Pencarian

Racun Kelabang Putih 2

Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Bagian 2


telah menyelamatkannya.
Terdengar lagi seruan dari Adipati Wis-
nuwisesa "Perhatian! Mulai saat ini, Broto ku nyatakan sebagai kepala pengawal
di Kadipaten! Menggantikan Kertapati yang ternyata dapat dika-
lahkannya! Bahkan dibunuhnya!"
Suara tepukan yang bergemuruh menyam-
but kata-kata Adipati Wisnuwisesa.
Lalu sang Adipati bersama istrinya, Sekar
Juwita dan ibu mertuanya, Nyai Diah yang terse-
nyum melihat Kertapati mati di tangan Broto
bangkit meninggalkan tempat itu.
Broto sendiri tersenyum penuh kemenangan.
Sore harinya, mayat Kertapati pun dikubur-
kan. Ki Ageng Tapa begitu nampak amat sedih se-
kali. Dalam hatinya diam-diam dia berniat hendak
menyelidiki keadaan Adipati Wisnuwisesa. Meski-
pun rasa hormatnya berubah menjadi benci dan
muak, tetapi dia masih merasakan adanya keane-
han dari diri Adipati.
Sementara laki-laki berjubah putih itu men-
desah panjang. Yang dibingungkannya bukanlah
sikap dari Adipati Wisnuwisesa. Tetapi racun kela-
bang putih yang ternyata muncul lagi.
Puluhan tahun yang lalu, laki-laki berjubah
putih itu pernah mendengar akan sebuah pukulan
beracun yang teramat ganas. Sekali bersentuhan,
maka yang disentuh akan mati secara mengerikan.
Pukulan itu milik dari seorang nenek dari
golongan hitam yang bernama Eyang Arumtari. Te-
tapi nenek itu telah mati setelah bertempur den-
gan beberapa tokoh dari golongan putih. Tokoh-
tokoh dari golongan putih itu pun kemudian mati
dengan keadaan tubuh yang mengerikan.
Rupanya secara diam-diam Eyang Arumtari
memiliki seorang murid yang mungkin telah me-
warisi ilmu-ilmunya. Sekarang yang menjadi per-
tanyaan laki-laki berjubah putih itu adalah siapa-
kah murid dari Eyang Arumtari" Apakah Broto
yang melepaskan pukulan yang mengandung ra-
cun Kelabang Putih itu"
Laki-laki berjubah putih itu mendesah.
Lalu meninggalkan tempat itu.
Sebenarnya siapakah laki-laki yang me-
ngenakan jubah putih dan berwajah arif dan bi-
jaksana itu" Dia tak lain adalah Madewa Gumilang
alis Pendekar Bayangan Sukma.
Sudah seminggu lamanya Madewa Gumilang
meninggalkan Perguruan Topeng Hitam. Sebuah
perguruan silat yang dipimpinnya, warisan dari si
Dewa Pedang Paksi Uludara (baca: Dewi Cantik
Penyebar Maut).
Madewa Gumilang meninggalkan perguruan
Topeng Hitam untuk mencari putranya Pranata
Kumala dan anak menantunya Ambarwati yang te-
lah lama pergi mengembara. Dia merasa rindu se-
kali dengan kedua anak manusia itu.
Lalu dia memutuskan untuk pergi mencari
keduanya. Tampuk pimpinan Perguruan Topeng
Hitam untuk sementara diserahkannya pada is-
trinya yang bernama Ratih Ningrum. Seorang wa-
nita berparas cantik yang digjaya akan ilmu ke-
saktian. Dalam pencariannya, Madewa tiba di daerah
Tritis. Dia heran ketika melihat rakyat berbon-
dong-bondong pergi menuju suatu tempat. Lalu
Madewa pun mengikutinya karena ingin tahu ada
kejadian apa di tempat yang dituju para pendu-
duk. Dia melihat ada sebuah panggung besar di
halaman depan kadipaten. Dan meloncatlah dua
orang laki-laki gagah ke atas panggung. Rupanya
di tempat itu sedang diadakan uji kesaktian untuk
memperebutkan siapa yang berhak bertindak se-
bagai kepala pengawal kadipaten.
Dari kedua orang yang berlaga itu, Madewa
dapat melihat sepak terjang laki-laki yang menge-
nakan pakaian berwarna hitam dan berpedang be-
gitu kejam dan telengas. Sedangkan yang menge-
nakan pakaian berwarna putih dan berkeris, begi-
tu arif dan bersahabat.
Nampak pertandingan tidak seimbang kare-
na yang mengenakan pakaian berwarna putih ber-
tindak dengan sikap sebagai sahabat.
Tetapi laki-laki yang mengenakan pakaian
berwarna putih berada di atas angin. Namun ka-
rena sikapnya yang nampak bersahabat, menjadi-
kannya terdesak.
Dan dia pun tersambar satu tendangan yang
cukup kuat. Lalu orang berpakaian hitam-hitam
itu siap menghabisi nyawa yang berpakaian putih.
Tetapi naik ke panggung seorang laki-laki seten-
gah baya yang membawa tasbih berwarna kepera-
kan. Dan di luar dugaannya, laki-laki yang berpa-
kaian hitam-hitam mengeluarkan suatu pukulan
yang amat hebat tangguh dan cepat. Dan mengan-
dung racun. Semula Madewa Gumilang tidak yakin dan
belum pasti kalau pukulan itu mengandung racun
Kelabang Putih. Namun ketika pukulan itu men-
darat pada sasarannya, barulah dia yakin bahwa
pukulan itu memang mengandung racun kelabang
putih. Yang sangat kejam dan ganas.
Bagi yang terkena tanpa ampun saat itu pula
bisa mampus seketika dengan tubuh yang menge-
rikan. Namun bila tenaga yang dikerahkan oleh
pemilik racun kelabang putih tidak begitu tinggi,
dia bisa mati beberapa hari dengan rasa yang
amat tersiksa. Bahkan racun itu bisa dikerjakan melalui
makanan atau minuman. Dengan menyentuhkan
tangannya ke air atau minuman, maka secara
otomatis benda yang disentuhnya akan mengan-
dung racun. Sebuah pukulan yang berbahaya karena
mengandung racun yang teramat keji.
Dan Madewa jadi bertanya-tanya, siapakah
yang telah mewarisi racun Kelabang Putih dari
Eyang Arumtari" Kalau orang itu tidak diketemu-
kan, maka akan gawat lah keadaan. Bila orang itu
marah, maka, dengan mudahnya dia akan mem-
bunuh orang yang telah membuatnya marah.
Madewa mendesah panjang. Dia menatap
langit yang mendadak berubah menjadi kelam. Dia
bertekad untuk menemukan siapakah murid dari
Eyang Arumsari sesungguhnya.
*** 6 Setelah Kertapati dikalahkan oleh Broto se-
kaligus tewas di tangannya, diadakanlah pengang-
katan besar-besaran dengan upacara meriah men-
gangkat Broto menjadi kepala pengawal kadipaten.
Sebenarnya penduduk banyak pula yang he-
ran. Karena baru kali ini Adipati Wisnuwisesa
mengadakan pesta yang besar-besaran untuk
mengangkat seorang kepala pengawal.
Tetapi mereka tak mau banyak bicara. Kare-
na bagi mereka yang penting bisa ikut menikmati
pesta yang amat gembira itu.
Ki Ageng Tapa pun hadir dalam pesta besar
itu. Dia pun merasa keanehan akan sikap dari
Adipati. Sama halnya dengan sebagian penduduk
yang keheranan, dia pun diam saja.
Namun yang membuatnya merasa aneh se-
kaligus sedih, ketika melihat Adipati Wisnuwisesa
sendiri ikut minum-minum arak hingga mabuk.
Broto terbahak dalam hati melihat Adipati
Wisnuwisesa sudah meracau dalam keadaan ma-
buk. Diam-diam dia meninggalkan pesta itu.
Dia berjalan masuk ke ruang utama Kadipa-
ten. Lalu membelok ke kiri. Dan setelah memper-
hatikan sekelilingnya sepi, Broto mengetuk sebuah
pintu kamar yang terletak di ujung.
"Tok! Tok! Tok!"
Setelah agak lama menunggu barulah ter-
dengar suara, "Siapa?"
"Aku, Nyai."
Pintu kamar itu terbuka. Nampaklah Nyai
Diah muncul dengan tersenyum genit. Dia menge-
nakan pakaian yang menerawang. Yang mampu
membuat setiap laki-laki menahan nafas.
Tubuh itu begitu masih mempesona.
Menampilkan lekuk tubuh yang teramat
sempurna. Broto sendiri menahan nafasnya. Lalu buru-
buru dia masuk dan mengunci pintu.
"Aku rindu padamu, Nyai...." desisnya den-
gan suara di tenggorokan.
Lalu dia memburu memeluk Nyai Diah yang
terkikik genit.
Dia menggelinjang kegelian kala bibir Broto
yang cukup tebal menciumi bagian tengkuknya.
"Hihihi... geli, Broto... geli...." ringkiknya manja.
Broto makin menjadi buas.
"Aku sudah tidak tahan, Nyai.... Sudah
hampir seminggu aku tidak menggeluti tubuhmu,
Nyai.... Aku sudah tidak tahan...."
"Hihihi...."
"Kau makin menggairahkan saja, Nyai...."
suara Broto makin berat terdengar. Lalu dia men-
dorong tubuh Nyai Diah ke peraduan.
Suasana di kamar itu berubah, bagaikan
terdapat sebuah irama yang membangkitkan bira-
hi. Beberapa menit kemudian, terdengarlah de-
sahan panjang dari keduanya. Hampir bersamaan.
Lalu kedua tubuh itu terlentang di ranjang dengan
nafas hampir terdengar putus-putus.
Broto membuka matanya.
"Nyai...."
"Hmm...."
"Sesuai dengan rencana kita... apakah se-
muanya sudah kau laksanakan?"
"Hihihi, Broto.... Broto.... Omongan mu seka-
rang berbalik. Bukankah dalam hal ini aku yang
memegang peranan?"
Broto tertawa. "Hahaha... tentu saja, Nyai.... Aku hanya
bercanda saja. Apakah ucapanku tadi sudah pan-
tas sebagai seorang kepala pengawal?"
"Pantas. Tapi jangan kau ulangi lagi kata-
katamu tadi. Bagaimana, Broto" Semua sudah
kau jalankan?" tanya Nyai Diah sambil merapikan pakaiannya yang agak acak-
acakan. "Beres, Nyai.... Sasaran kita pertama adalah
menyingkirkan Ki Ageng Tapa. Dia bisa menjadi
duri bagi kita untuk merebut Kadipaten dan me-
nyusun gerakan pemberontakan. Nyai... setelah
berhasil menyingkirkan Ki Ageng Tapa... kita akan
membuat Adipati Wisnuwisesa menjadi boneka ki-
ta untuk berhubungan dengan Prabu Hayam Wu-
ruk. Kita pun harus menyusupkan mata-mata ke
Majapahit untuk mengadakan pemberontakan dan
penyerbuan. Dengan cara begitu, kita bisa menyerang da-
ri dalam. Dan ini sangat memudahkan kita untuk
menguasai kerajaan...."
"Broto... sebagai kepala pengawal yang baru,
kau harus bertindak dengan tegas. Usahakan agar
semua anak buahmu mengikuti. Kasih mereka pe-
lajaran bila ada yang membantah.
Dan kalau perlu, bunuh yang berani mem-
bantah mu!"
"Beres, Nyai...." kata Broto tersenyum. Lalu melirik Nyai Diah.
"Nyai...kau harus mengajarkan aku lagi ilmu
Racun Kelabang Putih dalam tahap yang sempur-
na...." "Tenang, Broto... aku tak akan pernah melu-
pakanmu, yang banyak membantuku mewujudkan
cita-cita dan keinginanku, Aku akan mengajarimu
lagi...." "Ya...."
"Cara kerjamu rapi sekali, Broto. Kau pun
bisa menyelinap untuk memegang makanan yang
hendak dihidangkan kepada istri Adipati Wisnuwi-
sesa dan para selirnya. Bagus, aku suka sekali
bekerjasama denganmu"
"Aku tak pernah mengecewakan mu bukan,
Nyai?" sahut Broto sambil mengecup kening Nyai
Diah yang terkikik.
Tetapi kemudian dia terdiam, seperti teringat
akan sesuatu. Broto menatapnya.
"Ada apa, Nyai?"
"Aku merasa ada yang mencium kerja kita
ini, Broto...."
"Maksudmu?"


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada yang ingin menyelidiki kerja kita ini.
Kau tidak merasakan itu?"
"Aku makin tidak mengerti dengan omongan
mu, Nyai. Tak mungkin bila kau dan aku terlepas
omong. Putri mu sendiri Sekar Juwita pun tidak
tahu semua rencana kita.
Lalu bagaimana kau menduganya ada yang
mengetahui semua rencana kita ini, Nyai?"
Nyai Diah mendesah.
"Masalahnya cuma satu, ada yang mengenali
pukulan Racun Kelabang Putih."
"Siapa, Nyai" Bukankah kau sendiri yakin,
bila pukulan itu dikeluarkan, orang tidak mendu-
ga mengandung racun yang mengerikan?"
"Bukan itu maksudku."
"Lalu apa, aku semakin tidak mengerti den-
gan kata-katamu, Nyai."
"Baiklah... ketika kau sedang bertanding
dengan Kertapati dan Ki Ageng Tapa, aku melihat
seorang laki-laki yang mengenakan jubah putih
yang berada di antara penonton...."
"Apa anehnya itu, Nyai" Kita kan tidak bisa
melarang penonton yang hadir dengan mengena-
kan pakaian macam apapun?"
"Bukan itu maksudku. Menurut perasaanku,
hanya dialah yang merasakan dan tahu tentang
pukulan yang mengandung Racun Kelabang Putih
itu...." "Siapa dia, Nyai?"
"Aku tidak tahu siapa dia. Tapi aku akan
menyelidikinya. Menurut perasaanku, dia adalah
seorang yang sakti mandraguna. Tapi... hihihi...
tak satu orang pun yang dapat mengalahkan aku,
Nyai Diah pemilik pukulan yang mengandung Ra-
cun Kelabang Putih. Warisan dari guruku, si Kela-
bang Putih Nyai Arumtari...."
Broto terdiam. Bila begitu dugaan Nyai Diah,
ini berarti amat berbahaya sekali.
"Nyai... ajarkan aku lagi ilmu pukulan itu.
Biar semakin sempurna. Bukankah lebih baik kita
bersama dan sama-sama memiliki ilmu pukulan
Racun Kelabang Putih" Ini akan menambah keku-
atan kita untuk melawan manusia berjubah putih
itu.... Bukankah begitu, Nyai" Kita tetap satu."
Nyai Diah terdiam. Memikirkan kata-kata
Broto. Saat Broto mengeluarkan pukulan Racun
Kelabang Putihnya untuk menghadapi si Tasbih
Perak atau Ki Ageng Tapa, Nyai Diah dapat melihat
wajah seorang laki-laki yang mengenakan jubah
putih cukup terkejut.
Nyai Diah juga merasakan kalau laki-laki itu
mengenali pukulan yang hendak dilepaskan oleh
Broto pada Ki Ageng Tapa. Nyai Diah berusaha un-
tuk menduga-duga siapa laki-laki itu adanya. Te-
tapi dia tidak bisa menebak.
Hanya dia pernah mendengar tentang seo-
rang laki-laki yang disebut manusia dewa, atau
juga sering disebut sebagai Pendekar Budiman.
Kalau tidak salah ingat, laki-laki itu bernama Ma-
dewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Dia adalah seorang laki-laki
yang aril dan bijaksana.
Seingat Nyai Diah atau menurut para pende-
kar, Madewa Gumilang selalu mengenakan jubah
berwarna putih. Hal itulah yang membuat hati
Nyai Diah cukup menjadi kecut. Karena dia tahu
siapa Madewa Gumilang sesungguhnya.
Namun dalam hal ini dia tak pernah mau
mundur. Baginya dia memiliki pukulan yang cu-
kup ampuh. Pukulan yang mengandung Racun
Kelabang Putih.
Pukulan sakti warisan dari gurunya.
Mengingat hal itu, Nyai Diah pun tidak kebe-
ratan untuk mengajari kembali ilmu pukulan itu
kepada Broto. Yang sebelumnya juga sudah di-
ajarkan. Kata-kata Broto tadi benar. Bila mereka ber-
dua sama-sama telah sempurna memiliki pukulan
Racun Kelabang Putih, bukankah pertahanan me-
reka akan semakin kuat bila ada orang sakti yang
ingin menentang atau menghalangi keinginan me-
reka" Nyai Diah pun bertekad untuk mencari laki-
laki berjubah putih itu untuk meyakinkan du-
gaannya. Dia melirik Broto yang masih menunggu ka-
ta-katanya. "Bagaimana, Nyai?" tanya Broto.
"Baiklah," kata Nyai Diah sambil mengang-
guk. "Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi ke Gunung Kidul. Ambillah sebanyak-
banyaknya kelabang putih dan bawa ke sini. Cepat, Broto! Bila
tidak, aku kuatir ada yang tahu akan rencana kita
ini!" Broto terbahak. "Hahaha... tenang, Nyai...
tenanglah.... Semuanya akan berhasil.... Aku su-
dah tidak sabar ingin melihat kematian Ki Ageng
Tapa setelah minum tuak yang telah aku pegang
dan secara otomatis tuak itu pun mengandung ra-
cun kelabang putih.... Hahahaha...."
*** 7 Seminggu setelah pesta besar-besaran itu
diadakan, Ki Ageng Tapa merasakan ada sesuatu
yang ganjil pada tubuhnya. Dia merasakan tu-
buhnya gatal-gatal sekali. Dan bila digaruk malah
akan semakin gatal.
"Ada apa dengan tubuhku ini?" tanyanya he-
ran. Dia membuka bajunya dan terkejut ketika
melihat ada tonjolan di beberapa bagian tubuhnya.
"Hei, tonjolan apa ini?"
Ki Ageng Tapa memegangnya.
Dan seketika terdengar jeritannya sendiri.
"Aduh! Sakit sekali!"
Dia makin terkejut ketika dari tonjolan yang
dipegangnya tadi nampak bergerak dan pecah
mengeluarkan nanah.
"Oh.... Tuhan, ada apa denganku ini?" desisnya makin bingung. Lalu hati-hati dia
mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya untuk mengusir
rasa gatal dan sakitnya. Dan sebagian untuk me-
nahan aliran nanah yang keluar dan menimbulkan
bau yang agak busuk.
Tetapi aliran nanah itu terus saja keluar.
Membuat Ki Ageng Tapa makin ngeri.
"Penyakit apa yang sedang aku derita ini?"
desisnya lagi. Tiba-tiba terdengar suara Roro Kenanga dari
luar kamarnya. "Ki Ageng Tapa... ada yang perlu kubicara-
kan denganmu...."
Namun dalam keadaan kesakitan dan malu
akan dirinya yang terkena penyakit aneh secara
tiba-tiba ini membuat Ki Ageng Tapa lebih baik se-
gera menyingkir.
Dia pun membuka jendela kamarnya. Lalu
melompat ke luar.
Dari luar kamarnya suara Roro Kenanga ma-
sih terdengar. Sampai akhirnya dia memutuskan
untuk meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa karena
merasa Ki Ageng Tapa tidak ada di kamarnya.
Sebenarnya kedatangan Roro Kenanga hen-
dak membicarakan satu masalah yang telah mem-
buatnya heran. Diam-diam Roro Kenanga juga terkejut keti-
ka melihat Broto melepaskan pukulan aneh pada
Ki Ageng Tapa. Yang membuatnya heran, kedua
telapak tangan Broto berubah menjadi putih.
Di lain itu, dari mana Broto memiliki puku-
lan yang ampuh itu" Sampai Roro Kenanga terin-
gat tentang pukulan beracun yang dimiliki oleh
Broto. Pukulan Racun Kelabang Putih! Ya, ya... dia
yakin soal itu. Itu sejenis pukulan yang ganas, ke-
jam dan keji. Maksud Roro Kenanga mencari Ki
Ageng Tapa untuk membicarakan masalah dan
kemungkinan itu.
"Hmm... ke mana kiranya Ki Ageng Tapa
ini?" desisnya sambil berbalik.
Dan dia terkejut ketika melihat Nyai Diah
sudah berdiri di depannya. Wanita itu memang
pesolek sekali. Dia memanfaatkan semua fasilitas
yang dimiliki putrinya dan anak menantunya.
Bagi Nyai Diah kesempatan seperti ini jelas
tak mau dia sia-siakan. Sejak lama dia memimpi-
kan semua ini. Dan di saat cita-citanya terwujud,
tak mungkin akan dilepaskan.
Malah dalam benak Nyai Diah, dia berpikir
akan menyerang Kadipaten lalu untuk bersatu
dengannya sebelum memberontak pada Majapahit.
"Selamat sore, Nyonya...." sapa Roro Kenan-ga hormat.
"Hmm... sedang apa kau di depan kamar Ki
Ageng Tapa, Roro?"
"Saya hendak mencari Ki Ageng Tapa,
Nyonya." "Ada apa?"
"Ada yang perlu saya bicarakan dengannya. "
"Soal apa?"
Roro Kenanga terdiam. Dia merasa tidak per-
lu untuk membicarakan keheranannya dengan
Nyai Diah. Maka dia hanya tersenyum.
"Tidak ada apa-apa, Nyonya. Sebagai saha-
bat, saya memang selalu berbicara banyak dengan
Ki Ageng Tapa. Tak ada maksud lain"
"Kalau memang demikian adanya, baiklah.
Roro Kenanga... kembalilah kau ke tempatmu. Tak
pantas kau berada di sini."
"Baik, Nyonya...."
Roro Kenanga pun meninggalkan tempat itu.
Nyai Diah memperhatikannya dengan tatapan ta-
jam. Lalu dia pun kembali ke kamarnya.
Setelah meninggalkan kamar Ki Ageng Tapa
dan bertemu dengan Nyai Diah, Roro Kenanga ma-
sih tetap penasaran untuk bertemu dengan Ki
Ageng Tapa. Menurutnya, dia harus segera mem-
beritahukan pukulan apa yang mengenai Kertapa-
ti. Pukulan yang sangat berbahaya sekaligus me-
matikan. Roro Kenanga pun keluar melalui pintu be-
lakang. Lalu melesat dengan ilmu meringankan
tubuhnya menuju ke hutan kecil yang berada tak
jauh dari Kadipaten.
Di hutan kecil itu ada sebuah gubuk yang je-
lek. Dan di sanalah biasanya dia, Ki Ageng Tapa
dan Kertapati saling bercengkrama atau pun ber-
senda gurau. Broto tak pernah melakukan ini, ka-
rena dulu tugasnya sebagai kepala rumah tangga.
Dugaan Roro Kenanga tepat, karena begitu
dia mendekati gubuk itu, terdengar suara erangan
kesakitan dari dalamnya.
Roro Kenanga heran. Siapakah yang telah
mengerang itu" Apakah gubuk ini sudah di tempa-
ti orang lain" Namun dia terkejut ketika menengok
siapa yang mengerang di dalam gubuk itu.
"Ki Ageng Tapa!" pekiknya seraya memburu
mendekat. Dia melihat Ki Ageng Tapa sudah
membuka pakaiannya dan sekujur tubuhnya pe-
nuh benjolan. Sudah ada yang mengeluarkan na-
nah. "Apa yang terjadi, Ki Ageng?"
Ki Ageng Tapa yang merasa tidak bisa meng-
hindar lagi berkata perlahan, "Entahlah, Roro...
penyakit apa yang sedang menimpa ku ini"
"Bukankah kau selama ini sehat-sehat saja?"
"Benar. Baru tadi rasa sakit ini ku rasakan,"
rintih Ki Ageng Tapa.
Melihat sakit yang diderita Ki Ageng Tapa,
Roro Kenanga jadi teringat maksudnya mencari Ki
Ageng Tapa. Untuk membicarakan masalah puku-
lan beracun milik Broto.
Dan melihat penyakit yang menimpa Ki
Ageng Tapa, Roro Kenanga seperti diingatkan ke-
mungkinan kalau dia juga terkena pukulan racun
kelabang putih.
"Ki Ageng... aku yakin, kau terkena Racun
Kelabang Putih...." kata Roro Kenanga,
"Racun Kelabang Putih?"
"Ya."
"Racun apa itu...." tanya Ki Ageng Tapa sambil menahan rasa sakitnya.
"Racun yang keluar dari sebuah pukulan.
Atau tepatnya sebuah pukulan yang mengandung
Racun Kelabang Putih," jelas Roro Kenanga.
"Aku belum mengerti maksudnya"
"Dulu aku pernah mendengar Racun Kela-
bang Putih itu dari guruku. Pukulan Racun Kela-
bang Putih itu dimiliki oleh seorang nenek jahat
dari golongan hitam yang bernama Eyang Arumta-
ri. Guruku adalah salah seorang dari orang-orang
golongan putih yang hendak membasmi dan
menghentikan kekejaman dan sepak terjang dari


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eyang Arumtari. Dari beliaulah aku pernah men-
dengar tentang pukulan Racun Kelabang Putih
itu...." "Lalu kenapa kau menduga aku terkena Ra-
cun Kelabang Putih. Bukankah selama ini aku tak
pernah bertarung andaikata racun itu keluar dari
sebuah pukulan?"
"Kau tidak mengerti betapa hebatnya Racun
Kelabang Putih itu."
"Jelaskan, Roro...."
"Racun Kelabang Putih itu hanya keluar dari
sebuah pukulan yang muncul dari kedua telapak
tangan si pemilik. Bila sekali bersentuhan, racun
itu sudah menjalar ke bagian dan seluruh tubuh
yang disentuh. Racun itu pun bisa berpindah pada
barang atau pun makanan dan minuman bila dis-
entuh oleh pemiliknya. Dan sekaligus memba-
hayakan bagi yang memegang, atau pun memakan
dan meminumnya. Kekuatan dan kehebatan Ra-
cun Kelabang Putih ini sukar untuk ditandingi."
"Katamu tadi, Roro... si pemiliknya bila men-
geluarkan pukulan yang mengandung Racun Ke-
labang Putih itu kedua telapak tangannya berwar-
na putih?" tanya Ki Ageng Tapa setelah teringat sesuatu.
"Benar, Ki Ageng."
"Broto!" Pekiknya tiba-tiba.
"Ya, ya... aku ingat, aku ingat... jelas, jelas kedua telapak tangan Broto
mengeluarkan warna
putih." "Aku pun melihat hal itu Ki Ageng. Dan du-
gaanku, Broto juga memiliki pukulan Racun Kela-
bang Putih" desis Roro Kenanga.
"Tapi bukankah kau tadi berkata, yang me-
miliki pukulan Racun Kelabang Putih hanya Eyang
Arumtari. Lalu mengapa bisa berada pada Broto?"
Roro Kenanga terdiam.
Lalu dia berkata, "Mungkinkah bila Broto
ternyata murid dari Eyang Arumtari?"
Ki Ageng Tapa hanya mengangguk.
Tak berani menduga-duganya.
Lalu dia berkata, "Roro... bila ternyata du-
gaanmu itu benar aku terkena Racun Kelabang
Putih, apakah makanan atau pun minuman yang
aku santap sudah dipegang oleh Broto?"
"Ya, Tuhan... aku baru ingat. Pesta itu!" pekik Roro Kenanga. "Tak salah lagi,
pasti kau terkena racun itu pada pesta itu, Ki ageng...."
"Broto keparat! Kubunuh kau nanti!" geram
Ki Ageng Tapa sambil menahan rasa sakit,
"Hihihi... rupanya ada dua makhluk yang
sedang asyik bercumbu di dalam gubuk!" terden-
gar suara genit dari luar.
Kedua orang yang berada di dalam gubuk itu
terkejut. Roro Kenanga serentak keluar dari gubuk
itu, "Siapa kau"!" bentaknya keras.
Di hadapannya berdiri satu sosok dengan
mengenakan pakaian ringkas berwarna merah
muda. Tetapi wajah orang yang baru datang itu
tertutup rapat oleh kedok yang berwarna merah
muda pula. Mirip dengan yang dikenakan pembu-
nuh-pembunuh bayaran di Jepang, Ninja.
*** 8 Sosok berpakaian merah muda itu terkikik.
"Hihihi... rupanya aku mengganggu keasyi-
kan kalian berdua. Maaf, maaf... hihihi... tapi bu-
kankah kalian telah selesai?"
Wajah Roro Kenanga merah padam.
"Busuk sekali omongan mu, Perempuan"
makinya jengkel.
"Hihihi... aku berbicara tentang fakta yang
ada, bukan" Aku tidak mengada-ada."
"Kami tidak pernah melakukan sesuatu yang
buruk yang seperti kau duga!"
"Kalian memang tak pernah melakukannya
di depan orang."
"Busuk sekali mulutmu!"
"Hihihi... bilang saja kau marah karena kea-
syikan mu terganggu, bukan?"
"Busuk!"
"Kau yang busuk malah memakiku busuk!
Mana ada pencuri yang mengaku pencuri untuk
menutupi belangnya?" balas wanita yang menge-
nakan pakaian merah muda itu.
"Perempuan busuk! Siapa kau sebenarnya"!"
geram Roro Kenanga marah.
"Hihihi... kau boleh menyebutku si Bayangan
Merah," balas orang itu masih terkikik.
"Dan kau siapa adanya hah"!"
"Namaku Roro Kenanga! Si Tusuk Konde
Emas! Nah, cepat kau berlutut di hadapanku sebe-
lum aku marah karena ucapanmu yang busuk
itu!" "Hihihi... berlutut" Kau sedang bermimpi ru-
panya, Roro... Hihihi... kau masih marah karena
keasyikan mu terganggu, bukan?"
"Perempuan busuk!"
"Hihihi... apa yang dilakukan perempuan
dan laki-laki berpengalaman berduaan di gubuk
kecil yang sunyi ini, hah"!"
Roro Kenanga tidak bisa lagi membendung
marahnya. Dia berseru jengkel, "Tutup mulutmu,
Bayangan Merah! Atau... biar aku yang melaku-
kannya, hah"!"
"Hihihi... silahkan, silahkan... aku pun ingin
merasakan kehebatan si Tusuk Konde Emas" si
Bayangan Merah terkikik.
Kemarahan Roro Kenanga semakin menjadi-
jadi. Tanpa banyak ucap lagi, dia menggebrak ma-
ju. Gerakannya cepat dan gesit.
"Awas serangan!"
"Hihihi... rupanya kau pemarah juga, Roro
Kenanga!" sahut si Bayangan Merah sambil meng-
hindar dan membalas dengan tendangan kaki ke
arah muka. Roro Kenanga cepat menunduk dan mengi-
rimkan satu jotosan ke arah ulu hati Bayangan
Merah. Tetapi sambil tertawa si Bayangan Merah
menangkisnya. "Des!"
Kedua tangan itu beradu.
Roro Kenanga merasakan tenaga dalam yang
dimiliki lawannya cukup besar. Tetapi dia pun tak
mau kalah. Dia meningkatkan lagi tenaga dalam-
nya. Lalu mencecar lagi dengan jurus Memetik
Sang Surya. Tiba-tiba saja gerakannya menimbulkan ha-
wa panas yang lumayan. Itu pun dirasakan oleh si
Bayangan Merah.
"Hihihi... hebat, hebat! Ilmu Memetik Sang
Surya!" Roro Kenanga kaget karena lawannya men-
getahui jurusnya.
Sementara Ki Ageng Tapa yang sudah berpa-
kaian lengkap dan keluar dari gubuk itu hanya
menonton saja. Dia tidak bermaksud membantu
Roro Kenanga. Di samping dilihatnya Roro Kenan-
ga mampu melayani serangan-serangan si Bayan-
gan Merah, juga karena keduanya adalah wanita.
Yang membuatnya jadi enggan untuk membantu.
Tetapi di jurus selanjutnya, terlihat kalau si
Bayangan Merah mulai menekan dan mendesak
Roro Kenanga. Dengan jurus-jurusnya yang tang-
guh. "Hihihi... di mana nama besar si Tusuk
Konde Emas!" ejek si Bayangan Merah yang mem-
buat Roro Kenanga semakin geram.
"Perempuan busuk! Kau lihat serangan!"
makinya sambil menerjang lagi.
"Keluarkan yang kau punyai, Roro!"
"Jangan banyak among! Aku akan mengadu
jiwa denganmu!"
"Dengan senang hati kulayani semua ke-
mauanmu! Yang perlu kau ketahui, aku datang
memang ingin membunuhmu! Juga laki-laki yang
nampak sedang sakit itu!"
"Banyak mulut!"
"Mana seranganmu lagi, hah"!" sahut si
Bayangan Merah sambil menerjang dengan ganas.
Dia mengimbangi dan membalas serangan-
serangan dari Roro Kenanga.
Karena keinginan untuk menyudahi lawan-
nya begitu menggebu-gebu di samping jengkel
mendengarkan ejekan-ejekan si Bayangan Merah,
serangan-serangan Roro Kenanga menjadi mem-
babi buta dan sukar dikendalikan. Dia bagaikan
banteng terluka. Tetapi biarpun begitu serangan-
nya tetap ganas dan membahayakan.
Lagi-lagi si Bayangan Merah hanya tertawa.
Dan tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan begitu
kakinya hinggap di tanah langsung melenting lagi
ke depan diiringi dengan pekikan keras.
"Awas serangan!" serunya,
Kali ini dia yang menekan dan mendesak Ro-
ro Kenanga. Sampai suatu ketika sebuah puku-
lannya dan disusul dengan tendangannya menge-
nai bagian dada Roro Kenanga.
Hingga wanita itu terhuyung.
"Des!"
"Des!"
Si Bayangan Merah terbahak. "Ternyata
hanya begitu saja nama besar si Tusuk Konde
Emas!" Roro Kenanga mendelik marah seraya men-
gusap darah yang mengalir melalui mulutnya.
"Bangsat!"
"Hahahaha... ayo seranglah aku lagi! Biar
cepat ku sudahi permainan ini!"
Roro Kenanga makin geram. Si Bayan-
gan Merah menganggap ini sebuah permainan.
Bangsat! Dia benar-benar akan mengadu jiwa
dengan si Bayangan Merah.
Sambil menggeram marah dan menahan ra-
sa sakitnya, dia kembali menerjang. Tetapi lagi-
lagi serangan-serangannya berhasil dipatahkan.
Bahkan kembali pukulan dan tendangan si
Bayangan Merah menggedor dadanya.
Hingga terhuyung ke belakang.
Si Bayangan Merah tak mau membuang ke-
sempatan seperti tadi. Dengan ganasnya dia maju
menyerang untuk menghabisi nyawa Roro Kenan-
ga. "Mampuslah kau, Roro Kenanga!!"
Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan
memapaki serangan si Bayangan Merah yang ditu-
jukan kepada Roro Kenanga.
"Des!!"
Dua tubuh itu terpental ke belakang. Si
Bayangan Merah berdiri lagi dengan sigap.
Ki Ageng Tapa terhuyung sambil memegang
dadanya dan muntah darah.
Dia tadi yang memapaki serangan si Bayan-
gan Merah pada Roro Kenanga. Namun karena
kondisinya yang sedang lemah dan dalam keadaan
sakit, membuat tenaganya tidak seberapa besar.
Bahkan dia makin merasakan sakitnya keti-
ka berbenturan karena memapaki serangan si
Bayangan Merah.
"Huak!!"
Ki Ageng Tapa kembali muntah darah.
"Ki Ageng!" seru Roro Kenanga dan berkele-
bat mendekat. Terdengar si Bayangan Merah tertawa meli-
hat adegan itu.
"Hihihi... nampaknya adegan kemesraan ini
terus berlangsung... Lucu, lucu sekali. Kalian pikir kalian masih muda dan
remaja, ya" Sehingga harus bermesraan dengan gaya anak muda berpaca-
ran?" Roro Kenanga menggeram. "Bangsat! Kau
harus mampus di tanganku, Bayangan Merah!.
"Hihihi... majulah, Roro!"
Tiba-tiba kedua tangan Roro Kenanga berge-
rak cepat ke kepalanya dan menggerakkannya ke
arah Bayangan Merah.
"Siiing!"
"Siiing!"
Dua buah Tusuk Konde Emasnya berdesing
dan bergerak ke arah si Bayangan merah.
Sejenak si Bayangan Merah terkejut. Tetapi
dia cepat bersalto ke samping. Namun kembali dia
terkejut, karena dua buah tusuk konde itu bagai-
kan punya sepasang mata yang dapat melihat dan
mengancam sasarannya.
"Hei!" pekik si Bayangan Merah dan kembali menghindar.
Kali ini Roro Kenanga yang terbahak melihat
lawannya menjadi panik.
"Hahaha... kau hendak lari ke mana, Bayan-
gan Merah" Sambutlah kedua tusuk konde ku
itu!" "Setan alas! Kubunuh kau!" geram Si Bayan-


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan Merah sambil meluncur ke arah Roro Kenan-
ga. Namun kembali urung karena tanpa didu-
ganya Tusuk Konde Emas milik Roro Kenanga te-
rus mengejarnya. Kembali dia menghindar sambil
memaki jengkel.
"Setan! "Hahaha... mau ke mana kau lari, Bayangan
Merah! Pastikanlah ajalmu sebentar lagi akan ti-
ba!" tertawa Roro Kenanga.
Sementara si Bayangan Merah dengan susah
payah menghindari kejaran kedua Tusuk Konde
Emas itu. Namun tiba-tiba saat kedua tusuk konde itu
mengejarnya, dia bergulingan berlawanan arah.
Dan tangannya dengan cepat menyambar seba-
tang ranting yang tergeletak di dekatnya.
Ketika Tusuk Konde Emas itu berbalik lagi
ke arahnya, dengan cepat pula si Bayangan Merah
menggerakkan tangannya mengayunkan sebatang
ranting yang diambilnya tadi.
"Cep!"
"Ceep! Kedua Tusuk Konde Emas itu menancap te-
pat di ranting itu. Dan tak bisa terlepas lagi.
Si Bayangan Merah terbahak.
"Hahaha... kini kalian terimalah ajal kalian!"
serunya. Lalu membuang batang ranting yang telah
menancap kedua tusuk konde itu. Kemudian dia
menyerang maju. Ganas dan mematikan.
Roro Kenanga dan Ki Ageng Tapa sebisanya
menghindari serangan-serangan ganas itu.
Namun karena kondisi keduanya yang terlu-
ka, membuat gerakan mereka tidak selincah se-
mula. Malah dengan mudahnya si Bayangan Me-
rah memukul jatuh keduanya.
"hihihi... kini mampuslah kalian!"
Sambil terkikik Bayangan Merah menderu
maju untuk menghabisi nyawa keduanya.
Tiba-tiba terdengar bentakan berwibawa,
"Tahan!!"
*** 9 Seketika si Bayangan Merah menghentikan
serangannya. Dia melihat satu sosok berjubah pu-
tih dan tersenyum arif berdiri di dekatnya.
Hati si Bayangan Merah tercekat.
Dia tak melihat dan tidak tahu kapan mun-
culnya laki-laki berjubah putih yang tersenyum
arif dan bijaksana itu.
"Hhh! Siapa kau sebenarnya, Jubah Putih"!"
bentaknya sambil menutupi kekagetannya.
"Ah, aku hanyalah orang biasa. Kedatangan-
ku sedang mencari putra dan anak menantuku,
Pranata Kumala dan Ambarwati."
"Aku tidak tanya kau sedang apa. Yang ku-
tanya, kau siapa"!"
"Kalau itu maumu... namaku tidak bagus.
Namaku Madewa Gumilang...."
"Pendekar Bayangan Sukma!" terdengar sua-
ra Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga berbarengan.
Mereka sudah lama mendengar akan pendekar
budiman yang sepak terjangnya begitu bijaksana.
Dan mereka tak menyangka kalau di hari ini, di
saat ajal mendekati mereka, bisa bertemu dan ber-
jumpa wajah dengan pendekar yang sakti itu.
"Yah... itulah namaku. Dan julukan seperti
yang disebutkan kedua lawanmu itu...."
"Hhh! Madewa... kudengar kau seorang pen-
dekar budiman, yang tak pernah. mau ikut cam-
pur urusan orang! Tapi di hari ini, ternyata semua
omongan itu bohong belaka!" seru si Bayangan
Merah. "Kau telah mencampuri urusanku, Ma-
dewa!" "Kata-katamu itu benar. Cuma sayang... kau
salah tanggap. Aku tak pernah mencampuri uru-
san orang yang tidak bermusuhan. Tetapi dalam
hal ini, kau bukan hanya bermusuhan dengan ke-
duanya, tetapi kau malah ingin membunuhnya...."
"Itu urusanku!"
"Aku hanya bertanya ada apa, setelah itu
aku akan melanjutkan perjalananku...."
"Manusia sombong! Kau pikir kau dengan
mudah menggertak ku dengan nama besarmu itu,
hah"!"
"Aku hanya menginginkan satu kebenaran"
sahut Madewa tetap dengan suara yang terdengar
arif dan bijaksana.
"Sombong! Kebenaran itu akan kau da-
patkan bila kau sudah mampus di tanganku! Awas
serangan!" sehabis berkata begitu, si Bayangan
Merah berkelebat menyerang, dengan pukulan lu-
rus ke wajah. Tetapi dengan mudahnya Madewa menghin-
dari serangan itu. Hal ini membuat si Bayangan
Merah semakin jengkel. Dia meningkatkan dan
mempercepat lagi serangan-serangannya. Ganas
dan berbahaya. Tetapi lagi-lagi Madewa dapat menghinda-
rinya dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
Karena merasa serangannya berkali-kali
gagal, si Bayangan Merah bersalto ke belakang.
Dengan membesarkan hati dia berkata mengejek.
"Hhh! Ternyata bisa mu hanya menghindar
saja. Cepat perlihatkan seranganmu!"
Madewa tersenyum. "Bila itu maumu, baik-
lah!" katanya sambil membuka jurusnya Ular Me-
matuk Katak. Dia pun bergerak dengan cepat.
Si Bayangan Merah terkejut melihat seran-
gan yang cukup cepat itu. Dia pun menghindar
dengan sigap dan bergerak mencoba membalas.
Namun balasannya seolah tak menemui
tempat yang baik. Karena tertutup oleh serangan-
serangan Madewa Gumilang.
Tiba-tiba Bayangan Merah bersalto kebela-
kang. Menurut dugaannya, dia dapat menghindar
dari serangan-serangan Madewa. Tetapi dia terpe-
kik kaget ketika Madewa terus memburunya. Kali
ini Madewa mengejar dengan jurus Ular Cobra
Bercabang Tiga. Tangannya bergerak secepat ge-
rakan ular. Bayangan Merah yang telah membuat Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga menjadi bulan-
bulanannya, kini harus pontang panting menghin-
dari serangan-serangan Madewa.
"Mengapa kau menjadi kocar-kacir begitu"
Bukankah tadi kau meminta aku untuk memba-
las"!" kata Madewa tetap dengan suara yang arif dan bijaksana. Tidak terdengar
sedikit pun kalau
dia mengejek. "Bangsat, Jubah Putih!" geram Bayangan
Merah "Tunggu pembalasanku!"
Tiba-tiba si Bayangan Merah bersalto dua
kali ke belakang dan kemudian berkelebat cepat
meninggalkan Madewa. Madewa tidak bermaksud
mengejar. Dia hanya terdiam di tempatnya. Tetapi pe-
lan-pelan dia membuka ilmu pandangan Menem-
bus Sukma. Dari jarak yang cukup jauh, Madewa
dapat melihat si Bayangan Merah berlalu menuju
kadipaten. Lalu melompati tembok bagian belakang dan
masuk ke dalam sebuah kamar. Di sana si Bayan-
gan Merah membuka kedok wajahnya. Dan terli-
hatlah wajah Nyai Diah!
Madewa mendesah panjang. Wanita itu per-
nah dilihatnya saat pertandingan di depan Kadipa-
ten. Wanita itu memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi. Berarti, dia wanita yang hebat. Apakah
mungkin dia kaki tangan dari Broto"
Madewa menghentikan ilmu Pandangan Me-
nembus Sukmanya yang dapat menembus gunung
tinggi. Dia berpaling pada Ki Ageng Tapa dan Roro
Kenanga yang tengah menjura.
"Salam hormat dari kami, Pendekar Budi-
man" kata keduanya berbarengan,
Madewa tersenyum.
"Sudahlah, tak perlu menghormat seperti
itu. Ki Ageng Tapa... kulihat kau sedang dalam
keadaan sakit. Dan aku mencium bau amis dari
kelabang" kata Madewa sambil berjalan mendekati Ki Ageng Tapa.
Dan seperti tersadar, Ki Ageng Tapa menge-
luh kesakitan. Dia merasakan ada yang keluar da-
ri tonjolan-tonjolan yang terdapat di sekujur tu-
buhnya. Mengeluarkan nanah yang bau amis.
"Benar, Saudara Pendekar" desis Ki Ageng
Tapa kesakitan.
"Masuklah ke dalam gubuk! Kau nampaknya
terkena Racun Kelabang Putih...."
Ki Ageng Tapa menurut. Lalu Madewa pun
mengobatinya. *** 10 Sebenarnya Sekar Juwita sudah cukup lama
curiga melihat gerak-gerik ibunya yang kadang be-
gitu akrab dengan Broto. Semula Sekar Juwita
memang menikmati menjadi istri dari Adipati. Te-
tapi lama kelamaan dia merasakan bahwa dia
hanya menjadi boneka dari ibunya untuk mende-
sak adipati jika dia menginginkan sesuatu.
Semula pula Sekar Juwita tidak merasakan
apa-apa dari desakan ibunya. Tetapi lama kela-
maan dia menjadi kasihan pada suaminya. Secara
diam-diam dia telah jatuh cinta pada Adipati Wis-
nuwisesa. Dia sangat menyesal karena mau menuruti
perintah ibunya memasukkan obat penurut ke da-
lam gelas minuman Adipati.
Diliriknya suaminya yang sedang pulas.
Malam telah larut.
"Oh, suamiku tercinta, maafkan aku...."
desisnya pilu. Dan tiba-tiba telinganya menangkap satu ge-
rakan yang bergerak di luar kamarnya. Sekar Ju-
wita menajamkan telinganya. Dan terdengar suara
pintu belakang dibuka, lalu orang melangkah ber-
jingkat. Sekar Juwita menjadi penasaran. Siapa
orang itu" Hati-hati dia mengintip dari lubang
kunci kamarnya.
Dia melihat Broto tengah mengetuk pintu
kamar ibunya. Dan tak lama kemudian terlihat
pintu terbuka dan muncul ibunya yang celingukan
setelah Broto masuk. Lalu menutup pintu.
"Kecurigaan ku terbukti...." desah Sekar Juwita. "Aku tidak mau menjadi boneka
ibu lagi, aku harus berontak dari semua ini... Harus!"
Dengan tekad yang bulat, Sekar Juwita ke-
luar dari kamarnya. Dan mencuri dengar dari ka-
mar ibunya. Keningnya pertama berkerut menden-
gar suara desah nafas seolah berlomba yang ter-
dengar, tetapi lama kelamaan dia menggeram. Se-
dih. Karena ibunya ternyata hanya seorang pela-
cur belaka! Menjadi pemuas nafsu Broto. Atau juga
mencari kepuasan melalui Broto.
Sekar Juwita masuk lagi ke kamarnya. Sete-
lah beberapa menit dia pun kembali mencuri den-
gar di kamar ibunya.
Dia menangkap suara ibunya, "Jalan satu-
satunya kita bunuh dulu Adipati Wisnuwisesa."
"Aku memang ingin mengusulkan begitu,
Nyai. Kupikir, rencana kita sudah gagal. Karena Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga sudah mencium
semuanya. Belum lagi dia dibantu oleh Pendekar
Bayangan Sukma"
"Bagus, tapi aku tidak bisa membunuh Adi-
pati sekarang, karena ada putri ku di sana. Tapi...
ah, bukankah itu sesuatu yang mudah. Biar nanti
ku peralat putri ku untuk membunuhnya...."
Nyai Diah terpekik.
Broto terkejut.
Karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka.
Lalu muncul Sekar Juwita dengan tatapan
sedih, marah dan kecewa.
"Putri...." seru Nyai Diah berlagak ter-
senyum. Buru-buru dia merapikan pakaiannya.
Ah, mengapa tadi dia lupa mengunci" Karena Bro-
to sudah terlalu bernafsu tadi!
"Aku sudah mendengar semua kata-kata
Ibu... Aku tidak mau ibu peralat lagi. Aku tidak
mau, Bu... aku tidak mau mengkhianati suamiku
lagi...." "Semula Sekar memang tidak mengerti apa
maksud ibu semua ini. Tetapi lama kelamaan Se-
kar mengerti. Sekar dijadikan alat untuk meme-
nuhi ambisi ibu...."


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekar!" wajah Nyai Diah merah padam.
"Sekar tidak mau melakukannya lagi, Bu...."
kata Sekar Juwita menangis.
"Apa maksudmu Sekar?"
"Ibu jangan berpura-pura lagi. Sekar sudah
tahu semuanya. Ibu mau membunuh suami Sekar
untuk merebut semua yang ada. Bukankah bila
ibu sudah mendapatkan tampuk kekuasaan seba-
gai adipati di sini, adipati-adipati lain akan tun-
duk?" "Kau sudah berani kurang ajar pada ibumu,
Sekar!" "Ya, Sekar akan menentang semua perintah
ibu sekarang!"
"Kurang ajaaaaar!" geram Nyai Diah sambil
menggerakkan tangannya menampar wajah Sekar
Juwita. "Kau kurang ajar sekali pada ibumu, Se-
kar!" "Karena Sekar tidak suka dengan perbuatan
Ibu. Maafkan Sekar, Bu...."
"Anak tidak tahu diri!" Kembali tangan Nyai Diah melayang. Kali ini Sekar Juwita
langsung pingsan. Tiba-tiba terdengar suara dari are bang pin-
tu, "Haha... mengapa anakmu sendiri yang kau
siksa, Nyai Diah...."
Nyai Diah menoleh ke suara itu. Nampaklah
Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga sedang berdiri di
ambang pintu. Dan saling lemparkan senyum
mengejek. "Kau"!"
"Hahaha... rupanya si Bayangan Merah tiga
hari yang lalu telah berganti wujud!" ejek Roro Kenanga. Namun langsung
menghindar karena tu-
buh Nyai Diah sudah berkelebat.
Begitu pula dengan Broto yang sudah me-
nerjang Ki Ageng Tapa.
Karena bagi mereka, untuk menutupi diri
sudah sia-sia belaka. Karena kedok mereka sudah
diketahui. Maka keduanya langsung mengelua-
rkan pukulan Racun Kelabang Putih.
Seketika telapak tangan keduanya berubah
putih. "Hahaha... mampuslah kalian berdua!!" desis Broto terbahak.
Seketika di ruangan itu terjadi pertempuran
yang cukup sengit. Ki Ageng Tapa dan Roro Ke-
nanga tidak berani bersentuhan atau pun berben-
turan. Karena mereka tahu akibat apa bila sempat
bersentuhan. Dan itu memudahkan Nyai Diah dan Broto
menyerang dengan hebat. Sehingga dalam tiga ju-
rus saja keduanya sudah mampu mendesak Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga.
Beberapa orang pengawal yang mendengar
suara ribut-ribut masuk dan melihat pertarungan
itu. "Para pengawal!" seru Broto. "Tangkap Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga! Karena
mereka hendak memberontak pada Adipati Wisnuwisesa!
Cepat!" Karena yang memberi perintah atasan mere-
ka, mereka pun langsung mengurung. Namun
mendadak saja mereka merasakan ada angin be-
sar yang mendorong mereka hingga semuanya
bergulingan. Dan berdirilah sosok berjubah putih dengan
tersenyum arif dan bijaksana.
"Madewa Gumilang!" seru Nyai Diah seraya
bersiap. Begitu pula Broto.
Dan tanpa banyak lagi keduanya segera me-
nyerang Madewa dengan cepat, tangkas dan ber-
bahaya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri, Ma-
dewa berhasil menghindari semua itu.
Namun baginya sulit untuk membalas. Ka-
rena bila tangannya bersentuhan dengan bagian
tubuh dari keduanya, secara otomatis Racun Ke-
labang Putih itu akan mengalir ke tubuhnya.
Madewa pun bergerak dengan cepat sambil
berpikir. Namun sulit baginya untuk melepaskan
pukulan atau pun balasan ke arah keduanya.
Sampai akhirnya dia memutuskan untuk
melepaskan Pukulan Bayangan Sukma. Pukulan
sakti yang hebat itu adalah pukulan andalannya.
Tak seorang pun di dunia ini yang mampu mena-
han pukulan itu.
Pertimbangannya untuk melepaskan puku-
lan itu, karena kedua pukulan itu dilancarkan
Nyai Diah dan Broto sangat mematikan. Dan bisa
membahayakannya. Tak ada jalan lain.
Madewa pun bersiap.
Keduanya tangannya terangkum menjadi sa-
tu di dada. Lalu nampaklah asap putih mengepul
dari sana. Nyai Diah terkikik. "Hihihi... rupanya kau
ingin mengadu tanganmu dengan tangan ku, Ma-
dewa! Bagus! Broto, kita sambut pukulan Madewa
yang kayak asap tabunan itu!"
Madewa hanya tersenyum.
"Siapakah di antara kalian murid dari Eyang
Arumtari?" tanyanya.
"Aku, Madewa! Kaulah yang telah merusak
semua rencanaku! Kaulah yang mengetahui ten-
tang pukulan Racun Kelabang Putih! Maka, kau
harus mampus di tanganku!"
"Tak ada jalan lain! Aku pun tak menyukai
kejahatan yang telah kalian lakukan! Bila kalian
hentikan dan berjanji tidak akan mengulanginya
lagi, maka akan aku lepaskan!"
"Bangsat! Kau pikir aku takut! Broto, kita
hajar dia! Madewa... sambutlah pukulan Racun
Kelabang Putih!" seru Nyai Diah.
Dan secara bersamaan dengan Broto kedua-
nya melesat menerjang Madewa. Yang juga berge-
rak menyambut dengan Pukulan Bayangan Sukma
di tangan. Ketika kedua pukulan itu bertemu, terdengar
suara letusan yang cukup keras, Langit-langit
ruangan hancur. Berguguran.
Tembok-tembok pun bergerak. Betapa dah-
syatnya. Betapa hebatnya.
Dan dari kepulan asap itu terlihat dua sosok
tubuh terpental. Tubuh Nyai Diah dan Broto yang
langsung ambruk dengan tubuh hancur.
Sementara Madewa hanya terhuyung bebe-
rapa tindak. Melihat ibunya mati, Sekar Juwita menjerit,
"Ibu...! Ibu!!" serunya seraya memburu. Tapi kemudian dia jatuh pingsan.
Madewa Gumilang mendesah panjang.
Lalu berkata pada Ki Ageng Tapa dan Roro
Kenanga. "Kalian urus semuanya, selamat tinggal!"
"Saudara Pendekar!"
"Tunggu"
Tetapi bayangan itu sudah tidak nampak. Ki
Ageng Tapa dan Roro Kenanga mendesah panjang.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Berkarat Pena Beraksara 15 Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bloon 19
^