Pencarian

Mustika Lidah Naga 6 2

Mustika Lidah Naga 6 Bagian 2


ra bergerak yang benar, si Jambon membimbing Rang-ga dengan caranya sendiri,
yakni dengan menggigit anggota badan Rangga dan menyeret atau mendorong-nya ke
posisi yang benar. Terkadang si Jambon pun melakukan gerakan seperti manusia,
untuk ditiru oleh Rangga. Kedua sayapnya bisa digerakkan seperti lengan manusia,
sehingga Rangga bisa memperhatikan-
nya dan menyesuaikan gerakannya sendiri sampai sa-ma dengan gerakan si Jambon.
Hal itu membuat Rangga semakin sayang kepada si
Jambon. Bahkan pada suatu hari, sehabis latihan,
Rangga berkata kepada burung cerdas dan perkasa
itu. "Kalau dipikir-pikir, engkau telah menjadi guruku, Jambon. Sebab, tanpa
bimbinganmu, aku tidak akan
secepat ini menguasai ilmu pedang Saptaraga."
Tapi si Jambon menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil berbunyi "Kaaak... kaaaak... kaaaak...!"
Tiga kali bunyi 'kak' disertai dengan gelengan kepala, berarti 'salah sekali'.
Dan Rangga sudah cukup mengerti 'bahasa' burung raksasa itu. Maka tanyanya,
"Kalau kau tidak mau dianggap sebagai guruku, lantas maunya dianggap sebagai
apa?" Si Jambon mengulurkan ujung sayap kanannya, la-
lu menempelkannya ke telapak tangan Rangga.
"Hahahaaaaa...! Kau ingin dianggap sebagai saha-
batku, bukan"!" seru Rangga senang.
Si Jambon mengangguk-angguk.
Dan Rangga semakin senang, semakin sayang kepa-
da burung raksasa itu. Lalu dipeluknya leher burung itu, sambil berkata, "Engkau
memang sahabatku yang baik, Jambon. Kehadiranmu di sisiku, membuatku jadi
bergairah."
Si Jambon menyahutnya dengan mengelus-eluskan
paruhnya ke pipi Rangga, sebagai tanda bahwa ia pun sangat menyayangi Rangga.
*** Pada suatu pagi, Rangga sedang melatih ilmu pe-
dangnya, sementara Nilamsari pun sedang melatih il-mu yang didapatkannya dari
Kudawulung. Rangga tetap mematuhi pesan sang Astrabaya, un-
tuk tidak menyentuh pedang Saptaraga sebelum me-
nguasai ilmu pedangnya. Maka Rangga menggunakan
sebatang ranting kayu, yang diibaratkannya sebagai pedang.
Sementara itu, si Jambon mendekam di dekat tem-
pat latihan Rangga, sambil memperhatikan setiap gerakan Rangga dengan seksama.
Ilmu pedang Saptaraga benar-benar tak ada duanya
pada zaman itu. Sehingga walaupun Rangga hanya
menggunakan ranting kayu sebagai pengganti pedangnya, setiap gerakan Rangga
benar-benar dahsyat, karena merupakan paduan kegesitan, tenaga gaib Saptaraga
dan hebatnya gerakan ilmu pedang itu sendiri.
Walaupun 'pedang' Rangga hanya sebatang ranting
kayu yang sudah agak lapuk, namun tenaga gaib yang Rangga kerahkan, membuat
ranting lapuk itu jadi lebih keras daripada batu. Hal itu terbukti ketika Rangga
mengumpamakan beberapa buah batu besar yang diletakkan di sekelilingnya, sebagai
lawan-lawan yang sedang dihadapinya. Manakala Rangga memutar tubuh-
nya sambil memekik "Yaaaaaaaat...!" ranting lapuk itu berhasil menghancurkan
sembilan buah batu besar
tadi... brrraaasss... braaaaaaash... brrash... sraaaat...!
Demikianlah salah satu kedahsyatan ilmu pedang
Saptaraga! Bahwa kayu lapukpun bisa menjadi seke-
ras baja! Selesai melakukan latihan, Rangga menghampiri Ni-
lamsari yang juga baru selesai dengan latihannya.
Nilamsari menyambut kedatangan Rangga dengan
senyum manis. Dan katanya, "Ilmu pedang yang se-
dang dipelajari Kang Rangga, benar-benar hebat. Ranting kayu pun bisa dipakai
untuk menghancurkan ba-
tu-batu keras. Aku melihat semuanya tadi dari sini."
Rangga duduk di atas batu besar, sambil berkata,
"Tapi perasaanku selama ini kurang tentram, sehingga perhatianku terhadap
latihan-latihanku sering nga-wur."
"Kenapa begitu, Kang?" Nilamsari terheran-heran.
"Aku terus-terusan memikirkan Rama Guru," sahut
Rangga. "Sudah hampir empat bulan beliau mening-
galkan kita... padahal biasanya Rama Guru tidak pernah lama-lama meninggalkan
tempat ini. Aku kuatir terjadi sesuatu yang luar biasa pada dirinya."
"Iya, ya Kang. Jangan-jangan beliau menemui kesu-
litan di Tegalinten. Tapi... ah... apakah mungkin seorang berilmu tinggi seperti
Rama Guru bisa menemui kesulitan?"
Rangga tersenyum getir dan menjawab. "Di atas gu-
nung ada awan, di atas awan ada langit, di atas langit ada bintang, di atas
bintang... banyak hal-hal yang belum kita ketahui. Demikian pula dengan manusia.
Se-tinggi-tingginya ilmu dan sepandai-pandainya seorang manusia, pastilah pada
suatu saat ada yang melebi-hinya."
Nilamsari tertunduk dan berkata, "Lantas... apa
yang harus kita lakukan?"
"Inilah susahnya," sahut Rangga. "Aku belum dapat meninggalkan tempat ini,
karena ilmu pedang yang sedang kupelajari belum selesai. Sedangkan hatiku me-
nuntut terus, ingin segera tahu apa yang terjadi pada
guru kita... ah... bingung juga aku jadinya."
"Kalau begitu, biarlah aku saja yang turun gunung, untuk mencari Rama Guru,"
kata Nilamsari.
"Ah, jangan," tolak Rangga. "Terlalu banyak bahaya yang akan kau hadapi nanti."
Nilamsari tersenyum, dan katanya, "Kalau dahulu
Kang Rangga berkata seperti itu padaku, pastilah aku akan mengiyakannya. Tapi
sekarang... apa gunanya
aku berguru di sini selama ini" Bukankah ada baiknya aku turun gunung, sekalian
untuk menguji diriku
sendiri?" Rangga menghela napas panjang. Pengajuan Nilam-
sari tadi, justru membuatnya semakin bingung. Betapa tidak. Selama empat bulan
ini, hati Rangga yang tegar, telah mencair sedikit demi sedikit. Ya, bahwa
Rangga yang tadinya hanya menerima cinta Nilamsari untuk sekedar 'basa-basi',
untuk semacam tenggang rasa
semata, lalu secara perlahan tapi meyakinkan... mulai mencintai putri mendiang
Adipati Wiralaga itu dengan sepenuh hatinya!
Lalu kini, setelah Rangga bersungguh-sungguh
mencintai Nilamsari, bagaimana mungkin Rangga tega melepas kepergian Nilamsari
begitu saja"
Maka dengan genggaman lembut di pergelangan ta-
ngan Nilamsari, Rangga berkata, "Sebaiknya kita tunggu saja dalam sebulan ini,
karena ilmu yang sedang kupelajari pun hampir selesai. Nanti, jika dalam sebulan
mendatang Rama Guru tidak juga pulang, kita pergi bersama-sama untuk
mencarinya."
Genggaman Rangga itu memang membuat Nilamsa-
ri berat... berat untuk berpisah dengan lelaki yang telah dicintainya itu. Lalu
kata Nilamsari lirih, "Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan pada diri Rama Guru" Di manakah letak budi kita se-
bagai murid, jika kita membiarkannya begitu saja?"
Rangga terdiam dalam pertentangan batin yang se-
makin membingungkannya. Di satu pihak, ia merasa
cemas terhadap keselamatan gurunya. Di pihak lain, ia pun merasa berat
melepaskan kepergian Nilamsari
yang sudah dicintainya.
Ketika Rangga masih terdiam dalam kebingungan-
nya, Nilamsari mendesak, "Sudahlah, Kang. Biar aku saja yang turun gunung,
supaya kita bisa menyelidiki nasib Rama Guru, tanpa mengganggu latihan Kang
Rangga." "Nilamsari..." desis Rangga perlahan, "sebenarnya aku... aku berat sekali
melepaskanmu... aku... aku sudah telanjur mencintaimu..."
Nilamsari terperangah. Denyut jantungnya mengen-
cang. Aliran darahnya mendesir. O, sesungguhnya ba-ru sekali itu Nilamsari
mendengar Rangga mengu-
capkan cinta secara begitu meyakinkan. Sesungguh-
nya bahagia sekali Nilamsari mendengarnya. Sesungguhnya Nilamsari pun berat,
berat sekali meninggalkan lelaki yang sudah terlalu dicintainya itu. Tapi di
pihak lain, ia merasa juga memikirkan gurunya yang begitu lama meninggalkan
Gunung Limagagak.
Maka akhirnya Nilamsari berkata, "Kang Rangga,
kalau bicara soal beratnya hati menghadapi perpisahan, mungkin hatiku lebih
berat lagi. Karena, sebelum Kang Rangga mencintaiku, aku sudah duluan
mencintaimu, Kang."
"Tapi," lanjut Nilamsari, "marilah kita anggap perpisahan ini sebagai ujian bagi
cinta kita. Bahkan sebenarnya kalau kita terus-terusan berdekatan dalam
keadaan belum menikah seperti ini, kita akan selalu digoda oleh bujukan iblis,
Kang." "Ya," Rangga mengangguk lemah. "Tapi... apakah
kau bisa menjaga diri nanti?"
"Percayalah, Kang. Pokoknya Kang Rangga tak usah
cemas terhadap diriku. Doakan saja agar aku selamat, supaya kita bisa bersama
lagi." Esok paginya, ketika fajar baru menyingsing, Nilamsari sudah bersiap-siap untuk
meninggalkan puncak Gunung Limagagak. Dan Rangga memeluknya erat-erat. Berat
sekali rasanya melepaskan kepergian Nilamsari saat itu.
Namun akhirnya mereka menguatkan hati masing-
masing, untuk menghadapi perpisahan itu.
Dan Nilamsari menuruni Gunung Limagagak, tete-
san air mata Rangga mengiringi kepergian putri mendiang Adipati Wiralaga itu.
*** ETELAH Nilamsari meninggalkan puncak Gunung
SLi magagak, barulah Rangga merasa bahwa ia san-
gat membutuhkan gadis itu, lebih dari sekadar tempat pencurahan cintanya.
Pikir Rangga, "Pada waktu Nilamsari hadir di pun-
cak gunung ini, rasanya hidupku jadi bergairah. Semangat untuk berlatih jadi
berkobar-kobar. Hidup ini jadi terasa indah dan penuh arti. Dan bahkan puncak
gunung ini pun jadi terasa sangat menyenangkan."
"Tapi kini," pikir Rangga lagi, "setelah Nilamsari pergi... ah... semuanya jadi
terasa hampa... semuanya jadi terasa membosankan!"
Lama Rangga tercenung sendiri. Terbit pula rasa pe-nyesalan di hatinya. "Kenapa
bukan aku saja yang
pergi mencari Rama Guru" Kenapa aku terlalu patuh pada pesan ini pesan itu,
sehingga aku malah mem-
biarkan Nilamsari menempuh perjalanan yang belum
bisa dipastikan aman tidaknya" Mengapa aku tidak bi-sa menunda dulu latihanku,
lalu turun gunung sendiri untuk mencari Rama Guru?"
Ketika Rangga masih tenggelam dalam arus pikiran-
nya, tiba-tiba si Jambon mengeluarkan suara yang lain dari biasanya: "Kruuuk...
kruuuuk... krrrruuuukkk...!"
Rangga terheran-heran dan menghampiri burung
dari Nusa Aheng itu. "Ada apa, Jambon?" tanyanya.
"Kruuuk... kruuuk... krrrrrruuuuukkk...!" sahut si Jambon sambil menjulur-
julurkan kepalanya ke arah selatan.
"Apa?" Rangga tak mengerti, "Maksudmu... Nilam-
sari pergi lewat jalan sana?" Rangga menunjuk ke selatan.
"Kaaaak... kaaak... kaaak...!" si Jambon mengge-
leng-gelengkan kepalanya.
"Lantas apa maksudmu?" tanya Rangga lagi.
"Kruuuk... krruuuk... krrrruuuukkk...!" sahut si
Jambon sambil menjulur-julurkan kepalanya ke arah selatan.
Rangga mulai heran, kemudian memperhatikan ke
arah lereng di sebelah selatan sana. Dan... ternyata ada seorang brahmana yang
sedang mendaki gunung
itu... masih jauh di sebelah selatan sana.
"Kau memang hebat, Jambon," kata Rangga. "Orang
yang masih begitu jauh, sudah kau ketahui kehadirannya. Tapi... siapa orang itu"
Tampaknya seperti mau menuju ke mari."
Rangga mengamat-amati terus orang itu, yang ma-
sih jauh di lereng selatan itu. Lalu gumamnya, "Orang itu... kelihatannya
seperti brahmana... mau apa dia kemari?"
Puncak Gunung Limagagak tidak pernah diinjak
oleh manusia luar, kecuali oleh Kudawulung dan kedua muridnya. Maka wajarlah
kalau Rangga bertanyatanya melihat brahmana yang sedang berusaha men-
capai puncak gunung itu.
Sementara itu, si Jambon mulai memperlihatkan
ketidaksenangannya. Nalurinya demikian tajamnya,
sehingga belum apa-apa ia sudah tahu bahwa tujuan brahmana yang sedang mendaki
itu tidak baik. Ketidaksenangan si Jambon diperlihatkan dengan berjalan hilir-
mudik, seperti gelisah sekali.
Namun Rangga tidak mengerti apa maksud si Jam-
bon dengan memperlihatkan sikap gelisah begitu.
Dan brahmana itu mendaki... mendaki... terus...
sampai akhirnya berhasil mencapai puncak Gunung
Limagagak. Brahmana itu tak lain dari Resi Mahagati.
*** "Selamat datang di puncak Gunung Limagagak," ka-
ta Rangga sambil membungkukkan badannya ketika
Resi Mahagati sudah tiba di puncak Gunung Limaga-
gak. "Ah... tak kusangka puncak gunung yang begini
tinggi dan dinginnya, ternyata dihuni oleh manusia,"
sahut Resi Mahagati sambil menyelidik dengan sudut matanya.
"Benar," kata Rangga dengan sikap menghormat.
"Tempat ini cukup tinggi dan dingin, tapi... yah...
hanya di sinilah aku bisa mendapat tempat tinggal, sehingga kupaksa-paksakan
juga berdiam di tempat
yang terpencil dan sunyi ini. Tapi... bolehkan aku tahu siapa gerangan sang
Brahmana dan adakah maksud
khusus sehingga memaksakan diri datang ke mari?"
"Namaku tidak penting, anak muda!" sahut Resi
Mahagati. "Kedatanganku ke mari, juga hanya kebetulan saja. Tadinya aku mengira
puncak gunung ini tidak dihuni manusia, sehingga aku bermaksud mela-
kukan tapabrata di sini. Tak tahunya engkau sudah duluan tinggal di sini. Dan...
oh ya... apakah engkau hanya tinggal sendirian di sini?"
Rangga agak curiga, karena brahmana itu tidak
mau memperkenalkan namanya. Maka Rangga pun
menjadi hati-hati. Jawabnya, "Memang benar, aku
yang rendah ini hanya sendirian saja di sini."
"Tinggal sendirian di tempat sesunyi ini... akh... aku hampir-hampir tak
percaya, anak muda. Tapi... kalau tidak salah, aku pernah melihatmu di
Tegalinten beberapa bulan yang lalu. Benarkah?" Resi Mahagati menatap wajah
Rangga dengan pandangan penuh selidik.
Rangga agak terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Be... betul," sahutnya tergagap. "Apakah sang Brahmana juga ada di Tegalinten
saat itu?"
Resi Mahagati sebenarnya tidak berada di Tegalin-
ten pada waktu upacara pengangkatan Senapati Pra-
bayani yang menghebohkan itu. Sebagai buronan kerajaan, tentu saja ia tidak
berani muncul di Tegalinten dalam suasana ramai seperti itu.
Tapi sebelum meninggalkan Kawahsuling, Resi Ma-
hagati sudah mendengar cerita tentang Rangga dari mulut Adipati Prabalaya. Dan
pertanyaannya tadi,
hanya bersifat memancing-mancing, apakah betul ia berhadapan dengan orang yang
bernama Rangga"
Dan untuk lebih meyakinkan penyelidikannya, Resi


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahagati berkata, "Benar. Waktu itu aku ikut hadir di Tegalinten. Ya... kalau
tidak salah, engkau terlibat dalam bentrokan dengan Senapati Prabayani, bukan?"
"Betul," Rangga mengangguk. "Jadi waktu itu sang
Brahmana juga melihatnya?"
"Hahahaaa... betul... betul! Aku melihatnya... melihat pertarungan engkau dengan
Senapati Prabayani
yang dibantu oleh ayahnya. Dan kalau tidak salah, namamu Rangga, bukan?"
"Ya," Rangga mengangguk lagi. "Senang sekali hati-ku, karena ternyata sang
Brahmana masih mengingat namaku."
"Kalau tidak salah, saat itu engkau dilumpuhkan
oleh Prabaseta yang jahat itu. Tapi sekarang... kelihatannya engkau sudah tidak
lumpuh lagi, anak muda.
Apakah engkau berhasil mengobati dirimu sendiri?"
tanya Resi Mahagati, sengaja menyebut 'Prabaseta
yang jahat', supaya Rangga tidak mencurigainya.
"Betul... betul sekali," sahut Rangga. "Dan secara kebetulan pula seseorang yang
baik hati mengulurkan tangan untuk menyembuhkan kelumpuhanku."
"Siapa yang mengobatimu itu?" tanya Resi Mahagati lagi.
Sebelum Rangga menjawab, tiba-tiba saja si Jam-
bon mengeluarkan suara. "Kaaak... kaaak... kaaak
kruukk!" Rangga tersentak dan menebak-nebak maksud si
Jambon itu: "Mungkin dia melarangku menyebut nama sang Astrabaya dan Bagawan
Suwandarama."
Maka Jawab Rangga, "Menyesal sekali, aku tidak
bisa menyebutkan nama penolong yang baik hati itu."
"Yah, aku tidak bisa memaksamu," kata Resi Maha-
gati sambil melirik ke arah si Jambon. "Tapi... hai...
rasanya baru sekali ini aku melihat burung sebesar itu! Apakah dia binatang
piaraanmu?"
"Dia sahabatku," sahut Rangga. "Kalau tidak ada
dia, mungkin aku akan kesepian sekali di puncak gunung ini."
"Mmmm... ya, ya, ya!" Resi Mahagati mengangguk-
angguk, sementara sudut matanya tetap menyelidik ke sekitar puncak gunung itu.
"Tapi... apakah sejak dahulu engkau tinggal sendirian di sini" Maksudku, apakah
engkau tidak punya guru atau sahabat atau siapa saja yang menemanimu di sini?"
"Maafkan aku, sang Bagawan. Pertanyaan itu pun
tidak bisa kujawab. Sekali lagi, maafkanlah aku."
"Ah, tidak apa-apa. Mungkin engkau ingin meraha-
siakan hal-hal tertentu, bukan" Biarlah... soal itu tak penting bagiku."
Setelah berbicara ke barat ke timur, mengenai hal-hal yang tidak ada sangkut
pautnya dengan 'tugas' Re-si Mahagati, akhirnya brahmana buronan kerajaan itu
berpamitan. "Kenapa terburu-buru?" tanya Rangga sekadar ba-
sa-basi. "Aku harus mencari tempat lain yang kira-kira se-
suai untuk dijadikan tempat pertapaanku. Baiklah, aku mohon diri, anak muda!"
*** Setelah Resi Mahagati meninggalkan puncak gu-
nung itu, Rangga berkata sendiri, "Tampaknya brahmana tadi seperti punya maksud
khusus datang ke-
mari." "Kaaaaaak!" tiba-tiba saja si Jambon seperti mem-
betulkan ucapan Rangga.
Rangga menoleh ke arah si Jambon, sambil meng-
gerutu, "Kamu bisanya cuma kak-kak-kak saja! Cobalah kau tebak... apakah maksud
brahmana tadi baik?"
"Kaaaak... kaaak... kaaaak!" sahut si Jambon sam-
bil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Lantas... apakah maksudnya jahat?" tanya Rangga
lagi. "Kaaaaak!" si Jambon mengangguk.
Rangga bahkan tergelak-gelak. "Hahahahaaa! Eng-
kau tidak boleh menuduh orang sembarangan, Jam-
bon! Siapa tahu brahmana tadi memang hanya kebetulan saja datang ke mari!"
Si Jambon mengeluarkan suara "Krrrrrr...!"
Dan Rangga tidak mengerti, bahwa saat itu si Jam-
bon 'tersinggung', karena pemberitahuannya malah di-tertawakan oleh Rangga!
*** Rangga tidak tahu, bahwa pada malam harinya Resi
Mahagati tiba di Kawahsuling dan langsung melaporkan seluruh hasil
penyelidikannya kepada Adipati Prabalaya.
Khusus mengenai si Jambon, Resi Mahagati mela-
porkan: "Satu-satunya makhluk yang tampak mene-
maninya, hanyalah seekor burung. Tapi, wah... ra-
sanya baru sekali tadi aku melihat burung yang demikian besarnya...."
"Ah! Kalau hanya seekor burung, tak perlu diper-
soalkan panjang lebar," potong Adipati Prabalaya yang belum mengetahui burung
apa yang menemani Rangga
itu. *** Pada malam itu juga, Adipati Prabalaya melaporkan
hasil penyelidikan Resi Mahagati kepada ayahnya... si Jalak Ruyuk Prabaseta.
"Hmmm... hampir tak masuk akal, bahwa manusia
bernama Rangga itu bisa sembuh lagi dari kelumpuhannya," cetus Prabaseta sambil
menggertakkan gi-
ginya, geram. "Mungkin ada orang sakti yang berdiri di belakangnya," kata Adipati Prabalaya.
"Mungkin," sahut si Jalak Ruyuk. "Tapi siapa" Sia-pa orang yang demikian
saktinya sehingga mampu
memperbaiki kembali urat-urat yang sudah dirusak
oleh racun terhebatku" Benar-benar aneh!"
"Lalu bagaimana seandainya si Rangga itu didu-
kung oleh orang sakti yang belum kita kenal" Bukankah kita sangat membutuhkan
pedang Saptaraga yang hampir bisa dipastikan berada padanya?"
Si Jalak Ruyuk termenung, berpikir dalam-dalam,
lalu berkata, "Sebaiknya engkau jangan bergerak dulu.
Besok pagi aku akan pergi ke Tegalinten, untuk mem-perbicangkannya dengan
kakakmu." "Ah...! Apa yang bisa diperbuat olehnya"!" tolak
Adipati Prabalaya. "Paling-paling juga dia hanya men-girimkan prajurit-prajurit
picisan, yang justru akan mempersulit gerakan kita!"
"Kakakmu memang tidak akan bisa berbuat ba-
nyak," sahut si Jalak Ruyuk. "Tapi belakangan ini aku mendengar kabar angin,
bahwa kakakmu menyimpan
Manusagara di istana Tegalinten."
"Manusagara"!" Adipati Prabalaya terperanjat. "Mungkinkah manusia setengah
siluman itu bisa disimpan begitu saja di dalam istana Tegalinten?"
"Itulah yang ingin kuketahui secara pasti. Tapi hal itu bukannya tidak mungkin.
Kakakmu memiliki seribu satu akal hebat, untuk mencapai cita-citanya."
Adipati Prabalaya mengangguk-angguk. "Baiklah...
jadi besok pagi Ayah mau berangkat ke sana?"
"Ya. Dan untuk sementara ini, undang saja kawan-
kawan kita sebanyak-banyaknya, untuk turut menjaga keamanan di Kawahsuling ini."
*** DA seorang tokoh yang sudah cukup lama kita
Ating galkan, yakni Nyi Tiwi. Untuk mengetahui per-
jalanan hidup janda yang murid Kidangkancana itu, kita perlu surut ke belakang,
kembali ke beberapa bulan sebelum terjadinya perundingan Adipati Prabalaya
dengan ayahnya itu.
Tak diragukan lagi, nasib Nyi Tiwi sangat malang.
Seluruh kehidupan batinnya 'diputar' oleh manusia setengah siluman bernama
Manusagara itu. Tak cukup
dengan itu saja. Dalam keadaan yang sudah 'terbalik'
itu, Nyi Tiwi dijadikan tempat pelampiasan nafsu Manusagara. Dan Nyi Tiwi tak
ubahnya orang mabuk ber-kepanjangan. Nyi Tiwi tahu bahwa tubuhnya dijadikan
sasaran kebinatangan Manusagara yang sudah sangat tua itu tapi 'berselera muda'.
Namun Nyi Tiwi tidak bosan menolaknya. Nyi Tiwi bahkan menganggap bahwa
apapun yang diinginkan oleh Manusagara, harus di-
ikuti dengan sepatuh-patuhnya.
Tampaknya kepadatan dan kehangatan tubuh Nyi
Tiwi sangat memuaskan hati Manusagara, sehingga selama sebulan penuh, Nyi Tiwi
disekap oleh manusia setengah siluman itu. Dan tak terhitung lagi berapa puluh
kali Nyi Tiwi harus memasrahkan kehormatan-nya kepada manusia cebol yang pandai
mengubah- ubah ukuran tubuhnya itu.
Manusagara memang mendadak seperti manusia
muda belia yang sedang mengalami masa pengantin
baru! Rupanya Manusagara bukan hanya pandai men-
gubah-ubah ukuran tubuhnya, melainkan juga pandai meremkan (Editor: meremkan")
hasrat dan vitalitasnya!
Maka lalu Manusagara bisa 'sambil menyelam mi-
num air'. Di satu sisi, ia melampiaskan dendamnya terhadap Kidangkancana, dengan
terus-terusan merenggut kehormatan murid musuh besarnya itu. Di sisi
lain, ia memperoleh 'keuntungan' dari kepadatan dan kehangatan tubuh Nyi Tiwi.
Namun tujuan utama Manusagara tidak berubah.
Bahwa pada suatu saat, ia ingin sekali melihat Kidangkancana sekarat dan binasa
di depan matanya!
Untuk tujuan itulah, Manusagara berkali-kali mem-
bisiki Nyi Tiwi dengan pertanyaan yang sudah mengan-dung daya gaib: "Engkau
masih ingat apa yang harus kau lakukan jika berjumpa dengan gurumu?"
Dan setiap kali mendengar pertanyaan seperti itu, Nyi Tiwi selalu menjawab: "Ya,
aku tidak akan melupa-kannya. Jika aku sudah berjumpa dengan guruku,
aku harus berpura-pura sangat kangen padanya. Aku harus memeluknya, lalu
membinasakannya!"
Manusagara senang sekali kalau sudah mendengar
jawaban Nyi Tiwi yang serupa itu. Dan rencananya semakin berkembang. Pada suatu
malam, setelah berhasil merenggut kehormatan Nyi Tiwi untuk yang kesekian
kalinya, Manusagara berkata, "Apakah engkau
tahu bagaimana cara membinasakan gurumu yang
paling tepat?"
Nyi Tiwi menjawab, "Akan kucekik batang lehernya, sampai dia tak bisa bernafas
lagi." "Tidak, tidak!" Manusagara menggeleng. "Kidang-
kancana bukan manusia selemah itu! Cekikan tidak
akan membuatnya mampus. Engkau harus menusuk
dadanya dengan kerisku. Nanti akan kupinjamkan kerisku, supaya engkau selalu
siap untuk melaksanakan perintahku."
Dalam keadaan 'terbalik' itu, Nyi Tiwi menyahut dengan senyum aneh, senyum
manusia yang sudah lupa
pada dirinya sendiri. "Baiklah, kekasihku! Akan ku-bunuh dia... akan kuhunjamkan
kerismu di dada Ki-
dangkancana keparat itu, sampai mampussssss!"
"Hahahahaaaaa...! Engkau memang sangat menye-
nangkan hatiku!"
Nyi Tiwi pun lalu tersenyum-senyum.
Begitulah keadaan Nyi Tiwi setelah kehidupan ba-
tinnya 'digojlok' oleh ilmu Manusagara. Sehingga kalau dibandingkan dengan masa
sekarang, Nyi Tiwi itu tak ubahnya sebuah robot yang sudah diprogram oleh
Manusagara. Apapun yang diinginkan oleh Manusagara, akan dipatuhinya. Bahkan
seandainya Manusagara
menyuruh Nyi Tiwi bunuh diri, seketika itu juga Nyi Tiwi akan melenyapkan
dirinya sendiri!
*** Walaupun ditempatkan di dalam puri yang diraha-
siakan, namun Manusagara memperoleh bermacam-
macam kenikmatan di dalam lingkungan istana Tega-
linten itu. Ia tidak hanya mendapatkan kenikmatan dari tubuh Nyi Tiwi, melainkan
juga dari pelayanan dayang-dayang istana yang memperlakukannya seperti bangsawan
penting. Senapati Prabayani memang memerintahkan da-
yang-dayang istana untuk melayani Manusagara se-
baik-baiknya. Maka, betapa kerasannya Manusagara tinggal di da-
lam istana itu.
Namun pada saat-saat tertentu, ia sering tampak
resah. Karena sudah sebulan ia tinggal di dalam istana Tegalinten, sementara
orang yang dinanti-nantikannya belum muncul juga. Ya, sekalipun ia merasa puas
dengan segala pelayanan yang diberikan padanya, na-
mun ia tetap menunggu-nunggu datangnya Kidang-
kancana dengan hati tak sabar.
Akhirnya datanglah berita yang sangat ditunggu-
tunggu itu. Berita itu dikirimkan oleh Senapati Pra-
bayani: "Aku mendapat laporan dari regu penyelidik, bahwa orang yang sedang kau
tunggu-tunggu, kini sudah berada di kotaraja ini."
"Apa"!" Manusagara terlonjak girang. "Apakah regu penyelidik itu yakin bahwa
orang yang dilihatnya benar-benar Kidangkancana?"
"Ya," Senapati Prabayani mengangguk. "Bentuk tu-
buh dan wajahnya, persis seperti yang telah kau gam-barkan. Selain daripada itu,
dia juga banyak bertanya tentang muridnya. Tampaknya dia belum percaya bahwa
muridnya sudah berada di tangan kita."
"Hmmm... bagus... bagus! Rencanaku harus dilak-
sanakan pada hari ini juga! Kalau Kidangkancana sudah mampus, apa pun yang kau
inginkan, akan kuka-
bulkan! Dalam menjalani sisa-sisa hidupku, aku hanya punya satu tujuan, yaitu
ingin membinasakan musuh besarku itu!"
Laporan regu penyelidik kerajaan itu memang be-
nar. Pada hari itu Kidangkancana sudah berada di kotaraja Tegalinten.
Luka dalam yang diderita oleh Kidangkancana (aki-
bat serangan si Jambon di puncak Gunung Limaga-
gak), ternyata cukup parah. Itulah sebabnya gerakan Kidangkancana lebih lamban
dari biasanya. Perjalanan dari puncak Gunung Limagagak ke kotaraja Tegalinten
pun, terasa begitu meletihkannya. Padahal kalau ia tidak mengalami luka dalam,
seratus kali pulang pergi dari dan ke Tegalinten pun, ia pasti mampu.
Walaupun perjalanan itu sangat meletihkan, Ki-
dangkancana berjalan terus dengan agak terseok-seok dan sesekali harus berhenti
untuk melepaskan lelah-nya (sekaligus berupaya menahan rasa sakit di da-
danya). Semuanya itu dilakukannya, demi rasa sayangnya
terhadap muridnya. Memang Kidangkancana sangat
menyayangi Nyi Tiwi, bahkan cenderung memanjakan
muridnya itu. Demikian besarnya rasa sayang Kidangkancana terhadap Nyi Tiwi,
sehingga ia bersikap lebih lembut daripada seorang ayah terhadap anaknya.
Rasa sayang yang begitu besarnya pula, lalu me-
nyebabkan bentrokan dengan Rangga di puncak Gu-
nung Limagagak, sekaligus melupakan persahabatan-
nya dengan Kudawulung.
Setibanya di kotaraja Tegalinten, Kidangkancana
mencari warung nasi, untuk melepaskan letih dan da-haganya. Dan setelah
menemukan yang dianggap te-
pat, ia singgah di situ. Ia bercakap-cakap dengan pemi-lik warung itu. Dan ia
menanyakan satu nama: Tiwi.
Pemilik warung itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya
menggelengkan kepalanya ketika ditanya tentang seorang perempuan muda bernama
Tiwi itu. Tapi seorang lelaki yang berpakaian lusuh seperti petani dan kebetulan sedang
makan pula di warung
nasi itu, memang tahu banyak mengenai orang yang
bernama Tiwi itu. Ya... karena lelaki itu bukan petani biasa. Lelaki itu adalah


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata-mata kerajaan yang sedang mencari informasi di dalam kotaraja. Tugas
utamanya, adalah menyelidiki seorang lelaki tua yang ciri-cirinya sudah
diberitahu oleh Senapati Prabayani. Dan Senapati Prabayani mengetahui ciri-ciri
itu dari Manusagara. Dan lelaki tua yang sedang ditunggu-tunggu kehadirannya di
kotaraja Tegalinten, adalah Kidangkancana.
Maka penyelidik kerajaan itu meninggalkan warung
nasi tersebut, tanpa menimbulkan kecurigaan di hati Kidangkancana. Bergegas ia
melaporkan hasil penyelidikannya kepada sang Senapati.
Demikianlah... ketika Kidangkancana masih duduk
di dalam warung nasi itu, datanglah Nyi Tiwi yang telah 'diprogram' oleh
Manusagara! "Rama Guru!" seru Nyi Tiwi, membuat Kidangkan-
cana terkejut sekali.
"Oh... kau... kau... Tiwi"!" Kidangkancana memeluk muridnya dengan penuh kasih-
sayang, lalu membelai rambutnya... juga dengan penuh kasih sayang.
Kidangkancana memang seorang tokoh berilmu
tinggi. Tetapi pada saat itu ia tidak mempertajam pan-caindranya, karena merasa
bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan seorang lawan, melainkan sedang
berpelukan dengan seorang murid yang sangat dis-
ayanginya. Maka sedikitpun Kidangkancana tidak sadar bahwa muridnya mulai
mengeluarkan sesuatu dari balik stagennya - sebilah keris kecil yang telah diberi
mantra dan racun jahat oleh Manusagara!
Dan... tiba-tiba saja Kidangkancana memekik per-
lahan, "Nyi... Tiwi..."! Aaaaah... kau... kau... kenapa kau lakukan ini,
sayang..."!"
Lalu robohlah tokoh besar yang pernah menggem-
parkan dunia kedigjayaan itu!
Disusul oleh berkelebatnya sesosok tubuh ke dalam warung nasi itu: Kudawulung!
"Perempuan keparat!" bentak Kudawulung. "Kau
apakan sahabatku ini"!"
Nyi Tiwi tergetar bingung. Sayup-sayup ia menden-
gar suara di dalam hatinya sendiri: "Mengapa engkau membunuh gurumu sendiri"
Mengapa kaulakukan itu,
Tiwi?" Namun lalu suara lain berkumandang pula di dalam
hati Nyi Tiwi: "Hahahahaaaaa... bagus! Bagus! Engkau memang kekasihku yang
setia! Engkau telah melaksanakan tugasmu sebaik-baiknya!"
Suara yang terakhir itu, adalah semacam gema dari
ilmu gaib Manusagara!
*** Kudawulung hampir bergerak untuk menghantam
Nyi Tiwi. Namun tiba-tiba didengarnya suara Kidangkancana: "Jangan bunuh dia,
Kudawulung! Mungkin
ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya! Dia adalah muridku! Dia adalah
manusia yang paling kusayang di dunia ini! Jangan ganggu dia, jangan! Ini adalah
urusan antara guru dengan murid... dan engkau tidak
berhak ikut campur...."
Terpaksa Kudawulung membatalkan gerakannya,
kemudian memburu Kidangkancana yang sudah terge-
letak di lantai warung nasi.
Keris kecil itu masih menancap di dada Kidangkan-
cana. Dan Kudawulung cepat-cepat mencabutnya. Tapi
... begitu keris itu tercabut, Kidangkancana pun menghembuskan napasnya yang
terakhir! "Kidangkancana...!" seru Kudawulung sambil me-
meluk tubuh yang tak bernyawa lagi itu.
Dalam hidupnya, baru tiga kali Kudawulung meng-
alami kesedihan yang begitu hebatnya. Pertama, waktu akan berpisah dengan sang
Sekarpadma. Kedua, waktu ditinggal mati oleh istrinya. Dan ketiga kalinya,
adalah saat itu... saat memeluk tubuh yang tak bernyawa lagi itu!
"Engkau seorang pendekar yang sejati, Kidangkan-
cana! Sebenarnya aku sangat menghormatimu. Tapi...
ah... kini engkau telah meninggalkanku!" gumam Kudawulung dengan air mata
bercucuran. Sementara itu, Nyi Tiwi hanya berdiri terbengong-
bengong, tanpa menyadari bahwa ia telah membunuh
gurunya sendiri.
Dan... tiba-tiba saja Kudawulung bangkit dan me-
mandang Nyi Tiwi tajam-tajam.
Sebenarnya baru sekali itulah Kudawulung berjum-
pa dengan Nyi Tiwi. Namun mata Kudawulung yang
sudah sangat berpengalaman, segera saja bisa me-
nangkap sesuatu dari wajah murid Kidangkancana itu.
Dan tiba-tiba saja Kudawulung terbelalak. "Kau...
kau... ooh... siapa yang telah menguasai batinmu itu"
Siapa" Manusia iblis mana yang telah memakai dirimu sebagai alat untuk membunuh
gurumu sendiri?"
Nyi Tiwi terundur selangkah, dengan wajah ketaku-
tan, karena Kudawulung memancarkan sesuatu yang
mengerikan lewat sepasang matanya.
Ya, pada saat itu pandangan Kudawulung telah me-
nyalurkan salah satu kekuatan gaibnya, untuk menentang pengaruh ilmu yang telah
menyesatkan Nyi Tiwi.
Dan Nyi Tiwi melihat sepasang mata Kudawulung
itu seakan-akan memancarkan api yang sangat panas, yang membuatnya terundur
selangkah, dalam pergelu-tan antara pengaruh ilmu Manusagara dengan ilmu
Kudawulung. "Maju!" bentak Kudawulung. "Katakan segera! Siapa yang telah menyesatkanmu itu"
Jawab!" Nyi Tiwi bahkan menggigil dengan gigi gemeletuk,
tak ubahnya orang yang sedang mengalami demam
panas-dingin. "Hmmm... rupanya kuat juga pengaruh manusia ib-
lis itu, ya!" bentak Kudawulung lagi, karena Nyi Tiwi belum menjawab juga.
Dan... tiba-tiba saja berkelebat sesosok tubuh pendek kecil... tubuh Manusagara!
"Heheheheeeee... rupanya Kudawulung mau ikut
campur pada urusanku dengan Kidangkancana, se-
hingga dengan paksa hendak mengorek cerita dari mulut perempuan yang telah
menjadi kekasihku ini!" seru
Manusagara sambi bertolak pinggang membelakangi
Nyi Tiwi. Kudawulung terperanjat. "Kau... kau... Manusaga-
ra"!"
"Heheheheeeee... matamu masih awas juga, Kuda-
wulung! Tapi ingat... jangan kau samakan aku yang sekarang dengan aku yang
dahulu. Lain... sangat lain, Kudawulung! Karena itu, berpikirlah dulu seribu
kali, sebelum bermaksud memihak kepada Kidangkancana
yang sudah jadi bangkai itu!"
Kudawulung masih dicengkeram oleh keheranan-
nya, karena tidak mengira bahwa Manusagara bisa
muncul di Tegalinten.
Dahulu, ketika Kudawulung masih belum tua be-
nar, tokoh-tokoh berilmu tinggi pernah mengadakan semacam 'pertandingan' di
pantai selatan.
Kudawulung pun menjadi salah seorang peserta
'pertandingan' itu. Sebenarnya tidak patut disebut pertandingan, karena lebih
dari separuh pesertanya tewas dalam peristiwa itu. Tapi memang begitulah resiko
orang yang berani coba-coba mengikuti perebutan gelar 'Satria Adikara' (Yang
Gagah Berani dan Berkuasa).
Dan Manusagara pun turut dalam pertandingan itu.
Demikian pula Kidangkancana, Citralaga (guru Prabaseta) dan lain-lainnya, turut
menjajal ilmunya masing-masing dalam perebutan gelar Satria Adikara itu.
Namun ternyata acara itu tidak dilanjutkan, karena sebagian besar pesertanya
tewas di gelanggang pertandingan. Yang hidup, hanya Kidangkancana, Kudawu-
lung, Citralaga, Jayasena dan Manusagara. Mereka
berlima lalu bersepakat untuk menghentikan acara itu, karena mereka tidak
mengira bahwa pertandingan itu akan menjadi arena bunuh-membunuh. Memang pada
saat itu Manusagara merupakan satu-satunya tokoh
yang paling banyak membinasakan peserta acara Sa-
tria Adikara, sehingga secara tidak langsung tokoh-tokoh yang empat orang lagi
menyegani kehebatan
yang telah diperlihatkan oleh Manusagara. Tapi sesungguhnya kelima tokoh yang
tidak tewas dalam aca-ra itu, memiliki ilmu yang boleh dikatakan seimbang.
Kemudian terjadilah perselisihan kata-kata di anta-ra Kidangkancana dengan
Manusagara, yang lalu menjadi pertarungan sengit. Namun Kudawulung, Citralaga
dan Jayasena melerai pertarungan itu dan meminta
agar Kidangkancana dan Manusagara sama-sama me-
nahan diri. Sejak itulah Manusagara menyimpan dendam ter-
hadap Kidangkancana. Dendam yang pernah mau di-
lampiaskannya, ketika mereka berjumpa beberapa tahun kemudian. Tapi apa yang
terjadi" Pada kesempatan itu, Kidangkancana berhasil memukul roboh Ma-
nusagara. Dan dengan perasaan malu bercampur den-
dam, Manusagara menghilang dari dunia ramai.
Orang-orang mengira bahwa Manusagara sudah 'cuci
tangan' dari kalangan kadigjayaan. Namun ternyata tidak. Manusagara mendapat
gemblengan khusus dari
ibunya, yang bersemayam di laut barat, selama berta-hun-tahun.
Dan kini Manusagara telah berhasil melampiaskan
dendamnya, dengan cara yang begitu keji.
Dan kini Kudawulung melihat kehadiran manusia
cebol itu, dengan perasaan heran dan hampir tak percaya.
Setelah keheranannya lenyap, Kudawulung berkata,
"Manusagara, tampaknya Andika masih hidup di dunia ini. Aku senang melihatnya.
Pertemuan ini mengin-gatkanku pada masa muda kita, ketika kita sama-
sama menjadi peserta acara Satria Adikara yang tidak
diselesaikan itu. Tapi, ah... mengapa Andika mengotori nama Andika sendiri,
dengan pembunuhan yang keji
ini" Mengapa Andika tidak memanfaatkan ilmu yang
hebat itu untuk hal-hal yang luhur?"
"Kudawulung!" seru Manusagara. "Sudah kukata-
kan tadi, bahwa aku yang sekarang tidak sama dengan aku yang dahulu! Dan hal itu
telah kubuktikan dengan mampusnya Kidangkancana keparat ini!"
"Mati di medan tarung, bukanlah sesuatu yang
aneh bagi kita. Tapi membunuh lawan dengan cara
meminjam tangan seperti itu, sungguh tidak patut dilakukan oleh tokoh terkenal
seperti kau, Manusagara!
Sebagai orang yang pernah bersepakat denganmu da-
lam acara Satria Adikara dahulu, aku turut merasa malu dengan tindakan keji yang
telah kau lakukan
ini!" Tampaknya sindiran Kudawulung itu sangat menge-
nai sasarannya. Namun sebagai akibatnya, bukanlah membuat Manusagara sadar,
bahkan sebaliknya... Manusagara mengulurkan tangannya yang bisa meman-
jang lebih dari sepuluh depa itu... dengan cepat menyambar ke arah leher
Kudawulung, disertai teriakan:
"Ikutilah kau bersama Kidangkancana ke neraka!"
Namun Kudawulung sudah memperhitungkan kele-
bihan apa yang dimiliki oleh manusia cebol yang 'blas-teran manusia dengan
siluman' itu! Maka dengan gerakan yang sangat cepat pula, Kudawulung menjatuhkan
diri ke depan, lalu... bssss... lenyaplah Kudawulung dari pandangan!
Kudawulung telah menggunakan ajian Halimunan,
yang membuatnya bisa hilang dari pandangan orang
biasa. Sekali lagi... hilang dari pandangan orang berilmu rendah, tapi tidak
bisa menyembunyikan diri dari pandangan orang berilmu tinggi! Sebabnya
adalah..., bahwa orang yang berilmu tinggi dengan mengerahkan ilmu 'Dwinetra', mampu
melihat makhluk-makhluk halus sekalipun! Tapi, pengerahan ilmu Dwinetra harus
disertai syarat-syarat tertentu, antara lain harus men-cukur habis setiap rambut
dan bulu-bulu terhalus sekalipun di tubuhnya (di samping syarat-syarat lainnya).
Karena itu Manusagara tidak memaparkan ajian
Dwinetra. Manusia cebol setengah siluman itu men-
gambil langkah lain, yakni dengan mengerahkan ajian Halimunan pula. Maka...
bssssss... Manusagara lalu hilang pula dari pandangan orang-orang yang menonton
di luar warung nasi itu.
Kini terjadilah sesuatu yang tidak terlihat oleh
orang-orang awam. Bahwa Manusagara dan Kudawu-
lung melanjutkan pertarungan mereka di dunia 'sa-
na'... di dunia yang tidak kelihatan!
Ketika Kudawulung dan Manusagara mau menghi-
lang, Senapati Prabayani tiba di depan tempat keribu-tan itu. Lalu, setelah
kedua tokoh itu sama-sama
menghilang, Senapati Prabayani terlongong-longong dan berkata di dalam hatinya,
"Inilah pertarungan terhebat yang pernah kusaksikan, tapi lalu tak bisa
kusaksikan lagi! Di mana sekarang mereka bertarung"
Ah... seandainya aku memiliki ajian Halimunan seperti mereka, alangkah
senangnya!"
Di 'dunia sana', Kudawulung dan Manusagara sal-
ing hantam, saling tendang, saling tubruk, saling him-pit dan sebagainya.
Dan... tiba-tiba saja, warung nasi itu ambruk!
Braaaaaaaaasssssshhhhh... brrrrrrrrukhhhhh!
Rupanya demikian dahsyatnya pertarungan kedua
tokoh kelas tinggi yang sedang sama-sama menghilang itu, sehingga warung nasi
itu tidak kuat lagi menahan
amukan mereka! Senapati Prabayani terpaksa mundur beberapa
langkah, lalu berseru kepada orang-orang yang berke-rumun di depan reruntuhan
warung nasi itu
"Jangan mendekati tempat ini! Ayo mundur sebe-
lum kalian jadi korban!"
Apakah Senapati Prabayani sudah demikian baik
hatinya, sehingga merasa cemas kalau-kalau ada rakyat Tegalinten yang menjadi
korban amukan Manu-
sagara dan Kudawulung"
O, bukan itu masalahnya!
Sebenarnya Senapati Prabayani sudah merasa nge-
ri, takut kalau dirinya ikut tertabrak kedua tokoh yang sedang bertarung di alam
yang tak kelihatan itu. Dan sang Senapati bermaksud mengundurkan diri ke dalam
istana, tapi ia tidak ingin ada seorang pun yang melihatnya mundur dalam
takutnya. Karena itu, dis-uruhnya orang-orang pulang ke rumahnya masing-
masing. Dan setelah jalan di depan reruntuhan warung nasi itu lengang, Senapati
Prabayani pun cepat-cepat mengundurkan diri ke dalam istana!
Pertarungan Manusagara dan Kudawulung, makin
lama makin dahsyat. Walaupun tubuh mereka tidak
kelihatan, benda-benda yang terkena hantaman mere-ka mulai ambruk di sana-sini.
Bukan hanya benda-
benda kecil, melainkan juga beberapa bangunan mulai roboh di sana-sini!
Dan rakyat Tegalinten mulai panik. Mereka ingin
menghindari amukan kedua tokoh yang sedang berta-
rung mati-matian itu. Tapi mereka tidak tahu ke mana harus lari, karena mereka
tidak melihat di mana kedua tokoh itu sedang bertarung kini.
Aria Pamungkas pun keluar dari purinya, karena
mendengar suara hiruk-pikuk di luar istana itu. Tapi
Senapati Prabayani mencegatnya, "Jangan dulu keluar, Gusti Aria."
"Kenapa?" Aria Pamungkas heran. "Apa sebenarnya
yang sedang terjadi di luar sana?"
"Dua tokoh besar sedang bertarung. Adalah berba-
haya sekali mendekati tempat pertarungan mereka, karena dua-duanya mempergunakan
ajian Halimunan."
"Ajian Halimunan?"


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," Senapati Prabayani mengangguk. "Semacam
ajian yang membuat mereka tidak bisa kelihatan oleh mata biasa."
"Lalu?"
"Tenanglah, Gusti," Senapati Prabayani memegang
lengan Aria Pamungkas. "Hamba sengaja pulang ke si-ni, karena takut keselamatan
Gusti terganggu. Hamba memang selalu ingin melindungi Gusti."
Aria Pamungkas hanya terlongong-longong. Tapi la-
lu ia menaiki tangga menuju menara, diikuti oleh Senapati Prabayani. Dan dari
puncak menara itu, mereka memandang ke luar sana... ke arah bangunan-bangunan
yang ambruk satu per satu, tak ubahnya digojlok gempa bumi yang dahsyat.
"Siapa sebenarnya yang sedang bertarung itu?"
tanya Aria Pamungkas heran.
"Kakek Manusagara melawan musuh besarnya."
"Siapa musuh besarnya" Kidangkancana?"
"Bukan. Kidangkancana malah sudah dibinasakan-
nya." "Oh ya"! Kalau begitu, Kakek Manusagara benar-
benar hebat. Tapi, siapa yang sedang dihadapinya ki-ni?"
"Kudawulung, Gusti."
"Kudawulung...! Rasa-rasanya aku pernah mende-
ngar nama itu."
"Tentu saja! Beberapa puluh tahun yang lalu, Kudawulung pernah membantai
keluarga istana Tegalinten.
Gusti Aria tentu pernah mendengar ceritanya dari
ayahbunda Gusti."
"Oh!" Aria Pamungkas terperanjat. "Kalau begitu,
Kudawulung itu harus dibinasakan!"
"Memang betul, Gusti. Sekarang pun Kakek Manu-
sagara sedang berusaha membinasakan musuh kera-
jaan itu!"
Namun apa yang terjadi selanjutnya, membingung-
kan Senapati Prabayani dan Aria Pamungkas.
Kedua tokoh yang sedang bertarung itu tidak mem-
perlihatkan 'bekas-bekas' amukan mereka lagi. Dan suasana di luar istana menjadi
sunyi. Apa yang sedang terjadi" Ke mana Manusagara dan
Kudawulung"
*** Ada peristiwa yang harus diceritakan terpisah, ka-
rena peristiwanya terjadi di alam gaib yang semakin menjauhi alam nyata.
Pada suatu saat, Manusagara berhasil menghantam
bagian berbahaya di selangkangan Kudawulung, se-
hingga murid dan anak angkat sang Sekarpadma itu
terjungkal roboh, disusul oleh hentakan kaki Manusagara yang memanjang...
plaaap... membuat Kudawu-
lung terhempas lagi untuk yang kedua kalinya. Dan ti-ba-tiba saja Manusagara
melepaskan salah satu senjata gaibnya, yakni rantai asap yang mampu membelit
sukma Kudawulung!
Namun, sebelum rantai asap itu mencapai sasar-
annya, tiba-tiba saja Kudawulung berseru: "Ibunda Sekarpadma! Apakah Ibunda tega
membiarkan aku bina-
sa di tangan manusia setengah siluman ini?"
Lalu terdengar suara gaib: "Ibu datang membantu,
Sudesa!" Kudawulung mendadak bangkit kembali dengan
perkasa. Dan ketika Manusagara menyongsong ke-
bangkitan lawannya dengan hantaman, Kudawulung
balas menghantam, sehingga terjadi tabrakan dua kekuatan yang menimbulkan
ledakan dahsyat...
ghluuuuurrrrr...!
Manusagara dan Kudawulung sama-sama terpental
akibat tabrakan itu. Dan... tiba-tiba saja Manusagara melarikan diri ke arah
barat! Namun Kudawulung tidak mau melepaskannya be-
gitu saja. Dikejarnya manusia setengah siluman yang sudah sama-sama berada di
alam yang tidak kelihatan itu. Dikejarnya terus. Dikejarnya... sampai sama-sama
meninggalkan Tegalinten... sampai memasuki hutan
gaib dan sama-sama membersit ke dunia yang penuh dengan bukit-bukit tajam dan
makhluk-makhluk halus!
Mereka telah meninggalkan Tegalinten. Mereka me-
lanjutkan lagi pertempuran di atas bukit-bukit tajam yang puncaknya mirip
deretan pisau. Baik Kudawulung maupun Manusagara seakan-akan menguras ha-
bis segenap daya dan kekuatan mereka. Namun ter-
nyata kekuatan mereka seimbang. Dan kekuatan yang seimbang itu memperpanjang
jangka waktu pertempuran.
Sebulan telah berlalu. Dua bulan terlewati. Tiga bulan pun terlalui, tanpa ada
yang menang maupun yang kalah. Berkali-kali mereka ambruk bersama-sama.
Menghentikan pertempuran mereka. Lalu melanjutkan lagi dengan kekuatan yang
semakin mengendur.
Dan dengan mengendurnya kekuatan mereka, me-
ngendur pula daya ajian Halimunan yang mereka ke-
rahkan. Akibatnya, pada suatu saat mereka sama-
sama muncul lagi di dunia yang nyata, dunia yang kelihatan!
Pukulan mereka pun tidak seperti pukulan tokoh-
tokoh besar lagi. Mereka tak ubahnya dua manusia kelaparan yang sudah kehabisan
tenaga. Gerakan mere-ka menjadi lamban... lamban sekali!
Tanpa mereka sadari, pertarungan yang sangat
lamban dan lemah itu terjadi di luar wilayah Tegalinten. Dan tanpa mereka
sadari, pertarungan mereka
sudah demikian lemahnya, sehingga ketika serombongan anak kecil melewati tempat
pertarungan itu, ter-dengarlah suara tawa anak-anak itu: "Hihihihi... lihat!
Ada dua orang gila yang sedang berkelahi!"
"Hush! Yang begitu bukan berkelahi namanya, tapi
main tepuk tangan ame-ame!"
"Hihihihihiiiiii!"
"Orang gila! Orang gila!"
Teriakan dan tawa geli anak-anak kecil itu menya-
darkan Manusagara dan Kudawulung. Bahwa mereka
berdua seakan tak punya ilmu apa-apa lagi.
Maka akhirnya Manusagara berkata, "Kita lan-
jutkan pertarungan yang belum selesai ini bulan depan! Jika bulan purnama
muncul, kutunggu kau di
depan Candi Tegalinten! Bagaimana?"
Dengan napas terengah-engah Kudawulung meng-
angguk. "Baik! Hhh... aku akan datang ke candi itu...
hhh... pada waktu yang kau tetapkan... hhh... kuharap kau jangan mengingkari
janjimu... hhh..."
*** ANGUNAN yang rusak di Tegalinten, telah selesai
Bdi perbaiki kembali. Rumah dan warung yang ro-
boh, telah didirikan kembali. Namun Manusagara belum muncul juga di kotaraja.
Hal itu dipersoalkan oleh Aria Pamungkas di dalam istana.
"Kakek Manusagara belum muncul juga. Mungkin
dia tewas dalam pertarungan empat bulan yang lalu itu?" tanya Aria Pamungkas.
"Entahlah, Gusti Aria. Pertarungan itu sendiri berlangsung di alam yang tidak
kelihatan. Dan hamba tidak berani menebak-nebak tentang apa yang telah terjadi
pada diri mereka," sahut Senapati Prabayani.
Aria Pamungkas berjalan hilir-mudik, sambil meng-
gendong kedua tangannya, dengan pikiran terarah ke rencana yang belum juga
terwujud itu - rencana untuk menyerbu Kerajaan Tanjunganom.
Lalu kata Aria Pamungkas, "Rencana kita tetap tergantung di awang-awang. Kita
malah sibuk membena-
hi kehancuran dan kerusakan yang ditimbulkan oleh Kakek Manusagara dan musuhnya
itu. Sementara barisan Yudhapaksi sampai saat ini masih mandul juga.
Ah... aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan."
"Gusti Aria," kata Senapati Prabayani, "tentang barisan Yudhapaksi, tak usahlah
Gusti kuatir. Mereka tidak mandul. Mereka bisa dikembang-biakkan pada ha-ri ini
juga." "Kenapa tidak segera kau lakukan" Kenapa selama
ini engkau malah ikut-ikutan sibuk mengurusi pembe-nahan bangunan-bangunan yang
rusak dan hancur
itu" Bukankah tugas seorang senapati semata-mata
menyangkut angkatan perang saja" Semestinya kau
pun ingat bahwa hasrat untuk melaksanakan rencana besar itu, telah sangat
berkobar-kobar di dalam dada-
ku. Apakah engkau memang mengharapkan seman-
gatku pudar sendiri karena bosan menunggu-
nunggu?" suara Aria Pamungkas terdengar dingin.
Senapati Prabayani menundukkan kepalanya. Ia ta-
hu bahwa Aria Pamungkas sedang uring-uringan. Dan ia sudah mulai tahu bagaimana
cara menghadapi sang Putra Mahkota jika sedang uring-uringan begitu. Ia harus
diam, membisu, tak boleh mengeluarkan kata-kata sepatah pun.
"Apakah aku harus melaksanakan penyerbuan itu
sendirian di depan prajurit-prajurit Tegalinten" Atau-kah aku harus mengangkat
beberapa senapati yang
baru, supaya rencanaku lekas terwujud?" gerutu Aria Pamungkas lagi.
Senapati Prabayani tetap membisu.
Kali ini Aria Pamungkas justru mengharapkan Se-
napati Aria Prabayani menanggapi kata-katanya.
"Ooooh... Senapati! Jawablah pertanyaanku! Mengapa engkau diam membisu seperti
itu?" Dengan kerlingan genit, Senapati Prabayani menya-
hut, "Hamba takut jawaban hamba malah semakin
membakar kemarahan Gusti Aria. Karena itu, lebih
baik hamba diam membisu. Kalau memang Gusti Aria
memandang perlu untuk mengangkat senapati-
senapati baru, hamba tidak berkeberatan. Bahkan sekalipun hamba dipecat dari
kedudukan yang hamba
pegang sekarang, hamba akan menerimanya. Kemam-
puan hamba memang baru sampai di sini."
Aria Pamungkas terperangah. Tidak terpikirkan
olehnya untuk memecat Senapati Prabayani. Tidak.
Lebih tidak terpikirkan lagi kalau Senapati Prabayani lantas membelot ke
Tanjunganom dan memimpin penyerbuan ke Tegalinten! Oh, tidak! Aria Pamungkas
terlalu membutuhkan Senapati Prabayani, agar jangan
sampai mengundurkan diri dari jabatannya.
Maka kata Aria Pamungkas, "Aku percaya pada ke-
mampuanmu. Tapi cobalah perlihatkan sesuatu yang
membesarkan hatiku. Janganlah kau buat seman-
gatku pudar sendiri."
Tiba-tiba seorang prajurit datang menghadap. De-
ngan setengah berbisik, prajurit itu berkata kepada Senapati Prabayani: "Gusti
Senapati, hamba tidak tahu bagaimana caranya orang itu bisa memasuki istana...
sekarang tahu-tahu orang yang dahulu ditempatkan di puri khusus itu sudah berada
di sana kembali."
Senapati Prabayani terlonjak. "Kakek Manusagara
maksudmu?"
"Benar, Gusti," sahut prajurit itu.
Senapati Prabayani dengan girang berkata kepada
Aria Pamungkas, "Kakek Manusagara sudah kembali,
Gusti Aria. Hamba akan berusaha membujuknya, un-
tuk melaksanakan tugas khusus. Dan Gusti Aria pasti terkejut kalau sudah
mendengar rencana hamba."
"Rencana apa?" Aria Pamungkas tidak begitu ber-
semangat, walaupun sudah mendengar laporan ten-
tang kembalinya Manusagara.
Senapati Prabayani berbisik ke telinga Aria Pa-
mungkas, "Kita tugaskan Kakek Manusagara untuk
menculik Raja Tanjunganom...!"
Aria Pamungkas terkejut. Gembira bercampur ngeri.
Gembira, karena rencana Senapati Prabayani itu sangat 'hebat'. Ngeri, karena
hampir tak masuk di akal seorang wanita muda seperti Prabayani, bisa memiliki
rencana segila itu buat zaman itu.
Tapi lalu Aria Pamungkas tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahaaaa...! Rencanamu memang lebih hemat da-
ripada rencanaku! Hemat biaya, hemat tenaga dan
hemat jiwa! Aku sangat tertarik mendengarnya! Run-
dingkanlah sekarang dengan sahabatmu yang ganjil
itu!" "Apakah tidak lebih baik kalau Kakek Manusagara
kita undang saja ke mari, Gusti?"
"Tidak! Dahulu aku sudah mengatakannya. Urusan
dengan manusia yang satu itu, kuserahkan sepenuh-
nya padamu!"
Maka bergegas Senapati Prabayani menuju puri
khusus yang disediakan untuk Manusagara itu. Setibanya di sana, dilihatnya
Manusagara dalam keadaan lelah sekali.
"Empat bulan engkau meninggalkan istana ini," ka-
ta Senapati Prabayani. "Kami sudah tercemas-cemas memikirkanmu!"
"Hmmm... Kudawulung memang hebat! Keparat!
Aku hampir-hampir kalah dibuatnya!" gerutu Manusagara sambil mengipasi dadanya.
"Lalu, bagaimana kesudahan pertarungan itu?"
"Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.
Aku bahkan terus-terusan ingat pada murid Kidangkancana itu. Mana dia sekarang?"
Senapati Prabayani tertawa geli. "Hihihihi... dia sudah sinting sekarang! Pada
hari itu juga dia mendadak gila dan berlari-lari mengelilingi kotaraja dalam
keadaan telanjang bulat!"
"Hah"!" Manusagara terperanjat "Benarkah itu?"
Ya, seperti Manusagara, mungkin di antara pemba-
ca pun ada yang bertanya: Benarkan itu"
*** Benar! Pada waktu Kudawulung sedang bertarung
dengan Manusagara, Nyi Tiwi seakan-akan 'lepas kon-trol', karena Manusagara
sedang mengerahkan kekuatan lahir-batinnya untuk menghadapi lawan beratnya.
Akibatnya"
Nyi Tiwi mulai sadar tentang apa yang telah dilakukannya. Bahwa ia telah
membunuh gurunya sendiri!
Ya, walaupun tindakan itu dilakukan atas pengaruh kekuatan gaib Manusagara,
namun Nyi Tiwi mampu
mengingatnya dengan jelas. Bahwa ketika Kidangkancana memeluknya, ia justru
mempersiapkan keris ke-cilnya, yang lalu dihunjamkannya ke dada guru yang malang
itu. Lalu Kidangkancana roboh... dengan keris masih menancap di dadanya!
Semuanya itu masih diingatnya benar.
Dan tiba-tiba saja Nyi Tiwi memekik. "Rama Guru!
Oh! Rama Guru!"
Lalu Nyi Tiwi menghambur ke arah reruntuhan wa-
rung nasi itu. Di antara puing-puing warung nasi itu, Nyi Tiwi mencari-cari. Dan
akhirnya ia berhasil menemukan mayat gurunya.
Pada saat itulah Nyi Tiwi menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk mayat gurunya
erat-erat. O, betapa dalamnya perasaan sedih dan sesal di ha-ti Nyi Tiwi. Dan ketika
perasaan sedih-sesal itu melewati batas yang 'dibolehkan' dalam jiwa manusia...
ti-ba-tiba saja Nyi Tiwi menjadi berubah!
Pandangannya menjadi beringas.
Bayang-bayang pengalamannya bersama kakek-
kakek cebol itu, menggelayut lagi di benaknya. Ya...
Nyi Tiwi masih mampu mengingatnya. Bahwa ia telah melakukan sesuatu yang sangat
nista bersama manusia setengah siluman yang sudah sangat tua itu.
Dan ingatannya tentang hal itu, membuat pandang-
annya menjadi semakin beringas.


Mustika Lidah Naga 6 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu... tiba-tiba saja Nyi Tiwi tertawa sendiri. "Hihihihihihi...! Akulah lonte
yang paling jahanam di muka bumi ini!"
Lalu Nyi Tiwi berjingkrak-jingkrak sambil menanggalkan pakaiannya sehelai demi
sehelai. Dan kemu-
dian... dia berlari-lari mengelilingi kotaraja Tegalinten, dalam keadaan
telanjang bulat.
Di sepanjang jalan, Nyi Tiwi berteriak-teriak. "Ayo rakyat Tegalinten! Siapa mau
coba aku" Siapa" Hihihihihi" Aku ini memang manusia paling jahanam di dunia!
Hihihihihihi!"
Namun pada saat itu rakyat Tegalinten justru se-
dang panik, bangunan-bangunan roboh di sana-sini, pohonpohon bertumbangan, batu-
batu beterbangan
dan sebagainya, sebagai akibat pertarungan kedua tokoh yang sedang sama-sama
mengerahkan ajian Hali-
munan itu. Maka tak seorang pun mempedulikan Nyi
Tiwi karena mereka pun sedang panik.
Karena merasa tidak ada yang memperhatikannya,
Nyi Tiwi berlari dan berlari terus ke arah utara, sampai meninggalkan kotaraja
Tegalinten, tanpa sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya.
*** "Begitulah keadaannya," kata Senapati Prabayani.
"Kekasihmu itu lalu menghilang entah ke mana. Tapi sudahlah... masih banyak
penggantinya. Lagipula tugas dia sudah selesai, bukan"!"
Manusagara tampak kecewa. Tapi lalu berkata, "Ya, tugas utamanya memang sudah
selesai. Dan sudahlah... masih banyak gadis lain yang bisa kau suguhkan untukku,
bukan?" "Gampang... gampang!" Senapati Prabayani meng-
angguk-angguk. "Tapi ada sesuatu yang sangat men-
desak dan membutuhkan pertolonganmu."
"Apa itu?"
Senapati Prabayani menjawabnya dengan bisikan
perlahan. "Engkau berani menculik Raja Tanjunga-
nom, bukan?"
Manusagara terperangah. "Hah"! Apa gunanya main
culik-culikan begitu?"
Senapati Prabayani menjawab, "Kerajaan Tegalinten membutuhkan tindakan seperti
itu." "Ah, persetan dengan kebutuhan Kerajaan Tegalin-
ten! Tidak ada urusan denganku!" sahut Manusagara tegar.
"Kakek ini bagaimana"! Kakek kan sekarang ini
tinggal di istana Raja Tegalinten. Bagaimana mungkin Kakek bisa mengatakan
persetan dengan kebutuhan
Kerajaan Tegalinten segala"!"
"Lalu maumu bagaimana?" ketegaran Manusagara
mencair. "Sudah kukatakan tadi... culiklah Raja Tanjunga-
nom ke mari, karena Gusti Aria Pamungkas akan me-
maksanya menandatangani penyerahan kedaulatan
Tanjunganom ke bawah kekuasaan Tegalinten. Hanya
itu yang kuinginkan. Dan aku percaya, engkau pasti bersedia melakukannya."
Manusagara tercenung-cenung... dan akhirnya ber-
kata, "Baiklah, aku akan melakukannya. Tapi seka-
rang biarkanlah aku istirahat dulu, karena sekujur tubuhku terasa letih sekali."
(Bersambung) Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Pendekar Binal 2 Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Pendekar Sakti Suling Pualam 15
^