hendak menghantam muka Rangga, lalu
Rangga menangkap pergelangan kaki burung itu sam-
bil mengerahkan tenaga gaibnya, yang terjadi justru sebaliknya, Rangga terpental
ke belakang... dan ambruk di atas pasir yang gemerlapan itu!
"Luar biasa!" seru Rangga dalam hati. "Burung itu
bahkan memiliki tenaga batin yang begitu dahsyat!"
Namun diam-diam Rangga pun memuji jiwa burung
itu. Karena ketika Rangga terlentang dan sedang berusaha bangkit kembali, burung
raksasa itu menunggu-
nya sambil berdiri di salah satu puncak kerucut ka-
rang. Maka sambil bangkit, Rangga berseru, "Engkau bu-
kan hanya terlatih dan perkasa, tapi juga memiliki jiwa ksatria! Ayo kita
lanjutkan permainan kita!"
Burung itu seperti mengerti apa yang Rangga kata-
kan. Begitu Rangga siap menghadapi segala kemung-
kinan, burung itu terbang lagi... menerjang dengan pesatnya... kali ini dengan
kedua kaki terjulur jauh ke muka, sementara sepasang sayapnya menekuk ke
belakang. Rangga sudah tahu betapa hebatnya tenaga kedua
kaki bercakar tajam itu. Maka kali ini Rangga tidak berani menyambut dengan
telapak tangannya lagi. Begitu kedua kaki burung itu hampir menyentuh muka
Rangga, secepat kilat Rangga bersalto ke belakang, dengan kaki kanan menendang
ke atas... menghantam tulang
ekor burung itu dengan kerasnya.
Tapi... lagi-lagi Rangga terpental dan ambruk... sementara burung itu sudah
hinggap di puncak kerucut
karang, sambil menunggu Rangga bangkit kembali.
Pikir Rangga, "Inilah lawan terberat yang pernah
kuhadapi! Jauh lebih berat daripada Prabaseta dan kedua anaknya!"
Namun Rangga tak mau kapok. Ia bahkan penasa-
ran sekali, karena burung itu seakan-akan sedang me-latihnya.
Lalu Rangga bangkit kembali, sambil memusatkan
segenap pancaindranya, untuk menghadapi terjangan
burung itu selanjutnya.
Burung raksasa itu menerjang lagi... kali ini dengan kaki dan sayap di belakang,
sementara patuknya terjulur jauh ke depan.
Kali ini Rangga tidak berusaha menyambut seran-
gan dengan tangan atau kakinya lagi, melainkan de-
ngan gerakan yang sangat indah melompat ke udara...
tinggi sekali... lebih tinggi daripada burung itu!
Maksud Rangga, begitu burung itu sudah berada di
bawahnya, ia akan menjatuhkan diri ke bawah dan
akan berusaha 'memeluk' leher burung itu dari atas.
Tapi burung itu ternyata cerdik sekali. Begitu melihat bentuk gerakan Rangga
sewaktu hendak melompat
ke udara, burung itu seperti yang mengerti ke mana
Rangga hendak bergerak nanti.
Maka... begitu kaki Rangga hampir menjepit leher
burung itu, tiba-tiba burung itu menarik kepalanya, sehingga lehernya menjadi
sangat pendek dan hampir
tidak kelihatan, dan Rangga melayang jatuh di depan kepala burung itu, lalu...
tahu-tahu keadaan menjadi terbalik... sepasang kaki burung itu yang menjepit
leher Rangga dari atas!
Rangga memberontak dengan segala daya yang di-
milikinya, karena jepitan kaki burung itu terasa laksana cengkeraman baja. Namun
burung itu justru mem-
bawa Rangga terbang ke tengah daratan... jauh ke pe-dalaman... sementara Rangga
hanya bisa bersiap-siap, kalau-kalau burung itu menjatuhkannya di tempat
yang berbahaya.
Pikir Rangga, "Burung ini sudah mengalahkanku!
Aku memang tak berdaya dibuatnya! Lalu ke mana
aku mau dibawanya kini?"
*** Ternyata burung perkasa itu meletakkan Rangga
dengan lembut di atas daratan penuh lumut hijau, di depan seorang lelaki tua
yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya!
Lelaki tua itu duduk di atas batu pipih berwarna
merah jambu, yang bentuknya mirip piring raksasa.
Dan yang membuat Rangga terheran-heran, adalah
bahwa di belakang lelaki tua itu tampak seekor kuda
berbulu putih bersih dan memiliki sepasang sayap di punggungnya!
Tampaknya burung raksasa itu hanya bertugas
'menjemput' Rangga. Setelah meletakkan Rangga di
depan kakek-kakek bertanduk itu, burung raksasa itu pun terbang lagi dan lenyap
di kejauhan. Lalu terdengar suara lelaki tua itu... begitu lembut tapi sangat berwibawa,
"Berlayar ke Nusa Aheng dalam keadaan lumpuh, memang sesuatu yang luar biasa.
Keluarbiasaan itulah yang membuatku lain dari bi-
asanya, sehingga engkau kubiarkan mencapai daratan
ini. Tapi yang paling menarik, adalah bahwa engkau
memiliki ilmu sang Sekarpadma. Dan secara kebetu-
lan, sang Sekarpadma pernah menjadi istriku. Itulah sebabnya kelumpuhanmu
kusembuhkan."
Rangga terkejut. Pikirnya, "Kalau begitu, kakek-ka-
kek ini jauh lebih tua daripada guruku sendiri! Ya, bukankah dia pernah menjadi
suami sang Sekarpadma"
Dan bukankah sang Sekarpadma itu ibu angkat Rama
Guru?" Lalu Rangga menjatuhkan diri, bersimpuh di depan
piring raksasa yang dijadikan tempat duduk lelaki tua bertanduk itu, sambil
berkata, "Hamba memang murid
anak angkat sang Sekarpadma. Hamba menghaturkan
terima kasih atas pertolongan yang telah hamba teri-ma, sehingga hamba sembuh
dari kelumpuhan hamba.
Kalau boleh hamba bertanya, apakah hamba sedang
berhadapan dengan Bagawan Suwandarama?"
Di luar dugaan Rangga, kakek-kakek bertanduk itu
menggeleng sambil menjawab, "Bukan. Aku hanya
penjaga pertapaan sang Bagawan. Karena itu, kau ti-
dak perlu membahasakan dirimu hamba."
"Lalu, siapakah nama Kakek?" tanya Rangga.
Lelaki tua yang memiliki sepasang tanduk di kepa-
lanya itu, memejamkan matanya sesaat. Lalu jawab-
nya, "Dahulu waktu aku masih muda, orang-orang
memanggilku Jaka Munding. Mungkin karena kedua
tanduk di kepalaku ini. Tapi sekarang nama itu sudah dilupakan orang. Dan sang
Bagawan memanggilku dengan sebutan Astrabaya."
Tiba-tiba lelaki tua bertanduk itu berkata dengan
tergesa-gesa, "Sekarang, cepatlah pulang. Jangan menunggu sampai sang Bagawan
marah." Dan kakek-kakek bertanduk itu bertepuk tangan ti-
ga kali. Lalu burung raksasa berwarna merah muda itu muncul secara tiba-tiba di
belakang Rangga.
Dan kata kakek-kakek bertanduk itu, "Jambon! An-
tarkan orang ini ke tempat asalnya!"
Lalu... batu berbentuk piring raksasa yang dijadi-
kan tempat duduk lelaki tua bertanduk itu, tiba-tiba saja terangkat ke udara...
melayang perlahan dan mau meninggalkan Rangga.
Cepat-cepat Rangga bertanya, "Kakek Astrabaya!
Apakah Kakek tahu bagaimana nasib putra raja Tegal-
inten yang bernama Aria Lumayung" Dia berlayar ber-
samaku ke sini, tapi sekarang..." pertanyaan Rangga terhenti di tengah jalan,
karena kakek-kakek bertanduk itu telah lenyap di kejauhan, bersama piring
raksasanya. Rangga kecewa, lalu menoleh ke belakang, ke arah
burung raksasa itu... yang kini tampak jinak sekali...
mendekam di depan Rangga.
Rangga memberanikan diri memegang tengkuk bu-
rung itu, sambil bertanya, "Namamu Jambon?"
Burung itu mengangguk!
Senang sekali Rangga dibuatnya. Lalu tanya Rangga
lagi, "Engkau mau mengantarkan aku pulang, bukan?"
Burung itu mengangguk lagi. Dan Rangga tertawa
senang, "Hahahaaa... aku senang sekali padamu,
Jambon. Marilah... antarkan aku pulang...!"
Rangga naik ke atas punggung burung yang sudah
tampak patuh itu.
Burung itu siap untuk terbang. Tapi tiba-tiba terdengar seruan... "Tunggu!"
Rangga menoleh ke arah datangnya suara itu. Ka-
kek Astrabaya muncul lagi di depannya, bersama pir-
ing raksasanya.
"Masih adakah yang ingin Kakek sampaikan pada-
ku?" tanya Rangga.
Kakek Astrabaya mengangguk dan berkata, "Sang
Bagawan berkenan menerimamu sebagai tamu. Ayo
Jambon, bawa tamu kita ke pertapaan sang Bagawan!"
Burung itu lalu terbang ke arah utara, membawa
Rangga di punggungnya. Kakek Astrabaya mengiku-
tinya dari belakang, bersama piring raksasanya. Se-
mentara kuda putih bersayap itu pun terbang di samping Kakek Astrabaya.
Benak Rangga saat itu penuh tanda-tanya: Seperti
apa Bagawan Suwandarama itu" Penjaga pertapaan-
nya saja sudah begitu saktinya, apalagi sang Bagawan sendiri. Dan... apa yang
dikehendakinya dariku" Apakah Kakang Aria Lumayung berada di sana"
Burung yang membawa Rangga itu terbang terus ke
arah utara. Dan akhirnya Rangga melihat sebuah ba-
ngunan menjulang tinggi, terbuat dari bebatuan ber-
warna putih bersih, yang puncaknya diselimuti kabut tebal.
Rangga yang sudah tahu bahwa si Jambon mengerti
bahasa manusia, lalu berbisik ke telinga burung raksasa itu, "Bangunan yang
seperti candi itu tempat pertapaan sang Bagawan?"
Burung bernama Jambon itu mengangguk. Lalu
menukik dan mendarat di depan pintu gerbang ban-
gunan yang penuh dengan ukiran halus itu.
*** ANGGA terpaku di depan kuil yang terbuat dari
Rba tu pualam putih laksana kapal itu, dengan pera-
saan takjub sekali. Kuil itu bukan hanya tinggi menjulang (dan bahkan puncaknya
terselimuti kabut, se-
hingga tidak terlihat dari bawah) melainkan juga indah sekali. Setiap batu
pualam yang dibuat untuk membangun kuil itu, diukir secara halus sekali,
sehingga tak ubahnya kain yang disulam.
Di depan kuil pualam itu, terdapat sebuah kolam
kecil, dengan air mancur alamiah yang memancar de-
ngan lembut, menimbulkan bunyi gemerisik perlahan
yang menyejukkan perasaan.
Kakek Astrabaya memegang bahu Rangga sambil
berkata perlahan, "Cucilah dulu kakimu di kolam itu, baru kemudian menghadap
sang Bagawan."
Rangga mematuhi petunjuk lelaki tua bertanduk
itu. Dicucinya kedua telapak kakinya sebersih-
bersihnya di kolam kecil berair bening itu. Kemudian mengikuti langkah Kakek
Astrabaya memasuki kuil.
Wangi dupa tersiar ke hidung Rangga, membuat le-
laki muda itu tertunduk dengan perasaan yang lain
dari biasanya. Ada semacam perasaan tenang dan
nyaman yang luar biasa di dalam hatinya.
Dan akhirnya Rangga melihat seorang lelaki tua...
tua sekali... dengan rambut yang telah memutih selu-ruhnya, dengan pakaian
brahmana yang serba putih,
di dalam ruangan yang serba putih pula. Itulah Bagawan Suwandarama, penghuni
Nusa Aheng yang penuh
keajaiban. Bagawan Suwandarama duduk di atas batu berukir,
berbentuk bunga teratai yang sedang mekar, dengan
mata terpejam dalam posisi bersemadi.
Rangga pun ikut-ikutan bersimpuh di belakang Ka-
kek Astrabaya. Lalu kata Kakek Astrabaya, "Pemuda ini sudah da-
tang menghadap, untuk menunggu perkenan sang Ba-
gawan." Bagawan Suwandarama tetap memejamkan mata-
nya. Tidak bergerak sedikit pun. Mulutnya pun tetap terkatup rapat-rapat. Tapi
anehnya... terdengar suara dari arah sang Bagawan. "Namamu Rangga, bukan"!"
Rangga terkejut dan cepat-cepat menjawab, "Benar,
Eyang Bagawan."
Bibir sang Bagawan tetap terkatup. Tapi lagi-lagi
terdengar suara dari arah dirinya. "Engkau sedang ter-libat dalam pertentangan
dengan orang-orang istana
Tegalinten. Tapi itu bukan urusanku. Aku sudah tidak mau ikut campur lagi dengan
hal-hal keduniawian."
Hening sesaat. Lalu terdengar lagi suara sang Ba-
gawan, "Aku memanggilmu semata-mata untuk soal
anakmu yang telah dimasuki sukma Naga Taksaka."
Rangga terkejut sekali. Dan sebelum sempat Rangga
bertanya, Bagawan Suwandarama sudah mendahului
menjelaskannya.
"Anak yang dikandung oleh istrimu, lebih dari tiga
tahun yang lalu, dirasuki oleh sukma Naga Taksaka.
Tujuan Naga Taksaka hanya ingin mengasuh salah sa-
tu cucunya yang baru menetas di bawah permukaan
Tilugalur. Itulah sebabnya, anakmu sekarang sangat
bersahabat dengan cucu Naga Taksaka itu.
"Sepintas lalu keadaan itu tidak berbahaya. Namun
sesungguhnya malapetaka sedang mengancam, bukan
hanya di Tilugalur dan sekitarnya, melainkan juga di wilayah Tegalinten dan
sekitarnya. Bahkan sekarang
pun sudah mulai berjatuhan korban keganasan anak-
mu yang telah bersekutu dengan cucu Naga Taksaka
itu. Tilugalur telah menjadi desa mati. Tak seorang pun bisa menginjakkan
kakinya di sana, karena di bawah desa itu bersemayam anakmu yang sudah berse-
kutu dengan cucu Naga Taksaka.
"Tidak ada yang bisa menjinakkan anakmu itu, ke-
cuali engkau sendiri, karena darah yang mengalir di dalam tubuhnya, adalah
darahmu... meskipun suk-manya sudah berbaur dengan sukma Naga Taksaka.


Mustika Lidah Naga 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang ia masih bersemayam di bawah permu-
kaan Tilugalur. Tapi tak lama lagi ia akan mulai berke-liaran mencari mangsa. Ia
membutuhkan tujuhratus
nyawa manusia dalam sebulan. Dapat kau bayangkan,
berapa banyak korban yang akan jatuh dalam seta-
hun"! "Engkau tidak perlu membunuh anakmu itu, terlalu
dahsyat bagi manusia biasa.
"Kewajibanmu adalah... jinakkan anak itu dengan
segala dayamu, supaya ia tidak lagi memangsa manu-
sia. Berilah ia makan sebanyak-banyaknya pada tiap
bulan purnama, karena ia hanya membutuhkan ma-
kan sebulan sekali. Berilah ia nasihat, bahwa bagai-manapun juga ia bertubuh
manusia, sehingga tidaklah layak baginya untuk memangsa manusia lagi."
Bagawan Suwandarama menghentikan kata-
katanya sesaat, sementara Rangga masih tercengang-
cengang. Rupanya Bagawan Suwandarama bukan diam sem-
barang diam. Getaran batinnya melayang jauh... me-
manggil makhluk-makhluk aneh yang menghuni pulau
ajaib itu. Ya... beberapa saat kemudian, Rangga sema-
kin terpanar ketika dilihatnya tujuh orang gadis cantik datang dengan kaki tidak
menginjak lantai kuil, karena ketujuh gadis itu memiliki sayap yang sangat mirip
sayap kupu-kupu!
Salah satu gadis bersayap itu membawa kotak pan-
jang, lalu mempersembahkannya kepada Bagawan
Suwandarama. Kemudian ketujuh gadis bersayap itu terbang lagi,
meninggalkan kuil Bagawan Suwandarama dan kotak
panjang yang baru dipersembahkannya itu.
Suasana menjadi hening beberapa saat.
Kemudian Bagawan Suwandarama membuka kelo-
pak matanya perlahan. Dan... Rangga cepat-cepat me-
nunduk, tidak kuat bertatapan dengan mata Bagawan
Suwandarama yang begitu cemerlang, seakan-akan
memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan.
Bagawan Suwandarama memandang ke arah kotak
panjang yang dipersembahkan oleh gadis-gadis bersa-
yap tadi. Lalu katanya, "Tugas yang berat membutuh-
kan sarana yang baik. Karena itu kuberikan pedang
Saptaraga ini padamu, supaya engkau tidak terlalu sulit melaksanakan tugas-
tugasmu. Tapi ingat... pedang ini hanya bisa digunakan manakala hatimu lurus.
Pedang ini akan mengerti sendiri kapan ia harus digunakan dan kapan tidak boleh
digunakan. Dan tentang
ilmu pedangnya sendiri, engkau bisa mempelajarinya
dari kitab kecil yang ada di dalam kotak ini."
Bagawan Suwandarama mengulurkan tangannya,
menyerahkan kotak panjang itu kepada Rangga. Dan
Rangga menyambutnya dengan tangan bergetar.
Bagawan Suwandarama memejamkan matanya
kembali. Lalu terdengar lagi suaranya.
"Engkau telah memiliki dasar yang cukup kuat,
berkat gemblengan Kudawulung. Karena itu engkau ti-
dak akan terlalu sulit mempelajari ilmu pedang Saptaraga. Sekali lagi...
ingatlah... bahwa tugas utamamu, adalah menjinakkan anakmu. Dan engkau jangan
merasa kecewa jika melihat bentuk anakmu lain dengan
anak-anak lainnya. Kalau kau berhasil membimbing-
nya ke jalan yang benar, anakmu akan sangat bergu-
na. Memang hal itu sangat sulit. Tapi bukan tidak
mungkin. "Satu hal lagi," lanjut sang Bagawan, "cucu Naga
Taksaka memiliki mestika di bawah lidahnya. Dan
mestika itu hanya bisa diambil dengan pedang yang
kau pegang sekarang."
Akhirnya sang Bagawan berkata, "Pulanglah seka-
rang ke puncak Gunung Limagagak. Aku percaya, Ku-
dawulung akan membimbingmu. Dan jangan turun
dari puncak gunung itu sebelum engkau menguasai
ilmu pedang Saptaraga sepenuhnya."
Kepada Kakek Astrabaya, Bagawan Suwandarama
berkata, "Astrabaya, relakanlah si Jambon untuk me-
nemani Rangga, sampai tugasnya selesai."
Setelah berkata demikian, lenyaplah Bagawan Su-
wandarama dari pandangan. Pertanda bahwa sang Ba-
gawan tidak mau diganggu lagi.
Rangga melirik ke arah Kakek Astrabaya. Dan lelaki
tua bertanduk itu memberi isyarat, mengajak Rangga
keluar. Setibanya di depan kuil, Kakek Astrabaya berkata,
"Jangan kau buka kotak itu sebelum tiba di puncak
Gunung Limagagak. Pelajari dulu ilmu pedangnya, ba-
rulah kemudian kau sentuh pedangnya."
Kemudian Kakek Astrabaya menghampiri si Jambon
yang sedang mendekam di depan kuil. Dielusnya leher burung raksasa itu sambil
berkata, "Sang Bagawan
menitahkan kau untuk menemani Rangga, sampai tu-
gasnya selesai. Mungkin kau juga bisa membantu
Rangga dalam mempelajari ilmu pedang Saptaraga.
Kuharap kau mematuhi tugas ini sebaik-baiknya."
"Kaaak...!" Burung itu mengeluarkan suara, seolah-
olah mengiyakan perintah Kakek Astrabaya.
Kemudian Kakek Astrabaya menepuk bahu Rangga,
sambil berkata, "Selamat jalan, Rangga. Mudah-
mudahan kau berhasil menjalankan tugasmu. Nasib-
mu memang baik. Kaulah orang pertama yang dibiar-
kan datang ke Nusa Aheng ini dan dibiarkan berlalu
tanpa gangguan."
Rangga berlinang-linang air mata waktu naik ke
atas punggung burung raksasa itu. Lalu tanyanya ter-sendat, "A... apakah aku
boleh datang legi ke sini kelak?"
Lelaki bertanduk itu tersenyum dan menyahut,
"Tergantung nasibmu, Rangga. Tapi... mudah-
mudahan saja kita masih bisa bertemu lagi."
Si Jambon mulai berdiri. Menghentakkan kakinya
ke bumi, lalu... brrrrrrr... terbanglah burung raksasa itu ke angkasa, bersama
Rangga di punggungnya.
Tanpa terasa, air mata Rangga bercucuran dengan
derasnya. Aneh memang. Hanya sebentar ia berada di
Nusa Aheng yang penuh misteri dan keajaiban itu, tapi hatinya seakan melekat di
sana... seakan berat sekali meninggalkannya.
*** EADAAN di puncak Gunung Limagagak sangat
Kbe rbeda dengan keadaan di Nusa Aheng. Tidak ada
hal-hal yang ajaib di puncak gunung tempat perse-
mayaman Kudawulung itu. Satu-satunya hal yang sa-
ma dengan Nusa Aheng, hanyalah kabutnya... ya... seperti di Nusa Aheng, puncak
Gunung Limagagak pun
hampir selalu diselimuti kabut tebal yang sulit ditem-bus sinar matahari.
Begitu pula di pagi yang dingin itu, puncak Gunung
Limagagak tidak terlihat dari kejauhan, karena terlindung oleh kabut yang begitu
tebal. Namun di pagi yang dingin itu, seorang gadis cantik sedang bersemadi di atas
sebuah batu besar, dengan
wajah pucat-pasi seakan tak berdarah lagi. Itulah Nilamsari, putri mendiang
Adipati Wiralaga.
Telah diceritakan terdahulu, bahwa Nilamsari ber-
hasil diterima menjadi murid Kudawulung, setelah gadis cantik itu memaksa
Kudawulung dengan caranya
sendiri. Ternyata Nilamsari bukan hanya sangat berseman-
gat untuk menerima gemblengan dari Kudawulung,
melainkan juga sangat berbakat!
Kudawulung sendiri terkejut ketika dilihatnya ke-
majuan yang dicapai oleh Nilamsari dari hari ke hari, begitu pesat... bahkan
jauh lebih pesat daripada waktu pertama kalinya Rangga mendapat gemblengan di
puncak Gunung Limagagak dahulu!
Tentu saja Kudawulung gembira sekali melihat ke-
nyataan itu. Guru mana yang tidak senang melihat
muridnya bisa menyerap pelajaran dengan sangat ce-
patnya" Kudawulung yang tadinya tidak begitu bersemangat
menerima Nilamsari sebagai muridnya, lalu jadi sebaliknya. Ia seakan-akan
berpacu dengan waktu, ingin membuat Nilamsari secepatnya menyerap segala ilmu
yang dimilikinya.
Kudawulung tidak bertepuk sebelah tangan. Nilam-
sari menghayati setiap pelajaran yang diterimanya de-
ngan sungguh-sungguh, lalu melatih diri setekun
mungkin, tanpa mengenal lelah. Hampir tidak ada
waktu yang dibuang percuma. Setiap kali ada kesem-
patan, Nilamsari melatih diri setekun-tekunnya. Terkadang semalam suntuk ia
terjaga, untuk menghapal-
kan kembali setiap pelajaran yang diterima pada siang harinya.
Ketekunan dan kesungguhan Nilamsari, tentu
membawa hasil yang memadai. Maka tidaklah berlebi-
han kalau Kudawulung berkata pada satu hari, "Eng-
kau memang hebat, Nilamsari. Dalam tempo tiga bulan saja, engkau telah berhasil
mencapai apa yang diteku-ni oleh Rangga selama tiga tahun! Hahahahaaa... si
Rangga pasti terkejut sekali kalau melihat apa yang telah kau capai sekarang.
Kurasa engkau sekarang telah setingkat dengan Rangga! Hahahahaaaa... dia pasti
terkejut melihat kemajuanmu!"
Jika mendengar gurunya mengucapkan nama Rang-
ga, aneh, hati Nilamsari berdenyut dan berdesir. Tampaknya Nilamsari sudah
menyimpan perasaan khusus
terhadap kakak seperguruannya itu. Dan Nilamsari berusaha menyembunyikannya di
depan gurunya. Na-
mun terkadang ia nyeletuk juga, menanyakan soal
Rangga dengan tarikan wajah khusus... tarikan wajah garis yang sedang merindukan
seseorang! Seperti pada suatu hari...
"Lama juga Kang Rangga di Tegalinten, ya Rama
Guru." "Ya, mungkin ada sesuatu yang harus dihadapinya
dengan sungguh-sungguh, sehingga ia belum sempat
pulang ke sini."
"Apakah dia pasti pulang ke sini?"
"Pasti... pasti! Tapi, hai... tampaknya kau terlalu memikirkan dia, heh"! Apa
sebenarnya yang kau rasa-
kan sekarang?"
"Ah, ti... tidak. Tidak ada perasaan apa-apa...!"
"Hahahahaaaa... Nilamsari... Nilamsari! Aku juga
pernah muda dulu, seperti kau sekarang. Apakah kau
pikir aku tidak tahu apa yang tersimpan di dalam hatimu sekarang?"
"Ma... maksud Rama Guru?"
"Kau merindukannya, bukan?"
"Mmm... bukankah wajar kalau aku merindukan
seseorang yang pernah menolongku?"
"Iya... iya! Tapi kerinduanmu itu lain... bukan rindunya seorang manusia kepada
orang lain yang per-
nah menolongnya! Hahahahaaa... mata tuaku tidak
dapat kau tipu, Nilamsari. Engkau merindukan Rangga dengan perasaan yang istimewa."
"Perasaan istimewa bagaimana Rama Guru ini?"
"Perasaan cinta! Kau mencintai Rangga, bukan?"
"Ah, Rama Guru..."
"Ayolah... akui saja, tak usah malu-malu. Kau men-
cintai Rangga?"
"Ah... aku kan seorang perempuan, Rama Guru.
Sedangkan perempuan itu, sifatnya seperti... seperti...
ah... tidak tahulah!"
Demikianlah. Dengan tersipu-sipu, akhirnya Nilam-
sari mengakui lewat sorot matanya, bahwa sesungguh-
nya ia telah mencintai Rangga. Bahwa cinta itu telah tumbuh sejak pandangan
pertama di tepi Sungai Cigelung.
Memang Nilamsari tidak pernah bicara secara te-
rang-terangan kepada gurunya, bahwa ia mencintai
Rangga. Tapi sorot matanya saja sudah cukup meya-
kinkan gurunya, bahwa ia mencintai Rangga.
Walaupun begitu, Nilamsari tidak mau terlarut da-
lam perasaan rindunya. Setiap kali kerinduan itu da-
tang, cepat-cepat ia berusaha mengalihkannya, dengan jalan berlatih dan berlatih
terus. Dan tampaknya hal itu dijadikan cambuk bagi Ni-
lamsari, untuk melatih dirinya secara luar biasa.
Demikian pula di pagi yang dingin itu, Nilamsari
sudah bersemadi, untuk memulai latihannya. Kudawu-
lung memang menganjurkan agar Nilamsari bersemadi
dulu sebelum memulai latihannya. Dan itu ditaati oleh Nilamsari, disaksikan oleh
gurunya maupun tidak.
Demikian pula pagi itu. Walaupun Kudawulung ti-
dak ada di puncak Gunung Limagagak, sejak kemarin
siang, Nilamsari tetap mematuhi anjuran gurunya. Nilamsari melakukan semadi
dahulu sebelum memulai
latihannya. Tapi pagi itu lain. Baru saja Nilamsari selesai bersemadi dan hendak memulai
latihannya, tiba-tiba Ku-
dawulung datang dan berseru, "Nilamsari! Jangan latihan dulu! Aku membawa berita
penting untukmu!"
Nilamsari membatalkan latihannya. Lalu duduk di
depan gurunya. "Rupanya aku terlalu asyik mendidikmu di sini," ka-
ta Kudawulung, "sehingga aku tidak tahu bahwa di Kawahsuling telah terjadi
sesuatu yang semakin mence-
maskan." "Maksud Rama Guru?"
"Adipati Natajaya telah mati."
"Oh!" Nilamsari memegang kedua belah pipinya.
Namun sinar matanya memperlihatkan sesuatu yang
berarti... suatu kepuasan yang masih disembunyikan.
Betapa tidak. Adipati Natajaya telah menghancurkan
kehidupan orang tuanya. Dan pernah pula berusaha
menghancurkan kehidupan Nilamsari sendiri.
"Kenyataan itu memang baik," kata Kudawulung,
"engkau tidak perlu mempergunakan ilmumu untuk
membalas dendam. Hukum karma telah mendahului
dendammu, sehingga Adipati Natajaya sudah mati se-
belum kau membunuhnya."
"Tapi," lanjut Kudawulung, "keadaan di Kawahsul-
ing sekarang, justru tambah parah. Inilah yang sangat kupikirkan."
"Bertambah parah?" tanya Nilamsari hampir tak
terdengar. "Ya," Kudawulung mengangguk. "Adipati yang baru


Mustika Lidah Naga 5 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diangkat oleh kerajaan, justru lebih jahat daripada Adipati Natajaya. Jauh lebih
jahat." "Siapa yang menjadi adipati sekarang?"
"Prabalaya... anak seorang tokoh golongan hitam
yang sangat jahat. Bisa dipastikan, dalam tempo singkat saja rakyat Kawahsuling
akan menderita dibuat-
nya." "Lalu... apakah kita harus turun tangan, Rama Gu-
ru?" "Tidak," Kudawulung menggeleng. "Kurasa Rangga
sedang berusaha untuk mengatasi hal itu. Tapi... aku sendiri heran... di mana
dia berada sekarang?"
"Kemarin Rama Guru hanya menyelidik ke Kawah-
suling saja?"
"Ya," Kudawulung mengangguk. "Tapi firasatku
berkata bahwa di Tegalinten pun dia tidak ada. Dan...
hai... rupanya kita kedatangan seorang tamu agung!"
Kudawulung menunjuk ke arah selatan, ke arah
seorang lelaki tua yang mengenakan pakaian dari kulit kijang berwarna kuning
keemasan. Itulah Kidangkancana!
"Hahahahaaa... setelah bertahun-tahun mencarimu,
baru sekarang aku tahu bahwa Kudawulung bersem-
bunyi di puncak gunung ini," kata Kidangkancana
sambil menyimpan kedua tangan di dadanya, sebagai
tanda penghormatan terhadap Kudawulung.
Kudawulung menyahut, "Kalau Kidangkancana sung-
guh-sungguh mencariku, tentu tidak akan sulit me-
nemukanku. Dan tampaknya baru hari inilah Kidang-
kancana bersungguh-sungguh mencariku. Hahaha-
haaaa... silakan duduk, sahabat! Angin apa sebenar-
nya yang meniupmu ke mari?"
Kidangkancana duduk di atas sebuah batu besar. Ia
tidak langsung menjawab pertanyaan Kudawulung,
melainkan melirik ke arah Nilamsari dan tanyanya,
"Siapa gadis ini?"
"Muridku," sahut Kudawulung sambil menoleh ke
arah Nilamsari dan berkata. "Ayo bersimpuhlah di depan sahabat gurumu,
Nilamsari."
Dengan patuh Nilamsari bersimpuh di hadapan Ki-
dangkancana. Membuat lelaki tua renta itu tertawa
tergelak-gelak. "Hahahahahaaaa...! Rupanya Kudawu-
lung secara diam-diam sudah membangun perguruan
di puncak Gunung Limagagak ini! Hebat! Hebat! Sudah berapa orang muridmu
sekarang" Yang aku tahu saja,
salah seorang muridmu bernama Rangga, bukan?"
Kudawulung terperanjat. "Dari mana Andika menge-
tahuinya?"
Kidangkancana menghela napas, lalu jawabnya,
"Muridmu datang ke tempatku, dibawa oleh muridku.
Kasihan muridmu itu. Dia dalam keadaan lumpuh
yang sangat gawat, sehingga aku sendiri tidak mampu menyembuhkannya."
"Lumpuh"!" Kudawulung hampir tak percaya pada
keterangan tamunya. Soalnya ia sudah tahu benar sia-pa Rangga dan apa saja yang
telah diajarkannya pada lelaki muda itu.
"Benar," sahut Kidangkancana. "Muridmu telah di-
rasuki racun Prabaseta yang terbaru. Dan keadaannya
benar-benar gawat, sehingga terpaksa aku membiar-
kan muridku membawanya ke Nusa Aheng."
"Nusa Aheng"!" Kudawulung terkejut lagi.
Kidangkancana menghela napas. "Ya... hmm... ju-
stru inilah yang ingin kutanyakan padamu... khusus-
nya tentang keadaan muridku itu."
"Maksud Andika?"
"Sampai sekarang muridku belum pulang. Dan aku
tidak akan terlalu cemas seandainya aku tidak mendengar berita aneh itu. Tapi
belakangan ini aku mendengar berita tentang muridku, yang katanya sudah ter-
tangkap oleh anak si Prabaseta. Inilah yang membua-
tku heran, tidak percaya tapi cemas juga. Aku memang yakin benar bahwa muridku
tidak akan bisa dikalah-kan oleh anak-anak Prabaseta. Mangkanya sulit bagi-
ku untuk mempercayai berita itu. Terlebih lagi setelah ingat bahwa muridku
justru sedang bersama muridmu. Oh ya... apakah muridmu sudah pulang?"
"Belum," Kudawulung menggeleng.
"Nah," wajah Kidangkancana cerah lagi. "Kalau be-
gitu jelaslah bahwa berita yang kudengar itu hanya
isapan jempol belaka. Hmm... aku tak tahu apa mak-
sud orang-orang menyebarkan berita itu..."
"Tunggu," potong Kudawulung. "Bagaimana cerita-
nya sehingga muridku bisa bersama-sama dengan mu-
rid Andika?"
Kidangkancana menjawab sambil tertawa terkekeh-
kekeh. "Heheheee... biasa... anak muda!"
"Biasa bagaimana?" Kudawulung semakin heran.
"Mereka saling mencintai. Itu saja soalnya. Maklum-
lah, muridku cantik, muridmu tampan... ya begitulah akhirnya, saling jatuh cinta
dan... hahahahahaaaa...
Andika juga pernah muda dulu, bukan?"
Diam-diam rona wajah Nilamsari berubah.
"Jadi murid Andika itu perempuan?" tanya Kuda-
wulung. "Iya," Kidangkancana mengangguk. "Muridku seo-
rang janda muda yang manis dan memenuhi syarat
untuk merebut hati lelaki. Kurasa wajar saja kalau
Rangga terpikat olehnya, demikian pula sebaliknya...."
Belum lagi habis Kidangkancana bicara, tiba-tiba
saja Nilamsari bangkit dan berlari meninggalkan tempat itu... dengan air mata
bercucuran! "Hai, kenapa muridmu itu?" Kidangkancana terhe-
ran-heran. Kudawulung menghela napas panjang, lalu bahkan
balik bertanya, "Apakah Andika yakin bahwa muridku
jatuh cinta pada muridmu?"
Kidangkancana tidak menjawab.
*** Dan jauh di balik sebuah pohon rindang sana, Ni-
lamsari memandang ke arah timur, dengan pandangan
hampa, dengan mata basah kuyup.
Kata-kata Kidangkancana tadi terngiang-ngiang te-
rus di telinga putri mendiang Adipati Wiralaga itu: muridku cantik, muridmu
tampan... akhirnya saling jatuh cinta... muridku seorang janda muda yang manis
dan memenuhi syarat untuk merebut hati lelaki... wajar sa-ja kalau Rangga terpikat
olehnya...! O, betapa pilunya hati Nilamsari mendengar itu se-
mua! Dan pikir Nilamsari, "Ternyata mencintai seorang lelaki itu tidak semudah
lamunanku! Selama ini aku begitu yakin bahwa Rangga akan datang, lalu aku akan
mencurahkan isi hatiku secara terang-terangan pada-
nya! Tapi... mungkinkah aku bisa mengatakannya, se-
dangkan aku tahu bahwa ia sudah mencintai perem-
puan lain?"
*** Ketika Nilamsari sudah mencucurkan air mata di
bawah pohon rindang itu, Kudawulung dan Kidang-
kancana masih melanjutkan percakapan mereka.
Kata Kidangkancana, "Jadi jelas bahwa muridku
masih bersama-sama muridmu. Dan berita itu jelas
ngawur." "Andika belum menjawab pertanyaanku," sergah
Kudawulung. "Apakah Andika yakin bahwa Rangga
mencintai murid Andika?"
"Hai, apakah pertanyaan itu harus kujawab" Ba-
gaimana mungkin aku bisa tahu isi hati orang yang
berjumpa juga baru satu kali"!" sahut Kidangkancana sambil tersenyum-senyum.
Kudawulung mau berkata bahwa ia sangat berke-
pentingan dengan jawaban Kidangkancana, karena
merasa kasihan kepada Nilamsari (yang ia tahu sudah menyimpan perasaan khusus
terhadap Rangga), tapi,
baru saja Kudawulung membuka mulutnya, tiba-tiba
Kidangkancana menengadah sambil menunjuk ke arah
langit dan berseru, "Hai! Apa itu?"
Kudawulung ikut menengadah. Memperhatikan titik
kecil di atas langit, yang makin lama makin membe-
sar... makin menukik... makin jelas!
*** Titik yang membesar dan menjadi jelas itu, tak lain
dari Rangga dan burung raksasa dari Nusa Aheng.
Kudawulung dan Kidangkancana, adalah dua orang
tokoh kelas tinggi. Namun tak urung mereka terpanar ketika melihat burung
raksasa itu mendarat di puncak Gunung Limagagak, kemudian Rangga turun dari
punggungnya. Rangga bergegas menghampiri gurunya dan ber-
simpuh di depannya. "Muridmu menghaturkan sem-
bah bakti, Rama Guru."
Kemudian Rangga menoleh ke arah Kidangkancana
dan sedikit terkejut melihat kehadiran guru Nyi Tiwi itu. Baik Kidangkancana
maupun Kudawulung, pada
mulanya hanya tercengang-cengang. Lalu melirik ke
arah burung raksasa berbulu merah muda itu. Lalu
melirik ke arah kotak panjang yang berada dalam pe-
lukan Rangga. Dan akhirnya, dengan tak sabar lagi Kidangkancana
bertanya, "Mana muridku" Engkau bersama-sama dia,
bukan?" Agak gugup Rangga menjawabnya, "Aku... aku...
m... meninggalkannya di Kundina. Mungkin dia...
mungkin...."
Belum lagi habis Rangga bicara, Kidangkancana
membentaknya, "Manusia keparat! Apa sebenarnya
yang telah kau lakukan terhadap muridku?"
Rangga berusaha menenangkan dirinya, dan men-
jawab, "Sudah kukatakan tadi... Nyi Tiwi kutinggalkan di Kundina... karena aku
dibawa oleh Aria Lumayung
ke..." "Bohong!" bentak Kidangkancana. "Pasti engkau
sudah mengkhianatinya, karena engkau tidak bersedia mengawininya!"
"Tidak... tidak!" tolak Rangga. "Bukan begitu per-
soalannya! Pada saat itu, aku diculik oleh orang-orang Tegalinten, kemudian
ditolong oleh Aria Lumayung
dan... dan... Nyi Tiwi terpaksa kutinggalkan, karena Aria Lumayung tidak
bersedia mengajaknya... lalu..."
"Omong kosong!" hardik Kidangkancana sambil me-
ngeluarkan senjatanya... seutas cemeti yang terbuat
dari anyaman benang emas!
Glaaaaar...! Cemeti itu dihentakkan ke udara dan
menimbulkan suara menggelegar.
Kidangkancana melirik ke arah Kudawulung, sambil
berkata, "Hari ini terpaksa aku melupakan persahabatanku denganmu, untuk
menghukum muridmu yang
jahanam ini!"
(Bersambung) Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Peristiwa Merah Salju 4 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Golok Halilintar 2
^