Pencarian

Mustika Lidah Naga 7 2

Mustika Lidah Naga 7 Bagian 2


Hihihiiiiii...!"
Subali hanya dapat menggertakkan giginya dalam
kegeraman yang tak tertahankan lagi. Seandainya ia
bisa menggerakkan anggota badannya, mau saja ia
mengadu nyawa dengan perempuan itu. Namun dalam
keadaan kaku seperti itu, ia hanya bisa memejamkan
matanya dan merasa seolah-olah sedang berada di ne-
raka. Lalu suara Nyi Tiwi lenyap. Seketika itu juga Subali dapat menggerakkan anggota
badannya kembali.
Subali celingukan. Nyi Tiwi telan lenyap dari pan-
dangannya. "Ini benar-benar penghinaan yang tak mungkin bisa
kulupakan seumur hidupku," pikir Subali sambil
membenamkan kepalanya ke dalam air. "Untunglah
perempuan jahanam itu melakukan penghinaan ini di
sungai, sehingga aku bisa langsung mencuci kepala
dan rambutku. Kalau penghinaan ini dilakukan di da-
rat... ah...."
Setelah merasa dirinya bersih dari tinja dan air kencing Nyi Tiwi, bergegas
Subali melompat ke atas.
Geram sekali Subali melihat kedua anak buahnya
hanya berdiri terpaku. "Kalian benar-benar tak tahu diuntung! Kenapa kalian
sejak tadi diam saja"!"
"Dedd... ded... ham... tidddd.. tiddak mengerti apa se... sebenarnya yang telah
terjadi..." sahut Bana tergagap.
"Dasar sial! Kalau tahu dia yang menyiksa anak bu-
ahku, aku tidak akan datang ke sini," pikir Subali dalam geramnya.
*** ERISTIWA itu benar-benar tak dapat Subali lupa-
Pka n. Sejak terjadinya peristiwa di Cigelung itu, Subali sering tampak gelisah
tak menentu. Terkadang ia menggebrak meja sampai pecah berantakan, terkadang
juga ia menendang apa saja yang ada di depannya.
Sering pula Subali menggumam sendiri: "Sean-
dainya aku memiliki ilmu yang bisa menandingi pe-
rempuan jahanam itu, akan kubunuh dia! Akan kucin-
cang dia sampai lumat! Tapi... oh... bagaimana caranya untuk melampiaskan
dendamku ini" Rasanya aku tak
pernah membuat kesalahan padanya. Tapi seenaknya
saja dia menamparku, mengencingi dan memberaki
kepalaku! Oh, penghinaan ini benar-benar di luar batas! Benar-benar tak dapat
kulupakan seumur hi-
dupku!" Demikianlah, dari hari ke hari Subali hanya meng-
gerutu, menggebrak dan menendang-nendang, sehing-
ga seisi rumahnya selalu dicengkeram ketakutan.
Soalnya belum pernah mereka melihat Subali semarah
itu. Sampailah pada suatu hari....
Ketika Subali sedang duduk merenung di depan ru-
mahnya, tiba-tiba pandangannya tertumbuk ke seo-
rang lelaki tua yang sedang berjalan memasuki pintu gerbang.
Subali terlonjak. Memburu lelaki tua itu. Dan ber-
simpuh di depannya. "Rama Guru! Selamat datang di
rumah muridmu! Oh... gembira sekali hatiku menda-
pat kunjungan Rama Guru hari ini!"
Lelaki tua yang dipanggil 'Rama Guru' itu, seorang
lelaki enampuluh tahunan, perperawakan tinggi besar,
berkepala botak dan bermata besar.
Siapa dia sebenarnya"
Dia adalah seorang dari golongan hitam yang sangat
ditakuti oleh rakyat Tanjunganom. Tidak banyak yang mengetahui nama aslinya.
Orang-orang menyebutnya
Tapakwesi karena kedua telapak tangannya bisa di-
buat lebih keras daripada besi.
Setelah dibawa masuk ke dalam ruangan tamu pri-
badi, Tapakwesi berkata, "Senang sekali aku melihat-mu masih hidup, Subali. Aku
mendengar bahwa di Te-
galinten telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang
sealiran dengan kita. Itulah sebabnya aku sengaja datang ke sini, hanya untuk
melihat selamat atau tidaknya dirimu."
"Pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang
yang sealiran dengan kita"!" Subali terheran-heran.
"Iya. Apakah kau belum mendengarnya?"
"Belum, Rama Guru."
"Lucu! Aku saja yang tinggal di Tanjunganom, su-
dah mendengarnya. Dan engkau yang tinggal di wi-
layah Tegalinten, malah belum mendengarnya."
"Kundina bukan bagian dari Tegalinten," bantah
Subali. "Aku tidak akan membiarkan kerajaan mana
pun menguasai daerah ini, Rama Guru."
"Hahahahaaaa...! Jadi engkau ingin menjadi raja
kecil, begitu?"
"Apa salahnya" Raja-raja di daratan ini, tidak se-
muanya keturunan raja yang sebenarnya. Bahkan ada
di antara mereka yang berasal dari keturunan pencuri, perampok dan sebagainya."
"Ya, ya, ya! Memang tidak ada salahnya," Tapakwesi
mengangguk-angguk. "Tapi dengarlah dulu ceritaku
tentang orang-orang yang dibantai di Gunung Limaga-
gak itu." "Gunung Limagagak"!"
"Ya. Seorang pendekar yang masih muda belia, te-
lah membinasakan tujuh puluh tujuh tokoh hitam ke-
las tinggi! Dan kabarnya pemuda itu sudah berjanji
untuk menghabisi semua tokoh hitam, baik yang ting-
gal di Tegalinten maupun yang tinggal di Tanjunga-
nom." "Gila! Punya apa pemuda itu sehingga berani se-
sumbar demikian besarnya?"
"Entahlah. Yang jelas, engkau harus berhati-hati sekali, karena mungkin saja
engkau pun sudah dicalon-
kan untuk menjadi korbannya."
"Akan kuperlihatkan pada masyarakat Kundina,
bahwa aku tidak percuma menjadi murid Tapakwesi
yang sangat ditakuti di Tanjunganom."
"Jangan takabur dulu! Pemuda yang telah menjagal
tokoh-tokoh hitam itu, benar-benar berbahaya. Kude-
ngar Jalak Ruyuk pun telah binasa di tangan pemuda
itu." "Jalak Ruyuk"!" Subali terperanjat. Walaupun ia ti-
dak termasuk golongan hitam yang berkeliaran dari
hutan ke hutan, namun ia sudah sering mendengar
bahwa Jalak Ruyuk itu pemimpin golongan hitam di
seluruh Tegalinten.
"Ya, engkau tentu sering mendengar nama Jalak
Ruyuk, bukan"!"
"Sering, Rama Guru. Bahkan belakangan ini tersiar
kabar bahwa anak-anak Jalak Ruyuk telah mendapat
kedudukan tinggi di kerajaan."
"Betul. Anak laki-lakinya telah diangkat menjadi
adipati di Kawahsuling. Sedangkan anak perempuan-
nya telah diangkat sebagai senapati kerajaan. Hhh...
entah bagaimana caranya Jalak Ruyuk mempengaruhi
raja Tegalinten, sehingga dengan mudah saja anak-
anaknya bisa dijadikan pembesar-pembesar begitu."
Setelah berpanjang lebar membicarakan soal penja-
galan tokoh-tokoh golongan hitam itu, Subali lalu
menceritakan peristiwa yang sangat menggelisahkan-
nya itu. Peristiwa 'siluman air' itu.
"Demikianlah," kata Subali setelah mengakhiri pe-
nuturannya, "perempuan jahanam itu benar-benar te-
lah menghinaku, sementara aku tak berdaya untuk
membalasnya."
"Siapa perempuan itu" Hmm... kalau mendengar ce-
ritamu, aku yakin perempuan itu murid salah seorang di antara tokoh-tokoh
terkuat di Tegalinten. Karena hanya merekalah yang bisa muncul atau menghilang
secara mendadak begitu."
"Siapa pun dia, aku tak peduli. Yang jelas, aku ingin agar Rama Guru melenyapkan
dia." "Hahahahaaaa...! Jadi kau masih tetap seperti anak
kecil juga" Apakah kau tidak dapat berpikir sedikit luas, demi kepentinganmu
sendiri" Lupakah kau pada
nasihatku dulu?"
"Nasihat yang mana, Rama Guru?"
"Aku pernah memberimu petunjuk... kalau kita ti-
dak kuat melawan suatu kekuatan, bersekutulah den-
gan kekuatan itu!"
"Tapi... bagaimana mungkin aku bisa bersekutu de-
ngan dia."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Besok pagi Rama Guru akan kuajak ke hutan itu.
Dan Rama Guru akan melihatnya sendiri bahwa pe-
rempuan keparat itu bukan sebangsa manusia yang
bisa diajak bersekutu."
Hari memang sudah mulai senja. Subali lalu meme-
rintahkan para pelayannya untuk menyiapkan hidang-
an bagi Tapakwesi.
"Engkau benar-benar seperti raja kecil," kata Ta-
pakwesi waktu menyantap hidangan malam itu. "Tidak
banyak orang yang setingkat dengan kepandaianmu
dapat menikmati kehidupan mewah seperti ini. Maka-
nan serba lezat, pelayan begitu banyak, rumah seperti istana... ah... kau memang
pandai, Subali."
"Semuanya ini berkat nasihat Rama Guru sendiri.
Bahwa hidup ini harus dinikmati sebaik-baiknya. Ha-
hahahahahahaaa...!"
Mereka yang sedang makan itu duduk bersila di
atas permadani, di dalam ruangan terluas di rumah
Subali. Untuk mencapai ruangan itu, baik datang dari pintu depan maupun pintu
lainnya, harus melewati
ruangan-ruangan lainnya, karena ruangan yang dipa-
kai tempat makan itu berada di tengah-tengah.
Maka alangkah terkejutnya Subali, ketika didengar-
nya suara, "Minta makan, Kang". Dan ketika Subali
menoleh ke arah datangnya suara itu, ternyata seorang perempuan tanpa busana
sedang bersila di belakangnya. Perempuan itu tak lain dari Nyi Tiwi!
"Ra... Rama Guru... ini... inilah perempuan yang ku-ceritakan tadi," Subali
melapor tergagap.
Tapakwesi merasa terkejut juga karena Nyi Tiwi ta-
hu-tahu muncul di dalam ruangan itu. Namun di-
atasinya perasaan heran dan kagetnya, sambil mene-
gur Nyi Tiwi dengan lemah-lembut, "Seorang perem-
puan bergentayangan di tengah malam, tanpa berpa-
kaian pula... apakah tidak takut masuk angin?"
Nyi Tiwi seperti tidak mendengar teguran Tapakwesi
itu. Nyi Tiwi bahkan mengambil makanan yang sedang
dihidangkan untuk Tapakwesi, lalu makan selahap-
lahapnya sambil berkata, "Baunya enak sekali. Pasti rasanya pun enak... nyem...
nyemmmm..."
Sebagai tokoh tua yang sudah berpengalaman, Ta-
pakwesi segera dapat menduga bahwa Nyi Tiwi mende-
rita gangguan jiwa. Maka sikapnya pun lalu berubah.
Dengan suara tegas ia berkata, "Perempuan tak diun-
dang! Apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?"
Tapi Nyi Tiwi malah balik membentak, "Kalau ratu
sedang makan, jangan ada yang ngomong!"
Kalau saja Nyi Tiwi hanya membentak biasa, mung-
kin Tapakwesi tak akan begitu terkejut. Namun pada
waktu membentak tadi, Nyi Tiwi melontarkan sesuatu
dari mulutnya... melontarkan ikan yang sedang diku-
nyahnya... yang langsung melesat ke dalam mulut Ta-
pakwesi... happph!
Yang mengejutkan Tapakwesi bukan mulutnya yang
tiba-tiba tersumpal oleh gumpalan ikan itu, melainkan pengaruhnya.... ya...
begitu mulutnya tersumpal oleh gumpalan ikan itu, ia merasa sekujur tubuhnya
menjadi kesemutan! Hal itu sudah merupakan peringatan
bagi Tapakwesi, bahwa Nyi Tiwi seorang perempuan
berilmu tinggi!
Namun sebagai tokoh golongan hitam yang biasa
berkelana di alam kekerasan dan kejahatan, tentu saja Tapakwesi tidak mau
menyerah begitu saja sebelum
membuktikan sejelas mungkin setinggi apa ilmu pe-
rempuan tak berbusana itu.
Maka setelah berhasil memulihkan kesemutan itu,
secara diam-diam Tapakwesi menyiapkan golok tipis-
nya yang tersembunyi di balik pakaiannya. Rupanya
Tapakwesi tidak berani main-main menjajal lawannya.
Biasanya ia hanya menggunakan telapak tangannya
yang sekeras besi itu untuk menghadapi lawan-
lawannya, hal mana membuatnya dijuluki Tapakwesi.
Tapi untuk menjajal Nyi Tiwi itu, Tapakwesi langsung mau mempergunakan golok
tipisnya. Ketika Nyi Tiwi masih asyik makan, tiba-tiba saja
Tapakwesi melompat ke depannya, dengan golok di ta-
ngan! Namun tanpa terduga-duga tubuh Nyi Tiwi melesat
secepat kilat... dan sebelum Subali menyadari apa
yang sedang terjadi, tahu-tahu Tapakwesi berdiri gemetaran, dengan golok yang
tinggal hulunya saja!
Sementara Nyi Tiwi sudah duduk kembali dengan
tenang, sambil menyantap makanan yang disediakan
untuk Tapakwesi itu!
"Rama Guru! Kenapa?" Subali bergegas bangkit
menghampiri gurunya.
Tapakwesi tidak menyahut. Dan sebelum Subali
bertanya lebih lanjut, tahu-tahu tokoh golongan hitam dari Tanjunganom itu
ambruk ke atas permadani... dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Rama Guru...!!!" Subali memburu dan memeluk tu-
buh gurunya yang tak bernyawa lagi.
Lalu terdengar suara Nyi Tiwi: "Hihihihiii... biarkan dia kenyang sendiri...
makan goloknya sendiri!"
Subali terkejut mendengar 'pernyataan' itu. Dan ke-
tika diperhatikannya secara seksama, ternyata leher Tapakwesi lebih besar
daripada biasanya!
Apa sebenarnya yang telah terjadi"
Rupanya tadi Nyi Tiwi melakukan gerakan kilat...
mematahkan golok Tapakwesi, lalu memasukkan pa-
tahan golok itu ke dalam mulut Tapakwesi! Semuanya
itu dilakukannya dengan gerakan yang tak terlihat
oleh Subali. Dan ternyata tindakan Nyi Tiwi itu mengakibatkan matinya Tapakwesi.


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan wajah putus asa, Subali menoleh kepada
Nyi Tiwi. Namun sebelum sempat ia bicara, Nyi Tiwi
sudah mendahuluinya berkata.
"Kalau ingin makan golok seperti si gundul itu, ber-dirilah!"
Ucapan Nyi Tiwi yang mendadak serius itu terasa
sebagai ancaman. Dan Subali memang bukan orang
bodoh. Meskipun jiwanya meronta, ingin membalas
dendam atas kematian gurunya, namun ia cukup ber-
perhitungan. Pikirnya, "Jelas perempuan iblis ini tidak bisa dilawan dengan
kekerasan. Tapi apa yang harus
kulakukan?"
Maka dengan sikap bermuka-muka, Subali berkata,
"Orang ini adalah guruku. Sekarang dia sudah mati di tanganmu. Lalu apa lagi
yang kau inginkan dariku?"
Sahut Nyi Tiwi, "Aku minta baju yang bagus. Minta
kamar yang bagus. Minta segala-galanya yang bagus.
Aku sudah bosan tinggal di hutan. Sudah bosan telanjang-telanjangan. Ayo cepat
siapkan semuanya!"
"Ba... baik...!"
*** NGIN pantai berhembus dengan kencangnya. Bebe-
Arap a nelayan sedang membetulkan jaringnya di de-
kat muara Cigelung. Usrip dan Bana sedang melaksa-
nakan tugasnya, menarik 'pajak' dari para nelayan.
"Aku tak habis pikir, kenapa majikan kita bisa
membiarkan perempuan gila itu diam di rumahnya,"
kata Usrip. Sahut Bana, "Memang, aku juga heran. Bukankah
perempuan itu telah menghina Juragan Subali demi-
kian hebatnya" Selain daripada itu... guru majikan kita juga dibunuh oleh
perempuan sinting itu, bukan?"
"Iya. Tapi... mungkin Juragan Subali punya rencana
tersendiri."
"Rencana apa" Perempuan itu jelas gila dan berba-
haya. Malah dibiarkan gentayangan di rumah Juragan
Subali." "Hihihi... kalau melihat kelakuan perempuan itu,
geli juga ya."
"Iya. Lagaknya seperti seorang ratu... tapi kalau
mau kencing... coooorrr... di mana saja maunya! Ka-
dang-kadang di atas permadani mahal itu... hihihiiiii...
dasar orang gila."
"Tapi kudengar ilmu perempuan itu tinggi sekali.
Buktinya guru majikan kita bisa dibunuh begitu saja olehnya."
"Iya, ya...."
"Aku malah punya penilaian lain tentang sikap ma-
jikan kita."
"Maksudmu?"
"Kurasa majikan kita sudah menjadi taklukan pe-
rempuan sinting itu. Mangkanya perempuan itu di-
biarkan berkeliaran semaunya di dalam rumah maji-
kan kita."
"Ah, kalau ngomong jangan sembarangan. Kalau ke-
dengaran sama Juragan Subali, bisa kena damprat
kamu!" "Aku berani ngomong begini kan sama kamu. Coba
deh perhatikan sendiri, bagaimana sikap majikan kita pada perempuan gila itu.
Kelihatannya seperti takut sekali, kan"!"
Bana tercenung sesaat. Dan akhirnya mengangguk.
"Memang betul. Juragan Subali kelihatannya seperti
takut sekali pada orang gila itu. Tapi itu kan tidak be-rarti bahwa majikan kita
sudah menjadi taklukan pe-
rempuan sinting itu."
"Lantas apa namanya kalau bukan taklukan" Pe-
rempuan itu jelas harus dianggap sebagai musuh be-
sar, tapi majikan kita malah memperlakukannya se-
perti raja."
"Yang aku tahu, Juragan Subali sangat licin dan
pandai mengatur siasat. Kurasa secara diam-diam ma-
jikan kita sedang merencanakan sesuatu."
"Nah, itulah yang kubilang tadi. Majikan kita tam-
paknya sedang merencanakan sesuatu. Tapi apa ren-
cananya, kita tidak tahu."
*** Apa yang dikatakan oleh Usrip dan Bana itu me-
mang benar. Setelah mengetahui bahwa Nyi Tiwi seorang perem-
puan gila, Subali mulai dapat memaafkan setiap per-
buatan Nyi Tiwi. Dan setelah menyelidiki sikap Nyi Tiwi selama beberapa hari,
akhirnya Subali dapat menye-lami apa yang diinginkan oleh Nyi Tiwi. Bahwa Nyi
Tiwi selalu ingin dipuji dan setiap keinginannya harus dipenuhi.
Bila keinginan-keinginannya terpenuhi, ternyata Nyi Tiwi bisa menjadi baik,
bahkan bisa diajak berbicara secara baik-baik (walaupun sesekali terdengar
ocehan tak menentunya).
Maka pikiran Subali pun menjadi lain: "Apa yang di-
katakan oleh mendiang guruku memang benar. Jika
aku tidak mampu melawan suatu kekuatan, sebaiknya
aku bersekutu saja dengan kekuatan itu! Tampaknya
perempuan itu bisa kumanfaatkan sebaik-baiknya, un-
tuk menghadapi kemungkinan seperti yang dice-
maskan oleh guruku itu. Ya... bukankah mendiang gu-
ruku pernah berkata bahwa sekarang muncul seorang
pemuda perkasa yang siap membantai seluruh golon-
gan hitam" Lalu mengapa aku tidak membuat perem-
puan sinting itu sebagai perisaiku?"
Di saat lain, Subali berpikir: "Perempuan itu jelas yang pernah membunuh delapan
anak buahku dahu-
lu. Tapi anehnya, dia tidak pernah menanyakan pera-
hu layar yang sudah dibelinya itu. Dasar orang gila...!"
Sejak tinggal di rumah Subali, Nyi Tiwi diberi pakai-an yang bagus-bagus.
Dimandikan oleh pelayan-
pelayan Subali. Bahkan terkadang para pelayan itu harus menyuapi Nyi Tiwi bila
sifat 'kolokan' Nyi Tiwi mulai kambuh.
Memang mengurusi orang yang kurang waras seper-
ti Nyi Tiwi, bukan hal yang mudah. Karena terkadang muncul sifat 'eksentrik' Nyi
Tiwi, yang cukup membi-ngungkan dan menjengkelkan orang-orang di rumah
Subali. Misalnya saja, Nyi Tiwi sering seenaknya kencing di atas permadani, atau
tidur-tiduran di atas atap rumah Subali, atau mengejar-ngejar ayam peliharaan
Subali (yang lalu dimakannya mentah-mentah), dan
banyak lagi. Namun Subali selalu memerintahkan pe-
layan-pelayannya, untuk tetap melayani Nyi Tiwi de-
ngan sebaik-baiknya.
Ternyata usaha Subali itu tidak sia-sia. Nyi Tiwi
mulai agak jinak setelah berhari-hari tinggal di rumah Subali. Namun Subali
tetap tidak tahu nama asli Nyi Tiwi. Karena seringkali Nyi Tiwi mengubah-ubah
pen-gakuannya. Terkadang mengaku bernama Komala,
terkadang mengaku bernama Srintil, terkadang men-
gaku bernama Ruciteung dan sebagainya.
Tapi itu semua tak penting bagi Subali. Yang pent-
ing baginya, perempuan gila itu harus bisa diman-
faatkan. Itu saja.
Bahkan pada suatu hari Subali berpikir: "Aku tidak
tahu siapa guru perempuan sinting itu. Tapi jelas ilmunya tinggi sekali. Dan
bila aku bisa memiliki il-
munya itu... alangkah menyenangkannya. Dengan il-
mu setinggi itu, kekuasaanku di sini akan semakin
mantap. Dan... ah... mengapa aku tak berusaha mem-
bujuknya?"
Setelah memikirkannya masak-masak, Subali men-
cari-cari Nyi Tiwi, yang ternyata sedang duduk di kursi yang dibawanya ke
halaman belakang... dengan sikap
seperti seorang raja sedang duduk di atas singgasananya!
Begitu melihat Subali datang, Nyi Tiwi langsung me-
nyambutnya dengan ocehan sintingnya: "Heheheeee...
paman patih, e, paman patiiih! Bagaimana keadaan
kerajaan kita sekarang ini" E, apa sudah banyak ra-
kyat yang mampus" E, kalau belum banyak yang
mampus, bikin mampus sebanyak-banyaknya, ya pa-
man patiiih!"
Sambil tersenyum geli, Subali duduk di depan Nyi
Tiwi, bersila, seperti seorang patih menghadap rajanya.
"Daulat, Gusti Ratu! Jangan kuatir! Balatentara kita sudah bisa bikin mampus
rakyat tiap hari!"
"Hihihihiiii.... bagus! Baguuus! Sekarang katakan-
lah, apa tujuanmu datang menghadap padaku" Apa
kamu kehabisan tembakau, ataukah kehabisan ga-
ram?" "Semuanya beres, Gusti Ratu! Tembakau hamba
masih banyak. Garam juga tinggal nyidukin dari laut.
Heheheee... hamba datang menghadap ini karena ada
keperluan besar, Gusti."
Demikian pandainya Subali menyenangkan hati Nyi
Tiwi, sehingga apa pun yang diinginkan oleh Nyi Tiwi, pasti dikabulkannya. Dan
tampaknya sore itu Nyi Tiwi ingin diperlakukan seperti raja. Maka Subali pun
mela-deninya saja, memperlakukan Nyi Tiwi sebagai maha-
rani. "Apa keperluanmu, paman patih" Apa kamu ke-
pengen tai kerbo yang segede niru, ataukah kepengen bangkai anjing?"
"Begini Gusti," sahut Subali, "berhubung saat ini
kerajaan sedang diancam bahaya, hamba ingin men-
dapatkan ilmu untuk melindungi rakyat dari segala
marabahaya."
"Goblok! Rakyat itu tidak perlu dilindungi! Biarkan mereka mampus! Lebih banyak
yang mampus, lebih
bagus! Terlalu banyak rakyat, malah bikin pusing
mengurusnya!"
"Ta... tapi... hamba membutuhkan ilmu untuk me-
lindungi diri hamba sendiri... dan terutama sekali untuk melindungi Gusti Ratu."
"Hihihihihiiiiii... aku ini tidak perlu dilindungi oleh orang lain. Aku bisa
melindungi diriku sendiri, paman patiiiiih!"
Subali mulai bingung. Walaupun percakapan itu
bernada ngawur, namun tujuan Subali yang sebenar-
nya, adalah ingin mendapatkan ilmu dari Nyi Tiwi.
Dan akhirnya Subali menemukan akal: "Begini Gus-
ti.. menurut pendapat hamba, sudah waktunya kita
mempersiapkan diri untuk meluaskan daerah jajahan
kerajaan kita."
"O, bagus! Bagus! Kita memang harus menguasai
seluruh dunia!"
"Betul, Gusti. Tapi bagaimana mungkin hamba bisa
menaklukkan kerajaan-kerajaan lain kalau hamba ti-
dak dibekali ilmu yang cukup tinggi?"
Nyi Tiwi tercenung. Seperti sungguh-sungguh memi-
kirkan ucapan Subali. Lalu katanya, "Ilmu apa yang
kau inginkan dariku" Ilmu nyolong ayam" Ilmu nginjek taik kebo" Ilmu kencing
sambil berlari" Ayo katakan...
jangan ragu-ragu!"
"Hamba membutuhkan seluruh ilmu yang dimiliki
oleh Gusti Ratu."
"Seluruh ilmuku"! Hihihihihiii... serakah benar ka-
mu ini, paman patih! Tapi baiklah... akan kuturunkan ilmuku padamu mulai besok
pagi. Tapi sekarang paman patih harus jadi kuda dulu... ayo merangkak...
aku akan menunggangimu! Ayo cepat!"
Subali terkejut, jengkel bercampur girang. Jengkel
karena harus merangkak seperti kuda segala. Tapi gi-rangnya, Nyi Tiwi sudah
berjanji untuk menurunkan
ilmunya. Maka dengan menekan segala perasaan tidak
enaknya, Subali merangkak ke depan Nyi Tiwi.
"Horeeeee... aku punya kuda bagus!" Nyi Tiwi me-
mekik girang, sambil melompat ke atas punggung
Subali. "Ayo bawa aku ke peraduanku! Hesss...
hesssssh... hsssss... hesssss!"
Seperti orang tua yang sedang mengasuh anaknya,
Subali merangkak ke arah kamar Nyi Tiwi, sementara
Nyi Tiwi enak-enakan duduk di atas punggung Subali.
Girang sekali tampaknya Nyi Tiwi saat itu. Sambil
menepuk-nepuk pinggul Subali, Nyi Tiwi berceloteh terus: "Kudaku lari kencang,
dikejar angin kencang, datang yang kencang-kencang... kencaaaaaang...!"
Dan dengan menyabar-nyabarkan diri, Subali me-
rangkak terus, sampai di dalam kamar Nyi Tiwi.
Namun setibanya di kamar itu, Nyi Tiwi berubah la-
gi kelakuannya. Ia mendadak seperti seorang perem-
puan yang sangat merindukan kekasihnya.
"Oh, kakang... kakang! Mengapa kakang baru da-
tang sekarang?" desis Nyi Tiwi sambil memeluk Subali erat-erat.
Terpaksa Subali diam... membiarkan Nyi Tiwi me-
meluk dan menciuminya, walaupun perasaan jijiknya
mulai timbul. Nyi Tiwi memang tidak kotor lagi. Tiap hari Nyi Tiwi selalu
dimandikan sebersih-bersihnya.
Tapi bagaimanapun Subali jijik ketika leher dan pi-
pinya diciumi dengan ganasnya oleh Nyi Tiwi. Namun
tentu saja Subali tidak berani meronta. Karena ia tahu apa akibatnya kalau
keinginan Nyi Tiwi ditolak.
Dan rupanya saat itu Nyi Tiwi sedang teringat pada
Rangga (dalam pikiran kacaunya). Karena setelah
menciumi Subali, tiba-tiba saja ia berdesis, "Ayo, Kang Rangga... ayolah... kita
lepaskan kerinduan kita di atas tempat tidur itu... ayolah Kang... ayolaahhh
Dan Subali berusaha menyadarkan Nyi Tiwi, bahwa
dirinya bukan orang yang dimaksudkan oleh Nyi Tiwi.
"Aku ini Subali. Bukan Rangga. Apakah kau tidak me-
nyadarinya?"
Namun Nyi Tiwi menjawab, "Masabodo! Pokoknya
kau harus menjadi Kang Rangga sekarang! Kalau kau
membutuhkan ilmuku, kau harus mematuhi setiap pe-
rintahku. Mengerti?"
"Me... mengerti, Nyi."
"Aduu... enaknya dipanggil Nyi olehmu, Kang. Hm...
rasanya seperti di sorga ya.... adudududuuh... ini dia yang kucari-cari."
"Oh... ja... jangan megang yang ini, Nyi...."
"Kenapa jangan" Ini kan kepunyaanku?"
"Ta... tapi... oh... jangan dibegituin megangnya,
Nyi... jangan... lalalalaaaaaa..."
"Ayolah, ayoooo...."
"Tapi kau harus berjanji bahwa besok ilmumu akan
mulai diturunkan padaku, Nyi."
"Iya, iya... cepatlah... aku sudah nggak tahan lagi, Kang Rangga."
"Ba... baiik... dududududuuuuh...."
Dan beberapa saat berikutnya terdengarlah pekikan
Nyi Tiwi dari dalam kamar itu. Begitu nyaring kedenga-rannya, "Enak, Kang!
Enaaaaaak!"


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata Nyi Tiwi tidak mengingkari janjinya. Besok paginya ia mulai menurunkan
ilmunya kepada Subali.
Anehnya, Nyi Tiwi masih ingat betul seluruh ilmu
yang pernah dipelajarinya dari Kidangkancana, dari
dasar sampai puncaknya.
Tentu saja Subali girang sekali mendapatkan ilmu
yang sangat diinginkannya itu. Dengan rajin ia berlatih tiap hari di dalam
ruangan tertutup. Dan dengan rajin pula Nyi Tiwi menurunkan ilmunya kepada
bajingan licin itu.
Tentu saja semuanya itu membutuhkan 'pengorba-
nan'. Manakala Nyi Tiwi sedang membutuhkan Subali
sebagai 'Penjelmaan Rangga', Subali harus mengabul-
kannya... Subali juga harus terus-terusan memanja-
kan Nyi Tiwi, yang terkadang seperti anak kecil, terkadang pula seperti seorang
ratu. Namun 'pengorbanan' Subali itu tidak sia-sia. Sub-
ali telah memiliki dasar-dasar ilmu Kidangkancana.
Ilmu kelas tinggi yang sulit dicari tandingannya.
Sementara itu, Subali pun selalu memutar otaknya.
"Aku tidak membutuhkan perempuan gila itu. Aku ha-
nya membutuhkan ilmunya yang dahsyat. Nanti... ka-
lau seluruh ilmunya sudah diturunkan padaku, pe-
rempuan gila itu akan kubinasakan dengan caraku
sendiri! Terlalu lama memelihara dia, hanya akan menimbulkan masalah-masalah
saja bagiku. Tapi seka-
rang aku harus bersabar dulu, karena dia belum me-
nurunkan seluruh ilmunya."
Dengan keyakinan bahwa kalau ilmunya sudah se-
banding dengan Nyi Tiwi, ia akan mampu membunuh
perempuan itu, Subali semakin tekun melatih diri, di bawah gemblengan Nyi Tiwi.
Namun suatu perkembangan baru membuat Subali
berubah pikiran beberapa bulan berikutnya. Bahwa
perut Nyi Tiwi mulai besar... makin lama makin besar.
Dan pada suatu hari, Nyi Tiwi berkata kepada Su-
bali. "Lihatlah... perutku ini bergerak-gerak sendiri! Seperti ada kodok di
dalamnya!"
Subali terkejut. Baru kali itulah ia memperhatikan
keadaan perut Nyi Tiwi.
"Kau... kau hamil...!" desis Subali dengan perasaan tak menentu.
"Hamil"!" Nyi Tiwi terlongong. "Hamil itu apa,
Kang?" "Perutmu berisi bayi!"
"Bayi"! Bayi monyet apa bayi kuda apa bayi gajah?"
"Bayi orang!"
Nyi Tiwi terperangah. "Ooooh! Kenapa bayi orang bi-
sa masuk ke dalam perutku" Kenapaaaa?"
Subali membisikkan sesuatu ke telinga Nyi Tiwi.
Membuat Nyi Tiwi tercengang-cengang. Membuat Nyi
Tiwi berdesis lirih, "Kenapa bisa jadi bayi" Masa yang begituan bisa jadi bayi?"
"Ah, sulit menerangkannya!" Subali menggerutu.
"Pokoknya perutmu sudah berisi bayi! Berisi anakmu
dan anakku!"
"Bayinya ada dua?"
"Tidak tahu! Pokoknya bayi itu anak kita!"
"Kok aneh ya... aneh sekali!" Nyi Tiwi seperti tak habis-habisnya heran.
"Ah, tidak ada yang aneh," kata Subali yang sudah
mulai berani berbicara tanpa sandiwara-sandiwaraan.
"Memang biasanya begitu... laki-laki kalau sudah ber-gaul dengan perempuan, akan
menghasilkan anak!"
"Lalu... bagaimana dengan anak ini" Kasihan dia,
Kang. Dia bisa mati kalau dibiarkan tersekap dalam
perutku!" Sebenarnya jengkel sekali Subali saat itu, karena
demikian sulitnya menerangkan soal kehamilan pe-
rempuan kepada Nyi Tiwi. Namun ditahannya kejeng-
kelan itu. Dan katanya, "Nanti juga keluar sendiri."
"Keluar" Keluar dari mana?" Nyi Tiwi tetap tampak
blo'on. "Dari kuping!" sahut Subali seenaknya.
Namun Nyi Tiwi justru sungguh-sungguh menang-
gapinya. "Dari kuping" Memangnya bayi itu sebesar
apa?" "Sebesar cengkerik!"
"Hihihihihiiii..!" Nyi Tiwi memegangi kedua kuping-
nya. "Nanti kalau bayi itu keluar, Kupingku pasti geli...
pasti seperti dikilik-kiiik. Hihihihihiiiii...!"
Subali hanya tersenyum datar. Sementara pikiran-
nya mulai tak menentu. "Sudah berapa puluh perem-
puan yang kugauli... tak seorang pun yang bisa hamil!
Tapi perempuan gila ini justru bisa hamil! Oh... ini benar-benar aneh!"
Memang benar. Dari istri dan gundik-gundiknya,
Subali tidak berhasil memperoleh keturunan. Namun
justru Nyi Tiwi bisa hamil. Inilah yang membuat Subali heran dan resah.
Pada saat lain Subali berpikir. "Tadinya aku mengi-
ra bahwa aku ini seorang lelaki mandul. Tapi ternyata tidak. Perempuan gila itu
mulai membuktikan bahwa
aku seorang lelaki subur. Tapi kenapa justru harus
dari dia aku punya keturunan?"
Bagaimanapun juga kehamilan Nyi Tiwi itu membu-
atkan harapan baru di hati Subali. Niatnya untuk
membunuh Nyi Tiwi, mulai memudar. Subali bahkan
mulai memanjakan Nyi Tiwi dengan sungguh-sungguh.
Ya, kini Subali tidak menganggap Nyi Tiwi sebagai
manusia yang mengganggu ketentramannya. Bahkan
sebaliknya, Subali menganggap Nyi Tiwi sebagai pe-
rempuan yang harus dimanjakan, karena dalam perut
Nyi Tiwi tersimpan seorang bayi... tetesan darah Subali
sendiri. Dan hari demi hari merayap terus. Kehamilan Nyi
Tiwi pun semakin matang. Sampai waktunya tiba...
untuk melahirkan anak pertama Subali.
*** Lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim Nyi Tiwi.
Tapi bayinya tidak seperti bayi-bayi biasa. Bayi yang Nyi Tiwi lahirkan itu
memiliki lengan empat!
Sebenarnya tidak terlalu aneh. Di dunia ini sering
terjadi kelahiran bayi yang lain dari biasanya. Ada bayi yang tidak bertangan,
ada bayi yang tidak berkaki, ada bayi yang kembar siam, ada bayi berkepala dua
dan sebagainya. Dan bayi yang Nyi Tiwi lahirkan itu, memiliki tangan empat.
Subali menyambut kelahiran bayi aneh itu dengan
perasaan senang bercampur heran. Senang karena ia
telah memiliki seorang anak, laki-laki pula. Heran karena ia melihat lengan bayi
itu terlalu banyak. "Seperti lengan Dewa Siwa saja", pikirnya.
Perasaan senang dan heran itu hanya bermukim
semalam di hati Subali. Karena keesokan harinya ia
menemukan suatu kenyataan mengejutkan: Bayi itu
lenyap tanpa bekas!
Subali sibuk mencari ke segenap pelosok rumah-
nya. Anak buahnya pun sibuk mencari bayi bertangan
empat itu ke seluruh penjuru Kundina. Namun bayi itu tidak ditemukan.
Sedih sekali hati Subali saat itu. "Oh... kenapa
anakku bisa hilang begitu saja" Adakah seseorang
yang sengaja menculiknya" Tapi untuk apa bayi merah begitu diculik?"
Satu hal yang Subali lupakan. Bahwa anaknya itu
termasuk bayi yang istimewa. Bayi yang luar biasa!
Berhari-hari Subali dilanda keresahan. Kehilangan
bayi bertahan empat itu benar-benar mengganggu pikirannya.
Namun Nyi Tiwi tampak senang-senang saja. Tak
sedikit pun terlihat kehilangan. Bahkan ketika Subali mengatakan padanya bahwa
bayi itu belum ditemukan
juga, Nyi Tiwi menyahut seenaknya, "Biar saja, tak
usah dicari-cari. Mungkin dia sedang bermain-main
dengan kera di dalam hutan!"
Dasar sinting, umpat Subali dalam hatinya, mana
mungkin bayi baru berumur satu hari bisa bermain-
main di dalam hutan segala"!
Kemudian Subali mengumpulkan seluruh anak bu-
ahnya. Kepada mereka, Subali berkata, bahwa barang-
siapa yang berhasil menemukan bayi itu dalam kea-
daan hidup, Subali akan memberikan hadiah besar.
Tentu saja anak buah Subali tergiur mendengar ha-
diah yang dijanjikan itu. Mereka lalu berusaha sendiri-sendiri, untuk menemukan
kembali bayi yang hilang
itu. Pikir mereka, "Bayi itu lain dari yang lain. Maka ti-daklah terlalu sulit
membedakannya dari bayi-bayi biasa."
Setiap rumah di Kundina digeledah. Anak buah Su-
bali bahkan mencari sampai ke luar Kundina.
Tapi mereka selalu kembali dengan tangan hampa.
Bayi bertangan empat itu tetap lenyap tanpa bekas.
*** ITA tinggalkan dulu Kundina dan segala kisahnya,
Kun tuk menengok Kawahsuling yang sudah cukup
lama tidak diceritakan.
Keadaan di Kawahsuling sudah benar-benar ber-
ubah. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Rumah-
rumah pun pada kosong. Tiada lagi penghuni yang
mau tinggal di Kawahsuling. Bahkan istana adipati
pun tampak kosong-melompong.
Kawahsuling telah menjadi kota kosong. Dan tam-
paknya sedang mengalami semacam proses untuk
menjadi hutan! Konon pada zaman dahulu, peristiwa seperti itu se-
ringkali terjadi. Yakni ditinggalkannya sebuah kota oleh penduduk yang merasa
tidak nyaman lagi tinggal di situ, kemudian penduduk membuka hutan atau
membangun pemukiman di daerah kosong, yang lalu
berubah menjadi kota.
Pada jilid terdahulu, telah dikisahkan bagaimana
penduduk Kawahsuling meninggalkan kota kadipaten
itu, kemudian mengungsi ke daerah lain. Lalu ke mana perginya Adipati Prabalaya"
Mengapa istananya ditinggalkan begitu saja"
Rupanya salah seorang kaki tangan Adipati Praba-
laya yang disuruh menyelidik ke sekitar Gunung Limagagak (karena Prabaseta dan
kawan-kawannya begitu
lama tidak kembali ke Kawahsuling), memberikan la-
poran, bahwa ia menemukan kepala-kepala berserakan
di daerah kaki Gunung Limagagak. Lalu secara diam-
diam Adipati Prabalaya pergi sendiri, untuk membuk-
tikan laporan itu. Dan ternyata benar. Adipati Prabalaya menemukan kepala-kepala
manusia yang sudah
terlepas dari lehernya itu. Dan yang paling menge-
jutkan, adalah bahwa Adipati Prabalaya pun menemu-
kan kepala ayahnya dan kepala Manusagara (yang
sangat diandalkannya itu).
Sadarlah Adipati Prabalaya, bahwa ketujuhpuluh
tujuh tokoh golongan hitam itu telah menemui ajalnya di puncak Gunung Limagagak.
Maka dengan perasaan
sedih bercampur ngeri, Adipati Prabalaya segera me-
ninggalkan istananya, menuju kotaraja Tegalinten.
Setibanya di Tegalinten, Adipati Prabalaya segera
melaporkan apa yang telah terjadi pada Senapati Prabayani.
Tentu saja Senapati Prabayani terkejut sekali men-
dengar laporan adiknya itu.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi"!" seru Se-
napati Prabayani dengan air mata berlinang-linang.
"Sedangkan aku tahu, Kudawulung sendiri kepayahan
waktu berhadapan dengan Manusagara. Lalu... murid
Kudawulung mampu membantai ketujuhpuluh tujuh
tokoh itu, termasuk Manusagara di dalamnya"!"
"Bagaimanapun juga, demikianlah kenyataannya,"
kata Adipati Prabalaya.
Dengan perasaan yang masih berduka, karena men-
dengar berita kematian ayahnya, Senapati Prabayani
mengepalkan tangannya sambil bergumam, "Rangga...
Rangga! Pada satu saat aku akan mengadu jiwa de-
nganmu! Kematian ayahku tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja! Aku harus
menuntut balas! Harus!"
"Memang betul, kita harus menuntut balas atas
kematian ayah kita. Tapi kita pun harus mengukur
kekuatan kita sendiri. Tampaknya ada sesuatu yang
tidak beres di puncak Gunung Limagagak. Mungkin
ada seorang tokoh yang berdiri di belakang pemuda
bernama Rangga itu. Dan semuanya itu harus kita
perhitungkan sebaik-baiknya."
"Kalau begitu," kata Senapati Prabayani, "aku harus mencari seorang guru yang
benar-benar sakti... untuk membinasakan Rangga dan siapa pun yang berdiri di
belakangnya."
Setelah berunding beberapa saat, Senapati Pra-
bayani dan adiknya datang menghadap sang Putra
Mahkota. "Ada berita buruk, Gusti Aria," ujar Senapati Pra-
bayani. "Berita buruk apa lagi?" tanya Aria Pamungkas.
"Manusagara dan ayah hamba telah tewas di Gu-
nung Limagagak."
"Apa"!" Aria Pamungkas terperanjat.
Senapati Prabayani melanjutkan, "Dan hamba tidak
dapat membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja.
Hamba berdua harus mampu membalas dendam pada
si Rangga itu."
"Rangga"! Jadi pemuda bernama Rangga itu yang
membunuh mereka?"
"Benar, Gusti Aria. Selain daripada itu, di Kawah-
suling pun terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan."
Mula-mulanya, kejadian-kejadian di Kawahsuling
belakangan ini, dirahasiakan pada Aria Pamungkas.
Tapi pada hari itu Adipati Prabalaya tak mau meraha-siakannya lagi.
Diceritakannya setiap peristiwa yang terjadi di Kawahsuling, sampai akhirnya
ditinggalkan oleh Adipati Prabalaya sendiri.
Aria Pamungkas bangkit dari singgasananya. Berja-
lan hilir mudik. Dan berkata, "Orang bilang, tidak mudah menjadi pemimpin. Dan
orang bijaksana bilang,
memimpin suatu daerah tanpa jiwa kepemimpinan,
hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang
sebelumnya tak pernah muncul."
"Kenyataannya lebih parah lagi," lanjut Aria Pa-
mungkas. "Pada waktu Adipati Natajaya masih diserahi tugas memimpin Kawahsuling,
tidak pernah terjadi hal yang serupa ini."
"Hamba sudah mengakuinya, bahwa hamba tak be-
cus memimpin," sahut Adipati Prabalaya dengan nada


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesal, karena merasa terpukul oleh kata-kata Aria Pamungkas tadi. "Kedatangan
hamba ke sini pun, justru karena ingin meletakkan jabatan hamba sebagai adipati
Kawahsuling."
Aria Pamungkas malah menjadi berang. "Bagus! Se-
telah Kawahsuling menjadi daerah kosong, lalu engkau mau menghindari tanggung
jawab, begitu?"
Senapati Prabayani cepat-cepat menengahi. "Begini
Gusti... sebenarnya kami baru saja merundingkan se-
suatu, yang mudah-mudahan ada gunanya bagi ke-
pentingan Gusti Aria."
"Apa yang telah kalian rundingkan?"
"Hamba akan berangkat ke laut barat, untuk men-
cari ibu Manusagara. Mudah-mudahan siluman wanita
itu bukan hanya akan berdiri di belakang kita, melainkan juga mau mengangkat
hamba sebagai muridnya."
"Lalu?"
"Kepergian hamba, mungkin akan memakan waktu
yang cukup lama. Karena itu, kalau Gusti Aria setuju, hamba akan memasrahkan
kedudukan hamba kepada
adik hamba."
Aria Pamungkas mengernyit. Lalu katanya, "Hal ini
harus kupikirkan dulu semasak-masaknya. Untuk se-
mentara, Adipati Prabalaya beristirahat sajalah dulu.
Dan soal kepergian Senapati, nanti kita rundingkan la-gi."
*** Sebenarnya Aria Pamungkas merasa kecewa sekali
mendengar semuanya itu. Setelah ditinggalkan sendi-
rian, Aria Pamungkas berkata di dalam hatinya, "Kalau dipikir-pikir... setelah
aku dibantu oleh dua orang ber-saudara itu, persoalan demi persoalan malah
berda- tangan terus. Tadinya aku ingin mendapat dukungan
orang-orang kuat seperti mereka. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Aku malah
dibikin pusing oleh malapetaka-malapetaka yang beruntun terjadi di negeri ini!
Lalu... apakah aku masih harus mempertahankan ker-
jasama dengan mereka" Apakah tidak sebaiknya aku
mulai memikirkan jalan lain?"
Namun pada saat itu Aria Pamungkas seperti kata
peribahasa 'Tak ada rotan, akar pun jadi'. Bahwa untuk sementara itu Aria
Pamungkas belum bisa melihat orang lain yang dipandang tepat untuk membantunya.
Itulah sebabnya, Aria Pamungkas akhirnya menyetujui keinginan Senapati
Prabayani. Bahwa Senapati Prabayani diizinkan meninggalkan Tegalinten, sedangkan
kedudukan senapati diserahkan kepada Prabalaya sebagai pejabat sementara.
Lalu apakah semuanya itu akan mendatangkan ke-
sejukan bagi Kerajaan Tegalinten"
Tidak. Pada suatu hari, ketika Senapati Prabayani sudah
meninggalkan Tegalinten, datanglah seorang pemuda
ke kotaraja itu, khusus untuk mencari Senapati Prabayani.
Pemuda itu adalah Rangga!
Bisa ditebak, apa tujuan Rangga datang ke kotaraja
saat itu. Ya, dia memang sudah bertekad untuk meng-
habisi orang-orang dari golongan hitam di seluruh wi-layah Tegalinten.
Tentu saja kehadiran Rangga di alun-alun Tegalin-
ten cukup menggemparkan. Karena dengan seenaknya
ia berteriak-teriak lantang: "Senapati Prabayani! Engkau tidak tepat diangkat
menjadi senapati! Aku tahu masa lalumu sebagai perempuan iblis! Keluarlah!"
Prabalaya yang pada saat itu menjabat kedudukan
panglima sementara, segera diberi laporan oleh salah
seorang prajurit Tegalinten.
"Gusti... di alun-alun ada seorang pemuda yang ber-
teriak-teriak menantang Gusti Senapati Prabayani."
Prabalaya terperanjat. "Seorang pemuda mencari-
cari kakakku" Apakah dia bukan Rangga?"
"Be... benar, Gusti. Pemuda itu pernah ditahan di
sini beberapa bulan yang lalu," sahut si prajurit.
"Lalu, sudah kau katakan bahwa kakakku sedang
tidak ada di sini?"
"Be... belum, Gusti."
"Katakan saja padanya bahwa kakakku sedang ti-
dak ada di kotaraja."
"Lalu... apakah hamba harus mengatakan bahwa
kedudukan senapati sekarang dipegang oleh Gusti?"
Watak pengecut Prabalaya mulai tampak. Dengan
tegas ia melarang. "Jangan! Jangan katakan apa-apa
tentang diriku! Katakan saja bahwa kakakku tidak ada di Tegalinten! Itu saja!"
"Baik, Gusti."
Namun sebelum prajurit itu beranjak, tiba-tiba
Rangga muncul di depan Prabalaya, di dalam gelang-
gang ksatriaan itu!
Sikap Rangga memang sangat berbeda dengan da-
hulu. Kali ini Rangga muncul dengan pandangan beri-
ngas dan sikap garang. "Hahahahaaa! Tak ada Pra-
bayani, ada adiknya! Ayo maju, hadapi aku secara jantan, Prabalaya!"
Sebenarnya Prabalaya gentar sekali melihat keha-
diran Rangga itu. Terlebih lagi setelah dilihatnya sikap Rangga yang sangat
berbeda kalau dibandingkan dengan dahulu.
Namun, karena takut kehilangan muka, Prabalaya
segera melompat ke depan Rangga. Dan Rangga me-
nyahutnya dengan gelak tawa. "Hahahahaaaaa! Sete-
lah menjadi Adipati Kawahsuling, engkau tidak pernah membawa-bawa srigala lagi,
ya?" "Rangga," sahut Prabalaya, "sebenarnya sampai
saat ini aku masih belum mengerti, apa dasarnya se-
hingga engkau begitu memusuhiku" Rasanya di antara
kita belum pernah terjadi perselisihan yang cukup untuk dijadikan alasan..."
"Kentut!" sergah Rangga, "Tak usah berpanjang-
panjang bicara! Keluarkan senjatamu dan hadapi ke-
matianmu di tanganku!"
Tepat pada saat itu pula Aria Pamungkas muncul di
pinggir gelanggang ksatrian. Dan begitu melihat kehadiran Rangga di tengah
gelanggang itu, Aria Pamung-
kas segera naik ke atas panggung kehormatan, sambil berseru, "Prabalaya!
Sekaranglah saatnya bagimu, untuk membuktikan apakah kau patut menjabat pangli-
ma sementara atau tidak!"
Seperti cengkerik dikilik-kilik, Prabalaya kontan
naik darah dan mencabut tongkat beracun yang dis-
embunyikan di punggungnya.
Melihat tongkat yang terbuat dari baja hitam dan
berbentuk seperti ular itu, kontan saja Rangga teringat bahwa tongkat itu pernah
mencelakakannya dalam peristiwa beberapa bulan yang lalu.
"Hahahaa... rupanya tongkat jahanam itu sudah
diwariskan padamu, Prabalaya!" seru Rangga sambil
mencabut pedang Saptaraga dari sarungnya...
sriiiing...!"
Lalu tampaklah sebilah pedang yang memancarkan
sinar putih kemerahan... pedang Saptaraga yang dah-
syat! Prabalaya pun terundur beberapa langkah. Sinar
pedang itu menimbulkan kesan tersendiri. Kesan ten-
tang maut yang akan disebarkannya. Kesan yang men-
dirikan bulu roma Prabalaya.
Maka dengan cepat pula Prabalaya menggerakkan
tongkat beracunnya. Menghantamkan bagian kepa-
lanya ke arah leher Rangga. Pada saat yang bersa-
maan, dari mulut ular-ularan itu menyerbu ratusan
butir-butir racun yang menyerbu ke arah muka Rang-
ga. Namun pada saat yang sama Rangga pun sudah
bergerak sambil menjatuhkan diri ke depan. Dan...
sreeet... sreeet.... sreeeet... dalam tempo yang begitu cepat, terjadi sesuatu
yang sangat mengerikan. Tubuh Prabalaya bercerai-berai menjadi potongan-potongan
daging dan tulang berlumuran darah!
Pada saat berikutnya, Rangga sudah memasukkan
kembali pedang pusakanya ke dalam sarungnya.
Suasana di tengah gelanggang ksatrian itu menda-
dak hening. Dan Aria Pamungkas terbelalak di atas
panggung kehormatannya. Apa yang disaksikannya
barusan, benar-benar membuatnya serasa bermimpi.
Benar-benar sulit dipercaya bahwa dalam tempo seke-
jap mata saja tubuh Prabalaya telah menjadi poton-
gan-potongan daging dan tulang yang berlumuran da-
rah segar! Dan cepat pula otak Aria Pamungkas berputar. "A-
langkah hebatnya pemuda bernama Rangga ini! Me-
ngapa aku tidak berpikir untuk memanfaatkannya?"
*** "Rangga! Aku senang sekali melihat kehebatanmu,
meskipun untuk kesenangan itu aku harus kehilangan
seorang adipati yang setia," seru Aria Pamungkas dari panggung kehormatan.
"Untuk perasaan senangku itulah, aku mengundangmu untuk makan bersamaku di
ruang cengkerama!"
Kemudian Aria Pamungkas bertepuk tangan lima
kali. Dan berdatanganlah dayang-dayang istana yang
cantik-cantik. Kepada mereka, Aria Pamungkas mem-
beri perintah, "Bawa pemuda itu ke ruang cengkerama, untuk menikmati hidangan
istana siang ini!"
Rangga hanya terlongong-longong. Sedikit pun ia ti-
dak mengira bahwa Aria Pamungkas akan mendadak
'baik' padanya. Maka ketika dayang-dayang itu mem-
persilakannya untuk ikut ke ruang cengkerama, akhirnya ia menurut juga.
Di ruang cengkerama, Aria Pamungkas telah me-
nunggu, dengan sikap yang ramah sekali. "Ayo... du-
duklah bersamaku, Rangga! Aku senang melihat pe-
muda perkasa seperti kau! Duduklah... duduklah...!"
Dengan canggung Rangga duduk di atas hamparan
permadani indah. Berhadapan dengan Aria Pamung-
kas. "Seharusnya aku menghukummu," kata Aria Pa-
mungkas, "karena engkau telah memasuki istana tan-
pa seizinku. Engkau juga telah membunuh seorang
adipati yang setia kepada kerajaan."
"Tapi," lanjut Aria Pamungkas, "aku melihat pribadi yang teguh dan jujur pada
dirimu. Pribadi yang seperti itu sangat dibutuhkan oleh kerajaan. Itulah
sebabnya aku memaafkanmu dan mengundangmu ke mari."
Rangga tidak mau menanggapinya. Peristiwa di da-
lam hutan, waktu Prabalaya diperintahkan untuk
membunuh Aria Lumayung, segera terbayang lagi di
mata Rangga. Dan Rangga segera pula bisa menilai,
bahwa berhadapan dengan orang macam Aria Pa-
mungkas itu harus berhati-hati.
Dayang-dayang istana mulai mempersembahkan
beraneka macam hidangan lezat. Tapi Rangga tak ter-
giur sedikit pun. Ketika Aria Pamungkas mempersila-
kannya makan, Rangga bahkan berkata, "Kedatangan
hamba kemari, untuk mencari Senapati Prabayani.
Bukan untuk makan."
Aria Pamungkas terbelalak. Tentu saja ia tersing-
gung sekali. Karena menurut adat kebiasaan, pantang sekali menolak ajakan
seorang putra raja. Tapi Rangga tenang saja menolak ajakan makan itu.
Walaupun begitu, Aria Pamungkas berusaha mena-
han diri. Lalu katanya, "Orang berilmu tinggi seperti kau, tentu tidak akan
dapat dibohongi. Senapati Prabayani tidak ada. Tiga hari yang lalu dia
meninggalkan Tegalinten ini."
Rangga mengernyit. Mengerahkan nalurinya yang
tajam. Apakah Aria Pamungkas berbohong atau tidak.
Dan naluri Rangga lalu mengatakan bahwa sang Putra
Mahkota Tegalinten itu tidak berbohong.
Lalu kata Rangga, "Gusti Aria tentu dapat memberi
keterangan kemana perginya perempuan iblis itu."
Aria Pamungkas terhenyak. Istilah 'perempuan iblis'
yang Rangga lontarkan tadi, menyinggung perasaan
sang Putra Mahkota. Karena bagaimanapun juga Pra-
bayani itu seorang senapati kerajaan. Namun di dalam hati kecilnya Aria
Pamungkas mengakui, bahwa Senapati Prabayani itu patut diberi julukan 'perempuan
iblis'. "Apakah engkau sadar bahwa yang kau sebut pe-
rempuan iblis itu seorang senapati kerajaan?" tanya Aria Pamungkas sambil
menyeringai. Bagaimanapun juga Rangga masih menjaga tata-
krama dan menghormati Aria Pamungkas putra mah-
kota. "Baiknya," ujar Aria Pamungkas tegar, "kujelaskan
saja padamu, bahwa Senapati Prabayani meninggalkan
istana, tanpa diketahui ke mana tujuannya."
"Kalau begitu, hamba harus mencarinya! Ke ujung
dunia pun akan hamba cari!" Rangga mengundurkan
diri. "Ampunkan hamba, Gusti Aria, Hamba harus be-
rangkat sekarang juga."
Wajah Aria Pamungkas mendadak merah padam.
"Rangga!" bentak sang Putra Mahkota. "Rupanya
kedatanganmu ke sini, semata-mata untuk menghina
kerajaan!"
"Hamba tidak mengerti, apa yang Gusti maksudkan
dengan menghina kerajaan" Hamba punya urusan
sendiri, untuk mencari Prabayani sampai dapat. Sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kerajaan!"
"Kalau kau tidak bermaksud menghina kerajaan,
duduklah dulu. Dengarkanlah dulu kata-kataku dan
jangan pergi sebelum aku memintanya!"
"Hahahaaaa...! Lain kali saja, Gusti!" sahut Rangga.
Dan sebelum sempat Aria Pamungkas berkata lagi,
Rangga sudah lenyap dari pandangannya!
Dan Aria Pamungkas hanya dapat menghentak-hen-
takkan kakinya dalam perasaan geram sekali. "Kepa-
rat! Benar-benar keparat! Hanya oleh satu orang bernama Rangga, kerajaan dibikin
tak berkutik! Tak seorang pun mampu menangkapnya. Apalagi membinasa-
kannya! Oooooh... lantas bagaimana pula aku bisa
menjadi raja yang berkuasa" Apakah pada zaman ini
raja-raja pun harus memiliki ilmu kedigjayaan yang tidak kalah dari para
pendekar?"
Dalam perasaan kesalnya, Aria Pamungkas masuk
ke dalam purinya. Lalu menghempaskan diri ke atas
peraduannya. Pikirannya jauh menerawang. Cita-citanya yang
tinggi dan cemerlang itu, kini seakan-akan telah diha-langi awan pekat.
Dan kini bahkan muncul tanda tanya besar di ha-
tinya: Tampaknya sekarang ini banyak sekali orang-
orang sakti yang berkeliaran! Seandainya aku sudah
dinobatkan menjadi raja di negeri ini, mampukah aku memegang kekuasaanku tanpa
gangguan dari orang-orang macam si Rangga itu" Oooh... kejadian tadi seolah-olah
merupakan peringatan bagiku. Seandainya
Rangga mau membunuhku tadi, dengan mudah ia bisa


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukannya! Lalu Aria Pamungkas berkata sendiri: "Oh... sean-
dainya aku mempunyai seorang guru yang jauh lebih
sakti daripada si Rangga... tentu aku tak usah men-
gandalkan tenaga-tenaga yang kurang bertanggungja-
wab!" Dan tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja Aria Pamungkas mendengar suara: "Kalau
yang dicari hanya seorang
guru, hari ini pun engkau akan mendapatkannya, wa-
hai Putra Mahkota Tegalinten!"
Aria Pamungkas terperanjat. Menoleh ke sekeliling
purinya. Tapi ia tidak melihat siapa pun. Lalu ia bergegas lari ke luar purinya.
Hanya ada dua orang prajurit yang sedang menjaga pintu puri.
"Apakah kalian melihat orang masuk ke sini tadi?"
tanya Aria Pamungkas.
"Tidak, Gusti," sahut kedua prajurit itu serempak.
"Ah... apakah aku tidak salah dengar tadi?" gumam
Aria Pamungkas sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Tadi jelas sekali, aku mendengar suara manusia..."
Tiba-tiba terdengar lagi suara: "Tentu saja prajurit-prajurit itu tidak akan
melihatku, karena aku masih berada di luar benteng istana, wahai Putra Mahkota
Tegalinten!"
Aria Pamungkas terperanjat lagi. Celingukan lagi ke sekelilingnya. Dan bertanya
lagi kepada kedua prajurit itu: "Kalian mendengar suara itu tadi, bukan?"
"Su... suara apa, Gusti?" salah seorang prajurit balik bertanya.
"Suara manusia! Apakah kalian tidak mendengar-
nya?" "Tidak, Gusti."
"Oh... apakah kalian sudah tuli, ataukah aku su-
dah... sudah...." Aria Pamungkas tidak melanjutkan
kata-katanya, karena ia bermaksud mengatakan "apa-
kah pendengaranku sudah tidak beres, apakah aku
sudah gila?"
Dan tiba-tiba terdengar lagi suara misterius itu:
"Tentu saja kedua prajurit itu tidak akan mendengar suaraku, karena suaraku
khusus kukirimkan untuk
Putra Mahkota Tegalinten!"
Aria Pamungkas memegangi kedua pipinya. Dan se-
runya: "Siapa sebenarnya engkau itu" Apakah engkau
roh yang gentayangan dan tidak bisa dilihat oleh manusia biasa?"
Kedua prajurit itu tercengang dan tidak mengerti
siapa yang diajak berbicara oleh Aria Pamungkas itu.
Namun Aria Pamungkas mendengar lagi suara itu:
"Kalau sudah diizinkan, aku akan muncul di hadapan-
mu, wahai Putra Mahkota Tegalinten!"
"I... iya... muncullah... asalkan maksudmu baik!"
sahut Aria Pamungkas dengan jantung berdebar-
debar. Dan tiba-tiba saja dari langit muncul setitik cahaya merah yang makin lama main
membesar... makin jelas... seorang manusia! Seorang lelaki bersayap burung di
punggungnya! Kedua prajurit itu terperanjat. Demikian pula Aria
Pamungkas. "Kau... kau... siapa kau?"
Manusia bersayap burung itu menjawab, "Nanti
akan kuterangkan siapa diriku! Sekarang jawablah du-
lu pertanyaanku... apakah engkau benar-benar mem-
butuhkan seorang guru?"
"Iya... aku sangat membutuhkan seorang guru...
oh.... silakan masuk ke puriku..." sahut Aria Pamungkas tergagap.
Tapi sebelum mengikuti langkah Aria Pamungkas,
lelaki bersayap itu menoleh ke arah dua prajurit yang sedang ternganga heran.
Dan lelaki bersayap itu berkata, "Kalian tidak boleh memberitahu kehadiranku
pada siapa pun! Sebagai jaminan bahwa kalian akan
memegang rahasia, mulai saat ini juga kalian berdua akan menjadi dua orang
manusia bisu!"
Tanpa menggerakkan anggota badannya sedikitpun,
lelaki bersayap itu membuktikan ucapannya.... Kedua prajurit itu mendadak bisu.
"Glek... glekkk... gekkk...." kedua prajurit itu tampak kebingungan, karena
mereka mendadak tak dapat
mengeluarkan suara apa-apa dari mulutnya.
Aria Pamungkas gemetaran juga dibuatnya. Namun
sebagaimana biasa, Aria Pamungkas tak peduli dengan nasib siapa pun, asalkan
dirinya sendiri selamat dan berhasil mencapai keinginannya.
Kemudian dengan sikap yang sangat ramah, Aria
Pamungkas berkata, "Marilah ikut aku ke puriku!"
Manusia bersayap itu tergelak. "Hahahahaaaaa...
rupanya engkau bisa berbuat ramah juga, wahai Putra Mahkota Tegalinten!"
Aria Pamungkas yang masih merasa seperti ber-
mimpi, lalu menyahut, "Tentu saja! Selamanya aku bi-sa membedakan mana yang
patut kuhormati dan ma-
na yang tidak patut kuhormati! Dan sekarang aku berhadapan dengan tokoh yang
benar-benar perkasa! Ba-
gaimana mungkin aku berani bertindak gegabah?"
Manusia bersayap itu tergelak-gelak lagi.
Sementara kedua prajurit itu masih kebingungan,
karena mereka tak dapat berbicara apa-apa lagi.
*** ITA tinggalkan dulu istana Tegalinten yang sedang
Km endapat kunjungan manusia aneh itu. Selanjut-
nya, marilah kita ikuti perjalanan Rangga kembali.
Berkat ilmu tinggi yang dimilikinya, Rangga hanya
memerlukan waktu setengah hari saja untuk mencapai
persimpangan jalan menuju Tilugalur. Tadinya Rangga bermaksud menuju
Kawahsuling. Namun ketika melihat persimpangan tiga itu, Rangga merandek. Lalu
melangkah ke selatan.
Ke arah Tilugalur yang sudah menjadi kampung
mati itu! Ingatannya tentang peristiwa mengerikan beberapa
tahun yang lalu itu, membuat batinnya tergetar. Tapi Rangga yang sedang dirasuki
hawa panas dari pedang
Saptaraga, segera dapat menindas segala perasaan ha-runya. Kemudian ia
melangkah... melangkah terus ke
selatan. "Kampungku sudah hampir jadi hutan," pikir Rang-
ga sambil memandang ke arah rumahnya yang sudah
tampak seperti rumah hantu.
Semua rumah di Tilugalur memang sudah mirip ru-
mah hantu. Semuanya kosong. Semuanya menimbul-
kan kesan menyeramkan. Dan Rangga sedikit pun ti-
dak takut. Di depan rumahnya, Rangga bahkan berteriak:
"Hoooi....! Mana anakku" Keluarlah segera! Ini ayahmu datang!"
Suara Rangga bergema ke segenap penjuru Tiluga-
lur, karena kampung kosong itu berada pada daerah
lembah. Kudawulung pernah menceritakan asal-usul
Tilugalur itu, yang konon bekas Telaga Darana yang telah mengering dan menjadi
perkampungan. Rangga mengulangi seruannya: "Anakku yang terla-
hir dari Tineng, kuharap keluar! Jumpailah ayahmu
ini! Aku ingin berkenalan denganmu!"
Tiba-tiba tanah di depan Rangga retak-retak. Dan...
muncullah sebentuk kepala yang aneh... kepala anak
kecil, tapi dipenuhi oleh sisik, tak ubahnya kepala ular!
Rangga terundur selangkah. "Engkau anakku?"
Glagaaaaar... tanah di depan Rangga muncrat ke
atas, seperti gunung meletus. Dan muncullah sosok
aneh itu di depan Rangga. Sesosok anak kecil yang sekujur tubuhnya dipenuhi
dengan sisik. "Ssssssss...!" hanya itu yang terdengar dari mulut
anak bersisik ular tersebut.
"Engkau anakku?" Rangga mengulangi pertanyaan-
nya. "Sssssss...!" anak bersisik ular itu mengangguk, dengan pandangan seperti minta
dikasihani. Rangga menubruk dan memeluk anak bersisik ular
itu. "Oh, anakku! Kenapa engkau tidak dapat berbicara seperti ayahmu ini?"
Anak bersisik ular itu hanya mengeluarkan bunyi
desis seperti suara ular. Dan ketika lidahnya terjulur, barulah Rangga tahu
bahwa lidah anak itu pun sangat mirip lidah ular.
"Aku sengaja datang ke sini, hanya untuk menjem-
putmu, anakku. Aku percaya, engkau mau mengikuti-
ku, bukan?"
Anak bersisik ular itu seperti mau menyahut. Tapi
tiba-tiba saja terdengar suara bergemuruh dahsyat di
sebelah timur sana.
Dan ketika Rangga menoleh ke sebelah timur...
tampaklah pohon-pohon bertumbangan. Tanah yang
Rangga pijak pun terasa bergetar dahsyat.
Dan tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh yang
membuat Rangga tercengang!
TAMAT Catatan Editor:
Sayang sekali, buku cerita yang menarik ini 'ditamatkan'
oleh penerbit cuma sampai buku ketujuh ini. Padahal masih banyak hal yang belum
terselesaikan: tentang nasib Prabayani, tentang nasib anak Nyi Tiwi, tentang
Mes-tika Lidah Naga-nya sendiri, tentang kelanjutan hubungan Rangga dan
Nilamsari, dll., dll.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** TAMAT Jala Pedang Jaring Sutra 14 Lembah Merpati Karya Chung Sin Suramnya Bayang Bayang 22
^