Pencarian

Pusaka Hantu Jagal 2

Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal Bagian 2


"Tung... tung... tunggu dulu!" tangan si Tua Usil di hadangkan ke depan
keduanya. Ia bergerak mundur
dengan rasa takut. "Aku bukan... bukan...."
"Hiaaat...!" Walet Gading melompat dengan satu sentakan kaki ringan. Sentakan
ringan itu hasilkan
lompatan cepat dan dada Tua Usil menjadi sasaran te-
lak dari tendangan Walet Gading. Duuhg...!
"Uhg...!" Tua Usil terdorong mundur tiga tindak.
Tapi ia tidak merasakan sesak napas ataupun nyeri
pada dadanya. Sedangkan Walet Gading sendiri Justru
terpental ke belakang bagaikan mendapat serangan
balik dari tenaga dalamnya yang dikerahkan melalui
tendangan kaki kanannya tadi.
Bruuk...! Walet Gading rubuh tak sempat men-
jaga keseimbangannya. Namun ia cepat-cepat berdiri
karena" takut diserang lawan. Ternyata lawannya justru sedang melarikan diri
dengan ketakutan.
"Berhenti kau!" teriak Walet Gading yang segera berlari mengejar Tua Usil. Dalam
hatinya, Walet Gading berkata, "Mengapa ia lari ketakutan" Padahal ia mempunyai
tenaga dalam yang cukup tinggi. Terbukti
tendangan ku dapat dipantul-balikkan dan hampir sa-
ja membuatku celaka"! Ah, persetan dengan ilmunya!
Aku harus bisa menangkapnya dan membalas kema-
tian Guru! Pasti dialah orangnya!"
Tua Usil tak menyadari bahwa larinya lebih ce-
pat dari biasanya. Ia bagai mempunyai tenaga peringan
tubuh yang mampu mempercepat gerakan larinya,
jauh lebih cepat dari apa yang pernah dilakukan dalam
pelarian sebelumnya. Sayangnya, Walet Gading pun
mempunyai ilmu peringan tubuh dengan kecepatan
seimbang, sehingga Tua Usil yang sesekali menengok
ke belakang itu merasa jaraknya semakin dekat den-
gan lawan, dan merasa larinya sama saja dengan pela-
rian sebelumnya. Karena timbul rasa takut di dalam
hatinya, maka Tua Usil berusaha mencari tempat un-
tuk bersembunyi. Maksudnya biar tidak terlalu men-
guras tenaga dan membuat nafas terengah-engah.
Zaaap...! Tua Usil berbelok ke balik pohon be-
sar yang berongga, ia bersembunyi di sana dengan hati
berdebar-debar. Ia tidak menyadari bahwa gerakan
berbelok itu dapat dilakukan dengan patah dan cepat.
Ia hanya berpikir,
"Mengapa nafas ku tidak terlalu ngos-ngosan"
Padahal aku sudah lari sejauh ini"! Apakah sekarang
nafas ku tambah panjang?"
Walet Gading menerabas semak ilalang di de-
pan Tua Usil. Mata Tua Usil melihat jelas, dan hatinya
sedikit tenang karena lawannya bisa terkecoh oleh ge-
rakan sembunyinya.
"Gadis itu pasti sangka akulah pembunuh Ki
Pamungkas! Aku tidak mau dituduh begitu. Aku meni-
kamkan pisau ini hanya karena didesak oleh permo-
honannya sendiri. Bukan atas kemauanku. Kulakukan
itu dengan cara sangat terpaksa! Aku tidak mau men-
gakui sebagai pembunuh Ki Pamungkas. Resi Gutama
itulah pelakunya, sebab tanpa kutikam dengan pisau
pusaka ini, toh Ki Pamungkas akan mati juga!"
Tua Usil bersungut-sungut sambil keluar dari
rongga pohon. Ia segera lari ke arah lain agar tak ber-
temu dengan Walet Gading. Tetapi tiba-tiba sebuah se-
rangan berupa pukulan tenaga dalam tanpa sinar dile-
paskan dari arah belakangnya. Tenaga dalam itu ber-
gerak cepat dan menghadirkan hawa panas.
Wuuut...! Weees...! Tua Usil tiba-tiba sentakkan kakinya
ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas sambil ber-
salto ke belakang satu kali. Kemudian ia mendaratkan
kedua kakinya dengan sigap di tanah tak jauh dari
tempatnya menghindar tadi. Jleeg...!
"Lho... kok bisa begin!"!" pikir Tua Usil. "Aku bisa menghindar dan berguling-
guling di udara satu
kali" Sejak kapan aku bisa melompat dengan gaya se-
perti Nona Lili"!"
Duaar...! Kriiieeett...! Brrruusk...! Sebatang po-
hon tumbang karena terkena pukulan tenaga dalam
yang lolos dari tubuh Tua Usil. Mata lelaki berusia se-
kitar enam puluh tahun itu terbelalak heran.
"Edan! Kalau batang pohon sekokoh itu saja bi-
sa patah dan tumbang terkena hawa panas tadi, apa-
lagi tubuhku. Pasti akan lumer seperti bubur!" pikir-nya dengan ngeri.
"Hadapilah aku, Pengecut!" bentak suara di belakangnya. Tua Usil terlonjak kaget
dan segera ingat
bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang.
Ketika ia berbalik arah, ia makin kaget, karena ternya-
ta yang menyerangnya tadi adalah Walet Gading.
"Wah, dia sudah mulai cabut pedang"!" pikir
Tua Usil dengan cemas. Ia bergerak mundur pelan-
pelan sambil berkata,
"Bukan aku yang membunuh... yang membu-
nuh Ki Pamungkas! Tadi dia bertarung sendiri den-
gan..." "Tutup mulutmu! Tak perlu kau berdalih lagi!"
bentak Walet Gading.
"Ceritanya begini,..."
"Heaaat...!".
Wuuus...! Walet Gading melompat dan cepat
tebaskan pedangnya ke arah leher Tua Usil. Dengan
rasa takut, Tua Usil berteriak,
"Jangan...!" tapi di luar kesadaran tubuhnya
berkelok turun ke bawah dan berputar satu kali, kaki
kanannya terangkat sendiri dan menendang lengan
Walet Gading. Buuuhg...!
Tua Usil kaget melihat hasil tendangan kakinya
dapat membuat tubuh gadis cantik itu terpental dan
membentur pohon dengan keras. Pohon itu bergun-
cang dan sebagian daunnya runtuh.
"Cepat sekali kakiku berkelebat. tadi" Hebat
pula kekuatan tendangan ku, padahal itu kulakukan
dengan tak sengaja. Pasti gadis itu semakin berang
dan... dan tak akan segan-segan lagi membunuhku!
Lari saja kalau mau cari selamat..!"
Setelah berpikir begitu, Tua Usil pun tak mau
hiraukan lagi bagaimana hasib lawannya, ia segera
melarikan diri dengan cepat di luar kemampuan bi-
asanya. Sementara itu, Walet Gading bergegas menge-
jarnya kembali sambil berkata dalam hatinya,
"Tendangan putarnya seperti jurus 'Belalang
Binal'! Hanya murid-murid Perguruan Gerbang Bumi
yang mempunyai jurus 'Belalang Binal'. Tap! mengapa
orang itu bisa memiliki jurus 'Belalang Binal'" Apakah
dia bekas muridnya Ki Pamungkas juga" Aku jadi
tambah penasaran! Bagaimanapun juga aku harus bi-
sa menangkap dan mengorek keterangan darinya!"
Walet Gading menjadi sangat penasaran. Ia se-
gera mengambil arah potong jalan. Sampai akhirnya ia
berhasil menghadang langkah Tua Usil di tanah lapang
yang dulunya bekas rawa-rawa namun sekarang su-
dah kering dan memadat.
"Kau tak akan bisa lolos dari ancaman maut
ku, Pengecut!" sentak Walet Gading dengan mata tajam memandang Tua Usil. Yang
dipandang menjadi salah
tingkah dan serba bingung.
"Ku mohon... ku mohon padamu...." Tua Usil
gelagapan karena gugup. Bahkan untuk lanjutkan
ucapannya sudah tak mampu, karena Walet Gading
mendekatinya dengan pedang tetap terhunus dan siap
tebas. "Siapa kau sebenarnya! Mengakulah, Pengecut!"
gertak Walet Gading.
"Ak... aku... aku Pancasona. Eh... anu... aku si
Tua Usil, pelayannya Nona Lili. Ak... aku...! Ya, aku itu tadi yang kukatakan.
Hmmm, kuharap... kuharap kau
tidak marah padaku, Nona Cantik...!" Tua Usil menco-ba tersenyum, namun karena
disertai rasa takut hing-
ga senyuman itu berkesan sinis, membuat Walet Gad-
ing makin merasa bermusuhan.
"Kau punya hubungan apa dengan guruku, Ki
Pamungkas itu"! Katakan sejelasnya!" bentak Walet
Gading. '"Tid... tidak ada hubungan apa-apa. Ak... aku cuma kenal sama dia
karena dia tokoh sakti di rimba
persilatan. Ak... aku...."
"Kau murid lamanya"!"
"O, tidak! Sumpah, aku bukan muridnya! Sum-
pah serapah pun berani!" Tua Usil mencoba meyakin-
kan sampai angkat kedua jarinya ke atas.
"Dari mana kau kuasai jurus 'Belalang Binal'
itu"!" "Dari... eh, jurus apa kau bilang tadi"!" Tua Usil berkerut dahi dan
merasa asing dengan nama jurus
tersebut. Walet Gading tak mau mengulang pertanyaan-
nya, hanya sunggingkan senyum sinis sambil memba-
tin, "Agaknya kalau tidak ku paksa orang itu tak
mau sebutkan siapa dirinya! Sebaiknya ku coba untuk
menyerangnya supaya aku tahu persis bagaimana se-
harusnya aku bersikap kepadanya!"
Walet Gading membuka jurus pedang yang ba-
ru dengan mengelebatkan pedang gadingnya itu. Tua
Usil menjadi kebingungan dan takut. Ia melangkah
mundur dan mencari tempat berlindung. Tapi pohon
yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung itu
cukup jauh dari tempatnya berdiri. Tua Usil pun hanya
bisa berjaga-jaga untuk hindari serangan sebisa-
bisanya sambil mulutnya menceracau tak karuan,
"Jangan bunuh aku...! Sungguh, aku belum
kepingin mati, Nona. Kasihanilah aku. Tahan amarah
mu...! Kau pasti salah duga...! Tolong, jangan bunuh
aku! Setua ini aku belum pernah kawin, jangan dulu
kau bunuh aku...! Tolong, Nona! Tolong...!"
"Hiaaat...!"
Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut...!
Walet Gading lepaskan jurus pedang yang me-
nebas dengan cepat dan bertubi-tubi dari berbagai
arah. Sulit diikuti oleh pandangan mata. Tetapi Tua
Usil tiba-tiba menjatuhkan diri dan berguling maju, la-
lu dengan cepat ia mencakar kaki Walet Gading den-
gan gerakan cepat sekali. Crak, crak, crak...! Yang te-
rakhir ia gunakan punggungnya untuk bertumpu di
tanah, sehingga kakinya mampu menendang tinggi
dengan sentakan kuat. Tepat mengenai siku Walet
Gading. Plaaak..!
Wees...! Pedang Walet Gading sempat terpental
lepas. Namun segera ditangkap oleh gadis itu dengan
bersalto mundur dua kali. Taab...! Pedang itu
kembali di tangan Walet Gading, tapi gadis itu rasakan
perih di bagian betisnya. Ketika dilihatnya, ternyata
betis itu sudah berdarah akibat cakaran di beberapa
tempat. "Jurus 'Gagak Sekarat'!" gumamnya dalam geram. Ia segera menatap Tua
Usil yang sudah berdiri te-
gak dan siap-siap melarikan diri kembali. Namun Wa-
let Gading berseru,
"Tunggu! Aku ingin tahu siapa yang ajarkan
kamu jurus 'Gagak Sekarat" dan jurus 'Tendangan Topan' tadi"!"
"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil dengan cepat, lalu segera larikan diri lagi
sambil berpikir, "Kenapa aku tadi bisa bergerak seperti itu" Padahal aku hanya
bergerak ngawur saja untuk menutupi rasa takutku"!"
Walet Gading tak hiraukan luka di betisnya. Ia
masih tetap penasaran dan mengejar Tua Usil. Dalam
hati Walet Gading sempat berkata,
"Hanya beberapa murid saja yang mendapat ju-
rus 'Tendangan Topan' dan 'Gagak Sekarat'! Murid-
murid terpilih itu hanya ada empat orang, dan jurus
'Gagak Sekarat' merupakan jurus ciri bagi murid-
murid yang mempunyai tingkatan tinggi dan sejajar.
Termasuk diriku, dan ketiga temanku itu. Tapi menga-
pa orang tua itu mempunyai jurus 'Gagak Sekarat'"
Siapa dia sebenarnya"! Aku semakin curiga padanya!"
Usaha mengejar Tua Usil itu tiada habisnya,
karena tingkat kepenasaran Walet Gading semakin
tinggi. Tanpa disadari olehnya, pengejaran itu diketa-
hui oleh seseorang yang sedang melayang terbang di
angkasa bersama seekor burung rajawali putih.
Gadis cantik berpakaian merah jambu dengan
jubah tipis warna putih menunggang seekor burung
rajawali besar berbulu putih. Gadis cantik berselem-
pang pedang perak di punggungnya itu tak lain adalah
Lili; si Pendekar Rajawali Putih yang memang sedang
mencari-cari Tua Usil untuk suatu keperluan. Maka
begitu ia melihat Tua Usil berlari dalam pengejaran
seorang gadis yang belum dikenalnya, mulut Lili pun
segera keluarkan perintah kepada burung rajawali be-
sar itu, "Putih, hadang gadis yang mengejar Tua Usil itu!" "Keakk." jawab burung
betina itu dengan suara pelan, lalu ia segera bergerak menukik ke arah Walet
Gading. Pada waktu itu, Walet Gading ingin lepaskan
pukulan jarak jauhnya untuk menahan pelarian si Tua
Usil. Tetapi, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara bu-
rung rajawali putih yang berteriak keras-keras meme-
kakkan telinga.
"Keaaakkk...! Keaaak..!"
Wuuut...! Plook...! Wajah Walet Gading bagai-
kan ditampar oleh kaki burung besar yang menguncup
itu. Andai kaki itu tidak menguncup, wajah Walet Gad-
ing yang terperangah kaget itu pasti akan robek dis-
ambar cakar rajawali yang mirip mata pedang itu.
Pukulan itu membuat Walet Gading terpental
dari jatuh dengan sangat kerasnya. Sementara itu, bu-
rung rajawali putih itu melayang rendah ke arah Tua
Usil. Lelaki itu berhenti ketika mendengar suara teria-
kan burung yang cukup membuat telinganya budek
itu. Tapi ia segera tersenyum lega melihat Lili ada di


Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas punggung burung betina itu.
"Nona Li...! Tolong saya...! Gadis itu mau bunuh
saya, Nona Li!"
Burung besar berhenti dengan kedua sayapnya
masih sedikit terentang walau tak lebar. Lili melompat
turun dari punggung rajawali dan sebentar kemudian
sudah bersama-sama Tua Usil. Sedangkan Walet Gad-
ing segera bangkit dan hendak menghamburkan puku-
lan jarak jauhnya secara bertubi-tubi ke arah Tua Usil
dan Pendekar Rajawali Putih. Namun tiba-tiba burung
besar itu melompat di depan Lili, sayapnya dibentang-
kan kian lebar, lalu dikepakkan satu kali. Wuuut...!
Angin besar timbul seketika itu bagaikan badai. Tubuh
Walet Gading terhempas terpelanting ke belakang dan
berjungkir balik beberapa kali. Tiga pohon tumbang
seketika karena hempasan kepak sayap burung yang
mempunyai tenaga cukup kuat dan berbahaya itu.
"Putih...!" seru Lili. "Menyingkirlah, biar kuha-dapi gadis itu!"
"Kaaakk...!" burung itu memekik bagai tak mau menyingkir dan ingin hadapi Walet
Gading. Lili menghardik dengan suara lebih keras lagi,
"Putih...!"
Wuuuk, wuuuk, wuuuk...! Burung itu terbang
ke arah samping dan membiarkan Walet Gading bang-
kit, lalu menghampiri lawannya dengan pedang sudah
sejak tadi dimasukkan ke sarungnya. Langkahnya cu-
kup tegap dan tampak memar biru pada bagian tulang
pipinya akibat hantaman kaki burung.
"Mengapa kau diburu olehnya?" tanya Lili ke-
pada Tua Usil. "Saya... saya disangka membunuh gurunya,
Nona LI. Padahal saya tiba di situ, gurunya sudah se-
karat akibat bertarung dengan lawannya. Lalu, gu-
runya minta supaya saya mempercepat kematiannya,
agar tak terlalu menderita lama-lama. Saya menolak,
tapi gurunya memaksa terus, akhirnya saya mengikuti
sarannya, menusukkan pisau ke jantungnya!"
Tua Usil seperti anak kecil yang mengadukan
peristiwa itu dan merasa dirinya tak bersalah. Lili tidak memandang Tua Usil,
melainkan memperhatikan langkah Walet Gading yang tampak ingin berhadapan den-
gan Tua Usil untuk membalas dendam. Maka, dengan
tenang Lili pun berkata kepada Tua Usil,
"Biar kutangani dia."
"Terima kasih, Nona Li!" Tua Usil semakin lega hatinya.
Dalam jarak lima langkah, Walet Gading ber-
henti di depan Lili. Matanya jelas memancarkan per-
musuhan, Lili sendiri tidak kalah tajam memandang-
nya, bahkan lebih berkesan dingin bagaikan gunung
es. "Apa urusanmu denganku sehingga kau berani
mencampuri persoalanku dengan tua bangka itu,
hah"!" Walet Gading menghardik, menampakkan kebe-
raniannya. Lili tetap tenang, tanpa senyum sedikit
pun, dan berkata dengan nada dingin,
"Kalau kau ingin membunuh pelayanku ini,
kau harus berurusan dulu denganku!"
"Kau memang patut diberi pelajaran, Gadis
Edan! Heiaaah...!"
Walet Gading melompat sambil kibaskan kaki
menendang wajah Lili. Tetapi dengan tangkas tangan
Lili bergerak cepat menghantam kaki itu dalam gera-
kan jari menguncup dan dilakukan secara berkali-kali.
Tub, tub, tub, tub...! Plook...! Punggung tangan
Lili menyentak bagai sayap burung rajawali mengibas.
Pukulan itu mengenai dagu Walet Gading. Gadis itu
kembali terpental dan jatuh dengan sekujur tubuh te-
rasa lemas. Kaki yang dipakai menendang terasa re-
muk tulang keringnya. Dagunya terasa pecah, hingga
giginya sempat merobek salah satu bibirnya. Bibir itu
pun berdarah walau hanya sedikit.
"Edan! Jurus apa yang digunakannya tadi" pi-
kir Walet Gading. "Semua uratku terasa putus! Celaka!
Tak mungkin aku bisa melawannya dalam keadaan se-
perti ini! Aku harus bisa melarikan diri!"
* * * 5 SEKALIPUN sebenarnya Lili dapat kejar Walet
Gading dengan mudah, tapi hal itu tidak mau di laku-
kannya. Ia biarkan Walet Gading pergi dengan terseok-
seok kaki kanannya. Bahkan ketika Walet Gading lon-
tarkan kata-kata ancaman,
"Suatu saat aku akan temui kau dan membala-
si luka-lukaku ini!"
Pendekar Rajawali Putih hanya tersenyum si-
nis. Tapi suara tawa Tua Usil yang terkekeh dalam
kemenangannya membuat Walet Gading menjadi se-
makin jengkel. Hanya saja ia tak berani melampiaskan
kemarahan yang sudah membara di dadanya. Ia beru-
saha pergi ke tempat di mana ia temukan jenazah gu-
runya; Ki Pamungkas. "Lain kali jangan coba-coba me-nolong orang sekarat!" kata
Lili kepada Tua Usil. "Kalau tak bisa sembuhkan, lebih baik doakan saja. Jan-
gan mempercepat kematiannya!" "Baik, Nona Li. Soal-
nya...." "Ya sudah. Semuanya sudah telanjur. Yang penting sekarang cari Tuan
Yo." "Tuan Yo..."! Apakah Tuan Yo hilang?" "Sejak pulang dari ziarah ke makam Eyang
Guru Dewa Geledek, aku belum sempat jumpa dia! Mungkin... mung-
kin dia sedang mencari gadis lain buat bermesraan!"
Lili mulai bersungut-sungut cemberut.
"He, he, he...! Itu tak mungkin, Nona Li! Tuan
Yo tak mungkin bermesraan dengan gadis lain, sebab
Tuan Yo sangat cinta sama Nona Li. Kalau tak percaya,
tanyakan saja pada..."
"Kamu tak perlu membelanya!" sentak Lili. "Aku lebih tahu daripada kamu! Yang
penting sekarang, cari
dia sampai ketemu!"
"Baik, Nona Li!" jawab Tua Usil dengan sikap
patuhnya. "Suruh dia temu! aku di tempat kediaman Resi
Gumarang. Kami ingin bicarakan tentang perkawinan
kami dengan Resi Gumarang!"
"Naaah... itu lebih baik, Nona Li! Lebih cepat le-
bih dapat ikannya!"
"Kau pikir kami mau pergi memancing"!" sen-
tak Lili dengan mata mendelik. Lalu, ia melangkah
mendekati burung rajawalinya. Tua Usil menyertainya
dari belakang sambil berkata,
"Apakah Tuan Yo sudah tahu tempat kediaman
Resi Gumarang itu?"
"Dia sudah pernah ke sana bersama kekasih
gelapnya; Kencana Ratih!" (Dalam episode: "Bunga Pe-nyebar Maut'). Pada saat
Lili berkata begitu, Tua Usil
hanya cengar-cengir menahan geli, sebab dia tahu ma-
jikan cantiknya itu amat pencemburu. Ia sering mera-
sa geli jika melihat Lili melontarkan kata-kata bernada cemburu, karena Tua Usil
tahu di balik kecemburuan
itu pasti tersimpan cinta yang begitu indah dan begitu
dalam. Ketika Lili sudah berada di punggung rajawali
putih, Tua Usil sempat berseru, "Bagaimana kalau
saya gagal temui Tuan Yo?"
"Aku tak akan pulang sebelum Yoga datang ke
sana! Pokoknya cari dia sampai ketemu, karena aku
sudah capek mencarinya sejak beberapa hari yang la-
lu!" "Baik, akan saya lakukan tugas itu, Nona Li.
Yang penting, jangan lupa... he, he, he, he...! Nona harus ajarkan kepada saya
cara berdiri di atas ilalang!"
Dengan menuding tegas, Lili berkata, "Selesai perkawinan ku, kau kuangkat
menjadi muridku!"
"Yihuuu...!" Tua Usil berteriak kegirangan. Ia melonjak-lonjak seperti anak
kecil mendengar janji itu.
Tanpa disadari burung besar itu segera berkelebat ter-
bang. Sayapnya menghempas, dan anginnya membuat
tubuh Tua Usil terpelanting serta jatuh berguling-
guling. Nafasnya sempat gelagapan karena jaraknya
dengan sayap cukup dekat.
Tua Usil meraup wajahnya sendiri sambil men-
dongak memandang kepergian Lili bersama rajawali
betinanya itu. Ia menggerutu pelan,
"Kurang ajar! Wajah orang tua dikipas pakai
sayap sebesar itu! Untung lubang hidungku agak le-
bar, jadi tidak tersumbat angin sepenuhnya...!"
Langkah Tua Usil pun mulai santai, tidak me-
rasa diburu oleh bahaya yang mengejarnya. Tua Usil
tidak tahu bahwa segala gerak-geriknya sejak tadi di-
ikuti oleh seseorang dari tempat persembunyian. Bah-
kan sejak Tua Usil bicara dengan Ki Pamungkas, yang
kemudian menancapkan pisau Pusaka Hantu Jagal
itu, orang tersebut mencuri dengar segala macam
pembicaraan tersebut dari tempat yang amat tersem-
bunyi namun cukup dekat jaraknya.
Orang itu kehilangan arah sejak Tua Usil berla-
ri dikejar oleh Walet Gading. Dan orang itu kembali
temukan Tua Usil ketika Tua Usil bicara dengan Lili
dan Walet Gading telah pergi. Kini orang itu sengaja
membiarkan Tua Usil menjauhinya. Setelah beberapa
saat, barulah ia berlari mengejar Tua Usil dengan na-
pas terengah-engah.
"Tua Usil...!" teriak orang itu. "Tua Usil...! Hoi, tunggu!"
Mendengar seruan orang di kejauhan, Tua Usil
hentikan langkah dan segera memandang ke belakang.
Dahinya sedikit berkerut, matanya sedikit menyipit un-
tuk menangkap pandangan jelas siapa orang yang ber-
lari ke arahnya itu. Setelah orang itu lebih dekat lagi, Tua Usil pun segera
mengenalinya dan berkata sendiri,
"Hmm...! Raja Tipu"! Mau apa dia memanggil
dan mengejarku" Kelihatannya dia sangat terburu-
buru. Ada hal penting apakah yang dibawanya?"
Tua Usil membiarkan lelaki berpakaian abu-
abu berikat kepala kuning yang dikenal dengan julu-
kan Raja Tipu. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh
tahun dengan badan sedikit gemuk dan tergolong pen-
dek, (Untuk mengetahui siapa lelaki itu, baca serial
Jodoh Rajawali dalam episode; "Pedang Jimat La-
nang"). Wajah Raja Tipu tampak tegang, ini memang
dibuat begitu supaya apa yang dikatakan nanti akan
dipercaya oleh Tua Usil. Sementara itu, Tua Usil sendi-
ri memandang dengan tenang walau dahinya tetap
berkerut menyimpan keheranan.
"Ada perlu pentingkah kau, menemui ku, Raja
Tipu?" "Ya. Penting sekali!" jawab Raja Tipu di sela nafasnya yang masih ngos-
ngosan itu. "Tuan Yo ditang-
kap oleh musuhnya!"
"Tuan Yo..."!"Tua Usil kaget dan mulai tegang,
"Dari mana kau mengetahuinya"!"
"Aku melihat Tuan Yo mau disiksa di atas ka-
wah Gunung Sinanjung! Dia ingin diceburkan ke da-
lam kawah itu jika dia tidak serahkan sebuah pusaka
yang bernama Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahhh..."!" Tua Usil semakin tegang, karena ia ingat tentang pisau yang
dinamakan Pusaka Hantu
Jagal. Secara tidak sadar tangannya lekas pegang pi-
sau itu dari luar baju. Mata Raja Tipu melirik ke arah
tangan tersebut, dan ia tahu ada pisau di balik baju
Tua Usil itu. "Aku mencoba mengikutinya terus, tapi akhir-
nya aku tertangkap dan aku dijadikan utusan! Aku ha-
rus menghubungi kau atau Pendekar Rajawali Putih
dan memberitahukan, bahwa Tuan Yo diceburkan ke
dalam kawah Gunung Sinanjung jika sampai esok pagi
tidak ditebus dengan Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Celaka! Kalau begitu aku harus ke puncak
Gunung Sinanjung!"
"Kau tidak akan bisa menyelamatkan Tuan Yo!"
kata Raja Tipu semakin berapi-api. "Kau tidak akan bi-sa membebaskannya, kecuali
kau membawa Pusaka
Hantu Jagal!"
"Aku membawanya! Aku mempunyai pusaka
itu!" kata Tua Usil sedikit ngotot. Tapi ia ragu untuk menunjukkan pisau
tersebut. Raja Tipu segera berkata,
"Jika benar kau mempunyai Pusaka Hantu
Jagal, biarlah kubawa pusaka itu ke puncak Gunung
Sinanjung! Karena akulah yang ditugaskan dan diper-
caya membawa pusaka itu untuk membebaskan Tuan
Yo!" "Kau..."!" Tua Usil menjadi ragu dari semakin
heran. "Apa hubunganmu dengan orang yang menang-
kap Tuan Yo itu?"
"Kami sama-sama tawanan. Hanya bedanya,
aku dibebaskan dengan tugas membawa pusaka terse-
but. Bisa saja aku melarikan diri dan tak mau muncul
lagi, tapi esok pagi Tuan Yo pasti sudah diceburkan ke
kawah Gunung Sinanjung! Aku kasihan padanya!"
"O, ya... terima kasih atas rasa kasihanmu itu.
Tapi..." Tua Usil kembali diliputi kebimbangan dalam ketegangannya. Ia ingat
pesan Ki Pamungkas, bahwa
pisau Pusaka Hantu Jagal jangan sampai jatuh ke tan-
gan orang lain. Apalagi orang sesat. Sedangkan lawan
yang menangkap Tuan Yo itu, pastilah orang sesat
yang ingin berkuasa dengan menggunakan senjata Pu-
saka Hantu Jagal. Tapi jika pusaka itu tidak diserah-
kan, Yoga akan mati mendidih di dalam kawah berapi
itu. "Sudahlah, jangan banyak pertimbangan! Nanti
kedatanganku terlambat," kata Raja Tipu. "Kalau benar pisau pusaka itu ada
padamu, biarlah kubawanya ke
sana sekarang juga, supaya Tuan Yo tidak diceburkan
ke dalam kawah yang mampu melelehkan baja itu!"
Tua Usil masih diam sampai beberapa saat
sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi jeng-
got tipis, hanya terdiri dari beberapa lembar rambut


Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih itu. Lalu, ia berkata kepada Raja Tipu,
"Apakah orang itu menjamin keselamatan Tuan
Yo jika pusaka ini kuserahkan padanya?"
"Sangat menjamin, karena semula ia menyang-
ka Tuan Yo yang punya Pusaka Hantu Jagal. Orang itu
hanya menghendaki pusaka itu saja!"
"Hmm...!"Tua Usil manggut-manggut. "Siapa orang yang menawan Tuan Yo sebenarnya"
Aku jadi penasaran dan ingin tahu?"
"Siapa lagi kalau bukan bekas majikanku; Nyai
Iblis Mata Genit! Orang satu itu memang jahatnya me-
lebihi iblis! Sebenarnya Tuan Yo bisa kalahkan dia ka-
lau saja pedang pusakanya tidak dicuri lebih dulu oleh
anak buah Iblis Mata Genit!" Raja Tipu seakan me-
nampakkan kebenciannya kepada iblis Mata Genit.
Mata Tua Usil pun menyipit benci karena terin-
gat dirinya tersiksa dan nyaris menjadi santapan
buaya piaraan iblis Mata Genit. Mulutnya pun serukan
geram, "Orang itu memang pantas dirajang menjadi se-ratus potong!"
"Kurasa Tuan Yo mampu lakukan itu jika pe-
dangnya sudah dikembalikan! Dengan menukarnya
memakai Pusaka Hantu Jagal, maka pedang dan Tuan
Yo akan di bebaskan. Dan saat itulah kita hancurkan
Iblis Mata Genit bersama-sama! Aku pun ingin sekali
memotong jari-jarinya!"
Pisau pusaka itu dikeluarkan dari balik baju,
dipandangi dengan sorot mata penuh keragu-raguan.
Raja Tipu tak sabar dan mendesaknya sambil berusa-
ha mengambil pisau itu dari tangan Tua Usil,
"Cepatlah! Kasihan kekasih majikanmu itu, se-
bentar lagi mati menjadi bubur di dalam kawah Gu-
nung Sinanjung!"
Tua Usil menarik tangannya, pisau itu tak
sampai terjamah oleh tangan Raja Tipu. Tua Usil cepat
berkata, "Tunggu dulu...! Katamu tadi, Iblis Mata Genit
yang menawan Tuan Yoga..."!"
"Benar! Kau kan tahu sendiri kehebatan ilmu
iblis Mata Genit dan keganasannya terhadap lawan!
Dia sulit diajak damai!"
"Ya, ya... aku tahu," kata Tua Usil sambil me-masukkan kembali pusaka itu di
balik bajunya. Raja
Tipu berkerut dahi melihat pusaka tersebut kembali
dimasukkan oleh Tua usil. Makin heran lagi setelah
melihat Tua Usil tersenyum sinis sambil manggut-
manggut memandanginya.
"Raja Tipu, hampir saja aku terpengaruh oleh
tipuanmu!" katanya.
"Ini bukan tipuan. ini sungguh-sungguh, Tua
Usil. Kalau kau tak percaya, mari datang sendiri ke
Gunung Sinanjung dan melihat seperti apa Tuan Yo
menderita siksaan dan ketegangan. Seluruh wajahnya
telah hancur dihantam Iblis Mata Genit yang tak kenal
kasihan sedikit pun!"
Makin lebar saja senyuman Tua Usil menden-
gar ucapan itu, sehingga Raja Tipu sedikit cemas ja-
dinya. Tua Usil berkata,
"Iblis Mata Genit tidak akan bisa kalahkan
Tuan Yo!" "Siapa bilang" Aku melihat dengan mata kepa-
laku sendiri!" Raja Tipu tetap ngotot.
"Bahkan melawanmu pun sekarang ia tak akan
mampu!" Tua Usil mencibir, merasa punya kemenan-
gan. "Itu anggapanmu! Tapi kenyataannya, ia bisa
mencuri pedang pusaka Tuan Yo dan menghajarnya
hingga babak belur begitu!"
"Omong kosong!"tukas Tua Usil. Ia melengos
sambil mencibir sombong. Katanya lagi,
"Pedang Tuan Yo tidak bisa dicuri oleh siapa
pun. Siapa yang mencuri pedang itu, maka ia akan
mati bunuh diri dengan pedang itu juga! Naaah... kau
belum tahu rahasia pedang pusakanya Tuan Yo, bu-
kan" He, he, he, he...! Kau tak akan bisa menipuku,
Tamboyan!" Raja Tipu yang bernama asli Tamboyan itu sedikit menggeragap. Ia baru
mau berkata sesuatu, ta-pi Tua Usil sudah mendahuluinya bicara,
"Dan lagi, Iblis Mata Genit sudah tidak punya
ilmu lagi! Ilmunya sudah disedot dan hilang dari ra-
ganya sejak ia bertarung melawan Nona Li di depan
para tokoh berilmu tinggi beberapa waktu yang lalu!
Makanya kukatakan tadi, Iblis Mata Genit tak akan
menang jika melawanmu, karena dia sudah kehilangan
semua ilmunya! He, he, he...!" (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger
Perawan Siluman").
Semakin tajam kerutan dahi Raja Tipu, sema-
kin jelas kecemasannya. Ia menggumam di luar kesa-
darannya, "Benarkah Iblis Mata Genit sudah kehilangan ilmunya?"
"Naaah... ketahuan sudah, kau hampir saja
berhasil membohongiku! Untungnya aku ingat tentang
dua hal tadi!"
"Bukan begitu. Aku merasa aneh dengan uca-
pan mu. Kalau benar Iblis Mata Genit sudah kehilan-
gan ilmu, lantas siapa yang menghajar Tuan Yo sampai
wajahnya sehancur itu"!"
"Sudahlah, kau tak perlu lagi berusaha meni-
puku! Kau adalah Raja Tipu, jadi kau kerjanya hanya
menyebarkan tipuan dan kebohongan dengan cara ba-
gaimanapun. Aku tak akan percaya dengan ucapan-
mu!" Raja Tipu masih ngotot juga, "Ini bukan tipuan!
Aku berani angkat sumpah apa saja! Tuan Yo benar-
benar dalam bahaya dan bisa ditebus dengan hanya
menukarnya memakai Pusaka Hantu Jagal!"
"Dan pisau yang kutunjukkan padamu itu tadi
namanya Pusaka Setan Jagal, bukan Pusaka Hantu
Jagal! Weee...!" Tua Usil mencibir lagi.
"Omong kosong! Ki Pamungkas menyebutnya
Pusaka Hantu Jagal!"
"Naaah... ketahuan lagi kau berbohong! Dari
mana kau tahu kalau pusaka ini milik Ki Pamungkas"
Jika kau tahu pusaka ini milik Ki Pamungkas, menga-
pa kau mengejarku untuk mencari pisau ini" tentunya
kalau kau punya niat mau selamatkan Tuan Yo, kau
akan ajak aku temui Ki Pamungkas dan meminta pu-
saka ini untuk menebus Tuan Yo"!"
Raja Tipu tertegun dengan memendam kedong-
kolan. Ia telah salah ucap dengan menyebutkan nama
Ki Pamungkas. Seharusnya ia tak perlu sebutkan na-
ma itu. Ia sendiri telah terpancing oleh tipuan Tua Usil dengan memelesetkan
nama Pusaka Hantu Jagal menjadi Pusaka Setan Jagal. Ia benar-benar tak sadar dan
sangat menyesal telah termakan pancingan Tua Usil
itu. Akhirnya ia berkata terus terang,
"Baiklah. Semua itu memang tipuan ku! Sebe-
narnya aku hanya ingin meminjam Pusaka Hantu Jag-
al itu untuk mengobati saudaraku yang terkena racun
berbahaya. Tak ada obat yang bisa menghilangkan ra-
cun itu, selain melalui pengobatan Pusaka Hantu Jag-
al." "Apa pun alasanmu, aku tidak akan serahkan
pusaka ini kepadamu!" kata Tua Usil dengan tegas.
"Kalau begitu kau membuka permusuhan den-
gan ku, Tua Usil!"
"Aku tidak membuka permusuhan. Aku hanya
tidak akan serahkan pisau ini kepadamu! Kalau kau
menganggapku membuka permusuhan, itu terserah
tanggapanmu sendiri!"
"Kau bisa kehilangan nyawa jika mengajakku
berselisih!"
"Sudah kubilang, aku tidak mengajak siapa
pun berselisih. Aku hanya mempertahankan pusaka
ini agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Mengerti"!"
"Aku tidak mengerti. Aku bisa mengerti setelah
menghajarmu sampai kau mau serahkan pisau itu!
Hiaaat...!"
Raja Tipu akhirnya lepaskan satu tendangan
lurus ke depan, arahkan ke dada Tua Usil. Tapi karena
Tua Usil sudah menyerap ilmu yang semula menjadi
milik Ki Pamungkas, maka Tua Usil secara tak sengaja
membiarkan tendangan itu menghantam dadanya den-
gan telak. Deehg...!
Wuuus...! Gusraaak...!
Tubuh orang yang menendangnya itu justru
terpental tujuh langkah jauhnya, dan jatuh di semak-
semak berduri. Craas...!
"Aaaooh...!" Raja Tipu berteriak kesakitan. Tubuhnya tergores duri-duri tajam,
bahkan banyak yang
menusuk bagian pantat dan punggungnya. Ia menge-
rang kesakitan dengan tangan meraih-raih berusaha
minta tolong untuk ditarik dari semak berduri itu. Te-
tapi Tua Usil justru sibuk merenungi keheranannya
dan berkata dalam hati,
"Mengapa aku tadi tidak menghindar" Mengapa
kudiamkan saja tendangan si Raja Tipu" Dan... aneh-
nya dadaku hanya seperti diterpa sehelai daun kering
tanpa timbul rasa sakit sedikit pun. Aneh sekali. Ke-
napa pula tubuh Raja Tipu terpental sendiri sampai se-
jauh itu" Apakah diam-diam ada orang yang meno-
longku dari tempat persembunyiannya" Wah, jangan-
jangan orang itu Tuan Yoga sendiri" Atau mungkin se-
seorang yang ingin menghendaki pisau pusaka ini
dengan cara berbuat baik dulu padaku"!"
"Hoooii...! Tolong akuuu...! Aku tak bisa berdi-
ri...!" teriak Raja Tipu di sela-sela rintihan sakitnya.
Tua Usil segera sadar akan hal itu, lalu menertawakan
hingga terkekeh-kekeh. Ia melangkah kira-kira empat
langkah, lalu berhenti. Dari sana ia berseru, "Siapa yang suruh kamu bertelur di
situ, hah"! He, he, he...!"
"Tua Usil... tolong aku. Aku tak bisa keluar dari
semak-semak ini karena banyaknya duri! Tolonglah...!
Aku minta maaf atas niat jahat ku tadi. Aku tak akan
mengganggu mu dan tak akan mengincar pusaka itu
lagi! Tolonglah, Tua Usil...!"
"Makanya, jadi orang jangan suka menipu dan
bermaksud jahat, nanti terjerat dengan kejahatanmu
sendiri!" "Iya, iya... aku akan turuti nasihatmu itu, Tua
Usil. Yang penting, cepatlah tolong aku! Semakin aku
bergerak semakin banyak duri yang menghunjam tu-
buhku! Aduuh... mataku hampir kecolok duri!"
"Lolos dari semak berduri saja tak mampu, kok
mau melawanku! Begini caranya lolos dari semak ber-
duri!" Jiuug...! Tua Usil hentakkan kaki kanannya ke tanah, dan tiba-tiba tubuh
Raja Tipu terlonjak terbang
ke atas karena hentakan kaki tersebut. Cruuussr...!
"Aaaa,..!" Raja Tipu menjerit keras-keras bukan karena takut dalam keadaan
terlempar ke atas, namun
karena semakin banyak tubuhnya digores oleh duri-
duri pada saat tubuh itu terlempar ke atas. Repotnya
lagi, ia justru kembali jatuh ke dalam semak duri ter-
sebut. Braaas...!
"Woadoow...!" teriaknya semakin keras. Tubuh-
nya sudah berlumur darah karena dicabik-cabik mata
duri yang rimbun itu. Tua Usil justru terbengong kaget
melihat tubuh Raja Tipu jatuh kembali ke tempat yang
sama dalam keadaan tengkurap.
"Kasihan dia! Malah semakin parah. Seharus-
nya begitu melompat, dia bersalto ke depan atau ke be-
lakang biar tidak jatuh di semak berduri lagi!" gumam Tua Usil sendirian. Maka,
ia kembali hentakkan kakinya ke
tanah. Jleeg...! Wuuut...!
"Lho, kok malah tubuhku sendiri yang naik ke
atas. Waaauw...!"
Biuug...! Tua Usil jatuh terduduk. Anehnya, ia
tak rasakan sakit sedikit pun. Ia menyeringai bukan
karena sakit tapi karena ngeri. Karena jengkelnya, Tua
Usil menghantamkan telapak tangannya ke tanah.
Buuhg...! Kini tubuh Raja Tipu yang terlempar naik
seperti tadi. Brrraast...! "Aaaa,..!" Raja Tipu berteriak kesakitan karena menerabas duri lagi. Tapi pada
saat itu, tangan Tua
Usil menyentak ke depan, dan tubuh Raja Tipu terdo-
rong hingga jatuhnya tidak di semak berduri lagi.
"Gila! Dari mana aku punya tenaga sehebat
ini"!" pikir Tua Usil.
* * * 6 GADIS itu tak bisa menahan air matanya ketika
me lihat jenazah Resi Gutama yang mulai menyebarkan bau busuk itu. Jenazah Resi
Gutama ditemukan secara tidak disengaja: Pada awalnya Yoga-lah yang men-
cium bau busuk itu. Lalu, gadis itu yang tak lain ada-
lah Manis Madu, mempunyai firasat tak enak dan in-
gin mencari bau busuk tersebut. Maka ditemuilah je-
nazah Resi Gutama yang membuat Manis Madu terpe-
kik kaget lalu hamburkan tangisnya dalam pelukan
Yoga. Gadis itu memeluk Yoga di luar kesadarannya.
"Manis Madu..., mengapa kau menangis melihat
jenazah itu" Apakah itu jenazah ayahmu atau kakek-
mu?". "Tidak. Itu adalah jenazah guruku! Resi Gutama!
Oooh... keadaannya sungguh mengerikan! Aku tak tega
mendekatinya. Yoga! Aku tak tega memandanginya!"
ucap Manis Madu di sela tangisnya. Selama dua hari
dalam perjalanannya bersama Yoga, agaknya gadis itu
menjadi semakin akrab. Terlebih setelah ia disela-
matkan oleh Yoga dari luka parah akibat pertarungan-
nya dengan Landak Gamping, hubungan itu terasa
semakin cepat akrab. Ketika Manis Madu siuman, ia
dapatkan dirinya hanya berlapis kain di bagian terten-
tu saja, sementara tangan kanan Yoga masih menem-
pel di punggungnya menyalurkan hawa murni penolak
racun pengering luka. Manis Madu ketika itu h am pir menjerit karena kaget
mengetahui keadaan tubuhnya.


Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Yoga segera jelaskan duduk perkaranya, sehingga
Manis Madu tak jadi marah. kepada pendekar tampan
itu. Bahkan mereka beristirahat di dalam gua tersebut
untuk satu malam. Namun tak sedikit pun Manis Ma-
du menemukan sikap tak sopan dari Pendekar Rajawa-
li Merah. Ia sendiri merasa heran, namun juga malu
pada diri sendiri.
Kini, ketika ia menangis dalam pelukan Yoga,
dianya cepat-cepat beringsut menjauh setelah ia sadari
apa yang ia lakukan; yaitu memeluk pria yang bukan
kekasihnya, namun yang mendebarkan hatinya, Ketika
Yoga menenangkan tangisnya, ketika pendekar tampan
itu berhasil membujuk dukanya, Manis Madu pun se-
gera ucapkan kata,
"Maafkan aku. Aku tak sengaja berbuat kurang
ajar padamu.".
"Dalam hal apa maksudmu?" "Menangis dalam pelukan mu." "Oh, tak perlu dijadikan
masalah. Itu hal yang wajar saja."
"Aku tak tahan memendam rasa kaget dan du-
ka ku melihat guru ku tewas dalam keadaan seperti
itu!" "Ya, aku bisa memaklumi. Hanya saja, kalau benar dia guru mu, berarti kita
telah kehilangan jejak
untuk melacak tentang Pusaka Hantu Jagal itu!"
Sambil sesekali memandang jenazah gurunya
dari kejauhan, karena tak tahan bau busuk jika harus
mendekat, Manis Madu akhirnya berkata lirih,
"Ya. kita telah kehilangan jejak melacak pusaka
itu!" "Selain gurumu, siapa lagi orang yang tahu tentang Pusaka Hantu Jagal
itu?" "Aku tidak tahu! Karena Guru sendiri tidak
pernah singgung-singgung tentang pusaka tersebut!
Kurasa saudara-saudara seperguruanku juga tak ada
yang tahu tentang Pusaka Hantu Jagal. Jadi...."
Manis Madu berhenti bicara karena dadanya
masih sesekali disekap isak tangis yang tersisa. Pende-
kar Rajawali Merah mengawali bicara setelah mereka
sama-sama diam,
"Jadi bagaimana maksudmu?"
"Kita lupakan saja tentang Pusaka Hantu Jagal
itu! tak ada jalan lain untuk mendapatkan keterangan
tentang pusaka itu. Yoga."
"Jika memang itu maumu, aku pun tidak kebe-
ratan! Namun sebaiknya kita urus dulu jenazah guru-
mu itu, setidaknya kita bawa pulang ke perguruanmu.
Biar dimakamkan dengan penghormatan terakhir dari
para muridnya!"
"Lalu, bagaimana jika mereka menanyakan sia-
pa pembunuhnya" Kita tak bisa memberikan keteran-
gan. Karena... kulihat di sini tak ada jejak yang bisa
dipakai sebagai tanda atau ciri-ciri si pembunuhnya!"
Wajar jika mereka tidak tahu siapa pembunuh-
nya, karena mayat Ki Pamungkas rupanya sudah di-
usung pulang ke perguruannya oleh Walet Gading. Ji-
ka di situ masih ada mayat Ki Pamungkas, maka Ma-
nis Madu akan tahu bahwa gurunya tewas karena per-
tarungannya dengan rekan seperguruannya sendiri,
yaitu Ki Pamungkas, yang kini menjadi ketua Pergu-
ruan Gerbang Bumi itu. Tapi karena tak ada mayat di
sana, hanya ada bekas sisa benda-benda terbakar,
maka Manis Madu hanya bisa menduga-duga,
"Lawannya jelas orang berilmu tinggi! Tak
mungkin orang tak berilmu tinggi bisa kalahkan Guru
dengan keadaan seperti itu!"
Yoga menimpali, "Tentunya memang begitu.
Dari alam sekitarnya yang hangus dan berantakan be-
gini, ini sudah menandakan gurumu bertarung mela-
wan musuh yang berilmu setidaknya sejajar dengan
ilmu yang dimilikinya. Bisa jadi lebih tinggi dari il-
munya." Seseorang yang sebenarnya hanya bermaksud
lewat di lereng tak jauh dari tempat itu, tiba-tiba mem-belokkan arahnya dan
menghampiri tempat tergele-
taknya mayat Resi Gutama. Orang itu berpakaian ro-
bek-robek dengan bekas luka tersayat-sayat atau ter-
cabik-cabik. Luka itu belum kering sepenuhnya. Masih
ada yang tampak basah dan lembab oleh darah. Orang
itu tak lain adalah si Raja Tipu, yang sebetulnya ber-
maksud menuju ke Gerojogan Gaib, sebuah air terjun
yang mempunyai khasiat dapat sembuhkan luka da-
lam waktu singkat.
Melihat kehadiran Raja Tipu, Manis Madu ter-
sentak bagai tergugah dendam dan kemarahannya. Ia
segera melompat menyerang Raja Tipu dengan satu
tendangan yang berbahaya. Wuuus...! Untung saja Ra-
ja Tipu tergelincir batu dan jatuh dengan sendirinya.
Jika tidak, maka kepalanya akan menjadi sasaran ten-
dangan kaki maut Manis Madu yang sudah disaluri
tenaga dalam cukup tinggi itu.
"Kau yang membunuh Resi Gutama, guruku
itu, bukan?" bentak Manis Madu yang segera didekati Yoga dan disadarkan dari
kemarahannya. Pada saat
itu Raja Tipu yang sudah menyeringai karena luka-
lukanya terbentur bebatuan itu, berusaha bangkit
dengan rasa takut yang menggetarkan hati.
"Buk.. bukan aku yang membunuhnya, Nona!"
jawab Raja Tipu yang dipandang Manis Madu dengan
sorot mata yang tajam penuh dendam.
"Pasti kau! Pasti kau orangnya! Tubuhmu sam-
pai hancur begitu, pasti karena melawan guruku!"
"Sumpah, Nona! Bukan aku pelakunya!"
Yoga berbisik pelan kepada Manis Madu, "Aku
yakin memang bukan dia. Aku kenal dia. Dia tidak be-
rilmu tinggi, bahkan tidak punya ilmu apapun kecuali
ilmu menipu!"
Pelan-pelan Manis Madu diajak menjauhi Raja
Tipu. Yoga menjelaskan lagi, "Dia dikenal dengan nama Raja Tipu. Dia bekas
pelayannya Iblis Mata Genit, tapi
dia sama sekali bukan orang berarti di rimba persila-
tan ini! Percayalah, bukan dia pelakunya."
"Tapi dia terluka begitu, tersayat-sayat dan...."
"Bisa saja disebabkan karena orang lain. Jan-
gan kau lakukan balas dendam kepada orang lain yang
salah, Manis Madu."
Raja Tipu rupanya punya maksud tersendiri
datang menemui Yoga di tempat itu. Mulanya ia ber-
maksud memberitahu Yoga, bahwa Tua Usil telah me-
lukainya sedemikian rupa dan ia ingin menuntut ganti
rugi berupa sejum1ah uang untuk membayar seorang
tabib yang telah dihubunginya. tetapi mendengar gadis
cantik itu hendak menuntut balas atas kematian gu-
runya, Raja Tipu segera berubah pikiran. Hatinya ber-
kata; "O, rupanya tokoh yang bertarung dengan Ki
Pamungkas ini bernama Resi Gutama, guru dari gadis
cantik itu! Hmmmm... sekarang saatnya aku memba-
laskan sakit hatiku kepada si tua Usil yang telah
mempermainkan diriku di atas semak-semak berduri
tempo hari! Kulihat tadi Tua Usil berjalan di Lembah
Cadas Kuning, Aku tak berani mendekatinya karena
aku tahu dia memegang pisau Pusaka Hantu Jagal."
Manis Madu akhirnya kembali tenang, ia mem-
percayai ucapan Yoga, karena ia yakin, Yoga tak akan
tega membohonginya. Sikap Yoga selama dua hari ber-
samanya menunjukkan sikap seorang kesatria yang
tak mau berbohong, kecuali kepada lawan yang patut
dimusnahkan. Pendekar Rajawali Merah melirik ke arah Raja
Tipu, dan merasa heran melihat Raja Tipu masih ber-
diri ditempatnya. Kemudian, dari tempatnya Yoga ber-
seru: "Kenapa kau tak segera pergi, Raja Tipu" Apakah kau ingin Manis Madu
merubah pikirannya dan
kembali menuduh mu sebagai pembunuh gurunya
itu?" Raja Tipu segera mendekat, dengan hati-hati dan penuh rasa takut yang
dibuat-buat, ia pun berkata: "Jika nona Manis Madu itu ingin tahu siapa pembunuh
Resi Gautama, aku bisa tunjukkan di mana
orangnya sekarang berada!"
Terangkat wajah sendu itu menjadi beringas
kembali. Manis Madu cepat hampir Raja Tipu, men-
cengkeram bajunya yang sudah robek sambil berkata
dalam geram, "Katakan, siapa pembunuhnya dan di mana dia
berada saat ini! Lekas katakan!"
"Pem... pem... pembunuhnya...." Raja Tipu se-
sekali melirik Yoga dengan rasa takut. Hal itu menim-
bulkan rasa ingin tahu begitu besar pada diri Pendekar
Rajawali Merah, sehingga pendekar tampan itu segera
ikut berkata, "Katakan saja, jangan takut!"
"Pembu... pembunuhnya adalah si Tua Usil...,"
"Hah..."!" Yoga terkejut.
Manis Madu heran dan membentak lagi, "Tua
Usil siapa maksudmu"! Seperti apa ciri-cirinya, hah"!"
"Tuan Yoga lebih tahu, Nona. Dan sekarang Tua
Usil ada di Lembah Cadas Kuning, sedang beristirahat
di sana!" "Omong kosong! Tua Usil tidak mungkin bisa
membunuh Resi Gutama!" sentak Yoga dengan sikap
pembelaan terhadap diri Tua Usil.
"Siapa bilang tidak bisa, Tuan Yo" Lihatlah tu-
buhku ini, penuh dengan luka sayat dan cabikan. Ini
juga perbuatan dari Tua Usil," kata Raja Tipu dengan begitu meyakinkan sekali.
Mata gadis itu memandang Yoga yang mulai
cemas dan menjadi salah tingkah sendiri. Kemudian,
Yoga mendekati Raja Tipu dan berkata,
"Kalau Tua Usil melukaimu seperti ini, mung-
kin saja benar. Sebab kau dan dia sama-sama tidak
mempunyai ilmu! Tapi kalau Tua Usil membunuh Resi
Gutama, jelas itu omong kosongmu saja! Bisa-bisa ku-
robek mulutmu yang suka mengumbar kebohongan,
Raja Tipu!"
"Saya tidak berbohong, Tuan Yo! Luka-luka
saya itu memang akibat ulah si Tua Usil!"
"Ya. Tapi bukan berarti Tua Usil membunuh
Resi Gutama!" sentak Yoga hampir terpancing ama-
rahnya. "Kalau Tuan Yo dan Nona Manis Madu tak percaya, ya sudah! Saya akan
pergi mencari tabib yang bi-
sa obati luka-luka saya ini!"
Raja Tipu segera melangkah tinggalkan mereka.
Dalam hatinya merasa cemas, takut kalau Yoga men-
jadi marah dan menghajarnya, sebab ia tahu setinggi
apa ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Merah itu.
Sekali gebrak, Raja Tipu merasa dapat mati dua kali.
Karena itu sebelum kemarahan Yoga tiba, ia harus su-
dah pergi. Setidaknya berita bohongnya sudah berpen-
garuh dalam otak Manis Madu.
Ketika dalam jarak beberapa langkah, Raja Tipu
sempat berhenti karena menemukan gagasan baru.
Dari sana ia berseru,
"Nona...! Sejujurnya kukatakan padamu, Resi
Gutama dibunuh oleh Tua Usil dengan menggunakan
Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahh..."!" Yoga dan Manis Madu sama-sama
terperanjat tegang. Raja Tipu cepat lari tinggalkan me-
reka karena takut dikejar oleh Pendekar Rajawali Me-
rah yang kelihatan semakin berang itu.
Kini tinggal Yoga dan Manis Madu saling berta-
tap pandang. Cukup lama mereka saling bungkam
memikirkan kata-kata Raja Tipu yang menyinggung
tentang Pusaka Hantu Jagal itu.
Beberapa saat kemudian, Yoga lebih dulu ber-
kata, "Jangan percaya dengan fitnah Raja Tipu itu!
Memang begitulah kerjanya setiap hari, menipu dan
menipu." "Tapi dia sebutkan tentang Pusaka Hantu Jag-
al, Yoga?"
"Ya, itu yang ku herankan. Dia tahu tentang
pusaka tersebut. Pasti dia tahu, sebab dia bisa se-
butkan nama pusaka tersebut!"
"Kurasa dia tahu karena dia melihat Tua Usil
membawa pusaka itu! Dia bisa sebutkan karena dia
melihat Tua Usil membunuh guruku dengan Pusaka
Hantu Jagal!"
"Tidak, itu tidak mungkin! Tua Usil hanya seo-
rang pelayan yang tidak punya ilmu apa-apa selain il-
mu merubah dirinya menjadi segumpal kabut. Dulu
kerjanya mengganggu wanita cantik dengan mem-
bungkus tubuh wanita itu memakai ilmu kabutnya,
yang juga berarti memeluk dan menggerayangi tubuh
wanita tersebut. Karenanya kami menamakan dia Tua
Usil. Tak mungkin ia sampai memiliki Pusaka Hantu
Jagal, jika benar pusaka itu milik gurumu!"
Manis Madu tertegun dalam kegelisahan. Yoga
sendiri menjadi semakin resah, karena ia tahu kata-
kata Raja Tipu itu telah berpengaruh dalam otak Manis
Madu dan dipercaya. Karenanya, Pendekar Rajawali
Merah pun segera berkata,
"Manis Madu, percayalah padaku! Bukan Tua
Usil yang membunuh gurumu. Bukan! Aku berani ber-
taruh, potong leherku kalau memang Tua Usil yang
melakukan pembunuhan itu!"
"Aku ingin sekali percaya padamu. Yoga. Tapi
kata-kata dan bukti luka di tubuh Raja Tipu itu lebih
meyakinkan hatiku ketimbang bujukan mu. Kurasa
kau sendiri mungkin sudah mengetahui apa dan ba-
gaimana Pusaka Hantu Jagal tersebut!"
Pendekar Rajawali Merah geleng-geleng kepala.
Tidak, Manis Madu. Aku tidak tahu menahu tentang
pusaka itu. Tapi aku memang ingin tahu. Karena aku
mengajak mu memburu pusaka tersebut untuk mem-
buktikan kebenarannya!"
"Maaf, Yoga. Aku harus pergi ke Lembah Cadas


Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuning untuk temui orang yang bernama Tua Usil itu!
Aku harus bikin perhitungan dengan pelayanmu itu.
Yoga! Kalau kau ingin memihak dia, silakan!'
Tangan Yoga menyambar lengan Manis Madu,
menahannya sambil berkata, "Jangan lakukan kebo-
dohan, Manis Madu! Kalau memang benar dia yang
membunuh gurumu, biar aku yang tangani masalah-
nya!" "Tidak bisa. Yoga," jawab Manis Madu dengan kalem, tapi sebenarnya menahan
ledakan amarah dan
kekecewaan terhadap diri Yoga yang tampak berpihak
membela Tua Usil. "Ini urusan perguruan, dan aku
adalah murid Perguruan Kuil Dewa! Aku harus mem-
balas kematian guruku kepada pelakunya!"
Wuuut...! Manis Madu sentakkan tangannya
hingga lepas dari genggaman Yoga, ia segera pergi ting-
galkan Yoga tanpa peduli seruan Yoga yang melarang-
nya menyerang Tua Usil.
"Manis Madu... dengar dulu penjelasanku! Ma-
nis Madu...!"
Manis Madu berlari cepat dengan hati bergolak
tak menentu. Yoga menghembuskan napas kejengke-
lannya. Ia menggeram sendirian,
"Kurang ajar! Ini semua gara-gara bualan si Ra-
ja Tipu! Kuhancurkan mulutnya jika lain kali aku ber-
temu dengannya! Seenaknya dia memfitnah Tua Usil.
Kurasa ia punya masalah sendiri dengan Tua Usil, se-
hingga meminjam tangan orang lain untuk memba-
laskannya, seperti yang dilakukan pada diriku agar
menyerang Perguruan Tengkorak Emas! Tapi... tapi dia
bisa sebutkan tentang Pusaka Hantu Jagal. Apakah
benar Tua Usil punya pusaka tersebut dan membunuh
Resi Gutama! Setinggi apakah ilmu yang dimiliki Tua
Usil sebenarnya" Jika benar dia mempunyai pusaka
seperti itu, mengapa ketika ditawan Iblis Mata Genit,
Tua Usil hanya bisa melarikan diri sambil menjerit-jerit minta tolong"! Oh, aku
harus segera menyusul Manis
Madu agar tak terjadi peristiwa berdarah sebelum se-
galanya menjadi jelas betul!"
Dengan gunakan jurus 'Langkah Bayu', Pende-
kar Rajawali Merah berkelebat dengan cepat bagaikan
menghilang lenyap dari tempatnya. Apa pun yang ter-
jadi, ia harus mencegah tindakan Manis Madu yang bi-
sa membabi buta karena dendam dan sakit hatinya
melihat sang Guru tewas.
Padahal kala itu Tua Usil memang sedang be-
ristirahat di bawah sebuah pohon rindang, di Lembah
Cadas Kuning. Tetapi ia segera bergegas naik ke atas
pohon tersebut begitu melihat seorang gadis dalam
pengejaran seorang lelaki berpakaian serba putih, ber-
kumis, dan bercambang lebat, bertubuh sedikit ge-
muk, dan mengenakan ikat kepala kain merah berga-
ris-garis hitam. Tua Usil mengenali perempuan yang
dikejar oleh lelaki itu. Perempuan muda dan cantik itu
tak lain adalah Walet Gading, tapi lelaki pengejarnya
tak dikenal oleh Tua Usil.
Lelaki yang mengejar Walet Gading tak lain
adalah Rencong Geni, yang masih tetap berusaha
memburu Pusaka Hantu Jagal sebagai mas kawin un-
tuk melamar Dewi Gita Dara. Setelah gagal memaksa
Manis Madu, ia segera mengalihkan buruannya kepa-
da Walet Gading, sebab Rencong Geni tahu, hanya ada
dua orang yang bisa sebutkan di mana Pusaka Hantu
Jagal itu berada, yaitu Resi Gutama dari Perguruan
Kuil Dewa dan Ki Pamungkas dari Perguruan Gerbang
Bumi. Rupanya sudah beberapa hari ini, Rencong Ge-
ni tidak bisa temukan di mana Resi Gutama dan Ki
Pamungkas. Akibatnya, murid-murid pilihan dari ke-
dua tokoh sakti itu yang menjadi sasaran pencarian
Rencong Geni. Sebab ia yakin, setiap guru akan men-
ceritakan tentang pusaka-pusaka dahsyat kepada mu-
rid-murid andalannya, bilamana perlu disuruh mere-
butnya. Pelarian Walet Gading menjadi tersendat, kare-
na Rencong Geni melepaskan pukulan jarak jauhnya
berupa sinar biru berbentuk lempengan bundar yang
melesat dengan cepatnya ke arah punggung Walet
Gading. Pukulan itu menghantam telak di punggung
gadis itu. Duub...!
"Ahhg...!" Walet Gading tersentak dan jatuh ter-
sungkur dengan mata terbeliak-beliak dan tubuh
menggeliat menahan rasa sakit sekujur badan. Hal itu
membuat pengejaran Rencong Geni menjadi semakin
dekat, dan akhirnya berhenti di depan Walet Gading
dalam jarak tujuh langkah. Wajahnya menyeringai
puas melihat buruannya jatuh, lalu ia segera berseru,
"Sekarang juga kalau aku mau membunuhmu,
dengan mudah sekali kulakukan pekerjaan itu, Walet
Gading! Tapi aku masih beri kesempatan padamu un-
tuk menunjukkan di mana Pusaka Hantu Jagal itu
disembunyikan oleh eyang gurumu!"
"Kalau kau ingin membunuhku, lakukanlah!"
kata Walet Gading dengan mulut sudah berdarah sejak
tadi. "Aku memang tidak tahu tentang pusaka itu, walau aku pernah mendengar
ceritanya dari guruku; Ki
Pamungkas! Tapi Guru tak pernah memberi tahu di
mana letak penyimpanan pusaka itu!"
"Aku tak percaya!"
"Terserah! Sekarang apa maumu"!" tantang Wa-
let Gading dalam keadaan lemah. Dan pada saat itu,
Rencong Geni segera mencabut kedua senjatanya
sambil berkata,
"Aku terpaksa membunuhmu sebagai obat ke-
cewaku, Walet Gading!"
Dari atas pohon, Tua Usil membatin! "Kasihan!
Gadis itu memang tidak tahu di mana pusaka itu, tapi
masih saja didesak dan diancam! Aku harus turun
tangan membantunya!"
Wuuut...! Bruuus...!
Tua Usil segera melompat turun dari atas po-
hon dan bersalto dua kali. Jleeg...! Ia berdiri tepat di depan Rencong Geni,
seakan melindungi niat Rencong
Geni yang ingin menyerang Walet Gading dengan dua
senjata kembarnya itu.
"Siapa kau"! Mau cari modar kau, hah"!" ben-
tak Rencong Geni.
Tua Usil menjawab dengan kalem, "Jangan
memaksa orang yang tak berdaya! Dia memang bukan
tandingan mu! Akulah lawanmu!"
"Keparaaat...! Heaaah...!" Rencong Geni sudah tak kenal berunding lagi.
Kemarahannya mulai meluap
sampai ke ubun-ubun mendengar tantangan seperti
itu. Maka dengan cepat ia melompat dan menyerang
menggunakan dua rencongnya yang ditebaskan den-
gan cepat ke berbagai arah.
Tubuh Tua Usil hanya meliuk-liuk menghindari
tiap tebasan senjata tersebut yang sesekali sengaja di-
gesekkan hingga keluarkan bunyi denting yang meme-
kakkan gendang telinga. Tapi Tua Usil tetap tenang.
Setiap ia berkelit, ia berhasil menendang atau
memukul lawannya, walau tidak terlalu parah akibat-
nya. Tapi hal itu membuat lawan menjadi semakin pe-
nasaran. Gerakannya menjadi serba terburu nafsu,
sehingga dalam satu kesempatan, Tua Usil berhasil
menghentakkan kedua tangannya mengenai dada Ren-
cong Geni dengan telak sekali. Daaahhg...!
Bruuus...! Tersembur darah kental dari mulut
Rencong Geni yang terhuyung-huyung mundur ke be-
lakang. Pada saat itu, Walet Gading berkata dalam ha-
tinya yang terkejut,
"Jurus 'Harimau Dendam'! Dari mana orang itu
dapatkan jurus tersebut"! Aneh sekali"!"
Pada waktu itu, Rencong Geni cepat-cepat te-
gakkan badan dan menahan rasa sakit di dadanya.
Kedua rencongnya segera dipertemukan, dan perte-
muan ujung rencong itu keluarkan sinar api yang
membentuk garis lurus mengarah ke dada Tua Usil,
Namun dengan cepat Tua Usil pertemukan kedua tela-
pak tangannya di dada, dan disodokkan ke depan se-
hingga dari ujung jemarinya itu meluncur sinar ungu
bergelombang-gelombang yang meluncur menghantam
sinar merah apinya lawan.
Zruuubb...! Sinar api itu bagai tertelan padam
oleh gelombang sinar ungu. Sedangkan sinar ungu itu
masih terus melesat dan akhirnya menghantam tubuh
Rencong Geni. Craaas...! Terdengar suara seperti batang pisang ditebas
dengan pedang. Tubuh Rencong Geni runtuh ke tanah
menjadi potongan-potongan menurut persendian yang
ada dalam susunan tubuhnya. Jelas, Rencong Geni ti-
dak lagi bernapas. Tapi agaknya bukan hal itu yang
mengherankan Walet Gading, melainkan jenis jurus
yang digunakan Tua Usil itu.
"Jurus 'Gerhana Rajam'"! Hanya Guru yang
mempunyai jurus 'Gerhana Rajam'. Tapi mengapa
orang aneh itu bisa memilikinya"!"
Sementara itu, dalam hati Tua Usil pun terpetik
keheranan yang tajam, membuat hatinya bertanya-
tanya, "Apa yang telah kulakukan tadi" Dari mana ku-dapatkan jurus bercahaya
ungu tadi" Jangan-jangan
Walet Gading itulah yang menyerang lawan secara di-
am-diam?" * * * 7 TERNYATA pertarungan Rencong Geni dengan
Tua Usil bukan hanya ditonton oleh Walet Gading saja,
melainkan ada dua pasang mata lain yang menyaksi-
kannya, yaitu mata Pendekar Rajawali Merah dan Ma-
nis Madu. Keberhasilan Tua Usil membunuh Rencong
Geni merupakan sesuatu yang amat memukau dan
membuat kedua pengintai itu tertegun untuk sementa-
ra waktu. Yang dapat mereka lakukan saat itu hanya
memandangi kematian Rencong Geni yang sedemikian
hebatnya, jauh dari pikiran serta dugaan mereka ber-
dua, terutama Pendekar Rajawali Merah.
Yoga nyaris tak bisa bicara melihat jurus-jurus
yang digunakan Tua Usil. Semakin kelu lidahnya meli-
hat Tua Usil pergunakan jurus 'Gerhana Rajam' tadi.
Jika jurus itu dimiliki tokoh sakti seperti Resi Gutama atau Iblis Mata Genit
atau yang lainnya. Yoga tak terlalu terpukau kagum. Tapi jurus itu ternyata
diperguna- kan oleh tokoh tua yang selalu mendesak Lili untuk
diajarkan berdiri di atas ilalang sebagai tanda bahwa ia tidak memiliki ilmu
apa-apa kecuali ilmu 'Halimun' sa-ja, Jelas hal itu sangat menyita seluruh
perhatian dan perasaan Yoga, ia menjadi malu sendiri kepada Manis
Madu, karena sepanjang perjalanan ia telah membujuk
kemarahan Manis Madu dengan meyakinkan kata-
katanya, bahwa Tua Usil bukan manusia berilmu ting-
gi. Kenyataannya, Tua Usil sempat membuat mata Ma-
nis Madu tak berkedip karena mengagumi kedahsya-
tan jurus itu. "Orang seperti itu kau katakan tidak berilmu
tinggi?" sindir Manis Madu dalam bisikan. Yoga sempat diam terbungkam oleh rasa
malu dan bingungnya.
Kemudian ia berucap lirih,
"Ini sangat di luar dugaan! Sungguh di luar du-
Pedang Langit Dan Golok Naga 12 Lencana Pembunuh Naga Karya Khu Lung Pendekar Kidal 4
^