Pencarian

Pedang Jimat Lanang 2

Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Bagian 2


Sreettt...! "Aaoowww...! " Bocah Bodoh berteriak ketakutan. Yoga sempat terkejut melihat
Bocah Bodoh te-
rayun-ayun di udara dengan satu kaki terjerat tali tersebut. Rupanya Bocah Bodoh
terjerat perangkap yang
dipasang seseorang, entah dengan maksud mau cela-
kai Bocah Bodoh dan Yoga, atau dengan maksud mau
menangkap seekor binatang. Yang jelas, Bocah Bodoh
berteriak-teriak dalam keadaan ketakutan. Tubuhnya
terayun ke sana-sini, sementara satu kakinya yang ti-
dak terjerat tali itu menendang-nendang tak beraturan.
"Tuan...! Tuan, Yo...! Tolong saya ini! Tolong,
Jangan dilihat saja! Saya takut, Tuan!" Bocah Bodoh mau menangis. Yoga tersenyum
geli. Tapi cepat sentakkan jari tengahnya, dan keluarlah selarik sinar me-
rah melesat cepat menghantam tali tersebut. Clappp...!
Tess! Bruussk...! Bocah Bodoh jatuh dengan wajah
mencium tanah. Ia mengaduh lagi lebih keras, mem-
buat Yoga menjadi bertambah geli melihat wajah jelek-
nya menyeringai dengan sisa rambut menempel.
'Tuan kalau mau tolong saya jangan begitu ca-
ranya! Kalau memang tak mau tolong saya, ya sudah!
Tinggalkan saja. Jangan malah saya dijatuhkan dari
ketinggian begitu!"
"Kamu ini sudah ditolong bukan berterima ka-
sih malah marah"!"
"Habis Tuan menyiksa saya! Puih. puih...!" Bocah Bodoh meludah karena ada rumput
dan tanah yang masuk ke mulutnya. Ia segera bangkit sambil
membersihkan rumput yang menempel di wajah, lalu
tali penjerat itu pun dilepaskan dari kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara orang berlari ce-
pat ke arah mereka. Yoga tak sempat bersembunyi.
Tapi orang itu segera berhenti dan melangkah dengan
berjalan kaki biasa setelah melihat Yoga dan Bocah
Bodoh ada di bawah tali penjerat yang sudah putus
terbakar. "O, rupanya kau yang terkena perangkap ku, Bocah Bodoh"!" kata orang
berpakaian abu-abu dengan ikat kepala warna kuning. Orang itu berkumis ti-
pis dan pendek, berbadan agak gemuk dan berwajah
bulat dengan kulit warna gelap.
"Kau yang memasang jerat itu, Tamboyan"!"
"Ya. Tapi bukan untuk kamu, Bocah Bodoh!
Untuk seekor rusa yang sejak kemarin sedang ku bu-
ru!" jawab lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
"Siapa dia, Bocah Bodoh?" bisik Yoga dengan
melirik orang itu.
"Dia bernama Tambayon. Saya kenal dia seba-
gai pemburu. Tapi hati-hati, Tuan... dia dikenal dengan julukan Raja Tipu!"
Yoga manggut-manggut kecil. Raja Tipu me-
mandang Yoga dengan mata sedikit menyipit. Kemu-
dian ia berkata kepada Bocah Bodoh.
"Temanmu ini sungguh ganteng, Bocah Bodoh.
Berbeda sekali dengan wajahmu; seperti bumi dengan
langit. Boleh ku tahu siapa dia?"
Bocah Bodoh menjawab, "Dia Tuan Yo, gelar-
nya" Pendekar Rajawali Merah Jambu."
"Tidak pakai jambu!' tukas Yoga pelan.
"0, tidak pakai jambu! Tuan Yo sudah bosan
dengan jambu, sekarang ia suka kedondong. Hi hi
hi...!" Bocah Bodoh jelas-jelas mengajaknya bercanda, tapi Yoga tidak
menanggapinya, melainkan justru
mengajak berbicara Raja Tipu.
"Apakah kau melihat tiga orang membawa satu
tawanan?" Raja Tipu berkerut dahi, lalu segera menjawab,
"Tidak. Aku tidak melihatnya. Tapi kemarin aku meli-
hat satu orang dengan tiga tawanannya!"
Yoga menyipitkan mata pertanda heran. Bocah
Bodoh segera berbisik, "Jangan percaya, Tuan. Dia Ra-ja Tipu!"
"Aku bicara yang sebenarnya, Bocah Bodoh. Ja-
ngan kau anggap sedang menipu," kata Raja Tipu yang mendengar bisikan itu.
"Yang kami cari orang membawa satu tawa-
nan," kata Bocah Bodoh. "Bukan satu orang membawa tiga tawanan!"
"Tapi yang kulihat kemarin memang satu orang
membawa tiga tawanan! Pada waktu itu aku sedang
memburu gajah di seberang sana."
"Memburu gajah"!" Bocah Bodoh terperangah
heran, "Apakah kau berhasil menangkapnya?"
"Aku terpaksa bertarung dulu dengan gajah itu.
Ia ku banting tujuh kali, barulah kepalanya pecah, dan bisa kutangkap!"
Bocah Bodoh terbengong heran, lalu berdecak,
"Ck, ck, ck...!" Ia geleng-geleng kepala dan berkata kepada Yoga,
"Hebat sekali dia, Tuan. Berani bertarung me-
lawan gajah. Malah dibantingnya sampai tiga kali dan
kepala gajah itu pecah! Luar biasa sekali kekuatannya, bukan?"
Yoga hanya tersenyum dan berkata pelan, "Dia
Raja Tipu, bukan?"
"O, iya! Dia Raja Tipu, berarti... dia bicara bo-
hong, ya Tuan?"
"Pikirlah sendiri. Sebaiknya kits lanjutkan per-
jalanan kita. Jangan sampai kita terlambat."
"Baik, Tuan."
Ketika Bocah Bodoh dan Yoga mau pergi, Raja
Tipu sempat bertanya, "Bocah Bodoh, siapa sebenarnya yang sedang kau cari?"
"Iblis Mata Genit! Dia membawa temanku; si
Tua Usil namanya. Dia bersama dua anak buah Wali
Kubur!" "Ooo... Iblis Mata Genit"!" Raja Tipu manggut-manggut.
Yoga berkerut dahi, kemudian bertanya, "Apa-
kah kau kenal dengan Iblis Mata Genit?"
" "Ya Kenal. Tapi tidak terlalu akrab dengannya." "Kau tahu di mana tinggalnya?"
"Tahu," jawab Raja Tipu. 'Tapi jika kau punya dua sikal untuk kugunakan makan di
kedai selama sa-tu hari, aku akan ingat di mana tempat tinggal Iblis
Mata Genit. Tapi jika kau tidak punya uang dua sikal,
aku tidak akan ingat di mana ia tinggal."
Yoga tersenyum tipis, menyadari sedang dipe-
ras. Tapi Bocah Bodoh berbisik, "Berikan dia uang dua sikal, Tuan. Supaya kita
cepat peroleh arah menuju
tempat tinggal Iblis Mata Genit. Anggap saja upah per-
tolongannya membantu kita temukan Tua Usil kemba-
li." Dengan cepat, tanpa diketahui kapan tangan
Yoga mengambil uang dari selipan ikat pinggangnya,
tahu-tahu dua keping uang dilemparkan oleh Yoga
dengan satu sentilan tangan. Taab, taab...! Uang itu
cepat ditangkap oleh Raja Tipu. Yoga segera berkata,
"Sekarang katakan di mana tempat tinggal Iblis
Mata Genit!"
Sambil tersenyum, Raja Tipu berkata, "Berja-
lanlah menuju barat. Kalian akan temukan bukit yang
tak terlalu banyak ditanami oleh pepohonan. Di kaki
bukit itu, ada sebuah bangunan bertembok tinggi, se-
perti benteng. Di sanalah Iblis Mata Genit berse-
mayam. Ia sekarang menjadi Ketua Perguruan Tengko-
rak Emas."
"Berapa jauh tempat itu dari sini?"
"Kurang dari setengah hari," jawab Raja Tipu bersungguh-sungguh. "Tapi ada
caranya tersendiri untuk bisa bertemu dengan Iblis Mata Genit. Tidak se-
mua orang bisa menemuinya."
"Bagaimana cara menemuinya?" tanya Yoga.
"Tambahkan uang satu sikal lagi, maka akan
kuberitahukan bagaimana cara menemuinya!" kata Ra-ja Tipu sambil tersenyum-
senyum. Yoga menghela na-
pas dalam-dalam, menahan kejengkelan.
"Kalau kau bertele-tele, kau bisa kehilangan
kepala, Raja Tipu!"
Raja Tipu tertawakan gertakan Yoga, "Hei, kau
tak boleh marah, Tuan Yo! Kau butuh penjelasan dan
aku butuh uang. Kita sating tukar kebutuhan itu hal
yang wajar di dunia ini."
Bocah Bodoh mencolek pinggang Yoga dan ber-
bisik, "Kasih sajalah!"
Sekali lagi Yoga lemparkan sekeping uang dan
segera ditangkap oleh Raja Tipu sambil tersenyum gi-
rang. Yoga mendesak tak sabar,
"Katakan caranya!"
"Cara menemui Iblis Mata Genit harus bisa ka-
lahkan orang kepercayaannya yang bernama si Setan
Sibuk! Kalau kau bisa kalahkan Setan Sibuk, maka Ib-
lis Mata Genit akan muncul dan menanyakan keper-
luanmu!" Setelah mendapat keterangan yang dibelinya
dengan harga tiga sikal itu, Yoga pun pergi ke arah barat dengan diikuti oleh
Bocah Bodoh. Di sana mereka
temukan bangunan besar yang dimaksud Raja Tipu
tadi. Sebuah bangunan yang menyerupai benteng den-
gan temboknya warna kusam dan pintu gerbangnya
dari kayu jati tebal berbentuk lengkung.
"Pasti itulah tempat Perguruan Tengkorak
Emas, Tuan," kata Bocah Bodoh. Yoga hanya meng-
gumam tanda membenarkan pendapat Bocah Bodoh.
Lalu, terdengar lagi Bocah Bodoh berkata sambil hen-
tikan langkahnya dengan wajah mulai tampak cemas,
'Tuan saja yang temui mereka. Saya tunggu di
bawah pohon sebelah sana!"
"Kau takut?"
Bocah Bodoh nyengir. "Iya... takut. He he he
he...!" "Kau harus ikut! Tak perlu takut."
"Mereka pasti orang-orang berilmu tinggi, Tuan.
Nama perguruannya saja sudah menyeramkan; Teng-
korak Emas! Pasti mereka terdiri dari pasukan tengko-
rak yang tinggal tulang-belulang itu, Tuan."
Yoga tersenyum dan segera mencekal tangan
Bocah Bodoh lalu menariknya dan diajak jalan lagi
sambil diberi tahu,
'Tengkorak Emas itu hanya sebuah nama! Bu-
kan berada sekelompok tengkorak bikin perguruan di
sana! Jangan salah duga."
Bocah Bodoh tak bisa menolak karena Yoga
memaksa harus tetap bersamanya. Maksud Yoga, jan-
gan sampai terjadi sesuatu terhadap diri Bocah Bodoh
jika terlalu jauh darinya. Bagaimanapun juga, Yoga
merasa bertanggung jawab atas keselamatan Bocah
Bodoh, karena dia yang mengajaknya mencari Tua Usil
ke situ. Dua orang penjaga pintu gerbang perguruan
yang masih tertutup itu segera saling merapatkan diri
menghadang langkah pendekar tampan bertangan
buntung itu. Wajah mereka tampak dingin dalam me-
natap Yoga dan Bocah Bodoh. Sementara itu, Yoga
sendiri pamerkan senyum ramahnya kepada mereka,
namun tak dapatkan balasan sedikit pun.
"Siapa kau, dan mau apa datang kemari"!" te-
gur salah seorang penjaga yang bersenjatakan tombak
itu. "Aku Yoga, dan ini temanku; Bocah Bodoh! Aku
datang kemari mau bertemu dengan Setan Sibuk!"
"Ada perlu apa?" tanya yang satunya lagi.
"Ada sesuatu yang perlu kubicarakan dengan-
nya," jawab Yoga dengan tetap waspada. Bocah Bodoh pelan-pelan jauhkan diri.
Salah seorang penjaga berkata, "Kami sedang
mengadakan pertemuan penting sesama anggota. Ti-
dak seorang pun tamu boleh mengganggu pertemuan
itu! Silakan datang lagi besok!"
"Aku harus bertemu Setan Sibuk sekarang ju-
ga!" "Jangan mendesak kami kalau kau tidak ingin
mampus!" "Aku akan mendesaknya terus!"
"Keparat! Heaaah...!"
Kedua pengawal itu sama-sama hujamkan
tombaknya ke perut Pendekar Rajawali Merah. Namun
seperti seekor Burung Rajawali yang gagah perkasa,
Yoga melompat tinggi-tinggi, lalu dengan cepat ia sen-
takkan kedua kakinya yang ada di pertengahan kedua
penjaga tersebut. Dua kaki menyentak bersama ke ka-
nan-kiri. Praakkk..! Kepala mereka menjadi sasaran te-
lak. Tendangan kaki itu mempunyai tenaga dalam
yang cukup kuat, sehingga kedua penjaga itu tumbang
bersama. Kedua penjaga itu sama-sama seperti mimpi
mendapat serangan secepat itu. Gerakan Yoga tak bisa
dilihat dengan mata telanjang. Mereka rasakan kepa-
lanya seperti dihantam dengan sebatang pohon kelapa.
Keduanya sama-sama mencucurkan darah dari hidung
dan telinga. Dan sama-sama memar sekujur tubuhnya.
"Hanya satu jurus saja aku dibuatnya sesakit
ini, apalagi dia gunakan dua-tiga jurus. Bisa mati
aku," pikir salah seorang. Ia bergegas bangkit sambil menggeliat. Darah yang
keluar dart hidung diusap
dengan kain lengan bajunya. Matanya memandang Yo-
ga, seakan mengakui kehebatan jurus dan ilmu-
ilmunya. "Baiklah. Tunggu di sini, kami akan memanggil
beliau!" kata penjaga yang sudah bangkit lebih dulu.
Kemudian ia segera masuk dan Yoga segera hampiri
Bocah Bodoh yang menjauh dalam ketakutan. Bocah
Bodoh berdiri di bawah pohon, siap-siap untuk melari-
kan diri jika bahaya mengancam dirinya.
"Mereka bukan tengkorak. Kau tak perlu takut.
Kau punya ilmu silat cukup tinggi menurutku. Pasti
Ibumu yang mengajarkan."
'Tapi Ibu berpesan, saya hanya boleh gunakan
ilmu itu jika dalam keadaan terpepet sekali, Tuan. Ibu juga berpesan, kalau bisa
hindari bentrokan dengan
seseorang."
"Ibumu benar. Tapi jika punya tujuan balk,
namun dianggap jelek dan kita diserang tanpa salah,
kita wajib membela diri dengan pergunakan ilmu yang
kita miliki! Ayo, ke sana. Jangan takut!"
"Terima kasih, Tuan. Biarkan saya di sini saja."
Penjaga yang tadi masuk itu sekarang keluar


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi dan berseru,
"Ketua bersedia menemuimu! Silakan masuk."
'Terima kasih!" jawab Yoga, lalu menarik tangan
Bocah Bodoh dan membawanya masuk. Bocah Bodoh
melirik dua pengawal yang tadi dirobohkan oleh Yoga.
Pengawal itu melotot galak, Bocah Bodoh cepat-cepat
tundukkan kepala dengan takut.
Seorang lelaki tua, berusia sekitar tujuh puluh
tahun, berkepala gundul, berpakaian seperti biksu
dengan kain warna merah, jenggot panjang putih, dan
kumis panjang ke bawah warna putih pula, kini se-
dang berdiri dengan dipagari oleh beberapa anak
buahnya. Ia berdiri di jalanan yang lurus dengan pintu gerbang. Rupanya ia sudah
siapkan orang-orangnya
untuk mengepung Yoga jika Yoga datang dan bermak-
sud memusuhinya.
Orang berjenggot putih itulah yang bernama
Setan Sibuk. Sedangkan orang di sampingnya yang
berbadan kurus mengenakan pakaian coklat tua, agak
pendek, rambut lurus pendek dan menyelipkan golok
di pinggangnya itu bernama Rangkasok, pendamping
setia Setan Sibuk.
Yoga melangkah melewati barisan orang-orang
Tengkorak Emas yang masing-masing telah siap den-
gan senjatanya. Mereka berdiri di kanan-kiri jalan dan membuat Bocah Bodoh
semakin berdebar-debar ketakutan. Bocah Bodoh tak berani tatap wajah mereka
terlalu lama, karena wajah-wajah itu sungguh menye-
ramkan bagi Bocah Bodoh. Apalagi jika ia mendengar
gemerincing senjata digerakkan, hatinya seperti diiris oleh pisau tajam. Bulu
kuduknya merinding semua.
Di depan Setan Sibuk, Yoga berhenti dan me-
nampakkan sikap tegak, tegas, dan tegar. Sekalipun ia
hanya mempunyai tangan kanan, namun penampilan-
nya tidak kelihatan loyo dan lesu. Justru mereka meni-
lai Yoga tampak lebih berwibawa daripada Rangkasok
sendiri. Setan Sibuk menjulurkan tangannya ke depan
dengan telapak tangan terbuka tegak. Rangkasok yang
berkumis tipis itu berkata,
"Berhenti sampai di situ!"
Langkah Yoga pun terhenti dalam jarak lima
tindak dari Setan Sibuk. Kemudian Setan Sibuk ge-
rakkan tangannya ke samping kanan-kiri, dan memu-
tar-mutar di bawah, menunjuk tanah dan membuka
tangan, lalu berhenti sampai di situ.
Rangkasok perdengarkan suaranya, "Apa tu-
juanmu menemui aku di sini! Sebab aku merasa tak
pernah melihat kamu!"
Rupanya Rangkasok bertindak sebagai pener-
jemah bahasa gerak yang dilakukan oleh Setan Sibuk.
Maka Yoga pun segera menjawab, "Aku ingin menan-
tangmu!" Sraang...! Terdengar bunyi pedang mereka dicabut secara serempak begitu
mendengar jawaban
Yoga. Suara tersebut mengagetkan Bocah Bodoh, dan
membuat Bocah Bodoh gemetar sekujur tubuhnya.
Sedangkan Setan Sibuk hanya memandang Yoga den-
gan mata sedikit menyipit, penuh keheranan dan curi-
ga. Rangkasok yang berada di samping kanan Setan
Sibuk itu juga memandang dengan dingin dan siap-
siap pegangi gagang goloknya. Sewaktu-waktu siap ca-
but. Setan Sibuk kembali gerakkan tangannya ke
atas, ke samping, meliuk-liukkan pinggangnya sambil
tolak pinggang, lalu jemarinya bergerak-gerak ke depan hidung, menggaruk pipi
tiga kali, dan membuka telapak tangannya seperti tadi, Rangkasok baru menerje-
mahkan bahasa gerak itu,
"Kalau kau ingin menantangku, berarti kau
membuang nyawa secara sia-sia. Tapi aku tak mau
melayani tantanganmu, kalau kau tidak sebutkan ala-
sanmu menantangku."
Yoga berkata, "Aku harus kalahkan dirimu su-
paya aku bisa bertemu dengan ketuamu!"
Setan Sibuk menepak kepala, lalu menuding ke
tanah. Rangkasok menerjemahkan,
"Akulah ketua perguruan di sini!"
Yoga berkerut dahi agak curiga. Ia memandang
Bocah Bodoh yang di sebelah kirinya. Bocah Bodoh
memandang Yoga namun segera menundukkan wajah,
seakan tak mau ikut campur urusan tersebut.
Pendekar Rajawali Merah segera berkata, "Bu-
kankah ketua perguruan ini adalah Iblis Mata Genit"!"
Setan Sibuk kerutkan dahi dan telapak tan-
gannya dikibas-kibaskan di depan wajah, lalu Rangka-
sok menerjemahkan,
"Selamat tinggal...."
Tiba-tiba Rangkasok ditampar wajahnya oleh
Setan Sibuk. Plokk...!
"Oh, bukan. Salah. Maksudnya... maksud-
nya...," Rangkasok melihat Setan Sibuk, lalu orang berusia sekitar tujuh puluh
tahun itu segera menepak
kepalanya sendiri dan menuding tanah, lalu melam-
baikan tangannya dengan mengguncang-guncangkan
ke kanan-kiri. "Maksudnya... ketua perguruan di sini bukan
Iblis Mata Genit, melainkan aku sendiri!"
"Kau tak bisa kelabui aku, Setan Sibuk!"
Setan Sibuk angkat bahu, lalu garuk-garuk ke-
pala. Rangkasok menerjemahkan,
'Terserah kamu. Yang jelas, jangan menggali
kemarahan di kepalaku!"
Plookkk...! Rangkasok ditampar lagi. Setan Si-
buk membentak, "Kepalaku sedang gatal, tolol!"
"Ooo... maaf!"
Yoga tersenyum, ingin lebih panjang lagi se-
nyumannya, namun segera ditahan. Ia berkata kepada
Setan Sibuk, 'Ternyata kau bukan orang bisu, Setan Sibuk.
Bicaralah padaku dan layanilah tantanganku. Aku
akan mengalahkan kamu."
Setan Sibuk menari-narikan jemarinya di depan
wajah, lalu pegang pundak kanan-kiri, membungkuk
satu kali, menepak pinggang belakang, menggerak-
gerakkan ketiaknya seperti bebek berenang, menepuk
pipinya sendiri dan menarik-narik bibirnya tiga kali,
kemudian menggerakkan tangannya ke depan, setelah
itu membuka telapak tangannya lagi. Rangkasok sege-
ra menjelaskan,
"Aku tak akan bicara dengan orang yang bukan
muridku dan orang yang ilmunya lebih rendah dariku.
Kalau kau bisa mengalahkan aku, akan kugendong
kau keliling. bukit ini."'
Plokkk...! Tamparan itu menandakan Rangka-
sok salah arti. Lalu, ia cepat membetulkan ucapannya,
"Maksudnya, kalau kau bisa kalahkan aku, aku akan hormat padamu!"
"Aku tak perlu hormat, yang kuperlukan ber-
temu dengan Iblis Mata Genit!"
Setan Sibuk hantamkan pukulannya ke tan-
gannya sendiri. Lalu kakinya menghentak ke tanah ti-
ga kali, kedua ketiaknya bergerak-gerak lagi seperti
bebek berenang, menuding ke atas, menuding ke ba-
wah, pinggulnya meliuk-liuk sebentar. Brrukkk...! Se-
tan Sibuk jatuh terpelanting oleh gerakkannya yang
sibuk sendiri itu. Rangkasok segera menolong, lalu
menerjemahkan arti gerakan tersebut,
"Iblis Mata Genit justru musuh kami. Dari dulu
sampai sekarang kami masih bermusuhan. Dan aku
yakin suatu saat akan bisa membunuhnya lalu aku ja-
tuh...." Plokkk...! "0, tidak pakai jatuh," sahut Rangkasok setelah gelagapan karena wajahnya
kembali ditampar.
Kata-kata itu membuat Yoga berkerut dahi dan
mulai menimbang-nimbang ucapan Raja Tipu. Firasat-
nya mengatakan, apa yang dijelaskan oleh Setan Sibuk
itu memang benar. Yoga ingin ucapkan sesuatu, na-
mun ia melihat Setan Sibuk kembali gerakkan tubuh-
nya, menuding Yoga, menepuk dada sendiri, melirik-
kan matanya, tersenyum, dan menarik-narik jenggot-
nya, akhirnya nyengir sendiri karena terlalu keras me-
narik jenggot. Setelah itu kedua telapak tangannya di-
buka. Rangkasok menerjemahkan,
"Siapa yang bilang kalau Iblis Mata Genit ketua
di perguruan Tengkorak Emas ini?"
Pendekar Rajawali Merah menjawab, "Aku da-
patkan keterangan itu dari Raja Tipu. Menurutnya, ji-
ka mau bertemu dengan Iblis Mata Genit harus menga-
lahkan Setan Sibuk lebih dulu, baru Iblis Mata Genit
akan keluar menemuiku. Padahal aku ada urusan
nyawa dengan Iblis Mata Genit."
Setan Sibuk tersenyum dan tepuk tangan satu
kali. Lalu mengetuk-ngetuk pelipis pakai jari telunjuk, menuding Yoga, dan
meliuk-liukkan kesepuluh jemarinya di depan wajah.
"Kau telah ditipu olehnya," kata Rangkasok
menerjemahkan. "Raja Tipu itu bekas pelayannya Iblis Mata Genit. Aku malah ingin
bantu dirimu jika bermaksud melawan Iblis Mata Genit."
Setan Sibuk menuding jauh dan menirukan
orang sekarat sebentar, lalu menepuk pantat, mene-
puk paha, garuk-garuk kepala lagi, dan Rangkasok
menerjemahkan, "Kalau kau mau bertemu dengannya, temui dia
di Bukit Kematian: Di sanalah ia tinggal dalam sebuah
pondok." Setelah merenungi firasat hatinya, Yoga berka-
ta, "Rasa-rasanya, ucapanmu itu bisa kupercaya. Aku minta maaf, karena diperdaya
oleh Raja Tipu, walau
untuk itu aku harus kehilangan uang tiga sikal."
Setan Sibuk tertawa tanpa suara. Lalu, ia men-
jentikkan jarinya hingga berbunyi; klik...! Dan Rangkasok berkata,
"Raja Tipu ingin balas dendam kepada kami,
tapi ia tak mampu dan memanfaatkan dirimu dengan
mengadu domba seperti itu. Padahal menurutku, kau
bisa saja langsung menuju ke arah selatan dan di sana
kau bisa temukan Bukit Kematian yang mempunyai
tanah peternakan berisi buaya. Karena Iblis Mata Ge-
nit gemar memakan daging buaya. Kau tahu, buaya itu
ganas dan galak. Kalau...."
Plok...! "Kepanjangan!" bentak Setan Sibuk setelah me-nampar wajah Rangkasok.
Hampir saja Yoga bertarung dan bikin masalah
terhadap orang yang tidak punya salah apa-apa den-
gannya. Hati Yoga geram dan gemas terhadap Raja Ti-
pu. Namun akhirnya ia sendiri tertawa membayangkan
kepandaian Raja Tipu mengelabuhi dirinya.
Yoga bergegas ke Bukit Kematian sesuai den-
gan petunjuk Setan Sibuk. Sementara itu, Bocah Bo-
doh memohon agar beristirahat sebentar di bawah po-
hon. Yoga bertanya, "Kenapa istirahat" Capek?"
"Kepala saya pusing melihat simpang siurnya
tangan Setan Sibuk tadi, Tuan. Lain kali kalau temui
dia jangan ajak sayalah...!"
Yoga hanya tertawa geli melihat Bocah Bodoh
bersungut-sungut.
* * * 5 PERJALANAN menuju Bukit Kematian mema-
kan waktu sampai malam tiba. Mereka terpaksa ber-
malam di atas pohon, karena Bocah Bodoh selalu
mengeluh kecapekan. Kalau saja Yoga tidak membawa
Bocah Bodoh, maka sebelum petang tiba pun Yoga su-
dah sampai di Bukit Kematian dengan gunakan
'Langkah Bayu', yang mampu bergerak melebihi kece-
patan anak panah. Tapi karena ia membawa Bocah
Bodoh, dan Bocah Bodoh tidak bisa bergerak secepat
itu, maka Yoga, terpaksa mengimbangi kelambanan
Bocah Bodoh. "Aku yakin kau bisa gunakan gerakan cepat!
Karena tempo hari aku pernah kehilangan jejak mu
waktu mengejar."
"Pesan Ibu, aku tak boleh gunakan gerakan itu
kecuali terpepet," jawab Bocah Bodoh. Yoga hanya
hembuskan napas sebagai tanda keluh.
Di atas pohon berdahan rapat itu, mereka men-
coba untuk merebah dan melepaskan lelah. Sebelum
tidur, Yoga sempat bertanya kepada Bocah Bodoh,
"Apakah benar Raja Tipu itu bekas pelayannya
Iblis Mata Genit?"
"Benar, Tuan."
"Kenapa tidak kau katakan padaku sewaktu
jumpa dia?"
"Saya pikir, karena dia sudah bukan pelayan
Iblis Mata Genit, maka dia sudah tidak perlu saya se-
butkan sebagai pelayan lagi, Tuan."
"Ah, kau memang payah!" keluh Yoga menahan
dongkol. "Dia tidak lagi dipakai oleh Iblis Mata Genit, ka-
rena tak pernah mau disuruh mencuri pusaka seseo-
rang." "Maksudmu, Pusaka Pedang Jimat Lanang?"
"Bukan. Kalau pusaka itu tak akan ada yang
bisa mencurinya."
"Mengapa kau yakin begitu?" desak Yoga.
"Karena saya dan Ibu sendiri tidak tahu persis
di mana letak pedang itu disimpan. Hanya punya bekal
pengetahuan, bahwa pedang itu ada di sekitar Prasasti
Tonggak Keramat. Di sebelah mana, kami tidak tahu
persis, Tuan. Apalagi orang lain, jelas tak akan tahu!"
"Kalau aku mau, aku bisa menemukan tempat-
nya" "Caranya bagaimana, Tuan?"
"Menggunakan firasat ku."
"Firasat itu bentuknya seperti apa, Tuan?"
"Firasat itu kekuatan batin yang menggerakkan
hati kita, atau kadang membuat kita tak sadar dalam


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan sesuatu dan sesuatu itu adalah sebuah
kebenaran. Kalau manusia bisa kenali firasatnya sen-
diri, terbiasa kendalikan firasatnya, maka ia dapat melihat sesuatu yang belum
terjadi dan akan terjadi. Fi-
rasat itu sering pula digunakan oleh para ahli nujum,
peramal, dukun, atau seorang pertapa sakti. Setiap ha-
ri sebenarnya kita bergumul dengan bahasa firasat, ta-
pi kita sering tidak menyadari kehadirannya. Sebab
antara firasat dengan kata hati, perbedaannya sangat
tipis. Firasat dengan nafsu pribadi, juga punya perbe-
daan sangat tipis. Kadang-kadang firasat berguna un-
tuk mengendalikan nafsu pribadi yang berlebihan. Pa-
ham?" Tak ada suara. Sepi. Yoga kembali berkata,
"Kau mengerti kata-kataku Bocah Bodoh?"
"Gggrrr...!"
"Uuh, ngorok!" gerutu Yoga kesal hatinya, su-
dah bicara panjang-lebar tak tahunya ditinggal tidur
Cola Colo. Tapi, lagi-lagi Yoga harus berbesar jiwa, karena ia dapat maklumi
kekurangan yang ada pada Co-
la Colo. Kekurangan itu membuat orang berusia seki-
tar lima puluh tahun itu menjadi bodoh. Kebodohan
sering membuatnya celaka. Dan kebodohan itu juga
yang membuat hati Yoga dan Lili iba terhadap nasib
Cola Colo, si Bocah Bodoh.
Perjalanan menuju Bukit Kematian ternyata ti-
dak semulus dugaan Bocah Bodoh. Pada saat ia dan
Pendekar Rajawali Merah melintasi tanah lapang di
tengah hutan, tiba-tiba seberkas sinar hitam melesat
ke arah punggung Bocah Bodoh. Pada waktu itu, Bo-
cah Bodoh berjalan berdampingan dengan Yoga. Itu
berarti sinar berbahaya tersebut juga datang dari belakang Yoga.
Pendekar Rajawali Merah mempunyai jurus
yang bernama 'Sandi Indera'. Ilmu itu yang membuat
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih
tak bisa diserang lawan dari belakang. Gerakan nalu-
rinya cepat bertindak. Seperti kala itu, sinar hitam
yang melesat itu segera dihantam oleh Yoga dengan
menyentakkan telapak tangannya yang memancarkan
sinar merah, dan sinar Itulah yang menabrak tepat ca-
haya hitam hingga terjadi ledakan cukup besar.
Duaaarrr...! Bocah Bodoh terpental karena gelombang leda-
kan tersebut. Ia segera menjadi gugup dan lari tung-
gang-langgang mencari tempat bersembunyi. Karena
jauh dari pohon dan dekat dengan gundukan semak
ilalang, maka ia masukkan kepalanya ke semak ilalang
itu. Gruak...! Tapi kaki dan pantatnya masih terlihat
jelas dari luar semak.
Mata pemuda tampan itu segera menatap seke-
liling dengan tajam dan cepat. Lalu, ia menangkap ge-
rakan seseorang yang melompat dari pohon ke pohon.
Dengan cepat Yoga kirimkan pukulan tangan bun-
tungnya yang keluarkan selarik sinar merah.
Zlaappp...! Blaarrr...! Pohon yang hendak dipakai me-
lompat orang Itu terhantam sinar merah, langsung pe-
cah menjadi serpihan kayu kecil-kecil. Orang tersebut
mau tak mau segera melompat keluar dari kerimbunan
pohon. Jleeg...!
Sepi tercipta seketika. Yoga menatap orang itu
dan orang itu menatap angker pada Yoga. Pendekar
Rajawali Merah segera kenali orang tersebut yang tak
lain adalah Nyai Rajang Demit, karena ia pernah men-
dengar cerita dari Lili tentang ciri-ciri Nyai Rajang Demit, terutama dari jubah
ungunya. . Yoga pun segera tahu, bahwa yang diincar Nyai
Rajang Demit adalah Bocah Bodoh. Karena nenek tua
itu sudah menculik Bocah Bodoh sebagai sandera te-
busan Pedang Jimat Lanang. Pasti nenek tua itu mera-
sa dongkol melihat tawanannya kabur dan ia ingin
kembali menawan Bocah Bodoh. Karena itu, matanya
segera melirik ke arah pantat Bocah Bodoh yang ter-
sumbul keluar dari balik semak ilalang.
Nyai Rajang Demit segera kibaskan tangannya
ke depan, dan meluncurlah sinar hitam lagi ke arah
Yoga yang berjumlah lima larik. Sambil begitu, ia me-
nendang batu kecil di arahkan ke pantat Bocah Bodoh.
Buuhg...!' Pantat itu terhantam batu dan Bocah Bodoh
menjerit sambil tersentak kaget. Tubuhnya terasa ngilu semua. Pendekar Rajawali
Merah tak sempat menolong
Bocah Bodoh karena ia sibuk hindari serangan lima la-
rik sinar hitam tersebut. Ia hanya bisa melompat bebe-
rapa kali, dan berguling di tanah satu kali. Kemudian
cepat berdiri di depan Bocah Bodoh yang meringis ke-
sakitan sambil usap-usap pantatnya itu. Yoga kembali
menatap Nyai Rajang Demit tanpa sepatah kata pun.
Kejap berikutnya, Nyai Rajang Demit berseru,
"Serahkan bocah itu!"
Yoga membalas, "Untuk apa kau harapkan bo-
cah itu. Kurasa dia tidak tahu apa-apa tentang uru-
sanmu, Nyai Rajang Demit!"
"Hmmm...! Kau tahu namaku, berarti Bocah
Bodoh itu sudah banyak cerita tentang diriku!"
"Benar."
"Cola Colo..! Kemari kau!"
"Iiy... iya, Bibi...!" Cola Colo pun melangkah keluar dari balik tubuh Yoga
dengan langkahnya megol-
megol karena pantatnya sakit. Tetapi tangan Yoga se-
gera meraih pundak Bocah Bodoh dan menariknya.
"Jangan dekati dia! Kau bisa jadi umpan maka-
nan ular lagi!"
"Oh, iya...!" sentak Bocah Bodoh bagaikan baru sadar bahaya itu. Lalu ia
berkata, "Maaf, Bibi...! Saya tidak boleh dekat-dekat Bibi nanti dimakan ular!"
"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku,
Orang asing! Itu membuatku muak, dan tak pernah bi-
sa kasih ampun lagi padamu!"
"Kurasa tak perlu! tapi kalau kau meminta am-
pun padaku, aku akan mengampunimu, Nyai!"
"Bedebah! Sekarang apa maumu ikut campur
urusanku, hah?"
"Hanya sekadar melindungi pihak yang benar!
Aku tahu kau menghendaki Bocah Bodoh untuk kau
jadikan umpan mendapatkan Pedang Jimat Lanang
itu! Dan aku tahu persis, kau bukan pewarisnya!"
'Tak peduli aku pewarisnya atau bukan, siapa
halangi aku dalam mendapatkan Pedang Jimat Lanang
itu, akan kubunuh tanpa tanggung-tanggung! Jadi,
kusarankan kau keluar dari urusanku!"
"Aku melindungi Bocah Bodoh! Jika kau ingin-
kan Pedang Jimat Lanang, carilah sendiri tanpa harus
mengorbankan dial"
"Aku sudah muak dengannya, dan ingin mem-
bunuhnya, supaya hatiku puas karena dia berani me-
larikan diri dari tempatku!"
"Kalau kau ingin bunuh dia, berarti kau harus
berhadapan dengan diriku, Nyai Rajang Demit!" kata Yoga dengan tegas dan jelas.
Nyai Rajang Demit menjadi semakin mendidih
darahnya. Sekalipun ia sudah tidak mempunyai senja-
ta tongkat lagi, karena sudah dipecahkan oleh ibu Bo-
cah Bodoh itu, namun ia masih tetap tampak liar dan
ganas terhadap lawannya.'
"Kau memang belum pernah ku rajang dengan
jurus 'Pisau Gaib'-ku ini. Heaaah,..!" Nyai Rajang Demit segera menyentakkan
kaki dan tubuhnya melesat
bagaikan terbang ke arah Yoga. Sementara itu, Yoga
hanya bersifat menunggu serangan datang. Nyai Ra-
jang Demit bersalto satu kali dengan kaki berkelebat
menendang Yoga. Namun oleh Yoga kaki itu hanya di-
tangkis menggunakan lengannya, lalu telapak tangan-
nya menguncup dan berkelebat mematuk tulang lutut
lawan dengan gerakan cepat.
Desss...! "Uhg...!" terdengar suara Nyai Rajang Demit
terpekik pelan.
Bruukk....! Nyai Rajang Demit tak mampu
mendarat dengan kaki tegak, karena lutut yang terke-
na jurus 'Paruh Rajawali Liar' itu terasa remuk tulang-tulangnya dan sakitnya
bukan kepalang. Walau terasa
sakit, namun Nyai Rajang Demit masih tetap menye-
rang Pendekar Rajawali Merah dengan satu kaki berlu-
tut dan kedua tangannya menebas kaki Yoga dalam
gerakan memenggal beberapa kali.
Dengan cepat Yoga melompat, lalu kakinya
mengibas dalam satu tendangan ke arah wajah Nyai
Rajang Demit. Plokkk...! Buugh...! Kaki yang berhasil
menendang wajah itu kembali ke belakang sambil
mengarahkan tumit ke pelipis lawan.
Gerakan kaki yang dinamakan jurus 'Sepak
Ganda' itu mempunyai kekuatan tenaga dalam, se-
hingga kepala Nyai Rajang Demit bagaikan hancur ra-
sanya. Darah keluar dari telinga dan hidung perem-
puan tua itu. Yoga segera menjauh. Tangan Bocah Bo-
doh diraihnya agar jangan diam saja berada dalam ja-
rak dekat dengan Nyai Rajang Demit.
Pendekar Rajawali Merah hanya pandangi pe-
rempuan tua itu yang semakin banyak keluarkan da-
rah dari lubang hidung dan telinga. Perempuan itu
masih tetap berlutut satu kaki sambil menahan rasa
sakit di tubuhnya. Ia bagaikan sedang kumpulkan lagi
tenaganya, lalu duduk bersila dengan tangan men-
gembang dan mata memandang tajam pada Yoga.
Yoga tahu, sebuah pukulan handal akan dile-
paskan oleh perempuan jangkung itu. Maka, dengan
cepat Yoga sentakkan telapak tangannya yang miring
itu ke depan sambil ia pun berlutut satu kaki. Dari
ujung jari tangan melesat cahaya merah yang cukup
besar dan menghampar cepat, menghantam tubuh
Nyai Rajang Demit. Blarrr...!
Nyai Rajang Demit tak sempat menangkis mau-
pun menghindar. Sinar merah menyilaukan itu bagai
menelan tubuhnya lalu melemparkan kuat-kuat. Ia
melesat ke belakang dalam keadaan tetap duduk. Begi-
tu cepatnya tubuh itu terlempar, hingga sebatang po-
hon kecil patah ditabrak punggungnya, dan sebongkah
batu pun hancur diterabas punggungnya. Kejap beri-
kutnya, perempuan yang jelas sudah terluka parah itu
segera berusaha melarikan diri dengan jatuh bangun.
Pendekar Rajawali Merah biarkan perempuan
tua itu larikan diri. Ia segera memperhatikan Bocah
Bodoh, ingin katakan sesuatu namun terhenti oleh su-
ara tepukan memanjang. Yoga dan Bocah Bodoh cepat
palingkan wajah memandang ke arah tepukan yang
ada di atas pohon. Ternyata dilakukan oleh seorang
gadis cantik berwajah imut-imut. Gadis berpakaian bi-
ru muda dengan jubah tipis warna kuning itu tak lain
adalah Gadis Linglung. (Baca serial Jodoh Rajawali da-
lam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").
"Gadis Linglung..."!" gumam Bocah Bodoh.
Tuan Yo masih ingat gadis itu?"
"Ya. Dia juga menghendaki Pusaka Pedang Ji-
mat Lanang."
Gadis Linglung segera turun dari pohon dan
hampiri Cola Colo, kemudian menyapa dengan senyum
manja, "Hebat sekali kau punya teman, Cola Colo! Boleh aku kenalan dengannya?"
"Bukankah kau telah mengenalnya dan pernah
bertemu?" "O, ya"! Kapan"!"
"Waktu kau desak aku untuk mendapatkan pe-
dang pusaka itu"!"
Gadis Linglung berkerut dahi, berpikir beberapa
saat sambil melangkah mondar-mandir dan permain-
kan bibir dengan tangan kirinya, setelah itu ia me-
nyentak dalam keceriaan,
"O, ya! Betul! Dia pendekar tampan yang punya
kekasih galak itu! Aku ingat tentang dia! Tapi... Bocah Bodoh, tolong tanyakan
siapa namanya"! Aku lupa!"
bisik Gadis Linglung sambil melirik Yoga sesekali da-
lam senyum manjanya.
"Namanya Tuan Yoga; gelarnya Pendekar Raja-
wali Merah Delima!"
'Tidak pakai delima!" sergah Yoga.
"0, ya! Tidak pakai delima. Catat dalam otakmu,
Gadis Linglung!"
'"Ya, ya... akan ku catat ketampanannya itu!"
Gadis Linglung bersemangat, namun malu-malu ingin
mendekati Yoga. Lalu ia bertanya,
"Hendak ke mana kalian berdua, Bocah Bo-
doh?" "Menyerang Iblis Mata Genit. Apa kau mau ikut?" "Kalau pendekar tampan Itu
membolehkan, aku mau Ikut!" jawab Gadis Linglung dengan malu-malu.
Yoga hanya tersenyum tipis namun menawan hati.
* * * 6 NASIB si Tua Usil cukup menyedihkan. Di wa-
jahnya banyak luka memar akibat pukulan tangan ko-
song. Bajunya menjadi compang-camping karena robek
di sana-sini. Benda keras semacam kayu rotan berduri
telah menghantamnya lebih dari delapan puluh tiga
kali. Tentu saja bukan hanya pakaiannya yang robek-
robek, melainkan kulit tubuhnya pun mengalami robek
membilur sampai pada bagian kakinya. Sekalipun de-
mikian, Tua Usil tetap tak mau tunjukkan di mana Lili
berada, dan hal itu membuat Iblis Mata Genit sangat
jengkel. Sekarang hatinya agak lega. Ketika petang tiba dan ia tak sadarkan diri
karena berat menahan siksaan, tahu-tahu ketika ia siuman, keadaannya sudah
digantung dengan terjungkir. Kedua kakinya di ikat
dengan seutas tali kuat, digantungkan pada sebatang
dahan pohon yang melengkung ke bawah.
Waktu Tua Usil sadari keadaannya, dalam hati
ia berkata, "Syukurlah mereka berhenti menyiksaku.
Lebih baik aku digantung jungkir balik begini ketim-


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bang harus menerima pukulan beberapa kail. Paling
tidak, dengan digantung jungkir balik begini, aku ma-
sih bisa gunakan pernapasan sejati untuk sembuhkan
luka dan hilangkan rasa sakit. Aman sudah kalau be-
gini. Tinggal menunggu lukaku kering dan sakitku hi-
lang, lalu berusaha untuk loloskan diri!"
Kepala yang terjungkir ke bawah dengan tan-
gan berjuntai itu terayun-ayun pelan saat ditiup angin.
Tua Usil kerutkan dahi sejenak ketika ia memandang
bagian bawahnya, berkilauan cahaya rembulan pada
saat itu. Rupanya ia digantung di atas genangan air.
Entah air telaga atau air kolam, yang jelas ia rasakan ada percikan air yang
menempel di kedua lengannya.
Tua Usil tersenyum kecil dan berkata dalam hatinya,
"Andaikata tali itu putus, selamatlah aku. Ja-
tuh ku tidak di tempat yang keras, tapi ke dalam air.
Jadi sebaiknya ku ayun-ayunkan saja tubuhku biar
tali ini lama-lama putus sendiri."
Namun alangkah terkejutnya Tua Usil setelah
mengetahui air bergerak-gerak. Sesuatu yang mirip ba-
tang pohon mengambang mendekati ujung tangannya.
Benda yang mengambang itu sesekali memantulkan
cahaya rembulan. Dan tiba-tiba benda itu melonjak ke
atas, air tersibak muncrat, Tua Usil berteriak,
"Uaaawww...!" sambil angkat tubuh meleng-
kung ke atas. Byuurrr...! Benda itu jatuh kembali ke permu-
kaan air, percikannya menyembur hingga membasahi
wajah Tua Usil yang melengkung dengan tangan tak
berani terjuntai lagi. Wajahnya menjadi tegang mana-
kala ia sadari, bahwa ternyata banyak benda mengam-
bang timbul tenggelam di permukaan air tersebut. Tua
Usil segera tahu, bahwa saat itu ia ada di atas kolam
peternakan buaya.
Rupanya semakin malam semakin tiba saatnya
buaya-buaya itu merasa lapar. Melihat sesuatu yang
menggantung di atas kolam, buaya-buaya itu berusaha
untuk meraihnya dengan lonjakan-lonjakan kecil. Tapi
buat Tua Usil lonjakan itu termasuk maut besar yang
mengancam nyawanya setiap saat. Beruntung sekali
tubuhnya bisa sedikit diangkat naik dan melengkung
ke atas, sehingga tangan dan kepalanya lolos dari
sambaran mulut buaya tersebut. Kecipak ekor buaya
pun sesekali membuat jantung Tua Usil bagaikan le-
nyap dari dada karena beberapa kali hampir saja tu-
buhnya terhantam ekor buaya yang menyabet ganas
itu. "Kalau tahu begini... lebih enak aku dipukuli
seperti tadi, daripada harus menghindari mulut buaya
dalam keadaan tak bisa banyak bergerak begini,
oooh...! Nasib, nasib...!"
Tak ada penjaga di sekitar kolam buaya itu. Ib-
lis Mata Genit juga tak kelihatan di sana. Namun ada
sebuah pondok yang mempunyai penerangan di bagian
dalamnya. Cahaya lampu minyak itu sempat membias
ke permukaan air kolam buaya.
Di dalam pondok itu, Iblis Mata Genit yang can-
tik itu sedang terlibat perbincangan dengan adiknya
yang sudah berwajah tua, yaitu Wali Kubur. Di samp-
ing Wali Kubur ada dua orang kepercayaannya yang
ikut membicarakan masalah tersebut, yaitu Gandul
dan Brata. Dua orang dari Perguruan Lereng Lawu
lainnya ada di depan pintu masuk, satu berjaga di se-
rambi, satu berjaga di bagian dalam.
Wali Kubur masih tetap berwajah murung, ka-
rena ia telah tidak mempunyai daya apa-apa. Dia me-
rasa sudah tidak pantas menjadi ketua dan guru di
Perguruan Lereng Lawu. Saat itu, kedua muridnya
yang duduk di samping kanan-kiri dapat saja mengha-
jarnya sewaktu-waktu, karena ilmunya lebih tinggi dari sang Guru yang sudah
menjadi polos tanpa ilmu sedikit pun itu. Rasa marahnya kepada Pendekar Rajawali
Putih sudah terbungkus dengan rasa malu dan mind-
er. "Kalau kau tidak bisa memaksa gadis bangsat
itu mengembalikan ilmuku, aku lebih baik mati bunuh
diri!" kata Wali Kubur kepada kakak perempuannya
yang masih tampak muda dan cantik itu.
"Bersabarlah sesaat. Jangan kau patah seman-
gat begitu, Adik Wali Kubur! Aku sedang berusaha
memaksa Tua Usil untuk tunjukkan di mana gadis itu
tinggal. Pasti dia akan katakan jika kita siksa terus seperti itu."
"Guru harus sabar. Mencari gadis sakti itu ti-
dak semudah mencari seekor ayam hutan," kata Gan-
dul yang ada di samping kirinya. Wali Kubur hanya
bersungut-sungut dan berkata,
"Sekarang kau berani menasihatiku, karena
kau tahu aku tak akan bisa melawanmu!"
Brata menyahut, "Bukan karena kami ingin
menggurui Guru semata-mata, tapi karena kami ingin
agar Guru tenang, supaya kami pun bisa berpikir lebih
tenang lagi dan bertindak lebih tepat lagi!"
Iblis Mata Genit segera berkata, "Adik Wali Ku-
bur, seandainya gadis itu tak bisa mengembalikan il-
mumu, apakah kau bisa merasa lebih puas jika aku
membunuhnya dan mempersembahkan kepalanya ke-
pada mu?" Wali Kubur yang murung menarik napas dan
menjawab, "Kalau hanya membunuh dia, lantas apa
artinya aku hidup tanpa ilmu?"
Brata menimpali, "Ilmu bisa kita cari lagi,
Guru. Nanti saya dan Gandul siap melatih jurus-jurus
maut kepada Guru!"
"Kalian ini muridku, masa' aku harus berlatih
dan belajar kepada kalian" Apa kata dunia persilatan
nanti, jika seorang Guru belajar jurus-jurus maut ke-
pada murid-muridnya"! Malu aku! Malu!"
Wali Kubur seperti orang mau menangis. Ia
menundukkan kepala. Nafasnya terasa berat dihela.
Iblis Mata Genit memandangnya dengan hati iba. Ke-
mudian gadis itu segera berkata,
"Sebenarnya apa kata Gandul itu memang be-
nar. Dan apa yang dikatakan Brata baru saja itu jauh
lebih benar. Kau tak perlu patah semangat, Adik Wali
Kubur. Aku masih bisa mengajarkan ilmu-ilmuku ke-
padamu jika kau bertahan tetap hidup. Yang penting
bagaimana kita bikin perhitungan dengan gadis itu! Ki-
ta harus tunjukkan kepada gadis itu dan konco-
konconya, bahwa aliran silat kita punya harga diri
yang tidak bisa dibuat main-main. Jika gadis itu tidak dibunuh, maka aliran kita
akan di-anggap remeh oleh
para tokoh dunia persilatan. Jadi aku memutuskan,
gadis itu bisa mengembalikan ilmumu atau tidak, pada
akhirnya dia akan mati di tanganku. Dia harus dibu-
nuh!" "Lalu bagaimana jika Tua Usil itu tidak mau menunjukkan tempat tinggal
gadis itu" Bagaimana jika
ia tetap bungkam"!"
"Masih ada satu orang lagi yang memungkin-
kan dapat kita paksa untuk menemukan gadis itu!
Orang tersebut adalah Cola Colo!"
"Bocah Bodoh..."! Apa yang dapat kita ha-
rapkan dari Bocah Bodoh yang memang berotak bodoh
itu" Belum tentu dia ingat dengan gadis itu, karena
otaknya yang sangat bodoh itu!"
"Aku yakin, dia pasti tahu dan bisa membawa
kita untuk temui gadis itu!" kata Iblis Mata Genit. "Tenangkan jiwamu, tenangkan
hatimu. Jangan dulu da-
tang ke perguruan sebelum ilmu mu pulih kembali,
nanti kau ditertawakan oleh murid-muridmu! Tidak
semua muridmu berjiwa bijak seperti Gandul dan Bra-
ta!" Kembali Wali Kubur tarik napas, lalu berkata
sambil memandang kanan-kiri, "Bagaimanapun juga,
kalian berdua harus tetap jaga rahasia kelemahan ku
ini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!" jawab mereka masih tetap
hormat, "Kalau Tua Usil itu terpaksa harus dibunuh, biar aku yang membunuhnya!
Tapi terlebih dulu, bust
dia tak berdaya dan tak bisa menyerangku!" kata Wali Kubur yang bertambah
jengkel hatinya membayangkan
kerasnya pendirian Tua Usil yang tak mau sebutkan
tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih itu.
"Atau malam Ini juga kau ingin Tua Usil menja-
di santapan buaya-buaya ku?" kata Iblis Mata Genit.
"Jika kau mau, tinggal melepas tali pengikatnya yang ada di batang pohon, maka
tubuhnya akan meluncur
diterima mulut buaya!"
"Beri kesempatan sampai besok! Siapa tahu
siksaan batinnya malam ini membuat pikirannya be-
rubah dan mau antarkan kita untuk temui gadis bang-
sat itu!" kata Wali Kubur dengan pelan, karena dadanya terasa sesak menahan
kemarahan yang tak
mampu dilampiaskan.
Suara teriakan Tua Usil masih terdengar sese-
kali bersamaan dengan gemuruh air yang dihantam
ekor-ekor buaya. Wali Kubur sedikit merasa terobati
mendengar teriakan-teriakan Tua Usil. Ia jadi punya
keinginan untuk membuat Lili diperlakukan seperti
Tua Usil, teriakan-teriakannya akan menjadi obat bagi
sakit hati Wall Kubur.
Semalaman Tua Usil disiksa oleh ketegangan
batin. Tubuhnya pun terasa lelah karena harus meng-
hindari gangguan mulut buaya. Setelah menjelang pa-
gi, ia sedikit bisa tenang. Buaya-buaya itu rupanya
yang kelelahan, karena berulangkali gagal menangkap
mangsa. Mereka tidur, dan Tua Usil pun tidur, ten-
tunya tetap dalam keadaan tergantung, kaki di atas
kepala di bawah.
Plakkk...! Sebuah pukulan rotan berduri menghantam
kaki Tua Usil dan membuat Tua Usil terbangun dari
tidurnya. Seorang penjaga malam rupanya iseng dan
tak suka melihat Tua Usil tidur nyenyak dalam kea-
daan tergantung begitu. Penjaga yang sudah merasa
ngantuk karena matahari sudah mulai mencuat dari
sarangnya Itu, merasa mendapat kesegaran setelah
memukul dan mengagetkan Tua Usil. Ia tertawa terba-
hak-bahak. Tua Usil hanya menggerutu dengan suara
tak jelas. Setelah penjaga itu meninggalkannya, Tua Usil
tak bisa tidur lagi. Ia jadi berpikir tentang sesuatu
yang selama ini sebenarnya bisa dilakukan tapi karena
tegangnya menghadapi siksaan dan menghindari mu-
lut buaya, ia jadi lupa tidak melakukannya. Sebenar-
nya dari semalam ia sudah bisa lolos, karena dirinya
bisa berubah menjadi kabut. Tentu saja tak ada tali
yang bisa mengikat kabut. Dengan berubah menjadi
kabut, ia bisa meloloskan diri dan berlari meninggal-
kan tempat itu tanpa diketahui oleh penjaga di depan
pintu rumah. "Bodoh amat aku ini! Kenapa tidak berubah
menjadi kabut sejak semalam" Kenapa baru kutemu-
kan gagasan itu sekarang ini?" pikirnya dengan bersungut-sungut.
Gagasan itu tiba dengan sia-sia. Terlambat. Ka-
rena ketika Tua Usil temukan gagasan itu, iblis Mata
Genit sedang berjalan menuju tempatnya. Tetapi Tua
Usil nekat lakukan perubahan itu dengan gunakan il-
mu 'Halimun'-nya. Tubuhnya berasap, makin lama
makin tebal, membentuk gumpalan kabut yang menge-
jutkan Iblis Mata Genit.
"Edan! Rupanya la bisa berubah menjadi ka-
but"!" pikir Iblis Mata Genit. Ia segera mencabut pedangnya, tapi sosok tubuh
Tua Usil sudah seluruhnya
berubah menjadi gumpalan asap. Tak akan bisa dite-
bas memakai pedang tersebut.
Pada waktu Itu, Gandul muncul pula dari da-
lam rumah, dan melihat kejadian tersebut ia langsung
berseru, "Bibi Guru...! Dia berubah menjadi kabut!"
Iblis Mata Genit tak kalah akal. Bukan pedang-
nya yang digunakan, melainkan sarung pedangnya
yang segera dicabut dari pinggang. Lalu, dengan men-
geraskan urat-urat tangannya, menahan nafasnya dan
menghentakkan kaki ke tanah satu kali, uap kabut itu
disedot memakai sarung pedang tersebut. Lubang sa-
rung pedang itu bagai mempunyai tenaga penghisap
yang cukup kuat, sehingga ketika disodorkan ke de-
pan, uap kabut tersebut tertarik masuk ke dalam ga-
gang pedang. Zzzzuuutttt..!!
Zleeb...! Kabut tersedot habis, masuk ke dalam
gagang pedang. Iblis Mata Genit segera tancapkan pe-
dangnya ke tanah, tangannya digunakan menutup lu-
bang sarung pedang tersebut. Teebbb...!
"Mampus kau! Mau lari ke mana kau, hah"!"
geram Iblis Mata Genit. Lalu, ia menatap Gandul yang
sedang tercengang memperhatikan apa yang dilaku-
kannya. Ia segera berseru keluarkan perintah,
"Ambil kendi di dapur! Kita penjarakan dia ke
dalam kendi saja!"
Gandul berlari dengan sedikit panik. Lalu, sege-
ra datang lag! dengan membawa kendi. Tempat air mi-
num itu disumpal gulungan rumput pada bagian lu-
bang tempat keluarnya air. Kemudian, Iblis Mata Genit
dekatkan mulut sarung pedang ke mulut kendi yang
ada di atas. Dengan gerakan tangan seakan menekan
sarung pedang, uap kabut jelmaan Tua Usil itu ter-
sembur masuk ke dalam lubang mulut kendi. Terden-
gar suara Tua Usil yang merintih sedih,
"Ampuuun...! Ampuuun...!" semakin masuk ke
dalam kendi, semakin aneh suaranya, "Amplluup...!
Apbbbeb...! Appbleeebbb...!"


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya Gandul lupa membuang air dalam
kendi tersebut, sehingga Tua Usil seperti orang tenggelam dalam genangan air.
Terdengar pula suara air
kendi menjadi berkecipak dan bergelembung-
gelembung. "Bluub... bluub... buluub... bluub...!" Iblis Mata Genit tertawa
mengikik panjang. "Hik hik hik...!
Matilah kau, Tua Usil! Kau pikir dengan bisa berubah
wujud mu menjadi kabut, kau bisa kalahkan Iblis Ma-
ta Genit Ini, hah"! Tak mungkin, Tua Usil! Tak mung-
kin kau bisa kalahkan aku! Dan kau akan ku penjara
di dalam kendi ini, sebelum kudengar kau bersedia
menunjukkan tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih,
kau tak akan kulepaskan dad kendi ini! Hik hik hik...!"
Mulut kendi itu segera ditutup. dengan gulun-
gan rumput padat. Disumpal kuat-kuat, sehingga tidak
mempunyai celah untuk meresap kabut tersebut. Ken-
di itu segera disimpan kembali ke dapur oleh Gandul.
Sementara itu, Gandul harus segera kembali menemui
Iblis Mata Genit untuk menangkap seekor buaya yang
akan mereka potong. Seperti apa kata Setan Sibuk ke-
pada Yoga, bahwa Iblis Mata Genit menyukai makanan
berupa daging buaya. Itulah sebabnya dl samping
pondoknya yang terletak dl Bukit Kematian itu, terda-
pat kolam lebar sebagai tempat peternakan buaya.
Di luar dugaan mereka berdua, Wali Kubur
yang baru saja bangun dari tidurnya, akibat menden-
gar suara gaduh orang menangkap buaya, segera pergi
ke dapur untuk mengambil air minum. Ia kehausan
sebab selama tidurnya ia mengorok, dan kerongkon-
gannya menjadi kering.
Wali Kubur sedikit merasa heran melihat kendi-
tempat air minum itu tersumbat gulungan rumput.
Tapi karena rasa haus yang sudah terlalu mengering-
kan tenggorokannya itu, Wali Kubur tak mau tahu lagi
tentang penyumbat lubang kendi itu. Maka, rumput
penyumbat pun dicabutnya, dan ia menenggak air
kendi secara terburu-buru.
Wali Kubur tak terlalu menghiraukan melihat
air kendi yang terkucur keluar ke mulutnya itu ber-
campur dengan uap. Ia pikir uap dingin akibat air
kendi nyaris mengalami pembekuan. Tapi uap itu se-
makin banyak tertampung di mulutnya dan akhirnya
berubah menjadi kaki orang.
Tua Usil bebas dari dalam kendi, langsung ka-
kinya menjejak mulut Wali Kubur sekuat-kuatnya, se-
puas-puasnya. Prookkk...!
"Ouh...!"
Brakkk...! Wali Kubur jatuh dengan mulut han-
cur, giginya rontok semua di bagian depan. Tua Usil
memang sengaja kerahkan semua tenaganya ke tela-
pak kaki pada waktu menjejak mulut itu. Akibatnya,
mulut itu seperti dihantam memakai besi sebesar ke-
lapa hijau. Wali Kubur sempat gelagapan sekejap dan
segera meraung-raung tak jelas. Sedangkan Tua Usil
cepat larikan diri melalui pintu dapur.
"Aooh... aooh...! Aoohhh...!" Wali Kubur keluar dari kamar dan menemui kakak
perempuannya. Iblis Mata Genit dan Gandul tercengang kaget
melihat mulut Wali Kubur berlumuran darah. Iblis Ma-
ta Genit cepat tinggalkan pekerjaan yang sedang dila-
kukan, demikian pula Gandul. Mereka berdua segera
hampiri Wali Kubur yang tangannya menuding-nuding
ke arah hutan ke belakang pondok tersebut.
"Guru...! Apa yang terjadi"!" pekik Gandul waktu itu. Wali Kubur hanya bisa
berkata, "Aoooh...
aoooh...!"
"Keparat!" geram Iblis Mata Genit. "Siapa yang telah membuat bibirmu pecah
begitu dan gigimu rontok semua, Adik Wali Kubur"!"
"Aoh, aoh, aoh, aaaaooohh...!" Wali Kubur menjelaskan dengan dibantu bahasa
gerak. Maka, kedua
orang Itu segera mengetahui maksud Wali Kubur, se-
hingga Gandul berkata kepada Iblis Mata Genit,
"Guru minum air dalam kendi! Yang keluar si
Tua Usil itu!"
Iblis Mata Genit naik pitam dan membentak
Wali Kubur, "Sekarang di mana si Tua Usil itu"!"
"Aooh... aaooh...!" sahutnya sambil menuding hutan belakang pondok.
"Iya. Jauh ya jauh, tapi larinya ke mana kok
kamu bisa bilang jauh"!" sentak Iblis Mata Genit lagi.
Akhirnya Wali Kubur menarik tangan Iblis Mata Genit,
membawanya bergegas ke belakang rumah, lalu me-
nuding hutan belakang rumah itu,
"Oooh... aoooh...!"
"Jahanam!" geram Iblis Mata Genit. "Gandul, bangunkan Brata! Kita kejar si Tua
Usil itu! Pancung
kepalanya di tempat!"
Tua Usil lari tunggang-langgang. Sedikit pun
tak berani menengok ke belakang. Sebentar pun tak
mau berhenti. Rasa takut dan panik membuatnya lari
tanpa arah yang pasti. Baginya, yang penting ia harus
cepat-cepat menjauhi peternakan buaya itu entah ke
arah mana saja. Jika perlu masuk ke dalam sebuah
sumur demi selamatkan diri dari kejaran Iblis Mata
Genit. "Sial! Sejak tadi tak kulihat ada sumur"!" geru-tunya sambil terus
berlari, sedangkan Iblis Mata Genit pun terus mengejar dengan langkah lebih
cepat dua kali lipat dibandingkan kecepatan lari Tua Usil. Maka
tak heran jika sekali Tua Usil menengok ke belakang,
ia sudah melihat gerakan lari dari orang berpakaian hijau. Siapa lagi orang
berpakaian hijau muda itu jika
bukan Iblis Mata Genit.
Karena takutnya, Tua Usil berlari sambil berte-
riak-teriak dengan harapan ada orang baik yang mau
menolongnya.. 'Tolooong... ! Toloodng...! Tooo .. tooo... to-
loooong...!"
Tak jauh dari tempat itu, Pendekar Rajawali
Merah sedang susuri jalan setapak menuju Bukit Ke-
matian. Ia masih didampingi oleh Bocah Bodoh. Ketika
mereka mendengar suara teriakan minta tolong, kedu-
anya sama-sama hentikan langkahnya. Mereka saling
tatap sebentar, saling menyimak suara samar-samar
itu. Kemudian, Yoga berkata pelan bagai bicara pada
dirinya sendiri,
"Sepertinya itu jenis suara Tua Usil"!"
"Arahnya di utara, Tuan Yo!" timpal Bocah Bodoh. "Bukan. Arahnya di selatan!
Karena di utara ada bukit, jadi suaranya memantul seperti datang dari
utara!" "Tapi di sebelah selatan juga ada bukit, Tuan
Yo!" Yoga memandang ke utara dan selatan, kedua
arah itu memang mempunyai bukit walau tak seberapa
tinggi. Akhirnya, Yoga berkata,
"Baiklah, kita berpencar! Aku ke selatan dan
kau ke utara!"
Bocah Bodoh cemas, lalu berkata, "Sebaiknya
saya percaya saja dengan ilmu firasat Tuan Yo. Saya
ikut ke selatan saja, Tuan!"
Bocah Bodoh berpikir, "Daripada aku lari sendi-
rian, belum tentu aku bisa menolong orang tersebut.
Padahal tempat ini tak seberapa jauh lagi dari Bukit
Kematian, Salah-salah aku bisa kepergok Iblis Mata
Genit, nyawaku bisa melayang tanpa sungkan-
sungkan lagi. Lebih baik aku ikut ke mana saja Tuan
Yo pergi!"
* * * 7 PELARIAN Tua Usil merupakan pelarian yang
ulet. Itu karena ia tak mau disiksa di atas peternakan buaya lagi. Ia benar-
benar jera mengalami siksaan seperti itu. Karenanya, ia berlari dengan arah
berbelok- belok memusingkan pengejarnya.
Tanpa disadari ia sudah tiba di sebuah lembah
yang ditumbuhi banyak bebatuan dengan jenis tum-
buhan pohon yang terhitung jarang. Suara teriakannya
sesekali masih terdengar dan menjadi petunjuk bagi
Yoga untuk mengikutinya.
Lembah yang banyak terdapat gugusan batu itu
tak lain adalah Lembah Maut. Tua Usil terhenti seketi-
ka setelah ia sadar dirinya ada di mana. Mata Tua Usil pun cepat memandang batu
tonggak setinggi perut
yang dikenal dengan nama Prasasti Tonggak Keramat.
Tua Usil tercengang sejenak, lalu segera sadar bahwa
dirinya terancam kejaran Iblis Mata Genit. Maka, den-
gan sedikit panik ia mencari batu yang bisa dipakai
untuk bersembunyi.
Ketika Iblis Mata Genit tiba di Lembah Maut,
Tua Usil sudah tidak terlihat dari pandangan matanya.
Sorot pandangan mata penuh kemarahan itu segera
menyusuri beberapa tempat di sekelilingnya sambil ia
berseru, "Tua Usil...! Aku tahu kau bersembunyi di sini!
Keluarlah sekarang juga sebelum murka ku memun-
cak! Keluar kau, Tua Usil...!"
Sebongkah batu dihantam dengan kekuatan
tenaga dalam yang melesat dari punggung tangan.
Zlaappp...! Sinar kelabu menghantam sebongkah batu
dan batu itu pecah seketika. Duaarrr....! Tua Usil tak ada di balik batu itu.
Mata gadis bertubuh sekal itu
memandangi bukit di atasnya. Lereng dinding bukit,
batu-batu besar, pohon, semua di susuri, namun tetap
tidak terlihat bayangan mencurigakan yang patut di-
hampiri. Dinding tebing diperhatikan, dipandangi ce-
lah-celahnya, tapi tetap tidak terlihat tanda-tanda
orang bersembunyi. Iblis Mata Genit bertambah panas
hatinya. Maka, beberapa batu yang ada di situ diha-
jarnya dengan pukulan jurus-jurus maut. Batu-batu
itu saling berhamburan, suara ledakan menghentak
menggema bagaikan tiada hentinya.
Tua Usil bersembunyi tepat di balik batu pra-
sasti. Tubuhnya menggigil karena melihat pecahan ba-
tu berhamburan bersama bunyi ledakan yang setiap
kali membuat jantungnya bagai tersentak copot. Se-
bongkah batu dari pecahan tersebut melesat jatuh di
kakinya. Tuusss...! Jari kelingking kaki terhantam ba-
tu itu. Sakitnya bukan main. Tapi Tua Usil hanya di-
am, menggigit bajunya kuat-kuat agar mulutnya tidak
terpekik kesakitan. Ia jongkok di situ, memperhatikan
kelingking kaki kirinya berdarah. Ia memandang den-
gan sedih, karena tak bisa lepaskan perasaan sakit-
nya. Matanya pun terpejam kuat ketika luka itu terasa
nyut-nyutan sampai di ubun-ubun.
Ketika nyut-nyutan sedikit berkurang, Tua Usil
segera buka matanya. Dan ia terkejut bukan kepalang
tanggung. Tubuhnya sempat hampir terlonjak kuat,
namun kepalanya buru-buru terbentur batu yang me-
naunginya, sehingga ia menjadi jongkok kembali sam-
bil menyeringai. Karena pada saat ia membuka mata,
tahu-tahu seraut wajah sudah ada di depannya ikut
jongkok pula. Seraut wajah itu milik Bocah Bodoh,
yang segera nyengir geli waktu Tua Usil buka matanya.
"Kampret! Bikin jantungku putus saja kau!" geramnya dalam bisik, tangannya
mengepal ingin meng-
hantam wajah cengar-cengir itu.
"Ssstt...! Jangan keras-keras bicaramu nanti
didengar Iblis Mata Genit!" bisik Bocah Bodoh.
"Dengan siapa kau kemari"!" bisik Tua Usil
sambil masih sesekali menyeringai sakit dan mengu-
sap-usap kepalanya yang terbentur batu.
"Aku datang menolong mu!"
"Yang kutanya, dengan siapa kau kemari"!" geram Tua Usil dengan wajah jengkel.
"Sssstt...! Jangan keras-keras, nanti Iblis Mata
Genit mengetahui ada orang di sini! Aku datang ber-
Kisah Pedang Di Sungai Es 17 Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Tiga Maha Besar 7
^