Pusaka Hantu Jagal 1
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal Bagian 1
PUSAKA HANTU JAGAL Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode: Pusaka Hantu Jagal
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 ANGIN di Lembah Biara berhembus membawa
suara denting aneh ke arah perbukitan. Suara denting
itu membuat dedaunan berguguran dan ranting-
ranting kering saling patah dengan sendirinya. Gelom-
bang suara denting itu ternyata mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga memekak-
kan gendang telinga manusia maupun hewan yang ada
di sekitar Lembah Biara.
Denting yang mengiang-ngiang itu timbul dari
perpaduan dua senjata rencong milik seorang lelaki be-
rusia sekitar empat puluh tahun. Lelaki itu mengena-
kan pakaian serba putih, berkumis lebat, dan bercam-
bang rata sampai di bagian jenggotnya yang pendek
itu. Sekalipun ia mengenakan pakaian serba putih,
namun dilihat dari raut wajahnya yang bertulang keras
bertonjolan dengan bentuk mata sedikit besar dan liar,
maka orang dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu bu-
kanlah lelaki berjiwa kesatria.
Namanya Rencong Geni. Dari mana asal lelaki
itu, hanya gadis berpakaian merah darah itulah yang
mengetahuinya. Gadis itu kini sedang menghadapi se-
rangan Rencong Geni dengan menggunakan senjata
trisulanya dari logam merah tembaga. Dengan gesitnya
gadis itu berulang kali menghindari serangan lawan-
nya sambil sesekali melepaskan pukulan jarak jauh
melalui tangan kirinya yang tidak menggenggam trisu-
la tersebut. Rambutnya yang panjang berkepang dua
sering digunakan sebagai senjata cambuk melalui ki-
basan kepalanya. Dari ujung rambut yang masing-
masing mempunyai logam putih runcing itu, sering ter-
lihat sinar merah melesat ke arah Rencong Geni.
Pada satu kesempatan, Rencong Geni sengaja
hentikan serangannya. Ia berdiri dengan tetap sigap,
matanya memandang tajam kepada gadis berhidung
mancung dan bermata bundar indah itu. Suaranya
terdengar menghardik dengan lantang,
"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk memper-
timbangkan keputusanmu, Manis Madu! Jika kau te-
tap tak mau serahkan pusaka tersebut padaku, maka
akan ku habisi nyawamu dilembah ini juga!"
"Aku tidak tahu menahu soal pusaka itu, Pa-
man Rencong Geni! Kalau Paman sengaja ingin cari
perkara denganku, kulayani sampai kapan pun kekua-
tan Paman mampu bertahan!"
"Ha, ha, ha, ha...! Ibumu pun tunduk padaku,
Manis Madu! Mengapa kau mau coba-Coba melawan-
ku, Anak Manis?"
"Ibu tunduk pada Paman Rencong Geni, karena
Ibu merasa lebih muda dan pernah diasuh oleh Pa-
man. Tetapi aku tidak seperti ibu. Aku adalah Manis
Madu yang dibesarkan dan dididik oleh guruku sendi-
ri! Tak perlu aku tunduk kepadamu, Paman Rencong
Geni!" "Keparat! Gadis tak tahu sopan sama sekali!"
geram Rencong Geni semakin jengkel hatinya. Lalu ia
berseru lagi dengan sedikit mengendurkan urat-
uratnya, "Ketahuilah, Manis Madu... Siapa pun yang
memegang Pusaka Hantu Jagal, dia adalah musuhku.
Karena aku harus merebut pusaka itu dari tangannya
sebagai mas kawinku untuk melamar Dewi Gita Dara!"
"Kalau begitu Paman salah musuh. Bukan aku
musuhmu, Paman. Karena aku tidak pernah meme-
gang Pusaka Hantu Jagal. Bahkan melihat bentuknya
pun belum pernah!"
"Omong kosong! Gurumu mempunyai pusaka
itu dan pasti diwariskan kepada salah satu muridnya.
Menurut kabar yang kudengar, murid kesayangan gu-
rumu adalah kau sendiri. Jadi aku yakin, pusaka itu
pasti diwariskan kepadamu, Manis Madu."
"Keyakinan yang ngawur itu, Paman!" bantah
gadis yang bernama Manis Madu itu. "Guru tidak pernah bicara tentang Pusaka
Hantu Jagal!"
"Itu lebih omong kosong lagi!" sergah Rencong Geni sambil melangkah satu tindak.
Semakin tampak kemarahannya akibat rasa tidak percayanya itu. Tapi
Manis Madu tetap tenang dan sigap dengan senjata tri-
sulanya di tangan kanan yang tetap terangkat ke atas.
Rencong Geni tambahkan kata, "Seorang guru
pasti akan ceritakan tentang pusaka-pusaka maut
yang ada di rimba persilatan. Jika gurumu tidak ceri-
takan tentang Pusaka Hantu Jagal, dan tidak tahu
menahu tentang pusaka itu, jelas itu suatu kebohon-
gan besar yang dimiliki oleh gurumu! Mungkinkah gu-
rumu itu bekas seorang penipu"!"
"Jangan merendahkan nama Guru seenaknya
saja, Paman! Sekarang apa mau Paman akan ku turu-
ti!" "Aha..."! Kau makin tampakkan keberanianmu
untuk menutupi kebohonganmu, Manis Madu. Baik-
lah, akan ku paksa kau bicara tentang pusaka itu den-
gan kedua rencong saktiku ini! Heaaah...!"
Rencong Geni berkelebat mainkan jurus ba-
runya dengan tetap menggenggam kedua rencong di
tangan kanan-kirinya. Manis Madu sendiri cepat pa-
sang kuda-kuda lebih tangguh lagi, sebab ia tahu pa-
man angkatnya itu tidak akan main-main lagi dalam
menyerangnya. Ternyata dugaan Manis Madu memang benar.
Rencong Geni tidak main-main lagi dalam menyerang-
nya. Dua rencongnya saling digesekkan dengan cepat,
sriiing...! Suara denting itu lebih tajam lagi menusuk
gendang telinga. Manis Madu sempat tersentak kaget
dan menyeringai karena merasa sakit di kedua telin-
ganya. Pada saat itulah, Rencong Geni melompat da-
lam satu tendangan berputar. Wuuut...! Plak!
Pipi berkulit kuning langsat itu bagaikan di-
tampar dengan balok kayu cukup keras. Manis Madu
terpental memutar dan jatuh di bawah sebatang po-
hon. Dengan ganasnya Rencong Geni menerjang gadis
berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu. Dua ren-
congnya ditebaskan membuka dari tengah ke samping
kanan-kiri. Sasarannya adalah dada gadis itu.
Wuuussstt...! Trakk, plaaak...!
Manis Madu berhasil menangkis rencong kiri
dengan trisulanya, sedangkan rencong di tangan ka-
nan berhasil ditendangnya kuat-kuat mengenai perge-
langan tangan lawan. Akibatnya, satu rencong itu le-
pas dari tangan lawan yang merasa kesemutan dan
sukar dipakai menggenggam kuat-kuat. Weees...!
"Keparat!" teriak Rencong Geni lalu berusaha
menghantamkan telapak tangannya yang kiri. Telapak
tangan itu keluarkan sinar biru yang tak dapat dihin-
dari oleh Manis Madu. Wuuusst...! Duub...! Tepat ke-
nai dada Manis Madu yang segera mengejang dan tu-
buhnya terlempar ke samping.
Bruuussh...! Manis Madu bagai dibuang ke se-
mak-semak berjarak tujuh langkah dari tempatnya
semula. Rencong Geni segera melompat dan berguling
di tanah sambil menyambar rencongnya yang terlem-
par jatuh itu. Tubuh Manis Madu menjadi merah bagai habis
terpanggang api. Matanya terbeliak-beliak karena
mengalami sukar bernapas. Rencong Geni menyeringai
dari tempatnya, lalu senjata rencongnya digesrekkan
kembali. Sriiing...! Srrringng...!
"Aahg...!" Manis Madu memekik tertahan sam-
bil berguling-guling. Telinganya mulai keluarkan darah
kental berwarna merah kehitaman.
"Ha, ha, ha, ha...! Kau tak akan bisa mengalah-
kan aku, Manis Madu! Jika kau tak mau serahkan Pu-
saka Hantu Jagal, kupecahkan kepalamu dengan jurus
'Gema Kubur' ini! Heeh...!"
Sriiing...! Kedua rencong itu saling beradu.
Dentingannya hadirkan gelombang lebih kuat lagi,
membuat gadis tersebut semakin memekik kesakitan.
Trisulanya di lepaskan begitu saja, kedua tangannya
mendekap telinga dengan kuat-kuat. Kini nafasnya
mampu dihela walau berat dan tersendat-sendat.
Srriiinggg! Sekali lagi kedua rencong itu dige-
srekkan. Manis Madu keluarkan darah dari mulutnya,
walau tak seberapa banyak, namun membuat wajah
merahnya memucat bagaikan mayat.
Rencong Geni tak mengetahui ada sepasang
mata yang memperhatikan pertarungannya dari atas
bukit. Sepasang mata itu milik seorang pemuda tam-
pan yang mengenakan baju selempang dari kulit be-
ruang coklat yang membungkus pakaian putih lengan
panjang di dalamnya. Pemuda itu menyandang pedang
di punggungnya, membiarkan rambutnya yang pan-
jang sebatas punggung itu tergetar dipermainkan an-
gin bukit. Di samping pemuda tampan berwajah menga-
gumkan itu, terdapat seekor burung rajawali besar
berbulu merah. Melihat keberadaan burung rajawali
merah yang tampak kekar dan tegar itu ada di samp-
ing si pemuda, maka orang akan dapat mengenali
bahwa pemuda itu tak lain adalah Yoga, yang bergelar
Pendekar Rajawali Merah.
Rupanya sudah sejak tadi Yoga berdiri meman-
dangi pertarungan Rencong Geni dengan Manis Madu
dari atas bukit tersebut. Dalam hatinya Yoga berkata,
"Agaknya gadis itu benar-benar tidak tahu me-
nahu tentang pusaka yang disebut-sebutkan oleh si le-
laki berwajah angker tersebut. Ia sudah hampir mati,
tapi tetap tak mau bicara tentang pusaka itu. Hmm...!
Lelaki yang kudengar tadi dipanggil sebagai Paman
Rencong Geni itu semakin ganas mengumbar kemara-
hannya. Manis Madu bisa binasa oleh kekuatan tenaga
dalam yang di salurkan melalui gelombang suara den-
tingan dua rencong tersebut. Manis Madu agaknya tak
mempunyai lapisan tenaga dalam tinggi, sehingga gen-
dang telinganya bisa ditembus oleh dentingan suara
tadi. Atau, barangkali karena jaraknya yang terlalu de-
kat, sehingga Manis Madu sampai separah itu, se-
dangkan aku dan Merah dalam keadaan jauh, sehing-
ga tak mampu ditembus suara denting itu" Hmmm...
sebaiknya kuselamatkan dulu gadis yang terancam
maut itu!"
Kemudian Pendekar Rajawali Merah memerin-
tahkan kepada burung rajawalinya dengan berkata,
"Merah! Selamatkan gadis itu!"
"Keaaak...!" burung itu berkeak satu kali, kemudian segera terbang menuruni
bukit dengan gagah-
nya. Ke dua sayapnya terbentang bagaikan ksatria
yang hendak maju ke medan perang. Kibasan sayap
itu membuat daun-daun yang tadi berguguran karena
suara denting. rencong, kini semakin berhamburan ke
mana-mana. Angin besar menghempas di sekitar tem-
pat pertarungan tersebut.
Gemuruh suara angin yang datang membuat
Rencong Geni yang hendak membunuh Manis Madu
menjadi terhenti. Kepalanya segera berpaling ke bela-
kang, memandang datangnya seekor burung besar
berkecepatan tinggi. Rencong Geni terkejut sesaat,
namun cepat putar badan dan siap hadapi terjangan
Rajawali Merah. Kedua rencongnya semakin keras di-
adu dan suara dentingannya semakin kuat mele-
paskan tenaga dalam penghancur gendang telinga.
"Keaaak...!" sayap burung itu menebas ke de-
pan. Angin yang timbul semakin kuat dan membuat
tubuh Rencong Geni terhempas ke belakang. Wuutt...!
Bruuus...! Rencong Geni terlempar jatuh di semak-semak
kering. Tapi ia segera bangkit dan hendak menyerang
burung rajawali itu. Namun, tiba-tiba sayap kanan
sang rajawali bergerak membuka dalam satu hempa-
san kuat. Sayap itu mengenai tubuh Rencong Geni.
Baahg...! Rencong Geni kembali terpental bagai men-
dapat hantaman yang luar biasa kerasnya. Tulang te-
rasa linu sekali, Kain bajunya sempat robek akibat ter-
kena hempasan sayap kanan sang rajawali.
Pada kesempatan itu, sang rajawali bergerak
cepat menyambar tubuh Manis Madu dengan kedua
cakarnya yang kekar perkasa itu. Wuuut...! Tubuh
yang sudah tak berdaya itu dibawanya terbang menuju
ke atas bukit. Sementara itu, Rencong Geni bangkit
dan berteriak garang,
"Lepaskan gadis itu, Burung Setan! Lepaskan
dia!" "Keaaak...! Keaaak...!" rajawali serukan suara, seakan sebuah tantangan
untuk mengejarnya.
Melihat seorang pemuda tampan berdiri di atas
bukit dan dihampiri oleh sang rajawali, Rencong Geni
segera kerutkan dahinya tajam-tajam seraya hatinya
berkata,
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa pemuda itu" Apakah dia yang bergelar
Rajawali Merah"! Hmmm...! Keparat betul dia! Ru-
panya dia mau ikut campur urusanku! Kubunuh juga
dia bersama burung iblisnya itu!"
Rajawali Merah melepaskan cengkeraman ca-
karnya. Manis Madu tergeletak di dekat kaki Yoga.
Keadaannya sudah sangat parah. Yoga segera men-
gangkat gadis itu, lalu dinaikkan ke punggung Rajawa-
li merah. Matanya memandang ke arah lembah, di sana
Rencong Geni tengah berlari cepat ke arahnya, ingin
merebut Manis Madu dari tangan Yoga.
"Berhenti kau, Bangsat! Jangan bawa gadis itu
jika mau selamat!" teriak Rencong Geni keluarkan ancaman liarnya.
Yoga sudah berada di atas punggung sang ra-
jawali, lalu berkata, "Cepat tinggalkan dia, Merah!"
"Keaaak...!"
"Haai...! Berhenti!" teriak Rencong Geni melihat Yoga bersiap ingin membawa
terbang Manis Madu.
Maka serta-merta Rencong Geni mempertemukan
ujung kedua rencongnya yang diacungkan ke depan,
lalu dari pertemuan ujung rencong itu menyemburlah
nyala api yang membentuk garis lurus ke arah burung
tersebut. Wuuussst...!
"Keaaak...!" burung itu membentangkan sayap-
nya, matanya memandang tajam, lalu dari matanya ke-
luar sinar merah bagaikan tambang besi yang bergerak
cepat, lurus menghantam nyala api dari rencong la-
wan. Blaaar...! Pertemuan kedua gelombang itu me-
nimbulkan ledakan dahsyat dan membuat Rencong
Geni terpental berguling-guling menuruni lereng hing-
ga sampai ke tempat pertempurannya tadi. Pada saat
itu, rajawali merah tersebut segera terbang meninggal-
kan puncak bukit dan membawa Yoga serta Manis
Madu yang tak sadarkan diri itu.
Burung rajawali berbulu besar merah itu ter-
bang bagaikan ingin melanglang buana. Namun sebe-
narnya ia mengikuti perintah majikan mudanya yang
merupakan murid majikan tuanya berjuluk Dewa Ge-
ledek itu. Maka ketika Yoga memerintahkan sang raja-
wali untuk merendah, burung itu pun terbang meren-
dah. Dan ketika Yoga berkata,
"Aku perlu sembuhkan luka-luka gadis ini du-
lu, Merah. Carilah tempat yang aman!"
"Keaaak...!" burung itu bagaikan memberi ja-
waban patuh, lalu segera mendarat setelah ia temukan
tempat yang menurutnya aman.
Burung besar berbulu merah itu berada tak
jauh dari Yoga. Burung itu memperhatikan tuan mu-
danya mengobati gadis itu dengan kepala manggut-
manggut, seakan sedang mempelajari bagaimana tuan
mudanya menyembuhkan luka parah pada sang gadis.
"Keaaak...! Kaaak, kaak, keaak...."
Yoga paham dengan bahasa burung itu, maka
ia pun menjawab, "Nanti kalau sudah tiba saatnya,
kuajarkan kepadamu bagaimana cara melakukan pe-
nyembuhan seperti ini, Merah!" . "Keaaakk..!"
"Tak perlu khawatir. Dia akan sembuh. Roh
Eyang Guru Dewa Geledek yang memberitahukan pa-
daku bagaimana cara melakukan penyembuhan secara
singkat seperti yang kulakukan tadi."
"Keak, keak, keak, keak...!"
"Sudah, jangan tertawa! Nanti kalau gadis itu
siuman dan melihatmu, dia bisa menjerit ketakutan!"
"Kkuuuk... kkuuuk...!" burung itu seperti se-
dang bersungut-sungut, dan Yoga tertawa pelan sambil
berkata, "Bukan takut karena wajahmu jelek, tapi takut
karena bentuk mu yang besar! Dia pasti kaget. Tapi
kalau sudah ku jelaskan, tentunya dia tak akan takut
padamu!" "Keak, keak, keak...!" burung itu tertawa sambil di usap-usap paruhnya
oleh Yoga, ia mendekam, sehingga tampak pendek.
Manis Madu mulai menggeliat siuman. Kulitnya
yang merah bagai terbakar dari dalam itu mulai men-
guning kembali. Wajah pucatnya kian segar. Kemudian
mata bundarnya yang indah itu mulai mengerjap-
ngerjap dengan pernapasan yang tampak teratur.
Kepala gadis itu tergolek ke kiri. Lalu, serentak
ia bangkit karena terkejut melihat seekor burung besar
mendekam ke tanah dalam jarak hanya tiga langkah
dari tempatnya tergeletak. Manis Madu melompat
mundur dengan tangan menggeragap mencari senja-
tanya yang tertinggal di tempat pertarungannya tadi.
Ketika ia berjalan mundur sambil memperhati-
kan burung besar itu dengan tegang, tiba-tiba pung-
gungnya menabrak sesosok manusia yang sengaja di-
am dan sengaja biar ditabrak itu.
"Aauh....!" Manis Madu terpekik kaget sambil
berbalik dan kedua tangannya siap pasang jurus pe-
nangkis. Matanya memandang tajam pada seraut wajah
pemuda tampan, dan mata tajam itu tiba-tiba menjadi
redup berubah kagum manakala pemuda itu sung-
gingkan senyum yang sungguh menawan hati. Kepala
Manis Madu memandang bolak-balik antara burung
besar dan pemuda tampan, ia tampak bingung sekali,
terlebih setelah menyadari dirinya ada di tempat asing
yang bukan tempat pertarungannya tadi.
"Siapa kau?" Manis Madu mencoba menghardik
Yoga. Tapi dengan kalem dan penuh daya pikat, Yoga
menjawabnya, "Namaku Yoga. Dia itu si Merah, burung raja-
wali tunggangan ku!"
Makin tajam kerut di dahi Manis Madu. Ma-
tanya melirik bolak-balik antara rajawali dan Yoga. La-
lu, ia berucap kata, seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Pendekar Rajawali Merah...?"
"Betul!" jawab Yoga tetap kalem. Ia melangkah dekati rajawalinya. "Si Merah ini
yang membawamu pergi dari pertarungan mu dengan Rencong Geni! Jika
tidak disambar si Merah, kau pasti mati di tangan pa-
manmu!" "Kau tahu nama paman angkatku itu ru-
panya?" "Kudengarkan percakapan kalian, kuperhatikan pertarungan kalian, lalu ku
simpulkan, bahwa kau
bukanlah tandingan dari Rencong Geni!"
Manis Madu menarik napas dan menghem-
paskannya. Ia sedang memendam rasa heran setelah
menyadari keadaan tubuhnya terasa segar dan tak
mengalami nyeri sedikit pun. Lalu, ia pandangi pemu-
da tampan itu, ia perhatikan kain lengan bajunya yang
kiri terhempas angin itu, dan keraguannya pun hilang.
Ia yakin betul bahwa ia telah bertemu dengan seorang
pendekar tampan pemikat hati wanita yang amat di-
kenal di rimba persilatan itu. Ia yakin betul telah bertemu dengan Pendekar
Rajawali Merah, karena ia tahu
tangan kiri pendekar tampan itu buntung. Maka, hati
Manis Madu pun semakin berdebar-debar antara gi-
rang dan tegang.
"Kaukah yang mengobati luka-lukaku?" ta-
nyanya sekadar iseng daripada suasana mati karena
kegugupannya menghadapi pendekar tampan yang
sering didengar ceritanya dari mulut para wanita itu.
"Ya, aku yang melakukannya. Tapi percayalah,
hal itu kulakukan hanya sebatas rasa persahabatan
yang manusiawi. Tanpa ada niat untuk memiliki Pusa-
ka Hantu Jagal itu."
Manis Madu menghempas napas lagi. Lalu, ia
berkata, "Kau tahu juga tentang pusaka tersebut rupanya?" "Sudah kubilang tadi,
aku mendengar percakapan mu dengan Rencong Geni yang amat bernafsu
memiliki Pusaka Hantu Jagal itu."
"Ya. Dia memang sangat bernafsu, karena ru-
panya dia ingin hadiahkan Pusaka Hantu Jagal kepada
Dewi Gita Dara sebagai mas kawin lamarannya." "Siapa Dewi Gita Dara itu?"
"Penguasa Teluk Gangga!"
"Dan kenapa kau pertahankan pusaka itu?"
"Sumpah mati aku tak memiliki pusaka itu dan tak
pernah dengar sebelumnya. Bahkan aku sangsi, apa-
kah benar guruku memiliki Pusaka Hantu Jagal, lalu...
seperti apa, berupa apa pusaka itu dan... ah, sangat
membingungkan bagiku. Aku ingin segera temui guru-
ku untuk menanyakan kebenarannya!"
* * * 2 MEREKA sepakat menemui gurunya Manis Ma-
du. Diam-diam Yoga sendiri ternyata menyimpan rasa
penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang dina-
makan Pusaka Hantu Jagal itu" Sebuah pedang atau
sebuah keris" Karena dengan wajah polos dan jujur
Manis Madu benar-benar tidak mengetahui seluk-
beluk tentang Pusaka Hantu Jagal. "Kita naik rajawali saja!" kata Yoga. "Tidak.
Aku tidak mau!" Manis Madu menolak dengan wajah cemas.
"Tidak apa-apa! Kalau kau takut, kau bisa ber-
pegangan tubuh ku!"
"Berpegangan..."!" gumam Manis Madu, lalu
hatinya menyambung kata, "Oh, alangkah senangnya
bisa berpegangan tubuhnya" Aku memeluknya dari be-
lakang, semakin lama semakin erat dan... oh, tidak!
Aku tidak berani lakukan hal itu. Aku gugup, gemetar,
dan bisa-bisa malah pegangan ku lamas, lalu aku ja-
tuh dari punggung burung itu. Oh, ngeri!"
Manis Madu bergidik sendiri. Tersenyum me-
nahan geli sambil tundukkan kepala, menyembunyi-
kan senyum tersipunya. Ia tetap menolak dengan ala-
san yang dibuat-buat,
"Guru berpesan, aku tak boleh naik kendaraan
apa pun jika pergi ke mana saja!" "Aneh sekali?"
"Memang aneh. Tapi aku harus patuh dengan
nasihat Guru."
"Baiklah kalau begitu." Yoga berpaling kepada si Merah dan berkata, "Tinggalkan
kami, setelah urusan ini beres kau kupanggil lagi, Merah." "Keaaak...!
Kuuuk... kuuuk...!"
"Husy, jangan ngledek kau!" sambil Yoga tersenyum pada si Merah.
"Ngomong apa burung mu itu?" tanya Manis
Madu. "Dia sangka kita mau berkasih-kasihan," jawab Yoga pelan, dan wajah Manis
Madu menjadi merah da-du menahan malu.
"Burungmu nakal."
"Yang mana?" tanya Yoga, "Eh... maksudku, yang merah ini atau yang putih?"
"Yang itu!" sambil Manis Madu melirik si Merah yang memiring-miringkan kepala
memandang! Manis
Madu. Yoga hanya tertawa. "Dia gemar bercanda." "Kau punya berapa burung,
sehingga kau tanya yang ma-na?" "Ada dua! Yang satu rajawali putih. Tapi dia...
dia...." "Keaaak...!" si Merah berseru panjang sambil bentangkan sayap. Ucapan
Yoga menjadi terhenti, lalu
burung itu terbang sambil ditertawakan tuan mu-
danya. "Tapi kenapa?" desak Manis Madu. "Tapi si Merah-lah yang sering menjadi
tunggangan ku! Dan seka-
rang ia terburu-buru mencari si Putih. Ia baru ingat
kalau sudah lama meninggalkan si Putih. Maka ia ter-
bang secepatnya."
Sambil melangkah Manis Madu berkata, "Ku-
dengar burung rajawali putih milik seorang gadis can-
tik yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."
"Benar."
"Apa hubungannya denganmu" Murid sepergu-
ruan?" "Selain itu juga dia adalah guru angkatku."
"Guru angkat?"
"Ilmunya lebih tinggi dariku, karena ia banyak
pelajari ilmu-ilmu dari mendiang guru kami, ditambah
lagi dia punya ilmu dari sebuah kitab kuno yang kini
tekun dipelajari semua, dan aku banyak mendapatkan
ilmu baru darinya, sehingga aku menyebutnya guru
angkat!" "Kusangka kau adalah kekasih si Pendekar Ra-
jawali Putih itu?"
Yoga hanya tertawa kecil, membiarkan dirinya
dilirik Manis Madu secara mencuri-curi. Dan tiba-tiba
tangan Manis Madu digenggamnya. Manis Madu ber-
desir, ingin meronta namun tak kuasa dicekam kein-
dahan. Yoga berhenti melangkah, Manis Madu bingung
walau akhirnya berhenti juga dengan jantung berde-
bar-debar gugup karena girang.
"Apakah kau punya teman?" tanya Yoga pelan,
matanya memandang lembut kepada Manis Madu,
membuat Manis Madu menjadi salah tingkah.
"Maksudmu... maksudmu... teman di hatiku?"
"Teman yang selalu mengikutimu?"
"Mmm... mmm... kekasih, maksudmu?"
"Terserah apa sebutannya, tapi adakah orang
yang selalu mengikutimu?" suara Yoga makin pelan.
Manis Madu menunduk, bimbang menjawab,
namun akhirnya berkata lirih, "Tidak. Ti... tidak
punya. Percayalah."
"Kalau begitu, segeralah menepi ke pohon itu
dan bersembunyi di sana," sambil Yoga melirik ke arah pohon besar berakar
gantung. "Kenapa?"
"Seseorang sedang mengikuti kita. Ku rasakan
dalam firasat ku, dia ingin berbuat jahat, dan kaulah
sasarannya."
"Oh..."!" Manis Madu terpekik tertahan. Wajahnya menjadi merah dadu kembali
karena malu pada
diri sendiri. Ia telah salah duga atas pertanyaan Yoga
tadi. Ternyata Yoga tidak bermaksud mengutarakan isi
hatinya, melainkan ingin menyelidiki siapa orang yang
mengikuti mereka sejak tadi.
Yoga mengantar Manis Madu ke bawah pohon
besar. Ketika Manis Madu sudah berada di balik ba-
tang pohon tersebut, serta-merta Yoga menyentakkan
tangan kanannya dalam gerakan memutar arah.
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuuut...! Bruuuss...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar telah dile-
paskan oleh Yoga ke arah semak-semak. Kerimbunan
semak itu buyar seketika bagai diterjang sabit raksasa, terpotong habis dan
menyebar ke mana-mana potongan dedaunannya. Bersamaan dengan itu, melompat-
lah sekelebat bayangan biru yang segera melenting ke
udara dan bersalto satu kali, kemudian mendarat di
tempat bebas. Jleeg...!
"Landak Gamping"!" cetus Manis Madu sambil
bergegas dekati Yoga.
"Hak, hak, hak, hak. Syukurlah kalau kau ma-
sih ingat aku, Manis Madu! Rupanya namaku terukir
lekat dalam hatimu, Bocah Manis. Hak, hak, hak,
hak...!" Pria itu tertawa jelek. Tak enak didengar tawanya itu. Tapi Yoga tidak
perhatikan tawanya me-
lainkan memperhatikan sosok penampilannya. Pria itu
berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit, berba-
dan kurus, berpakaian biru muda dengan celana hitam
sebatas betis. Tubuhnya yang kurus itu mempunyai
kulit putih seperti kapur, rambutnya berpotongan
pendek tapi berdiri tegak lurus semua. Barangkali ka-
rena keadaan tubuh yang aneh itulah maka ia berjuluk
Landak Gamping. Rambutnya kaku dan lurus seperti
bulu seekor landak, dan tubuhnya putih seperti kapur
alias damping. "Siapa orang itu, Manis Madu?" bisik Yoga.
"Landak Gamping, anak buah Rampok Gu-
nung!" bisik Manis Madu juga.
"Punya urusan apa denganmu?"
"Rampok Gunung ingin memperistri aku. Tiga
anak buahnya sudah kubunuh karena ingin menang-
kapku. Sekarang Rampok Gunung mengutus Landak
Gamping dengan tujuan yang sama!"
"Kau mau menjadi istri Rampok Gunung?"
"Tidak!" jawabnya dengan geram bernada benci.
"Kalau begitu, biar ku tangani dia."
"Ini urusanku. Biar aku saja yang tangani dia."
"Baiklah. Urus dia, aku mundur di belakang mu!" kata Yoga sambil melangkah
mundur tak jauh dari Manis
Madu berdiri. Dengan suara ketus dan lantang Manis Madu
menyapa Landak Gamping,
"Apakah kau bermaksud sama dengan tiga te-
man mu yang sudah kubunuh di Sungai Gantang itu,
Landak Gamping"!"
"Tidak. Aku tidak punya maksud yang sama.
Kalau tiga temanku itu bermaksud menculik mu dan
membawanya ke Gua Prahara, tapi aku tidak. Aku
hanya ingin menyadarkan dirimu, bahwa jika kau ma-
sih bersikeras menolak lamaran ketuaku, maka aku
diberi wewenang untuk membunuhmu! Hak, hak, hak,
hak...!" Landak Gamping terguncang-guncang tubuh-
nya ketika tertawa. Matanya yang cekung sedikit terpe-
jam jika ia sedang tertawa. Wajahnya semakin memu-
akkan buat Manis Madu. Maka dengan beraninya Ma-
nis Madu berkata lantang juga,
"Mengapa hanya kau yang datang untuk mem-
bunuhku" Mengapa bukan ketuamu sendiri" Apakah
dia takut berhadapan denganku" Apakah ketuamu si
Rampok Gunung itu banci yang takut ulat daun"!"
"Hei, Manis Madu..., bicaramu jangan sembro-
no! Kalau ada anak buah yang lain mendengar uca-
panmu itu, dia bisa berang padamu dan tak ada am-
pun lagi bagi siapa pun yang berani merendahkan
sang Ketua kami. Untung aku hanya sendirian, jadi
aku masih bisa timbang rasa dan memaafkan uca-
panmu. Sebagai balasan kebaikan ku yang telah me-
maafkan kamu, ku mohon kau mau ikut denganku
menghadang sang Ketua. Tak akan kukatakan kepada
beliau tentang penghinaanmu tadi. Percayalah!"
"Aku tak bersedia ikut denganmu. Tapi aku
bersedia memenggal kepala ketuamu biar cepat terki-
rim ke neraka!"
Landak Gamping diam. Tak ada senyum, tak
ada tawa. Wajahnya mulai tegang, matanya meman-
dang tajam. Sepi terjadi di sekitar hutan itu. Kejap berikutnya terdengar Landak
Gamping ucapkan kata
dingin sambil mulai mencabut gagang cambuk yang
sejak tadi terselip di pinggang kanannya,
"Agaknya aku tak mau buang-buang waktu lagi
untuk segera membunuhmu, Manis Madu. Kau sudah
jelas-jelas merendahkan ketuaku dan menolak ajakan
damainya. Perlu kau ketahui, Manis Madu, kalau kau
mau menjadi istri sang Ketua, maka seluruh keluar-
gamu akan dijamin kesejahteraan dan keselamatannya
oleh kekuatan Partai Perampok Gua Prahara. Tetapi ji-
ka kau tetap menolak lamaran sang Ketua, seluruh ke-
luargamu sampai tujuh turunan akan selalu diganggu
oleh Partai Perampok Gua Prahara. Dibantai, disiksa
dan diperlakukan seperti binatang. Pertimbangkanlah
hal itu, Manis Madu!"
Manis Madu menjawab dengan sinis. "Untuk
apa mempertimbangkan ancaman anak kemarin sore"
Partai Perampok Gua Prahara tidak ubahnya seperti
kelompok anak ingusan yang sedang bermain perang-
perangan, yang masing-masing berlagak menjadi ja-
goan buncis!"
"Jahanam kau! Kau bukan saja menghina ke-
tuaku, melainkan menghina Partai Perampok Gua
Prahara! Kau sudah layak dihancurkan, Manis Madu.
Hiaaah...!"
Landak Gamping menggerakkan tangannya
memutar, dan cambuk hitam berduri itu melesat pan-
jang ke arah kepala Manis Madu. Wuuut...!
Taaar...! Manis Madu dengan lincah cepat gulingkan tu-
buh ke tanah. Wuuss! Sekejap kemudian sudah berdiri
sedikit jongkok, lalu kedua tangannya disentakkan ke
depan. Wuuut...! Dua sinar kuning melesat dari tela-
pak tangan kanan-kiri. Zlaaap...!
"Hiaah...!" tangan Landak Gamping yang kiri
menyentak ke depan, menahan gerakan kedua sinar
kuning sebesar telur bebek itu. Sinar kuning itu ber-
henti di udara bagai tak bisa bergerak. Lalu dengan sa-
tu lompatan cepat ke samping kiri, Landak Gamping
melecutkan cambuknya. Taaar...! Satu kali lecutan
hancur sudah dua sinar kuning secara bersamaan.
Duaaar...! Manis Madu tak mau kehilangan kesempatan.
Ketika Landak Gamping melecutkan cambuk ke arah
dua sinar kuningnya itu, ia segera melompat bersalto
dan kakinya berhasil menendang punggung lawannya
dengan keras, hingga terdengar suara, duuhg...!
Landak Gamping terdorong ke depan, ter-
huyung-huyung hampir jatuh. Tetapi, lelaki berambut
tegak itu segera putar badannya sambil kibaskan cam-
buk berdurinya dengan cepat. Wuuut...! Brreet...!
"Auh...!" Manis Madu terpekik dengan suara
tertahan. Mata kakinya robek terkena lecutan cambuk
berduri. Bruuk...! Gadis cantik itu jatuh terduduk dan
telapak kakinya yang terluka cepat menjadi biru legam.
"Celaka! Racun pada duri cambuk itu sangat
ganas?" pikir Yoga yang mengetahui keadaan luka Manis Madu.
Landak Gamping tak mengenai ampun. Ia sege-
ra melecutkan cambuknya lagi ke punggung Manis
Madu yang sedang berusaha bangkit sambil menahan
rasa sakit itu.
Taaar...! Cambuk itu keluarkan sinar hijau dari ujung-
nya. Sinar itu seperti sepotong besi runcing yang me-
nembus ke punggung Manis Madu. Claap...!
"Aaahg...!" Manis Madu terpekik keras. Kepa-
lanya terdongak matanya terpejam, tubuhnya menjadi
gemetar dan ia pun jatuh dengan keadaan menggele-
par-gelepar bagai ayam disembelih.
Landak Gamping belum merasa puas. Kali ini ia
akan membelah tubuh yang menggelepar itu dengan
ujung cambuknya yang amat berbahaya. Namun keti-
ka tangannya terangkat, tiba-tiba seberkas sinar me-
rah bening melesat dari telapak tangan Yoga. Zlaap...!
Ouurb...! Sinar merah bening itu kenai ulu hati Lan-
dak Gamping. Zraak...! Tubuh putih Landak Gamping
menjadi merah memar, kulitnya mengalami retak-
retak. Wajahnya menyeringai menahan sakit yang luar
biasa hingga ia keraskan semua urat-urat pada tu-
buhnya. Darah mulai merembes dari retakan kulit tu-
buhnya. Sementara itu, Yoga hanya diam tertegun
memandang lawannya yang masih bisa berdiri dengan
limbung ke sana-sini itu.
"Gila! Rupanya dia berilmu cukup tinggi. Bi-
asanya Jurus 'Rajawali Lebur Jagat' menghancurkan
batu atau pepohonan, tapi kini jurus itu tak mampu
menghancurkan tubuh Landak Gamping! Jika ia tidak
berilmu cukup tinggi, tak mungkin ia bisa bertahan te-
tap utuh dan hanya mengalami keretakan pada seku-
jur kulit tubuhnya?" pikir Yoga dalam kebisuannya.
"Kubalas ikut campur mu! Kubalas bersama
sang Ketua! Tunggu saatnya tiba, Bangsat! Aku tahu...
kau Pendekar Rajawali Merah!" geram Landak Gamp-
ing, setelah itu cepat larikan diri dan tak mau menoleh lagi. Keadaan Manis Madu
sangat berbahaya. Yoga
cepat-cepat bertindak menyelamatkan nyawa gadis
yang menjadi penunjuk jalan rahasia Pusaka Hantu
Jagal itu. Apalagi Yoga lupa tanyakan, siapa nama
guru gadis itu. Jika sampai Manis Madu tewas, maka
Yoga akan kehilangan penunjuk jalan untuk menuju
jalan rahasia Pusaka Hantu Jagal yang telah mem-
buatnya menjadi sangat ingin tahu itu.
Rupanya Landak Gamping telah melepaskan
ilmunya yang cukup berbahaya dan tak mudah disem-
buhkan begitu saja. Yoga lakukan dengan gunakan ju-
rus 'Tapak Serap' sebagai pengobatan luka luar. Ba-
gian mata kaki yang robek dan mengandung racun ga-
nas itu ditutup dengan telapak tangannya. Telapak
tangan itu memancarkan sinar hijau bening, lalu be-
rubah putih bening, berubah lagi biru bening, kemu-
dian juga merah bening, dan hal ini belum pernah di-
alami oleh Yoga.
"Biasanya tak sampai berubah-ubah warna be-
gini" Apakah ini pertanda luka racun yang mengenai
kaki Manis Madu adalah sesuatu yang sulit disembuh-
kan?" Pendekar Rajawali Merah masih tetap lakukan pengobatan dengan jurus 'Tapak
Serap'-nya. Nafasnya
tertahan beberapa saat, sampai akhirnya warna biru
legam di kaki Manis Madu mulai pudar. Kian lama
warna biru legam itu kian menipis, lalu kembali seperti warna kulit aslinya.
Barulah Yoga melepaskan telapak
tangan yang menempel pada luka di mata kaki terse-
but. Luka itu hilang lenyap tak berbekas, kecuali
darah yang menetes di rerumputan. Tetapi keadaan
tubuh Manis Madu masih berkelojot bagai ayam dis-
embelih yang tinggal beberapa saat lagi mencapai ajal-
nya. Hal itu membuat Pendekar Rajawali Merah sedikit
tegang. Ia mencoba lakukan pengobatan 'Tapak Serap'
melalui punggung Manis Madu yang tadi ditembus si-
nar hijau. Tetapi sentakan-sentakan tubuh Manis Ma-
du semakin kuat. Mata gadis itu telah berbalik memu-
tih, mulutnya mulai semburkan busa.
Gawat! Tak cukup dengan jurus 'Tapak Serap'
saja rupanya. Aku harus salurkan hawa murni ku ke
dalam tubuh Manis Madu. Tapi... tapi ia harus buka
pakaian. 'Tapak Serap' harus dilakukan bersama le-
pasnya hawa murni ku ke dalam tubuhnya. Jika tidak
begitu, ia pasti mati! Hanya saja... kalau ia sembuh da-ri sadar, lalu ia
dapatkan dirinya dalam keadaan tidak
berpakaian, apakah dia tidak akan menuduhku seba-
gai pemuda yang berniat kurang ajar kepadanya?"
Pendekar Rajawali Merah sempat bimbang se-
saat. Ia yakin bahwa gadis itu akan berhasil disela-
matkan dari maut yang telah mengancam jiwa dan
menguasai separo nyawa itu. Namun, ia sangsi akan
anggapan Manis Madu terhadap dirinya. Ia tak mau
cemar karena salah duga itu.
"Ah, biarlah apa kata dia nanti. Kalau kuje-
laskan pelan-pelan dia pasti bisa memaklumi. Yang
penting aku tidak berniat jahat dan usil kepadanya!
Hanya saja... tak bisa dilakukan pengobatan di tempat
terbuka begini. Hmmm... di mana ada gua di sekitar
sini" Atau... sebaiknya kubawa dia ke tempat yang le-
bih layak untuk melakukan pengobatan itu!" Yoga
memandang sekelilingnya dengan masih tampak sedi-
kit tegang, sebab ia harus berpacu dengan sang maut.
Terlambat sedikit, maka nyawa gadis cantik itu akan
melayang selamanya.
* * * 3 MANUSIA Kabut yang dijuluki oleh pendekar
Rajawali Putih dengan nama Tua Usil, siang itu dalam
perjalanan pulang dari rumah Bocah Bodoh, anak Nyai
Sembur Maut yang mewarisi Pedang Jimat Lanang itu.
Lelaki yang berpakaian coklat muda dengan rambut
putih tipis dan kumis putih tipis pula itu masih tetap
bergigi ompong satu di sebelah kanan depan. Ia cen-
gar-cengir sendiri membayangkan kebodohan Cola Co-
lo yang disuruh ibunya memanjat pohon kelapa, dan
hanya memanjat saja tanpa memetik buahnya. Sampai
sang ibu berteriak menyuruh memetik buah kelapa
muda, barulah Cola Colo memetiknya. Itu pun masih
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus dibawanya turun untuk diserahkan kepada sang
ibu, bukan dijatuhkan untuk kemudian diambil sete-
lah ia bisa turun dengan bebas. Akibat kebodohan Co-
la Colo itu, ia pun jatuh dan hampir saja menimpa tu-
buh Tua Usil. Rasa-rasanya memang pantas sekali Co-
la Colo dijuluki Bocah Bodoh, karena kebodohannya
terkadang melampaui batas kebodohan bocah berusia
lima tahun. Langkah kaki Tua Usil terhenti ketika ia men-
dengar suara pekik pertarungan di balik bukit yang tak
seberapa tinggi itu. Tua Usil berpikir, "Siapa yang bertarung" Jangan-jangan
Nona Lili, majikanku yang ber-
tarung dengan musuh-musuhnya" Kalau begitu, aku
harus membantu Nona Lili secepatnya, supaya Nona
Lili tidak menunda-nunda waktu lagi untuk mengajari
ku berdiri di atas ilalang!"
Tua Usil dari dulu memang sangat ingin mem-
punyai ilmu yang bisa membuatnya berdiri di atas ila-
lang, seperti yang dilakukan Lili pada saat jumpa per-
tama dengannya. Tapi sampai akhirnya Tua Usil men-
gabdi menjadi pelayan Lili, si Pendekar Rajawali Putih, ilmu itu masih saja
belum diberikan oleh Lili. Sebab Li-li tidak ingin memberikan jika belum
mengetahui sebe-
rapa tinggi ilmu si Tua Usil itu. Sedangkan menurut
anggapan Lili, Tua Usil masih menyembunyikan diri
berlagak menjadi orang bodoh yang tidak berilmu. Pa-
dahal, Tua Usil memang tidak mempunyai ilmu apa-
apa kecuali hanya jurus-jurus tangan kosong yang
sangat rendah. Satu-satunya ilmu tinggi yang dimiliki
hanyalah bisa merubah dirinya menjadi kabut, karena
ilmu itu adalah ilmu warisan yang di berikan secara
turun-temurun dari ayahnya.
Apa yang diduga Tua Usil ternyata keliru. Bu-
kan Pendekar Rajawali Putih yang bertarung di balik
bukit kecil itu, melainkan dua orang lelaki tua yang
sama-sama berambut putih rata. Menurut dugaan Tua
Usil kedua lelaki itu sama-sama berusia sekitar tujuh
puluh tahun. "Hei, ada apa mereka saling beradu ilmu den-
gan sungguh-sungguh?" pikir Tua Usil dari persembunyiannya. "Aku kenal dengan
mereka. Yang berjubah
putih lusuh itu pasti Ki Pamungkas dari Perguruan
Gerbang Bumi. Dan yang mengenakan pakaian model
biksu berwarna hijau tua itu pasti yang bernama Resi
Gutama, dari Perguruan Kuil Dewa. Setahuku mereka
dulunya bersahabat. Mengapa sekarang saling bunuh"
Sejak kapan mereka bermusuhan?"
Mata si Tua Usil. terkesiap melihat tubuh Resi
Gutama meluncur ke depan dengan berputar cepat ba-
gai tonggak yang hendak menghunjam dada Ki Pa-
mungkas. Dan pada saat itu, Ki Pamungkas hanya ki-
baskan jubah putihnya dalam keadaan berputar satu
kali. Dari kibasan itu terpancar sinar putih menyilau-
kan membentang bagaikan dinding baja. Tubuh Resi
Gutama yang meluncur itu menghantam sinar putih
tersebut. Blaaar...! Sinar putih pecah dan pudar seketika, tapi tu-
buh Resi Gutama terpental ke samping sekitar delapan
tombak jauhnya. Lelaki berjenggot putih panjang den-
gan kepala bagian tengahnya botak itu segera bangkit
dari kejatuhannya. Tiba-tiba tubuhnya bagaikan
menghilang. Claap...! Tahu-tahu sudah berada di bela-
kang Ki Pamungkas dan menghantamkan telapak tan-
gannya ke punggung Ki Pamungkas. Baaahk...! Puku-
lan itu memancarkan sinar kuning dalam sekejap.
Pukulan tersebut membuat Ki Pamungkas ter-
hempas ke depan bagaikan daun kering disapu badai.
Lelaki berjubah putih yang mempunyai rambut pendek
warna putih dan jenggot putih yang tak begitu panjang
itu segera menggeliat bangkit dengan memuntahkan
darah kental lebih dulu. Dalam keadaan kedua tangan
masih di tanah dan kaki berlutut, Ki Pamungkas sege-
ra hentakkan telapak tangannya memukul tanah di
depannya. Buuhg...!
Bruuuul...! Tua Usil terperanjat kagum melihat tanah yang
dipakai berpijak Resi Gutama itu tersembur ke atas
bagai mengalami ledakan dahsyat dari dalam bumi,
melemparkan tubuh Resi Gutama yang tergolong ge-
muk itu melambung ke atas hingga menerabas dahan,
ranting, dan daun pepohonan. Zrraaak...!
Dengan cepat Resi Gutama bersalto satu kali
dalam keadaan turun, lalu dari ujung-ujung jari tan-
gannya keluar sepuluh larik sinar biru yang menyer-
gap tubuh Ki Pamungkas. Zuuutt...! Jraaab...!
"Aaahg...!"
Ki Pamungkas terpekik. Tubuhnya menggerin-
jal-gerinjal dililit sinar biru sepuluh larik itu. Dengan kepala mendongak dan
mulut ternganga, Ki Pamungkas berkelojotan sambil berusaha melepaskan diri. ia
menyerukan suara erang yang memanjang, makin la-
ma semakin tinggi.
?"Aaaaa...! Heaaah...!"
Blaar...! Sepuluh larik sinar biru pecah seketika
saat kedua tangan Ki Pamungkas menyentak bersama-
sama dengan memancarkan sinar merah membara.
Sekalipun tubuhnya terjungkal, berguling-guling ke
belakang, namun Ki Pamungkas merasa selamat dari
ancaman maut jurus hebat lawannya. Nafasnya teren-
gah-engah dan matanya melirik tajam pada Resi Gu-
tama yang sedang berdiri dengan tegak dalam jarak
sepuluh langkah di depannya.
?"Kau memang keras kepala, Pamungkas! Il-
mumu masih di bawah ilmuku! Lunakkan sedikit ke-
kerasan hatimu, supaya aku tidak membunuhmu,
Pamungkas!"
Dengan napas terengah-engah, Ki Pamungkas
yang memang nyata-nyata kalah ilmu itu masih berani
berkata, "Tak akan kubiarkan kau membunuhku, Gu-
tama!| Tak akan kubiarkan kau memilikinya!"
"Percayalah padaku, Pamungkas. Roh Guru
hadir dalam mimpiku dan menyerahkannya padaku."
"Roh Guru pun hadir dalam mimpiku dan
memberitahukannya padaku!"
"Baiklah kalau begitu. Terpaksa satu di antara
kita harus mati!"
"Aku siap menghadapimu, Gutama! Sekalipun
kau punya ilmu dari kakakmu sendiri, tapi aku pun
punya ilmu dari nenekku sendiri! Kita sama-sama
punya kelebihan ilmu dan kita selesaikan urusan Ini
dengan ilmu andalan kita masing-masing."
"Bersiaplah...," ucap Resi Gutama dengan ka-
lem dan berwajah dingin.
Ki Pamungkaspun memandang dengan sorot
mata dingin, lalu menggerakkan kedua tangannya pe-
lan-pelan ke samping kanan-kiri. Tiba-tiba kedua tan-
gan itu bergerak cepat patah-patah. Jurus aneh yang
belum pernah dilihat Resi Gutama dipamerkan oleh Ki
Pamungkas. Jurus itulah yang dinamakan Jurus
'Patah Garuda', yang menjadi Jurus andalan KI Pa-
mungkas. Dalam keadaan bergerak membungkuk
maupun melangkah, tampak seperti gerakan patah-
patah yang sulit diikuti oleh pandangan mata.
Resi Gutama pun segera keluarkan Jurus an-
dalannya, yaitu mengeraskan kedua tangannya dalam
gerakan lamban, terangkat ke depan, dan keluarlah
kuku-kuku tajam dari setiap ujung Jarinya. Jurus itu-
lah yang dinamakan jurus 'Cakar Langit', pemberian
dari kakaknya. Tubuh Resi Gutama bergetar karena
kerasnya urat di sekujur tubuh itu. Matanya pun be-
rubah menjadi merah ketika kesepuluh jari sudah ber-
kuku hitam. Dari setiap kuku memercik bunga api
warna biru saling berlompatan bagai tak sabar me-
nunggu mangsanya.
Heaaah...!" Resi Gutama mengerang panjang,
lalu segera sentakkan kakinya dengan lembut ke ta-
nah, tapi membuat tubuhnya terdorong cepat bagai
melompat penuh nafsu untuk membunuh. Sementara
itu, Ki Pamungkas pun sentakkan kaki dan tubuhnya
pun melayang bagaikan terbang ke arah lawannya
dengan telapak tangan menyala hijau. "Eaaahh...!"
Braas...! Mereka bertabrakan di pertengahan ja-
rak dalam keadaan sama-sama melayang. Resi Guta-
ma menghantamkan Jurus 'Cakar Langit'-nya bebera-
pa kali ke tubuh Ki Pamungkas, sedangkan Ki Pa-
mungkas melepaskan jurus 'Patah Garuda'-nya yang
mengenai leher, dada, dan pinggang kiri lawannya.
Pada saat itu, mata si Tua Usil terbelalak te-
gang karena melihat kedua tubuh yang sama-sama
bertabrakan di udara itu memancarkan cahaya api
yang begitu besar. Beberapa daun di sekitarnya men-
jadi kering seketika dan pohon-pohon yang agak jauh
dari mereka menjadi layu. Tua Usil sendiri sempat ter-
sentak tubuhnya Ketika terkena hembusan angin pa-
nas dari perpaduan dua jurus maut tersebut.
Tua Usil segera lompat ke bongkahan batu be-
sar, Berlindung di sana dari sengatan hawa panas
yang menyebar ke berbagai penjuru. Ketika hawa pa-
nas itu dirasakan telah lenyap, ia pun mulai menon-
golkan kepalanya pelan-pelan dari samping batu besar.
"Hahh...?" Tua Usil berteriak keras-keras sambil melompat mundur, karena begitu
ia menongolkan kepala dari samping batu, tiba-tiba di depannya persis
terdapat moncong seekor babi hutan yang rupanya ju-
ga sedang mencari tempat perlindungan akibat hawa
panas tadi. "Huuik...!" Babi hutan itu pun kaget melihat
Tua Usil, dan lari kembali arah dengan terbirit-birit.
Tua Usil ngos-ngosan sambil pegangi dadanya yang
berdetak-detak keras karena kagetnya tadi.
"Babi! Hampir saja aku menderita malu berci-
uman dengannya! Cuih!" Tua Usil meludah dengan jijik dan jengkel.
Alam menjadi sunyi, seakan lengang tanpa sua-
ra apa pun. Bahkan daun pun tak mau bergemerisik,
angin enggan berhembus, babi hutan tadi entah ke
mana mendekamnya. Tak terdengar lagi suara napas
dan langkah kakinya. Alam menjadi mati dalam bebe-
rapa kejap, tapi Tua Usil tak mau hanyut dalam kema-
tian itu. Tua Usil segera dekati tempat pertarungan an-
tara KI Pamungkas dengan Resi Gutama tadi. Ia ge-
leng-geleng kepala karena heran melihat tanah menjadi
hitam, rerumputan hangus, beberapa batang pohon
masih berdiri walau sudah menjadi arang. Semak-
semak habis tersapu hawa panas yang membuatnya
hitam keriting.
"Ilmu apa yang mereka adukan tadi?" gumam
Tua Usil. Di sebelah barat, pakaian biksu warna hijau
yang dikenakan Resi Gutama telah menjadi abu. Tu-
buh Resi Gutama terbujur kaku, tanpa nyawa lagi dan
kulitnya melepuh hitam. Sedangkan di sebelah timur
tubuh Ki Pamungkas juga sudah dalam keadaan ter-
bakar, Jubah putihnya menjadi hitam. Rambutnya pu-
tihnya keriting hitam. Wajahnya bengkak dengan luka-
luka di sekujur tubuh bekas cakaran yang menghitam
pula. "Oooh...!"
Terdengar suara keluh Tua Usil kaget dan
memperhatikan tubuh Ki Pamungkas, ternyata masih
bergerak-gerak dan sedang mendekati ajal. Tua Usil
segera dekati tokoh sakti itu. Mata Ki Pamungkas mu-
lai terbuka pelan-pelan, mulutnya yang ternganga mu-
lai, menggerakkan bibir, lidah, dan tenggorokannya
bagai ingin menelan ludah yang telah punah dari mu-
lutnya. "Tahan sebentar, Ki. Aku akan carikan air un-tukmu!" kata Tua Usil.
"Tak... tak... perlu...," ucap Ki Pamungkas lirih sekali. "Dekatlah pada...
ku...!" Dengan bingung, Tua Usil merangkak mende-
kati mulut Ki Pamungkas. Ia mendengar Ki Pamungkas
ucapkan kata pelan, "Pancasona...?"
"Ya, aku Pancasona, Ki. Syukurlah kalau kau
masih mengenaliku!" Tua Usil merasa bangga menden-
gar nama aslinya disebutkan.
"Masuklah ke... sumur...."
Tua Usil berkerut dahi, menarik telinganya dari
dekat mulut Ki Pamungkas. Ia bergumam dalam ha-
tinya, "Ini orang sudah mau mati tapi masih mau cela-kai orang saja" Apa
maksudnya?"
"Masuklah... ke Sumur Condong di.... seb... se-
belah... barat sana!"
"Untuk apa kau suruh aku masuk ke Sumur
Condong yang belum ku tahu letaknya itu, Ki?"
"Ad... ada... pusaka... yang... yang kupere-
butkan dengan Gutama. Lekas... ambillah...!"
Tua Usil berpikir, "ini amanat orang mau mati.
Kalau tidak ku turuti, arwahnya bisa mengejar-
ngejarku. Baiklah, ku turuti saja!"
Tua Usil segera bergerak ke arah barat. Ia sem-
pat ngeri melihat mayat Resi Gutama yang berjarak
sekitar sepuluh tombak lebih dari tempat Ki Pamung-
kas berada. Mata Tua Usil mencari-cari sumur yang
dimaksud sampai beberapa saat, akhirnya ia temukan
juga setelah hampir patah semangat dan menganggap
ditipu. Ternyata dalam jarak lebih kurang delapan be-
las langkah dari tempat Resi Gutama terkapar menjadi
mayat, ada lubang tanah berbentuk miring, seperti gua
kecil yang tak seberapa dalam. itulah yang dimaksud
Sumur Condong oleh Ki Pamungkas tadi. Sumur itu
kering, tanpa air setetes pun. Yang ada hanya beba-
tuan kecil dan sampah daun kering. Melihat keadaan
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalamnya cukup aman dan tak sukar untuk keluar
kembali dari sumur itu, maka Tua Usil pun melompat
turun ke dalam sumur tersebut.
"Mana pusaka yang dimaksud oleh Ki Pamung-
kas itu"!" gerutu Tua Usil sambil matanya mencari-cari di sekeliling tanah yang
dipijaknya. Kerikil-kerikil dis-ingkapkan, dedaunan kering disingkirkan. Tetap
saja ia tidak temukan sebentuk pusaka di dalam sumur itu.
"Ah, benar-benar orang mau mati itu bikin kes-
al hatiku! Dia tipu aku untuk masuk sumur ini. Apa
maksudnya menipuku begini" Sebaiknya aku segera
keluar saja dari sumur ini!"
Dengan memanjat salah satu batu pada dinding
sumur yang miring, Tua Usil dapat dengan mudah
mencapai permukaan sumur. Tetapi tiba-tiba matanya
menangkap sekilas sinar kuning berkerilap pada dind-
ing sumur. Sinar itu terselip di antara susunan batu
dinding sumur yang lebarnya satu langkah manusia
dewasa. "Sinar apa itu?" pikir Tua Usil. "Batu aneh..."!
Mungkin batu bersinar inilah yang dimaksud pusaka
oleh Ki Pamungkas."
Tua Usil segera membongkar batu kanan-
kirinya, lalu mengambil batu bersinar kuning itu.
Zraab...! "Oh, ternyata bukan batu" Ini sebuah pisau
bersarung emas"!" Tua Usil berdebar-debar memperhatikan pusaka tersebut. Rupanya
yang tampak di per-
mukaan dinding sumur tadi adalah ujung gagang pi-
sau yang juga berlapis emas berukir seperti sarung pi-
saunya. Pisau itu seluruhnya berukuran satu jengkal
setengah. Gagangnya tak terlalu panjang. Ketika Tua
Usil membawanya naik ke permukaan sumur dan
mencabut pisau dari sarungnya, ternyata mata pisau
itu berwarna hitam seperti perunggu, tapi dikelilingi
sinar merah bening. Tua Usil gemetar sekujur tubuh-
nya. Matanya tak bisa berkedip memandangi mata pi-
sau berukuran satu jengkal, berujung runcing, bersisi
tumpul di kanan-kirinya. Tapi sinar merah yang men-
gelilingi mata pisau itu yang membuat Tua Usil yakin,
bahwa pisau itu adalah pisau bertuah. Rasa takut
membuat Tua Usil buru-buru menyarungkan pisau
tersebut, kemudian cepat-cepat berlari menemui Ki
Pamungkas yang sedang sekarat.
"Ki..., aku berhasil! Pisau inikah yang kau mak-
sud pusaka?"
Mata Ki Pamungkas terbuka kecil, bibirnya ber-
gerak-gerak ingin tersenyum, namun sulit karena ba-
nyak luka cabikan. Ia hanya menjawab dengan suara
semakin pelan, "Benar.... Itu yang... dinamakan.... Pu.... Pusa-
ka Hantu Jagal!"
"Ada hantunya, Ki?"
"Tidak," jawab Ki Pamungkas dengan susah
payah. "Hantu Jagal... adalah nama julukan... guruku, juga... gurunya Gutama."
Ki Pamungkas terbatuk-batuk sebentar sambil
menyeringai menahan rasa sakit. Sementara itu, Tua
Usil masih terbengong mendengarkan ucapan Ki Pa-
mungkas dan menyimak suara batuknya. Sesaat ke-
mudian, suara Ki Pamungkas terdengar menjadi serak
dan lirih, "Tikamlah aku dengan... pisau itu..."
"Bagaimana?" Tua Usil kaget dan setengah ti-
dak percaya dengan pendengarannya. Ki Pamungkas
mengulangi, "Tikamlah aku dengan pisau Itu... sekarang ju-
ga...." "Tid... tid... tidak mau!" Tua Usil melepaskan pisau itu, jatuh di
samping lengan KI Pamungkas yang
sudah tidak bisa bergerak lagi. Tua Usil mundur dari
jongkoknya dengan mata tegang.
"Aku bukan seorang pembunuh. Aku tidak tega
memenuhi permintaanmu, Ki Pamungkas. Kau bukan
musuhku." "Laku... lakukanlah, Pancasona. Kkkau... yang
beruntung rupanya. Tikamlah aku, lalu pisau itu men-
jadi pusaka milikmu. Pertahankan selamanya... jangan
sampai jatuh ke tangan orang lain.... Apalagi orang se-
sat, jangan sam... pai...!"
Tua Usil tidak berucap kata apa-apa karena
bingung menghadapi permintaan aneh tersebut. Ma-
tanya masih memandang tegang kepada Ki Pamungkas
yang hanya mampu menatap dengan mata sipit. Lalu,
terdengar kembali suaranya yang tampak dipaksakan
keluar dari kerongkongannya,
"Pisau pusaka itu akan membuatmu... berilmu
tinggi. Setiap kau tikamkan ke tubuh orang berilmu,
maka... seluruh ilmu orang tersebut akan mengalir ke
dalam tubuhmu, kekuatannya... tenaga dalamnya...
jurus-jurusnya... semuanya akan... berpindah menjadi
milikmu. Jika... diadu dengan pusaka lain berbentuk
apa pun, bisa... bisa keluarkan ledakan gempa yang
cukup hebat. Pisau itu... juga bisa sedot racun seganas apa pun dengan hanya...
ditempelkan pada lukanya
saja. Sebab itu, tikamlah aku, Pancasona. Selain aku
bangga bisa mati karena pisau pusaka guruku, juga...
ilmuku akan mengalir ke tubuhmu dan menjadi mi-
likmu selamanya. Lakukanlah, Pancasona...."
Tua Usil yang bernama asli Pancasona itu ma-
sih diam dalam kebimbangannya. Jantungnya bertam-
bah berdetak-detak karena tegang. Ki Pamungkas me-
nunggu sampai beberapa saat, namun Tua Usil masih
saja diam bagaikan patung bernyawa.
"Tolonglah, Pancasona... Bunuh aku dengan pi-
sau pusaka milik guruku, agar kematianku bukan ke-
matian yang sia-sia, dan... dan lebih terhormat daripa-
da... kematian Gutama itu.... Ku mohon, tolonglah...!
Lakukan perintahku di akhir hidupku ini...."
Suaranya semakin kecil, semakin tipis, berben-
tuk bisikan-bisikan yang mengharukan hati. Tua Usil
iba mendengar permohonan tersebut. Akhirnya, ia
paksakan diri untuk mencabut pisau pusaka tersebut.
Repotnya, ketika pisau ingin dihunjamkan, tangan Tua
Usil sangat gemetar. Guncangannya cukup hebat ka-
rena rasa takut dan tegang di dalam hati.
"Lakukan...," suara itu hampir tak lagi terdengar.
"Diii... diii... di sebelah mana aku harus menu-
suknya" Dii... di... di betis saja, ya?"
"Jan... tung...!" jawab KI Pamungkas.
"Jan... jantung" Oh, jangan...! Kalau kutikam
jantungmu, nanti kau mati, Ki Pamungkas. Apakah
kau tak tahu bahwa jantung adalah...."
"Lekas... sebelum nafasku berakhir...! Lekas...!"
Ki Pamungkas sangat memohon dan membuat hati
Tua Usil kian terharu.
"Terserahlah. Kalau kau mati tanggung jawab-
mu sendiri, Ki! Hiaaah!"
Jruub...! Dengan kedua tangan Tua Usil menghunjam-
kan pisau pusaka itu ke dada kiri Ki Pamungkas, tepat
pada bagian jantungnya. Seketika itu pula tubuh Ki
Pamungkas bercahaya merah bening, sedangkan pisau
itu sendiri juga bercahaya merah bening sampai pada
gagangnya. Bahkan kini kedua tangan Tua Usil pun
menjadi bercahaya merah bening. Kian lama, tubuh
Tua Usil menyala merah bening seluruhnya, sedang-
kan cahaya merah pada tubuh Ki Pamungkas pun re-
dup. Ki Pamungkas sudah tidak bernyawa lagi. Pisau
pun dicabut oleh Tua Usil, tubuh Tua Usil tidak lagi
bercahaya merah. Tapi benarkah Tua Usil sekarang
berilmu sama tingginya dengan ilmunya Ki Pamung-
kas" Tua Usil tak yakin akan hal itu.
* * * 4 SETELAH tertegun beberapa saat lamanya, dan
setelah dalam hatinya masih saja timbul rasa tidak
percaya bahwa ilmu yang ada pada diri Ki Pamungkas
telah berpindah rasa menjadi miliknya, maka Tua Usil
pun memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
"Yang penting keinginannya sudah ku penuhi.
Bukan salahku jika Ki Pamungkas mati. Toh tanpa
kubunuh pun dia akan mati dengan sendirinya karena
luka parah dari pertarungannya dengan Resi Gutama!
Sebaiknya, sekarang ku makamkan saja jenazah me-
reka berdua, siapa tahu punya keberuntungan tersen-
diri memakamkan kedua jenazah tokoh sakti ini..."!"
Tua Usil menyelipkan Pusaka Hantu Jagal ke
balik bajunya hingga tak mudah terlihat siapa pun. Ia
merasa ngeri dan takut pisau bersarung dan berga-
gang emas itu akan diincar oleh orang jahat sebagai
perhiasan yang amat mahal harganya. Sebab itu harus
disembunyikan di balik baju.
Pada saat ia bergegas ingin menggali tanah
dengan menggunakan tonggak kayu runcing, tiba-tiba
dari arah belakang terasa ada sepasang kaki yang me-
nendangnya dengan sangat kuat. Buuhg...!
"Aahg...!" Tua Usil terpekik, tubuhnya terlempar ke depan dan berguling-guling.
Tapi dengan cepat kakinya mampu menyentak dan ia bangkit seketika itu
juga, berdiri tegak sambil memandang ke arah orang
yang menendangnya. Dalam hatinya Tua Usil sempat
berkata, "Aneh. Kok aku tidak terlalu merasa sakit men-
dapat tendangan sekuat itu" Kok aku bisa cepat bang-
kit dan berdiri setegak ini" Dan... oh, rupanya perem-
puan cantik itu yang tadi menyerangku! Siapa dia?"
Perempuan cantik itu masih tergolong muda.
Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Matanya sedikit
lebar bertepian hitam, memandang tajam namun
punya keindahan tersendiri dari bentuk bulu matanya
yang lentik itu. Alisnya tebal, hidungnya mancung,
rambutnya panjang di sanggul ke atas sebagian, Gadis
itu kenakan pakaian serba kuning, dengan senjata pe-
dang di pinggang dari gading, gagang dan sarung pe-
dangnya nyata-nyata dari gading berukir. Di ujung ga-
gang pedang ada hiasan bentuk burung walet.
Gadis itu segera menahan tangis mati-matian
melihat ke arah mayat Ki Pamungkas. Ia sempat ber-
simpuh di samping jenazah tersebut dan mengucap
kata duka, "Guru, maafkan aku...! Aku terlambat me-nolongmu. Guru...!"
Tua Usil berucap kata, "Ooo... gadis itu murid-
nya Ki Pamungkas! Pantas ia menendangku, mungkin
maksudnya aku tak boleh menguburkan jenazah gu-
runya di sembarang tempat. Mungkin mau dibawanya
ke Perguruan Gerbang Bumi."
Gadis itu tundukkan kepala dengan mata ter-
pejam kuat dan kedua tangan mengepal kencang. Se-
saat kemudian mata itu terbuka lagi, lalu pelan-pelan
melirik ke arah Tua Usil. Lirikan tajam itu membuat
Tua Usil ragu untuk menyapanya dengan ramah, ak-
hirnya ia hanya bisa tersenyum tawar dan salah ting-
kah. Tetapi hati Tua Usil menjadi cemas ketika gadis
itu bangkit dan mulai melangkah pelan-pelan mende-
katinya dengan sorot pandangan mata berkesan ber-
musuhan. Tua Usil diam saja dengan dahi berkerut
menatap gadis cantik itu. Dalam jarak empat langkah
di depan Tua Usil, gadis itu berhenti dan segera berka-
ta dengan geram,"Akan kubalas kematian Guru sekarang juga!"
"Hmmm..., eh... ya, balaslah! Tapi... siapa maksud mu yang akan kau balas itu?"
Makin sipit mata gadis itu memandang Tua Usil
ketika berkata,
"Jangan merasa bangga dulu jika kau bisa
membunuh guru ku. Belum tentu kau bisa membu-
nuhku: Walet Gading, murid kinasih Ki Pamungkas!"
Pedang Keramat Thian Hong Kiam 2 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 7
PUSAKA HANTU JAGAL Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode: Pusaka Hantu Jagal
128 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 ANGIN di Lembah Biara berhembus membawa
suara denting aneh ke arah perbukitan. Suara denting
itu membuat dedaunan berguguran dan ranting-
ranting kering saling patah dengan sendirinya. Gelom-
bang suara denting itu ternyata mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga memekak-
kan gendang telinga manusia maupun hewan yang ada
di sekitar Lembah Biara.
Denting yang mengiang-ngiang itu timbul dari
perpaduan dua senjata rencong milik seorang lelaki be-
rusia sekitar empat puluh tahun. Lelaki itu mengena-
kan pakaian serba putih, berkumis lebat, dan bercam-
bang rata sampai di bagian jenggotnya yang pendek
itu. Sekalipun ia mengenakan pakaian serba putih,
namun dilihat dari raut wajahnya yang bertulang keras
bertonjolan dengan bentuk mata sedikit besar dan liar,
maka orang dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu bu-
kanlah lelaki berjiwa kesatria.
Namanya Rencong Geni. Dari mana asal lelaki
itu, hanya gadis berpakaian merah darah itulah yang
mengetahuinya. Gadis itu kini sedang menghadapi se-
rangan Rencong Geni dengan menggunakan senjata
trisulanya dari logam merah tembaga. Dengan gesitnya
gadis itu berulang kali menghindari serangan lawan-
nya sambil sesekali melepaskan pukulan jarak jauh
melalui tangan kirinya yang tidak menggenggam trisu-
la tersebut. Rambutnya yang panjang berkepang dua
sering digunakan sebagai senjata cambuk melalui ki-
basan kepalanya. Dari ujung rambut yang masing-
masing mempunyai logam putih runcing itu, sering ter-
lihat sinar merah melesat ke arah Rencong Geni.
Pada satu kesempatan, Rencong Geni sengaja
hentikan serangannya. Ia berdiri dengan tetap sigap,
matanya memandang tajam kepada gadis berhidung
mancung dan bermata bundar indah itu. Suaranya
terdengar menghardik dengan lantang,
"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk memper-
timbangkan keputusanmu, Manis Madu! Jika kau te-
tap tak mau serahkan pusaka tersebut padaku, maka
akan ku habisi nyawamu dilembah ini juga!"
"Aku tidak tahu menahu soal pusaka itu, Pa-
man Rencong Geni! Kalau Paman sengaja ingin cari
perkara denganku, kulayani sampai kapan pun kekua-
tan Paman mampu bertahan!"
"Ha, ha, ha, ha...! Ibumu pun tunduk padaku,
Manis Madu! Mengapa kau mau coba-Coba melawan-
ku, Anak Manis?"
"Ibu tunduk pada Paman Rencong Geni, karena
Ibu merasa lebih muda dan pernah diasuh oleh Pa-
man. Tetapi aku tidak seperti ibu. Aku adalah Manis
Madu yang dibesarkan dan dididik oleh guruku sendi-
ri! Tak perlu aku tunduk kepadamu, Paman Rencong
Geni!" "Keparat! Gadis tak tahu sopan sama sekali!"
geram Rencong Geni semakin jengkel hatinya. Lalu ia
berseru lagi dengan sedikit mengendurkan urat-
uratnya, "Ketahuilah, Manis Madu... Siapa pun yang
memegang Pusaka Hantu Jagal, dia adalah musuhku.
Karena aku harus merebut pusaka itu dari tangannya
sebagai mas kawinku untuk melamar Dewi Gita Dara!"
"Kalau begitu Paman salah musuh. Bukan aku
musuhmu, Paman. Karena aku tidak pernah meme-
gang Pusaka Hantu Jagal. Bahkan melihat bentuknya
pun belum pernah!"
"Omong kosong! Gurumu mempunyai pusaka
itu dan pasti diwariskan kepada salah satu muridnya.
Menurut kabar yang kudengar, murid kesayangan gu-
rumu adalah kau sendiri. Jadi aku yakin, pusaka itu
pasti diwariskan kepadamu, Manis Madu."
"Keyakinan yang ngawur itu, Paman!" bantah
gadis yang bernama Manis Madu itu. "Guru tidak pernah bicara tentang Pusaka
Hantu Jagal!"
"Itu lebih omong kosong lagi!" sergah Rencong Geni sambil melangkah satu tindak.
Semakin tampak kemarahannya akibat rasa tidak percayanya itu. Tapi
Manis Madu tetap tenang dan sigap dengan senjata tri-
sulanya di tangan kanan yang tetap terangkat ke atas.
Rencong Geni tambahkan kata, "Seorang guru
pasti akan ceritakan tentang pusaka-pusaka maut
yang ada di rimba persilatan. Jika gurumu tidak ceri-
takan tentang Pusaka Hantu Jagal, dan tidak tahu
menahu tentang pusaka itu, jelas itu suatu kebohon-
gan besar yang dimiliki oleh gurumu! Mungkinkah gu-
rumu itu bekas seorang penipu"!"
"Jangan merendahkan nama Guru seenaknya
saja, Paman! Sekarang apa mau Paman akan ku turu-
ti!" "Aha..."! Kau makin tampakkan keberanianmu
untuk menutupi kebohonganmu, Manis Madu. Baik-
lah, akan ku paksa kau bicara tentang pusaka itu den-
gan kedua rencong saktiku ini! Heaaah...!"
Rencong Geni berkelebat mainkan jurus ba-
runya dengan tetap menggenggam kedua rencong di
tangan kanan-kirinya. Manis Madu sendiri cepat pa-
sang kuda-kuda lebih tangguh lagi, sebab ia tahu pa-
man angkatnya itu tidak akan main-main lagi dalam
menyerangnya. Ternyata dugaan Manis Madu memang benar.
Rencong Geni tidak main-main lagi dalam menyerang-
nya. Dua rencongnya saling digesekkan dengan cepat,
sriiing...! Suara denting itu lebih tajam lagi menusuk
gendang telinga. Manis Madu sempat tersentak kaget
dan menyeringai karena merasa sakit di kedua telin-
ganya. Pada saat itulah, Rencong Geni melompat da-
lam satu tendangan berputar. Wuuut...! Plak!
Pipi berkulit kuning langsat itu bagaikan di-
tampar dengan balok kayu cukup keras. Manis Madu
terpental memutar dan jatuh di bawah sebatang po-
hon. Dengan ganasnya Rencong Geni menerjang gadis
berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu. Dua ren-
congnya ditebaskan membuka dari tengah ke samping
kanan-kiri. Sasarannya adalah dada gadis itu.
Wuuussstt...! Trakk, plaaak...!
Manis Madu berhasil menangkis rencong kiri
dengan trisulanya, sedangkan rencong di tangan ka-
nan berhasil ditendangnya kuat-kuat mengenai perge-
langan tangan lawan. Akibatnya, satu rencong itu le-
pas dari tangan lawan yang merasa kesemutan dan
sukar dipakai menggenggam kuat-kuat. Weees...!
"Keparat!" teriak Rencong Geni lalu berusaha
menghantamkan telapak tangannya yang kiri. Telapak
tangan itu keluarkan sinar biru yang tak dapat dihin-
dari oleh Manis Madu. Wuuusst...! Duub...! Tepat ke-
nai dada Manis Madu yang segera mengejang dan tu-
buhnya terlempar ke samping.
Bruuussh...! Manis Madu bagai dibuang ke se-
mak-semak berjarak tujuh langkah dari tempatnya
semula. Rencong Geni segera melompat dan berguling
di tanah sambil menyambar rencongnya yang terlem-
par jatuh itu. Tubuh Manis Madu menjadi merah bagai habis
terpanggang api. Matanya terbeliak-beliak karena
mengalami sukar bernapas. Rencong Geni menyeringai
dari tempatnya, lalu senjata rencongnya digesrekkan
kembali. Sriiing...! Srrringng...!
"Aahg...!" Manis Madu memekik tertahan sam-
bil berguling-guling. Telinganya mulai keluarkan darah
kental berwarna merah kehitaman.
"Ha, ha, ha, ha...! Kau tak akan bisa mengalah-
kan aku, Manis Madu! Jika kau tak mau serahkan Pu-
saka Hantu Jagal, kupecahkan kepalamu dengan jurus
'Gema Kubur' ini! Heeh...!"
Sriiing...! Kedua rencong itu saling beradu.
Dentingannya hadirkan gelombang lebih kuat lagi,
membuat gadis tersebut semakin memekik kesakitan.
Trisulanya di lepaskan begitu saja, kedua tangannya
mendekap telinga dengan kuat-kuat. Kini nafasnya
mampu dihela walau berat dan tersendat-sendat.
Srriiinggg! Sekali lagi kedua rencong itu dige-
srekkan. Manis Madu keluarkan darah dari mulutnya,
walau tak seberapa banyak, namun membuat wajah
merahnya memucat bagaikan mayat.
Rencong Geni tak mengetahui ada sepasang
mata yang memperhatikan pertarungannya dari atas
bukit. Sepasang mata itu milik seorang pemuda tam-
pan yang mengenakan baju selempang dari kulit be-
ruang coklat yang membungkus pakaian putih lengan
panjang di dalamnya. Pemuda itu menyandang pedang
di punggungnya, membiarkan rambutnya yang pan-
jang sebatas punggung itu tergetar dipermainkan an-
gin bukit. Di samping pemuda tampan berwajah menga-
gumkan itu, terdapat seekor burung rajawali besar
berbulu merah. Melihat keberadaan burung rajawali
merah yang tampak kekar dan tegar itu ada di samp-
ing si pemuda, maka orang akan dapat mengenali
bahwa pemuda itu tak lain adalah Yoga, yang bergelar
Pendekar Rajawali Merah.
Rupanya sudah sejak tadi Yoga berdiri meman-
dangi pertarungan Rencong Geni dengan Manis Madu
dari atas bukit tersebut. Dalam hatinya Yoga berkata,
"Agaknya gadis itu benar-benar tidak tahu me-
nahu tentang pusaka yang disebut-sebutkan oleh si le-
laki berwajah angker tersebut. Ia sudah hampir mati,
tapi tetap tak mau bicara tentang pusaka itu. Hmm...!
Lelaki yang kudengar tadi dipanggil sebagai Paman
Rencong Geni itu semakin ganas mengumbar kemara-
hannya. Manis Madu bisa binasa oleh kekuatan tenaga
dalam yang di salurkan melalui gelombang suara den-
tingan dua rencong tersebut. Manis Madu agaknya tak
mempunyai lapisan tenaga dalam tinggi, sehingga gen-
dang telinganya bisa ditembus oleh dentingan suara
tadi. Atau, barangkali karena jaraknya yang terlalu de-
kat, sehingga Manis Madu sampai separah itu, se-
dangkan aku dan Merah dalam keadaan jauh, sehing-
ga tak mampu ditembus suara denting itu" Hmmm...
sebaiknya kuselamatkan dulu gadis yang terancam
maut itu!"
Kemudian Pendekar Rajawali Merah memerin-
tahkan kepada burung rajawalinya dengan berkata,
"Merah! Selamatkan gadis itu!"
"Keaaak...!" burung itu berkeak satu kali, kemudian segera terbang menuruni
bukit dengan gagah-
nya. Ke dua sayapnya terbentang bagaikan ksatria
yang hendak maju ke medan perang. Kibasan sayap
itu membuat daun-daun yang tadi berguguran karena
suara denting. rencong, kini semakin berhamburan ke
mana-mana. Angin besar menghempas di sekitar tem-
pat pertarungan tersebut.
Gemuruh suara angin yang datang membuat
Rencong Geni yang hendak membunuh Manis Madu
menjadi terhenti. Kepalanya segera berpaling ke bela-
kang, memandang datangnya seekor burung besar
berkecepatan tinggi. Rencong Geni terkejut sesaat,
namun cepat putar badan dan siap hadapi terjangan
Rajawali Merah. Kedua rencongnya semakin keras di-
adu dan suara dentingannya semakin kuat mele-
paskan tenaga dalam penghancur gendang telinga.
"Keaaak...!" sayap burung itu menebas ke de-
pan. Angin yang timbul semakin kuat dan membuat
tubuh Rencong Geni terhempas ke belakang. Wuutt...!
Bruuus...! Rencong Geni terlempar jatuh di semak-semak
kering. Tapi ia segera bangkit dan hendak menyerang
burung rajawali itu. Namun, tiba-tiba sayap kanan
sang rajawali bergerak membuka dalam satu hempa-
san kuat. Sayap itu mengenai tubuh Rencong Geni.
Baahg...! Rencong Geni kembali terpental bagai men-
dapat hantaman yang luar biasa kerasnya. Tulang te-
rasa linu sekali, Kain bajunya sempat robek akibat ter-
kena hempasan sayap kanan sang rajawali.
Pada kesempatan itu, sang rajawali bergerak
cepat menyambar tubuh Manis Madu dengan kedua
cakarnya yang kekar perkasa itu. Wuuut...! Tubuh
yang sudah tak berdaya itu dibawanya terbang menuju
ke atas bukit. Sementara itu, Rencong Geni bangkit
dan berteriak garang,
"Lepaskan gadis itu, Burung Setan! Lepaskan
dia!" "Keaaak...! Keaaak...!" rajawali serukan suara, seakan sebuah tantangan
untuk mengejarnya.
Melihat seorang pemuda tampan berdiri di atas
bukit dan dihampiri oleh sang rajawali, Rencong Geni
segera kerutkan dahinya tajam-tajam seraya hatinya
berkata,
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa pemuda itu" Apakah dia yang bergelar
Rajawali Merah"! Hmmm...! Keparat betul dia! Ru-
panya dia mau ikut campur urusanku! Kubunuh juga
dia bersama burung iblisnya itu!"
Rajawali Merah melepaskan cengkeraman ca-
karnya. Manis Madu tergeletak di dekat kaki Yoga.
Keadaannya sudah sangat parah. Yoga segera men-
gangkat gadis itu, lalu dinaikkan ke punggung Rajawa-
li merah. Matanya memandang ke arah lembah, di sana
Rencong Geni tengah berlari cepat ke arahnya, ingin
merebut Manis Madu dari tangan Yoga.
"Berhenti kau, Bangsat! Jangan bawa gadis itu
jika mau selamat!" teriak Rencong Geni keluarkan ancaman liarnya.
Yoga sudah berada di atas punggung sang ra-
jawali, lalu berkata, "Cepat tinggalkan dia, Merah!"
"Keaaak...!"
"Haai...! Berhenti!" teriak Rencong Geni melihat Yoga bersiap ingin membawa
terbang Manis Madu.
Maka serta-merta Rencong Geni mempertemukan
ujung kedua rencongnya yang diacungkan ke depan,
lalu dari pertemuan ujung rencong itu menyemburlah
nyala api yang membentuk garis lurus ke arah burung
tersebut. Wuuussst...!
"Keaaak...!" burung itu membentangkan sayap-
nya, matanya memandang tajam, lalu dari matanya ke-
luar sinar merah bagaikan tambang besi yang bergerak
cepat, lurus menghantam nyala api dari rencong la-
wan. Blaaar...! Pertemuan kedua gelombang itu me-
nimbulkan ledakan dahsyat dan membuat Rencong
Geni terpental berguling-guling menuruni lereng hing-
ga sampai ke tempat pertempurannya tadi. Pada saat
itu, rajawali merah tersebut segera terbang meninggal-
kan puncak bukit dan membawa Yoga serta Manis
Madu yang tak sadarkan diri itu.
Burung rajawali berbulu besar merah itu ter-
bang bagaikan ingin melanglang buana. Namun sebe-
narnya ia mengikuti perintah majikan mudanya yang
merupakan murid majikan tuanya berjuluk Dewa Ge-
ledek itu. Maka ketika Yoga memerintahkan sang raja-
wali untuk merendah, burung itu pun terbang meren-
dah. Dan ketika Yoga berkata,
"Aku perlu sembuhkan luka-luka gadis ini du-
lu, Merah. Carilah tempat yang aman!"
"Keaaak...!" burung itu bagaikan memberi ja-
waban patuh, lalu segera mendarat setelah ia temukan
tempat yang menurutnya aman.
Burung besar berbulu merah itu berada tak
jauh dari Yoga. Burung itu memperhatikan tuan mu-
danya mengobati gadis itu dengan kepala manggut-
manggut, seakan sedang mempelajari bagaimana tuan
mudanya menyembuhkan luka parah pada sang gadis.
"Keaaak...! Kaaak, kaak, keaak...."
Yoga paham dengan bahasa burung itu, maka
ia pun menjawab, "Nanti kalau sudah tiba saatnya,
kuajarkan kepadamu bagaimana cara melakukan pe-
nyembuhan seperti ini, Merah!" . "Keaaakk..!"
"Tak perlu khawatir. Dia akan sembuh. Roh
Eyang Guru Dewa Geledek yang memberitahukan pa-
daku bagaimana cara melakukan penyembuhan secara
singkat seperti yang kulakukan tadi."
"Keak, keak, keak, keak...!"
"Sudah, jangan tertawa! Nanti kalau gadis itu
siuman dan melihatmu, dia bisa menjerit ketakutan!"
"Kkuuuk... kkuuuk...!" burung itu seperti se-
dang bersungut-sungut, dan Yoga tertawa pelan sambil
berkata, "Bukan takut karena wajahmu jelek, tapi takut
karena bentuk mu yang besar! Dia pasti kaget. Tapi
kalau sudah ku jelaskan, tentunya dia tak akan takut
padamu!" "Keak, keak, keak...!" burung itu tertawa sambil di usap-usap paruhnya
oleh Yoga, ia mendekam, sehingga tampak pendek.
Manis Madu mulai menggeliat siuman. Kulitnya
yang merah bagai terbakar dari dalam itu mulai men-
guning kembali. Wajah pucatnya kian segar. Kemudian
mata bundarnya yang indah itu mulai mengerjap-
ngerjap dengan pernapasan yang tampak teratur.
Kepala gadis itu tergolek ke kiri. Lalu, serentak
ia bangkit karena terkejut melihat seekor burung besar
mendekam ke tanah dalam jarak hanya tiga langkah
dari tempatnya tergeletak. Manis Madu melompat
mundur dengan tangan menggeragap mencari senja-
tanya yang tertinggal di tempat pertarungannya tadi.
Ketika ia berjalan mundur sambil memperhati-
kan burung besar itu dengan tegang, tiba-tiba pung-
gungnya menabrak sesosok manusia yang sengaja di-
am dan sengaja biar ditabrak itu.
"Aauh....!" Manis Madu terpekik kaget sambil
berbalik dan kedua tangannya siap pasang jurus pe-
nangkis. Matanya memandang tajam pada seraut wajah
pemuda tampan, dan mata tajam itu tiba-tiba menjadi
redup berubah kagum manakala pemuda itu sung-
gingkan senyum yang sungguh menawan hati. Kepala
Manis Madu memandang bolak-balik antara burung
besar dan pemuda tampan, ia tampak bingung sekali,
terlebih setelah menyadari dirinya ada di tempat asing
yang bukan tempat pertarungannya tadi.
"Siapa kau?" Manis Madu mencoba menghardik
Yoga. Tapi dengan kalem dan penuh daya pikat, Yoga
menjawabnya, "Namaku Yoga. Dia itu si Merah, burung raja-
wali tunggangan ku!"
Makin tajam kerut di dahi Manis Madu. Ma-
tanya melirik bolak-balik antara rajawali dan Yoga. La-
lu, ia berucap kata, seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Pendekar Rajawali Merah...?"
"Betul!" jawab Yoga tetap kalem. Ia melangkah dekati rajawalinya. "Si Merah ini
yang membawamu pergi dari pertarungan mu dengan Rencong Geni! Jika
tidak disambar si Merah, kau pasti mati di tangan pa-
manmu!" "Kau tahu nama paman angkatku itu ru-
panya?" "Kudengarkan percakapan kalian, kuperhatikan pertarungan kalian, lalu ku
simpulkan, bahwa kau
bukanlah tandingan dari Rencong Geni!"
Manis Madu menarik napas dan menghem-
paskannya. Ia sedang memendam rasa heran setelah
menyadari keadaan tubuhnya terasa segar dan tak
mengalami nyeri sedikit pun. Lalu, ia pandangi pemu-
da tampan itu, ia perhatikan kain lengan bajunya yang
kiri terhempas angin itu, dan keraguannya pun hilang.
Ia yakin betul bahwa ia telah bertemu dengan seorang
pendekar tampan pemikat hati wanita yang amat di-
kenal di rimba persilatan itu. Ia yakin betul telah bertemu dengan Pendekar
Rajawali Merah, karena ia tahu
tangan kiri pendekar tampan itu buntung. Maka, hati
Manis Madu pun semakin berdebar-debar antara gi-
rang dan tegang.
"Kaukah yang mengobati luka-lukaku?" ta-
nyanya sekadar iseng daripada suasana mati karena
kegugupannya menghadapi pendekar tampan yang
sering didengar ceritanya dari mulut para wanita itu.
"Ya, aku yang melakukannya. Tapi percayalah,
hal itu kulakukan hanya sebatas rasa persahabatan
yang manusiawi. Tanpa ada niat untuk memiliki Pusa-
ka Hantu Jagal itu."
Manis Madu menghempas napas lagi. Lalu, ia
berkata, "Kau tahu juga tentang pusaka tersebut rupanya?" "Sudah kubilang tadi,
aku mendengar percakapan mu dengan Rencong Geni yang amat bernafsu
memiliki Pusaka Hantu Jagal itu."
"Ya. Dia memang sangat bernafsu, karena ru-
panya dia ingin hadiahkan Pusaka Hantu Jagal kepada
Dewi Gita Dara sebagai mas kawin lamarannya." "Siapa Dewi Gita Dara itu?"
"Penguasa Teluk Gangga!"
"Dan kenapa kau pertahankan pusaka itu?"
"Sumpah mati aku tak memiliki pusaka itu dan tak
pernah dengar sebelumnya. Bahkan aku sangsi, apa-
kah benar guruku memiliki Pusaka Hantu Jagal, lalu...
seperti apa, berupa apa pusaka itu dan... ah, sangat
membingungkan bagiku. Aku ingin segera temui guru-
ku untuk menanyakan kebenarannya!"
* * * 2 MEREKA sepakat menemui gurunya Manis Ma-
du. Diam-diam Yoga sendiri ternyata menyimpan rasa
penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang dina-
makan Pusaka Hantu Jagal itu" Sebuah pedang atau
sebuah keris" Karena dengan wajah polos dan jujur
Manis Madu benar-benar tidak mengetahui seluk-
beluk tentang Pusaka Hantu Jagal. "Kita naik rajawali saja!" kata Yoga. "Tidak.
Aku tidak mau!" Manis Madu menolak dengan wajah cemas.
"Tidak apa-apa! Kalau kau takut, kau bisa ber-
pegangan tubuh ku!"
"Berpegangan..."!" gumam Manis Madu, lalu
hatinya menyambung kata, "Oh, alangkah senangnya
bisa berpegangan tubuhnya" Aku memeluknya dari be-
lakang, semakin lama semakin erat dan... oh, tidak!
Aku tidak berani lakukan hal itu. Aku gugup, gemetar,
dan bisa-bisa malah pegangan ku lamas, lalu aku ja-
tuh dari punggung burung itu. Oh, ngeri!"
Manis Madu bergidik sendiri. Tersenyum me-
nahan geli sambil tundukkan kepala, menyembunyi-
kan senyum tersipunya. Ia tetap menolak dengan ala-
san yang dibuat-buat,
"Guru berpesan, aku tak boleh naik kendaraan
apa pun jika pergi ke mana saja!" "Aneh sekali?"
"Memang aneh. Tapi aku harus patuh dengan
nasihat Guru."
"Baiklah kalau begitu." Yoga berpaling kepada si Merah dan berkata, "Tinggalkan
kami, setelah urusan ini beres kau kupanggil lagi, Merah." "Keaaak...!
Kuuuk... kuuuk...!"
"Husy, jangan ngledek kau!" sambil Yoga tersenyum pada si Merah.
"Ngomong apa burung mu itu?" tanya Manis
Madu. "Dia sangka kita mau berkasih-kasihan," jawab Yoga pelan, dan wajah Manis
Madu menjadi merah da-du menahan malu.
"Burungmu nakal."
"Yang mana?" tanya Yoga, "Eh... maksudku, yang merah ini atau yang putih?"
"Yang itu!" sambil Manis Madu melirik si Merah yang memiring-miringkan kepala
memandang! Manis
Madu. Yoga hanya tertawa. "Dia gemar bercanda." "Kau punya berapa burung,
sehingga kau tanya yang ma-na?" "Ada dua! Yang satu rajawali putih. Tapi dia...
dia...." "Keaaak...!" si Merah berseru panjang sambil bentangkan sayap. Ucapan
Yoga menjadi terhenti, lalu
burung itu terbang sambil ditertawakan tuan mu-
danya. "Tapi kenapa?" desak Manis Madu. "Tapi si Merah-lah yang sering menjadi
tunggangan ku! Dan seka-
rang ia terburu-buru mencari si Putih. Ia baru ingat
kalau sudah lama meninggalkan si Putih. Maka ia ter-
bang secepatnya."
Sambil melangkah Manis Madu berkata, "Ku-
dengar burung rajawali putih milik seorang gadis can-
tik yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."
"Benar."
"Apa hubungannya denganmu" Murid sepergu-
ruan?" "Selain itu juga dia adalah guru angkatku."
"Guru angkat?"
"Ilmunya lebih tinggi dariku, karena ia banyak
pelajari ilmu-ilmu dari mendiang guru kami, ditambah
lagi dia punya ilmu dari sebuah kitab kuno yang kini
tekun dipelajari semua, dan aku banyak mendapatkan
ilmu baru darinya, sehingga aku menyebutnya guru
angkat!" "Kusangka kau adalah kekasih si Pendekar Ra-
jawali Putih itu?"
Yoga hanya tertawa kecil, membiarkan dirinya
dilirik Manis Madu secara mencuri-curi. Dan tiba-tiba
tangan Manis Madu digenggamnya. Manis Madu ber-
desir, ingin meronta namun tak kuasa dicekam kein-
dahan. Yoga berhenti melangkah, Manis Madu bingung
walau akhirnya berhenti juga dengan jantung berde-
bar-debar gugup karena girang.
"Apakah kau punya teman?" tanya Yoga pelan,
matanya memandang lembut kepada Manis Madu,
membuat Manis Madu menjadi salah tingkah.
"Maksudmu... maksudmu... teman di hatiku?"
"Teman yang selalu mengikutimu?"
"Mmm... mmm... kekasih, maksudmu?"
"Terserah apa sebutannya, tapi adakah orang
yang selalu mengikutimu?" suara Yoga makin pelan.
Manis Madu menunduk, bimbang menjawab,
namun akhirnya berkata lirih, "Tidak. Ti... tidak
punya. Percayalah."
"Kalau begitu, segeralah menepi ke pohon itu
dan bersembunyi di sana," sambil Yoga melirik ke arah pohon besar berakar
gantung. "Kenapa?"
"Seseorang sedang mengikuti kita. Ku rasakan
dalam firasat ku, dia ingin berbuat jahat, dan kaulah
sasarannya."
"Oh..."!" Manis Madu terpekik tertahan. Wajahnya menjadi merah dadu kembali
karena malu pada
diri sendiri. Ia telah salah duga atas pertanyaan Yoga
tadi. Ternyata Yoga tidak bermaksud mengutarakan isi
hatinya, melainkan ingin menyelidiki siapa orang yang
mengikuti mereka sejak tadi.
Yoga mengantar Manis Madu ke bawah pohon
besar. Ketika Manis Madu sudah berada di balik ba-
tang pohon tersebut, serta-merta Yoga menyentakkan
tangan kanannya dalam gerakan memutar arah.
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuuut...! Bruuuss...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar telah dile-
paskan oleh Yoga ke arah semak-semak. Kerimbunan
semak itu buyar seketika bagai diterjang sabit raksasa, terpotong habis dan
menyebar ke mana-mana potongan dedaunannya. Bersamaan dengan itu, melompat-
lah sekelebat bayangan biru yang segera melenting ke
udara dan bersalto satu kali, kemudian mendarat di
tempat bebas. Jleeg...!
"Landak Gamping"!" cetus Manis Madu sambil
bergegas dekati Yoga.
"Hak, hak, hak, hak. Syukurlah kalau kau ma-
sih ingat aku, Manis Madu! Rupanya namaku terukir
lekat dalam hatimu, Bocah Manis. Hak, hak, hak,
hak...!" Pria itu tertawa jelek. Tak enak didengar tawanya itu. Tapi Yoga tidak
perhatikan tawanya me-
lainkan memperhatikan sosok penampilannya. Pria itu
berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit, berba-
dan kurus, berpakaian biru muda dengan celana hitam
sebatas betis. Tubuhnya yang kurus itu mempunyai
kulit putih seperti kapur, rambutnya berpotongan
pendek tapi berdiri tegak lurus semua. Barangkali ka-
rena keadaan tubuh yang aneh itulah maka ia berjuluk
Landak Gamping. Rambutnya kaku dan lurus seperti
bulu seekor landak, dan tubuhnya putih seperti kapur
alias damping. "Siapa orang itu, Manis Madu?" bisik Yoga.
"Landak Gamping, anak buah Rampok Gu-
nung!" bisik Manis Madu juga.
"Punya urusan apa denganmu?"
"Rampok Gunung ingin memperistri aku. Tiga
anak buahnya sudah kubunuh karena ingin menang-
kapku. Sekarang Rampok Gunung mengutus Landak
Gamping dengan tujuan yang sama!"
"Kau mau menjadi istri Rampok Gunung?"
"Tidak!" jawabnya dengan geram bernada benci.
"Kalau begitu, biar ku tangani dia."
"Ini urusanku. Biar aku saja yang tangani dia."
"Baiklah. Urus dia, aku mundur di belakang mu!" kata Yoga sambil melangkah
mundur tak jauh dari Manis
Madu berdiri. Dengan suara ketus dan lantang Manis Madu
menyapa Landak Gamping,
"Apakah kau bermaksud sama dengan tiga te-
man mu yang sudah kubunuh di Sungai Gantang itu,
Landak Gamping"!"
"Tidak. Aku tidak punya maksud yang sama.
Kalau tiga temanku itu bermaksud menculik mu dan
membawanya ke Gua Prahara, tapi aku tidak. Aku
hanya ingin menyadarkan dirimu, bahwa jika kau ma-
sih bersikeras menolak lamaran ketuaku, maka aku
diberi wewenang untuk membunuhmu! Hak, hak, hak,
hak...!" Landak Gamping terguncang-guncang tubuh-
nya ketika tertawa. Matanya yang cekung sedikit terpe-
jam jika ia sedang tertawa. Wajahnya semakin memu-
akkan buat Manis Madu. Maka dengan beraninya Ma-
nis Madu berkata lantang juga,
"Mengapa hanya kau yang datang untuk mem-
bunuhku" Mengapa bukan ketuamu sendiri" Apakah
dia takut berhadapan denganku" Apakah ketuamu si
Rampok Gunung itu banci yang takut ulat daun"!"
"Hei, Manis Madu..., bicaramu jangan sembro-
no! Kalau ada anak buah yang lain mendengar uca-
panmu itu, dia bisa berang padamu dan tak ada am-
pun lagi bagi siapa pun yang berani merendahkan
sang Ketua kami. Untung aku hanya sendirian, jadi
aku masih bisa timbang rasa dan memaafkan uca-
panmu. Sebagai balasan kebaikan ku yang telah me-
maafkan kamu, ku mohon kau mau ikut denganku
menghadang sang Ketua. Tak akan kukatakan kepada
beliau tentang penghinaanmu tadi. Percayalah!"
"Aku tak bersedia ikut denganmu. Tapi aku
bersedia memenggal kepala ketuamu biar cepat terki-
rim ke neraka!"
Landak Gamping diam. Tak ada senyum, tak
ada tawa. Wajahnya mulai tegang, matanya meman-
dang tajam. Sepi terjadi di sekitar hutan itu. Kejap berikutnya terdengar Landak
Gamping ucapkan kata
dingin sambil mulai mencabut gagang cambuk yang
sejak tadi terselip di pinggang kanannya,
"Agaknya aku tak mau buang-buang waktu lagi
untuk segera membunuhmu, Manis Madu. Kau sudah
jelas-jelas merendahkan ketuaku dan menolak ajakan
damainya. Perlu kau ketahui, Manis Madu, kalau kau
mau menjadi istri sang Ketua, maka seluruh keluar-
gamu akan dijamin kesejahteraan dan keselamatannya
oleh kekuatan Partai Perampok Gua Prahara. Tetapi ji-
ka kau tetap menolak lamaran sang Ketua, seluruh ke-
luargamu sampai tujuh turunan akan selalu diganggu
oleh Partai Perampok Gua Prahara. Dibantai, disiksa
dan diperlakukan seperti binatang. Pertimbangkanlah
hal itu, Manis Madu!"
Manis Madu menjawab dengan sinis. "Untuk
apa mempertimbangkan ancaman anak kemarin sore"
Partai Perampok Gua Prahara tidak ubahnya seperti
kelompok anak ingusan yang sedang bermain perang-
perangan, yang masing-masing berlagak menjadi ja-
goan buncis!"
"Jahanam kau! Kau bukan saja menghina ke-
tuaku, melainkan menghina Partai Perampok Gua
Prahara! Kau sudah layak dihancurkan, Manis Madu.
Hiaaah...!"
Landak Gamping menggerakkan tangannya
memutar, dan cambuk hitam berduri itu melesat pan-
jang ke arah kepala Manis Madu. Wuuut...!
Taaar...! Manis Madu dengan lincah cepat gulingkan tu-
buh ke tanah. Wuuss! Sekejap kemudian sudah berdiri
sedikit jongkok, lalu kedua tangannya disentakkan ke
depan. Wuuut...! Dua sinar kuning melesat dari tela-
pak tangan kanan-kiri. Zlaaap...!
"Hiaah...!" tangan Landak Gamping yang kiri
menyentak ke depan, menahan gerakan kedua sinar
kuning sebesar telur bebek itu. Sinar kuning itu ber-
henti di udara bagai tak bisa bergerak. Lalu dengan sa-
tu lompatan cepat ke samping kiri, Landak Gamping
melecutkan cambuknya. Taaar...! Satu kali lecutan
hancur sudah dua sinar kuning secara bersamaan.
Duaaar...! Manis Madu tak mau kehilangan kesempatan.
Ketika Landak Gamping melecutkan cambuk ke arah
dua sinar kuningnya itu, ia segera melompat bersalto
dan kakinya berhasil menendang punggung lawannya
dengan keras, hingga terdengar suara, duuhg...!
Landak Gamping terdorong ke depan, ter-
huyung-huyung hampir jatuh. Tetapi, lelaki berambut
tegak itu segera putar badannya sambil kibaskan cam-
buk berdurinya dengan cepat. Wuuut...! Brreet...!
"Auh...!" Manis Madu terpekik dengan suara
tertahan. Mata kakinya robek terkena lecutan cambuk
berduri. Bruuk...! Gadis cantik itu jatuh terduduk dan
telapak kakinya yang terluka cepat menjadi biru legam.
"Celaka! Racun pada duri cambuk itu sangat
ganas?" pikir Yoga yang mengetahui keadaan luka Manis Madu.
Landak Gamping tak mengenai ampun. Ia sege-
ra melecutkan cambuknya lagi ke punggung Manis
Madu yang sedang berusaha bangkit sambil menahan
rasa sakit itu.
Taaar...! Cambuk itu keluarkan sinar hijau dari ujung-
nya. Sinar itu seperti sepotong besi runcing yang me-
nembus ke punggung Manis Madu. Claap...!
"Aaahg...!" Manis Madu terpekik keras. Kepa-
lanya terdongak matanya terpejam, tubuhnya menjadi
gemetar dan ia pun jatuh dengan keadaan menggele-
par-gelepar bagai ayam disembelih.
Landak Gamping belum merasa puas. Kali ini ia
akan membelah tubuh yang menggelepar itu dengan
ujung cambuknya yang amat berbahaya. Namun keti-
ka tangannya terangkat, tiba-tiba seberkas sinar me-
rah bening melesat dari telapak tangan Yoga. Zlaap...!
Ouurb...! Sinar merah bening itu kenai ulu hati Lan-
dak Gamping. Zraak...! Tubuh putih Landak Gamping
menjadi merah memar, kulitnya mengalami retak-
retak. Wajahnya menyeringai menahan sakit yang luar
biasa hingga ia keraskan semua urat-urat pada tu-
buhnya. Darah mulai merembes dari retakan kulit tu-
buhnya. Sementara itu, Yoga hanya diam tertegun
memandang lawannya yang masih bisa berdiri dengan
limbung ke sana-sini itu.
"Gila! Rupanya dia berilmu cukup tinggi. Bi-
asanya Jurus 'Rajawali Lebur Jagat' menghancurkan
batu atau pepohonan, tapi kini jurus itu tak mampu
menghancurkan tubuh Landak Gamping! Jika ia tidak
berilmu cukup tinggi, tak mungkin ia bisa bertahan te-
tap utuh dan hanya mengalami keretakan pada seku-
jur kulit tubuhnya?" pikir Yoga dalam kebisuannya.
"Kubalas ikut campur mu! Kubalas bersama
sang Ketua! Tunggu saatnya tiba, Bangsat! Aku tahu...
kau Pendekar Rajawali Merah!" geram Landak Gamp-
ing, setelah itu cepat larikan diri dan tak mau menoleh lagi. Keadaan Manis Madu
sangat berbahaya. Yoga
cepat-cepat bertindak menyelamatkan nyawa gadis
yang menjadi penunjuk jalan rahasia Pusaka Hantu
Jagal itu. Apalagi Yoga lupa tanyakan, siapa nama
guru gadis itu. Jika sampai Manis Madu tewas, maka
Yoga akan kehilangan penunjuk jalan untuk menuju
jalan rahasia Pusaka Hantu Jagal yang telah mem-
buatnya menjadi sangat ingin tahu itu.
Rupanya Landak Gamping telah melepaskan
ilmunya yang cukup berbahaya dan tak mudah disem-
buhkan begitu saja. Yoga lakukan dengan gunakan ju-
rus 'Tapak Serap' sebagai pengobatan luka luar. Ba-
gian mata kaki yang robek dan mengandung racun ga-
nas itu ditutup dengan telapak tangannya. Telapak
tangan itu memancarkan sinar hijau bening, lalu be-
rubah putih bening, berubah lagi biru bening, kemu-
dian juga merah bening, dan hal ini belum pernah di-
alami oleh Yoga.
"Biasanya tak sampai berubah-ubah warna be-
gini" Apakah ini pertanda luka racun yang mengenai
kaki Manis Madu adalah sesuatu yang sulit disembuh-
kan?" Pendekar Rajawali Merah masih tetap lakukan pengobatan dengan jurus 'Tapak
Serap'-nya. Nafasnya
tertahan beberapa saat, sampai akhirnya warna biru
legam di kaki Manis Madu mulai pudar. Kian lama
warna biru legam itu kian menipis, lalu kembali seperti warna kulit aslinya.
Barulah Yoga melepaskan telapak
tangan yang menempel pada luka di mata kaki terse-
but. Luka itu hilang lenyap tak berbekas, kecuali
darah yang menetes di rerumputan. Tetapi keadaan
tubuh Manis Madu masih berkelojot bagai ayam dis-
embelih yang tinggal beberapa saat lagi mencapai ajal-
nya. Hal itu membuat Pendekar Rajawali Merah sedikit
tegang. Ia mencoba lakukan pengobatan 'Tapak Serap'
melalui punggung Manis Madu yang tadi ditembus si-
nar hijau. Tetapi sentakan-sentakan tubuh Manis Ma-
du semakin kuat. Mata gadis itu telah berbalik memu-
tih, mulutnya mulai semburkan busa.
Gawat! Tak cukup dengan jurus 'Tapak Serap'
saja rupanya. Aku harus salurkan hawa murni ku ke
dalam tubuh Manis Madu. Tapi... tapi ia harus buka
pakaian. 'Tapak Serap' harus dilakukan bersama le-
pasnya hawa murni ku ke dalam tubuhnya. Jika tidak
begitu, ia pasti mati! Hanya saja... kalau ia sembuh da-ri sadar, lalu ia
dapatkan dirinya dalam keadaan tidak
berpakaian, apakah dia tidak akan menuduhku seba-
gai pemuda yang berniat kurang ajar kepadanya?"
Pendekar Rajawali Merah sempat bimbang se-
saat. Ia yakin bahwa gadis itu akan berhasil disela-
matkan dari maut yang telah mengancam jiwa dan
menguasai separo nyawa itu. Namun, ia sangsi akan
anggapan Manis Madu terhadap dirinya. Ia tak mau
cemar karena salah duga itu.
"Ah, biarlah apa kata dia nanti. Kalau kuje-
laskan pelan-pelan dia pasti bisa memaklumi. Yang
penting aku tidak berniat jahat dan usil kepadanya!
Hanya saja... tak bisa dilakukan pengobatan di tempat
terbuka begini. Hmmm... di mana ada gua di sekitar
sini" Atau... sebaiknya kubawa dia ke tempat yang le-
bih layak untuk melakukan pengobatan itu!" Yoga
memandang sekelilingnya dengan masih tampak sedi-
kit tegang, sebab ia harus berpacu dengan sang maut.
Terlambat sedikit, maka nyawa gadis cantik itu akan
melayang selamanya.
* * * 3 MANUSIA Kabut yang dijuluki oleh pendekar
Rajawali Putih dengan nama Tua Usil, siang itu dalam
perjalanan pulang dari rumah Bocah Bodoh, anak Nyai
Sembur Maut yang mewarisi Pedang Jimat Lanang itu.
Lelaki yang berpakaian coklat muda dengan rambut
putih tipis dan kumis putih tipis pula itu masih tetap
bergigi ompong satu di sebelah kanan depan. Ia cen-
gar-cengir sendiri membayangkan kebodohan Cola Co-
lo yang disuruh ibunya memanjat pohon kelapa, dan
hanya memanjat saja tanpa memetik buahnya. Sampai
sang ibu berteriak menyuruh memetik buah kelapa
muda, barulah Cola Colo memetiknya. Itu pun masih
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus dibawanya turun untuk diserahkan kepada sang
ibu, bukan dijatuhkan untuk kemudian diambil sete-
lah ia bisa turun dengan bebas. Akibat kebodohan Co-
la Colo itu, ia pun jatuh dan hampir saja menimpa tu-
buh Tua Usil. Rasa-rasanya memang pantas sekali Co-
la Colo dijuluki Bocah Bodoh, karena kebodohannya
terkadang melampaui batas kebodohan bocah berusia
lima tahun. Langkah kaki Tua Usil terhenti ketika ia men-
dengar suara pekik pertarungan di balik bukit yang tak
seberapa tinggi itu. Tua Usil berpikir, "Siapa yang bertarung" Jangan-jangan
Nona Lili, majikanku yang ber-
tarung dengan musuh-musuhnya" Kalau begitu, aku
harus membantu Nona Lili secepatnya, supaya Nona
Lili tidak menunda-nunda waktu lagi untuk mengajari
ku berdiri di atas ilalang!"
Tua Usil dari dulu memang sangat ingin mem-
punyai ilmu yang bisa membuatnya berdiri di atas ila-
lang, seperti yang dilakukan Lili pada saat jumpa per-
tama dengannya. Tapi sampai akhirnya Tua Usil men-
gabdi menjadi pelayan Lili, si Pendekar Rajawali Putih, ilmu itu masih saja
belum diberikan oleh Lili. Sebab Li-li tidak ingin memberikan jika belum
mengetahui sebe-
rapa tinggi ilmu si Tua Usil itu. Sedangkan menurut
anggapan Lili, Tua Usil masih menyembunyikan diri
berlagak menjadi orang bodoh yang tidak berilmu. Pa-
dahal, Tua Usil memang tidak mempunyai ilmu apa-
apa kecuali hanya jurus-jurus tangan kosong yang
sangat rendah. Satu-satunya ilmu tinggi yang dimiliki
hanyalah bisa merubah dirinya menjadi kabut, karena
ilmu itu adalah ilmu warisan yang di berikan secara
turun-temurun dari ayahnya.
Apa yang diduga Tua Usil ternyata keliru. Bu-
kan Pendekar Rajawali Putih yang bertarung di balik
bukit kecil itu, melainkan dua orang lelaki tua yang
sama-sama berambut putih rata. Menurut dugaan Tua
Usil kedua lelaki itu sama-sama berusia sekitar tujuh
puluh tahun. "Hei, ada apa mereka saling beradu ilmu den-
gan sungguh-sungguh?" pikir Tua Usil dari persembunyiannya. "Aku kenal dengan
mereka. Yang berjubah
putih lusuh itu pasti Ki Pamungkas dari Perguruan
Gerbang Bumi. Dan yang mengenakan pakaian model
biksu berwarna hijau tua itu pasti yang bernama Resi
Gutama, dari Perguruan Kuil Dewa. Setahuku mereka
dulunya bersahabat. Mengapa sekarang saling bunuh"
Sejak kapan mereka bermusuhan?"
Mata si Tua Usil. terkesiap melihat tubuh Resi
Gutama meluncur ke depan dengan berputar cepat ba-
gai tonggak yang hendak menghunjam dada Ki Pa-
mungkas. Dan pada saat itu, Ki Pamungkas hanya ki-
baskan jubah putihnya dalam keadaan berputar satu
kali. Dari kibasan itu terpancar sinar putih menyilau-
kan membentang bagaikan dinding baja. Tubuh Resi
Gutama yang meluncur itu menghantam sinar putih
tersebut. Blaaar...! Sinar putih pecah dan pudar seketika, tapi tu-
buh Resi Gutama terpental ke samping sekitar delapan
tombak jauhnya. Lelaki berjenggot putih panjang den-
gan kepala bagian tengahnya botak itu segera bangkit
dari kejatuhannya. Tiba-tiba tubuhnya bagaikan
menghilang. Claap...! Tahu-tahu sudah berada di bela-
kang Ki Pamungkas dan menghantamkan telapak tan-
gannya ke punggung Ki Pamungkas. Baaahk...! Puku-
lan itu memancarkan sinar kuning dalam sekejap.
Pukulan tersebut membuat Ki Pamungkas ter-
hempas ke depan bagaikan daun kering disapu badai.
Lelaki berjubah putih yang mempunyai rambut pendek
warna putih dan jenggot putih yang tak begitu panjang
itu segera menggeliat bangkit dengan memuntahkan
darah kental lebih dulu. Dalam keadaan kedua tangan
masih di tanah dan kaki berlutut, Ki Pamungkas sege-
ra hentakkan telapak tangannya memukul tanah di
depannya. Buuhg...!
Bruuuul...! Tua Usil terperanjat kagum melihat tanah yang
dipakai berpijak Resi Gutama itu tersembur ke atas
bagai mengalami ledakan dahsyat dari dalam bumi,
melemparkan tubuh Resi Gutama yang tergolong ge-
muk itu melambung ke atas hingga menerabas dahan,
ranting, dan daun pepohonan. Zrraaak...!
Dengan cepat Resi Gutama bersalto satu kali
dalam keadaan turun, lalu dari ujung-ujung jari tan-
gannya keluar sepuluh larik sinar biru yang menyer-
gap tubuh Ki Pamungkas. Zuuutt...! Jraaab...!
"Aaahg...!"
Ki Pamungkas terpekik. Tubuhnya menggerin-
jal-gerinjal dililit sinar biru sepuluh larik itu. Dengan kepala mendongak dan
mulut ternganga, Ki Pamungkas berkelojotan sambil berusaha melepaskan diri. ia
menyerukan suara erang yang memanjang, makin la-
ma semakin tinggi.
?"Aaaaa...! Heaaah...!"
Blaar...! Sepuluh larik sinar biru pecah seketika
saat kedua tangan Ki Pamungkas menyentak bersama-
sama dengan memancarkan sinar merah membara.
Sekalipun tubuhnya terjungkal, berguling-guling ke
belakang, namun Ki Pamungkas merasa selamat dari
ancaman maut jurus hebat lawannya. Nafasnya teren-
gah-engah dan matanya melirik tajam pada Resi Gu-
tama yang sedang berdiri dengan tegak dalam jarak
sepuluh langkah di depannya.
?"Kau memang keras kepala, Pamungkas! Il-
mumu masih di bawah ilmuku! Lunakkan sedikit ke-
kerasan hatimu, supaya aku tidak membunuhmu,
Pamungkas!"
Dengan napas terengah-engah, Ki Pamungkas
yang memang nyata-nyata kalah ilmu itu masih berani
berkata, "Tak akan kubiarkan kau membunuhku, Gu-
tama!| Tak akan kubiarkan kau memilikinya!"
"Percayalah padaku, Pamungkas. Roh Guru
hadir dalam mimpiku dan menyerahkannya padaku."
"Roh Guru pun hadir dalam mimpiku dan
memberitahukannya padaku!"
"Baiklah kalau begitu. Terpaksa satu di antara
kita harus mati!"
"Aku siap menghadapimu, Gutama! Sekalipun
kau punya ilmu dari kakakmu sendiri, tapi aku pun
punya ilmu dari nenekku sendiri! Kita sama-sama
punya kelebihan ilmu dan kita selesaikan urusan Ini
dengan ilmu andalan kita masing-masing."
"Bersiaplah...," ucap Resi Gutama dengan ka-
lem dan berwajah dingin.
Ki Pamungkaspun memandang dengan sorot
mata dingin, lalu menggerakkan kedua tangannya pe-
lan-pelan ke samping kanan-kiri. Tiba-tiba kedua tan-
gan itu bergerak cepat patah-patah. Jurus aneh yang
belum pernah dilihat Resi Gutama dipamerkan oleh Ki
Pamungkas. Jurus itulah yang dinamakan Jurus
'Patah Garuda', yang menjadi Jurus andalan KI Pa-
mungkas. Dalam keadaan bergerak membungkuk
maupun melangkah, tampak seperti gerakan patah-
patah yang sulit diikuti oleh pandangan mata.
Resi Gutama pun segera keluarkan Jurus an-
dalannya, yaitu mengeraskan kedua tangannya dalam
gerakan lamban, terangkat ke depan, dan keluarlah
kuku-kuku tajam dari setiap ujung Jarinya. Jurus itu-
lah yang dinamakan jurus 'Cakar Langit', pemberian
dari kakaknya. Tubuh Resi Gutama bergetar karena
kerasnya urat di sekujur tubuh itu. Matanya pun be-
rubah menjadi merah ketika kesepuluh jari sudah ber-
kuku hitam. Dari setiap kuku memercik bunga api
warna biru saling berlompatan bagai tak sabar me-
nunggu mangsanya.
Heaaah...!" Resi Gutama mengerang panjang,
lalu segera sentakkan kakinya dengan lembut ke ta-
nah, tapi membuat tubuhnya terdorong cepat bagai
melompat penuh nafsu untuk membunuh. Sementara
itu, Ki Pamungkas pun sentakkan kaki dan tubuhnya
pun melayang bagaikan terbang ke arah lawannya
dengan telapak tangan menyala hijau. "Eaaahh...!"
Braas...! Mereka bertabrakan di pertengahan ja-
rak dalam keadaan sama-sama melayang. Resi Guta-
ma menghantamkan Jurus 'Cakar Langit'-nya bebera-
pa kali ke tubuh Ki Pamungkas, sedangkan Ki Pa-
mungkas melepaskan jurus 'Patah Garuda'-nya yang
mengenai leher, dada, dan pinggang kiri lawannya.
Pada saat itu, mata si Tua Usil terbelalak te-
gang karena melihat kedua tubuh yang sama-sama
bertabrakan di udara itu memancarkan cahaya api
yang begitu besar. Beberapa daun di sekitarnya men-
jadi kering seketika dan pohon-pohon yang agak jauh
dari mereka menjadi layu. Tua Usil sendiri sempat ter-
sentak tubuhnya Ketika terkena hembusan angin pa-
nas dari perpaduan dua jurus maut tersebut.
Tua Usil segera lompat ke bongkahan batu be-
sar, Berlindung di sana dari sengatan hawa panas
yang menyebar ke berbagai penjuru. Ketika hawa pa-
nas itu dirasakan telah lenyap, ia pun mulai menon-
golkan kepalanya pelan-pelan dari samping batu besar.
"Hahh...?" Tua Usil berteriak keras-keras sambil melompat mundur, karena begitu
ia menongolkan kepala dari samping batu, tiba-tiba di depannya persis
terdapat moncong seekor babi hutan yang rupanya ju-
ga sedang mencari tempat perlindungan akibat hawa
panas tadi. "Huuik...!" Babi hutan itu pun kaget melihat
Tua Usil, dan lari kembali arah dengan terbirit-birit.
Tua Usil ngos-ngosan sambil pegangi dadanya yang
berdetak-detak keras karena kagetnya tadi.
"Babi! Hampir saja aku menderita malu berci-
uman dengannya! Cuih!" Tua Usil meludah dengan jijik dan jengkel.
Alam menjadi sunyi, seakan lengang tanpa sua-
ra apa pun. Bahkan daun pun tak mau bergemerisik,
angin enggan berhembus, babi hutan tadi entah ke
mana mendekamnya. Tak terdengar lagi suara napas
dan langkah kakinya. Alam menjadi mati dalam bebe-
rapa kejap, tapi Tua Usil tak mau hanyut dalam kema-
tian itu. Tua Usil segera dekati tempat pertarungan an-
tara KI Pamungkas dengan Resi Gutama tadi. Ia ge-
leng-geleng kepala karena heran melihat tanah menjadi
hitam, rerumputan hangus, beberapa batang pohon
masih berdiri walau sudah menjadi arang. Semak-
semak habis tersapu hawa panas yang membuatnya
hitam keriting.
"Ilmu apa yang mereka adukan tadi?" gumam
Tua Usil. Di sebelah barat, pakaian biksu warna hijau
yang dikenakan Resi Gutama telah menjadi abu. Tu-
buh Resi Gutama terbujur kaku, tanpa nyawa lagi dan
kulitnya melepuh hitam. Sedangkan di sebelah timur
tubuh Ki Pamungkas juga sudah dalam keadaan ter-
bakar, Jubah putihnya menjadi hitam. Rambutnya pu-
tihnya keriting hitam. Wajahnya bengkak dengan luka-
luka di sekujur tubuh bekas cakaran yang menghitam
pula. "Oooh...!"
Terdengar suara keluh Tua Usil kaget dan
memperhatikan tubuh Ki Pamungkas, ternyata masih
bergerak-gerak dan sedang mendekati ajal. Tua Usil
segera dekati tokoh sakti itu. Mata Ki Pamungkas mu-
lai terbuka pelan-pelan, mulutnya yang ternganga mu-
lai, menggerakkan bibir, lidah, dan tenggorokannya
bagai ingin menelan ludah yang telah punah dari mu-
lutnya. "Tahan sebentar, Ki. Aku akan carikan air un-tukmu!" kata Tua Usil.
"Tak... tak... perlu...," ucap Ki Pamungkas lirih sekali. "Dekatlah pada...
ku...!" Dengan bingung, Tua Usil merangkak mende-
kati mulut Ki Pamungkas. Ia mendengar Ki Pamungkas
ucapkan kata pelan, "Pancasona...?"
"Ya, aku Pancasona, Ki. Syukurlah kalau kau
masih mengenaliku!" Tua Usil merasa bangga menden-
gar nama aslinya disebutkan.
"Masuklah ke... sumur...."
Tua Usil berkerut dahi, menarik telinganya dari
dekat mulut Ki Pamungkas. Ia bergumam dalam ha-
tinya, "Ini orang sudah mau mati tapi masih mau cela-kai orang saja" Apa
maksudnya?"
"Masuklah... ke Sumur Condong di.... seb... se-
belah... barat sana!"
"Untuk apa kau suruh aku masuk ke Sumur
Condong yang belum ku tahu letaknya itu, Ki?"
"Ad... ada... pusaka... yang... yang kupere-
butkan dengan Gutama. Lekas... ambillah...!"
Tua Usil berpikir, "ini amanat orang mau mati.
Kalau tidak ku turuti, arwahnya bisa mengejar-
ngejarku. Baiklah, ku turuti saja!"
Tua Usil segera bergerak ke arah barat. Ia sem-
pat ngeri melihat mayat Resi Gutama yang berjarak
sekitar sepuluh tombak lebih dari tempat Ki Pamung-
kas berada. Mata Tua Usil mencari-cari sumur yang
dimaksud sampai beberapa saat, akhirnya ia temukan
juga setelah hampir patah semangat dan menganggap
ditipu. Ternyata dalam jarak lebih kurang delapan be-
las langkah dari tempat Resi Gutama terkapar menjadi
mayat, ada lubang tanah berbentuk miring, seperti gua
kecil yang tak seberapa dalam. itulah yang dimaksud
Sumur Condong oleh Ki Pamungkas tadi. Sumur itu
kering, tanpa air setetes pun. Yang ada hanya beba-
tuan kecil dan sampah daun kering. Melihat keadaan
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalamnya cukup aman dan tak sukar untuk keluar
kembali dari sumur itu, maka Tua Usil pun melompat
turun ke dalam sumur tersebut.
"Mana pusaka yang dimaksud oleh Ki Pamung-
kas itu"!" gerutu Tua Usil sambil matanya mencari-cari di sekeliling tanah yang
dipijaknya. Kerikil-kerikil dis-ingkapkan, dedaunan kering disingkirkan. Tetap
saja ia tidak temukan sebentuk pusaka di dalam sumur itu.
"Ah, benar-benar orang mau mati itu bikin kes-
al hatiku! Dia tipu aku untuk masuk sumur ini. Apa
maksudnya menipuku begini" Sebaiknya aku segera
keluar saja dari sumur ini!"
Dengan memanjat salah satu batu pada dinding
sumur yang miring, Tua Usil dapat dengan mudah
mencapai permukaan sumur. Tetapi tiba-tiba matanya
menangkap sekilas sinar kuning berkerilap pada dind-
ing sumur. Sinar itu terselip di antara susunan batu
dinding sumur yang lebarnya satu langkah manusia
dewasa. "Sinar apa itu?" pikir Tua Usil. "Batu aneh..."!
Mungkin batu bersinar inilah yang dimaksud pusaka
oleh Ki Pamungkas."
Tua Usil segera membongkar batu kanan-
kirinya, lalu mengambil batu bersinar kuning itu.
Zraab...! "Oh, ternyata bukan batu" Ini sebuah pisau
bersarung emas"!" Tua Usil berdebar-debar memperhatikan pusaka tersebut. Rupanya
yang tampak di per-
mukaan dinding sumur tadi adalah ujung gagang pi-
sau yang juga berlapis emas berukir seperti sarung pi-
saunya. Pisau itu seluruhnya berukuran satu jengkal
setengah. Gagangnya tak terlalu panjang. Ketika Tua
Usil membawanya naik ke permukaan sumur dan
mencabut pisau dari sarungnya, ternyata mata pisau
itu berwarna hitam seperti perunggu, tapi dikelilingi
sinar merah bening. Tua Usil gemetar sekujur tubuh-
nya. Matanya tak bisa berkedip memandangi mata pi-
sau berukuran satu jengkal, berujung runcing, bersisi
tumpul di kanan-kirinya. Tapi sinar merah yang men-
gelilingi mata pisau itu yang membuat Tua Usil yakin,
bahwa pisau itu adalah pisau bertuah. Rasa takut
membuat Tua Usil buru-buru menyarungkan pisau
tersebut, kemudian cepat-cepat berlari menemui Ki
Pamungkas yang sedang sekarat.
"Ki..., aku berhasil! Pisau inikah yang kau mak-
sud pusaka?"
Mata Ki Pamungkas terbuka kecil, bibirnya ber-
gerak-gerak ingin tersenyum, namun sulit karena ba-
nyak luka cabikan. Ia hanya menjawab dengan suara
semakin pelan, "Benar.... Itu yang... dinamakan.... Pu.... Pusa-
ka Hantu Jagal!"
"Ada hantunya, Ki?"
"Tidak," jawab Ki Pamungkas dengan susah
payah. "Hantu Jagal... adalah nama julukan... guruku, juga... gurunya Gutama."
Ki Pamungkas terbatuk-batuk sebentar sambil
menyeringai menahan rasa sakit. Sementara itu, Tua
Usil masih terbengong mendengarkan ucapan Ki Pa-
mungkas dan menyimak suara batuknya. Sesaat ke-
mudian, suara Ki Pamungkas terdengar menjadi serak
dan lirih, "Tikamlah aku dengan... pisau itu..."
"Bagaimana?" Tua Usil kaget dan setengah ti-
dak percaya dengan pendengarannya. Ki Pamungkas
mengulangi, "Tikamlah aku dengan pisau Itu... sekarang ju-
ga...." "Tid... tid... tidak mau!" Tua Usil melepaskan pisau itu, jatuh di
samping lengan KI Pamungkas yang
sudah tidak bisa bergerak lagi. Tua Usil mundur dari
jongkoknya dengan mata tegang.
"Aku bukan seorang pembunuh. Aku tidak tega
memenuhi permintaanmu, Ki Pamungkas. Kau bukan
musuhku." "Laku... lakukanlah, Pancasona. Kkkau... yang
beruntung rupanya. Tikamlah aku, lalu pisau itu men-
jadi pusaka milikmu. Pertahankan selamanya... jangan
sampai jatuh ke tangan orang lain.... Apalagi orang se-
sat, jangan sam... pai...!"
Tua Usil tidak berucap kata apa-apa karena
bingung menghadapi permintaan aneh tersebut. Ma-
tanya masih memandang tegang kepada Ki Pamungkas
yang hanya mampu menatap dengan mata sipit. Lalu,
terdengar kembali suaranya yang tampak dipaksakan
keluar dari kerongkongannya,
"Pisau pusaka itu akan membuatmu... berilmu
tinggi. Setiap kau tikamkan ke tubuh orang berilmu,
maka... seluruh ilmu orang tersebut akan mengalir ke
dalam tubuhmu, kekuatannya... tenaga dalamnya...
jurus-jurusnya... semuanya akan... berpindah menjadi
milikmu. Jika... diadu dengan pusaka lain berbentuk
apa pun, bisa... bisa keluarkan ledakan gempa yang
cukup hebat. Pisau itu... juga bisa sedot racun seganas apa pun dengan hanya...
ditempelkan pada lukanya
saja. Sebab itu, tikamlah aku, Pancasona. Selain aku
bangga bisa mati karena pisau pusaka guruku, juga...
ilmuku akan mengalir ke tubuhmu dan menjadi mi-
likmu selamanya. Lakukanlah, Pancasona...."
Tua Usil yang bernama asli Pancasona itu ma-
sih diam dalam kebimbangannya. Jantungnya bertam-
bah berdetak-detak karena tegang. Ki Pamungkas me-
nunggu sampai beberapa saat, namun Tua Usil masih
saja diam bagaikan patung bernyawa.
"Tolonglah, Pancasona... Bunuh aku dengan pi-
sau pusaka milik guruku, agar kematianku bukan ke-
matian yang sia-sia, dan... dan lebih terhormat daripa-
da... kematian Gutama itu.... Ku mohon, tolonglah...!
Lakukan perintahku di akhir hidupku ini...."
Suaranya semakin kecil, semakin tipis, berben-
tuk bisikan-bisikan yang mengharukan hati. Tua Usil
iba mendengar permohonan tersebut. Akhirnya, ia
paksakan diri untuk mencabut pisau pusaka tersebut.
Repotnya, ketika pisau ingin dihunjamkan, tangan Tua
Usil sangat gemetar. Guncangannya cukup hebat ka-
rena rasa takut dan tegang di dalam hati.
"Lakukan...," suara itu hampir tak lagi terdengar.
"Diii... diii... di sebelah mana aku harus menu-
suknya" Dii... di... di betis saja, ya?"
"Jan... tung...!" jawab KI Pamungkas.
"Jan... jantung" Oh, jangan...! Kalau kutikam
jantungmu, nanti kau mati, Ki Pamungkas. Apakah
kau tak tahu bahwa jantung adalah...."
"Lekas... sebelum nafasku berakhir...! Lekas...!"
Ki Pamungkas sangat memohon dan membuat hati
Tua Usil kian terharu.
"Terserahlah. Kalau kau mati tanggung jawab-
mu sendiri, Ki! Hiaaah!"
Jruub...! Dengan kedua tangan Tua Usil menghunjam-
kan pisau pusaka itu ke dada kiri Ki Pamungkas, tepat
pada bagian jantungnya. Seketika itu pula tubuh Ki
Pamungkas bercahaya merah bening, sedangkan pisau
itu sendiri juga bercahaya merah bening sampai pada
gagangnya. Bahkan kini kedua tangan Tua Usil pun
menjadi bercahaya merah bening. Kian lama, tubuh
Tua Usil menyala merah bening seluruhnya, sedang-
kan cahaya merah pada tubuh Ki Pamungkas pun re-
dup. Ki Pamungkas sudah tidak bernyawa lagi. Pisau
pun dicabut oleh Tua Usil, tubuh Tua Usil tidak lagi
bercahaya merah. Tapi benarkah Tua Usil sekarang
berilmu sama tingginya dengan ilmunya Ki Pamung-
kas" Tua Usil tak yakin akan hal itu.
* * * 4 SETELAH tertegun beberapa saat lamanya, dan
setelah dalam hatinya masih saja timbul rasa tidak
percaya bahwa ilmu yang ada pada diri Ki Pamungkas
telah berpindah rasa menjadi miliknya, maka Tua Usil
pun memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
"Yang penting keinginannya sudah ku penuhi.
Bukan salahku jika Ki Pamungkas mati. Toh tanpa
kubunuh pun dia akan mati dengan sendirinya karena
luka parah dari pertarungannya dengan Resi Gutama!
Sebaiknya, sekarang ku makamkan saja jenazah me-
reka berdua, siapa tahu punya keberuntungan tersen-
diri memakamkan kedua jenazah tokoh sakti ini..."!"
Tua Usil menyelipkan Pusaka Hantu Jagal ke
balik bajunya hingga tak mudah terlihat siapa pun. Ia
merasa ngeri dan takut pisau bersarung dan berga-
gang emas itu akan diincar oleh orang jahat sebagai
perhiasan yang amat mahal harganya. Sebab itu harus
disembunyikan di balik baju.
Pada saat ia bergegas ingin menggali tanah
dengan menggunakan tonggak kayu runcing, tiba-tiba
dari arah belakang terasa ada sepasang kaki yang me-
nendangnya dengan sangat kuat. Buuhg...!
"Aahg...!" Tua Usil terpekik, tubuhnya terlempar ke depan dan berguling-guling.
Tapi dengan cepat kakinya mampu menyentak dan ia bangkit seketika itu
juga, berdiri tegak sambil memandang ke arah orang
yang menendangnya. Dalam hatinya Tua Usil sempat
berkata, "Aneh. Kok aku tidak terlalu merasa sakit men-
dapat tendangan sekuat itu" Kok aku bisa cepat bang-
kit dan berdiri setegak ini" Dan... oh, rupanya perem-
puan cantik itu yang tadi menyerangku! Siapa dia?"
Perempuan cantik itu masih tergolong muda.
Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Matanya sedikit
lebar bertepian hitam, memandang tajam namun
punya keindahan tersendiri dari bentuk bulu matanya
yang lentik itu. Alisnya tebal, hidungnya mancung,
rambutnya panjang di sanggul ke atas sebagian, Gadis
itu kenakan pakaian serba kuning, dengan senjata pe-
dang di pinggang dari gading, gagang dan sarung pe-
dangnya nyata-nyata dari gading berukir. Di ujung ga-
gang pedang ada hiasan bentuk burung walet.
Gadis itu segera menahan tangis mati-matian
melihat ke arah mayat Ki Pamungkas. Ia sempat ber-
simpuh di samping jenazah tersebut dan mengucap
kata duka, "Guru, maafkan aku...! Aku terlambat me-nolongmu. Guru...!"
Tua Usil berucap kata, "Ooo... gadis itu murid-
nya Ki Pamungkas! Pantas ia menendangku, mungkin
maksudnya aku tak boleh menguburkan jenazah gu-
runya di sembarang tempat. Mungkin mau dibawanya
ke Perguruan Gerbang Bumi."
Gadis itu tundukkan kepala dengan mata ter-
pejam kuat dan kedua tangan mengepal kencang. Se-
saat kemudian mata itu terbuka lagi, lalu pelan-pelan
melirik ke arah Tua Usil. Lirikan tajam itu membuat
Tua Usil ragu untuk menyapanya dengan ramah, ak-
hirnya ia hanya bisa tersenyum tawar dan salah ting-
kah. Tetapi hati Tua Usil menjadi cemas ketika gadis
itu bangkit dan mulai melangkah pelan-pelan mende-
katinya dengan sorot pandangan mata berkesan ber-
musuhan. Tua Usil diam saja dengan dahi berkerut
menatap gadis cantik itu. Dalam jarak empat langkah
di depan Tua Usil, gadis itu berhenti dan segera berka-
ta dengan geram,"Akan kubalas kematian Guru sekarang juga!"
"Hmmm..., eh... ya, balaslah! Tapi... siapa maksud mu yang akan kau balas itu?"
Makin sipit mata gadis itu memandang Tua Usil
ketika berkata,
"Jangan merasa bangga dulu jika kau bisa
membunuh guru ku. Belum tentu kau bisa membu-
nuhku: Walet Gading, murid kinasih Ki Pamungkas!"
Pedang Keramat Thian Hong Kiam 2 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan 7