Pencarian

Nyai Tandak Kembang 3

Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Bagian 3


Di depan sana. Nyai Tandak Kembang memang mu-
lai melangkah ke arah tanah agak tinggi. Putri Kayangan dan Pendekar 131 ikut
membuntuti di belakang-
nya. Nyai Tandak Kembang hentikan langkah lima tin-
dak dari tanah ketinggian. "Aroma itu benar-benar berasal dari tanah di depan
itu. Tapi aku tak melihat
tempat yang pantas untuk berlindung! Yang terlihat
hanya tanah tertutup rumput tebal dan dedaunan!
Hem.... Mungkin di balik dedaunan dan rumput tebal
itu ada tempat tersembunyi!"
Berpikir begitu, Nyai Tandak Kembang teruskan
langkah seraya berkata.
"Beda Kumala dan kau, Anak Muda! Telusuri tanah
tinggi ini! Sibakkan dedaunan dan rumput tebalnya!"
Pendekar 131 Joko Sableng menoleh pada Putri
Kayangan. "Eyangmu ini orangnya aneh.... Untuk apa
kita menelusuri dedaunan dan rumput tebal"!"
"Jangan bertanya padaku.... Kalau berani bilang sa-
ja sama Eyang!" sahut Putri Kayangan sambil terse-
nyum. Kedua orang ini segera lakukan ucapan Nyai Tan-
dak Kembang. Putri Kayangan melangkah dari arah ki-
ri, sementara murid Pendeta Sinting menelusuri dari
arah kanan. Nyai Tandak Kembang mengambil arah
paling tengah. "Apa yang hendak dilakukan setan-setan itu"!" kata
Dayang Sepuh dari balik semak.
"Kita lihat saja! Aku juga masih heran!" jawab Da-
tuk Wahing. Di depan sana mendadak murid Pendeta Sinting
berteriak. "Aku menemukan lobang!"
Nyai Tandak Kembang segera melompat mendekati
Joko. Lalu perhatikan sibakan dedaunan di hadapan-
nya. Saat lain kedua tangannya bergerak ikut sibakkan dedaunan.
Nyai Tandak Kembang dan Joko melihat sebuah lo-
bang agak besar. Nyai Tandak Kembang menghirup
udara beberapa kali. Lalu berpaling pada Joko dan
berkata. "Kuharap kau masih ingat pesanku tadi, Anak Mu-
da!" Tanpa menunggu jawaban, Nyai Tandak Kembang
melangkah memasuki lobang. Pendekar 131 mengikuti
di belakangnya. Putri Kayangan menyusul.
"Apa yang kita lakukan sekarang"! Setan-setan itu
lenyap masuk ke dalam tanah tinggi!" kata Dayang Se-
puh. "Sebaiknya kita menunggu di sini! Mereka pasti
akan keluar!" jawab Gendeng Panuntun.
"Benar! Sebaiknya kita menunggu! Apalagi murid
Pendeta Sinting sudah ikut masuk! Kukira dia tahu
apa yang harus dilakukan!" Datuk Wahing berucap
sambuti ucapan Gendeng Panuntun.
"Aku punya firasat lain! Pemuda setan itu tampak-
nya tidak berdaya menghadapi kedua setan perem-
puan di sampingnya! Kau dengar dan lihat sendiri ba-
gaimana pemuda setan seperti kerbau dicocok hidung-
nya!" Dayang Sepuh mengomel.
"Aku tahu...," kata Datuk Wahing. "Namun jangan
kau heran, Nek. Pemuda itu pasti akan bisa melaku-
kan apa yang seharusnya dilakukan! Setan perempuan
akan selalu mendahulukan perasaan. Sementara setan
laki-laki akan mengedepankan pikiran! Dalam urusan
sekarang ini, bagaimanapun juga pikiran akan me-
nang! Sekarang kita harus pindah tempat. Dari tempat ini angin berhembus ke arah
tanah ketinggian itu. Walau mengherankan, tapi siapa tahu mereka akan men-
gendus kehadiran kita!"
Setelah berkata begitu, Datuk Wahing beranjak
bangkit lalu berkelebat dan mendekam di kerapatan
semak sebelah kanan tanah ketinggian.
"Nek.... Sebaiknya kau ke sebelah kiri tanah itu.
Sementara aku akan sedikit ke samping dari tempat
ini! Dengan begitu Nyai Tandak Kembang tidak akan
terlalu curiga dengan santernya bau kencing!" kata
Gendeng Panuntun begitu merasakan Dayang Sepuh
bangkit berdiri dan hendak berkelebat.
"Lagi pula, dengan mengambil tempat sendiri-
sendiri, kita leluasa jika hendak mengisi bumbung
bambu!" Gendeng Panuntun sambungi ucapannya se-
raya tertawa pelan.
Dayang Sepuh menyeringai seraya rapikan poni di
keningnya. Saat lain si nenek berkelebat ke samping
kiri. Sementara Gendeng Panuntun melangkah perla-
han-lahan tidak jauh dari tempatnya semula.
*** SEMBILAN BEGITU memasuki lobang, Nyai Tandak Kembang,
Pendekar 131, dan Putri Kayangan segera disambut
kegelapan. Setelah agak terbiasa, baru ketiganya sadar kalau tengah berada di
sebuah ruangan agak besar.
Ketiganya sama pentang mata masing-masing lalu
mengedar berkeliling. Namun sejauh ini mereka tidak
melihat seseorang. Yang terlihat hanyalah sebuah ranjang dari bambu beralas
rumput kering serta meja
yang di atasnya terdapat kendi dari tanah serta buah-buahan.
"Aneh.... Aromanya masih ku cium di sini. Tapi
orangnya tidak kutemukan!" kata Nyai Tandak Kem-
bang dalam hati seraya terus edarkan pandangan.
"Kendi dan buah-buahan satu tanda jika tempat ini
dihuni orang!" pikir Joko. "Tapi benarkah penghuninya Pitaloka?"
Selagi Joko berpikir begitu, tiba-tiba Nyai Tandak
Kembang yang sudah tidak sabaran perdengarkan su-
ara berteriak. "Pitaloka! Aku tahu kau berada di sini.... Mengapa
kau sembunyikan diri. Cucuku" Aku eyangmu.... Ke-
luarlah...!"
Nyai Tandak Kembang menunggu. Namun sampai
sekian jauh tidak juga ada jawaban atau tanda-tanda
akan munculnya orang di tempat itu.
"Pitaloka.... Aku datang untuk menjemputmu! Ke-
luarlah...!" Nyai Tandak Kembang kembali berteriak.
Namun belum juga ada sahutan.
Nyai Tandak Kembang menghela napas. Lalu ber-
paling pada murid Pendeta Sinting dan Putri Kayan-
gan. "Kalian berdua, telusuri dinding ruangan ini! Dan beri tahu jika ada yang
mencurigakan! Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera melang-
kah berlawanan. Murid Pendeta Sinting mulai menelu-
suri dinding ruangan dari sebelah kanan, sementara
Putri Kayangan dari sebelah kiri. Nyai Tandak Kem-
bang sendiri memperhatikan langit-langit ruangan
dengan melangkah mondar-mandir berkeliling.
Namun hingga murid Pendeta Sinting dan Putri
Kayangan saling bertemu, mereka berdua tidak mene-
mukan sesuatu yang mencurigakan di bagian dinding.
Nyai Tandak Kembang sendiri tidak menangkap tanda-
tanda rahasia pada bagian langit-langit ruangan.
Nyai Tandak Kembang melangkah ke arah lobang
dari mana dia tadi masuk. Untuk beberapa saat pe-
rempuan ini tegak dengan mata terpejam dan kedua
tangan saling menakup di depan wajah.
"Aneh.... Aroma itu terputus di sini! Bagaimana ini
bisa terjadi"!" gumam Nyai Tandak Kembang lalu buka
matanya dan kedua tangannya diluruhkan.
"Percuma kita cari di sini! Pitaloka sudah keluar.
Dan kita kehilangan jejaknya!"
"Bagaimana bisa begitu, Eyang"!" tanya Putri
Kayangan. "Aku sendiri tak tahu.... Yang jelas aroma itu terputus dan seolah ada tabir
yang memutus aromanya!"
jawab Nyai Tandak Kembang.
"Eyang.... Kau yakin itu adalah aroma Pitaloka"!"
Joko ingin meyakinkan.
"Sejak bayi Pitaloka dan Beda Kumala berada dalam
tanganku! Sejauh mana pun mereka pergi, aku dapat
mengendusnya! Tapi kali ini ada yang lain pada tubuh Pitaloka hingga aku tak
mampu mengendus kebera-
daannya! Ini memang aneh dan luar biasa!"
"Jangan-jangan karena bayi dalam kandungannya!"
kata Joko. Namun ucapan itu disimpannya dalam hati.
Selain karena dia belum bisa memastikan Pitaloka tengah mengandung atau tidak,
dia juga merasa yakin
Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang belum per-
caya dengan dugaan kehamilan Pitaloka.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Eyang?"
tanya Putri Kayangan.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. Lalu me-
mandang pada murid Pendeta Sinting seakan minta
pertimbangan. Namun Pendekar 131 nyatanya belum
bisa mendapatkan jalan keluar. Hingga meski dia tahu arti pandangan Nyai Tandak
Kembang, tapi murid
Pendeta Sinting tetap kancingkan mulut.
Saat itulah mendadak dari arah luar terdengar
orang berucap. "Kau yakin dia berada di sekitar tempat ini"!"
Nyai Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri
Kayangan tersentak. Mereka saling pandang satu sama
lain. Mereka bisa memastikan bahwa suara yang baru
terdengar dari luar adalah suara seorang perempuan.
"Jangan-jangan Dayang Sepuh!" gumam Joko.
"Hem.... Ternyata mereka mengikuti aku! Aku harus
bicara terus-terang pada mereka! Karena ini adalah
urusanku! Pitaloka adalah cucuku! Tak seorang pun
akan kubiarkan terlibat!" kata Nyai Tandak Kembang
lalu segera berkelebat menerobos lobang diikuti murid Pendeta Sinting dan Putri
Kayangan. Begitu tegak di luar, Nyai Tandak Kembang lang-
sung buka mulut. Namun buru-buru ditakupkan kem-
bali. Sepasang matanya membelalak. Murid Pendeta
Sinting dan Putri Kayangan ikut pentangkan mata
memandang ke depan.
Mereka bertiga melihat tiga sosok tubuh. Dua laki-
laki dan satu perempuan. Tapi mereka bukanlah Da-
tuk Wahing, Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh.
Yang perempuan adalah seorang nenek mengena-
kan pakaian gombrong. Rambutnya putih. Di sebelah
kanan si nenek tegak seorang kakek mengenakan pa-
kaian putih agak lusuh. Kakek ini tegak dengan kepala sedikit didongakkan. Namun
karena kakek ini tidak
memiliki leher, sosoknya tampak sedikit melengkung
ke belakang. Dan mulutnya selalu terbuka walau dia
tidak perdengarkan suara. Dan ternyata kakek ini ti-
dak mempunyai gigi alias ompong.
Di sebelah kiri si nenek tegak seorang kakek yang
juga berpakaian agak lusuh. Rambutnya putih awut-
awutan. Kedua tangannya selalu ditadangkan pada
bagian belakang kedua telinganya.
"Kakek Iblis Ompong, Dewi Ayu Lambada, dan Dewa
Uuk!" gumam murid Pendeta Sinting mengenali siapa
adanya ketiga orang di depan sana.
"Hem.... Mereka bertiga ternyata menyusul sampai
di sini!" Putri Kayangan berkata pula dalam hati. Dari kata hatinya jelas kalau
si gadis telah pula mengenali siapa adanya ketiga orang yang bukan lain memang
Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk.
Sementara dari tempat persembunyiannya, melihat
munculnya ketiga orang, Dayang Sepuh sempat terke-
jut. Dia sudah hendak buka suara. Namun diurungkan
tatkala matanya melihat munculnya Nyai Tandak
Kembang, Pendekar 131, serta Putri Kayangan.
"Setan! Untuk apa setan-setan tua itu muncul di
tempat ini"!" Akhirnya Dayang Sepuh hanya bisa men-
desis seraya arahkan pandang matanya ke depan.
Di tempat lain Datuk Wahing tak kalah terkejutnya.
Malah hampir saja kakek ini perdengarkan bersinan.
Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-tenang
saja. "Ternyata si Ompong muncul pula di sini! Hem....
Mudah-mudahan dengan kemunculannya bisa dapat
membantu...," gumam Gendeng Panuntun.
"Harap katakan apa maksud kedatangan kalian...,"
kata Nyai Tandak Kembang mulai angkat bicara sete-
lah perhatikan pada ketiga orang di hadapannya.
Dewi Ayu Lambada tidak segera menjawab. Sebalik-
nya berpaling pada Iblis Ompong. Sementara Iblis Om-
pong sendiri tetap mendongak dengan mulut terbuka
lebar-lebar tanpa perdengarkan suara. Di sebelah kiri si nenek, Dewa Uuk
tadangkan kedua tangannya di belakang telinga lalu mulutnya bergerak-gerak
perden- garkan suara. "Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukk!" Tangan kanannya
diturunkan lalu menunjuk pada murid Pendeta Sinting
dan Putri Kayangan.
"Hem.... Yang satu ini aku belum pernah bertemu
dan tidak mengenainya! Dari sikapnya sepertinya dia
bisu dan tuli! Tapi dari isyarat tangannya, dia mengenal murid Pendeta Sinting
dan Beda Kumala! Apa ke-
munculan mereka ini masih ada sangkut pautnya den-
gan Pitaloka"! Mengapa kabar ini begitu cepat tersiar"!
Adakah ini satu petunjuk kalau Pitaloka benar-benar
tengah mengandung"! Hem...." Nyai Tandak Kembang
berkata sendiri dalam hati. Dadanya dibuncah dengan
berbagai hal. "Eyang.... Aku mengenal mereka!" ujar Joko pelan.
"Mereka adalah sahabat-sahabatku!"
"Hem.... Tapi harap kau ingat pesanku, Anak Muda!
Jangan ikut bicara atau bertindak!" kata Nyai Tandak Kembang.
"Harap kalian terangkan maksud kedatangan kalian
ke tempat ini!" Nyai Tandak Kembang kembali angkat
suara.

Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau tak keliru, bukankah yang di hadapanku ini
Nyai Tandakan" Eh, maksudku Nyai Tandak Kem-
bang"!" Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada.
"Terima kasih kau tidak lupa, Nenek Dewi Ayu
Lambada...," sambut Nyai Tandak Kembang. "Datang
jauh-jauh ke tempat ini pasti ada sesuatu yang sangat penting. Mudah-mudahan kau
tak keberatan mengatakannya padaku!"
"Kau tidak lupa pada nenek ini. Apa kau lupa pada-
ku"!" yang bertanya adalah Iblis Ompong tanpa lu-
ruskan kepala. Nyai Tandak Kembang tersenyum. "Kakek Iblis Om-
pong.... Aku masih mengingatmu!"
"Ah.... Terima kasih! Tampangku ternyata masih
terkenang oleh perempuan berparas cantik!" kata Iblis Ompong lalu tertawa.
"Uukk! Ukkkk! Uuuukk!" Dewa Uuk tiba-tiba tun-
jukkan jari tangannya pada wajahnya lalu tersenyum
dan menunjuk pada Nyai Tandak Kembang. Saat lain
kedua tangannya ditadangkan di belakang kedua telin-
ganya. Kepalanya disorongkan ke depan.
"Aku Nyai Tandak Kembang...," Nyai Tandak Kem-
bang berkata mengerti isyarat Dewa Uuk.
Namun karena suara Nyai Tandak Kembang begitu
pelan, Dewa Uuk tidak bisa mendengarnya hingga dia
memberi isyarat dengan buka tutup tangannya.
"Dia Nyai Tandak Kembang!" teriak Dewi Ayu Lam-
bada dengan suara keras membahana membuat Nyai
Tandak Kembang sedikit terkejut. Dewa Uuk sendiri
tampak terlonjak kaget namun segera tertawa dan
angguk-anggukkan kepala.
"Boleh aku tanya, Nyai"!" tanya Dewi Ayu Lambada.
"Ada hubungan apa antara gadis itu dengan dirimu"!"
Mata sang Dewi mengarah pada Putri Kayangan.
"Dia cucuku!"
Dewi Ayu Lambada tersentak. Iblis Ompong ikut
terkejut dan luruskan kepala dengan mulut terbuka
menganga. "Pemuda itu juga cucumu"!" tanya Dewi Ayu Lam-
bada. Kini matanya beralih pada murid Pendeta Sint-
ing. Nyai Tandak Kembang tersenyum. "Dia tak ada hu-
bungan apa-apa denganku! Dan tentunya kau sudah
tahu siapa dia sebenarnya!"
Dewi Ayu Lambada anggukkan kepala. Lalu perha-
tikan sekali lagi pada Pendekar 131 sebelum akhirnya berkata.
"Anak muda! Bagaimana dengan hasil yang kau da-
patkan"! "Dewi Ayu.... Harap kau tanya saja padaku! Semua
urusan di sini akulah yang bertanggung jawab!" Nyai Tandak Kembang sudah
menyahut sebelum murid
Pendeta Sinting buka suara.
Dewi Ayu Lambada kernyitkan kening. Iblis Ompong
terdongak dengan mulut makin menganga lebar.
Di balik semak, Dayang Sepuh menyumpah habis-
habisan. "Sudah kuduga! Sudah kuduga! Pemuda setan itu
pasti takluk di bawah ketiak setan cantik itu! Jika ini dibiarkan bisa
berbahaya!" Tangan Kanan Dayang Sepuh mengepal dengan pelipis bergerak-gerak.
Di lain tempat, Datuk Wahing sempat pula terlen-
gak mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang. "Ba-
gaimana ini bisa terjadi! Mengapa pemuda itu diam sa-ja"! Jangan-jangan firasat
Dayang Sepuh jadi kenya-
taan! Ada yang tak beres dalam hal ini!"
"Nyai.... Aku perlu bicara dengan pemuda itu!" kata
Dewi Ayu Lambada.
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala. "Untuk
saat ini, harap kau mengerti.... Dia dan aku telah ada perjanjian! Jadi kuharap
kau katakan saja padaku apa
yang hendak kau bicarakan!"
Pendekar 131 sendiri tampak gelisah dan bingung.
Dia memandang berganti-ganti pada Dewi Ayu Lamba-
da dan Nyai Tandak Kembang. Mulutnya membuka
mengatup. Namun sejauh ini tidak terdengar juga uca-
pan. Karena lama tak juga terdengar ucapan lagi dari
Dewi Ayu Lambada, Nyai Tandak Kembang yang tam-
paknya sudah dapat menangkap maksud kedatangan
orang segera perdengarkan suara.
"Kau hendak menanyakan tentang gadis mengan-
dung itu, bukan"!"
Belum sampai Dewi Ayu Lambada menjawab, Nyai
Tandak Kembang sudah mendahului.
"Harap lupakan urusan gadis itu! Gadis itu tidak
ada di tempat ini! Dan satu hal lagi, harap tidak melibatkan gadis itu dalam
urusanmu!"
"Hem.... Syukur kau telah mengetahuinya!" ujar
Dewi Ayu Lambada. "Namun ucapanmu terdengar
aneh di hidungku, eh.... Maksudku di telingaku! Rimba persilatan membutuhkan
gadis itu!"
"Semua itu masih dugaan, Dewi! Dan aku tak mau
main-main dengan dugaan! Terkadang dugaan itu me-
nyesatkan! Lebih dari itu, aku tahu persis siapa dan bagaimana sifat gadis yang
kau duga tengah hamil itu!
Aku tidak percaya dia hamil!"
"Ini bukan dugaan, Nyai! Ini firasat beberapa orang
kerabat! Eh.... Maksudku firasat beberapa orang sahabat!"
"Siapa pun sahabat yang berfirasat, selama ini yang
ku tahu sebuah firasat akan membuat orang tersesat!"
"Tapi...." Iblis Ompong hendak buka suara.
Namun Nyai Tandak Kembang sudah menukas.
"Aku tidak ingin berdebat urusan sesuatu yang belum
ada kenyataan! Itu hanya buang-buang waktu! Semen-
tara waktuku tidak banyak! Untuk saat ini kami tak
mau diganggu.... Kalau tidak ada yang akan kau uta-
rakan, kuharap kau mau tinggalkan tempat ini!"
"Hem.... Jadi kau mengusirku"!" tanya Dewi Ayu
Lambada. Nyai Tandak Kembang tersenyum seraya gelengkan
kepala. "Bukan itu maksudku, Dewi.... Hanya saja, untuk sementara waktu ini kami
punya urusan yang tak
mau melibatkan orang lain!"
"Nyai! Setiap urusan harus ada orang lain yang ter-
libat!" "Tapi tidak untuk urusan satu ini, Dewi! Aku ingin
selesaikan sendiri! Lagi pula ini urusan keluarga...!"
"Betul! Tapi masih ada kaitannya dengan keselama-
tan rimba persilatan!"
Nyai Tandak Kembang gelengkan kepala 3eraya ter-
senyum. Urusan keluarga sudah jelas, sementara uru-
san dunia persilatan masih sekadar dugaan! Kuharap
kau tidak begitu saja percaya dengan kabar burung
itu...." "Setan! Perempuan itu benar-benar bengal dan ke-
ras kepala! Tanganku jadi gatal ingin menggebuknya!"
Dayang Sepuh merasa jengkel mendengar ucapan Nyai
Tandak Kembang. Dia arahkan pandang matanya pada
tempat di mana Gendeng Panuntun mendekam sem-
bunyi. Lalu pada tempat di mana Datuk Wahing men-
gendap-endap. "Kedua setan laki-laki itu tidak coba menengahi
urusan agar segera selesai! Apa aku harus keluar un-
tuk menyelesaikannya"!" Dayang Sepuh memikir se-
saat. Kejap lain tiba-tiba dia bergerak bangkit. Namun belum sampai nenek
berambut poni ini bergerak lebih
jauh, satu bayangan hitam berkelebat. Tahu-tahu ti-
dak jauh di belakang Dewi Ayu Lambada telah tegak
satu sosok tubuh!
*** SEPULUH NYAI Tandak Kembang, Pendekar 131, dan Putri
Kayangan segera arahkan pandang mata masing-
masing ke arah sosok yang baru muncul. Dewi Ayu
Lambada cepat balikkan tubuh. Dayang Sepuh yang
tadi hendak berkelebat ke arah Dewi Ayu Lambada bu-
ru-buru urungkan niat lalu mendekam kembali den-
gan mata melotot tak berkesip. Hanya Iblis Ompong
dan Dewa Uuk yang terlihat tenang-tenang saja laksa-
na tidak ada orang lain yang muncul. Iblis Ompong
tengadahkan kepala dengan mulut makin dibuka le-
bar. Sementara Dewa Uuk justru memandang tajam
pada murid Pendeta Sinting.
Sosok yang baru muncul ternyata seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya tampan namun
keras. Rahangnya kokoh, matanya tajam. Kumisnya
lebat. Rambutnya panjang sebahu dibiarkan bergerai
menutupi sebagian paras wajahnya. Orang muda ini
mengenakan mantel hitam panjang sebatas lutut.
Pemuda yang baru muncul pasang tampang menye-
ringai tanpa memandang pada orang di hadapannya.
Saat lain kepalanya mendongak. Mulutnya terbuka.
"Aku datang bersama angin.
Aku datang bernaung matahari dan rembulan.
Aku datang dari lembah kegelapan.
Lintasan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran darah anak manusia. "
Dewi Ayu Lambada perhatikan sesaat pada pemuda
di hadapannya. Lalu melangkah maju dua tindak dan
berkata. "Lagakmu..., eh maksudku, lagumu bagus, Anak
Muda. Tentu kau memiliki gelar yang bagus pula. Sia-
pa gelarmu, Anak Muda"!"
Si pemuda luruskan kepala memandang pada Dewi
Ayu Lambada. "Aku Malaikat Berkabung!"
"Kau pernah mendengar gelar itu sebelum ini, Pu-
tri"!" tanya murid Pendeta Sinting pada Putri Kayan-
gan yang tegak di sampingnya.
Putri Kayangan gelengkan kepala. "Tampaknya dia
pemuda yang baru muncul dalam kancah dunia persi-
latan! Kau lihat dia seolah memandang sebelah mata
pada orang-orang di hadapannya! Dia belum tahu sia-
pa adanya mereka yang kini dihadapi!"
"Aku jadi heran.... Bagaimana tempat ini bisa dike-
tahui beberapa orang!"
"Itu bukan hal penting, Joko. Yang aku tak habis
pikir justru bagaimana Pitaloka bisa memutus aroma
dirinya hingga Eyang kehilangan jejak! Ini tak mungkin dilakukan Pitaloka
sendiri. Pasti ada orang lain di
sampingnya yang tahu kemampuan Eyang!"
"Ini juga satu bukti jika dugaan itu benar! Jika ti-
dak, mengapa Pitaloka harus melakukannya" Seakan
dia takut berhadapan dengan orang! Padahal yang di-
hadapi adalah eyangnya sendiri. Kalau tidak ada apa-
apa, tak mungkin dia melakukan ini!"
"Aku masih ragu dengan dugaan itu, Joko! Mungkin
ada maksud lain mengapa Pitaloka takut menghadapi
Eyang!" "Putri.... Rasanya aku harus segera tinggalkan tem-
pat ini!" Putri Kayangan cepat berpaling. "Kau hendak men-
cari Pitaloka sendiri"!"
"Mungkin. Yang pasti sudah tidak ada yang kuha-
rapkan di tempat ini! Lagi pula ikut bersama dengan
eyangmu membuatku seperti patung! Sementara sebe-
narnya masih banyak yang harus kukatakan dan ku-
tanyakan pada beberapa orang!"
"Tapi...."
Belum sampai Putri Kayangan lanjutkan ucapan,
Nyai Tandak Kembang sudah berkata. "Biarkan dia
pergi, Beda Kumala!"
"Terima kasih, Eyang...."
"Kau tak usah berterima kasih. Tidak ada budi yang
tertanam di antara kita! Hanya satu hal yang harus
kau ketahui, Anak Muda! Lupakan urusan gadis itu!
Jangan libatkan dia dengan urusan yang belum pasti!
Kau tahu sendiri akibatnya, bukan..." Banyak orang
tak dikenal muncul dengan membawa maksud yang
sama! Sementara urusannya sendiri belum jelas! Ini
akan menambah kesulitanku untuk menemukan Pita-
loka!" Walau dalam hati tidak setuju dengan ucapan Nyai
Tandak Kembang, namun akhirnya murid Pendeta
Sinting anggukkan kepala. Saat lain dia melirik pada Putri Kayangan. Yang
dilirik tampak murung.
"Putri.... Percayalah. Kita nanti pasti akan bertemu lagi. Dan kuharap, saat itu
sudah tidak ada lagi urusan!" kata Joko dengan suara dipelankan agar tidak
terdengar Nyai Tandak Kembang.
Putri Kayangan menghela napas dalam-dalam. Lalu
memandang tajam ke arah Pendekar 131 yang mulai
melangkah menyisi hendak tinggalkan tempat itu.
Namun belum sampai jauh melangkah, tiba-tiba
pemuda yang sebutkan diri Malaikat Berkabung ang-
kat bicara. "Jangan harap ada yang tinggalkan tempat ini sebe-
lum takdir menentukan apa yang akan terjadi!"
Pendekar 131 hentikan langkah lalu memandang
tajam ke arah Malaikat Berkabung.
"Apa maksud ucapanmu, Sobat"!"
"Sudah menjadi kepastian. Setiap Malaikat Berka-
bung datang, berarti ada anak manusia yang diantar
menuju tempat perkabungan!" Malaikat Berkabung
memandang satu persatu pada beberapa orang yang
tegak di hadapannya. "Hari ini entah takdir siapa di antara kalian yang harus
kuantar ke tempat perkabungan! Jadi jangan tinggalkan tempat ini sebelum
acara perkabungan berlangsung!"
"Sobat.... Aku punya urusan. Kuharap kau mau
mengerti. Dan kukira beberapa orang di sini cukup untuk menikmati acaramu! Lebih
dari itu, aku percaya
takdirku bukan hari ini!"
"Manusia tidak bisa membaca takdir! Hanya saja
sudah jadi kepastian, setiap aku datang, pasti ada
anak manusia yang menjalani takdirnya untuk mam-


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pus!" "Walah.... Kau layaknya utusan pencabut nyawa sa-
ja!" Yang berkata adalah Iblis Ompong sembari putar
diri menghadap Malaikat Berkabung namun dengan
kepala tetap tengadah tanpa melihat orang. Saat ber-
samaan Dewa Uuk juga balikkan tubuh. Kakek bisu
dan tuli ini juga tidak memandang ke arah Malaikat
Berkabung melainkan arahkan pandang matanya pada
murid Pendeta Sinting yang telah tegak di sebelah
samping sana. "Sebenarnya aku masih ingin bicara dengan Dewa
Uuk dan Kakek Iblis Ompong, tapi dalam keadaan se-
perti ini kurasa percuma! Lebih baik aku teruskan perjalanan mencari Pitaloka!
Kakek Gendeng Panuntun
tentunya masih berada di sekitar hutan ini...!" kata Joko dalam hati.
"Itu memang tugasku, Iblis Ompong!" kata Malaikat
Berkabung membuat semua orang di tempat itu jadi
melengak mendapati orang telah mengenali Iblis Om-
pong. "Hem.... Rupanya pengetahuanmu banyak juga,
Anak Muda! Apa kau juga mengenali siapa diriku"!"
tanya Dewi Ayu Lambada seraya gerakkan tubuh sedi-
kit melenggak-lenggok.
Malaikat Berkabung angkat tangan kirinya, jari te-
lunjuknya diluruskan ke arah Dewi Ayu Lambada.
"Sebagai orang yang akan mengantar perkabungan se-
tiap anak manusia, aku pasti mengenalimu. Kau ada-
lah nenek bernama Dewi Ayu Lambada!" Jari telunjuk
Malaikat Berkabung beralih pada Dewa Uuk. "Dia ada-
lah adikmu bergelar Dewa Uuk!"
Malaikat Berkabung menyeringai. Kini telunjuknya
mengarah pada Nyai Tandak Kembang. "Dan kau ada-
lah Nyai landak Kembang, sementara gadis di bela-
kangmu adalah perempuan yang bergelar Putri Kayan-
gan!" Malaikat Berkabung turunkan tangan kirinya. Kini
wajahnya menghadap ke arah Joko. "Dan kau adalah
anak manusia bernama Joko Sableng bergelar Pende-
kar Pedang Tumpul 131!"
Semua orang yang ada di tempat itu kembali dibuat
tersentak kaget mendapati si pemuda telah tahu siapa adanya beberapa orang di
tempat itu. Hanya Dewa Uuk
yang biasa-biasa saja. Malah orang tua ini yang me-
mang adik kandung Dewi Ayu Lambada menoleh pada
Iblis Ompong. Tangan kanannya membuat isyarat
membuka menutup lalu menunjuk-nunjuk pada Ma-
laikat Berkabung. Saat lain dia tadangkan kedua tan-
gannya di belakang telinga dengan kepala disorongkan mendekat ke wajah Iblis
Ompong. "Dia malaikat!" teriak Iblis Ompong. "Dia telah kenal siapa saja di tempat ini
termasuk dirimu!"
Entah terkejut karena teriakan Iblis Ompong di de-
pan telinganya atau tersentak dengan pemberitahuan
Iblis Ompong, Dewa Uuk berjingkrak. Lalu tangannya
menunjuk pada Malaikat Berkabung dan pada dirinya.
Saat lair tangannya bergerak-gerak ke samping kiri
kanan pulang balik.
Iblis Ompong dekatkan wajahnya ke telinga Dewa
Uuk, lalu berteriak lagi.
"Walau kau berkata tak kenal, yang pasti dia tahu
siapa dirimu!"
Kali ini Dewa Uuk baru tunjukkan tampang terke-
jut. Dia sorongkan kepalanya ke depan lalu pandangi
Malaikat Berkabung tanpa berkesip. Di lain pihak me-
lihat tampang semua orang jadi terkejut karena teba-
kannya, Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Di-
am-diam dalam hati pemuda ini membatin.
"Hem.... Ciri-ciri yang dikatakan Guru ternyata be-
nar. Perubahan wajah orang-orang itu menunjukkan
kalau tebakanku tidak meleset! Namun urusan dengan
mereka bukanlah yang paling penting saat ini! Yang lebih utama adalah menanyakan
pada perempuan can-
tik berpakaian mirip penari itu di mana Pitaloka bera-da!"
Malaikat Berkabung sudah hendak buka mulut,
namun Pendekar 131 mendahului.
"Sobat!" kata murid Pendeta Sinting. "Kau telah
kenal semua orang yang ada di tempat ini! Jadi kuha-
rap kau tidak mengganggu mereka! Mereka akan
membicarakan sesuatu! Kalau masih ada yang hendak
kau bicarakan, lekas katakanlah!"
Malaikat Berkabung arahkan pandangannya pada
Nyai Tandak Kembang. Lalu berkata. "Nyai Tandak
Kembang! Serahkan Pitaloka padaku saat ini juga!"
Untuk kesekian kalinya orang di tempat itu terke-
siap. Karena Malaikat Berkabung berteriak, Dewa Uuk
bisa mendengarnya hingga orang tua ini ikut terkejut.
Namun yang paling tampak kaget adalah Nyai Tandak
Kembang dan Putri Kayangan.
"Siapa pemuda asing ini"! Aku belum pernah den-
gar gelarnya selama ini! Namun dia telah mengenaliku bahkan semua orang di sini!
Lebih-lebih dia telah
mengenali Pitaloka dan tampaknya tahu urusannya!
Sudah demikian jauhkah berita ini tersebar"! Pitalo-
ka.... Kau benar-benar telah membuat malu besar pa-
daku!" Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin.
Lalu dengan menahan perasaan, dia berkata menyam-
buti ucapan Malaikat Berkabung.
"Anak muda! Ada urusan apa antara kau dan Pita-
loka"!"
"Aku belum pernah bertemu dengan gadis itu. Tapi
bukannya tidak ada urusan antara aku dengan dia!"
ujar Malaikat Berkabung.
"Katakanlah apa urusannya!" kata Nyai Tandak
Kembang meski sedikit heran.
Malaikat Berkabung gerakkan kepala menggeleng.
"Aku tidak bisa mengatakannya di sini! Serahkan saja Pitaloka padaku!"
"Hem.... Rupanya dia tahu juga urusan Pitaloka!
Heran.... Bagaimana dia bisa tahu"!" gumam Pendekar
131 tak habis pikir.
Sementara mendengar ucapan-ucapan Malaikat
Berkabung, di balik semak Dayang Sepuh tak henti-
hentinya geleng kepala dengan menyumpah-nyumpah
dalam hati. Dia sesekali arahkan pandangannya ke
tempat di mana Gendeng Panuntun dari Datuk Wahing
mendekam sembunyi. Si nenek makin geram saja
mendapati kedua orang itu tidak juga memberi isyarat atau muncul.
"Ke mana dua setan tua itu"! Apa ketiduran hingga
tidak tahu apa yang tengah terjadi"! Seharusnya mere-ka segera muncul dan
menyelesaikan urusan agar ti-
dak berlarut-larut. Apalagi kini telah datang manusia setan yang baru kali ini
kujumpai, tapi nyatanya dia telah mengenal banyak orang! Dan tahu urusan yang
tengah terjadi! Hem.... Aku harus ke tempat mereka!"
Berpikir begitu akhirnya Dayang Sepuh mulai ber-
gerak perlahan-lahan menjauh seraya kibas-kibaskan
air dalam bumbung bambu. Saat lain dia berkelebat la-lu memutar haluan dan
berlari menuju tempat di ma-
na Gendeng Panuntun tadi mendekam sembunyi.
"Setan! Di mana dia"! Dia tadi berada di sini! Tapi
sekarang tidak kelihatan batang hidungnya!" kata
Dayang Sepuh dalam hati begitu sampai di tempat
mana tadi Gendeng Panuntun berada dan tidak men-
dapati orang. "Jangan-jangan dia bergabung dengan setan bersin
itu!" Tanpa menunggu lama lagi, kembali Dayang Se-
puh berkelebat. Setelah memutar jalan, dia mengen-
dap-endap ke arah tempat di mana tadi Datuk Wahing
sembunyi. Namun kembali si nenek dibuat geram. Ternyata dia
juga tidak menemukan sosok Datuk Wahing. "Setan!
Mereka meninggalkan diriku tanpa pamit! Pasti mereka pergi berdua! Ke mana"! Apa
mereka pikir karena Pitaloka tidak ada di sini lalu melanjutkan perjalanan"!
Setan betul!" Dayang Sepuh memaki-maki sendiri. Lalu
balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara di depan sana, Nyai Tandak Kembang
tampak tersenyum mendengar ucapan Malaikat Ber-
kabung. Lalu berkata.
"Anak muda! Pitaloka tidak berada bersamaku!"
"Jangan bicara dusta di hadapanku!" bentak Malai-
kat Berkabung. "Aku tahu di mana Pitaloka kau sem-
bunyikan!"
"Kau bukan saja pandai mengenali orang, tapi juga
pintar menduga! Aku memberimu kesempatan untuk
menemukan Pitaloka!"
"Bagus! Kau seorang nenek yang baik!" kata Malai-
kat Berkabung lalu melangkah ke depan.
Namun Dewi Ayu Lambada segera rentangkan ke-
dua tangannya menghadang. Sementara Dewa Uuk te-
rus tadangkan kedua tangan di belakang telinganya
seakan ingin mendengar apa yang dibicarakan orang.
"Dewi Ayu.... Harap tidak halangi langkahnya!" Nyai
Tandak Kembang berkata.
Dewi Ayu Lambada berpaling. Nyai Tandak Kem-
bang tersenyum seraya gelengkan kepala. "Kau tak
usah khawatir! Lagi pula ini urusan cucuku!"
"Hem.... Kalau begitu putusanmu, apa boleh buat!"
ujar Dewi Ayu Lambada seraya tarik pulang kedua
tangannya lalu mendekati Dewa Uuk dan Iblis Om-
pong. Sementara Malaikat Berkabung teruskan lang-
kah ke arah tanah ketinggian.
Tiga langkah di depan tanah ketinggian yang tertu-
tup dedaunan dan rumput tebal, Malaikat Berkabung
hentikan tindak. Sosoknya berputar menghadap bebe-
rapa orang yang ada di tempat itu. Namun pemuda ini
hanya memandang pada satu persatu orang tanpa bu-
ka mulut. Saat lain kembali dia balikkan tubuh. Mem-
buat satu gerakan, dan tiba-tiba sosoknya melesat ke depan menerobos dedaunan
dan rumput tebal.
"Luar biasa! Dia tahu di mana lobang itu berada!"
gumam Nyai Tandak Kembang begitu melihat sosok
Malaikat Berkabung lenyap masuk ke tanah ketinggian
melalui lobang di mana tadi Nyai Tandak Kembang,
Putri Kayangan, dan Pendekar 131 muncul.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Malaikat Ber-
kabung, Pendekar 131 segera berkelebat tinggalkan
tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Karena semua
orang tengah memperhatikan tindakan Malaikat Ber-
kabung, mereka tidak mengetahui kepergian murid
Pendeta Sinting.
"Beda Kumala! Kita tinggalkan tempat ini! Tak ada
gunanya meladeni orang itu!" Mendadak Nyai Tandak
Kembang berbisik pada Putri Kayangan. "Aku yakin Pi-
taloka sudah meninggalkan tempat ini!"
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berke-
lebat. Putri Kayangan arahkan pandang matanya ke
tempat di mana tadi murid Pendeta Sinting tegak. Dia sesaat jadi kaget mendapati
sang Pendekar sudah tidak kelihatan lagi. Tanpa berkata-kata gadis cantik ini
segera pula berkelebat menyusul eyangnya.
"Hai! Tunggu!" tahan Dewi Ayu Lambada. Namun
Putri Kayangan seolah tidak dengarkan teriakan orang.
Dia terus berkelebat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan pohon di depan sana.
"Kalau mereka pergi, berarti gadis itu tidak ada di
sini!" ujar Dewi Ayu Lambada. "Jadi tak ada gunanya
kita di tempat ini!"
Tanpa menunggu sahutan orang, Dewi Ayu Lamba-
da segera menggaet tangan Dewa liuk lalu diseretnya
berkelebat tinggalkan tempat itu. Iblis Ompong men-
dongak dengan manggut-manggut. Lalu ikut berkele-
bat. Baru saja Iblis Ompong berlalu, mendadak dari
arah timur terlihat satu bayangan berlari kencang. Kejap lain berjarak lima
belas langkah dari tanah ketinggian di mana tadi Malaikat Berkabung melesat
masuk, telah tegak satu sosok tubuh!
*** SEBELAS JAHANAM! Kau simpan di mana gadis itu, hah"!"
Tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat dari dalam
tanah ketinggian. Saat lain satu sosok tubuh melesat menerobos dedaunan dan
rumput tebal dan muncul di
tanah agak terbuka. Dia tidak lain adalah pemuda
yang sebutkan diri sebagai Malaikat Berkabung.
Sesaat Malaikat Berkabung edarkan matanya yang
berkilat ke Seantero tempat itu. Mendadak rahangnya
terangkat. Pelipis kiri kanannya bergerak-gerak ketika mendapati yang ada di
situ hanya tinggal satu orang.
Apalagi orang itu bukan orang yang tadi berada di
tempat itu. "Siapa kau"!" Yang ajukan tanya adalah orang di
hadapan Malaikat Berkabung.
Malaikat Berkabung memandang angker ke depan.
Yang tegak di hadapannya adalah seorang perempuan
setengah baya berwajah cukup cantik. Rambutnya di-
kuncir. Dia mengenakan pakaian warna abu-abu yang.
di bagian dada dibuat membelah agak ke bawah. Hing-
ga lembahan dua payudaranya terlihat nyata. Pinggul-
nya besar dibalut dengan kain tipis ketat, hingga cua-tannya membuat dada
berdebar. Malaikat Berkabung menyeringai dingin. Kepalanya
mendongak. Lalu terdengarlah ucapannya yang seperti
bersyair. "Aku datang bersama angin.
Aku datang bernaung matahari dan rembulan.
Aku datang dari lembah kegelapan.
Lintasan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran darah anak manusia! "
Si perempuan tertawa merdu. Sepasang matanya
yang bulat dipejamkan sesaat lalu dibuka lagi. Bibirnya kembangkan satu senyum.
"Takdir mereka masih baik! Tapi takdirmu buruk,
Anak Manusia! Kau datang menggantikan takdir mere-
ka!" kata Malaikat Berkabung.


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bicara takdir! Apa kau tahu kita ditakdirkan
bertemu lalu bercinta"!"
"Dewi Gita! Sayang sekali.... Hari perkabunganmu
telah tiba! Tapi sebelum kau kuantar ke tempat perkabungan, jawab dulu tanyaku!
Ke mana mereka pergi"!"
Si perempuan tersentak kaget. Bukan saja oleh per-
tanyaan orang, melainkan juga mendapati orang tahu
siapa dirinya. "Baru kali ini akan bertemu dengannya! Tapi dia te-
lah mengenaliku! Padahal sudah hampir sepuluh ta-
hun aku tidak berkecimpung dalam belantara persila-
tan! Siapa pemuda ini"! Siapa pula yang dimaksud
dengan mereka"! Dia tadi sebut-sebut gadis! Apa yang dimaksud adalah gadis yang
tengah mengandung itu"!"
Selagi perempuan yang dipanggil Dewi Gita memba-
tin, Malaikat Berkabung telah berucap lagi.
"Dengan tidak menjawab tanyaku, berarti kau
mempercepat saat perkabungan itu, Dewi Gita!"
Ancaman orang bukannya membuat Dewi Gita ta-
kut. Sebaliknya perempuan ini tersenyum dengan ke-
dipkan sebelah mata. Lalu melangkah perlahan-lahan
ke depan. "Kau tadi belum jawab pertanyaanku! Dan aku ti-
dak biasa menjawab pertanyaan orang yang belum ku-
kenal meski kau telah tahu siapa aku!"
"Aku manusia dari lembah kegelapan! Aku Malaikat
Berkabung!"
"Ah.... Rupanya kita berselera sama. Aku juga se-
nang yang gelap-gelap! Kulihat kau tadi muncul dari
tanah ketinggian itu. Apa di sana ada tempat yang
enak untuk bicara"!"
"Tempatmu bukan di sana! Aku tahu di mana, dan
akan segera kutunjukkan padamu!" kata Malaikat
Berkabung. Dewi Gita makin percepat langkah sambil terus ter-
tawa. Berjarak delapan langkah tiba-tiba perempuan
ini kelebatkan kedua tangannya melepas pukulan ja-
rak jauh bertenaga dalam tinggi!
Wuutt! Wuuuutt!
Dua gelombang angin dahsyat menghampar ganas
ke arah Malaikat Berkabung.
Mendapat serangan mendadak, Malaikat Berkabung
bukannya terkejut, melainkan tertawa panjang. Saat
bersamaan dia kebutkan mantel hitamnya.
Weeerr! Mantel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung
berkelebat angker perdengarkan deruan keras. Gelom-
bang angin berkiblat.
Desss! Dessss! Terdengar benturan keras perdengarkan suara
mendesis. Dewi Gita terkesiap dan buru-buru melom-
pat mundur dengan paras berubah. Sosoknya bergetar
dengan kedua tangan gemetar. Di depan sana Malaikat
Berkabung tengadah sambil teruskan gelakan tawa!
Kelebatan mantel yang mampu menghadang puku-
lannya sudah cukup membuat Dewi Gita sadar tengah
berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi. Hal ini membikin Dewi Gita makin
penasaran akan siapa
adanya orang. "Pemuda tampan! Kau tengah mencari seorang ga-
dis"!" tanya Dewi Gita seraya diam-diam kerahkan te-
naga dalam. "Itu urusanku! Dan kau tak tahu apa-apa dalam
urusan ini!"
"Kau salah duga! Yang kau cari gadis yang tengah
hamil, bukan"!"
Malaikat Berkabung menyeringai. "Aku tidak bodoh!
Kau bukannya memberi keterangan. Sebaliknya kau
akan mengerek keterangan dariku! Jangan kira aku
tak tahu apa yang ada dalam benakmu!"
Dewi Gita diam-diam terkejut. "Dia tahu...! Sebaik-
nya aku tinggalkan tempat ini! Aku tak akan membuat
perkara sebelum aku mendapatkan apa yang kucari!"
Habis membatin begitu, Dewi Gita tersenyum pada
Malaikat Berkabung. Saat bersamaan sekonyong-
konyong kedua tangannya berkelebat melepas satu
pukulan lagi! Kejap lain Dewi Gita berbalik lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu. Malaikat Berkabung menyingkir dengan melompat
ke samping. Gelombang angin dari kedua tangan Dewi
Gita menyambar empat jengkal di sebelah samping
Malaikat Berkabung. Lalu menghantam tanah keting-
gian di belakang sana.
Brakkk! Tanah ketinggian yang tertutup dedaunan dan
rumput tebal langsung terbongkar. Dedaunan dan
rumput tampak semburat. Lalu terlihat lobang men-
ganga! Malaikat Berkabung tegak pandangi kelebatan so-
sok Dewi Gila. Saat lain pemuda ini kibaskan mantel
hitamnya. Sosoknya melesat dan lenyap di depan sana.
Sementara Dewi Gita teruskan berkelebat laksana
dikejar setan. Bukannya takut menghadapi Malaikat
Berkabung karena dia sendiri yakin akan kekuatan-
nya, namun dia tidak mau terlibat perkara dengan
orang. Dewi Gita baru berhenti larinya tatkala sampai pada
satu tempat yang dirasa cukup aman. Apalagi saat itu matahari hampir tenggelam
hingga suasana agak gelap.
"Hem.... Pemuda Edan! Tak ada hujan tak ada angin
tiba-tiba inginkan nyawa orang! Kalau saja aku tidak tengah...." Dewi Gita
putuskan gumamannya. Ekor
matanya menangkap kelebatan satu sosok bayangan.
Dan belum sempat perempuan ini melakukan gerakan,
tahu-tahu di hadapannya telah tegak satu sosok tu-
buh. Saat bersamaan terdengar Ucapan bersyair.
"Aku datang dari lembah kegelapan.
Lintasan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari aliran darah anak manusia. "
Dewi Gita terkesiap kaget mendengar syair yang di-
ucapkan lelaki di hadapannya.
"Kau kira takdir buruk itu bisa lolos dari tubuhmu,
Perempuan"! Tidak...! Setiap Malaikat Berkabung
muncul, harus ada anak manusia yang darahnya jadi
saksi! Itu adalah kepastian!"
Tengkuk Dewi Gita semakin dingin. Tapi perempuan
ini cepat kuasai diri. Dia sadar, tak mungkin lagi bisa menghindar. Maka seraya
lipat gandakan tenaga dalam, dia berucap.
"Di antara kita tidak ada silang perkara. Aku pun
tak ingin membuat urusan denganmu! Tapi jangan kau
kira aku takut! Katakan apa maumu sebenarnya!"
"Memutus takdirmu! Itu adalah kepastian yang ha-
rus kulakukan!"
"Hem.... Aku tak percaya dengan ucapanmu! Kau
disuruh orang"! Berapa imbalan yang kau terima"!
Atau imbalan itu lebih molek dariku"!"
"Aku datang dari lembah kegelapan! Tak ada manu-
sia di sana! Aku hanya ingin disaksikan bumi bahwa
setiap aku muncul, harus ada aliran darah anak ma-
nusia! Kau dengar, itu adalah kepastianku!"
Belum selesai ucapan Malaikat Berkabung, tangan
pemuda ini telah bergerak. Mantel hitamnya berkelet
dari arah kiri kanan.
Terdengar dua deruan angker. Dua gelombang de-
ras berkiblat ganas ke arah Dewi Gita.
Dewi Gita tidak tinggal diam. Bersamaan dengan
bergeraknya tangan Malaikat Berkabung, kedua tan-
gan perempuan ini lepaskan satu pukulan jarak jauh.
Bummm! Terdengar ledakan menggelegar. Suasana kelam ka-
rena matahari telah tenggelam mendadak dipecah den-
gan terlihatnya muncratan laksana bara api ke udara.
Tanah di tempat itu bergetar keras. Sosok Dewi Gita
terhuyung dua tindak ke belakang dengan wajah beru-
bah pias. Dewi Gita segera meneliti. Merasa tidak mengalami
cedera terlalu berat, dia segera berkelebat ke depan.
Kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah ke-
pala dan dada Malaikat Berkabung.
Malaikat Berkabung tertawa pendek. Saat lain dia
jejakkan kaki. Sosoknya melesat menyongsong hanta-
man kedua tangan Dewi Gita.
Bukkk! Bukkk! Dua benturan keras terdengar. Dewi Gita terdorong
sambil perdengarkan seruan tertahan. Hampir saja ke-
dua lutut perempuan ini menekuk kalau saja dia tidak segera hentakkan telapak
kakinya hingga sosoknya tegak laksana terpacak.
Dewi Gita tadi sengaja hendak menjajaki tenaga da-
lam orang. Karena dia khawatir sapuan gelombang
yang datang ke arahnya hanya karena kesaktian man-
tel hitam yang dikenakan Malaikat Berkabung. Setelah terjadi benturan, Dewi Gita
kini maklum kalau tenaga dalam orang memang luar biasa!
"Hem.... Sebenarnya aku tak ingin membuat uru-
san, tapi apa hendak dikata. Rupanya manusia ini
memang punya keanehan!" gumam Dewi Gita dalam
hati. Lalu angkat kedua tangannya. Sosoknya tampak
bergetar keras tanda perempuan ini telah kerahkan segenap tenaga dalam yang
dimilikinya. Di depan sana, Malaikat Berkabung angkat pula
kedua tangannya dengan telapak sama dikembangkan.
Lalu kedua jari tengah masing-masing tangan ditemu-
kan dan ditarik tepat di depan mata.
"Dari tadi kau bicara soal takdir. Mungkin itu satu
tanda takdirmu sudah tiba!" bentak Dewi Gita. Kedua
tangannya segera disentakkan.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang ganas disertai menghamparnya ha-
wa panas luar biasa mencuat lurus ke arah Malaikat
Berkabung. Malaikat Berkabung dorong kedua telapak tangan-
nya ke depan perlahan saja. Namun hebatnya, dari ke-
dua telapak tangannya yang jari tengahnya saling bertemu itu melesat kabut hitam
laksana tabir. Wusss! Wuuuss! Blammmm! Hawa panas menyengat yang sesaat tadi menyung-
kup tempat itu bersamaan dengan melesatnya gelom-
bang dari kedua tangan Dewi Gita laksana diguyur hu-
jan es. Bahkan saat itu juga suasana berubah dingin.
Tak lama kemudian terdengar gelegar hebat.
Dewi Gita perdengarkan jeritan melengking. Sosok-
nya terpental sejauh satu tombak lalu jatuh
nyangsrang di balik semak. Dari mulutnya mengucur
darah. Sementara sosoknya menggigil kedinginan
meski ia merasakan sekujur tubuhnya laksana di-
panggang! Di seberang depan, sosok Malaikat Berkabung ter-
dorong empat langkah. Walau sempat terhuyung hen-
dak jatuh, namun pemuda ini cepat dapat kuasai diri.
Malah begitu sosok Dewi Gita jatuh di balik semak,
Malaikat Berkabung telah melesat ke depan dan tahu-
tahu telah tegak tiga langkah di belakang Dewi Gita.
Dewi Gita rasakan nyawanya seolah melayang keti-
ka tiba-tiba satu tendangan berkelebat ke arahnya se-
mentara dia belum sempat bergerak bangkit. Namun
perempuan ini tak mau berdiam diri. Dia segera angkat kaki kanannya menghadang
tendangan yang datang.
Bukkk! Untuk kedua kalinya Dewi Gita menjerit. Sosoknya
yang belum bangkit berguling-guling di balik semak.
Kakinya yang baru saja menghadang tendangan lang-
sung mengembung besar dan laksana tak bisa dige-
rakkan. Malaikat Berkabung rupanya tak ambil peduli den-
gan keadaan orang. Dia segera memburu. Saat lain
kembali kakinya bergerak lepaskan satu tendangan
menyusur tanah ke arah kepala Dewi Gita.
Dalam keadaan demikian rupa, nyatanya Dewi Gita
tak mau menyerah. Kini dengan sisa tenaganya dia
angkat kaki kirinya lalu dihantamkan menghadang
tendangan orang.
Bukkk! Sosok Dewi Gita mencelat sebelum akhirnya meng-
hantam satu batangan pohon dan jatuh terkapar den-
gan mulut makin banyak kucurkan darah.
Malaikat Berkabung tidak mau menunggu. Begitu
sosok Dewi Gita mencelat, dia cepat mengejar. Saat sosok Dewi Gita terkapar di
atas tanah, kedua tangannya membuat gerakan mendorong. Dua gelombang angin
menderu. Dewi Gita hanya bisa membelalak tanpa dapat
membuat gerakan apa-apa. Hingga tanpa ampun lagi
gelombang yang melesat dari kedua tangan Malaikat
Berkabung menghantam telak pada sosoknya!
Dewi Gita hanya sempat perdengarkan pekikan
pendek kala sosoknya terpental lalu kembali menghan-
tam batangan pohon. Dan saat sosok Dewi Gita me-
layang jatuh, nyawa perempuan ini sudah putus.
Malaikat Berkabung pandangi sosok Dewi Gita yang
terkapar bersimbah darah. Senyumnya terkembang.
Lalu kepalanya tengadah.
"Pitaloka tidak ada di tempat itu. Ke mana kira-kira anak manusia itu"! Berhari-
hari aku mengikuti perjalanan mereka tanpa mereka ketahui. Nyatanya usaha-
ku sia-sia! Hem.... Ke mana pun mereka saat ini pergi, yang pasti masih berada
dalam hutan ini. Aku harus
segera mendapatkan mereka! Malam purnama sudah
tidak lama lagi...."
Untuk beberapa saat lamanya Malaikat Berkabung
pandangi langit yang semakin hitam. Tiba-tiba saja dia berteriak dengan
bersyair. "Anak manusia di pelataran jagat.


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manusia dari lembah kegelapan telah datang.
Datang dengan membawa satu kepastian.
Sampai bumi berubah jadi lautan darah! "
Suara teriakan Malaikat Berkabung belum lenyap,
ternyata sosok si pemuda sudah tidak ada lagi di tempatnya semula!
*** DUA BELAS SATU sosok tubuh berselimut dedaunan tampak
menggeliat di bawah satu batangan pohon besar di su-
asana dingin menjelang dini hari. Beberapa kali orang ini buka mulut menguap
namun sepasang matanya
belum juga dibuka. Malah tak lama kemudian dia me-
ringkuk dan perdengarkan dengkuran keras.
Ketika matahari mulai merangkak dari arah timur,
orang berselimut dedaunan di bawah pohon kembali
gerakkan tubuh menggeliat. Kini kedua matanya dibu-
ka lalu diusap-usap dengan kedua punggung lengan.
Kejap lain dia bergerak duduk dan sandarkan pung-
gung pada batangan pohon.
"Seandainya Putri Kayangan ada bersamaku...," ti-
ba-tiba orang di bawah pohon bergumam sendiri se-
raya cengengesan. "Tentu tidak ada rasa dingin sema-
laman! Ke mana dia sekarang pergi" Waktu aku me-
ninggalkan tanah ketinggian itu, kulihat Nyai Tandak Kembang juga pergi.... Ah!
Percuma aku sekarang memikirkan soal itu! Pitaloka gagal kutemukan sementara
saat purnama sudah tidak berapa lama lagi! Aneh....
Nyai Tandak Kembang merasa aroma penciumannya
terputus! Sementara hal itu katanya tidak pernah terjadi! Mem.... Ada keanehan
pada diri Pitaloka! Atau
jangan-jangan ada seorang berilmu tinggi yang meno-
long Pitaloka dan dapat memutus daya cium Nyai Tan-
dak Kembang.... Hem.... Lalu ke mana Dewi Ayu Lam-
bada, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk" Dengan muncul-
nya mereka tepat di tempat mana Nyai Tandak Kem-
bang menduga Pitaloka berada, berarti mereka juga
kehilangan jejak Pitaloka! Lalu ke mana sekarang aku harus mencari gadis itu"!"
Orang yang duduk bersandar di batangan pohon
dan tidak lain adalah murid Pendeta Sinting beranjak bangkit. Dia edarkan
pandangan berkeliling. Kepalanya menggeleng perlahan. "Urusan di mana Pitaloka
belum terjawab, kini muncul lagi seorang pemuda
aneh. Dia seolah tahu dan kenal setiap orang! Padahal melihat paras keterkejutan
orang, aku dapat menebak
jika Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, dan Nyai Tan-
dak Kembang belum pernah bertemu dengan pemuda
itu! Malaikat Berkabung.... Hem.... Gelar yang bagus.
Sayang aku tak tahu siapa dia sebenarnya! Tapi dari
ucapannya, maksudnya tidak meleset jauh dari penca-
rian Pitaloka! Mengapa kabar kehamilan gadis itu begi-
tu cepat menebar" Siapa pula yang menebarkan"!"
Selagi Pendekar 131 membatin dan bertanya-tanya
pada diri sendiri, mendadak berjarak dua puluh lang-
kah di depan sana satu bayangan putih berkelebat. Belum sempat Joko dapat
melihat siapa adanya orang,
bayangan putih telah lenyap.
Joko tegak menunggu dengan mata dipentang tak
berkesip memandang ke arah sirnanya orang. Dia be-
lum bergerak karena ingin yakinkan dahulu pandan-
gannya. Mendadak bayangan putih di depan sana ter-
lihat lagi. Murid Pendeta Sinting makin pentangkan
mata. Sementara orang di depan sana seolah tahu ke-
raguan orang, hingga kali ini dia tidak segera berkelebat lagi, melainkan tegak
membelakangi Joko. Namun
cuma sekejap. Saat lain dia putar diri menghadap Pendekar 131.
Karena agak jauh, Joko belum dapat menatap den-
gan seksama wajah orang. Namun yang pasti, dia ya-
kin belum mengenal orang itu. Yang dapat dilihatnya adalah orang itu berambut
putih dipotong pendek
hingga rambutnya menjadi tegak-tegak. Dia mengena-
kan pakaian warna putih.
Setelah agak lama memandang ke arah murid Pen-
deta Sinting, orang berambut pendek jabrik dan ber-
pakaian putih lorotkan tubuh dan lenyap dari pandan-
gan Joko karena terhalang semak dan batangan bebe-
rapa pohon. Namun murid Pendeta Sinting masih juga belum
bergerak dari tempatnya. Dia sebenarnya bimbang. Di
satu sisi tindakan orang membuatnya jadi penasaran,
tapi dalam situasi seperti saat ini dia harus waspada terhadap siapa saja
apalagi orang yang belum dikenal-nya.
Dalam kebimbangannya, tiba-tiba orang berambut
jabrik putih di depan sana kelihatan lagi. Ternyata
orang itu tidak beranjak dari tempatnya semula. Kali ini agak lama dia memandang
ke arah Pendekar 131.
"Apa maksudnya orang itu"!" gumam murid Pendeta
Sinting dengan terus perhatikan sikap orang. Namun
dia belum bisa dengan jelas melihat wajah orang.
Sementara di depan sana, setelah agak lama me-
mandang akhirnya orang berambut jabrik putih balik-
kan tubuh dan berkelebat.
Entah apa yang terpikir dalam benak murid Pendeta
Sinting, begitu orang berambut jabrik putih berkelebat, Joko ikut pula membuat
gerakan dan sosoknya melesat ke arah orang berambut jabrik putih.
Ternyata orang berambut jabrik putih tidak henti-
kan kelebatan meski dia tahu murid Pendeta Sinting
tengah berkelebat mengejarnya. Malah dia seakan
mempercepat larinya.
"Hai! Tunggu!" seru Pendekar 131 seraya terus
mengejar. Orang berambut jabrik putih tidak pedulikan teria-
kan Joko. Dia terus berkelebat sebelum akhirnya me-
nyelinap lenyap di balik kerapatan semak.
Murid Pendeta Sinting hentikan larinya begitu men-
dapati orang yang dikejar tidak kelihatan lagi. "He-
ran.... Apa maunya orang itu"! Dia tadi seolah ingin dikenali, tapi begitu
dikejar dia menghilang!"
"Kau mencariku, Pendekar 131"!" Tiba-tiba satu su-
ara mengejutkan Joko. Bersamaan itu satu sosok
bayangan melayang turun dari atas sebuah pohon.
Murid Pendeta Sinting gerakkan kepala mengikuti
sosok yang melayang turun. Dan perhatikan orang
dengan seksama saat sosok itu telah tegak di atas tanah. Ternyata dia adalah
seorang kakek. Rambutnya
putih jabrik. Sepasang matanya agak sipit namun ta-
jam. Kumisnya putih dan lebat. Dia mengenakan pa-
kaian warna putih mirip pakaian seorang biksu yang
bagian dada kanannya terbuka. Di tangan kanannya
juga memegang sebuah tasbih pendek warna coklat. Di
lehernya melingkar kalung panjang dari untaian buti-
ran warna coklat pula.
"Hem.... Dua kali aku bertemu orang yang telah
mengenaliku padahal aku belum pernah berjumpa!
Siapa pula orang tua ini"!" Joko bertanya-tanya dalam hati. Lalu angkat bicara.
"Orang tua.... Kau telah tahu aku. Sekarang mau
kau katakan siapa dirimu"!"
Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tangan
kanan. Tasbih pendek di tangannya bergerak memu-
tar. "Hutan belantara sepi. Bertahun-tahun tak dirambah telapak kaki manusia!
Tapi hari-hari terakhir ini kulihat banyak telapak kaki menginjaknya. Sebelum
kujawab pertanyaanmu, katakanlah dahulu apa mak-
sudmu berada di hutan ini, Pendekar 131!"
"Rasanya tak ada gunanya aku berdusta! Perta-
nyaannya itu mungkin hanya berpura-pura! Padahal
dia sebenarnya sudah tahu!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya murid Pendeta
Sinting buka mulut menjawab.
"Aku tengah mencari seorang gadis! Dan harap jan-
gan tanyakan lanjutannya, karena kurasa kau telah
tahu, Orang Tua!"
Si orang tua berambut jabrik putih gerakkan tubuh
memutar sedikit. Seraya tersenyum dia berucap pelan.
"Alur aliran darah memang akan selalu membawa
ikan hiu untuk mengikutinya!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Agak lama dia
coba menyimak ucapan si orang tua. Namun karena
dia lebih tertarik dengan siapa dia sedang berhadapan, akhirnya Joko ajukan
tanya lagi. "Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa diri-
mu"!"
Yang ditanya tengadahkan kepala. "Pendekar 131!
Lihatlah ke langit!"
Walau masih heran, murid Pendeta Sinting akhir-
nya mendongak juga.
"Apa yang kau lihat"!"
"Aku tidak melihat sesuatu yang luar biasa! Hanya
ada sedikit awan!"
Si orang tua gelengkan kepala. "Perhatikan sekali
lagi, Pendekar 131!"
Pendekar 131 melirik pada si orang tua. Lalu tenga-
dah lagi. "Orang tua! Aku tidak melihat apa-apa!"
"Aku melihat darah! Darah itu menebar sampai ke
hamparan bumi!"
"Orang tua! Apa maksudmu sebenarnya"!"
"Kau akan segera tahu, Pendekar 131!"
Habis berkata begitu, si orang tua berambut jabrik
putih berkelebat. Anehnya dia tidak coba menyelinap
sembunyikan diri. Malah di depan sana dia melangkah
pelan-pelan dan sesekali berpaling pada murid Pendeta Sinting dengan tersenyum.
Namun kali ini senyumnya
lain. "Ada yang aneh dengan orang tua itu!" gumam mu-
rid Pendeta Sinting lalu berkelebat mengejar.
SELESAI Segera menyusul:
LEMBAH PATAH HATI
Scanned by Clickers
Edited by Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** DUA *** *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** *** TUJUH *** *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** DUA BELAS SELESAI Pedang Sakti Tongkat Mustika 20 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang 11
^