Pencarian

Perisai Maut 1

Gento Guyon 24 Perisai Maut Bagian 1


1 Dua bukit curam yang terletak di kawasan
Imogiri masih diselimuti kabut. Suasana di pagi itu terasa amat dingin luar
biasa. Diupuk sebelah timur matahari belum lagi menampakkan tanda-tanda
akan munculkan diri. Dalam suasana terang tanah,
lima sosok tubuh laksana bayangan setan berkele-
bat memasuki celah sempit dua bukit di sebelah se-
latan. Lima bayangan itu terus bergerak seolah saling bersirebut mendahului satu
sama lain. Mereka
baru hentikan larinya setelah sampai di depan se-
buah mulut gua. Kemudian kelimanya menebar
mengambil posisi bersiaga. Kelima sosok yang terdiri dari lima laki-laki berusia
di atas empat puluh lima tahun ini saling pandang satu sama lain. Setelah itu
seperti mendengar perintah mereka sama layangkan
pandang ke arah mulut gua. Lalu salah seorang di-
antaranya yaitu seorang kakek berpakaian hijau,
berkulit hijau dan berambut hijau keluarkan satu
seruan. "Angin Pesut. Keluarlah! Kami datang ingin
meminta seluruh kitab berisi pelajaran ilmu sakti
yang pernah kau cari dulu!" kata si kakek. Suaranya demikian keras menyakitkan
telinga pertanda kakek
ini menyertakan pengerahan tenaga dalamnya selagi
berteriak. Beberapa saat berlalu. Suara si kakek lenyap, mereka yang hadir
disitu menunggu. Setelah
detik demi detik berlalu menegangkan. Ternyata tak terdengar jawaban dari dalam
gua sebagaimana
yang mereka harapkan.
Kakek berpakaian merah bertubuh kurus ker-
ing bermata lebar dan bertelinga panjang lancip
yang berdiri di samping kakek bertubuh serba hijau jadi tidak sabar. "Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Kami tahu kau berada di dalam. Kami tahu kau
mendengar, kuperintahkan keluarlah kau untuk
mempertanggung jawabkan segala dosamu. Jika kau
tak mau mematuhi perintah kami dengan sangat
menyesal kami akan menguburmu hidup-hidup!" teriak kakek kurus ini lantang.
Kemudian terdengar suara lain ikut menimpa-
li. "Kalau dia tak mau keluar lebih balk kita seret sa-ja." Yang baru bicara
adalah seorang kakek berbadan gemuk pendek berperut besar seperti kodok
berwajah polos.
"Jangan bertindak mengikuti amarah. Bicara-
kanlah segala sesuatunya secara baik-baik. Siapa
tahu dia sudah insyaf seperti yang kita dengar sela-ma ini!" kata kakek
berpakaian hitam berambut lurus yang kepalanya terus bergoyang tak mau diam.
Orang tua yang satu ini biasa dipanggil Tapa Gedek.
Mungkin karena dia dulunya seorang pertapa dan
kepalanya biasa golang goleng tak mau diam.
Ucapan kakek ini membuat si kakek kurus
bertelinga panjang yang menjadi seterunya delikkan mata tidak senang. "Jangan
hiraukan segala ucapannya, para sahabat. Dia orang gila yang tak dapat dipegang
ucapannya!" kata si kakek yang bernama Ki Menoreh ini sinis.
Tapa Gedek gelengkan kepala, lalu menyerin-
gai. Dia sama sekali tidak menampakkan rasa ter-
singgung. Malah dengan tenang Tapa Gedek me-
nanggapi. "Ki Menoreh.... apakah kau lupa aku per-
nah mengatakan kau adalah orang pertama yang
bakal di jemput malaikat maut disini. Aku melihat
awan kelabu, di balik awan ada bayang-bayang ke-
matian yang mengintai, mengawasi gerak-gerik kita.
Rasa tidak sabar serta apa yang aku ucapkan tadi
mungkinkah ini berarti sebagai suatu pertanda kau
sudah tidak sabar untuk menyongsong datangnya
maut. Aneh memang.... begitu banyak orang yang
inginkan umur panjang. Sebaliknya kau malah ingin
cepat-cepat mati. Ha ha ha."
Wajah keriput Ki Menoreh nampak berubah
tegang. Sepasang matanya yang lebar mendelik be-
sar. "Tua bangka kurang ajar. Kalau bukan malaikat, kuharap bisa menjaga mulut
jika tidak ingin celaka. Ucapanmu itu membuat aku muak dan ingin
cepat membunuhmu. Tapi mengingat segala uru-
sanku dengan Angin Pesut belum terselesaikan, ke-
matian untukmu rasanya harus ku tunda!" dengus Ki Menoreh sinis.
"Segala urusanmu tak akan pernah selesai.
Niatmu untuk membunuhku tidak bakal terlaksana.
Karena takdir sudah menentukan, kau bakal mene-
mui ajal di tempat ini!" Sambil tersenyum dan geleng kepala Tapa Gedek
menyahuti. Makin bertambah gusarlah Ki Menoreh men-
dengar ucapan Tapa Gedek. Dengan tatap mata
mencorong penuh kebencian serta dada menggemu-
ruh menahan amarah, Ki Menoreh angkat tangan
kanannya yang segera diarahkan pada Tapa Gedek.
Begitu telapak tangan digerakkan menderulah angin
dingin laksana badai. Tapa Gedek tersenyum. Tan-
gannya bergerak ke bagian kancing baju. Sekejapan
bajunya terbuka lebar. Bersikap seolah seperti orang
kegerahan dia berkata. "Matahari belum terlihat, ta-pi aku sudah kepanasan.
Beruntung aku karena ada
orang yang begitu berbaik hati mengipasi diriku. Ha ha ha!" Melihat orang tak
terpengaruh serangannya Ki Menoreh kertakkan rahang sambil lipat gandakan
tenaga dalam. Sekejap saja hawa dingin berubah
menjadi sangat panas luar bisa. Semua orang yang
berada disitu jadi tercekat, terkecuali kakek berkulit dan berambut hijau yang
dikenal dengan nama Batu
Lemah Hijau. Datuk yang satu ini sebaliknya menja-
di jengkel melihat para sahabatnya malah berbaku
hantam dengan kawan sendiri. Sambil keluarkan
suara gerengan marah si kakek melompat ke tengah
kalangan, lalu dorongkan kedua tangannya, satu ke
arah Ki Menoreh dan satunya lagi ke arah Tapa Ge-
dek. Ki Menoreh merasakan ada satu dorongan ke-
ras yang membuat tubuh kurusnya tersapu mental
tinggi, bergulingan di udara lalu jatuh menyerang-
sang di atas pohon. Sebaliknya Tapa Gedek jatuh
tertunduk dengan muka pucat dan dada berdenyut
seperti ditindih batu besar. Tapa Gedek segera
bangkit berdiri. Dia gelengkan kepala sambil usap
dadanya. Sebaliknya Ki Menoreh melompat turun
dari ketinggian pohon dengan muka pucat mulut
cemberut. Di antara mereka berdiri tegak Datuk Le-
mah Hijau. Wajah hijau orang tua itu makin ber-
tambah hijau. Sedangkan tatap matanya silih ber-
ganti memandang mendelik pada Tapa Gedek dan Ki
Menoreh. "Dua tua bangka tak mengenal aturan.
Aku ikut datang kemari bukan untuk menyaksikan
pertunjukan tolol yang kalian suguhkan. Kita berada
disini untuk suatu maksud, mengambil apa yang
menjadi milik kita yang kini dalam kekuasaan Angin Pesut. Apapun persoalan
pribadi yang menjadi gan-jalan diantara kalian, kuharap kalian berdua menye-
lesaikannya di tempat lain. Jika kalian tidak mau
patuh dengan perintahku ini. Tidak perduli sahabat aku pasti akan membunuh
kalian berdua!" dengus Datuk Lemah Hijau.
Tapa Gedek menyeringai. Ki Menoreh tun-
dukkan wajahnya, namun dalam hati dia memaki
habis kakek yang menjadi seterunya. Sedangkan
kakek berbadan seperti kodok cibirkan mulut pada
sobat karibnya Tapa Gedek. "Apa yang dikatakan Datuk Lemah Hijau memang betul.
Kita datang kemari untuk menyelesaikan satu persoalan besar. Ji-
ka kau dan Ki Menoreh tidak dapat menggunakan
otak, baiknya kalian membunuh diri saja." kata De-wa Kodok.
"Sudahlah, tak usah diperpanjang lagi masa-
lah itu. Aku ingin meminta pada paman semua agar
mau bersatu padu menghadapi Angin Pesut. Kalau
kita terus berselisih musuh bisa menertawakan ke-
bodohan kita!" kata si baju biru yang bukan lain adalah Kertadilaga.
Begitu ucapan Kertadilaga berlalu, sejenak
suasana di tempat itu dicekam kesunyian. Datuk
Lemah Hijau, orang yang paling disegani diantara
mereka segera memutar badan dan sekarang meng-
hadap ke mulut gua. Setelah memandang lurus ke
mulut gua Datuk itu berseru. "Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan. Kau pasti melihat
kehadiran kami disini. Kau juga tahu apa yang kami inginkan. Aku Datuk Lemah
Hijau yang bicara me-
wakili empat sahabat yang lain. Kuharap kau keluar untuk mempertanggung-jawabkan
dosa kejahatanmu!" kata kakek itu dengan suara dingin tapi tegas.
Suara seruan Datuk Lemah Hijau menggema
ke seluruh penjuru arah. Tak berselang lama gema
suaranya lenyap dan suasana kembali di landa ke-
sunyian. Tapi ini berlangsung sekejap, tak sampai
satu tarikan nafas lamanya mendadak sontak angin
bertiup kencang. Angin yang berhembus dengan ke-
cepatan laksana Tapaan itu menyerang dan mempo-
rak porandakan apa saja yang terdapat di sekitar
gua. Puluhan batang pepohonan tercabut sampai ke
akar-akarnya, lalu roboh disertai suara mengemu-
ruh berisik. Selanjutnya bergulung-gulung, me-
layang diudara kemudian tersapu mental dan lenyap
terbawa angin. Lima orang tua yang hadir di situ tercekat. Ki
Menoreh yang berbadan paling kurus diantara em-
pat orang lainnya sudah sejak tadi mencelat terbang sambil keluarkan jeritan
panik. Masih untung dalam keadaan melayang dia masih sempat menyambar
akar gantung yang menjuntai di lamping bukit. Se-
hingga dia dapat bertahan disitu, walaupun tubuh-
nya terombang-ambing di hempas angin.
Sedangkan Kertadilaga begitu mendapat se-
rangan angin Tapaan segera tancapkan pedangnya
di tanah. Sambil berpegangan pada gagang pedang
dia jatuhkan diri hingga sama rata dengan tanah.
Dewa Kodok lain lagi, kakek berbadan pendek gen-
dut seperti ikan buntal itu segera melambungkan
perut dan juga lehernya yang dapat menggembung
besar seperti kodok.
Sedangkan dua kakinya terpacak di atas ta-
nah. Jika dalam keadaan seperti itu Dewa Kodok ke-
luarkan suara seperti kawanan kodok yang bersuka
ria di tengah hujan. Lain lagi halnya dengan Tapa
Gedek. Kakek ini begitu tancapkan dua kakinya di
atas tanah, kepala digelengkan dengan keras. Se-
mentara mulutnya keluarkan siulan sambil me-
nyanyi. "Oh angin....kerasnya tiupanmu membuat tubuhku panas dingin. Tapi
sayang, hembusanmu
tak sanggup membawaku terbang tinggi. Oh angin,
belaianmu membuat aku masuk angin. Angin ber-
tiuplah lebih keras, agar kau dapat terbang me-
layang ke langit tinggi. Uuhk... dinginnya. Aku jadi ingin kentut, ingin pipis."
"Kakek celaka. Satukan kekuatan kita! Kita
harus menghantam ke depan!" teriak suara di sampingnya. Ketika Tapa Gedek
menoleh, ternyata yang
berbicara tadi bukan lain adalah Datuk Lemah Hi-
jau. Saat itu Tapa Gedek melihat tubuh Datuk Le-
mah Hijau mulai nampak miring ke kiri akibat han-
taman angin Tapaan menggila yang melanda celah
dua bukit itu. Wajah sang Datuk nampak tegang,
sementara rambutnya yang panjang kehijauan ber-
kibar-kibar disertai suara deru mengerikan.
Meskipun semua orang yang berada di tempat
itu dalam keadaan panik mendapat serangan angin
Tapaan yang makin menggila itu, tapi Dewa Kodok
dan Tapa Gedek kemudian malah tertawa-tawa.
Dewa Kodok bahkan masih sempatnya berka-
ta. "Sayang yang datang cuma angin. Kalau datangnya angin disertai turunnya
hujan bisa berpesta po-ra aku!"
"Dewa Kodok, apakah bisamu cuma me-
lembungkan perut dan leher. Lebih baik kau yang
menabuh gendangnya aku yang menari. Baru sua-
sana jadi bertambah asyik!" kata Tapa Gedek.
Dewa Kodok tentu saja tahu yang dimak-
sudkan Tapa Gedek menabuh Gendang adalah
memperdengarkan suaranya sendiri yang memang
mirip orang menabuh gendang. Karena itu tanpa
banyak tanya dia mulai membuka mulut sedangkan
tangannya melakukan gerakan seperti menabuh.
"Ku! kuk! Kuuung! Kuung!"
"Ha ha ha. Ini baru asyiik. Biarkan aku mulai menari!" teriak Tapa Gedek di
sela-sela gemuruh angin yang menderu.
Kemudian Tapa Gedek nampak mulai laku-
kan gerakan seperti orang menari. Tapi sebenarnya
si kakek maupun Dewa Kodok bukanlah menari
atau hanya sekedar keluarkan suara seperti gen-
dang karena pada saat itu gerakan Tapa Gedek yang
lemah gemulai menimbulkan gelombang hebat yang
tak kalah dahsyatnya dengan angin yang meniup
mereka. Sebaliknya suara Dewa Kodok yang tak be-
raturan membuat orang yang menyerang mereka
dengan kekuatan angin topan kehilangan kosentra-
sinya. Sampai akhirnya terjadi ledakan menggelegar di udara dua kali berturut-
turut. Buum! Buum! "Akh...!" terdengar satu suara berseru. Tapa Gedek yang menyerang dengan gerakan
seperti orang menari jatuh terduduk. Dewa Kodok yang ke-
luarkan suara seperti orang menabuh gendang
nampak mendelik sambil dekap lehernya.
Datuk Lemah Hijau jadi tercengang. Dia sama
sekali tidak menyangka kalau segala kegilaan yang
dilakukan kedua kakek aneh itu sesungguhnya ada-
lah suatu usaha untuk menghancurkan pusat ke-
kuatan badai Tapaan yang menyerangnya. Terbukti
setelah dua ledakan terdengar mendadak sontak
hembusan angin mendadak sirna.
"Dewa Kodok, kau kelolotan apa kok sampai
dekap leher segala?" tanya Tapa Gedek.
"Aku...aku, ah tidak. Gedangnya pecah, lalu
menyangkut di tenggorokanku!" menyahuti Dewa
Kodok, lalu tertawa mengekeh.
2 Pada saat itu begitu serangan angin topan le-


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyap. Kertadilaga cepat bangkit berdiri sambil cabut pedangnya yang menancap di
tanah lalu masukkan
pedang itu ke rangkanya. Sedangkan Ki Menoreh
sudah melompat turun dari akar rambat yang diper-
gunakan untuk bergelantungan menyelamatkan diri.
Kini mereka berkumpul lagi tak jauh dari de-
pan mulut gua. Datuk Lemah Hijau yang sudah ti-
dak sabar membuka mulut berucap. "Siapa saja
yang merasa dirinya bukan seorang pengecut harap
ikuti aku...!"
Empat orang lainnya saling pandang menden-
gar ucapan sang datuk. Kertadilaga melangkah ma-
ju. "Apa maksudmu Datuk?" Laki-laki itu ajukan pertanyaan.
"Aku tak mau menunggu. Firasatku mengata-
kan Angin Pesut ada di dalam. Dia bahkan baru saja menyerang kita dengan ilmu
Gelombang Angin Topan. Karena dia tak mau keluar, maka kita yang ha-
rus masuk ke dalam!" tegas kakek berambut hijau.
Kertadilaga dan Ki Menoreh yang sudah me-
rasakan ganasnya serangan Angin Pesut kini se-
mangatnya bangkit kembali. Mereka anggukan kepa-
la siap mengikuti Datuk Lemah Hijau. Sebaliknya
Dewa Kodok dan Tapa Gedek tidak memberikan
tanggapan apa-apa. Mereka bahkan tetap berdiri te-
gak di tempatnya.
Selagi Datuk Lemah Hijau siap langkahkan
kakinya memasuki gua. Pada waktu bersamaan pula
dari arah bagian ruangan dalam gua berkelebat satu bayangan hitam kemulut gua.
Tak berselang lama di
depan mulut gua berdiri tegak seorang kakek ber-
tampang angker namun dengan tatapan mata lem-
but. Orang tua ini beralis merah, rambutnya juga
berwarna merah panjang menjela sampai ke bahu.
Di tangan kiri si kakek tergenggam sedikitnya
lima buah kitab kuno yang keseluruhan kitab itu berisi pelajaran ilmu silat dan
juga pukulan sakti.
Hanya sekali melihat tentu saja mereka yang
berada di depan gua dapat mengenali siapa adanya
kakek itu. Dia bukan lain adalah Angin Pesut alias Kala Bayu dan lebih di kenal
dengan julukan Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan.
Lima pasang mata sama memandang ke arah
Angin Pesut. Datuk Lemah Hijau yang paling men-
dendam pada Angin Pesut karena adiknya Datuk
Lemah Hijau terbunuh ditangan kakek alis merah
ini segera beseru. "Angin Pesut manusia laknat, pembunuh, pencuri berbagai
kitab. Kami datang
kemari ingin minta tanggung jawabmu. Kembalikan
Nyawa adikku Datuk Lemah Abang!"
"Aku, Kertadilaga sengaja datang kemari ingin meminta Kitab Hitam Pembangkit
Mayat." kata laki-
laki berpakaian biru ikut membuka mulut.
"Ha ha ha. Angin Pesut, terima kasih kau te-
lah menyambut kami dengan angin. Walau aku su-
dah kekenyangan akibat banyak makan angin. Tapi
tetap tidak melupakan untuk menuntut apa yang
menjadi hakku. Angin Pesut, sudi kiranya kau men-
gembalikan kitab butut milik guruku. Agar kau tidak lupa dan salah
mengembalikan. Kitab yang kumak-sudkan itu adalah kitab ilmu Gelombang Naga. Cu-
kup sekian penjelasanku. Kurang lebihnya harap
dimaklum dan tak lupa aku mengucapkan terima
kasih." Kata Tapa Gedek dengan mimik dan gerakan yang mengundang tawa.
Kakek beralis merah yang memang Angin Pe-
sut adanya diam-diam jadi kaget. Sekarang dia baru tahu, kiranya kakek aneh yang
suka geleng kepala
inilah yang tadi telah membuyarkan serangan badai
topan yang dia lepaskan dari dalam gua. Setelah
mengetahui siapa adanya kakek itu Angin Pesut ak-
hirnya menjadi maklum. Kiranya dia murid Manusia
Selaksa Angin. Kini setelah menatap Tapa Gedek sekian la-
manya, Angin Pesut alihkan perhatiannya pada Ki
Menoreh. Kakek bertubuh ceking, bermata lebar dan
telinga lebar. Melihat orang memandang kepadanya
Ki Menoreh langsung mendamprat. "Iblis durjana, kejahatanmu melampaui batas. Kau
harus menyerahkan nyawa busukmu pada kami. Tapi sebelum
itu, kau juga harus menyerahkan kitab Guntur Bu-
mi kepadaku!"
Angin Pesut tersenyum. "Kakek dengan tubuh
menyedihkan. Mulutmu memang pintar bicara. Apa
yang kau minta akan kukembalikan. Jika kau ingin-
kan nyawaku pasti kuserahkan. Kau boleh men-
gambilnya sendiri. Tapi... jika kau tak sanggup me-lakukannya, maka nyawamu
harus ditukar dengan
nyawaku. Bagaimana orang bertubuh kurus menye-
dihkan?" tanya Angin Pesut. Tidak sebagaimana beberapa tahun yang lalu, kini
suara Angin Pesut begi-tu pelan dan tidak menunjukkan sikap permusu-
han. Ki Menoreh kertakkan rahang. Dengan mata
mendelik dia menjawab. "Kau sendiri tak bakal lolos dari tangan kami. Bagaimana
kau hendak menukar
nyawaku dengan nyawamu?" ejek Ki Menoreh.
Angin Pesut tersenyum arif. Masih dengan
tersenyum dan tunjukkan wajah prihatin dia berka-
ta. "Terkadang banyak kemungkinan yang tidak
terduga bisa saja terjadi pada diri seseorang. Mengapa terlalu yakin dengan
kemampuan yang kau mi-
liki?" Masih dengan perasaan gusar penuh amarah Ki Menoreh hendak menanggapi
ucapan si kakek.
Namun pada waktu bersamaan Dewa Kodok sudah
melangkah maju mendekati mulut gua dimana An-
gin Pesut berdiri. Dengan gaya yang lucu dan setelah menjura sambil songgengkan
pantatnya Dewa Kodok
berucap. "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Kurasa inilah saat yang paling
bahagia dalam hidupku.
Kebahagiaan itu karena aku pada akhirnya dapat
bertatap muka dengan orang paling keji di rimba
persilatan. Kau pembunuh paling keji, pencuri kitab paling tengik dan licik,
juru fitnah paling mematikan, juga pemerkosa paling biadab. Walaupun begi-
tu Angin Pesut, jangan kau lupa untuk mengembali-
kan kitab Mega Mendung milik leluhur kami. Kitab
itu mungkin bagimu dan bagi orang lain kurang be-
rarti apa-apa. Namun bagi kami... sejak kitab kau
ambil hujan tidak lagi turun. Karena kami lupa ba-
gaimana caranya meminta hujan pada Gusti Allah.
Angin Pesut, kini di daerah kami di landa kekerin-
gan, banyak orang yang mati. Angin Pesut, patutnya aku minta pertanggungan
jawabmu. Tapi mengingat
begini banyak orang yang menghendaki nyawamu,
kau tidak mau repot. Kembalikan saja kitab Mega
Mendung itu. Setelah itu kau bebas berbuat seke-
hendak hatimu. Kau mau membunuh diri silahkan,
malah ingin tobat itu kuanggap lebih baik!" ujar De-wa Kodok.
"Itu masih belum cukup. Aku tidak setuju
dengan ucapan Dewa Kodok. Ketentuan tetap berla-
ku. Pertama serahkan kitab, setelah itu dia juga harus serahkan nyawanya!"
dengus Datuk Lemah Hijau. "Aku setuju!" kata Ki Menoreh.
"Aku juga." ujar Kertadilaga.
Kakek beralis merah terdiam, sepasang ma-
tanya meredup. Lalu dia angkat tangan kirinya yang memegang tumpukan kitab.
Setelah memandang sejenak pada kitab-kitab yang ada ditangannya dia
berkata. "Lima kitab yang kalian minta ada di tanganku. Aku siap menyerahkannya
pada kalian. Tapi
kuminta setelah itu tinggalkanlah tempat ini. Aku
tak ingin terjadi pertumpahan darah, aku juga tidak mau melihat salah seorang
diantara kalian berlima
terluka apa lagi sampai terbunuh. Jika dulu aku
pernah membuat kesalahan besar, jika dulu aku te-
lah merugikan kalian para orang gagah yang hadir
disini, aku mohon diampuni minta dimaafkan." Kata Angin Pesut dengan suara
bergetar dan teteskan air mata. Lima kitab di tangannya dilemparkan ke depan,
hingga membuat lima orang yang berada di de-
pannya saling bersikerut mengambil kitab miliknya
masing-masing. Tak lama setelah mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Datuk Lemah Hijau, Kertadi-
laga bergerak ke arah Angin Pesut. Mendahului ge-
rakan kedua orang ini adalah Ki Menoreh. Malah
kakek ini telah mengeluarkan senjata andalannya
berupa cambuk dengan ujung dicanteli peniti besar.
Kehebatan senjata di tangan kakek ini tak perlu diragukan. Belasan orang
persilatan golongan sesat
pernah menjadi korban keganasan si kakek. Kini
berdiri bertolak pinggang dengan senjata di tangan, Ki Menoreh berteriak keras.
"Angin Pesut... dosamu selangit tembus. Jika
kau memang telah bertobat, sekarang mintalah pada
setan neraka agar kau dapat hidup berdampingan
dengan mereka. Kau layak mendapatkannya!"
"Kakek kurus, dengan apa kau hendak mem-
bunuhku" Dengan cambuk cemeti yang ada ditan-
ganmu itu" Ketahuilah, bukan aku me-
nyombongkan diri atau bersikap takabur. Seratus
jenis senjata yang sama, jika kau pergunakan seka-
ligus belum tentu dapat menghancurkan tubuhku,
apalagi membuat aku mati. Aku rela menanggung
akibat dosa masa lalu, akupun tak takut mati jika
kematian itu dapat menebus dosa kesalahanku.
Bahkan aku patut mengucapkan rasa terima kasih
pada kalian. Namun kusarankan padamu, jika kau
punya senjata yang lain dengan daya bunuh yang
mematikan sebaiknya pergunakan senjata itu. Aku
tak akan melawan kalian, tapi jika kau gagal mem-
bunuhku. Satu kenyataan yang harus kalian keta-
hui, aku memiliki ilmu yang kunamakan ilmu Ratap
Langit. Ilmu itu menyatu dalam tubuhku. Dia beker-
ja dengan sendirinya di luar kemauanku, terlebih-
lebih bila diriku merasa tersakiti. Aku sendiri sampai saat ini tak kuasa
mengendalikan ilmu liar itu.
Jadi pergunakanlah senjata yang paling tidak me-
nyakitkan agar kalian semua selamat!" jelas Angin Pesut dengan mata bersimbah
air mata. Ki Menoreh tersenyum sinis dan menganggap
ucapan Angin Pesut sebagai sesuatu untuk mena-
kut-nakuti dirinya.
Sebaliknya Kertadilaga, setelah selipkan kitab
Hitam Pembangkit Mayat nampak melirik ke arah
Datuk Lemah Hijau sambil berbisik. "Apa yang dikatakannya itu memang benar
adanya. Aku telah
mendengar kabar tentang ilmu aneh itu."
"Kau tenanglah!" sahut Datuk Lemah Hijau.
Di belakang mereka Dewa Kodok berkata pa-
da Tapa Gedek. "Jika apa yang dikatakannya benar.
Kita tak bakal sanggup membunuhnya. Bagaimana
pendapatmu tentang pengakuannya tadi?"
"Aku merasa takjub pada iblis yang satu ini.
Dia mengakui kesalahannya, dia juga telah insyaf.
Tidak patut aku turun tangan. Dan yang lebih me-
nakjubkan lagi, dia mau memberi petunjuk tentang
apa yang harus dilakukan terhadapnya."
"Sayang Ki Menoreh nampaknya sudah kesu-
rupan setan. Hingga dia menganggap saran Angin
Pesut sebagai gertakan belaka." ujar Dewa Kodok pula.
3 Dewa Kodok kedipkan matanya. Dengan sua-
ra pelan sekali dia berkata. "Ki Menoreh matanya lamur tidak melihat tinggi
rendah ilmu kesaktian
yang dimiliki orang." katanya lagi.
"Sudahlah, mulutmu jangan berisik. Jika Ki
Menoreh dengar ucapanmu dia bisa marah besar."
kata Tapa Gedek.
Sementara itu di depan sana Angin Pesut te-
lah melipat kedua tangan di depan dada. Sekali lagi dia menatap Ki Menoreh,
kemudian pandangannya
beralih pada Datuk Lemah Hijau dan Kertadilaga.
Dengan penuh kesabaran dia berkata. "Siapa diantara kalian yang merasa tidak
sabar boleh maju seka-
ligus. Kalian boleh menyerang bagian tubuhku yang
mana saja. Aku tidak akan melakukan perlawanan
sama sekali!"
"Kami orang-orang dari golongan lurus bukan
manusia pengecut. Pergunakan seluruh ilmu yang
kau miliki untuk menghadapi kami!" kata Kertadilaga merasa tidak enak.
"Sejak dua tahun yang lalu aku telah ber-
sumpah untuk tidak mengotori tanganku dengan
darah!" sahut Angin Pesut.
"Kalau begitu, jangan salahkan kami. Seka-
rang hadapilah Ki Menoreh!" ujar Datuk Lemah Hijau. Dia kemudian memberi isyarat
pada Ki Menoreh
untuk melaksanakan niatnya berupa anggukan ke-
pala. "Angin Pesut, bersiap-siaplah untuk mampus!!" teriak Ki Menoreh. Si kakek
yang sudah sa- lurkan seluruh tenaga saktinya ke bagian senjata
segera lecutkan cambuk kearah Angin Pesut. Lecu-
tan cambuk yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu menimbulkan suara bergemuruh hebat. Karena
Angin Pesut sama sekali tidak berusaha menghin-
dar, maka dengan telak ujung cambuk yang dicante-
li cemiti sebesar lengan itu menghantam tubuh An-
gin Pesut. Ctar! Tar! Tar!
Hantaman cambuk mencabik-cabik pakaian
hitam si kakek. Dua ujung cemeti yang runcing
membeset bahu dan dada orang tua ini. Darah men-
gucur dari luka yang menganga. Tapi secara aneh
dan sulit dipercaya luka itu kemudian bertaut kem-
bali. Apa yang terjadi tentu sama membuat semua
orang yang berada di situ jadi tercengang dengan
mulut ternganga. Sebaliknya Ki Menoreh rupanya
semakin bertambah penasaran. Jika tadi dia menye-
rang dari atas ke bawah kini arah serangannya jadi berbalik dari bawah ke atas.
Ctar! Cambuk kembali menderu, meliuk-liuk di


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udara disertai ledakan-ledakan dahsyat pertanda serangan Ki Menoreh bukan
serangan biasa. Laksana
kilat cambuk di tangan Ki Menoreh menghantam
paha Angin Pesut. Ujung cemeti mencabik kulit dan
daging paha kakek itu. Dia menjerit, namun tetap
tidak melakukan apapun untuk dirinya. Ki Menoreh
sentakkan cambuk. Cambuk menggeletar, Angin Pe-
sut seperti dilontarkan terpental di udara. Ki Menoreh tidak membiarkan lawan
begitu saja. Dia pun
kemudian lesatkan tubuhnya mengejar Angin Pesut.
Di udara selagi tubuh Angin Pesut jungkir balik dia hujani kakek malang ini
dengan hantaman cambuk
juga pukulan sakti yang dia miliki.
Beberapa saat lamanya Angin Pesut menjadi
bulan-bulanan orang. Ketika dia jatuh ke tempat
semula. Bukan hanya pakaian saja yang tercabik-
cabik tak karuan. Tapi juga sekujur tubuhnya diba-
luri luka mengerikan. Angin Pesut megap-megap. Ki
Menoreh melihat lawan masih tegar, terlebih-lebih
ketika melihat luka disekujur tubuh Angin Pesut lenyap tanpa bekas jadi kaget
tapi juga penasaran.
Cambuk digulung, lalu di gantung kembali di ping-
gang kiri. Kini dia mengeluarkan sebuah senjata
aneh. Senjata itu berupa pedang, namun ujungnya
mirip mata tombak. Sekali senjata berwarna hitam
itu amblas ke tubuh lawan, begitu disentakkan
kembali dapat dipastikan isi bagian dalam tubuh lawannya berserabutan keluar.
Berdiri berkacak ping-
gang sambil lintangkan pedang di depan dada Ki
Menoreh berteriak keras.
"Angin Pesut, lihat senjataku. Jika kau tidak melawan selamanya kau akan menjadi
orang paling celaka. Pedang ini mengandung racun keji. Sengaja
kubaluri keong beracun. Lawanlah, hadapi aku!" teriak Ki Menoreh.
Angin Pesut tersenyum. "Demi menghormati
pesan orang yang kupandang mempunyai watak dan
jiwa ksatria. Apapun yang kau lakukan tak mungkin
kulayani. Tapi hendaknya kau tanya dirimu sendiri.
Sanggupkah senjatamu itu membunuh diriku"!"
"Manusia takabur. Kau segera merasakan-
nya!" teriak Ki Menoreh. Lalu laksana kilat pedang ditangan di putarnya. Sinar
hitam bergelembung
disertai suara deru angin dingin luar biasa, pertanda senjata Ki Menoreh benar-
benar mengandung racun
jahat. Tapa Gedek sesungguhnya tidak setuju meli-
hat Ki Menoreh pergunakan senjata beracun. Na-
mun dia tidak mau mencegah karena khawatir para
sahabatnya yang lain menduga dia berada di fihak
musuh. Dewa Kodok duduk termangu, lehernya yang
dapat melembung besar kembang kempis, pertanda
hatinya diliputi kegelisahan.
Pada saat itu Ki Menoreh telah babatkan pe-
dangnya keleher lawan. Babatan kemudian dite-
ruskan ke dada juga dua tusukkan di bagian perut.
Asap tebal mengepul begitu senjata menyentuh ba-
gian tubuh Angin Pesut. Kemudian terdengar suara
berdenting tiga kali.
Ki Menoreh surut dua langkah, ketika dia
memandang ke arah pedangnya sendiri si kakek ke-
luarkan seruan kaget. Pedang andalan yang diper-
gunakan untuk membunuh lawan ternyata patah
menjadi tiga bagian. Patahan pedang berpelantingan entah kemana. Ketika Ki
Menoreh memandang ke
arah Angin Pesut kaget pula dia. Kakek itu sama sekali tidak terluka, bahkan
tergores pun tidak.
Melihat kenyataan ini Datuk Lemah Hijau
yang mempunyai dendam kesumat pada Angin Pesut
segera memberi aba-aba pada Kertadilaga.
"Kita cincang dia beramai-ramai!"
Kertadilaga begitu mendapat aba-aba segera
cabut pedangnya. Dengan pedang itu kini dia ikut
mengeroyok Angin Pesut.
"Celaka, seperti Ki Menoreh. Rupanya Datuk
Lemah Hijau dan Kertadilaga ikutan kesurupan!" de-
sis Tapa Gedek.
"Cara seperti ini yang paling tidak kusukai.
Sudah jelas Angin Pesut telah menunjukkan itikad
baik. Tapi mengapa mereka jadi gelap mata mengi-
kuti hawa nafsu!" ujar Dewa Kodok.
"Biarkan saja. Biarkan mereka bertindak
mengikuti nafsunya. Aku tak mau ikut-ikutan!" seru Tapa Gedek dengan muka masam
sedangkan kepala
terus menggeleng.
Pada saat itu Angin Pesut benar-benar dihu-
jani serangan dari segala jurusan. Pedang ditangan Kertadilaga belasan kali
menghantam sekujur tubuhnya. Sementara Datuk Lemah Hijau melepaskan
pukulan ganasnya. Sedangkan Ki Menoreh selain
menggunakan pedang yang lain juga menghujani
Angin Pesut dengan pukulan maut pula.
Akibatnya suasana di depan mulut gua itu
diwarnai dentuman-dentuman menggelegar. Tubuh
Angin Pesut tercampak kian kemari. Tak jarang so-
soknya amblas ke dalam tanah akibat hebatnya pu-
kulan yang mendera dirinya. Malah terkadang kakek
beralis merah ini terpental tinggi ke udara. Selagi sosoknya melayang di udara,
tiga pengeroyok segera mengejar. Dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh serta daya mengapung di udara yang mereka
miliki, sepuas hati mereka menendang atau meng-
hantam tubuh Angin Pesut.
Kakek itu nampak menderita sekali. Rasa sa-
kit di tubuhnya sudah tak tertahankan. Dari mulut, telinga, hidung, mata dan
juga dari bagian bawah
perutnya telah meneteskan darah.
Ketika si kakek jatuh terhempas sosoknya
sudah tak karuan rupa. Sungguh memprihatinkan
keadaan kakek itu. Tapa Gedek sendiri jadi tidak te-ga melihatnya. Malah Dewa
Kodok palingkan muka
ke arah lain, kasihan melihat Angin Pesut. Tapi sa-ma seperti Tapa Gedek dia
juga tak berani menghen-
tikan perbuatan para sahabatnya sendiri.
Dalam kesempatan itu terdengar sayup-sayup
suara Angin Pesut. "Aku sudah hampir tak sanggup menahan rasa sakit. Aku tak
dapat pula mengendalikan ilmu Ratap Langit. Kalian bunuh aku cepat,
atau menyingkir dari sini!" teriak si kakek.
Peringatan ini jika tiga pengeroyoknya mau
mengerti sebenarnya merupakan suatu tanda Angin
Pesut punya maksud itikad baik agar mereka tidak
celaka menjadi sasaran ilmu liar yang dimiliki si kakek. Tapi agaknya mereka
memang sudah tak da-
pat lagi menggunakan otaknya. Terbukti, Ki Meno-
reh kemudian menghantam lawan dengan pukulan
Membalik Bumi Menguras Laut.
Sinar biru menderu ke arah Angin Pesut dis-
ertai hawa panas luar biasa. Selagi pukulan Ki Me-
noreh melesat ganas ke arah lawan. Datuk Lemah
Hijau juga ikut melepaskan pukulannya sambil ber-
teriak. "Ilmu Pelebur Mayat!" kata Datuk Lemah Hijau menyebut nama pukulannya.
Begitu sang datuk lontarkan tangannya ke
depan mendadak sontak terdengar suara mengge-
muruh dahsyat luar biasa dari dalam tanah. Lalu
dari bagian bawah dimana Angin Pesut berdiri men-
cuat disertai hembusan angin panas membakar. An-
gin api yang menyembur ganas itu membuat kakek
alis merah seperti dilontarkan ke langit. Sebelumnya tusukan pedang yang
dilontarkan Kertadilaga me-
nancap di bagian punggung Angin Pesut sedangkan
pukulan Ki Menoreh juga menghantam wajahnya. Di
tambah lagi mendapat serangan dari Datuk Lemah
Hijau, kini genaplah sudah penderitaan Angin Pesut.
Kakek bekas datuk sesat rimba persilatan ini me-
raung keras. Sekujur tubuhnya tidak ubah seperti
ditusuk ratusan batang tombak membara.
Ketika dia meluncur ke bawah kembali, dia
disambut dengan pukulan susulan.
Satu ledakan menggelegar membuat sosok
yang tengah meluncur turun itu tergoncang. Pedang
yang menancap di punggung terlepas dengan sendi-
rinya. Angin Pesut jatuh dengan kepala menghantam
tanah terlebih dahulu.
Begitu Angin Pesut terhempas, tubuhnya di-
am tidak berkutik lagi. Ki Menoreh, Datuk Lemah
Hijau maupun Kertadilaga begitu melihat lawan ti-
dak bergerak, akhirnya sama mengumbar tawa.
Dengan bangga malah Ki Menoreh berkata.
"Siapa bilang dia tidak bisa dibunuh. Buktinya dia mampus ditangan kami. Ha ha
ha!" "Tubuhnya terdiri dari tulang dan daging.
Mustahil dia tak mempan senjata. Buktinya pedang-
ku dapat menembus punggungnya!" kata Kertadilaga pula. Selagi mereka meluapkan
kegembiraannya.
Sebelum sempat Tapa Gedek maupun Dewa Kodok
memberi tanggapan. Pada detik itu pula terdengar
suara erangan. Serentak mereka menoleh. Kejut di
hati Ki Menoreh, Datuk Lemah Hijau dan Kertadila-
ga bukan kepalang. Mereka melihat Angin Pesut
bangkit berdiri, terkecuali pakaiannya yang hancur dia tak kekurangan sesuatu
apa. Malah kini dari se-
kujur tubuhnya tampak asap tipis mengepul.
"Kalian gagal membunuh, akupun tak kuasa
mengendalikan ilmu Ratap Langit!" bersamaan dengan ucapannya itu tubuh Angin
Pesut memancarkan
cahaya biru. Cahaya berhawa panas kemudian me-
nyerang tak terkendali ke arah tiga orang yang me-
nyerangnya tadi. Segala sesuatunya berlangsung
sangat cepat luar biasa. Hingga baik Datuk Lemah
Hijau yang memiliki ilmu kesaktian lebih tinggi dari dua lainnya, maupun Ki
Menoreh dan Kertadilaga
tidak sempat lagi menghindar.
Sedangkan Tapa Gedek dan Dewa Kodok begi-
tu melihat bahaya maut langsung jatuhkan diri sa-
ma rata dengan tanah hingga mereka tak terkena
sambaran angin panas menghanguskan.
Tiga jeritan terdengar berturut-turut. Tiga so-
sok tubuh terpelanting, lalu roboh dengan tubuh
hangus dan jiwa melayang. Tapa Gedek bangkit ber-
diri diikuti oleh Dewa Kodok. Sementara di depan
mulut gua yang sudah tidak utuh lagi berdiri tegak Angin Pesut dengan tatapan
mata redup tanpa dendam. "Kalian berdua menjadi saksi atas kematian mereka. Aku
sama sekali tidak punya niat atau
keinginan untuk membunuh. Tapi kalau kalian ber-
dua merasa tidak dapat menerima atas kematian
mereka, aku telah siap menerima segala apa yang
hendak kalian lakukan terhadapku!" kata si kakek.
"Angin Pesut, kami bukanlah manusia pen-
dendam. Sejak pertama hadir disini aku secara pri-
badi tidak punya maksud untuk membalas dendam.
Kukatakan semua ini padamu bukan karena aku
takut mengingat ilmumu begitu tinggi. Kau telah
bersedia mengembalikan kitab milikku, kuanggap
itu sebagai suatu kesabaran. Dan semua dugaanku
ini diperkuat lagi dengan yang kau tunjukkan den-
gan tidak melakukan perlawanan sama sekali. Angin
Pesut, syukurlah kalau kau sudah tobat. Betapapun
banyak kesalahan serta dosa yang telah kau laku-
kan, itu adalah urusanmu dengan Gusti Allah. Jadi
bukan wewenangku untuk mengadili dirimu....!" ka-ta Tapa Gedek sambil geleng
kepala. "Terima kasih atas pengertianmu itu, Tapa
Gedek. Kelak aku akan mengingatmu sebagai seo-
rang sahabat yang kutuakan dan sangat kuhormati."
kata kakek beralis merah sambil rangkapkan tangan
lalu menjura hormat.
"Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Bicara
dengan Tapa Gedek boleh-boleh saja. Tapi hendak-
nya jangan abaikan diriku karena aku juga ingin bicara." kata Dewa Kodok sambil
unjukkan wajah cemberut. "Apakah yang hendak kau katakan, Dewa Ko-
dok" Kepadamu aku mohon maaf. Semula kitab
Mega Mendung kukira berisi pelajaran ilmu hebat.
Tidak tahunya hanya berisi mantra-mantra cara
mendatangkan hujan. Sekali lagi mohon dimaafkan,
karena gara-gara kitab itu sendiri di tempatmu sama sekali tak pernah turun
hujan." "Kau memang keterlaluan. Selama kemarau
panjang yang menderita bukan saja penduduk, tapi
aku terpaksa mengencingi kolam mandi agar aku
dapat berendam setiap hari." ujar Dewa Kodok sambil bersungut-sungut.
Mendengar ucapan kakek macam ikan buntal
itu tentu saja Tapa Gedek tak dapat lagi menahan
tawanya. Masih sambil tertawa-tawa kakek satu ini
menyeletuk. "Kepalang tanggung mengapa tidak kau minum saja air kencingmu
sendiri Dewa Kodok."
Mendengar itu Dewa Kodok tersenyum. Seca-
ra bergurau dia menjawab. "Khusus untuk minum kami menggunakan air kencing
puteri." "Dewa Kodok sialan." damprat Tapa Gedek.
Yang didamprat cuma menyeringai. Si kakek
gemuk pendek perut besar kemudian berkata. "Angin Pesut, kami mohon pamit dulu.
Terus terang aku dan sahabat Tapa Gedek akan membawa tiga jena-zah teman kami
untuk kami kuburkan disebuah
makam di tepi Kaliurang."
"Aku tidak melarang juga tidak menghalangi.
Untuk memudahkan perjalanan tak jauh dari telaga
itu aku mempunyai beberapa ekor kuda berikut se-
buah kereta. Sudah agak tua memang, tapi kuizin-
kan kalian memakainya. Biarkan kubantu kalian
membawa salah satu dari mayat itu."


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah, kami bisa membawanya sendiri."
ujar Tapa Gedek. Lalu laksana kilat Tapa Gedek
berkelebat hampiri mayat Datuk Lemah Hijau dan
Kertadilaga. Sambil memanggul mayat kedua orang
itu dia berkata pada Dewa Kodok. "Ikan Buntal, kau bawa mayat cacing kurus keras
kepala itu."
"Tidak mengapa, aku malah lebih senang. Ki
Menoreh tubuhnya kecil tentu saja lebih enteng!"
ujar Dewa Kodok. Dia menghampiri mayat Ki Meno-
reh. Begitu mendukung mayat si kakek terkejutlah
dia. "Sial mengapa mayat tua bangka ini berat amat."!" rutuk Dewa Kodok.
"Mayatnya menjadi berat karena sombongnya.
Ayo kita pergi!" kata Tapa Gedek.
Sambil mengomel tak karuan Dewa Kodok
mengikuti Tapa Gedek menuju kuda milik Angin Pe-
sut. Orang tua itu pandangi dua tamunya sampai
mereka menghilang dari pandangan mata.
"Akupun harus pergi. Aku tak mungkin ber-
tahan di tempat ini selamanya. Aku akan mencari
anakku. Mudah-mudahan aku bisa menemukannya
sebelum ajal menjemputku!" desah Angin Pesut dengan suara lirih dan mata
berkaca-kaca. Tak lama dia masuk ke dalam gua, setelah itu keluar kembali. Di
punggungnya tergantung kantong perbekalan. Setelah itu Angin Pesut berkelebat
pergi. 4 Kakek gendut berpakaian hitam berkening le-
bar itu berdiri tegak di ujung jalan kota Bantul. Sepasang matanya memandang
lurus ke arah jalan
menuju kota. Dalam hati dia berkata. "Panas begini terik, aku haus dan lapar.
Perjalananku guna mencari anak Angin Pesut masih belum juga menemu-
kan titik terang. Kasihan sekali orang tua itu, delapan belas tahun lebih
terpisah dengan putrinya.
Seandainya dia belum bertobat perlu apa aku repot
membantu. Sekarang diriku yang dibuat susah. Apa-
lagi mencari orang yang namanya saja tidak tahu.
Cuma ada satu tanda berupa tahi lalat di bagian
punggung. Berarti aku harus memeriksa punggung
setiap gadis. Gadis mana yang mau tunjukkan
punggungnya kepadaku" Gila betul. Mengapa aku
begitu bodoh mau menyanggupi permintaan orang.
Padahal sejak peristiwa gila yang menimpa diriku
sampai sekarang aku belum lagi bertemu dengan
Gege. Entah bagaimana dia sekarang. Apakah masih
tetap konyol seperti dulu, atau makin bertambah
sinting?" Si gendut yang bukan lain adalah Gentong
Ketawa terdiam. Otaknya berfikir keras. Dia tengah mempertimbangkan apakah akan
terus mencari puteri Angin Pesut atau mencari murid sendiri.
Akhirnya si kakek memutuskan untuk men-
cari puteri Angin Pesut. "Biarlah urusan mencari Gege ku tunda dulu. Bukankah
mendahulukan ke-pentingan orang lain termasuk salah satu yang dian-jurkan Tuhan.
Lagipula bocah sinting itu sudah de-
wasa, ilmunya tidak rendah. Aku tidak terlalu
menghawatirkan keselamatannya. Sekarang aku ha-
rus ke Bantul dulu, makan minum sampai kenyang
baru setelah itu kulanjutkan perjalanan." berkata begitu si kakek gendut
kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tak berapa lama si gendut telah duduk di se-
buah kedai makan yang penuh sesak dipadati pe-
langgan. Dengan sikap acuh kakek ini memesan
makanan kesukaannya berikut dua kendi tuak ke-
ras. Sebentar kemudian apa yang dipesannya telah
terhidang di atas meja kayu. Si gendut yang memili-ki bobot lebih dari dua ratus
kati ini langsung menyambar salah satu kendi tua, lalu meneguknya
hingga tuntas. Apa yang dilakukan kakek ini men-
gundang decak kagum bagi belasan orang yang be-
rada di dalam kedai. Cara minum si kakek memang
terasa tidak wajar. Sangat jarang sekali ada orang yang sanggup menghabiskan
sekendi besar tuak keras sekaligus. Pemabuk berat sekalipun paling
mampu menghabiskan satu kendi kecil, itu pun ti-
dak langsung sekali teguk.
Hanya beberapa laki-laki yang duduk di meja
paling depan saja yang memandang kejadian itu se-
bagai hal yang biasa. Mereka meneruskan makan
minumnya dengan tenang sambil sesekali diseling
dengan senda gurau yang berbau mesum.
Suasana di dalam baru benar-benar berubah
agak memanas ketika di siang yang terik itu muncul seorang gadis berparas cantik
berpakaian merah
muncul di pintu kedai. Tanpa bicara apa-apa gadis
ini menghampiri pemilik kedai. Dia kemudian
memesan makanan berikut air putih. Tak lama sete-
lah itu dia menghampiri sebuah meja kosong di su-
dut kedai tak jauh dari si gendut berada.
Kakek gendut Gentong Ketawa melirik tamu
cantik yang satu ini sekilas. Memandang pada gadis itu dia jadi ingat dengan
pesan Angin Pesut.
"Seandainya aku tahu nama anak Angin Pe-
sut, mungkin aku bisa bertanya siapa pula nama
gadis ini. Sungguh sayang, nama dan bagaimana
bentuk wajahnya Angin Pesut sendiri tak tahu. An-
gin Pesut, sesuai namanya dia mempunyai urusan
berbelit-belit seperti kentut." Mengomel si gendut dalam hati. Dia lalu
meneruskan menyuap makanan.
Selagi si kakek sibuk dengan makannya. Tiga laki-
laki berpakaian hitam berwajah angker dengan se-
buah pedang tergantung di punggung telah berdiri di depan meja si gadis. Salah
satu diantaranya bahkan naikkan sebelah kaki di atas meja. Sedangkan dua
lainnya berdiri berkacak pinggang. Salah seorang
dari tiga laki-laki berusia setengah baya ini dengan nada angkuh berkata. "Gadis
cantik, makanmu la-hap sekali. Jika kau mau kami punya makanan
enak di meja sana. Silahkan bergabung dengan ka-
mi!" Si gadis berpakaian serba merah yang bukan lain adalah Indah Sari Purnama
berhenti menyuap.
Dia memandang pada orang yang baru bicara. Se-
sungging senyum tersembul dibibirnya.
Sambil membasahi bibirnya hingga membuat
ketiga laki-laki itu belingsatan dengan tenang gadis itu menjawab. "Kau baik
sekali. Siapakah dirimu?"
tanya Indah Sari.
"Aku, Suta dan adikku Sura yang satunya lagi
Teja Kurap. Tambahan Kurap karena memang sejak
kecil tubuhnya selalu dijangkiti penyakit kurap. Tak percaya lihat saja
sendiri!" Dengan tenang sang dara memandang ke
arah laki-laki yang berdiri disampingnya. Memang
benar, sekujur tubuh laki-laki itu dipenuhi kurap.
"Kurapan juga tidak mengapa. Kalian kua-
nggap sebagai teman sendiri!" kata Indah Sari.
"Dara cantik kami senang mendengar penga-
kuanmu. Tapi kau belum memperkenalkan nama.
Siapakah namamu?" tanya Teja kurap disertai kedipan mata.
"Aku Indah Sari Purnama." kata gadis itu memperkenalkan namanya.
"Hemm, secantik dan sebagus orangnya." Tiga bersaudara itu memuji serentak.
"Terima kasih. Tapi... eh, bukankah tadi ka-
lian hendak menjamuku dengan makanan lezat."
"Tentu.... tentu. Mari ke meja kami...!" kata Suta. Dengan penuh suka cita tiga
bersaudara itu dengan diikuti oleh Indah Sari Purnama kembali ke
meja mereka. Namun betapa terkejutnya mereka be-
gitu mendapati meja mereka kosong, makanan yang
terhidang diatas meja bahkan lenyap entah kemana.
Menyangka pelayan kedai yang telah membereskan-
nya. Maka Suta berbalik menghampiri mereka. Tapi
begitu mendekat dia makin tambah terkejut ketika
melihat para pelayan itu dalam keadaan kaku terto-
tok. Di kening mereka di tempeli daun lontar dengan tulisan tertera di atasnya.
Tulisan itu berbunyi.
'Suta Muka Pantat Makananmu ternyata tidak
enak. Mungkin duitnya hasil boleh mencuri'.
Begitu bunyi tulisan yang tertempel di kening
pelayan pertama. Membaca tulisan itu saja sudah
membuat telinga Suta jadi merah. Dengan penuh
kegeraman dia membaca tulisan yang sengaja di-
tempelkan pada bagian mulut pelayan ke dua.
"Tiga Monyet perayu enyahlah kalian ke neraka'. Semakin bertambah geram Suta
dibuatnya. dada kembang kempis. Patut diakui mukanya me-
mang licin seperti pantat. Hidung, mulut pipi dan
kening sama rata. Sedangkan adiknya yang bernama
Sura wajahnya dilihat sekilas memang seperti muka
monyet. Dengan tubuh bergetar menahan marah
Suta membaca daun lontar ke tiga yang menempel
di bagian leher pelayan ketiga.
"Kalau sudah kenyang makan sebaiknya
membunuh diri."
"Hahaa...! Siapa orangnya begitu berani mati
menghina utusan Empu Barada Sukma!" hardik la-
ki-laki itu. Laksana kilat tinjunya melabrak tiga pelayan itu. Terdengar suara
tulang berderak tiga kali berturut-turut disertai dengan suara jeritan. Tiga
sosok tubuh terpelanting, melabrak gerobok tempat
menyimpan makanan lalu jatuh bergulingan. Satu
kepalanya masuk ke dalam ember pencuci piring,
satunya lagi hidungnya mencium tempat untuk
menggiling cabai sedangkan satunya lagi setelah melewati pintu tersungkur dalam
comberan. Pemilik warung terbirit-birit selamatkan diri.
Belasan pengunjung yang terdiri dari penduduk se-
kitar berserabutan keluar puntang-panting menye-
lamatkan diri. Satu-satunya yang tinggal di dalam kedai
adalah si gendut. Dia sendiri sebenarnya jadi terkejut ketika Suta mengaku
sebagai utusan Empu Ba-
rada Sukma. Mendengar orang menyebut nama itu
perasaannya jadi tidak enak. Tapi karena dasar sinting, kakek periang ini
ditengah keheningan suasana bicara sendiri. "Makanan begini banyak. Mau dimakan
perut sudah kenyang tak dimakan jadi mubajir.
Huuk...huuk. Kenyang betul" kata si kakek sambil tepuk perutnya dan julurkan
kaki lalu sandarkan
punggungnya pada sandaran kursi.
Tiga bersaudara itu serentak menoleh me-
mandang ke arah si kakek. Mereka jadi tercekat be-
gitu melihat hidangan mereka telah berpindah tem-
pat ke meja si kakek. Bagaimana hal ini bisa terjadi"
Ketika Suta adiknya sedang bicara dengan
sang dara. Kesempatan itu dipergunakan si gendut
memindah makanan yang ada di meja milik Suta
bersaudara. Dengan menggunakan sedikit tenaga
dalam cukup mudah bagi gendut memindah maka-
nan itu, tanpa harus bersusah payah mendatangi.
Rupanya perbuatan usil si kakek diketahui oleh tiga pelayan. Ketika mereka
hendak mencegahnya maka
si gendut melancarkan totokan jarak jauh hingga
membuat si ketiga pelayan itu kaku tertotok. Dari
balik pakaiannya si kakek keluarkan tiga lembar
daun lontar, lalu menggurat ketiga daun itu dengan tulisan sekehendak hatinya.
Daun dilemparkan dan
masing-masing menempel di kening, mulut serta
leher ketiga pelayan itu. Sama sekali si kakek tak menyangka perbuatan isengnya
membuat tiga pelayan warung jadi sengsara.
Kini si gendut memukul tangannya sendiri.
"Sialan. Coba kalau tidak usil tadi tidak begini kejadiannya" gerutu si gendut.
Dalam kesempatan itu tiga bersaudara tadi
serentak berlompatan mendekati si kakek. Begitu
mereka berdiri di depan meja orang tua itu. Salah
seorang diantaranya yang berpenyakit kurap sambil
garuk-garuk tubuhnya yang gatal berkata.
"Jika kau hanya mencuri makanan kami.
Tentu kami masih bisa menganggapmu sebagai kere
pasar yang kelaparan. Ulahmu membuat kakangku
jadi sangat marah, apa sebenarnya yang kau per-
buat dengan daun lontar tadi?"
"Ha ha ha. Aku cuma mengatakan yang sebe-
narnya. Pertama, Suta muka pantat, makananmu
ternyata tidak enak, mungkin uangnya hasil mencu-
ri. Yang ke dua Tiga monyet perayu, enyahlah kalian ke neraka. Sedangkan yang
ketiga. Kalau sudah kenyang makan sebaiknya membunuh diri! Ha ha ha!"
"Gendut keparat, kau memang minta mam-
pus!" teriak Teja Kurap. Laksana kilat dia layangkan
tinjunya ke wajah si kakek. Dia merasa yakin sekali hantam maka remuklah wajah
si kakek gendut.
Wuuuus! Tapi kemudian betapa kaget Teja Kurap begi-
tu melihat kenyataan orang yang diserangnya men-
dadak lenyap melesat terbang entah kemana.
5 Tiga bersaudara termasuk gadis jelita itu se-
rentak layangkan pandang ke segenap penjuru
ruangan. Tapi kakek gendut sama sekali memang
lenyap pergi entah kemana.
Sambil kepal-kepalkan tinjunya Suta mengge-
ram. "Jahanam pengecut itu jika tidak cepat kabur aku pasti sudah mempesiangi
tubuhnya.!"
"Aku menyesal tidak sempat memotong kedua
tangannya!" kata Sura menimpali.
"Lupakanlah masalah jamuan makan enak.
Aku tidak bisa menunggu. Aku harus pergi seka-
rang!" ujar Indah Sari Purnama tiba-tiba, membuat tiga bersaudara itu jadi
melengak kaget, lalu sama memandang ke arah si gadis dengan perasaan tidak
mengerti. "Mengapa secepat itu. Sebaiknya kau terus
bersama kami. Terlalu berbahaya bagi seorang gadis pergi sendiri. "sergah Teja
Kurap. "Aku sudah terbiasa, lagi pula saat ini aku
sedang melakukan suatu urusan yang sangat pent-
ing!" Tiga bersaudara itu menyeringai, satu sama
lain saling berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas laki-laki yang
bernama Suta kemu-
dian melompat ke depan menghadang langkah Indah
Sari Purnama.

Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak bisa pergi kemanapun, Indah Sari.
Karena kau adalah milik kami!" tegas Suta.
Sang dara tersenyum, sejak semula dia sudah
menduga di balik kebaikan yang mereka perlihatkan
itu ternyata memang menyimpan niat-niat keji.
"Kudengar kalian tadi sedang melakukan sua-
tu amanat dari seseorang bernama Empu Barada
Sukma. Tugas itu agaknya sama penting dengan tu-
gas yang aku lakukan. Kini aku menjadi heran sen-
diri, setelah melihatku mengapa rencana kalian be-
rubah?" "Gadis cantik jangan banyak bicara. Tugas
kami nantinya tetap akan kami kerjakan. Tapi masa-
lah kesenangan terhadap perempuan itu adalah per-
soalan lain. Kau ikutlah dengan kami. Kita bisa ber-senang-senang menikmati
keindahan hidup yang tak
pernah kau bayangkan selama ini!" ujar Suta.
Jika Suta berkata begitu, sebaliknya Sura ti-
dak sabar lagi. Dengan cepat disambarnya tangan
Indah Sari Purnama. Detik berikutnya lengan si ga-
dis sudah kena dicekal oleh Sura. Baru saja tangan kiri laki-laki itu bermaksud
lancarkan totokan ke
bagian leher sang dara. Mendadak sontak Sura men-
jerit lalu lepaskan cekalannya pada lengan gadis itu sedangkan matanya mendelik
besar, dia lalu jatuh
terhempas berkelojotan sedangkan tangannya nam-
pak membiru. Warna biru dengan cepat sekali men-
jalar ke sekujur tubuhnya, menyerang pembuluh
darah dan menghancurkan bagian jantung.
Melihat kejadian yang tak pernah mereka
sangka itu, Suta maupun Teja Kurap untuk bebera-
pa jenak lamanya hanya terpana. Tapi begitu rasa
kaget di hati mereka lenyap Suta langsung berseru.
"Adikku... bangsat itu ternyata beracun!" Seko-nyong-konyong Suta hendak
menubruk mayat adik-
nya. Tapi Teja Kurap menarik tangannya mencegah.
"Jangan disentuh. Tubuhnya keracunan!"
"Kurang ajar! Rupanya tubuh gadis itu men-
gandung racun"!" seru Suta sambil memandang
dengan mata melotot ke arah Indah Sari. Si gadis
tertawa mengekeh.
"Siapa diantara kalian yang ingin cepat mati.
Sebaiknya peluklah aku!" kata Indah Sari. Gadis itu lalu kembangkan kedua
tangannya sambil julurkan
lidah basahi bibir.
"Gadis keparat! Kau bunuh adikku dan se-
mua ini telah merubah niat dan keinginan semula.
Bersiaplah kau untuk mati." teriak Suta. Laksana kilat dia meloloskan pedang.
Senjata itu kemudian
menderu menghantam tiga bagian mematikan di tu-
buh sang dara. Melihat ganasnya serangan yang di-
lancarkan Suta, Teja Kurap sambil menggaruk ba-
dannya merasa yakin gadis itu pasti tak dapat me-
nyelamatkan diri. Dugaan laki-laki itu ternyata me-leset. Hanya dengan
menggerakkan kaki dan liukkan
tubuhnya serangan pedang luput. Kemudian tangan
Indah Sari menyambar dari atas ke bawah.
Tep! Badan pedang kini berada dalam cengkera-
man si gadis. Tak menyangka lawan dapat berbuat
seperti itu, Suta tarik pedangnya sekuat tenaga. Pa-da saat itulah satu kejadian
yang luar biasa terjadi.
Pedang ditangan Teja mendadak berubah membiru.
Beruntung dia sempat melihat kenyataan yang ter-
jadi. Dengan cepat dia melepaskan pedangnya sam-
bil melompat mundur ke belakang. Kini dia menca-
but pedang pendeknya. Dengan pedang itu dia kem-
bali mengurung sang dara. Hanya dalam waktu
singkat sinar putih bergulung-gulung mengurung ja-
lan gerak si gadis. Walaupun begitu semua ini tidak membuatnya menjadi gugup.
Menggunakan pedang
rampasan Indah Sari menangkis setiap serangan
yang datang, lalu balas menyerang hingga membuat
Suta terdesak hebat.
Melihat apa yang terjadi jelaslah. Indah Sari
bukan lawan Suta, sehingga Teja Kurap tidak lagi
dapat diam berpangku tangan. Laki-laki ini kemu-
dian meloloskan pedang, lalu melesat ke depan ber-
gabung dengan Suta saudara tuanya. Perkelahian
semakin bertambah seru. Meja, kursi dan perabotan
lain yang berada di dalam kedai jadi porak poranda.
Sedangkan si gadis yang mendapat dua serangan
hebat sekaligus dengan mengandalkan ilmu merin-
gankan tubuh serta kecepatan gerak berkelebat lak-
sana bayang-bayang. Lima jurus berlalu, namun
dua bersaudara ini tetap tak sanggup melukai la-
wannya. Malah ketika Indah Sari balas melakukan
serangan. Sekejap saja keduanya terdesak hebat.
Indah Sari tak mau membuang waktu, pedang di-
tangan diayunkannya ke kanan, lalu bergerak dari
bawah ke atas mencari sasaran di bagian perut dan
dada Suta. Trang! Trang! Benturan keras terjadi. Pedang di tangan Suta
terpental, Suta terkesiap kaget kemudian cepat se-
lamatkan diri dengan melompat ke samping. Tak
terduga pedang di tangan sang dara berbalik arah
dari samping kiri melesat ke kanan.
Tak terelakkan lagi senjata itupun menghan-
tam perut Suta. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Isi perutnya berburaian
keluar. Darah menyembur.
Terhuyung sebentar pada akhirnya Suta jatuh terpe-
lanting. Melihat kenyataan ini Teja Kurap menjerit.
"Kakang.....!"
"Tak usah kau sesali. Kau ingin meyusulnya
aku bersedia menolong!" dengus Indah Sari.
"Gaadis terkutuk! Kubunuh kau...!" teriak Te-ja Kurap. Tiba-tiba dia balikkan
badan. Sambil keluarkan suara menggembor penuh amarah dia melesat
ke arah sang dara. Serangan pedang yang dilancar-
kannya kini berubah menjadi luar biasa, membabat
menusuk silih berganti. Walau gadis yang diserang-
nya sempat unjukkan wajah kaget. Hal ini pun ter-
jadi hanya sekejap saja. Pada kesempatan yang lain gadis ini meniup ke depan
sambil menghindari serangan yang datang. Dari mulut Indah Sari Purnama
menyembur asap tipis berwarna kebiru-biruan per-
tanda asap itu mengandung racun ganas memati-
kan. Melihat serangan berupa hembusan asap be-
racun Teja Kurap terpaksa melompat mundur, tarik
balik serangan. Namun dia lalu jatuhkan diri bergulingan merangkak ke arah lawan
sedangkan pedang
membabat ke bagian kaki Indah Sari.
Gadis itu keluarkan tawa dingin angker. Enak
saja dia melompat ke udara sampai kepalanya me-
nyandak langit-langit kedai. Selagi tubuhnya masih mengambang di udara dia
lepaskan pukulannya ke
arah Teja Kurap. Sinar biru berkiblat, hawa dingin menghampar membuat Teja Kurap
tercekat lalu se-cepatnya melompat bangkit kemudian mundur jauh.
Letupan kecil akibat serangan Indah Sari
membuat lantai kedai berlubang besar, hangus dan
mengepulkan asap. Teja Kurap menyaksikan keja-
dian ini bergidik ngeri. Tapi dia tak dapat memikirkan semua itu lebih lama,
karena pada saat itu pu-
kulan susulan yang dilepaskan Indah Sari melabrak
dirinya. Teja Kurap putar senjata ditangannya. Sinar
putih menggidikkan yang memancar dari pedang la-
ki-laki itu menyelimuti dirinya. Tak dapat dielakkan lagi benturan keras pun
terjadi. Traang! Teja Kurap keluarkan seruan kaget begitu
mendapati pertahanannya hancur dihantam puku-
lan lawan. Tanpa fikir panjang dengan tubuh kucur-
kan keringat dingin dia melesat ke atas. Sebagian pukulan Indah Sari yang
seharusnya mengenai bagian bahu menyambar meja di belakangnya. Meja
hangus mengeluarkan suara berkeretakan. Tanpa
menghiraukan semua apa yang terjadi Teja Kurap
tusukkan pedangnya ke dada si gadis. Di saat itulah Indah Sari Purnama rundukkan
kepala. Lalu tanpa
pernah terduga kakinya melesat menghantam perut
laki-laki itu. Dess! Tendangan yang amat keras membuat Teja
Kurap meraung kesakitan. Sosoknya jatuh terpental.
Tapi dia segera bangkit kembali. Disaat dia berusaha berdiri tegak itulah Teja
Kurap merasakan perutnya yang kena ditendang lawan kini terasa sakit laksana
ditembusi belasan batang tombak. Ketika Teja Kurap memeriksa perutnya.
Mendeliklah mata laki-laki itu.
Tendangan si gadis bukan saja hanya membuat pa-
kaiannya hangus menjadi bubuk, lebih dari itu ba-
gian perutnya hangus gosong membiru. Warna biru
hanya dalam waktu singkat terus menjalar keseku-
jur tubuh. Sambil mendekap luka dengan tangan ki-
ri Teja Kurap menunjuk-nunjuk ke arah Indah Sari.
Sebelum dia mampu bicara sepatah katapun. Teja
Kurap jatuh tersungkur dan tidak bangun lagi.
Indah Sari tersenyum sinis. Bibirnya berge-
rak. "Benar seperti apa yang dikatakan oleh guru, laki-laki ternyata sangat
jahat sekali!" kata gadis itu, lalu melangkah ke luar tinggalkan kedai.
6 Indah Sari Purnama melangkah tenang mele-
wati halaman depan kedai yang sunyi, lalu berbelok ke jalan menuju ke arah
timur. Sementara itu si
gendut yang sejak meninggalkan tiga bersaudara ta-
di duduk di bagian atas atap kedai tidak habis-
habisnya mengusap hidungnya yang pesek. Apa
yang dilakukan gadis itu tadi memang sesuatu yang
sangat luar biasa sekaligus mengerikan.
Sambil memperhatikan kepergian sang dara
kakek gendut itu berkata.
"Aku sama sekali tak menyangka tubuhnya
mengandung racun ganas. Di balik kecantikannya
dia bisa menjadi seorang pembunuh keji. Siapa dia"
Kudengar tadi namanya Indah Sari Purnama. Murid
siapakah dia" Belum pernah aku dengar ada tokoh
dirimba persilatan ini yang memiliki racun sehebat itu. Indah Sari Purnama....!"
Kakek Gentong Ketawa menyebut nama itu berulang-ulang.
"Sial, Angin Pesut di saat anaknya di culik
orang belum sempat memberinya nama. Lalu gadis
tadi anaknya siapa" Wajahnya hampir mirip dengan
Angin Pesut. Mungkin aku harus mengejar, lalu
memeriksa punggungnya. Siapa tahu di punggung
gadis itu ada tahi lalatnya. Seandainya benar, apakah mungkin dia kenal dengan
Angin Pesut"
Beberapa saat lamanya si gendut terombang
ambing dalam kebimbangan. Sampai kemudian dia
memutuskan untuk mengikuti gadis tadi.
Kakek ini lalu bangkit berdiri. Dengan gera-
kan ringan dia berkelebat tinggalkan atap kedai lalu menyusul Indah Sari
Purnama. Sementara itu sang dara sudah jauh mening-
galkan Bantul. Setelah melewati sebuah tikungan jalan dia menyelinap dibalik
rerumpun semak belukar.
Sesaat dia menunggu. Sejak tadi dia merasa ada se-
seorang seperti sedang mengikuti dirinya. Orang itu telah menguntitnya. Cara
mengikutinya juga terbi-lang aneh, dari jarak yang tidak begitu jauh, namun tak
mau unjukkan diri.
Tak lama di tempat lenyapnya si gadis mun-
cul satu sosok tubuh. Sosok berpakaian serba kun-
ing, dengan wajah dan tangan dipenuhi sisik, se-
dangkan jari tangannya hanya terdiri dari ibu jari, serta telunjuk yang menyatu
dengan tiga jari lainnya. "Bangsat! Dia lagi rupanya. "gerutu Indah Sari begitu
mengenali siapa orang yang menguntitnya.
Sang dara melirik ke bagian pinggang pemuda
itu. "Pedang itu... hem, ternyata Pedang Tumbal Perawan masih ditangannya. Aku
harus dapat meram-
pas kembali pedang iblis itu. Tapi bagaimana ca-
ranya" Kehebatan ilmunya tidak membuatku mera-
sa gentar. Tapi jika dia sampai menggunakan pe-
dang Tumbal Perawan untuk melawanku, salah-
salah aku bisa celaka. Pedang itu bila telah keluar dari rangka tangannya akan
bergerak sendiri mengejar sasaran. Orang tolol sekalipun jika sudah memegang
senjata iblis itu pasti berubah menjadi lawan yang sangat berbahaya." kata Indah
Sari. Sementara di tengah jalan pemuda berpa-
kaian kuning nampak jelalatan kitarkan pandangan
matanya ke segenap penjuru arah. Setelah tak meli-
hat orang yang dia cari akhirnya dia jadi bicara sendiri. "Tidak mungkin. Yang
kulihat tadi jelas dia, bukan orang lain. Tapi mengapa tiba-tiba saja bisa
menghilang"!"
Di balik semak belukar Indah Sari berucap
heran. "Bukankah dia punya saudara yaitu Setan Dua. Kemana saudaranya yang satu
itu. Apakah mungkin ada seseorang yang telah membunuhnya,
tapi siapa?"
"Gadis baju merah!" Tiba-tiba Indah Sari mendengar pemuda itu berteriak. "Aku
tahu kau berada di sekitar sini. Kuharap kau mau menunjukkan
diri. Bukankah kau ingin pedang ini kembali ke tanganmu" Kita masih bisa
bicarakan. Pedang ini akan
kukembalikan padamu, tapi kau harus menyenangi
diriku semalaman suntuk. Ha ha ha!"
Indah Sari sunggingkan seringai. "Itu yang dia
inginkan. Agaknya dia ingin mampus konyol seperti
tiga bersaudara di dalam kedai tadi." batin si gadis.
Tanpa pikir panjang Indah Sari kemudian lepaskan
dua kancing bajunya di bagian atas. Hingga dadanya yang putih mulus tersembul
menantang. Wuut! Gadis itu lakukan satu gerakan. Di lain kejap
dia telah berdiri di atas semak belukar. Melihat cara berdiri gadis ini yang
terkesan seenaknya jelas merupakan pertanda Indah Sari menggunakan ilmu


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengentengi tubuh yang sudah mencapai puncak-
nya. Ini dibuktikan reranting semak yang dijadikannya tempat berpijak tidak
goyah apalagi patah.
Pemuda berpakaian serba kuning tersenyum.
Tapi kemudian matanya terbelalak lebar ketika me-
lihat bagaimana belahan dada si gadis dalam kea-
daan terbuka. "Beberapa hari aku mencarinya, tidak disang-
ka dia sengaja mengundangku untuk....!"
Kembali si baju kuning yang bukan lain ada-
lah Setan Satu sunggingkan senyum.
"Katanya kau mau menyerahkan pedang itu
padaku. Sekarang berikan....!" kata si gadis sambil basahi bibirnya.
"Ha ha ha. Tentu saja pedang akan kuserah-
kan, asal kau menyerahkan dirimu kepadaku!"
"Kau menghendaki aku, datanglah kemari.
Peluk... peluklah aku...!" Ucap Indah Sari dengan mata setengah terpejam
sedangkan kedua tangannya terpentang lebar.
Setan Satu merasakan dadanya bergemuruh,
jantung berdetak keras sedangkan darahnya meng-
gelegak sampai ke ubun-ubun terbakar rangsangan
hebat. Pemuda itu melangkah maju dan siap me-
lompat ke atas semak belukar dimana Indah Sari
berdiri menunggu. Tapi kemudian Setan Satu nam-
pak ragu-ragu. Dia ingat kejadian di pinggir sungai.
Terbayang pula apa yang terjadi pada orang yang
bernama Jaran Kalabakan. Laki-laki berpakaian me-
rah yang dibunuhnya. Untuk lebih jelas (baca Epi-
sode Petaka Iblis).
"Gadis ini memiliki racun hebat. Tubuhnya
mengandung racun, jika aku memeluknya tentu na-
sibku akan sama dengan tiga bersaudara yang me-
nemui ajal di dalam kedai." fikir Setan Satu.
"Manusia setan, mengapa tidak kau lakukan.
Padahal aku telah menunggumu. Kau tidak suka
melihatku, atau kau ingin aku menanggalkan selu-
ruh pakaianku" Hi hi hi."
"Gadis siluman. Apa yang telah kuucapkan
kutarik kembali. Aku bukan manusia tolol. Tubuh-
mu mengandung racun, aku tidak ingin celaka aki-
bat memperturutkan keinginan nafsu tolol."
"Kalau begitu kau serahkan saja pedang
Tumbal Perawan kepadaku. Setelah itu dengan se-
nang hati aku lupakan kesalahanmu."
"Kesalahan" Kesalahan apa?" tanya Setan Sa-tu heran.
"Hi hi hi. Apakah kau lupa, kau pernah men-
gintip ku ketika aku mandi di sungai. Selain itu kau telah melarikan pedang
milikku yang kini ada di
tanganmu!" tegas si gadis.
Setan Satu berdiri berkacak pinggang. Dia
pura-pura keluarkan seruan kaget. Tapi sebenarnya
tidak, karena sesungguhnya Setan Satu tentu saja
ingat dengan kejadian mengasyikkan di pinggir sun-
gai itu. Setengah bergumam dia berkata. "Sayang adikku terbunuh oleh tua bangka
keparat bernama
nenek Palasik itu. Jika tidak tentu melihat kehadiranmu dia akan senang sekali."
"Aku tidak perduli tentang adikmu yang su-
dah mampus. Sekarang juga kembalikan pedang itu
kepadaku!" bentak Indah Sari sambil kancingkan bajunya dibagian atas. Setan Satu
dengan tegas gelengkan kepala,
"Tidak mungkin gadis cantik. Pedang Tumbal
Perawan masih kubutuhkan. Aku memerlukannya
untuk meringkus seorang tua bangka buronan ber-
nama Gentong Ketawa?"
"Gentong Ketawa. Siapa dia?"
Tak jauh dari tepi jalan, tepatnya di atas ca-
bang pohon si gendut yang namanya di sebut oleh
Setan Satu diam-diam terkejut. Dalam hati dia ber-
kata. "Pemuda baju kuning muka bersisik macam ular kadut itu siapakah" Mengapa
dia mencariku dan mengatakan aku ini buronan" Aku tak pernah
mendekam dalam penjara kerajaan, tak pernah pula
meloloskan diri dari rumah neraka. Bagaimana dia
pandai-pandainya mengatakan aku seorang buro-
nan" Kabar edan apa lagi ini?" maki si kakek.
Sementara itu Setan Satu menjawab perta-
nyaan Indah Sari. "Orang yang kukatakan itu punya kesalahan besar sekaligus dosa
yang tak mungkin
terbayar pada seorang sesepuh dunia persilatan dari timur. Sesepuh yang sangat
kami hormati itu bernama Empu Barada Sukma!"
Di atas cabang pohon si kakek tercekat, wa-
jahnya sempat berubah pucat. Dahi mengerenyit,
mulut berucap pelan sekali. "Empu Barada Sukma"
Rupanya bangsat tua itu belum mati. Manusia sega-
la keji, menggunakan kedok kebaikan untuk menu-
tupi kejahatannya. Ilmunya tinggi, aku sendiri be-
lum tentu sanggup menghadapinya. Lalu mengapa
dia tak datang sendiri mencariku, mengapa meng-
gunakan tangan orang lain" Apakah pemuda yang
dipanggil Setan Satu itu muridnya. Lalu berapa se-
tan yang dikirimkannya untuk menangkapku. Tiga
bersaudara yang mampus dalam kedai tadi juga ada
menyebut nama Empu Barada Sukma. Tapi melihat
ilmu permainan pedangnya jelas ketiga laki-laki itu bukan murid Empu Barada.
Sebaiknya aku menunggu apa yang dilakukan pemuda itu pada Indah
Sari!" batin si kakek.
Pada saat itu Indah Sari yang memang tidak
mengenal dua nama yang disebutkan oleh Setan Sa-
tu tentu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Malah
dia kemudian dengan tegas berkata. "Apapun ala-sanmu aku tidak perduli. Apakah
kau ini ditugaskan setan gundul untuk menangkap hantu, atau ditugaskan iblis,
kau harus serahkan pedang itu pada-
ku!" "Jika aku tak mau?" tanya Setan Satu sambil bertolak pinggang.
"Jika kau menolak. Tidak ada jalan selamat
bagimu terkecuali mati!" sentak Indah Sari.
Setan Satu tertawa bergelak. Semakin lama
tawanya semakin bertambah keras membuat pen-
gang telinga. 7 Tawa dingin Setan Satu mendadak lenyap.
Dengan tatapan sinis pemuda ini kemudian berkata.
"Lagak bicaramu keren amat, Indah Sari. Kau kira mencabut nyawaku semudah
mencabut batang kelapa. Jika kau punya ilmu setinggi gunung belum
tentu kau sanggup membunuhku! Dari pada kau
mati muda bukankah lebih baik kau menjadi istriku
saja" Ha ha ha!"
"Baik, kalau itu permintaanmu sekarang ber-
siaplah kau menangkap diriku!" berkata begitu Indah Sari melesat ke depan, lalu
pura-pura jatuhkan diri dalam pelukan Setan Satu. Begitu tubuhnya meluncur
menubruk pemuda itu, dua jari telunjuknya
berkelebat menghantam bahu Setan Satu.
Pemuda baju kuning ini semula memang
menduga lawan memang ingin jatuhkan diri dalam
pelukannya. Dia sempat merasa yakin dua tangan-
nya yang bersisik tebal tentu dapat menahan racun
yang terdapat di sekujur tubuh si gadis. Tapi kenyataan yang terjadi kemudian
benar-benar membuat
Setan Satu jadi tercekat. Sikap yang dilakukan In-
dah Sari bukan satu sikap memasrahkan diri. Tapi-
melihat dua jari telunjuk siap menembus bahu Se-
tan Satu ini merupakan suatu tanda lawan ingin
membunuhnya. Tak pelak lagi Setan Satu jatuhkan
diri, bergulingan menjauh. Kemudian bangkit sambil kibaskan ujung lengan
bajunya. Angin menderu dahsyat, belasan benda putih
laksana panah berbentuk pipih berlesatan dari
ujung lengan baju Setan Satu. Belasan senjata raha-
sia itu kemudian menghantam Indah Sari, tapi
hanya dengan melambaikan tangan kirinya saja sen-
jata rahasia milik lawan dapat disapu mental, berbalik menghantam pemiliknya
sendiri. Setan Satu sempat tercengang, tapi serangan
senjata rahasia yang sempat membalik itu tidak
membuatnya menjadi panik. Malah dia tertawa ber-
gelak, pipi menggembung mulut berubah lancip. Se-
lanjutnya Setan Satu meniup ke depan. Tiupan per-
tama membuat senjata rahasianya hangus terbakar.
Tiupan kedua melabrak tubuh Indah Sari hingga
gadis itu jadi terhuyung, sedangkan tiupan ketiga
membuat tubuh gadis itu laksana di hantam topan
tersapu mental setinggi sepuluh tombak, lalu terguling-guling di udara dan jatuh
menyerangsang di pu-
cuk pohon. Sang dara bergelayutan di pucuk pohon, te-
naga dalam dikerahkan. Dia lalu mengerahkan ilmu
pemberat tubuh. Pohon dimana gadis ini terjatuh
nampak melengkung, sampai bagian pucuknya
hampir menyentuh tanah. Setan Satu tanpa menge-
tahui kecerdikan si gadis begitu melihat lawan jejakkan kaki sambil menggelayuti
pucuk pohon segera
melompat. Kali ini tangannya bergerak siap meng-
hantam remuk kepala gadis itu. Tapi apa yang ke-
mudian terjadi" Begitu salah satu kaki Setan Satu
melewati batang pohon, Indah Sari dengan gerakan
laksana kilat lepaskan pucuk pohon yang dijadikan-
nya tempat bergelayut.
Karena pohon sebesar paha orang dewasa itu
sangat lentur, begitu di lepas tentu saja melesat
kembali ke udara.
Plak! Bagian ujung pohon menghantam selangkan-
gan Setan Satu. Akibatnya sungguh mengerikan.
Tubuh Setan Satu seperti dilontarkan terlempar pu-
luhan batang tombak ke angkasa. Pemuda itu men-
jerit kesakitan. Dalam keadaan jungkir balik tak karuan, sambil menjerit dia
dekap selangkangannya.
Di tempatnya mendekam si gendut Gentong
Ketawa menyengir, garuk hidungnya yang pesek
sambil menyetuk. "Ini baru hebat. Aku yakin buah jambu milik si muka bersisik
itu remuk, bisa jadi
malah hancur. Untung bukan buah jambuku yang
kena. Kalau milikku yang jadi sasaran aku bisa me-
rana seumur hidup. He he he." Tanpa sadar si gendut raba selangkangannya
sendiri. "Ah, masih ada.
Tetap utuh dan segar semuanya." Lalu si kakek kembali pentang matanya
memperhatikan jalannya
perkelahian. Pada kesempatan itu Setan Satu sudah jatuh
dengan kepala menjungkir di atas tanah. Rupanya
rasa sakit yang mendera bagian bawah perut masih
begitu hebat. Terbukti dia masih terus menggerung
sambil bergulingan di atas tanah.
Melihat kejadian ini sambil tertawa mengikik
Indah Sari tidak menyia-nyiakan kesempatan. Den-
gan cepat dia melesat ke arah lawan. Tangan kiri
berkelebat menyambar pedang yang tergantung di-
pinggang Setan Satu, sedangkan tangan kanan di-
pergunakan untuk menghantam kepala Setan Satu.
Sambaran angin dingin yang menerpa kepala
dan pinggangnya membuat Setan Satu bergulingan
menjauh. Dengan bertumpu pada punggungnya.
Tubuh Setan Satu berputar, dua tangan berputar
mengikuti gerakan badan sedangkan kaki melesat ke
arah wajah lawannya.
Tak pernah menyangka lawan dapat melaku-
kan serangan seperti itu tentu saja Indah Sari yang gagal sambar pedang dan
hancurkan kepala lawan
tak sempat lagi mengelak.
Dia hanya sempat jauhkan wajahnya dari
hantaman kaki lawan. Tapi akibat yang harus dia terima lebih parah lagi karena
kaki Setan Satu dengan telak menghantam dada sang dara sebelah kiri.
Si gadis jatuh terjengkang, dadanya laksana
meledak. Sementara Setan Satu sudah bangkit ber-
diri dengan mulut menyeringai menahan sakit
Lagi-lagi melihat kejadian itu kakak gendut
nyeletuk. "Tadi buah jambu muka binyawak yang dibuat konyol, sekarang giliran
bukit bagus itu hendak dibuat runtuh. Pertarungan menarik. Belum ke-
tahuan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang-
nya!" kata si kakek sambil cengar-cengir dan tepuk-tepuk keningnya segala.
"Kau tak bakal lolos dari kematian!" seru Setan Satu. Berkata begitu laksana
kilat kakinya berkelebat menendang. Saat itu jarak diantara mereka
terpentang lebih dari lima tombak. Tapi sambaran
angin tendangan membuat Indah Sari terguling-
guling. Tubuh gadis itu baru terhenti setelah meng-hempas sebatang pohon besar
di belakangnya. Po-
hon roboh menghantam pohon di belakangnya. Po-
hon yang kena hantaman pohon di depannya juga
ikut roboh. Sedikitnya tujuh pohon besar roboh ber-tumbangan secara susul
menyusul. "Hebat. Gadis itu mungkin turunan gajah.
Semua pohon jadi roboh begitu terhantam dirinya.
Sebentar lagi akan ada lapangan luas, tinggal men-
cari bibit. Aku siap menanam apa saja di sini!" kata si kakek sambil angguk-
anggukkan kepala.
"Setan penasaran. Kau lihatlah ke sini! Keluarkan senjatamu. Aku akan tunjukkan
padamu satu jalan. Jalan di mana kau dapat melebur dirimu da-
lam kobaran api yang membakar!" kata Indah Sari yang kini telah silangkan kedua
tangannya di depan dada. Setan Satu balas membentak. "Gadis beracun. Aku akan
meremukkan sekujur tubuhmu.
Dengan Pedang Tumbal Perawan akan kubuat tu-
buhmu menjadi daging cincang."
"Walah suasana kini berubah seperti sebuah
pasar. Segala daging cincang dibawa-bawa. Mengapa
tidak disebut tukang jagalnya sekalian!" kata si kakek sambil cengengesan.
Setan Satu benar-benar dibakar amarah. Dia
kemudian melepaskan pedang yang bersarang pada
potongan lengan mayat seorang gadis yang pernah
dijadikan tumbal pemuda itu. Seperti telah diceritakan dalam episode Iblis
Penebus Dosa. Pedang Tum-


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bal Perawan di buat oleh Ki Ageng Pamanakan. Seo-
rang kakek sakti ahli pembuat senjata dari perak
yang berdiam di Kotagede. Sebelumnya senjata sakti itu dilumuri racun jahat
bahkan oleh peciptanya
sempat direndam dalam Kendi Selaksa Racun. Ke-
hebatan senjata itu bertambah dahsyat lagi dengan
dikorbankannya seorang gadis. Sehingga pedang itu
kini menjadi senjata pembunuh handal yang bila te-
lah keluar dari rangka yang berasal dari potongan
tangan mayat gadis perawan tak dapat dikendalikan
lagi. Kelebihan senjata lain senjata ini bila sampai menancap di tubuh lawan,
maka akan menyedot
habis darah korbannya. Hingga orang yang menjadi
korban akan mati dalam keadaan tubuh kering lalu
hangus baru kemudian luluh lantak sampai ketu-
lang belulangnya.
Si Gendut Gentong Ketawa sendiri sebelum-
nya tidak pernah melihat senjata seperti itu. Dia ju-ga sempat kerutkan
keningnya begitu melihat rang-
ka pedang yang terdiri dari potongan lengan manu-
sia. Tapi dia menyadari, di samping sangat bera-
cun, senjata itu pastilah mengandung kekuatan ib-
lis. Sehingga dia berkata sendiri. "Kehebatan pedang itu terletak pada daya
bunuh sekaligus daya serang yang tidak ada duanya. Dari sini aku melihat senjata
di tangan Setan Satu nampak bergetar dan seakan
meronta dari genggaman tangan Setan Satu! Ingin
kulihat apakah gadis beracun itu sanggup bertahan
sampai sepuluh jurus?"
Apapun yang menjadi pertimbangan si gen-
dut, yang jelas saat itu Setan Satu telah melabrak ke arah lawan dengan
kecepatan luar biasa. Pedang di
tangannya menyambar ganas mengambil sasaran di
bagian pinggang, perut dada serta kepala Indah Sari Purnama.
Gadis itu berteriak keras. Tiba-tiba tubuhnya
melesat ke udara hindari serangan pedang yang da-
tangnya laksana badai disertai suara bergemuruh
menggidikkan. Ngung! Ngung! Wuuus! Meskipun pedang maut dapat bergerak men-
gejar lawan seolah memiliki nyawa dan mata, na-
mun kecepatan si gadis dalam menghindari seran-
gan lawan sungguh luar biasa. Malah dia dengan
kegesitan serta kelincahan yang dia miliki sempat jejakkan kakinya di bahu
lawan. Ini merupakan suatu
penghinaan dan pertanda jika Indah Sari mau tentu
sejak tadi dia sudah dapat mencelakai lawan.
Mendapat perlakuan itu rupanya masih be-
lum juga membuka mata si pemuda. Dia kemudian
mengejar lawan yang terus melesat ke udara sampai
pada batas ketinggian tertentu Indah Sari balikkan tubuhnya dengan kepala
menghadap ke bawah, dua
tangan bergerak menyambut serangan senjata lawan
yang seharusnya menghantam kakinya.
Begitu tangan gadis itu terjulur, pedang tiba-
tiba berbelok menghindari tangan sang dara, kemu-
dian secara tak terduga pula menusuk bagian lam-
bung gadis itu.
Indah Sari Purnama tidak mau mati konyol.
Sambil memaki dia tarik balik tangannya yang ber-
maksud mencekal badan pedang. Dia sudah mem-
perhitungkan dirinya tak mungkin keracunan kare-
na di dalam tubuhnya sendiri mengandung racun
ganas dengan kekuatan tiga kali lipat dari racun
yang terkandung pada senjata lawan.
Gagal mencapai niatnya gadis ini kemudian
luncurkan diri, hingga diapun jejakkan kakinya di-
atas tanah. Tanpa menunggu selagi Setan Satu me-
lakukan hal yang sama dia lepaskan pukulan maut-
nya. Sinar biru disertai menebarnya kabut tipis
menderu dahsyat ke udara. Setan Satu tercekat,
laksana kilat dia putar senjata di tangan. Terdengar suara letupan tiga kali
berturut-turut begitu pedang membentur pukulan beracun yang dilepaskan oleh
sang dara. Tapi akibat tangkisan yang dilakukannya membuat posisi jatuh Setan
Satu jadi miring. Sang
dara tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Laksana
elang menyambar tangannya bergerak ke arah kaki
lawan. Tep! Tep!
Begitu kaki Setan Satu kena dicekal oleh In-
dah Sari. Si gadis segera memutar tangannya, hing-
ga ketika tangan si gadis berputar, maka tubuh Se-
tan Satu ikut pula berputar laksana kitiran. Pemuda itu menjerit panik, pedang
Badai Awan Angin 14 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Pedang Pembunuh Naga 6
^