Pencarian

Dewi Cantik Penyebar Maut 1

Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut Bagian 1


DEWI CANTIK PENYEBAR MAUT Oleh Fahri A. Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 004 :
Dewi Cantik Penyebar Maut
128 Hal.; 12 x 18 Cm
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
1 Dewi Maut masih meneruskan ejekannya.
Wajah Datuk Sakti memerah. Tetapi dia
tetap bersabar, kalau tidak, tidak mungkin terbentuk suatu kesatuan yang kukuh.
Percuma dia mengundang orang-orang sakti itu kalau tidak berhasil membentuk
suatu kesatuan yang kuat.
"Dewi Maut, aku pun sadar akan nama besarmu. Tetapi orang yang akan kita hadapi,
bukanlah orang sembarangan. Dia seorang tokoh sakti yang masih muda. Dan anak
buahnya yang merupakan murid-muridnya juga tokoh-tokoh muda yang tak kalah
saktinya dengan gurunya...."
"Ah, sudahlah!" potong Dewi Maut jengkel. "Biar kuhadapi orang-orang itu nanti!"
Tiba-tiba terdengar suara kekehan.
Dewa Tua Pengantuk yang terkekeh. Walaupun matanya terpejam dia tetap terkekeh.
Entah menertawakan apa. Yang pasti, dia bosan mendengar perdebatan itu.
Suasana hening setelah Dewa tua itu
berhenti tertawa. Dan dia sudah kembali tertidur.
Pendekar Kipas Sakti berdiri. "Datuk tua... kita tidak menginginkan perdebatan
di antara kita, bukan" Ada baiknya, sekarang kau menuturkan bagaimana rencanamu
untuk menghadapi Dewi penyebar maut itu.
Kami semua sudah tidak sabar menung-
gu...." Lalu duduk kembali sambil berki-pas.
Datuk tua itu mengangguk. Tidak meng-
hiraukan Dewi Maut yang masih nampak
jengkel. Tetapi belum lagi dia bicara, sebuah
pisau berpita merah mendesing ke arahnya, Secepat kilat Datuk tua itu bersalto.
Dan pisau menancap ke tembok, sampai pada pangkalnya. Menandakan betapa besarnya
tenaga dalam orang yang melempar itu.
"Pembokong busuk, cepat kau menampak-kan diri!" geram Datuk tua. Dan yang lain
berdiri dengan sikap siaga, Bahkan Tiga Malaikat Berantai Emas, sudah bersiap
dengan senjatanya.
Terdengar suara kekehan nyaring seo-
rang perempuan. Lagi-lagi orang itu memamerkan kehebatan tenaga dalamnya. Karena
getaran tawanya begitu nyaring.
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu
di hadapan mereka telah muncul tiga orang wanita muda berpakaian merah semua.
Datuk Sakti tahu siapa mereka, meli-
hat dari pakaian mereka. Mereka adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!
Melihat gelagat itu, Dengan bersikap
bersahabat. Ia menjura.
"Oh... kiranya dewi-dewi terhormat.
Ada apa gerangan dewi-dewi datang kema-
ri?" Salah satu wanita muda itu mendengus.
Dia bernama Mawar Merah,
"Kau Jangan berpura-pura, orang tua!
Kami telah tahu apa yang akan kau rencanakan terhadap guru kami! Dan hari ini
kami akan menggagalkan semua rencana kalian!"
Datuk itu agak kaget juga. Rupanya
rencana rahasia mereka telah diketahui oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar
Maut. Tiba-tiba muncul seorang wanita muda
berpakaian merah. Wanita muda itu berjalan santai sambil menepuk-nepuk
tangannya. 'Tidak sulit membunuh pengawal-
pengawal itu, Mawar Merah!" serunya sambil tersenyum.
Lagi Datuk tua itu tersentak. Pengaw-
al-pengawalnya yang terdiri dari orang yang berilmu lumayan, dikalahkan oleh sa-
tu orang" Perasaan terkejut Itu dirasakan pula oleh yang lain. Kecuali Dewi Maut
yang ingin segera menyerang.
"Bagus, Dahlia Merah! Sekarang, kita bunuh orang-orang ini!"
"Tunggu!" seru Pendekar Kipas Sakti.
"Katakan, di mana ketua kalian berada?"
Mawar Merah tertawa.
"Tidak semudah itu, Saudara" Kecua-li...kau telah menjadi mayat, baru kami
memberitahumu!"
Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah.
Dia begitu direndahkan. Kegeramannya men-jalar ke wajahnya. Apalagi wanita-
wanita muda itu tertawa yang sangat menyakitkan telinganya.
Dengan teriakan keras, Pendekar itu
menyerang. Kipasnya merapat, membentuk totokan. Keempat wanita muda itu dengan
serentak bersalto ke belakang. Dalam bersalto itu Mawar Merah berseru, "Pinus
Merah, kau hadapi dia!"
Dan serentak yang diperintah tadi,
melenting kembali begitu kakinya memijak lantai. Membalas serangan Pendekar
Sakti itu. Gerakan kaki dan tangannya begitu cepat dan beruntun. Pendekar itu
agak kebingungan dan bersalto ke belakang. Kembali ke tempatnya semula dengan
wajah pias. Benar-benar tidak boleh dianggap re-
meh. Pinus Merah pun kembali berjajaran dengan saudara-saudaranya.
Mawar Merah tertawa
"Nah, tunggu apa lagi?" ejeknya. "Ayo lawan kami! Bukankah kalian ingin membunuh
kami! Bah, mimpi yang tak tersampaikan! seraaaang!"
Serentak keempat wanita muda itu me-
lesat ke depan. Gerakan mereka benar-
benar cepat. Dan tanpa dikomando lagi, mereka segera memilih lawan-lawan mereka.
Datuk Sakti Berjubah Putih berhadapan
dengan Mawar Merah. Tiga Malaikat Berantai Emas berhadapan dengan Dahlia Merah.
Pendekar Kipas Sakti berhadapan dengan Pinus Merah yang menyerangnya dengan
buas. Sedangkan Dewi Maut berhadapan dengan Melati Merah.
Hanya Dewa Tua Pengantuk yang tidak
mendapat lawan. Orang tua itu hanya terkekeh pelan.
"Ha... buang-buang tenaga saja. Percuma kalian berkelahi. Tak ada gunanya,"
katanya masih terkekeh.
Dan seperti tidak ada kegiatan apa-
apa, orang tua itu ngeloyor meninggalkan tempat itu. Tetap dengan matanya yang
selalu terpejam.
Pertempuran berjalan dengan serunya.
Keadaan Datuk Sakti Berjubah Putih seimbang dengan Mawar Merah. Dewi Cantik
Penyebar Maut sungguh luar biasa melatih dan mendidik murid-muridnya. Sampai
sekian jurus, Datuk Sakti yang sudah melanglang buana yang membuat namanya
menjulang setinggi langit, tidak mampu menjatuhkan Mawar Merah. Bahkan membuat
Mawar Merah kewalahan pun dia tidak mampu.
Malah suatu ketika Mawar Merah mampu
menjatuhkan tangannya di bahu Datuk tua itu, yang merasakan bagaimana ditimpa
go-dam bahunya.
Dia sedikit terhuyung.
Mawar Merah terbahak.
"Ha... ha.... Orang tua! Mimpi apa kau ingin mengalahkan guruku! Nyawamu tak ada
gunanya! Dan kau pun tak berguna hidup di dunia ini!"
Sehabis berkata begitu, dia menyerang
lagi. Sedetik Datuk tua itu tidak berkelit, tamatlah riwayatnya. Mawar Merah
telah menggunakan ilmu sakti yang diberikan gurunya. Menggempur sejuta batu
karang. Di lain itu, Tiga Malaikat Berantai
Emas pun belum mampu menjatuhkan Dahlia merah. Senjata sakti mereka menderu-deru
dengan dahsyat. Tetapi belum sekali pun mengenai tubuh Dahlia Merah. Dahlia
Merah telah menggunakan ilmu berkelit yang diberikan gurunya yang bernama,
menghindar hujan menghalau badai.
Yang sambil berkelit masih mampu mem-
balas! Salah seorang dari Tiga Malaikat itu, berhasil digedor dadanya hingga
terhuyung dan muntah darah.
"Dik Suta!" jerit salah seorang saudaranya yang kaget. Dan marahnya bangkit
ketika diketahui adiknya telah mati dengan jantung yang seketika putus. "Kau"!"
geramnya pada Dahlia merah yang tertawa penuh ejekan.
"Sudah kukatakan sejak tadi, kalian akan percuma menghadapi kami! Cepat bersujud
dan cium ibu jari kakiku!"
"Bangsat!!" geram kedua orang itu.
Keduanya merapat. Dan memainkan rantai berbandul tajam dengan dahsyat. Anginnya
menderu hebat. Dan dengan pekikan hebat keduanya menerjang berbarengan.
Lagi-lagi dengan menggunakan ilmu
menghindar Hujan menghalau badai, serangan itu luput. Dengan hebat dan
ringannya, Dahlia melenting ke atas. Dengan bersalto dia mengirimkan pukulan
jarak jauhnya. Dua buah larik sinar merah berkelebat.
"Awaas!!" Dua orang berkepala gundul itu bergulingan menghindar. Tetapi tak
urung baju salah seorang dari mereka ter-koyak terkena sinar merah itu. Mengepul
asap dari pakaian yang koyak itu. Wajah keduanya pias. Tetapi kemarahan semakin
membara. Membludak meminta pelampiasan.
Lagi keduanya serentak menyerang.
Di lain itu, keadaan Pendekar Kipas
Sakti tidak banyak berbeda dengan kawan-kawannya.
Pinus Merah berhasil mendesak pende-
kar tampan Itu. Dua kali dia berhasil
mendaratkan pukulan dan tendangannya.
Tetapi pendekar tampan itu bukanlah
pendekar yang baru mencuat namanya. Dia juga berhasil membalas. Tenaga dalamnya
menghimpun di tangan dan mendarat di dada Pinus Merah.
Namun sedikit pun Pinus Merah tak
bergeming. Bahkan dia tetap berdiri tegak
dengan bibir tersungging sebuah senyuman manis!
Pendekar itu terkejut. Surut ke bela-
kang dengan keheranan.
Pinus Merah terbahak. "Pukulan apa pun tak akan mampu membuatku terhuyung,
Pendekar tampan! Percuma kau buang tena-gamu untuk menghadapiku!"
"Kau...."
"Tak perlu terkejut. Itulah ilmu keb-al pemberian guruku, yang dinamakan,
menahan gelombang batu karang! Hei, Pendekar tampan! Cepat kau bersujud, sebelum
kucabut nyawamu!!"
Wajah Pendekar Kipas Sakti memerah.
Dengan marah dia menyerang lagi.
Di lain itu, hanya Dewi Maut yang
mampu mengimbangi serangan Melati merah.
Tokoh sakti yang telah banyak makan asam garam itu, mampu berbuat lebih banyak
da-ri Melati merah. Serangan-serangan tangan kosongnya sangat berbahaya. Dia
telah menghimpun pukulan saktinya di kepalan tangannya.
Agaknya Melati merah mengetahui se-
rangan Itu. Sejauh itu dia berusaha untuk menghindar. Tidak berani mengadu
tangan atau menahan serangan itu secara berben-turan.
Sampai suatu ketika dia mendadak men-
jatuhkan dirinya. Dan melontarkan pukulan jarak jauhnya. Selarik sinar merah
berke- lebat dengan cepat.
Dewi maut menjerit kaget. Dia melom-
pat dengan cepat. Belum lagi dia menje-jakkan kakinya ke tanah, selarik sinar
merah itu telah memburunya lagi. Memburunya terus. Sampai Dewi Maut kewalahan
sendiri. Di saat itulah, Melati Merah menjerit
menerjang. Dan...
Des!! Pukulan menghajar perut Dewi Maut
yang langsung terhuyung.
Melihat keadaan itu. Melati Merah
mengejar, dengan pukulan lurus yang siap menghancurkan Dewi maut. Tetapi
mendadak serangannya urung, sebuah sinar putih menghalau serangannya.
"Setan!" Melati Merah menghindar dengan jalan bergulingan.
Pukulan jarak jauh itu, dilontarkan
oleh Datuk Sakti Berjubah Putih, yang melihat keadaan genting akan menimpa Dewi
Maut. Sedetik dia terlambat, tamatlah riwayat Dewi Maut.
Melihat borongan itu, Mawar Merah
menjadi marah. Hampir saja serangan itu mematikan adik seperguruannya. Dia
mengamuk, serangannya membabi buta. Dan. membuat Datuk sakti itu menjadi
kewalahan. Sebisanya dia menangkis serangan itu.
Bahkan dengan kibasan tongkat berkepala ularnya. Tapi tak urung sebuah pukulan
menghantam pahanya, yang langsung membuatnya jatuh bergulingan.
Bersamaan dengan jatuhnya Datuk sakti
itu, terdengar dua jeritan memilukan. Dua pendekar berkepala gundul menemui
ajalnya di tangan Dahlia Merah.
Tamatlah riwayat Tiga Malaikat Beran-
tai Emas, yang menemukan ajalnya dengan sangat mengenaskan. Wajah keduanya
hancur tak berbentuk.
Dan Pendekar Sakti pun terhuyung ter-
makan tendangan Pinus Merah yang membuatnya muntah darah.
"Tahan!!" Seruan itu terdengar. Mawar Merah mengisyaratkan saudara-saudaranya
untuk mendekatinya. Serentak mereka bersalto dan berdiri berjajaran di samping
mawar merah dengan sikap gagah.
Mawar merah mendengus. "Hhh, hari ini nyawa kalian kami ampuni. Ingat!!, jangan
membuat kami marah lagi! Kalian tidak ada gunanya menentang kehendak kami!
Kalau kalian menentang perbuatan ka-
mi, kami segera akan mengirim nyawa kalian ke akhirat! Kau Datuk tua, camkan
peringatan kami baik-baik!
Sebelum guru kami yang turun, yang
sekali kelebat membuat nyawamu putus, ada baiknya kau urungkan niatmu untuk
menentang kami!"
Datuk tua itu mengatur nafasnya. Me-
nahan rasa sakit di dadanya. Matanya nya-
lang, penuh kemarahan.
"Tidak, sampai kapan pun, aku menentang perbuatan kalian! Demi keadilan dan
keberanian!"
"Bangsat!" Mawar merah mengibaskan tangannya. Selarik sinar merah menerjang ke
arah Datuk tua.
Dengan sisa tenaganya, datuk tua itu
menghindar. Sinar merah itu menghantam dinding rumah hingga bolong.
"Itu peringatan untuk kalian semua Camkan baik-baik! Kami akan datang lagi untuk
membunuh kalian!"
Setelah berkata demikian, Mawar merah
bersalto. Dan menghilang di kegelapan malam.
Begitu pula dengan yang lain. Dengan
sekali kelebat saja, mereka sudah lenyap dari pandangan.
Setelah mereka menghilang, dengan Su-
sah payah Datuk Sakti Berjubah Putih berdiri. Dia sadar, mereka belum tentu
mampu menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut.


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan murid-muridnya saja mereka sudah dibuat jungkir balik tak karuan.
"Saudara-saudara... kita harus mencari tokoh sakti untuk menghadapi mere-
ka...." desisnya pelan.
Malam pun semakin merambat.
*** 2 "Pranata! Pranata! Hhh, ke mana lagi anak itu! Sudah sore begini belum
kembali"!" gerutu seorang wanita muda. Agaknya dia tengah mencari anaknya.
Padahal anaknya bersembunyi tak Jauh dari tempatnya berdiri. Daerah itu sunyi.
Matahari mulai turun, kembali keperaduan.
"Hei, Pranata! Ayo kembali! Kamu harus mandi!" wanita muda itu berseru lagi.
Di pohon besar itu, anak kecil yang
bernama Pranata terkekeh. Geli sendiri karena ibunya kebingungan. Dia tidak ta-
hu, sebenarnya ibunya sudah mengetahui di mana dia berada. Tetapi ibunya pura-
pura tidak tahu.
Anak kecil itu masih terkekeh geli.
Tanpa disadarinya, ibunya sudah bersalto mendekati dan langsung menggendong anak
itu. "Hu, ibu curang! Ibu curang!" serunya meronta-ronta minta diturunkan.
"Ha... ha... habis, kau mau mempermainkan Ibu," kata wanita muda itu sambil
berjalan ke rumahnya.
"Ibu curang! Ibu pakai kepandaian ibu untuk menangkapku! Ibu curang, ibu
curang!" "Ibu tidak curang, kamu yang curang.
Dipanggil kok sembunyi."
"Ibu curang karena ibu tidak mengajarkan aku melompat seperti tadi!"
"Nanti ibu ajarkan. Ayo sekarang mandi."
"Nggak mau! Ibu harus janji, akan mengajarkan aku melompat seperti tadi.
Aku ingin bisa, aku ingin bisa!"
"Iya, iya! Ayo mandi!"
"Janji, ya?"
Ibunya mengangguk sambil tersenyum.
Anak itu turun dari gendongannya. Berlari ke kamar mandi. Janji tadi sudah
membuatnya gembira.
Wanita itu menggeleng-geleng. Anaknya
itu memang bandel. Entah turunan dari
siapa. Ayahnya atau dia sendiri" Biarpun begitu, dia sangat menyayangi putranya
yang semata wayang itu. Yang diberinya nama Pranata Kumala.
Sebenarnya siapakah wanita yang pan-
dai bersalto itu" Dia memang seorang wanita yang mampu memainkan ilmu silat.
Kepandaiannya lumayan tinggi.
Dia adalah Ratih Ningrum, yang menda-
patkan pelajaran silat dari tiga pengawalnya dulu. Dan anak itu adalah buah
perkawinannya dengan Madewa Gumilang, pemuda yang sangat dicintainya (baca :
Dendam Orang-Orang Gagah).
Setelah bertemu dengan pemuda itu du-
lu, mereka segera menikah. Seorang laki-
laki tua telah memberkati pernikahan mereka. Entah di mana laki-laki tua itu
sekarang. Dan selama dua tahun mereka meningga-
li rumah mungil itu, penuh suka dan duka.
Kelahiran Pranata Kumala menambah kecintaan mereka semakin melekat dan membara.
Ratih Ningrum lambat laun bisa mema-
hami arti hidup yang sebenarnya, yang penuh dengan permainan-permainan hidup.
De-rita dan senang datang silih berganti.
Sejak kecil sampai remaja, Ratih Ningrum hidup bergelimang harta. Sampai saat
ini pun masih memiliki harta itu. Tetapi Ratih Ningrum sudah tidak mau
menerimanya. Kekayaannya itu telah dipercayai oleh
tiga pengawal setianya, Mukti, Patidina dan Tek Jien. Juga karena suaminya yang
tidak mau ketika diajak untuk kembali ke rumahnya.
Suaminya memutuskan hidup di desa
ini. Desa yang aman dan tentram. Yang penuh kedamaian.
Hari ini Madewa Gumilang, suaminya,
tengah pergi ke kota. Ada urusan yang harus diselesaikan di Kotaraja, yang mana
tengah menyangkut nama baik suaminya sendiri.
Suaminya dituduh
memimpin gerakan
yang akan menggulingkan kedudukan raja.
Dia dituduh telah menyebarkan empat orang anak buahnya untuk menghimpun dan
menja- tuhkan kedudukan raja dengan jalan menghasut dan gerilya. Bahkan pernah
menyerang istana! .
Dari petunjuk yang didapat, anak
buahnya itu berpakaian merah dan semuanya adalah wanita-wanita muda yang cantik
dan sakti. Tentu saja Madewa membantah tuduhan
demikian. Dia bersumpah, tidak berniat untuk menggulingkan kedudukan raja
sedikit pun. Bahkan dia tidak memiliki anak buah semacam demikian!
Madewa dihadapkan kepada Bupati yang
memanggilnya. "Madewa... kami memandang nama besarmu," kata Bupati. "Sebagai orang yang telah
menumpas gerombolan sesat Perkumpulan Telapak Naga. Tetapi kami kecewa, dengan
sikap dan keinginan yang sesat, yang tak ubahnya seperti orang-orang Telapak
Naga! Ingin memberontak terhadap raja!
Madewa menjura hormat.
"Tuanku Bupati yang terhormat, sedikit pun saya tidak berniat untuk memberontak
terhadap raja yang arif dan agung.
Malah saya mendukung dan membantu raja menghadapi kesulitan! Saya bersumpah, de-
mi langit dan Bumi, saya tidak memimpin gerakan memberontak itu!
Bupati yang bernama Wrahatnala men-
gangguk antara percaya dan tidak.
"Lalu apa maksud orang-orang itu me-
nyerang dan berseru, "Pimpinan kami adalah Madewa Gumilang!". Bukankah itu
namamu, Madewa" Namamu yang besar, yang diberi gelar Pendekar Pukulan Bayangan
Suk-ma?" "Sekali lagi, Bupati Wrahatnala! Saya tidak memimpin gerakan demikian!"
"Baiklah Madewa. Kita tidak perlu banyak bicara. Untuk membuktikan kebenaran
itu, kau kuperintahkan menangkap dan membawa orang-orang itu kepadaku, untuk di-
jatuhi hukuman" Madewa mengangguk hormat.
"Baik, Bupati Wrahatnala. Semua akan saya lakukan. Jika benar saya yang memimpin
gerakan memberontak itu, kepala saya taruhannya. Saya rela mati dipenggal! Kalau
pun saya masih hidup, biarlah Yang Kausa membuat saya sakit yang mengerikan dan
mati perlahan-lahan..."
Sumpah dan janji yang mengerikan.
Wrahatnala sampai bergidik mendengarnya.
Tetapi dia sadar dan yakin, ucapan Madewa benar dan akan terbukti! Wrahatnala
sudah lama mendengar nama besar Madewa Gumilang yang selalu menentang dan
menghancurkan kejahatan.
Tetapi, apa tidak mungkin dia ingin
memberontak"
"Kupegang janjimu, Madewa."
Madewa menjura.
"Saya mohon diri, Bupati Wrahatna-la...."
Wrahatnala mengangguk. Madewa keluar
dengan dikawal oleh beberapa orang pengawal, yang siap dengan senjatanya. Madewa
tersenyum sedih. Dalam hati dia berkata. Sudah mulai lagi kehidupan ini, yang
penuh cobaan. Dia akan membuktikan pada raja bahkan pada dunia, bahwa dia
bukanlah pemimpin gerakan pemberontakan itu!
*** Tubuh pendek bulat bundar itu berja-
lan dengan sempoyongan. Tubuhnya limbung kesana ke mari. Biarpun begitu, penden-
garnya masih tajam. Dia adalah Dewa Tua Pengantuk.
Pendengarannya menangkap adanya gera-
kan-gerakan yang mencurigakan. Karena gerakan-gerakan itu seperti berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat Jain, menandakan dia sedang dikuntit orang
sejak tadi! Tetapi Dewa Tua Pengantuk itu masih
tetap tenang. Dia tetap memejamkan ma-
tanya. Seolah tak perduli dengan penguntit-penguntit itu.
Dia menghitung setiap gerakan orang-
orang itu. Hmm, ada lima orang yang men-gikutinya. Mau apa keroco-keroco ini
men-gikutinya" Hmm, dia akan melihat keroco-keroco itu.
Akan dipermainkannya.
Tahu-tahu Dewa Tua Pengantuk itu ber-
kelebat ke depan. Dan "Wuutt!" gerakannya cepat. Tahu-tahu saja dia sudah
menghilang dari pandangan orang-orang itu.
Orang-orang itu panik dan terkejut.
Serentak mereka mengejar. Kali ini tidak dengan sembunyi-sembunyi. Benar dugaan
Dewa tua pengantuk itu, mereka berjumlah lima orang. Semua berpakaian hitam-
hitam. Dan di punggung mereka ada sepasang pedang tipis yang tajam.
Tahu-tahu kelima orang itu berhenti.
Terdengar suara tawa dari atas pohon. De-wa Tua Pengantuk sudah duduk di ujung
ranting yang kecil dan
menggoyang- goyangkan kaki! Betapa tinggi ilmu meringankan tubuh orang tua itu. Dahan
ranting yang kecil, mampu menahan berat tubuhnya yang gemuk.
"Kalian cecunguk-cecunguk busuk, mau apa mengikutiku"!" bentaknya masih tetap
menggoyang-goyangkan kaki.
"Orang tua pengantuk, hari ini kami akan mencabut nyawamu!" bentak salah seorang
sambil mengambil sepasang pedangnya.
Dua buah pedang berkilat tertimpa matahari.
Yang lain pun berbuat yang sama. Kini
sepuluh pedang tipis dan tajam, siap merenggut nyawa Dewa Tua Pengantuk itu!
Tetapi orang tua itu masih saja ter-
tawa. "Ada apa gerangan kalian ingin membu-
nuhku?" "Kau masih banyak bertanya saja,
Orang tua pengantuk!"
"Ha... ha... kau pun demikian, orang muda pemarah. Tanpa menyebutkan nama kalian
dan apa alasan kalian ingin membu-nuhku, aku enggan untuk melayani kalian.
Selamat tinggal!"
"Tunggu!"
"Ha... ha.apa lagi Orang muda pemarah"'
"Kau orang tua yang keji! Kau telah menculik dan membunuh adik seperguruan kami.
Sudah jelas, kami akan menuntut balas atas kematiannya!"
"Hei, hei! Apa-apaan kalian ini" Kok menuduh aku?" Kening orang tua pengantuk
itu berkerut. Matanya terbuka lebih lebar. Ia menggeleng-geleng.
"Siapa lagi yang kami tuduh kalau bukan Dewa Tua Pengantuk geleng-geleng kepala
lagi. "Orang Muda pemarah, Kau menuduhku sembarangan! Apa bukti tuduhanmu itu
untukku?" "Kau masih membantah?"
"Jelas kubantah, karena aku tidak merasa membunuh saudara seperguruanmu?"
"Baik! Ada seorang wanita muda yang melihatmu membunuh saudara seperguruan kami!
Orang itu mengenal kau! Dewa Tua Pengantuk, yang kabarnya dari golongan
putih, tetapi begitu talengas menurunkan tangan untuk saudara seperguruan kami
yang tak bersalah!"
"Tuduhan tak benar!"
"Orang tua pengantuk, kami tak perlu banyak sikap lagi. Cepat kau menyerah dan
ikut kami Untuk dihadapkan kepada ketua!"
"Hhh, betapa enaknya! Tuduhan itu palsu! Aku tidak melakukan apa-apa selama
ini!" "Tetapi kau melakukan perbuatan keji itu!"
"Kau tetap tidak percaya, Orang muda.
Baik, siapa kalian sebenarnya?"
"Hhh! Kami adalah murid-murid dari lereng bukit sebelah timur sana!"
"Perguruan topeng hitam!" seru Dewa Tua Pengantuk terkejut. Perguruan yang sudah
lama mencuat namanya. Dan kali ini dia harus berurusan dengan orang-orang topeng
hitam itu. Urusan yang salah paham. Dan dia telah dilemparkan tuduhan palsu!
"Hmm," salah seorang dari anak murid Perguruan topeng hitam tersenyum sinis.
"Kau terkejut, bukan" Cepat minta maaf, sebelum ketua kami Paksi Uludara turun
tangan merenggut nyawamu!"
Dewa Tua Pengantuk itu bersalto dua
kali untuk hinggap di tanah dengan sempurna. Dia menatap lima orang yang telah
mengenakan topeng hitam itu.
"Sejak muda aku tidak punya masalah dengan perguruan topeng hitam. Tapi hari
ini, kita berselisih. Aku tetap menolak tuduhan itu, karena aku tidak
melakukannya!"
"Bangsat! Kau banyak bicara!" Orang itu segera menerjang dengan satu tusukan
lurus pada tenggorokan Dewa Tua Pengantuk.
Orang tua itu mengelak sedikit ke
samping, serangan itu luput. Belum lagi dia menegakkan badannya, pedang-pedang
yang lain bersambaran. Dan seketika sepuluh buah pedang itu berkelebat bergan-
tian. Orang tua itu agak kewalahan. Tetapi
bukan Dewa tua pengantuk kalau tidak bisa menghindari serangan-serangan itu.
Tiba-tiba dia melenting ke atas, me-
nyambar sebuah ranting kecil. Dan dengan ranting itu dia menghalau setiap
sabetan pedang yang datang.
Sungguh hebat, ranting itu tidak pu-
tus atau patah termakan sabetan pedang, karena telah dialiri tenaga dalam Dewa
tua itu. Bahkan dengan ranting itu ia mampu
menotok salah seorang dari mereka, yang langsung berdiri tegak, kaku, tanpa bisa
menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
"Kuminta kita hentikan pertempuran itu," kata orang tua itu sambil melenting
ke atas, menghindari tusukan sepasang pedang yang menyambar dengan cepat.
"Kau jangan menghasut, orang tua!
Saat ini kami menginginkan nyawamu!"
Dan sebuah pukulan jarak jauh menyam-
bar ke arah orang tua itu.
Wutt! Orang tua itu berkelit dengan jalan
bersalto. Belum lagi dia hinggap di tanah, puluhan senjata rahasia yang
berbentuk topeng-topeng kecil berterbangan cepat, masih di udara orang tua itu
mampu bersalto dua kali. Serangan-serangan itu luput.
"Kita sudahi pertempuran ini, Saudara!" kata Dewa tua sambil hinggap di tanah.
"Kita semua salah paham. Wanita muda yang menjadi saksi itu, pasti salah
melihat! Disangkanya diriku yang dilihatnya!
Atau mungkin juga... dia ingin mengadu domba di antara kita!"
"Aku tidak perduli semua itu, yang kami inginkan sekarang! Mempersembahkan
nyawamu untuk adik seperguruan kami! Tahan serangan, Orang tua!"
Lagi mereka menyerang. Kali ini lebih
hebat dan dahsyat. Sabetan dan kibasan pedang berkelebat dengan cepat. Pukulan
jarak jauh dan senjata rahasia berterbangan dengan tersembunyi, siap mencabut
nyawa dewa tua itu.
Tetapi sampai sejauh itu, orang tua
itu masih mampu bertahan. Dan lagi-lagi dengan rantingnya, dia mampu menotok
salah seorang dari mereka.
Kini tinggal tiga yang masih bernafsu
untuk menjatuhkan. Yang dua hanya berdiri kaku dan agak menjadi ngeri melihat
pertempuran itu.
"Kita pergunakan tiga serangan pedang mencabut nyawa, Saudara!" seru salah
seorang. Dan serentak tiga orang itu membuka jurus yang sama.
Orang tua itu sadar, kali ini mereka
memainkan jurus simpanan, yang pasti dahsyat dan ampuh. Dia pun bersiap. Kedua


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya merapat di dada, mengempit
ranting itu erat-erat. Matanya terbuka lebih lebar. Ia menghimpun tenaga
dalamnya menjadi satu.
Siap menyambut serangan mereka. Tiba-
tiba salah seorang dari mereka menjerit panjang, dan menerjang dengan cepat.
Orang tua itu cepat memapaki. Dan tiba-tiba orang yang menyerang tadi melenting
ke atas. Ganti orang kedua yang menyerang. Begitu seterusnya. Rupanya jurus
mereka yang satu ini, serangan berantai dengan dimainkan oleh perorangan tetapi
rangkaian dari serangannya, dipakai oleh yang lain.
Bergantian. Hebat dan semangat. Meru-
pakan jurus yang ampuh. Paksi Uludara
menciptakan jurus itu dengan sangat sem-
purna. Kali ini orang tua itu benar-benar
kewalahan. Sebuah pedang sempat menggores ba-
hunya, yang langsung berdarah. Orang tua itu menekap lukanya. Matanya nyalang.
Ke-sabarannya sudah habis.
Ganti dia kini yang menerjang. Seran-
gannya membabi buta. Tetapi sejauh itu, dia pun tak mampu menembus pertahanan
dan serangan balasan berangkai yang dipergunakan oleh lawan-lawannya.
Bahkan sekali lagi pedang itu menyam-
bar dadanya. "Breeet!"
Bajunya sobek. Dan merembes darah se-
gar. Melihat keadaannya yang agak payah,
tahu-tahu orang tua itu berkelebat. Dengan sekali salto dan menghilang. Orang-
orang itu serentak mengejar, tetapi serentak mereka bersalto. Ranting kering
yang dipergunakan orang tua tadi sebagai senjata, telah dilempar dengan penuh
tenaga. Dan menancap di sebuah batang pohon.
Tidak mungkin untuk mengejar orang
tua itu. Dengan perasaan geram dan marah, mereka kembali ke tempat tadi.
Membebaskan dua saudara seperguruan mereka da-ri totokan orang tua tadi.
"Kita gagal menangkap orang tua itu,"
kata salah seorang antara kecewa dan marah.
"Yah... Guru pasti marah dengan kega-galan Ini," sahut salah seorang.
"Kita harus bagaimana?" tanya salah seorang.
"Kita cari orang tua itu," sahut salah seorang.
"Sampai kapan pun, kalau kita tidak berhasil membunuhnya dan mempersembahkan
kepalanya kepada guru, guru pasti akan membunuh kita!"
"Yah... dia sangat menyayangi adik seperguruan kita," kata salah seorang.
"Kalau begitu, kita harus segera mencari jejak orang tua itu!" usul salah
seorang. "Biar bagaimana pun, kita harus berhasil menangkapnya! Semata bukan karena
kuatir guru marah, tetapi bakti kita kepada guru dan membalaskan dendam adik
seperguruan!"
"Setuju!"
"Ya!! Mari!"
Serentak kelima orang berpakaian hi-
tam dan topeng hitam, menyarungkan sepasang pedang mereka masing-masing.
Dan seperti dikomando, mereka berla-
ri. Seolah saling berlomba.
*** 3 Bayangan-bayangan itu berkelebat me-
nembus hutan yang lebat, Agaknya mereka memang sering melewati hutan itu, karena
begitu enak dan hafal jalan-jalannya.
Bayangan-bayangan itu berpakaian me-
rah semua. Ringan dan cepat gerakan mereka.
Hutan yang penuh pohon-pohon jati itu
bukan merupakan halangan bagi mereka untuk melangkah. Mereka seakan berlomba adu
pamer kesaktian berlari mereka.
Di sebuah gua yang terletak di tempat
yang benar-benar sunyi mereka berhenti.
Dan serentak mereka menjura kearah gua itu.
"Masuk!" terdengar suara lembut tapi penuh tenaga dari dalam.
Orang-orang itu segera masuk. Kali
ini tidak serentak. Mereka berjajaran ke belakang. Penuh sikap hormat berjalan,
satu persatu. Gua yang kelihatan sempit itu semakin
lama semakin melebar. Dan keadaan dalam gua itu terang benderang. Di ujung sana,
terdapat sebuah batu yang berhias emas intan dan permata. Begitu indah dan
berkilauan. Benar-benar menakjubkan.
Dan yang lebih menakjubkan lagi,
orang yang duduk di kursi batu itu. Seorang wanita muda yang sangat luar biasa
cantiknya. Wajahnya seperti memancarkan cahaya
Pakaiannya dari sutera yang indah, berwarna merah. Dan sangat kontras dipakai
oleh wanita yang berkulit putih itu.
Orang-orang yang baru masuk itu, men-
jura. "Salam, Ketua!" sahut mereka serempak. Wanita cantik itu tersenyum. Ia
menyuruh mereka duduk di hadapannya.
"Laporkan hasil kerja kalian," suara itu lembut dan penuh wibawa.
"Semua telah kami laksanakan dengan baik, Ketua. Perintah ketua kami junjung
tinggi," kata salah seorang wanita yang berpakaian merah itu. Dia si Mawar
Merah." "Hmm, bagus. Kau sudah menyiarkan kabar, kalau kalian dipimpin oleh seorang
pendekar yang bernama Madewa Gumilang?"
"Semua telah kami laksanakan, ketua."
"Bagus, bagus!" wanita cantik yang tak lain dari Dewi Cantik Penyebar Maut itu
tersenyum senang. Betapa cantiknya.
"Kita tunggu kedatangan Puspa Merah, Dia tengah kuperintahkan menyelidiki
keadaan keluarga Madewa Gumilang. Semua terdiam.
Hanya memperhatikan sang ketua bica-
ra. Dewi cantik yang kejam. Yang hatinya mendendam pada pemuda yang bernama
Madewa Gumilang! Entah kenapa, mereka tidak ada yang
tahu kecuali sang ketua sendiri.
Sebenarnya, siapakah wanita muda yang
kejam itu, yang bergelar Dewi Cantik Penyebar Maut"
Dia tidak lain adalah Nindia, wanita
muda yang lima tahun yang lalu pergi karena kecewa. Kecewa karena pemuda yang
dicintainya mencintai wanita lain.
Pemuda itu Madewa Gumilang, yang dia
kenal pernah menolong keluarganya dari perampokan (baca: Dendam Orang-orang
Gagah). Dan wanita itu adalah Ratih Ningrum yang dulu disangkanya seorang pria,
pa-dahal Ratih Ningrum menyamar sebagai Adi Permana. Dan bersama Madewa
Gumilang, dia menyelamatkannya dari tangan Wirapati.
Perasaan Nindia galau. Gundah. Kece-
wa. Malu. Marah. Dia berlari meninggalkan keduanya. Hatinya benar-benar hancur.
Dalam keadaan terluka itu dia bertemu dengan seorang kakek sakti yang berdiam di
gunung Muria. Dia dibawa oleh kakek sakti itu ke
gunung Muria. Di sana dia diberi ilmu kesaktian yang amat dahsyat. Entah kenapa
Nindia menerima semua pemberian itu. Perasaan kecewa terhadap Madewa Gumilang
menjadikannya wanita yang penuh semangat dalam menuntut kesaktian.
Dan dia berubah menjadi dendam pada
Madewa. Juga pada pemuda-pemuda yang se-baya Madewa. Tak jarang diam-diam Nindia
turun gunung untuk membunuh pemuda-pemuda itu. Walau tidak ada kesalahan sedikit
pun! Perbuatannya itu diketahui oleh gurunya, yang sangat marah besar. Gurunya
memberi ilmu kesaktian dan kepandaian kepadanya, agar dia bisa menghilangkan
kesedihan dan melupakan pemuda yang bernama Madewa Gumilang.
Tetapi kemarahan gurunya itu, malah
ditentang oleh Nindia. Dengan beraninya dia menantang gurunya berkelahi. Jelas
saja Nindia kalah.
Sebagai seorang guru yang arif, gu-
runya itu mengampuni semua kesalahannya.
Namun Nindia malah semakin mendendam. Dia mencuri keris pusaka Naga merah milik
gurunya. Dan dengan keris itu dia menikam gurunya ketika sedang bersemadi.
Dan mulailah Nindia melanglang buana
untuk mencari Madewa Gumilang dan is-
trinya. Dia tidak ingin kedua orang itu hidup. Karena dia masih terbayang oleh
kekalahannya dalam memiliki Madewa.
Sikapnya yang telengas dan keji apa-
lagi setiap kali bertemu dengan pemuda-pemuda yang menggodanya, dia langsung
membunuh, membuatnya menjadi wanita yang kejam.
Dan dengan cepatnya tersebar kabar
dan julukan orang akan adanya Dewi Cantik
Penyebar Maut yang menggetarkan.
Yang begitu kejam! Menjatuhkan tangan
tanpa pandang siapa orangnya!
Nindia juga mulai mengambil beberapa
orang murid wanita. Lima wanita muda dan cantik diambilnya secara paksa. Tetapi
lambat laun orang-orang itu menurut padanya. Tidak ada lagi yang merasa
terpaksa. Mereka pun dididik menjadi orang-
orang yang kejam. Yang merampok dan membunuh. Juga menyebarkan desas-desus akan
memberontak terhadap raja di bawah pimpinan Madewa Gumilang!
Dewi Cantik Penyebar Maut beserta
anak buahnya, menjadikan orang bergetar mendengarnya. Apalagi menyebut namanya.
Banyak orang-orang dari golongan pu-
tih yang menentang mereka, tetapi mereka tak berumur panjang. Karena menghadapi
anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut saja mereka tidak mampu, apalagi menghadapi
gurunya! Dewi Cantik Penyebar Maut, menjadi momok nomor satu baik oleh lawan
maupun kawan. Baik dari golongan putih ataupun golongan hitam!
Nenek tua itu tertatih-tatih mendeka-
ti rumah itu. Ia kelihatan letih. Mungkin habis melakukan perjalanan yang jauh.
Langkahnya pelan. Dan kadang terhuyung.
Tongkat di tangannya begitu jelek dan pa-kaiannya pun betapa lusuhnya.
Pranata Kumala yang sedang bermain-
main di halaman rumahnya, melihat nenek tua itu. Dia kasihan melihatnya. Buru-
buru dia menghampiri. "Nenek mau kemana?"
tanyanya sambil memandang nenek tua itu dengan tatapannya yang bundar.
Nenek tua itu tersenyum. Wajahnya su-
dah keriput. Rambutnya putih semua. Tubuhnya pun agak bungkuk.
"Nenek tidak tahu mau ke mana, Nak,"
sahut nenek itu. Suaranya lemah.
"Nenek tidak tahu mau ke mana?" Anak itu bertanya lagi, heran.
Nenek itu menggeleng.
"Memangnya rumah nenek di mana?"
Lagi nenek itu menggeleng.
"Nenek tidak punya rumah, Nak."
"Kalau begitu mampir ke rumah saya ya, Nek" Mungkin ibu punya sedikit air dan
kue untuk nenek. Ayo!" ajak Pranata Kumala sambil menarik lengan nenek itu.
Dan membimbingnya dengan hati-hati.
Nenek itu mengikuti. Ia dibawa masuk
ke dalam rumah mungil itu. Pranata masuk ke dalam. Berseru memanggil ibunya.
"Bu, bu!" serunya. "Ibu di mana, sih?"
Ratih Ningrum yang tengah menanak na-
si keluar dengan tergopoh-gopoh. Pranata Kumala tersenyum melihat ibunya.
"Ada apa, Nak?"
"Ikut aku ke depan, Bu!"
Tanpa banyak tanya, Ratih Ningrum
mengikuti anaknya ke ruang depan " Nenek tua itu tengah melepaskan lelahnya
dengan menyelonjorkan kaki di depan.
Pranata Kumala menunjuk dan berkata.
"Nenek itu nggak punya rumah, Bu. Ku-bawa saja ke mari. Ibu masih punya makanan
kan?" Ratih Ningrum terkejut melihat nenek
tua itu. Kelihatan sekali dia keletihan.
Mungkin juga kelaparan. Buru-buru dia masuk ke dalam. Untung masih ada sedikit
makanan dan minuman. Diberikannya kepada nenek itu yang memakannya dengan lahap.
Setelah itu mereka bercakap-cakap.
Nenek itu bilang, dia dari perjalanan jauh, tengah mencari anaknya yang hilang.
Dia sendiri sudah lupa siap nama anaknya.
Ratih Ningrum manggut-manggut walau
agak heran. Ah, mungkin nenek tua itu sudah pikun. Tetapi sedetik kemudian, dia
melompat merangkul anaknya. Dan menjauhi nenek tua itu. Dia membentak,
"Siapa kau sebenarnya"!" Nenek Tua itu terbatuk. Kaget dengan pertanyaan Ratih
Ningrum. "Aku... aku... ingin mencari anak-ku...." Dia terbatuk lagi.
Tahu-tahu Ratih Ningrum mengibaskan
tangannya. Wuuut! Sebuah dorongan angin yang lumayan menyambar ke arah rambut
nenek itu. Dan rambut putih itu terlepas! Ber-
ganti dengan rambut hitam yang terurai.
"Siapa kau sebenarnya?" bentak Ratih Ningrum lagi. Dia melindungi anaknya di
belakang tubuhnya. Sebenarnya Ratih Ningrum tidak curiga, tetapi gagang pedang
yang menyembul di punggung nenek itu membuatnya curiga. Gagang pedang itu
dipakai untuk membuat pungguk agar nampak bong-kok.
Nenek tua itu memang bukan nenek da-
lam arti sebenarnya. Sekarang dia telah membuka seluruh penyamarannya. Wanita
mu-da berpakaian merah dengan sebilah pedang di punggungnya.
Wanita itu terkekeh. "Ini rupanya istri Madewa Gumilang" Tidak percuma kau
menjadi istri pendekar besar itu. Matamu awas. Dan ilmumu lumayan tinggi!"
"Tunggu! Kau siapa?"
"He... he... hari ini aku datang untuk mencabut nyawamu! Demi perintah ketua
untukku! Aku harus mempersembahkan kepa-lamu kepadanya! Bersiaplah, Ratih Nin-
grum?" "Sebutkan siapa namamu dan siapa ke-tuamu?"
Wanita muda itu terkekeh lagi. "Kau akan bergetar mendengar siapa nama guruku
yang sekaligus ketuaku. Hmm, dengar baik-baik, Ratih Ningrum... Ketuaku
bergelar.. I Dewi Penyebar Maut...."
Sampai di situ wanita itu bicara, Ra-
tih Ningrum melengak kaget. Nama yang sudah sering didengarnya. Nama maut yang
menggetarkan. "Aku sendiri bernama Puspa Merah! Kau Bersiaplah, Ratih Ningrum! Ajalmu hanya
sampai di sini!"
"Baik, tapi jangan kau ganggu putraku!" Ratih Ningrum menyuruh anaknya tetap di
dalam. Ia melesat ke luar setelah menyambar sepasang pedang kembarnya. Puspa
Merah mengikuti keluar.
Keduanya berhadapan dengan tatapan
siaga dan nyalang. Ratih Ningrum sadar akan kehebatan anak buah Dewi Cantik
Penyebar Maut itu. Dia tidak ingin bertindak gegabah. Sepasang pedang kembarnya
dicabut. Pedang warisan gurunya yang bernama Mukti yang bergelar si Pedang
Kembar. Dia mulai memamerkan kehebatan ilmu
pedangnya. Puspa merah pun tak mau kalah.
Dia pun mencabut pedangnya. Kini keduanya mulai menjajagi.
Sekilas, Ratih Ningrum akan menang,
karena senjatanya sepasang. Tetapi Puspa Merah bukanlah murid sembarangan dari
De-wi Cantik Penyebar Maut!
Tahu-tahu Puspa Merah menerjang. Se-
rangannya cepat. Tusukan dan sabetan pedangnya mengarah pada tempat yang
mematikan. Ratih Ningrum menyambut serangan itu.


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Trang! Trang! Trang!"
Benturan kedua senjata itu menimbul-
kan pijar api yang agak menyilaukan bertanda keduanya memakai tenaga dalam yang
lumayan. Puspa merah meloncat ke depan. Sambil
meloncat itu dia menusuk tepat ke kepala Ratih Ningrum. Ratih Ningrum mengelak
sigap. Bergulingan ke belakang sambil me-nyabetkan pedangnya pada Puspa merah
yang masih bersalto di atas.
"Trang!"
Puspa merah menangkis dan hinggap
dengan sigap. "Bersiaplah, Ratih!" desisnya tajam.
Ia terdiam. Tampaknya tengah merapal ilmu simpanannya Dan gerakan pedangnya
menjadi nampak lebih cepat. Itulah yang dinamakan jurus Pedang Empat Penjuru.
Yang bisa kelihatan lebih banyak. Dan sukar ditentu-kan ke mana arah tusukan
atau sabetannya.
Ratih Ningrum pun bersiap. Ketika
Puspa Merah menerjang, dia menyambut dengan lengkingan panjang. Kembali keduanya
saling menyerang dan bertahan.
Agaknya permainan pedang Ratih Nin-
grum masih berada jauh di bawah ilmu pedang Puspa merah. Dengan sekali sentak
saja, sebuah pedang di tangan kirinya terlepas!
Puspa Merah menghindar sambil terta-
wa. "Sebentar lagi nyawamu, Ratih!" Kembali dia menyerang. Sebisanya Ratih
Ningrum bertahan. Dan lagi-lagi pedangnya terlepas. Kini Ratih Ningrum hanya
ber-tangan kosong.
Puspa merah tertawa.
"Tak ada gunanya kau melawanku, Ratih! Hari ini kau harus mampus di tanganku!"
Lagi dia menyerang. Masih tetap den-
gan jurus yang tadi. Dengan sekuat tenaga Ratih Ningrum menghindar dengan ilmu
meringankan tubuhnya. Dan sekali-sekali melepaskan pukulannya.
Kali ini pukulannya nampak banyak dan
sukar ditangkap oleh mata. Itulah jurus pukulan tangan seribu, warisan dari
gurunya yang bernama Tek Jien.
Rupanya jurus itu bisa mengacaukan
permainan pedang Puspa Merah.
Mendadak Ratih Ningrum memekik. Ia
menyerang dengan penuh tenaga. Mendadak Puspa merah menghentikan serangannya.
Dia menghindar dengan bersalto ke belakang.
Justru itu yang diinginkan Ratih Nin-
grum. Ketika Puspa merah menghindar. Dengan cepat Ratih Ningrum memungut kembali
sepasang pedangnya.
Dia merasa mampu mengimbangi permai-
nan pedang Puspa merah. Dia memakai jurus pukulan tangan seribunya dengan
memainkan pedang. Dan dipadukan dengan ilmu pedang-
nya. Benar saja, Puspa merah mundur ketika
dia menyerangnya dengan memakai jurus demikian.
Bahkan dengan cepatnya, sebuah pedang
Ratih Ningrum menyobek kain di dada Puspa Merah.
"Breeek!"
Puspa merah menjerit sambil mendekap
dadanya. Ia tidak bisa memaki, karena lawannya seorang wanita.
Dia menggeram marah. "Kubunuh kau, Ratih! bentaknya seraya menyerang. Kali ini
serangannya tak terarah, begitu membabi buta. Dan kesempatan itu tidak dis-ia-
siakan oleh Ratih Ningrum.
Dengan sebuah gerakan manis, dia mem-
balas. Kembali pedangnya mengenai tubuh Puspa merah. Darah mengalir dari
pahanya. Puspa merah terhuyung, matanya berku-
nang-kunang. Ia tak sanggup melanjutkan pertempu-
ran. Dengan menahan rasa sakitnya, dia berkelebat menghilang.
Ratih Ningrum menghela nafas lega.
Rupanya Dewi Cantik Penyebar Maut mulai menyebarkan terornya kepadanya.
Hmm, siapa sebenarnya wanita yang
bergelar menyeramkan itu.
Yang setiap detik mampu mencabut nya-
wa siapa yang diingininya.
Tangisan Pranata, mengalihkan perha-
tian Ratih Ningrum. Bergegas dia menjumpai putranya, yang menangis ketakutan.
Ratih Ningrum menggendongnya.
"Hu... hu... nenek itu jahat. Nenek itu memukul Ibu," tangis Pranata. Ratih
Ningrum tersenyum. "Dia tidak memukul Ibu. Ibu yang memukul dia. Dia orang
jahat. Kita harus memerangi kejahatan. Ayo Pranata, katanya kau mau belajar ilmu
melompat seperti ibu" Ayo kita mulai, mungkin hari ini Ayahmu kembali!"
Anak itu berhenti menangis. Dia se-
nang dengan ilmu silat. Dan keinginan itu begitu besar. Ratih Ningrum pun senang
mengajari anaknya yang baru berusia lima tahun itu. Kelihatan kalau anaknya
berba-kat. Dan diam-diam dia masih memikirkan,
siapa sebenarnya Dewi Cantik Penyebar
Maut itu" Teror-terornya sangat mencekam-kan! Tak pandang bulu, siapa saja kena
terornya! *** 4 Di dalam gua itu, Dewi Cantik Penye-
bar Maut masih menunggu kedatangan Puspa merah bersama empat murid lainnya.
Puspa merah bertugas menyelidiki kea-
daan Ratih Ningrum, dan kalau bisa membunuhnya! Puspa merah menjanjikan waktu
se-minggu untuk menyelidik itu. Dan ini adalah hari terakhir untuk Puspa merah.
Kalau Puspa merah gagal menyelidik,
nyawa taruhannya. Untung dia dulu tidak berjanji akan bisa membunuhnya!
Sesosok tubuh memasuki gua dalam kea-
daan terhuyung. Tubuhnya penuh luka. di-alah Puspa merah yang menerima kekalahan
dari Ratih Ningrum.
Selama tujuh hari dia menyamar seba-
gai nenek tua untuk mencari Ratih Ningrum dan selagi bertemu, dia menerima
kekalahan. "Puspa merah!" jerit Melati merah yang langsung memburunya. Juga yang lain.
Mereka menggotong Puspa merah dan mere-bahkannya di pembaringan yang terbuat da-
ri batu. Wajah Puspa merah kuyu dan pucat. Tu-
buhnya letih. Melati merah memberinya ob-at kuat dan pemunah racun, kalau-kalau
Puspa merah keracunan.
Nindia alias Dewi Cantik Penyebar
Maut, bangkit dari 'singgasana'nya. Bajunya yang terbuat dari sutera begitu
indah dan berkilauan.
"Kalian minggir!" desisnya pada murid-muridnya. Lalu ia memeriksa keadaan Puspa
merah menjadi pulih tenaganya. Ia
lalu menotok urat di dada dan paha Puspa merah, menghentikan aliran darahnya.
Beberapa menit kemudian, dia mele-
paskan kedua totokan itu. Lalu membuka pakaian di dada Nindia. Kembali dia
menempelkan kedua tangannya. Kali ini membuat aliran darah Puspa merah normal
kembali. Dan sungguh hebat, nafas Puspa tidak
lagi terdengar memburu. Kali ini teratur.
Begitu merasa dirinya agak enak dia langsung berdiri tegak. Langsung berlutut di
hadapan ketuanya.
"Maaf ketua... saya tidak mampu membunuh Ratih Ningrum," katanya dengan suara
takut-takut. "Hmm," Nindia tersenyum manis, tapi menakutkan bagi Puspa merah.
"Sudah kuduga, melihat kondisimu seperti ini. Tapi kau berhasil menjum-
painya, bukan?"
"Iya, Ketua."
"Di mana dia tinggal" Dan bagaimana keadaannya?"
"Dia tinggal sangat jauh dari tempat ini. Di desa Beranggih. Dan dia telah
mempunyai seorang anak laki-laki yang ki-ra-kira baru berusia lima tahun."
Sang ketua terdiam. Ratih Ningrum su-
dah punya anak" Betapa senangnya, dengan suami yang gagah perkasa dan anak yang
mungil dan lincah.
Nindia membayangkan, kalau saja di-
rinya yang menjadi Ratih Ningrum, betapa bahagianya.
"Kau menjumpai suaminya?" tanyanya lagi, menghilangkan khayalan yang tak
mungkin tersampaikan. Dan perasaan ingin membunuh Ratih Ningrum semakin besar,
Ke-bahagiaan itu harus dimusnahkannya, biar Ratih Ningrum merasakan bagaimana
dukanya ditinggal kekasih. Apalagi jika hasratnya tak kesampaian.
Puspa merah menggeleng.
"Tidak, Ketua. Di rumah itu, hanya ada Ratih Ningrum beserta putranya."
Nindia alias Dewi Cantik Penyebar
Maut kembali ke tempat duduknya semula.
Ia menatap murid-muridnya satu per satu.
"Kali ini, kita akan mengadakan siasat adu domba! Untuk memusnahkan orang-orang
yang kubenci. Sekaligus, kita akan menggulingkan kedudukan raja. Seharusnya aku
yang menjadi raja di negeri ini!
Dan untuk itu, kalian harus pandai-
pandai menyamar dan menyebarkan teror!
Siasat itu sudah mulai kujalankan. Aku telah membunuh salah seorang dari
perguruan Topeng Hitam. Dan aku telah menyalahkan Dewa Tua Pengantuk sebagai
pelakunya!"
Terdengar empat seruan kaget. Dewa
tua pengantuk! Orang sakti yang mereka biarkan lolos ketika menggempur kawan Da-
tuk Sakti Berjubah Putih! Kalau begitu, ketua mengikuti gerak-gerik mereka.
Serentak keempat orang itu berlutut
dan menunduk. Puspa Merah yang tidak tahu kenapa mereka berbuat begitu, hanya
mengikuti, kembali berlutut.
"Maafkan kami, ketua," kata Mawar merah. "Dewa tua pengantuk itu kami biarkan
lolos. Mohon ampun, Ketua."
Dewi Cantik Penyebar Maut mengibaskan
tangan. "Sudahlah, yang pasti, orang-orang perguruan topeng hitam sekarang tengah
mencari Dewa Tua Pengantuk itu. Semua itu kulakukan ketika melihat dewa tua
pengantuk itu keluar dari rumah Datuk sakti.
Dan kebetulan sekali aku melihat seorang pemuda tampan berpakaian hitam berjalan
seorang diri. Dia langsung kubunuh.
Begitu selesai kubunuh, muncul sauda-
ra-saudara seperguruan pemuda itu. Ru-
panya dia pergi bersama-sama saudara-
saudaranya. Mereka menanyaiku. Dan kujawab, dewa tua pengantuk yang
melakukannya! Ah, sudahlah. Sekarang, kita jalankan
permainan yang baru. Yang akan sampai pa-da Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.
Kalian berdua, tunggulah kematian ka-
lian!" *** Madewa manggut-manggut mendengar pe-
nuturan istrinya mengenai kedatangan
orang dari Dewi Cantik Penyebar Maut.
la bersyukur sekali, karena istrinya
mampu menghalau serangan itu. Yang lebih penting lagi, Pranata Kumala tidak
kurang suatu apa.
"Sebenarnya siapa Dewi sesat itu, Kakang?" tanya Ratih Ningrum pada suaminya
yang masih duduk termenung.
Madewa menggeleng. Menatap istrinya.
"Aku tidak tahu. Nama itu baru muncul dan mendadak menjadi sangat besar. Begitu
menakutkan dan menghantui setiap perasaan. Seolah dewi sesat itu berada di
setiap urat nadi kita. Dan kedatangan dewi sesat itu akan berurusan dengan
raja." "Apa maksudmu, Kakang?"
"Kota raja diserang oleh beberapa orang wanita muda berpakaian merah. Mendengar
ceritamu tadi, anak buah dewi sesat itu berpakaian berwarna merah. Siapa lagi
yang memakai pakaian demikian yang menyerang kota raja kalau bukan mereka"
Dan mereka menyebutkan namaku sebagai
pemimpin mereka, yang akan menggulingkan raja. Bupati Wrahatnala memanggilku
sehubungan dengan peristiwa itu. Dia meminta keterangan dan pertanggung
jawabanku, sebelum diajukan kepada Raja.
Kini aku tahu, siapa yang membuat
onar itu. Anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut!" Madewa menyebut nama itu dengan
geram. Ratih Ningrum terdiam. Rupanya masa-
lah itu. Dewi maut itu lebih dulu telah mencemarkan nama baik suaminya dan
berniat ingin membunuhnya.
"Lalu apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Ratih Ningrum cemas. Sebagai
istri dia patut cemas, karena semua itu demi keselamatan , suaminya.
Bahkan keluarganya!
Diliriknya Pranata yang tertidur pu-
las. Malas semakin larut. Entah kenapa Ratih Ningrum merasakan itu sebagai
detik-detik yang mencemaskan.
Dadanya pun berdebar keras. Tetapi
karena dilihatnya suaminya tenang saja, dia pun berusaha tenang.
Madewa menghela nafas panjang.
"Entahlah, yang pasti, aku akan menentang perbuatan Dewi Cantik Penyebar Maut
itu! Padahal aku masih ada urusan dengan Tuan Abindamanyu."
Ratih Ningrum terdiam. Dia mengenal
Tuan Abindamanyu itu, walaupun sampai
saat ini rupa orang itu belum pernah dilihatnya,
Ratih Ningrum tahu dari cerita sua-
minya. Dan Abindamanyu adalah orang tua Nindia, gadis yang dulu diselamatkan
sua- minya dari tangan Wirapati. Ratih Ningrum pun ikut membantu, ketika dia masih
menyamar sebagai Adi Permana yang bergelar Walet Putih dari Utara (baca : Dendam
Orang-orang Gagah)
Ratih Ningrum juga tahu, apa urusan
suaminya dengan Abindamanyu. Mempertanggung jawabkan keselamatan putrinya yang
bernama Nindia.
"Lalu apa yang hendak kau lakukan, Kakang?"
"Tak ada jalan lain, Rayi. Aku harus menjelaskan semua ini padanya. Selama
enam tahun ini, aku tidak mendengar kabar di mana putri Nindia berada."
"Dan bagaimana dengan orang-orang de-wi sesat itu?"
"Aku pun punya urusan, yang tidak langsung melibatkan dirimu dan Pranata."
"Kenapa, Kakang?"
"Aku yakin, orang-orang itu masih penasaran sebelum membunuhmu. Dan herannya,
sampai saat ini aku belum menemukan motif yang sesungguhnya dari dewi sesat itu.
Dia benar-benar datang untuk menyebarkan maut. Siapa saja yang melawannya pasti
dibunuh. Bahkan, yang tak mengenalnya pun dibunuh tanpa kesalahan sedikit pun!"
"Benar-benar orang yang kejam dia itu. Tetapi Kakang, aku tak akan mundur
sedetik pun menghadapinya. Untukmu, untuk keluarga kita, aku rela berkorban,
walau sesungguhnya aku pun tidak tahu apa motif dia sebenarnya,
Madewa menatap istrinya lama-lama.
Istrinya adalah seorang anak hartawan, anak orang yang berada. Tetapi kini, hi-
dupnya bagai diburu teror yang mena-
kutkan. Digenggamnya tangan istrinya.
"Ratih... maafkan aku, karena hidup bersamaku kau selalu ditimpa kesusa-han...."
Ratih Ningrum balas menatap. Terse-
nyum. "Tidak Kakang, aku tidak menyesal hidup bersamamu. Aku malah bangga menjadi
istri seorang pendekar yang sanggup membela kaum yang lemah dan menentang


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejahatan. Aku bangga, Kakang. Aku... cinta padamu...."
Madewa tersenyum. Genggamannya sema-
kin erat. "Kita harus bersiap, Ratih."
"Saya siap, Kakang!" sahut Ratih Ningrum mantap.
"Kau siap kalau aku tinggal beberapa lama?" Ratih Ningrum menatap suaminya penuh
selidik- "Kau hendak kemana, Kakang?"
"Kau sudah lupa, Rayi. Aku masih ada tugas untuk menyelesaikan urusan dengan
Abindamanyu. Kurasa saat inilah yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu...."
Ratih Ningrum terdiam, lalu mengge-
leng. "Kau lupa, Kakang.... Kalau nyawa ka-mi terancam oleh orang-orang dewi sesat
itu?" "Itulah persoalannya sekarang. Aku bingung hendak bagaimana...."
Suasana hening. Kedua suami istri itu
terdiam. Tahu-tahu Ratih Ningrum menepuk bahu suaminya. Wajahnya riang.
"Kakang... bagaimana kalau aku ikut bersamamu" Juga anak kita Pranata. Dia pasti
senang kita pergi berjalan-jalan.
Anggaplah kita sedang bertamasya. Bagaimana, Kakang" Kau setuju dengan usul
itu?" Mata Madewa Gumilang terbuka. Suatu
usul yang bagus. Dia jelas setuju.
Madewa mengangguk.
"Usul itu sebenarnya sudah ada di be-nakku. Tapi aku takut mengemukakannya."
"Kenapa?"
"Kau anak orang kaya, Rayi. Ikut den-ganku, kesengsaraan akan turut bersamamu.
Maksudku tadi, aku hendak mengirimkan kau dan Pranata ke tempat tinggalmu di
desa asalmu. Jatiberingin. Di sana kau akan aman bersama tiga pengawal setia
ayah-mu... yang sekaligus adalah guru-
gurumu...."
"Tidak," potong Ratih Ningrum tegas.
"Aku akan tetap ikut bersamamu, Kakang.
Biar bagaimana nasib yang aku terima,
bersamamu aku akan selalu senang. Izinkan aku ikut, Kakang" Juga Pranata.
Izinkan aku, Kakang."
Madewa tersenyum. Mengecup dahi is-
trinya. "Aku akan membawa kalian serta. Kalian adalah harta dan benda kesayanganku.
Orang-orang yang sangat kukasihi hidup dan mati Lahir dan batin". bisik Madewa
lembut di telinga istrinya.
Istrinya merebahkan tubuhnya didada
suaminya. Ratih Ningrum merasakan detak jantung suaminya yang teratur.
Dia pun mengasihi suaminya. Suaminya
yang dulu hanya merupakan seorang pengawal pribadinya (baca : Pedang Pusaka Dewa
Matahari) Kali ini, selama enam tahun mereka
menempati rumah mungil itu, besok atau mungkin lusa, mereka akan meninggalkan-
nya. *** 5 Keesokan harinya, sebelum matahari
sepenggalah, Madewa Gumilang, Ratih Ningrum dan anak mereka, Pranata Kumala, su-
dah meninggalkan rumah mungil itu. Mereka hanya membawa barang-barang yang
ringan-ringan saja.
Ratih Ningrum agak sedih meninggalkan
rumah yang sudah enam tahun mereka tempati. Perasaannya amat sayang dengan rumah
itu. Tetapi keadaan begitu mendesak, tak ada jalan lain. Mereka memang harus
meninggalkan tempat itu!
Meninggalkan rumah mungil itu.
Hanya Pranata Kumala yang nampak gem-
bira. Dia senang ayah dan ibunya menga-jaknya jalan-jalan. Dia tidak tahu,
padahal setiap saat maut siap menerjang mereka.
Dan mencabut nyawa mereka!
Desa tempat tinggal Abindamanyu begi-
tu jauh dengan desa Renggih. Jaraknya bagaikan ribuan mil.
Ketika tiba di penginapan pertama,
Madewa membeli dua ekor kuda. Dan kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini agak
lumayan. Ditempuh dengan kuda sepertinya menghemat waktu.
Ketika melewati sebuah hutan kecil
tiba-tiba di hadapan mereka, muncul delapan orang berpakaian kerajaan. Mereka
menghadang dengan sikap mereka yang buas dan marah. Masing-masing memegang
senjata. Madewa menghentikan laju kudanya. Dan
menyuruh istrinya menjajari kudanya. Se-
mentara Pranata Kumala jengkel, karena ibunya menghentikan laju kudanya.
Madewa melompat turun. Menghadapi
orang-orang itu.
"Ada apa kiranya orang-orang kerajaan menghadang perjalanan kami?" tanyanya
setelah menjura.
"Hhh!" mendengus salah seorang dari mereka, yang nampaknya pemimpin orang-orang
itu. "Rupanya kau berada di sini, Madewa! Hampir satu hari satu malam kami
mencarimu!"
Madewa merasa, ini ada persoalan yang
gawat. Sikap pengawal kerajaan itu tidak bersahabat. Nada suaranya menyentak dan menjengkelkan. Menandakan dia sedang dalam puncak
kemarahan. Entah apa sebabnya.
"Ada persoalan apakah kalian mencari-ku?" tanya Madewa tetap dengan sikap sopan.
"Jangan banyak cakap, Madewa! Kami diperintahkan untuk segera menangkapmu".
"Hei, ada persoalan apa gerangan"!"
seru Madewa terkejut. Juga istrinya yang mendadak bersiap. Sepasang pedang di
punggung Ratih Ningrum menjadikan wanita itu nampak kehebatan dan kepandaiannya.
"Hhh, kau berpura-pura, Madewa! Rupanya kecurigaan Bupati terhadapmu memang
beralasan...."
"Tunggu Saudara... ada apa gerangan?"
potong Madewa bingung.
"Baik, walau aku tahu tak ada gunanya memberitahumu. Karena kau sendiri yang
menjalankan aksi pembunuhan itu!"
"Pembunuhan"!" Madewa terbelalak, Ratih Ningrum pun terkejut. Orang itu tertawa
sinis. "Yah... kau telah menyerang rumah Bupati Wrahatnala karena dendam dipanggil
kemarin. Kini Bupati menugaskan kami untuk menangkapmu!" Orang itu mengangkat
tangannya ke atas. Mendadak dengan serentak yang lain mempersiapkan senjata
mereka masing-masing. Mengambil sikap siap tempur. "Madewa... kami tidak
Menginginkan adanya pertumpahan darah. Untuk itu kami minta, kau mengaku dengan
sikap ke-satria. Siap menerima hukuman sesuai dengan perbuatanmu! Cepat! Ku
hitung sampai tiga. Satu...!"
Madewa masih terdiam. Dia menduga-
duga siapa yang telah melakukan pembunuhan itu. Pasti orang itu sangat sakti,
karena tokoh-tokoh utama kerajaan mati terbunuh.
Dan lagi-lagi namanya yang dipakai
sebagai kambing hitam!
"Dua...!"
Apa tidak mungkin orang-orang dewi
sesat itu yang memulai terornya" Untuk bertanya pada orang-orang yang sedang
marah itu tidak mungkin. Pikiran mereka
hanya satu, menjalankan perintah.
Dan perintah itu untuk menangkapnya!
Atau membunuhnya.
"Tiga... seraaaang!"
Madewa tersentak. Orang-orang itu se-
gera berterjangan ke depan. Cepat dan
dahsyat diiringi oleh pekikan.
Tersadar Madewa bersalto menghindar.
Ia berseru pada istrinya, "Rayi...
cepat kau menghindar dari tempat ini.'
Cepat, Rayi!"
Ratih Ningrum memutar kudanya. Dan
dari kejauhan melihat suaminya bertempur.
Ada keinginan untuk membantu. Tetapi dia yakin, suaminya mampu menghadapi
mereka. Selain itu, Pranata tidak mau ditinggal sendiri.
Ratih Ningrum hanya memperhatikan
Bagi Madewa Gumilang, menghadapi
orang-orang ini tidak susah. Dengan mudah dia bisa menjatuhkan mereka. Orang-
orang yang tahu hanya pada perintah.
Dan orang-orang yang tak berdosa. Dia
tidak ingin menjatuhkan tangannya pada mereka. Sampai sejauh itu dia hanya
menghindari serangan-serangan mereka. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri,
serangan-serangan itu mampu dielakkan.
Tetapi kalau begini terus, lama kela-
maan tenaganya akan terkuras. Dan pertempuran itu memang percuma.
Tiba-tiba Madewa bersalto, dan dengan
sigap cepat dia menyambar pemimpin kelom-
pok itu. Gerakannya cepat dan penuh per-hitungan.
Melihat pimpinan mereka ditawan,
orang-orang itu bergerak kembali. Madewa bersalto. Mendadak orang-orang itu
menghentikan serangannya kuatir mengenai teman mereka sendiri. Kesempatan itu
digunakan Madewa untuk kembali menyambar pemimpin mereka. Dan menyeretnya agak
jauh. Golok yang dipegang orang itu kini
digenggamnya. Tangannya menelikung di
leher. Dan goloknya mengancam. Siap menebas lehernya.
"Semua berhenti, kalau tidak, orang ini kubunuh!" bentak Madewa. Orang itu
meronta. "Jangan takut, bunuh saja dia! Bunuh saja dia! Aku rela mati untuk kerajaan dan
keadilan!"
"Setan!" Madewa menabok pipi orang itu hingga memerah. Lalu membentak pada
pengawal kerajaan yang lain, yang ingin maju dengan ragu-ragu, "Cepat kalian
pergi dari sini! Katakan kepada raja, kalau bukan aku yang melakukan pembunuhan
itu! Cepat pergi!"
Orang yang ditekuk lehernya itu ber-
seru, "Jangan hiraukan perkataannya, serang dia!"
"Jangan mendekat, kubunuh orang ini!"
bentak Madewa. Goloknya terangkat. Orang-orang yang mau menyerang itu menjadi
ra- gu. Madewa mempergunakan kesempatan itu.
Tangannya dengan cepat menotok orang itu hingga kaku. Dan dia berkelebat dengan
cepat. Menyambut senjata-senjata pengawal yang lain. Gerakannya sukar diikuti
oleh mata. Tahu-tahu mereka merasakan senjata tidak ada lagi di tangan.
Dan di hadapan mereka Madewa Gumilang
sudah menggenggam senjata-senjata itu.
Orang-orang itu terperangah. Sungguh
suatu pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
"Cepat kalian minggat dari sini!"seru Madewa berwibawa. "Katakan kepada Bupati
bukan aku yang melakukan aksi pembunuhan itu! Dan katakan pula, aku akan
membong-kar aksi itu, yang telah mengambing hitamkan namaku! Akan kubongkar
sampai ke akar-akarnya!"
"Madewa! seru salah seorang. "Kami memandang nama besarmu. Dan kami kecewa kau
telah melakukan perbuatan keji itu.
Madewa, kami minta kau secara suka rela menyerahkan diri kepada Bupati untuk
dis-erahkan kepada Raja!"
"Bagaimana mungkin aku menyerahkan diri, kalau bukan aku yang melakukan semua
itu! Kalian memang para pengawal Bupati yang setia, tetapi kalian telah salah
melihat orang! Di belakang semua ini, pasti ada seorang yang membenciku, yang
tega memakai namaku di balik kejahatannya! Untuk itu, secara damai pun kalian
kubiarkan bebas. Dan katakan semua perka-taanku itu kepada Bupati!"
"Orang itu menggeleng. Katanya keras kepala, "Kami tidak akan kembali sebelum
membawamu serta. Kami ingin membaktikan tenaga untuk kerajaan. Biar bagaimana
pun kami tetap akan menyerangmu!".
"Tahan! Jika aku mau dengan mudah nyawa kalian kucabut. Tetapi aku bukanlah
orang yang telengas, yang ringan menjatuhkan tangan! Kita semua salah paham.
Izinkan aku untuk membersihkan nama baik-ku! Kuminta sekali lagi, kalian
tinggalkan tempat ini! Dan sampaikan maafku kepada Bupati Wrahatnala!"
"Tidak!"
"Kau keras kepala, Saudara! Baiklah, aku akan menyerahkan diri secara suka re-
la, tetapi tolong jelaskan... jalannya aksi pembunuhan itu!"
Merasa Madewa mau menyerahkan diri
dengan suka rela, orang itu mulai, bercerita.
Kemarin malam keadaan rumah Bupati
Wrahatnala aman dan damai. Bupati tidak merasa sedikit pun akan adanya serangan
gelap. Apalagi orang yang dituduh Madewa Gumilang, telah berjanji akan menangkap
orang-orang yang membuat keonaran. Dia tidak ingin berita pemberontakan itu sam-
pai kepada Raja. Dia ingin menyelesaikan dulu semua persoalannya.
Walaupun Bupati tidak begitu yakin
akan ucapan Madewa, karena Bupati masih mencurigainya!
Dan menjelang tengah malam, terdengar
pekikan dari pintu gerbang. Serentak seisi rumah terbangun. Dan menemukan orang
yang menjerit tadi. Orang yang telah menemui ajalnya yang sangat mengerikan.
Tubuhnya hancur dan wajahnya tak terbentuk lagi. Tetapi Bupati yakin, itu adalah
salah seorang dari pengawalnya.
Bupati Wrahatnala marah besar melihat
aksi pembunuhan itu. Malam itu juga dia mengadakan rapat, dengan memanggil
pembantu-pembantunya yang terdiri dari pena-sehat dan beberapa orang yang
mempunyai kepandaian silat.
Dalam rapat itu salah seorang yang
bernama Senomurka, seorang ahli silat
berpendapat, "Bupati yang terhormat, jika melihat bentuk tubuh yang hancur itu,
hanya ada satu ilmu yang bisa melumatkan demikian. Dan hanya sekali pukul orang
itu bisa hancur!"
"Hmm... pukulan apa itu, ya ahliku?"
tanya Wrahatnala yang sudah sangat marah sekali.
Senomurka menghela nafas, lalu berka-
ta lambat-lambat.
"Pukulan bayangan sukma."
"Pukulan bayangan sukma?" jerit Wrahatnala terkejut. Bukan dia saja yang
terkejut, beberapa tokoh lain pun terkejut.
Pukulan bayangan sukma, pukulan yang
begitu dahsyat! Dan hanya seorang di dunia ini pemiliknya.
"Apakah Madewa Gumilang yang telah melakukan aksi pembunuhan itu?" gumam
Wrahatnala sangsi.
"Kemungkinan itu bisa saja, Bupati Wrahatnala. Kita semua tahu, hanya Madewa
Gumilang yang memiliki pukulan sakti itu.
Tetapi kita tidak tahu, apa maksudnya
membunuh pengawal kita."
Semua terdiam. Suasana hening. Saling
berpikir menemukan jawaban. Ada pula yang meragukan kebenaran itu, tetapi ada
juga yang mengiyakannya. Termasuk Wrahatnala yang yakin Madewa Gumilang yang
melakukan aksi itu.
"Aku tahu wahai segenap pembantuku,"
kata Wrahatnala kemudian. "Bukankah akhir-akhir ini kita mengetahui, kalau
Madewa Gumilang bermaksud menggulingkan
tahta kerajaan. Tak salah lagi, pasti dia memulai lagi aksinya! Untuk itu kepada
kalian semua... jika bertemu dengan manusia sesat itu, kalian tangkap dan
hadapan kepadaku!"
Semua setuju dengan pendapat Bupati
Wrahatnala. Memang hanya itu satu-satunya
kemungkinan. Dan semua geram dengan Madewa Gumilang, tokoh sakti yang mereka
sangka arif dan bijaksana, tahunya mempunyai niat yang keji dibalik kebaikannya


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Tiba-tiba selarik sinar merah berke-
lebat ke ruang rapat itu. Dan menghantam dinding hingga hancur berantakan.
Semua tersentak. Serangan tersembunyi
yang berbahaya. Untung tidak diarahkan kepada salah seorang di ruangan itu.
Beberapa orang bersalto mendekati Bupati dengan maksud melindunginya. Dan
beberapa orang lagi bersiaga. Rupanya Madewa Gumilang sudah kembali menjalankan
aksinya. Kali ini, langsung kepada Bupati se-
belum menjalankan aksinya kepada Raja.
Tiba-tiba meloncat sesosok tubuh den-
gan ringannya di hadapan mereka. Tubuh itu tertutup pakaian putih-putih, juga
wajahnya. Dilihat dari posturnya, tubuh seorang laki-laki. Dan matanya
memancarkan nafsu membunuh.
Terdengar suara hardikan Senomurka,
"Hmm, siapa sebenarnya, Kisanak" Dan mau apa mengirimkan serangan keji tadi?"
Orang itu terbahak. Dan tahu-tahu me-
nuding kepada Bupati Wrahatnala!
"Kau" Hari ini aku bermaksud mengambil nyawamu. Dan kuminta, dengan baik-
baik, kau mau menyerahkannya kepadaku, kalau tidak, pukulan bayangan sukmaku
akan menghancurkan seisi rumah ini! Kau telah mengganggu kerjaku untuk merebut
tahta kerajaan!"
Diam-diam Wrahatnala terkejut. Puku-
lan bayangan sukma. Kalau begitu dugaannya benar, Madewa Gumilang yang melakukan
semua ini. Dan dengan alasan yang tepat pula!
Wrahatnala menggeram. Melangkah ke
depan. "Tidak semudah itu, Saudara" Tahta kerajaan bukanlah kue yang seenaknya di-bagi
dan berpindah tangan. Dan tak akan pernah ada orang keji macam kau memimpin
kerajaan! Kau mimpi, Saudara! Keinginanmu keinginan yang busuk, yang bersumber
dalam hati yang busuk. Yang menginginkan malapetaka terjadi bukan untuk
kedamaian dan ketentraman. Dan kuminta Saudara,
jangan mengganggu ketenangan daerah ini"
Belum lagi Bupati habis bicara, orang
itu sudah mengibaskan tangannya.
"Aku segan mendengar khotbahmu, Bupati! Kuminta kerja sama kita untuk
menggulingkan kerajaan!" Tahu-tahu selarik sinar merah berkelebat.
Bupati memekik dan bersalto ke samp-
ing. Begitu pula dengan yang berdiri di belakangnya. Serentak pula mereka
bersalto. Sekali lagi sinar merah itu menghancurkan dinding ruang rapat.
"Bangsat!" membentak tokoh yang ber-
pakaian gombrong berwarna hijau. Berambut panjang sampai sebahu. Dengan masih
bersalto dia menyerang orang yang berpakaian putih-putih.
Ganti orang itu berkelit. Sambil ber-
kelit dia mengirimkan serangan jarak
jauhnya. Tokoh yang memakai baju hijau itu
berkelit pula. Dan balas menyerang dihadapkan Bupati dan pembantu-pembantunya,
keduanya saling menyerang. Serangan-serangan yang berbahaya saling dilancarkan.
Pukulan jarak jauh yang berkelebat menambah hebatnya pertempuran.
Tetapi sampai sejauh itu keduanya be-
lum ada yang nampak kelihatan kalah. Keduanya masih dalam keadaan seimbang
Beberapa jurus telah berjalan.
Memasuki jurus ke-21, kelihatan orang
betul pakaian putih-putih itu berada di atas angin. Dial mulai mendesak pembantu
Bupati itu dengan1 serangan-serangan yang mematikan.
Dan tiba-tiba dia membentak seraya
melesat, "Awas serangan!"
Pembantu Bupati itu terkejut. Seran-
gan orang berbaju putih demikian cepatnya. Dan pukulan tangan kanannya tepat
menghantam dadanya hingga muntah darah.
Terdengar jeritan dari seberang,
"Pukulan bayangan sukma!"
Tokoh berbaju hijau itu menemui ajal-
nya dengan tubuh hancur!
Orang berbaju putih-putih itu terba-
hak. "Cepatlah Bupati, sebelum aku telengas menurunkan tangan kepadamu!"
Bupati yang yakin bahwa itu Madewa
Gumilang berseru, "Madewa... tokoh putih seperti kau, ternyata punya pikiran
yang amat hina sekali. Biar bagaimana saktinya kau, aku tetap tidak akan
membantumu menggulingkan kerajaan.
Bahkan aku akan mempertahankannya
sampai titik yang penghabisan."
"Kalau itu permintaanmu, baik. Aku, Madewa Gumilang, telah bersumpah akan
merebut tahta kerajaan darimu. Atau dari siapa pun! Bersiaplah Bupati!"
Belum lagi Bupati memerintahkan pen-
gawalnya menyerang, mereka sudah berkelebat ke depan. Dan mengurung orang yang
mengaku Madewa itu.
Orang berpakaian putih-putih itu te-
nang saja. Sedikit pun tidak kelihatan takut. Malah yang mengurung mereka,
menjadi agak gentar dengan kehebatan dan kesaktian Madewa Gumilang sudah
menembus langit ke tujuh.
Tetapi mereka bukanlah orang-orang
yang penakut dan gentar. Demi kebenaran mereka sanggup membela.
Hikmah Pedang Hijau 10 Kisah Membunuh Naga Yi Tian Tu Long Ji Heaven Sword And Dragon Sabre Karya Jin Yong Pertemuan Di Kotaraja 3
^