Pencarian

Tengkorak Hitam 1

Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam Bagian 1


TENGKORAK HITAM
Serial Silat JODOH RAJAWALI Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Tengkorak Hitam
112 hal. https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 DESA Kekanjengan tak jauh dari pusat pemerin-
tahan kadipaten Tambaksari. Sebagian besar pendu-
duk Desa Kekanjengan adalah para pegawai istana,
dari pegawai teras sampai perawat taman di kadipaten
tersebut. Belakangan ini Desa Kekanjengan jika malam be-
rubah menjadi kuburan yang menyeramkan. Pasalnya,
setiap malam selalu saja terjadi pembunuhan yang
menimbulkan jerit lengking memecah sunyinya malam,
mendirikan bulu roma siapa pun yang mendengarnya.
Bukan saja seorang lelaki yang menjadi korban
pembunuhan, melainkan seorang perempuan pun bisa
menjadi korban. Bahkan anak berusia remaja, atau
gadis perawan, juga menjadi korban pembunuhan keji.
Konon pembunuhan itu dilakukan oleh seseorang yang
bergelar Tengkorak Hitam.
Seseorang yang pernah memergoki pelaku pembu-
nuhan itu mengetahui ciri-ciri si pelakunya; berpa-
kaian serba hitam dengan kain penutup kepala yang
lurus sampai ke bawah, mirip pakaian yang dikenakan
oleh El Maut. Kabarnya, orang berpakaian El Maut itu
juga memegang tongkat berujung sabit runcing me-
lengkung tajam, yang oleh orang-orang dikenal dengan
nama Pusaka El Maut. Orang tersebut wajahnya me-
nyeramkan, tulang-belulang tanpa daging dan kulit
dengan mata cekungnya yang merah dan tulangnya
yang hitam. Itulah sebabnya orang tersebut dikenal
dengan nama Tengkorak Hitam.
Bila malam sepi tiba, seringkali penduduk tersen-
tak bangun dari tidurnya mendengar suara jeritan
yang menggema ke mana-mana. Lalu mereka berbon-
dong-bondong datang ke rumah tersebut dan mene-
mukan salah seorang anggota keluarga terkapar ber-
mandi darah dengan leher robek hampir putus, atau
dada robek sampai perut atau punggung bolong ter-
tancap senjata tajam yang mengerikan.
Itulah sebabnya sebuah kedai yang terlaris di desa
itu terpaksa tak berani buka sampai larut malam. Se-
dikit lewat petang, kedai tersebut sudah ditutup oleh pemiliknya, karena ia tak
mau kedatangan Tengkorak
Hitam yang siap mencabut nyawa siapa saja yang di-
temuinya pada waktu malam.
Keadaan yang menegangkan itulah yang membuat
Ki Bantarsuko, pemilik kedai tersebut yang berusia li-ma puluh tahun lebih
terpaksa menegur seorang pen-
dekar tampan berpakaian putih dengan selempang
kain penutup dada dari bulu beruang warna coklat.
Pemuda tersebut hanya mempunyai satu tangan, yaitu
tangan kanan saja. Tetapi jika orang tidak memperha-
tikan baik-baik, maka orang akan sangka pendekar
tampan memikat hati wanita itu adalah orang bertan-
gan dua. Karena ia mengenakan pakaian berlengan
panjang, maka lengan panjang bajunya itu sering di-
anggap sebagai tangan oleh orang yang memandang-
nya sepintas. Ki Bantarsuko terpaksa mendekati pemuda terse-
but yang tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali
Merah, lalu KI Bantarsuko berkata,
"Tuan, hari sudah hampir petang."
"Ya. Aku tahu. Tapi aku belum selesai habiskan
makananku. Aku pun masih ingin beristirahat bebera-
pa saat, Pak Tua."
"Tapi... tapi kami sudah mau tutup, Tuan."
"O, kalau begitu, tunggu sebentar lagi. Aku harus habiskan makananku ini," kata
Pendekar Rajawali Merah. "Baik. Silakan dihabiskan dulu. Tapi sebelumnya
saya mohon maaf atas teguran saya ini."
"Tak apa-apa. Aku tak tersinggung, Pak Tua."
"Sebenarnya Tuan muda ingin pergi ke mana?"
"Mencari seorang sahabat lama yang bernama
Anggita, putri Lurah Prawiba."
"O, lurah yang tewas karena bunuh diri itu?"
"Benar. Agaknya kau mengenalnya, Pak Tua"!"
"Ya, saya memang mengenalnya. Tapi Den Prawi-
ba... maksud saya keluarga almarhum Lurah Prawiba
sudah mengungsi di Desa Kujang, di balik gunung se-
belah wetan sana, Tuan."
"Mengungsi?" Yoga mulai curiga.
"Ya. Sebab... sebab memang begitulah warga desa
kami ini. Sudah banyak yang mengungsi menjauhi ma-
lapetaka yang sedang melanda desa kami, Tuan."
"Hmmm...," Yoga manggut-manggut. "Jauhkah de-sa tempat keluarga Lurah Prawiba
mengungsi itu?"
"Ya, kurang lebihnya setengah hari perjalanan,
Tuan." "Jika kau berangkat pada malam ini juga, bisakah aku tiba di sana esok paginya?"
"Bisa, tapi... tapi...." Ki Bantarsuko memandang sekeliling. Kedainya telah
kosong pembeli. Hanya ada
Pendekar Rajawali Merah yang ada di situ, mengha-
biskan sepoci teh hangat dan makanan dari bahan ke-
tan dan kelapa.
Melihat wajah Ki Bantarsuko diliputi kecemasan.
Yoga segera bertanya dengan sikap sedikit mendesak,
"Sebenarnya ada apa, Pak Tua" Kau kelihatannya
cemas sekali sejak tadi. Apa yang mencemaskan hati-
mu, Pak Tua" Katakanlah!"
"Anu... saya hanya ingin mengatakan agar Tuan
jangan pergi malam hari. Sangat berbahaya pergi ma-
lam hari melintasi wilayah desa kami. Bisa-bisa Tuan muda menjadi korban seperti
yang lain."
"Korban..." Korban bagaimana?"
"Hmmm... eeh..., saya tidak berani menceritakan-
nya, Tuan. Sebaiknya, lekas habiskan hidangan tuan
itu." Ki Bantarsuko meninggalkan Yoga, ia pergi ke dapur dan menghilang sebentar
di balik pintu dapur ke-
dainya itu. Sedangkan Yoga menghabiskan makannya
dengan hati diliputi tanda tanya besar dan membuat-
nya sangat penasaran.
Yoga bermaksud menemui Anggita atau Walet
Gading, karena kabarnya Anggita adalah saudara se-
pupu dari Walet Gading. Sebenarnya yang sangat ingin
ditemui Yoga adalah Walet Gading, karena Walet Gad-
ing murid dari Ki Pamungkas yang menjadi guru dan
ketua Perguruan Gerbang Bumi.
Kalau saja Perguruan Gerbang Bumi itu tidak di-
bubarkan, sudah tentu Yoga tidak sulit untuk mencari
dan menemui Walet Gading. Tapi karena Perguruan
Gerbang Bumi dibubarkan karena tidak mempunyai
seorang ketua, di mana ketua mereka sudah meninggal
akibat pertarungannya dengan Resi Gutama, maka
Walet Gading pun sukar ditemuinya. Kabar terakhir
mengatakan, bahwa Walet Gading sekarang tinggal
bersama keluarga sepupunya, yaitu Anggita. Yoga pun
cukup kenal baik dengan Anggita, (Dalam serial Jodoh
Rajawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").
Sebetulnya kalau saja Tua Usil tidak menderita
sakit aneh. Yoga tidak akan mencari Anggita atau Wa-
let Gading. Saat itu, Tua Usil sedang sakit. Badannya panas tanpa sebab. Pada
malam hari ia sering mengigau dengan suara berubah menjadi tua. Suara terse-
but belum pernah didengar baik oleh Yoga maupun Li-
li, bahkan Bocah Bodoh tidak mengenali suara terse-
but. Dalam igauannya, Tua Usil selalu menyebut-
nyebut Pusaka Hantu Jagal, yaitu sebuah pisau pusa-
ka yang diperolehnya berkat pertemuan Tua Usil den-
gan Ki Pamungkas saat Ki Pamungkas menjelang ajal.
Dalam celoteh igauan bersuara tua, yang diduga ada-
lah suara Ki Pamungkas, Tua Usil selalu bicara ten-
tang Batu Delima Sutra yang harus ditempelkan seba-
gai penghias sarung emas Pusaka Pisau Hantu Jagal
itu. Sedangkan mereka tidak tahu seperti apa Batu De-
lima Sutra itu dan di mana mereka bisa memperoleh-
nya. Karenanya, Yoga ditugaskan oleh Lili, yang men-
jadi guru angkat dan sekaligus kekasihnya itu, untuk
menemui Walet Gading. Sebagai bekas murid Ki Pa-
mungkas, diharapkan Walet Gading dapat memberita-
hu apakah Batu Delima Sutra itu dan di mana bisa
mereka temukan.
Yoga ingin ceritakan keadaan Tua Usil yang selalu
mengigau dengan suara tuanya Ki Pamungkas terse-
but. Untuk menghindari kegaduhan masyarakat desa,
Yoga sengaja pergi ke desa asal Anggita dengan berja-
lan kaki, tidak menunggang burung Rajawali Merah-
nya. Sebab jika mengendarai burung besar itu, maka
ia akan menjadi pusat perhatian masyarakat desa dan
bisa dianggap menjadi biang kekacauan. Sebab tidak
semua orang berani dekati burung besarnya Yoga itu.
Pada umumnya mereka justru lari tunggang langgang
dengan ketakutan jika burung besar itu hinggap tak
jauh dari mereka.
Tetapi ketika Yoga sempatkan diri singgah di kedai
itu, ia bahkan menemukan suatu masalah yang mem-
buatnya penasaran. Bukan karena pindahnya Anggita,
melainkan istilah mengungsi, sungguh merupakan isti-
lah yang bersifat berbahaya menurut anggapan Yoga.
Dan ternyata sikap Ki Bantarsuko pun menampakkan
adanya bahaya yang mencemaskan hati orang tua ter-
sebut. Yoga tertarik untuk selidiki sesuatu yang men-
cemaskan Ki Bantarsuko itu.
Ketika Ki Bantarsuko muncul dari dapur bersama
anak gadisnya yang berkulit hitam manis berkebaya
hijau itu. Yoga melambaikan tangan kepada Ki Bantar-
suko. Lelaki berambut abu-abu karena bercampur
uban itu segera mendekati Yoga, sementara Sulastri,
anak gadis Ki Bantarsuko yang berusia sekitar dua pu-
luh tahun itu mengemasi barang-barang, menutup
pintu dan jendela lebar sebelah kiri kedai.
"Sudah selesai makannya, Tuan?" tanya Ki Bantarsuko, bersikap sopan dan
menghormat. "Sekalipun belum, mungkin memang harus segera
di sudahi saja. Aku ingin teruskan perjalananku men-
cari Anggita."
"Tapi... tapi hari sudah petang, Tuan."
"Memang. Habis, aku harus bermalam di mana"
Apakah di kedaimu ini menyediakan kamar pengina-
pan" Jika ada kamar yang bisa kusewa, biarlah akan
kusewa untuk satu malam saja!"
"Hmmm...," Ki Bantarsuko berpikir sambil menggumam lirih, kejap berikutnya ia
menyambung kata,
"Ada, Tuan. Ada satu kamar yang biasanya kami se-wakan untuk para tamu yang
membutuhkan. Jika tak
ada yang menyewa, sering kami gunakan sebagai gu-
dang penyimpanan barang-barang dapur. Jika Tuan
menginginkannya, biar saya suruh Sulastri member-
sihkan dan menyiapkan kamar tersebut."
"Baiklah, aku akan bermalam di sini. Siapkanlah
kamar untukku!"
Ki Bantarsuko bergegas temui Sulastri. Ia bicara
pelan dengan anak gadisnya. Sulastri tersenyum-
senyum melirik ke arah Yoga. Rupanya gadis itu men-
jadi girang hatinya mendengar tamu tampannya ingin
bermalam di kedainya. Maka dengan penuh semangat
Sulastri cepat-cepat membersihkan kamar tersebut.
Pada waktu itu, seorang tamu perempuan muncul
dan langsung masuk ke kedai itu. Perempuan tersebut
segera ditemui oleh Ki Bantarsuko. Yoga mendengar
suara Ki Bantarsuko berkata kepada perempuan beru-
sia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Maaf, Nona... kedai kami sudah mau tutup."
"Aku hanya sebentar," jawab gadis berpakaian merah dengan jubah hijau tua itu.
"Kami sudah tidak menyediakan masakan lagi,
Nona." "Aku hanya mau minum saja. Kau punya tuak"
Beri aku tuak dua cangkir!"
"Hmm... anu, Nona... begini...."
"Beri aku dua cangkir tuak!" potong gadis itu dengan nada sedikit menyentak. Ki
Bantarsuko ketakutan.
Gadis itu selain berhidung mancung dan berwajah
cantik dalam bentuk bulat telur, tapi mempunyai mata
bertepian hitam dan berkesan galak. Gadis itu tampak
menyelipkan pedang di pinggang. Ketika ia duduk, pe-
dangnya dilepas dari pinggang dan diletakkan di atas
meja depannya. Kini Ki Bantarsuko menyiapkan pesanan gadis itu,
mata Yoga sempat meliriknya. Karena gadis itu secara
tak langsung duduk berhadap-hadapan dengan Yoga,
walaupun dalam meja berbeda dan jaraknya sekitar
tujuh langkah kurang, mau tak mau mereka dapat sal-
ing pandang secara bebas. Agaknya gadis itu pun ta-
hu, bahwa pemuda tampan yang diperhatikan itu bu-
kan pemuda sembarangan, terbukti pedang yang dis-
andang di punggung Yoga menampakkan sebentuk pe-
dang yang sering dibicarakan para tokoh dunia persilatan. Pedang berwarna merah
tembaga dengan gagang
berhias dua kepala burung saling bertolak belakang itu diperhatikan terus.
Tiba-tiba Yoga menemukan cangkir tehnya yang


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semula berisi tinggal separo itu, sekarang menjadi kering kerontang, tanpa
setetes air teh. Hal itu membuat Yoga kaget dan memperhatikan cangkir dengan
perasaan heran. Gadis itu tersenyum, dan Yoga mulai curi-
ga kepada gadis tersebut.
Ki Bantarsuko memberikan apa yang dipesan ga-
dis itu, dua cangkir tuak. Tapi gadis itu masih pan-
dangi Yoga secara sembunyi-sembunyi. Dan tiba-tiba
cangkir dari keramik kasar itu pecah secara menda-
dak. Praakkk...! Yoga terkejut, gadis itu terdengar tertawa mengikik ditahan.
Kemudian Yoga menarik napas
dan bersikap tenang. Ia memberitahu kepada Ki Ban-
tarsuko bahwa cangkirnya pecah dan bersedia meng-
ganti dengan harga sesuai.
"Apakah perlu saya siapkan secangkir teh lagi, Tuan?"
"Ya," jawab Yoga. "Saya minta satu poci teh!" sam-bungnya.
"Baik. Dan... hmmm... kamarnya sudah siap di-
tempati, Tuan."
"Aku akan segera ke sana! Tapi aku ingin minum
teh dulu disini!"
"Baik. Sebentar, saya ambilkan pesanan Tuan ta-
di." Ki Bantarsuko pergi ke dapur, sementara itu gadis berjubah hijau dan
berambut disanggul rapi itu masih
tersenyum-senyum sambil sesekali melirik ke arah Yo-
ga. Pemuda itu hanya berkata dalam hati,
"Dia telah menggangguku. Dia pamerkan keheba-
tan ilmunya yang bisa mengirimkan tenaga dalam le-
wat pandangan mata. Dia buktikan kemampuannya
menyedot air teh dan memecahkan cangkirnya.
Hmmm...! Baik. Dia mengajak adu kehebatan ilmu ru-
panya." Yoga melihat gadis itu meneguk tuak dari cangkir
pertama. Satu cangkir diteguknya habis. Setelah itu ia menghembuskan napas lewat
mulut, melirik Yoga sebentar dan tersenyum tipis bernada menantang. Pen-
dekar Rajawali Merah diam saja.
Tetapi beberapa saat kemudian, gadis itu terkejut
ketika mau meneguk cangkir yang kedua. Ia melihat
cangkir pertama yang sudah kosong itu menjadi berisi
kembali dengan penuh. Ia melirik Yoga, tapi Yoga ber-
lagak tidak memperhatikannya.
Tuak di cangkir kedua ditenggaknya lagi. Habis
seketika, karena ukuran cangkirnya memang kecil. Yo-
ga masih tidak menampakkan sikap tertarik untuk
memperhatikan gadis itu. Ketika gadis itu ingin me-
nenggak tuak yang muncul lagi di cangkir pertama.
Yoga sempatkan melirik sebentar. Ia tersenyum disem-
bunyikan ketika gadis itu menenggak tuak di cangkir
pertama tadi. Gadis itu menjadi terkejut melihat kedua cangkir
telah terisi tuak lagi. Matanya mulai menyipit dalam
memandang Yoga. Hatinya mulai berkata dalam nada
dongkol, "Sial! Pemuda tampan itu pasti telah mengganggu-
ku dengan mengisi tuak ke dalam cangkir ku ini! Tak
ada salahnya jika... jika... oh, kepalaku menjadi pusing sekali. Pasti gara-gara
tuak pasangannya itu. Kurang
ajar dia!"
Ki Bantarsuko datang menyerahkan pesanan Yo-
ga, menghidangkan sepoci teh panas dengan tempat
gula batu dalam cangkir kaleng, dan satu cangkir ke-
ramik kasar yang baru. Setelah itu, Ki Bantarsuko pun pergi meninggalkan Yoga.
Mata Yoga sempat memandang gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Tan-
gannya meraba-raba cangkir di depannya.
"Kurang ajar betul dia," pikir gadis itu. "Dia buat
minuman itu membutakan mataku!"
Yoga tersenyum dengan bebas tanpa takut dilihat
lagi, sebab gadis itu dalam keadaan buta, walau tidak berapa lama. Sebentar saja
akan menjadi pulih, karena kebutaan itu hanya sekadar jurus penutup mata lawan
yang sewaktu-waktu bisa digunakan Yoga jika ingin
membuat lawan tak melihat dalam beberapa hitungan.
Setelah itu pandangan mata lawan akan menjadi te-
rang kembali dan rasa pusingnya akan hilang.
Ternyata memang benar, gadis itu pun mulai bisa
memandang dengan mata terang, kepalanya tidak te-
rasa pusing lagi, tapi tiba-tiba dia terkejut. Mulutnya terperangah melihat Yoga
sudah duduk di depannya.
"Gila! Tak kudengar suara langkah kaki dan keda-
tangannya. Tahu-tahu si tampan itu sudah duduk di
depanku"!" kata gadis itu dalam hati.
Senyum Yoga mekar ramah di depan gadis itu,
membuat sang gadis kelabakan, malu, kikuk, dan ber-
debar-debar, serta dihiasi rasa dongkol, merasa dipermainkan dengan tuak
bayangan tadi. Untuk menutupi
kekikukan sikapnya, gadis itu pasang wajah angkuh
dan segera bertanya dengan nada sinis.
"Siapa yang suruh kau duduk di depanku, hah"!"
"Kau yang menyuruhnya!" jawab Yoga.
"Aku tidak bicara apa-apa denganmu sejak tadi."
"Mata hatimu yang bicara dan aku mendengar-
nya." Gadis itu semakin tersipu dan salah tingkah. Namun ia berusaha melawan
perasaannya itu dengan si-
kap angkuh yang ditonjolkan lagi.
"Siapa dirimu sebenarnya, sehingga berani-
beraninya duduk di depan Roro Intan, hah?"
"Kau sudah mengetahui siapa aku, mengapa kau
menanyakannya?"
Gadis itu semakin jengkel, akhirnya menghem-
paskan napas dan berkata, "Ya, aku tahu, kau yang berjuluk Pendekar Rajawali
Merah, bernama Yoga, murid dari Dewa Geledek! Ciri-cirimu sudah kuketahui
dari cerita beberapa orang yang pernah melihatmu!
Tapi aku tidak tahu apa keperluanmu menemuiku di
sini!" "Aku tidak punya keperluan apa-apa, hanya ingin tahu namamu saja, Roro
Intan! Selamat malam!"
Yoga bergegas pergi dan menyuruh Pak Tua pemi-
lik kedai membawakan minumannya ke kamar. Tiba-
tiba Roro Intan berseru,
"Tunggu sebentar, Pendekar Rajawali Merah! Aku
ingin bicara denganmu!" ia justru menyusul Yoga yang sudah bersiap ke kamarnya
melalui jalan dapur. Yoga
sengaja tidak menghampirinya, sehingga dengan begitu
Roro Intan-lah yang seolah-olah merasa membutuhkan
Yoga. "Perlu kau ketahui, mungkin kau juga perlu men-
getahuinya, Pak Tua, bahwa aku disewa oleh Ki Lurah
Wikuto Legawa untuk menjaga desa ini dan menga-
mankannya dari gangguan pembunuh keji yang berge-
lar Tengkorak Hitam!"
"Kurasa itu urusanmu, Roro Intan. Urusanku ada-
lah beristirahat di kamar sambil menikmati teh manis
hangat ini!" kata Yoga.
"Kuharap malam ini jangan ada yang keluar ru-
mah, termasuk kau, pendekar tampan! Siapa pun yang
berkelebat malam ini di luar rumah, jika kupergoki,
akan kuhajar dia separah mungkin, karena kuanggap
orangnya Tengkorak Hitam!"
"Baik, saya mengerti, Nona!" jawab Ki Bantarsuko.
"Camkan peringatanku ini, Yoga!"
"Mudah-mudahan aku tidak lupa dan memba-
wanya tidur dengan nyenyak."
Yoga segera pergi ke kamar yang sudah disiapkan.
Di sana ada Sulastri yang sedang membersihkan meja
dari debu. Ia lupa membersihkannya tadi. Ketika Yoga
masuk ke kamar itu, Sulastri tersipu-sipu lalu segera pergi dengan sikap sopan
menghormat. Yoga sempat
menyapa, "Sulastri...."
Langkah Sulastri berhenti, tapi ia tidak berbalik
memandang Yoga. Ia hanya berhenti dan menengok ke
samping kiri, sedangkan Yoga pun segera berkata,
"Siapa Roro Intan itu?"
"Saya tidak tahu, Tuan."
"Siapa Tengkorak Hitam itu?"
Sulastri kaget dan menjadi takut. Ia segera mena-
tap Yoga dengan berbalik badan. Mata gadis itu tam-
pak lebar karena takut.
"Jangan takut. Aku akan melindungimu. Aku
hanya ingin mendengar cerita tentang Tengkorak Hi-
tam. Apakah kau tahu soal itu?"
Sulastri ingin menggeleng, tapi sukar sekali ha-
tinya ditentang, akhirnya ia mengangguk dengan mu-
lut berbibir ranum itu terperangah.
"Kau mau menceritakannya sedikit tentang Teng-
korak Hitam?"
Sekali lagi Sulastri mengangguk, sehingga Yoga
berpikir, jika Sulastri tahu banyak tentang Tengkorak Hitam, lantas siapa
sebenarnya Sulastri itu" Apakah
semua penduduk desa tersebut juga tahu banyak ten-
tang Tengkorak Hitam sebanyak yang diketahui Sula-
stri. *** 2 MALAM yang sepi membuat Yoga sulit tidur. Ma-
lam itu benak Yoga dibayang-bayangi cerita dari Sula-
stri tentang Tengkorak Hitam. Sebuah cerita yang me-
nyeramkan telah dituturkan oleh Sulastri, bahwa
Tengkorak Hitam adalah pembunuh berdarah dingin
yang tak pernah mau mengenal belas kasihan. Ibunya
Sulastri sendiri mati beberapa bulan yang lalu karena dibunuh oleh Tengkorak
Hitam. Penduduk desa selama tiga bulan lebih habis dibunuh oleh Tengkorak Hi-
tam satu persatu.
Menurut Sulastri, Lurah Wikuto Legawa sudah
menyewa banyak para jawara untuk mengamankan
desanya, namun sampai detik itu, setiap orang sewaan
Lurah Wikuto Legawa itu selalu mat! di tangan Tengko-
rak Hitam. Dengan penjelasan itu timbul pemikiran
dalam benak Yoga.
"Kalau benar Roro Intan disewa Ki Lurah Wikuto
Legawa untuk menjaga keamanan desa, maka sudah
pasti Roro Intan cepat atau lambat akan menjadi kor-
ban Tengkorak Hitam! Tapi gadis itu tampaknya cukup
berani dalam bertindak. Mungkinkah karena dia mera-
sa punya ilmu cukup tinggi hingga merasa mampu me-
lawan Tengkorak Hitam"!"
Sepinya malam tiba-tiba dirobek oleh suara jeritan
yang menyayat hati. Jeritan itu datang dari suara seorang perempuan, letaknya
tak berapa jauh dari kedai
Ki Bantarsuko. Maka, Yoga pun cepat bangkit dari re-
bahannya. Pedang disandang di punggung dan ia ke-
luar dari kamarnya. Namun ia segera dihadang oleh Ki
Bantarsuko yang berwajah tegang dan berkata,
"Jangan keluar, Tuan! Jangan keluar!"
"Aku mendengar suara jeritan, Ki Bantarsuko!"
"Ya. Memang benar. Tapi jangan keluar sekarang.
Tunggu beberapa saat. Sekarang Tengkorak Hitam
pasti sedang dalam pelariannya. Jika ia memergoki
Tuan, nanti Tuan menjadi korban berikutnya!"
Barangkali Ki Bantarsuko belum mengetahui ke-
hebatan ilmu Yoga, sehingga ia sangat mencemaskan
tamunya jika keluar secepat itu. la tidak ingin ta-
munya kepergok oleh Tengkorak Hitam dan tak mam-
pu hadapi keganasan dan kekejaman si Tengkorak Hi-
tam itu. Karena Yoga tidak mau sombongkan ilmunya
di depan Ki Bantarsuko, maka Yoga pun diam saja,
kembali masuk ke kamarnya dan duduk di tepian di-
pan sambil menunggu Ki Bantarsuko memanggilnya.
Beberapa saat kemudian, Ki Bantarsuko memang
memanggilnya. Ia mengajak Yoga keluar dari pengina-
pan dan menghampiri rumah orang yang menjadi kor-
ban. Ternyata di sana banyak orang yang telah berke-
rumun dan saling membicarakan korban malam itu.
Korban yang mati dengan dada terluka lebar per-
tanda bekas hujaman senjata tajam besar itu adalah
seorang lelaki yang bernama Randuguno, berusia seki-
tar dua puluh tahun. Masih muda dan belum meni-
kah. Ibunya yang tadi menjerit melihat anaknya mati
terkapar ketika membukakan pintu untuk seorang ta-
mu yang suaranya mirip dengan temannya, yaitu seo-
rang gadis yang menjadi kekasih Randuguno bernama
Rusmini. Ibunya sendiri juga mendengar suara Rusmi-
ni, dan menyangka memang Rusmini yang datang pa-
da malam itu. Walaupun ibunya Randuguno merasa
heran mendengar suara anak gadis malam-malam da-
tang ke rumahnya, namun ia tak berani turun dari
tempat tidurnya karena merasa sangsi. Kesangsian itu
akhirnya dibuktikan setelah ia mendengar pekik terta-
han dari mulut Randuguno, dan ia temukan anaknya
sudah bermandi darah di depan pintu.
Luka lebar dan mengerikan itulah yang membuat
orang-orang berkesimpulan, bahwa pembunuh Randu-
guno adalah orang yang sama dengan pembunuh para
korban sebelumnya, yaitu Tengkorak Hitam. Luka le-
bar itu menunjukkan luka akibat senjata runcing dari
tombak yang di sebut-sebut orang Pusaka El Maut.
Sedangkan ke mana arah larinya Tengkorak Hitam,
seorang pun tak ada yang mengetahuinya.
"Tapi bukankah Ki Lurah Wikuto Legawa sudah
menyewa seorang penjaga malam yang bertugas men-
gamankan desa ini, Ki Bantarsuko" Kalau tak salah,
gadis yang minum tuak di kedai kita itulah orang se-
waan Ki Lurah Wikuto Legawa."
"Memang. Tapi penduduk desa tidak pernah me-
naruh harap kepada siapa pun orang sewaan Ki Lurah,
Tuan. Mereka yakin, orang sewaan itu tidak akan
mampu mengamankan desa kami, karena ilmu Teng-
korak Hitam itu cukup tinggi!"
Dari kejauhan tampak beberapa orang berjalan
sambil membawa obor. Yoga tertarik dengan peman-
dangan tersebut, sebab orang-orang pembawa obor itu
menyelusup ke tempat-tempat sempit, seakan mencari
sesuatu. Pendekar Rajawali Merah bertanya kepada Ki
Bantarsuko.

Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah mereka sedang mencari jejak Tengkorak
Hitam, Ki?"
"Bukan. Mereka pasti sedang mencari si orang se-
waan itu."
"Roro Intan maksudmu?"
"Benar, Tuan. Karena, biasanya Tengkorak Hitam
setelah membunuh penduduk, selalu membunuh siapa
saja yang memergokinya. Dan biasanya juga yang me-
mergoki gerakannya adalah orang-orang penjaga ma-
lam. Maka para penjaga malam itulah yang dibunuh-
nya. Jadi sekarang para pembawa obor itu yakin bah-
wa gadis yang disewa Ki Lurah untuk amankan desa
kami ini pasti sudah menjadi mayat, hanya saja entah
di mana letak mayat tersebut."
Yoga tertegun beberapa saat, menjauhi rumah
Randuguno yang semakin dipenuhi orang itu. Dalam
hatinya ia sempat bertanya,
"Benarkah Roro Intan telah terbunuh oleh Tengko-
rak Hitam" Jika benar, lantas di mana mayatnya" Jika
tidak, di mana juga ia berada saat ini?"
Kemudian, Yoga menggunakan ilmu 'Layang Ba-
tin'-nya, yaitu ilmu penajaman firasat untuk mencari
sesuatu yang belum diketahui dan bersifat rahasia.
Menurut firasat Yoga, ada sesuatu yang perlu diten-
goknya di jalan menuju perbatasan desa.
Yoga tidak mau bertindak gegabah, supaya ia ti-
dak terjerat oleh perkara tersebut. Ia mencoba dekati orang-orang pembawa obor
itu, lalu berkata kepada salah seorang dari sebelas pembawa obor.
"Apakah sudah dicari di jalan menuju perbatasan
desa?" Orang berusia lebih tua dari Yoga itu menjawab,
"Belum. Tapi menurut dugaan kami, tak mungkin penjaga malam itu sampai ke
perbatasan desa. Setahu
kami, tadi siang kami melihat dia bicara dengan Ki Lurah, dan kami tahu dia
adalah seorang perempuan.
Tak mungkin. seorang perempuan berani lakukan pen-
jagaan malam hari sampai di perbatasan desa. Apalagi
arah itu adalah arah menuju Jurang Ajal."
Ki Bantarsuko menambahkan kata, "Tapi tak ada
jeleknya kalau kita coba mencarinya ke sana."
"Siapa tahu dia belum mati," kata Yoga.
"Pasti sudah," jawab salah seorang lagi. "Jika belum, pasti dia sudah datang
kemari, sebab jeritan
ibunya Randuguno itu cukup menggema ke mana-
mana. Tak mungkin wanita penjaga malam itu tak
mendengar jeritan tersebut."
"Benar juga," kata Yoga dalam hati. Lalu ia berkata kepada para pembawa obor,
"Aku ingin memeriksanya ke sana, adakah di antara kalian yang mau ikut ke sa-
na?" Beberapa saat kemudian dua orang menyatakan bersedia ikut Yoga, ditambah
lagi tiga orang menyatakan kesediaannya. Lima pembawa obor itu akhirnya
pergi ke jalan menuju perbatasan desa. KI Bantarsuko
tak lupa ikut mendampingi Pendekar Rajawali Merah.
"Apa yang dimaksud dengan Jurang Ajal itu, Ki"
Kelihatannya orang yang tadi bicara denganku
mengkhawatirkan tentang Jurang Ajal."
"Jurang Ajal hanya sebuah jurang curam dan da-
lam. Dikatakan Jurang Ajal, karena siapa pun yang ja-
tuh ke jurang itu pasti mati karena dalam dan dasar-
nya penuh bebatuan runcing."
"Ooo...!" Yoga manggut-manggut. Sepanjang jalan menuju perbatasan itu disusuri
oleh para pembawa
obor. Tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda akan
ditemukannya sesosok mayat wanita yang bernama
Roro Intan itu. Namun, firasat Yoga mengatakan, ada
sesuatu yang tersembunyi di balik kebun singkong
yang ada di samping kiri jalan menuju perbatasan. Ia
berseru kepada kelima pembawa obor,
"Adakah yang bersedia meminjamkan obor pada-
ku" Aku ingin mencarinya ke kebun singkong itu!"
"Kita periksa saja bersama!" kata salah seorang.
Lalu, mereka memeriksa kebun singkong yang pohon
singkongnya sudah setinggi tubuh Yoga itu. Nyala api
obor membuat kebun singkong menjadi terang.
Pada saat itulah, mereka segera terperanjat meli-
hat seorang wanita terkapar di tanah dalam keadaan
bermandi darah. Wanita itu tak lain adalah Roro Intan.
Seseorang yang melihat tiga temannya berbeda arah
itu segera berteriak,
"Dia kami temukan di sini. Hoi...! Dia ada di sini!"
Ketiga pembawa obor cepat-cepat berbalik arah
dan merasa kaget melihat tubuh perempuan cantik itu
berlumur darah. Salah seorang berseru dengan tegang,
"Dia masih hidup! Masih hidup! Dia masih hi-
dup...!" Benar. Roro Intan masih hidup. Matanya terbuka
sedikit, napasnya mulai menipis. Tapi sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu
kepada mereka. Yoga segera
menyingkirkan orang-orang pembawa obor itu dan ce-
pat lakukan pertolongan kepada Roro Intan.
"Aku perlu tempat untuk mengobatinya secepat
mungkin!" kata Yoga.
"Bawa ke kedai saja!" usul Ki Bantarsuko.
Mereka segera membawa Roro Intan ke kedai. Ke-
mudian Yoga menyuruh mereka keluar sebentar. Dia
tak ingin pengobatannya dilihat orang lain. Dia takut membuat apa yang
dilakukannya mengundang keirian
bagi orang yang tidak suka. Maka, Ki Bantarsuko pun
membantu menyingkirkan para pembawa obor. Mereka
pergi keluar kedai, tinggal Yoga dan Roro Intan yang
ada di dalamnya.
Yoga menggunakan ilmu pengobatan yang dina-
makan ilmu 'Tapak Serap'. Luka terkuak lebar di ba-
gian lambung Roro Intan diusapnya pelan-pelan den-
gan telapak tangannya. Tentu saja tangan itu membara
merah dan mengepulkan asap tipis saat mengenai lu-
ka. Secara ajaib luka itu mulai mengering dan menu-
tup dengan sendirinya. Dalam waktu yang terhitung
singkat, luka-luka di beberapa tempat itu telah lenyap dan pulih seperti
sediakala, tanpa meninggalkan bekas luka. Hanya beberapa darah di bagian baju
saja yang masih tersisa. Darah itu pun ikut menyerap ke dalam
tangan Pendekar Rajawali Merah jika semuanya diusap
dengan gerakan pelan-pelan. Tapi Yoga sengaja tidak
mengeringkan darah di sekitar baju, karena menurut-
nya itu tak terlalu panting untuk dilakukan. Yang terpenting adalah kesembuhan
Roro Intan telah dica-
painya, dan gadis itu mulai bisa bernapas dengan teratur. Kejap berikutnya, Roro
Intan tidak merasakan
nyeri atau perih pada bagian lukanya. Tapi tubuhnya
masih lemas karena banyak kehilangan darah. Sekali-
pun demikian, Roro Intan sudah mulai bisa bicara wa-
laupun dengan suara lirih.
"Dia... bukan tengkorak."
"Maksudmu?"
"Dia manusia. Aku berhasil membuka kedok yang
dikenakannya. Dia seorang... seorang,..."
"Ssst...!" Yoga tidak ingin apa yang dikatakan Roro Intan didengar oleh orang
banyak. Pada saat itu, Ki
Bantarsuko masuk, sehingga Yoga memberi isyarat ke-
pada Roro Intan agar hentikan penjelasannya.
"Tolong bawa ke kamar saya, Ki. Biarkan Roro In-
tan yang menempatinya, biar dia bisa beristirahat," ka-ta Yoga kepada Ki
Bantarsuko. Lelaki tua itu tertegun, tidak segera bertindak apa
pun. Ia merasa heran bukan kepalang melihat keadaan
Roro Intan sudah sesehat itu. Lukanya lenyap tak ber-
bekas, dan hal itu mengagumkan dirinya, membuat dia
menjadi patung bernyawa untuk beberapa saat.
Esok paginya, tersiar kabar bahwa di kedai Ki
Bantarsuko telah menginap seorang tabib tampan yang
punya kesaktian tinggi. Ini gara-gara Ki Bantarsuko
yang menceritakan kepada para pembeli di kedainya
tentang keajaiban yang dilakukan Yoga. Ia mencerita-
kannya karena tak mampu menahan perasaan bangga
terhadap apa yang telah dilakukan oleh Pendekar Ra-
jawali Merah itu.
Yoga bangun ketika hari sudah siang. Ia semala-
man tidur di lantai kamarnya dengan beralaskan tikar, sedangkan di dipan tempat
tidurnya digunakan oleh
Roro Intan untuk beristirahat dan memulihkan kekua-
tan tubuhnya. Ketika Yoga bangun, wanita cantik itu
sudah tak ada di tempat. Yoga segera menanyakan ke-
pada Sulastri. "Nona Roro Intan sedang pergi ke rumah Ki Lurah, Tuan. Beliau tadi berpesan
kepada saya, jika Tuan
bangun, Tuan diminta untuk tidak pergi ke mana-
mana. Nona Roro Intan ingin bicara dengan Tuan."
"Tapi aku harus segera pergi ke desa seberang gunung untuk menemui sahabatku,
Sulastri."
"Tahanlah dulu niat, Tuan. Kasihan Nona Roro In-
tan jika Tuan pergi sebelum bertemu dengan beliau.
Nanti hatinya kecewa, Tuan."
Mau tak mau Yoga menunggu Roro Intan dari ru-
mah Ki Lurah Wikuto Legawa. Ia merasa risi menjadi
bahan pembicaraan orang-orang yang singgah di kedai
tersebut. Akibatnya ia hanya berdiam diri di dalam
kamar menunggu Roro Intan kembali.
Gadis yang semula menampilkan wajah galaknya
itu, sekarang sudah tidak segalak pada malam perte-
muan pertama. Gadis itu menjadi ramah dan murah
senyum. Ketika ia tahu Yoga menunggunya, hati gadis
itu menjadi girang dan mempunyai sebentuk keinda-
han tersendiri.
"Apa saja yang kau ceritakan kepada Ki Lurah?"
tanya Yoga. "Tidak banyak. Hanya kegagalan ku menangkap
Tengkorak Hitam!"
"Selain itu tak ada lagi?"
"Hmmm... ya, aku menceritakan pertolonganmu.
Tapi rahasia itu belum kuceritakan kepadanya."
Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Rahasia apa?"
Roro Intan diam sesaat, kemudian berkata dengan
suara pelan, agar suaranya tak mudah disadap orang
jika memang ada yang sengaja mencuri dengar perca-
kapan mereka, "Aku berhasil membuka topeng yang dikenakan
orang tersebut. Topeng itu dari getah karet berbentuk wajah tengkorak. Mata
merah di bagian rongga matanya itu adalah sepasang batu cincin yang kalau ter-
kena sinar akan memantulkan cahaya merah. Dan aku
tahu, di balik wajah itu adalah wajah seorang perem-
puan." "Kau kenal dengan perempuan itu?"
Roro Intan diam beberapa saat, rupanya ia sedang
mempertimbangkan sesuatu. Karenanya, ia segera
berkata, "Maukah kau pergi ke tepi hutan sebelah timur desa ini?"
"Untuk apa?"
"Kita bicara di sana supaya apa yang kuceritakan padamu tidak didengar oleh
seseorang."
"Baiklah!" Yoga memahami maksud Roro Intan.
Tapi setidaknya dalam hati Yoga sudah mempunyai
dugaan, bahwa apa yang akan dikatakan oleh Roro In-
tan itu adalah sesuatu yang sangat rahasia. Jika tidak, tak mungkin sampai ingin
bicara di tepi hutan yang
sepi itu. Sesampainya di sana. Yoga pun berkata, "Nah, se-
karang keadaan cukup aman. Katakanlah, apakah kau
mengenal perempuan yang mengenakan topeng teng-
korak itu atau tidak sama sekali?"
"Aku mengenalnya," jawab Roro Intan. "Mulanya ia menyerangku dengan satu ilmu
bersinar merah. Aku
bisa menghindarinya dan sinar itu membakar setum-
puk jerami di samping kebun singkong itu. Nyala api
yang membakar jerami itulah yang membuat aku bisa
mengenali wajahnya. Aku terdesak dan melarikan diri,
lalu dia melukai ku dan menyangka ku sudah mati,
sehingga ia tinggalkan pergi."
Zingng..! Tiba-tiba sekelebat sinar membuat percakapan itu
berhenti. Sinar putih itu ternyata sebuah senjata rahasia yang dilepaskan oleh
seseorang dari tempat yang
tersembunyi. Yoga terlambat menyambar senjata raha-
sia tersebut, sehingga senjata itu tepat mengenai
punggung Roro Intan.
Jruubb...! "Ahg...!" Roro Intan mendelik, badannya melengkung ke depan. Yoga segera meraih
tubuh itu. Tubuh
Roro Intan menjadi lemas dan wajahnya mulai pucat.
Semakin direbahkan di tanah semakin membiru. Jelas
ia telah terkena racun ganas yang ada pada senjata
rahasia tersebut.
Yoga segera mengejar sepintas orang yang melem-
parkan senjata rahasia itu. Tetapi ia tidak berhasil.
Orang itu melarikan diri entah ke mana, dan Yoga ke-
hilangan jejaknya. Maka, Pendekar Rajawali Merah
pun segera kembali ke tempat tubuh Roro Intan diba-
ringkan. Tetapi tubuh itu ternyata telah hilang. Yoga terke-
jut dan segera memandang sekelilingnya. Ia melihat
seorang lelaki berpakaian biru tua sedang berlari memanggul tubuh Roro Intan.
Maka orang tersebut sege-
ra dikejar oleh Pendekar Rajawali Merah dengan meng-
gunakan jurus 'Langkah Bayu'. Wuuttt...! Zlaapp...!
Langkah orang yang memanggul tubuh Roro Intan
itu pun terhenti seketika. Yoga telah menghadang di
depannya. Orang tersebut memandang dengan mata
terperangah kaget. Ia bagaikan pencuri yang kepergok
pemilik barang yang dicurinya.
Orang tersebut sudah beruban rata. Usianya di-
perkirakan Yoga sekitar enam puluh tahun. Wajahnya
mempunyai kesan sebagai orang baik-baik, bijaksana,


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sabar. Ia menurunkan tubuh Roro Intan dengan
pelan-pelan, kemudian berdiri tegak dengan wajah
menghadap lurus ke arah Yoga. Ia kelihatan tetap te-
nang, sehingga Yoga pun menampakkan ketenangan
dirinya. Yoga yang mengajukan pertanyaan dengan su-
ara tegas, namun tidak membentaknya.
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua?"
"Aku yang bernama Reksobumi," jawabnya dengan tegas juga.
"Mengapa kau bawa lari gadis yang terluka itu?"
"Karena ia muridku."
"Betulkah?"
"Reksobumi tidak pernah berbohong kepada siapa
pun." katanya dengan nada bijaksana dan sabar.
"Baiklah. Aku percaya. Tapi apakah kau tahu
bahwa muridmu itu terkena senjata rahasia yang bera-
cun?" "Justru karena aku mengetahuinya, maka aku in-
gin segera membawanya pulang dan mengobatinya."
"Dan kau pun tahu siapa orang yang menyerang-
nya?" "Aku tidak melihat, tapi aku mengenali jenis racun dan bentuk senjata
rahasianya."
Pendekar Rajawali Merah tetap menatap mata
orang yang mengaku bernama Reksobumi itu. Di da-
lam hati Yoga timbul keraguan, walaupun kecil sekali
keraguan itu dirasakannya. Untuk menghilangkan ke-
raguan tersebut. Yoga segera kerahkan tenaga dalam-
nya secara diam-diam. Dari matanya keluarkan tenaga
bergelombang panas yang menghantam mata Rekso-
bumi. Jika bukan orang berilmu tinggi, pasti akan
menjadi buta, karena jurus yang baru diperolehnya
dari Lili itu sangat berbahaya untuk orang berilmu
rendah. Jurus itu bernama jurus 'Mata Dewa'.
Tetapi ternyata Reksobumi justru melawannya
dengan jurus dari matanya juga. Mata itu menjadi me-
rah, dan memancarkan gelombang dingin. Akibatnya,
tanpa ada sinar dan gerakan, satu letupan kecil terjadi di pertengahan jarak
mereka. Daarrr...! Letupan itu
memercikkan bunga api merah dalam sekejap, lalu le-
nyap tinggalkan asap. Kedua orang itu sama-sama
mundur satu tindak akibat letupan tadi.
"O, ternyata ia berilmu tinggi dan pantas jika menjadi gurunya Roro Intan,"
pikir Yoga. "Tapi, apakah dia tahu hubungan antara pemilik senjata rahasia yang
menyerang Roro Intan dengan Tengkorak Hitam?"
*** 3 ENTAH apa yang membuat keanehan itu terjadi
beberapa waktu belakangan ini. Tua Usil mengigau, bi-
cara dengan suara tua, dan menyebut-nyebut tentang
Batu Delima Sutera. Batunya seperti apa, ukurannya
seberapa, warnanya apa, kegunaannya apa, khasiat-
nya bagaimana... tidak ada yang tahu. Dan ucapan-
ucapan itu tidak disadari oleh Tua Usil. Tengah malam jika ia mengigau selalu
dengan suara keras dan membangunkan Bocah Bodoh serta si Pendekar Rajawali
Putih. Seperti yang dialami pada malam berikutnya, Tua
Usil kembali mengigau di tengah malam. Suaranya se-
dikit berat, namun terdengar keras.
"Mana pesananku"! Manaaa...!" Bocah Bodoh yang terbangun lebih dulu. Pandu Tawa
yang tidur di dekat
pintu keluar belum terbangun. Bocah Bodoh menjadi
takut dan ragu-ragu untuk membangunkan Pandu
Tawa. "Mana pesananku"! Tuli semua kalian! Aku minta
Batu Delima Sutera! Mana batu itu" Batu itu ma-
naaa..."!"
Pandu Tawa terbangun dengan sendirinya. Tak be-
rapa lama, gadis cantik berjuluk Pendekar Rajawali
Putih itu muncul dari sebuah kamar dan ikut meman-
dang ke arah Tua Usil. Saat itu, keadaan Tua Usil
menjadi tenang kembali. la tampak tertidur dengan pu-
las. Bahkan suara dengkurnya terdengar samar-
samar. Lili menarik napas panjang, lalu berkata dengan
bersungut-sungut, "Kalau tiap malam begini terus, kita tak akan bisa
beristirahat!"
Bocah Bodoh berkata, "Yang disebut-sebut Batu
Delima Sutera terus, Nona. Jangan-jangan dia kepin-
gin makan batu"!"
"Husy!" Pandu Tawa menghardik. Dengan rasa
malas dan masih mengantuk, Pandu Tawa berkata ke-
pada Lili, "Dia bicara kepada kita, tapi aku yakin bukan dia yang bicara! Agaknya kita
harus segera menuruti per-mintaannya itu."
"Yoga sedang hubungi bekas murid Ki Pamungkas.
Entah kapan dia pulang. Sampai sekarang belum ada
kabar beritanya," kata Lili dengan wajah murung karena kesal hatinya mengalami
gangguan seperti itu su-
dah beberapa malam.
Tiba-tiba terdengar lagi suara Tua Usil keluarkan
igauan yang menyentak-nyentak, "Dasar bodoh semua!
Sudah kubilang minta Batu Delima Sutera, masih saja
belum juga dituruti. Ini demi perdamaian! Dengar..."!
Ini demi perdamaian!"
Lili segera menjawab ucapan orang mengigau itu,
"Kami sedang berusaha, Ki! Kami sedang mencarikan
batu yang kau minta itu!"
"Usaha, usaha...!" gerutuan suara orang mengigau yang menggunakan mulut Tua Usil
itu. "Sampai di
mana usaha kalian, hah" Mengapa hari ini belum ada
juga batu itu" Cari Batu Delima Sutera saja tidak ada yang becus! Manusia macam
apa kalian ini"!"
"Tunjukkan pada kami, di mana batu itu berada,
Ki!" kata Pandu Tawa. "Kalau tidak ditunjukkan, kami tidak tahu tempatnya!"
"Cari, Goblok! Cariii...!"
"Kami sedang mencari!" sentak Lili karena jeng-kelnya.
"Sampai di mana?" tanya suara igauan dari mulut Tua Usil yang tetap memejamkan
mata. "Pendekar Rajawali Merah sedang mencari bekas
muridmu!" kata Pandu Tawa dengan sabar.
"Disuruh mencari batu, kok malah mencari bekas
muridku! Muridku itu bukan batu, Tolol! Muridku itu
manusia!" Pandu Tawa menarik napas menahan kesabaran-
nya. Ia menatap Lili, dan Lili hanya diam saja meman-
dang Tua Usil yang tidurnya miring meringkuk seperti
keong sawah. Bocah Bodoh memberanikan diri bertanya kepada
suara aneh itu,
"Kalau bukan batu, sebagai gantinya apa yang kau minta, Ki?"
"Nyawamu!" jawab suara aneh tersebut. Tentu saja Bocah Bodoh terkejut, Pandu
Tawa dan Lili sedikit si-pitkan matanya. Kaget juga mendengar jawaban terse-
but. Tua Usil pun kembali bicara aneh,
"Sebenarnya batu itu untuk perdamaian dan kete-
nangan. Letakkan Batu Delima Sutera pada sarung pi-
sau atau gagang pisau, maka pisau itu tidak akan
menjadi bahan incaran orang lagi. Tidak akan menjadi
biang malapetaka dan keributan lagi. Tidak akan ada
orang tertarik dengan pisau itu jika sudah diberikan
Batu Delima Sutera. Apakah kalian senang melihat
orang saling berlomba mempertaruhkan nyawanya un-
tuk merebut pisau itu" Senangkah kalian"!"
"Tidak, Ki," Pandu Tawa menjawab.
"Kalau tidak senang, lekas cari batu itu!"
"Letaknya di mana, Ki" Apakah kau sendiri tidak
tahu?" Sepi. Tak ada suara jawaban dari igauan Tua Usil.
Bahkan lama-lama yang terdengar suara dengkur tipis
si Tua Usil. Pandu Tawa memandang Lili sebentar.
Memegang kening Tua Usil, lalu menggumam,
"Panasnya masih tinggi."
"Besok saya akan bikin kipas besar, Nona Li," kata Bocah Bodoh.
"Untuk apa?"'
"Untuk mengipas tubuh Tua Usil biar tidak sepa-
nas itu." Pandu Tawa tersenyum geli dan berkata, "Kau pi-
kir sepiring nasi panas" Bisa didinginkan dengan cara dikipas?"
"Panas badannya Itu kurasa karena kekuatan roh
yang Ingin bicara melalui Tua Usil," kata Lili. "Sebaiknya, salah seorang
menyusul Yoga dan membantu
mencari Batu Delima Sutera itu. Kelihatannya apa
yang dikatakannya tadi memang benar dan ada baik-
nya. Dengan menyematkan batu tersebut di gagang pi-
sau atau di sarungnya, maka Tua Usil akan merasa
damai dan aman ke mana-mana, tidak menjadi bahan
incaran beberapa tokoh yang ingin menguasai benda
pusaka itu."
Setelah sama-sama merenung beberapa saat, Pan-
du Tawa berkata kepada Lili, "Biar aku saja yang susul Yoga. Kau tetap di rumah
menjaga kemungkinan yang
lebih buruk terjadi pada diri Tua Usil."
"Saya bagaimana?"
"Kau tetap bantu Nona Li, Bocah Bodoh!"
Hubungan yang sudah telanjur baik dan seperti
saudara itu membuat Pandu Tawa merasa berat jika
harus berpisah dari Yoga, Lili, Tua Usil dan Bocah Bodoh. Secara tak langsung ia
telah menggabungkan diri
menjadi keluarga rajawali. Itulah sebabnya Pandu Ta-
wa tak keberatan pergi ke mana saja untuk urusan ke-
luarga pendekar rajawali itu. Bahkan ia merasa senang jika bisa berguna bagi
kelompoknya pendekar rajawali
itu. Perjalanan Pandu Tawa mencari Yoga untuk
membantu menemukan Batu Delima Sutera terpaksa
terhenti karena sebuah pertarungan yang dilihatnya
dari arah lereng bukit. Seorang gadis berpakaian kun-
ing dengan rambut panjang disanggul ke atas, sedang
bertarung melawan seorang pemuda berambut panjang
sebatas pundak, Pemuda itu kenakan ikat kepala dari
kain biru muda, perawakannya tinggi, tegap, dan ga-
gah. Pandu Tawa memperhatikan pertarungan itu be-
berapa saat! Agaknya gadis berbaju kuning yang ber-
senjatakan pedang bergagang hiasan burung walet itu
terdesak oleh serangan lawannya. Pemuda bergelang
kulit binatang warna hitam itu sangat gesit gerakan-
nya. Pukulannya pun mantap, seakan tak pernah me-
leset dari sasaran. Gadis yang sebenarnya adalah Wa-
let Gading, murid Ki Pamungkas itu, sempat mengelu-
arkan darah dari mulutnya ketika punggungnya ter-
hantam telapak tangan lawan dengan keras.
Gadis itu terguling-guling di tanah, pedangnya le-
pas dari tangan. Pemuda berwajah lumayan tampan
itu tak memberi ampun sedikit pun. Ia lepaskan puku-
lan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah Walet Gad-
ing. Wuuuttt...!
Dengan kekuatan batinnya, Pandu Tawa mengge-
rakkan sebutir batu berukuran seperti biji salak. Batu itu tahu-tahu melesat
cepat menghantam pergelangan
tangan pemuda berpakaian merah bergaris-garis putih.
Akibatnya pukulan tenaga dalam yang keluar dari te-
lapak tangannya itu berubah arah dan tidak mengenai
sasaran. Hal itu merupakan kesempatan baik bagi Walet
Gading untuk lekas bangkit dan bersiap hadapi seran-
gan lawan lagi. Pedangnya pun sempat disamber den-
gan satu tangan dan ia segera memainkan jurus pe-
dang kembangan.
Pemuda berbaju merah itu hentikan serangan.
Matanya memandang sekeliling, karena ia yakin ada
seseorang yang melemparkan sebutir batu ke tangan-
nya. Tapi karena keadaan Pandu Tawa berdiri di anta-
ra tiga batang pohon yang berjarak rapat itu, maka ia tidak terlihat dari tempat
pertarungan mereka.
Wuuttt...! Tiba-tiba batu sebesar genggaman tan-
gan orang dewasa itu melesat menghantam punggung
pemuda tersebut. Buuuhg...! Pemuda itu sempat me-
nyeringai sambil tersentak kaget. Walet Gading sendiri tampak kaget melihat batu
yang sejak tadi diam di tanah, tiba-tiba bergerak sendiri, melayang dengan ce-
patnya. Bahkan sekarang sebatang dahan kering
menghantam kaki pemuda itu dan tepat kenal tulang
kakinya. Taakkk...!
"Auh...!" pekik pemuda itu.
Walet Gading berkata dalam hatinya, "Hmmm...,
ada yang membantuku rupanya" Mana dia orangnya"!"
Walet Gading pun ikut mencari-cari Pandu Jawa, na-
mun Pandu Tawa hanya cengar-cengir dari balik po-
hon. Sebenarnya kesempatan itu bisa digunakan oleh
Walet Gading untuk serang lawannya secepat mung-
kin. Tapi Walet Gading tidak mau lakukan atas bebe-
rapa pertimbangan, diantaranya ia sendiri penasaran
terhadap seseorang yang membantunya itu. Dia ingin
tahu siapa orangnya.
Pemuda itu berseru, "Siapa kau"! Tampakkan di-
rimu jika kau ingin membela perempuan Iblis itu!"
"Baik...!" seru Pandu Tawa dari persembunyiannya. Seruan itu menggema, sekaligus
memancing per- hatian pemuda tersebut dan Walet Gading untuk me-
mandang ke arah lereng bukit. Lalu, Pandu Tawa be-
nar-benar tampakkan diri dengan tenang. Ia berjalan
menuruni bukit, dan di sambut dengan pukulan jarak
jauh bergelombang panas dari pemuda berbaju merah
itu. Wuuuttt...!
Pandu Tawa tidak lakukan gerakan apa pun kecu-
ali tetap berjalan sambil matanya melirik ke arah batu besar. Bibirnya tetap
tersenyum ke arah kedua orang
di kaki bukit itu. Dan tiba-tiba batu besar itu melayang menghadang pertengahan
jaraknya. Praakkk...! Batu
besar itu pun pecah seketika karena menjadi perisai
bagi diri Pandu Tawa terhadap serangan tenaga berge-
lombang cukup tinggi itu.
Tiba di antara mereka, mata Pandu Tawa meman-


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang ke arah wajah Walet Gading yang berusia sekitar
dua puluh lima tahun itu. Gadis cantik beralis tebal, hidung mancung dan mata
bulat indah itu menjadi kikuk ketika dipandangi oleh pemuda tampan berpa-
kaian biru muda itu. Sedangkan pemuda berpakaian
merah kian benci memandang kehadiran Pandu Tawa,
sehingga ia berseru,
"Lancang sekali kau berani mencampuri urusan
Palwa Dirga"! Siapa kau sebenarnya, hah"!"
"Namaku Pandu Tawa!" jawab Pandu Tawa dengan
tenang, sementara Walet Gading sebentar-sebentar
meliriknya. "Apa pedulimu sehingga mencampuri urusanku
dengan Tengkorak Hitam"!"
"Aku bukan Tengkorak Hitam!" sahut Walet Gading dengan kerasnya.
Palwa Dirga mencibir. "Hmm...! Tak usah menge-
lak. Aku sudah tahu siapa dirimu, gadis jalang! Kulihat beberapa kali kau
melintas di tanah sekitar Jurang Aj-al. Dan aku pernah memergoki Tengkorak Hitam
menghilang di Jurang Ajal. Pasti kaulah orangnya. Jika malam mengenakan pakaian
dan topeng tengkorak, la-lu membantai beberapa orang, dan bila siang tiba kau
berubah menjadi wujud aslimu seperti ini!"
Walet Gading berang dan memandang Pandu Ta-
wa, "Jangan dengarkan celotehnya itu!"
"Aku harus dengarkan, Nona Ayu! Jika tidak ku-
dengarkan lalu bagaimana aku bisa membelamu" Jika
kau salah, aku tak mau membelamu!"
"Dia memang bersalah besar, bukan kepada pihak
keluargaku saja, melainkan kepada orang banyak. Dia
bukan saja membantai habis keluargaku secara satu
persatu, hingga akulah orang yang tersisa dari keluargaku. Tapi dia juga
membantai keluarga lain dan dila-
kukan secara satu persatu juga! Jika kau ada di pihak yang benar, Pandu Tawa,
maka jangan sekali-kali kau
membela gadis pembantai itu!"
"Aku ingin dengar bukti alasanmu menuduh dia
sebagai pembantai keluargamu! Apa buktinya jika di-
alah si Tengkorak Hitam yang kau maksudkan itu,
Palwa Dirga"!"
"Sudah kukatakan, aku sering melihat dia melin-
tas di tanah dekat Jurang Ajal! Dan aku pernah lihat
Tengkorak Hitam itu menghilang di sekitar Jurang Aj-
al!" "Alasanmu tak kuat, Palwa Dirga. Karena siapa sa-ja bisa dan boleh melewati
tanah di sekitar jurang tersebut. Tapi bukan berarti orang itu adalah si Tengko-
rak Hitam. Jika aku sering lewat sana, apakah kau ju-
ga menuduhku si Tengkorak Hitam"!"
"Ya!"
"O, itu alasan yang ngawur dan mencari menang-
nya sendiri, Palwa Dirga. Kau hanya dihantui oleh
dendammu atas kematian seluruh anggota keluarga-
mu. Kau melakukan sesuatu yang berdasarkan den-
dam membuta dan hasilnya pun akan mengacaukan
dirimu sendiri!"
"Aku tak butuh nasihatmu, Pandu Tawa! Aku
hanya butuh nyawanya, sebagai penebus kematian pi-
hak keluarga ku!"
"Pandu Tawa," kata Walet Gading. "Minggirlah, bi-ar kulayani dendamnya itu!"
"Atau kalian mau maju bersama, silakan!" kata Palwa Dirga dengan dada terbusung
dan wajah berin-gas. Pemuda yang ditantang itu hanya perdengarkan
suara tawanya, "Hah, hah, hah, ha, ha, ha...!"
Palwa Dirga semula diam saja pandangan Pandu
Tawa yang terbahak-bahak itu. Lama-lama timbul rasa
geli di hati Palwa Dirga. Bahkan ketika Pandu Tawa sudah
berhenti dari terbahak-bahaknya, Palwa Dirga masih
meneruskan tawa gelinya. Kini ia menjadi lebih geli da-ri semula. Tawanya lebih
keras, semakin lama semakin
terpingkal-pingkal dan tawa itu tidak bisa dihentikan.
Palwa Dirga sampai memegangi perutnya karena sakit,
namun toh ia tetap tertawa dan terbungkuk-bungkuk.
Kini bahkan ia terguling-guling di tanah sambil tertawa sekeras-kerasnya,
sepuas-puasnya.
Walet Gading diam terbengong memandangi ting-
kah laku lawannya. Tentu saja ia terheran-heran kare-
na ia sadar bahwa tawanya Palwa Dirga itu adalah ta-
wa yang tak wajar. Maka ditatapnya Pandu Tawa den-
gan dahi berkerut, dan Pandu Tawa terpaksa berkata,
"Telah ku sebarkan racun tawa kepadanya. Dia ti-
dak akan berhenti tertawa sebelum jatuh pingsan."
"Luar biasa sekali ilmumu"!"
"Hanya ilmu permainan saja!" jawab Pandu Tawa merendahkan diri. "Kurasa
sebaiknya tinggalkan saja orang ini. Tak perlu diapa-apakan. Silakan kau
meneruskan perjalananmu, aku akan meneruskan perjala-
nanku!" sambil Pandu Tawa hendak bergegas pergi.
Tapi Walet Gading yang sudah menyarungkan pedang-
nya itu berkata,
"Tunggu! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pa-
damu," ia hampiri Pandu Tawa. Pemuda itu berhenti melangkah, melirik sebentar ke
arah Palwa Dirga yang
masih terbahak-bahak hingga suaranya serak. Setelah
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Pendekar Bodoh 5
^