Pencarian

Mustika Lidah Naga 6 1

Mustika Lidah Naga 6 Bagian 1


MESTIKA LIDAH NAGA 6 Karya: Panjidarma
Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA
Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang
UDAWULUNG terpaku dalam kebingungan, karena
Kbel um tahu pasti apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh muridnya. Sementara
itu Nilamsari sudah datang menghampiri dan berdiri di samping gurunya, juga
dengan perasaan heran dan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang telah terjadi
sehingga Kidangkancana tampak begitu marah"
"Tunggu dulu," Rangga mengangkat tangannya
sambil mundur beberapa langkah. "Kuharap jangan
terjadi kesalahpahaman. Soal muridmu, nanti akan
kucari sampai dapat. Yang jelas, aku tidak punya niat mengkhianati muridmu. Aku
meninggalkan muridmu
di Kundina, semata-mata karena terdesak oleh kea-
daan..." "Setelah kau nodai dia, bukan"!" sergah Kidangkancana geram.
"Menodai"! Hihihihi... engkau memang sudah pi-
kun! Bagaimana mungkin aku yang waktu itu masih
lumpuh, bisa menodai perempuan" Omonganmu nga-
wur!" tolak Rangga sambil tersenyum-senyum.
"Tunggu dulu," kata Kudawulung sambil mengang-
kat kedua tangannya. "Kuharap Andika mau mende-
ngarkan penjelasan dari muridku terlebih dahulu. Jika memang muridku yang
bersalah, aku tidak akan
menghalang-halangi maksudmu untuk menghukum-
nya." Kidangkancana yang sedang berang, justru makin
salah paham. Sasaran kemarahannya kini adalah Ku-
dawulung. "Bagus! Rupanya engkau mau membela
muridmu yang durjana itu! Ayolah maju... jangan kau pikir aku takut menghadapi
tongkat batu wulungmu!"
Mendengar tantangan itu, Kudawulung pun menjadi
berang. "Kidangkancana! Aku tidak pernah takut
menghadapi siapa pun! Tapi kenapa kita harus ribut-
ribut seperti anak kecil" Kenapa Andika tidak memberi kesempatan kepada muridku
untuk menjelaskan duduk perkaranya dulu" Sudah kukatakan tadi, kalau
muridku bersalah, silahkan hukum dengan caramu
sendiri. Aku bukan seorang guru yang senang melindungi kesalahan muridku. Tapi
bagaimana mungkin
aku bisa membiarkan muridku dihukum oleh orang
lain, sedangkan aku belum tahu kesalahan apa yang telah dilakukannya" Duduklah
dulu dengan tenang.
Marilah kita bicara secara baik-baik, dengan hati yang jernih dan kepala yang
dingin." Namun pada saat itu Kidangkancana sudah telanjur
mencurigai Kudawulung dan terlanjur naik pitam. Ma-ka dengan garang ia menjawab,
"Cemetiku sudah ku-
keluarkan. Berarti aku harus menghadapi lawanku.
Kalian boleh maju satu per satu, atau boleh juga maju semuanya! Ini dada
Kidangkancana! Mana dada kalian"!"
Srrrrrrtttt... Kudawulung mengeluarkan tongkat pu-sakanya, lalu berdiri tegak...
dengan sikap keras.
"Baik," desis Kudawulung dingin. "Akan kuladeni
tantanganmu!"
"Rama Guru!" seru Rangga cemas. "Tunggu dulu!
Ini semua hanya kesalahpahaman! Jangan bertarung
di antara kawan sendiri! Kalau ada yang harus mem-pertanggungjawabkan
perbuatannya, biarlah aku sendiri yang akan maju menghadapi tamu galak ini!"
Namun Kudawulung yang sudah tahu kehebatan
Kidangkancana, lalu meragukan kemampuan Rangga.
Maka bentaknya, "Mundur kau, Rangga!"
Tapi Rangga pun tidak mau melihat gurunya berta-
rung gara-gara dia. Maka cepat-cepat Rangga melemparkan kotak panjangnya ke arah
si Jambon sambil
berseru, "Jaga baik-baik kotak itu, Jambon!"
Burung perkasa dari Nusa Aheng itu dengan mudah
saja menjulurkan kepalanya dan... hap... kotak itu di-tangkapnya dengan
patuknya, kemudian diletakannya di dekat kedua kakinya.
Rangga lalu melompat ke depan gurunya sambil
berseru, "Biarkan aku yang menghadapinya, Rama
Guru! Ini semata-mata karena kesalahpahaman. Tapi bagaimanapun juga persoalan
ini menyangkut pribadi-ku. Maka biarlah Rama Guru duduk saja menonton
kami menyelesaikan masalah ini!"
Pada mulanya Kudawulung akan bersikeras untuk
menghadapi Kidangkancana. Tapi lalu terpikir olehnya keinginan untuk menguji
kemampuan Rangga. Maka
akhirnya Kudawulung mundur dan membiarkan Rang-
ga berhadapan dengan Kidangkancana.
Rangga bersiap-siap sambil berkata, "Sebenarnya
kita tidak perlu bentrok. Percayalah, semua ini hanya kesalahpahaman."
"Aaaah, tutup bacotmu!" bentak Kidangkancana.
"Ayo keluarkan senjatamu!"
Rangga teringat pada pedang Saptaraga yang bera-
da di dalam kotak panjang itu. Pedang yang belum
pernah dilihatnya, karena kotaknya pun belum pernah dibuka. Tapi ia pun lalu
teringat pesan Kakek Astrabaya yang mengatakan bahwa pedang itu tidak boleh
disentuh sebelum ilmu pedangnya selesai dipelajari.
Maka akhirnya Rangga berkata, "Aku belum pernah
menggunakan senjata untuk menghadapi siapa pun.
Karena itu, kalau mau menyerang silahkan serang sa-ja, tak usah sungkan-
sungkan." Kidangkancana marah sekali, karena merasa dire-
mehkan oleh Rangga. Lalu bentaknya, "Kau lihat sendiri, aku memegang senjata
cemeti ini. Aku tidak biasa menyerang orang bertangan kosong! Ayo keluarkan
senjatamu!"
"Aku tidak punya senjata apa-apa selain kedua ta-
ngan dan kakiku ini," sahut Rangga tenang namun
penuh kewaspadaan.
Pada dasarnya, Kidangkancana adalah seorang to-
koh yang jujur. Tapi ia cepat naik darah dan seringkali bertindak tanpa dipikir
dahulu. Satu-satunya orang yang mampu meredakan segala kemarahannya, adalah
Nyi Tiwi, karena ia sangat menyayangi muridnya yang janda muda itu.
Dan kini, Kidangkancana seperti orang kalap, kare-na merasa kehilangan muridnya
yang sangat disayanginya itu. Maka dengan mata mendelik, ia menoleh ke arah
Kudawulung dan berkata, "Jangan salahkan aku kalau muridmu celaka di ujung
senjataku. Dia sendiri yang menolak mengeluarkan senjatanya."
Kudawulung yang sudah duduk di atas batu besar,
menjawab lirih, "Muridku memang belum pernah kua-
jari menggunakan senjata. Dia tidak meremehkanmu.
Dia memang tidak bisa menggunakan senjata apa
pun." Kidangkancana melecutkan cemetinya ke udara...
taaaaaaaar...! Dan dengan gerakan yang sangat cepat ia segera membuka
serangannya ke arah Rangga.
Cemeti yang terbuat dari anyaman benang emas itu
bergulung-gulung di udara. Demikian cepatnya gerakan cemeti itu, sehingga yang
tampak hanyalah
bayangan keemasan, yang meliuk-liuk seperti seekor ular dan siap 'mematuk' urat-
urat berbahaya di tubuh Rangga.
Baru sekali itu Rangga melihat senjata Kidangkan-
cana. Namun matanya yang terlatih, segera saja dapat menduga bahwa cemeti
Kidangkancana bukanlah senjata biasa. Karena itu Rangga sangat berhati-hati da-
lam gerakan demi gerakan untuk menghindari senjata lawannya. Rangga ingin
mempelajari dulu apa keistimewaan cemeti yang terbuat dari anyaman benang
emas itu. Untuk mempelajari keistimewaan cemeti Kidang-
kancana, justru tidak mudah. Karena cemeti itu sendiri menyambar-nyambar dengan
cepatnya, sehingga sulit bagi Rangga untuk memperhatikannya. Satu-
satunya jalan, adalah dengan 'mengumpamakan' sesuatu, supaya tersambar oleh
cemeti itu. Demikianlah pikir Rangga tatkala tubuhnya melompat-lompat ke
sana-ke mari untuk menghindari 'patukan' ujung cemeti Kidangkancana.
Maka pada suatu saat, ketika Rangga bersalto ke
tempat yang agak jauh dari lawannya, Rangga berhasil memungut sebutir batu
kerikil dengan cepatnya. Kemudian batu itu dilemparkan ke arah Kidangkancana,
untuk dijadikan 'umpan penyelidikan' Rangga!
Draaaaashhh...!
Batu itu tersentuh oleh cemeti Kidangkancana, lalu hancur menjadi abu!
Kehancuran batu itu sendiri ti-daklah terlalu mengherankan Rangga, karena dengan
tenaga gaib biasa pun seseorang bisa menghancurkan batu seperti itu. Yang Rangga
perhatikan, adalah bahwa abu hancuran batu itu mengepulkan asap, semen-
tara abu hancuran batu itu sendiri berwarna kemerahan.
Tahulah Rangga kini, bahwa cemeti itu mengan-
dung 'Daya Agni', yakni semacam hawa panas yang
mampu menghanguskan benda keras sekalipun.
Rangga juga pernah diajari oleh Kudawulung, bah-
wa hawa panas seperti itu harus dihadapi dengan
'Daya Indra', yakni semacam hawa dingin yang dialirkan lewat kekuatan gaib, yang
mampu membekukan
air menjadi es.
Itulah yang hendak dicoba oleh Rangga dalam
menghadapi serangan cemeti Kidangkancana.
Maka sambil melompat-lompat menghindari samba-
ran ujung cemeti Kidangkancana, secara diam-diam
Rangga mengerahkan 'Daya Indra' ke arah kedua belah telapak tangannya. Dan
ketika hawa yang sangat dingin itu sudah terkumpul di kedua telapak tangannya,
Rangga dengan sengaja menangkap cemeti Kidangkancana yang tengah menyambar ke
arah dadanya! Buuuussssshhhhh...!
Uap mengepul dari cemeti Kidangkancana, tak
ubahnya besi berpijar dicelupkan ke dalam air dingin.
Dan Rangga tetap menggenggam ujung cemeti Kidang-
kancana itu sambil mengalirkan terus hawa dingin ke arah kedua telapak
tangannya. Kidangkancana maklum apa yang sedang dilakukan
oleh murid Kudawulung itu. Dan sebagai tokoh kawakan yang sudah sangat
berpengalaman, Kidangkanca-
na juga tahu bagaimana cara menghadapi pertahanan seperti itu. Maka tanpa
berusaha menarik cemetinya, Kidangkancana menambah hawa panas ke arah senjatanya
itu. Makin lama makin panas... sehingga cemeti itu bukan hanya mengepulkan uap,
melainkan juga berbunyi kretek... kretek... pratak... pratak... pra-taaaaak...!
Inilah pertunjukan adu kekuatan gaib kelas tinggi!
Tampaknya Rangga pun tahu bahwa Kidangkanca-
na menambah hawa panas ke cemetinya, sehingga
Rangga pun tidak ragu-ragu memperkuat aliran hawa dinginnya. Maka yang terjadi
tak ubahnya besi berpijar dicelupkan ke dalam es. Dan hal itu bisa menimbulkan
letusan-letusan kecil, disertai dengan bermuncratan-nya butir-butir es yang
telah mencair! Ya, memang itulah yang terjadi. Butir-butir air ber-lompatan dari cemeti emas
Kidangkancana, disertai bunyi 'Pletak-pletek' seperti retaknya bebatuan di pa-
dang pasir yang mendapat perubahan hawa menda-
dak. Kidangkancana seakan-akan menghembuskan api
panas, sementara Rangga seolah-olah menghem-
buskan hawa es. Dan tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja Kidangkancana mengubah
hawa panasnya menjadi hawa
yang sangat dingin!
Inilah yang tidak diduga-duga oleh Rangga. Bahwa
ketika ia sedang mengerahkan hawa dinginnya untuk melawan hawa panas itu, tiba-
tiba saja ia seakan-akan diserbu oleh hawa yang sangat dingin!
Hal itu bisa diibaratkan seperti dua orang yang sedang dorong-mendorong atau
tarik-menarik, kemudian salah seorang di antara mereka melepaskan diri, sehingga
orang yang satunya lagi akan jatuh tertelung-kup atau terjungkal ke belakang!
Rangga yang tidak menduga bahwa lawannya akan
mengubah taktik serangannya, tentu saja terkejut sekali ketika dirasakannya hawa
yang sangat dingin menyerbu dengan pesatnya ke sekujur tubuhnya! Rangga hendak
berusaha mencairkan hawa dingin itu dengan mengempos hawa panas lewat kekuatan
gaibnya. Tapi sudah terlambat! Hawa dingin itu sudah keburu membekukan-aliran
darahnya, sehingga tubuhnya lalu te-gang-kaku seperti patung... dan cemeti emas
itu terle-pas dari genggamannya!
Pada saat lain, Kidangkancana menghentakkan ce-
metinya ke udara dan lalu disambarkan ke arah leher Rangga!
Kudawulung memejamkan matanya, dengan hati
memekik, Oh! Inilah akhir riwayat muridku!
Soalnya Kudawulung tahu benar ke mana ujung ce-
meti Kidangkancana itu hendak menyambar. Sedang-
kan Kudawulung sendiri terikat oleh jiwa ksatrianya, untuk tidak ikut campur ke
dalam pertarungan itu, sebelum Rangga benar-benar roboh di ujung cemeti
lawannya. Nilamsari secepatnya mau bergerak untuk meno-
long Rangga. Tapi Kudawulung menarik pergelangan
tangannya, tanpa bicara sepatah pun. Maksud Kuda-
wulung tak lain, bahwa ia tidak akan berusaha membiarkan muridnya main keroyok,
terlebih lagi terhadap orang yang dihormatinya sebagai seorang sahabat.
Cemeti Kidangkancana sudah menyambar ke arah
urat yang paling berbahaya di bawah dagu Rangga,
pada saat Rangga masih berdiri kaku dan beku.
Namun tepat pada saat yang sangat kritis itulah, secara tiba-tiba saja si Jambon
mengepakkan sayapnya sambil melesak ke arah Kidangkancana. Hal ini benar-benar
di luar dugaan Kidangkancana, karena
tadinya ia mengira si Jambon hanya seekor burung
"blo'on", meskipun ia tahu bahwa jenis burung seperti itu baru sekali ini
dilihatnya. Dan yang sangat tidak diduga oleh Kidangkancana,
adalah bahwa terjangan si Jambon demikian dahsyatnya... bahkan jauh lebih
dahsyat daripada terjangan Rangga!
Maka ketika Kidangkancana menarik cemetinya se-
cepat kilat, lalu mengalihkan sambaran cemeti itu ke arah si Jambon...
terjadilah sesuatu yang menge-jutkan. Cemeti itu memang berhasil menghantam dada
si Jambon. Tapi justru Kidangkancana sendiri yang terpental jauh... jauh
sekali... sehingga terjerumus ke arah lereng di sebelah timur!
"Waaaaaak...!" si Jambon mengeluarkan teriakan
nyaring, sambil terbang ke arah timur.
Kudawulung dan Nilamsari terbengong-bengong,
karena baru sekali itu mereka menyaksikan kehebatan seekor burung, sehingga
dengan begitu mudahnya Kidangkancana dibuat terpental ke lereng gunung.
Pada saat berikutnya, mereka menyaksikan sesuatu
yang mencengangkan lagi. Bahwa burung raksasa itu datang lagi, sambil
mencengkeram tubuh Kidangkancana yang tiada berdaya lagi!
Si Jambon menggeletakkan Kidangkancana di de-
pan Rangga, kemudian mengeluskan patuknya ke da-
da Rangga dan... tiba-tiba saja Rangga bisa bergerak lagi seperti biasa!
Semuanya itu terjadi dalam tempo yang sangat
singkat, sehingga baik Kudawulung maupun Nilamsari hanya ternganga dan
terbelalak. Rangga berjongkok di dekat Kidangkancana, untuk


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneliti apa yang diderita oleh guru Nyi Tiwi itu. Ternyata Kidangkancana
mengalami luka dalam di bagian dadanya, sebagai akibat tolakan tenaga gaibnya
sendiri yang dibalikkan oleh si Jambon tadi.
Tapi tiba-tiba saja Kidangkancana bangkit dengan
wajah pucat pasi. Memandang Rangga dengan tatapan berapi-api.
Sebenarnya Rangga bermaksud menolong Kidang-
kancana untuk memulihkan luka dalamnya. Namun
Kidangkancana bangkit, menyapukan pandangannya
ke setiap orang yang ada di puncak Gunung Limaga-
gak itu, lalu berkata tajam, "Dengan mengandalkan burung celaka itu, kalian
telah mencoreng mukaku
dengan sesuatu yang tak mungkin kulupakan! Pada
saat lain aku akan datang lagi ke sini, untuk membuat perhitungan!"
"Kidangkancana," seru Kudawulung, "sebenarnya
tiap persoalan di antara kita, bisa kita selesaikan secara baik-baik. Tapi
Andika memilih jalan yang keliru.
Aku hanya berharap semoga tidak akan ada dendam di antara kita, yang pada
akhirnya..."
Kudawulung tidak melanjutkan kata-katanya, kare-
na Kidangkancana telah meninggalkan puncak gunung itu sambil memegangi dadanya
yang terluka parah.
Kudawulung menghela napas panjang. Melirik ke
arah Rangga, ke arah Nilamsari, ke arah si Jambon dan ke arah Kidangkancana yang
sudah jauh meninggalkan puncak gunung itu.
Agak lama puncak Gunung Limagagak dicengkeram
keheningan. Tak seorang pun yang mengeluarkan sua-ra.
*** EKARANG ceritakanlah apa sebenarnya yang telah
Ster jadi?" tanya Kudawulung setelah cukup lama
membisu. Rangga lalu menceritakan apa yang telah diala-
minya, sejak berpisah dengan gurunya di tepi Sungai Cigelung, sampai ke
pertemuannya dengan Bagawan
Suwandarama di Nusa Aheng.
Kudawulung mendengarkan penuturan muridnya
dengan penuh perhatian. Demikian pula Nilamsari,
ikut mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Setelah Rangga selesai menuturkan pengalaman-
nya, Kudawulung berkata, "Engkau bernasib baik...
sangat baik, Rangga. Aku saja yang sudah tua begini, belum pernah berjumpa
dengan sang Astrabaya, terlebih lagi dengan Bagawan Suwandarama."
"Tapi," lanjut Kudawulung, "tampaknya engkau
akan menghadapi tugas yang berat... mengenai anak-mu dan mengenai mestika lidah
naga itu. Untunglah Bagawan Suwandarama telah menganugerahi senjata
pusaka itu. Engkau juga beruntung, karena sekarang telah mempunyai teman yang
begitu perkasa," kata
Kudawulung lagi, sambil menunjuk ke arah si Jambon yang tengah mendekam di atas
sebuah batu besar.
"Tapi ganjalan di hati Kidangkancana itu, entah bagaimana cara
menghilangkannya," kata Rangga.
Kudawulung menghela napas panjang. Lalu ka-
tanya, "Memang kurang enak bermusuhan dengan to-
koh jujur seperti Kidangkancana. Tapi biarlah... aku akan berusaha mencari
muridnya, sekaligus untuk
menjernihkan perselisihan yang tak perlu terjadi ini."
Kemudian Kudawulung menoleh ke arah Nilamsari,
dengan senyum dan kata-kata, "Sekarang jelas, bu-
kan"! Rangga tidak mencintai murid Kidangkancana
itu. Apakah kecemasanmu sudah punah?"
Nilamsari tersipu-sipu, lalu menunduk malu.
Rangga agak heran dan bertanya, "Ada apa dengan
dia?" Sahut Kudawulung, "Hahahahaaaa... selama ini Ni-
lamsarilah yang paling cemas memikirkan dirimu,
Rangga." "Ah, Rama Guru...!" Nilamsari berseru perlahan, la-lu menutupi mukanya dengan
kedua telapak tangan-
nya dan... tiba-tiba saja ia berlari ke balik pohon di sebelah timur sana.
"Ada apa sebenarnya, Rama Guru?" tanya Rangga
lagi, heran. "Anak goblok!" bentak Kudawulung. "Dia mencintai-
mu, tahu"!"
Rangga terbelalak.
"Dia sempat tercemas-cemas tadi," kata Kudawu-
lung. "Karena Kidangkancana bilang, bahwa kau mencintai muridnya."
Rangga terdiam.
"Ayo cepat hampiri dia," perintah Kudawulung. "Katakan padanya bahwa kau tidak
mencintai murid Ki-
dangkancana. Katakan pula bahwa kau hanya mencin-
tai dia seorang."
Rangga terlongong-longong lagi. Pikirnya. "Bagaima-na Rama Guru ini"! Masa aku
didikte dalam soal cin-ta" Ah... kematian Tineng masih membelenggu pera-
saanku. Tineng memang tidak secantik Nilamsari. Tapi waktu Tineng mati, aku
masih terlalu mencintainya.
Mungkinkah aku bisa melupakan Tineng yang pernah
hidup bersama denganku?"
Seperti mengerti apa yang dirasakan oleh muridnya, Kudawulung lalu berkata,
"Lupakanlah istrimu yang sudah mati itu. Engkau masih terlalu muda untuk hidup
sendirian begitu, Rangga. Terimalah putri mendiang Adipati Wiralaga itu. Kurasa
dia mencintaimu dengan tulus."
Sahut Rangga, "Aku memang masih terlalu sering
dihantui bayang-bayang wajah istriku, Rama Guru."
"Lantas apa yang akan kau perbuat dengan istrimu
yang sudah tiada itu" Apakah kau bisa menghidupkan kembali orang yang sudah
mati?" tanya Kudawulung
sambil memegang bahu Rangga. "Sudahlah... lupakan masa lalumu dan hadapi masa
depanmu dengan semangat baru."
Akhirnya Rangga melangkah dengan bimbang, ke
arah pohon rindang di sebelah timur itu, di mana Nilamsari sedang duduk
termangu-mangu.
Ketika Rangga datang dan duduk di samping Nilam-
sari, tampak gugup putri mendiang Adipati Wiralaga itu.
Dan Rangga bertanya lugu, "Benarkah apa yang di-
katakan oleh guru kita itu?"
Nilamsari semakin gugup. "A... apanya yang benar?"
"Guru kita bilang, kau mencintaiku. Apakah itu benar?"
Nilamsari tersipu. Memandang ke arah timur sana.
Lalu sahutnya, "Entahlah... mungkin juga benar...."
"Tapi kau sudah tahu siapa aku, bukan?"
"Maksud... mm... maksud Kang Rangga?"
"Aku ini bukan bujangan lagi. Aku pernah punya istri, sudah punya anak. Dan
sekarang anakku... ah...
justru aku sedang pusing memikirkan itu... seandainya dia benar-benar lain dari
manusia biasa, apakah kau bersedia menerima dan menyayanginya seperti kepada
anak kandungmu sendiri?"
Nilamsari menatap wajah Rangga, lalu membuang
muka, dan lalu mengangguk perlahan.
Tapi Rangga belum puas juga. Tanyanya lagi, "Kau
tidak akan menyesal karena mencintai lelaki keturunan rakyat biasa, sementara
kau sendiri keturunan adipati yang..."
"Jangan kau sebut-sebut lagi soal keturunan," sergah Nilamsari. "Aku sudah bukan
anak adipati lagi, Kang."
"Tapi darah yang mengalir di tubuhmu, tetap darah ningrat. Tidak sama dengan
darah yang mengalir di tubuhku," kata Rangga.
Tiba-tiba saja Nilamsari menggenggam pergelangan
tangan Rangga, sambil berkata perlahan, "Jangan bi-carakan lagi soal keturunan.
Sekarang kedudukan kita sama-sama murid Kudawulung. Itu saja. Dan aku...
aku memang... ah... entahlah... selama ini aku sering memikirkanmu, Kang."
Rangga memegang tangan lembut dan hangat itu.
Dan kata Rangga, "Aku senang sekali mendengarnya.
Tapi untuk sementara ini, sebaiknya kita memusatkan tenaga dan pikiran kita
terhadap ilmu yang sedang kita pelajari."
"Jadi... Kang Rangga menerimaku?" tanya Nilamsari perlahan, hampir tak
terdengar. Rangga mengangguk dengan senyum.
O, bahagianya hati Nilamsari saat itu!
Namun benak Rangga saat itu sedang digayuti oleh
bermacam-macam pikiran, terutama mengenai anak-
nya yang kata Bagawan Suwandarama 'dirasuki suk-
ma Naga Taksaka' itu.
Ketika sepasang manusia muda itu sedang tengge-
lam dalam terawangannya masing-masing, terdengar
suara Kudawulung memanggil mereka.
Bergegas mereka menghampiri guru mereka.
Dan kata Kudawulung, "Bagaimanapun juga Ki-
dangkancana itu kawan sealiran dengan kita, yang
sama-sama menjunjung tinggi kebenaran. Karena itu, aku mau pergi ke Tegalinten,
untuk menyelidiki benar-tidaknya berita tentang tertangkapnya murid
Kidangkancana itu. Mudah-mudahan saja bantuanku nanti
akan mencairkan kembali hubungan baik kita dengan Kidangkancana."
"Tapi... seharusnya aku yang pergi menyelidik ke
sana," kata Rangga. "Karena sedikit banyaknya aku turut bertanggungjawab atas
diri murid Kidangkancana itu."
"Tidak," tolak Kudawulung. "Engkau harus mema-
tuhi petunjuk Bagawan Suwandarama. Pelajarilah ilmu pedang yang dianugerahkan
padamu itu, lalu carilah anakmu dan dapatkan mestika lidah naga itu. Kalau
semuanya itu sudah kau selesaikan, barulah kau boleh memikirkan soal-soal lain."
Kemudian Kudawulung mengelus rambut Nilamsari,
sambil berkata, "Latihlah kembali setiap pelajaran yang telah kuturunkan padamu.
Kalau ada hal-hal
yang menyulitkanmu, mintalah petunjuk pada mmm...
pada kekasihmu ini."
Nilamsari tersipu-sipu mendengar kata 'kekasihmu'
itu. Tapi lalu ia menyahut, "Baiklah, Rama Guru. Aku akan melatih diri segiat
mungkin." Baru saja selesai Nilamsari berkata, tiba-tiba hilan-glah Kudawulung dari
pandangannya. Hanya suaranya yang masih terdengar: "Berbahagialah kalian! Tapi
hindarkanlah perbuatan-perbuatan tercela, sebelum kalian diresmikan menjadi
suami-istri...!"
*** Setelah Kudawulung berlalu, perhatian Rangga lalu
tertumpah ke kotak panjang yang masih dijaga oleh si Jambon itu. Lalu diambilnya
kotak itu dan dibukanya tutupnya.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah kitab kecil dan sebuah bungkusan panjang yang
Rangga yakini sebagai pedang Saptaraga.
Rangga mengikuti pesan sang Astrabaya, supaya
jangan menyentuh dulu pedang Saptaraga sebelum
menguasai ilmu pedangnya. Maka setelah mengelua-
rkan kitabnya, Rangga menutupkan kembali tutup kotak itu dan mengembalikannya
pada si Jambon. "Pe-
dang itu belum boleh kusentuh. Kuharap kau menja-
ganya baik-baik, Jambon."
"Kaaaaak...!" burung raksasa itu mengangguk.
Dan Rangga mulai membuka kitab itu, sementara
Nilamsari masuk ke dalam gua di perut Gunung Limagagak, untuk memasakkan nasi
bagi Rangga. *** ELESAI Prabalaya berkuasa di Kawahsuling, seba-
Sgai pengganti mendiang Adipati Natajaya, keadaan di kota kadipaten itu benar-
benar menyedihkan. Adipati Prabalaya mengubah kota yang kecil tapi indah itu,
menjadi kota yang tak ubahnya neraka bagi ra-kyatnya.
Kekejaman demi kekejaman melanda Kawahsuling,
sehingga rakyat yang tinggal di daerah kekuasaan Adipati Prabalaya itu,
senantiasa dicengkeram ketakutan yang amat sangat.
Tadinya rakyat Kawahsuling sudah gembira ketika
mereka mendengar binasanya Adipati Natajaya di kotaraja. Kemudian mereka
berharap agar Kawahsuling dipimpin oleh adipati yang bijaksana. Tapi ternyata
orang yang menggantikan mendiang Adipati Natajaya, jauh lebih kejam lagi.
Sejak Prabalaya diangkat menjadi adipati, rakyat
Kawahsuling seakan-akan dipimpin oleh iblis bertubuh manusia. Kalau ada rakyat
yang melakukan kesalahan sedikit saja, hukumannya sudah pasti... leher dipeng-
gal, kemudian kepalanya digantungkan di dahan po-
hon rindang yang tumbuh di tengah alun-alun!
Pajak daerah dinaikkan berlipat ganda dan ditarik tiap bulan. Rakyat yang berani
menunggak pajak, hukumannya sudah pasti... tanah garapan dan harta miliknya
disita. Dan mereka yang berani membangkang, hukumannya pun sudah pasti: potong
leher... plassssh! Sementara itu Adipati Prabalaya sudah mulai me-
numpuk harta sebanyak-banyaknya, demi kepentingan pribadinya dan demi
kepentingan golongan hitam yang dipimpin oleh ayahnya (Prabaseta).
Seperti saudara perempuannya, Adipati Prabalaya
pun mempunyai kegilaan tersendiri terhadap lawan je-
nisnya. Baru saja sebulan diangkat menjadi adipati di Kawahsuling, ia langsung
memperistrikan tujuh orang gadis pilihannya, sekaligus. Dan tak cukup dengan itu
saja, tiap malam ia membutuhkan 'hiburan' berupa tubuh-tubuh molek dan
menggiurkan. Maka sibuklah
para kaki tangannya berkeliaran mencari calon korban untuk dipersembahkan kepada
sang Adipati. Kalau Adipati Prabalaya sudah menghendaki pe-
rempuan baru, untuk dijadikan pelampiasan kebina-
tangannya, maka ia takkan peduli apakah perempuan itu sudah punya calon suami
atau tidak... disabet terus. Bahkan wanita-wanita bersuami pun seringkali
menjadi korban kebinatangan Adipati Prabalaya!
Maka dalam tempo tiga bulan saja, sudah berpuluh-
puluh wanita menjadi korban kebinatangan Adipati
Prabalaya. Hal itu sempat mencemaskan ayah Prabalaya sen-
diri. Pernah pada satu hari Prabaseta menasihati anaknya itu: "Jangan terlalu
memperturutkan nafsumu,
anakku. Engkau memang sudah berkuasa di Kawah-
suling ini. Takkan ada seorang pun yang berani merin-tangi hasratmu. Namun
ingatlah, kalau sampai hal ini tercium oleh orang-orang kerajaan, bukan tak
mungkin kerajaan akan mencopot kedudukanmu, kemudian
orang lain akan menggantikanmu. Inilah yang kuce-
maskan." Namun Adipati Prabalaya tidak mau mendengarkan
nasihat ayahnya itu. Kekejaman dan nafsu binatangnya bahkan semakin merajalela.
Dan Kawahsuling
menjadi daerah yang sangat mengerikan, baik bagi
pembayar pajak maupun bagi wanita-wanita yang ber-paras 'lebih dari lumayan'.
Dari hari ke hari, kekejaman dan kebinatangan Adipati Prabalaya semakin
merajalela. Sehingga rakyat
Kawahsuling semakin dicengkeram keresahan dan ke-
takutan. Dan Adipati Prabalaya tidak peduli dengan apa pun yang terjadi sebagai
akibat dari tindakan-tindakannya.
Tapi Adipati Prabalaya melupakan satu hal. Bahwa
jika suatu ketakutan sudah melewati batasnya, maka ketakutan itu sendiri akan
menjadi suatu keberanian.
Bahwa jika seseorang disiksa sampai melewati batas rasa sakit yang paling


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi, maka orang itu tidak akan merasa sakit lagi.
Hal itu lalu terjadi di Kawahsuling.
Setelah rakyat Kawahsuling merasa bahwa perlaku-
an Adipati Prabalaya dan kaki tangannya, sudah melewati batas-batas
perikemanusiaan, mereka lalu saling bisik.
"Besok pagi kita berkumpul di tepi Cigelung."
"Besok pagi?"
"Ya. Kita tidak dapat membiarkan diri kita terus-
menerus dijadikan korban keganasan adipati yang ba-ru itu."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Entahlah, tergantung pada keputusan besok pagi
saja. Pokoknya semua kita putuskan bersama."
"Baik, besok kami akan datang."
"Ingat... perginya jangan beramai-ramai, supaya tidak menarik perhatian
prajurit-prajurit kadipaten."
Dan... begitulah, besok paginya (sejak hari masih gelap benar) rakyat
Kawahsuling berangkat ke tepi Cigelung. Kepergian mereka dari rumah masing-
masing, tidak menarik perhatian, karena mereka meninggalkan rumahnya seorang
demi seorang. Ketika matahari sepenggalah tingginya, rakyat Ka-
wahsuling sudah berkumpul semuanya di tepi Sungai Cigelung. Laki-laki,
perempuan, dewasa maupun anak-
anak, berkumpul semua di tepi sungai yang letaknya cukup jauh dari kota
kadipaten itu. Di situlah mereka mengadakan pembicaraan dari
hati ke hati, untuk memperbincangkan Adipati Prabalaya dan langkah-langkah yang
akan mereka ambil.
Dalam musyawarah itu, seorang pemuda bernama
Sumirat, berkata dengan lantang dan berapi-api. "Kita tidak bisa membiarkan
keadaan ini berlarut-larut! Kita punya tiga pilihan. Pertama, mati dalam
kekejaman Adipati Prabalaya. Kedua, mati dalam perjuangan suci membela kebenaran
dan keadilan. Ketiga, menang dalam perjuangan dan Adipati Prabalaya terbunuh di
tangan kita! Marilah kita putuskan sekarang juga
langkah mana yang akan kita tempuh! Apakah kita
mau membiarkan diri kita diperas sampai mampus,
atau secepat mungkin kita bertindak dengan cara kita sendiri! Dan usulku... kita
serbu istana kadipaten sekarang juga! Kita bakar bangunan yang sudah menjadi
tempat maksiat itu! Kita habisi keluarga Adipati Prabalaya sampai tuntas!"
Tepuk tangan riuh menyambut usul Sumirat yang
dianggap sebagai 'kejutan' itu. Tapi seorang lelaki tua bernama Targana, maju ke
muka dan berkata dengan
nada yang tenang. "Apa pun langkah yang akan kita ambil, hendaknya jangan sampai
dianggap menentang kerajaan. Selain daripada itu, kita pun harus memperhitungkan
kekuatan Adipati Prabalaya. Perjuangan dalam menegakkan keadilan dan kebenaran,
memang suatu langkah yang mulia. Tapi janganlah kita sampai mati konyol dalam
perjuangan yang terburu-buru..."
Belum habis Targana bicara, seorang pemuda nyele-
tuk. "Mang Targana! Perjuangan yang terlalu banyak menghitung ini dan itu, bukan
perjuangan lagi namanya. Yang begitu lebih tepat disebut perjulingan!"
(Editor: perjulingan" Apa artinya" )
"Hihihihihi...!" terdengar tawa geli di sana-sini.
"Dengar dulu," seru Targana sambil mengangkat ta-
ngannya. "Sebelum aku selesai bicara, kuharap kalian jangan dulu memotongnya.
Nanti toh semuanya kita
putuskan bersama-sama. Dan kalau akhirnya usul Sumirat yang harus diterima, aku
pun akan mengiku-
tinya. Tapi dengarlah dulu saran-saranku!"
Hadirin terdiam.
Targana melanjutkan. "Salah satu hal yang harus
kita perhitungkan, adalah munculnya orang-orang ba-ru di Kawahsuling. Menurut
desas-desus, mereka itu berasal dari golongan hitam, yang kini akan menjadi
pendukung setia Adipati Prabalaya. Menurut desas-desus pula, mereka itu orang-
orang terlatih, yang sudah biasa dengan segala macam kekerasan. Sedang-
kan kita" Berapa orang di antara kita yang mampu
melakukan kekerasan dengan hasil yang meyakin-
kan?" Hadirin terdiam dan saling pandang.
Kata Targana lagi. "Selain daripada itu, wanita dan anak-anak harus kita
pertimbangkan pula. Kalau kita mati terlalu cepat, siapa yang akan mengurusi
mereka?" Sumirat berdiri dan berkata lantang. "Mang Targa-
na! Sebaiknya Mang Targana bicara langsung pada sasarannya! Apa yang akan
diusulkan oleh Mang Targa-na?"
Targana menjawab. "Menurut pendapatku, lebih
baik kita mengungsi saja."
"Mengungsi"!" gumam hadirin.
"Ya," sahut Targana. "Sebaiknya kita tinggalkan saja Kawahsuling yang terus-
terusan mengalirkan kesengsaraan itu. Kemudian kita cari tanah baru, daerah ba-
ru, yang mudah-mudahan mendatangkan harapan ba-
ru pula di hati kita."
Seorang lelaki yang sebaya dengan Targana, berdiri dan berkata. "Aku setuju
dengan usul Targana! Kita telah berkali-kali ganti adipati, tapi ternyata
Kawahsuling tidak memberikan apa-apa bagi kita, selain kesengsaraan, keresahan
dan kecemasan. Mudah-mudahan
di tempat yang baru nanti, kita akan memperoleh kehidupan yang layak, dihargai
pula sebagai manusia dengan segala haknya."
Sumirat tetap bersikeras dengan usulnya. "Tidak!
Kita tidak boleh mundur begitu! Kalau kita tinggalkan Kawahsuling, Adipati
Prabalaya keenakan! Tanah kita, rumah kita, tanam-tanaman kita... semuanya akan
dimilikinya! Sedangkan kita, masih akan mencari-cari daerah baru yang belum
tentu memberikan kesenan-gan bagi kita!"
Targana menyanggah. "Taruh katalah tanah, rumah
dan tanam-tanaman kita lalu dimiliki oleh Adipati Prabalaya. Lalu siapa yang
akan menggarapnya kalau Kawahsuling sudah menjadi daerah tak berpenduduk?"
"Betul juga kata Mang Targana itu," kata salah seorang pemuda yang mulai
tertarik oleh usul Targana.
"Orang-orang dari golongan hitam itu tidak mungkin mampu menggarap sawah dan
mengurus tanam-tanaman lainnya. Setelah kita tinggalkan, Kawahsuling akan
menjadi hutan belantara. Dan akhirnya Adipati Prabalaya pun akan sadar, bahwa
tanpa rakyat... seorang raja pun akan menderita dibuatnya! Aku setuju usul Mang
Targana!" "Ya, aku juga setuju usul Mang Targana!" seru lelaki yang lain.
Dan lalu sebagian besar dari rakyat Kawahsuling
yang berkumpul di tepi Sungai Cigelung itu, menyata-
kan setuju terhadap usul Targana.
Akhirnya Sumirat pun berkata. "Kalau memang itu
jalan yang terbaik bagi kita semua, aku pun akan me-ngalah dan mengikuti usul
Mang Targana. Tapi ke ma-na kita akan mengungsi?"
Sahut Targana, "Hal itu tidak bisa kita tentukan sekarang. Nanti, dalam
perjalanan mengungsi itulah kita akan bisa memilih-milih daerah mana yang tepat
dijadikan tempat baru kita. Pokoknya kita bawa barang ki-ta masing-masing,
kemudian marilah kita tempuh sua-tu perjalanan panjang, sampai kita temukan
daerah yang membawa harapan baru itu!"
"Perjalanan pengungsian itu pasti penuh penderita-an. Mungkin saja kita akan
mati kelaparan sebelum berhasil mencapai daerah yang sesuai dengan keinginan
kita," kata salah seorang rakyat Kawahsuling.
"Ya," sahut Targana tegar. "Hal itu sangat mungkin terjadi. Tapi anggaplah
kemungkinan seperti itu, sebagai resiko dari suatu perjuangan. Dan mudah-
mudahan saja hal seperti itu tidak akan terjadi."
*** Demikianlah... musyawarah rakyat Kawahsuling di
tepi Sungai Cigelung itu, akhirnya mencapai kata sepakat... bahwa mereka akan
meninggalkan Kawahsul-
ing yang penuh dengan kesengsaraan itu.
Pada hari itu juga mereka memutuskan untuk men-
gungsi ke selatan, kemudian jika mereka telah sampai pada satu titik di sebelah
selatan, mereka akan bergerak ke arah timur. Jalan memutar itu terpaksa mereka
ambil, supaya jangan diketahui oleh kaki tangan Adipati Prabalaya yang pada
umumnya sering mengambil jalan utara sebelum menuju ke arah timur (kotaraja
Tegalinten terletak di sebelah timur Kawahsuling).
Tanpa disadari, keputusan itu merupakan 'langkah
selamat' bagi mereka. Karena kalau mereka mengambil jalan langsung ke timur
ataupun berangkat ke utara dulu, berarti mereka harus melewati Tilugalur yang
masih diselimuti misteri itu.
Demikianlah... pada hari yang telah ditentukan, rakyat Kawahsuling meninggalkan
rumahnya masing-
masing, menuju ke selatan. Seperti waktu mau men-
gadakan musyawarah di tepi Cigelung, kali ini pun mereka bergerak secara diam-
diam, tanpa diketahui oleh kaki-tangan Adipati Prabalaya.
*** DIPATI Prabalaya bersila di atas permadani ruang
Acen gkerama, dikelilingi oleh sembilan orang gundik yang genit-genit. Sesekali
terdengar tawa geli para gundik itu, manakala sang Adipati menyentuh bagian peka
di tubuh mereka. Lalu terdengar pula gelak tawa sang Adipati, gelak tawa manusia
iblis yang sudah terlalu banyak mencucurkan darah rakyat Kawahsuling.
Tiba-tiba seorang prajurit kadipaten datang meng-
hadap, membuat dahi sang Adipati berkerut, karena merasa terganggu oleh
kehadiran prajurit itu.
"Ada apa"!" bentak Adipati Prabalaya.
"Ampun, Kanjeng Adipati. Hamba bermaksud meng-
haturkan berita yang aneh," sahut prajurit itu sambil menyembah.
"Berita apa?" tanya Adipati Prabalaya, masih den-
gan suara membentak.
Prajurit itu menjawab, "Rumah-rumah di seluruh
Kawahsuling tampak kosong. Tak seorang rakyat pun berada di rumahnya. Bahkan
anak-anak pun tidak ada
yang menampakkan diri."
"Lalu?"
"Lalu hamba masuk ke rumah-rumah yang kosong
itu. Dan ternyata barang-barang mereka pun tidak
ada. Hamba takut kalau-kalau mereka sedang mem-
persiapkan sesuatu, Kanjeng Dipati."
Adipati Prabalaya mulai menanggapi berita itu de-
ngan sungguh-sungguh. "Apakah semua rumah sudah
digeledah?"
"Belum," sahut prajurit itu. "Tapi sudah cukup banyak rumah yang hamba geledah.
Dan semuanya ko-
song melompong. Tidak ada pakaian, tidak ada periuk nasi, tidak ada..."
"Cukup!" potong Adipati Prabalaya. "Sekarang kum-
pulkan seluruh prajurit kadipaten di alun-alun!"
"Baik, Kanjeng Dipati. Hamba akan segera melak-
sanakan titah Kanjeng Dipati," prajurit itu melangkah mundur (dengan lutut),
lalu meninggalkan ruang
cengkerama. Tak lama kemudian, prajurit-prajurit kadipaten berkumpul di alun-alun. Jumlah
mereka sangat banyak
untuk ukuran zaman itu. Dahulu, waktu Kawahsuling masih dipimpin oleh Adipati
Wiralaga, prajurit-prajurit kadipaten hanya berjumlah duapuluh orang. Setelah
Adipati Natajaya berkuasa, jumlahnya meningkat menjadi seratus limapuluh orang.
Dan setelah daerah Kawahsuling dikuasai oleh Adipati Prabalaya, jumlah prajurit-
prajurit kadipaten meningkat lagi, menjadi tujuhratus orang!
Dari mana Adipati Prabalaya bisa mendapatkan
prajurit sebanyak itu" Bukankah pada zaman itu masih sulit mencari tenaga kerja
yang bersedia dijadikan prajurit"
Sebenarnya banyak prajurit baru yang diangkat
oleh Adipati Prabalaya, sebagai hasil 'rekrut' dari golongan hitam. Mereka yang
berasal dari golongan hitam itu, justru lebih banyak daripada prajurit-prajurit
yang berasal dari Kawahsuling sendiri.
Di samping tujuan-tujuan pribadinya, Adipati Pra-
balaya pun bertujuan merekrut golongan hitam sebanyak-banyaknya, untuk bergabung
dalam barisan ka-
dipaten. Bahkan secara diam-diam Adipati Prabalaya ingin memiliki balatentara
yang sama besarnya dengan balatentara kerajaan!
Apakah Adipati Prabalaya memiliki ambisi terselu-
bung untuk 'mengembangkan' Kadipaten Kawahsuling
menjadi kerajaan"
Ya, ambisi itu memang ada di hati Adipati Praba-
laya. Bahkan secara diam-diam ia pernah merundingkan hal itu dengan saudaranya
(Senapati Prabayani).
Maka kalau ambisi Adipati Prabalaya diperhitung-
kan, sebenarnya Kerajaan Tegalinten sedang berada dalam bahaya. Dan bahaya itu
tidak hanya berada dari Kawahsuling, melainkan juga berasal dari dalam istana
sendiri! *** Setelah prajurit-prajurit kadipaten berkumpul di alun-alun, Adipati Prabalaya
muncul di depan mereka.
Kemudian terdengar suara sang Adipati.
"Kalian semua kukumpulkan, karena aku mende-
ngar laporan tentang kosongnya rumah-rumah pendu-
duk di daerah Kawahsuling ini. Untuk menjaga segala kemungkinan, kuperintahkan
kalian agar mengadakan penyelidikan secara seksama, di mana sebenarnya rakyat
Kawahsuling berada sekarang. Seandainya ada
gejala-gejala bahwa mereka sedang merencanakan
pemberontakan, tumpas mereka, tak usah menunggu
perintah lagi. Tapi dalam hal ini hendaknya kalian bertindak hati-hati, karena
mungkin saja ada pihak luar yang sedang berusaha menunggangi mereka."
Kemudian Adipati Prabalaya berbicara panjang le-
bar, tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh para prajurit kadipaten
yang berjumlah tujuhratus orang itu.
Ketika Adipati Prabalaya sedang berbicara di depan prajurit-prajuritnya, tak
seorang pun di antara mereka yang menyadari bahwa sesuatu yang aneh sedang
terjadi di alun-alun itu.
Di belakang barisan prajurit kadipaten itu, tanahnya retak-retak... lalu tampak
sebuah mulut lubang sebesar kepalan tangan. Dan mulut lubang itu membesar dengan
dengan cepatnya, tapi tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dalam waktu singkat
saja mulut lubang itu sudah cukup besar, cukup untuk dimasuki oleh tubuh manusia
dewasa. Dan... di mulut lubang itu tampak sepasang mata
berkeliaran, seperti mencari sesuatu di atas permukaan tanah alun-alun.
Lalu terjadilah sesuatu yang berlangsung demikian cepatnya, sehingga baik
prajurit-prajurit kadipaten maupun Adipati Prabalaya sendiri, tidak menyadari
hal itu. Bahwa dari mulut lubang itu muncul ujung lidah yang bercabang...
menjulur dengan cepatnya ke luar...
demikian panjangnya, sehingga bisa mencapai dahi-
dahi tujuhratus orang prajurit yang sedang berbaris di alun-alun itu.
Kemudian... plop... lidah yang sangat panjang seperti pita berpuluh-puluh meter
itu, masuk kembali ke dalam lubang tadi. Dan lubang itu pun ter-tutup kembali,
tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Kejadian misterius berlangsung dalam tempo yang
sangat cepat, sehingga Adipati Prabalaya yang sedang
berbicara di panggung khusus, sama sekali tidak me-nyadarinya.
Adipati Prabalaya bahkan melanjutkan kata-
katanya, yang sudah sampai pada perintah terakhir:
"Sekarang kalian harus membagi diri menjadi empat kelompok. Kelompok pertama
bergerak ke arah utara, kelompok kedua bergerak ke arah selatan, kelompok ketiga
bergerak ke arah barat dan kelompok keempat bergerak ke arah timur...."
Adipati Prabalaya tidak melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba saja ketujuh
ratus prajurit kadipaten itu ambruk ke tanah!
Adipati Prabalaya terkejut sekali, lalu melompat ke bawah panggung dan berlari


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memburu prajurit-prajuritnya yang sudah bergeletakan di tanah itu.
"Kenapa kalian" Kenapa?" Adipati Prabalaya meme-
riksa prajurit-prajuritnya dengan gugup dan panik.
Dan semakin panik sang Adipati, setelah diketahuinya bahwa seluruh prajurit
kadipaten yang berjumlah tujuhratus orang itu... tak bernyawa lagi!
"Oh... oh... oh... apa yang telah terjadi ini" Mungkinkah ada seseorang yang
berilmu demikian ting-
ginya, sehingga mampu membinasakan tujuhratus
orang dalam tempo sekejap mata saja"!" gumam Adipa-ti Prabalaya dengan tubuh
gemetaran. Adipati Prabalaya memang sudah cukup lama ber-
kecimpung di dunia kekerasan. Namun baru sekali itu ia mengalami kejadian yang
demikian ganjil dan menyeramkan.
Maka setelah sadar bahwa ia merupakan satu-satu-
nya orang yang masih hidup di alun-alun itu, secepatnya ia berlari ke istana
kadipaten. Dengan nafas terengah-engah Adipati Prabalaya
memanggil para penjaga istana kadipaten yang jum-
lahnya limabelas orang. Tinggal limabelas orang itulah prajurit yang masih hidup
di Kawahsuling.
"Sesuatu yang aneh telah terjadi," kata Adipati Prabalaya. "Tanpa diketahui
sebabnya, prajurit-prajurit kadipaten yang berkumpul di alun-alun, binasa selu-
ruhnya." Kelimabelas penjaga istana kadipaten itu terperanjat, lalu saling pandang di
antara mereka sendiri.
"Untuk mengurus mayat yang begitu banyaknya,
tentu kalian akan menemui kesulitan," lanjut Adipati Prabalaya. "Karena itu,
buang saja mayat mereka ke Sungai Cigelung. Ayo kerjakan perintah ini
secepatnya!"
*** ARI itu istana Kadipaten Kawahsuling mendapat
Hku njungan tokoh-tokoh golongan hitam tingkat
tinggi. Mereka yang berdatangan ke istana itu, adalah pemimpin perampok, para
pembunuh berdarah dingin, pemimpin kepercayaan sesat dan sebagainya. Mereka
mendapat undangan kilat dari Adipati Prabalaya yang diperkuat oleh undangan
Prabaseta. Maka dapatlah dibayangkan betapa menyeramkan-
nya tampang orang-orang yang sudah berkumpul di
dalam ruangan rahasia istana kadipaten itu.
Adipati Prabalaya sengaja mengundang mereka se-
mua, setelah berunding dengan ayahnya terlebih dahulu, untuk meminta bantuan
dalam memecahkan
masalah-masalah aneh yang tengah dihadapinya. Hal itu diungkapkannya, ketika
sang Adipati berbicara di depan tamu-tamu undangannya!
"Kawan-kawan sealiran! Hari ini aku mengundang
kawan-kawan sekalian, karena walaupun aku sudah
menjadi seorang adipati, aku tidak bisa melepaskan ikatan dengan kawan-kawan
semua!" Terdengar tepuk tangan riuh para hadirin, yang merasa senang mendengar bahwa
Adipati Prabalaya tidak bisa melepaskan ikatan dengan mereka.
Kemudian Adipati Prabalaya mengungkapkan peris-
tiwa yang telah terjadi di Kawahsuling, yakni tentang menghilangnya rakyat
Kawahsuling dan tentang tewasnya tujuhratus orang prajurit dalam kejadian
'misterius' itu.
Setelah menuturkan semuanya itu, Adipati Praba-
laya berkata, "Adalah aneh sekali kalau penduduk Kawahsuling mendadak lenyap
semuanya. Adalah aneh
pula bahwa dalam sekejap mata saja, tujuhratus prajurit dibinasakan dengan cara
yang begitu aneh... tanpa terlihat adanya bayangan manusia yang dicurigai
sebagai pembunuh itu. Bukankah ini suatu tamparan hebat bagiku" Di depan mataku,
pembunuhan itu terjadi, tapi aku justru tidak mengetahuinya! Benar-benar edan!"
Hadirin, yang pada umumnya merasa ilmu mereka
di bawah ilmu Prabaseta, tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Pikir mereka,
"Kalau putranya Prabaseta saja sudah bingung, apalagi aku"!"
Namun pandangan Adipati Prabalaya lalu tertuju
pada seorang nenek-nenek yang duduk di sudut utara.
Itulah Renggimurti, pemimpin golongan sesat yang terkenal jahat sekali, namun
ilmu gaibnya sangat hebat.
"Apakah Nini Renggimurti bisa memberi petunjuk?"
tanya Adipati Prabalaya.
Renggimurti berdiri dengan bantuan tongkat di ta-
ngannya, lalu berkata dengan suara serak, "Hal-hal yang aneh seperti itu, harus
diselidiki dengan syarat-
syarat khusus."
"Apa syaratnya?" Adipati Prabalaya tak sabar lagi.
"Potonglah seekor kerbau di tanah bekas tempat kejadian itu sekarang juga,"
sahut Renggimurti. "Aku akan mencoba meminta penjelasan dari siluman-siluman
yang hidup di daerah ini."
"Baik," kata Adipati Prabalaya. "Akan kulaksanakan sekarang juga!"
*** Saran Renggimurti dilaksanakan. Pada hari itu juga
Adipati Prabalaya menyuruh dua orang penjaga istana untuk memotong kerbau di
alun-alun, yang disaksikan oleh tamu-tamu 'istimewa' itu, termasuk Renggimurti
dan Adipati Prabalaya sendiri.
Ketika kerbau yang disembelih itu sedang meman-
carkan darah segar dari lehernya, tiba-tiba saja Renggimurti berjingkrak-
jingkrak sambil mengelilingi kerbau yang sedang sekarat itu. Dan pada akhirnya
ia menghirup darah yang sedang memancar dari leher
kerbau itu, disusul dengan pembacaan mantra-mantra dengan mulut berlepotan darah
kerbau. Keadaan Renggimurti saat itu sangat mengerikan.
Rambutnya yang sudah memutih dan terciprati darah kerbau di sana-sini itu,
tampak riap-riapan. Wajahnya yang sudah keriputan, juga berlepotan darah kerbau.
Dan setelah selesai membacakan mantra-
mantranya, nenek-nenek pemimpin golongan sesat itu berlutut sambil menengadah
dan mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi. Lalu terdengar suaranya lantang, memecah keheningan
alun-alun, "Wahai silu-
man-siluman penghuni Kawahsuling! Aku sudah
mempersembahkan nyawa kerbau pada kalian! Per-
mintaanku tidak banyak. Aku hanya ingin tahu apa
yang menyebabkan tewasnya tujuhratus prajurit kadipaten di tempat yang kuinjak
ini?" Seruan itu diulang sampai tujuh kali. Dan begitu
selesai berseru untuk yang ketujuh kalinya, tiba-tiba Renggimurti menjerit-jerit
sambil berguling-guling di tanah. Dan akhirnya ia bangkit... berdiri dengan mata
merah dan meneteskan darah! Tubuhnya menggigil,
tongkatnya ditunjukkan ke arah Adipati Prabalaya
sambil berkata lantang dengan suara yang lain dari biasanya, "Wahai putra
Prabaseta dan Sutiresmi! Seharusnya engkau sadar bahwa pada saat ini di bawah
permukaan Kawahsuling, bersemayam makhluk yang
dahsyat! Dia selalu membutuhkan tujuh ratus roh manusia, untuk memperpanjang
umurnya! Dia tidak
akan bisa ditundukkan oleh apa pun, kecuali oleh seseorang yang memiliki pedang
Saptaraga!"
Setelah berkata demikian, nenek-nenek itu terjungkal, tergeletak dan tidak
sadarkan diri. Orang-orang yang hadir di alun-alun itu yakin bah-wa memang demikianlah biasanya
orang yang baru
mengadakan 'kontak' dengan para siluman. Karena
itu, mereka biarkan saja Renggimurti tergeletak dan ditunggu sampai sadar
sendiri. Setelah siuman, Renggimurti membutuhkan dua
orang penjaga istana, untuk membimbingnya masuk
ke dalam istana kembali.
*** Setelah berada di dalam ruangan perundingan
kembali, Adipati Prabalaya dan tamu-tamu undangannya melanjutkan pembicaraan
yang terputus tadi.
"Apa yang disampaikan lewat Nini Renggimurti tadi, justru membuatku semakin
penasaran. Makhluk apa
yang bersembunyi di bawah permukaan Kawahsuling
itu" Apakah kita harus membongkar seluruh permuka-an daerah Kawahsuling, sampai
makhluk itu ditemu-
kan?" Hadirin terdiam. Dan akhirnya Prabaseta berdiri, la-lu berkata, "Anakku Adipati
Prabalaya, sebenarnya orang-orang yang hadir di dalam ruangan ini, hanya
menunggu perintahmu saja. Engkau tidak usah menanyakan itu dan ini lagi.
Tentukan saja garis kebijaksa-naan yang akan kau tempuh. Dan kawan-kawan yang
hadir di sini, pasti akan mendukungmu sepenuhnya.
Bukankah begitu, kawan-kawan?"
"Betuuul...!" sahut hadirin serempak.
Adipati Prabalaya tertunduk bingung. Apa yang di-
ucapkan Renggimurti waktu kerasukan tadi, tern-
giang-ngiang terus di telinganya, dia tidak akan bisa ditundukkan oleh siapa
pun, kecuali oleh seseorang yang memiliki pedang Saptaraga!
Pedang Saptaraga... pedang Saptaraga...!
Ah, pikir Adipati Prabalaya, mendengarnyapun baru sekali ini... hmm... pedang
Saptaraga...! Siapa yang memiliki pedang itu"
Dan tiba-tiba saja Adipati Prabalaya bertanya kepa-da Renggimurti yang masih
tampak lemah sehabis kerasukan tadi. "Nini Renggimurti! Kenapa petunjuk
yang Nini berikan tanggung-tanggung begitu" Tidak bi-sakah Nini memberi petunjuk
yang lebih jelas tentang pedang Saptaraga?"
Hadirin serasa diingatkan pada kebolehan Renggi-
murti, sekaligus diingatkan bahwa Renggimurti belum tuntas dalam memberikan
petunjuknya. Maka lalu
pandangan hadirin pun tertumpah pada nenek-nenek
yang pemimpin kepercayaan sesat itu.
Renggimurti tertunduk, lalu katanya, "Sebenarnya
aku masih letih sekali. Tapi kalau memang dibutuh-
kan, baiklah... aku akan mengabulkan permintaan
sang Adipati. Sekarang berilah aku kamar yang gelap, kemenyan, bunga kenanga,
dan gentong berisi air ben-ing."
Adipati Prabalaya mengabulkan permintaan Reng-
gimurti itu. Disediakannya kamar gelap dan bahan-
bahan yang dibutuhkan oleh wanita tua renta itu.
Kemudian Renggimurti memasuki kamar gelap itu
sendirian. Sementara Adipati Prabalaya dan tamu-tamunya menunggu dengan jantung
berdebar-debar.
Lama juga Renggimurti berada di dalam kamar ge-
lap itu, untuk 'berkomunikasi' dengan alam 'sana'.
Dan ketika Renggimurti muncul kembali di ruangan
rahasia itu, hadirin menyambutnya dengan bermacam macam pertanyaan. Terutama
sekali Adipati Prabalaya, sudah tak sabar lagi. "Bagaimana, Nini" Sudahkah Ni-ni
memperoleh petunjuk yang kuinginkan itu?"
Renggimurti mengangguk lemah, lalu katanya, "Pe-
dang itu tidak terlalu jauh letaknya dari sini."
"Di mana?" Adipati Prabalaya tak sabar lagi.
"Di puncak Gunung Limagagak," sahut Renggimur-
ti. "Pemiliknya, seorang lelaki muda bernama Rangga."
"Rangga"!" Adipati Prabalaya terperanjat.
Prabasetapun terkejut dan menggumam. "Rangga...!
Ah... bukankah orang itu sudah kulumpuhkan di Te-
galinten"! Kekuatan apa yang mampu menawarkan ra-
cun hasil ciptaanku yang paling hebat itu?"
Ketika Prabaseta alias si Jalak Ruyuk masih terlongong-longong, Adipati
Prabalaya membisikkan, "Lagi-lagi Rangga...! Bukankah dahulu ayah sudah berhasil
melumpuhkannya?"
"Itulah yang kuherankan," sahut Prabaseta. "Tapi
mungkin juga dia hanya memiliki pedang itu, sementara kelumpuhannya belum
sembuh." Adipati Prabalaya terbelalak. Ada semacam harapan baru di hatinya. Pikirnya,
"Mudah-mudahan dia masih lumpuh dan secara kebetulan saja memiliki pedang
Saptaraga itu. Karena kalau dia dalam keadaan se-
hat... hmm... dia memang lawan yang sangat berat!"
Kemudian Adipati Prabalaya berkata kepada tamu-
tamunya, "Kawan-kawan yang menghadiri upacara pengangkatan kakakku sebagai
Senapati Tegalinten dan
pengangkatanku sendiri sebagai adipati di Kawahsuling ini, tentu sudah
menyaksikan bagaimana tangguhnya manusia yang bernama Rangga itu. Memang pada
akhirnya ayahku berhasil melumpuhkannya dengan
racun yang sangat hebat.
"Menurut perhitungan ayahku, kelumpuhan yang
diderita oleh Rangga itu tidak mungkin bisa diobati la-gi. Tapi siapa tahu
dugaan ayahku meleset"! Karena itu, kita harus memperhitungkan segala
kemungkinan. Sebelum kita menyerbu ramai-ramai ke puncak Gu-
nung Limagagak, untuk merebut pedang itu, sebaiknya kita kirim dulu mata-mata ke
sana. Mata-mata itu ber-tugas untuk menyelidiki keadaan puncak Gunung Li-
magagak, sekaligus untuk menyelidiki bagaimana keadaan Rangga sekarang dan
siapa-siapa saja yang berdiri di belakangnya.
"Karena itu, siapa di antara kawan-kawan yang
sanggup dikirim sebagai mata-mata ke puncak Gu-
nung Limagagak?"
Salah seorang tamu berdiri dan berkata, "Tidak
akan ada seorang pun di antara kami yang menolak
tugas itu. Karenanya silahkan tunjuk saja siapa di antara kami yang terpilih
untuk melaksanakan tugas
itu!" Adipati Prabalaya tersenyum, lalu menunjuk ke
arah seorang lelaki berpakaian brahmana. "Bagus! Aku
pilih Resi Mahagati untuk melakukan tugas itu! Dengan pakaian brahmana seperti
itu, Resi Mahagati akan lebih leluasa menyelidiki keadaan di puncak Gunung
Limagagak!"
"Setujuuu...!" seru hadirin serempak.
Brahmana yang disebut Resi Mahagati itu terse-
nyum bangga dan menyahut, "Baik. Aku menerima tu-
gas ini!" Siapa sebenarnya Resi Mahagati itu" Mengapa seo-
rang resi bisa berada di tengah-tengah golongan hitam"
Tadinya Resi Mahagati memang seorang pendeta
yang disegani, karena ia sangat rajin menyebarkan ajaran-ajaran agama yang
dianutnya. Tapi entah kenapa, ketika usianya memasuki masa 'puber kedua', tiba-
tiba saja wataknya jadi berubah. Tiap kali melihat gadis cantik, hasrat
kelelakiannya seolah-olah tak ter-kendalikan lagi. Maka dengan segala daya, ia
selalu berusaha mendapatkan gadis yang membetikkan air
liurnya itu. Kebetulan pula ia memiliki ilmu yang cukup tinggi, sehingga ia
selalu berhasil menculik gadis yang diinginkannya, untuk digagahi sepuas
hatinya. Dan manakala ia sadar bahwa perbuatannya itu bisa menjatuhkan namanya, maka
dibunuhnya gadis yang
telah diperkosanya itu, dengan harapan bahwa jejaknya akan terhapus. Kemudian
dibuangnya mayat gadis yang malang itu, atau dikuburnya di dalam hutan.
Peristiwa seperti itu berulang-ulang terjadi, sehingga dalam tempo setahun saja
sudah lebih dari limapuluh orang gadis yang menjadi korban kebiadabannya.
Dan manakala perbuatannya itu tercium oleh orang-
orang kerajaan, cepat-cepat Resi Mahagati melarikan diri ke dalam hutan,
kemudian bergabung dengan
orang-orang dari golongan hitam!
Jadi, status Resi Mahagati yang sebenarnya, adalah buronan kerajaan. Namun


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkat perlindungan Adipati Prabalaya, ia bisa menyembunyikan diri dengan aman
di daerah Kawahsuling.
Adipati Prabalaya memang sudah mengetahui apa
dan siapa Resi Mahagati. Itu hanya 'pelanggaran kecil'
saja. Maklum, Adipati Prabalaya menganggap nyawa
manusia itu seakan-akan tak lebih mahal dari pohon pisang! Itulah sebabnya,
Adipati Prabalaya melindungi Resi Mahagati dengan jaminan: "Bersamaku, Anda
pasti aman!"
Dan kini, Resi Mahagati sudah menerima tugas un-
tuk menyelidik ke puncak Gunung Limagagak.
Kata Adipati Prabalaya, "Resi Mahagati tidak usah membuat keonaran seandainya
bertemu dengan orang-orang tertentu di puncak Gunung Limagagak nanti.
Tugas Resi Mahagati, hanya untuk menyelidik. Kalau bertemu dengan manusia
bernama Rangga itu, bersi-kaplah seakan-akan kebetulan saja mendaki puncak
gunung itu. Resi Mahagati bisa saja berpura-pura sedang mencari tempat pertapaan
yang tenang dan
sunyi." Resi Mahagati tersenyum dan menyahut, "Soal itu,
serahkan sajalah padaku. Aku ini sudah cukup berpengalaman dalam bergaul dengan
masyarakat baik-
baik." Adipati Prabalaya tertawa terbahak-bahak. "Haha-
haaaaahaaa...! Aku hampir lupa bahwa Resi Mahagati memang paling pandai
menyelundup ke tengah masyarakat baik-baik! Hahahaaaaaa...!"
Resi Mahagati tidak tersinggung oleh sindiran sang Adipati itu, bahkan lalu
ikut-ikutan tertawa bersama hadirin.
Kemudian Adipati Prabalaya berkata kepada hadi-
rin, "Kawan-kawan sekalian, tampaknya aku diha-
dapkan pada dua kemungkinan. Kemungkinan perta-
ma, aku akan berhasil mendapatkan pedang Saptaraga itu dengan mudah. Kemungkinan
kedua, manusia bernama Rangga itu mempunyai pendukung orang-
orang kelas tinggi. Karena itu, kuharap kalian semua mempersiapkan diri, sebab
mungkin saja kalian akan kumintai bantuan untuk menyerbu ke puncak Gunung
Limagagak."
*** EJAK Nilamsari tinggal di Gunung Limagagak, ba-
Sny ak perubahan yang terjadi di puncak gunung
yang hampir selalu diselimuti kabut itu. Sambil melatih kekuatan gaibnya,
Nilamsari mengangkati batu-
batuan yang banyak terdapat di puncak gunung itu, kemudian menyusunnya
sedemikian rupa sampai bisa
dijadikan tempat berteduh. Demikian pula gua yang terletak di lereng gunung itu,
dijadikan semacam kamar dan dapur, lengkap dengan segala perabotan yang
dibuatnya sendiri.
Nilamsari memang tidak pernah membuang-buang
waktu untuk hal yang sia-sia. Manakala ada kesempatan, dimanfaatkannya untuk
hal-hal yang berguna. Setiap hari ada saja yang dikerjakannya untuk memper-
cantik tempat tinggalnya. Hal mana membuat Kuda-
wulung kerasan tinggal di puncak Limagagak itu.
Setelah Rangga berada di puncak gunung itu lagi,
Nilamsari semakin rajin mengatur di sana-sini. Pohonpohon bunga liar yang tumbuh
di hutan dan diperhitungkan bisa tumbuh dalam udara berkabut, dipin-
dahkannya ke puncak gunung. Diaturnya tanam-
tanaman itu serapi mungkin, sehingga terbentuklah taman di puncak gunung yang
indah dan menyejuk-kan perasaan. Batu-batuan yang bisa dijadikan tempat duduk,
diletakkannya secara teratur, sehingga mirip kursi-kursi batu di taman raja-
raja. Sementara itu, Rangga sangat giat mempelajari ki-
tab ilmu pedang Saptaraga sekaligus melatihnya.
Jika Rangga sedang melatih ilmu pedangnya, Ni-
lamsari pun melatih ilmunya sendiri yang didapatnya dari Kudawulung.
Yang sangat menyenangkan bagi Rangga, adalah
bahwa si Jambon selalu membantunya dalam setiap
latihan. Burung perkasa dari Nusa Aheng itu memang bukan burung biasa. Setiap
kali ia melihat Rangga melakukan kesalahan dalam latihannya, ia meloncat ke
depan Rangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berusaha membetulkan
gerakan yang salah itu dengan caranya sendiri. Seperti pada suatu hari...
"Bagaimana, Jambon" Apakah gerakanku sudah be-
nar?" tanya Rangga.
Burung raksasa itu menggelengkan kepalanya sam-
bil mengeluarkan bunyi "Kaaaak... kaaaak...
kaaaak...!"
Tiga kali bunyi 'kak', berarti Rangga melakukan kesalahan besar.
"Kau jangan pandai menyalahkan saja," kata Rang-
ga. "Cobalah betulkan gerakanku yang kau anggap salah itu!"
Si Jambon mengangguk, lalu menghampiri Rangga.
Dan digigitnya lengan Rangga perlahan, kemudian dis-eretnya ke arah posisi yang
benar, sehingga Rangga tertawa tergelak-gelak. "Hahahaaa... aku mengerti
sekarang, Jambon! Ya, ya, ya! Aku sudah mengerti! Terima kasih, Jambon."
Demikianlah, kalau Rangga bertanya bagaimana ca-
Anak Pendekar 22 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Kisah Tiga Kerajaan 7
^