Pencarian

Pedang Jimat Lanang 1

Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Bagian 1


PEDANG JIMAT LANANG Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
alam episode: Pedang Jimat Lanang
128 hal. 1 BUKIT Lidah Samudera tak jauh dari pantai.
Sebagian tanah dan batunya masih bercampur karang
laut. Bukit itu tidak terlalu tinggi, hutan-hutannya
pun tidak seberapa lebat, namun punya kedamaian
tersendiri bagi penghuninya.
Hanya ada satu rumah yang ada di Bukit Lidah
Samudera itu. Rumah tersebut dibangun dengan bela-
han-belahan kayu jati beratap lapisan kulit kayu. Ru-
mah tersebut tidak terlalu besar, mempunyai halaman
yang luas, mempunyai pepohonan rindang yang teduh.
Dari halaman rumah tersebut seseorang dapat me-
mandang lidah-lidah laut yang bergulung menuju pan-
tai. Sungguh indah dinikmati pada. malam bulan pur-
nama. Tak jauh dari rumah kayu itu, ada gugusan ba-
tu yang mirip punggung seekor kerbau. Gugusan batu
itu ada di bawah sebuah pohon beringin putih. Di sa-
nalah, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, duduk termenung dari
semalaman. Embun pagi yang
masih menempel di dedaunan, juga ikut menempel di
rambutnya yang berpotongan poni sekeliling kepala.
Lelaki tua itu punya sifat anak-anak yang amat
menonjol; polos, jujur, dan tidak secerdas pria lain
seusianya. Itulah sebabnya dia dipanggil dengan nama
julukan: Bocah Bodoh. Nama aslinya Raden Mas Cola
Colo. Dia bukan keturunan raden atau ningrat. Gelar
raden mas itu ditambahinya sendiri, karena Bocah Bo-
doh tidak tahu apa arti gelar raden mas itu. Ia pikir
sama dengan arti kata: pendekar.
Dari malam sampai pagi Cola Colo masih du-
duk di batu samping rumahnya. Letaknya agak rendah
dari letak rumah kayu itu. Semalaman ia duduk di situ
bukan untuk bertapa, walaupun ada di bawah pohon
beringin putih. Di situ Bocah Bodoh termenung dengan
wajah lucunya yang muram. Ada kesedihan di hati Bo-
cah Bodoh, ada kekecewaan yang menyertai kesedihan
itu. Murungnya wajah Cola Colo membuat burung-
burung enggan berkicau di pagi hari, sehingga suasana
Bukit Lidah Samudera itu sangat lengang. Yang ter-
dengar hanya desau angin dan debur ombak pantai
samar-samar. Kemarin siang, ia habis dimaki-maki
ibunya. Dipukuli, diomeli, dituding-tuding dan diben-
tak-bentak sampai suara Ibunya serak. Sementara itu
Bocah Bodoh hanya diam dan menerima apa adanya.
Ia tak diberi kesempatan untuk membela diri.
Persoalannya, menurut Cola Colo, adalah per-
soalan yang sepele. Bocah Bodoh ditugaskan oleh
ibunya; Nyai Sembur Maut, untuk mencari Prasasti
Tonggak Keramat di Lembah Maut. Kata Ibunya, di sa-
na ada pedang pusaka peninggalan Eyang Tapak Gem-
pur, yaitu guru Nyai Sembur Maut. Entah di sebelah
mana pedang itu disimpan oleh Eyang Tapak Gempur,
yang jelas ada di sekitar prasasti tersebut.
Bocah Bodoh pun mencari, kebetulan dibantu
oleh Pendekar Rajawali Merah, Pendekar Rajawali Pu-
tih, dan si Tua Usil. Pedang itu konon punya kesaktian tersendiri, mata
pedangnya bisa memanjang sendiri ji-ka disentakkan walau dengan tenaga dalam
kecil, bisa bergerak sendiri dalam pertarungan dan yang meme-
gangi hanya mengikuti saja, bisa membunuh lawan
melalui bayangan lawan, dan bisa untuk memotong
baja karena saking tajamnya.
Tetapi setelah Bocah Bodoh memperoleh pe-
dang tersebut, yang ditemukan di bawah. tanah pra-
sasti itu, ternyata pedang tersebut tidak mempunyai
kehebatan apa-apa. Pedang jimat Lanang Itu tidak bisa
untuk memotong dahan, bahkan tak bisa untuk me-
motong ranting sebesar jempol kaki. Malah geripis pa-
da bagian tepiannya. Pedang itu adalah pedang biasa
yang tidak punya kesaktian apa-apa dan layak dipakai
sebagai pajangan atau hiasan dinding saja, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam
episode: "Prasasti Tonggak Keramat")..
Tentu saja hal itu sangat mengecewakan hati
Bocah Bodoh. Bisa dibayangkan betapa sakit hati Bo-
cah Bodoh; sudah bodoh, dikecewakan. Tentu saja wu-
jud wajahnya semakin simpang siur tak jelas bentuk-
nya. Seribu makian, seribu gerutuan, menyertai perja-
lanan pulang Bocah Bodoh yang membawa pedang
tanpa kesaktian itu.
Sampai di rumah, ia ditanya oleh ibunya, "Ba-
gaimana anakku Cah Bagus" Apakah kau berhasil pe-
roleh Pedang Jimat Lanang itu, Nak?" sambil sang ibu berseri-seri. Tapi sang
anak hanya menunduk dan murung wajahnya. Nyai Sembur Maut jadi curiga dan
kembali bertanya,
"Kenapa wajahmu berubah begitu, Nak" Ada
apa sebenarnya" Apakah kau gagal menemukan Pra-
sasti Tonggak Keramat?"
Bocah Bodoh gelengkan kepala. Sedikit melirik
ibunya dengan dongkol, karena merasa telah ditipu
oleh Ibunya dengan cerita muluk-muluk mengenai pe-
dang itu. "Apakah pedangnya tak berhasil kau temukan?"
Dengan lirih Bocah Bodoh menjawab, "Berha-
sil." "Lalu, mana pedang itu?"
"Ku buang," jawabnya lirih lagi.
"Lho..."!" ibunya terbengong agak kaget, juga agak heran. "Kamu Bocah Bodoh apa
Bocah Sinting?"
"Habis, Ibu bohongi aku!" Bocah Bodoh makin
lancip mulutnya.
"Bohong bagaimana"!" "Pedang itu tidak punya kesaktian apa-apa. Tidak akan bisa
dipakai untuk memotong baja atau membunuh lawan lewat bayan-
gan. Dipakai untuk memotong dahan pohon saja jadi
geripis, apa lagi dipakai memotong baja, pasti akan
lumer sendiri pedangnya! Pedang itu juga tak bisa
menjadi panjang. Kusentakkan dengan tenaga kuat
beberapa kail, sampai lenganku pegal sendiri, pedang
itu tidak bisa mulur panjang seperti cerita Ibu itu. Ku-pakai menggores bayangan
tubuhku di tanah, nya-
tanya aku tidak terluka sedikit pun. Aku kecewa, Ibu
telah bohongi aku. Susah payah aku mencari pedang
itu, bertaruh nyawa dan rambut, tapi hasilnya cuma
dapatkan pedang buat perang-perangan!"
Nyai Sembur Maut kala itu hanya memandangi
mulut anaknya yang nyerocos dengan bibir meliuk-liuk
mirip lintah kawin. Setelah itu, Nyai Sembur Maut
termenung sejenak. Ia yakin, anaknya tidak mungkin
melaporkan sesuatu yang palsu. Anaknya polos dan
jujur, kalau bicara apa adanya. Jadi, Nyai Sembur
Maut percaya betul dengan apa yang dikatakan Cola
Colo itu. Kejap berikutnya, Nyai Sembur Maut bertanya
dalam kebimbangan,
"Apakah... apakah pedang itu berwarna hitam?"
"Iya. Bumbung yang dipakai menyimpan pe-
dang itu juga hitam."
Sedikit tegang wajah Nyai Sembur Maut saat
itu. Lalu ia bertanya kembali masih agak bimbang,
"Apakah gagangnya lebih panjang dari mata pe-
dangnya sendiri?"
'Tidak kuukur. Yang jelas gagang pedang itu
memang panjang, berbentuk bulat seperti bambu kecil.
Di ujung gagangnya ada lapisan kuning emas, tapi aku
yakin bukan emas. Di gagang itu ada koncer-koncer
benang merah."
Mata Nyai Sembur Maut menegang lebar. Na-
fasnya ditarik dan tertahan. Mulutnya sedikit terngan-
ga, kemudian dia berkata,
"Berarti yang kau dapatkan itu bukan Pedang
Jimat Lanang! Yang kau dapatkan itu Pedang Istana
Intan, milik Eyang Nini Murti, istri dari Eyang Tapak
Gempur!" Bocah Bodoh masih bersungut-sungut cembe-
rut. Ia sepertinya sudah enggan membicarakan pedang
tersebut. Ia biarkan ibunya yang lumpuh dan hanya
bisa duduk di kursi tanpa roda itu termenung bebera-
pa saat. Bocah Bodoh yang duduk di lantai dengan me-
lonjorkan kaki hanya menggosok-gosok kakinya yang
terasa pegal. "Benar, Cola Colo. Kau berarti mendapatkan
Pedang Istana Intan. Dan pedang itu memang bukan
pedang sakti. Pedang itu hanya pedang hias yang gu-
nanya untuk menyimpan permata. Di dalam gagang
pedang itulah semua permata milik Eyang Nini Murti
disimpannya."
Kini Bocah Bodoh itu terperanjat dan meman-
dang Ibunya dengan mulut terbengong. Ia seperti tidak
percaya dengan apa yang didengar. Maka mulut
ibunya pun dipandanginya terus tanpa bergerak dan
tanpa berkedip.
"Ibu lupa ceritakan pedang itu. Di sekitar Pra-
sasti Tonggak Keramat memang ada dua pedang yang
tersimpan di sana; satu Pedang Jimat Lanang milik
Eyang Tapak Gempur, dua Pedang Istana Intan milik
Eyang Nini Murti. Pedang Istana Intan dulu diheboh-
kan sudah ditemukan oleh seorang pengelana, tapi
ternyata belum. Karenanya Ibu tidak ceritakan tentang
pedang itu. Isi gagang pedang itu adalah sejumlah ke-
kayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan. Bisa
untuk membangun istana megah. Pedang Istana Intan
yang berguna bukan mata pedangnya, melainkan ga-
gangnya. Di situ juga terdapat delapan batu sakti yang bernama Delapan Mata
Syiwa! Gunanya bisa untuk
membangkitkan orang mati. Kalau dijual, harganya
sama dengan harga sebuah kapal besar yang bagus
dan megah. Kalau ada delapan batu berarti ada dela-
pan kapal mewah di dalam gagang pedang itu!"
Semakin terperangah mulut Bocah Bodoh yang
menatap ibunya tanpa berkedip. Jantung Bocah Bodoh
pun berdebar-debar, dan ia sangat tertarik mengikuti
cerita sang Ibu. Kemudian, ibunya berkata lagi,
"Pada waktu itu, Eyang Tapak Gempur dan
Eyang Nini Murti ingin mengasingkan diri, menjadi pe-
tapa yang tidak akan ikut campur lagi dalam urusan
dunia. Mereka memang berhasil menjadi orang suci
dan meninggal secara moksa keduanya; lenyap tanpa
ada jenazahnya dan tanpa ada bekasnya. Sebelum hal
itu dilakukan, mereka sepakat untuk menyimpan ke-
dua pedang itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat
dan menjadikan bencana di mana-mana. Pedang Ista-
na Intan pun sengaja tidak diberikan kepada siapa-
siapa, supaya nilai permata di dalamnya tidak mem-
buat orang menjadi lupa diri dan sesat jalannya. Se-
dangkan Pedang Jimat Lanang diberikan kepada Ibu
dengan pesan; kalau Ibu sudah punya anak dan anak
itu sudah mencapai usia lima puluh tahun, tapi Ibu
masih tetap hidup, berarti Ibu berjodoh untuk menda-
patkan pedang tersebut. Pedang itu boleh untuk Ibu
sendiri, boleh untuk anaknya, dan nanti harus diwa-
riskan kepada setiap anak pertama dari keturunan-
keturunan Ibu."
Nyai Sembur Maut mengusap-usap rambut
anaknya yang duduk di lantai samping kirinya. Anak
itu dipandangi ketika Nyai Sembur Maut melanjutkan
kata-kata-nya, "Karena usiamu sudah mencapai lima puluh
tahun lewat empat bulan sembilan hari, maka Ibu in-
gin dapatkan Pedang Jimat Lanang itu. Tapi keadaan
Ibu yang lumpuh begini, tidak memungkinkan Ibu per-
gi ke Prasasti Tonggak Keramat. Jadi kutugaskan kau
yang mengambilnya. Ibu tidak ingin memiliki pedang
itu, karena usia Ibu sudah sangat tua. Ibu hanya ingin memegang pedang itu
sebelum Ibu mati, lalu pedang
itu akan menjadi milikmu selamanya. Tapi ternyata
yang kau temukan bukan Pedang Jimat Lanang, me-
lainkan Pedang Istana Intan. Ibu tidak marah kalau
kau salah ambil. Cuma sekarang, Ibu ingin lihat pe-
dang itu, Cola Colo! Ibu hanya ingin periksa apakah
gagangnya masih berisi permata atau sudah dipalsu-
kan orang" Setelah itu, pedang tersebut pun akan
menjadi milikmu bersama isinya. Nah, sekarang... ma-
na pedang itu. Jangan kau sembunyikan. Ibu hanya
ingin melihatnya saja."
Nyai Sembur Maut memandang Bocah. Bodoh,
dan bocah itu juga memandang Ibunya dengan ben-
gong. Sang Ibu menunggu jawaban tapi tak kunjung
tiba. Ibunya menganggap jawaban anaknya tadi hanya
main-main karena merasa Jengkel. Kini Nyai Sembur
Maut ingin dengar lebih jelas lagi jawaban dari anak-
nya, sehingga ia mengulangi pertanyaannya tadi,
"Mana pedang Itu, Sayang..."!"
Dengan rasa takut dan berdebar-debar Bocah
Bodoh menggeleng. Ibunya membentak karena tak sa-
bar, "Mana pedang itu"!"
"Sudah... sudah ku buang!"


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bercanda kau, Cola Colo! Mana pedang
itu"!" "Sudah... ku buang..."
"Edan!" seru Nyai Sembur Maut. "Dibuang di mana"!"
"Di... di... disana!"
"Di manaaa..."!" teriaknya sambil memuntir telinga Bocah Bodoh.
"Diii., di sana, Ibu! Di jurang dekat Tanah Ku-
lon!" jawab Bocah Bodoh sambil meringis kesakitan merasa telinganya mau putus.
"Bocah edan! Jadi Pedang Istana Intan itu kau
buang di jurang Usus Bumi..."!" '
"Aku tidak tahu, Ibu. Ampun, aku tidak tahu
itu Jurang Usus Bumi atau Usus Buntu, tapi karena
aku jengkel, ku buang saja ke jurang yang ada di Ta-
nah Kulon Itu. Auuh... ampun, Ibu!" rintih Bocah Bodoh. Jurang Usus Bumi adalah
jurang yang paling
dalam dan tak bisa dijajaki kedalamannya. Karena itu
orang-orang menamakannya Jurang Usus Bumi, kare-
na diduga jurang itu langsung tembus sampai perut
bumi. Sudah tentu adalah hal yang tak mungkin un-
tuk mengambil Pedang Istana Intan itu jika sudah di-
buang ke jurang tersebut.
Maka, habislah. Bocah Bodoh dihajar ibunya
yang naik pitam mendengar pengakuan tersebut. Dari
pagi sampai sore, Bocah Bodoh dicubit, dijambak, dip-
lintir kupingnya, ditampar, dan dimaki-maki dengan
kata-kata pedas.
Itulah sebabnya, semalaman penuh Cola Colo
duduk merenung di bawah pohon beringin putih. Dis-
amping menyesal dan kecewa, juga karena ia dihukum
ibunya untuk tidak boleh tidur di dalam rumah. Seka-
lipun sudah pagi, namun Cola Colo masih malas ma-
suk ke rumah sebelum Ibunya memanggil.
Tiga hari perjalanan pulang dari Lembah Maut
memang melelahkan dan membuat mata mengantuk.
Tapi setelah dihajar ibunya dan mengetahui apa isi ga-
gang pedang itu, Cola Colo bagaikan kehilangan rasa
lelah dan kantuk. Rasa ingin makan pun tak ada, apa-
lagi rasa ingin mandi. Tak ada sama sekali keinginan
itu pada diri Bocah Bodoh.
Tubuh tak terlalu pendek berkulit gelap itu se-
gera bergerak setelah ia melihat kedatangan seseorang
yang langkahnya bagaikan terbang. Dalam sekejap
orang itu sudah sampai di depan rumahnya dan me-
mandang Cola Colo dengan mata dingin.
Orang itu bertubuh kurus, jangkung, rambut-
nya putih rata seperti rambut Nyai Sembur Maut. Ia
seorang perempuan tua yang sudah berusia banyak,
namun masih kelihatan tegar. Mengenakan Jubah un-
gu dan membawa tongkat yang ujungnya mempunyai
tiga mata pisau. Orang itu tak lain adalah Nyai Rajang Demit. Bocah Bodoh
memanggil orang itu dengan se-butan Bibi, sebab dia adalah adik tiri dari
Ibunya. Bocah Bodoh ingat, bahwa Nyai Rajang Demit dalam pe-
ristiwa di Lembah Maut sudah dihajar oleh Lili; si Pendekar Rajawali Putih itu.
Bocah Bodoh menyangka bi-
binya mati karena melarikan diri sambil membawa lu-
ka akibat jurus 'Salju Neraka' milik Lili yang mengan-
dung ratusan jarum itu. Tapi ternyata Nyai Rajang
Demit masih hidup, hanya saja badannya menjadi ber-
bintik-bintik hitam merata sampai pada wajahnya.
Bahkan bola matanya pun juga berbintik-bintik hitam.
Rupanya Nyai Rajang Demit dapat sembuhkan diri da-
lam waktu singkat, namun bekasnya tak dapat hilang.
Nyai Rajang Demit dekati Bocah Bodoh dari
berkata, "Hei, Bodoh! Mana si Lumpuh Keparat itu"!"
"Lumpuh keparat..."! Wah, saya tidak kenal
orang itu, Bibi!"
"Maksudku, mana ibumu"!" bentak Nyai Rajang
Demit.. "Ooo... Ibu"! Ibu ada di dalam, Bibi. Beliau memang lumpuh tapi tidak
sampai keparat, Bibi!"
Plook...! Bocah Bodoh ditendang dan terpental
tiga langkah dari tempatnya duduk tadi. Bocah Bodoh
memekik lalu mengerang kesakitan. Nyai Rajang Demit
menghampirinya, mencengkeram rambut Bocah Bodoh
dan ditariknya, sehingga Bocah Bodoh terpaksa harus
berdiri supaya rambutnya tidak jebol terlalu banyak.
"Panggil ibumu! Lekas...!"
Wuuurrr...! Bocah Bodoh dilemparkan dengan
satu tangan. Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Ia
menjerit takut dengan suara panjang, lalu jatuh tepat
di depan rumahnya. Brrukkk...!
"Aaauh...!" Bocah Bodoh merintih makin keras dan panjang. Ia berusaha bangun
sambil pegangi pinggang belakang yang terasa sakit sekali itu.
Nyai Rajang Demit masih belum puas, ia segera
hampiri lagi Bocah Bodoh dengan dua kali lompatan,
lalu menendangnya dengan kuat. Plookkk!
"Aaaooow...!" Bocah Bodoh menjerit kesakitan.
Rahangnya terasa mau copot akibat tendangan keras
itu, "Cepat panggil si Lumpuh itu!" bentak Nyai
Ranjang Demit. Tahu-tahu pintu rumah kayu itu menjadi jebol
karena diterjang dari dalam. Braasskk...! Nyai Sembur
Maut melesat bagaikan terbang bersama kursi bertan-
gan yang terbuat dari besi. Dalam keadaan tetap du-
duk di kursi yang disebutnya kursi terbang itu, Nyai
Sembur Maut memandang adik tirinya dengan sikap
menantang. Ia berkata dalam geram kemarahan,
"Kau hanya berani dengan anak kecil, Rajang
Demit! Tentu saja anakku kalah denganmu, karena
bukan dia tandingan mu, melainkan aku!"
"Melawanmu dan membunuhmu adalah peker-
jaan yang mudah bagiku, Sembur Maut! Tapi aku da-
tang bukan dengan maksud membunuhmu. Kalau kau
masih bisa kuajak damai, serahkan saja Pedang Jimat
Lanang itu padaku. Tak akan aku memusuhi mu lagi,
Sembur Maut. "Kalau pedang itu memang ada padaku, tetap
tidak akan ku berikan kepadamu, Rajang Demit. Kare-
na Eyang Guru Tapak Gempur menyerahkan pedang
itu kepadaku, bukan kepada mu!"
'Tak usah basa-basi cari alasan macam-macam,
serahkan saja pedang itu!" sentak Nyai Rajang Demit.
"Tidak ada Pedang Jimat Lanang di sini, Rajang
Demit. Kau hanya ingin menambah permusuhan bagi
kita saja!"
"Omong kosong! Aku tahu anakmu itu sudah
berhasil mendapatkan Pedang Jimat Lanang dari tem-
pat Prasasti Tonggak Keramat itu berada! Kau tak bisa
menipuku, Sembur Maut, karena aku ada di sana pa-
da waktu itu!"
"Anakku salah ambil. Yang ia temukan bukan
Pedang Jimat Lanang, melainkan Pedang Istana Intan
milik Eyang Nini Murti. Itu pun sudah dibuangnya ka-
rena dianggap tidak mampu menembus bayangan dan
tidak bisa dipakai untuk memotong dahan. Dia tidak
tahu apa isi Pedang Istana Intan."
"Hih hik hik hik...! Kau tak bisa menipuku,
Sembur Maut. Aku tahu Pedang Istana Intan itu sudah
lama ditemukan oleh seorang pengelana dan sudah ti-
dak ada di Lembah Maut! Kau tak perlu mengarang
sebuah cerita baru lagi, Sembur Maut!"
Bocah Bodoh segera ikut menyahut, "Betul, Bi-
bi! Ibu tidak bohong. Aku memang menemukan Pedang
Istana Intan, tapi sudah...."
'Tutup mulutmu, Anak Monyet! Jangan turut
campur urusan orang tua!" hardik Nyai Rajang Demit sambil menuding Bocah Bodoh
pakai tongkatnya. Ucapan itu membuat hati Nyai Sembur Maut menjadi pa-
nas dan pandangan matanya memancarkan hasrat un-
tuk membunuh adik tirinya yang jahat itu.
Nyai Rajang Demit melirik angker pada Nyai
Sembur Maut, kemudian berkata dalam nada dingin,
"Kalau kau tak serahkan dalam tiga hitungan,
kubunuh kau di atas kursi itu!"
"Apa kau mampu membunuhku"!" tantang Nyai
Sembur Maut. Tantangan itu membuat Nyai Rajang
Demit tak sempat menghitung sampai tiga kali. Lang-
sung saja ia menyerang dengan berucap kata,
"Kau memang keparat, Sembur Maut!
Heaaah...!"
Nyai Rajang Demit melompat sambil mengarah-
kan ujung tongkatnya yang bawah untuk menumbuk
kepala Nyai Sembur Maut. Tetapi, nenek lumpuh itu
segera hembuskan semburannya melalui mulut, dan
angin badai pun keluar dari mulut tersebut. Woooss...!
Tubuh Nyai Rajang Demit terpental sampai menghan-
tam pohon dan pohon itu pun retak pada pertengahan
batangnya. Buru-buru ia bangkit dan menyentakkan tong-
katnya ke depan. Tiga mata pisau itu memancarkan ti-
ga larik sinar hitam ke arah dada Nyai Sembur Maut.
Zraaap...! Dengan cepat Nyai Sembur Maut menghentak-
kan telapak tangannya ke depan, dan dari telapak tan-
gan itu terpancar sinar hijau membentuk perisai. Sinar hitam tiga larik ditahan
dengan sinar hijau, dan mereka saling adu kekuatan, mengerahkan tenaga dalam
hingga keduanya sama-sama berpeluh dan bergetar
tubuhnya. Tapi dengan cepat tangan Nyai Sembur Maut
berkelebat berputar satu kali dan sinar perisai itu berubah menjadi biru. Pada
saat demikian, sinar hitam-
nya Nyai Rajang Demit menjadi terdesak. Jaraknya
kian dekat dengan ujung tongkat. Dan akhirnya sinar
hitam itu bagaikan memukul balik pemiliknya setelah
tangan Nyai Sembur Maut kian menghentak ke depan
dalam satu sentakan kuat. Drrubbb...! Blaarrr...!
Nyai Rajang Demit kembali terpental dan ter-
guling-guling. Rambutnya yang diriap sedikit terbakar.
Namun segera padam setelah dikibaskan satu kali, ia
pun cepat-cepat bangkit untuk keluarkan jurus maut
lainnya. Tetapi ternyata Nyai Sembur Maut telah ber-
gerak lebih cepat.
Kekuatan tenaga dalamnya mampu membuat ia
bersama kursinya terbang dengan cepat. Wuuusss...!
Menabrak punggung Nyai Rajang Demit dari belakang.
Bruusss...! Orang itu terpental menuruni lereng. Ia
memuntahkan darah dari mulutnya saat masih terdu-
duk di tanah. "Jahanam kau, Sembur Maut!" geramnya den-
gan mata semakin beringas.
Nyai Sembur Maut memutar gerakan bersama
kursinya. Ia tiba di pekarangan depan rumahnya lagi.
Tapi Nyai Rajang Demit mengejarnya dengan satu lom-
patan bersalto tiga kali. Jleeg...! Begitu mendaratkan kaki, tepat di depan
kakak tirinya. Lalu, pisau di ujung tongkatnya itu disabetkan ke kiri.
Wuusst...! Wrrrusss...! Mulut Nyai Sembur Maut kelua-
rkan napas yang memancarkan sinar biru berkelok ba-
gai lidah petir menyambar. Semburan itu selain me-
nangkis gerakan tongkat juga menghantam tiga mata
pisau memakai kilatan sinar biru tadi. Duuaaarr.! Le-
dakan terjadi dan membuat tubuh Nyai Rajang Demit
terpelanting. Tapi justru gerakan terpelantingnya itu
berhasil dimanfaatkan untuk menendangkan kakinya
ke belakang. Wuuuttt...! Nyai Sembur Maut tidak me-
nyangka akan datangnya tendangan itu. Namun ia
sempat menangkis dengan kedua tangan di silangkan
di depan wajah. Hanya saja, karena kuatnya tenaga
kaki itu, tangan tersebut kalah menahan, dan akhir-
nya Nyai Sembur Maut terpelanting ke belakang, ter-
jungkal jatuh bersama kursinya. Braakkk...!
"lbuuu...!" Bocah Bodoh yang sejak tadi terbengong saja, kini bergegas menolong
ibunya. Tetapi tiba-
tiba ujung tongkat Nyai Rajang Demit bagian bawah-
nya menyodok punggung Bocah Bodoh dengan sodo-
kan cepat beruntun tiga kali. Dug, dug, dug...!
"Uuhg...!" Bocah Bodoh tersentak dan diam seketika. Ia telah tertotok jalan
darahnya. "Setan kau, Rajang Demit!" sentak Nyai Sembur Maut sambil berusaha untuk bangkit
dengan susah payah, karena kedua kakinya sudah tidak bisa digu-
nakan sama sekali.
Dalam keadaan masih terkapar di tanah, Nyai
Sembur Maut melihat tiga mata pisau itu dihujamkan
ke dadanya. Tetapi dengan cepat ia lepaskan pukulan
bercahaya kuning. Blaarrr...!
Tiga mata pisau Itu pecah menjadi serpihan
lembut. Sebagian pukulan bercahaya kuning itu men-
genai tangan Nyai Ranjang Demit sehingga tangan itu
sempat membekas hangus bagian siku. Melihat kea-
daannya sudah kalah kuat dengan Nyai Sembur Maut,
maka dengan cepatnya tubuh Bocah Bodoh yang diam
karena tertotok itu segera disambarnya. Wuuuttt...!
"Hei, mau kau bawa ke mana anakku itu, Se-
tan!" teriak Nyai Sembur Maut dengan merayap-rayap.
"Pertimbangkan permintaanku tadi, Sembur
Maut! Kukembalikan anakmu jika kau mau menukar-
nya dengan Pedang Jimat Lanang. Pancangkan bende-
ra kuning di depan rumahmu, maka aku tahu kau
akan siap menukar anakmu dengan pedang pusaka
itu!" "Tunggu dulu...!"
"Ingat kata-kataku. Kalau dalam dua hari tak
ada kabar, anakmu kubunuh dan kukembalikan kepa-
lanya!" Wesss...! Nyai Rajang Demit berkelebat pergi dengan cepatnya sambil
memanggul Bocah Bodoh.
Nyai Sembur Maut sempat lepaskan pukulan sambil
duduk di tanah, tapi pukulan itu tidak mengenai sasa-
ran. Bocah Bodoh tetap dibawa lari untuk dijadikan
sandera dan ditukar dengan Pedang Jimat Lanang. Pa-
dahal Nyai Sembur Maut memang tidak memiliki pe-
dang pusaka tersebut. Keadaannya yang lumpuh
membuat ia tak mampu mengejar anaknya.


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 2 SEGUMPAL kabut mengikuti kepergian Nyai
Rajang Demit dari Bukit Lidah Samudera. Segumpal
kabut itu sejak tadi ada di samping rumah kayu Nyai
Sembur Maut. Kabut itu bisa melihat jelas pertarungan
dan mendengar jelas pula percakapan yang terjadi di
rumah kayu itu. Siapa lagi orang yang bisa berubah
menjadi kabut jika bukan si Tua Usil, yang secara tak
langsung kini menjadi pelayannya Lili; Pendekar Raja-
wali Putih. Kedatangan tua Usil ke rumah Bocah Bodoh
bukan sesuatu yang tidak disengaja. Ia diutus oleh Yo-
ga dan Lili untuk melihat apakah Bocah Bodoh itu su-
dah tiba di rumahnya, atau belum. Jika belum, berarti
Bocah Bodoh mendapat halangan di perjalanan.
Sesampai di sana Tua Usil melihat Bocah Bo-
doh termenung di bawah pohon, Ia ingin menggodanya
melalui perubahan wujud dirinya menjadi kabut. Teta-
pi pada saat Tua Usil sudah menjadi kabut, Nyai Ra-
jang Demit muncul dan Tua Usil tak berani dekati Bo-
cah Bodoh. Ia bahkan menjadi penonton setia perta-
rungan tersebut tanpa diketahui oleh siapa pun.
Maka ketika Bocah Bodoh diculik Nyai Rajang
Demit, manusia kabut itu mengikutinya dalam wujud
kabut. Dengan begitu, Nyai Rajang Demit tidak menge-
tahui bahwa pelariannya diikuti oleh seseorang. Tua
Usil lakukan hal itu, karena ia ingat pesan Yoga dan
Lili sebelum berangkat menengok Bocah Bodoh,
"Jangan lupa, temui lagi ibunya Bocah Bodoh
dan sampaikan salamku kepadanya. Katakan murid
Dewa Langit Perak ikut hadir di Lembah Maut itu!"
"Baik; Nona Li! Akan saya katakan hal itu." Yoga menimpali, "Katakan pula kepada
Nyai Sembur Maut,
bahwa tak sebutir pun permata di dalam pedang itu
ada yang hilang!"
Pada saat itulah Lili dan Tua Usil tercengang
memandang Yoga. Yang dipandang hanya tersenyum
tipis dan bersikap kalem, seakan tidak mengetahui
mereka tercengang kaget. Kemudian, Lili segera hampi-
ri Yoga dan menarik pundak Yoga agar menatapnya.
"Permata apa maksudmu"!" "Permata berharga," jawab Yoga sengaja menggoda Lili.
"Iya. Tapi permata bagaimana" Mengapa Tua
Usil harus bilang begitu kepada ibunya Bocah Bo-
doh"!" "Karena saat kuperiksa pedang itu, aku menemukan permata di dalam gagang
pedang!" jawab Pen-
dekar Rajawali Merah yang bertangan buntung itu. Ia
bicara tetap dengan kalem dan membuat Lili serta si
Tua Usil menjadi makin terkejut.
"Maksud Tuan Yo, lapisan logam kuning di
ujung gagangnya itu?" tanya Tua Usil minta penjelasan. "Lapisan logam kuning
emas itu ditutupnya.
Dengan memulir tutup itu, aku menemukan gagang
pedang berongga dan isinya permata aneka macam,
Ada Intan, ada berlian, ada mutiara, ada... macam-
macamlah! Dan gagang pedang itu terisi penuh. Kare-
na itu jika pedang digerakkan tak menimbulkan suara
gemericik."
"Ooohhh..."!" Tua Usil terperangah semakin lebar baik mulut dan matanya,
sedangkan gadis yang
cantiknya melebihi bidadari itu hanya bisa tertegun
dengan mata tak berkedip memandang pendekar tam-
pan. "Aku sengaja tidak katakan hal itu kepada Bocah Bodoh, sebab aku takut dia
akan kegirangan dan
menyebarkan berita itu, sehingga nyawanya akan te-
rancam oleh kejahatan orang yang ingin memiliki per-
mata-permata itu."
"Betul juga," gumam Tua Usil, "Apalagi Bocah Bodoh itu memang benar-benar bodoh,
tak tahu bahaya mengancamnya."
"Tapi bagaimana kalau Bocah Bodoh sendiri
yang serahkan pedang itu kepada orang lain, karena
dianggap pedang itu pedang biasa?" tanya Lili tampak sedikit cemas.
"Kita lihat saja," jawab Yoga. "Karenanya, Tua Usil harus lekas berangkat ke
rumah Bocah Bodoh.
Berusahalah cari tahu, apakah Nyai Sembur Maut me-
nyimpan permata-permata itu atau dia sendiri tidak
tahu kalau kehebatan pedang tersebut ada di gagang-
nya. Jika belum tahu, kasih tahu dia secara pelan-
pelan, jangan kedengaran Bocah Bodoh!"
"Dan jika ada yang mengambilnya, mungkin pe-
dang itu diserahkan kepada orang lain oleh Bocah Bo-
doh, cart tahulah siapa orang yang menerima pedang
itu! Jika memang Bocah Bodoh belum tiba di rumah,
tugasmu segera mencari dia dan bantu dia jika ada ke-
sulitan apa-apa. Kau bisa gunakan ilmu 'Halimun'-mu,
Tua Usil."
"Balk, Nona Li. Tapi... sebenarnya lebih enak
lagi kalau saya lakukan tugas ini setelah saya meneri-
ma pelajaran berdiri di atas ilalang dari Nona Li!" sambil Tua Usil cengar-
cengir. "Justru tidak sekarang. Sebab jika sekarang
kau ku beri pelajaran tentang cara berdiri di atas ilalang, maka kau akan lalai
dengan tugasmu, dan setia
pada ilalang pasti kau gunakan untuk berdiri di atas-
nya! Aku tak mau kau lalai dan lengah, Tua Usil!" kata Lili menolak dengan cara
halus. Dan Tua Usil hanya
mendengus napas kesal, namun segera pergi kerjakan
tugas. Tugas membantu kesulitan Bocah Bodoh. Itu-
lah yang membuat Tua Usil akhirnya tiba di sebuah
gubuk, letaknya di atas jurang bertebing curam. Gu-
buk itu adalah tempat tinggal Nyai Rajang Demit. Di si-tu ia tinggal sendirian,
selalu memperdalam ilmunya
pada saat tak ada urusan dengan tokoh-tokoh di rimba
persilatan. Di gubuk itu pula Bocah Bodoh ditawan. Ia ti-
dak ditawan di dalam gubuk, melainkan diikat di se-
buah pohon bercabang tinggi. Nyai Rajang Demit ter-
senyum-senyum saat mengikat tubuh Bocah Bodoh
dengan batang pohon besar itu. Ia tak peduli Bocah
Bodoh itu menangis ketakutan dan memohon-mohon
untuk tidak diperlakukan seperti itu.
"Kau akan kulepaskan kalau kau kasih tahu
padaku, pedang itu ada di mana. Disimpan ibumu
atau kau sembunyikan sendiri!"
"Aku tidak tahu, Bibi! Sumpah pingsan, aku ti-
dak tahu!"
"Tak mungkin kau tidak mengetahuinya, kare-
na kulihat kemarin, tanah di sekitar tonggak prasasti
itu sudah tergali. Pasti pedang itu sudah kau da-
patkan." "Aku mendapatkannya bukan Pedang Jimat La-
nang, Bibi. Yang kudapatkan, menurut Ibu, Pedang Is-
tana Intan yang pada bagian gagangnya tersimpan
permata dan batu untuk membangkitkan orang mati
bernama Delapan Mata Syiwa itu, Bibi!"
Tercengang Nyai Rajang Demit mendengar uca-
pan itu. ia memang tahu, bahwa Eyang Nini Murti
mempunyai Pedang Istana Intan, tapi ia menyangka
pedang itu pedang sakti yang masih kalah hebat di-
bandingkan Pedang Jimat Lanang. Nyai Rajang Demit
tidak tahu bahwa pedang itu menyimpan permata di
bagian gagangnya, seperti yang dikatakan Bocah Bo-
doh itu. Karenanya, ia jadi berpikir antara Pedang Ji-
mat Lanang dan Pedang Istana Intan; mana yang ingin
diperolehnya" "Kau tidak bohong pada Bibi, Cola Co-lo"!" "Tidak, Bibi. Aku
berani bersumpah serapah, bahwa yang kudapatkan dari prasasti itu Pedang Istana
Intan, bukan Pedang Jimat Lanang."
"Isinya emas permata?"
"Menurut keterangan Ibu memang begitu. Tapi
waktu itu aku tidak memeriksa gagangnya, sehingga
tidak tahu kalau gagang pedang itu berisi permata pe-
nuh! Lengkap dengan delapan batu sakti itu."!
"Dan sekarang Pedang istana Intan Itu disim-
pan oleh ibumu di rumah atau di tempat lain?"
"Ibu tidak menyimpan pedang itu, Bibi. Pedang
itu ku buang ke Jurang Usus Bumi, karena aku kece-
wa bahwa pedang itu tidak mampu untuk memotong
dahan, dan menjadi geripis ketika ku tebaskan di po-
hon. Aku tidak tahu kalau isinya berlian, sehingga
dengan jengkel ku buang begitu saja di jurang terse-
but!" Nyai Rajang Demit menyeringai, "Kau bohong!
Kau bohong sekali!"
"Tidak, Bibi! Saya tidak sempat bohong!"
Plakkk...! Pipi Bocah Bodoh ditampar seenak-
nya saja oleh bibinya sendiri. Kemudian, mata Nyai Ra-
jang Demit itu memancar dengan tajam, menyeramkan
buat Bocah Bodoh, sehingga ia tidak berani menatap
mata bibinya itu.
"Katakan ada di mana Pedang Istana Intan
itu"!" "Ku buang, Bi! Ku buaaang...!"
"Aku tetap tidak percaya, karena kau anak yang
baik, yang selalu menuruti perintah ibumu. Jika ibu-
mu perintahkan bawa pulang itu pedang, maka kau
pasti akan membawanya pulang. Tak mungkin kau be-
rani membuangnya ke jurang!"
"Kalau Bibi tidak percaya, silakan Bibi menca-
rinya sendiri di Jurang Usus Bumi itu!"
Wajah Cola Colo diremas pipinya kanan-kiri
oleh tangan Nyai Rajang Demit hingga mulut Cola Colo
sampai meruncing. Wajah Nyai Rajang Demit pun
mendekat dengan mata lebar dan senyum seringai ib-
lis. "Dengar, kalau aku mau mencari Pedang Istana
Intan, bukan aku sendiri yang turun ke Jurang Usus
Bumi itu, tapi kaulah yang akan ku paksa menemu-
kannya kembali. Tapi itu kalau aku percaya bahwa pe-
dang tersebut kau buang ke sana. Ternyata saat ini
aku belum percaya dengan pengakuanmu, Bocah Bo-
doh. Aku tetap berkeyakinan, pedang itu pasti disim-
pan oleh ibumu di suatu tempat, hanya kalian berdua
yang mengetahuinya. Karena itu, kau pilih jujur kepa-
daku, atau...."
Nyai Rajang Demit dongakkan wajah yang di-
remasnya itu. Wajah Bocah Bodoh memandang ke atas
pohon. Remasan tangan dilepaskan sambil Nyai Rajang
Demit berkata, "Pilihan kedua ada di atasmu! Kau lihat bina-
tang hitam loreng yang bergerak-gerak di atas dahan
tinggi itu"!"
"Hahhh..."! Ul... ul.. ular"!" Bocah Bodoh terkejut dan menjadi pucat pasi
wajahnya. Ular itu melilit di dahan atas, besarnya seukuran satu pahanya
sendiri. "Ular Itu piaraan ku. Ia akan turun kalau had
sudah hampir petang, dan mencari makan sendiri. Kau
punya kesempatan sampai senja tiba, menyebutkan di
mana pedang itu, atau dimakan ular itu!"
Nyai Rajang Demit tinggalkan Bocah Bodoh de-
ngan senyum keji tersungging di bibirnya. Ia masuk ke
pondoknya sebentar, setelah itu keluar lagi dan berge-
gas pergi. Sebelum pergi tinggalkan tempat Itu, ia berkata kepada Bocah Bodoh,
"Aku pergi sebentar. Secepatnya kembali lagi.
Kuharap saat aku kembali, kau sudah punya keputu-
san untuk selamatkan dirimu dari mulut ular terse-
but!" "Bibi.... Jangan tinggalkan aku sendirian, Bi.
Kalau ular itu tahu-tahu lapar bagaimana?"
Tapi Nyai Rajang Demit tidak menggubris kata-
kata keponakannya. Seluruh tubuh Bocah Bodoh men-
jadi gemetaran. Kepalanya sebentar-sebentar menen-
gok ke atas dengan cemas. Ular besar yang melilit di
dahan itu bergerak-gerak lamban. "Ooh". ular, jangan kau turun kemari sebelum
aku dilepaskan! Kasihani-lah diriku yang sudah tidak punya ayah ini, Ular...!"
ucap Bocah Bodoh dengan jantung berdetak-detak ka-
rena takutnya. Tapi ucapan itu seolah-olah justru
membuat ular besar warna hitam loreng itu bergerak
turun pelan-pelan. Wajah Bocah Bodoh bertambah te-
gang bercampur sedih. Ia menangis sambil celingak-
celinguk mencari seseorang untuk dimintai bantuan-
nya. Tapi tebing jurang itu sepi, tak ada manusia lewat disana. "Bibiii...!"
teriaknya keras-keras, karena ia putuskan untuk membuat perjanjian dengan
bibinya. Ia bersedia mencari pedang yang dibuangnya di jurang
ketimbang harus mati dicaplok ular besar.
Ternyata teriakan itu justru membuat ular be-
sar makin tergugah dari kemalasannya. Kepala ular
yang menjulur-julurkan lidahnya menghadap ke ba-
wah. Ketika Bocah Bodoh mendongak lagi, mata ular
itu memandang ke arahnya, dan bergerak lebih cepat
dari semula. Ular itu turun merayapi dahan besar.
"Oooh... mati aku kalau begini!" ucap Bocah
Bodoh di sela tangisnya yang tak berani keras, karena
takut mengagetkan ular. Ia berusaha menyentak-
nyentakkan badan supaya ikatannya terlepas. Tapi
usaha itu sia-sia. Tali yang digunakan mengikat tu-
buhnya dengan pohon sepertinya bukan sembarang ta-
li, lebih alot dan lebih keras dart tali biasa. Sedangkan ular di atas sana
makin lama makin turun tempatnya,
gerakannya bagaikan terasa betul di tiap denyut nadi
Bocah Bodoh, Hal itu yang membuat bocah tua yang
bodoh itu menjadi basah kuyup tubuhnya oleh kerin-
gat, celananya pun ikut basah kuyup karena rasa ta-
kut yang amat mencekam jiwa.
Pada saat itulah segumpal asap merayap di ta-
nah. Makin lama semakin membungkus kaki Bocah
Bodoh. Tetapi Bocah Bodoh masih tetap tegang dan
berusaha lepaskan diri dari ikatannya sambil menan-
gis, karena ia belum tahu bahwa asap kabut itu adalah
si Tua Usil. Ia menganggapnya kabut salah musim,
siang-siang di tengah terik matahari muncul dan me-


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rayapi bumi. Kalau bukan kabut salah musim, tak
mungkin ada, menurut pendapat Bocah Bodoh.
Tetapi tiba-tiba ia merasakan tali pengikat tu-
buhnya tersendat-sendat. Ia memandang ke atas, ular
bergerak terus turun dengan gerakan tak selamban ta-
di. Kepala ular agaknya mengincar kepala Bocah Bo-
doh. "Celaka! Sungguh celaka nasib ku hari ini! Tak mungkin aku mencaplok ular
itu sebelum aku dicaplok! Pasti dia lebih dulu mencaplok kepalaku dan...
dan... oh, tak dapat kubayangkan kalau aku ditelan
ular itu, pasti sangat tak enak hidup di dalam perut
ular...!" pikir Bocah Bodoh sambil merasa heran, mengapa tubuhnya diselimuti
oleh kabut: Bocah Bodoh berhenti berceloteh ketika terasa
ada bagian tali yang mengendur. Makin tegang hatinya
setelah ia rasakan banyak tali mengendur dan kedua
tangannya bisa lolos dari ikatan tersebut.
"Hei, kabut ini rupanya telah membantuku me-
lepaskan diri dari ikatan! Kabut aneh.."!" pikirnya dengan terburu-buru menarik-
narik tali tersebut.
Ketika tali telah lepas semua. Kabut itu berge-
rak menjadi satu gugusan, bagai tersedot oleh satu ke-
kuatan dari atas, Zuuuttt...! Berubah menjadi seperti
tiang, makin lama makin pudar dan muncul sesosok
tubuh berpakaian coklat muda. Bocah Bodoh terkejut
karena ia mengenali orang tersebut.
'Tua Usil..."!"
"He he he he...!" Tua Usil tertawa bagai mem-
banggakan diri. "Baru sekarang kau lihat aku berubah jadi kabut, ya?"
"Hebat sekali kau!" Bocah Bodoh menepuk-
nepuk pundak Tua Usil. "Kau punya ilmu bisa berubah jadi kabut dan jadi apa
lagi?" "Yah, kadang-kadang jadi pelayan, kadang-
kadang jadi bingung, dulu malah pernah menjadi pen-
gemis!" canda Tua Usil.
"Hebat sekali kau" Bisa berubah-ubah begitu"!"
Bocah Bodoh tersenyum merasa kagum dan mengang-
gap hebat Tua Usil yang bisa berubah-ubah jadi pe-
layan atau jadi pengemis.
"Sssttt...! Ke mana Nyai Rajang Demit?"
"Dia pergi! Dia menawan ku. Aku mau ditukar
dengan pedang. Padahal yang kudapatkan tempo hari
itu, ternyata bukan Pedang Jimat Lanang, melain-
kan...." "Ya, ya... aku sudah dengar semua percakapan Ibumu dengan Nyai Rajang
Demit. Isi gagang pedang
itu pun aku sudah tahu dari penjelasan Tuan Yo! Cu-
ma, ku sayangkan kau bertindak ceroboh, membuang
pedang itu ke Jurang!"'
"Yah, Itulah kesalahanku!" Bocah Bodoh meng-
hempaskan napas dan bersandar pada pohon dengan
rasa sesal. "Aku tidak tahu keistimewaan pedang itu!
Kalau waktu Itu Tuan Yo memberitahukan isinya, aku
tidak akan buang pedang itu."
"Sudahlah. Sekarang sebaiknya kita lekas-lekas
tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Rajang Demit da-
tang, dan... dan..." Tua Usil tegang mendadak. Bocah Bodoh berkerut dahi. Tua
Usil memandang atas kepala
Bocah Bodoh, dan Bocah Bodoh segera mendongak,
ternyata ular besar sudah ada dalam jarak dekat. Bo-
cah Bodoh terpekik keras,
"Wooaawww...!" Ia cepat berlari. Brusss...! Tua
Usil ditabraknya.
"Heegh..!" Tua Usil mendelik karena terinjak perutnya.
* * * 3 SAMBIL berceloteh tentang kejahatan bibinya,
Bocah Bodoh dan Tua Usil melangkah menyusuri sun-
gai. Menurutnya, jalan melalui tepian sungai lebih
aman, lebih kecil kemungkinannya bertemu dengan
Nyai Rajang Demit. Waktu itu matahari masih mening-
gi dan sinarnya memancarkan panas yang menyengat
kulit. Langkah mereka tiba-tiba terhenti karena Bo-
cah Bodoh menahan tangan si Tua Usil. Mata Bocah
Bodoh memandang ke arah tanggul sungai yang ada
Jauh di depannya. Tua Usil cepat bertanya,
"Ada apa?"
"Orang-orang Lereng Lawu!" bisik Bocah Bodoh.
"Kau lihat tiga orang yang lewat di atas tanggul itu?"
Tua Usil segera memandang arah yang ditunjuk
Bocah Bodoh. Ia hanya menggumam sebagai tanda
bahwa ia memang melihat apa yang dimaksud Bocah
Bodoh. Lalu, Bocah Bodoh tambahkan kata,
"Dua orang lelaki itu anak buah Wali Kubur
yang tempo hari ikut hadir di Lembah Maut!"
"Lalu yang perempuan berbaju hijau muda itu
siapa?" "Dia kakaknya Wali Kubur."
"Ah, bukankah Wali Kubur sudah tua" Masa'
adiknya setua itu kok kakaknya masih seperti gadis
usia dua puluh satu tahun?"
"Kata Ibu, Iblis Mata Genit itu usianya sudah
hampir seratus tahun, tapi ia punya ilmu yang bisa
membuatnya semuda itu dan secantik bidadari. Hanya
saja, kalau dibandingkan dengan Nona Li, ya masih
cantik Nona Li."
"Kakaknya Wali Kubur itu yang bernama Iblis
Mata Genit?"
"Iya! Kata Ibu, ilmunya lebih tinggi dari Wali
Kubur sendiri," Bocah Bodoh menjelaskan dengan rasa bangga karena bisa
menggurui. Tua Usil mencibir, "Ah, biar setinggi apa pun
ilmunya, tapi kalau melawan Nona Li, tak bakalan bisa
menang. Nona Li bisa berdiri di atas ilalang!" Tua Usil menyombongkan ilmu
majikannya. "Ah, kalau hanya berdiri di atas ilalang aku ju-
ga bisa!" Bocah Bodoh tidak mau kalah sombong.
Tua Usil kaget. "Apa betul"!"
"Iya!"
"Aku tak percaya. Berbulan-bulan aku ikut No-
na Li, ingin belajar cara berdiri di atas ilalang, tapi sampai hari ini aku
belum bisa! Masa' kamu bisa berdiri di atas ilalang" Hanya orang berilmu tinggi
yang bisa lakukan begitu!"
"Kau mau bukti kalau aku bisa berdiri di atas
ilalang?" "Buktikan!" Tua Usil agak ngotot. "Nanti kalau memang kau benar-benar bisa
berdiri di atas ilalang,
aku akan belajar padamu!"
"Akan kubuktikan!" sambil Bocah Bodoh berge-
gas mendekati ilalang yang tumbuh di bawah tanah
tanggul itu. 'Tak perlu belajar kepada Nona Li kalau
hanya soal begitu! Belajar padaku lebih cepat!"
"Pakai puasa dan bertapa segala?"
"Tak perlu!" jawab Bocah Bodoh. Lalu, ia men-
cabut beberapa ilalang. Dibawanya beberapa lembar
ilalang itu ke sebuah batu. Diletakkannya ilalang itu di atas batu dalam posisi
tidur. Kemudian ia naik di atas batu dan menginjak ilalang tersebut.
"Nah, lihat! Beginilah cara berdiri di atas ila-
lang. Mudah bukan?"
Tua Usil menarik napas dongkol. Ia bertolak
pinggang dan berkata kepada Bocah Bodoh yang masih
berdiri di atas batu beralaskan daun ilalang,
"Hei, kebo hamil pun bisa lakukan hal seperti
itu!". Tua Usil bernada ngotot. "Yang ku maksud, berdiri di atas ilalang yang
masih tumbuh, dan tanpa alas berpijak apa pun kecuali sebatang ilalang itu!"
"Ooo... kalau itu, ya sulit!" Bocah Bodoh bersungut-sungut. Ia tidak sadar bahwa
dengan berdiri di
atas batu, maka ia tampak tinggi dan dapat terlihat
dari jauh lebih jelas lagi. Dan pada saat itu, salah satu anak buah Wali Kubur
segera berseru,
"Hai, lihat...! Itu dia si Bocah Bodoh! Dia pasti tahu di mana gadis cantik yang
menyedot ilmunya
sang Ketua!"
Suara itu terdengar oleh Bocah Bodoh. Ia men-
jadi kaget dan menyadari keberadaannya di tempat
tinggi. Maka ia buru-buru turun pada saat tiga orang
dipihaknya Wali Kubur itu segera berlari ke arahnya.
"Mereka datang kemari"!" Wajah Bocah Bodoh
menegang. Dan Tua Usil yang memandang ke arah me-
reka bertiga pun menjadi tegang.
"Cepat lari! Jangan berurusan dengan mereka!"
seru Tua Usil sambil menarik tangan Bocah Bodoh.
Brruk...! Bocah Bodoh jatuh tersungkur karena
tangannya terlalu keras ditarik oleh Tua Usil. Ia marah dan membentak,
"Hati-hati, Tolol!"
"Ayo, lekas lari!"
"Iya. Lari ya lari, tapi jangan pakal siksa aku
begini!" bentak Bocah Bodoh dengan mata mendelik.
Wuuttt...! Jleeg...!
Tahu-tahu gadis cantik bermata indah itu su-
dah berdiri di depan langkah kedua orang berusia lima
puluh tahunan itu. Gadis berpakaian hijau muda yang
menyandang pedang panjang di pinggangnya itu terse-
nyum sinis sambil berkata,
'Tak perlu lari, Bocah Bodoh. Ada baiknya kita
bincang-bincang sebentar, terutama tentang gadis can-
tik yang ikut bersama mu di Lembah Maut itu!"
Bocah Bodoh dan Tua Usil sebenarnya ingin
melarikan diri lewat jalan lain. Tapi kedua anak buah
Wali Kubur sudah mengepung mereka. Akibatnya me-
reka sama-sama percuma berusaha untuk menghinda-
ri tiga orang Perguruan Lereng Lawu Itu.
Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. Ia berharap
Tua Usil bertindak melawan Iblis Mata Genit itu, tapi Tua Usil justru memandang
wajah-wajah lawannya
dengan rasa takut. Karena tak ada kata-kata yang ke-
luar dari mulut kedua orang tua itu, maka Iblis Mata
Genit segera dekati Bocah Bodoh dan meremas da-
gunya, lalu mengangkat wajah itu supaya menatap ke
arahnya, "Siapa gadis cantik yang melawan adikku; si
Wali Kubur itu"!"
"Eh... namanya... namanya Nona Lili. Dia berge-
lar Pendekar Rajawali... Rajawali... Hitam."
"Putih," sahut Tua Usil membetulkan.'
"Ah, kau buta warna. Kulihat rambutnya masih
hitam!" "Iya, tapi namanya Pendekar Rajawali Putih!"
bantah Tua Usil.
"O, sekarang rambutnya sudah beruban?"
"Rambutnya masih hitam, tapi nama gelarnya
Pendekar Rajawali Putih!"
"Jadi namanya tidak tergantung rambutnya?"
"Cukup!" bentak Iblis Mata Genit. "Aku hanya mau bicarakan soal gadis itu, bukan
soal rambut!"
Bocah Bodoh diam ketakutan. Tua Usil masih
bersungut-sungut agak jengkel dengan kebodohan Co-
la Colo, tapi ia juga menjadi takut. Iblis Mata Genit
bertolak pinggang saat bertanya kepada Cola Colo,
"Kau tahu, gadis yang kau panggil dengan na-
ma Lili atau Pendekar Rajawali Putih itu telah mem-
buat adikku kehilangan semua ilmunya. Sekarang Wali
Kubur seperti bocah baru lahir...."
"Maksudnya, minta nenen segala" Hi hi hi...''
Plookkk...! Bocah Bodoh ditampar kuat-kuat
oleh Iblis Mata Genit. Tapi karena ia berhasil merun-
dukkan kepala, maka yang kena tampar wajah Tua
Usil yang ada di samping kanannya. Tua Usil langsung
terpelanting jatuh. Namun cepat-cepat bangun dan
menendang kaki Bocah Bodoh.
Duuhg...! Tua Usil menggeram, Bocah Bodoh meringis
menahan sakit. Iblis Mata Genit berkata, "Bocah Bodoh, gadis
bernama Lili itu harus bikin perhitungan denganku. Ia
harus bisa kembalikan semua ilmu si Wali Kubur, atau
ditebus dengan nyawanya!"
"Ditebus saja. Eh... anu... maksudku...
hmrrm... tanyakan saja kepada temannya ini," sambil Bocah Bodoh menuding Tua
Usil. "Dia namanya Tua
Usil, teman dekatnya Nona Li!"
"Kebetulan sekali. Tunjukkan di mana tempat
tinggal Pendekar Rajawali Putih itu!" kata Iblis Mata Genit kepada Tua Usil.
Hati Tua Usil dongkol kepada Bocah Bodoh. Ia
menggerutu dengan bersungut-sungut dan melirik Bo-
cah Bodoh, "Pakal bilang-bilang begitu segala! Akhirnya
aku yang kena sasaran! Dasar manusia paling bodoh
di dunia! Lain kali...."
Plakkk...! Tiba-tiba datang tamparan keras dari
tangan kiri Iblis Mata Genit ke pipi kanan Tua Usil. Pi-pi itu kena telak.
Kerasnya tamparan membuat tubuh
Tua Usil terhempas ke samping, tangannya berkelebat
mengenai wajah Bocah Bodoh. Plokkk...!
"Akhirnya kena juga aku...," gumam Bocah Bo-
doh dengan cemberut.
Tua Usil, cepat katakan di mana aku bisa temui
Pendekar Rajawali Putih itu! Katakan!"
"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil bermaksud
merahasiakan tempat tinggal Lili, sebab Lili tinggal di rumahnya, dan Tua Usil
takut kalau rumahnya menjadi rubuh gara-gara Iblis Mata Genit mengamuk di
sana. Terbayang olehnya jika Iblis Mata Genit berta-
rung dengan Lili, sudah pasti rumahnya akan jebol
atau rubuh sama sekali.
"Aku akan menyiksamu kalau kau tak mau
tunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih berada!"
ancam Iblis Mata Genit kepada Tua Usil. Tapi Tua Usil
segera tunjukkan keberaniannya yang sebenarnya
hanya sebagai gertakkan saja, ..
"Kalau kau mau menyiksaku, kau akan kehi-
langan nyawamu, Iblis Mata Genit"!"
Tua Usil dipandang dengan tajam. Diam-diam


Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jantungnya bergemuruh seperti mau lepas dari dada
karena menahan rasa takut.
"Brata, Gandul... paksa dia supaya mengaku!"
perintah Iblis Mata Genit kepada kedua murid Wali
Kubur itu. Maka, orang yang bernama Brata itu segera
bergegas maju, hendak menjambak rambut Tua Usil
dari belakang. Tapi kaki Tua Usil segera menjejak ba-
gaikan seekor kuda.
Buuhg...! Kedua kaki Tua Usil mengenai dada
Brata dan orang itu tertahan langkahnya, namun tidak
rasakan sakit sedikit pun. Tua Usil sendiri langsung
jatuh karena menendang seperti kuda. Ketika ia jatuh,
orang yang bernama Gandul itu segera melompat dan
menginjaknya dengan satu hentakan. Buuhg...!
"Ngggkkk...!" Tua Usil mendelik, perutnya bagai dipompa hingga seluruh isinya
nyaris keluar dad mulut.
Bocah Bodoh menggunakan kesempatan untuk
lari. Iblis Mata Genit bergegas mengejar dan berseru,
"Tetap di sini kau, Bocah Bodoh!" Cola Colo tidak hiraukan seruan itu. Ia lekas
melompat dan ceburkan di-
ri ke air sungai yang mengalir cukup deras itu.
Byuuurr...! "Bangsat!" geram Iblis Mata Genit, sementara kedua orang yang dibawanya itu
sedang menghajar
Tua Usil secara bak-buk-bak-buk. Bocah Bodoh ha-
nyut. la baru ingat bahwa dirinya tidak bisa berenang.
Sejak dulu ibunya melarang dia bermain di laut atau-
pun di sungai, sehingga ia tidak pernah bisa berenang.
Akibat kesadarannya yang terlambat itu, Bocah Bodoh
gelagapan sambil tangannya menggapai-gapai, tubuh-
nya timbul tenggelam di permukaan air sungai yang
menghanyutkannya. Iblis Mata Genit akhirnya tertawa
geli cekikikan melihat nasib Bocah Bodoh.
Beruntung sekali Bocah Bodoh sempat tersang-
kut pada sebatang kayu yang tadinya terhalang batu,
Karena tersentuh tubuh Bocah Bodoh, kayu itu akhir-
nya bergerak dan terlepas dari batu yang menghalan-
ginya. Bocah Bodoh berusaha berpegangan pada kayu
gelondongan itu. Tapi tenaganya sangat lemas, sehing-
ga ia hanya bisa merangkul kayu tersebut sambil be-
rusaha bernapas sebisa-bisanya.
*** Bocah Bodoh tak ingat matahari, tak ingat
rembulan. Ia hanyut terbawa batang kayu itu semala-
man suntuk. Ia tidak tahu arah dan tujuan aliran sun-
gai tersebut. Ia tak mendengar jerit kesakitan si Tua
Usil yang dipaksa
menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih
berada. Masih beruntung Bocah Bodoh tak mati tengge-
lam. Masih beruntung aliran sungai itu membawanya
ke arah lembah, dan di lembah itu ada sebuah rumah
sederhana hampir serupa dengan rumahnya, yaitu ter-
buat dari belahan-belahan kayu. Rumah tersebut ada-
lah rumah Tua Usil.
Aliran arus sungai tidak sekencang pada saat
Bocah Bodoh ceburkan diri pertama kalinya. Arus
sungai sudah menjadi pelan dan lamban. Namun ma-
sih saja tetap menghanyutkan batang kayu tersebut.
Dan di sungai itu, ada sebuah batu besar berbentuk
kerucut. Di atas ujung lancipnya batu itu, ada kaki
yang berdiri secara bergantian.
Seseorang melatih diri memainkan jurus-jurus
silatnya dengan gunakan satu kaki secara bergantian.
Orang tersebut melompat dan meliuk-liuk dalam gaya
jurusnya yang sukar ditiru orang. Sementara itu, tak
jauh dari orang tersebut, ada pula seseorang yang
hanya duduk di atas batu datar, bersila dan pejamkan
mata, terpayungi rindangnya dedaunan. Batu itu ada
di daratan tepi sungai.
Orang yang duduk bersila itu tak lain adalah
seorang gadis cantik yang dikenal dengan julukan
Pendekar Rajawali Putih. Ia mengenakan pakaian me-
rah jambu. Sedangkan orang yang melatih jurus-
jurusnya di atas batu runcing itu tak lain adalah Pen-
dekar Rajawali Merah, yang punya nama asli Yoga, ia
mengenakan pakaian selempang dari kulit beruang
coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di
dalamnya. Nasib Bocah Bodoh rupanya masih dilindungi.
Mata pemuda tampan itu melihat gerakan ba-
tang kayu. Mulanya ia tak hiraukan, tapi segera terpe-
ranjat setelah menyadari ada tubuh yang tersangkut di
batang kayu tersebut. Tubuh itu tengkurap dan dalam
keadaan lemas. Pendekar Rajawali Merah cepat sen-
takkan kakinya dan melompat menyambar tubuh yang
terkulai itu. Wuuttt...! Pyaaakkk...!
"Bocah Bodoh..."!" Yoga terkejut bukan main
melihat orang yang disambarnya itu.
Bocah Bodoh segera dibawa ke rumah setelah
berhasil disadarkan. Lalu, Bocah Bodoh melaporkan
apa yang terjadi atas dirinya,
"Nyai Rajang Demit menculik saya, Tuan Yo.
Saya diikat di pohon besar, di atasnya ada ular. Hii...!"
Bocah Bodoh bergidik sendiri, lalu ia lanjutkan ceri-
tanya tentang pertarungan Nyai Rajang Demit dengan
ibunya. Ia ceritakan pula kemarahan ibunya dan ma-
salah Pedang Istana Intan yang dibuangnya ke Jurang
Usus Bumi. Sempat pula ia bercerita tentang penyela-
matan yang dilakukan oleh Tua Usil.
Setelah Bocah Bodoh bercerita panjang lebar
dengan mulutnya miring ke sana kemari, maka Yoga
pun segera bertanya,
"Sekarang Tua Usil di mana?"
"O, Iya!" Bocah Bodoh menepak dahinya sendi-
ri. Plakkk...! Lalu, ia berkata lagi, "Maaf, Tuan Yo. Saya lupa, Tuan."
"Lupa bagaimana?" Yoga mulai curiga.
'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng
Lawu!" "Hah..."!" Yoga kaget, tapi dianggap Bocah Bodoh, Yoga kurang jelas dengan
ucapannya tadi. Maka,
Bocah Bodoh pun mengulangi jawabannya dengan su-
ara berteriak dekat telinga Yoga,
'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng
Lawu...!" Wuuttt...! Wajah Bocah Bodoh didorong oleh ta-
ngan Yoga sambil Yoga bersungut-sungut.
"Budek kuping ku!"
"Betul, Tuan. Betul-betul budek. Eh... betul-
betul Tua Usil dalam bahaya. Kakaknya si Wali Kubur
yang bernama Iblis Mata Genit, memaksa Tua Usil un-
tuk kasih tahu di mana Nona Li berada. Tapi Tua Usil
tidak mau kasih tahu tempat di sini! Karena saya ta-
kut, saya lari dan menceburkan diri ke sungai. Tua
Usil disiksa oleh mereka, tapi saya tak dengar suara je-ritannya. Apakah karena
Tua Usil dibunuh oleh mere-
ka, atau karena saya pingsan lalu tenggelam, entah-
lah!" "Mengapa Iblis Mata Genit mencari Lili?" tanya Yoga dengan menahan
kecemasan memikirkan nasib
Tua Usil. "Iblis Mata Genit mau balas dendam, menuntut
agar Nona Li mengembalikan ilmu-ilmunya Wali Ku-
bur. Kalau Nona Li tidak mau, maka Iblis Mata Genit
mau bunuh Nona Li!"
Pendekar Rajawali Merah diam sebentar, men-
gingat pertarungan singkat antara Lili dengan Wali
Kubur, yang membuat seluruh ilmunya Wali Kubur le-
nyap karena dihantam pukulan 'Sirna Jati' oleh Lili.
Rupanya sebagai kakak, Iblis Mata Genit tidak rela jika adiknya hidup tanpa
ilmu, dan Wali Kubur sendiri tentunya tidak bisa balas menyerang Lili jika tanpa
ilmu secuil pun. Setelah berpikir beberapa saat, Yoga pun ber-
tanya, "Kau tahu di mana letak Perguruan Lereng La-wu, Bocah Bodoh"!"
'Tua Usil pasti tahu, itu kalau dia belum terbu-
ru mati!" "Yang kutanyakan, kau tahu atau tidak letak
perguruan itu?"
"O, kalau saya... jelas tidak tahu, Tuan!" jawab Bocah Bodoh seperti merasa
tidak bersalah dalam
memberi jawaban tadi. Ia segera berkata lagi,
"Tapi kalau mau cari Iblis Mata Genit, jangan di
Perguruan Lereng Lawu, Tuan. Sebab dia bukan orang
Perguruan Lereng Lawu. Dia tidak punya perguruan,
seperti Ibu saya juga tidak mau buka perguruan! Dia
seorang petualang, kerjanya mondar-mandir seperti
mandor bumi!"
Yoga manggut-manggut dan kembali berpikir
beberapa saat, setelah itu ia bangkit berdiri dan berka-ta,
"Kita cari dia sekarang juga!"
Pendekar Rajawali Merah bermaksud mengajak
Lili untuk selamatkan Tua Usil. Tetapi Lili tidak bisa diganggu jika sedang
semadi dan perdalam sebuah il-mu. Pasti dia akan mengamuk jika diganggu oleh
per- soalan seperti itu. Maka, Pendekar Rajawali Merah pun
akhirnya berangkat untuk selamatkan Tua Usil hanya
ditemani oleh Cola Colo, si Bocah Bodoh itu.
* * * 4 ATAS usul Bocah Bodoh, mereka melacak ke-
pergian Tua Usil dari tempat pertama kali bertemu
dengan Iblis Mata Genit! Bocah Bodoh membawa Yoga
ke tanah bawah tanggul tepi sungai itu.
"Nah, di sini kemarin kami disergap Iblis Mata
Genit, Tuan! Lihat, masih ada bekas ilalang di atas ba-tu." "Apa maksud ilalang
itu?" "Tua Usil bicara soal Nona Li yang pandai ber-
diri di atas ilalang, lalu saya memberinya contoh berdi-ri di atas ilalang. Tapi
menurutnya Nona Li berdiri di atas ilalang yang masih tumbuh dan tanpa alas
berpijak sedikit pun, kecuali ilalang itu."
Yoga sudah tidak menghiraukan kata-kata Bo-
cah Bodoh saat ia tahu perkataan itu tak ada hubun-
gannya dengan hilangnya Tua Usil. Yoga pandangi
keadaan sekeliling tempat itu. Ia temukan selembar
kain hitam berukuran kecil. Yoga mengambil kain itu
dan memperhatikan beberapa saat.
Bocah Bodoh berhenti dari bicaranya setelah
tahu kata-katanya tak dihiraukan lagi oleh Yoga. Kini
ia ikut pandangi kain hitam tersebut dan segera berka-
ta, "Apa di situ bisa terlihat bayangan wajah Tua
Usil, Tuan"'
'Tidak. Tapi aku tahu ini kain ikat kepalanya
Tua Usil."
"Hah..."!" Bocah Bodoh kaget. "Kalau ikat kepalanya lepas, berarti kepala Tua
Usil copot, Tuan"!"
"Ikat kepala bukan berarti tali pengikat kepala
supaya tidak copot! Ikat kepala gunanya untuk menga-
tur rambut bagi yang malas merapikan rambutnya!"
"Ooo...!" Bocah Bodoh manggut-manggut.
Mata Yoga masih memeriksa keadaan sekelil-
ing. Ia sedikit lega karena di sekitar tempat itu tidak terdapat setetes darah,
itu tandanya Tua Usil tidak
sampai berdarah jika disiksa mereka, dan tidak sampai
terbunuh jika menerima amukan Iblis Mata Genit.
Dalam perjalanan selanjutnya, Yoga dan Bocah
Bodoh selalu memandangi keadaan sekelilingnya. Ce-
lingak-celinguk ke sana-sini mencari kemungkinan
arah perginya Iblis Mata Genit. Yang jelas, tak mung-
kin Tua Usil dilepaskan begitu saja, pasti ikut bersama mereka.
Tiba-tiba sebuah pohon yang melengkung ter-
sentak tegak dengan timbulnya suara gemerisik. Gu-
sraakkk...! Lalu seutas tali panjang terlihat melesat ke atas. Wuuttt...!
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 5 Pendekar Harpa Emas Karya Rajakelana Kitab Pusaka 11
^