Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 22

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 22


Tanah Perdikan ini," berkata Ki Rangga. "Mungkin di antara para
pemimpin pengawal yang menjadi kepercayaan Ki Wiradana
itulah yang berkhianat. Tetapi baiklah. Kita harus mengambil
langkah-langkah." "Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Warsi.
"Siapkan pasukan," berkata Ki Rangga. "Kita berangkat
sekarang. Kita tidak menunggu fajar."
Darah Ki Wiradana terasa mengalir semakin cepat. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika Wiarsi memerintahkan
16 SH. Mintardja kepadanya, maka ia pun telah memanggil para pemimpin
pengawal. Ki Wiradana seolah-olah tidak lebih dari seorang penghubung
yang menyampaikan perintah yang dilimpahkannya kepada yang
berkepentingan. Kepada para pemimpin pengawal Ki Wiradana
memerintahkan sebagaimana didengarnya dari Warsi. Pasukan
harus disiapkan dan berangkat segera tidak menunggu fajar.
Para pemimpin itu pun dengan tergesa-gesa melakukan
perintah itu. Para pengawal yang berserakan itu pun telah
berkumpul kelompok demi kelompok.
"Hitung setiap orang di dalam kelompok," pemimpin
terpercaya dari para pengawal itu menjatuhkan perintah, "Jika
ada yang kuarang, maka para pemimpin kelompok harus
melaporkannya." Ternyata memang hanya dua orang yang tidak ada di dalam
kelompoknya sebagaimana sudah dilaporkan kepada Ki
Wiradana. Namun yang dua orang itu akan dapat menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan yang jauh pada pasukannya yang
akan berangkat ke Pajang itu.
Dengan keterangan singkat,
maka Ki Wiradana memberitahukan bahwa pada saat itu mereka akan berangkat
menunaikan satu kewajiban yang sangat penting dan terhormat.
"Kita akan berjuang bersama-sama di samping para prajurit
dari Jipang di Pajang. Bukankah hal itu akan merupakan satu
kehormatan" Karena itu, marilah kita mempersiapkan diri
sebaik-baiknya. Kita akan meninggalkan Tanah Perdikan ini
untuk satu kewajiban yang mulia, sementara di Tanah Perdikan
ini sedang timbul pergolakan. Tetapi pada saatnya kita akan
kembali dan menyusun kembali Tanah Perdikan ini dengan
landasan kebenaran paugeran bersama dengan para prajurit
Jipang," berkata Ki Wiradana.
Keterangan itu memang mengejutkan. Tetapi tidak seorang
pun lagi yang sempat keluar dari barisan. Para pengawal hanya
dapat saling berpandangan dengan penuh kecurigaan, karena
17 SH. Mintardja orang yang berdiri disampingnya itu akan dapat menusuk
lambungnya, jika seorang di antara mereka berusaha
meninggalkan pasukan itu.
Karena itu, maka para pengawal itu hanya dapat mengumpat
di dalam hati, sementara Warsi yang sudah siap dalam pakaian
tempurnya itu pun berkata lantang dihadapan para pengawal,
"Kita adalah pejuang-pejuang yang pantang meninggalkan
kewajiban. Jika di antara kita sengaja atau tidak sengaja
meninggalkan beban yang dibebankan di pundak kita, maka itu
akan berarti pengkhianatan. Kita tahu pasti, apakah hukuman
bagi seorang pengkhianat."
Para pengawal menjadi semakin berdebar-debar, sementara Ki
Rangga berkata, "Kita akan berjuang sampai kemenangan ada
ditangan kita atau kematian merenggut nyawa kita. Dengan
demikian juga berarti bahwa siapa yang ingkar akan sama halnya
dengan menyurukkan diri ke dalam maut."
Ancaman-ancaman itu telah membuat para pengawal menjadi
semakin gelisah, sementara mereka tetap tidak tahu, siapakah di
antara kawan-kawan mereka yang benar-benar setia kepada Ki
Wiradana dan siapa di antara mereka yang mulai dibayangi oleh
kenyataan yang pahit tentang Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, maka para pengawal itu tidak dapat berbuat lain
kecuali melakukan segala perintah. Mereka telah menyiapkan
senjata mereka sebagaimana diperintahkan, agar ditempat
tujuan, mereka tidak merasa terganggu oleh enjata-senjata
mereka sendiri. Demikianlah, dengan tergesa-gesa pasukan itu disiapkan.
Kemudian sebelum fajar membayang di langit, maka pasukan itu
mulai mendapat perintah untuk bergerak. Pasukan yang tidak
begitu besar, tetapi akan sangat berarti bagi pasukan Jipang di
Pajang sebelah Timur. Sementara itu, ternyata bahwa Warsi telah membawa apa saja
yang dapat dibawa. Ia sadar, bahwa orang-orang yang disebutnya
sebagai pemberontak itu tentu akan memasuki rumah itu,
18 SH. Mintardja sehingga benda-benda yang ada perlu diselamatkannya dalam
batas kemungkinan. Terutama perhiasan, benda-benda berharga
dan berbagai jenis senjata.
"Tetapi pada satu saat aku akan kembali ke Tanah Perdikan
ini, memegang kendali pemerintahan dan menghukum para
pemberontak," berkata Warsi di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ada sesuatu yang merupakan
persoalan yang harus ipecahkannya. Ia tentu tidak akan dapat
meninggalkan anak laki-lakinya di Tanah Perdikan itu, karena hal
itu akan dapat berbahaya bagi jiwa anak itu. Apalagi anak itu
adalah sandaran kekuasaannya kelak di atas Tanah Perdikan itu,
karena anak itu adalah anak Wiradana.
Dalam pembicaraan khusus,
maka Ki Randukeling lah yang
kemudian mengusulkan. Katanya, "Bawa anak itu ke
padepokanku." "Padepokan itu terlalu jauh
kakek," jawab Warsi.
"Apakah kau akan membawanya ke Pajang,"
bertanya Randukeling. "Apa salahnya," jawab Warsi.
"Anak itu akan ditempa oleh
peperangan dimasa bayinya
sehingga ia akan menjadi seorang laki-laki yang perkasa.
Aku akan membawa seorang pemomong yang terpercaya. Ia akan
dapat dititipkan pada seorang dilingkungan pesanggrahan orang-
orang Jipang untuk menjaga dan memelihara bayi itu sampai
Pajang pecah. Kemudian bersama pasukan Jipang kita akan
kembali memasuki Tanah Perdikan ini. Anakkulah yang
kemudian akan memerintah Tanah Perdikan ini di bawah payung
kuasa Jipang yang besar."
19 SH. Mintardja Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun untuk
membawa bayi kecil itu ke Pajang, rasa-rasanya memang agak
mendebarkan. Apalagi di malam hari dalam ancaman bahaya
yang datang setiap saat. Persoalan kemudian, apakah ada seorang erempuan selain
Warsi sendiri yang akan dapat menempuh perjalanan panjang
menuju ke Pajang. Sedangkan jika mereka membawa pedati,
maka perjalanan akan menjadi sangat lamban.
Namun Warsi berkeras untuk membawa anak laki-lakinya ke
Pajang dan selanjutnya mengikutinya kemana ia akan pergi,
sampai saatnya Warsi akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan
dengan kekuatan yang besar.
"Kita membawa kuda," berkata Warsi. "Jika perempuan yang
tidak memiliki ketahanan wadag seperti aku itu tidak mampu lagi
berjalan, maka ia akan naik ke atas punggung kuda. Jika ia tidak
terbiasa, maka biarlah seorang pengawal menjaganya."
Tidak ada orang yang dapat menahannya lagi. Meskipun
pemomong anak Warsi itu tidak ingin untuk ikut keluar dari
Tanah Perdikan Sembojan, namun ia tidak dapat menolak. Ia
harus ikut bersama Warsi dengan membawa anak laki-lakinya
yang masih terlalu kecil.
Demikianlah, maka dengan cepat Ki Wiradana telah
menggerakkan para pengawal meninggalkan padukuhan induk.
Dalam suasana yang bagaikan sedang berkabung mereka berbaris
dan mengambil jalan melingkar.
Di antara para pengawal yang berjalan kaki, maka dalam iring-
iringan itu memang terdapat beberapa ekor kuda. Berapapun
kuda yang ada pada mereka, telah mereka bawa serta. Orang-
orang yang kelelahan akan dapat berganti-ganti naik ke atas
punggung-punggung kuda itu.
Sementara itu, Ki Wiradana pun telah memerintahkan para
pengawal untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang
dapat terjadi disepanjang jalan. Mungkin mereka harus
bertempur dan menghindar.
20 SH. Mintardja "Dua orang telah berkhianat dengan meninggalkan pasukan,"
berkata Ki Wiradana. "Mungkin mereka telah menghubungi para
pemberontak. Dengan demikian, mungkin akan dapat timbul
gangguan di dalam perjalanan ini. Karena itu, maka kita harus
siap bertempur dalam keadaan yang bagaimanapun juga."
Para pengawal menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak
dapat berbuat lain kecuali menjalankan segala perintah.
Sementara itu, Kiai Badra telah siap pula dengan pasukan
pengawal yang menentang kebijakan Ki Wiradana. Mereka harus
berusaha untuk mencegah para pengawal yang akan dibawa ke
Pajang. Bahwa mereka mulai dengan sikap keras itu, mereka
memperhitungkan bahwa pasukan pengawal yang ada di Tanah
Perdikan Sembojan tidak akan dibawa keluar, sebagaimana yang
berada di Pajang tidak akan dikirim kembali ke Tanah Perdikan.
Namun ternyata perhitungan mereka keliru. Pengawal yang
tersisa di dalam pengaruh Ki Wiradana itu masih juga akan
dibawa ke Pajang, sedangkan Tanah Perdikan Sembojan untuk
sementara akan dikosongkan. Namun Kiai Badra dan orang-
orang tua, bahwa Iswari sendiri telah memperhitungkan, bahwa
pada suatu saat, yang akan datang adalah kekuatan yang lebih
besar. Bukan hanya kekuatan Kalamerta, tetapi mungkin juga
bantuan Jipang. Namun dalam pada itu, Kiai Badra berkata, "Jipang tidak akan
mempunyai kekuatan lagi. Menurut perhitunganku, jika
perselisihannya dengan Pejang diteruskan, maka Jipang akan
mengalami kesulitan. Apalagi Jipang telah membuka
permusuhan lebih dahulu dengan Pengging dan Kalinyamat."
Demikianlah, maka ketika pasukannya sudah siap seluruhnya,
Kiai Badra dan para pemimpin dari padukuhan-padukuhan yang
menentang kebijakan Ki Wiradana bersama para pengawal yang
berpihak kepada mereka telah menuju ke padukuhan induk.
Menurut laporan yang mereka terima, menjelang fajar pasukan
itu baru berangkat. Mereka akan mengepung padukuhan induk,
sehingga pasukan yang dipersiapkan itu tidak akan dapat
meninggalkan padukuhan induk itu.
21 SH. Mintardja Namun ternyata bahwa perhitungan mereka keliru. Ketika
mereka sampai di padukuhan induk, maka pedukuhan itu telah
kosong. Pengawal yang memang mendapat pesan untuk
menyampaikan keberangkatan itu kepada mereka yang
menentang kebijaksanaan Ki Wiradana pun menjadi
kebingungan. Ternyata para pemimpin Tanah Perdikan serta
kekuasaan yang mengelilinginya telah mengubah rencana mereka
dan berangkat lebih awal.
Ketika para pemimpin dari pasukan yang datang itu memasuki
rumah Ki Wiradana, mereka tidak menemukan apapun juga.
Yang ada adalah para pembantu rumah itu yang tidak tahu apa-
apa. Dengan ketakutan mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepada mereka tanpa mengulasnya sama sekali.
"Dimana anak Warsi itu," tiba-tiba Iswari bertanya kepada
seorang pembantu perempuan.
"Anak itu dibawanya," jawab pembantu itu. "Seorang kawan
kami dipaksa ikut bersama mereka."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya
kepada Kiai Badra dan Kiai Soka, "Mereka belum terlalu lama
pergi. Kita mungkin akan dapat menyusulnya."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Sementara Kiai Soka berkata,
"Kita akan mencoba."
Kiai Badra pun kemudian telah berbicara dengan para Bekel.
Mereka pun bersepakat untuk mencoba menyusul pasukan Ki
Wiradana yang akan keluar dari Tanah Perdikan.
"Mereka mengambil jalan melingkar," berkata salah seorang
dari para Bekel itu. Sejenak kemudian, maka iring-iringan pasukan itu berjalan
dengan cepat untuk berusaha menyusul pasukan Ki Wiradana.
Mereka mencoba mengamati jejak pasukan itu, sehingga mereka
tidak akan mengambil jalan yang salah. Dengan obor-obor biji
jarak, mereka melihat jejak pasukan itu. Jejak kaki kuda dan
22 SH. Mintardja langkah-langkah yang diseret ditanah berdebu. Bahkan pohon-
pohon perdu yang berpatahan dipinggir jalan.
"Nampaknya memang ada yang dengan sengaja meninggalkan
jejak pada pohon-pohon perdu ini," berkata Kiai Badra.
Kiai Soka mengangguk-angguk, jawabnya, "Ya. Ada yang
dengan sengaja mematahkan ranting-ranting perdu itu."
Dengan demikian maka mereka tidak terlalu sulit untuk
mengikuti jejak pasukan yang telah meninggalkan padukuhan
induk itu. Namun ternyata bahwa jarak mereka tidak cukup dekat untuk
dapat menyusul pasukan yang meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Para Bekel dan pemimpin pasukan telah memacu pasukan
mereka untuk berjalan lebih cepat. Namun mereka tidak segera
dapat menyusul. Sementara itu, jarak perbatasan Tanah Perdikan
Sembojan semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Ketika langit menjadi merah, maka iring-iringan itu sudah
mendekati batas. Jalan yang keluar dari Tanah Perdikan
Sembojan itu memang akan memasuki hutan kecil. Tetapi hutan
kecil itu berada dibawah pengamatan Kademangan tetangga.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kita dapat menyusul?" berkata salah seorang dari
ketiga orang Bekel itu. "Kita tinggal mempunyai kesempatan sedikit," berkata Bekel
yang lain. Tiba-tiba saja Kiai Badra berkata, "Apakah kita masih
mempunyai oncor jarak?"
"Masih banyak," sahut salah seorang pemimpin pengawal.
"Nyalakan saja," berkata Kiai Badra.
"Tetapi langit justru semakin terang," jawab pengawal itu.
"Biarlah. Mudah-mudahan ada akibatnya," jawab Kiai Badra.
Pemimpin pengawal itu pun segera memerintahkan
menyalakan semua obor meskipun langit menjadi semakin
23 SH. Mintardja terang. Namun cahaya obor itu masih juga nampak menjilat-jilat
ke udara. Para pengawal itu telah merangkap tiga atau empat
oncor biji jarak dan menyalakannya sekaligus, sehingga oncor itu
nampaknya merupakan oncor-oncor yang besar.
Dengan cepat pasukan itu berusaha menyusul. Setidak-
tidaknya obor-obor itu dapat dilihat oleh orang-orang yang
mereka ikuti. Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, ternyata bahwa
pasukan Ki Wiradana memang telah sampai ke batas. Sejenak
kemudian mereka akan meninggalkan Tanah Perdikan. Para
pengawal menjadi berdebar-debar. Beberapa orang di antara
mereka merasa cemas, bahwa mereka tidak akan dapat melihat
Tanah Perdikan itu lagi. Karena itu, maka beberapa orang pun telah berpaling.
Diamatinya keremangan fajar serta cahaya merah yang
menyangkut diujung pepohonan.
Namun tiba-tiba saja mereka telah melihat sesuatu yang
bergerak. Obor. Beberapa orang menjadi berdebar-debar. Bahkan seseorang
dengan hampir tidak sengaja telah berdesis, "Obor."
"Ya obor," sahut kawannya.
Beberapa orang yang telah melihat obor itu juga. Tiba-tiba saja
mereka telah memperlambat langkah mereka.
Para pemimpin pengawal yang menyadari keadaan telah
memberikan aba-aba untuk mempercepat langkah mereka.
Namun salah seorang di antara para pemimpin itu tiba-tiba
berteriak, "Kita bersiap untuk bertempur. Pasukan benar-benar
telah menyusul kita."
Perintah-perintah yang simpang siur itu terdengar oleh Ki
Wiradana dan orang-orang yang membayanginya. Karena itu,
maka bersama Ki Rangga, maka Ki Wiradana pun telah
menelusuri pasukannya sampai kepada mereka yang telah
melihat obor itu. 24 SH. Mintardja "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Wiradana.
"Obor," jawab salah seorang pemimpin.
Ki Rangga menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata,
"Kita percepat langkah kita. Mereka tidak akan membuka
pertempuran di daerah orang lain. Bukankah kita sedang
melintasi perbatasan. "Belum tentu," jawab salah seorang pemimpin pengawal,
"Mereka adalah orang-orang gila. Mereka tidak akan berpikir
sekian jauhnya. Karena itu, tidak ada cara lain yang harus kita
lakukan kecuali bertempur sampai orang yang terakhir.
"Jangan terlalu memanjakan perasanmu," berkata Ki Rangga.
"Kita justru harus empercepat perjalanan ini."
Sementara itu, oncor-oncor biji jarak itu pun menjadi semakin
dekat. Ketika mereka berbelok sekali disela-sela batang perdu
yang tumbuh dipinggir jalan bulak, maka pasukan itu menjadi
semakin jelas. Apalagi langit menjadi semakin terang.
Namun yang terdengar adalah perintah Ki Wiradana, "Kita
mempercepat perjalanan ini."
Iring-iringan itu agaknya memang ingin mempercepat langkah
mereka. Tetapi terasa sesuatu telah membenani mereka, sehingga
laju pasukan itu justru terasa tersendat-sendat.
Sementara itu pasukan yang menyusul itu justru berjalan
semakin cepat. Seorang di antara para Bekel itu memang menjadi
ragu-ragu. Dengan bimbang ia berkata, "Apakah kita akan
membuka pertempuran di hutan milik tetangga?"
"Kita akan memberikan penjelasan kelak," berkata Bekel yang
lain. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak merasa terpotong
oleh perbatasan. Asal iring-iringan itu belum keluar dari hutan
kecil itu, maka para Bekel itu masih merasa akan dapat
menjelaskan persoalannya kepada kademangan tetangganya.
25 SH. Mintardja Di depan mereka Ki Wiradana justru telah membentak-bentak
untuk mempercepat perjalanan pasukannya. Namun beberapa
orang di antara mereka justru telah mencabut senjata. Seorang
pemimpin masih juga berkata, "Kita harus bersiap sepenuhnya."
Sementara itu Ki Rangga pun telah berteriak, "Jangan menjadi
pengecut. Jika mereka memang menyerang, kita akan
menghancurkan mereka. Tetapi untuk kepentingan yang lebih
besar, kita akan pergi ke Pajang. Karena itu, jangan hiraukan
gangguan-gangguan kecil yang
tidak berarti itu. Pasukan itu memang berjalan lebih cepat. Tetapi
pasukan yang menyusul itu
pun justru telah berlari-lari
kecil sehingga jarak antara
mereka pun menjadi semakin
pendek. Seperti dikatakan oleh salah
seorang pemimpin pengawal,
bahwa pasukan yang menyusul
itu sama sekali tidak menghiraukan perbatasan. Meskipun pasukan Ki Wiradana seluruhnya telah
memasuki hutan kecil di luar
batas Tanah Perdikan Sembojan, namun yang menyusul itu telah
memasuki hutan itu pula. "Jangan biarkan mereka menerkam dari belakang," tiba-tiba
pemimpin pengawal yang telah bersiap-siap itu berteriak, "Aku
sudah mengatakan, bahwa mereka akan menyergap kita."
"Jangan menjadi gila," Ki Rangga telah berteriak lebih keras,
"Tinggalkan mereka."
Tetapi pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu. Katanya
kemudian, "Silakan meninggalkan tempat ini. Aku dan
26 SH. Mintardja kelompokku akan menghambat mereka. Tidak ada pilihan untuk
menghadapi mereka kecuali dengan bertempur."
"Tidak. Kau dengar perintahku," geram Ki Rangga.
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat
menolak perintah Ki Rangga, sehingga karena itu, maka ia pun
telah melanjutkan perjalanan dibelakang pasukan yang telah
berjalan beberapa langkah lanjut.
"Cepat," teriak Ki Rangga itu.
Namun yang mengejar mereka pun semakin cepat pula.
Sementara Ki Rangga bergeser ketengah-tengah barisan yang
tergesa-gesa, maka pasukan yang mengejarnya menjadi semakin
dekat. Ketika pasukan itu memasuki hutan, maka obor-obor telah
dimatikan. Namun langit sudah menjadi terang. Meskipun
demikian di dalam hutan masih terasa selubung kelam karena
dedaunan yang rimbun dan rapat saling berhimpitan.
Agaknya para pemimpin dari pasukan yang menyingkir itu
memang mempunyai perhitungan, jika pasukan yang
dianggapnya pemberontak itu berani mengejar sampai ke tengah
hutan, namun mereka tidak akan berbuat apa-apa jika pasukan
dipimpin oleh Ki Wiradana itu sudah keluar dari hutan dan
berada di jalan persawahan.
Tetapi pasukan yang mengejar itu sudah menjadi sangat dekat.
Bahkan sebagian dari mereka sudah mulai memencar untuk
menyerang iring-iringan itu dari lambung.
Ki Rangga berpikir cepat. Dengan serta merta ia pun segera
mendekati Ki Wiradana, sementara Ki Randukeling telah berada
ditempat itu pula. "Mereka mulai menyerang," berkata Ki Rangga.
"Kita harus bertahan," berkata Ki Randukeling.
"Kita korbankan sekelompok pasukan yang dipimpin oleh
pengawal yang berdarah panas itu. Biarlah mereka menahan arus
27 SH. Mintardja pasukan itu, sementara kita berusaha melepaskan diri dengan
sisa pasukan yang ada," berkata Ki Rangga.
Ki Wiradana tidak membantah. Apalagi ketika Warsi datang
pula dan berkata, "Lepaskan kelompok itu. Kita percepat gerak
pasukan." Ki Wiradana tidak dapat berbuat lain. Namun Ki
Randukeling lah yang menyahut, "Tidak mungkin hanya satu
kelompok. Tentu tidak akan berarti apa-apa. Setidak-tidaknya
dua kelompok." "Baik. Lepaskan dua kelompok pasukan. Yang lain akan
meninggalkan arena dengan cepat dan keluar dari hutan kecil
ini," sahut Warsi. Demikianlah maka Ki Wiradana pun telah menjatuhkan
perintah kepada pemimpin pengawal yang sudah siap dengan
senjata ditangan. "Bawa dua kelompok pasukan. Cegah mereka untuk menyusul
kami. Kemudian kalian harus melepaskan diri kembali kepada
induk pasukan jika kami sudah berada diluar hutan karena
mereka tidak akan bertempur diluar hutan sehingga akan dapat
menimbulkan persoalan dengan Kademangan tetangga," berkata
Ki Wiradana kepada pemimpin pasukan pengawal yang telah siap
dengan senjata ditangan. "Kami akan melakukan sebaik-baiknya," berkata pengawal itu.
Sejenak kemudian maka Ki Wiradana pun telah menyusul
pasukannya yang dengan cepat berusaha meninggalkan hutan
kecil itu, sementara dua kelompok pengawal telah siap
menghambat gerak maju pasukan yang berusaha untuk
menyusul. Bagaimanapun juga, maka pasukan yang disebut pemberontak
itu harus bersiap-siap menghadapi pasukan kecil yang akan
menghambat perjalanan mereka. Sambi Wulung yang kemudian
berada di paling depan telah bersiap untuk bertempur.
28 SH. Mintardja Namun ia menjadi bimbang ketika pemimpin pengawal itu
berteriak kepada para pengawal yang dipimpinnya," Lepaskan
senjata. Kita menyerah."
Para pengawal menjadi heran. Bahkan mereka menjadi
gelisah. Namun sekali lagi terdengar suaranya jelas, "Lepaskan
senjata. Kita tidak akan bertempur melawan sanak kadang
sendiri." Namun seorang pemimpin kelompok mendekatinya sambil
bertanya, "Apa artinya ini?"
"Aku adalah salah seorang pengkhianat bagi Ki Wiradana,"
jawab pemimpin pengawal itu. "Terserah kepadamu, apakah kau
akan melawan dan kemudian ikut menjadi umpan di Pajang?"
"Setan," geram pemimpin kelompok itu. Lalu ia pun berteriak
kepada para pengawal di dalam kelompoknya, "Tahan para
pemberontak itu. Aku akan menghabisi nyawa pengkhianat ini.
Jangan sekali-kali melepaskan senjata agar kalian tidak dibantai
tanpa perlawanan disini."
Pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih lama. Ia pun
langsung mengayunkan pedangnya keleher pemimpin pengawal
yang memerintahkannya untuk menyerah.
Tetapi pemimpin pengawal itu ternyata cukup berhati-hati.
Ketika ia melihat sorot mata pemimpin kelompok itu maka ia
sudah menduga apa yang akan terjadi.
Karena itu, maka ia pun telah menangkis serangan itu dengan
pedangnya pula. Dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi antara
kedua orang pemimpin itu. Namun justru karena itu, maka para
pengawal menjadi kebingungan.
Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok yang lain pun
ternyata masih tetap setia juga kepada Ki Wiradana. Ialah yang
kemudian memegang kendali kelompok-kelompok yang
dilepaskan dari pasukan induk itu untuk menahan gerak maju
pasukan yang ingin menyusul Ki Wiradana.
29 SH. Mintardja Sementara itu, pasukan yang disebut pemberontak itu pun
telah berada dihadapan mereka. Melihat sikap para pengawal,
maka Iswari pun telah bergeser kepaling depan. Ia berusaha
untuk menyelesaikan persoalan dengan para pengawal tidak
dengan kekerasan. "Apakah kita akan bertempur?" bertanya Iswari.
Pertanyaan itu telah membuat para pengawal termangu-
mangu. Namun sementara itu, pemimpin yang ingin menyerah
itu telah bergeser dan bertempur di antara kedua pasukan yang
saling berhadapan. Dengan lantang pemimpin pengawal yang bertempur itu
berteriak, "Menyerahlah. Kita belum terlambat. Tetapi penjilat ini
memang harus dihabisi."
"Kau yang berkhianat," jawab lawannya. Lalu ia pun
memberikan aba-aba pula, "Bunuh mereka yang berkhianat
seperti orang ini." Suasana menjadi tegang. Namun kedua pasukan masih belum
terlibat dalam pertempuran. Mereka masih terpukau melihat
kedua pemimpin pengawal yang akan bertempur itu.
Sementara itu, Iswari berkata pula, "Masih ada waktu untuk
merenungi kata-katanya," namun sementara itu Iswari pun telah
memberikan isyarat kepada para pengawalnya. Sambil
melambaikan tangannya ia berkata, "Jika masih mungkin, susul
pasukan yang telah dengan tanpa jantung mengumpankan
sebagian kecil dari kawan-kawannya sendiri itu. Kita tidak akan
membunuh saudara-saudara kita yang dengan sengaja telah
dilemparkan kedalam api, disini dan yang lain di Pajang."
Ternyata kata-kata Iswari itu mempunyai pengaruh yang besar
bagi para pengawal. Apalagi ketika pemimpin mereka yang
bertempur itu berteriak pula, "Dengar kata-kataku. Lepaskan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata. Kita akan bekerja bagi Tanah Perdikan ini. Tidak untuk
menjadi umpan ujung pedang orang-orang Pajang karena kita
berpihak kepada Jipang."
30 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah
membawa beberapa kelompok pengawal menyusul mereka yang
telah meninggalkan kawan-kawannya. Namun jarak mereka
sudah menjadi semakin jauh justru pada saat pasukan yang
disebut pemberontak itu tertahan meskipun tidak harus
bertempur. "Lihat," berkata Iswari. "Kalian tidak mampu berbuat apa-apa
atas pasukan yang menyusul kawan-kawanmu. Jika kalian
bergerak, maka pasukan yang tinggal ini pun akan bergerak. Sia-
sialah usaha kalian untuk menghambat perjalanan kami karena
jumlah kalian yang kurang memadai. Karena itu, pertimbangkan
untuk menyerah. Kalian hanya mempunyai dua pilihan.
Menyerah dan bekerja bersama kami membangun Tanah
Perdikan ini, atau mati. Jika tidak mati disini, maka kalian akan
mati di Pajang, justru anak keluarga kalian tidak akan sempat
melihat dimana kubur kalian. Atau barangkali, karena kalian
hanya anak-anak Tanah Perdikan Sembojan, maka mayat kalian
tidak akan ada yang menguburkan."
"Persetan," sahut pemimpin kelompok yang sedang
bertempur, "Jangan dengarkan."
"Justru dengarkan kata-katanya," tiba-tiba saja seorang di
antara para pengawal itu berteriak. Suaranya seakan-akan telah
meledakkan isi hutan karena hentakan-hentakan perasaan yang
untuk beberapa lama dibenamkannya dalam-dalam di dalam
hatinya, "Kita harus mendengarkan suaranya. Aku tidak mau
dibawa ke Pajang. Aku ingin berjuang untuk Tanah Perdikan ini."
"Pengkhianat," geram pemimpin kelompok yang seorang lagi.
Dengan geram ia telah mengayunkan pedangnya menebas ke
arah lambung. Namun tiba-tiba saja seorang kawannya telah mendorong
pengawal yang hampir saja ditembus oleh ujung pedang itu.
Bahkan tiba-tiba pula seorang yang lain dengan serta merta telah
berteriak pula, "Kita akan menyerah."
31 SH. Mintardja Pemimpin kelompok itu tidak sempat menyerang lagi.
Di luar dugaan bahwa sebuah
pisau belati telah terhunjam
dipunggungnya. Seorang anak
yang masih sangat muda berkata, "Aku tidak mau mati
sekarang atau besok di Pajang." Pemimpin kelompok itu terkejut. Tetapi luka itu terlalu
dalam. Untuk sesaat ia masih
sempat memandangi anak yang masih terlalu muda itu
dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian. Yang
terdengar adalah desis mulutnya, "Pengkhianat."
Namun pemimpin kelompok itu pun kemudian telah jatuh
terjerembab. Ia telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri yang
masih sangat muda. Ketegangan menjadi semakin mencengkam para pengawal.
Ada di antara mereka yang masih merasa setia kepada Ki
Wiradana. Tetapi ternyata banyak diantara para pengawal itu
yang kemudian telah menyatakan niatnya yang sebenarnya.
"Kami menyerah," berkata seorang pengawal. Tetapi kami
tidak dapat melepaskan senjata kami, karena mungkin kawan
kami yang berdiri disebelah menyebelah kami akan menusuk
sebagaimana dilakukan oleh pemimpin kelompok itu. Untunglah
bahwa ia tidak sempat melakukan pembunuhan itu dan harus
menebus dengan nyawanya."
"Terima kasih," berkata Iswari. "Marilah. Siapa yang ingin
bergabung dengan kami, bergeserlah kekanan. Dengan demikian,
maka kita akan segera menjadi jelas."
32 SH. Mintardja Dengan serta merta, sebagian besar dari para pengawal itu
telah bergeser kekanan. Beberapa orang yang semula masih
tinggal. Namun mereka tidak ingin menjadi sasaran dan akan
dibantai beramai-ramai. Maka mereka pun telah bergeser pula
kekanan seperti yang lain.
"Terima kasih. Terima kasih," desis Iswari. Tetapi ia masih
juga berkata, "Namun aku mengerti, bahwa ada diantara kalian
yang memenuhinya karena merasa terpaksa. Karena merasa tidak
ada lagi kawan untuk bertahan pada pendiriannya sebagai
penjilat. Tetapi kita akan melihat bersama-sama, apakah yang
akan kita lakukan kemudian. Dengan demikian maka lambat-
laun, mereka yang ragu-ragu itu pun akan yakin bahwa sikap kita
adalah benar." Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi para pengawal itu
pun mengerti pula bahwa ada di antara kawan-kawan mereka
yang menyerah karena terpaksa.
Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok yang bertempur
itu masih juga bertempur. Ketika pemimpin pengawal itu sekali
lagi menawarkan agar pemimpin kelompok itu menyerah, maka
justru pemimpin kelompok itu telah meloncat menyerang dengan
cepat sekali. Pedangnya terjulur lurus mengarah ke jantung.
Lawannya terkejut sekali. Justru pada saat ia menawarkan
satu penyelesaian. Karena itu, maka ia menjadi agak terlambat
bertindak. Meskipun ia berhasil menangkis pedang yang
mengarah kejantungnya, namun pedang itu masih juga tergores
dilengannya. Pemimpin pengawal itu menggeram marah. Dengan suara
berat ia berkata, "Kau memang keras kepala. Tidak ada jalan lain
kecuali mengakhirimu."
"Kau sudah terluka. Meskipun aku akan dibunuh beramai-
ramai disini, tetapi aku akan membunuhmu lebih dahulu," geram
pemimpin kelompok itu. 33 SH. Mintardja Tetapi pemimpin pengawal yang sudah terluka dilengannya itu
ternyata masih mampu bergerak cepat. Meskipun sekali-kali
terasa perasaan pedih dan nyeri menyengat kulit dan dagingnya.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang
pengawal Tanah Perdikan Sembojan itu menjadi semakin seru.
Keduanya memang sudah sampai kepada keputusan untuk
membunuh lawan. Sementara itu, para pengawal yang lain, yang sudah
menyatakan menyerah serta para pengawal yang berpihak kepada
Iswari menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar.
Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tidak terpaut
banyak. Sehingga dengan demikian keduanya mempunyai
kesempatan yang sama untuk saling membunuh. Sementara itu,
pemimpin pengawal yang memberikan perintah untuk menyerah
itu sudah terluka. Untuk beberapa saat Iswari menyaksikan pertempuran itu.
Namun karena darah mengalir semakin banyak dari luka
pemimpin pengawal yang ingin menyerah itu, maka ia pun
kemudian melangkah mendekati arena.
"Nah, lihatlah," berkata Iswari kepada para pengawal yang
menyatakan telah menyerah, "Bukankah terasa sakit melihat
keluarga sendiri saling bertengkar?"
Para pengawal itu tidak menjawab. Namun Iswari terkejut
ketika pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itulah
yang menjawab sambil bertempur, "Kaulah yang membuat kita
saling bermusuhan. Kau hasut pengawal untuk memberontak dan
saling membunuh." "O, jadi akulah yang bersalah dalam hal ini?" bertanya Iswari.
"Ya. Kau kecewa karena Ki Wiradana kawin lagi. Tetapi itu
adalah persoalan keluargamu. Kau ternyata telah membawa kita,
isi Tanah Perdikan Sembojan saling bertempur dan membunuh.
Ketahuilah, bahwa kami tidak akan dapat kau peralat untuk
melepaskan dendam pribadimu," teriak pengawal itu sambil
bertempur. 34 SH. Mintardja "Ternyata banyak yang tidak kau ketahui tentang Tanah
Perdikan ini," berkata Iswari.
"Persetan," geram orang itu.
Iswari tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dengan sungguh-
sungguh ia mengikuti pertempuran yang semakin seru. Keduanya
benar-benar telah mengerahkan segenap kekuatan dan
kemampuan mereka. Namun pemimpin pengawal yang telah terluka itu ternyata
memiliki pengalaman yang lebih luas. Ia telah mendapatkan
latihan yang lebih lama dari para perwira Jipang karena ia
termasuk salah seorang di antara para pengawal yang mendapat
latihan utama yang ditinggalkan di Tanah Perdikan.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat kemudian Iswari
mulai melihat, bahwa pemimpin pengawal itu menjadi lebih
mapan, meskipun dari lukanya masih mengalir darah.
Pada saat yang demikian, tiba-tiba seorang pemimpin
pengawal yang berpihak kepada Iswari telah mendekatinya
sambil berkata, "Apakah kita harus membiarkannya berperang
tanding?" Sebelum Iswari menjawab, pemimpin kelompok yang setia
kepada Ki Wiradana itu menjawab lantang, "Marilah jika kau
akan mengeroyokku. Aku tidak berkeberatan. Aku memang
sudah mengenal sifat-sifat kalian. Seorang pengkhianat tidak
akan berpegang pada sifat seorang laki-laki."
Pemimpin pengawal yang berpihak kepada Iswari itu
menggeram. Namun Iswari mendahuluinya, "Jangan terpancing
oleh perasaanmu. Sebenarnya keduanya tidak sedang berperang
tanding. Kita semuanya dapat berpihak kepada salah seorang di
antara mereka dan dengan demikian pertempuran itu pun akan
segera berakhir. Namun agaknya, jika kita berbuat demikian,
maka kita justru akan menyinggung perasaan orang yang kita
bantu." 35 SH. Mintardja Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun dari sorot
matanya nampak, betapa hatinya menjadi geram melihat
kesombongan pengawal yang setia kepada Ki Wiradana itu.
Namun dalam pada itu pemimpin pengawal yang telah terluka
itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Luka
dilengannya semakin lama terasa semakin pedih, sementara titik-
titik darah yang keluar mulai terasa berpengaruh pula.
Karena itu, maka pada saat-saat yang gawat itu, ia telah
menghentakkan kemampuannya. Senjatanya berputar seperti
baling-baling. Namun tiba-tiba senjata itu meluncur menikam ke
arah lambung. Lawannya mulai terdesak, sementara pemimpin pengawal itu
sudah mempergunakan segenap unsur kemampuannya yang
dipelajarinya dengan latihan-latihan yang berat dan keras dari
para perwira Jipang. Dengan demikian maka keseimbangan telah berubah.
Pemimpin pengawal yang telah terluka itu membuat lawannya
kadang-kadang tergagap. Dalam kesempatan yang demikian,
maka senjatanya yang mematuk bagaikan menggeliat dan
menyerang mendatar. Perubahan-perubahan serangan yang cepat itu membuat
pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itu setiap
kali terkejut. Bahkan sekali-kali ia kehilangan kesempatan untuk
menangkis serangan lawannya itu, sehingga ujung senjata
lawannya tiba-tiba saja telah tergores dipundaknya.
"Kau juga sudah terluka sekarang," geram pemimpin pengawal
itu, "Sekali lagi aku memberimu peringatan, menyerahlah."
"Persetan," lawannya justru meloncat menyerang. Tetapi
pemimpin pengawal itu sempat menghindar dengan loncatan
kecil menyamping. Namun bersamaan dengan itu, senjatanyalah
yang justru terjulur. Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak
sempat mengelak dan menangkis.
36 SH. Mintardja Dengan demikian, maka luka baru telah menganga di paha
pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana itu.
Pemimpin kelompok itu menggeram. Dua langkah ia meloncat
surut. Namun darahnya menjadi semakin banyak mengalir.
Namun yang terjadi demikian tiba-tiba ketika pemimpin
kelompok yang terluka itu mencabut pisau belati kecilnya dan
dengan serta merta telah dilemparkan kepada lawannya.
Demikian cepat dan tidak terduga bahwa hal itu akan dilakukan.
Iswari yang melihat gerak tangannya dengan cepat
memperingatkan, "Hati-hati. Pisau itu."
Tetapi pemimpin pengawal itu memang terlambat
menghindar. Belati kecil itu tidak terlepas sama sekali dari
tubuhnya, karena belati itu kemudian telah tertancap di bagian
kanan dadanya. "Gila," geram pemimpin
pengawal yang terluka oleh
pisau belati kecil itu. Namun
pada saat terakhir, ternyata ia
pun masih sempat mengerahkan sisa tenaganya
dengan melakukan hal yang
sama. Ia masih sempat pula
mencabut belati kecilnya dan
melontarkannya ke arah lawannya. Pemimpin kelompok yang merasa serangannya berhasil
itu sama sekali juga tidak
menyangka, bahwa lawannya
masih mampu berbuat demikian. Itulah sebabnya, ia pun menjadi lengah. Karena itu,
maka pisau belati lawannya itu pun tidak sempat dihindarinya
pula dan menancap pula didadanya.
37 SH. Mintardja Keduanya pun terhuyung-huyung sejenak. Tetapi keduanya


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Beberapa saat
kemudian keduanya telah terjatuh.
Namun pemimpin pengawal yang berpihak kepada Iswari
sempat menangkap kawannya yang hampir terjatuh itu dan
dengan hati-hati membaringkannya ditanah. Sementara itu,
pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana berada di
jarak yang cukup panjang, sehingga tidak seorang pun yang
mampu menangkapnya sebelum ia jatuh tertelungkup.
Nampaknya memang sudah menjadi garis hidupnya bahwa
justru karena ia jatuh tertelungkup itu maka seolah-olah pisau
yang tertancap di dadanya itu tertekan semakin dalam. Sehingga
dengan demikian, maka untuk selanjutnya, ia tidak akan dapat
bangkit kembali. Iswari memalingkan wajahnya. Kemudian kepada para
pengawal yang menyerah ia berkata, "Rawatlah kawanmu itu.
Apapun yang telah dilakukan, adalah menjadi kewajiban kita
untuk merawatnya baik-baik. Mungkin ia masih hidup. Tetapi
jika tidak, maka kita pulalah yang harus menyelenggarakannya."
Beberapa orang pengawal yang menyerah itu pun telah
mengerumuni pemimpin kelompok mereka yang terbunuh.
Ketika mereka memutar tubuh itu sehingga menelentang, maka
mereka pun segera mengetahui, bahwa pengawal itu telah
meninggal. Tetapi pemimpin pengawal yang seorang lagi ternyata masih
tetap hidup dan kesadarannya masih tetap utuh meskipun ia
menjadi sangat kesakitan. Justru karena ia sempat bergeser
betapapun kecilnya, namun pisau itu tidak menembus
jantungnya. Beberapa orang telah berusaha untuk menolong pemimpin
pengawal yang terluka. Dengan obat yang ada dicoba untuk
mengurangi arus darah yang keluar dari lukanya ketika pisau
belati kecil itu sudah dicabut dari tubuhnya. Betapapun perasaan
sakit menghentak, namun ia tidak menolak usaha untuk
38 SH. Mintardja merawatnya, karena pengawal itu yakin bahwa semua usaha itu
dilakukan dengan niat yang baik atas dirinya.
Namun dua orang kawannya, yang memimpin kedua
kelompok pengawal itu telah terbunuh.
Sejenak kemudian maka pasukan itu pun segera membenahi
diri. Namun mereka masih harus menunggu, apa yang terjadi
dengan pasukan yang berusaha menyusul pasukan yang akan
pergi ke Pajang. Meskipun agaknya mereka sudah mengira bahwa
pasukannya tidak akan dapat menyusul mereka sebelum mereka
keluar dari hutan. Sebenarnyalah sejenak kemudian, pasukan yang menyusul
para pengawal yang akan dibawa ke Pajang itu telah kembali.
Sambi Wulung telah menceriterakan, bahwa mereka memang
terlambat. "Kami tidak dapat bertempur ditempat terbuka," berkata
Sambi Wulung. "Ya," jawab Kiai Badra. "Persoalannya akan beralih dengan
Kademangan ini. Peristiwa di dalam hutan ini masih dapat
dijelaskan karena terjadi di daerah tertutup dan tidak
menimbulkan kegelisahan. Tetapi ditempat terbuka, mungkin Ki
Demang di Kademangan ini sulit untuk dapat menerimanya.
Meskipun Kademangan ini tidak mempunyai kekuatan untuk
menghukum Tanah Perdikan Sembojan, tetapi hubungan yang
buruk dengan tetangga akan dapat menimbulkan akibat
tersendiri." "Tetapi lalu bagaimana dengan mereka yang pergi ke Pajang?"
bertanya Iswari. "Mereka akan menjadi bagian yang dikorbankan oleh Ki
Wiradana di Pajang. Kasihan," sahut Kiai Badra, "Untunglah dua
kelompok di antara mereka tertahan di sini dan menyadari bahwa
langkah-langkah yang telah diambil oleh Ki Wiradana salah."
Pemimpin pengawal yang terluka, yang mendengar
pembicaraan itu sambil menyeringai menya-hut terputus-putus,"
39 SH. Mintardja Bukan semata-mata kesalahan Ki Wiradana. Pengaruh orang-
orang disekitarnya-lah yang telah merusak citra Tanah Perdikan
ini." "Kalau Ki Wiradana tidak lemah hati, maka semuanya tidak
akan terjadi," sahut Iswari.
Pemimpin pengawal yang terluka itu menarik nafas dalam-
dalam. Namun lukanya terasa sakit sekali. Meskipun demikian ia
masih berusaha untuk mengangguk.
"Jika demikian, maka sebaiknya kita kembali ke padukuhan
induk saja kakek," berkata Iswari kemudian.
"Ya. Kita akan kembali ke padukuhan induk," jawab Kiai
Badra. Demikianlah maka pasukan itu pun kemudian berbenah diri.
Mereka kemudian meninggalkan hutan itu dan kembali ke
padukuhan induk. Namun dua orang dari ketiga orang Bekel yang
ada di antara mereka akan segera menemui Ki Demang yang
memiliki hutan itu, agar tidak timbul salah paham yang akan
dapat memperburuk hubungan yang untuk beberapa lama
menjadi kabur karena tingkah laku Ki Wiradana dibawah
pengaruh orang-orang disekelilingnya.
Namun kedua orang Bekel itu akan pergi bersama beberapa
orang pengawal yang di antaranya terdapat Sambi Wulung dan
Jati Wulung. "Siapa tahu, jika diperjalanan Ki Bekel akan bertemu dengan
orang-orang yang ternyata pengikut Ki Wiradana," berkata Kiai
Badra. "Tentu kami akan merasa tenang perlu bersama mereka,"
jawab salah seorang dari kedua Bekel itu. "Namun, kami akan
pergi secepatnya, agar persoalannya tidak lebih dahulu
berkembang di Kademangan itu."
"Baiklah Ki Bekel," berkata Kiai Badra. "Kami mohon Ki Bekel
dapat menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya di Tanah
40 SH. Mintardja Perdikan ini, sehingga kami tidak berani menembus perbatasan
dan barangkali sedikit merusakkan hutan kecil itu."
"Aku yakin bahwa mereka selalu mengikuti perkembangan
Tanah Perdikan ini, meskipun mereka tidak berani
mencampurinya, karena kademangan-kademangan di sekitar
Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memiliki kekuatan yang
memadai. Meskipun ada juga para pengawal, tetapi mereka
sekadar mengamati keadaan Kademangan mereka masing-
masing. Mencegah perselisihan antara tetangga, mengatur agar
air yang mengaliri sawah dapat terbagi adil dan menggerakkan
anak-anak muda memperbaiki bendungan, jalan-jalan
padukuhan dan semacamnya," berkata Ki Bekel itu.
Demikianlah, maka Ki Bekel pun kemudian telah pergi ke
Kademangan sebelah untuk menjelaskan persoalan agar tidak
menjadi semakin kabur. Ternyata Ki Demang berusaha untuk mengerti. Dengan nada
dalam Ki Demang berkata, "Aku juga mendapat laporan, bahwa
pasukan dari Tanah Perdikan Sembojan telah melintasi
Kademangan ini tanpa memberitahu lebih dahulu. Iring-iringan
pasukan itu ternyata telah membuat rakyat kami menjadi gelisah.
Hal yang serupa pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Bahkan
dengan sangat mencolok, seakan-akan yang lewat adalah pasukan
Kadipaten Pajang." "Mereka memang akan pergi ke Pajang," berkata salah seorang
dari kedua Bekel yang datang ke Kademangan itu.
"Jika demikian, maka pendengaranku benar bahwa Tanah
Perdikan Sembojan telah berpihak kepada Jipang," berkata Ki
Demang. "Bukan Tanah Perdikan Sembojan," jawab salah seorang dari
kedua Bekel itu. "Tetapi pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikannya yang
berada dibawah pengaruh beberapa orang termasuk istrinya.
41 SH. Mintardja Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Kami memang
mendengar dan mengetahui bahwa pergolakan telah terjadi di
Tanah Perdikan Sembojan. Tetapi kami tidak berhak
mencampurinya. Apalagi kami tidak memiliki sesuatu yang dapat
kami pergunakan untuk berbuat apapun juga. Bahkan kami
menjadi sangat cemas, bahwa Tanah Perdikan dibawah pimpinan
Ki Wiradana akan mengambil langkah-langkah yang garang
terhadap tanah disekitarnya. Kademangan demi kademangan
akan diambilnya. Apalagi jika Jipang menang atas Pajang, maka kami sama
sekali tidak akan mendapat perlindungan dari manapun juga."
"Kami akan berusaha untuk menegakkan paugeran di Tanah
Perdikan Sembojan," berkata salah seorang dari kedua orang
Bekel itu. "Apakah landasanmu" Ki Wiradana lah yang berhak untuk
mewarisi jabatan Kepala Tanah Perdikan. Apalagi jika Jipang
menang atas Pajang," bertanya Ki Demang.
"Bukan aku," berkata Ki Bekel, "Tetapi anak Ki Wiradana. Aku
sedang berjuang untuk menegakkan jalur kekuasaan para
pemimpin di Tanah Perdikan ini. Ki Wiradana sekarang
mempunyai dua anak laki-laki yang masih kanak-kanak dari dua
orang ibu. Yang sekarang berkuasa adalah Nyi Wiradana yang
muda yang sudah barang tentu ingin menurunkan kuasa Ki
Wiradana kepada anak laki-lakinya. Sementara itu istrinya yang
tua, Iswari juga mempunyai anak laki-laki yang lahir lebih dahulu
dari anak istri yang muda itu. Anak itulah yang seharusnya
berhak atas Tanah Perdikan ini. Dan kami orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan mempunyai penilaian tersendiri atas Warsi,
istri Ki Wiradana yang muda itu. Sehingga dengan demikian,
maka dasar keturunan bagi kedua orang laki-laki itu pun telah
menempatkan kita pada satu pilihan."
Ki Bekel itu pun mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian, "Kami memang tidak berhak mencampuri persoalan
Tanah Perdikan. Apalagi persoalan keluarga Ki Wiradana.
42 SH. Mintardja Namun kami juga tidak ingin Kademangan kami menjadi korban
pergolakan yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan itu."
"Ki Demang," berkata Ki Bekel. "Seharusnya Ki Demang tidak
hanya sekadar mempercayakan diri kepada perlindungan Pajang
yang sedang berperang dengan Jipang. Tetapi sebaiknya Ki
Demang juga berjaga-jaga dengan menyusun kekuatan diri.
Sudah tentu bukan maksudnya untuk menakut-nakuti pihak lain.
Tetapi sekadar untuk melindungi rakyat Kademangan ini dari
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki
Demang tentu sudah mengetahui sebagaimana Ki Demang
katakan, bahwa keadaan di Tanah Perdikan Sembojan masih
belum menentu. Jika kami memenangkan perjuangan kami,
sehingga anak Iswari yang memegang kuasa di Tanah Perdikan
dengan perwalian yang dipegang oleh ibunya, maka keadaan
Tanah Perdikan akan menjadi baik. Juga dalam hubungannya
dengan tetangga. Apalagi jika Pajang memenangkan perang.
Tetapi jika yang berkuasa di Tanah Perdikan tetap Warsi yang
dengan kedok kuasa Ki Wiradana memerintah Tanah Perdikan
Sembojan, maka keadaannya tentu akan jauh berbeda,
sebagaimana Ki Demang rasakan pada saat-saat terakhir ini."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Aku dapat mengerti
keterangan Ki Bekel. Tetapi jika kami ingin menyusun kekuatan,
tidak ada orang yang akan mampu memberikan kepada anak-
anak kami di Kademangan ini."
"Ki Demang akan dapat berhubungan dengan kami," berkata
Ki Bekel. "Kami akan mengusahakan sesuai dengan kemampuan
yang ada pada kami. Beberapa orang pengawal kami memiliki
kemampuan yang memadai meskipun tidak berlebihan. Namun
mereka akan dapat membantu Ki Demang menyusun kekuatan
anak-anak muda yang ada di Kademangan ini menjadi kekuatan
pelindung yang dapat dipercaya. Dengan demikian, untuk waktu
yang akan datang, mungkin kita akan bekerja bersama
menghadapi kekuatan yang selama ini membayangi kekuasaan Ki
Wiradana di Tanah Perdikan, sehingga Ki Wiradana sendiri
43 SH. Mintardja sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa kecuali melakukan apa
yang diinginkan oleh orang-orang itu."
"Terima kasih," berkata Ki Demang. "Tetapi sudah tentu tidak
pada saat sekarang ini. Bukankah di Tanah Perdikan Sembojan
sedang terjadi pergolakan sehingga sulit bagi kami untuk
membuka hubungan" Kami tidak dapat memilih dengan siapa
kami harus berhubungan, karena di Tanah Perdikan ada dua
pihak yang merasa masing-masing memiliki hak dan wewenang."
"Kami mengerti perasaan Ki Demang dan sikap dari
Kademangan ini. Kalian tidak ingin terlibat dalam pertentangan
yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan. Namun kami ingin
memberitahukan, bahwa sekarang Ki Wiradana dan orang-orang
yang mengelilinginya termasuk istrinya telah meninggalkan
Tanah Perdikan. Bukankah kau sudah mendapat laporan bahwa
pasukan Tanah Perdikan telah melewati Kademanganmu tanpa
memberitahukan lebih dahulu" Nah, itulah mereka yang
sekarang menuju ke Pajang."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil
mengangguk ia berkata, "Baiklah Ki Bekel. Kami akan tetap
memelihara hubungan dengan Tanah Perdikan. Tetapi kami akan
mengikuti perkembangan Tanah Perdikan itu lebih dahulu. Baru
kami akan mengambil sikap yang paling tidak buat kepentingan
kami. Seperti kami katakan, kedudukan kami sangat lemah
dihadapan Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu jika Tanah
Perdi- kan Sembojan, siapapun yang berkuasa mengambil
langkah-langkah yang keras terhadap kami maka kami tidak akan
dapat berbuat apa-apa kecuali memohon perlindungan. Maka
jika Jipang menang, kami akan dalam keadaan yang sulit. Bahkan
mungkin kademangan ini untuk selanjutnya tinggal nama yang
hanya dapat dikenang saja."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, "Kami
mengerti. Tetapi kami dapat juga mengambil langkah-langkah."
Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah maksud Ki Bekel?"
44 SH. Mintardja "Seandainya Jipang menang, kami masih mempunyai
sandaran kekuatan. Yaitu tekad rakyat Tanah Perdikan
Sembojan. Kami yakin bahwa dengan tekad yang mapan dan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulat, kami akan dapat menentukan masa depan kami, Tanah
Perdikan Sembojan. Jipang tidak akan mampu terus-menerus
berada disemua lingkungan kuasanya. Pada suatu saat mereka
akan menarik pasukannya kembali. Karena Jipang sendiri tentu
menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikannya pula,"
berkata Ki Bekel. Namun nampaknya Ki Demang benar-benar sangat berhati-
hati. Karena itu, maka kedua orang Bekel itu pun tidak ingin
dengan tergesa-gesa memberikan pola sikap kepadanya. Jika ia
tergesa-gesa mungkin akan dapat timbul salah paham, sehingga
justru akan merenggangkan hubungan antara kedua tetangga
yang hanya berbatasan pagar itu.
Kedua orang Bekel bersama para pengawalnya itu pun
kemudian mohon diri. Ternyata mereka pun merasa bahwa
sebaiknya mereka juga menemui Demang yang lain di perbatasan
sebelah yang lain pula. Namun sementara Ki Demang itu juga sempat berpesan, "Ki
Bekel. Kami mohon, untuk sementara biarkan kami mengamati
apa yang terjadi. Baru kami akan menentukan sikap kemudian."
"Baik Ki Demang. Kedatangan kami kali ini adalah dalam
rangka permohonan maaf kami, karena kami telah melanggar
perbatasan. Sementara persoalan yang lain adalah sekadar
persoalan yang akan dapat Ki Demang jadikan bahan
pertimbangan," sahut Ki Bekel.
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah maka kedua orang Bekel dan para pengawalnya
itu pun segera kembali ke Tanah Perdikan Sembojan. Tanah
Perdikan yang sedang mengalami pergolakan karena pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikannya yang sedang dibayangi oleh
kekuasaan yang telah menjeratnya sehingga tidak mampu
45 SH. Mintardja berbuat sesuatu atas landasan penalarannya sendiri sesuai
dengan kepentingan Tanah Perdikan Sembojan.
Namun ternyata bahwa kekuasaan yang memerintah dengan
pengaruh yang buram itu telah terdesak ke luar dari Tanah
Perdikan Sembojan. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui dengan pasti,
apakah kekuasaan itu akan kembali lagi atau tidak.
Namun bagi mereka yang harus menggantikan tugas
kepemimpinan di Tanah Perdikan Sembojan mempunyai
perhitungan, justru mereka akan kembali dengan kekuatan yang
lebih besar. Apakah mereka akan datang bersama kekuatan
Kalamerta atau dengan kekuatan Jipang setelah mereka
mengalahkan Pajang. Atas dasar perhitungan itulah maka mereka yang memegang
pimpinan yang baru di Tanah Perdikan Sembojan berusaha
mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Iswari yang mewakili anaknya yang berhak menggantikan Ki
Wiradana jika Ki Wiradana berhalangan, telah memanggil semua
Bekel dari padukuhan-padukuhan. Ternyata bahwa sebenarnya
pendirian semua Bekel tidak berbeda. Tetapi mereka tidak berani
dan tidak mendapat kesempatan untuk menyatakannya.
Sejak kekuasaan para Bekel dikurangi, bahkan kemudian
seolah-olah telah dihapuskan sama sekali, digantikan dengan
kekuasaan para pemimpin pengawal, maka perasaan para Bekel
itu mulai goncang. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu
karena kekuatan para pengawal yang semakin besar justru
dibawah pengaruh para perwira dari Jipang.
Pada pertemuan itulah Iswari memberi kesempatan kepada
mereka untuk menyatakan sikap mereka terhadap Tanah
Perdikan Sembojan. Sikap para Bekel itu bulat. Mereka harus menegakkan
pemerintahan di Tanah Perdikan Sembojan sebagaimana
seharusnya. Mereka harus menempatkan Tanah Perdikan
46 SH. Mintardja Sembojan dibawah perlindungan Pajang. Bukan Jipang,
sebagaimana telah berlangsung beberapa waktu sejak Pajang
memegang kekuasaan yang dilimpahkan oleh Demak sebagai
sebuah Kadipaten sebagaimana Jipang.
"Terima kasih," berkata Iswari. "Tetapi kebulatan tekad itu
harus kita dukung dengan langkah-langkah yang nyata."
"Tentu," jawab seorang Bekel. "Meskipun aku terlambat
selangkah dibandingkan dengan ketiga orang Bekel yang telah
menunjukkan sikapnya, namun aku akan berusaha melengkapi
kekurangan itu sekuat tenaga."
"Kita akan bekerja keras," berkata Iswari. "Menjelang dendam
yang tentu membara dihati orang-orang yang sekarang
meninggalkan Tanah Perdikan ini melanda kita semua, maka kita
harus siap menghadapinya. Kita masih mempunyai anak-anak
muda meskipun sudah banyak berkurang karena mereka harus
menjadi umpan di Pajang. Namun kita masih meyakini kita,
siapapun yang kita hadapi, karena di samping anak-anak muda
dan remaja, kita semua akan berbuat apa saja."
"Yang sudah terjadi merupakan pelajaran pahit namun yang
dapat kita jadikan satu pengalaman yang berharga," berkata salah
seorang Bekel, "Tetapi yang penting, bagaimana kita dapat
menempatkan diri kita masing-masing."
"Aku mengerti," berkata Iswari. "Semua harus kembali kepada
wadah dan isinya masing-masing."
"Tetapi harus ada saling pengertian dengan para pengawal,"
berkata Bekel yang lain. "Jangan sampai terjadi, dahulu kita yang
merasa dikurangi hak kita, sedangkan sekarang para pengawallah
yang merasa diperlakukan demikian."
"Kita akan mengambil keseimbangan tugas dan kewajiban kita
masing-masing," jawab Iswari. "Semua akan dikembalikan
kepada paugeran yang berlaku. Meskipun belum terlalu lama,
tetapi aku pernah mendampingi pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan, justru sebelum jabatan itu dipangkunya,
karena pada saat itu Ki Gede masih ada, sehingga aku pernah
47 SH. Mintardja mengikuti jalannya pemerintahan di Tanah Perdikan ini,
sebagaimana dilakukan oleh Ki Gede pada waktu itu. Sementara
itu, para bebahu tentu masih memahami apa yang harus kita
lakukan." Ternyata para Bekel itu menjadi semakin mantap mengambil
langkah. Seolah-olah mereka telah menemukan kembali apa yang
hilang selama Ki Wiradana memegang pimpinan. Waktu yang
pendek itu ternyata telah mengubah wajah Tanah Perdikan
Sembojan menjadi sangat buram dan pucat sehingga
mencemaskan sekali. "Setelah kita keluar dari ruangan pertemuan ini," berkata
Iswari. "Kita akan mulai dengan langkah-langkah yang harus kita
lakukan dengan cepat. Kita akan mempersiapkan diri kita dan
seluruh rakyat Sembojan menghadapi satu masa yang berat dan
rumit. Pada saat terakhir, kehidupan di Tanah Perdikan ini telah
meluncur turun dengan derasnya, sehingga Tanah Perdikan ini
mengalami taraf kehidupan dan kesejahteraan yang pahit.
Bahkan nilai-nilai kehidupan dan harga diri telah rusak karena
tingkah laku beberapa orang yang lebih berkuasa dari pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Para Bekel pun mengangguk-angguk. Meskipun tidak
diucapkan, tetapi mereka telah berjanji di dalam diri mereka
masing-masing, bahwa mereka akan bekerja keras bagi Tanah
Perdikan Sembojan yang hampir saja hancur itu.
Namun dengan sikap sebagaimana dikatakan oleh Iswari,
bahwa Sembojan harus tetap berhati-hati, bahwa pada suatu saat
mungkin akan datang kekuatan yang lebih besar dari yang
meninggalkan Tanah Perdikan itu.
Sejenak kemudian, maka Iswari pun menganggap bahwa
pertemuan itu untuk sementara telah cukup. Para Bekel dan para
pemimpin Tanah Perdikan itu, termasuk para pemimpin
pengawal telah meninggalkan ruang pertemuan. Namun ketika
mereka keluar dari halaman dan menuju ke padukuhan masing-
48 SH. Mintardja masing, mereka masih saja berbincang tentang kerja berat yang
mereka hadapi. *** Sementara itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan
yang dibawa ke Pajang sudah mendekati perbatasan. Sebentar
lagi mereka akan memasuki daerah yang berbahaya, sehingga
dengan demikian mereka harus menjadi sangat berhati-hati.
Pasukan kecil itu tentu tidak akan mampu bertahan, jika
pasukan Pajang mengetahui kehadiran mereka akan
mencegatnya. Karena itu maka perjalanan mereka pun menjadi
semakin panjang, karena mereka berusaha menghindari
kemungkinan yang paling buruk dengan mengambil jalan-jalan
melingkar. Namun berita kedatangan pasukan kecil itu memang sudah
terdengar oleh orang-orang Pajang. Penghubung Pajang yang
selalu mengadakan kunjungan ke tempat yang sudah ditentukan
bersama keluarga Iswari ditempat yang terpencil telah
mendengar apa yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan dan
membawanya ke Pajang. Bahkan beberapa pesan telah sampai pula kepada para
pemimpin di Pajang bahwa ikut dalam pasukan Tanah Perdikan
Sembojan para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan serta
orang-orang yang membayanginya.
Namun kedatangan pasukan kecil itu tidak mencemaskan
Pajang. Ketika Ki Rangga Gupita sampai di perbatasan, maka pasukan
kecil itu pun telah berhenti. Ki Rangga memang cukup berhati-
hati menghadapi medan yang garang di Pajang. Ia tidak langsung
membawa pasukannya. Namun bersama Ki Randukeling ia
berusaha untuk mengamati keadaan.
Ternyata bahwa yang terjadi membuat Ki Rangga menjadi
pening. Ketika bersama Ki Randukeling mereka dimalam hari
49 SH. Mintardja dengan hati-hati mendekati pesanggrahan pasukan Jipang
tempat itu ternyata sudah kosong.
"Gila," geram Ki Rangga Gupita, "Kemana tikus-tikus itu pergi.
Ki Randukeling tidak segera menjawab. Tetapi dalam
keremangan malam ia mengamati keadaan.
"Tempat ini pernah menjadi medan pertempuran," berkata Ki
Randukeling. "Tentu orang-orang Pajang telah menyerang kedudukan
orang-orang kita disini," geram Ki Rangga pula, "Sementara itu
para pengecut itu telah menarik diri."
"Ya. Agaknya pasukan Jipang telah ditarik mundur," sahut Ki
Randukeling. "Tetapi kemana?"
Kedua orang pemimpin pasukan yang dibawa dari Tanah
Perdikan Sembojan itu menjadi gelisah. Pasukan Jipang yang
cukup besar telah terusir dari tempatnya. Apalagi pasukan kecil
itu jika bertemu dengan pasukan Pajang, tentu hanya akan
menjadi debu saja meskipun di antara mereka terdapat beberapa
orang yang memiliki kelebihan.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan," teriak Ki
Randukeling. "Kita akan memikirkan bersama," jawab Ki Rangga,
"Kesalahan ini jangan dibebankan kepadaku seluruhnya."
"Jangan mudah tersinggung," berkata Ki Randukeling.
"Ki Randukeling nampaknya memang berpendapat demikian.
Karena itu, maka Ki Randukeling bertanya kepadaku, apa yang
akan kita lakukan, seolah-olah aku harus menebus kesalahan
yang sudah aku lakukan," sahut Ki Rangga.
"Jangan berpikir pendek," berkata Ki Randukeling. "Kau
adalah seorang di antara para perwira dari pasukan sandi yang
dikirim oleh Jipang untuk satu tugas yang berat. Jika kau cepat
mengambil kesimpulan tanpa penalaran, maka kau akan salah
50 SH. Mintardja langkah. Dan kau tahu akibatnya, jika kesalahanmu itu didengar
Patih Mantahun." Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa
yang berdiri dihadapannya itu adalah orang yang sangat dekat
dengan Patih Mantahun dan bahkan Arya Penangsang sendiri."
"Ki Rangga," berkata Ki Randukeling kemudian, "Aku
bertanya sesungguhnya untuk dipertimbangkan. Bukan
maksudku menyalahkanmu dan membebanimu dengan
pertanyaan yang mengandung tuduhan."
"Kita kembali ke pasukan kita," berkata Ki Rangga, "Kita akan
berbicara dengan orang-orang lain, termasuk Warsi. Apa
pendapatnya." "Apakah tidak lebih baik bagi kita untuk mencari hubungan
lebih dahulu dengan pasukan Jipang?" bertanya Ki Rangga
Gupita. "Kita tidak menemukan seorang pun dipadukuhan yang
kosong itu untuk dapat memberikan keterangan," jawab Ki
Rangga Gupita. "Kita dapat bergeser ke padukuhan yang lain," jawab Ki
Randukeling. "Mudah-mudahan kita tidak terjebak. Aku
menganggap bahwa Ki Rangga adalah seorang yang memiliki
kemampuan dalam tugas sandi. Karena itu, maka kita akan dapat
melakukannya. Tetapi jika perasaan Ki Rangga menjadi gelap,
maka penalaran Ki Rangga pun kabur."
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Ya. Aku memang seorang perwira dari pasukan sandi
Jipang yang terpercaya. Marilah, kita akan mencari keterangan
tentang pasukan Jipang," Ki Rangga berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi bagaimana dengan pasukan kecil itu. Apalagi Warsi
membawa seorang bayi."
"Biarlah mereka untuk sementara mengurus diri mereka
sendiri. Maksudku diri pasukan kecil itu," berkata Ki
Randukeling. "Asal mereka tidak melanggar pesan-pesan kita
51 SH. Mintardja maka agaknya pasukan Pajang tidak akan mengetahui kehadiran
pasukan itu." Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah Ki
Randukeling. Aku akan membuktikan kepada Ki Randukeling,
bahwa aku adalah seorang perwira dari pasukan sandi Jipang."
Demikianlah, keduanya untuk beberapa saat masih mengitari
padukuhan itu. Padukuhan yang sepi, karena penghuninya telah
pergi mengungsi. Untuk beberapa hari tempat itu menjadi
pesanggrahan pasukan Jipang yang ditarik mundur dari garis
pertahanan mereka yang pertama, sementara Ki Randukeling dan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Rangga Gupita pergi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk
mengambil sisa pasukan pengawal yang ada. Namun agaknya
pasukan Pajang sempat menyerang lagi dan mendesak pasukan
Jipang untuk ke luar dari padukuhan itu.
Namun tiba-tiba saja Ki Rangga berdesis, "Naluriku meraba
sesuatu yang kurang wajar Ki Randukeling."
"Naluri seorang petugas sandi. Kau benar Ki Rangga," jawab
Ki Randukeling. "Kita harus berhati-hati."
Keduanya menjadi semakin waspada menghadapi medan yang
samar-samar itu. Angin malam yang dingin dan suasana yang
sepi senyap terasa menyimpan sesuatu yang mendebarkan.
Untuk sesaat kedua orang itu masih berusaha mengetahui
tentang padukuhan itu. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut
ketika mereka mendengar suara ribut dari sesuatu yang kurang
mereka perhatikan. Dua ekor angsa yang terbangun dari tidurnya
telah menjerit-jerit memecah sepinya malam.
"Kita tidak pernah memikirkannya bahwa binatang itu akan
membuat gaduh," berkata Ki Rangga.
"Perhatian kita tidak tertuju kepada mereka," berkata Ki
Randukeling. "Namun siapa tahu, bahwa binatang ini memang
dilepaskan dihalaman belakang ini."
"Dengan maksud tertentu," sahut Ki Rangga.
52 SH. Mintardja "Marilah, kita tidak ingin terjadi keributan disini. Aku yakin
bahwa padukuhan ini tidak kosong tanpa penghuni sama sekali,"
berkata Ki Randukeling. Keduanya pun kemudian bergeser surut, sementara dua ekor
angsa itu masih saja berteriak-teriak dengan ributnya.
Namun langkah mereka kemudian tertegun ketika mereka
mendengar langkah-lankah cepat disekitarnya, "Bukan langkah
seorang angsa yang berteriak-teriak itu. Tetapi langkah-langkah
beberapa orang yang telah mengepung mereka.
"Terlambat," desis Ki Rangga.
"Apa boleh buat," berkata Ki Randukeling.
Dengan demikian maka kedua orang itu pun justru telah
bergeser ke tengah-tengah. Sementara itu kedua ekor angsa yang
berteriak-teriak itu telah diusirnya pergi.
Sejenak kemudian, beberapa orang memang telah muncul di
halaman itu. Mereka langsung berpencar dan mengepung kedua
orang yang justru telah berada ditempat yang terbuka.
"Siapakah kalian?" bertanya salah seorang yang mengepung
kedua orang Jipang itu. "Kalian tidak dapat mengenal kami meskipun kalian dapat
menduganya. Tetapi dugaan kalian tidak akan selalu benar,"
jawab Ki Rangga. "Baiklah," jawab salah seorang yang agaknya pemimpin dari
orang-orang yang mengepung itu, "Siapapun kalian, maka kalian
adalah tawanan kami sekarang."
"Atas nama pemerintah Pajang yang berkuasa, jangan
melawan," berkata pemimpin dari orang-orang yang mengepung
itu. "Aku sudah yakin bahwa kalian tentu orang-orang Pajang yang
berkuasa dan mendapat tugas untuk berjaga-jaga di padukuhan
ini. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat menangkap kami,"
jawab Ki Rangga. 53 SH. Mintardja Para prajurit Pajang yang telah mengepung kedua orang itu
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian pemimpin pasukan
itu berkata, "Kalian hanya berdua. Apakah kalian memang sedang
membunuh diri?" "Tidak Ki Sanak," jawab Ki Rangga. Sudah tentu kami ingin
tetap hidup. Tetapi bukan sebagai dua orang tawanan."
"Jika demikian, baiklah. Kami akan memaksa kalian untuk
menjadi tawanan. Kami bertujuh sekarang. Apakah kalian akan
melawan kami?" bertanya pemimpin prajurit Pajang itu.
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling ke
arah Ki Randukeling, dilihatnya Ki Randukeling mengangguk.
Karena itu maka katanya, "Meskipun kami hanya berdua, tetapi
kami ingin menunjukkan kepada kalian, bahwa kami tidak mau
menjadi tawanan. Atau kami terkapar mati disini."
"Bagus," jawab pemimpin prajurit Pajang itu, "Aku mengenal
sifat jantan seperti ini. Kau tentu seorang petugas sandi Jipang."
"Terima kasih atas pujian ini," jawab Ki Rangga. "Tetapi
marilah kita buktikan, apakah kalian benar-benar akan dapat
menangkap kami." Pemimpin prajurit Pajang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun
kemudian bersiap bersama para prajurit yang mengepung kedua
orang itu. Beberapa helai pedang telah bersilang di dada,
sementara beberapa ujung tombak telah mulai merunduk.
Ternyata bahwa Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling pun
telah menanggapi sikap prajurit Pajang itu dengan wajar. Kedua
orang itu pun telah mencabut senjata mereka pula. Juga helai-
helai pedang yang mendebarkan disentuh cahaya bintang
dilangit. Para prajurit itu melihat dua helei pedang yang berbeda. Ki
Rangga mempergunakan sehelai pedang yang berwarna keputih-
putihan dan berkilat-kilat memantulkan cahaya bintang.
Sementara pedang Ki Randukeling adalah justru agak kehitam-
hitaman. Namun dari daun pedang yang kehitam-hitaman itu
54 SH. Mintardja seakan-akan nampak warna kemerahan seolah-olah daun pedang
itu telah membara. Para prajurit Pajang itu sadar, bahwa mereka telah bertemu
dengan petugas pilihan. Karena itu, maka mereka pun harus
berhati-hati. Meskipun mereka bertujuh, namun kedua orang itu
harus dinilai sebagaimana mereka berhadapan dengan lawan
yang seimbang. Pemimpin prajurit Pajang itu pun melangkah semakin dekat
sebagaimana prajurit yang lain. Senjata mereka mulai bergetar
sementara Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling pun telah
bersiap. Ketika pemimpin prajurit Pajang itu mulai menjulurkan
pedangnya, maka senjata-senjata yang lain pun mulai mematuk
pula. Dengan demikian, maka segera terjadi pertempuran yang seru.
Ketujuh prajurit Pajang itu adalah prajurit-prajurit yang cukup
terlatih. Tetapi lawan mereka adalah seorang perwira terpilih dari
pasukan sandi Jipang dan yang seorang lagi adalah seorang
pertapa yang menyimpan selumbung ilmu di dalam dirinya.
Ki Rangga dan Ki Randukeling yang ada itu berdiri saling
membelakangi. Mereka bertempur melawan siapapun yang
menyerang mereka. Bahkan sekali-kali Ki Rangga pun menyerang
pula dengan garangnya. Namun agaknya Ki Randukeling masih
merasa segan untuk menyerang orang-orang Pajang itu.
Meskipun demikian jika Ki Randukeling itu menangkis setiap
serangan, maka benturan yang terjadi itu telah mendorong
lawan-lawannya beberapa langkah surut.
Pedang Ki Rangga yang berkilat-kilat itu berputaran bagaikan
baling-baling sehingga timbul kabut putih mengelilingi Ki Rangga
Gupita. Sedangkan dibelakang Ki Rangga Gupita, Ki Randukeling
memegang pedangnya seakan-akan tidak bergerak sama sekali.
55 SH. Mintardja Hanya pada saat-saat pedang lawannya mematuk tubuhnya maka
pedang itu bergetar sesaat, namun cukup melemparkan arah
sasaran senjata lawan menyamping.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Ketujuh orang prajurit Pajang itu semakin meningkatkan
kemampuan mereka. Latihan-latihan yang berat di segala medan,
serta pengalaman mereka menghadapi lawan yang berilmu tinggi,
memberikan landasan pada tata gerak mereka.
Namun ternyata mereka sangat sulit untuk mengatasi
kemampuan lawan. Tetapi sementara itu, pemimpin kelompok kecil itu pun telah
memusatkan perlawanannya terhadap Ki Rangga yang
dianggapnya lebih mudah diatasi daripada Ki Randukeling.
Menurut penglihatannya Ki Randukeling memiliki ilmu yang sulit
untuk dijajagi. Dengan demikian maka pemimpin kelompok kecil
itu ingin berusaha untuk mengakhiri perlawanan Ki Rangga lebih
dahulu, baru kemudian Ki Randukeling.
Untuk beberapa saat, pertempuran itu masih berlangsung
dengan sengitnya. Pemimpin kelompok itu berusaha untuk dapat
menembus kemampuan bermain pedang Ki Rangga yang
tubuhnya bagaikan berperisai kabut putih.
Dua orang prajuritnya telah mendapat isyarat untuk
memusatkan serangannya dari arah lambung sebelah
menyebelah. Sedangkan pemimpin kelompok itu akan
menyerang ke arah dada. Sementara empat orang lainnya harus
berusaha mengikat Ki Randukeling dalam pertempuran, apapun
yang dapat mereka lakukan.
Usaha pemimpin kelompok itu memang mulai menggetarkan
pertahanan Ki Rangga. Serangan yang datang dari tiga arah itu
kadang-kadang membuatnya bergeser satu dua tapak.
Dengan demikian maka pemimpin kelompok kecil itu
mempunyai perhitungan, bahwa pertahanan Ki Rangga itu sudah
mampu digoyahkannya meskipun baru sedikit. Tetapi dengan
kerja keras, maka sedikit sedikit pertahanan itu tentu akan pecah.
56 SH. Mintardja Berbeda dengan Ki Randukeling. Pertahanannya masih sangat
mantap. Ia seakan-akan sama sekali tidak mengalami kesulitan
bertempur melawan empat orang prajurit Pajang. Hanya sekali-
kali saja terdengar ia justru memuji, "Bagus. Kau benar-benar
seorang prajurit pilihan."
Namun yang disebut prajurit pilihan itu harus meloncat surut
untuk menghindarkan diri dari patukan ujung pedang yang
kehitam-hitaman itu. Dalam pada itu, pemimpin kelompok yang melihat pertahanan
Ki Rangga menjadi berguncang menjadi semakin garang
menyerang bersama-sama dengan dua orang prajuritnya.
Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin cepat, sehingga
gumpalan awan putih yang menjadi perisai Ki Rangga seakan-
akan telah mulai terkoyak.
Ki Rangga menggeram mengalami perlakuan seperti itu. Ia
tidak dapat mengelak bahwa ilmu pedang prajurit-prajurit Pajang
memang cukup tinggi, sehingga ujung-ujung senjata mereka
mampu mengoyak kabut pertahanannya.
Karena itu, maka Ki Rangga pun telah sampai ke puncak
kemampuannya. Ia tidak saja bersandar kepada kemampuan
ilmu pedangnya. Tetapi Ki Rangga mulai merambah kepada
kekuatan ilmunya. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun
keseimbangannya telah berubah pula.
Ketika para prajurit Pajang itu menyerang semakin cepat,
maka rasa-rasanya tiba-tiba saja tangannya telah menyentuh api.
Hulu senjata mereka bagaikan menjadi panas membara. Para
prajurit itu terkejut karenanya. Mereka bergeser selangkah surut,
sementara Ki Rangga mulai memutar lagi pedangnya dan
kabutpun nampak diseputar tubuhnya.
"Hati-hati," berkata pemimpin kelompok prajurit itu, "Orang
itu memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Ia mampu
menyalurkan panasnya api lewat sentuhan senjata. Karena itu,
usahakan, serangan-serangan kalian jangan dapat ditangkis."
57 SH. Mintardja Tetapi sangat sulit bagi para prajurit itu untuk mampu berbuat
demikian. Namun mereka pun berusaha untuk meningkatkan
kecepatan gerak serta kerja sama di antara mereka, sehingga
kemungkinan serangan-serangan mereka tersentuh senjata lawan
menjadi semakin kecil. Namun Ki Rangga tidak membiarkan mereka mendapat
kesempatan untuk berbuat demikian. Ki Rangga lah yang
kemudian justru lebih menyerang, sehingga ketiga orang
lawannya itu mengalami kesulitan. Mereka berusaha untuk
menghindari serangan-serangan dan tidak menangkisnya.
Namun mereka tidak dapat berbuat demikian selanjutnya.
Sekali-kali mereka memang harus menangkis meskipun tangan
mereka seakan-akan telah menyentuh bara.
Hanya dengan kerja sama yang rapi sekali maka mereka telah
mendapat kesempatan untuk memperbaiki kedudukan masing-
masing jika tangan mereka rasa-rasanya bagaikan terkelupas.
Sementara itu, keempat orang prajurit yang bertempur
melawan Ki Randukeling pun telah mendapatkan kesulitan pula.
Ketika Ki Randukeling mulai merasa jemu, maka sekali-kali ia
mulai menyerang. Bahkan seorang di antara keempat prajurit itu
telah terluka dilengannya. Meskipun ia masih juga dapat
bertempur terus, tetapi dari lengannya itu telah menitik darah.
Dalam keadaan demikian, maka pemimpin kelompok kecil itu
mulai berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Sebenarnya bahwa kelompok kecil prajurit Pajang itu memang
menjadi semakin terdesak. Jika mula-mula mereka mengepung
kedua orang Jipang itu, namun akhirnya mereka bergeser surut
sehingga kepungan itu menjadi sangat longgar.
Karena itu, maka bagi mereka tidak ada pilihan lain, bahwa
mereka harus memberikan isyarat kepada kawan-kawan mereka
untuk datang ke arena dan bersama-sama menangkap kedua
orang itu. 58 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka terdengar pemimpin kelompok itu
bersuit nyaring. Dua kali berturut-turut.
Isyarat itu memang mengejutkan dua orang kawannya yang
berada di sebelah rumah yang mereka pergunakan selama
mereka berada dan bertugas mengamati padukuhan yang telah
dikosongkan oleh orang-orang Jipang karena serangan orang-
orang Pajang. Dengan demikian kedua orang itu menyadari, bahwa kawan-
kawannya mengalami kesulitan menghadapi orang-orang yang
tidak dikenal. Karena itu, maka ia pun telah membunyikan isyarat kentongan
untuk melaporkan apa yang terjadi itu kepada induk pasukan
yang bertugas di padukuhan itu.
Suara kentongan itu ternyata telah berpengaruh atas Ki
Rangga dan Ki Randukeling. Mereka sadar, bahwa isyarat itu
berarti panggilan bahwa prajurit-prajurit yang lain untuk datang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke tempat itu. Karena itu, maka Ki Rangga dan Ki Randukeling itu pun telah
mengambil satu keputusan.
"Tidak ada gunanya kita berada disini Ki Rangga," berkata Ki
Randukeling. Ki Rangga menggeram. Sebenarnya ia ingin menghancurkan
lawan-lawannya jika ia mendapat waktu agak lebih banyak.
Pengaruh panas ditangan para pengawal itu sudah menjadi
semakin jelas, sehingga beberapa saatlagi, ia merasa yakin dapat
membinasakan ketiga orang lawannya. Tetapi isyarat itu telah
memanggil prajurit lebih banyak lagi, sehingga dengan demikian
kemungkinan lain akan dapat terjadi.
Karena itu, maka dengan geram ia berdesis, "Kalian memang
orang-orang licik. Aku tidak mengira bahwa prajurit-prajurit
Pajang adalah prajurit-prajurit yang licik dan pengecut seperti
ini." 59 SH. Mintardja Pemimpin kelompok kecil itu menjawab, "Kenapa licik?"
Bukankah kami dapat mengerahkan kekuatan berapapun juga
untuk menangkap pencuri" Bukan hanya satu dua orang tetapi
seluruh padukuhan?" "Kami bukan pencuri," teriak Ki Rangga.
"Apa bedanya?" sahut pemimpin kelompok itu.
Darah Ki Rangga bagaikan mendidih. Namun sementara itu ia
pun menyadari bahwa prajurit Pajang memiliki kemampuan
bergerak cepat. Karena itu, maka seperti yang dikatakan oleh Ki
Randukeling maka mereka berdua tidak akan ada gunanya
berdua berada di tempat itu.
Karena itu, maka dengan satu isyarat, Ki Rangga pun telah
bergeser meninggalkan arena disusul oleh Ki Randukeling.
Prajurit Pajang itu tidak mampu mencegah keduanya karena
mereka memang tidak memiliki kekuatan untuk itu. Dengan
berat hati para prajurit itu harus melepaskan keduanya keluar
dari lingkaran kepungan mereka.
Ternyata prajurit Pajang memang mampu bergerak cepat.
Hanya sekejap kemudian, maka beberapa orang prajurit telah
berdatangan. Bersama dengan ketujuh orang yang kehilangan
lawannya itu mereka erusaha mengejarnya. Bahkan prajurit yang
berada di rumah-rumah yang lain pun telah ke luar pula dan
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun prajurit-prajurit Pajang itu tidak mampu menemukan
Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling, yang sejenak kemudian
telah berhasil ke luar dari padukuhan.
Dengan hati-hati mereka menelusuri pematang di antara
tanaman jagung yang tumbuh agak tinggi, sehingga mereka tidak
mudah dapat dilihat dari kejauhan.
"Gila," geram Ki Rangga. "Kita datang terlambat."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Rangga berkata sejujurnya, "Semua ini akibat kebodohan
60 SH. Mintardja Wiradana. Jika ia mampu mengendalikan Tanah Perdikannya,
maka tentu tidak akan terjadi pemberontakan yang dapat
menghambat kepergianku kemari dengan membawa meskipun
hanya sekelompok kecil pasukan pengawal."
"Jangan membebankan kesalahan sepenuhnya kepada Ki
Wiradana," sahut Ki Randukeling. "Ia tidak lagi banyak dapat
berbuat di Tanah Perdikan Sembojan justru karena kehadiran
kita disana." "Itu adalah kelemahannya yang utama," sahut Ki Rangaga
yang beberapa kali mengalami kekecewaannya, "Jika ia berdiri
pada satu sikap, maka orang lain tidak akan mudah
mempengaruhinya." "Kita tidak sekadar mempengaruhinya," berkata Ki
Randukeling. "Aku datang memang untuk memaksakan pendapat
dan sikapku, sebagaimana keinginan Ki Rangga. Wiradana bukan
seorang yang lemah hati, atau katakanlah bukan semata-mata
karena kelemahan hatinya saja yang telah membuat Tanah
Perdikannya menjadi sulit, tetapi kita memaksakan kehendak
kita dengan kekerasan. Ki Wiradana bukan seorang yang
memiliki ilmu tinggi. Terhadap istrinya saja ia sudah tidak
mampu melawannya." "Tetapi Warsi menjeratnya tidak dengan kekerasan" jawab Ki
Rangga. "Aku tidak menolak bahwa Ki Wiradana mempunyai
kelemahan. Tetapi kesalahan Ki Wiradana, tidak mutlak dalam
hal ini." jawab Ki Randukeling.
Ki Rangga tidak menjawab laki. Ketika mereka meloncat ke
jaan yang membujur di tengah-tengah bulak maka mereka tidak
melihat seorang pun, sehingga mereka yakin, bahwa orang-orang
Pajang tidak mengejar mereka sampai ke jalan itu.
Dengan demikian, maka keduanya telah berjalan dengan cepat
menuju ke tempat mereka bersembunyi bersama pasukan yang
dibawa dari Tanah Perdikan Sembojan. Untunglah mereka
mendapat perlindungan dari sebuah hutan kecil yang terbentang
61 SH. Mintardja menyilang di antara bulak-bulak panjang yang diantarai sebuah
padang perdu luas dan nampaknya memang agak gersang.
Demikian keduanya sampai diantara para pemimpin pasukan
yang datang dari Tanah Perdikan Sembojan itu, maka keduanya
segera menceritakan apa yang telah terjadi dengan pasukan
Jipang. "Kita terlambat" geram Ki Rangga yang masih saja dibakar
oleh perasaan kecewa."
"Ya" desis Warsi "kita dihambat oleh persoalan,persoalan yang
timbul di Tanah Perdian."
"Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itulah
yang dungu" geram Ki Rangga.
"Sudah aku katakan" potong Ki Randukeling, "bukan salahnya
sepenuhnya. Tetapi aku tidak menyangkal bahwa ia mempunyai
banyak kelemahan." Ki Wiradana hanya menundukkan kepalanya saja. Ia termasuk orang yang dibicarakan diantara para pemimpin. Bukan orang
yang membicarakan, apalagi menentukan sebagaimana seorang
Kepala Tanah Perdikan; Betapa perasaan keceva dan menyesal melecut hatinya, namun
Ki Wiradana sudah dibelit oleh keadaannya yang sekarang,. Dan
ia tidak akan dengan mudah dapat melepaskann diri. Apalagi jika
ia menyadari betapa besarmya dendam Iswari kepadanya, karena
Iswari tentu sudah tahu segala-galanya karena pengkhianatan
Serigala Betina itu. Karena itu, ia tidak akan dapat melarikan diri, dan me-
nyeberang kepada orang-orang yang menentang kuasa yang ada
di Tanah Perdikan itu dan yang ternyata telah berhasil
melemparkan mereka keluar, meskipun agaknya persoalan di
antara mereka itu masih belum selesai.
Sementara itu, maka terdengar Warsipun bertanya, "Sekarang
apa yang sebaiknya kami lakukan?"
62 SH. Mintardja "Aku Harus menemukan dimana pasukan Jipang itu
menyusun pertahanannya yang terakhir" jawab Ki Rangga
"Satu tugas yang rumit, tetapi itu harus dilakukan" sahut Ki
Randukeling, "aku sanggup membantu Ki Rangga."
"Terima kasih" berkata Ki Rangga, "sebenarnya ada jalan lain
yang dapat ditempuh, Dengan wajah yang tidak mudah dikenal,
beberapa orang dari kita dapat,mencari keterangan dengan cara
yang berbeda-beda." "Aku bersedia" berkata Ki Sudagar, "mungkin aku dapat
melakukannya dengan menghubungi dan mendengarkan orang
berbicara di pasar-pasar."
"Mungkin" jawab Ki Randukeling, "tetapi apakah kira-kira
disekitar peristiwa itu ada juga pasar yang masih banyak
dikunjungi orang" Mungkin pasar akan menjadi sepi, dam orang-
orang padukuhan pun telah mengungsi."
Ki Sudagar itu mengangguk"angguk. "Ya. Memang mungkin
demikian." "Baiklah" berkata. Ki Rarugga "aku dan Ki Randukeling akan
melihat suasana besok siang, Baru kita akan menentukan
langkah-langkah. Mungkin ada beberapa orang diantara kita yang
dapat mencari keterangan;"
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Kita pergunakan kesempatan ini untuk beristirahat
barang sebentar. Besok kita masih mempunyai tugas yang berat,
sementara kita semuanya masih akan tetap tinggal di hutan ini.
Mudah"mudahan tidak ada perubahan udara, sehingga awan
yang hitam tidak berada diatas hutan ini. Jika turun bujan,
kasihan anak Warsi itu,"
"Yang terjadi ini merupakan pembajaan bagi anakku" berkata
Warsi "ia benar-benar akan menjadi manusia baja kelak dan akan
dapat mengemban tugasnya sebagai pengganti ayahnya dengan
cara yang jauh lebih baik dari ayahnya itu sendiri."
63 SH. Mintardja Wiradana tidak menyahut. Tetapi sekilas ia pun teringat
bahwa Iswari pun telah mempunyai seorang anak, yang menurut
pendengarannya juga laki-laki. Apalagi tunggul kuasa yang
dilimpahkan oleh Pajang ada ditangan Iswari pula.
Ki Wiradana memegangi kepalanya yang terasa pening. Dua
orang keturunannya akan dapat berhadapan sebagai lawan yang
bebuyutan, didukung oleh kekuatan yang besar sehingga masing-
masing memiliki landasan berpijak yang kuat.
Sementara itu, para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan
itu telah berusaha untuk mempergunakan waktunya beristirahat
barang sejenak. Namun mereka hampir tidak dapat memejamkan
mata mereka karena kegelisahan yang bergejolak di dalam dada
mereka. Esok pagi harus menemukan jalan untuk mencari pasukan
Jipang yang terdesak. Namun Ki Rangga telah dapat memperkirakan arahnya
meskipun mungkin dapat juga keliru.
Tetapi sementara itu, di luar pengetahuan Ki Rangga dan Ki
Randukeling, dua orang perwira petugas sandi dari Pajang telah
berhasil mengikuti pasukan kecil dari Tanah Perdikan itu.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh penghubng dari Pajang
di Tanah Perdikan Sembojan di tempat yang telah ditentukan
bersama dengan keluarga Iswari, maka para petugas sandi Pajang
telah mengamati semua jalur dari Tanah Perdikan Sembojan ke
Pajang. Dengan demikian maka mereka telah melihat kehadiran
pasukan kecil itu dan dimana mereka bersembunyi. Namun
petugas sandi Pajang itu tidak melihat Ki Rangga dan Ki
Randukeling yang pada malam hari keluar dari iring-iringan itu
untuk mencari hubungan dengan orang-orang Jipang.
Tetapi ketika para petugas sandi itu kemudian mendengar dua
orang yang berada di padukuhan yang ditinggalkan oleh orang-
orang Jipang, maka mereka pun segera mengerti, bahwa kedua
orang itu tentu para pemimpin dari pasukan kecil yang baru
datang itu. 64 SH. Mintardja "Mereka ternyata memiliki ilmu yang tinggi," berkata para
prajurit Pajang. Namun Pajang juga mempunyai beberapa orang yang
memiliki ilmu, sehingga seandainya tidak mampu
menghadapinya seorang diri, maka dalam kelompok-kelompok
kecil mereka akan dapat menghadapinya.
"Kita harus menjaga, agar pasukan itu tidak justru pergi ke
Tanah Perdikan Sembojan," berkata seorang perwira Pajang.
"Jika pasukan itu bersama orang-orang Jipang meninggalkan
perbatasan dan menuju ke Sembojan, maka Sembojan akan
menjadi ajang pembalasan dendam."
"Kita akan ikut bertanggung jawab," sahut perwira yang lain.
"Karena itu, maka kita akan membayangi pasukan itu dengan
sebagian kekuatan yang ada di daerah perbatasan ini. Sementara
itu di Tanah Perdikan masih ada sebagian dari kekuatan yang
tertinggal, yang akan dapat membantu menyelamatkan Tanah
Perdikan itu dari dendam orang-orang Jipang dan para
pemimpin yang berpihak kepada Jipang itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Namun dengan demikian
maka berarti bahwa Pajang harus menyiapkan pasukan yang
mampu bergerak cepat dan untuk menempuh jarak panjang
meskipun tidak sejauh Jipang.
Tetapi Pajang akan mencoba cara yang pertama. Jika mereka
selalu mengganggu pasukan Jipang di Pajang, maka pasukan itu
tentu tidak akan bergeser apalagi sebagian.
Namun kecemasan ini telah disampaikan lewat penghubung
ke Tanah Perdikan Sembojan. Di tempat yang terasing
penghubung itu menyampaikan segala pesan para perwira Pajang
kepada keluarga Iswari. Ketika matahari terbit keesokan harinya, maka Ki Rangga dan
Ki Randukeling telah bersiap untuk mencari keterangan tentang
pasukan Jipang. Mereka telah mengenakan penyamaran,
sehingga ujud mereka tidak lebih dari dua orang pengembara
atau dua orang petani miskin.
65 SH. Mintardja Dengan sangat hati-hati kedua orang itu meninggalkan hutan
yang terbentang menyilang bulak itu. Mereka menembus padang
perdu dan langsung menuju ke sebuah padukuhan.
Sementara itu para pengawas dari petugas sandi Pajang hanya
mengawasi pasukan itu dalam keseluruhan sehingga mereka
tidak memperhatikan dua orang dalam penyamaran ke luar dari
hutan itu dan menyusup lewat padang perdu.
Ketika Ki Rangga memasuki padukuhan itu, terasa padukuhan
itu menjadi sepi. Sebagian dari isi padukuhan itu telah
mengungsi meskipun padukuhan itu belum disentuh oleh
peperangan. Namun demikian orang-orang yang masih ada di padukuhan
itu, masih juga melakukan tugas mereka sehari-hari. Bahkan
ketika Ki Rangga dan Ki Randukeling menyusuri padukuhan itu
lebih dalam lagi, maka Ki Rangga menemui sebuah pasar yang
ternyata masih juga banyak dikunjungi orang meskipun agaknya
tidak sebanyak bila keadaan tenang.
Namun Ki Rangga dan Ki Randukeling sempat berada di pasar
itu untuk beberapa saat. Dengan cerdik mereka berhasil
memancing pembicaraan. Namun tidak seorang pun yang tahu
pasti, dimanakah pasukan Jipang itu berada.
Meskipun demikian, Ki Rangga dan Ki Randukeling mendapat
sedikit gambaran, apa yang pernah terjadi di padukuhan yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah dipergunakan oleh pasukan Jipang untuk menyusun
pertahanan mereka. "Pertempuran itu tidak terlalu seru," berkata salah seorang di
antara mereka, "Justru karena Pajang mengirimkan pasukannya
jauh lebih banyak dari pasukan Jipang."
"Dan pasukan Jipang itu tentu telah dihancurkan," pancing Ki
Rangga Gupita. "Menurut pendengaranku, pasukan Jipang itu sempat
melarikan diri. Menurut para prajurit Pajang yang tersebar di
antara orang-orang padukuhan, Pajang tidak berniat untuk
66 SH. Mintardja menghancurkan pasukan Jipang itu, kecuali mengusirnya," jawab
orang di pasar itu. Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Tetapi orang itulah yang bercerita lebih jauh, "Pajang ternyata
telah memanggil anak-anak muda dari berbagai padukuhan
untuk ikut berjuang bersama para prajurit. Menurut kabar yang
tersebar, pasukan Jipang itu juga terdiri dari anak-anak muda
dari padukuhan-padukuhan karena Jipang sudah kehabisan
prajurit." Hampir saja Ki Rangga mengumpat. Untunglah bahwa ia
sempat melihat Ki Randukeling tersenyum, sehingga karena itu,
maka ia pun telah tersenyum pula.
Namun Ki Rangga tidak mau mendengarkan orang itu
berbicara lebih banyak agar ia tidak lupa diri dan berbuat sesuatu
yang dapat merusak penyamarannya. Karena itu, maka keduanya
pun segera bergeser dari orang itu untuk melihat-lihat isi pasar
yang agak sepi itu. Tetapi mereka tidak terlalu lama berada di pasar itu. Ketika
dari orang lain mereka juga mendengar hal yang serupa, maka
keduanya telah mengambil keputusan untuk berusaha mencari
padukuhan yang dipergunakan oleh orang-orang Jipang untuk
membangunkan pertahanannya.
Mereka melakukannya dengan sangat hati-hati agar mereka
tidak bertemu dengan orang-orang Pajang. Di padukuhan-
padukuhan lain, mereka juga berusaha memancing keterangan
tentang orang-orang Jipang itu.
Ketika mereka melihat dua orang berada di sudut sebuah
padukuhan maka keduanya telah bertanya jalan yang manakah
yang paling aman untuk dilalui.
"Ki Sanak mau kemana?" bertanya salah seorang dari kedua
orang yang ada di sudut padukuhan itu.
"Kami adalah dua orang pengembara," jawab Ki Rangga.
"Kami berasal dari Mangir sebelah Alas Mentaok. Ketika kami
67 SH. Mintardja menginjakkan kaki di Pajang, ternyata Pajang baru dilanda
peperangan. Kami ingin meneruskan pengembaraan kami, tetapi
kami takut tersesat ke perkemahan orang-orang Jipang."
"O," salah seorang di antara kedua orang itu mengangguk-
angguk. "Memang ada dua padesaan yang dipergunakan oleh
orang-orang Jipang. Tetapi keduanya terletak di belakang gumuk
yang berada diseberang sungai. Masih beberapa ratus patok dari
tempat ini." Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya,
"Apakah benar mereka bersikap garang dan menakutkan?"
Orang itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya,
"Yang dilakukan adalah wajar sebagaimana dilakukan oleh para
prajurit di medan. Kadang-kadang garang dan kadang-kadang
keras. Tetapi mereka tidak terlalu banyak memusuhi kami, orang-
orang yang tidak tahu apa-apa tentang perang ini. Mereka
membiarkan saja kami hidup sebagaimana hidup kami sehari-
hari. Namun bagi padukuhan-padukuhan terdekat, timbul juga
kegelisahan dan sebagian besar penghuninya telah mengungsi.
Bahkan orang-orang dari padukuhan ini pun telah banyak yang
mengungsi pula." Ki Rangga mengangguk-angguk. Memang banyak tanggapan
yang didengarnya atas kehadiran pasukan Jipang itu. Namun
bagaimanapun juga bagi orang-orang Pajang, Jipang adalah
musuh mereka. Dengan ancar-ancar itu, maka Ki Rangga dan Ki Randukeling
pun telah dapat mengetahui dimana pasukan Jipang itu
berkemah. Namun mereka pun sadar, bahwa sekitar padukuhan
yang dipergunakan oleh orang-orang Jipang itu tentu terdapat
banyak petugas sandi dari Pajang yang mengawasinya. Karena
itu, maka keduanya harus berhati-hati agar keduanya tidak
masuk ke dalam perangkap mereka.
Ki Rangga adalah seorang perwira dari pasukan sandi yang
berpengalaman. Sedangkan Ki Randukeling adalah seorang
pertapa yang juga memiliki pengalaman yang sangat luas. Karena
68 SH. Mintardja itu, maka keduanya merasa mampu untuk menembus
pengawasan orang-orang Pajang yang ada di sekitar padukuhan
itu. Sebenarnyalah kelebihan kedua orang itu telah mampu
membawa mereka tanpa diketahui oleh orang-orang Pajang yang
selalu mengawasi pasukan itu, apalagi para petugas dari Pajang
itu lebih banyak mengawasi gerak pasukan itu dalam
keseluruhan, sebagaimana para petugas yang mengawasi
sekelompok pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang
bersembunyi di hutan. Kedatangan Ki Rangga memang mengejutkan. Hampir saja
para penjaga mematuknya dengan ujung tombak. Namun dengan
cepat Ki Rangga memberikan penjelasan tentang dirinya dan Ki
Randukeling. "Dimana Senapatimu?" bertanya Ki Rangga.
"Ia berada di padukuhan sebelah," jawab prajurit Jipang itu.
"Apakah padukuhan itu terpisah jauh dan jarak itu diawasi
oleh orang-orang Pajang?" bertanya Ki Randukeling.
"Tidak," jawab prajurit itu. "Padukuhan itu hanya dipisahkan
oleh bulak sempit dan jarak itu sepenuhnya dikuasai oleh kita."
"Bagus," berkata Ki Rangga. "Bawa aku kepada mereka. Para
Senapati pasukan ini."
Dua orang prajurit kemudian mengantar Ki Rangga dan Ki
Randukeling ke padukuhan sebelah untuk bertemu dengan para
pemimpin pasukan Jipang yang sudah semakin terdesak itu.
Kedatangan Ki Rangga memang memberikan harapan kepada
para Senapati Jipang. Namun Ki Rangga ternyata tidak
membawa pasukan yang cukup banyak.
"Meskipun demikian, kedudukan kita akan menjadi semakin
kuat," berkata Panglima pasukan Jipang itu.
"Apakah ada harapan kita untuk mendesak pasukan Pajang?"
bertanya Ki Randukeling. 69 SH. Mintardja "Sulit untuk mengatakannya," jawab Panglima itu. "Tetapi
dengan kekuatan itu, kita akan dapat bertahan disini untuk waktu
yang lama. Kita tidak perlu diusir lagi semakin jauh dari
perbatasan." "Tetapi bagaimana membawa pasukan itu kemari?" bertanya
Ki Rangga Gupita. "Pasukan itu hanya kecil saja. Jika kita
terjebak, maka keadaan akan menjadi sangat sulit bagi pasukan
itu untuk dapat keluar."
Panglima itu pun mengangguk-angguk. Ia pun mengerti,
bahwa pasukan kecil itu agaknya sudah masuk pula ke dalam
pengawasan para petugas sandi Pajang.
Untuk beberapa saat para Senapati itu ber-pikir. Namun
kemudian Panglima itu berkata, "Siapkan pasukan itu. Besok
mereka masih harus bersembunyi. Jika malam datang, maka
sebagian dari pasukan kita disini akan menjemput mereka.
Dengan demikian, maka jika terjadi benturan kekuatan, maka
kita termasuk pasukan yang baru datang itu akan mendapat
kesempatan untuk menarik diri karena kita tidak terlalu lemah.
Dalam keadaan yang khusus, maka akan dikirim isyarat sehingga
seluruh pasukan terpaksa bergerak untuk menyelamatkan
mereka." Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Setidak-
tidaknya kita akan mampu bertahan."
"Terima kasih," berkata Ki Rangga. "Aku akan mempersiapkan
mereka." Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang.
Sehingga akhirnya Ki Rangga dan Ki Randukeling pun minta diri
untuk kembali ke pasukan kecil itu. Besok malam, mereka akan
dijemput oleh kekuatan yang cukup besar meskipun dalam gerak
rahasia. Dengan demikian, maka keduanya telah meninggalkan
padukuhan itu. Sebagaimana mereka datang, maka mereka pun
harus pergi dengan sangat berhati-hati. Namun keduanya cukup
70 SH. Mintardja memberikan bekal kepada mereka untuk melakukan tugas
mereka dengan baik. Sejenak kemudian, maka mereka pun merasa telah terlepas
dari pengawasan para petugas sandi Pajang. Namun ketika
mereka mendekati hutan kecil itu, maka mereka pun kembali
harus sangat berhati-hati, karena mungkin pasukan kecil itu pun
telah diketahui dan selalu diawasi pula.
Menjelang dini hari Ki Randukeling telah berada kembali di
antara pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Mereka pun segera
memberikan laporan, apakah yang telah mereka lakukan.
"Nah, kau dengar kakang," berkata Warsi kepada Ki Wiradana.
"Bukankah sambutan para Senapati Jipang cukup baik. Mereka
akan menjemput kita. Itu adalah pencerminan sikap bertanggung
jawab dari para Senapati Jipang."
"Terima kash," desis Ki Wiradana.
"Terima kasih, terima kasih. Hanya itulah yang dapat kau
lakukan" Sekadar mengucapkan terima kasih?" bentak Warsi.
Ki Wiradana terkejut. Ia tidak tahu maksud Warsi, sehingga ia
justru menjadi bingung. "Kau harus berbangga diri, bahwa pasukan pengawalmu
mendapat kehormatan untuk ikut serta dalam persoalan yang
besar ini. Dengan demikian maka para pengawalmu akan
mendapatkan pengalaman yang cukup, sehingga kelak Tanah
Perdikan Sembojan akan menjadi Tanah Perdikan yang memiliki
kekuatan yang seimbang dengan beberapa Kadipaten. Mungkin
tidak dalam jumlah pasukan, tetapi tingkat kemampuannya akan
memadai," berkata Warsi.
Ki Wiradana mengangguk. Katanya, "Ya. Aku pun berpikir
seperti itu." "Kau tidak pernah mampu memikirkannya," sahut Warsi.
Namun kemudian Warsi pun bertanya kepada Ki Rangga. "Jadi
besok malam kita akan bergabung dengan pasukan induk itu?"
71 SH. Mintardja "Ya. Besok kita harus mempersiapkan diri," berkata Ki
Rangga. "Namun demikian kita harus tetap berhati-hati.
Mungkin pasukan Pajang akan menyergap kita siang nanti."
Warsi mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Ki
Wiradana, "Kau jangan tidur saja. Hati-hati dengan pasukanmu.
Mereka harus selalu siap. Beberapa orang harus tetap
ditempatkan ditepi hutan untuk mengamati apa yang terjadi
diluar hutan dan di padang perdu itu. Kita tidak banyak
mengenal medan disini."
Ki Wiradana hanya mengangguk kecil. Tetapi ia tidak
menjawab sama sekali. Namun dalam pada itu, ketika Ki Rangga Gupita ingin sekadar
beristirahat dengan duduk bersandar sebatang pohon yang besar
menjelang fajar, maka Ki Randukeling telah duduk pula
disampingnya. Dengan tanpa memandangnya Ki Randukeling
bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang pasukan Jipang
disini?" "Tambahan kekuatan ini akan memberikan arti," jawab Ki
Rangga Gupita. "Tetapi agaknya pasukan Jipang disini tidak mempunyai
harapan dalam waktu dekat untuk mendesak pasukan Pajang,"
sahut Ki Randukeling. "Bagaimana jika kita menempuh jalan lain
seperti yang pernah kita bicarakan?"
Ki Rangga mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ragu-
ragu ia bertanya, "Apa yang pernah kita bicarakan?"
"Sejak semula kita berbicara tentang dua kemungkinan yang
dapat ditempuh. Kita bantu Jipang di medan ini lebih dahulu,
atau Jipang membantu memulihkan kewibawaan Tanah Perdikan
Sembojan lebih dahulu, sehingga dengan demikian maka
perlawanan Jipang bersama pasukan Tanah Perdikan Sembojan
menjadi semakin kuat, karena para pengawal dari Tanah
Perdikan ini semakin banyak yang akan dapat membantu
pasukan Jipang di Pajang," berkata Ki Randukeling.
72 SH. Mintardja Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kita sudah berada ditempat ini Ki Randukeling. Apakah
kita akan menarik pasukan ini dan kembali ke Tanah Perdikan
Sembojan" Bukankah itu hanya akan membuang waktu saja?"
"Ki Rangga," berkata Ki Randukeling. "Perang antara Pajang
dan Jipang nampaknya akan berlangsung lama, sehingga dengan
demikian maka waktu yang diperlukan untuk memulihkan kuasa
atas Tanah Perdikan Sembojan itu sama sekali tidak akan
mempengaruhi keadaan."
"Sebenarnya segalanya tergantung kepada Wiradana. Apakah
ia mampu mengendalikan pemerintahan atau tidak. Meskipun
kita kembali dengan pasukan Jipang yang kuat, namun jika
Wiradana tidak mampu memegang pimpinan atas Tanah
Perdikan itu, maka persoalannya akan sama saja. Mereka akan
memberontak lagi, dan kita akan menghadapi mereka dengan
kekerasan sebagaimana yang telah terjadi. Sementara itu,
persoalan Pajang dan Jipang menjadi semakin memuncak
sehingga pada suatu saat kita diperlukan sekali kehadiran kita di
sini, kita tidak ada ditempat," jawab Ki Rangga.
"Aku mengerti," jawab Ki Randukeling. "Tetapi kita jangan
melemparkan kesalahan dengan begitu mudahnya kepada Ki
Wiradana. Aku sama sekali tidak berniat membelanya. Aku juga
tidak begitu senang kepadanya. Tetapi kita harus mengetahui
persoalan yang sebenarnya. Kelemahan kedudukan kita di Tanah
Perdikan Sembojan. Sebagian adalah karena sikap kita terhadap
rakyat Sembojan. Pajak yang terlalu tinggi dan barangkali mereka
juga merasakan ketidaksenangan melihat Ki Wiradana,
pemimpin mereka seakan-akan telah kehilangan kuasanya.
Ditambah lagi pengaruh Nyai Wiradana yang tua di antara rakyat


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sembojan itu sendiri."
"Karena itu Ki Randukeling" berkata Ki Rangga, "Bagiku lebih
baik kita berada disini untuk sementara. Kita akan melakukan
perintah Jipang. Jika kita tidak berada di sini, mungkin Pajang
akan mengirimkan pasukan untuk memperkuat kedudukannya di
73 SH. Mintardja pesanggrahannya diseberang Bengawan Sore yang berhadapan
dengan pasukan Jipang."
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya,
"Jika pasukan ini meninggalkan Pajang dan untuk beberapa hari
berada di Tanah Perdikan Sembojan sudah tentu dengan
persetujuan Jipang. Karena keterlibatan Tanah Perdikan
Sembojan juga atas persetujuan Jipang."
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 19. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke sembilan belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KI RANGGA termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Segala sesuatunya harus dibicarakan dengan
Panglima pasukan Jipang itu di sini. Tetapi Ki Randukeling harus
menyadari, bahwa untuk berbicara tentang kemungkinan itu
harus ada utusan khusus yang menghadap Kanjeng Adipati Arya
Penangsang di Jipang, atau setidak-tidaknya Patih Mantahun
yang keduanya berada di tepi Bengawan Sore berhadapan dengan
pasukan Pajang yang dipimpin oleh Hadiwijaya dengan para
panglimanya yang paling berbahaya. Pemanahan dan Penjawi.
Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
berkata, "Baiklah. Besok pasukan ini akan dijemput. Sementara
itu kita akan dapat berbicara tentang kemungkinan yang lain
yang barangkali dapat kita tempuh."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Jawabnya dengan suara
datar, "Kita tunggu sampai besok Ki Randukeling."
Ki Randukeling mengangguk pula sambil menjawab, "Baiklah.
Aku pun akan beristirahat."
Langit memang sudah menjadi merah. Tetapi Ki Randukeling
bergeser dan mencoba untuk tidur pula barang sejenak.
Sementara itu, beberapa orang pengawal justru telah
terbangun. Mereka telah pergi ke sebuah mata air yang besar
yang terdapat ditengah-tengah hutan kecil itu, sehingga airnya
yang melimpah telah mengalir menjadi sebuah parit kecil yang
berair sangat bening. Dalam pada itu, Ki Wiradana pun telah menyempatkan diri
pula untuk beristirahat. Sementara Warsi berada disamping
anaknya yang masih bayi agar anak itu tidak menangis
kedinginan. Seorang perempuan yang tidak dapat menentang
kemauan Warsi untuk ikut, tertidur pula beralaskan sehelai tikar
kecil yang memang dibawa dari Tanah Perdikan Sembojan. Di
luar sadarnya, dari kedua matanya yang terpejam telah
2 SH. Mintardja mengembun air mata, karena perempuan itu telah menangis di
dalam mimpinya yang buruk.
Sementara itu, di tepi hutan, beberapa orang pengawal yang
bertugas telah mulai terkantuk-kantuk. Ketika langit menjadi
semakin terang, beberapa orang pengawal yang lain telah
menggantikan mereka di beberapa tempat untuk mengamati
padang perdu di luar hutan itu, karena setiap saat sesuatu akan
mungkin terjadi. Menurut perhitungan para pemimpin pasukan
kecil itu, kedatangan mereka tentu telah tercium oleh petugas
sandi di Pajang yang seakan-akan telah menyebarkan telinga dan
mata di batang-batang pepohonan dan gerbang-gerbang
padukuhan. Namun pasukan pengawal yang kecil itu telah dapat
beristirahat dengan tenang dan tanpa gangguan.
Dalam pada itu, pasukan Pajang memang tidak berusaha
untuk mengganggu pasukan Jipang. Kecuali pasukan Pajang
belum tahu pasti kekuatan pasukan Jipang itu meskipun mereka
yakin bahwa pasukan itu hanya pasukan kecil, namun orang-
orang Pajang mempunyai perhitungan tertentu atas pasukan itu.
"Pasukan itu tentu akan bergabung dengan induk pasukan
Jipang disisi Timur Pajang," berkata seorang Senapati Pajang.
"Kenapa kita tidak menghancurkan pasukan itu selagi masih
terpisah dan lemah?" berkata Senapati yang lain. "Bukankah
dengan demikian pekerjaan kita tidak akan menjadi berat, karena
jika pasukan itu telah bergabung dengan induk pasukannya,
maka kekuatan mereka pun akan menyatu."
Senapati yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kita masih memperhitungkan siapakah sebenarnya lawan kita.
Yang datang itu, menurut keterangan dari penghubung kita di
Tanah Perdikan Sembojan, sebagian besar adalah anak-anak
muda Sembojan. Hanya beberapa orang pemimpinnya memang
dipengaruhi oleh Jipang dan berkiblat pada Jipang. Jika kita
menghancurkan pasukan itu, maka anak-anak muda Tanah
3 SH. Mintardja Perdikan Sembojanlah yang akan menjadi korban. Bukan orang-
orang Jipang." "Apakah bedanya?" bertanya Senapati yang lain. "Tanah
Perdikan Sembojan telah memilih Jipang sebagai kiblatnya.
Bukankah dengan demikian berarti bahwa Tanah Perdikan
Sembojan telah menempatkan dirinya sebagai lawan kita"
Bahkan dengan kasar Tanah Perdikan Sembojan dapat disebut
memberontak." "Kau benar adi," jawab Senapati yang pertama. "Tetapi hal itu
bukan dilakukan atas kesadaran seluruh rakyat Tanah Perdikan
Sembojan. Jika kita mempelajari apa yang telah terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan, maka kita menjadi jelas, bahwa kita tidak
akan dapat memusuhi rakyat Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan
kita akan menjadi kasihan terhadap mereka."
Senapati yang lain itu pun menarik nafas dalam-dalam.
Sebenarnyalah bahwa ia pun telah mendengar serba sedikit
tentang susunan pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang datang
dengan panji-panji kebesaran pasukan Jipang.
Pendekar Muka Buruk 16 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Pedang Langit Dan Golok Naga 40
^