Pencarian

Penobatan Di Bukit Tulang 2

Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Bagian 2


Bocah Bodoh menarik napas. Ia merasa
bahwa Wong Sakti bersungguh-sungguh dalam
meminta bantuannya. Maka Bocah Bodoh pun
berkata, "Akan ku usahakan bicara dengan Tua
Usil. Tapi kalau Tua Usil tidak mau meminjamkan
pisaunya, aku tidak bersedia menculiknya."
Tolonglah, entah bagaimana caranya, rayu-
lah dia supaya mau meminjamkan pisaunya. Dan
sekarang... sebaiknya kau kuantarkan pulang,
supaya tidak tersesat di dalam hutan ini!"
Maka, Wong Sakti pun akhirnya mengan-
tarkan Bocah Bodoh keluar dari hutan tersebut,
Kukilo tampak cemberut melihat Bocah Bodoh di-
bebaskan, karena ia merasakan akan lebih lama
lagi menerima ilmu-ilmu Wong Sakti jika Wong
Sakti tidak punya sandera untuk memancing pe-
milik pisau Pusaka Hantu Jagal itu.
Di dalam hati Bocah Bodoh sendiri terpetik
serangkaian kata yang merupakan pendapat ha-
tinya sendiri, "Wong Sakti ini sebenarnya bukan orang
jahat. Tapi karena usianya sudah banyak, ia men-
jadi linglung dan cara berpikirnya seperti anak-
anak. Mungkin cara berpikir ku Juga seperti
anak-anak, tapi tidak sebodoh dia. Wong Sakti
ternyata hanya kebingungan mencari cara me-
mindahkan ilmunya ke diri sang murid. Kasihan
amat dia! Kalau memang aku bisa, aku akan
membujuk Tua Usil agar mau meminjamkan pi-
sau itu. Setidaknya bisa membuat hati Wong Sak-
ti lega. Sebab, biar bagaimanapun, ternyata Wong
Sakti ini masih termasuk eyang guruku, yaitu
paman guru dari mendiang ibuku. Aku tak boleh
kurang ajar kepada beliau. Tapi... aku kurang se-
tuju kalau Wong Sakti ambil murid seperti Kukilo.
Kurang sopan bocah itu jika bicara dan bersikap
kepada Wong Sakti. Enaknya kuberi pelajaran bo-
cah itu biar tahu sopan. Tapi... jangan-jangan
nanti Wong Sakti marah padaku?"
Sampai di sebuah lembah, Wong Sakti le-
paskan Bocah Bodoh dan hanya bisa mengantar-
nya sampai di situ. Wong Sakti berkata,
"Aku hanya bisa mengantarmu sampai di
sini, Bocah Bodoh. Silakan kau jalan sendiri, aku akan pergi ke Bukit Tulang Iblis untuk menghadiri suatu pertemuan besar yang dihadiri oleh para
tokoh sakti di dunia persilatan ini!"
Kukilo menyahut, "Lho, kita tidak jadi
memburu Tua Usil, Guru"!"
"Akan kuserahkan kepada Bocah Bodoh.
Kita tunggu kabar dari dia saja. Sementara itu,
kita hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu,
Kukilo. Aku ingin tahu, siapa yang bakal menjadi
hakim dan penguasa rimba persilatan nantinya!"
Bocah Bodoh pun berkata, "Baiklah, Eyang
Wong Sakti...," ia menghormat dan mengakui
Wong Sakti adalah eyang gurunya. "Aku akan co-ba merayu Tua Usil. Seandainya kau
tidak berha- sil, aku akan berterus terang pada Eyang Wong
Sakti. Seandainya aku berhasil, bagaimana cara-
ku menghubungi Eyang Wong Sakti?"
"Bocah Bodoh, jika kau ingin memanggilku,
panggillah dalam hatimu tiga kali, dan tepuklah
pohon apa saja tiga kali, gedukkan kakimu ke ta-
nah tiga kali, menganggukkan kepala tiga kali,
bertepuk tangan tiga kali dan bersiullah tiga kali sambil melompat tiga kali dan
akhirnya sebutkan
kata 'datang' sampai tiga kali. Maka aku pun
akan muncul di hadapanmu baik tanpa Kukilo
maupun bersama Kukilo!"
Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. "Rumit
sekali itu, Eyang Wong Sakti. Belum tentu aku bi-
sa mengingatnya tiga kali!"
Wong Sakti tertawa, lalu menepuk-nepuk
punggung Bocah Bodoh. Entah apa artinya, Bo-
cah Bodoh sendiri akhirnya meninggalkannya.
* * * 4 PEDANG Jimat Lanang rupanya membawa
keberuntungan sendiri bagi Bocah Bodoh. Sean-
dainya Bocah Bodoh tidak mengeluarkan pedang
tersebut dan mencabutnya, mungkin ia masih
menjadi tawanan Wong Sakti. Padahal Bocah Bo-
doh sendiri pada saat mencabut pedang punya
keragu-raguan, bahwa ia belum tentu bisa men-
galahkan Wong Sakti. Sebab melihat cara mem-
bebaskan totokan dengan Jalan menyentil daun
telinga saja sudah menunjukkan bahwa Wong
Sakti berilmu tinggi.
Penculikan atas diri Bocah Bodoh tidak
membawa petaka bagi siapa pun. Bocah Bodoh
merasa lega, namun Juga merasa ragu kembali,
karena secara tidak langsung ia mempunyai tugas
membujuk Tua Usil untuk dapatkan pisau terse-
but. Sekalipun hanya meminjam, tapi belum ten-
tu Tua Usil mau meminjamkan pisau itu begitu
saja. Bocah Bodoh yang melangkah dengan me-
lamun itu tiba-tiba terkejut melihat dua orang telah berdiri di depannya. Tapi
rasa kagetnya itu
segera lenyap setelah ia mengetahui bahwa yang
berdiri di depannya itu tak lain adalah Pandu Ta-
wa dan Lintang Ayu. Mereka memang bertugas
mencari Bocah Bodoh dan menyelamatkannya da-
ri tangan Wong Sakti. Namun begitu melihat Bo-
cah Bodoh berjalan dengan santai, tanpa wajah
takut atau tegang, kedua orang itu pun menjadi
heran. Lalu, Pandu Tawa segera ajukan tanya,
"Kau tidak apa-apa Bocah Bodoh?"
"Tidak," jawab Bocah Bodoh. "Ada apa, Pandu Tawa?"
"Bukankah kau diculik oleh Wong Sakti?"
"Ya. Benar. Tapi dia ciut nyali padaku. Dia
lari setelah lepaskan diriku. Dia menuju ke Bukit Tulang Iblis."
"Kami baru saja ingin membebaskan kamu,
Bocah Bodoh. Yoga yang menyuruh kami membe-
baskan mu!" Lintang Ayu berkata dengan tenang.
"O, jadi kalian mau membebaskan aku"
Kalau begitu aku harus panggil Wong Sakti agar
dia menculik ku lagi, lalu kalian datang membe-
baskan aku! Begitu saja. Setuju?"
Lintang Ayu melirik ke arah Pandu Tawa
dengan rasa dongkol atas kebodohan yang dila-
kukan dengan polos itu. Pandu Tawa hanya ter-
senyum masam. Kemudian Pandu Tawa berkata
kepada Lintang Ayu,
"Aku tak tahu apa maksud penculikan ini.
Tapi aku sudah tak mau tahu lagi. Sekarang...."
Lintang Ayu menyahut, "Sekarang sebaik-
nya aku harus kembali mencari Yoga untuk ta-
nyakan tempat tinggal Tabib Perawan itu!"
Tiba-tiba Bocah Bodoh menyahut, "O, kau
membutuhkan Tabib Perawan, Lintang Ayu"
Hmm...! Mengapa harus susah-susah mencari
Tuan Yo. Aku saja tahu tempat tinggal Tabib Pe-
rawan yang bernama Sendang Suci itu!" sambil Bocah Bodoh banggakan diri, dadanya
membusung. mulutnya sedikit mencibir.
"Apa kau benar-benar tahu tempat tinggal
Tabib Perawan itu?" Pandu Tawa menampakkan
keraguannya. "Kenapa tidak" Aku pernah diajak Tuan Yo pergi ke
rumah Tabib Perawan itu. Ia tinggal di Bu-
kit Berhala. Dan aku masih ingat jalan menuju ke
sana." Lintang Ayu berkata, "Bisakah kau men-gantarku ke sana?"
"Siapa yang tidak bisa" Mengantar gadis
cantik mana pun dan ke mana pun, aku pasti bi-
sa! Di depan gadis cantik, Bocah Bodoh bisa men-
jadi Bocah Pintar!" katanya dengan tengil. Pandu Tawa menyodok kepala Bocah
Bodoh sambil tertawa pendek.
"Baiklah. Kau antarkan Lintang Ayu ke
Bukit Berhala. Dan ingat pesanku, jaga dia balk-
balk!" kata Pandu Tawa.
"Kau sendiri akan ke mana, Pandu Tawa?"
tanya Bocah Bodoh.
"Aku akan menuju ke Bukit Tulang iblis!"
Lintang Ayu menyahut kata, "Hati-hatilah,
Pandu! Jangan terlibat urusan seperti itu terlalu dalam."
"Kau mencemaskan diriku" Oh, terima ka-
sih, Lintang Ayu! Kecemasanmu membuat hatiku
terhibur." Pandu Tawa sunggingkan senyum me-
nawan. Lintang Ayu sempat salah tingkah, kemu-
dian segera pergi tanpa pamit lagi. Bocah Bodoh
hanya memandang kepergian Lintang Ayu dengan
geleng-geleng kepala dan tersenyum.
"Gadis itu memang cantik dan tegas.... ck
ck ck ck...!"
"Katanya kau mau mengantarnya! Sudah
sana berangkat!"
"Ya ampun! Hampir saja aku lupa!" Bocah
Bodoh terkejut, menepak jidatnya sendiri, lalu segera berlari menyusul Lintang
Ayu. Sementara itu
Pandu Tawa masih memandanginya dengan se-
nyum membekas dan hati pun berkata,
"Semoga dia masih menyimpan cinta untuk
ku. Seandainya tidak, moga-moga saja ia me-
nyimpan persaudaraan denganku di hatinya."
*** Burung rajawali besar berbulu merah itu
melesat terbang ke angkasa. Ia pergi setelah Yoga berkata, "Tinggalkan kami
untuk sementara. Per-gilah dan cari kekasihmu; si Rajawali Putih itu!"
"Keaaak...!" jawab Rajawali Merah sambil angguk-anggukkan kepala.
Saat itu, Yoga sudah selesai lakukan pe-
nyembuhan terhadap diri Sri Tanding. Luka gadis
itu cukup parah. Untung saja Yoga mempunyai
jurus penyembuhan yang cukup hebat, sehingga
jiwa gadis itu bisa diselamatkan. Dan yang lebih
ajaib lagi, luka-luka pada tubuh gadis itu dapat
disembuhkan dalam waktu amat cepat. Sekarang
tubuh Sri Tanding merasa berangsur-angsur se-
gar kembali. Ia sempat terkejut sewaktu menya-
dari bahwa yang menolong dan menyembuhkan-
nya ternyata seorang tabib tampan. Hati Sri Tand-
ing bukan saja senang, namun juga mempunyai
rasa bangga dan damai.
"Kaukah yang bernama Pendekar Rajawali
Merah itu?" tanya Sri Tanding pada awalnya. "Benar. Dari mana kau tahu namaku?"
"Sebelum aku berangkat tunaikan tugas Guru, aku banyak
mendengar cerita dari Guru tentang seorang pen-
dekar tampan bernama Yoga dengan gelar Pende-
kar Rajawali Merah; berpedang tembaga dengan
gagang dua kepala burung rajawali, dengan pa-
kaian putih berselempang kulit bulu warna cok-
lat, dengan senyum yang menawan dan... dan...."
"Gurumu terlalu memujiku. Siapa gurumu
itu?" "Ratu Candra Wulan," jawab Sri Tanding, seakan menyebut nama gurunya
dengan rasa bangga. "O, aku pernah dengar nama itu. Tapi aku
belum pernah bertemu dengan beliau."
"Guru berpesan jika aku bertemu dengan
Pendekar Rajawali Merah harus berhati-hati."
"Dalam hal apa?"
"Menjaga kesopanan. Aku tak boleh kurang
ajar padamu, karena guruku tahu bahwa kau su-
dah mempunyai seorang kekasih yang bernama
Lili, dengan gelar Pendekar Rajawali Putih. Betul-kah itu?"
Yoga tersenyum, membuat hati Sri Tanding
berdesir indah tak terlukiskan lagi. Kemudian Yo-
ga alihkan pembicaraan dengan bertanya,
"Kau masih mengenai seseorang yang ber-
nama Wong Sakti?"
Sri Tanding surutkan senyumannya, pan-
dangi Yoga dengan dahi sedikit berkerut. Lalu, ia
perdengarkan suaranya bernada heran,
"Rupanya kau kenal dengan nama Wong
Sakti"!"
"Apa pernah bertemu dengannya. Sekarang
aku ingin mencari tempat kediaman Wong Sakti.
Tahukah kau di mana ia tinggal?"
"Ada keperluan apa kau ingin mene-
muinya?" Sri Tanding balas bertanya. Dan Yoga menjawab secara apa adanya.
"Wong Sakti telah menculik pelayanku
yang bernama Bocah Bodoh!"
"Dia menculik pelayanmu?" Sri Tanding
bernada kaget. Yoga menjelaskan maksud Wong Sakti da-
lam menculik Bocah Bodoh. Kemudian ditambah-
kan pula kata-kata,
"Aku hanya ingin mengingatkan beliau,
agar tidak lakukan langkah salah seperti itu! Aku harus menemuinya."
Sri Tanding manggut-manggut. Matanya
masih sesekali mencuri pandang ke arah Yoga
dengan jantung berdebar-debar.
"Baiklah. Akan kutunjukkan arahnya saja,
tapi aku tak bisa mengantarmu ke sana!
"Apakah kau takut kepada Wong Sakti?"
"Sama sekali tidak. Tapi aku punya tugas
yang harus kukerjakan. Aku tak berani menunda
tugas itu, karena Guru selalu wanti-wanti agar
aku tidak boleh menunda tugas tersebut."
"Apakah aku boleh tahu apa tugasmu itu"
Maksud ku, barangkali aku bisa membantumu
setelah kau membantuku tunjukkan tempat


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wong Sakti!"
"Kurasa kau sudah bisa meraba...."
"Sumpah, aku belum meraba mu!" sahut
Yoga dengan sungguh-sungguh.
"Maksudku, kau sudah meraba tugasku.
Artinya menerka-nerka!"
"Ooo...!" Yoga tertawa geli, malu sendiri dengan salah duganya itu. Karena sejak
ia membawa Sri Tanding pergi dari pertarungannya, ia
selalu menjaga diri agar tidak disangka bersikap
kurang ajar dan memanfaatkan kesempatan da-
lam kesempitan. Itulah sebabnya ia sempat salah
duga dengan apa yang dimaksud kata-kata Sri
Tanding tadi. Salah duga itu pun membuat Sri Tanding
jadi malu. Gadis cantik itu sedikit merah wajah-
nya dan tak berani menatap Yoga. Tapi ia pun te-
tap lanjutkan jawabannya,
"Aku tunjuk sebagai orang yang mewakili
Guru untuk hadir di Bukit Tulang Iblis! Tugas ini merupakan suatu penghormatan
dan rasa percaya Guru kepadaku. Tentunya kau tahu apa
yang akan terjadi di Bukit Tulang Iblis itu, Yoga!"
"Ya, aku memang tahu," kata Yoga tanpa
senyum, namun masih kelihatan punya daya pe-
sona dalam bicaranya. Katanya lagi,
"Di sana akan ada pemilihan dan penoba-
tan seorang yang berhak menyandar gelar Pende-
kar Maha Sakti, secara tak langsung dialah yang
akan menjadi raja dan hakim dalam dunia persi-
latan kita. Itu berarti akan ada pertarungan adu
kesaktian, adu ilmu dan adu debat. Kusarankan,
kau jangan datang ke sana! Tentunya kau tahu,
mereka yang akan datang adalah orang-orang
sakti yang tentu saja ilmunya tinggi-tinggi. Mere-ka tidak segan-segan
menyingkirkan saingannya
dengan cara membunuh atau melukai separah
mungkin. Dan...."
"Dan kau takut kalau aku terluka, begitu?"
sahut Sri Tanding.
Yoga diam sejenak, memandangi gadis can-
tik berwajah mungil manis itu. Kemudian kepala
Yoga tampak mengangguk sambil menjawab,
"Ya. Memang aku takut kalau kau terluka."
Gadis itu tampak sedikit kecewa. "Kau me-
remehkan ilmuku. Yoga!"
"Bukan meremehkan. Aku hanya memper-
bandingkan ketika kau melawan orang berselen-
dang merah tadi. Kau sudah terdesak sedemikian
rupa, dan hampir-hampir kehilangan nyawa. Jika
kau tampil di sana dan bertemu dengan wanita
berselendang merah itu, sudah tentu ia tidak se-
gan-segan menggunakan jurus mautnya.
"Apa pun yang terjadi, aku harus hadir.
Karena itu perintah langsung dari Nyai Guru Ratu
Candra Wulan!"
"Barangkali kalau boleh aku sarankan
kembali, hadir tetap saja hadir, tapi jangan ma-
suk ke arena pertarungan! Wanita berselendang
merah itu sendiri akan temukan lawan tangguh-
nya dan bisa-bisa jiwanya pun melayang di arena
pertarungan nanti. Sekali lagi kusarankan, jan-
gan masuk ke arena pertarungan!"
"Kau benar-benar mengecilkan diriku. Yo-
ga!" Sri Tanding tampak semakin tersinggung, pandangan matanya sedikit menyipit.
Yoga menjadi tak enak hati, dan akhirnya berkata,
"Aku hanya menyarankan. Bukan men-
ganggapmu tak mampu. Saran itu boleh saja kau
tolak dan kau abaikan, walau hatiku kecewa jika
sampai melihatmu celaka di sana."
"Barangkali kau takut kalau akhirnya kau
akan bertemu denganku di arena pertarungan
itu." "Tidak," jawab Yoga sambil tersenyum tenang dan teduh. "Kau tidak akan
bertemu den- ganku di arena itu, karena aku tak akan turun ke
pertarungan!"
"Kau tak akan turun ke pertarungan"!" Sri Tanding merasa heran. "Kau seorang
pendekar yang sedang banyak dibicarakan oleh para tokoh
dunia persilatan, Yoga. Kau pendekar yang dira-
malkan oleh mereka akan unggul dalam perta-
rungan nanti. Mengapa kau tidak akan hadir da-
lam pertarungan tersebut?"
Yoga menarik napas, karena baru tahu
bahwa dirinya banyak dibicarakan dan dijagokan
oleh beberapa tokoh. Ia sendiri tak menyangka
kalau para tokoh mempunyai perkiraan setinggi
itu terhadap kesaktiannya. Namun hal itu tidak
membuat Yoga besar kepala atau berbusung da-
da. Yoga bahkan berkata,
"Kalau toh aku hadir, aku hanya sebagai
penonton saja. Aku tidak mau diadu oleh siapa
pun hanya untuk memperebutkan gelar dan ke-
dudukan. Aku bukan orang yang gila kedudukan
dan gelar. Terserah saja siapa nanti yang akan
unggul, aku tidak akan mau peduli. Semasa me-
reka tidak mengusik aliran rajawali, aku tidak
akan ikut campur dalam acara tersebut, Sri Tand-
ing. Jadi kalau aku sarankan dirimu agar jangan
hadir, itu lantaran aku tak ingin melihat kau ke-
cewa dan terluka. Sayang sekali wajah secantik
kau harus menderita kekecewaan dan luka parah
seperti tadi!"
Sri Tanding tak bisa berkata apa-apa. Ha-
tinya sibuk memeluk rasa bangga mendengar pu-
jian pendekar tampan tersebut. Ia terdiam hingga
beberapa saat, membiarkan angin lembah mener-
pa rambut poninya.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi itu makin
terasa kencang. Dahi Pendekar Rajawali Merah
itu berkerut, dan ia lekas-lekas dekati Sri Tand-
ing. Ia berbisik dalam jarak sekitar dua jengkal
dari pundak Sri Tanding.
"Selekasnya kita tinggalkan tempat ini!"
Sri Tanding memandang dengan mata me-
nyipit menahan hembusan angin. Dari alls yang
berkerenyit, Yoga tahu gadis itu heran mendengar
bisikannya. Yoga pun segera menjelaskan,
"Firasat ku mengatakan ada bahaya yang
sedang mengintai kita."
Sri Tanding masih belum percaya. Tapi ia
tidak menyanggah ucapan Yoga, juga tidak men-
gatakan apa-apa. Matanya sempat melirik kanan-
kiri, dan ia merasakan keadaan aman-aman saja.
Angin semakin kencang. Yoga kian berbisik
sambil menarik pelan lengan Sri Tanding, menga-
jaknya jalan. "Angin ini terasa perih di mata, dan me-
nyengat kulit. Tidakkah kau rasakan hal itu?"
Sri Tanding melangkah pelan, seperti sepa-
sang kekasih yang sedang bermesraan di taman.
Tapi sebenarnya gadis itu merasakan apa yang
dikatakan Yoga tadi. Lama-lama ia mengakui ke-
benaran kata-kata Yoga, sehingga ia pun berbisik, Aku sekarang merasakan apa
yang kau katakan tadi; mata perih dan kulit bagai tersengat.
Tapi siapa orang yang menyerang kita dengan an-
gin seperti ini?"
"Bukan angin, melainkan tenaga dalam.
Hawa panas yang ia lepaskan sengaja membuat
kita tak sadari hal itu. Bersiaplah, siapa tahu ada kejutan di depan kita! Aku
akan melawannya
dengan hawa dingin ku!"
Tangan Yoga yang memegangi lengan Sri
Tanding itu dilepaskan. Tangan itu segera meng-
genggam. Wajah Yoga tampak biasa-biasa saja,
dengan senyum tipis yang masih menawan. Na-
mun sebenarnya saat itu Yoga sedang menahan
napas dan keluarkan hawa dingin dari pori-pori
kulitnya yang bersih itu.
Hawa dingin semakin terasa meresap di
kulit tubuh Sri Tanding. Hawa dingin itu menye-
bar ke mana-mana, sehingga rasa sengatan di ku-
lit gadis itu berganti rasa beku yang makin lama
semakin hampir menggigilkan badan. Sri Tanding
mencoba bertahan untuk tidak menggigil. Supaya
tidak kentara, ia sesekali menunduk, sesekali
memandang tegak, sambil mengucapkan kata pe-
lan yang sebenarnya tak perlu diucapkan. Se-
hingga kesan yang ada pada dirinya adalah kesan
seorang gadis yang dengan malu-malu menguta-
rakan perasaan hatinya.
Daun-daun hijau mulai berbintik putih.
Bintik-bintik putih itu adalah busa salju yang
timbul dari udara dingin di sekelilingnya. Rant-
ing-ranting kering pun menjadi basah. Di sana-
sini mulai tampak embun yang segera berubah
menjadi busa salju. Setiap pori-pori tubuh Yoga
dapat keluarkan hawa dingin secara terus mene-
rus, sehingga Sri Tanding sempat gelisah karena
menahan tubuh agar tak menggigil.
Orang yang menyerang mereka dengan ha-
wa panas itu terkejut. Maka ia segera hentikan
serangannya. Angin tidak lagi berhembus, dan
Yoga pun segera hentikan semburan hawa din-
ginnya. Tetapi dengan menggunakan jurus 'Sandi
Indera', Yoga dapat mengetahui ada orang yang
mengikuti langkahnya. Sengaja pemuda itu diam
saja dan berlagak tidak mengetahuinya, namun ia
berbisik kepada Sri Tanding dengan sangat pelan,
"Ada yang mengikuti langkah kita!"
Sri Tanding tersenyum manis, hentikan
langkah. Tapi bicaranya bernada tegang dan san-
gat pelan, "Mungkinkah Selendang Badai yang men-
gikuti kita" Orang yang melawanku berselendang
merah itulah yang ku maksud Selendang Badai."
Yoga tersenyum menawan. Persis sekali
orang berkasih-kasihan. Ia memegangi pundak
Sri Tanding dan berkata.
"Kurasa bukan. Langkahnya adalah lang-
kah berat. Pasti seorang lelaki yang mengikuti ki-ta itu." "Haruskah kita
serang?" "Jangan. Biarkan dia muncul dan kita
mengetahui maksudnya!"
Sri Tanding sengaja tertawa agak keras dan
mengikik. Hal itu ia lakukan supaya orang tak
akan menyangka bahwa dirinya sedang membica-
rakan suatu bahaya yang sedang mengancamnya.
"Kurasa aku tak sabar untuk melawan
orang itu, Yoga," katanya bernada bisik dengan wajah tetap ceria.
"Sabarlah. Ku rasakan ada yang mengikuti
kita lebih dari satu orang. Langkah kaki mereka
beruntun, mungkin dua atau tiga orang."
"Di mana saja mereka berada?"
"Mengitari kita dari berbagai arah," jawab Yoga sambil mencubit dagu Sri
Tanding. Gadis itu
tertawa kecil, antara senang dan tegang. Tapi me-
reka pandai menipu wajah sehingga tak sesuai
dengan isi hatinya. Terbukti Yoga pun kembali
berkata sambil menggenggam tangan Sri Tanding
yang terangkat di dada,
"Jika terpaksa aku harus menyerang, kau
segera bersiap untuk lari selamatkan diri."
Sri Tanding menggelengkan kepala di sela
senyum manisnya, lalu berkata dalam nada de-
sah, Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu,
Yoga. Aku harus menghadapi mereka juga. Kita
hadapi bersama, Yoga!"
Yoga tarik napas. "Kau memang gadis ban-
del, Sri Tanding."
Tapi pada saat itu tangan yang meremas
jemari Sri Tanding itu semakin kuat. Lalu, dengan bisikan lembut Yoga pun
berkata, "Mereka menyerangku dengan satu kekua-
tan yang tak terlihat. Aku merasakan panas pada
bagian punggungku. Makin panas sekarang."
"Lawan mereka! Jangan biarkan melukai-
mu!" bisik Sri Tanding.
Lalu, Yoga pun diam. Memusatkan kekua-
tan tenaga dalamnya ke bagian punggung sebagai
pelapis serangan halus itu. Sri Tanding sempat
menjadi cemas, karena ia melihat wajah Yoga mu-
lai pias dan keringat dinginnya pun tersumbul ke-
luar, membersit di kening dan leher. Sri Tanding
bingung, apa yang harus dilakukannya saat itu.
* * * 5 SEKELEBAT bayangan melesat menerjang
Pendekar Rajawali Merah. Kecepatan gerak orang
tersebut membuat dirinya terlihat hanya seperti
kabut hitam yang terhempas badai. Wuuuttt...!
Tetapi mata tajam Pendekar Rajawali Me-
rah masih mampu menangkap gerakan cepat ter-
sebut, sehingga ia terpaksa merendahkan tubuh-
nya dengan menyilangkan tangan ke atas kepala.
Daahg...! Yoga sempat terguling jatuh di tanah kare-
na merasa seperti menahan gerakan seekor ban-
teng sedang mengamuk. Tapi yang ditahan gera-
kannya itu pun terpental mundur dan jatuh pula
berguling-guling. Keduanya cepat berdiri untuk
hindari serangan berikutnya.


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya orang yang menyerang Pendekar
Rajawali Merah itu berpakaian hitam bergaris-
garis merah dan bersenjata samurai. Siapa lagi
kalau bukan pendekar dari negeri Matahari Terbit
yang bernama Shogun Kogawa yang berwajah ka-
ku dan dingin. Begitu wujud penyerang Yoga itu tampak
jelas, Sri Tanding cepat-cepat lepaskan pukulan
jarak jauh bergelombang besar. Wuuttt.... Buhg!
Shogun Kogawa menahan pukulan berat
itu dengan kedua telapak tangan dihadangkan ke
depan dada, lalu sedikit bergerak ke kiri, sehingga arah pukulan bagaikan
dipantulkan dan menge-
nai sebongkah batu besar di sebelah kirinya.
Bruussh...! Batu itu pun hancur berkeping-
keping, tanpa memercik ke mana-mana.
"Tulang-tulangku terasa patah semua," pikir Yoga saat itu. "Rupanya orang
berambut kuncir ini punya tenaga dalam yang cukup tinggi dan
tadi ia kerahkan sepenuhnya. Berarti dia tidak
main-main dan benar-benar ingin membunuhku.
Tapi, siapa dia itu"!"
Shogun Kogawa memandang tajam ke arah
Pendekar Rajawali Merah. Sementara itu, Sri
Tanding juga memandang ke arah yang sama
dengan wajah cemas. Lalu terdengar suaranya
berbisik dalam jarak tiga langkah di samping Yo-
ga, "Bagaimana keadaanmu?"
"Tidak apa-apa! Mundurlah, Sri Tanding.
Biar kuhadapi sendiri orang aneh ini!"
Sri Tanding mundur sambil berkata lirih,
"Hati-hati, aku kenal dia. Namanya Shogun Kogawa, ilmu pedangnya tinggi, juga
tenaga dalam- nya tinggi. Tanyakan dulu, apa maksudnya me-
nyerang kita!"
Ketika Sri Tanding bergerak ke belakang
Yoga itulah, ia merasakan datangnya gelombang
padat berkekuatan besar yang menerjang tubuh-
nya dan tubuh Yoga. Wuuttt...!
"Awas!" sentak Sri Tanding secara tak sadar. Ia sentakkan pula kakinya ke tanah
dan tu- buhnya melenting ke atas, bersamaan dengan itu
melenting pula tubuh Yoga dan bersalto satu kali
untuk pindah tempat. Gelombang padat yang be-
sar itu hampir saja mengenai Shogun Kogawa pu-
la. Untung orang bermata sipit itu segera melom-
pat menghindar ke arah yang sama dengan Yoga.
Seorang lelaki tua berjubah abu-abu mun-
cul dengan tongkat putihnya. Rambutnya panjang
sebatas pantat meriap tak diikat. Sri Tanding berkerut dahi dengan heran karena
ia mengenali orang tersebut. Ia cepat dekati Yoga dan berkata,
"Ki Tenung Jagat, namanya! Dari kelompok
aliran Petapa Laut!"
"Apa maksudnya datang dan menyerang ki-
ta?" "Entahlah!"
Ki Tenung Jagat diam tanpa senyum dan
kata. Ia berdiri di sebelah barat, sedangkan Sho-
gun Kogawa berdiri di sebelah timur dari Yoga
dan Sri Tanding. Kehadiran mereka yang tampak
berkomplot itu baru saja ingin ditanyakan oleh
Pendekar Rajawali Merah, namun seberkas sinar
kuning melingkar-lingkar sedang menuju ke arah
Yoga dan Sri Tanding. Hal itu membuat Yoga ber-
seru mengingatkan Sri Tanding.
"Lompat...!"
Wuuttt...! Keduanya melompat tinggi-tinggi
sehingga gelombang sinar kuning bergulung-
gulung itu lolos dari sasaran sebenarnya, dan se-
bagai sasaran berikut adalah sebatang pohon
yang terletak lebih dari lima belas tombak dari
tempat Yoga dan Sri Tanding berada. Pohon yang
terhantam sinar kuning melingkar-lingkar itu se-
gera kepulkan asap tanpa suara ledak, tahu-tahu
berubah kecil dan hidup. Ukurannya menjadi le-
bih tinggi dari betis Yoga. Hampir saja Yoga dan
Sri Tanding berubah menjadi sekerdil itu jika me-
reka tidak segera menghindar.
Seorang berpakaian model biksu warna
coklat berperawakan gendut muncul di sela-sela
pohon yang ada di sebelah utara. Sri Tanding ter-
peranjat, dan segera berkata kepada Yoga dengan
suara pelan, "Edan! Ketua aliran Petapa Gunung juga
hadir di sini. Dia yang bernama Resi Panuluh!"
"Kurasa ada sesuatu yang tak beres yang
membuat mereka memusuhi kita, Sri Tanding.
Atau... barangkali kau punya persoalan dengan
mereka bertiga?"
"Tak ada! Sama sekali tak ada!" jawab Sri Tanding tanpa memandang Yoga,
melainkan menatap antara Resi Panuluh dan Ki Tenung Jagat
secara berganti-gantian.
Merasa dirinya dikepung, Yoga segera lon-
tarkan tanya kepada Resi Panuluh, "Mengapa kalian mengepung dan menyerang kami?"
Ketiga orang itu tidak ada yang memberi
jawaban. Tetapi mata mereka tetap memandang
tajam dan tak bersahabat. Sebelum Yoga kembali
melontarkan tanya, tiba-tiba sebongkah batu hi-
tam sebesar gentong melayang di udara dan mele-
sat ke arah Yoga dan Sri Tanding. Kecepatan batu
itu hampir saja tak terlihat. Tapi tangan Yoga se-
cara dengan sendirinya berkelebat menyentak ba-
gai melepaskan sesuatu dari genggamannya, dan
ternyata yang terlepas adalah asap merah tipis.
Wuusss...! Asap merah tipis menghantam
batu tersebut. Blaarrr...! Ledakan dahsyat mem-
buat batu itu hancur menjadi serbuk lembut.
Dari arah selatan, tempat datangnya batu
besar tadi, muncul seorang wanita cantik yang
pernah dilihat oleh Yoga di suatu tempat, namun
pada waktu itu perempuan tersebut merubah di-
rinya dalam wujud persis Tua Usil. Akibatnya,
saat itu Yoga tidak mengenali siapa perempuan
tersebut, sehingga ia bertanya kepada Sri Tanding dalam bisikan lirih.
"Yang ini siapa?"
"Kalau tidak salah... Ketua Perguruan Bi-
ara Sita, bernama Putri Kumbang!"
"Ooo... dia"!" Yoga manggut-manggut sa-
mar. "Ya. Dialah orangnya. Kenapa" Cantik"!"
Yoga tersenyum sinis. "Dia pernah menya-
mar menjadi wujud diriku dan merubah diri men-
jadi pelayanku, tapi aku tidak mengenali wajah
aslinya. Baru sekarang aku melihat wajah asli Pu-
tri Kumbang!" (Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode:
"Setan Dari Biara"). "Mereka para tokoh sakti, Yoga. Mereka agaknya ingin
membunuh kita. Kita bisa kewala-han melawan mereka."
"Tenang saja. Akan ku coba mengatasinya
dengan tegur sapa yang baik. Siapa tahu semua
ini karena kesalahpahaman saja."
Clapp...! Sesuatu tampak melesat ke langit.
Sinar biru bagaikan titik kecil itu terlepas dari suatu tempat dan berhenti di
atas kepala Yoga
dalam jarak sekitar lima tombak tingginya. Sinar
biru itu menyorot ke bawah, membentuk lingka-
ran bercahaya biru dan mengurung diri Yoga ser-
ta Sri Tanding. Slaappp...! Wuusss...!
"Ahg...!" Sri Tanding mengejangkan tubuh, kepalanya sedikit mendongok dengan
mulut tern-ganga. Ia seperti sedang diremas oleh tangan rak-
sasa. Sementara itu. Yoga pun merasakan hal
yang sama, namun ia hanya mengeraskan semua
urat tubuhnya. Dan tiba-tiba tangannya yang
menggenggam dengan bergetar itu menyentak ke
atas dalam keadaan telapak tangan terbuka.
Wuutt...! Claappp...! Melesat sinar merah kecil da-ri telapak tangan itu,
menghantam pusat sinar bi-
ru di atas sana.
Blegaarrr...! Bumi terasa berguncang akibat gelombang
ledakan dahsyat tersebut. Sri Tanding sempat ja-
tuh berlutut, lalu cepat bangkit dengan napas te-
rengah-engah. Mereka sudah tidak dikurung si-
nar biru lagi, tetapi mereka ter
paksa harus berpegangan karena tanah di
mana mereka berpijak berguncang kuat seakan
ingin retak membentuk celah yang berbahaya.
Tanah tersebut juga mengepulkan uap biru tipis
sebatas lingkaran tempat cahaya biru tadi men-
gurung mereka. "Hebat sekali ilmu orang yang menyerang
kita. Siapa dia?"
"Seingatku, jurus seperti ini hanya dimiliki oleh tokoh sakti yang berjuluk si
Jenggot Biru."
Suara Sri Tanding itu sebenarnya sangat
pelan, tapi ternyata bisa didengar dari jarak enam tombak jauhnya, sehingga
orang berpakaian putih kembang-kembang merah-biru dengan jenggot
berwarna biru segera muncul dari arah selatan,
dan berkata jelas,
"Ya. Memang akulah si Jenggot Biru, Sri
Tanding!" Cepat-cepat Sri Tanding menoleh ke arah
Jenggot Biru, sementara Yoga telah memandang
ke arah selatan sejak tadi. Sri Tanding segera berseru kepada Jenggot Biru,
"Eyang Jenggot Biru, apa maksud Eyang
menyerang kami dengan jurus berbahaya itu"!"
"Supaya kau menyingkir dari samping Pen-
dekar Rajawali Merah. Karena ketahuilah, kami
ingin lumpuhkan dia sebelum dia hadir di Bukit
Tulang Iblis!" jawab Jenggot Biru, lalu ia bergerak maju tiga tindak. Yang
lainnya pun bergerak maju
tiga tindak, sehingga kepungan mereka semakin
sempit. Masing-masing berjarak sekitar empat-
lima tindak dari tempat Yoga berada.
Yoga pun segera berseru kepada Jenggot
Biru, yang dianggap sebagai pemimpin orang-
orang sakti itu,
"Mengapa kalian tidak menghendaki aku
hadir ke Bukit Tulang Iblis itu"! Aku tidak punya
masalah apa-apa dengan kalian! Kecuali Putri
Kumbang, yang dengan licik hampir saja mence-
lakai kekasihku!"
Putri Kumbang segera perdengarkan sua-
ranya, "Semua ini terlepas dari masalah kita yang lalu. Yoga! Kami punya
kesepakatan untuk membenci aliran rajawali!"
"Itu bukan alasan yang tepat, Putri Kum-
bang. Kami tidak pernah menyerang kalian jika
kalian tidak menyerang lebih dulu! Kami tidak
pernah berbuat kejahatan bagi siapa pun! Kalau
kami menyerangmu itu karena kau lebih dulu
menyerang kami dengan kelicikanmu!"
Resi Panuluh segera berkata, dan membuat
Yoga dan Sri Tanding berpaling ke arahnya,
"Jika kau sayang pada nyawamu, kusaran-
kan untuk tidak menghadiri pertemuan itu! Kami
tidak setuju jika aliran rajawali hadir dalam pertemuan tersebut, karena aliran
rajawali tidak memenuhi syarat sebagai kelompok aliran silat.
Sedikitnya lima orang yang menjadi anggota se-
buah aliran silat. Sedangkan aliran rajawali
hanya terdiri dari dua orang, dan itu tidak meme-
nuhi syarat!"
"Ketentuan dari mana itu?" sanggah Sri
Tanding membela Yoga.
"Ketentuan dari kami," jawab Resi Panuluh.
Yoga segera berkata, "Dua atau satu orang
yang ada, aliran rajawali tetap akan ada di muka
bumi ini! Kami tidak peduli dengan pengakuan
kalian, yang jelas kami tidak mengganggu kalian
dan jangan memusuhi kami!"
"Kami tidak akan memusuhi mu jika aliran
rajawali tidak hadir dalam pertemuan nanti!" sahut Putri Kumbang dengan wajah
angkuhnya. "Tak ada yang berhak melarang kami!" kata Yoga dengan pandangan tajam menantang.
Jenggot Biru berkata, "Jika begitu, sebelum
kalian tampil di Bukit Tulang Iblis, sebaiknya
kami hancurkan di sini lebih dulu!"
Yoga menyahut, "Jika itu kehendak kalian,
aku terpaksa melakukan pembelaan diri demi
mempertahankan harga diri aliran rajawali!"
Resi Panuluh berseru, "Sri Tanding! Me-
nyingkirlah bila tidak ingin menjadi korban salah sasaran jurus-jurus maut
kami!" "Tidak! Aku tetap akan lindungi Yoga. Jika
kalian melukai ku, berarti kalian berurusan den-
gan perguruanku!"
"Gadis bandel!" geram Ki Tenung Jagat.
Kemudian, ia gedukkan tongkatnya ke tanah.
Duuuhg...! Claapp...!
Seberkas sinar hijau bagaikan lidah petir
melesat dari tanah yang disentak ujung tongkat.
Sinar hijau itu melesat ke arah Sri Tanding. Cepat sekali gerakannya itu. Namun
buru-buru Yoga mematahkan serangan tersebut dengan kibasan
tangan yang berkelebat dan mengeluarkan gelom-
bang tenaga dalam cukup besar. Wuuttt...!
Trattt... tar... duaaar...!
Melihat serangan ringan Ki Tenung Jagat
dapat dilawan oleh Pendekar Rajawali Merah, ma-
ka Shogun Kogawa pun tidak hanya tinggal diam
saja. Ia segera melompat dan mencabut samu-


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rainya. Seett...! Samurai itu dikibaskan berkelebat dari bawah ke atas. Arahnya
dada serta wajah Yo-ga yang akan ditebasnya.
Tetapi dengan cepat pula Sri Tanding men-
cabut pedangnya dan berkelebat menangkis sa-
murai tersebut. Trangng...! Kemudian tubuh Sri
Tanding memutar cepat dan melepas tendangan
kaki kanannya. Wuuttt!
Plak...! Tendangan itu ditangkis dengan
lengan kiri Shogun Kogawa. Tangkisan itu mem-
buat Sri Tanding terpelanting jatuh karena selu-
ruh tulangnya bagaikan membentur benteng be-
ton dan remuk seketika. Pada waktu Sri Tanding
jatuh itulah, Shogun Kogawa segera menebaskan
samurainya dari atas ke bawah dengan kecepatan
menyamai kilat. Wuuttt...!
Zlaappp...! Bruugh...!
Yoga segera gunakan jurus 'Petir Selaksa'
yang mampu menyerang dengan kecepatan tinggi,
melebihi kecepatan kilatan sinar petir. Sasaran
utama jelas tubuh Shogun Kogawa dari samping
kiri. Dan ternyata jurus tersebut membuat Sho-
gun Kogawa terlempar jauh dengan samurai me-
nebas tak tentu arah. Tendangan lompat yang
amat cepat itu membuat lawan sempat mengejang
sebentar di tempatnya jatuh, namun segera ber-
hasil kuasai rasa sakitnya dan ia berdiri kembali.
Sri Tanding segera bangkit setelah Yoga
ulurkan tangan dan ia menyambutnya, lalu me-
nariknya hingga berdiri. Sebaris kata diucapkan
dalam bisik, "Terima kasih atas penyelamatan mu...." Yoga tidak menjawab, karena
ia harus cepat-cepat meraih tubuh Sri Tanding dan memba-
wanya melompat ke arah lain. Hanya ada satu ca-
ra seperti itu yang bisa dilakukan Yoga untuk
menghindari pisau-pisau sinar yang berwarna pu-
tih itu. Pisau-pisau sinar putih redup terlepas da-ri sentakan tangan kiri Resi
Panuluh yang telapak tangannya tengadah menghadap ke langit. Clap,
clap, clap, clap...!
Seandainya Yoga tidak menyambar tubuh
Sri Tanding dan membawanya lompat ke arah
lain, maka tubuh Sri Tanding akan menjadi sasa-
ran berikutnya, setelah pisau sinar putih redup
itu gagal kenai tubuh Pendekar Rajawali Merah.
Duuurrbbb...! Pisau-pisau itu akhirnya di-
redam oleh Ki Tenung Jagat dengan ujung tong-
kat yang diacungkan dan bagai mempunyai daya
sedot cukup tinggi. Jika tidak begitu, maka tubuh Ki Tenung Jagat-lah yang akan
menjadi sasaran
pisau-pisau aneh tersebut. Syyuuurrpp...!
Jenggot Biru lepaskan jurusnya berupa si-
nar kuning keputih-putihan yang tahu-tahu me-
nyergap kedua tubuh anak muda itu. Jiaabb...!
Dan tubuh Yoga serta Sri Tanding terperangkap
dalam sebuah kotak besar. Kotak tersebut bukan
terbuat dari kayu, melainkan dari gumpalan batu
es yang membeku keras. Tubuh mereka bagaikan
ada di dalam bongkahan batu es bercahaya putih
menyilaukan. Pendekar Rajawali Merah berusaha berge-
rak, namun tak dapat. Tubuhnya bagaikan mem-
beku menjadi satu dengan gumpalan es besar itu,
merapat kuat dengan tubuh Sri Tanding. Tak ada
ruang gerak sedikit pun, sehingga mereka yang
bisa terlihat dari luar itu, kelihatan sedang kebingungan mengambil napas.
"Heh, heh, heh, heh...!" Jenggot Biru tertawa pelan, terkekeh dengan suara
tuanya melihat Sri Tanding dan Pendekar Rajawali Putih tak bisa
berkutik. Ia pun berkata kepada Putri Kumbang,
"Pendekar Rajawali Merah tak akan bisa lepaskan diri, karena tak ada ruang dan
kesempatan bagi
jantungnya untuk berdetak. Ia akan mati membe-
ku di sana bersama gadis malang itu."
Putri Kumbang tersenyum girang sambil
berkata, "Kurasa tak lebih dari dua puluh hitungan mereka sudah tidak bernyawa
lagi!" "Tindakan yang tepat, Jenggot Biru!" kata Resi Panuluh, sementara Putri Kumbang
berjalan dekati balok es besar tersebut.
Tapi tiba-tiba ketika Putri Kumbang berada
dalam jarak dua langkah dari balok es besar ter-
sebut, tiba-tiba balok es itu pecah dalam satu
sentakan yang amat kuat. Praakkk...! Serpihan
balok es Itu memercik mengenai wajah Putri
Kumbang. "Auuuh...!" Putri Kumbang menjerit. Pecahan balok es itu runcing-runcing dan
sebagian menembus wajah Putri Kumbang, bagaikan peca-
han kaca yang amat tajam.
Pecahnya balok es itu membuat Jenggot
Biru tersentak kaget dengan mata mendelik. Yang
lainnya pun terkesiap dan menjadi tegang seketi-
ka itu juga. Langkah mereka sempat mundur se-
tindak dan masing-masing siap dengan kuda-
kuda mereka. Yoga dan Sri Tanding masih berpelukan,
tapi kaki mereka lemas bagaikan tak bertulang.
Bagi Yoga hal itu hanya dirasakan sekejap saja.
Setelah napasnya banyak menghirup udara segar,
ia kembali berdiri, dan Sri Tanding masih terpu-
ruk pegangi kaki Yoga dengan napas megap-
megap. Putri Kumbang sibuk melepasi pecahan ba-
lok es yang menghunjam kulit wajahnya dan
membuat darahnya membasahi wajah cantik itu.
Sedangkan Jenggot Biru hanya membatin,
"Mampu juga ia memecahkannya"! Padahal
tak ada ruang sedikit pun yang bisa digunakan
untuk bergerak" Atau... mungkin ada pihak lain
yang turut campur dalam masalah ku ini?"
Wuuuttt...! Sekelebat bayangan biru mele-
sat masuk ke lingkaran kepung mereka. Kehadi-
ran seorang pemuda tampan membuat mereka
saling terperanjat dan kian waspada lagi.
"Pandu...!" cetus Yoga sedikit kaget melihat kedatangan Pandu Tawa yang sedang
dalam perjalanan ke Bukit Tulang Iblis itu.
"Bersiaplah untuk lari. Yoga! Kau akan ter-
desak melawan mereka jika tidak larikan diri. Ke-
kuatan mereka jika sedang bergabung begini akan
menjadi kekuatan yang luar biasa. Mereka bukan
orang-orang berilmu rendah!" kata Pandu Tawa dengan suara pelan dan mata
memandang penuh
waspada kepada orang-orang yang mengepung-
nya. Sri Tanding sudah pulih dan bisa berdiri
kembali walau tetap berpegangan lengan Yoga.
Sementara itu, terdengar suara Jenggot Biru ber-
seru kepada Pandu Tawa,
"Anak muda! Menyingkirlah agar kau tak
menjadi korban kami!"
Pandu Tawa tidak hiraukan seruan itu, se-
bab ia mendengar Yoga ajukan tanya bersuara li-
rih, "Bagaimana dengan Lintang Ayu?"
"Sudah pergi ke Bukit Berhala bersama
Bocah Bodoh."
"Bocah Bodoh sudah bebas?"
"Sudah! Lekas tinggalkan tempat ini begitu
aku melepaskan 'Racun Tawa'-ku, Yoga!"
Ki Tenung Jagat lebih dulu melepaskan
pukulan bergelombang tanpa warna. Gelombang
panas yang mampu melelehkan baja itu dihadapi
oleh Pendekar Rajawali Merah dengan pukulan
gelombang dinginnya.
Wuuttt...! Wuusss...! Blaarrr...!
"Hah, hah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu Tawa tertawa keras dan terbahak-bahak.
'Racun Tawa' disebarkan, membuat Jenggot Biru terse-
nyum-senyum, Putri Kumbang terkikik geli. Resi
Panuluh terkekeh-kekeh, sedangkan Shogun Ko-
gawa dan Ki Tenung Jagat tetap diam membisu.
Ketika Yoga dan Sri Tanding punya kesem-
patan melarikan diri, Pandu Tawa mengikutinya
dari belakang, membiarkan lawan mereka terta-
wa-tawa. Tapi Ki Tenung Jagat dan Shogun Ko-
gawa mengejar mereka.
* * * 6 KEDUA pengejar itu menggunakan jurus
peringan tubuh yang cukup tinggi. Shogun Koga-
wa berkelebat di atas pohon. Dari dahan ke dahan
ia mampu berlari sangat cepat bahkan menyeru-
pai seekor burung gagak terbang di sela-sela da-
han pohon. Setiap pohon yang digunakan berpi-
jak oleh kakinya, tidak pernah timbulkan suara
ataupun gerakan yang mencurigakan. Bahkan
suara getar pohon yang dipakai berlari itu pun
nyaris tidak terlihat atau terdengar oleh siapa
pun. Jika bukan orang yang menguasai ilmu pe-
ringan tubuh, tak mungkin dapat lakukan kehe-
batan seperti itu.
Sedangkan Ki Tenung Jagat justru tidak
kelihatan lewat mana ia mengejar Yoga dan Sri
Tanding. Sementara itu, Pandu Tawa yang mengi-
kuti arah pelarian Yoga pun tidak melihat gera-
kan Ki Tenung Jagat. Hanya saja, ketika mereka
tiba di kaki bukit cadas, tahu-tahu orang ber-
tongkat putih dengan rambut uban panjang me-
riap itu sudah berdiri menghadang langkah mere-
ka. Mau tak mau Yoga pun hentikan langkahnya.
Sri Tanding sempat terkesiap sejenak dan Pandu
Tawa terperangah, namun sudah tidak terlalu
merasa heran melihat orang berambut panjang
sudah berada di depannya. Pandu Tawa sudah
dapat mengukur tingginya ilmu Ki Tenung Jagat
yang dikenalnya beberapa waktu yang lalu itu.
Pantas jika Ki Tenung Jagat mampu bergerak se-
cepat itu. Karena dulu Pandu Tawa pernah kehi-
langan jejak waktu mengejar Ki Tenung Jagat un-
tuk suatu keperluan sendiri.
"Gila! Orang itu seperti setan. Tahu-tahu
sudah muncul di depan kita!" geram Sri Tanding dengan menyimpan rasa kagum
terhadap kecepatan bergeraknya Ki Tenung Jagat.
Shogun Kogawa muncul jauh di belakang
Ki Tenung Jagat. Rupanya ia hampir saja me-
ninggalkan buruannya karena kecepatan berge-
raknya dari pohon ke pohon. Ia segera kembali
dan bergabung dengan Ki Tenung Jagat.
"Pandu Tawa, apakah kita harus melawan
orang-orang itu dan menimbulkan bencana bagi
mereka?" tanya Yoga sambil tetap memandang
kedua lawannya dalam jarak sekitar sepuluh
langkah itu. "Kurasa demi mempertahankan diri, jika
mereka bermaksud mencelakai kita, tak ada sa-
lahnya jika kita lakukan pembelaan diri, walau
untuk itu terpaksa mengorbankan diri mereka,"
jawab Pandu Tawa. "Tapi sebaiknya kucoba dulu untuk membujuk mereka agar tidak
menyerang kita. Yoga. Kau tetaplah di tempat bersama ga-
dismu itu dan berjaga-jagalah setiap saat!"
"Sri Tanding bukan gadisku, Pandu Tawa.
Ia sahabat kita!"
Pandu Tawa tersenyum sekejap, lalu tampil
ke depan dan berseru kepada kedua lawannya
itu, "Ki Tenung Jagat, kusarankan agar di antara kita tidak perlu saling
bermusuhan lagi!"
"Terpaksa harus bermusuhan, Pandu Ta-
wa! Karena kami tidak menghendaki aliran raja-
wali ikut hadir dalam. pemilihan nanti!"
"Aku memang tidak akan mencalonkan di-
ri!" sahut Yoga yang maju hingga berdiri berjajar dengan Pandu Tawa. "Aku tidak
akan terpilih sebagai hakim dan Pendekar Maha Sakti, karena
aku kurang setuju dengan acara seperti itu, Ki
Tenung Jagat!"
"Untuk meyakinkan kami, kau harus kami
lumpuhkan lebih dulu!" kata Ki Tenung Jagat bagaikan sukar diajak berembuk lagi.
"Agaknya kita tak punya pilihan lain. Yo-
ga!" Sri Tanding menimpali, "Serang saja mereka daripada mereka yang serang
kita!" "Tunggu dulu, biar aku yang .bicara pada
kedua orang itu," cegah Yoga, lalu ia berkata kepada Ki Tenung Jagat, yang
mewakili mereka.
Tetapi belum sempat Yoga bicara, tiba-tiba
dari arah belakang muncul tiga orang yang telah
berhasil atasi Racun Tawanya. Pandu Tawa. Me-
reka adalah Jenggot Biru, Putri Kumbang, dan
Resi Panuluh. Putri Kumbang segera berseru den-
gan nada marah,
"Pandu Tawa! Terimalah pembalasan atas
pelecehan mu kepada kami!"
Baru saja Pandu Tawa ingin lakukan sesu-
atu, tapi tiba-tiba dari mata Putri Kumbang telah keluarkan sinar ungu yang
menghantam ke dada
Pandu Tawa. Claappp...!
Selarik sinar ungu itu segera disambar oleh
tangan Yoga yang tepat berada di samping Pandu
Tawa itu. Telapak tangan yang membara merah,
dengan bagian jarinya tidak ikut membara, segera
menangkap sinar ungu tersebut. Zruubbb...! Lalu
menggenggamnya sesaat dan melemparkan sinar
yang telah tergenggam itu ke arah bukit cadas.
Blegaarrr...! Dengan gunakan jurus Tolak Guntur'-nya.
Yoga berhasil selamatkan jiwa Pandu Tawa. Teta-


Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pi akibatnya, ledakan dahsyat itu bukan saja
memecahkan bukit cadas saja, melainkan juga
mengguncangkan bumi begitu hebat, sehingga tak
satu pun dari mereka ada yang tegak berdiri. Ge-
muruh ledakan itu bagaikan membahana sampai
ke mana-mana dan menimbulkan angin kencang
mirip badai. Sri Tanding jatuh menindih Pandu Tawa,
sementara itu Yoga terlempar empat tindak dari
samping Pandu Tawa. Di sisi lain, Shogun Kogawa
terkapar karena tanah yang dipijaknya bagaikan
mencuat naik dan melemparkannya. Ki Tenung
Jagat tersungkur roboh tak bisa bertahan tegak.
Jenggot Biru terhempas agak jauh dari tempatnya
semula, dan Putri Kumbang jatuh terkapar den-
gan tertindih badan gemuknya Resi Panuluh. Me-
reka hampir saja tergencet sebatang pohon yang
tumbang dalam jarak satu langkah dari tempat
mereka saling bertumpuk. Sedangkan pohon-
pohon lainnya pun tumbang tak beraturan lagi.
Bukit cadas itu hancur seperempat bagian. De-
bunya menyebar ke mana-mana. Bahkan sempat
membungkus tubuh Shogun Kogawa.
Ketika gemuruh dan guncangan bumi reda.
Mereka mulai bangkit satu persatu. Shogun Ko-
gawa menggerutu tak jelas sambil menepis-
nepiskan debu dari pakaiannya. Rambut kuncir-
nya menjadi coklat keputihan karena dibungkus
debu cadas itu.
Putri Kumbang tampak berdarah mulut-
nya, dan Resi Panuluh segera membantunya ber-
diri. Jenggot Biru tidak mengalami cedera apa
pun, demikian pula Yoga, Sri Tanding, dan Pandu
Tawa. Namun Ki Tenung Jagat berdarah dagunya
karena tersungkur ke tanah sangat keras.
Hal yang membuat mereka terkejut begitu
guncangan itu berlalu adalah kemunculan seseo-
rang yang sudah berdiri di sisa pecahan bukit ca-
das yang tak seberapa tinggi itu. Seseorang yang
berdiri di sana tampak memperhatikan keadaan
sekitar mereka dengan wajah lembut, tanpa kesan
bermusuhan. Bahkan ada seulas senyum yang
mekar di bibirnya dengan tipis.
Orang tersebut adalah perempuan berju-
bah kuning gading, berwajah cantik seperti beru-
sia sekitar dua puluh tujuh tahun, tapi sebenar-
nya usianya lebih dari enam puluh tahun. Bah-
kan menurut Jenggot Biru yang mengenai perem-
puan itu, usia tersebut mencapai tujuh puluh ta-
hunan. Perempuan itu cantik dan berbadan sekal
dengan pakaian dalam jubah berwarna coklat
muda. Perempuan cantik berwajah lonjong dengan
hidung mancung dan bibir sedikit tebal bagian
bawahnya itu mempunyai rambut hitam yang di-
gelung. Dan pada gelungannya dililit logam kun-
ing emas berhiaskan bebatuan warna-warni. Putri
Kumbang, Ki Tenung Jagat dan Resi Panuluh cu-
kup kenal dengan perempuan tersebut, tetapi
Shogun Kogawa belum mengenalnya. Tetapi keti-
ka Ki Tenung Jagat membisikkan nama perem-
puan itu, Shogun Kogawa segera manggut-
manggut pertanda memahami siapa perempuan
itu. Sri Tanding terkejut saat melihat perem-
puan tersebut, dan segera berseru, "Nyai
Guru..."!"
Maka Yoga pun tahu bahwa orang tersebut
ternyata adalah Ratu Candra Wulan, guru dari Sri
Tanding. Pandu Tawa sempat terpana sesaat me-
mandangi kecantikan Ratu Candra Wulan itu.
Shogun Kogawa tiba-tiba melesat tinggi
dan menerjang Ratu Candra Wulan. Tetapi pe-
rempuan itu melompat ke arah lain dan turun da-
ri tanah tinggi. Shogun Kogawa bagaikan kecele
menerjang tempat kosong yang membuatnya clin-
gak-clinguk mencari lawan yang ingin diserang-
nya tadi. Terpaksa Shogun Kogawa kembali turun
dan lepaskan satu serangan tenaga dalam berge-
lombang besar melalui kibasan tangan kanannya.
Tetapi Ratu Candra Wulan tidak mau
membiarkan serangan itu menghantamnya. Ia le-
kas-lekas menyentakkan tangan kanannya ke kiri
sambil tubuhnya meliuk ke belakang, dan seber-
kas sinar kuning pecah menyergap Shogun Koga-
wa. Blaarrr...!
Sinar itu beradu dengan pukulan berge-
lombang besar dari Shogun Kogawa yang mem-
buat lelaki bersenjata samurai itu terhempas ke
belakang dengan sangat kuatnya. Tubuh itu
membentur dinding bukit cadas dan membuat
tubuh itu terbenam ke dalam dinding cadas kare-
na kuatnya benturan tersebut. Shogun Kogawa
bagaikan terkubur di sana, namun mampu keluar
setelah menjebol dinding kanan-kirinya. Ia tam-
pak marah besar kepada Ratu Candra Wulan,
namun gerakannya segera dicegah oleh Ki Tenung
Jagat dengan menghadangkan tongkatnya.
"Tahan dulu!: katanya dengan suara datar.
Sri Tanding segera dekati gurunya dan berkata,
"Mereka mengepung kami dan mengincar Pende-
kar Rajawali Merah, Nyai Guru!"
"Larilah kalian. Kuhadapi sendiri mereka!"
ucap Ratu Candra Wulan dengan wajah tetap ra-
mah dan tak ada kesan marah.
"Candra Wulan!" seru Jenggot Biru, "Perkara kita yang dulu sudah berakhir.
Jangan lagi kau bikin perkara baru denganku!"
"Aku hanya melindungi muridku, Jenggot
Biru!" kata Ratu Candra Wulan.
"Muridmu tidak akan kami ganggu semasa
dia tidak berada di dekat Pendekar Rajawali Me-
rah!" "Itu urusan mereka, mau berdekatan atau berjauhan, yang jelas aku hanya
akan melindungi
muridku!" kata-katanya tegas tapi wajahnya selalu berkesan lembut dan ramah.
"Secara tidak langsung kau ingin melin-
dungi Pendekar Rajawali Merah juga, Candra Wu-
lan!" sahut Resi Panuluh. "Dan pemuda tampan yang satunya pun akan kau lindungi
juga" itu sama saja kau ingin melawan kami, Candra Wu-
lan!" "Resi Panuluh yang sakti, kalau kesimpu-lanmu begitu aku tak pernah
menghindar dari
tantangan siapa pun!"
Putri Kumbang berseru, "Wajah manis
pembawa racun dendam! Kau akan berurusan
denganku setelah kau bunuh dua muridku tiga
tahun yang lalu. Hiiaatt...!"
Tangan Putri Kumbang menyentak cepat ke
depan, lalu bersikap biasa-biasa lagi. Tapi sentakan tangan itu telah
menghamburkan puluhan
jarum yang menyerang ke tubuh Ratu Candra
Wulan. Sayang sekali puluhan jarum itu tiba-tiba
jatuh tertumpuk di depan kaki Ratu Candra Wu-
lan ketika dipandanginya tak berkedip beberapa
kejap. Ratu Candra Wulan lumpuhkan serangan
jarum hitam berpuluh-puluh jumlahnya, dan
membuat Putri Kumbang menjadi geram. Ma-
tanya menatap tajam penuh amarah.
Lalu kedua jari telunjuk dipertemukan di
depan mulut, dan jari-jari itu ditiupnya. Tiupan
itu timbulkan suara denging tipis. Beberapa saat
kemudian, datanglah segerombolan lebah dari
berbagai arah. Lebah-lebah itu menggaung bagai-
kan suara setan dan jumlahnya mencapai seratus
lebah dari berbagai arah.
Sri Tanding, Yoga, dan Pandu Tawa terke-
jut melihat pasukan lebah menyerang mereka.
Tapi Ratu Candra Wulan tetap tenang dan tidak
menampakkan ketegangan dalam wajahnya. Ia
bahkan berkata dengan suara pelan tapi didengar
oleh Yoga, Sri Tanding, dan Pandu Tawa.
"Akan ku halau lebah-lebah itu, dan kalian
cepat larikan diri ke arah timur. Angin berhembus dari timur dan lebah-lebah itu
tak akan mengejar
kalian ke sana!"
Pasukan lebah atau kumbang penghisap
madu itu mulai menyergap mereka dan membuat
Shogun Kogawa undurkan langkah beberapa tin-
dak dengan rasa cemas. Tapi Ki Tenung Jagat te-
tap tenang pandangi binatang-binatang yang nya-
ris menutup cahaya langit itu.
Ratu Candra Wulan rapatkan kedua tela-
pak tangannya di dada, kemudian disentakkan ke
atas secara bersamaan. Dari telapak tangan itu
berhamburan warna-warni dari asap yang me-
nyebarkan bau bangkai. Kumbang atau lebah-
lebah hutan itu pun mulai beterbangan tak tentu
arah bagai terhempas kekuatan angin berasap
bangkai. Mereka ada yang terbang melintasi kepa-
la Shogun Kogawa, bahkan ada yang singgah di
tubuh orang bersamurai itu. Akibatnya Shogun
Kogawa repot menepiskan lebah-lebah itu. Bah-
kan pasukan lebah yang menyebar ternyata hing-
gap di tubuh-tubuh mereka, sementara Sri Tand-
ing, Yoga, dan Pandu Tawa cepat-cepat larikan di-
ri. Ratu Candra Wulan berhasil membuat me-
reka sibuk menghalau lebah yang ingin menyen-
gat tubuh mereka, sehingga tak satu pun ada
yang perhatikan pelarian ketiga orang tersebut.
Ketika lebah-lebah itu berhasil dihalau oleh me-
reka, dan pergi beterbangan ke mana-mana, me-
reka baru sadar bahwa Yoga telah hilang dari
pandangan mata mereka.
"Dia telah mengecohkan kita!" teriak Resi Panuluh. "Kejar pemuda bertangan
buntung tadi!"
Jenggot Biru yang berkelebat lebih dulu
mengejar Yoga. Tetapi Ratu Candra Wulan segera
gunakan ilmu tenaga ringannya untuk berlari le-
bih cepat dari Jenggot Biru. Ia tiba di jalanan depan Jenggot Biru dan
menghadang di sana.
"Kuingatkan padamu, Candra Wulan...
menyingkirlah dari hadapanku, supaya aku tidak
melukaimu!"
"Kau tak akan mampu melukaiku, Jenggot
Biru." "Kau ingin mencobanya" Baik! Heaah...!"
Jenggot Biru menghentakkan satu kakinya
ke tanah, dan tubuh Ratu Candra Wulan terlem-
par ke atas. Untung ia cepat kuasai keseimban-
gan tubuhnya, sehingga mampu bersalto dan me-
nendang ke arah Jenggot Biru. Tetapi telapak
tangan Jenggot Biru segera menghantam telapak
kaki Ratu Candra Wulan, sehingga perempuan itu
terpental dengan kerasnya. Hantaman telapak
tangan tersebut mempunyai kekuatan tenaga da-
lam yang cukup tinggi, membuat Ratu Candra
Wulan sempat keluarkan darah dari mulutnya.
Padahal yang di hantam adalah telapak tangan-
nya, namun kekuatan itu agaknya tembus sampai
ke dada Ratu Candra Wulan.
"Peringatan pertama kuberikan padamu,
Candra Wulan. Kalau kau masih nekat mau ha-
langi kami, kau akan kehilangan hidup sela-
manya!" gertak Jenggot Biru dengan mata dinginnya. "Aku tak peduli," jawab Ratu
Candra Wulan yang tetap tanpa wajah marah.
Hal itu membuat Jenggot Biru menjadi
sangat jengkel. Sementara itu, mereka yang me-
mihak Jenggot Biru segera mengepung Ratu Can-
dra Wulan yang menurutnya perlu disingkirkan
lebih dulu sebelum menyingkirkan Pendekar Ra-
jawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih nan-
tinya. Rupanya perempuan berjubah kuning gad-
ing itu tidak merasa gentar mengetahui dirinya
terkurung oleh tokoh-tokoh sakti itu. Wajahnya
pun tidak terlihat cemas ataupun tegang. Hanya
matanya yang memandang penuh waspada terha-
dap orang-orang yang mengitarinya.
"Jika kau memang ingin mengadu kesak-
tian denganku, datanglah ke Bukit Tulang Iblis.
Kita bertarung di arena sana!" kata Jenggot Biru.
"Sudah ku wakilkan kepada muridku Sri
Tanding sebagai bekal pengalamannya kelak di
masa mendatang," jawab Ratu Candra Wulan.
"Aku tak punya waktu untuk menghadiri perte-
muan tersebut. Tapi aku selalu punya waktu jika
ada yang mengusik orang-orangku."
Resi Panuluh melompat bagaikan seekor
harimau ingin menerkam mangsanya. Ratu Can-
Pendekar Guntur 3 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Romantika Sebilah Pedang 6
^