Pencarian

Nyai Tandak Kembang 2

Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Bagian 2


kata Nyai Tandak Kembang.
Tanpa menunggu sambutan Putri Kayangan, Nyai
Tandak Kembang berteriak seraya berkelebat.
"Ikuti aku!"
Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Pen-
dekar 131 yang melangkah dengan keheranan melihat
kelebatan Nyai Tandak Kembang. Belum sempat Joko
tahu apa maksud Nyai Tandak Kembang, Putri Kayan-
gan telah berkelebat seraya berseru.
"Joko! Kita ikuti Eyang Guru!"
Walau masih bertanya-tanya, namun akhirnya mu-
rid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak
Kembang dan Putri Kayangan.
*** LIMA KIGALI kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya.
Hingga kelebatan sosoknya hanya laksana bayang-
bayang. Namun belum sampai jauh berlari, tiba-tiba
laki-laki ini hentikan larinya lalu laksana dikejar setan, dia melompat masuk ke
balik kerapatan semak belukar dan mencekam tanpa membuat suara atau gera-
kan! Hanya sepasang matanya yang berputar liar me-
mandang ke satu arah.
Pada arah mana mata Kigali memandang liar, men-
dadak satu sosok bayangan berkelebat dan tegak di
depan sana. Baru saja sosok ini tegak, dua sosok
bayangan berlari dari belakangnya lalu tegak di samping kanan kiri sosok yang
pertama tegak. Sepasang mata Kigali makin membelalak tak berke-
sip perhatikan ketiga orang di depan sana dengan dada berdebar. Orang yang tegak
di tengah dan orang yang
pertama muncul adalah seorang nenek berwajah putih
tebal. Bibirnya merah menyala dipoles. Rambutnya
yang putih lebat dikelabang dua dan pada ujungnya
diberi pita. Rambut bagian depannya diponi menutupi
kening. Nenek ini mengenakan pakaian warna merah
berupa baju tanpa lengan dan cingkrang hingga ketiak dan pusarnya kelihatan.
Sedangkan pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut yang berwarna
merah. Di sebelah kanan si nenek yang tidak lain adalah
Dayang Sepuh, tegak seorang kakek mengenakan pa-
kaian putih kusam. Rambutnya sudah memutih dan
tipis. Kepala kakek ini terus bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan
mimik seperti orang akan
bersin. Kakek ini bukan lain adalah Datuk Wahing.
Sementara di sebelah kiri si nenek adalah seorang
laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar men-
genakan pakaian gombrong warna hijau yang pada
pinggangnya melilit ikat pinggang besar yang pada bagian depannya tepat di depan
perut terlihat sebuah
cermin bulat. Kepala kakek tambun ini sedikit tenga-
dah dengan mata mengerjap beberapa kali. Dan ter-
nyata sepasang mata si kakek berwarna putih, menun-
jukkan kalau dia buta. Kakek ini tak lain adalah Gendeng Panuntun.
"Hem.... Makin banyak orang-orang yang muncul di
hutan ini! Aku tak tahu pasti apa tujuan mereka,
hanya mungkin saja masih ada hubungannya dengan
Pitaloka!. Mengapa Pitaloka begitu dicari banyak
orang"! Kalau perempuan cantik yang menamakan di-
rinya Tandak Kembang mungkin saja alasannya bisa
kuterima! Tapi yang ini pasti punya maksud lain!
Hem.... Pitaloka tidak memiliki keistimewaan apa-apa.
Dia juga tidak membawa benda mustika yang pantas
diperebutkan! Kalaupun dia memiliki modal, itu ha-
nyalah wajahnya yang cantik!" Kigali diam-diam mem-
batin dengan mata terus perhatikan pada ketiga orang di depan sana.
"Jangan-jangan mereka tengah memperebutkan
bayi dalam kandungan Pitaloka.... Ah! Tapi untuk
apa"! Hem.... Peduli dengan maksud mereka, yang je-
las aku harus segera membawa Pitaloka dari hutan
ini!" Berpikir begitu, Kigali segera gerakkan kepala pelan dengan mata melirik ke
samping kiri kanan. Namun
sebelum Kigali sempat bergerak keluar, sekonyong-
konyong terdengar bersinan tiga kali, membuat Kigali urungkan niat dan memandang
ke depan. Saat bersamaan tiba-tiba terdengar suara.
"Sahabat.... Apakah tampang kami bertiga menghe-
rankanmu sampai kau memandang sembunyi-
sembunyi"!"
Kigali simak ucapan orang dengan seksama. Dia
rupanya maklum kalau telah diketahui tengah sem-
bunyi. Namun dia belum membuat gerakan atau per-
dengarkan suara.
"Sahabat...," Kali ini yang buka mulut Gendeng Pa-
nuntun. "Kami hanya perlu sedikit keterangan. Harap
suka tunjukkan diri...."
Di balik tempat mendekamnya, Kigali masih bim-
bang hingga untuk sementara dia belum bergerak atau
menyahuti ucapan orang. Namun dari sikap orang, Ki-
gali tampaknya sadar tengah berhadapan dengan
orang-orang yang berilmu tidak rendah.
Karena ditunggu-tunggu tidak juga adanya tanda-
tanda akan munculnya orang, Dayang Sepuh yang ti-
dak sabaran segera buka mulut berteriak keras.
"Setan sekalipun kau adanya, mengapa malu tun-
jukkan tampang"! Kami tahu kau ada di sana! Apa kau
perlu bahasa selain ucapan"!"
"Daripada cari urusan yang membuat langkahku
terhambat, lebih baik ku turuti permintaan mereka...!"
Akhirnya Kigali memutuskan lalu melangkah keluar
dari kerapatan semak belukar.
"Setan laki-laki!" desis Dayang Sepuh sambil melo-
tot pandangi orang.
Gendeng Panuntun melangkah menghampiri Datuk
Wahing. Lalu berbisik. "Datuk.... Aku tak mengenal
orang itu. Tapi kurasa kau mengenalnya betul! Siapa
dia"!"
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya dan
memandang sekilas pada Kigali. Saat lain kepalanya
telah bergerak kembali pulang balik ke depan ke belakang.
"Bruss! Bruss! Jangan anggap aku membuatmu he-
ran. Tapi sesungguhnya aku tidak kenal sahabat
itu...." "Perhatikan sekali lagi, Datuk.... Ingat-ingat paras wajahnya!" kata Gendeng
Panuntun. Untuk kedua kalinya Datuk Wahing hentikan gera-
kan kepalanya. Lalu perhatikan orang agak lama.
"Bruss! Aku heran.... Sepertinya aku memang per-
nah bertemu dengan sahabat ini! Tapi aku lupa siapa
dia...!" ujar Datuk Wahing lalu berpaling pada Dayang Sepuh.
"Nek.... Kau mengenali siapa adanya sahabat yang
baru keluar dari semak itu?"
"Setan! Kau kira aku kenal dengan semua laki-laki,
hah"!"
"Bruss! Brusss! Aku tanya baik-baik, herannya kau
selalu marah-marah! Mungkin inilah salah satu sebab
mengapa banyak setan laki-laki heran padamu dan
terbirit-birit..,."
"Dalam hidup, aku tak butuh setan laki-laki! Dia
hanya akan membuat banyak urusan dan menyusah-
kan!" sahut Dayang Sepuh.
Gendeng Panuntun tertawa. "Tidak selamanya begi-
tu, Nek! Kau lupa, justru setan laki-laki bisa membuat bahagia dan bisa membikin
orang menikmati surga
dunia! Kalau tidak ada setan laki-laki mana mungkin
perempuan bisa mengandung?"
"Bruss! Belum lagi kalau kandungannya istimewa!
Maka tak heran akan banyak orang yang mempere-
butkannya!"
Diam-diam Kigali tersentak mendengar ucapan Da-
tuk Wahing dan Gendeng Panuntun. "Mereka me-
nyinggung-nyinggung kandungan.... Apa ini isyarat"!
Kakek bertubuh besar itu matanya buta. Tapi dia sea-
kan bisa melihat.... Dan mengapa dia mengatakan ka-
kek yang selalu bersin-bersin mengenaliku"! Seper-
tinya aku belum pernah bertemu dengan salah satu
dari ketiga orang itu.... Atau aku pernah jumpa namun lupa"!"
Mungkin untuk meyakinkan, Kigali perhatikan se-
kali lagi pada ketiga orang di hadapannya lebih teliti.
Namun tampaknya dia yakin belum pernah bertemu
salah satu dari mereka.
Selagi Kigali berpikir dan coba mengingat-ingat, Da-
tuk Wahing perdengarkan bersinan lalu disusul den-
gan ucapan. "Sahabat.... Tidak keberatan bukan kalau sebutkan
diri pada kami" Jangan heran. Tampang-tampang ka-
mi memang demikian adanya. Sahabat perempuan
kami ini pun akan selalu sebut-sebut nama setan. Tapi kami bukanlah bangsanya
setan...."
"Aku Kigali.... Aku tinggal tak jauh dari hutan ini!"
Datuk Wahing adalah satu-satunya orang yang ter-
kejut. Hingga dia perdengarkan bersinan beberapa kali!
Lalu berpaling pada Gendeng Panuntun namun tidak
buka suara. "Aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa pada
kalian," Kigali lanjutkan ucapan. "Aku harus segera
pergi!" Kigali balikkan tubuh lalu berkelebat.
"Bruss! Brusss!"
Datuk Wahing bersin dua kali. Bersamaan itu dua
gelombang berdesir. Tanah dua langkah di hadapan
Kigali langsung terbongkar dan muncrat ke udara,
membuat Kigali urungkan kelebatannya. Tanpa berpal-
ing lagi, Kigali berucap.
"Di antara kita tidak ada urusan, harap tidak mem-
bukanya dengan hal yang memalukan! Katakan saja
apa maksud kalian sebenarnya! Aku tidak punya wak-
tu banyak!"
"Bruss! Bruss! Harap maafkan kalau itu tadi kau
anggap hal yang memalukan! Kami hanya berharap
kau tidak segera tinggalkan tempat ini! Kau mungkin
heran, tapi kau nanti akan memahaminya...."
"Kalian telah dengar. Aku tidak punya waktu ba-
nyak! Katakan saja apa kemauan kalian!" Kigali beru-
cap lagi. Kali ini suaranya agak keras karena orang tua ini agak jengkel dengan
tindakan orang.
"Bruss! Brusss!"
Datuk Wahing bersin dua kali. Namun kali ini tidak
disambung dengan ucapan. Namun suara bersinan itu
ternyata tidak terhenti. Sebaliknya terus terdengar dan pantul memantul ke
segenap penjuru mata angin! Padahal Datuk Wahing tidak bersin lagi!
"Ilmu 'Pantulan Tabir'!" gumam Kigali lalu secepat
kilat dia balikkan tubuh dan memandang tajam pada
Datuk Wahing. Datuk Wahing berdehem dua kali. Lak-
sana direnggut setan, suara bersinan yang pantul me-
mantul lenyap! "Dalam kancah rimba persilatan, hanya dua orang
yang memiliki ilmu 'Pantulan Tabir'! Nyai Suri Agung dari Kampung Setan dan
Galaga! Dari sosoknya tak
mungkin ia Nyai Suri Agung. Berarti dia Galaga! Apa
kemunculannya di hutan ini sengaja mencariku untuk
melanjutkan urusan lama"!" Kigali membatin.
"Bruss! Sahabatku Kigali...."
Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Ki-
gali telah menukas.
"Aku tahu siapa kau sebenarnya! Apa kedatangan-
mu untuk lanjutkan urusan lama"!"
"Bruss! Bruss! Sahabatku Kigali.... Jangan membu-
atku heran. Aku tahu apa yang kau lakukan saat itu.
Aku juga paham apa maksudmu waktu itu! Semuanya
sudah berlalu.... Dan aku telah melupakan semuanya!
Justru aku merasa gembira dan heran bisa bertemu
denganmu lagi.... Sekarang ada sesuatu yang harus
kau ketahui. Kuharap kau tidak heran mendengarnya!"
Kigali menarik napas lega. Namun dadanya makin
tak enak. Seraya tersenyum dia berkata.
"Terima kasih kau mau mengerti apa yang kulaku-
kan saat itu, Sahabat! Sekarang katakan saja apa yang hendak kau beri tahukan!"
Seperti diketahui, kira-kira tiga puluh enam tahun
yang lalu Kigali bersama Dadaka pernah menjadi
orang-orang kepercayaan Maladewa yang saat itu su-
dah menggenggam Kembang Darah Setan. Bahkan Ki-
gali dan Dadaka adalah dua orang yang mendapat tu-
gas dari Maladewa yang sekarang bergelar Setan Liang Makam, untuk mencari jejak
Nyai Suri Agung dan Galaga saudara seperguruan Maladewa. Namun Kigali
dan Dadaka gagal melakukan perintah Maladewa. Ke-
tika Maladewa hendak jatuhkan hukuman karena ke-
gagalannya, Kigali dan Dadaka lakukan rencana yang
sebenarnya telah mereka susun jauh sebelumnya.
Hingga pada akhirnya Kigali dan Dadaka berhasil me-
masukkan Maladewa beserta Kembang Darah Setan-
nya ke dalam makam batu di Kampung Setan. (Lebih
jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam epi-
sode "Rahasia Kampung Setan").
"Bruss! Bruss! Sebelum aku beri tahukan, ada se-
suatu yang membuatku heran dan kuharap kau mau
mengatakannya. Ke mana kau selama ini"!" tanya Da-
tuk Wahing. "Setelah peristiwa di Kampung Setan, aku dan Da-
daka memutuskan untuk berpisah. Aku tak tahu ke
mana Dadaka pergi. Sementara aku menghabiskan hi-
dup di sekitar hutan ini. Aku tidak pernah lagi keluar.
Jadi aku tidak tahu apa yang terjadi selama kira-kira tiga puluh enam tahun
terakhir ini!"
"Brusss! Tak heran jika aku tak mendengar lagi be-
ritamu, Sahabat! Sekarang ketahuilah. Cucu Nyi Suri
Agung ternyata masih hidup. Kini dia bergelar Setan
Liang Makam. Namun Kembang Darah Setan lepas da-
ri tangannya. Bahkan Jubah Tanpa Jasad juga lenyap
dari Kampung Setan. Bersamaan itu, sekarang muncul
seseorang yang di tangannya membekal Kembang Da-


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rah Setan dan dia juga mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad!" Kigali tidak terkejut mendengar keterangan Datuk
Wahing karena sebenarnya dia telah mendengar hal itu dari Pitaloka. Namun agar
tidak membuat orang curiga, Kigali tampakkan tampang kaget. Lalu bertanya.
"Kau tahu siapa kira-kira orang yang telah menda-
patkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad
itu"!"
"Brusss! Itulah yang mengherankan. Aku bersama
beberapa sahabat lainnya, hanya bisa menduga-duga
siapa gerangan orang itu tanpa dapat memastikan!"
Kepala Kigali mengangguk perlahan. Lalu berkata
seakan pada dirinya sendiri.
"Menurutku.... Orang yang tahu rahasia Kampung
Setan hanya lima orang. Kau, aku, Dadaka, Maladewa,
serta Nyai Suri Agung. Kalau aku, kau, dan Maladewa
bukan orangnya, tentu tinggal dua orang. Yakni Dada-
ka dan Nyai Suri Agung...."
"Brusss! Jangan heran kalau kukatakan tinggal sa-
tu orang. Karena Nyai Suri Agung telah dibunuh
orang!" Kali ini Kigali benar-benar terkejut. Bukan saja ka-
rena mendengar kematian Nyai Suri Agung, tapi juga
tidak menduga jika Dadaka yang kini telah menda-
patkan Kembang Darah Setan juga Jubah Tanpa Ja-
sad. "Jadi Dadaka orangnya!" ujar Kigali.
"Kurasa bukan dia orangnya!" Mendadak Gendeng
Panuntun menyahut dengan tangan kanan mengusap
cermin bulat di depan perutnya. "Sahabat kalian ber-
nama Dadaka kukira sudah mendahului kita mengha-
dap Sang Pencipta. Malah mungkin dia mendahului
orang yang kalian sebut-sebut sebagai Nyai Suri
Agung!" Kigali tersentak dan berubah kecut serta tegang.
"Dadaka sudah tewas. Begitu pula Nyai Suri Agung.
Mereka adalah orang-orang yang tahu rahasia Kam-
pung Setan. Bukan tak mungkin pembunuh kedua
orang ini akan mencariku! Hem.... Aku ingat ucapan
seseorang.... Kelak kalau aku dipertemukan seorang
perempuan, itulah tandanya kematianku sudah dekat!
Aku telah bertemu dengan Pitaloka.... Ah.... Tapi biarlah kalau waktu memang
sudah berakhir bagiku. Tapi
setidaknya aku harus menyelamatkan Pitaloka terlebih dahulu. Aku telah
terjanji...."
Berpikir sampai ke sana, setelah dapat kuasai hati.
Kigali berkata.
"Sahabat sekalian. Terima kasih atas keterangan-
nya. Sekarang aku harus pergi."
"Brusss! Brusss! Masih ada sesuatu yang harus
kau ketahui, Sahabat!" kata Datuk Wahing bernada
menahan kepergian Kigali.
"Sahabat kita itu sepertinya seorang suami yang
terburu-buru karena istrinya akan melahirkan.... Pa-
dahal kukira dia belum beristri!" Yang berkata adalah Gendeng Panuntun.
"Lagi pula siapa perempuan yang mau diambil istri
oleh laki-laki setan macam dia!" Dayang Sepuh yang
sejak tadi hanya diam bergumam pelan. Lalu tertawa
cekikikan. Di lain pihak, mendengar ucapan Gendeng Panun-
tun, Kigali melengak kaget. Diam-diam dia membatin
lagi. "Jangan-jangan mereka tahu kalau aku tengah
menunggui Pitaloka yang tengah mengandung...."
Selagi Kigali membatin, Datuk Wahing bersin dua
kali, lalu menyambungi dengan ucapan. "Sahabatku....
Orang yang saat ini tengah membekal Kembang Darah
Setan dan Jubah Tanpa Jasad mulai menebar maut
dan tampaknya hendak tancapkan kekuasaan tunggal
di permukaan bumi! Ini tidak mengherankan, karena
dengan dua senjata sakti di tangannya, memang terla-
lu tangguh untuk dihadapi siapa saja! Hanya saja....
Menurut beberapa sahabatku, ada satu jalan untuk
menghentikan ulahnya!"
"Dan satu jalan itu kaulah yang dapat menunjuk-
kannya!" sahut Gendeng Panuntun.
"Maka dari itu berkatalah terus terang! Jangan
sembunyikan sesuatu pada kami!" timpa! Dayang Se-
puh. "Bruss! Sahabatku Kigali. Orang yang membekal
Kembang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa
Jasad hanya dapat dihadapi dengan sesuatu yang ada
pada diri seorang bayi!"
"Dan perempuan yang mengandung bayi itu kurasa
dekat denganmu!" sambut Gendeng Panuntun.
"Maka katakan di mana perempuan itu!" Dayang
Sepuh ikut bicara.
Kigali tak bisa lagi menutupi rasa kaget dan kesi-
manya mendapati orang telah tahu kalau dirinya dekat
dengan seorang perempuan yang sedang mengandung.
Beberapa saat laki-laki yang pernah jadi orang kepercayaan Maladewa ini
tercenung diam. Dia dihadapkan
pada dua pilihan yang sangat sulit. Di satu pihak dia sebenarnya ingin membantu
karena dia sendiri tak senang melihat rimba persilatan ditebari maut seperti
yang pernah terjadi pada puluhan tahun yang silam.
Namun di sisi lain, dia telah terlanjur berjanji pada Pitaloka untuk melindungi
dan menyimpan rahasia ten-
tang kandungannya. Lebih dari itu dia menginginkan
seorang anak! "Bruss! Brusss! Sahabat.... Kau pernah bertemu
dengan seorang perempuan yang sedang mengandung,
bukan"!"
Dengan tabahkan hati, akhirnya Kigali jawab uca-
pan Datuk Wahing dengan gelengan kepalanya semba-
ri berkata. "Aku memang pernah jumpa dengan perempuan di
dalam hutan ini. Tapi kurasa dia bukan perempuan
yang tengah kalian cari!"
"Sahabat!" ujar Gendeng Panuntun. "Aku tahu kau
salah seorang yang pernah berkecimpung dalam dunia
persilatan. Aku juga tahu, kau tidak menginginkan
rimba persilatan diamuk angkara dengan bertebaran-
nya maut di mana-mana tanpa pandang siapa! Seka-
rang kau juga mengerti, hanya bayi itulah yang kelak dapat menghentikannya....
Jadi kuharap kau lupakan
dahulu keinginan diri sendiri. Pikirkan ancaman yang kini mulai mengincar siapa
saja! Termasuk dirimu
sendiri...."
"Hem.... Orang buta itu seakan tahu apa yang ada
dalam benak orang!" kata Kigali dalam hati. "Tapi....
Ah, apa yang harus kulakukan" Ucapan orang buta itu
benar. Namun aku tak bisa menarik janji yang telah
kuucapkan pada Pitaloka! Dan kalaupun Pitaloka
sampai tahu urusan ini, bukan tak mungkin dia akan
melakukan bunuh diri seperti yang hendak dilakukan
tempo hari...."
"Katakan saja di mana perempuan itu!" Yang mem-
bentak Dayang Sepuh, tak sabar melihat orang belum
juga buka mulut.
"Sahabat sekalian.... Sebenarnya aku ingin mem-
bantu. Tapi dugaan kalian keliru. Aku tidak tahu me-
nahu perempuan mengandung!"
"Brusss! Brusss! Aku heran.... Apa sebenarnya yang
membuatmu menutupi urusan ini, Sahabat?"
"Aku tidak menutupi apa-apa! Aku memang tidak
tahu tentang perempuan itu!"
Gendeng Panuntun perdengarkan tawa dengan ke-
pala menggeleng-geleng. "Ada sesuatu yang kau ingin-
kan dari bayi itu"!"
Kigali ganti yang geleng kepala. "Bagaimana aku
menginginkan sesuatu pada bayi kalau perempuannya
yang mengandung saja tidak tahu?"
"Setan! Katakan saja kau minta imbalan! imbalan
apa yang kau mau, hah"!" teriak Dayang Sepuh mulai
geram. Meski hatinya mulai panas mendengar ucapan
Dayang Sepuh, tapi Kigali coba menindihnya. Seraya
tersenyum dia berkata.
"Dalam usia senja begini, hanya manusia tak tahu
diri yang inginkan sesuatu imbalan demi kedamaian
jagat persilatan!"
"Lalu apa maumu sampai kau tak mau memberita-
hukan perempuan itu"!" Kembali Dayang Sepuh ber-
tanya. "Kau bertanya pada orang yang salah! Dan tentu
kau tak mau mendengar jawaban dari orang yang sa-
lah pula!"
Habis berucap begitu, kembali Kigali putar diri.
"Apa kalian menduga perempuan itu berada di hutan
ini"!"
Kigali tidak menunggu jawaban orang. Selesai aju-
kan tanya dia segera berucap lagi. "Aku tahu Kalian
orang-orang hebat. Tapi kali ini kalian salah sasaran jika mencari perempuan itu
di hutan ini!"
Dayang Sepuh sudah hendak buka suara. Namun
entah karena apa tiba-tiba Kigali balikkan tubuhnya
lagi menghadap ketiga orang yang tadi di belakangnya.
Setelah menatap satu persatu orang dia tersenyum
dan berkata. "Aku lupa, Sahabat.... Maafkan! Orang tua seperti
aku memang sudah dijangkiti penyakit lupa! Aku me-
mang bertemu dengan seorang perempuan berwajah
cantik. Namun jangan kalian tanyakan padaku perem-
puan itu tengah mengandung atau tidak! Pergilah ke
arah utara!"
"Tunggu!" tahan Gendeng Panuntun ketika merasa-
kan Kigali sudah hendak putar diri lagi. "Kau bisa
mengatakan bagaimana ciri-ciri perempuan itu"!"
Kigali mengernyit sambil tengadah lalu berkata.
"Dia berusia muda.... Berbaju merah. Berambut hitam
lebat!" Kigali memandang sesaat pada ketiga orang di ha-
dapannya. Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya
dan saling pandang dengan Dayang Sepuh. Sementara
Gendeng Panuntun mendongak dengan mulut meng-
gumam. Dengan hati perih Kigali arahkan pandang matanya
jauh ke depan melewati pundak beberapa orang di ha-
dapannya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia memutar diri lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Ciri yang diucapkan setan itu sepertinya cocok! Ki-
ta segera ke arah utara!" kata Dayang Sepuh.
"Aku pun merasa ada orang di sebelah utara! Dan
salah satu di antaranya adalah gadis yang dikatakan
Kigali!" "Brusss! Kau katakan gadis itu salah satu! Berarti
ada orang bersamanya! Heran.... Dengan siapa gadis
itu"!"
"Ah.... Kalian terlalu banyak mulut seperti setan! Ki-ta buktikan saja! Kalau
setan laki-laki tadi berkata dusta, dia akan tahu rasa nanti!"
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh mendahului
berkelebat disusul Datuk Wahing. Gendeng Panuntun
adalah orang terakhir yang bergerak tinggalkan tempat itu dengan mulut terus
menggumam sesuatu yang tak
jelas. *** ENAM KIGALI berlari laksana kalap. Dia tidak pedulikan
ranggasan semak dan duri. la berlari dan berlari se-
kuat kemampuannya. Dia baru memperlambat larinya
tatkala di hadapannya terlihat sebuah tanah tinggi
yang hampir-hampir saja tidak kelihatan karena tertutup rimbun daun pepohonan
dan rumput tebal.
Kigali hentikan langkah berjarak sepuluh tombak
dari tanah ketinggian. Sepasang matanya dipejamkan.
Telinganya ditajamkan. Lalu perlahan sepasang ma-
tanya dibuka. Kepalanya bergerak memutar berkelil-
ing. Matanya liar tak berkesip menyusuri setiap sudut dan sela pepohonan.
Dua kali Kigali membuat putaran kepala. Saat lain
dia membuat gerakan melompat. Sosoknya melesat
dan tahu-tahu telah tegak di depan tanah ketinggian.
Kigali balikkan tubuh, kejap lain dia putar diri lalu melesat menembus rimbun
dedaunan dan rumput tebal.
Rimbun dedaunan bergerak menyibak. Ternyata itu
adalah sebuah lobang agak besar. Begitu sosok Kigali lenyap, rimbun dedaunan
bergerak lagi. Saat bersamaan lobang di balik rimbun dedaunan tidak kelihatan
lagi. Di balik rimbun dedaunan itu ternyata sebuah
ruangan agak besar. Pada sisi kanan tampak sebuah
ranjang dari bambu yang beralas rumput kering. Pada
bagian sisi atas ranjang terlihat sebuah meja dari kayu yang di atasnya terdapat
kendi dari tanah dan buah-buahan.
Begitu Kigali masuk, matanya langsung meman-
dang tajam pada ranjang. Wajahnya seketika berubah.
Matanya membeliak memandang berkeliling. Saat itu-
lah lobang yang tertutup rimbun dedaunan menyibak.
Satu sosok berkelebat muncul di dalam ruangan.
Kigali cepat berpaling dengan tangan siap lepaskan
pukulan. Namun segera diurungkan. Bibirnya terse-
nyum, ketegangan wajahnya lenyap. Di sampingnya te-
lah tegak seorang gadis berparas cantik mengenakan
pakaian warna merah. Raut wajahnya agak pucat.
Kigali sesaat menelusuri wajah si gadis lalu turun
dan matanya terhenti pada perut si gadis. Ternyata perut itu tampak membesar!
"Pitaloka.... Aku khawatir saat melihatmu tidak ada
di atas ranjang! Perutmu sudah besar, tidak baik kau terlalu banyak bergerak!"
Si gadis yang bukan lain adalah Pitaloka tersenyum
walau tampak kaku. Lalu melangkah ke arah ranjang
bambu dan duduk seraya berkata.
"Aku tadi curiga yang muncul bukan kau, Kek....
Terpaksa aku keluar dahulu untuk meyakinkan...."


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Firasatmu bertambah peka, Pitaloka...."
"Berkat bimbinganmu, Kek...."
Kigali tersenyum. Kembali pandangannya tertuju
pada perut Pitaloka. "Aku merasa heran. Menurutnya
kejadian pemerkosaan itu kurang dari dua purnama
yang lalu.... Tapi anehnya perut itu seperti orang mengandung tujuh bulan!
Hem.... Apakah ini keajaiban
bayi itu hingga beberapa orang menduga kelak sesuatu dalam bayi itu yang bisa
menghadapi orang yang kini
memegang Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa
Jasad?" Kigali menghela napas. Pandangannya kini ke arah
wajah Pitaloka. "Gadis malang.... Semuda ini sudah
harus memikul cobaan yang berat. Hem.... Aku tak
mau menambah beban cobaan di pundaknya dengan
melibatkan dirinya dalam urusan orang-orang di lua-
ran sana. Aku harus segera membawanya pergi dari
hutan ini! Bukan tak mungkin rahasia di mana Pitalo-
ka berada sudah diketahui banyak orang. Kalau aku
terlalu lama menunggu, akan sulit keluar dari hutan
ini. Apalagi perut Pitaloka tidak mungkin lagi bisa dis-embunyikan!"
"Kek.... Kau memikirkan sesuatu"! Dari tadi sikap-
mu lain. Kau tampak gelisah!"
Kigali melangkah mendekat. "Pitaloka.... Kita harus
segera tinggalkan tempat ini!"
Pitaloka terkejut. Dia beranjak tegak. "Kek.... Katakanlah. Ada apa sebenarnya?"
"Aku melihat beberapa orang memasuki hutan ini!
Padahal puluhan tahun lamanya hal seperti itu tidak
pernah terjadi!"
Kau mengenal mereka"!"
Kigali memandang tajam ke dalam bola mata Pitalo-
ka. "Aku tidak boleh mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi! Hal itu akan menambah kalut pikirannya," ka-ta Kigali dalam hati. Lalu
berkata. "Pitaloka. Kau sendiri tahu. Setengah dari hidupku
berada di hutan ini. Jadi aku tidak mengenali mereka.
Namun kedatangan mereka yang di luar kebiasaan
pasti punya tujuan tertentu! Kita memang tidak tahu
apa maksud mereka. Tapi aku sudah tidak mau lagi
terlibat urusan dengan orang lain! Pengalaman hi-
dupku sudah cukup jadi pelajaran. Aku tak mau men-
gulangi kejadian yang sama! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
Dada Pitaloka berdebar. "Apa mereka orang-orang
jahanam keparat yang mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad itu"! Dari mana mereka tahu aku berada di hutan
ini"!"
"Kek.... Apa tidak sebaiknya kita di sini saja"! Kita belum tahu siapa mereka
dan apa maksudnya! Lagi
pula tempat kita ini terlindung. Tak mungkin mereka
tahu!" "Pitaloka.... Walau aku tidak mengenali mereka, tapi dari sikap mereka aku yakin
mereka bukan orang biasa! Dan tidak tertutup kemungkinan mereka tahu
tempat ini!"
Pitaloka terdiam dengan kepala berpaling ke arah
lobang yang tertutup rimbun dedaunan. Wajahnya se-
dikit muram dan tegang. Tanpa sadar kedua tangan-
nya bergerak menakup pada perutnya yang membesar.
Kigali tampaknya dapat menangkap perasaan si ga-
dis. Orang tua ini melangkah mendekati. Tangan ka-
nannya bergerak membelai rambut Pitaloka seraya
berkata. "Anakku.... Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau
tentu tak ingin dilihat orang dengan perut besar begi-tu. Tapi.... Pikirkanlah
bayi dalam kandunganmu...."
Seketika Pitaloka berpaling. "Kek! Kau menduga ke-
datangan mereka ada hubungannya dengan kandun-
ganku ini"! Dari mana mereka tahu aku tengah men-
gandung"!"
"Anakku.... Dalam keadaan seperti sekarang ini, se-
suatu yang paling jeleklah yang harus kita pikirkan!
Dari itulah mengapa aku mengajakmu untuk sementa-
ra ini pergi dari sini!"
"Tapi.... Ah!" Pitaloka mendesah dengan gelengkan
kepala. "Rasanya aku belum siap menghadapi pandan-
gan mata orang!"
"Itu sudah kupikirkan, Anakku! Kita akan mening-
galkan tempat ini saat matahari tenggelam. Dan kita
cari tempat jauh dari penduduk...."
"Sungguh jelek nasibku...," entah sadar atau tidak
Pitaloka menggumam.
"Tidak, Anakku! Kalau kita tidak memandang orang
lain, kadangkala kita memang punya anggapan begitu.
Namun kalau kita mau sedikit menoleh pada orang
lain, masih banyak orang-orang yang lebih menderita
daripada kau. Dan lebih dari itu, Sang Maha Pencipta tidak mungkin memberikan
cobaan pada makhluk cip-taannya melebihi kekuatan sang makhluk!"
"Tapi...."
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Kigali su-
dah menyambuti. "Nasib tidak perlu dibicarakan,
Anakku. la akan berjalan sesuai yang mengatur. Kita
hanya tinggal menjalani! Jadi tak ada gunanya kita se-sali apa yang telah
terjadi!" Pitaloka memandang dengan mata berkaca-kaca
dan tak kuasa buka mulut berkata. Kigali anggukkan
kepala dengan bibir tersenyum. Lalu berkata pelan.
"Anakku.... Kita keluar sekarang. Kita pelan-pelan
menyusuri bagian hutan yang tak mungkin dijangkau
orang sambil menunggu tenggelamnya matahari!"
Tanpa menunggu sahutan Pitaloka, Kigali meng-
gandeng tangan si gadis lalu perlahan-lahan melang-
kah menuju lobang dari mana tadi Kigali masuk.
*** Sementara di belahan hutan sebelah utara, Nyai
Tandak Kembang terus berkelebat disusul oleh Putri
Kayangan dan Pendekar 131. Pada satu tempat, murid
Pendeta Sinting berpaling pada Putri Kayangan seraya berkata pelan.
"Putri.... Hendak ke mana eyang gurumu ini?"
Putri Kayangan memperlambat larinya. Kepalanya
berpaling. Senyumnya mengembang lalu menjawab
dengan suara pelan pula.
"Ke mana lagi kalau bukan mencari Pitaloka!"
"Dia seakan-akan sudah tahu di mana Pitaloka be-
rada!" "Itulah kelebihannya. Dia tahu di mana orang den-
gan cara penciumannya! Apalagi dia sudah hafal benar dengan aroma Pitaloka!"
"Ah.... Kalau begitu susah!" gumam murid Pendeta
Sinting. "Apanya yang susah"!" tanya Putri Kayangan seraya
terus berlari. "Kalau aroma Pitaloka sudah dihafal benar, tentu
aromamu demikian juga. Itu berarti di mana kau bera-
da selalu akan diketahuinya! Dan itu akan membuatku
selalu khawatir jika mengajakmu! Siapa tahu kita lagi asyik, tiba-tiba eyangmu
muncul!" Putri Kayangan bersemu merah dan segera alihkan
pandangannya ke jurusan lain. Teringat kembali ba-
gaimana saat dia dan murid Pendeta Sinting saling
bergenggaman tangan mendadak muncul Nyai Tandak
Kembang. Namun Putri Kayangan sedikit merasa lega
karena Nyai Tandak Kembang tidak melarang hubun-
gan antara dia dan Pendekar 131.
Di depan sana, mendadak Nyai Tandak Kembang
hentikan larinya. Putri Kayangan dan Pendekar 131
saling pandang lalu sama hentikan larinya pula tujuh langkah di belakang Nyai
Tandak Kembang.
"Jangan-jangan eyangmu tahu apa yang kita bica-
rakan tadi...!" bisik Joko.
"Pasti dia tahu. Dan dia paling tidak suka kalau di-
bicarakan!"
"Lalu"!" tanya murid Pendeta Sinting dengan raut
berubah. "Lihat saja sendiri nanti! Yang jelas kau yang mulai membicarakannya. Bukan
aku!" "Wah.... Mengapa kau tidak dari tadi mengatakan-
nya padaku"!"
"Itu berarti aku yang mulai membicarakannya!"
Murid Pendeta Sinting sudah hendak berucap. Na-
mun tiba-tiba di hadapannya Nyai Tandak Kembang
sudah putar diri menghadap mereka. Joko langsung
merinding ketika dilihatnya mata Nyai Tandak Kem-
bang langsung menatap tajam padanya.
"Anak muda!" kata Nyai Tandak Kembang. "Siapa
pun nanti yang muncul, jangan kau tunjukkan diri!
Jangan bicara apa-apa! Kau mengerti"!"
Belum sampai murid Pendeta Sinting mengerti apa
maksud Nyai Tandak Kembang, eyang Putri Kayangan
ini memberi isyarat agar keduanya mengikuti.
Nyai Tandak Kembang melompat dan menyelinap
masuk ke balik semak. Joko memandang pada Putri
Kayangan. Si gadis hanya melirik lalu melompat ke
semak di mana Nyai Tandak Kembang menyelinap le-
nyap. Tanpa pikir panjang, murid Pendeta Sinting ikut-ikutan melompat lalu
menyelinap. Terlihat Nyai Tan-
dak Kembang duduk mendekam dengan mata tertuju
ke satu jurusan. Putri Kayangan yang ikut mendekam
di sampingnya juga arahkan pandang matanya ke ju-
rusan mana Nyai Tandak Kembang memandang.
Seraya ikut duduk mendekam, Joko ikut pula arah-
kan pandang matanya ke jurusan mana kedua orang
cucu dan nenek tengah memandang.
Baru saja Joko arahkan pandangannya, tiba-tiba
laksana setan gentayangan terlihat tiga sosok tubuh
berkelebat saling susul menyusul. Begitu cepatnya kelebatan ketiga bayangan itu,
Joko tidak bisa mengenali siapa adanya ketiga bayangan. Yang dia lihat hanya
bayangan warna merah, hijau, dan putih.
Ketiga sosok bayangan itu terus berkelebat dan saat
lain telah lenyap di depan sana. Murid Pendeta Sinting memandang pada Nyai
Tandak Kembang yang gerakkan kepala mengikuti ke mana arah berkelebatnya ke-
tiga sosok bayangan.
"Hem.... Dia tahu kalau ada orang yang hendak
muncul! Tapi mengapa dia melarangku untuk bicara
dan tunjukkan diri"!"
Sambil terus berpikir, murid Pendeta Sinting berge-
rak bangkit. Namun belum sampai tegak, Nyai Tandak
Kembang sudah berpaling dengan mata mendelik.
"Turunkan tubuhmu!" perintah Nyai Tandak Kem-
bang dengan suara pelan namun nadanya sengit.
Dengan angkat bahu dan melirik pada Putri Kayan-
gan, Joko turunkan tubuhnya. Saat itulah mendadak
dari arah mana tadi tiga sosok bayangan berkelebat,
kembali muncul tiga sosok bayangan yang berkelebat.
"Mereka berbalik!" gumam Joko dalam hati. Lalu
pentangkan mata.
Tiga sosok bayangan mendadak sama hentikan ke-
lebatannya hanya sejarak lima belas langkah dari tempat Joko, Putri Kayangan,
dan Nyai Tandak Kembang
mendekam sembunyi.
Tiga sosok itu ternyata seorang nenek dan dua
orang kakek. Si nenek mengenakan pakaian warna
merah. Kakek yang satu mengenakan pakaian warna
hijau, sedangkan kakek satunya mengenakan pakaian
warna putih kusam.
"Dayang Sepuh! Gendeng Panuntun! Datuk Wah-
ing!" kata Joko mengenali ketiga orang yang kini telah tegak berjajar di depan
sana. Dia lupa akan peringatan Nyai Tandak Kembang. Sembari berkata dia bergerak
bangkit. Nyai Tandak Kembang tampak mendelik lalu berpal-
ing. Namun karena pandangan Joko sedang tertuju
pada ketiga orang di depan sana, murid Pendeta Sint-
ing tidak melihat pelototan mata Nyai Tandak Kem-
bang. "Turunkan tubuhmu!" Terpaksa Nyai Tandak Kem-
bang berucap. Malah bukan hanya sampai di situ.
Khawatir Joko telanjur tegak, Nyai Tandak Kembang
gerakkan tangan kirinya. Satu deruan pelan terdengar.
Pendekar 131 tersentak kaget. Buru-buru dia tu-
runkan tubuhnya. Bukan karena mengikuti perintah
Nyai Tandak Kembang melainkan karena saat itu satu
gelombang deras menyambar ke arah kepalanya! Kalau
dia tidak segera turunkan tubuh, niscaya kepalanya
akan terhajar gelombang!
"Kau dengar kata-kataku! Jangan berkata apa-apa
atau tunjukkan diri apa pun nanti yang terjadi!" bentak Nyai Tandak Kembang
dengan suara ditahan.
Walau belum mengerti apa maksud Nyai Tandak
Kembang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepala
dengan bibir tersenyum. Padahal hatinya deg-degan.
Sementara Nyai Tandak Kembang menggerutu dalam
hati melihat sikap Joko.
Di depan sana, tiga sosok tubuh yang ternyata bu-
kan lain adalah Dayang Sepuh, Datuk Wahing, dan
Gendeng Panuntun sama gerakkan kepala. Dayang
Sepuh menghadap Datuk Wahing yang tegak di sebe-
lah kirinya, Datuk Wahing sendiri berpaling ke arah
Dayang Sepuh. Sedangkan Gendeng Panuntun yang
tegak di sebelah kanan Dayang Sepuh tengadahkan
kepala. *** TUJUH SETAN-SETAN tua! Mengapa kalian mengajakku
putar-putar tak karuan"!" Tiba-tiba Dayang Sepuh
perdengarkan bentakan. Kepalanya segera dialihkan
pada Gendeng Panuntun.
"Nek.... Aku mencium aroma kembang lain daripada
yang lain! Apa kau tidak merasakannya?" tanya Gen-
deng Panuntun seraya terus mendongak.
Walau dengan mencibir tapi tak urung juga si nenek
kembang-kempiskan hidung beberapa kali dengan ke-
pala berputar. Sementara tangan kanannya bergerak
rapikan poni di keningnya.


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di balik semak, Nyai Tandak Kembang melirik pada
Putri Kayangan. Lalu memandang angker pada Pende-
kar 131 yang membalasnya dengan senyum.
"Dasar hidung setan! Hanya karena mencium aroma
bunga kembang ini kau mengajakku pulang balik tak
karuan, hah"!"
"Bruss! Bruss! Rasanya kita juga akan membukti-
kan ucapan sahabat yang baru saja kita temui. Heran-
nya, aku tak bisa tahu apakah hanya cirinya yang se-
suai tapi makhluknya berbeda!"
"Hem.... Jadi makhluk setan yang kita cari itu ada
di sekitar sini"!" ujar Dayang Sepuh. Tanpa menunggu sahutan dari Datuk Wahing
ataupun Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh sudah berteriak dengan suara ke-
ras membahana. "Kalau kalian bukan setan, mengapa takut tunjuk-
kan diri"!"
Di balik semak, Nyai Tandak Kembang anggukkan
kepala pada Putri Kayangan. Lalu berbisik. "Mereka telah tahu keberadaan kita!
Kita segera keluar!" Nyai
Tandak Kembang alihkan pandangan pada murid Pen-
deta Sinting. "Kau jangan berani tunjukkan diri atau bicara!"
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang mem-
beri isyarat pada Putri Kayangan untuk mengikutinya
keluar dari balik semak. Sambi! melirik dan tersenyum menahan tawa pada murid
Pendeta Sinting, Putri
Kayangan bergerak bangkit lalu melangkah keluar dari balik semak mengikuti
eyangnya yang sudah mendahului.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Lalu
memandang ke depan. Bukan ke arah Nyai Tandak
Kembang melainkan pada Putri Kayangan. Juga tidak
ke arah wajah si gadis namun pada perutnya. Semen-
tara Dayang Sepuh segera pentangkan mata. Dia juga
tidak melihat pada Nyai Tandak Kembang, melainkan
melotot pada perut Putri Kayangan.
"Setan betul! Aku tak bisa membedakan wajahnya!
Apakah menurutmu gadis itu yang kita cari"!" tanya
Dayang Sepuh pada Datuk Wahing.
"Rasanya bukan dia yang kita cari...," bisik Gendeng Panuntun. "Sahabat yang
kita jumpa tadi memang
mengatakan sesuai dengan ciri-ciri di depan itu, tapi tampaknya dia
menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya! Dia mengecoh kita!"
"Ada yang ingin kalian katakan"!" Mendadak Nyai
Tandak Kembang buka pertanyaan.
"Bruss! Bruss! Sebenarnya banyak.... Tapi agar kau
tidak merasa heran apalagi jengkel, untuk sementara
ini biarlah segalanya tersimpan dahulu! Suatu saat
nanti pasti akan kita bicarakan bersama-sama.... Maaf bila kami mengganggu
keasyikkan kalian!"
"Sebelum kami pergi, mau perkenalkan sahabat sa-
tunya lagi yang masih malu-malu"!" kata Gendeng Pa-
nuntun. Di balik semak, mendengar ucapan Gendeng Pa-
nuntun, Joko tampak gelisah. Dari ucapan orang dia
telah maklum kalau Gendeng Panuntun sudah menge-
tahui keberadaan dirinya. Pendekar 131 sendiri sebe-
narnya ingin keluar karena masih ada hal yang ingin
dibicarakan. Namun ingat akan pesan Nyai Tandak
Kembang, ia jadi bimbang.
Di lain pihak, meski merasa terkejut, namun Nyai
Tandak Kembang bisa sembunyikan rasa kejutnya.
Tapi tidak demikian halnya dengan Putri Kayangan.
Gadis ini tersentak kaget. Dan tanpa sadar berpaling ke arah semak di mana Joko
bersembunyi. "Hem.... Jadi masih ada setan lagi di balik semak
itu! Jangan-jangan makhluk itu yang tengah kita cari!"
desis Dayang Sepuh mendapati sikap Putri Kayangan.
Lalu tanpa pedulikan pandangan Nyai Tandak Kem-
bang, si nenek berambut poni ini berseru.
"Setan di balik semak! Keluarlah!"
Pendekar 131 makin bingung. Dia sibakkan sedikit
semak belukar di hadapannya. Lalu memandang satu
persatu pada beberapa orang di depan sana. "Apa aku
harus keluar mengikuti ucapan nenek Dayang Sepuh"!
Tapi bagaimana kalau nanti Nyai Tandak Kembang
marah-marah"! Aku tak tahu mengapa Nyai Tandak
Kembang melarangku tunjukkan diri atau berucap!
Hem.... Bagaimana ini"!"
"Eyang...."
"Kau juga jangan ikut bersuara!" Nyai Tandak Kem-
bang telah menukas ucapan Putri Kayangan yang hen-
dak bicara. Dayang Sepuh berpaling pada Gendeng Panuntun.
"Kau bisa merasakan, siapa setan di balik semak itu"
Setan perempuan atau laki-laki"!"
Gendeng Panuntun usap cermin bulat di depan pe-
rutnya. "Aku tak bisa memastikan. Tapi kurasa se-
baiknya kita segera pergi dari tempat ini!"
"Bagaimana dengan setan satu di balik semak yang
belum unjuk tampang itu"!" tanya Dayang Sepuh.
"Kurasa tak ada yang bisa kita dapatkan dari orang
itu! Kita harus berbalik arah lagi!" jawab Gendeng Panuntun lalu luruskan
kepalanya menghadap Nyai Tan-
dak Kembang dan berkata.
"Nyai.... Seperti ucapan sahabatku Datuk Wahing,
sebenarnya masih banyak yang harus kita bicarakan.
Namun karena kita kelak masih berjumpa lagi, kurasa
pembicaraannya kita tuntaskan kelak saja! Sekarang
aku dan sahabat-sahabatku akan pamit dahulu...."
Gendang Panuntun anggukkan kepala dua kali.
Bersamaan dengan itu Datuk Wahing gerakkan Ke-
pala ke depan mengangguk-angguk lalu bersin tiga kali tanpa disusul dengan
ucapan. Dayang Sepuh masin
arahkan pandang matanya ke arah semak. Namun be-
gitu mendapati Gendeng Panuntun berkelebat disusul
kemudian oleh Datuk Wahing, si nenek segera berpal-
ing. Dengan perdengarkan gumaman tak jelas, akhir-
nya si nenek berkelebat mengikuti Gendeng Panuntun
dan Datuk Wahing.
"Hem.... Tampaknya mereka telah tahu pula di ma-
na arah Pitaloka berada!" gumam Nyai Tandak Kem-
bang. "Kita harus terlebih dahulu mendapatkannya!"
Nyai Tandak Kembang menoleh ke arah semak.
Ternyata Pendekar 131 sudah tegak dengan kepala
mengarah pada berkelebatnya Dayang Sepuh.
"Bersama pemuda itu akan membuat gerakan kita
sulit kembali Nyai Tandak Kembang bergumam. "Ba-
gaimana kalau dia kita tinggalkan"!"
Pertanyaan Nyai Tandak Kembang tidak segera di-
jawab oleh Putri Kayangan. Namun perubahan wajah
si gadis telah membuat perempuan dari lereng Gunung
Semeru iii maklum apa yang ada dalam benak cu-
cunya. "Baiklah.... Dia kita ajak serta. Tapi harus melaku-
kan segala yang kukatakan! Akhirnya Nyai Tandak
Kembang berkata seraya menghela napas.
"Eyang...," kata murid Pendeta Sinting seraya me-
lompat dan tegak tidak jauh dari Putri Kayangan. "Boleh aku tahu mengapa kau
melarangku menemui me-
reka dan bicara dengan mereka! Mereka adalah saha-
bat-sahabatku...."
"Aku tahu, Anak Muda...," jawab Nyai Tandak Kem-
bang dengan suara pelan dan bibirnya tersenyum.
"Namun sementara ini aku tak bisa jawab perta-
nyaanmu! Selain itu, kau punya dua pilihan. Terus
bersama k3mi atau berpencar!"
Hampir bersamaan kepala Pendekar 131 dan Putri
Kayangan bergerak saling menghadap. Sesaat mereka
saling berpandangan.
"Aku ikut bersamamu, Eyang...," kata Joko.
"Kalau itu pilihanmu, ada beberapa hal yang harus
kau lakukan! Kau sanggup?"
Meski dengan hati masih bertanya-tanya, murid
Pendeta Sinting anggukkan kepala. "Apa yang harus
kulakukan"!"
"Ikuti semua ucapanku!" jawab Nyai Tandak Kem-
bang pendek. "Kalau hanya itu tak susah aku melakukannya! Se-
karang apa ucapanmu yang harus kulakukan,
Eyang"!"
Nyai Tandak Kembang tidak menjawab. Sementara
Putri Kayangan tersenyum seraya gelengkan kepalanya
perlahan. Nyai Tandak Kembang arahkan pandangan-
nya ke jurusan selatan. La u berkata.
"Anak muda! Kau benar-benar sanggup melakukan
apa yang kuucapkan"!"
"Demi bisa bersama denganmu dan Putri Kayan-
gan...." Putri Kayangan tersentak mendengar ucapan terus-
terang murid Pendeta Sinting. Namun dadanya berde-
bar senang. "Ikuti saja aku! Bila nanti tiba saatnya aku akan
mengatakan apa yang harus kau lakukan!"
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang berke-
lebat ke arah selatan. Putri Kayangan dan Pendekar
131 saling pandang. Sebenarnya Joko hendak berkata,
namun Putri Kayangan keburu berkelebat mengikuti
Nyai Tandak Kembang.
"Aneh... Apa sebenarnya kemauan eyang cantik
itu.... Hem.... Masih begitu muda dan cantik sudah dipanggil eyang! Apa benar
Putri Kayangan dan Pitaloka adalah cucu-cucunya"!" sembari terus bertanya-tanya
dan tersenyum sendiri, murid Pendeta Sinting berkelebat menyusul Nyai Tandak
Kembang dan Putri Kayan-
gan. *** Pada satu tempat tiba-tiba Gendeng Panuntun hen-
tikan kelebatannya. Datuk Wahing dan Dayang Sepuh
ikut-ikutan berhenti. Gendeng Panuntun dongakkan
kepala seraya usap cermin bulatnya.
"Aneh.... Aku tak dapat menjajaki di mana bera-
danya orang yang kita cari! Ada tabir yang menghalan-gi! Bagaimana dengan kalian
berdua" Bisa menjajaki
arah di mana sahabat Kigali dan orang yang kita cari?"
"Bruss! Bruss! Aku juga merasa heran. Sejak me-
masuki kawasan selatan hutan ini, aku tak bisa men-
dapatkan petunjuk apa-apa!" Datuk Wahing menya-
hut. "Bagaimana dengan dirimu, Nek...?" tanya Gendeng
Panuntun. "Kalau setan-setan seperti kalian tidak dapat, ba-
gaimana mungkin aku bisa"!"
Dayang Sepuh edarkan pandang matanya berkelil-
ing. Lalu memandang satu persatu pada Gendeng Pa-
nuntun dan Datuk Wahing. "Celaka! Bagaimana bisa
begini! Rasanya kita bakal kehilangan jejak!"
Gendeng Panuntun geleng kepala. "Aku tak tahu
harus mengatakan bagaimana. Aku benar-benar mera-
sakan ada tabir penghalang yang sangat kuat hingga
tak mampu menjajaki di mana beradanya orang! Ini
satu tanda jika ada sesuatu yang sangat luar biasa!
Aku tidak bisa memastikan apa sesuatu itu. Mungkin
saja inilah salah satu keanehan yang dimiliki bayi
itu...." "Brusss! Lalu apa yang harus kita lakukan seka-
rang" Adalah mengherankan kalau kita hanya tegak
bengong di sini!"
"Perempuan setan bernama Nyai Tandak Kembang
itu rasanya juga menuju ke arah selatan," ujar Dayang Sepuh. "Tampaknya dia juga
tahu di mana beradanya
orang yang kita cari! Bagaimana kalau kita ikuti dia"!
Barangkali dia bisa menembus tabir penghalang itu!
Apalagi perempuan setan itu mengaku sebagai nenek-
nya!" "Hem.... Itu usul yang baik! Tapi aku merasa dia
memiliki daya penciuman yang sangat hebat. Kalau ki-
ta mengikuti dia, tentu dia akan tahu!"
"Bruss! Bruss! Nyai satu itu memang punya daya
cium luar biasa. Tapi jangan heran kalau kukatakan
aku bisa mematahkan daya penciumannya hingga dia
tidak dapat mengendus aroma tubuh kita!"
"Cepat katakan apa yang harus kita lakukan!" kata
Dayang Sepuh. Datuk Wahing tertawa dahulu lalu bersin tiga kali.
Baru kemudian berucap.
"Kita butuh air kencing sebanyak-banyaknya...."
"Edan! Kau tak bisa membedakan kapan saatnya
main-main dan sungguh-sungguh!" semprot Dayang
Sepuh. "Bruss! Aku tidak main-main, Nek! Segala sesuatu
adalah mengherankan jika tak memiliki kelemahan!
Dan satu-satunya kelemahan nyai cantik itu adalah air kencing! Daya penciumannya
akan hilang bila mencium aroma air kencing! Lebih dari itu untuk menjaga segala
kemungkinan, kita harus mengikuti dengan
mengambil tempat yang berlawanan dengan arah an-
gin!" "Jadi kita harus kencing terus-terusan"!" tanya
Dayang Sepuh. "Lebih baik kita urungkan saja! Bagai-
mana aku harus kencing melulu kalau aku mengena-
kan celana begini rupa"!" Dayang Sepuh arahkan pan-
dangannya pada Gendeng Panuntun. "Kalau dengan
dia aku tak merasa sungkan, karena bagaimanapun
juga dia tak bisa melihat meski matanya melotot!"
Dayang Sepuh alihkan pandang matanya pada Datuk
Wahing. "Yang ku khawatirkan adalah mata setanmu!"
Datuk Wahing tertawa bergelak. Gendeng Panuntun
ikut-ikutan tertawa. Dan entah karena apa Dayang Se-
puh tiba-tiba juga ikut perdengarkan tawa!
"Brusss! Kau tak perlu terus-terusan kencing, Nek!
Kita hanya perlu persediaan. Air kencing itu kita tabur-taburkan di depan kita
begitu kita mendekati Nyai Tandak Kembang! Sekarang kita cari bumbung bambu
dan daun ilalang! Masukkan air kencing masing-


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masing ke dalam bumbung bambu. Daun ilalang un-
tuk menaburkan jika kita mulai mendekati Nyai Tan-
dak Kembang!"
"Datuk...," kata Gendeng Panuntun. "Untuk urusan
bumbung bambu dan ilalang, aku menyerahkan pa-
damu. Aku hanya bisa kencing saja dan menunggu di
sini!" "Aku juga!" sahut Dayang Sepuh.
Datuk Wahing bersin dua kali. Tanpa menyusuli
dengan ucapan, kakek ini berkelebat meninggalkan
Dayang Sepuh dan Gendeng Panuntun.
"Dasar datuk setan! Mainannya aneh-aneh!" gu-
mam Dayang Sepuh lalu berpaling pada Gendeng Pa-
nuntun. "Kau percaya dengan ucapan datuk setan itu"!"
"Kurasa ucapannya benar!"
"Huh! Dasar sama-sama setannya! Mungkin saja ini
hanya permainan konyol datuk setan itu! Dia ingin melihat pantatku!"
"Jangan berprasangka buruk, Nek!"
"Ini bukan prasangka! Kau tahu sendiri, aku men-
genakan celana pendek. Bagiku tak mungkin bisa
kencing tanpa menurunkan celana! Dan itu pasti akan
membuat pantatku kelihatan!"
"Kita tengah mencari orang yang sangat penting
demi rimba persilatan. Kurasa kalau hanya memperli-
hatkan pantat bukanlah satu pengorbanan yang be-
sar!" "Memang bukan besar! Yang kutakutkan dia nanti
menyiarkan kabar soal pantatku ini!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. "Memang ada
apa dengan pantatmu, Nek"!"
Belum sampai Dayang Sepuh menjawab, U dengar
bersinan dua kali. Lalu muncullah Datuk Wahing den-
gan tangan membawa tiga bumbung bambu sepanjang
masing-masing dua jengkal.
Datuk Wahing ulurkan tangan kanannya pada
Dayang Sepuh. "Ambil satu untukmu!" Lalu mendekati
Gendeng Panuntun dan memberikan satu bumbung
bambu. "Brusss! Sekarang terserah kalian. Mau kencing di
sini atau mencari tempat yang enak! Yang jelas sema-
kin banyak air kencing di dalam bumbung, semakin le-
luasa nantinya kita mengikuti langkah Nyai Tandak
Kembang!" Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan tu-
buh. Putar kepalanya sebentar lalu berkelebat dan lenyap di balik satu batangan
pohon. Dayang Sepuh pandangi bumbung bambu di tan-
gannya. Lalu beralih pada bumbung bambu di tangan
Gendeng Panuntun. Tiba-tiba si nenek perdengarkan
tawa cekikikan. Saat lain dia berkelebat ke balik semak dengan perdengarkan
suara keras. "Jika kulihat salah satu dari kalian mengintip, jan-
gan menyesal kalau kalian berdua akan mandi dengan
air setan ini!"
Gendeng Panuntun tertawa seraya melangkah ke
salah satu pohon. Disambut dengan gelakan tawa Da-
tuk Wahing dari balik batangan pohon.
Tak berapa lama kemudian, Dayang Sepuh sudah
berkelebat muncul dari balik semak dengan mendelik
jelalatan. Karena bersamaan dengan itu suara gelakan tawa Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun lenyap!
"Di mana kalian"!" teriak Dayang Sepuh lalu arah-
kan sepasang matanya ke tempat di mana dia tadi me-
nyelinap. Jelas nenek ini khawatir Datuk Wahing serta Gendeng Panuntun berada
tak jauh dari tempatnya
tadi menyelinap kencing.
"Aku di sini, Nek!" Yang menyambut adalah suara
Gendeng Panuntun.
"Brusss! Aku heran.... Tampaknya kau takut seka-
li!" Datuk Wahing perdengarkan suara lalu sosoknya
muncul dari balik batangan pohon. Tangan kiri meme-
gang bumbung bambu tangan kanan pencet hidung-
nya. Bersamaan dengan munculnya sosok Datuk Wah-
ing, Gendeng Panuntun melangkah keluar pula dari
balik pohon. Bumbung bambu tampak diselipkan pada
ikat pinggangnya.
"Celaka!" Mendadak Datuk Wahing berseru dengan
suara sengau karena hidungnya terpencet tangan ka-
nannya. "Kemauanmu sudah dituruti, tapi kau masih juga
bilang celaka!" bentak si nenek.
"Brusss! Brusss! Bagaimana tidak celaka! Dengan
air di dekatku, berarti aku tidak bisa menahan bersin!
Dan itu akan membuat Nyai Tandak Kembang menge-
tahui kalau sedang diikuti orang! Heran.... Mengapa
aku tadi lupa kalau aku tidak bisa menahan bersin bi-la mencium aroma air
kencing...."
"Setan! Kau benar-benar mempermainkan aku!"
sentak Dayang Sepuh. Tangan kirinya yang memegang
bumbung bambu diangkat ke atas.
"Tahan, Nek!" seru Datuk Wahing tatkala melihat
bagaimana si nenek hendak tumpahkan bumbung
bambu yang telah berisi air kencing. "Karena sudah telanjur, apa boleh buat!
Untuk sementara ini aku harus menyumbat hidungku dengan dedaunan! ini untuk
mengurangi aroma air kencing."
Setelah berkata begitu, Datuk Wahing membuat ge-
rakan satu kali. Sosoknya melesat dan lenyap di balik kerapatan semak. Tak
berselang lama, Datuk Wahing
sudah muncul lagi.
Dayang Sepuh tiba-tiba perdengarkan gelakan tawa
panjang. Sementara Datuk Wahing melangkah bersun-
gut-sungut dengan tangan kiri memegang bumbung
bambu sementara pada kedua lobang hidungnya terli-
hat daun sirih yang dibuat sumbatan oleh sang Datuk.
"Kita harus segera jalan memutar! Orang yang hen-
dak kita ikuti sudah tidak jauh dari sini!" Yang berujar Gendeng Panuntun.
Dayang Sepuh putuskan gelakan tawa. Datuk Wah-
ing hentikan langkahnya. Hampir bersamaan ketiga
orang ini membuat gerakan. Kejap lain ketiganya ber-
kelebat. *** DELAPAN TIGA sosok bayangan itu hentikan lari masing-
masing ketika orang yang berlari di sebelah depan
memberi isyarat dengan angkat tangannya seraya ber-
henti. Mereka tidak lain adalah Nyai Tandak Kembang, Putri Kayangan, dan
Pendekar 131. Nyai Tandak Kembang yang berada di sebelah de-
pan turunkan tangannya. Kepalanya bergerak berpal-
ing ke arah timur.
"Hem... Aku dapat mencium aroma sosok tiga orang
itu! Tapi mereka menuju ke arah timur! Sementara aku masih bisa menjajaki aroma
Pitaloka di sebelah selatan dan tak jauh dari tempat ini!" kata Nyai Tandak
Kembang setelah menghirup udara agak lama.
"Rupanya mereka kehilangan jejak! Mudah-
mudahan kali ini aku tidak gagal!" gumam Nyai Tan-
dak Kembang. Kepala perempuan ini berpaling ke arah
Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting. "Sebenar-
nya tanpa pemuda itu ikut serta, aku makin leluasa
bertindak! Tapi.... Apa hendak dikata! Beda Kumala
rupanya keberatan...." Nyai Tandak Kembang kembali
membatin. Lalu memberi isyarat pada kedua orang di
belakangnya untuk teruskan langkah.
Ketiga orang ini kembali berkelebat tanpa ada yang
buka suara. Hanya sesekali tampak Putri Kayangan
dan Pendekar 131 saling berpandangan.
Pada satu tempat, Nyai Tandak Kembang kembali
hentikan larinya. Putri Kayangan dan murid Pendeta
Sinting ikut berhenti dan tegak empat langkah di belakang Nyai Tandak Kembang.
"Aroma itu terhenti di sini!" kata Nyai Tandak Kem-
bang dalam hati dengan dada mulai berdebar. Kepa-
lanya kembali memutar dengan menyiasati keadaan
sekeliling. Saat itu matahari sudah menggelincir agak jauh dari titik tengahnya.
Namun ke mana mata memandang masih jelas bisa melihat.
Ketiga orang itu ternyata berada pada satu tempat
agak terbuka. Di kanan kirinya terlihat jajaran beberapa pohon besar. Berjarak
dua puluh langkah ke depan
terlihat sebuah tanah agak tinggi yang tertutup rimbun dedaunan dan rumput
tebal. "Aroma itu berasal dari tanah tinggi di depan itu!"
gumam Nyai Tandak Kembang. Setelah meyakinkan
sekali lagi dengan kembang-kempiskan hidung, Nyai
Tandak Kembang berpaling pada Pendekar 131.
"Pendekar 131! Apa pun yang nanti kulakukan, jan-
gan ikut buka mulut atau bertindak! Kau dengar?"
Walau masih juga belum mengerti apa maksud
ucapan orang, murid Pendeta Sinting anggukkan kepa-
la. Nyai Tandak Kembang alihkan pandang matanya
pada Putri Kayangan. "Dan kau, Beda Kumala. Jangan
pula ikut bicara atau bertindak!"
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang putar
diri dengan mata tak berkesip memandang ke sela-sela jajaran pohon. Hidungnya
mengembang mengempis
berulang kali. Nyai Tandak Kembang baru hentikan
tindakannya ketika tubuhnya telah kembali mengha-
dap tanah agak tinggi di depan sana.
"Aku tidak mencium aroma tubuh orang lain....
Anehnya tiba-tiba saja aku mencium aroma lain.... Padahal aroma itu tadi tidak
ada! Ah.... Aku tak perlu khawatir, yang jelas aroma ini bukan aroma manusia!
Berarti tidak ada orang lain di sekitar tempat ini!" Nyai Tandak Kembang sesaat
tadi tampak bimbang. Namun
kejap lain kebimbangannya telah sirna.
Di belakang Nyai Tandak Kembang, tiba-tiba Pende-
kar 131 merasa gelisah. Ekor matanya melirik ke arah Putri Kayangan. Namun bukan
ke arah wajah si gadis
melainkan pada bagian bawah tubuh sang Putri. Lalu
kepalanya menunduk perhatikan bagian bawah tu-
buhnya sendiri. Kejap lain dia arahkan pandang ma-
tanya ke arah bagian bawah sosok Nyai Tandak Kem-
bang yang tegak di depannya.
"Aneh.... Aku tidak merasa kencing walau dari tadi
aku sudah menahannya. Putri Kayangan dan Nyai
Tandak Kembang juga tidak basah pakaian bawahnya.
Tapi.... Aku mencium santernya air kencing! Apakah
mungkin seorang perempuan akan tercium bau ken-
cingnya jika dia menahan kencing"! Jangan-jangan Pu-
tri Kayangan dan eyangnya menahan kencing!" Murid
Pendeta Sinting tertawa dalam hati hingga bahunya
sedikit berguncang. Lalu dia arahkan kembali pandan-
gannya silih berganti pada Putri Kayangan dan Nyai
Tandak Kembang. Namun kali ini dia tidak bisa mena-
han tawa. Hingga tanpa ampun lagi terdengar juga ta-
wanya! Nyai Tandak Kembang dan Putri Kayangan hampir
bersamaan palingkan kepala. Saat yang sama tiba-tiba tawa murid Pendeta Sinting
meledak! Putri Kayangan sudah hendak bertanya. Namun di-
dahului Nyai Tandak Kembang.
"Apa yang membuatmu tertawa, Anak Muda?"
Joko putuskan ledakan tawanya. "Dari gerak-
geriknya dia sangat mengandalkan daya ciumnya. Ada-
lah hal aneh kalau dia tidak bisa mencium bau kenc-
ing yang sangat santer ini!" kata Joko dalam hati.
"Atau karena bau ini bersumber dari dirinya sendiri hingga dia tidak bisa
menciumnya"!"
"Anak muda! Aku memang melarangmu untuk bica-
ra! Tapi itu tidak berlaku kalau aku bertanya pada-
mu...," kata Nyai Tandak Kembang mengira Joko tidak
mau menjawab karena dia tadi sudah mengatakan
agar Joko tidak buka mulut.
"Eyang.... Kau tidak mencium sesuatu yang aneh?"
"Aku menciumnya.... Tapi itu hanya bau kencing!
Bukan bau manusia!"
Tanpa sepengetahuan ketiga orang yang tengah te-
gak di tanah agak terbuka, berjarak kira-kira lima
tombak di balik kerapatan semak, tiga sosok tubuh
tampak mengendap-endap. Tangan kanan masing-
masing orang ini memegang satu ilalang yang sesekali dimasukkan ke dalam bumbung
bambu di tangan kiri
masing-masing. Ketika ilalang ditarik keluar, ketiganya sama kibaskan ilalang.
Terlihat muncratan air berwarna kekuningan yang tebarkan aroma tak sedap!
"Rupanya setan perempuan itu takluk juga dengan
air kencing! Hik.... Hik...!" bisik suara perempuan yang bukan lain adalah
Dayang Sepuh. Datuk Wahing tidak
menyahut. Karena selain harus tebarkan ilalang, dia
juga harus menahan agar bersinarnya tidak keluar. Di hidungnya memang masih
terlihat sumbatan daun sirih, namun karena tebaran air kencing itu berasal dari
air tiga orang, mau tak mau Datuk Wahing masih harus berusaha keras bertahan.
"Tampaknya dia sudah menemukan yang dicari!"
Kali ini yang berbisik adalah Gendeng Panuntun.
"Untungnya pemuda setan itu berada di sini! Jika
tidak pasti kita masih kebingungan!" ujar Dayang Se-
puh dengan suara ditahan tatkala melihat Pendekar
131 tegak di depan sana.
"Nek... Jangan terus-terusan kau tebarkan airmu!
Kalau habis kau akar; kelabakan sendiri! Aku tak
mungkin bisa memberikan airku padamu! Itu akan
mengherankan!" bisik Datuk Wahing tatkala melihat
berulang kali si nenek celupkan ilalang pada bumbung bambu di tangan kirinya dan
dikibas-kibaskan.
"Setan! Apa kau kira aku juga mau menadah di ba-
wah celanamu, hah"! Siapa mau lihat singkong hitam
keriput milikmu"!" sentak Dayang Sepuh dengan suara
direndahkan lalu tertawa tertahan-tahan.
"Ah.... Kau sudah tahu kalau singkongnya hitam
dan sudah mengeriput! Jangan-jangan kau tadi men-
gintipnya!" sahut Gendeng Panuntun.
"Gila! Tanpa diintip pun semua pasti sudah mendu-


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga kalau singkongnya sudah mengeriput! Dan dari ku-
lit wajahnya siapa pun pasti bisa menebak kalau singkongnya hitam!" sambut
Dayang Sepuh seraya te-
ruskan tertawa tertahan-tahan.
"Jangan terus bicara tak karuan, Nek!" kata Datuk
Wahing. "Lihat mereka mulai bergerak!"
Misteri Lukisan Tengkorak 8 Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Pahlawan Padang Rumput 1
^