Pencarian

Petaka Cinta Berdarah 2

Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah Bagian 2


lama, gadis itu tidak muncul-muncul.
Dia cepat menyusul ke kamar mandi.
Kamar mandi kosong.
Di mana gadis itu"
Seorang pengawal penginapan
melihat Pratiwi tengah mencari
sesuatu, dia menegur, "Mencari apa, Den Putri?"
"Oh. Memang lihat gadis yang
selalu bersamaku?"
"O... yang cantik itu. Lihat."
"Di mana, Mang?" tanya Pratiwi memburu.
"Tadi dia berlari ke arah barat.
Nggak tahu dia mau apa. Tapi kayaknya, dia seperti kabur...."
"Hah" Kabur?" tanya banyak tanya lagi, Pratiwi langsung melesat ke arah barat.
Dia tidak mau rencananya gagal.
Sementara itu siang sudah beralih
ke sore. Nindia melangkah dengan
letih. Tubuhnya dirasakan sakit semua.
Terutama pergelangan kakinya. Tanpa diketahuinya, dia sudah memasuki
daerah perbatasan
tempat kekuasaan
Perkumpulan Telapak Naga!
Terus Nindia melangkah. Dia
yakin, Pratiwi akan mengejarnya.
Makanya dia tidak ingin beristirahat.
Dia paksakannya kakinya untuk
melangkah. Tiba-tiba terdengar derap langkah
kuda dari belakang. Nindia terkejut.
Apalagi ketika dilihatnya empat orang berwajah seram yang menaiki kuda itu.
Buru-buru dia bersembunyi, tetapi
kakinya tersangkut batang kayu.
"Aduh!"
Jeritannya malah mengundang minta
para penunggang kuda. Mereka
menghampirinya yang berusaha bangun namun tak kuasa. Dia sudah sangat
lebih sekali. Orang-orang itu mengurungnya.
Wajah mereka mendadak berseri. Mata mereka seperti melotot melihat siapa yang
terjatuh itu. Santapan nikmat di sore hari!
Salah seorang turun. Meneliti.
Nindia yang sudah lemah sekali hanya pasrah pada nasib, berontak pun dia tidak
akan mampu. Dia hanya bisa
berdoa agar orang-orang ini berlaku baik. Namun doanya tak terkabul. Orang
yang turun tadi berseru gembira pada teman-temannya.
"Hei, seekor kelinci manis di
tengah hutan! Ha... ha... rezeki
nomplok buat kita, Kawan-kawan!"
Kawan-kawannya yang berwajah
seram pula berlompatan turun. Dan
tertawa. "Ha... ha... Nyaligluduk! Seret saja wanita ini, biar kita santap
sekarang juga!" seru yang memakai baju loreng dengan senjata cakar besi yang
terselip di pinggangnya. Dia juga
memakai penutup kepala loreng. Dia
bernama Macanrenggi. Yang dipanggil itu tertawa terbahak. Perutnya yang buncit
terguncang oleh tawanya. Dia yang bernama Nyaligluduk. Orangnya
pendek dan bersenjatakan kapak bermata dua.
"Ha... ha... bagus, bagus. Untuk apa disia-siakan! Ayo, bawa dia,
Renggalawu! Kita santap beramai-
ramai!" Orang-orang buas itu terbahak.
Dan menyeret tubuh Nindia ke semak-
semak! Gadis itu berusaha meronta.
Namun tenaganya dirasakan
percuma untuk melawan orang-orang itu. Apalagi yang bernama Suryapurnama dan berjuluk si
Toya Maut, menotok tubuh Nindia
hingga dia terbaring kaku.
Suara tawa orang-orang sesat itu
menggema di tempat sunyi. Mereka
benar-benar manusia buas, yang tak
kenal kasihan pada mangsanya. Pada
yang lemah yang menjerit minta belas kasihan. Apalagi Nindia, nasibnya
benar-benar mengerikan. Dia berniat akan
membunuh diri dengan jalan
menggigit lidahnya sampai putus. Namun lagi-Iagi si Toya Maut meluncurkan
tangannya, menotok urat di leher
Nindia hingga dia tak bisa
menggerakkan mulutnya.
Nasib yang mengerikan itu sudah
di ambang pintu. Nyaligluduk dan
Macanrenggi sudah membuka pakaiannya sampai terbahak. Sementara Renggalawu dan
Si Toya Maut melucuti pakaian
gadis malang itu.
"Breet!"
"Breet!"
Sekarang tak ada sehelai benang
pun yang menutupi bagian tubuh gadis itu. Tubuh yang telanjang bulat dan putih
mulus, membuat nafsu mereka
semakin naik. Macanrenggi langsung menerkam
mangsanya dengan buas.
"Perbuatan keji!!" terdengar bentakan itu dari
atas dan yang membentak meluncur ke bawah. Menendang Macanrenggi yang hampir melaksanakan
niatnya. "Duk!"
Tubuh pendek bulat itu berguling
dan mengaduh kesakitan. Orang yang
baru datang itu membuka bajunya. Dan menutupi tubuh telanjang Nindia sambil
memejamkan mata.
Perbuatannya itu membangkitkan
kemarahan orang-orang buas itu.
Macanrenggi bangkit dengan geram.
"Pemuda bangsat! Cepat menyingkir dari sini sebelum kubunuh kau!"
Pemuda itu hanya tertawa.
Wajahnya yang tampan dengan kumis yang tipis membuatnya terlihat cantik saat
tertawa itu. "Ha... ha... manusia-manusia
terkutuk macam kalian, harus dibasmi dari muka bumi ini!"
"Setan!"
geram Nyaligluduk.
"Sebutkan namamu, sebelum kami membunuhmu!"
"Namaku tak perlu kalian ketahui.
Sekarang... kalianlah yang harus
memperkenalkan nama...."
"Hhh! Kau dengarlah, kami ini
tangan kanan ketua Perkumpulan Telapak Naga!" kata Nyaligluduk dengan pongah-
nya. Disangkanya pemuda itu akan
ketakutan mendengar perkumpulan
Telapak Naga disebut.
Tapi pemuda itu lagi-lagi hanya
tertawa. "Telapak Naga kentut busuk!
Jadi kalianlah orangnya yang telah membuat keonaran di desa ini dan...
mengganggu ketentraman desa se-
berang...."
"Ha... ha... itulah kami. Cepat
kau bersujud dan minta maaf... agar kami mengampuni nyawa anjingmu...."
Pemuda itu tersenyum. "Justru
nyawa kalian yang akan kucabut. Hmm, bersiaplah. Hari ini kalian berkenalan
dengan Walet Putih dari Utara!
"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram marah Dia mencabut senjatanya kapak bermata
dua. Begitu pula dengan yang lain. Mereka mencabut senjata masing-masing.
Dan dengan teriakan hebat,
keempatnya menerjang maju! Gerakan
mereka buas, keji dan mematikan.
Tetapi Walet Putih nampak tenang saja.
Begitu mereka mendekat. Tiba-tiba dia melenting ke atas dengan lihainya.
Melihat serangan mereka gagal.
Kembali dengan jeritan buas mereka
serentak menyerang. Lagi-lagi Walet Putih
memperlihatkan kelincahannya. Dan kali ini dia mencabut sepasang
pedang di punggungnya.
"Bagus, bagus! Majulah kalian
semua, hari ini... nyawa busuk kalian akan melayang...!"
Nyaligluduk menerjang dengan bernafsu Jurusnya
lebih hebat dari yang tadi. Kapak
bermata duanya menyambar- wajah Walet Putih. Tetapi dengan gerakan cepat
Walet Putih memapak
Serangan kapak itu. Pedangnya
yang satu menangkis, sedangkan yang satunya
lagi menyodok perut
Nyaligluduk. Nyaligluduk menjerit kaget. Ia
melompat ke samping.
"Bangsat!!"
"Ha... ha... orang-orang
Perkumpulan Telapak Naga, hari ini
kalian akan mampus di tanganku!"
Melihat temannya terdesak,
Macanrenggi maju dengan cepat.
Sambaran cakar besinya begitu dahsyat, menimbulkan angin yang amat kuat.
Tetapi Walet Putih kembali memper-
hatikan kelincahannya. Dia menghindar kesana-kesini dengan sekali-sekali
menusukkan pedangnya.
Renggalawu maju dengan pukulan
tangan kosongnya. Dan si Toya Maut
menyambarkan pukulan-pukulan jurus
toyanya. Tetapi sampai sejauh itu Walet
Putih belum berhasil mereka lumpuhkan.
Malah tiba-tiba, Renggalawu yang
menyerang dengan berani, mengaduh dan ambruk dengan luka yang besar di
perutnya. "Renggalawu!" jerit teman-temannya kaget.
Walet Putih hanya tertawa pelan.
"Itulah akibatnya bagi orang-
orang Perkumpulan Telapak Naga!"
"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram marah. "Kau telah membunuh teman kami, rasakan
pembalasanku, pemuda bangsat!"
Kembali mereka bertarung dengan
hebat. Namun pemuda itu benar-benar lincah. Tiga buah senjata lawannya
sekali pun belum berhasil menyentuh tubuhnya. Sampai dua puluh jurus
berlangsung, pemuda itu tetap mampu bertahan.
Tiba-tiba Macanrenggi bersalto ke
belakang dan berseru, "Cepat bentuk barisan empat penjuru!"
Kedua temannya cepat mendekat dan
merapat. Mereka menutup jalan longgar yang merupakan kelemahan mereka,
karena Renggalawu tidak ada. Jurus
empat penjuru hanya bisa dimainkan
oleh empat orang. Tetapi tiga orang pun tak mengurangi kehebatan ilmu itu.
"Ha... ha... kau salah, macan jelek! Itu bukan jurus empat penjuru!
Tapi empat penjuru kehilangan satu!"
Diejek demikian, Macanrenggi
menggeram hebat. Dan serentak mereka menyerang. Benar-benar jurus yang
hebat. Mereka menyerang dengan
bergantian. Satu menyerang, dua
melindungi. Begitu seterusnya, hingga nafas dan tenaga mereka masih
terhimpun sedangkan si Walet Putih nampak mulai kewalahan. Dia terdesak hebat.
Cakar besi Macanrenggi mengenai
bahunya. Bahu itu berdarah. Tetapi serangan itu terus di lancarkan hingga Walet
Putih tak bisa menghindar dan beristirahat.
Tiba-tiba Walet Putih menjerit
keras dan menerjang. Nekat menerobos serangan lawan. Keinginannya cuma
satu, harus melumpuhkan orang yang
menutupi kelonggaran yang lain. Maka dia pun nekat, terobosnya orang-orang itu.
Toya Maut yang kali ini menutupi kelonggaran, agak terkejut, karena
tahu-tahu pedang ditangan pemuda itu menyambar
kepalanya. Dan bersalto
dengan manisnya.
"Setan! Dia tahu kelemahan ilmu ini!"
"Jangan dirubah!" seru
Macan- renggi. "Dia sudah kewalahan nampak-nya! Merapat! Tutupi kelonggaran!"
Ketika Walet Putih menyerang
tempat yang kosong lagi, mereka
berguling dengan serentak. Dan senjata masing-masing menyambar ke atas,
menyambar tubuh Walet Putih yang
bersalto dengan manisnya. Tetapi tak satu pun senjata itu yang mengenai.
Malah tiba-tiba Nyaligluduk menjerit.
"Auuuh!"
Lalu ambruk kelojotan. Dan mati
dengan tubuh kehitaman. Di lehernya terdapat semacam jarum berbisa.
"Keji!" jerit Macanrenggi pada Walet Putih yang tersenyum sambil
memegang sebuah sumpit.
"Ha... ha... kalianlah orang-
orang Perkumpulan Telapak Naga yang keji! Yang selalu membuat onar dan
kerusakan! Kali ini nyawa anjing
kalian kuampuni! Kalian laporkan semua ini pada pemimpin kalian! Katakan
Walet Putih dari Utara akan mengobrak-abrikan Perkumpulan Telapak Naga!"
"Tidak! Kau harus mati di
tanganku, Walet jelek!" seru
Macanrenggi marah. Dia menyerang. Dan
"suittt!"
tubuhnya ambruk termakan
sumpit beracun dari si Walet Putih!
"Ha... ha... kau Toya buntung!
Cepat pergi, atau... nyawamu ingin kucabut juga"!"
Toya Maut jadi bimbang. Tetapi
akhirnya dia memutuskan untuk melapor dan akan menuntut balas kematian tiga


Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang temannya. Dengan
sigap dia meloncat kudanya. Dan ngibrit dengan bergegas!
Walet Putih terbahak-bahak melihat anggota Perkumpulan Telapak Naga itu tunggang-langgang. Tiba-tiba dia
ingat, akan gadis yang nyaris
diperkosa perampok-perampok itu. Cepat dia membebaskan kedua totokan di tubuh
gadis itu. Lalu berpaling ke depan
ketika gadis itu memakai pakaiannya.
Nindia mendehem malu-malu.
"Aem... eh...."
Walet Putih atau' yang kita kenal
sebagai sahabat baru dari Madewa
Gumilang menoleh. Gadis itu sudah
selesai memakai baju. Dan alangkah
cantiknya. Wajah yang masih tegang dan
beberapa butir keringat yang masih berjatuhan, menambah cahaya di wajah gadis
itu. "Su... sudah, Nona?" Walet Putih gugup.
Nindia nunduk malu-malu. Apalagi
wajah tampan tadi sempat melihat
tubuhnya dalam keadaan
telanjang bulat. Ia menunduk. Wajahnya semburat merah. Justru Walet Putih yang semakin
gugup. "Eh... aku... kau... mau ke mana, Nona?"
Nindia menggeleng pelan.
"Kau... kau tidak bisukan?"
"Tidak," sahut Nindia pelan. Lalu mengangkat wajahnya. "Aku... tidak tahu mau ke
mana... dan terima kasih atas pertolonganmu Saudara."
"Ah, pertolongan yang kecil
saja...." Walet Putih atau Adi Permana merendah. "Kau tidak tahu mau ke mana?"
Nindia mengangguk pelan. Lalu
menceritakan dari mana dia berasal dan mengapa dia sampai di tempat ini.
Walet Putih yang mendengar penuturan itu agak kaget. Kalau memang gadis itu
jujur, pasti dia yang tengah dicari Madewa Gumilang.
Berpikiran begitu Adi Permana
bertanya, "Nona kenal dengan Madewa Gumilang?"
"Oh!" Nindia terkejut. Nama yang
tak asing lagi. "Saya kenal dia Saudara. Saudara mengenalnya?"
Entah kenapa Walet Putih
mengangguk pelan. Bersuara pelan pula,
"Yah... saya kenal."
"Di mana Kang Madewa sekarang
Saudara?" "Kita akan menemuinya."
Walet Putih mengajak Nindia ke
penginapannya. Dia tadi hendak membeli makanan. Ketika dia mendengar jeritan
itulah dia datang membantu, lupa
membeli makanan. Juga dia lupa ketika mengantarkan Nindia ke penginapannya.
Tentu saja Madewa terkejut
melihat Nindia. Dia berseru, "Nona Nindia!"
Nindia berlari memeluk. Dan
menangis di bahu Madewa. Diam-diam
Walet Putih menghela nafas panjang.
"Ke mana saja selama ini kau,
Nona?" "Kang Madewa... aku tak tahu apa yang terjadi. Kejadian-kejadian itu membuatku
takut. Untung...." Nindia menoleh Adi Permana, "ada Saudara itu.... Dia telah
menolongku dari
cengkeraman orang-orang Perkumpulan
Telapak Naga...."
"Mengapa kau bisa sampai
terlibat?"
Nindia menceritakan kembali apa
yang telah diceritakannya pada Adi
Permana. Madewa Gumilang kelihatan
manggut-manggut. Jadi kali ini masih ada musuh besarnya, Pratiwi alias
Selendang Merah. Dia harus
menyelesaikan persoalan lama ini. Juga masalah baru akan keselamatan desa
Jatiberingin yang tengah dilanda aksi penculikan oleh Perkumpulan Telapak Naga.
Madewa menoleh pada Adi Permana.
"Saudara Adi... ada baiknya kita bereskan masalah desa Babakan Ngarai ini, lalu
desa Jatiberingin dari
orang-orang Telapak Naga."
Adi Permana hanya mengangguk. Dia
iri melihat Nindia memeluk Madewa!
"Baik Saudara... sebagai seorang sahabat... saya akan membantu sekuat tenaga."
Madewa menepuk bahu sahabatnya.
"Saudara Adi... kalau kau tidak ikut denganku... mustahil aku bisa menemui Nona
Nindia sekarang."
"Ah... Saudara. Itu hanya
kebetulan saja. Lagipula... tidak
begitu susah untuk mengalahkan
begundal-begundal itu," sahut Adi Permana merendah.
Madewa tersenyum,
mengucapkan terima kasih sekali lagi. Nindia pun tersenyum. Dia terkesan oleh ucapan Adi
Permana itu. Ucapan seorang
kesatria yang sejati. Yang selalu
merendah. Ia berpaling lagi pada Madewa.
Perasaan rindunya akan dilampiaskan sekarang. Ia mempererat rangkulannya pada
pemuda itu. Pemuda yang telah
membuatnya jatuh cinta sejak pemuda Itu menolong keluarganya dari
perampokan. Diam-diam Adi Permana berpaling.
Entah kenapa dia mendadak cemburu.
Dan diam-diam pula meninggalkan
keduanya. Malam tiba. Madewa menunggu
sampai esok hari dengan bertanya-tanya pada Nindia. Gadis itu menceritakan
pengalamannya selama disekap Wirapati.
Pengalaman yang mengerikan.
Keesokan harinya, mereka segera
menemui lurah Babakan Ngarai, yang mula-mula ketakutan menyambut mereka, namun
setelah Madewa bilang mereka akan menolong desa Babakan Ngarai dari kekejaman
Perkumpulan Telapak Naga, barulah lurah baru yang bernama
Wiryokentono itu mempersilahkan mereka masuk.
Sebenarnya Wiryokentono tidak mau
diangkat menggantikan lurah yang lama, Ringkihsamin. Namun orang-orang
Telapak Naga memaksanya.
Dan dia ditindak habis-habisan
oleh mereka. Harus menjalankan desa sesuai perintah mereka.
Ki Lurah Wiryokentono berbisik,
agar mereka berbicara pelan, karena kuatir terdengar oleh penjaga-penjaga
itu. Madewa meminta petunjuk, di mana
kiranya kediaman ketua Perkumpulan
Telapak Naga. Ki Lurah Wiryokentono menyahut
dalam bisikan, "Sebelah timur dari desa Babakan Ngarai, dekat Hutan
Waringin."
"Hutan Waringin?"
"Ya, Saudara pendekar. Ikuti saja sungai Cidangkelok... tepat di hilir
berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari sana hutan Waringin berada..."
Mereka berbincang-bincang lagi.
Pelayan Ki Lurah Wiryokentono keluar membawakan hidangan.
"Hanya ada ini Saudara-saudara.
silahkan."
"Ini sudah cukup, Ki."
"Lagipula, ini sudah merepotkan,"
sambung Adi Permana.
Mereka menikmati hidangan itu
sambil meneruskan percakapan. Pelayan itu keluar lagi. Ia meletakkan baki di
dapur dengan hati-hati. Tiba-tiba dia menyelinap ke luar. Berlari agak jauh dari
rumah Ki Lurah Wiryokentono. Di tempat yang agak sunyi, pelayan itu mengambil
kudanya. Dan memacu dengan cepat menuju hutan Waringin.
Ki Lurah Wiryokentono tidak tahu,
kalau pelayan itu adalah mata-mata
Krampelaksa! Mereka masih meneruskan
percakapan tanpa curiga.
*** 7 Krampelaksa tengah marah-marah
kepada Toya Maut, setelah mendengar laporannya. Wajahnya kesal. Matanya melotot.
Ia menggebrak meja hingga
patah berantakan! Mendengus berulang-ulang.
"Bodoh! Hanya dengan bocah
ingusan saja kau tak mampu
menghadapinya! Bodoh! Benar-benar
bodoh! Kalian tak berguna menjadi
pengawalku!"
Toya Maut menunduk. Mendengarkan
saja. "Mana kedua temanmu?"
Didengarnya lagi Krampelaksa bertanya.
Toya Maut mengangkat wajahnya,
takut-takut. Takut-takut pula menatap mata ketuanya.
"Mereka... mereka...."
"Apa mereka, Bodoh"!"
"Mereka mati ketua."
Krampelaksa sampai terbelalak
kaget. Lalu duduk lagi setelah bisa menenangkan dadanya. Namun kegusa-rannya
belum surut sedikit pun.
"Bodoh! Kalian bertiga tidak
mampu mengalahkan bocah itu! Bahkan mengorbankan dua nyawa! Hhhh, siapa nama
pemuda itu?"
"Walet Putih dari Utara gelarnya, Ketua," sahut Toya Maut sambil menunduk
hormat. Krampelaksa menggeram. Ia
mengingat-ingat gelar itu. Hmm, baru sekarang dia mendengarnya. Gelar yang tidak
menggetarkan, namun mampu
mencabut nyawa dua pengawalnya!
"Sekarang juga, kau harus cari bocah itu! Hidup atau mati, kau harus mampu
menghadapkan nya kepadaku! Ingat Surya kalau kau gagal... nyawamu
taruhannya."
Toya Maut alias Suryapurnama,
mengangguk. Ia hendak beranjak
meninggalkan tempat itu. Tetapi
terdengar seruan dari arah pintu,
"Tahan!"
Semua menoleh ke arah sana.
Pelayan Ki Lurah Wiryokentono masuk dengan tergopoh-gopoh. Dia adalah
orang Krampelaksa yang sengaja
ditugaskan untuk memata-matai Ki
Lurah. Dan saat ini, sang mata-mata membawa kabar yang bagus.
Krampelaksa mendengus, "Ada apa, Suryo"
Pelayan itu berlutut dan
membungkuk hormat, "Maafkan hamba ketua. Ada sesuatu yang hendak hamba
sampaikan. Ini laporan penting ketua."
Krampelaksa duduk di samping
Pratiwi yang sejak tadi tiba dan
membicarakan persoalan larinya korban untuk Krampelaksa. Tetapi mendengar
penuturan Toya Maut tadi, dia bisa
menduga siapa wanita yang ditolong Walet Putih dari Utara. Pasti Nindia.
Hmm, aku akan mencari gadis itu dan membunuh pemuda penolongnya, gumam
Pratiwi dalam hati.
Terdengar suara Suryo, "Ketua, tadi Ki Lurah Wiryokentono kedatangan tamu....
Dan saya mendengar, mereka akan membantu Ki Lurah menghadapi
ketua...."
"Hmm... sudah hebat Ki Tua itu.
Siapa nama orang-orang itu, Suryo?"
"Hamba kurang jelas mendengarnya.
Tetapi kalau tidak salah, mereka
bernama... Madewa Gumilang... Adi
Permana dan Nindia...."
Dua seruan terdengar. Satu dari
Krampelaksa yang berseru mengejek.
Nama-nama itu tidak membuatnya gentar.
Satu seruan lagi dari Pratiwi yang terkejut. Madewa Gumilang dan Nindia, nama
yang tak asing lagi baginya.
Ia menoleh pada Krampelaksa.
"Saudara Krampel... rupanya
musuhku sudah sampai pula di desa
ini... Madewa Gumilang, kau sudah
mendengarnya bukan" Ada baiknya kita segera menyambut kedatangannya... Dan aku
tidak perlu menunggu kedatangannya di puncak gunung Halimun!"
Krampelaksa terbahak.
"Ha... ha... kau tidak perlu
takut, Manis. Orang-orang itu akan
kita musnahkan. Biar kuhadapi orang-orang itu sendiri."
Pratiwi tersenyum, walau sangsi
apakah ketua Perkumpulan Telapak Naga ini mampu membunuh Madewa Gumilang"
Murid tunggal Ki Rengsersari tidak
boleh sembarangan dianggap enteng.
"Dia murid Ki Rengsersari,
Krampel...."
Kali ini Krampelaksa menoleh.
Kaget. Wajahnya jelas menampakkan
kekagetannya. Murid Ki Rengsersari"
Pendekar tua yang bergelar Pendekar Ular Sakti"
Pratiwi tahu, kalau Krampelaksa
gentar juga. Tetapi dia diam saja,
malah berkata, "Aku tahu kau mampu membunuhnya Krampel. Lakukanlah itu
untukku...."
Krampelaksa terbahak. "Jangan
kuatir, Pratiwi. Hmm, Suryo...
laporanmu kali ini bagus. Kembalilah kau ke rumah Ki Lurah Wiryokentono!
Pelayan, berikan Suryo beberapa keping emas dan pakaian bagus!"
Wajah Suryo berseri-seri. Ia
mengikuti pelayan yang disuruh
Krampelaksa itu. Sementara si Toya Maut masih menunggu perintah selanjutnya.
Mendengar penuturan Suryo tadi,
Krampelaksa merubah perintahnya. Ia berkata, "Surya purnama, kali ini kau
kuperintahkan, untuk
menghadang

Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan tiga manusia
edan itu kemari! KAU BUNUH mereka untukku!"
Suryapurnama alias si Toya Maut
membungkuk hormat. Lalu undur ke
belakang. Di luar dia membawa beberapa orang pengawal yang tangguh dan gagah.
Lalu mulai menjaga dan menghadang,
sekaligus... membunuh tiga manusia
yang ingin memberontak itu.
Sementara itu dalam Pratiwi
berkata pada Krampelaksa, "Krampel, musuhku rupanya sudah berada di sini.
Kuminta kita harus menyiapkan
segalanya, karena kedatangan mereka bersama seorang pemuda yang tangguh.
Aku menduga dialah yang berjuluk Walet Putih dari utara!"
"Ha... ha... Selendang Merah.., rupanya kau takut menghadapi orang-orang itu"
Hmm... tapi baiklah... demi kau demi manisku. Kita akan bunuh
ketiga manusia edan itu!!"
Sudah dua hari Suryopurnama alias
si Toya Maut menjaga, tapi ketiga
orang yang ditunggunya itu belum
muncul-muncul juga. Jengkel dia
menendang batu ke sungai Cidangkelok.
"Byur!!"
Percikan air itu mengenai orang-
orang yang berada di perahu kecil.
Tetapi orang-orang itu diam saja,
karena mereka kenal si Toya Maut,
orang kejam dari Perkumpulan Telapak Naga. Mereka lewat saja tanpa menoleh.
"Hei, kalian! Cepat kemari!"
bentakan itu terdengar keras, dan
membuat kakek tua yang mendayung itu tersentak. Ia menghentikan perahunya.
Dan takut-takut memandang ke
Suryapurnama. "Tuan memanggil... saya?"
tanyanya dengan suara menggigil.
"Ya! Cepat sini, Kakek keriput!"
"Saya... harus cepat pergi...
menghantar penumpang saya ke desa
seberang!"
Mendengar kakek itu berani
bicara, wajah Suryapurnama memerah
marah. "Aku tak butuh penumpangmu! Aku butuh kau! Cepat berikan bayaran dari
penumpangmu...."
Wajah kakek itu semakin pucat.
Ketakutan. "Oh... Tuan... jangan...
jangan ambil uang ini. Ini... untuk anak dan istri saya...."
"Bangsat! Kau berani melawan
rupanya"!"
"Buk... bukan maksudku...."
"Setan", si Toya Maut mengangkat tangannya. Dan 'Siiing.'" beberapa jarum
mautnya melayang ke arah kakek tua itu. Kakek itu gelagapan. Dan
tubuhnya ambruk ke sungai.
Si Toya Maut terbahak-bahak. Juga
anak buahnya. Di dalam, penumpang
perahu itu hanya terdiam. Mereka tak mau ambil pusing dan masalah. Daripada
mampus lebih baik didiamkan saja.
Perahu itu terus melaju didorong
arus pelan sungai. Juga mayat si kakek tua yang mengambang, terbawa arus
sampai ke hilir....
Sesudah jauh dari orang-orang
itu, tiba-tiba kakek yang
telah menjadi mayat meloncat dengan ringan ke perahu! Gerakannya baik dan mantap.
Orang-orang yang berada di dalam pun keluar.
"Ha... ha... rencanamu berhasil Saudara Madewa. ..." salah seorang penumpang itu
tertawa. Kakek tua yang basah kuyup
tersenyum. "Jangan dibuka samaran
kalian. Mungkin kita harus menyamar terus sampai ke hutan Waringin...."
Orang-orang itu ternyata Madewa
Gumilang, Adi Permana dan Nindia yang berdandan laki-laki. Mereka terus
melaju dengan perahu mengikuti arus air.
Sampai di hilir mereka melompat
dengan sigap. Madewa menggendong
Nindia dan 'Hap!" ringan sekali dia bersalto sampai di tepian. Nindia
memekik pelan ketika kepalanya berada di bawah.
"Kita sudah memasuki hutan
Waringin," desis Madewa.
Mereka lalu melangkah dengan
hati-hati. Samaran tidak mereka buka.
Bagai layaknya penduduk di sekitar
hutan Waringin ketiganya melangkah.
Hutan itu benar-benar mengerikan.
Nindia sampai memegang tangan Madewa dengan erat dan agak mendekapnya ke dada.
Sementara Adi Permana menghela nafas panjang. Tetapi diacuhkan saja pemandangan
itu. Dia melangkah dengan mantap. Menahan gemuruh dadanya yang cemburu.
Belum ada dua puluh langkah mereka berjalan terdengar bentakan
keras dari atas pohon, "Berhenti!"
Lalu disusul dengan munculnya beberapa orang
berwajah seram. Ada yang
meloncat turun dari atas pohon, ada yang bermunculan dari semak. Mereka
mengurung tiga orang pendatang itu dengan senjata di tangan.
Salah seorang yang berwajah codet
maju selangkah dan membentak, "Kalian siapa" Dan mau ke mana"!"
Madewa yang menyamar sebagai
kakek tua terbatuk, "Maaf... huk...
huk... kami pejalan kaki yang ingin beristirahat... Tuan. Kami... dari
jauh... huk... huk...."
"Hmm," Si Codet
mendongak congkak. "Nama kalian siapa, hah?"
"Saya... Ronggosewu.... Ini kedua anak saya, Mardian dan Seta...."
"Hei, Kakek
Tua... ketahuilah
olehmu... tempat ini terlarang untuk orang-orang selain anggota Perkumpulan
Telapak Naga.... Jadi maaf saja, kalau
kalian tidak bisa beristirahat di
sini... kecuali...." Orang bercodet itu mengerling kawan-kawannya penuh arti.
"Kalian memiliki uang yang banyak dan menyerahkannya pada
kami...." Teman-temannya tertawa-tawa
setuju. "Oh... ka... kalau uang... kami ada Tuan...,"
Madewa yang menyamar sebagai
kakek tua itu merogoh-rogoh tas
bututnya. Adi Permana memperhatikan gerak-geriknya. Dan dia melihat Madewa
membuat bogem tiga kali, tanda mereka harus menyerang.
Dan tiba-tiba terdengar bentakan
Madewa, "Serang!" Dan des-des-des!
Tiga orang tergeletak kaku tertotok jalan darahnya.
Teman-teman orang bercodet itu
terkejut. Tetapi tak sempat berbuat apa-apa, karena mereka sudah
terjengkang kelojotan dan mampus
termakan sepasang pedang Adi Permana.
Tak seorang pun yang sadar akan
kecepatan pedang Adi Permana. Mereka hanyalah penjaga-penjaga Telapak Naga yang
sok bermulut besar.
Dan menemui ajalnya begitu cepat!
Adi Permana mendengus, "Hhh! Omong besar saja!!"
Nindia yang memekik tadi, agak
tenang sekarang. Madewa berbisik,
perjalanan ini berbahaya. Kau harus tabah Nindia. Dan tahan perasaanmu
jika melihat pembunuhan.
Lalu berseru, "Ayo kita
tinggalkan tempat ini, sebelum yang lain datang!"
Serentak mereka berlari dan
menghindar jauh-jauh dari tempat itu.
Tetapi langkah mereka menuntun mereka sendiri ke neraka maut, di mana lima belas
tombak di depan mereka, berdiri berpuluh-puluh penjaga lengkap dengan senjata.
Dan di antara orang-orang itu,
berdiri Krampelaksa dan... Pratiwi!
*** 8 Ketiganya tersentak kaget. Seren-
tak Madewa melindungi Nindia. Tetapi sikapnya tetap tenang, tetapi seperti
penyamarannya sebagai kakek tua.
Dengan hati-hati dia berjalan ke
depan, dua temannya mengikuti pula dengan tenang. Hanya Nindia yang agak
gemetar. Dia menggigit bibirnya agar tidak tegang. Tapi bentakan keras itu mau
tak mau menghentikan langkah kaki mereka.
"Kalian tetap disana!" suara itu menggelegar keras, diiringi tenaga
dalam yang agak lumayan. Krampelaksa
bertolak pinggang.
Mereka berhenti.
"Ada apa Tuan?" tanya Madewa dalam penyamarannya.
"Jangan berpura-pura kalian!
Penyamaran tak mutu kalian telah
terbongkar! Cepat
buka penyamaran
kalian!!" Madewa tetap berpura-pura.
"Penyamaran apa, Tuan?"
"Bangsat hina!" Tiba-tiba Krampelaksa mengibaskan tangannya.
Selarik sinar putih menghantam ke arah kepala Madewa. Sigap Madewa merunduk tapi
tak urung rambut palsunya terkena sambaran itu. Terurailah rambut
aslinya! Krampelaksa terbahak. "Ha...
ha... penyamaran orang-orang edan!
Cepat kalian berlutut, sebelum kucabut nyawa kalian!"
Merasa penyamarannya itu tak ada
gunanya lagi, Madewa membuka semua
pemyamarannya. Ia mencabut kumis dan jenggot putihnya. Lalu membetulkan
tubuhnya yang tadi membungkuk dan
melangkah tersaruk-saruk, kali ini
tegak dan gagah.
Adi Permana pun berbuat demikian.
Dia mencabut kumisnya yang tebal
hingga tampaklah kumisnya yang tipis.
Nindia tidak membuka samarannya, ia tetap berdandan seorang laki-laki.
Madewa mendengus, "Krampelaksa..
kau memang seorang ketua yang hebat!
Penyamaran kami ini kau ketahui! Tapi kau perlu ketahui, kalau kedatangan kami
ini untuk mencabut nyawa sesatmu.
Dan juga kau... Pratiwi! Tak perlu
pertentangan kita selesaikan di puncak gunung Halimun, karena nyawamu akan
kucabut hari ini juga!"
Pratiwi mengikik. "Hik... hik...
pemuda ganteng. Kaupikir mampu
mengalahkanku... mimpi burukmu akan berakhir hari ini... pemuda gagah...."
"Pratiwi! Apakah masalah Pedang Pusaka Dewa Matahari yang membuatmu masih
mendendam padaku?"
"Hik... hik... persoalan itu
telah selesai, Bocah. Ketahuilah...
dendamku ini karena kau meninggalkanku setelah lenganku dibuat buntung oleh
Bayangan Hitam atau Biparsena...."
"Itu dendammu pada Biparsena,
bukan padaku!"
"Hik... hik... bocah.... Karena kelakuanmu yang meninggalkanku itulah yang
membuatku marah...."
"Pratiwi, masalah ringan itu kau buat menjadi besar. Lengan itu aku
yang menolong!"
"Salahmu sendiri... hik...
hik...bocah... kalau kau mau
melayaniku semalam saja... kuhapus
semua masalah kita," kata Pratiwi tanpa malu-malu.
Wajah Madewa memerah antara marah
dan malu, Ia melirik kedua temannya.
Wajah Nindia memerah pula karena
ketakutan dan malu mendengar ucapan Pratiwi. Dan Madewa terkejut melihat wajah
Adi Permana pucat, kelihatan
pias wajahnya yang nampak kaget.
Tetapi Madewa tidak bisa berpikir
lebih lama, karena Krampelaksa sudah berseru, "Kurung mereka bertiga!!"
Serentak pengawal-pengawalnya
mengurung, dengan senjata tombak
terhunus. Madewa bersiap. Ia agak
bersyukur melihat Adi Permana bersiap pula dengan sepasang pedang kembar.
Bahkan terlihat dia memberikan sebuah keris pada Nindia agar gadis itu bisa
menjaga diri. Madewa berseru, "Krampelaksa,
jangan kau korbankannya nyawa-nyawa anak buahmu ini! Aku tidak membutuhkan nyawa
mereka! Cepat kau maju dan
kau... Pratiwi, cepat sebelum marahku menjadi naik!"
Krampelaksa dan Pratiwi hanya
tertawa. Lalu terdengar Krampelaksa bertepuk tiga kali. Dan serentak para
pengepung itu meloncat menerjang
menusukkan tombak mereka. Madewa dan Adi Permana saling melindungi Nindia.
Mereka membabat dan membasmi serangan yang datang. Dengan jurus Ular
Meloloskan Diri Madewa menghindar dan membalas dengan jurus Ular Mematuk
Katak. Sementara Adi Permana mengamuk
dengan sepasang pedangnya.
Terdengar jeritan dan percikan
darah di sana-sini. Suasana tempat itu seperti jadi neraka, karena dengan
mudahnya nyawa melayang!"
Dalam waktu yang cukup singkat
pengurung itu sudah menjadi porak-
poranda dan kewalahan. Hampir dua
puluh orang yang mati kena pukul
Madewa dan sabetan pedang Adi Permana.
Melihat anak buahnya tak mampu
menandingi kedua pemuda itu,
Krampelaksa menghentikan serangan anak buahnya. Ia menepuk bahu Caturseta
yang langsung bersalto untuk hinggap di depan Madewa dan kedua temannya
berdiri. Madewa tersenyum melihat tingkah


Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sombong Caturseta. Ia pun beranjak ke depan setelah berbisik pada Adi
Permana agar menjaga Nindia.
"Silahkan...."
Mendengar kata itu Caturseta
langsung melancarkan serangannya. Keji dan dahsyat. Serangan yang cepat dan
susul menyusul. Tetapi Madewa bukanlah anak kemarin sore. Ular Meloloskan
Diri berguna sekali saat ini.
Dan ketika melihat suatu lowongan
yang kosong, Madewa tak mau menyia-
nyiakan kesempatan itu. Tangannya
menjotos pinggang Caturseta yang
ambruk kelojotan.
Terdengar dua pekikan kaget.
"Hebat dan kejam!" suara dari Krampelaksa.
"Pukulan Bayangan sukma!" jerit Pratiwi kaget.
Madewa berdiri tegak. Tidak
menyerang Caturseta yang kelojotan
tapi kemudian mati dengan pinggang serasa patah dan detak jantung
berhenti saat pukulan itu mengenai
pinggangnya. Rupanya Madewa sudah tidak mau
main-main lagi, jurus andalannya yang sangat dahsyat
dikeluarkan pada
tingkat tinggi! Pukulan dahsyat, tanpa terlihat gerakan tapi mampu mencabut
nyawa sang lawan!
Tiba-tiba terdengar seruan keras
dari arah belakang. Si Toya Maut
datang dengan toyanya yang terayun ke arah Adi Permana. Dia yang sudah dua hari
menjaga tapi tidak bertemu dengan orang-orang itu menjadi jengkel dan hendak
kembali ke perkumpulan. Barang-kali saja tiga orang yang dicarinya sudah datang
dengan jalan menyelinap.
Lebih baik dia membantu di sana
daripada menjaga tak kunjung selesai.
Dan begitu kakinya tiba dilihatnya
Madewa tengah merubuhkan Caturseta, kawan akrabnya! Dan kemarahannya
bangkit. Dengan beringas dia menerjang dengan toyanya ke arah Adi Permana dan
Nindia yang terkagum melihat pukulan sakti Madewa.
"Awaassss!" Madewa berseru seraya menubruk tubuh kedua kawannya hingga
terguling. Wuitt! Toya Maut itu
melewati kepala ketiganya. Tetapi toya itu terus mencecar dengan hebat.
Hingga ketiganya agak kewalahan,
terutama Madewa dan Adi Permana,
karena harus melindungi Nindia!
Tetapi tiba-tiba Adi Permana
melenting dengan indahnya ke atas. Dan pedangnya menghunus ke dada Suryapurnama
dengan cepat! Reflek Surya-
purnama menghentikan serangannya,
menangkis pedang itu dengan tangkisan toyanya.
"Trang... trang.... des!"
Kedua senjata itu menimbulkan
bunyi yang ramai. Dan tangan kanan Adi Permana menyambar dada Suryapurnama
hingga terjatuh.
Adi Permana melenting lagi dan
bersalto dua kali dengan pedang
kembali terhunus. Tapi tiba-tiba dia menghentikan serangannya dan "Trang...
cringg... criiing...!"
Pedangnya menangkis senjata
rahasia yang dilemparkan Krampelaksa!
"Setan! Curang!" maki Adi Permana ketika hinggap di tanah.
Krampelaksa terbahak. la mengi-
baskan tangannya
pada Suryapurnama
untuk menghentikan serangan.
"Baik, kita tak perlu berbasa-
basi lagi! Sekarang hadapi aku, Pemuda
cantik!" "Bangsat busuk! Majulah Akan
kucabut nyawa anjingmu!"
Memerah wajah Krampelaksa. Dengan
geram dia menerjang dengan tangan dan kaki ke arah Adi Permana. Pemuda itu cepat
mengibaskan pedangnya. "Wuiit!
Wuuut!" Gerakan pedang itu cepat dan
aneh. Krampelaksa balas menyerang
dengan gesit pula. Si Selendang Merah yang dari tadi diam saja, mulai
menguraikan selendangnya.
Sambil menjerit keras dia memain-
kan selendangnya. Angin selendang yang disertai tenaga dalam terdengar
bising. Dan tiba-tiba ujung selendang itu menyambar ke arah Adi Permana yang
tengah menahan serangan Krampelaksa.
"Pengecut curang!"Ujung selendang itu berada dengan sebatang ranting
yang dilemparkan Madewa Gumilang.
Pemuda itu pun menerjunkan diri di
arena pertarungan. Dua pasang pertempuran yang dahsyat terjadi di hutan
Waringin. Pengawal-pengawal Krampelaksa yang tersisa mundur agak
menjauh. Begitu pula dengan Surya-
purnama, dia pun mundur.
Nindia sendiri tetap bersiap-siap
dengan keris yang diberikan Adi
Permana. Di arena pertarungan, perkelahian itu semakin dahsyat. Masing-masing
mengeluarkan jurus-jurus silat mereka yang ampuh. Krampelaksa sudah
mengeluarkan jurus andalannya, Telapak Naga!
Adi Permana tetap melayani dengan
jurus pedangnya. Namun tanpa diduga, pukulan sakti Krampelaksa mengenai
ujung pedangnya.
"Tap!"
Pedang itu terasa bergetar. Dan
panas telapak tangan Adi Permana. Dia melepaskan pedang itu sambil
menyabetkan pedangnya yang satu lagi.
Tapi lagi-lagi dia melepaskannya,
karena pedang itu pun berhasil ditepak Krampelaksa yang tertawa-tawa.
Adi Permana menjadi geram. Tiba-
tiba dia mengerakkan tangannya. Kali ini dia mengeluarkan jurus tangan
kosongnya. "Wutt!" tangannya mendadak terlihat banyak. Rupanya Adi Permana juga
mempunyai jurus silat yang hebat.
Gerakannya penuh tenaga.
Tetapi Krampelaksa malah tertawa-
tawa, "Keluarkan semua ilmumu, bocah Telapak Naga akan mengakhiri per-mainanmu itu!"
Kembali Krampelaksa menyerang.
Tangannya berubah menjadi hitam,
menandakan inti. ilmunya sudah
menyerap. Untunglah Adi Permana bisa menghindari dengan baik, jurus walet
putihnya untuk menghindar dipergunakan
habis-habisan. Sedikit saja dia gagal, bisa hangus termakan telapak tangan itu.
Walaupun begitu, Adi Permana
masih bisa membalas juga. Tangannya yang berkembang menjadi banyak sempat mampir
di bahu Krampelaksa, yang
membuat orang itu semakin geram.
Sementara itu Selendang Merah
agak kewalahan menghadapi Madewa
Gumilang. Berkali-kali selendang
merahnya mengenai tempat yang kosong.
Jurus Ular Meloloskan Diri benar-benar hebat.
Bahkan Madewa sempat pula memukul
bahu Pratiwi dengan jurus Ular Mematuk Katak.
Pratiwi terhuyung. Pukulan itu
membuatnya pusing sejenak. Tapi
kemudian dia menerjang lagi. Ia
memperpadukan jurus Selendang merahnya dengan pukulan tangan kosong. Walaupun
dimainkan dengan satu tangan, gerakannya sungguh hebat. Jurus Angin
Membelah Badai dengan Jurus Angin
Menghalau Hujan, membuat Madewa
kewalahan. Bahunya terkena sambaran selendang merah Pratiwi yang
membuatnya terhuyung karena sambaran angin keras menerpa dadanya.
"Des!"
Lagi Madewa terhuyung. Adi
Permana terpekik kaget melihat sahabat barunya terhuyung, apalagi Pratiwi
sudah menyerang lagi. Tanpa
menghiraukan keselamatannya, dia
bersalto dan menghalau serangan
Pratiwi. "Des! Duk! Duk!"
Dua buah pukulan penuh tenaga
beradu. Tetapi tenaga Pratiwi lebih kuat. Adi Permana terhuyung ke
belakang. Kepalanya terasa pening dan dadanya sesak.
Pukulan Pratiwi benar-benar
mantap. Madewa memburu, agar Adi Permana
tidak terjatuh.
"Terima kasih, Adi."
"Awas...."
Seruan pelan Adi Permana
menyadarkan Madewa, kalau bahaya masih siap mengancam keselamatan mereka.
Dengan cepat dia menghindar sambil
membopong tubuh Adi Permana.
Di tempat yang agak jauh dia
berkata, "Pulihkan tenagamu Adi...
biar aku yang menghadapi mereka."
Lalu Madewa masuk kembali ke
arena pertempuran. Pratiwi dan
Krapelaksa terbahak. Hanya segitu saja perlawanan mereka"
Pratiwi menggerakan tangannya.
Beberapa jarum rahasianya berterbangan ke arah Madewa. Madewa bersalto ke
depan seraya menyerang dengan pukulan bayangan sukmanya.
Krampelaksa menghindar bersamaan
dengan Pratiwi yang langsung berguling ke samping. Madewa mencecar Pratiwi.
Tetapi dewi cabul itu tetap bukan
orang sembarangan. Walaupun lengannya buntung, dia masih mampu bertahan.
Bahkan membalas dengan ayunan telak selendang merahnya.
"Duk!" Madewa terhuyung. Dadanya digedor oleh ujung selendang merah
Pratiwi yang berubah menjadi tombak.
Pratiwi lebih beruntung, karena
jaraknya jauh dengan Madewa.
Krampelaksa langsung mengembang
kan jari-jarinya. Sambil menjerit
pukulan telapak naga siap menyambar Madewa. Tetapi gagal, Adi Permana
sudah menyambar tubuhnya, membuat
Krampelaksa urung menyerang Madewa.
Dia ganti menyerang Adi Permana.
Rupanya pemuda itu sudah kelelahan.
Dia hampir termakan oleh telapak naga Krampelaksa kalau saja dia tidak cepat
memungut dan mengibaskan pedangnya ke leher lawannya.
"Hiaaat!"
Krampelaksa merunduk dan bersalto
ke ke belakang. Tertawa melihat wajah pemuda itu pucat. "Ha... ha... lebih baik
kau pulang saja kerumahmu. Atau menyerah di telapak kakiku! Ha...
ha...!" Madewa yang dua kali ditolong
oleh Adi Permana cepat duduk bersila, Menahan emosi marahnya
Dan dikeluarkannya seruling naga yang
terselip dia tidak ada jalan lain, dia harus menggunakan kembali seruling
ini. Pratiwi dan Krampelaksa terbahak.
"Senjata apa lagi yang kau pakai, Madewa"!" ejek Pratiwi sambil
terkekeh. Madewa tak perduli dengan ejekan
itu. Dia berpaling pada Adi Permana.
Tahu-tahu Adi Permana mendengar suara Madewa di telinganya, "Kau
buat pingsan Nindia Adi, cepat! Lalu kau duduk dan kerahkan tenaga dalammu!
Cepat kerjakan perintahku! Cepat,
Adi!" Adi Permana kebingungan. Apa
maksud Madewa, tetapi terdengar lagi bentakan di telinganya, "Cepat! Adi,
lakukan perintahku! Sebelum orang-orang itu menyerang! Ini kesempatan yang
bagus, selagi mereka masih terbuai oleh kemenangan! Adi...
lakukanlah...."
Adi Permana tak banyak tanya lagi. Dia yakin akan sahabat barunya itu. Sambil
bersalto ke belakang, dia memukul
tengkuk Nindia yang tersentak dan
terkulai pingsan. Lalu dia sendiri
duduk bersila dan menghimpun tenaga dalamnya, seperti yang diperintahkan oleh
Madewa. Orang-orang itu terbelalak tak
mengerti. Pratiwi dan Krampelaksa
berpandangan. Dan serentak menyerang.
Saat itulah Madewa meniup serulingnya!
Suara seruling itu lembut dan
mendayu-dayu. Namun membuat Pratiwi dan Krampelaksa terguling, serangannya
gagal. Dan suara seruling itu
mengejar, seperti menyentak-nyentak di telinga mereka. Sakit sekali
dirasakan. Keduanya tak melanjutkan serangan, malah duduk bersila untuk menahan
suara seruling itu dengan
tenaga dalam masing-masing.
Suara seruling itu sungguh hebat
akibatnya. Pengawal-pengawal yang punya
tenaga dalam sedikit, langsung pada kelojotan. Mampus dengan telinga
berdarah. Yang menengah masih mampu bertahan. Tetapi segera menyusul yang lain,
dalam keadaan yang sama.
Serangan tersembunyi itu sungguh
hebat. Kedua orang itu bergetar
menahan bunyi yang bising di telinga mereka. Sementara Adi Permana sudah
bergoyang hebat tubuhnya. Dari
mulutnya keluar darah kental....
Madewa meningkatkan permainan
serulingnya. Ia menambah tenaga
dalamnya. Dan penyentak. Semakin
garang dan bising suara seruling itu.
"Aaaaah!" seruan itu terdengar berbarengan dari mulut Krampelaksa dan Adi
Permana. Keduanya jatuh


Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergeletak, dengan mulut dan telinga berdarah, namun masih mampu bertahan.
Sekuat tenaga agar ajal tidak
menjemput mereka hari ini. Namun
Krampelaksa menemui ajalnya hari itu juga, karena dia masih dalam keadaan emosi.
Pratiwi pun keadaannya sudah
goyah. Dia sudah memerah habis tenaga dalamnya. Dan tak kuasa lagi
membendung serangan seruling sakti
itu. Dia pun terhuyung ke belakang.
Ambruk. Dengan bibir dan telinga berdarah
pula. Melihat lawan-lawannya semua
ambruk,. Madewa menghentikan meniup serulingnya. Lawan-lawannya sudah
tidak mampu bertahan. Memang sebuah seruling sakti. Dan dia berpikir,
kalau tidak dihentikan, Adi Permana bisa mati terkena serangan seruling itu.
Dengan bergegas dia memeriksa
tubuh Adi Permana. Didudukannya pemuda itu. Dia pun bersila di belakangnya.
Ditekannya kedua telapak tangannya di punggung-pemuda itu.
Ketika dia akan mengalirkan
tenaga dalamnya, mendadak dia
terguling. Sebuah serangan bersarang di punggungnya. Madewa bangkit dengan
sigap. Seorang wanita cantik dan seorang
jembel tua telah berdiri di
hadapannya. Madewa mengenal jembel tua itu, jembel yang pernah di tolong oleh
Adi Permana. "Ada apa dengan kalian?" Wanita cantik itu terkekeh. Jembel tua itu membentak,
"Kau pemuda jahat! Kau telah melukai anakku ini! Aku akan
mengadu jiwa denganmu!"
Madewa terkejut. Adi Permana
anaknya jembel tua itu"
"Kalau anakku ini sampai menemui ajalnya, aku bersumpah akan
membunuhmu!" seru jembel
tua itu seraya memeriksa tubuh Adi Permana
yang terkulai. Ia menangis tersedu-
sedu. "Hu...hu... anakku... mengapa sampai begini, Nak" Sekian tahun kita
berpisah, tapi setelah bertemu,
suasananya begini. Kau akan berangkat meninggalkanku." Jembel tua menangis lagi.
Tetapi mendadak dia mengangkat wajahnya "Kau?" bentaknya pada Madewa.
"Kau telah menyebabkan kematian anakku! Kau harus kubunuh! Kau harus kubunuh!"
Madewa mundur selangkah. Apa-
apaan ini" Ia tidak mengerti akan
semua ini. Dan jembel tua itu seperti menghalanginya mendekati Permana.
Padahal dia harus segera ditolong,
kalau tidak, sahabat barunya itu bisa mati.
"Jembel tua... kalau benar dia anakmu
biarkanlah aku untuk
mengobatinya" bujuk Ma dewa.
"Tidak! Kau ingin membunuh
anakku!" "Anakmu harus segera diobati."
"Tidak! Aku tidak mau anakku
diobati oleh orang jahat macam kau!
Kau ingin membunuh anakku!!"
Madewa menjadi serba salah.
Posisinya terjepit. Dia harus bisa
menyelamatkan nyawa Adi Permana.
Tetapi bagaimana" Dia harus
menyingkirkan jembel tua ini. Dan juga wanita cantik itu.
Tetapi sebelum Madewa bergerak,
jembel tua itu berseru, "Pandan!
Tolong aku... kau bunuh pemuda itu.
Tolong pandan... bunuh pemuda itu!"
Wanita cantik itu hanya terkekeh.
Ia beranjak mendekati Madewa dengan genit. Tatapannya manja dan mesra
sekali. Mendadak Madewa merasakan
sesuatu menyentak-nyentak tubuhnya.
Nafsu birahinya bangkit karena
tatapan wanita itu.
Hei, Madewa merasakan ada sesuatu yang tak wajar terhadap dirinya.
Ini pasti buat-buatan, bukan
nafsu birahi alami dari dalam dirinya.
Dia menghalau serangan diam-diam itu dengan membalas menatap kedua mata
wanita itu. Wanita itu tetap tersenyum-
senyum. Tetapi mendadak dia mengaduh.
Mengusap kedua matanya yang dirasakan
perih. Benar dugaan Madewa, mata wanita
itu mengandung hipnotis yang
membuatnya dimabuk birahi.
"Sialan!" gerutu wanita itu. Lalu dia menyerang Madewa. Gerakannya cepat dan
tangkas. Dua buah pukulan dan
kakinya menyerang secara serentak.
Gerakan yang aneh, tetapi mantap.
Madewa memapaki dengan jalan
menerjang pula. Dua buah tenaga
beradu. Madewa terkejut. Tenaga dalam lawannya tidak boleh dianggap ringan.
Walaupun tidak membuatnya ter-
huyung, tetapi jari-jarinya terasa
kesemutan. Wanita itu pun merasakan demi-
kian. Tetapi dia agak parah. Dadanya terasa sesak.
Tiba-tiba dia menjerit keras. Dan
menyerang dengan kecepatan yang luar biasa.
Lagi-lagi Madewa memapaki,
tidak menggunakan pukulan andalannya.
Madewa hanya memakai jurus Tembok
Menghalau Badai. Dia berpikir, wanita ini dan jembel tua yang masih
menangis, hanya orang-orang yang salah paham.
Lagi dua buah pukulan beradu.
Kali ini wanita itu terhuyung. Dan
ambruk. "Pandan Ningsih!" jerit si jembel tua sambil memburu. Ia merangkul
wanita itu. "Kau tidak apa-apa,
Pandan" Kau tidak apa-apa, bukan?"
Wanita itu tersenyum, walau dari
mulutnya mengeluarkan darah.
"Aku tidak apa-apa, Karto. Aku akan membunuh pemuda itu untukmu.
Pemuda itu yang menyebabkan anakmu
hampir mati, bukan?"
Jembel tua itu manggut dengan
terburu-buru. Wanita cantik itu tersenyum. "Kau tolonglah anakmu, Karto. Biar pemuda itu aku
yang menghadapi...."
Wanita cantik itu bangkit dan
siap menerjang Madewa lagi.
"Tahan!" seru Madewa buru-buru, mengingat nyawa Adi Permana dalam
bahaya. "Kita sudahi dulu pertempuran ini, semua ini tidak berguna.
Karena ini hanya salah paham.
Pemuda itu kawan seperjalananku.
Dia baru saja kena serangan seruling naga. aku harus segera menolongnya, kalau
tidak akan segera mati Sekarang, perkenankan aku untuk menolongnya.
Kalau aku memang berniat membunuhnya, kalian boleh membunuhku nanti. Aku
tidak akan melawan."
"Tidak!" seru jembel tua. "Aku tidak mengizinkan anakku disentuh oleh kau! Kau
jahat Kau hendak membunuh anakku! Tidak perlu mempengaruhiku, dengan mengatakan
anakku ini kawan
seperjalananmu!"
Tiba-tiba wanita cantik itu
menoleh. "Karto, aku rasa benar.
Pemuda ini kawan seperjalanan anakmu, Bukankah kita melihatnya bertanding di
tanah genting beberapa minggu yang
lalu" Kau masih ingat, Karto?" |
Jembel tua itu terdiam beberapa
saat. Tiba-tiba dia mengangguk dan
tertawa-tawa. "He... he... benar, benar kau, Pandan. Aku ingat sekarang, pemuda ini yang
bertarung dengan orang yang
bernama Wirapati di tanah genting
waktu itu. Ya, ya, aku ingat. Aku
ingat." Madewa kaget juga mendengarnya.
Berarti kedua orang ini telah lama
membuntutinya. Tetapi mendengar
penuturan barusan, dia agak gembira, Karena ada kesempatan untuk menolong
temannya itu, yang tak tahunya anak dari jembel tua.
"Benar, aku yang bertarung di
tanah genting waktu itu. Dan anakmu, adalah sahabatku yang membantuku.
Bagaimana sekarang, aku diperbolehkan untuk mengobatinya?"
"Ya, ya?" si Jembel
tua menyingkir. Seolah memberi
jalan. Madewa buru-buru menghampiri Adi
Permana. Nafasnya tinggal satu-satu.
Wajahnya pucat sekali. Dan lemah
tubuhnya. Kembali Madewa mendudukkan pemuda itu. Dan dia bersila. Di
tekannya kedua telapak tangannya di
punggung. Dan dialirinya tenaga
dalamnya. Si jembel tua dan wanita cantik
itu hanya memperhatikan tanpa berbuat apa-apa.
Pengobatan itu berlangsung agak
lama. Peluh sudah bermandi tubuh
Madewa dan Adi Permana.
"Huak!" Adi Permana muntah darah.
Bertanda darah kotor sudah ada yang keluar. Tahan sedikit, Adi...."
Madewa mengalirkan hampir separuh
tenaga dalamnya. Ia rela melakukan
itu, walau tubuhnya sudah terasa
lemah. Adi Permana sudah dua kali
menolongnya dari kematian.
Menotok beberapa jalan darah dan
melonggarkan pernafasan Adi Permana.
Lalu tangannya bergerak cepat. Merobek pakaian depan Adi Permana.
Dan bukan main terkejutnya dia,
ketika tangannya langsung menyentuh dua buah gundukan halus yang lembut!
"Oh....."
Madewa menarik tangannya kembali.
Dan cepat menutup dada Adi Permana.
Ternyata sahabatnya ini seorang wanita yang menyamar! Jelas dia kaget, karena
tangannya menempel pada buah dada
wanita itu. Madewa tidak jadi
menyalurkan tenaga dalamnya.
Wajahnya mendadak memerah.
Bukan dia saja yang kaget, tetapi
si jembel tua itu juga. Ia terbelalak.
Tak percaya mendekati Adi Permana. Dan dengan seenaknya dia menyingkap
pakaian Adi Permana, seolah tak
percaya melihat buah dada wanita itu.
"Oh, dia bukan, dia bukan
anakku!" serunya tiba-tiba. Membuat Madewa dan wanita cantik itu terkejut.
"Benar dia bukan anakmu, Karto?"
tanya wanita cantik itu.
"Bukan, bukan! Anakku laki-laki!
Bukan dia! Dia perempuan! Dia punya buah dada!!" jembel tua itu menjerit-jerit
pilu. Dan menangis terguguk.
"Hu... hu... ke mana lagi harus kucari anakku...."
Wanita cantik itu memeriksa tubuh
Adi Permana. Benar, dia bukan laki-laki, dia seorang wanita. Wanita itu
menghampiri dan membujuk jembel tua.
"Jangan menangis, Karto. Kita
cari lagi anakmu itu...."
"Hu... hu... aku sedih, aku
sedih, Pandan. Dia ternyata bukan
anakku... hu... hu... anakku...."
"Sudahlah, kita akan mencarinya lagi".
"Kau tidak perlu ikut, kau akan membunuh anakku"
Wanita cantik itu menggeleng.
"Tidak, aku tidak akan membunuh anakmu. Aku pasti akan menyayangi
anakmu. Seperti aku menyayangimu..."
Jembel tua itu terdiam. Menatap
wanita cantik itu tak percaya.
"Benar?"
Wanita cantik itu mengangguk.
Jembel tua itu memeluknya.
Sementara itu Adi Permana muntah
lagi. Madewa menghela nafas. Dia harus segera menolong sahabatnya lagi. Tak
perduli siapa sahabatnya ini. Laki
atau wanita. Sambil memejamkan matanya, Madewa
membuka pakaian sahabatnya itu. Dan tangannya menyentuh kembali gundukan halus
yang lembut. Hati-hati dia
menyalurkan tenaganya lagi. Kali ini matanya tetap terpejam.
Dan terdengar sahabatnya itu
bernafas normal kembali. Setelah
selesai, Madewa buru-buru
menutup pakaian itu. Mata sahabatnya perlahan-lahan
terbuka dan terbelalak melihat Madewa telah mengancingi pakaiannya.
"Oh! Kau! Plak! Plak!!"
Dua buah tamparan mampir di pipi
Madewa. "Kau... kau... aaahh...."
Madewa cepat menunduk. "Maafkan aku, Saudari... sungguh mati aku tidak bermaksud
buruk... aku hanya ingin
menolongmu."
"Tapi... tapi kau melihat...
kehormatanku...suara Adi Permana
menghilang berganti suara wanita yang tersendat antara marah dan malu.
Wajahnya memerah.
Madewa tetap menunduk. "Maafkan


Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku... aku tidak bermaksud kotor
terhadapmu, Saudari. Aku tidak
menyangka kau seorang wanita Aku tetap menyangka kau sahabat baruku yang
bernama Adi Permana.
Lukamu parah. Aku masih tetap
menyangka kau seorang laki-laki....
Dan... aku... aku...."
Madewa menunduk dengan wajah
memerah. Wanita itu menunduk pula. Isaknya
terdengar perlahan. Kehormatannya
dilihat oleh pemuda ini. Betapa
malunya. Betapa marahnya. Tetapi pemuda ini bermaksud hendak menolongnya.
Terdengar suara dari arah sam-
ping, "Benar Karto, dia seorang wanita."
"Ya, ya... dia bukan anakku. Dia, bukan anakku. Anakku seorang laki-laki, yang
pasti telah tumbuh remaja.
Aku tahu Pandan, anakku pasti tumbuh dengan gagahnya. Dia akan menjadi
orang yang perkasa...."
"Kalau begitu, ayo kita
pergi...."
"Ya, ya! Kita pergi. Kau tidak akan membunuh anakku kan jika bertemu?"
"Tidak! Aku akan menganggapnya sebagai anakku sendiri"
"Ya, ya, anakku sendiri. Dan aku ayah kandungnya. Oh, Madewa..,."
Madewa serentak menoleh. Disang-
kanya jembel tua itu, memanggil
dirinya. Tetapi dia tengah meratap dan menatap langit. bukan, dia bukan
memanggilnya. Mendadak dada Madewa berdebar.
Debar keras. Orang itu memanggil
anaknya" Madewa" Laki-laki" Tumbuh
perkasa. Bergetar tubuh Madewa. Siapa orang tua itu"
"Jembel tua!" panggil Madewa pada keduanya yang akan beranjak.
Kedua orang tua itu berhenti.
Jembel tua itu tertawa pelan.
"He... he... maaf, maafkan aku anak muda. Benar dia sahabatmu. Dia bukan anakku.
Anakku laki-laki. Bukan dia, bukan dia." .
"Jembel tua...."
"He. he... aku tahu maksudmu, kau masih marah bukan" Maaf, maafkan
aku....." "Bukan itu!"
"Lalu apa, anak muda?"
"Siapa nama anakmu, Jembel tua?"
"Oh, dia" Kau pernah bertemu" Di mana", dimana" Cepat katakan padaku, di mana
dia berada sekarang?"
"Aku tidak tahu dia di mana.
Tetapi siapa nama anakmu itu?"
"He... he... nama yang bagus,
Madewa Gumilang. Kau pernah mendengar nama itu" Pernah?"
Madewa tersentak. Mirip dengan
namanya. Hati-hati dia menatap jembel
tua itu. Diingat-ingatnya kejadian 15
tahun yang lalu. Dia hanya ingat, dia dan ibunya meninggalkan rumah. Dan
ibunya baru bercerita, tentang semua yang telah menyebabkan mereka pergi.
"Apakah nama ibu anakmu Warsih Inten?" tanyanya hati-hati.
"He... he... kau mengenai ibu
anakku, rupanya. Ya, ya. Dia istriku.
Tolong beritahu aku anak muda, di mana dia berada sekarang?"
Madewa terdiam. Lemas seluruh
tubuhnya. Ini pasti ayahnya. Pasti.
Ayah yang dirinduinya. Yang sudah lama tak bertemu dengannya.
Mendadak dia menjatuhkan diri di
depan jembel itu.
"Ayah!"
Jembel itu heran. Juga wanita
yang mendampinginya.
"Apa maksudmu Anak muda?" Madewa mendongak.
"Ayah.,, akulah anakmu... anakmu ayah..."
"Kau?"
"Ya, aku anakmu. Yang telah 15
tahun tidak pernah bertemu. Aku Madewa Gumilang, Ayah."
"Hhh! Mana mungkin" Kalau begitu, siapa namaku, hah?"
"Ayah, aku anakmu. aku tahu
namamu. Kau... bernama... Kartonggolo ayah, dan Warsih Inten ibuku...."
Jembel tua itu tersentak. Inikah
anaknya" Mendadak dia menubruk Madewa.
Menyingkapkan pakaian di lengan kanan Madewa.
Tompel besar yang menjadikan
tanda kelahiran Madewa, ada di lengan kanan pemuda itu!
Ya, dia anaknya. Anaknya yang 15
tahun telah hilang. Jembel tua itu
memeluk Madewa dengan erat. Kedua ayah beranak itu berpelukan dengan terharu.
Pandan Ningsih menghapus air
matanya. Adi Permana yang diketahui
sebagai wanita menahan rasa haru pula.
"Ayah... aku rindu padamu...."
Kartonggolo menangis tersedu-
sedu. Ia menciumi sekujur tubuh
anaknya. Dia rindu pula. Lalu, lalu di mana istrinya" Di mana Warsih Inten"
"Madewa... di mana, di mana
ibumu?" Wajah Madewa berubah menjadi
mendung. Ia menggeleng, pelan.
"Ibu sudah lama meninggal, Ayah.
Dia bunuh diri ketika akan diperkosa oleh orang-orang jahat...."
"Oh, Gusti. Betapa besar dosaku kepadanya."
"Sudahlah, Ayah. Kita sudah
bertemu." Madewa berdiri.
Menatap Pandan Ningsih. Pandan Ningsih risih ditatap demikian. Disangkanya anak itu akan
marah padanya, pada orang yang menyebabkan semuanya menjadi
berantakan. Tetapi,
"Bu..."
Pandan Ningsih tersentak.
Pemuda itu memanggilnya Ibu" Ibu.
Ibu. Ibu. Oh, Dewa... betapa
bahagianya... Pandan Ningsih tanpa
ragu lagi memeluk Madewa.
Suasana haru. Kartonggolo tersenyum. Putranya
sedikit pun tidak menampakkan dendam pada Pandan Ningsih.
Tiba-tiba, "Awaaaass!" terdengar suara Adi Permana memekik.
Pratiwi tengah bangkit dengan
susah payah dan melancarkan serangan dengan sisa tenaganya yang terakhir.
Dia ingin pemuda itu mati bersamanya.
Maka dia nekat berjibaku. Saat Madewa tengah membelakanginya.
Pratiwi memekik panjang dan
menerjang. Bersamaan dengan itu,
Kartongolo melompat, menghalau
serangan Pratiwi pada anaknya.
Dan "Des! Aaaah!"
Keduanya ambruk.
Pratiwi mati dengan
sisa tenaganya terakhir. Kartonggolo ambruk tergeletak penuh darah.
"Aayaaaaah...!
jerit Madewa kaget. Ia memburu. Ayahnya terkulai lemah penuh darah.
"Ayah... ayah... mengapa kau
lakukan itu?"
Kartonggolo tersenyum walau
kesakitan. Istrinya memburu pula. Juga Adi Permana.
"Karto...." rintih Pandan Ningsih pilu. Tak kuasa melihat suaminya penuh luka.
Tetapi Kartonggolo tersenyum.
"Madewa... aku puas, bisa berbuat kebaikan kepadamu, di akhir...
hidupmu.... Selama ini... aku telah menyia-nyiakanmu... aku... aku... akan
segera menyusul ibumu... Madewa...
juga... jagalah d... dirimu... ah...."
Rintihan panjang mengakhiri hidup
Kartonggolo. Tubuh itu terkulai di
pangkuan Madewa.
Melihat suaminya meninggal,
Pandan Ningsih menjerit-jerit. Ia
mengambil sebilah pedang yang berserakan. Tanpa sempat dicegah, dia sudah menusukkan pedang itu ke
dadanya. "Aku akan menyusulmu, Karto!"
Dan tubuh itu ambruk pula penuh
darah. "Ibu!"
Tetapi Pandan Ningsih sudah mati.
Suasana sepi. Hening. Angin pun
seolah tak mau berdesir. Madewa
menatap kedua orang tuanya yang telah menjadi mayat. Tak sadar air matanya
menitik. Baru sekarang dia bertemu dengan
ayahnya. Dan baru beberapa menit pula
harus meninggalkan semuanya. Pertemuan tadi seolah menambah kedukaan saja.
"Ayah... ibu... damailah kalian di sisi Tuhan..." Madewa memejamkan matanya. Air
matanya merembes ke luar, mengalir di pipinya.
"Madewa...."
Madewa menoleh. Adi Permana. Dia
tersenyum. "Semua sudah berakhir, Saudari...
Maafkan aku...."
"Tidak ada yang perlu di-
maafkan...." Gadis itu mengusap matanya. Mengangkat wajahnya. Dia
tersenyum. Dan menggeleng perlahan.
"Aku berbela sungkawa atas kematian orang tuamu," katanya pelan.
"Terima kasih, Saudari.... Hanya sekejap kami dipertemukan Tuhan...." |
"Sudahlah, biarlah yang lalu
berlalu..."
Madewa tersenyum, getir.
"Aku minta maaf atas
kelancanganku tadi. Sungguh Saudari aku tidak tahu kau seorang wanita..."
"Tidak apa, aku tidak marah..."
"Sungguh?"
Gadis itu mengangguk, agak sedih.
Ia menatap Madewa. "Kau tidak
mengenali ku, Madewa..."
Suara gadis itu bagai
menyentaknya. Madewa mengingat. Yah, sudah lama sebenarnya ia ingat itu.
Gerakan-gerakan silat si gadis seperti
pernah dilihatnya. Permainan sepasang pedang kembar, jurus pukulan seribu dan
keris yang diberikan kepada
Nindia, seperti pernah dialaminya
dulu. Tiba-tiba Madewa menghela nafas
panjang. Terharu dia menatap gadis
itu. "Kau... kau... Ratih Ningrum?"
tanyanya ragu-ragu.
Mata gadis itu berkaca-kaca.
Tiba-tiba ia merangkul Madewa dengan erat.
"Madewa kekasihku... aku... Ratih Ningrum kekasihmu dulu...."
Madewa balas merangkul.
"Oh, Gusti... kita dipertemukan juga akhirnya, walau dalam keadaan
begini..."
Gadis itu memang Ratih Ningrum.
Seperti yang disarankan oleh ketiga gurunya sebelum dia berangkat, dia
menyamar sebagai laki-laki dan mengaku bernama Adi Permana.
Dia memeluk kekasihnya dengan air
mata menitik. Pencarian dan
penyamarannya telah berakhir.
Madewa mendengar gadis itu
mendesah. Ia, mengangkat wajahnya.
Diciumnya bibir gadis itu dengan rasa rindu yang membara. Tetapi mendadak Ratih
Ningrum melepaskan bibirnya.
"Madewa... ada hubungan apa kau dengan... Nindia?" tanyanya tersendat.
Sudan lama dia memendam cemburu yang amat sangat melihat gadis itu selalu
bergayutan di lengan kekasihnya.
Ditahannya perasaan cemburunya
waktu itu. Dan sekarang dia harus
menumpahkannya.
Madewa tersenyum. Kekasihnya
cemburu. "Dia hanya putri seorang kaya
yang bernama Abindamanyu. Aku hanya disuruh menyelamatkannya dari tangan
Wirapati, yang telah kita bunuh
bersama-sama. Dan kau tak perlu.
cemburu, aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Aku hanya menganggap dia
adik. Dan seorang putri orang kaya yang harus kuselamatkan."
"Ratih... kini kau seorang gadis yang
pandai bersilat. Pasti tiga
pengawal sakti itu telah menurunkan ilmunya padamu..."
Ratih Ningrum mengangguk. Dan
bercerita tentang kepergiannya. Selain ingin mencari pemuda itu, dia juga
ingin mencari pembunuh ayahnya.
Madewa tersentak. Biparsena...
dia mati tanganku, desahnya dalam hati. Apakah aku harus mengatakan
semua ini" Ah, pasti gadis itu marah sekali. Tetapi dia harus mengatakan semua
itu. Dan gadis itu terbelalak
mendengar pengakuannya. Serentak ia melepaskan rangkulannya dan berlari.
Matanya nyalang.
"Kau"!" serunya marah.
"Tenang dulu, Ratih... mari
kujelaskan...." Perlahan Madewa menjelaskan semuanya. Dan terlihat kekasihnya
menunduk menangis. Kemarahannya mereda.
Madewa merangkulnya. "Kita
sama sama kehilangan kasih sayang dari ayah, Ratih" Tapi kau mengerti bukan"


Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku terpaksa membunuh ayahmu, karena dia adalah orang sesat yang harus
dimusnahkan" Kau mengerti, Ratih?"
Ratih Ningrum mengangguk-angguk
dalam dekapannya kekasihnya. Madewa menghela nafas lega.
Tanpa mereka sadari Nindia sudah
tersadar dari pingsannya. Ia terkejut melihat Madewa merangkul seorang
gadis. Tetapi herannya, gadis itu
berkumis tipis. Oh, dia pasti Adi
Permana, yang ternyata seorang
gadis.... Dan berada dalam dekapan Madewa,
pemuda yang dicintainya....
Hati Nindia terkoyak melihat
kenyataan itu. Keduanya jelas saling mencintai. Tinggal dia yang sendiri.
Pandangannya nanar dan terluka. Dia tidak mungkin dapat meraih cinta
pemuda itu. Biarlah Madewa bahagia dengan gadisnya.
Tanpa menimbulkan suara, Nindia
meninggalkan tempat itu dengan diam-diam. Dan sepasang kekasih itu
terkejut, ketika tidak menemui Nindia di tempatnya.
Sayup-sayup terdengar suara dari
kejauhan, "Madewa sayang... kudoakan kau berbahagia dengan gadis itu...."
"Nindia," desis Madewa pelan, pada angin.
Madewa akan mengejar, tetapi
Ratih Ningrum menatapnya. Tatapan
gadis itu penuh sinar cemburu. Madewa menjadi serba salah. Dia mencintai
gadis ini, yang selalu dirinduinya.
Biarlah Nindia mencari jalannya.
Ia menghela nafas, dan
menguburkan mayat ayah dan ibu
tirinya. Setelah itu mengajak Ratih Ningrum meninggalkan tempat itu.
Tak lama mereka pergi, Ki Lurah
Lanangneweng dan anak buahnya datang.
Mereka terkejut melihat mayat-mayat itu. Dan bersorak gembira ketika
mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang Perkumpulan Telapak Naga! Orang-orang
yang mereka benci!
*** 9 Di rumah besar itu, sedang
terjadi rapat. Nampaknya sangat
penting, karena di luar rumah itu
beberapa orang siaga menjaga, lengkap dengan senjata.
Juga di tempat penjuru rumah itu.
Rapat berjalan dengan baik, tidak
terjadi bantahan-bantahan yang bisa menimbulkan pertempuran darah.
Rapat dipimpin oleh seorang laki-
laki tua berjubah putih. Ia memakai angkin berwarna biru. Wajahnya
menampakkan kebengisan yang luar
biasa. Di tangannya terpegang sebuah tongkat berkepala ular. Orang-orang rimba
persilatan memberinya gelar:
Datuk Sakti Berjubah Putih.
Rapat berbentuk empat persegi
panjang. Di barisan sebelah kiri,
duduk tiga orang laki-laki berkepala gundul Masing-masing memegangi sebuah
rantai dan di ujung rantai itu
terdapat sebuah bandul berduri..
Mereka menamakan diri Tiga Malaikat Berantai Emas.
Dihadapan mereka duduk seorang
wanita dan dua orang laki-laki yang jauh berbeda usianya. Wanita itu
berwajah cantik. Dan senyumnya begitu menghanyutkan. Lirikan matanya, bisa
membuat orang mabuk kepayang. Dia
bernama Roro Antika. Tetapi orang-
orang rimba persilatan menjulukinya Dewi Maut. Karena setiap kali kepruk, orang
bisa mati seketika. Dan Roro
Antika tidak akan melepaskan musuhnya sebelum menemui ajal.
Bahkan dia pernah menyiksa salah
seorang musuhnya dengan ribuan ekor
semut. Laki-laki yang duduk di sebelah
kirinya, adalah seorang laki-laki
muda. Berperawakan tampan dan ganteng.
Usianya paling tidak 27 tahun. Sejak tadi dia selalu berkipas. Dan kipasnya itu
mengeluarkan aroma yang sangat
harum. Dia menamakan dirinya Pendekar Kipas Sakti.
Dan di sebelah kirinya duduk
seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan gemuk. Kalau dilihat lebih tua
dari Datuk Sakti Berjubah Putih. Orang itu hanya tenang-tenang saja. Bahkan
kelihatan mengantuk. Dia lebih banyak memejamkan matanya daripada
mendengarkan jalannya rapat itu. Namun walaupun nampak selalu mengantuk,
pendengaran kakek itu sungguh luar
biasa. Dia bisa mendengar suara
sekecil apa pun. Dan dia dijuluki Dewa Tua Pengantuk. Mereka adalah orang-orang
dari golongan putih.
Kali ini rupanya rapat itu
mengenai munculnya seorang wanita
sakti yang berjuluk Dewi Cantik
Penyebar Maut. Dengan beberapa orang anak buahnya, dewi itu telah
menyebarkan maut yang sangat mencekam.
Mereka membuat kerusakan dan
keonaran di setiap desa. Merampok.
Membunuh. Bahkan menculik beberapa
orang bayi entah mereka apakan, karena orang tidak ada yang tahu di mana
tempat Dewi Iblis itu beserta murid-muridnya berada.
Dan sebagai orang dari golongan
putih orang-orang yang berkumpul itu merasa berkewajiban untuk menolong
yang lemah dengan berusaha mengusir mereka.
Datuk Sakti Berjubah Putih
mengangkat wajahnya.
"Yah... kita harus Bersatu
menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut, yang konon ilmu kesaktiannya sampai
sekarang belum ada yang menandingi."
Terdengar suara dengusan bernada
mengejek. Dengusan itu keluar dari
mulut Roro Antika atau si Dewi Maut.
Dia merasa kesal karena Datuk Sakti Berjubah Putih begitu mengagungkan
nama Dewi Cantik Penyebar Maut. Bahkan menyuruh mereka bersatu!
Bah! Dia sendiri mampu membunuh
dewi sesat itu.
"Lucu! Kau begitu ketakutan
sekali, Kakek!" ejeknya langsung pada Datuk Sakti. "Biar kalau bertemu nanti,
aku yang akan menghajar dewi sesat itu. Berani-beraninya dia muncul membuat
onar. Dia belum tahu luasnya lautan tingginya langit!"
"Aku bukannya ketakutan, Dewi.
Tetapi dengan bersatu, tenaga kita
lebih banyak dan kuat. Mungkin,
menghadapi anak buahnya saja, mm belum tentu sanggup," kata kakek itu
bijaksana. "Hhh! Kau ketakutan, Kakek! Di mana nama besarmu ini" menghadapi
keroco-keroco itu kau begitu pucat?"
Sekian dulu sampai disini, kisah
selanjutnya dapat anda ikuti dalam :
"Dewi cantik Penyebar Maut"
S E L E S A I Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pendekar Sadis 11 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Kisah Si Rase Terbang 14
^