Pencarian

Mustika Lidah Naga 7 1

Mustika Lidah Naga 7 Bagian 1


MESTIKA LIDAH NAGA 7 Karya: Panjidarma
Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA
Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang
EDATANGAN Kudawulung di puncak Gunung Li-
Kma gagak, membuat Rangga gembira bercampur
cemas. Gembira karena kecemasan terhadap kesela-
matan gurunya telah sirna. Cemas karena gurunya pu-
lang tanpa Nilamsari.
Maka lalu tanya Rangga, "Apakah Rama Guru tidak
berjumpa dengan Nilamsari di Tegalinten?"
"Nilamsari"!" Kudawulung terkejut. "Apakah dia ke
Tegalinten?"
"Benar," sahut Rangga. "Kami sangat cemas akan
keselamatan Rama Guru, karena sudah empat bulan
Rama Guru meninggalkan tempat ini, sehingga..."
"Ah, Rangga!" potong Kudawulung. "Kenapa aku ha-
rus dianggap seperti anak kecil" Lantas... Nilamsari turun gunung, hanya untuk
mencari-cari aku?"
"Benar, Rama Guru."
"Tolol! Kalian benar-benar tolol!"
Rangga terdiam. Dan akan semakin terdiam sean-
dainya ia mengerti betapa banyaknya persoalan yang
sedang dipikirkan oleh Kudawulung saat itu.
"Seharusnya kalian tetap berlatih. Bahkan dengan
tidak adanya aku di sini, kalian harus lebih giat lagi melatih diri. Dan jangan
memikirkan keselamatanku
segala macam," kata Kudawulung sambil memijit-mijit pangkal hidungnya.
"Aku memang bersalah, Rama Guru. Tapi... bukan-
kah Nilamsari sudah memiliki ilmu yang boleh dian-
dalkan?" Rangga memberanikan diri mengemukakan
pendapatnya. "Ilmunya memang sudah boleh diandalkan," sahut
Kudawulung. "Tapi dia seorang perempuan. Cantik pu-
la. Ah... aku benar-benar kuatir jadinya. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa di
Tegalinten telah muncul
seorang tokoh yang sakti dan berbahaya... sangat ber-
bahaya! Kidangkancana pun telah menjadi korban
manusia setengah siluman itu."
"Maksud Rama Guru... Kidangkancana telah dika-
lahkan oleh...."
"Kidangkancana telah tiada... dibunuh oleh murid-
nya sendiri!"
"Oh! Bagaimana itu bisa terjadi?" Rangga terperan-
jat. "Manusia setengah siluman itu telah mempergunakan ilmu jahatnya untuk
mempengaruhi kehidupan
batin murid Kidangkancana. Hmmm... aku tak me-
nyangka Manusagara masih hidup. Dia telah berhasil membunuh Kidangkancana dengan
cara yang begitu
keji, begitu licik... ah... dia benar-benar iblis! Dan aku... aku tidak mampu
menuntut bela atas kematian
Kidangkancana itu...! Manusagara terlalu tangguh bagiku! Bahkan dengan bantuan
sukma sang Sekarpad-
ma pun, aku tidak berhasil mengalahkannya!"
Rangga tercengang-cengang.
Dan kata Kudawulung lagi, "Pada malam bulan
purnama yang akan datang, aku berjanji untuk melan-
jutkan pertarungan kami yang belum selesai. Tapi aku sangsi... sangsi terhadap
kekuatanku sendiri...!"
"Siapa Manusagara itu, Rama Guru?"
"Sudah kukatakan tadi, Manusagara adalah manu-
sia setengah siluman. Ayahnya seorang bajak laut yang paling ditakuti pada
zamannya, sedangkan ibunya...
siluman wanita yang berkuasa di laut barat. Itulah sebabnya, Manusagara memiliki
ilmu siluman yang san-
gat berbahaya. Ah... aku takut Nilamsari mengalami
nasib seperti murid Kidangkancana itu...!"
Kemudian Kudawulung menceritakan peristiwa
yang telah dialaminya di Tegalinten, sejak melihat Nyi Tiwi membenamkan kerisnya
di dada Kidangkancana,
sampai pertarungannya melawan Manusagara yang
berakhir dengan 'draw' itu.
Selesai menuturkan pengalamannya, Kudawulung
berkata, "Bayangkanlah... aku sudah meminta ban-
tuan ibu angkatku, untuk mengalahkan Manusagara.
Tapi aku tidak berhasil! Kalau aku tidak dibantu oleh sukma sang Sekarpadma,
bahkan pasti aku sudah binasa di tangan manusia setengah siluman itu!"
Mendidih darah Rangga mendengar cerita gurunya
itu. Maka katanya, "Kalau begitu, biarlah aku yang
menghadapi Manusagara pada bulan purnama menda-
tang itu. Karena pada saat itu latihan ilmu pedangku sudah selesai."
"Tidak," Kudawulung menggeleng dengan senyum
getir. "Mungkin kau sekarang lebih tangguh daripada aku, karena engkau sudah
memiliki ilmu pedang yang
tiada duanya, ditambah pula dengan pedang Saptaraga yang telah menjadi milikmu.
Tapi aku tidak mau mengingkari janji. Aku harus menghadapi Manusagara pa-
da malam yang sudah ditentukan itu. Bukan kau,
Rangga." "Tapi, bagaimana kalau Manusagara memasang je-
bakan yang lebih jahat daripada jebakan untuk Ki-
dangkancana tempo hari?"
Kudawulung tersenyum getir lagi. "Apa pun yang
akan dilakukannya nanti, harus kuhadapi dengan ju-
jur dan jantan. Sekalipun aku harus mati dalam pertarungan itu, akan kuhadapi
semuanya."
Lalu suasana menjadi hening. Kudawulung dan
Rangga tenggelam dalam terawangannya masing-ma-
sing. Akhirnya Kudawulung berkata, "Sekarang lan-
jutkanlah latihanmu dengan tekun. Aku harus mencari Nilamsari. Aku agak kuatir
mengenai keselamatannya,
sebab... dia perempuan, Rangga."
"Tapi..." Belum lagi habis Rangga berkata, Kudawu-
lung sudah lenyap dari pandangannya.
Tapi Rangga masih mendengar suara gurunya itu:
"Jangan pikirkan apa-apa sebelum ilmu pedangmu ter-
kuasai, Rangga!"
Tinggallah Rangga dalam sunyinya puncak Gunung
Limagagak, bersama si Jambon yang setia.
Pada mulanya Rangga merasa kecewa, karena Ku-
dawulung meninggalkannya lagi, sementara nasib Ni-
lamsari pun belum ketahuan. Tapi setelah agak lama, Rangga seperti dilecut untuk
membulatkan tekad dan
semangatnya: "Aku harus menyelesaikan pelajaran il-
mu pedang Saptaraga secepatnya, supaya aku bisa be-
bas turun gunung lagi!"
Menurut perhitungan Rangga, ilmu pedang Sapta-
raga akan selesai dipelajarinya selama kurang lebih ti-ga minggu lagi. Tapi
Rangga bermaksud mempercepat-
nya. "Kalau aku rajin dan tak mengenal lelah, mungkin dalam tempo sepuluh hari
lagi juga aku bisa menyelesaikan ilmu pedang ini."
Demikianlah, pada hari itu juga Rangga mulai
menggiatkan dirinya, untuk menyelesaikan pelajaran
ilmu pedangnya.
Namun, keesokan paginya terjadi suatu peristiwa
yang tidak diinginkan...
Pagi itu Rangga sedang giat-giatnya mempelajari ba-
gian ketujuh atau bagian terakhir dari ilmu pedang
Saptaraga. Sementara enam bagian pendahuluannya
sudah dipelajari dan dikuasai. Dan bagian ketujuh
atau terakhir itu, justru merupakan bagian yang paling sulit, sehingga Rangga
sendiri mulai sangsi.
"Ah," pikirnya, "jangan-jangan bagian terakhir ini
tidak akan terselesaikan dalam tempo yang sudah ku-
perhitungkan. Karena bagian terakhir ini merupakan
bagian puncaknya... bagian tersulit dan merupakan
kunci ilmu pedang Saptaraga. Sedangkan bagian kesa-
tu sampai keenam, hanya merupakan dasar jiwa dan
pertahanan belaka."
Tiba-tiba si Jambon mengeluarkan suara sambil
berjalan hilir mudik, seperti gelisah sekali: "Kruuuk...
kk.. krrrr... kruuuk... krr... kruuk...."
Rangga menutupkan kitab ilmu pedang Saptaraga,
lalu menoleh ke arah si Jambon. "Ada apa, Jambon?"
"Kruuuk... krrrr... kruuuuk... krrr... krrrukk...
krruukkk..." sahut si Jambon sambil melompat-lompat ke sekeliling puncak gunung
itu. Rangga mengernyit. Pikirnya, "Suara seperti itu
pernah kudengar. Ya, waktu brahmana yang tidak
mau menyebutkan namanya itu naik ke sini, si Jam-
bon seperti memperingatkanku dengan suara dan
tingkah lakunya yang lain dari biasanya. Dan sekarang ia tampak lebih gelisah
lagi. Apakah ada orang yang sedang mendaki gunung ini?"
Rangga bergegas menyimpan kitabnya di bawah
tumpukan batu besar, kemudian memperhatikan kea-
daan di bawah sana. Dan alangkah terkejutnya Rang-
ga, demi dilihatnya berpuluh-puluh orang sedang
mendaki gunung itu dari segala arah!
"Jambon! Siapa mereka?" tanya Rangga sambil me-
meluk leher burung raksasa itu.
"Kruuk... kruuuk... krrrr... kruuuk... krrr..." sahut si Jambon.
"Apakah mereka bermaksud baik?" tanya Rangga.
Si Jambon menjawab dengan gelengan kepala.
Dan Rangga bertanya lagi, "Lantas, apakah mereka
bermaksud buruk?"
Si Jambon mengangguk!
"Hmmm... baiklah... seandainya mereka bermaksud
buruk, kita akan menghadapi mereka dengan segala
kemampuan yang ada!" seru Rangga sambil memper-
siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Ramalan si Jambon sangat tepat. Mereka yang se-
dang mendaki Gunung Limagagak dari segala jurusan
itu, adalah tokoh-tokoh golongan hitam, yang dipimpin oleh si Jalak Ruyuk
Prabaseta. Dan di antara mereka, terdapat seorang tokoh sakti yang pernah
bertarung mati-matian dengan Kudawulung. Ya, tokoh yang di-
maksudkan itu, adalah Manusagara!
Rupanya Prabaseta telah berhasil meminta bantuan
dari Senapati Prabayani, yang lalu berhasil pula mem-bujuk Manusagara, untuk
berusaha mendapatkan pe-
dang Saptaraga!
Adipati Prabalaya tidak terdapat dalam rombongan
itu, karena ayahnya melarang. Demi 'kewibawaan' sang Adipati, yang tidak pantas
ikut-ikutan dalam rombongan golongan hitam itu. Dengan alasan yang sama, Se-
napati Prabayani pun tidak turut dalam rombongan
itu. Namun kehadiran Manusagara di antara mereka,
tentu saja akan merupakan bahaya besar bagi Rangga, yang justru belum
menyelesaikan pelajaran ilmu pedang Saptaraganya.
*** RANG-orang dari golongan hitam itu berlompatan
Oke se keliling Rangga, dengan bermacam-macam
sikap. Ada yang menyeringai, ada yang membelalakkan matanya, ada yang memilin-
milin kumisnya, ada yang
bertolak pinggang, ada yang tersenyum dingin dan ba-
nyak lagi. Senjata mereka pun bermacam-macam. Ada
yang membawa keris, ada yang membawa golok, ada
yang membawa kujang, ada yang membawa tombak,
ada yang membawa tongkat besi, ada yang membawa
bambu runcing dan sebagainya.
Namun Rangga hanya memperhatikan dua orang di
antara mereka, yakni Prabaseta dan manusia cebol
yang berdiri di sampingnya, yang tak lain dari Manusagara.
Pikir Rangga, "Apakah kakek-kakek cebol ini Manu-
sagara" Ya, sangat mungkin. Rama Guru bilang bahwa
Manusagara berperawakan kate, dan bibirnya selalu
menyunggingkan senyum dingin. Ya, mungkin manu-
sia cebol inilah yang pernah merepotkan Rama Guru,
karena memiliki ilmu yang sangat aneh dan berba-
haya. Hmm... aku harus berhati-hati menghadapinya."
Lalu terdengar suara Prabaseta, "Rupanya engkau
memiliki ilmu dewa, sehingga kelumpuhanmu bisa
sembuh dalam tempo yang begitu singkat..."
"Tak usah ngomong bertele-tele, Jalak Ruyuk! Kata-
kan saja apa maksudmu datang ke sini?" potong Rang-
ga yang masih menaruh dendam terhadap Prabaseta
(karena pernah dilumpuhkan oleh racunnya di Tegalinten).
"Hahahahahaa...! Engkau tetap galak seperti waktu
pertama kalinya kulihat dirimu di Tegalinten! Tapi...
maksud kedatangan kami sekarang, bukan untuk se-
suatu yang buruk. Kami mau bersahabat denganmu,
asalkan engkau mengerti apa yang kami butuhkan
saat ini," ujar Prabaseta dengan pandangan penuh selidik.
Sedikit pun Rangga tak tertarik oleh 'ajakan bersa-
habat' Prabaseta tadi. Karena itu Rangga hanya menja-wabnya dengan senyum
dingin. Dan kata Prabaseta lagi, "Yang kami butuhkan ha-
nya sebuah benda. Mungkin benda itu tidak begitu
berharga bagimu, tapi kami sangat membutuhkan-
nya... untuk menyelamatkan umat manusia dari ke-
musnahan."
Rangga masih membisu.
"Yang kami butuhkan," lanjut Prabaseta, "hanya
sebuah pedang... yakni pedang Saptaraga."
"Apa"!" Rangga terperanjat. Benar-benar terperan-
jat, karena tidak diduganya bahwa Prabaseta bisa
mengetahui adanya pedang yang sangat dirahasiakan
itu! "Engkau tentu tidak tuli," sahut Prabaseta. "Yang kami butuhkan, adalah
pedang Saptaraga... pedang
yang sekarang berada di puncak Gunung Limagagak
ini." Gila, pikir Rangga, dari mana Prabaseta tahu bahwa
aku memiliki pedang Saptaraga" Bukankah benda itu
sangat dirahasiakan" Mungkinkah ia mengetahuinya
dari Manusagara" Mungkin saja... karena menurut ce-
rita Rama Guru, manusia bernama Manusagara ini sa-
ngat tangguh, sehingga Rama Guru pun hampir dika-


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lahkan olehnya! Kalau begitu, aku harus berhati-hati, karena aku sedang
menghadapi kemungkinan yang
sangat berat... bahkan mungkin terberat dalam hidup-ku. Rangga memang sedang
berhadapan dengan bahaya
besar. Saat itu, lebih dari tujuh puluh orang mengeli-linginya, dengan sikap
mengancam. Mereka semua
bukan semacam jagoan-jagoan kelas teri, melainkan
tokoh-tokoh besar golongan hitam Tegalinten. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa
di antara mereka terdapat Prabaseta dan Manusagara.
Tapi Rangga tidak gentar. Dengan sikap penuh ke-
waspadaan, ia tetap berdiri tegak di tempatnya.
"Hai, bagaimana"!" bentak Prabaseta. "Apakah eng-
kau akan menyerahkan pedang Saptaraga secara baik-
baik, ataukah kami harus mengobrak-abrik tempat ini untuk mencarinya sendiri?"
"Prabaseta," sahut Rangga, "seharusnya aku menja-
tuhkan hukuman terhadap siapa pun yang berani
menginjak puncak Gunung Limagagak ini tanpa seizin
guruku terlebih dahulu. Tapi, mengingat bahwa aku
sedang melakukan sesuatu yang tidak membolehkan-
ku main hantam sembarangan, kuampuni kelancan-
ganmu hari ini. Sekarang pulanglah ke tempat kalian masing-masing, dan jangan
ulangi kelancangan seperti ini lagi. Lain kali, kalau kalian berani menginjak
tempat ini lagi, tanpa minta izin terlebih dahulu, jangan salahkan aku kalau
kalian terpaksa kuhukum!"
Tiba-tiba terdengar suara Manusagara, "Hehehe-
heee...! Anak muda seperti ini berani buka mulut besar di depanku"! Siapa
sebenarnya gurumu, wahai anak
muda?" Biasanya Rangga selalu merahasiakan siapa guru-
nya. Tapi pagi itu tidak. Dengan tegar ia menyahut,
"Guruku bergelar Kudawulung. Dan kalau tidak salah, aku sedang berhadapan dengan
Manusagara."
Prabaseta dan kawan-kawannya terkejut. Pikir Pra-
baseta, "Pantasan pemuda ini tangguh sekali. Rupanya dia murid Kudawulung!"
Tapi Manusagara bahkan semakin terkekeh-kekeh.
"Hehehehee! Kusangka orang sakti mana yang menjadi
gurumu itu, sehingga engkau berani pentang bacot di depan mataku! Tak tahunya
engkau hanya murid si
Kudawulung yang beberapa hari yang lalu hampir bi-
nasa di tanganku! Ayo panggil Kudawulung sekarang
ke mari! Katakan padanya, Manusagara menunggu!
Atau perlukah aku sendiri yang harus menyeretnya
supaya gurumu keluar dari tempat persembunyian-
nya?" Rangga baru sekali itu berjumpa dengan Manusaga-
ra. Tapi setelah mendengar cerita dari gurunya, tentang manusia siluman itu,
hati Rangga panas sekali
dan ingin menjajal seperti apa tangguhnya Manusaga-
ra itu. Maka kata Rangga, "Guruku sedang turun gu-
nung. Kalau ada urusan dengannya, bisa berhadapan
denganku. Termasuk dalam persoalan adu jajaten
yang belum selesai itu!"
Manusagara memandang rendah kepada Rangga.
Karena kalau Rangga 'hanya' murid Kudawulung, bu-
kanlah sesuatu yang berat bagi Manusagara. Sebaliknya dengan Rangga, bersikap
hati-hati dan penuh ke-
waspadaan. Bahkan saat itu Rangga berpikir, "Sean-
dainya aku harus bertarung dengan manusia setengah
siluman ini, aku tidak boleh mempergunakan ilmu pe-
dang Saptaraga! Tapi... mungkinkah ilmu yang belum
selesai kupelajari itu bisa dipakai untuk menghadapi lawan yang sangat tangguh?"
*** Dengan sikap mengejek, Manusagara berkata: "Gu-
rumu saja tidak mampu mengalahkan aku. Apalagi
engkau... heheheheee...! Kalau tidak mengingat bahwa kami membutuhkan pedang
Saptaraga, mulutmu yang
lancang itu sudah kubungkam untuk selama-
lamanya." "Sekarang berikan pedang itu pada kami," lanjut
Manusagara. "Atau terpaksa kami akan mengobrak-
abrik tempat ini!"
Ancaman itu justru membuat Rangga sangat ter-
singgung. Maka sahutnya, "Aku tahu bahwa guruku
pernah dibuat kewalahan olehmu. Tapi aku tidak gen-
tar! Seratus Manusagara boleh maju. Dan pedang Sap-
taraga hanya mungkin kalian miliki setelah melangka-hi mayatku terlebih dulu!"
Tokoh-tokoh golongan hitam yang jumlahnya lebih
dari tujuh puluh orang itu, langsung maju dan mengurung Rangga dengan rapatnya.
"Rangga!" bentak Prabaseta, "Untuk yang terakhir
kalinya aku memperingatkanmu... berikan pedang
Saptaraga itu pada kami, atau terpaksa kami melum-
puhkan tubuhmu untuk selama-lamanya!"
Tadinya Rangga mau menjawab dengan tegas saja,
bahwa ia tidak mau berkompromi dengan Prabaseta
dan kawan-kawannya. Tapi secepat itu pula ia berpi-
kir, "Lawan yang begini banyaknya, tidak mungkin di-hadapi dengan kenekatan
belaka. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa di antara mereka terdapat Prabaseta
dan Manusagara. Karena itu... mungkin aku harus
mempergunakan akal untuk menghadapi mereka."
Maka Rangga bertanya, "Apa jaminannya kalau pe-
dang itu kuserahkan kepada kalian?"
Prabaseta tersenyum-senyum dan menyahut, "Hm...
rupanya engkau mulai gentar kepada kami, bukan"!
Tapi itu memang lebih baik daripada sok jago dengan menyerahkan nyawamu
sendiri." "Dengar," lanjut Prabaseta, "kalau kau menyerah-
kan pedang itu secara baik-baik, kami akan segera
berlalu dari tempat ini tanpa mengganggumu lebih lanjut."
"Baik," Rangga mengangguk, lalu memanggil bu-
rung perkasa dari Nusa Aheng, "Jambooon! Ambilkan
pedang Saptaraga ke sini!"
Si Jambon yang sedang bertengger di dahan pohon
kayu, menggelengkan kepalanya sambil menyahut,
"Kaaaak... krruuuk... krrrr...!"
Rangga mengerti bahwa burung itu tidak menyetu-
jui permintaannya. Namun Rangga pun memang tidak
bermaksud menyerahkan pedang Saptaraga kepada
Prabaseta. Rangga hanya ingin mengetahui apakah si
Jambon dalam keadaan 'siaga' atau tidak. Dan setelah mengetahui bahwa si Jambon
tidak sedang tertidur,
Rangga melangkah ke arah tumpukan batu yang dipa-
kai untuk menyembunyikan pedang pusaka itu. Dan
pikir Rangga saat itu, "Tidak ada jalan lain, terpaksa aku harus mempergunakan
pedang Saptaraga, walaupun aku belum menyelesaikan pelajaran ilmu pedang-
nya." Mengira bahwa Rangga sungguh-sungguh hendak
menyerahkan pedang Saptaraga, Prabaseta dan ka-
wan-kawannya membiarkan Rangga berjalan ke balik
tumpukan batu itu, sementara si Jambon memperha-
tikannya dari tempat bertenggernya.
Tapi Manusagara tidak mau mempercayai Rangga
begitu saja. Dengan gerakan yang hampir tak terlihat oleh mata, ia melompat ke
arah tumpukan batu itu.
Namun... blaaagh! Tiba-tiba saja manusia setengah
siluman itu terpental ke belakang, disusul dengan
munculnya si Jambon di depannya! Rupanya si Jam-
bon sengaja menghadang Manusagara dengan gerakan
yang juga sangat cepat... lebih cepat daripada lompatan Manusagara!
"Burung keparat!" bentak Manusagara yang baru
sekali itu merasakan hantaman demikian kuatnya,
yang dilakukan oleh seekor burung pula!
"Kaaak...!" seru si Jambon sambil merentangkan
kedua belah sayapnya, untuk merintangi gerak maju
Manusagara. "Berani benar kau merintangiku!" bentak Manusa-
gara sambil menjulurkan tangannya yang bisa meman-
jang sekehendak hatinya itu.
"Rrrrttttt...!" Tangan yang seperti karet itu terulur jauh sekali, tapi tidak
berhasil menghantam dada si Jambon, melainkan menghantam pohon besar di belakang
si Jambon. Batang pohon itu hancur dan pohon
itu pun lalu tumbang... braaaaassssh... bluuuugh!
Orang-orang dari golongan hitam itu terperanjat,
karena baru sekali itu menyaksikan demikian hebat-
nya pukulan Manusagara, sehingga walaupun meleset
namun sanggup menghancurkan batang pohon yang
begitu besarnya.
Namun yang sangat terkejut justru Manusagara
sendiri. Pukulan kilat dari tangannya yang bisa me-
manjang sesuka hatinya itu, tidak pernah meleset dari sasarannya. Tapi kali ini
pukulannya terelakkan, cuma oleh seekor burung pula!
Maka dengan geram, Manusagara mengirimkan pu-
kulan-pukulan berikutnya secara beruntun dan cepat
sekali. Namun dengan mudahnya si Jambon melompat
ke sana ke mari, tak ubahnya manusia yang sedang
menari-nari, sehingga pukulan-pukulan Manusagara
tidak ada yang mengenai sasarannya.
Dan pukulan-pukulan yang tidak mengenai sasa-
rannya itu, hanya berhasil memporak-porandakan be-
batuan di puncak Gunung Limagagak.
Prabaseta dan kawan-kawannya terpaksa harus
mundur, agar jangan terkena pukulan nyasar Manu-
sagara. Sementara itu, Rangga sedang termenung di balik
tumpukan batu yang digunakan untuk melindungi pe-
dang Saptaraga.
Pertentangan batinnya timbul manakala kotak beri-
si pedang itu sudah dikeluarkan dari bawah batu-
batuan. Di satu pihak, ia ingin mematuhi pesan sang Astrabaya, agar jangan
menyentuh pedang pusaka itu
sebelum menguasai ilmu pedangnya. Namun di pihak
lain, ia merasa sangat terdesak, untuk melindungi diri dan mengusir orang-orang
golongan hitam itu dari
puncak Gunung Limagagak. Terlebih lagi setelah ia
melihat dengan sudut matanya, bahwa si Jambon se-
dang bertarung dengan Manusagara.
"Gerakan manusia setengah siluman itu benar-
benar dahsyat," pikir Rangga. "Mana mungkin aku
mampu menghadapinya dengan hanya mengandalkan
ilmu dari Rama Guru"!"
Dan... dengan tangan bergetar, Rangga membuka
tutup kotak itu.
Pedang pusaka itu masih dibungkus oleh kantung
kain putih. Dan Rangga mulai menyentuh tali pengikat kantung itu. Lalu
menariknya. Lalu mengeluarkan pedang itu dari kantungnya.
Rangga menggenggam hulu pedang itu dengan ta-
ngan yang semakin gemetaran. Sesaat diperhatikannya hulu dan sarung pedang yang
terbuat dari gading itu.
Lalu ditariknya pedang itu perlahan-lahan dari dalam sarungnya... sehingga
sedikit demi sedikit pedang itu mulai terhunus.
Pedang yang berkilauan... memancarkan sinar putih
kemerahan! Dan begitu pedang itu terhunus sepenuhnya, Rang-
ga merasa hawa panas mengalir dari hulu pedang itu...
mengalir ke sekujur tubuh Rangga.
Rangga mempertahankan diri untuk tetap meme-
gang hulu pedang itu, tanpa menyadari bahwa suatu
perubahan mulai terjadi pada dirinya.
Wajah Rangga menjadi merah padam. Mata Rangga
menjadi beringas. Rambut Rangga menjadi tegang...
kaku laksana kawat!
Sungguh Rangga tidak menyadari bahwa pelangga-
ran yang telah dilakukannya, dengan menyentuh pe-
dang pusaka itu sebelum waktunya, akan menimbul-
kan akibat yang mengerikan.
*** Rangga melangkah dengan pedang terhunus, menu-
ju orang-orang dari golongan hitam yang sedang me-
nonton pertarungan Manusagara dan si Jambon itu.
Dan tiba-tiba Rangga berteriak dengan suara meng-
geledek, "Mundur, Jambooon...!"
Si Jambon menoleh dan tampak terkejut sekali sete-
lah melihat pedang yang berada di tangan Rangga itu.
Lalu burung perkasa itu terbang sambil mengeluarkan suara aneh... suara yang
melambangkan kecemasannya, karena Rangga telah menghunus pedang Saptara-
ga sebelum menguasai ilmu pedangnya!
Manusagara, Prabaseta dan lain-lainnya, juga mera-
sa heran melihat wajah dan sikap Rangga yang sangat berubah.
Lalu kata Prabaseta, "Hmm... pedang itu akan kau
serahkan pada kami, bukan?"
Dengan pandangan semakin beringas, Rangga men-
jawab lantang, "Kalian telah berani merusak keinda-
han dan kenyamanan tempat ini! Untuk kelancangan
itu, kalian semua harus membayar dengan nyawa ka-
lian!" Ucapan Rangga diikuti dengan gerakan yang sangat
cepat... terlalu cepat... sehingga orang-orang dari golongan hitam itu tidak
sempat menyelamatkan dirinya
masing-masing... lalu terjadilah sesuatu yang sangat mengerikan.. bahwa kepala
orang-orang dari golongan hitam itu beterbangan ke udara, setelah terpisah dari
lehernya masing-masing!
Prabaseta dan Manusagara terkejut sekali, karena
baru sekali itu menyaksikan ilmu pedang yang demi-
kian dahsyatnya. Dan setelah Rangga menjatuhkan li-
mapuluh tubuh yang tak berkepala lagi, Manusagara
cepat-cepat mengerahkan ajian Halimunan.
Namun sebelum selesai Manusagara memaparkan
ajiannya... pedang yang bersinar kemerahan itu melesat ke arah lehernya dengan
cepat sekali. Manusagara terkejut dan berusaha mengelakkan terjangan yang garang
itu secepat mungkin.
Namun pedang Saptaraga lebih cepat lagi!
Sebelum sempat Manusagara 'menciutkan' kepala-
nya, pedang Saptaraga telah menebas batang lehernya, sampai putus!
Namun Rangga seperti kerasukan hawa pembunu-
han. Tanpa mempedulikan kengerian yang tergambar
di wajah Prabaseta, pedang itu diayun lagi dengan gerakan yang tidak terlihat...
lalu kepala Prabaseta pun terpental setelah terpisah dari lehernya!
Rangga semakin gila membunuh. Pedang itu sendiri
seperti menariknya ke leher-leher manusia. Dan dalam sekejap mata saja, sisa-
sisa kawanan Prabaseta diha-biskan!
Alangkah mengerikannya peristiwa itu. Kepala-


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala manusia bergelindingan dari puncak Gunung
Limagagak, lalu berjatuhan ke daerah lereng, dengan darah segar yang masih
berpancaran dari bawah dagu-dagunya.
Di puncak Gunung Limagagak sendiri tampak pe-
mandangan yang mengerikan. Tubuh-tubuh tanpa ke-
pala bergeletakan di sana-sini, juga dengan darah berpancaran dari bagian leher
yang telah kutung itu.
Si Jambon memperhatikan pemandangan mengeri-
kan itu dari angkasa, tanpa berani mendekati Rangga.
Tampaknya ia takut sekali melihat pedang Saptaraga
dalam keadaan terhunus seperti itu.
Namun Rangga justru seperti sedang menyaksikan
pemandangan yang sangat indah. Dengan pedang Sap-
taraga yang masih tergenggam di tangannya, ia berjalan hilir-mudik, menghitung
badan-badan tanpa kepa-
la itu. Lalu terdengar suara Rangga: "Hahahahahaaa...!
Dalam tempo yang begitu singkat, aku berhasil mem-
binasakan tujuh puluh tujuh manusia-manusia jahat,
termasuk musuh guruku ini...!"
Rangga menendang tubuh Manusagara sampai ter-
pental jauh ke kaki gunung. Lalu terdengar lagi suaranya: "Hahahahaaa...!
Sebenarnya korban pedangku ini terlalu sedikit! Seharusnya aku berhasil
membinasakan tujuhribu tujuhratus tujuhpuluh tujuh manusia!"
Dan dengan mata yang tetap beringas, Rangga me-
masukkan kembali pedang Saptaraga ke dalam sa-
rungnya yang terbuat dari gading berukir indah itu.
Aneh... mata Rangga menjadi 'jinak' kembali. Ram-
butnya lemas kembali. Wajahnya pun tidak merah pa-
dam lagi. Namun sebenarnya, jiwa Rangga telah berubah.
Orang-orang yang berilmu tentu akan melihat sema-
cam pancaran ganas dari wajah Rangga. Pancaran dari nafsu membunuh!
*** Setelah menyarungkan kembali pedangnya, Rangga
menengadah ke arah si Jambon yang masih melayang-
layang di udara tanpa berani hinggap di puncak Gu-
nung Limagagak.
Lalu Rangga berseru, "Turun kau, Jambon!"
Si Jambon menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
mengeluarkan suara, "Kaaak... krrrr... kkkkrrr...!"
Rangga tidak mengerti bahwa sebenarnya si Jam-
bon tidak menyetujui perbuatan Rangga tadi. Bahwa si Jambon tidak menghendaki
Rangga melakukan pe-langgaran terhadap pesan sang Astrabaya. Bahwa si
Jambon pun tidak menyetujui pembantaian tujuhpu-
luh tujuh orang dari golongan hitam itu.
Yang Rangga tahu, si Jambon tidak mau turun. Dan
Rangga menganggap sikap si Jambon itu sebagai
'pemberontakan'. Maka dengan geram Rangga berseru
lagi, "Turun kataku! Ataukah kau ingin agar aku me-
lemparkan pedang ini ke lehermu?"
"Kaaak...!" si Jambon menggeleng-gelengkan kepala
lagi, kemudian turun ke depan Rangga, dengan sikap
takut-takut. "Dengar, Jambon!" kata Rangga tegar, "Aku akan
mencari Nilamsari sampai ketemu! Dan engkau kutu-
gaskan untuk menjaga kitab yang belum selesai kupe-
lajari itu! Kurasa, dengan pedang ini saja, aku akan mampu melindungi diriku
sendiri... dan tak usah menyelesaikan ilmu pedang yang terlalu sulit dipelajari
itu!" Si Jambon tampak heran dan cemas.
Tapi Rangga seakan-akan sudah mengeluarkan ke-
putusan yang tidak dapat diubah-ubah lagi.
"Kalau Nilamsari datang pada saat aku masih men-
carinya, engkau harus menjaganya," kata Rangga lagi,
"Kalau ada orang-orang yang mencurigakan datang ke
sini, jangan ragu-ragu untuk bertindak. Terjanglah mereka. Mengerti?"
SI Jambon mengangguk-angguk patuh. Namun so-
rot matanya seperti memancarkan perasaan tidak se-
tuju atas keputusan Rangga itu.
Rangga mengikatkan pedang dan sarungnya di
punggungnya. Kemudian tubuhnya melesat... mening-
galkan puncak Gunung Limagagak.
*** EORANG lelaki tua renta bersama seorang gadis
Scan tik, tampak berjalan dengan tenang menuju ka-
ki Gunung Limagagak. Mereka tak lain dari Kudawu-
lung dan Nilamsari.
Dan ketika mereka baru mau mendaki lereng gu-
nung itu, Kudawulung menghentikan langkahnya. Me-
nyapukan pandangan ke sekelilingnya.
"Apakah kau merasakan sesuatu yang lain dari bi-
asanya?" tanya Kudawulung pada muridnya.
Nilamsari mengangguk dan menyahut, "Banyak je-
jak kaki manusia, dan... bau bangkai yang sangat me-nusuk."
"Betul. Coba kau periksa di sekeliling tempat ini,"
kata Kudawulung.
Nilamsari mengikuti perintah gurunya. Dicarinya
dari mana datangnya bau bangkai itu.
Baru sebentar Nilamsari menyelidik di antara se-
mak-semak, terdengar seruannya, "Rama Guru! Ba-
nyak kepala manusia berserakan di sini!"
Pada saat berikutnya, Kudawulung sudah berdiri di
samping Nilamsari. Memperhatikan kepala-kepala ma-
nusia yang berserakan di antara semak-semak.
Tokoh tua itu mengernyit dan menggumam, "Jagat
Dewa Batara...! Siapa yang melakukan semua ini?"
Lalu Kudawulung mempergunakan tongkatnya, un-
tuk memeriksa kepala-kepala manusia itu satu persa-
tu. Dan terdengar lagi Kudawulung menggumam, "Pra-
baseta dan Manusagara ikut jadi korban. Siapa yang
melakukan pembantaian besar-besaran ini" Ah... ja-
ngan-jangan Rangga..."
Lalu bergegas Kudawulung mendaki Gunung Lima-
gagak. "Ayo, muridku! Jangan-jangan Rangga telah
melakukan sesuatu yang tidak diinginkan!"
Dengan mengerahkan ilmu larinya, Nilamsari men-
gejar gurunya yang telah duluan melesat ke arah puncak Gunung Limagagak.
*** Setibanya di puncak Gunung Limagagak, Kudawu-
lung dan Nilamsari terkesiap dan terkesima, demi melihat mayat-mayat
berserakan... mayat-mayat tanpa
kepala... yang sudah membusuk!
"Ranggaaaa!!!" seru Kudawulung sambil mengamati
keadaan di sekitar puncak gunung itu.
Namun yang datang malah si Jambon. Terbang dari
arah utara, lalu mendarat di depan Kudawulung, de-
ngan sikap seperti yang kebingungan.
Kudawulung sudah tahu bahwa burung perkasa itu
mengerti bahasa manusia, meskipun tidak bisa berbi-
cara seperti manusia. Maka tanyanya, "Ke mana Rang-
ga?" Si Jambon menggeleng-gelengkan kepala sambil
mengeluarkan suara, "Kruuuuk... kruuuuk... krrrr...!"
"Maksudmu, Rangga pergi meninggalkan tempat
ini?" tanya Kudawulung lagi.
Si Jambon mengangguk-angguk.
"Lalu siapa yang melakukan pembantaian ini?"
Si Jambon tampak bingung.
"Rangga?" desak Kudawulung.
Si Jambon mengangguk.
Kudawulung tidak terlalu kaget melihat anggukan si
Jambon itu, karena sebelumnya ia sudah menduga
bahwa Rangga yang melakukan pembantaian itu.
"Rasanya sulit dipercaya bahwa Rangga bisa mela-
kukan perbuatan sekejam ini," keluh Kudawulung.
Sementara Nilamsari hanya berdiri dengan wajah
terpucat-pucat. Walaupun ia sudah memperoleh ilmu
yang cukup tinggi, namun ia tidak dapat mengingkari kodratnya sebagai seorang
perempuan. Dan naluri ke-wanitaannya membuat Nilamsari bergidik dan terpu-
cat-pucat ketika melihat mayat-mayat membusuk itu.
Dan tiba-tiba saja Kudawulung seperti diingatkan
pada sesuatu. Lalu ia menoleh pada si Jambon, sambil bertanya, "Maukah kau
menjawab pertanyaanku dari
sukma ke sukma?"
Si Jambon mengerti apa yang dimaksudkan oleh
Kudawulung. Burung perkasa itu langsung mengang-
guk dan mendekam di depan Kudawulung.
Kemudian Kudawulung pun bersemadi di depan si
Jambon, sambil mengerahkan ilmu 'Sukmawakca',
yakni ilmu untuk mengadakan percakapan dari sukma
ke sukma (tanpa melalui mulut).
Nilamsari segera melangkah ke tempat yang agak
jauh dari gurunya, supaya percakapan batin itu tidak terganggu oleh
kehadirannya. Dan Nilamsari tidak tahu bahwa pada saat itu gu-
runya sudah mulai bercakap-cakap dengan si Jambon,
lawat getaran sukmanya masing-masing.
"Burung Perkasa! Apa sebenarnya yang telah terjadi
pada muridku" Mengapa dia bisa bertindak begini ke-
jamnya?" "Tujuh puluh tujuh orang jahat telah datang ke ma-
ri, sepuluh hari yang lalu. Mereka dipimpin oleh Manusagara dan Prabaseta."
"Lalu?"
"Dengan ilmu yang telah didapat darimu, Rangga
memang tidak akan mampu menghadapi Manusagara.
Tapi sebenarnya aku sudah ikut campur, berusaha
menghalau Manusagara. Seandainya Rangga mau ber-
sabar, mungkin peristiwa mengerikan itu tidak akan
terjadi." "Lalu apa yang telah dilakukannya?"
"Dia menggunakan pedang Saptaraga untuk meng-
halau musuh-musuhnya. Padahal dia belum menyele-
saikan ilmu Saptaraga. Dan justru bagian yang belum dipelajarinya itu, merupakan
bagian terpenting dari il-mu pedang Saptaraga."
"Maksudmu?"
"Dalam bagian yang belum dipelajari oleh Rangga
itu, terdapat ilmu untuk menyirnakan pengaruh-
pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh pedang Sapta-
raga." "Pengaruh-pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh
pedang Saptaraga?"
"Ya. Tanpa menguasai bagian terakhir dari ilmu itu, pedang Saptaraga akan
menyesatkan pemiliknya."
"Jadi, Rangga sekarang tersesat?"
"Ya. Tadinya dia hanya ingin menghalau musuh-
musuhnya. Tapi begitu memegang pedang Saptaraga,
jiwanya mendadak berubah. Seluruh musuhnya dibi-
nasakan. Dan sekarang... dia sudah menjadi manusia
yang haus membunuh. Dia akan membunuh siapa sa-
ja yang tidak disukainya!"
"Oh... celaka! Lalu... kenapa kau biarkan saja se-
muanya itu" Aku tahu kau memiliki kemampuan un-
tuk mencegahnya! Mengapa kau tidak mencegahnya?"
"Aku ditugaskan oleh majikanku di Nusa Aheng,
untuk mengabdi kepada Rangga. Bukan untuk meng-
halang-halanginya. Selain daripada itu, aku tidak
mungkin mampu merintangi manusia yang sudah
memegang pedang Saptaraga."
"Lalu kau biarkan saja semuanya itu?"
"Ya. Tugasku hanyalah mematuhi perintah-perintah
Rangga. Dan sekarang aku ditugaskan untuk menjaga
kitab pusaka Saptaraga. Selain daripada itu, aku juga ditugaskan untuk menjaga
keselamatan Nilamsari. Itulah tugas yang harus kupatuhi."
"Tapi... aku ingin agar kau mencari Rangga dan
mengajaknya pulang ke sini. Aku ingin berusaha me-
nyadarkannya."
"Menyesal sekali, aku tak dapat mengabulkan per-
mintaanmu. Rangga sudah menugaskanku untuk
menjaga kitab Saptaraga dan Nilamsari di sini. Kedua tugas itu harus kupatuhi,
walaupun aku harus mem-bayarnya dengan nyawaku."
"Lalu... apakah kau bisa memberi petunjuk, dimana
Rangga berada sekarang?"
"Aku tidak tahu."
"Ohh... bagaimana kalau Nilamsari kutugaskan un-
tuk mencarinya?"
"Aku akan mencegahnya. Nilamsari harus tetap ber-
ada di puncak gunung ini, sampai Rangga pulang."
"Lalu... apa yang harus kulakukan?"
"Aku tidak tahu."
"Sedikitnya kau tentu tahu, arah mana yang harus
kutuju, supaya dapat menemukan Rangga."
"Aku tidak tahu."
"Ah... malapetaka apa pula yang akan terjadi" Ke-
napa harus ada peristiwa seperti ini?"
Selesai melakukan percakapan antar sukma itu,
Kudawulung tertunduk lesu. Pikirnya, "Sia-sialah aku mendidik Rangga selama ini.
Padahal aku sangat
mengharapkan agar Rangga meneruskan cita-citaku
jika aku sudah tiada kelak. Tapi apa yang terjadi sekarang... sungguh di luar
dugaanku."
Lalu dengan lesu Kudawulung berkata kepada Ni-
lamsari, "Muridku, kumpulkan mayat-mayat tanpa ke-
pala itu, lalu bakarlah."
Sebenarnya berat sekali Nilamsari melaksanakan
perintah gurunya itu. Namun diturutinya juga. Di-
kumpulkannya mayat-mayat tanpa kepala yang sudah
membusuk itu. Kemudian dibakarnya sampai menjadi
abu. Setelah mengerjakan tugas berat itu, Nilamsari
menghampiri gurunya yang sedang duduk di bawah
pohon rindang sambil memandang ke daerah lereng
sana. Tanpa menoleh pada muridnya, Kudawulung berka-
ta, "Tampaknya akan terjadi banyak peristiwa yang tidak diinginkan."
Kemudian Kudawulung bangkit. Berdiri sambil me-
mandang jauh ke sebelah utara. Dan katanya lagi, "Sejak dahulu puncak gunung ini
belum pernah diinjak
oleh orang luar. Itulah sebabnya aku kerasan tinggal di sini. Tapi sekarang...


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu banyak manusia yang bisa mencapai tempat yang sejuk dan damai ini...
ah... entah pertanda apa semuanya ini."
Kudawulung berulang-ulang menghela napas pan-
jang. Lalu melanjutkan kata-katanya, "Mungkin mala-
petaka akan terjadi di sekitar tempat ini. Dan aku tidak tahu siapa yang akan
menyebarkan malapetaka
itu. Aku hanya berharap semoga bukan Rangga yang
menjadi bibit dan penyebar bencana itu. Ah, Rangga...
Rangga...! Kenapa dia begitu tergesa-gesa mempergu-
nakan pedang Saptaraga?"
"Pedang Saptaraga"!" Nilamsari terperanjat. "Jadi...
Kang Rangga sudah mempergunakannya?"
"Ya," Kudawulung mengangguk. "Menurut keterang-
an burung itu memang demikian. Padahal Rangga be-
lum selesai mempelajari ilmu pedang yang terlalu dahsyat itu."
"Lalu?"
"Lalu sekarang dia berkeliaran, sebagai pembunuh
yang tidak akan mengenal belas kasihan."
"Oh...!" Nilamsari memegang kedua pipinya. "Kalau
begitu, aku harus segera turun gunung... untuk men-
carinya... untuk berusaha menyadarkannya...."
"Tidak bisa," potong Kudawulung. "Burung itu tidak
akan mengizinkanmu turun gunung."
"Kenapa begitu?" Nilamsari heran.
"Rangga menugaskannya untuk menjaga keselama-
tanmu di sini."
"Kalau memang ditugaskan menjaga keselamatan-
ku, dia bisa mengawalku dalam perjalanan mencari
Kang Rangga."
"Tugasnya bukan hanya menjaga keselamatanmu,
melainkan juga menjaga kitab pusaka dari Nusa Aheng itu. Sulit baginya untuk
melakukan keduanya, kalau
kau pergi pula dari sini."
"Lalu... apakah kita harus berdiam diri saja, sementara Kang Rangga berkeliaran
menyebar maut?"
Kudawulung memegang bahu Nilamsari, sambil
berkata, "Kau berlatih saja setekun mungkin di sini.
Biarlah aku yang akan mencari Rangga sampai kete-
mu." "Lalu...."
"Tak usah takut ditinggal sendirian," sergah Kuda-
wulung. "Burung perkasa itu akan selalu menjaga ke-
selamatanmu."
"Aku tidak mempedulikan keselamatanku sendiri.
Yang kucemaskan justru Rama Guru sendiri," Nilam-
sari tampak berat melepaskan kepergian gurunya.
Kudawulung tertawa terbahak-bahak. "Hahahaaa...!
Aku ini sudah berpuluh-puluh tahun terbiasa men-
gembara seorang diri! Mengapa pula kau harus men-
cemasi keselamatanku"!"
"Tapi... Kidangkancana yang begitu tangguh pun,
kalau nasibnya sedang apes, ya celaka juga."
Kudawulung tersenyum dan menyahut, "Rupanya
kau sangat menyayangiku, sehingga kau tampak begi-
tu cemas. Tapi sayang sekali, kecemasanmu kali ini tidak beralasan. Pokoknya
sekarang kau berlatih sajalah setekun mungkin. Aku yang sudah banyak makan
asam garam ini, tahu benar jalan terbaik bagiku."
Setelah berkata demikian, Kudawulung memapar-
kan mantranya. Lalu lenyaplah ia dari pandangan Ni-
lamsari. Tinggallah Nilamsari dalam kecemasannya.
"Aku tahu bahwa Rama Guru seorang pendekar beril-
mu tinggi. Tapi entah apa sebabnya, kali ini aku sangat cemas melepaskan
kepergiannya."
*** UNDINA pernah digemparkan oleh munculnya Nyi
KTi wi yang sempat membinasakan delapan anak
buah Subali. Namun setelah Nyi Tiwi meninggalkan
daerah pantai itu, keadaan di Kundina kembali 'ten-
tram'. Tentu saja yang dimaksudkan 'tentram' di sini, ada-
lah menurut ukuran Subali dan kaki-tangannya. Kare-
na setelah Nyi Tiwi meninggalkan Kundina, Subali dan kaki tangannya leluasa
untuk memeras dan menindas
para nelayan yang membutuhkan Kundina sebagai
tempat mencari nafkah.
Kebiadaban Subali dalam 'melepaskan' bekas gun-
dik-gundiknya untuk dijadikan penghuni rumah pela-
curan, juga berlangsung terus tanpa rintangan. Demikian pula pemburuan gadis-
gadis yang dipandang pa-
tut untuk dijadikan gundik Subali, tak terhitung lagi berapa banyak gadis yang
terserosok (Editor: terserosok") ke rumah-rumah pelacuran Kundina, tak terhitung
lagi berapa banyak pelacur yang dibeli oleh para saudagar yang pernah singgah di
daerah pantai itu.
Walaupun bisa bertindak sesuka hatinya, namun
Subali tetap merasa jeri pada Nyi Tiwi, yang mungkin saja muncul sewaktu-waktu.
Itulah sebabnya Subali
tidak berani mengganggu perahu layar yang sudah di-
beli oleh Nyi Tiwi dahulu. Bahkan kepada anak buah-
nya, Subali memerintahkan untuk merawat perahu
layar itu, tapi tak boleh dipakai berlayar ke tengah laut.
Subali pun selalu bertanya-tanya di dalam hatinya:
"Aneh... ke mana orang berilmu tinggi itu" Mengapa
perahu layar yang sudah dibelinya itu dibiarkan begitu saja" Apakah dia akan
kembali lagi ke Kundina atau
tidak?" Dan jauh di dalam hati Subali tumbuh harapan,
"Mudah-mudahan saja dia tidak kembali lagi ke sini.
Karena aku tidak dapat membayangkan apa yang akan
terjadi jika ia menentang kekuasaanku di sini."
Subali tidak tahu bahwa pada saat itu Nyi Tiwi ju-
stru sudah berada di batas selatan Kundina. Tapi keadaan Nyi Tiwi sekarang
sungguh lain dengan Nyi Tiwi dahulu. Kalau dahulu Nyi Tiwi tampil dalam pakaian
lelaki, maka sekarang Nyi Tiwi malah tidak berpakaian sama sekali!
Sungguh mengenaskan keadaan Nyi Tiwi saat itu.
Tubuhnya yang indah dan berkulit kuning langsat, ki-ni telah menjadi tubuh yang
tak terawat, yang dipenu-hi debu dan lumpur. Wajahnya yang cantik telah men-
jadi memudar. Matanya yang bundar cemerlang telah
menjadi mata yang beringas dan mengerikan.
Sikap Nyi Tiwi sendiri berubah-ubah. Terkadang ia
tampak begitu galak dan berbahaya. Dan di saat lain ia seperti menanggung
kesedihan yang tiada taranya,
yang membuatnya menangis sambil mengacak-acak
rambutnya. Dalam kegoncangan jiwa yang membuat Nyi Tiwi
tak waras lagi, rupanya Nyi Tiwi masih dapat mengingat peristiwa mengerikan itu.
Bahwa Nyi Tiwi telah
membunuh gurunya sendiri, yang sangat disayan-
ginya. Manakala teringat peristiwa itu, Nyi Tiwi lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya
ingin meneriakkan "Rama Guru, ampunilah muridmu ini!" Tapi syarafnya tidak
bekerja sebagaimana mestinya lagi, sehingga yang terlontar dari mulutnya hanya
"Amaaa... ama...
amaaa....!"
Demikian pula kalau Nyi Tiwi hendak mengucapkan
sesuatu yang lain, apa yang terlontar dari mulutnya justru tidak sama dengan
keinginannya sendiri. Terlebih lagi kalau sedang kumat, ucapannya sulit dimen-
gerti oleh siapa pun, termasuk oleh dirinya sendiri.
Yang sangat berbahaya, adalah bahwa Nyi Tiwi ma-
sih bisa mempergunakan ilmunya yang diperolehnya
dari mendiang Kidangkancana. Sehingga sewaktu-wak-
tu ia bisa 'meledak' sebagai penyebar maut.
Dan kini Nyi Tiwi berada di hutan yang dibelah oleh Sungai Cigelung, di sebelah
selatan Kundina. Di situ-lah ia tinggal dengan 'nyaman', tanpa memperdulikan
apa-apa lagi. Bila perutnya terasa lapar, ia memburu binatang
apa saja yang bisa didapatkannya di dalam hutan itu, kemudian dimakannya
binatang itu mentah-mentah.
Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja ia memburu
binatang yang hendak dilahapnya. Dan ia tidak pernah memilih-milih binatang yang
hendak dijadikan maka-nannya. Kalau ada banteng, ya banteng itulah yang di-
binasakannya. Kalau ada harimau, ya harimau pula
yang menjadi mangsanya. Begitu pula kera, rusa,
ayam hutan, burung dan lain-lainnya, sering menjadi santapan lezat bagi Nyi
Tiwi. Kalau malam tiba, Nyi Tiwi naik ke atas pohon, lalu tidur di situ. Terkadang ia
juga bisa tidur begitu saja di atas rumput, tanpa merasa takut pada bahaya apa
pun. Tampaknya binatang-binatang liar yang hidup di
dalam hutan itu, sudah mengerti bahwa Nyi Tiwi me-
rupakan 'makhluk yang berbahaya'. Itulah sebabnya
mereka tidak berani mengganggu Nyi Tiwi jika sedang terlena di 'peraduannya'.
Pada suatu pagi, Nyi Tiwi melihat sekawanan ban-
teng yang sedang mandi di Cigelung. Tadinya Nyi Tiwi bermaksud memburu salah
satu banteng itu, karena
perutnya terasa lapar. Tapi ketika melihat kelakuan banteng-banteng itu, pikiran
Nyi Tiwi berubah. Ia jadi tertarik untuk ikut-ikutan mandi seperti kawanan
banteng itu. "Hihihi... mandi... mandiiiii... enak... enaaaak!" seru Nyi Tiwi sambil melompat
ke dalam sungai.
Byurrrr...! Nyi Tiwi mencebur ke dalam air, mem-
buat banteng-banteng itu kaget dan lari berhamburan ke darat.
Nyi Tiwi tak mempedulikan lagi banteng-banteng
itu. Ia hanya ingin mandi sepuas-puasnya seperti yang
dilakukan oleh banteng-banteng itu tadi.
Cukup lama Nyi Tiwi berendam dan melompat-lom-
pat di dalam Sungai Cigelung. Sampai pada suatu
saat, ia melihat bayangan wajahnya di permukaan
sungai, yang membuatnya berhenti bergerak.
Lalu terdengar Nyi Tiwi mengoceh, berbicara dengan
bayangannya sendiri: "Hai, siapa kamu" Oooo... kamu Komala ya" Hihihihi... aku
Tiwi. Tiwi yang cantik, Tiwi yang seperti bidadari... hihihihi!"
"Eh... salah...! Salah! Kamu yang Tiwi, aku yang
Komala! Aduuy! Aduuduuuy... namaku memang Koma-
la... yang tercantik di Tegalinten! Enak jadi orang cantik ya" Enak, enaaak!"
"Ah, siapa bilang mukaku kotor" Sekarang kan se-
dang dibersihkan! Awas... jangan mengejek... kalau
mengejek, kubunuh kamu nanti! Tahu bunyi orang
yang dibunuh! Begini nih... ngeeek... glekkk... cosss...
pret!" "Oh, tidak... tidak! Bukan aku yang membunuh Ra-
ma Guru! Bukan aku! Hehehehee... Rama Guru hidup
lagi, adudududuuuh... mati lagi, eeeh, hidup lagi....
lho... kok Rama Guru enjot-enjotan" Hehehee... enak, Rama Guru... enaaaaak!"
"Keparat! Bajingan! Kamu bukan Rama Guru! Kamu
manusia cebol yang senang merusak perempuan! Baji-
ngaaaan....! Sakit hatiku, sakiiit! Sakiiiit! Ah... tidak...
tidak sakit lagi... malah enak kok... hehehehehehe...
enaaaaak...!"
Demikian kerasnya teriakan Nyi Tiwi, sehingga tiga
orang lelaki yang sedang berjalan di sebelah barat Cigelung mendengarnya. Mereka
adalah kaki tangan
Subali. Mereka sedang ditugaskan mencari gadis-gadis cantik untuk dijadikan
gundik-gundik Subali (yang kelak akan dijadikan penghuni rumah pelacuran, jika
Subali sudah merasa bosan).
"Hai... aku mendengar suara perempuan dari sebe-
lah sana," kata salah seorang kaki tangan Subali sambil menunjuk ke sebelah
timur. "Iya... tapi mungkinkah ada perempuan berani me-
masuki hutan ini?" sahut kaki tangan Subali yang
lainnya. "Pokoknya kita selidiki saja dulu. Ayo kita ke sana."
Ketiga lelaki itu lalu membelok ke sebelah timur.
Salah seorang dari mereka berkata, "Dari sana datangnya suara itu! Kurasa dari
Cigelung."
"Iya," sahut yang lain. "Mungkin dia sedang naik perahu. Atau... mungkin juga
sedang mandi di Cigelung."
"Konyol kamu ah! Masa ada perempuan berani
mandi di tengah hutan begini?"
"Tak usah berdebat. Kita buktikan saja dulu dari
mana datangnya suara itu."
Kemudian mereka melangkah terus ke arah timur.
Sampai akhirnya mereka tiba di tepi Cigelung yang cukup terjal.
"Sttt... lihat.. tak salah dugaanku... lihatlah perempuan yang sedang mandi
itu," kata salah seorang di
antara mereka sambil menunjuk ke bawah, ke arah
Nyi Tiwi yang sudah berhenti mengoceh.
"Ah... betul...! Jangan-jangan bidadari yang sedang mandi."
"Bidadari"! Memangnya pelacur khayangan bisa tu-
run sendirian?"
"Enak saja kamu nyebut bidadari sebagai pelacur
khayangan."
"Memang betul kok. Bidadari itu kan pelacur
khayangan"! Buktinya, Arjuna juga waktu naik ke sor-galoka kan disuguhi bidadari
Supraba. Nah... kalau
perempuan boleh dipakai semaunya tanpa harus ka-
win, apa namanya kalau bukan pelacur?"
"Sudahlah... jangan memperdebatkan hal-hal yang
tiada gunanya. Lebih baik kita turun, untuk menyelidiki siapa perempuan itu.
Kalau cocok, kita bawa dia ke Kundina."
"Tentu saja cocok. Cobalah perhatikan... wajahnya
cukup cantik, bukan" Hihihi... kita pasti akan dikasih persenan banyak oleh
majikan kita."
Kemudian ketiga lelaki itu berusaha menuruni
pinggiran sungai yang terjal itu. Dan akhirnya mereka berhasil mencapai batu-
batu besar yang berserakan di Cigelung. Memang pada saat itu air Cigelung sedang
susut, sehingga dengan mudah pula ketiga lelaki itu berhasil mendekati Nyi Tiwi.
*** "Mandi sendirian saja, Nyi?" tanya salah seorang
kaki tangan Subali.
Nyi Tiwi tidak terkejut mendengar teguran dan me-
lihat munculnya ketiga lelaki secara mendadak itu.
Tentu saja. Seperti telah diterangkan tadi, walaupun jiwanya tidak waras lagi,
tapi Nyi Tiwi masih menguasai ilmunya yang diperoleh dari Kidangkancana. Maka
dengan sendirinya Nyi Tiwi sudah menyadari kehadiran lelaki-lelaki itu, sejak
mereka masih berada di atas sana. Hanya saja jiwa Nyi Tiwi yang telah berubah,
membuatnya bersikap acuh tak acuh terhadap kehadi-
ran tiga lelaki itu. Padahal kalau jiwa Nyi Tiwi masih waras, pasti akan menjadi
terkejut sekali dengan munculnya ketiga lelaki itu, karena Nyi Tiwi sedang dalam
keadaan telanjang bugil!
Salah seorang kaki tangan Subali berbisik kepada


Mustika Lidah Naga 7 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya, "Stt... jangan-jangan dia sengaja tidak menjawab pertanyaan kita,
supaya kita melakukan sesuatu
padanya." "Maksudmu?"
"Heheheee... mungkin saja dia sudah kepengen me-
rasakan hangatnya lelaki... hihihihi...."
"Tapi... tugas kita kan..."
"Alaaaa... tugas tinggal tugas. Ada rejeki nomplok
begini, masa mau dibiarkan saja" Aku sudah nggak
tahan lagi nih...! Buat majikan kita sih gampang, kita cari lagi saja yang
lain." "Lantas yang ini buat kita bertiga?"
"Iya. Tapi aku dulu ya."
Kemudian salah seorang kaki tangan Subali me-
lompat ke depan Nyi Tiwi. Berdiri di atas batu besar yang terletak di tengah-
tengah sungai itu. Lalu bertanya dengan pandangan kurang ajar, "Rumahnya di
mana, Nyi?"
Nyi Tiwi menoleh dengan sikap acuh, tanpa mem-
perdulikan betapa bagian terlarang pada tubuhnya dilahap oleh pandangan ketiga
lelaki itu. Lalu sahut Nyi Tiwi, "Rumah"! Hihihihiiii... rumah
itu apaan sih" Tempat kencing, ya"! Hihihihihihi...!"
Ketiga lelaki itu saling pandang. Lalu saling bisik.
"Perempuan gila barangkali ya?"
"Ah... masa orang sinting bagus begitu?"
"Iya ya... rasanya mustahil ada orang gila secantik ini...."
"Pokoknya nggak usah banyak basa-basi deh. Seret
saja dia ke darat, lalu kita antri!"
"Kalau orang gila bagaimana?"
"Alaaaaaa... gila juga kalau cantik gitu sih pasti sa-ma enaknya!"
"Baiklah... aku yang akan menyeretnya. Tapi aku
yang duluan, ya."
Salah seorang di antara mereka maju. Menyergap
pergelangan tangan Nyi Tiwi, sambil berkata, "Ayo kita ke darat, Nyi. Rejeki
kamu lagi baik, nih. Hari ini kamu bisa dapat tiga suami sekaligus!
Heheheheh...."
Namun tiba-tiba saja tawa lelaki itu terhenti. Dan
dengan mata terbeliak, ia memekik, "Adaaaauuuuu....!"
Lalu lelaki itu terjatuh ke dalam air.
"He... kenapa dia?" kawannya melompat ke dalam
air, untuk menolongnya. Sementara kawannya yang
lain melompat ke depan Nyi Tiwi.
Tapi tiba-tiba saja Nyi Tiwi lenyap dari pandangan
mereka! Sementara itu, si Lelaki yang memekik kesakitan
tadi, sudah tertolong oleh kawannya. Namun ia masih merintih-rintih sambil
memegangi selangkangannya.
"Aduuuh... aduuuh... gunduku hilang... gunduku di-
cabut oleh siluman... aduuuuuddududuuu...."
Dan ketika kedua kaki tangan Subali itu menoleh
ke arah kawan mereka yang masih berdiri terpaku di
atas batu besar, mereka terheran-heran. "Hey! Mana
perempuan tadi?"
"Hilang!"
"Hilang"! Ah... masa bisa menghilang begitu saja?"
"Itulah yang kuherankan! Jangan-jangan dia...."
"Dia apa?"
"Jangan-jangan dia siluman air... hiiiii...!"
Sementara itu, lelaki yang kehilangan buah pelir-
nya, sudah tak kuat lagi menahan sakit, sehingga akhirnya tak sadarkan diri.
Maka dalam kebingungannya, kedua orang yang
masih sehat segera menggotong tubuh kawan mereka
yang pingsan itu ke darat.
"Jangan-jangan dia mati...."
"Ah... masih bernafas kok. Kita pulang saja dulu ke Kundina."
"Tapi... kita belum mendapatkan hasil...."
"Hasil apa lagi" Keberangkatan kita kali ini, tam-
paknya dibayang-bayangi nasib sial! Lebih baik besok saja kita berangkat.
Sekarang pulang dulu, untuk melaporkan kejadian ini kepada majikan kita!"
Akhirnya pulanglah mereka ke Kundina, sambil
menggotong kawan mereka yang masih tak sadarkan
diri itu. Setibanya di Kundina, mereka langsung melaporkan
peristiwa itu kepada Subali. Bahwa mereka telah ber-temu dengan 'siluman air'
yang mengakibatkan hilangnya buah pelir kawan mereka.
Tentu saja Subali tidak langsung percaya pada lapo-
ran kaki tangannya. "Apakah kalian yakin bahwa pe-
rempuan itu siluman air?" tanyanya.
"Yakin benar sih tidak," sahut kaki tangan Subali.
"Tapi anehnya, perempuan itu kok bisa menghilang
begitu saja."
"Seperti apa perempuannya?"
"Cantik, Juragan. Benar-benar cantik. Tapi ngo-
mongnya ngaco."
"Ngaco bagaimana?"
"Pokoknya melantur begitu. Waktu hamba tanya di
mana rumahnya, dia malah menjawab rumah itu
apaan sih" Tempat kencing" Begitu ocehannya, Jura-
gan." Terdorong oleh rasa penasaran, Subali lalu berkata,
"Ayo ikut aku menyelidik ke sana!"
Dengan hanya ditemani oleh dua orang anak buah-
nya, Subali memasuki daerah hutan di sebelah selatan Kundina itu.
Usrip dan Bana, demikian nama kedua anak buah
Subali itu, sebenarnya merasa takut memasuki hutan
itu lagi. Takut mengalami kejadian seperti yang me-
nimpa diri kawannya itu. Namun tentu saja mereka tidak berani menolak ajakan
majikan mereka. Sehingga
terpaksa mereka mengikuti langkah majikan mereka,
memasuki hutan di sebelah selatan Kundina itu.
Begitu memasuki hutan tersebut, Usrip berbisik ke
telinga Bana, "Pokoknya begitu ketemu sama perem-
puan tadi, kita harus menggenggam barang kita se-
kuat-kuatnya. Jangan sampai copot seperti kawan ki-
ta." Bana mengangguk dan menyahut pelan, "Memang
aneh sekali. Bagaimana caranya perempuan itu men-
copot gundu kawan kita, ya" Kalau orang biasa, ra-
sanya mustahil bisa melakukan perbuatan seperti itu."
"Ah, tak peduli dia itu siluman atau manusia, po-
koknya kita harus mengamankan tongkat dan gundu
kita masing-masing. Kalau sudah hilang gundunya,
kan berabe"! Bisa mandul kita dibikinnya."
"Tapi yang lebih celaka lagi kalau tongkatnya yang
dicolong... hihihihihihiiii... hidup ini bisa terasa ger-sang, laksana sayur tanpa
garam! Melihat perempuan
cantik juga paling-paling cuman bisa netesin air liur.
Betul, nggak?"
Percakapan bisik-bisik itu terhenti, ketika Subali
bertanya kepada mereka. "Di sebelah mana kalian me-
lihat siluman air itu?"
"Di sana, Juragan," Usrip menunjuk ke sebelah ti-
mur. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke arah
yang ditunjukkan oleh Usrip itu.
Setibanya di pinggir sungai yang berbentuk jurang
agak terjal itu, Usrip dan Bana terperanjat, karena ternyata 'siluman air' itu
sudah ada lagi... sedang mandi di tempat yang tadi lagi!
"I... itu dia, Juragan!" seru Bana tertahan, sambil
menunjuk ke arah Nyi Tiwi.
Karena melihatnya dari tempat yang agak tinggi dan
jauh, Subali tidak menduga bahwa perempuan yang
sedang mandi itu adalah Nyi Tiwi. Maka dengan gera-
kan yang ringan, Subali langsung melayang ke depan
Nyi Tiwi. Dan alangkah terkejutnya penguasa dari Kundina
itu, demi dilihatnya perempuan yang sedang asyik
mandi itu, adalah perempuan yang pernah mengamuk
di rumahnya dahulu!
"Me... Megamendung...!" Subali terundur selangkah
di atas batu besar yang sedang dipijaknya.
Namun Nyi Tiwi bersikap seperti yang belum pernah
mengenal Subali. Bahkan dengan nakal diraihnya per-
gelangan kaki Subali secepat kilat, sehingga... byuuu-uuurrr... Subali tercebur
ke dalam sungai.
Disusul oleh suara Nyi Tiwi, "Hihihihihihiii...! Begi-tulah caranya mandi!
Jangan takut-takut sama air!
Hihihihi.. kamu habis nyolong ayam, ya?"
Subali agak bingung. Ia sudah tahu kehebatan Nyi
Tiwi. Karena itu ia tidak berani bertindak dan berbicara sembarangan. Ia juga
tidak berani memandang ke
arah yang 'terlarang' di tubuh Nyi Tiwi. Lalu Subali menyahut sangsi, "Tentu
Andika berkelakar, bukan"!
Orang seperti aku, mana berani mencuri ayam segala?"
Plaaaak! Tahu-tahu pipi Subali kena tampar. Dis-
usul dengan terdengarnya suara Nyi Tiwi. "Aku tidak ngomong soal ayam! Aku
ngomong soal buah nangka!
Siapa yang menyuruhmu menghabiskan buah nang-
kaku?" Subali memegangi pipinya yang pedih, dengan pera-
saan geram bercampur takut. "Nangka" Nangka yang
mana?" Dan Nyi Tiwi menjawab lain lagi, "Coba lihat pung-
gungmu, ada kutilnya tidak" Kalau ada kutilnya, pertanda mau masuk surga! Tapi
kalau banyak panunya,
pasti masuk comberan! Hihihihihiiiii...!"
Karena sudah menyaksikan betapa hebatnya ilmu
perempuan itu, Subali terpaksa menurut saja. Dibukanya bajunya, kemudian
membalikkan badannya, me-
munggungi Nyi Tiwi.
Tapi apa yang terjadi" Tiba-tiba saja Nyi Tiwi menekan bahu Subali, sehingga
penguasa dari Kundina itu terduduk di dasar sungai, sehingga hanya kepalanya
saja yang tampak di atas permukaan Cigelung.
"A... apa yang akan Andika lakukan terhadap diri-
ku?" tanya Subali cemas, tanpa berani menoleh ke belakang.
Sebagai jawabannya, tiba-tiba saja ia merasa kepa-
lanya disiram oleh cairan hangat...!
Ternyata dengan seenaknya saja Nyi Tiwi mengen-
cingi kepala Subali dari belakang, sambil tertawa-tawa.
"Hihihihihiiiii... rambutmu jadi bagus! Jadi mengkilap!
Hihihihihiiiiiii!"
Setelah menyadari bahwa yang menyiram kepalanya
itu air kencing, bukan main gusarnya Subali. Seumur hidupnya baru sekali itulah
ia diperlakukan sehina itu.
Maka timbullah kenekadannya, untuk menghajar
perempuan 'lancang' itu. Tapi ketika ia bermaksud
menggerakkan badannya, ia segera menyadari suatu
kenyataan baru, bahwa sekujur tubuhnya menjadi ka-
ku dan tidak bisa digerakkan sama sekali!
Semakin sadarlah Subali, bahwa ia benar-benar se-
dang 'dikerjain' oleh perempuan itu.
"Mungkin dia sangat marah, karena aku lancang
menghampirinya pada waktu dia sedang mandi," pikir
Subali. Maka dengan maksud ingin meminta maaf atas se-
gala 'kelancangannya' Subali berkata, "Glllek gleele-leeek..!"
Hanya itu yang bisa dilontarkan dari mulutnya! Ru-
panya bukan hanya anggota badannya saja yang tidak
bisa digerakkan, melainkan juga lidahnya!
"Oh... dia benar-benar menghukumku!" pikir Sub-
ali. Namun hari itu rupanya Subali benar-benar sedang bernasib sial. Ketika ia
masih terduduk dalam keadaan kaku, tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang
lebih 'berat'. Nyi Tiwi menjejakkan kakinya di atas kedua bahu Subali. Kemudian dengan
setengah berjongkok,
Nyi Tiwi buang air besar... yang berjatuhan di atas kepala Subali!
Kalau Subali seorang wanita, tentulah ia sudah me-
nangis sejadi-jadinya, karena tak tahan lagi dengan
'hukuman' yang dijatuhkan oleh Nyi Tiwi atas dirinya.
Terlebih lagi setelah tinja Nyi Tiwi meleleh, ke muka Subali, sehingga penguasa
dari Kundina itu mencium
bau yang luar biasa busuknya!
Usrip dan Bana yang masih berdiri di atas sana,
menjadi panik tak menentu melihat majikan mereka
diperlakukan demikian nistanya.
"Adudududuuuuh... Usrip! Lihat... Juragan Subali
sedang diberaki!"
"Iya... kepalanya pula yang diberaki oleh siluman air itu! Oh... kenapa Juragan
Subali diam saja?"
"Iya, ya... kenapa beliau diam saja?"
"Entahlah... yang pasti kita tidak boleh berpangku
tangan saja."
"Lalu apa yang bisa kita perbuat" Apakah kita ha-
rus nekad turun ke bawah" Nggak mau ah...! Aku ta-
kut kehilangan gundu!"
"Begok kamu! Kalau kita diam saja, pasti Juragan
Subali akan menghukum kita!"
Sementara itu, Nyi Tiwi malah tampak senang sekali
melihat gundukan tinja di atas kepala Subali.
"Hihihihiiii...! Bagus... kepalamu jadi bagus! Kepalamu jadi ada bumbu satenya!
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara 9 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Seruling Sakti 22
^