Pencarian

Penobatan Di Bukit Tulang 3

Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Bagian 3


dra Wulan hanya berpaling, kemudian kepalanya
bergerak menyentak ke kiri, dan tubuh Resi Pa-
nuluh terlempar ke kiri dengan sangat kuatnya.
Demikian pula Ki Tenung Jagat yang me-
lemparkan tongkatnya dan tongkat itu membara
merah bahkan mempunyai semburan api di ba-
gian depannya. Ratu Candra Wulan mengibaskan
kepalanya, dan tongkat itu terbang ke arah lain,
nyaris mengenai Putri Kumbang. Wuuttt...!
"Heaaah...!" Shogun Kogawa kembali me-
nyerang dengan mencabut samurainya. Tapi Ratu
Candra Wulan gerakkan kepala dari menunduk
menjadi menyentak naik, dan tubuh Shogun Ko-
gawa terjungkal ke belakang beberapa kali puta-
ran. Akhirnya jatuh dengan leher terlipat.
Putri Kumbang yang ingin sentakkan tan-
gan untuk lepaskan tenaga dalamnya lagi itu, su-
dah lebih dulu terpental ke kiri karena Ratu Can-
dra Wulan memandanginya dan menggerakkan
kepalanya ke kanan dalam satu sentakan pendek.
Bruuss...! Putri Kumbang mencium tanah sejadi-
jadinya. Hal itu membuat Jenggot Biru kian ber-
tambah panas hatinya.
"Heaah...!" Ia melompat dan melayang di udara bagaikan terbang. Tangannya
tersentak ke depan lepaskan pukulan berkekuatan tinggi, dan
pukulan tersebut disambut oleh Ratu Candra Wu-
lan dengan telapak tangan membuka dan me-
nyentak ke depan. Pukulan beradu dan menim-
bulkan suara gemuruh. Tapi pada saat itu tubuh
Ratu Candra Wulan juga melesat naik ke atas
hingga melebihi pucuk-pucuk pepohonan.
Jenggot Biru dan Ratu Candra Wulan be-
radu tangan di angkasa. Mereka saling pukul dan
saling tangkis dengan gerakan yang luar biasa ce-
patnya dalam keadaan tubuh turun ke bumi.
Plak, plak, plak, plak...! Baaahg...!
Duaaar...! Brrrukkk...! Napas perempuan itu tersen-
dat. Ia jatuh tergolek di tanah dalam keadaan wa-
jah membiru dan dadanya kepulkan asap putih.
Sedangkan Jenggot Biru masih tetap tegak berdiri
dengan telapak tangan kepulkan asap putih juga.
Rupanya Ratu Candra Wulan telah terkena
dua kali pukulan dahsyat dari Jenggot Biru. Ia
terluka parah bagian dalamnya dan tak bisa ber-
diri lagi. Pada saat itu, Jenggot Biru sudah berada di puncak kemarahannya.
Maka, ia pun bermaksud menghancurkan tubuh Ratu Candra Wulan.
Kedua tangannya dari telapak ke ketiak membara
merah bagaikan tangan-tangan lahar. Ratu Can-
dra Wulan mengetahui adanya bahaya maut yang
akan menyerangnya, namun ia tak kuasa kerah-
kan tenaga perlawanan.
Ketika Jenggot Biru ingin lampiaskan ke-
marahannya dengan pukulan ganda bertangan
membara itu, tiba-tiba sekelebat bayangan me-
nyambar tubuh Ratu Candra Wulan. Wuuttt...!
Zlaappp...! "Siapa itu tadi"!" teriak Resi Panuluh dengan kaget.
"Tak jelas!" jawab Putri Kumbang.
Bayangan yang menyambar tubuh Ratu
Candra Wulan itu dalam sekejap tak terlihat lagi
wujudnya. Bahkan warna bayangannya pun tak
terlihat. Angin kelebatannya pun tak terasa lagi.
Cepat sekali orang itu menghilang dari pandan-
gan mereka, dan itu menunjukkan bahwa orang
yang menyambar Ratu Candra Wulan bukan
orang sembarangan. Setidaknya mempunyai ilmu
sejajar tingginya dengan mereka, atau mungkin
lebih tinggi dari mereka.
Ratu Candra Wulan seperti baru saja ber-
kedip, tahu-tahu sudah berada di suatu tempat
yang berbeda dengan tempat di mana ia dikurung
oleh orang-orang berilmu tinggi itu. Perempuan
tersebut merasa ada seseorang yang menyela-
matkan dirinya. Bahkan ia juga merasakan luka
parah yang diduga akan menewaskan dirinya itu,
ternyata sudah lenyap dengan gaibnya. Tubuh
Ratu Candra Wulan kembali segar, seakan tak
pernah menerima luka parah dari lawannya.
Ia berdiri, memandang sekeliling, menyapu
seluruh tempat dengan sorot matanya yang lem-
but, menemukan sepi yang membentang luas di
sana. Akhirnya Ratu Candra Wulan berkata sedi-
kit keras. "Siapa pun dirimu, kuucapkan terima ka-
sih banyak atas penyelamatan mu. Tapi izinkan
aku mengenali diri mu, Dewa Penolong!"
Beberapa saat kemudian terdengar suara,
"Aku hanya mencari cucuku dan ingin mene-
muinya. Tapi yang kutemukan adalah dirimu da-
lam bahaya!"
"Tak bolehkah aku menemui, Sobatku"!"
Beberapa kejap berikut, muncul seorang le-
laki berjenggot dan berkumis putih, tubuhnya ku-
rus, rambutnya digulung ke atas warna putih ra-
ta. Usianya lebih dari delapan puluh tahun,
mungkin mencapai seratus tahun lebih. Ratu
Candra Wulan kaget melihat lelaki berjubah putih
itu. "Oh, rupanya kaulah orangnya, Ki Wejang Keramat"!"
* * * 7 PERTARUNGAN menjelang saat pertemuan
di Bukit Tulang Iblis bukan hanya terjadi di kaki bukit cadas, tapi juga di tepi
sebuah sungai berair bening. Pertarungan itu jelas bersumber dari masalah
pertemuan di Bukit Tulang Iblis. Hanya sa-
ja, dilihat sepintas pertarungan itu sepertinya tidak seimbang, yaitu antara
Selendang Badai den-
gan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh ta-
hun, mengenakan pakaian coklat dan ikat kepala
hitam pada rambut tipisnya berwarna putih itu.
Orang tersebut tak lain adalah Si Tua Usil, pe-
layan dari Yoga dan Pendekar Rajawali Putih.
Persoalannya cukup sepele, namun gawat
juga bagi dunia persilatan. Selendang Badai me-
nyempatkan diri untuk membasuh wajahnya den-
gan air sungai yang jernih segar itu. Pada saat ia membasuh wajah, ia melihat
bayangan seorang
lelaki di atas pohon rindang. Ia menyangka lelaki itu sedang mengintainya,
padahal ia sedang beris-tirahat menikmati hembusan angin semilir yang
mengantukkan itu.
Selendang Badai yang salah duga itu sege-
ra melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan ge-
rakan cepat membalik badannya. Wuuttt...!
Braasss...! Pukulan bergelombang panas menyen-
gat itu menerpa dedaunan, mematahkan dahan
dan ranting. Tetapi orang yang disangka mengin-
tai dirinya itu tidak ada di tempat. Selendang Ba-
dai semakin curiga. Ketika ia berbalik arah, ter
nyata orang tersebut sudah berdiri di atas
sebuah batu sambil bersunggut-sungut.
"Kau ini jahat sekali! Ada orang sedang istirahat dan hampir tertidur kau ganggu
dengan pamer ilmu macam begitu"!"
"Siapa kau, hah"!" bentak Selendang Badai sambil mendekat sampai berjarak
sekitar tiga tombak. "Aku orang baik-baik. Aku sering dipanggil
dengan nama Tua Usil! Tapi aku sudah tak per-
nah usil lagi sejak jadi pelayan Nona Li!"
"Tua Usil...?" Selendang Badai berkerut da-hi tajam sekali, ia sempat sedikit
tundukkan ke- pala karena berpikir keras. Beberapa saat kemu-
dian ia melihat Tua Usil melompat dekati dirinya
sambil berkata,
"Apakah kau pernah mendengar namaku,
Nona cantik?"
"Hmmm...! Kalau tak salah, kaulah orang
yang dikenal sebagai pemilik Pusaka Hantu Jag-
al"!" "O, ya! Betul itu! Aku yang memilikinya!"
Selendang Badai manggut-manggut, ha-
tinya berkata, "Sangat kebetulan sekali aku bertemu dengan orang ini dalam
keadaan sepi. Aku
akan merebut pisau pusaka itu, dan akan kugu-
nakan di pertarungan nanti! Dengan bermodalkan
pusaka itu, setidaknya aku bisa menyerap ilmu
para tokoh sakti yang akan kuhadapi di pertarun-
gan nanti!"
Tua Usil yang memandang dengan mata
sedikit menyipit, karena ingin menikmati seben-
tuk wajah yang menurutnya sangat cantik itu, se-
gera tersenyum bagai seringai kuda. Lalu ia per-
dengarkan suara,
"Nona cantik, kenapa kau termenung me-
lamun diri" Apakah kau terkesan dengan ketam-
panan ku?"
Selendang Badai yang sebenarnya berwa-
jah setengah tua itu memaksakan diri untuk ter-
senyum. Ia berkata, "Ya, aku memang terkesan dengan ketampanan mu. Hmmm...
apakah kau sudah beristri, Tua Usil?"
"O, belum! Belum sekali!" jawab Tua Usil mulai bersemangat dan hatinya berdebar-
debar. Rupanya ia punya minat terhadap Selendang Ba-
dai. Usia setengah tua seperti itulah yang mem-
bangkitkan selera hidup Tua Usil. Ia semakin
mendekati Selendang Badai. Dan perempuan itu
semakin melebarkan senyum pemikat hati Tua
Usil. "Aku juga sudah tidak bersuami lagi. Namaku Selendang Badai!"
"Wow...! Nama yang bagus dan enak diden-
gar. Suatu kebetulan jika kita bertemu tanpa su-
ami dan tanpa istri."
"Memang benar," kata Selendang Badai
sambil berpaling ke arah lain dan jauhi Tua Usil
dua tindak. Ia berlagak malu-malu kucing. Se-
dangkan Tua Usil memang kucing yang malu-
malu mau. Maka perempuan itu pun semakin di-
dekatinya. Ia mendengar Selendang Badai berka-
ta, "Sudah lama aku merindukan seorang su-
ami sebagai teman hidupku. Tapi tak pernah ada
yang cocok di hatiku. Baru sekarang aku mene-
mukan seorang lelaki yang langsung menyentuh
hatiku." "Akukah orang yang kau maksud, Selen-
dang Badai?"
"Benar," sambil Selendang Badai berpaling memandang Tua Usil. "Kau memang orang
yang ku maksud. Tapi...," Selendang Badai berpura-pura sedih, membuat Tua Usil
menjadi ingin ta-
hu. "Tapi kenapa, Selendang Badai?"
"Tapi aku punya persoalan yang tak bisa
ku atasi!"
"Persoalan apa, katakan saja padaku. Aku
siap membantumu!"
"Aku mempunyai musuh terberat dalam
hidupku. Dia selalu mengejar-ngejar ku dan me-
maksa aku untuk menjadi istrinya. Aku sudah
melawannya, tapi tak pernah menang, karena dia
cukup sakti. Dia hanya bisa dibunuh ataupun di-
lukai dengan Pusaka Hantu Jagal."
"Hah..."!" Tua Usil kaget.
"Iya. Hanya dengan pusaka itu dia bisa ku-
kalahkan. Padahal aku tidak mempunyai pusaka
tersebut. Aku harus mencarinya, tapi ke mana
akan kucari pusaka itu" Aku tidak tahu, Tua
Usil!" "Lho, akulah pemilik pusaka itu!"
"O, ya..."!" Selendang Badai berlagak kaget dan girang.
"Akulah orang yang mempunyai Pusaka
Hantu Jagal dan sampai sekarang masih ada pa-
daku! Bagaimana kalau kau pertemukan aku
dengan lawanmu itu, biar kuhabisi dia agar tak
mengganggumu lagi."
"O, jangan. Nanti kau terluka dan aku se-
dih kalau kau terluka. Sebaiknya, pinjamkan pu-
saka itu padaku Tua Usil. Biar kuhadapi sendiri
lawanku itu!" "Pinjamkan...?" Tua Usil mulai bim-bang. "Sebentar saja, Tua Usil.
Nanti akan kukembalikan!" bujuknya dengan berlagak murung.
Tua Usil diam menimbang-nimbang kepu-
tusannya. Setelah itu ia memandang Selendang
Badai. Perempuan berwajah murung itu membuat
hati Tua Usil iba. Karena ia berharap dapat me-
lanjutkan hubungan dengan perempuan yang se-
suai dengan seleranya itu, maka.. Tua Usil pun
berkata kepada Selendang Badai,
"Tapi... tapi nanti akan kau kembalikan pi-
sau itu?" Benar. Tua Usil! Akan kukembalikan ber-
sama hati ku untukmu!"
"Ooh..."!" Tua Usil tersenyum, hatinya berdebar-debar. Ia mendekap dadanya
sendiri dalam keceriaan yang penuh khayalan.
Maka, Tua Usil pun segera mengeluarkan
pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik baju coklat-
nya. Pisau itu di pandangi sesaat, seperti masih
ada keraguan di hati Tua Usil untuk menyerah-
kannya. Mata Selendang Badai berbinar-binar meli-


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hat pisau yang sarung dan gagangnya berlapis
emas berukir itu. Tak sabar rasanya untuk segera
merampas. Tapi Selendang Badai menahan ha-
sratnya, karena ia takut akan gagal jika dengan
cara merampasnya. Maka, ia pun menunggu den-
gan hati berdebar-debar. Ia sempat berkata den-
gan suara dibuat sedih.
"Ayah dan ibuku sudah dibunuh oleh
orang itu, sedangkan aku ingin dikawininya. Aku
sakit hati sekali dan tak akan bisa tenang jika belum bisa membalas dendam
kepadanya. Percuma
aku hidup berdampingan dengan seorang suami
tercinta, segudang harta dan kemewahan, jika
aku belum bisa melampiaskan dendam ku kepada
Raja Badik itu!"
"Raja Badik?" gumam Tua Usil dengan he-
ran, merasa belum pernah mendengar nama ter-
sebut di rimba persilatan. Padahal Selendang Ba-
dai hanya mengarang nama tersebut asal-asalan
saja. "Iya. Raja Badik itu memang jahat dan tubuhnya kebal senjata!"
Tua Usil menarik napas, lalu berkata,
"Baiklah, kuserahkan pisau pusaka ini. Ku pinjamkan kepadamu dan lampiaskan
dendammu pada orang jahat itu! Pisau ini memang khusus
kugunakan untuk melawan kejahatan."
"Oh, kau benar-benar menyenangkan hati-
ku, Tua Usil," katanya ketika menerima pisau Pusaka Hantu Jagal dari tangan Tua
Usil. "Kuharap kau pun dapat menyenangkan
hatiku, Selendang Badai."
"O, ya. Ku usahakan sebisaku. Tapi kalau
tidak bisa, jangan kecewa, Tua Usil. Karena se-
sungguhnya aku membenci pria yang bodoh se-
perti kamu, yang mau menyerahkan pusaka ke-
pada wanita dengan sedikit rayuan saja. Hi hi hi
hi...!" Tua Usil terbengong dengan mata tak bisa berkedip. "Apa... apa... apa
maksudmu, Selendang Badai"!"
"Pisau pusaka ini dulu ku idam-idamkan,
tapi baru sekarang bisa berada di tanganku. Ka-
lau saja pemilik pisau pusaka ini bukan orang
bodoh, tentunya dia tidak akan melepaskan pisau
ini ke tangan orang mana pun. Beruntung sekali
nasibku hari ini, selain bisa mengelabuhi seorang lelaki, juga bisa mendapat
pisau Pusaka Hantu
Jagal!" Tua Usil bingung bercampur curiga melihat Selendang Badai tertawa
terkikik-kikik mirip kun-tilanak. Maka, Tua Usil pun berkata,
Karena kau mau hidup bersamaku dan su-
ka punya suami aku, maka kuserahkan pisau itu
kepadamu, Selendang Badai!"
"Siapa yang mau hidup bersamamu" Siapa
yang sudi punya suami macam kau, Tua Usil
Hemm! Tak sudi aku menjadi istrimu! Aku hanya
menyerangmu dengan rayuan agar pisau ini men-
jadi milikku! Hi hi hi!"
"Kuntilanak kempot!' bentak Tua Usil sete-
lah sadar bahwa dirinya telah tertipu mentah-
mentah oleh perempuan berpakaian jubah tanpa
lengan warna biru dan mengalungkan selendang
merah di lehernya.
"Kembalikan pisau itu!" Tua Usil semakin marah. Lebih geram lagi melihat
Selendang Badai
hendak melarikan diri. Langsung saja Tua Usil
melompat dan mencegat di depan langkah Selen-
dang Badai dengan lompatan bersalto melewati
atas kepala perempuan tersebut.
"Kau ingin pisau ini memakan nyawamu
sendiri, rupanya!" kata Selendang Badai kepada Tua Usil. Maka, serta-merta Tua
Usil melepaskan
pukulan tenaga dalamnya lewat kelebatan lima
jari berkuku hitam warisan ilmu dari Nyai Kuku
Setan itu. Zlaapp...! Sinar hijau memencar ke lima arah, menghantam tubuh
Selendang Badai,
membuat tangan Selendang Badai tak jadi men-
cabut gagang pisau itu. Sinar hijau itu hampir sa-ja melukai tubuh Selendang
Badai jika ia tidak
segera lepaskan sinar penangkisnya melalui tela-
pak tangan yang ingin mencabut pisau tersebut.
Telapak tangan itu memancarkan sinar terang
warna biru dan membuat serangan Tua Usil da-
pat dilumpuhkan.
Blaarrr...! Ledakan menghentak kuat terjadi akibat
benturan dua sinar tersebut. Tubuh Selendang
Badai terhempas ke belakang dan berguling-
guling. Pisaunya terlepas dari tangan, sedangkan
Tua Usil hanya mundur beberapa tindak dari
tempatnya semula. Melihat pisau itu jatuh ke ta-
nah, Tua Usil segera melompat dengan cepatnya
dan menyambar pisau tersebut. Wuuttt...!
Pisau kembali berada di tangan Tua Usil.
Selendang Badai menjadi berang dan segera ber-
seru, "Serahkan pisau itu atau kuhancurkan tu-buhmu, Tua Usil!"
Wanita berselendang merah itu segera me-
narik selendangnya dari lingkaran leher. Tua Usil melarikan diri karena tak mau
melawan perempuan yang sempat menimbulkan kesan indah di
hatinya walau hanya sekejap itu. Pelarian Tua
Usil membuat Selendang Badai menjadi semakin
berang. Maka, ia pun segera melecutkan selen-
dangnya ke arah Tua Usil yang berjarak tujuh
tombak darinya.
Wuuttt...! Blegaarrr...!
Cahaya biru melesat pecah bagaikan petir
membelah bumi. Tua Usil jatuh tersungkur, kare-
na lecutan selendang itu hadirkan angin badai
yang menghembus sangat kuat dan cepat, bah-
kan sempat merobohkan dua pohon tak jauh dari
Tua Usil berada.
Pada saat Tua Usil jatuh, pisaunya sudah
disembunyikan di balik baju dan Selendang Badai
melihat tempat penyimpanan tersebut. Maka Se-
lendang Badai pun mengejarnya dengan cepat.
Hanya saja langkahnya menjadi berat dan sema-
kin berat karena ada angin kencang datang dari
arah depannya. "Keaak...! Keaaak...!"
Rupanya angin besar itu datang dari kepak
sayap seekor burung Rajawali Putih berukuran
besar. Tentu saja kepak sayap itu mempunyai ke-
kuatan tenaga dalam sehingga dapat hasilkan an-
gin kencang yang menahan gerakan tubuh Selen-
dang Badai, seakan menentang hembusan badai
yang amat kuat.
Seorang gadis berpakaian merah jambu
dengan pedang perak yang di ujung gagangnya
terdapat ukiran dua burung rajawali saling berto-
lak belakang itu, tampak menunggang burung
tersebut dengan anggunnya. Pendekar Rajawali
Putih itulah penunggang burung tersebut, yang
segera turun begitu melihat Tua Usil dikejar oleh Selendang Badai.
"Burung keparat!" teriak Selendang Badai dengan geram. Maka ia pun segera
mengibaskan selendang merahnya lagi di udara. Wuukkk...!
Angin badai datang bersama ledakan guntur ber-
kali-kali. Burung putih itu oleng ke kiri karena
hembusannya. Lili segera melompat turun dari
punggung burung yang terbang rendah seukuran
pohon jati. "Menjauhlah, Putih!" teriak Lili begitu tiba di darat. "Keaak...! Keaakk...!"
burung itu pun terbang menjauh dengan sedikit oleng karena
mengimbangi hembusan badai yang mengamuk.
"Tua Usil...! Lekas berlindung!" teriak Lili
disela deru badai yang masih datang mengamuk
karena selendang merah itu dikibas-kibaskan di
udara. Suara angin badai itu bergemuruh bagai
suara gunung meletus. Tua Usil tidak mendengar
seruan Lili, namun melihat tangan Lili bergerak-
gerak memberikan isyarat untuk berlindung. Ma-
ka Tua Usil merangkak dengan susah payah un-
tuk berlindung di balik pohon besar berakar le-
bar. Rupanya burung putih besar itu sengaja
terbang belum sejauh dugaan mereka. Burung itu
hanya terbang memutar arah. Kemudian dari atas
belakang Selendang Badai yang sedang mengibas-
ngibaskan selendangnya itu, mata burung terse-
but keluarkan sinar putih perak yang menghan-
tam pohon dl samping Selendang Badai. Claapp...!
Blegarr...! Kreaakk...! Bruukkk...! Pohon itu hampir
saja tumbang menggencet tubuh Selendang Ba-
dai. Mau tak mau Selendang Badai melompat
dengan menghentikan kibasan selendangnya. Ba-
dai pun reda, dan Lili pun punya kesempatan un-
tuk segera lakukan serangan pembalasan.
Jurus 'Salju Neraka' digunakan oleh Lili.
Tangan pendekar cantik itu menyemburkan busa-
busa salju putih ke arah lawan. Tetapi dalam se-
kejap lawan sudah
mampu kelebatkan kembali selendang me-
rahnya. Buuttt...! Dan salju-salju yang ingin menyerangnya terbang ke mana-mana
tak tentu arah. Bahkan kali ini Lili melihat sinar biru se-
dang melesat hendak menghantam Tua Usil aki-
bat dari kibasan selendang merah tersebut. Ujung
selendang yang menebarkan sinar biru itu tak di
sadari oleh Tua Usil sehingga Lili berseru, "Tua Usil, awaaas...!"
Lili sendiri berkelebat menghadang sinar
tersebut dengan lepaskan pukulan berwarna pu-
tih perak dari tangannya. Blegaarr...!
Ternyata kekuatan sinar biru dari selen-
dang merah darah itu cukup kuat, sehingga tim-
bulkan ledakan yang mampu menghempaskan
tubuh Lili dengan berjungkir balik dan memben-
tur pohon besar. Duug...! Sedangkan Selendang
Badai hanya terjengkang ke belakang akibat sen-
takan daya ledak tersebut. Tua Usil sendiri terpelanting ke arah kiri dan
jaraknya menjadi jauh
dengan Pendekar Rajawali Putih.
Rupanya ledakan itu mempunyai gelom-
bang berbahaya yang mampu jebolkan dada la-
wan. Kalau saja Lili tidak mempunyai lapisan te-
naga dalam yang amat besar, maka dadanya akan
jebol sebagai orang yang berada dalam jarak amat
dekat dengan ledakan tadi. Lili memuntahkan da-
rah merah dari mulutnya. Wajahnya pun menjadi
pucat pasi. "Nona Liliii...!" Tua Usil menjerit karena kaget dan cemas akan keselamatan
Pendekar Raja- wali Putih itu. Maka, serta merta Tua Usil meng-
hampiri Lili dengan gerakan peringan tubuh yang
cukup tinggi. Wuuttt...! Kurang dari satu kedipan, Tua Usil telah berhasil tiba
dl samping Lili. la se-
gera menolong Lili dengan kata kecemasan yang
terlontar keras.
"Nona, Li...! Nona...! Sadar, Nona...!" Pada waktu itu, Selendang Badai
berteriak keras dalam
kemarahannya yang ingin dilepaskan seluruhnya,
"Habis sudah riwayat kalian! Heaaahhh...!" Selendang itu dikibaskan di atas
kepala lalu dilepas
dari tangannya. Wuuuk...! Selendang merah ter-
bentang lurus dan kaku bagaikan lempengan baja
yang meluncur cepat ke arah Lili dan Tua Usil.
Keadaan itu sempat membuat Tua Usil kaget, lalu
segera berdiri untuk menghadang serangan se-
lendang yang berubah menjadi lempengan baja
siap memenggal kepala.
Selendang itu menjadi amat tajam, terbukti
sebatang pohon dilewatinya begitu saja dengan
tanpa menimbulkan suara saat memotongnya.
Namun beberapa kejap berikutnya pohon itu ter-
potong rata dan tumbang.
Pada saat selendang maut itu sudah men-
dekati Tua Usil, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kurus berjenggot panjang
putih dan berkepala
gundul, berdiri menghadang lajunya selendang
tersebut. Lalu ketika selendang itu hendak me-
nembus tubuhnya, dengan gerakan lunak orang
tersebut menyentakkan tangannya ke depan.
Wuuttt...! Selendang yang berubah menjadi baja
maut itu berhasil ditahan dengan telapak tangan,
lalu disentakkan ke depan dan kembali kepada
pemiliknya. Wuungng...!
Clakk...! Selendang itu menancap pada se-
batang pohon setelah dua kali memotong pohon
lainnya. Selendang Badai segera melompat meng-
hindari gerakan balik selendang itu, karenanya
selendang tersebut menancap di pohon belakang-
nya, lalu ditarik dan dikibaskan sebagai kain se-
lendang setipis sutera itu.
"Resi Gumarang..."!" ucap Selendang Badai dengan geram. "Kau selalu ikut campur
dalam masalah ku. Resi Gumarang?"
"Tidak selalu, Selendang Badai. Hanya jika
kau bertindak kelewat batas, aku terpaksa ikut
campur. Itu pun baru sekarang setelah aku turun
kembali ke dunia persilatan ini, Selendang Badai!"
"Orang ini berbahaya. Tahu persis kelema-
han ku. Sebaiknya ku tinggalkan saja dan segera
menuju ke Bukit Tulang Iblis!" pikir Selendang Badai. Maka, setelah mendengus
kesal, ia pun pergi tinggalkan tempat.


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Resi Gumarang, calon penghulu dalam
perkawinan Lili dan Yoga nantinya, ternyata da-
tang tepat pada waktunya. Ia berhasil menghalau
Selendang Badai, dan cepat sembuhkan Lili. Da-
lam waktu kurang dari lima helaan napas, kea-
daan luka Lili menjadi sembuh hanya dengan ca-
ra menatap mata Lili satu helaan napas.
"Kau harus bergabung dengan Yoga," kata Resi Gumarang.
"Apa yang saya lakukan tadi hanya mem-
bela si Tua Usil, Resi Gumarang," kata Lili.
"Memang. Aku tahu. Aku juga tahu bahwa
kau dan Yoga sedang dicari-cari oleh para tokoh
sakti. Kalian dari aliran rajawali akan disingkirkan sebelum acara di Bukit
Tulang Iblis itu dilak-sanakan!"
"Mengapa begitu, Resi Gumarang?" Lili terperanjat heran.
"Aliran rajawali dikhawatirkan akan men-
jadi raja dalam persilatan kita ini. Kau dan Yoga dianggap orang paling
berbahaya dan banyak
yang meramalkan bahwa kalianlah yang akan un-
ggul dalam pemilihan dan penobatan nanti. Jadi,
banyak tokoh sakti yang berusaha menyingkirkan
kalian berdua sebelum acara dimulai. Mereka
bermaksud agar kalian tidak hadir dalam perte-
muan di Bukit Tulang Iblis nanti!"
Tua Usil dan Lili diam, menyimak segala
apa yang dikatakan oleh tokoh tua yang berilmu
tinggi dan pernah menjadi sahabat karib guru Lili dan Yoga itu. Ketika Lili
ingin bicara, tiba-tiba orang kurus berpakaian putih itu lenyap dari
pandangan mata. Tua Usil kaget dan segera men-
cari-carinya, namun tidak ditemukan di mana-
mana. Lili sempat dibuat bingung sebentar, sete-
lah itu termenung mengingat-ingat pesan dari Re-
si Gumarang tadi.
* * * 8 PERCAKAPAN yang terjadi antara Ratu
Candra Wulan dengan Ki Wejang Keramat, kakek
dari Pandu Tawa, ternyata ada yang mencuri den-
gar dari kejauhan sana. Mereka tak tahu, karena
jaraknya amat jauh. Si pencuri dengar itu pun ti-
dak bermaksud mengganggu, hanya diam di atas
sebuah batu, duduk termenung sambil beristira-
hat dari perjalanannya yang melelahkan.
Ki Wejang Keramat berkata kepada Ratu
Candra Wulan, "Pertemuan dl Bukit Tulang Iblis itu memang membawa bencana
sendiri bagi para
tokoh rimba persilatan. Di situlah nanti akan
tampak, siapa-siapa orang yang serakah dan in-
gin berkuasa di atas manusia lainnya!"
Cahaya berseri di wajah Ratu Candra Wu-
lan itu membuat Ki Wejang Keramat rasakan ke-
damaiannya dalam bicara. Saat itu, Ratu Candra
Wulan sebenarnya sedikit heran mendengar kata-
katanya Ki Wejang Keramat, karena ia menyangka
Ki Wejang Keramat yang mempunyai prakarsa
pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu. Karenanya,
Ratu Candra Wulan berkata kepada tokoh sakti
yang sudah cukup tua itu,
"Jika pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu
membawa bencana bagi para tokoh, mengapa Ki
Wejang Keramat mengadakannya?"
"Bukan aku yang mengadakan pertemuan
itu, Candra Wulan!" sanggahnya dengan tenang
dan bijaksana. "Barangkali Resi Gumarang-lah yang mengadakan pertemuan dan
pemilihan seperti itu! Mungkin Resi Gumarang punya mak-
sud-maksud tertentu, tetapi di salah artikan oleh para tokoh lainnya, sehingga
pertemuan tersebut
menjadi sebuah bencana kecil bagi kita bersama,
Candra Wulan."
"Jadi menurut Ki Wejang Keramat, bagai-
mana langkah yang baik mengatasi pertemuan di
Bukit Tulang Iblis itu?"
"Menurutku, tak usah diadakan acara se-
perti itu! Bubarkan saja. Kecuali memang perte-
muan itu bisa membawa damai bagi siapa pun
juga orangnya!"
"Kalau begitu, Ki Wejang Keramat sebaik-
nya bicara dengan Resi Gumarang, supaya beliau
mau membubarkan atau membatalkan acara itu!"
usul Ratu Candra Wulan dengan tutur kata yang
lembut dan sopan.
"Ya, aku akan bicara dengan Gumarang!
Mungkin sekarang juga aku harus temui dia di
tempat pengasingannya, supaya...."
Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa, Tak
perlu ke sana, Kakang Wejang Keramat!"
Ratu Candra Wulan terperanjat, ia menca-
ri-cari si pemilik suara. Tiba-tiba dari balik pohon muncul orang kurus
berkepala gundul yang tak
lain adalah Resi Gumarang.
"Tak perlu kau menemuiku, Kakang We-
jang Keramat, aku sendiri sudah ingin menemui-
mu!" kata Resi Gumarang. Ratu Candra Wulan
memberi hormat dengan sedikit bungkukkan ba-
dannya, karena ia merasa lebih muda usianya
dan lebih rendah ilmunya dibanding kedua tokoh
sakti itu. Ki Wejang Keramat berkata, "Untuk apa
kau ingin menemuiku, Adi Gumarang?"
"Untuk apa lagi jika bukan untuk mende-
sak Kakang Wejang Keramat agar membatalkan
acara di Bukit Tulang Iblis itu!" jawab Resi Gumarang dengan sikap bersahaja.
Didekatinya Resi Gumarang dengan lang-
kah pelan, lalu Ki Wejang Keramat berkata, "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya bukan
aku yang mengadakan pertemuan tersebut. Aku tidak
punya gagasan seperti itu, Adi Gumarang."
Resi Gumarang yang merasa lebih muda
dan menganggap Ki Wejang Keramat sebagai ka-
kak perguruannya di masa lalu, sempat memper-
cayai pengakuan tersebut. Sebab Resi Gumarang
tahu, bahwa Ki Wejang Keramat seumur hidup-
nya tidak pernah menipu siapa pun, dan berkata
dusta merupakan pantangan bagi hidupnya.
"Jika bukan Kakang dan bukan aku yang
mengadakan pertemuan itu, lantas siapa orang-
nya menurut perkiraan Kakang Wejang Keramat?"
"Tentunya kau lebih tahu dariku, karena
kau mempunyai ilmu teropong batin yang terkuat
di antara kita, Adi Gumarang."
"Sudah ku coba, Kakang. Tapi ilmu tero-
pong batin ku tak mampu menembus sesosok tu-
buh yang mengaku sebagai pencetus gagasan ter-
sebut. Ia hanya berbentuk seperti cahaya putih
menyilaukan tak bisa kulihat dan kutembus den-
gan mata batin ku, Kakang Wejang Keramat. Dan
setahuku, hanya terhadap dirimu saja aku tidak
bisa menembuskan mata batin ku untuk menge-
tahui keberadaanmu, Kakang Wejang Keramat."
Resi Gumarang bicara dengan hati-hati
dan penuh hormat. Sementara kedua tokoh tua
itu sama-sama bungkam, Ratu Candra Wulan
memberanikan diri bicara kepada mereka,
"Resi Gumarang dan Ki Wejang Keramat,
kalau boleh saya simpulkan, pasti ada pihak lain
yang bermaksud mengacaukan dunia persilatan
kita dengan menyebar berita bohong itu. Tujuan-
nya hanya semata-mata untuk mengacaukan du-
nia persilatan kita, supaya setiap orang saling
bunuh dan saling berebut kekuasaan dalam
bayangan itu!"
"Sekalipun memang demikian," kata Ki Wejang Keramat, "Setidaknya kita harus tahu
siapa pengacaunya, supaya kita bisa menegurnya dengan cara kita sendiri."
"Kakang Wejang Keramat," Resi Gumarang
menyela pembicaraan pada saat ia seperti mene-
mukan sesuatu dalam benaknya. "Menurut du-
gaanku, orang yang tak bisa kutembus dengan te-
ropong batin adalah Dewa Nujum, yang sekarang
berubah julukan dan dikenal dengan nama Wong
Sakti!" Ki Wejang Keramat manggut-manggut dalam keadaan diam tak bicara. Gumam
kecil pun tak terdengar. Ratu Candra Wulan perhatikan wa-
jah Ki Wejang Keramat, seolah-olah menunggu
jawaban dari orang tersebut. Setelah beberapa
saat mereka terbungkam, Ki Wejang Keramat ber-
kata, "Ya. Dugaanmu mendekati kebenaran. Hati kecilku condong menduga Wong Sakti
itulah yang membuat acara pertemuan di Bukit Tulang Iblis!"
"Kalau begitu, kita cari dia Kakang Wejang
Keramat! Kita desak dia supaya membatalkan
pertemuan tersebut!"
"Barangkali saja dia sudah berada di Bukit
Tulang Iblis! Bagaimana jika kita ke sana, Adi
Gumarang"!" "Aku sangat setuju, Kakang Wejang Keramat!"
Wuusss...! Angin berhembus ketika mereka
hendak melangkah. Hembusan angin itu terasa
aneh bagi Ki Wejang Keramat. Itulah sebabnya ia
batalkan langkah kakinya, ia sempatkan meman-
dang ke sana-sini dan sampai akhirnya ia temu-
kan seseorang berjubah abu-abu dengan rambut
putih tipis dan tubuh bersisik.
"Oh, kau hadir juga di sini, Wong Sakti"!"
tegur Ki Wejang Keramat kepada pendatang baru
yang ternyata adalah Wong Sakti. Kali ini Wong
Sakti datang sendirian, tanpa membawa murid
tunggalnya yang bernama Kukilo itu.
Belum-belum Wong Sakti sudah garuk-
garuk kepala dengan meringis.
"Aku terpaksa datang menemui kalian, ka-
rena aku tak tahan dijadikan bahan pembicaraan
kalian. Kutinggalkan tempatku duduk termenung
di atas batu, hanya untuk meluruskan masalah
ini!" "Masalah tentang apa yang ingin kau luruskan Wong Sakti"!" tanya Resi
Gumarang. "Dugaanmu sudah berubah menjadi tudu-
han, Gumarang!" kata Wong Sakti yang merasa
berusia lebih tua dari Resi Gumarang dan juga
masih merasa lebih tua dari Ki Wejang Keramat.
Itulah sebabnya Wong Sakti sedikit seenaknya da-
lam bersikap di depan kedua tokoh tua dan satu
wanita cantik yang sebenarnya juga sudah beru-
sia tua itu. "Kalau kalian menuduhku sebagai pence-
tus gagasan tersebut, itu adalah salah besar!" ka-ta Wong Sakti. "Aku bukan
pencetusnya, tapi aku tahu siapa pelaku utama dalam pertemuan di
Bukit Tulang Iblis yang akan terjadi itu."
"Siapa orangnya menurutmu, Wong Sakti?"
tanya "Menurut hasil ramalan sakti ku, orang yang mengadakan pertemuan di Bukit
Tulang Iblis itu adalah Nyai Mantera Dewi, dari perguruan
Camar Sakti!"
"Bisa juga!" jawab Ki Wejang Keramat. "Tetapi apa alasan Nyai Mantera Dewi
mengadakan pertemuan itu?"
"Sebaiknya kita tanyakan langsung kepada
yang bersangkutan! Kalau kita main terka-
menerka, nanti kita malahan cekcok sendiri. Pa-
dahal aku sudah bosan cekcok dari dulu sampai
setua ini!" kata Wong Sakti dengan seenaknya bi-
cara, tapi bisa dimaklumi oleh mereka.
Maka, mereka pun sepakat temui Nyai
Mantera Dewi di Perguruan Camar Sakti. Nyai
Mantera Dewi itu adalah guru dari Gadis Lin-
glung, yang mempunyai ciri-ciri berjubah merah
darah dengan giwang warna ungu dari batuan
berkerilap. Rambutnya putih, disanggul sebagian,
usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.
Kedatangan para tokoh sakti itu membuat
heran Nyai Mantera Dewi, namun ia tetap me-
nyambutnya dengan baik. Ia hanya bertanya,
"Apa gerangan yang membuat kalian da-
tang kemari?"
"Tentang pertemuan di Bukit Tulang Iblis.
Mantera Dewi," kata Wong Sakti dengan mengu-
sap-usap kepalanya sendiri.
"Aku akan hadir di sana sebentar lagi. Si-
lakan kalian berangkat lebih dulu ke Bukit Tu-
lang Iblis!"
"Bukan soal keberangkatan mu yang ingin
kutanyakan, tapi keberadaanmu di dalam acara
pertemuan tokoh-tokoh dunia kelas berat itu,
Mantera Dewi," kata Resi Gumarang. "Apa perlu-mu mengadakan pertemuan yang hanya
bisa memancing perselisihan di antara sesama?"
Nyai Mantera Dewi berkerut dahi, kemu-
dian berkata, "Siapa bilang aku perintis pertemuan itu" Siapa bilang itu gagasan
ku?" Wong Sakti berkata, "Akulah yang menu-
duh mu begitu."
"Atas dasar apa?"
"Kira-kira saja!"
Nyai Mantera Dewi berkata, "Bukan aku
pencetus gagasan. Bukan aku yang adakan per-
temuan tersebut. Kalian jangan salah duga!"
"Kami hanya kehendak! supaya pertemuan
itu dibatalkan saja, karena mengundang permu-
suhan satu dengan yang lain, Mantera Dewi," ka-ta Ki Wejang Keramat.
"Aku setuju. Tapi bagaimana aku bisa
membatalkan jika rencana itu bukan rencanaku,
Ki Wejang Keramat?"
Mereka sama-sama diam, Ki Wejang Kera-


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mat termenung, Ki Wejang Keramat saling pan-
dang dengan Resi Gumarang. Nyai Mantera Dewi
memandangi wajah tamu-tamunya satu persatu.
Kejap berikut terdengar suara Wong Sakti berkata
kepada Ki Wejang Keramat.
"Kecurigaan ku jatuh pada seseorang yang
pandai meneropong kelemahan ilmu apa pun!"
Kini semua memandang Wong Sakti. Resi
Gumarang bertanya, "Siapa orang yang kau maksudkan itu, Wong Sakti.
"Siluman Ilmu!"
Mereka saling bergumam, "Siluman Il-
mu...?" Nyai Mantera Dewi segera berkata, "Apakah yang kau maksud adalah Siluman
Ilmu yang tinggal di Tebing Tengkorak itu?"
"Tepat," jawab Wong Sakti lalu terkekeh sendiri sambil garuk-garuk kepalanya.
"Ada baiknya kalau kita pergi ke Tebing Tengkorak seka-
rang juga!"
"Tunggu dulu," kata Ratu Candra Wulan
yang sejak tadi hanya diam saja itu. "Jika kita ke sa-
na, dan jika benar Siluman Ilmu orang yang
punya gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis,
maka sudah pasti dia sekarang ada di Bukit Tu-
lang Iblis. Sekarang sudah waktunya pertemuan
itu diadakan, karena sudah lewat tengah hari!"
"Benar," gumam Nyai Mantera Dewi. "Ku usulkan agar kita lekas-lekas ke Bukit
Tulang Iblis saja!"
Ki Wejang Keramat dan Resi Gumarang
manggut-manggut. Tak ada yang memberi gaga-
san lain, karenanya mereka segera berangkat ke
Bukit Tulang Iblis.
Bukit itu tak seberapa tinggi. Bagian atas-
nya datar dan luas, ada beberapa tanaman yang
berjarak renggang, seakan menjadi peneduh pun-
cak bukit tersebut. Dari kaki bukit dapat dilihat keadaan di puncak bukit,
karena lereng bukit itu
gundul, hanya ada tanaman rumput pendek.
Tanpa pohon besar yang tumbuh di lerengnya.
Bukit itu sekarang ramai dikunjungi para
tokoh rimba persilatan yang rata-rata berilmu
tinggi. Rombongan Ki Wejang Keramat ketika tiba
di kaki bukit sempat bertemu dengan orang yang
disebut Siluman Ilmu. Orang itu berpakaian abu-
abu dan usianya sekitar enam puluh tahun ke
atas, (Lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali
dalam episode: "Mempelai Liang Kubur").
Ketika Resi Gumarang menegur Siluman
Ilmu, orang itu membantah tuduhan tentang pen-
cetus gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis
tersebut. Ia berkata,
"Untuk apa aku mempunyai gagasan edan
seperti ini" Tak ada untungnya bagiku, Resi Gu-
marang! Justru aku datang kemari untuk melihat
siapa yang akan dinobatkan sebagai hakim dan
mendapat gelar Pendekar Maha Sakti!"
Setelah sama-sama bungkam, setelah be-
rulangkali mengelak tuduhan tersebut, akhirnya
Wong Sakti berkata,
"Daripada susah-susah mencari siapa pen-
gacau yang membuat kita pusing sendiri, lebih
baik hadir saja ke sana, dan lihat sendiri siapa
pencetus pertemuan itu!"
"Itu usul yang bagus!" kata Ki Wejang Keramat. Maka, mereka pun segera naik ke
puncak bukit. Tidak ada satu pun dari rombongan Ki We-
jang Keramat yang naik ke puncak bukit dengan
berjalan mendaki. Mereka melangkah dengan il-
mu tenaga peringan tubuh yang dapat mencapai
bukit dalam waktu singkat. Wuuttt... wuuttt....
wuutt... wuuttt...! Dalam sekejap mereka sudah
berada di puncak bukit yang bertanah datar cu-
kup luas. Mereka membentuk kelompok-
kelompok tersendiri, saling berbincang-bincang
dengan sahabat lama ataupun sahabat baru yang
sudah pasti sama-sama berilmu tinggi.
Di situ tampak hadir pula Paku Juling, ke-
tua Partai Pengemis Liar, Sumo Loda sedang ber-
bincang-bincang dengan seorang tokoh bermata
satu yang dikenal dengan nama Demit Satu Mata,
di sisi lain pun tampak Selendang Badai bersama
Leak Parang dan Nyai Kubang Darah. Juga Dewi
Gita Dara tampil bersama Pendeta Agung Gane-
sha dari Pulau Kana.
Kelompok yang sedikit sibuk adalah ke-
lompoknya Rangkasok dan si Setan Sibuk dari
Perguruan Tengkorak Emas, karena si Setan Si-
buk jika bicara menggunakan isyarat tangan dan
diterjemahkan oleh Rangkasok. Mereka sedang
berhadapan dengan dua tokoh tua wanita yang
masing-masing berambut putih dan berwajah
sama, yaitu yang dikenal dengan nama Peri Kem-
bar. Di tempat itu, terdapat batu besar yang
tingginya sebatas lutut. Resi Gumarang naik ke
atas batu besar itu mewakili rombongannya, se-
mentara itu Shogun Kogawa memerintahkan Resi
Gumarang untuk turun dengan satu seruan. "Turun...!" Tapi Resi Gumarang hanya
tersenyum tenang. Shogun Kogawa segera dibujuk oleh Jeng-
got Biru agar mundur dan membiarkan Resi Gu-
marang di atas batu. Karena Jenggot Biru me-
nyangka bahwa Resi Gumarang itulah orang yang
mempunyai gagasan mempertemukan mereka di
bukit tersebut. Terlihat pula Putri Kumbang se-
dang bicara dengan Resi Panuluh dan Ki Tenung
Jagat. Sebelum Resi Gumarang bicara, ia sempat
melihat kehadiran Pandu Tawa bersama Sri Tand-
ing. Tapi Yoga dan Lili tidak kelihatan. Pandu Ta-wa segera temui kakeknya, Ki
Wejang Keramat yang juga sebagai gurunya itu. Mereka terlibat
pembicaraan kasak-kusuk sendiri, sedangkan Sri
Tanding pun segera berkasak-kusuk dengan gu-
runya; Ratu Candra Wulan yang berdiri di samp-
ing Nyai Mantera Dewi.
Beberapa saat kemudian, Resi Gumarang
berseru, "Saudara-saudaraku sebumi persilatan!"
Suara tersebut mempunyai getaran tenaga
dalam yang membuat semua orang diam dari per-
cakapannya dan memandang ke arah Resi Guma-
rang. Hening tercipta sejenak di bukit itu, kemu-
dian suara Resi Gumarang terdengar lagi berseru,
"Sebenarnya, siapa yang mempunyai gaga-
san mempertemukan kita di Bukit Tulang Iblis
ini"! Siapa yang mempunyai gagasan memilih seo-
rang Pendekar Maha Sakti dan menobatkan seba-
gai hakim di rimba persilatan kita ini"! Siapa"!"
Suara gemuruh bergaung mirip ratusan le-
bah. Mereka saling membicarakan siapa pencetus
acara tersebut. Siapa yang akan menentukan atu-
ran mainnya dalam pemilihan dan penobatan
Pendekar Maha Sakti, ternyata tak ada yang men-
getahuinya. "Jika tidak ada yang mengaku siapa yang
membuat acara ini, maka untuk apa kita ber-
kumpul di sini?" kata Resi Gumarang yang disahut oleh Resi Panuluh dengan
seruan, "Pasti ada!"
"Kaukah orangnya, Panuluh?"
"Bukan!"
"Lalu siapa"!"
"Akuuu...!" tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan bergema. Semua orang
memandang ke arah selatan. Dari kerumunan orang yang ada
di selatan itu, muncul seorang lelaki tua berpa-
kaian kuning model biksu, berkepala botak ten-
gah, rambut yang tumbuh di tepiannya sangat ti-
pis. Nyaris bisa dihitung dengan tangan. Usia le-
laki itu sangat tua, terlihat dari kulit tubuhnya yang sebagian masih tampak
mengelupas, sebagian lagi kelihatan kencang tanpa keriput, per-
tanda ia telah mengalami ganti kulit dalam ke-
tuaannya. Lelaki itu beralis, kumis dan jenggot serba
putih, tubuhnya kurus dan matanya cekung.
Bahkan bulu matanya pun tampak putih, me-
nandakan usianya jauh lebih tua dari Wong Sakti,
dan jauh lebih tua pula dari Ki Wejang Keramat.
Sementara itu, di sisi lain tampak Malaikat Ge-
lang Emas berdiri dengan mata lebar memandangi
orang kurus berpakaian kuning itu. Kejap beri-
kutnya terdengar suara Malaikat Gelang Emas
berseru kepada orang yang kini sudah ada di ten-
gah-tengah arena itu.
"Begawan Prana Syiwa...! Rupanya kau
masih hidup, Begawan"!"
Orang tersebut ternyata bernama Begawan
Prana Syiwa. Tak banyak yang mengetahuinya,
kecuali Malaikat Gelang Emas, Ki Wejang Kera-
mat, Resi Gumarang, dan Jenggot Biru. Rupanya
orang bernama Begawan Prana Syiwa adalah to-
koh sakti yang sudah lama dilupakan oleh mere-
ka dan sudah dianggap mati oleh Ki Wejang Ke-
ramat maupun mereka yang mengenai tokoh ter-
sebut. Begawan Prana Syiwa mengebutkan kain
pakaiannya yang tersisa di pinggang. Wuuttt...!
Dan terpancarlah sinar ungu menyilaukan dalam
beberapa kejap, lalu sinar ungu hilang dan mata
mereka menjadi terperanjat melihat sesuatu telah
tertancap di tanah. Benda yang tertancap di ta-
nah itu tak lain adalah sebuah pedang yang me-
mukau mata tiap orang, mengejutkan bagi yang
mengetahuinya. Pedang itu tertancap di tanah separo ba-
gian. Gagangnya terbuat dari batu giok warna hi-
jau kecoklatan. Mata pedangnya terbuat dari batu
warna ungu bening. Di antara mata pedang yang
ungu dengan gagang yang hijau terdapat batu
pemisah berwarna merah delima. Pedang itu sa-
mar-samar memancarkan warna ungu, dan tanah
yang digunakan untuk menancapkan pedang itu
tampak berwarna ungu selebar dua jengkal seke-
lilingnya. Ki Wejang Keramat menggumam, "Pedang
Pusaka Suralaya"!"
Pandu Tawa bertanya pelan, "Pedang pusa-
kanya siapa itu, Eyang?"
"Pedang Pusaka Suralaya adalah pedang
pusaka Dewa Penjaga Suralaya! Suralaya adalah
tempat para dewa bersemayam."
"Saya tahu," kata Pandu Tawa. "Tapi saya tidak tahu apa kehebatan Pedang Pusaka
Suralaya itu"!"
"Kita dengarkan saja kata-kata Begawan
Prana Syiwa itu!"
Terdengar Begawan Prana Syiwa berseru
dengan suaranya yang masih lantang dan tegar,
setelah ia dipersilakan oleh Resi Gumarang untuk
naik ke atas batu yang tadi digunakan berdiri Re-
si Gumarang itu.
"Pedang ini adalah pedang pusaka para
dewa! Dulu aku yang memegang pedang pusaka
ini. Sekarang waktuku telah tiba untuk kembali
ke alam kelanggengan, sebuah alam abadi yang
dipersiapkan untukku! Aku harus mewariskan
pedang ini kepada manusia di bumi, yang kelak
akan menjadi hakim atas segala perkara, dan
berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti.
Tetapi kepada siapa kuberikan pedang ini" Aku
tidak tahu dengan pasti. Karena dewata tidak
menunjukkan padaku siapa pewaris pedang ini.
Karenanya pula aku menghendaki kalian ber-
kumpul di sini untuk menentukan siapa di antara
kalian yang berhak mewarisi pedang pusaka ini!
Caranya, barang siapa bisa mencabut pedang pu-
saka ini, maka dialah orang yang berhak mewarisi
Pedang Pusaka Suralaya dan menyandang gelar
Pendekar Maha Sakti!"
"Aku bisa!" seru Malaikat Gelang Emas.
"Silakan mencabutnya! Tapi aku yakin, kau
tak akan bisa menyentuh pedang ini, sebab gu-
rumu dulu pernah mencobanya tadi tidak berha-
sil. Padahal aku adalah eyang gurumu, Malaikat
Gelang Emas!"
"Wooow...!" banyak mulut yang melongo
kagum. Mereka dapat membayangkan jika Bega-
wan Prana Syiwa adalah eyang dari gurunya Ma-
laikat Gelang Emas, lantas berapa usia orang itu
sekarang ini"! Barangkali karena memegang Pe-
dang Pusaka Suralaya itulah maka Begawan Pra-
na Syiwa dikarunia umur panjang.
Apa yang diduga oleh Begawan Prana Syi-
wa itu memang benar. Malaikat Gelang Emas ter-
pental bahkan sampai terguling-guling menuruni
lereng bukit karena mendekati pedang yang ter-
tancap di tanah itu. Demikian pula orang lain,
begitu mendekati pedang tersebut dalam jarak sa-
tu jangkauan, tahu-tahu terpental keras bahkan
sampai ada yang terbang menyangkut di dahan
pohon. Secara ramai-ramai mereka menyergap pe-
dang tersebut. Jumlah yang menyergap lebih dari
sepuluh orang. Tapi mereka terpental bersama,
buyar seketika dan terguling-guling tak tentu
arah. Ada juga yang mati karena tubuhnya ter-
hempas dan tertancap potongan dahan hingga
tembus dari dada sampai ke punggung.


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segala tenaga dalam dikerahkan dengan
niat untuk menghancurkan pedang tersebut. Te-
tapi tenaga dalam apa pun dan milik siapa pun
akan memantul balik dan menyerang pelakunya.
Salah satu korban yang sampai tewas karena ter-
kena tenaga dalamnya sendiri adalah Sumo Loda,
dari Perguruan Lawa Murka.
Pihak rombongan Jenggot Biru juga ter-
lempar begitu kerasnya dan tak ada yang mampu
menyentuh pedang tersebut. Jika menyentuh saja
sangat sulit, apalagi mencabut pedang tersebut,
jelas lebih sulit. Ki Wejang Keramat menahan tan-
gan Pandu Tawa ketika Pandu Tawa ingin tampil
untuk mencoba mendekati pedang itu.
"Jangan lakukan. Aku yakin ada orang ter-
sendiri yang mampu menyentuhnya, yaitu orang
yang menjadi jodoh dari pedang tersebut dan ber-
kenan di hati para dewa di Suralaya."
Resi Gumarang pun tak berani mendeka-
tinya. Juga Nyai Mantera Dewi, Ratu Candra Wu-
lan dan yang lainnya. Jumlah pengunjung yang
hadir di bukit itu menjadi sedikit karena yang lain bagai dilempar-lemparkan ke
berbagai arah hingga jatuh terkapar di kaki bukit.
Pada saat itu, dua ekor burung rajawali
terbang rendah di atas Bukit Tulang Iblis. Suara
kedua burung berbulu putih dan merah itu saling
bersahutan. "Keaaak...! Keaaak...!"
"Kaaaakk...! Kaaakkk...!"
Semua mata memandang ke atas. Semua
kepala mendongak perhatikan dua burung raja-
wali tersebut. Penunggangnya sudah tak asing la-
gi bagi mereka, yaitu Yoga dan Lili. Tetapi mereka mencibir dan sebagian tidak
memiliki kepastian,
mampukah salah satu dari kedua pendekar raja-
wali itu mencabut Pedang Pusaka Suralaya"
Kedua pendekar rajawali turun dari pung-
gung burung besar. Tak berapa lama muncul si
Tua Usil yang lebih baik berlari mengikuti burung besar itu ketimbang ikut
membonceng salah satu
dari mereka. Lili dan Yoga sama-sama terperangah meli-
hat pedang tersebut, lalu ia berlutut satu kaki
dan memberi hormat kepada Begawan Prana Syi-
wa. Terdengar ucapan Begawan Prana Syiwa me-
nyapanya. "Selamat datang murid Dewa Geledek dan
Dewi Langit Perak! Apakah kalian berminat untuk
mencoba mencabut Pedang Pusaka Suralaya
ini"!" Yoga yang menjawab, "Tidak, Eyang! Kami datang hanya ingin menyaksikan
penobatan tersebut dan mengetahui siapa orang yang menda-
pat gelar Pendekar Maha Sakti itu."
"Belum ada!" kata Begawan Prana Syiwa.
"Jika kalian ingin mencobanya, masih ada waktu tersisa cukup banyak untuk
kalian!" "Terima kasih, Eyang. Kami hanya ingin
menjadi penonton saja!"
Lili berkata, "Kami serahkan kepada yang
lain saja, Eyang! Dan kami mohon mundur di
tempat penonton!"
Tiba-tiba, ketika Lili berdiri, sebuah seran-
gan bergelombang panas menghantam punggung
Lili dengan kuatnya. Pukulan itu menyemburkan
asap kuning dan datang dari Malaikat Gelang
Emas. Wuuuttt...! Pendekar Rajawali Putih berba-
lik dengan cepat dan sentakkan kedua tangannya
untuk menahan serangan tersebut. Duuubh...!
Blaaarrr...! Dentuman hebat terjadi mengguncang bu-
kit tersebut. Pendekar Rajawali Putih terpental
dan jatuh berguling-guling di tanah. Sementara
itu, Malaikat Gelang Emas yang menaruh dendam
besar kepada kedua pendekar itu segera meng-
hantamkan pukulan dahsyatnya dari jarak tujuh
langkah dari Yoga. Pukulan itu tak bisa dihindari Yoga sehingga Yoga pun
terpental jatuh berguling-guling hampir menindih tubuh Lili.
Tentu saja semua orang terkejut dan Be-
gawan Prana Syiwa berseru, "Ini bukan arena pertarungan dan balas dendam! Tahan
amarah mu, Malaikat Gelang Emas!"
Rupanya Malaikat Gelang Emas tidak hi-
raukan seruan tersebut. Ia segera melompat dan
maju menyerang kedua pendekar yang jatuh di
tengah arena. Lili dan Yoga jatuh tepat di samping kanan kiri Pedang Pusaka
Suralaya. Dengan gerakan di luar kesadaran karena terancam bahaya,
keduanya sama-sama mencabut Pedang Pusaka
Suralaya dan diacungkan ke depan bagaikan be-
rebut pedang. Zlaasss...! Wuuttt...!
Kini pedang digenggam oleh dua tangan,
yaitu tangan Lili dan tangan Yoga. Pada saat itu, mata pedang yang berwarna ungu
itu memancarkan cahaya ungu bagai selarik sinar satu jurusan.
Zlaapp...! "Heaaat...!" Malaikat Gelang Emas melompat sejauh-jauhnya, sinar ungu itu
menghantam pohon dan pohon itu menyala ungu, untuk ke-
mudian lenyap tak berbekas, bahkan enam pohon
yang sejajar dengan pohon tersebut ikut lenyap
tanpa bekas. Sungguh mengagumkan kedahsya-
tan pedang tersebut. Sementara itu, Wong Sakti
berseru, "Mereka berhasil mencabut Pedang Pusaka
Suralaya! Berarti merekalah yang berhak me-
nyandang gelar Pendekar Maha Sakti!"
Semua orang terkejut menyadari hal itu,
termasuk Ki Wejang Keramat, Resi Gumarang,
bahkan Begawan Prana Syiwa sendiri. Seruan
Wong Sakti disambut oleh seruan Begawan Prana
Syiwa, "Benar! Ternyata mereka berdua yang menjadi pewaris Pedang Pusaka
Suralaya!"
Mendengar ucapan itu, Malaikat Gelang
Emas menjadi tegang, lalu cepat-cepat larikan diri dengan gunakan jurus 'Bayang
Siluman'-nya, yang bisa menembus pohon dan batu. Sedangkan
Yoga dan Lili sama-sama saling pandang, tertegun
bengong dengan masih tak sadar memegangi pe-
dang bergagang batu giok hijau itu.
"Kalian berhak menjadi hakim dan raja di
dunia persilatan!" kata Begawan Prana Syiwa.
"Terima kasih, Eyang! Kami kembalikan
pedang ini, karena kami tak sadar telah menca-
butnya dalam keadaan terdesak!" kata Lili sambil
berlutut dan menyerahkan pedang itu dengan dua
tangan yang diangkat ke atas kepala, sedangkan
Pendekar Rajawali Merah berlutut dl samping,
agak ke belakang dari tempat berlutut Pendekar
Rajawali Putih. Sikap mereka kembali mencen-
gangkan orang-orang sakti yang hadir di sekelil-
ing tempat itu, Pedang yang diserahkan Lili belum diambil oleh Begawan Prana
Syiwa. Sang begawan
justru berkata,
"Pertahankan pusaka itu, dan rawatlah
baik-baik Aku tak berani mengambilnya kemba-
li...." Bllaabb...! Wuusss...!
Begawan Prana Syiwa lenyap bagaikan
moksa. Hanya ada sisa asap tipis yang mengepul
di udara lalu sirna dihembus angin bukit. Lili dan Yoga sama-sama tertegun
bengong dan tak tahu
apa yang harus mereka lakukan terhadap Pedang
Pusaka Suralaya itu. Haruskah mereka menyan-
dang gelar tersebut dan menerima jabatan seba-
gai hakim dan raja di rimba persilatan" Sementa-
ra itu, diam-diam Putri Kumbang memutar otak,
mengatur siasat untuk merebut Pedang Pusaka
Suralaya itu. SELESAI Segera menyusul:
TENGKORAK HITAM
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pedang Berkarat Pena Beraksara 11 Pendekar Sakti Welas Asih Jin Sin Taihiap Karya Rajakelana Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 3
^