Pencarian

Racun Kelabang Putih 1

Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Bagian 1


RACUN KELABANG PUTIH oleh Fahri A. Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode: Racun Kelabang Putih
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Di sepanjang pesisir Laut Selatan, tepatnya
di sebelah Selatan Pulau Jawa terdapat pegunun-
gan yang disebut Gunung Kidul. Pegunungan itu
memanjang dari Barat ke Timur, sangat banyak
sekali. Boleh dikatakan tak terhitung.
Di salah satu pegunungan itu, hiduplah seo-
rang wanita setengah baya dengan seorang anak
gadisnya yang cantik jelita. Seperti kebanyakan
gadis-gadis gunung, gadis yang bernama Sekar
Juwita, tak pernah mengenal kehidupan lain se-
lain kehidupan yang telah dijalaninya selama tu-
juh belas tahun di Gunung Kidul.
Alam telah menempanya sedemikian rupa.
Kesejukan hawa gunung membuat kulitnya kun-
ing langsat. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
bangir dan mulutnya yang indah dan sepasang bi-
bir yang bagus.
Nyai Diah amat menyayangi putri semata
wayangnya itu. Dia adalah seorang janda yang
masih cantik dengan tubuh yang masih padat dan
montok. Suaminya meninggal saat Sekar Juwita
berusia dua tahun. Dalam kehidupannya sendiri,
Nyai Diah membesarkan anaknya penuh kasih
sayang yang tulus.
Pada masa itu, kerajaan Majapahit sedang
berada dalam ketenaran. Dipimpin oleh Hayam
Wuruk yang bergelar Prabu Rajasanegara dan pa-
tih Gajah Mada, Majapahit menjadi kerajaan yang
amat berjaya (1350-1386).
Nyai Diah amat mengagumi raja Majapahit
yang gagah perkasa itu. Lalu dia mengasuhi anak-
nya sedemikian rupa, dengan aturan mirip seo-
rang putri raja. Diam-diam Nyai Diah bermaksud
untuk menjodohkan anaknya dengan Adipati di
Tritis. Baginya, anaknya tidak perlu menjadi seo-
rang permaisuri tetapi menjadi istri adipati itu su-
dah cukup. Sementara Adipati Wisnuwisesa sendiri se-
benarnya telah mempunyai seorang istri dan bebe-
rapa orang selir. Tetapi Nyai Diah tidak perduli Dia tetap berkeinginan anaknya
menjadi istri Adipati
Wisnuwisesa. Nanti bila saatnya tiba, dia akan mengajak
putrinya ke Tritis. Dan diam-diam dia akan me-
makai cara apa pun agar rencananya berhasil.
Pagi itu matahari bersinar dengan cerah.
Semalam baru saja turun hujan. Kini sisa-sisanya
bersatu dengan embun pagi.
Sekar Juwita baru saja selesai mandi. Dan
seperti biasanya ketika dia hendak bersalin, sudah
terdapat baju salinannya di ranjangnya yang di-
hiasi oleh ibunya bak peraduan putri.
Sekar Juwita kadang tidak mengerti, menga-
pa ibunya begitu memanjakannya dan mengang-
gapnya sebagai seorang putri raja. Tetapi dia tak
pernah bertanya.
Dan dari didikan ibunya, sikap, tutur kata
dan tingkah laku Sekar Juwita memang bagai seo-
rang putri raja belaka.
Selesai bersalin, seperti biasa ibunya datang
dengan membawa sepiring buah-buahan.
Dan dia menjura di depan putrinya yang te-
lah menyisir. "Selamat pagi, Putri...."
"Oh, Ibu... Silahkan, Bu...."
Nyai Diah menghidangkan buah-buahan itu
di sebuah meja yang dihias sangat indah.
"Kalau Putri berkenan... silahkan Putri men-
cicipi buah-buahan ini".
"Baik, Bu... nanti saya akan melakukan-
nya..." kata Sekar Juwita dan merapikan sisirannya.
Para penduduk yang tinggal di sekitar sana,
tidak ada yang tahu kalau di pondok yang jelek itu
ada sebuah kamar yang mirip dengan kamar putri
raja. Nyai Diah telah mengaturnya sedemikian ru-
pa. Baginya, keinginannya itu harus tercapai.
Dan bagi Sekar Juwita, sebenarnya dia ingin
sekali bisa berlama-lama keluar rumah. Tetapi
belum lagi dia satu jam berada di luar rumah,
ibunya sudah memanggilnya dan menyuruhnya
masuk ke rumah.
Kadang kehidupan seperti itu membuatnya
jenuh dan ingin memberontak dari ibunya. Tetapi
Sekar Juwita yang sudah dididik bagaikan seorang
putri, tak berani berucap keras atau banyak mem-
bantah. Hingga dia menjadi mengikuti apa saja ke-
mauan ibunya. Namun pada suatu malam, ada satu keja-
dian yang membuatnya bingung dan heran.
Ketika malam telah larut, namun sepasang
matanya yang jernih belum juga mau terpejam,
samar-samar dia mendengar suara derap kaki ku-
da mendekati kediaman mereka.
Hatinya bertanya-tanya.
Siapakah penunggang kuda itu" Tak pernah
ada penunggang kuda yang datang pada malam
hari. Kalau ada itu pun pada siang hari.
Keheranan Sekar Juwita semakin menjadi-
jadi ketika dia mendengar ibunya membuka pintu
depan dan bercakap-cakap dengan penunggang
kuda itu. Ada hubungan apa ibu dengan orang itu"
Tetapi kemudian Sekar Juwita tidak lagi
mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan ter-
dengar perlahan pintu depan ditutup kembali.
"Siapakah orang itu?" tanya dalam hati sambil merebahkan tubuhnya kembali.
Lalu dia merenung di tempat tidurnya.
Pikirnya, pintu ditutup itu Ibunya sudah
masuk ke dalam rumah. Namun dugaannya salah,
justru ibunya keluar dari rumah dan naik ke kuda
di belakang penunggang kuda itu.
Lalu kuda itu bergerak cepat meninggalkan
pondok. Mengarah ke Timur.
Setengah jam kemudian, kuda itu berhenti
di sebuah hutan yang banyak terdapat di sana.
Lalu kuda itu ditambatkan.
Dan penunggang kuda yang bernama Broto
langsung memeluk Nyai Diah dan menciuminya
dengan buas. Nyai Diah mencoba meronta, "Broto... nanti
dulu... kau belum memberikan laporanmu tentang
adipati Wisnuwisesa...."
"Nanti saja, Nyai... Nanti saja... aku sudah
tidak tahan...." terdengar desisan Broto sambil tetap menciumi sekujur wajah
Nyai Diah. "Broto...."
"Nanti, Nyai... Nanti... penuhi dulu permin-
taanku.... Sudah seminggu aku tidak menda-
patkan jatah, Nyai...." gumam Broto meracau.
Dia sebenarnya mata-mata dari Nyai Diah
untuk memata-matai keadaan Adipati Wisnuwise-
sa. Dan agaknya malam ini dia telah menunaikan
satu tugas yang diberikan Nyai Diah padanya.
Bagi Broto yang cabul dan mata keranjang
itu, sudah tentu dia mau melakukannya dengan
imbalan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Bahkan dia tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu, karena selain dapat menikmati ke-
hangatan tubuh Nyai Diah, dia pun dijanjikan
hendak diberikan jabatan sebagai Kepala pengawal
adipati. Nyai Diah tidak bisa bertahan lama untuk
menahan nafsu Broto yang sudah amat sangat.
Dia pun mandah saja ketika Broto merebahkannya
di atas rerumputan.
Lalu terdengarlah desahan mesum yang ce-
pat dan turun naik.
Setelah itu terdengar desahan yang menyatu
dari keduanya yang mencapai puncak kenikma-
tan. Lalu rebah di tanah dengan nafas kembang
kempis. Sementara bagi Broto dia seakan terlepas
dari satu kekangan dan sekarang habis melaku-
kan perjalan yang sangat jauh sekali.
"Broto... mana laporanmu?" Broto membuka
matanya yang terpejam. "Beres, Nyai.,.."
"Semua sudah kau lakukan?" "Beres,
Nyai...." "Bagaimana hasilnya?"
"Berhasil. Saat ini istri adipati dan beberapa
selirnya sedang menderita sakit yang mengerikan.
Sekujur tubuhnya bengkak-bengkak dan menge-
luarkan nanah. Kalau pun bisa disembuhkan me-
reka akan cacat seumur hidup"
Nyai Diah tersenyum.
"Kau memang patut diandalkan, Broto...."
"Semua untukmu, Nyai. Aku sangat puas
dengan imbalan yang kudapatkan.... Juga dengan
jabatan yang kau janjikan, bila anakmu menjadi
istri adipati...."
"Aku tak pernah memungkiri janji sendiri,
Broto...."
"Itulah aku setuju saja diajak bekerja sama
denganmu, Nyai...."
"Lalu bagaimana keadaan di sana sekarang
ini, Broto?"
"Adipati telah memanggil beberapa orang ta-
bib, namun semuanya angkat tangan. Tak ada
seorang pun yang dapat menyembuhkan penyakit
aneh yang diderita istri dan para selirnya...."
"Memang tak ada seorang pun yang bisa. Ke-
cuali aku... hahahah."
"Racun Kelabang Putihmu memang ampuh
sekali, Nyai Diah...."
"Jelas, karena hanya akulah yang bisa mem-
buatnya dan menyembuhkannya" Nyai Diah terse-
nyum puas. Lalu dia bangkit merapikan pakaian
dan rambutnya. Dan berkata pada Broto yang ma-
sih merebahkan diri. "Sebaiknya kita kembali saja sekarang. Aku kuatir anakku
akan terbangun dan
mencari-cari aku...."
"Hahaha... baik, Nyai...."
Broto pun bangkit merapikan pakaiannya.
Baginya ini adalah jalan yang termudah untuk
mendapatkan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Dulu saat Nyai Diah masih perawan, sebe-
narnya Broto sudah jatuh hati padanya. Namun
sayang dia kalah cepat dengan Ajiseta, yang ke-
mudian menjadi suami Nyai Diah.
Siang dan malam Broto selalu memikir-kan
Nyai Diah. Dan dia selalu membayangkan men-
cumbu Nyai Diah meskipun dalam angan.
Dan ketika terdengar kabar Ajiseta mati saat
berburu di hutan, Broto menjadi girang bukan
main. Masih Nyai Diah dalam keadaan berkabung,
dia pun mendatangi Nyai Diah dan merayu-
rayunya. Namun Nyai Diah tidak bergeming. Sampai
saat Sekar Juwita berusia sebelas tahun, barulah
terpikir olehnya untuk menjadikan anaknya istri
dari seorang Adipati. Dan pilihannya jatuh pada
adipati di Tritis.
Dan dia pun mulai bekerja sama dengan
Broto untuk menyelidiki keadaan adipati. Broto
pulalah yang menyediakan segala sesuatunya un-
tuk keperluan Sekar Juwita. Dari mulai perhiasan
sampai buah-buahan.
Lalu kedua orang yang mempunyai niat ja-
hat itu pun kembali ke rumah Nyai Diah. Saat
hendak pergi meninggalkan rumah itu, Broto
memberikan buah-buahan yang dia bawa.
Lalu dia pun menggebrak kudanya. Dan per-
lahan-lahan Nyai Diah membuka pintu depan dan
masuk ke kamarnya.
*** 2 Tritis adalah sebuah wilayah yang subur dan
makmur, yang berada dalam kekuasaan Majapa-
hit. Wilayah itu dibangun dengan segala sesua-
tunya yang adil. Adipati Wisnuwisesa yang berku-
asa di sana, adalah seorang pemimpin yang bijak-
sana. Yang selalu memikirkan nasib para pendu-


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duknya. Rakyat pun sangat menyukai dan me-
nyayanginya. Dan begitu terdengar kabar kalau istrinya
dan beberapa orang selirnya terkena penyakit
aneh, rakyat pun berbondong-bondong datang un-
tuk menengok. Kemudian keesokan harinya, tersiar kabar
kalau tiga orang selirnya mati karena membunuh
diri. Mereka pun sudah tahu kalau penyakit yang
mereka derita itu tidak akan bisa disembuhkan.
Dan bila hidup, mereka akan menjadi cacat.
Akan menanggung malu seumur hidup. Akhirnya
mereka pun mengambil jalan singkat dengan
membunuh diri. Sudah tentu sang adipati menjadi sangat
bersedih dan bermuram durja. Kerjanya hanya
melamun saja sepanjang hari. Dia pun tak kuasa
untuk menengok istrinya. Sedikitnya dia merasa
jijik dan ngeri melihat sekujur tubuh istrinya
bengkak-bengkak dan mengeluarkan darah.
Tabib yang terhebat yang ada di wilayahnya,
tak satu pun yang bisa menyembuhkannya. Bah-
kan dia pun mengundang dan memohon tabib dari
kerajaan Majapahit untuk menolong istrinya. Te-
tapi tabib itu pun angkat tangan, menyerah tak
bisa menyembuhkan penyakit istrinya.
Dua hari kemudian, istrinya pun meninggal
dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Selama
dua hari dua malam, seluruh rakyat berkabung.
Semua memberikan salam belasungkawa kepada
adipati yang adil dan bijaksana itu.
"Adipati... sabarlah, tawakallah kepada Yang
Maha Kuasa," kata penasehatnya yang bernama Ki
Ageng Tapa. Dia adalah seorang laki-laki yang be-
rusia 60 tahun. Amat bijaksana dan selalu mem-
berikan nasehat-nasehat yang baik buat sang adi-
pati. Konon Ki Ageng Tapa juga seorang yang sak-
ti mandraguna. Dan dia bergelar si Tasbih Perak.
Karena dia selalu menghitung biji tasbih yang se-
lalu dipegangnya. Tasbih itu pun berwarna kepe-
rakan. Adipati Wisnuwisesa mendesah panjang.
Masih nampak di wajah kesedihan dan kepedihan.
"Ki Ageng... bagaimana aku tidak sedih, se-
mua wanita yang teramat dekat dengan hatiku ha-
rus meninggalkan ku dengan cara yang mengeri-
kan" suara sang
Adipati terdengar penuh kepiluan yang ma-
kin mendalam. Saat ini, mereka berada di ruang pertemuan.
Di sana juga hadir, Kertapati, kepala pengawal.
Roro Kenanga, kepala emban yang juga pandai il-
mu silat. Dan Broto... yang menjabat sebagai ke-
pala rumah tangga.
Saat itu Broto hanya terdiam. Padahal dalam
hatinya dia tertawa-tawa penuh kemenangan.
Lalu mereka mendengar lagi Adipati Wisnu-
wisesa berkata lagi, "Aku sungguh tidak menger-
ti... bagaimana mulanya para selir dan istriku
menderita penyakit yang mengenaskan itu.... Yang
membuatku heran, andaikata itu merupakan sua-
tu wabah penyakit, mengapa hanya mereka saja
yang terkena... mengapa yang lain tidak" Oh, Gus-
ti Batara Agung... kesalahan apa yang telah ku-
perbuat dan kiranya kau menjatuhkan tanganmu
padaku...."
Ki Ageng Tapa berkata pelan. "Adipa-
ti...Sebaiknya beristirahatlah...Jangan sampai kau
berlarut-larut dalam kesedihan ini"
Adipati hanya terdiam. Dia teringat kalau
minggu depan ada acara di kerajaan Majapahit.
Dan yang hadir diharuskan membawa pasangan-
nya atau istrinya. Namun baginya kini, tak ada la-
gi istri dan para selirnya. Siapa yang akan mene-
maninya serta"
Hal itu jelas diketahui Broto. Ini merupakan
kesempatan baginya untuk mengemukakan hal
yang telah lama ditunggu-tunggu.
"Maafkan hamba, Sang Adipati yang mulia.
Bukankah ada undangan yang datang dari kera-
jaan Majapahit?" katanya. "Adipati... setelah istri dan para selir Yang Mulia
meninggal... bukankah
sebaiknya Adipati memikirkan lagi untuk men-
gambil seorang istri?"
Adipati mendesah.
"Benar, Broto.... itu pun memang menjadi
pikiranku sekarang...."
Terdengar suara Ki Ageng Tapa lagi, "Adipa-
ti... kupikir, sebaiknya tenangkanlah dulu diri dan
pikiran adipati, sebelum melanjutkan ke suatu
pemikiran yang lain... Kau harus punya ketenan-
gan dulu sebelum memikirkan masalah undangan
raja dan mencari seorang istri...."
"Tetapi aku memang sudah harus memikir-
kannya, Ki Ageng."
"Aku mengerti. Tapi aku rasa... Raja juga
mau mengerti bila Adipati tidak datang membawa
pasangan. Bukankah Raja Hayam Wuruk pun su-
dah mengetahui kalau Adipati sedang mengalami
musibah?" Adipati Wisnuwisesa terdiam. Kelihatan se-
kali di samping sedang sedih juga dibebani oleh
suatu pemikiran yang amat berat.
Broto yang tidak mau usahanya gagal, sege-
ra berkata, "Tetapi sebaiknya... segeralah di-
umumkan dulu, kalau Adipati ingin mencari seo-
rang istri.... Ingat, mencari istri yang baik tidak
mudah. Apalagi dalam waktu yang hanya bebera-
pa hari saja."
Kertapati yang sejak tadi terdiam terdengar
menghela nafas lega. Dia adalah seorang laki-laki
gagah perkasa. Ilmu kesaktian yang dimilikinya
setingkat dengan yang dimiliki Ki Ageng Tapa.
Kertapati berpakaian sangat sederhana,
meskipun dia seorang panglima. Dia hanya men-
genakan baju hitam dengan lengan baju panjang,
tak berleher. Juga mengenakan celana panjang
yang berwarna sama. Di pinggangnya terselip sen-
jatanya yang berupa sebilah keris.
Terdengar dia berkata, "Agaknya... benar ka-
ta-kata yang dituturkan oleh Ki Ageng Tapa. Se-
baiknya Adipati beristirahat saja. Jangan dulu di-
bebani oleh pikiran yang mungkin malah mem-
buat Adipati bingung...."
Broto mendengus dalam hati. Dia sudah la-
ma membenci dan menaruh dendam pada Kerta-
pati. Karena saat diadu kesaktian untuk menen-
tukan siapa yang patut dan berhak menjadi kepala
pengawal, Broto kalah oleh Kertapati. Maka Kerta-
patilah yang diangkat menjadi kepala pengawal.
Hal itu sudah tentu membuat Broto menjadi
sangat mendendam. Tetapi dia sangat pandai
membawa diri, hingga tak seorang pun tahu kalau
dia membenci Kertapati.
Dan bencinya itu makin memuncak men-
dengar kata-kata Kertapati tadi.
Lalu dia pun berkata, "Memang benar
adanya. Tetapi menurut perasaanku, Raja tetap
akan murka bila Adipati tidak datang memenuhi
undangannya dengan membawa seorang istri....
Jadi, sebaiknya tetaplah Adipati mencari istri du-
lu. Masalah lain, bisa dipikirkan kembali saat su-
dah mendapatkan seorang istri...."
Broto melirik Kertapati yang tampak santai
saja mendengar kata-katanya. Broto memaki da-
lam hati, sebentar lagi kau, Kertapati! Nanti aku-
lah yang menjadi kepala pengawal di wilayah Tritis
ini! Terdengar suara yang keluar dari mulut Roro
Kenanga. Dia adalah seorang wanita setengah
baya. Wajahnya masih cantik dan dua buah tusuk
konde di kepalanya. Tusuk konde itu terbuat dari
emas murni. Dan merupakan senjata andalannya.
Bila tusuk konde dilempar olehnya ke suatu tem-
pat, maka tusuk konde itu bisa berbalik lagi ke-
tangannya. Mirip bumerang.
Roro Kenanga pun berkata, "Saya pikir...
usul dari Adi Broto benar adanya. Karena ini me-
rupakan suatu kehormatan bagi Adipati sendiri.
Bila tidak datang bersama istri, sudah tentu akan
banyak yang meliriknya dengan tatapan mengejek.
Dan mencari seorang istri yang baik itu memang
tidak mudah. Tentunya kita tidak mau bukan, bila
melihat sang Adipati dipandang rendah oleh Adi-
pati-adipati lain karena datang tidak membawa is-
tri" Bukankah seorang Adipati membutuhkan
seorang pendamping merupakan suatu kebang-
gaan dan kekhususan sendiri?"
Orang-orang yang berada di sana mengang-
guk-angguk. Kata-kata Roro Kenanga memang be-
nar adanya. Bagi seorang adipati, bila tidak mem-
punyai seorang istri dan beberapa selir merupakan
suatu kejelekan. Karena berarti, adipati tadi tidak
memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk me-
naklukkan cinta seorang wanita.
Adipati Wisnuwisesa pun tak mau hal itu
menimpa dirinya. Ini memang merupakan suatu
dilema baginya. Dia ditentukan oleh pemilihan
yang sangat membingungkan.
Belum lagi hilang dalam ingatan istri dan pa-
ra selirnya meninggal akibat penyakit yang sangat
mengerikan, diharuskan untuk segera mencari
seorang istri karena undangan Raja.
Tetapi akhirnya dengan suara berat dan eng-
gan, dia berkata sambil meninggalkan ruangan,
"Besok... umumkan kepada rakyat... aku akan
mencari seorang istri. Dengan syarat... dia memili-
ki lima buah tahi lalat di paha kirinya!"
Sehabis berkata begitu, Adipati Wisnuwisesa
pun melangkah ke peraduannya.
Ki Ageng Tapa mendesah.
Kertapati terdiam
Roro Kenanga tersenyum.
Dan Broto pun berbinar-binar matanya. Ber-
seri-seri. Dia pun tidak takut dengan syarat yang
diajukan oleh sang adipati. Bukankah Sekar Juwi-
ta pun memiliki lima buah tahi lalat di kaki ki-
rinya" Setelah pertemuan itu selesai, Broto kembali
ke tempatnya di belakang tumenggungan. Tetapi
begitu tak ada yang melihatnya, dia keluar melalui
pintu belakang. Lalu melompati sebuah pagar
tinggi. Dan berlari ke arah Barat.
Dipacunya kudanya menuju ke Gunung Ki-
dul. Ini adalah suatu laporan yang sangat berhar-
ga untuk Nyai Diah. Tidak boleh membuang-
buang waktu lagi. Hanya lima hari waktu yang di-
tentukan sebelum sang Adipati memenuhi undan-
gan raja Hayam Wuruk.
Sudah tentu Nyai Diah girang bukan main.
Dia pun melayani permintaan Broto saat Broto
menagih. Lalu keduanya pun pulang ke pondok
Nyai Diah. "Nyai... semuanya seperti yang telah Nyai
atur. Dan ingat, jangan sampai meleset....."
"Itu beres, Broto!"
"Setelah Sekar Juwita menjadi istri adipati,
kaulah yang harus menyetir segala sepak terjang
Adipati Wisnuwisesa. Ingat, kau harus berhati-hati
dengan Ki Ageng Tapa...."
"Beres soal itu."
"Dan singkirkan Kertapati..."
Nyai Diah tersenyum.
Broto pun me rasa senang. Lalu naikinya
kudanya dan digebraknya hingga melaju kencang.
*** 3 Keesokan paginya, penduduk Tritis dike-
jutkan oleh suara gong yang dipukulkan oleh pen-
gawal adipati di alun-alun. Berbondong-bondong
mereka datang ke sana. Ada apa gerangan.
Di tengah alun-alun, nampaklah dua pen-
gawal adipati Wisnuwisesa yang berdiri gagah
dengan menunggang kuda hitam.
Yang seorang memegang gong dan memukul-
mukulkannya. Yang seorang lagi menunggu den-
gan gagah sampai rakyat semua berkumpul. Sete-
lah itu, dia membuka gulungan selembar kain dan
membentangkannya.
"Pengumuman!" serunya lantang.
"Adipati Tritis, Wisnuwisesa. hendak mencari seorang istri! Dengan syarat,
perempuan yang akan menjadi istrinya, mempunyai tahi lalat lima buah di pahanya!
Pengumuman selesai!"
Namun sampai tiga hari kemudian, tak seo-
rang perempuan pun yang datang ke Kadipaten.
Agaknya syarat yang diajukan adipati Wisnuwise-


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa terlalu susah. Walaupun saat itu banyak yang
bisa membuat tahi lalat palsu dengan tato, tetapi
rakyat amat mencintai adipati yang adil di samp-
ing menjunjung tinggi Prabu Hayam Wuruk. Hing-
ga mereka tak punya sedikit niat pun untuk mem-
bohongi sang adipati.
Tetapi hal ini malah membingungkan adipati
Wisnuwisesa, mengingat undangan Prabu Hayam
Wuruk tinggal sebentar lagi,
Namun keesokan paginya, datang ke kadipa-
ten, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan
paras yang masih cantik, dengan seorang gadis
yang cantik jelita. Melihat caranya berdandan dan
sikapnya yang anggun, menandakan gadis itu se-
orang yang terpelajar. Namun tingkah lakunya bak
seorang putri belaka.
Orang itu adalah Nyai Diah dan putrinya,
Sekar Juwita. Sesuai dengan rencana yang diatur
Broto, mereka pun datang kadipaten.
Tentu saja kedatangan mereka disambut
dengan gembira oleh sang adipati. Keduanya lang-
sung disambut dengan senang hati dan suka cita.
Adipati Wisnuwisesa lebih gembira lagi sete-
lah mendengar pemberitahuan dari Roro Kenanga
yang memeriksa tahi lalat di paha Sekar Juwita.
Sesuai dengan syarat yang diajukan sang adipati.
Malam hari itu pula di adakan pesta yang
cukup meriah menyambut kedatangan istri baru
Wisnuwisesa. Saat undangan Prabu Hayam Wuruk pun,
Wisnuwisesa hadir dengan sikap gagah. Banyak
adipati lain atau para tumenggung yang terse-
nyum dan memberi salam kebahagiaan padanya.
Seakan mereka melupakan kematian istri dan pa-
ra selir adipati.
Namun ada seorang yang masih merasakan
aneh dengan kematian istri dan para selir adipati.
Dia adalah Kertapati kepala para pengawal adipa-
ti. Apalagi ketika diumumkan, kalau kedudu-
kannya akan tergeser bila dia tidak bisa menga-
lahkan Broto dalam tanding ulang mempere-
butkan kedudukan sebagai kepala pengawal.
Kertapati tidak banyak membantah, karena
perintah itu datangnya dari adipati sendiri. Dia ti-
dak tahu, kalau adipati didesak oleh istrinya un-
tuk mengadakan tanding ulang itu.
Sedangkan istrinya diperintah oleh ibunya
sendiri, Nyai Diah yang merasa sudah waktunya
untuk segera menyingkirkan Kertapati. Sudah sa-
tu bulan mereka hidup di kadipaten yang serba
kecukupan. Semula Wisnuwisesa sendiri pun menolak,
karena menurutnya Kertapatilah yang patut men-
jadi kepala para pengawalnya. Namun setelah di-
desak, dibujuk, direngek oleh istrinya, akhirnya
dia pun meluluskan permintaan itu.
Kejadian itu pun mengundang rasa heran
dari Ki Ageng Tapa. Dia bertanya tanya dalam hati,
mengapa adipati bertindak dan memerintahkan
seperti itu"
Dia pun memanggil Kertapati yang agak ur-
ing-uringan untuk menerima perintah adipati.
"Aku pun heran, Ki Ageng," kata Kertapati.
"Mengapa adipati seperti mencabut kata-katanya
kembali?" "Apakah Broto yang mendesaknya?"
"Tidak mungkin," kata Kertapati. "Biar bagaimana pun dia adanya, Broto adalah
seorang la- ki-laki yang kesatria. Kau lihat saja tingkah la-
kunya setelah dulu kalah dariku dalam perang
tanding. Dia tetap menerimanya dan menerima
pula kedudukan sebagai kepala rumah tangga."
Ki Ageng Tapa tahu akan si fat Kertapati
yang polos dan jujur. Dia pun berkata,
"Kertapati... tingginya langit dan dalamnya
samudra mudah ditebak. Jumlah bintang yang
ada di langit pun diketahui jumlahnya. Namun ha-
ti orang siapa yang tahu. Meskipun jaraknya de-
kat, tapi terasa jauh sekali".
"Aku menjunjung tinggi sifat kesatria Broto,
Ki Ageng."
"Lalu bagaimana" Kau akan menerima perin-
tah ini?" tanya Ki Ageng Tapa.
"Ya."
"Kertapati... apakah kau tidak tahu, bila kau
dalam keadaan terdesak Broto akan membunuh-
mu?" "Ah, bukankah dulu aku tidak membunuh-
nya" Karena ini hanya saling uji kesaktian. Itu
pun tak luput dari perhatian adipati, bukan?"
Ki Ageng Tapa mendesah. Kertapati memang
orang yang jujur dan polos. Dia sangat menghargai
sekali sebuah kejujuran.
Namun Ki Ageng Tapa seakan mencium ada
sesuatu yang tidak beres dalam perintah adipati
ini. Dia bertekad akan melihat sampai sejauh ma-
na pertandingan uji kesaktian itu.
Dua hari kemudian, terlihatlah di depan ka-
dipaten sebuah panggung besar dan cukup tinggi.
Di setiap sudutnya ada umbul-umbul yang indah.
Dan di tengah-tengahnya ada lukisan pedang dan
golok saling bertempelan yang menandakan akan
diadakannya pertandingan uji kesaktian itu.
Ketika hari yang ditentukan tiba, rakyat pun
berbondong-bondong memenuhi kadipaten. Bagi
mereka, ini adalah tontonan yang sangat menarik
sekali. Adipati Wisnuwisesa sendiri hadir di tengah-
tengah mereka didampingi oleh istrinya yang se-
perti putri raja. Rakyat pun mengagumi kecanti-
kannya. Dan di samping istrinya duduk ibu mer-
tuanya, Nyai Diah.
Sementara di belakang mereka, Ki Ageng Ta-
pa dan Roro Kenanga duduk dengan sikap yang
gagah. Adipati Wisnuwisesa pun berdiri.
Rakyat yang tadi ribut bergemuruh, terdiam.
Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh sang
Adipati. "Di pagi yang cerah dan suasana yang gem-
bira ini" kita semua berkumpul di kadipaten. Bu-
kan lain untuk menyaksikan tanding ulang antara
Kertapati dengan Broto! Ini kulakukan, untuk me-
lihat siapakah sesungguhnya yang digjaya!
Juga... untuk menghibur hati kita semua!!"
Hadirin bertepuk tangan dengan sorak-sorai
yang gegap gempita.
Adipati Wisnuwisesa menenangkan para ha-
dirin. "Semua tenang! Nah, sebagai penantang,
Broto dipersilahkan maju ke panggung!"
Dari tempat duduknya, Broto bersalto. Me-
mamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuh-
nya. Tiga kali dia bersalto dan hinggap di alas
panggung dengan ringannya.
Begitu dia hinggap, kembali terdengar tepu-
kan dan sorak-sorai yang ramai. Broto menun-
dukkan tubuhnya ke arah Adipati Wisnuwisesa.
Lalu membunguk ke pada para hadirin yang kem-
bali disambut dengan bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian ringkas berwarna
hitam-hitam. Di keningnya ada ikat kepala ber-
warna putih. Dan di punggungnya tersampir sebi-
lah pedang. Terdengar kembali suara Adipati Wisnuwise-
sa. "Kepada Kertapati, dipersilahkan naik ke
panggung!!"
Kalau Broto tadi memamerkan tenaga dalam
dan ilmu peringan tubuhnya dengan bersalto dari
tempat duduknya, Kertapati hanya melangkah
dengan ringan. Tidak menunjukkan seorang yang
digjaya. Dia pun sampai di panggung.
Ketika dia membungkukkan tubuhnya pada
adipati Wisnuwisesa, kembali terdengar tepukan
dan sorakan yang bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian yang ringkas pula.
Hanya berwarna putih. Kerisnya terselip di ping-
gangnya. "Nah, ini dia jago yang hendak bertanding
sudah berada di atas panggung! Pertandingan di-
mulai!" seru Adipati yang kembali disahuti dengan tepukan bergemuruh.
Terdengar bunyi gong tiga kali, tanda per-
tandingan itu dimulai.
Lalu kedua jago itu pun bersiap.
Dari sorot matanya dan sikapnya, jelas seka-
li kalau Broto begitu meremehkan Kertapati. Dia
segera membuka jurusnya dan mulai menggebrak
dengan satu pukulan lurus ke depan yang hendak
dilanjutkan dengan sapuan kaki kanannya.
Kertapati pun segera menyambutnya dengan
menarik ke belakang kepalanya dan melompat.
Saat dia melompat, dia mengirimkan satu jotosan
ke arah muka. Cepat Broto memiringkan kepalanya. Dan
membalas. Terjadilah serang menyerang yang ce-
pat dan hebat. Tangguh dan berisi.
Pada jurus-jurus dan gebrakan pertama,
nampak keduanya masih saling memapaki. Na-
mun beralih pada jurus kesepuluh, serangan-
serangan mereka pun tambah cepat.
Broto begitu beringas sekali.
"Hari ini kau harus kalah di tanganku, Ker-
tapati!" pekiknya sambil menendang.
"Berbuatlah semampu mu, Broto!" sahut
Kertapati sambil menghindar melompat.
"Kau tak pantas menjadi kepala pengawal!"
"Mungkin. Tetapi bukankah kau sendiri su-
dah melihat caraku memimpin" Dan aku pun da-
pat mengalahkan kau, Broto!"
Kata-kata Kertapati itu semakin membuat
Broto menjadi panas. Dia semakin buas. Dan ju-
rus-jurusnya sangat kejam.
Namun sampai sejauh itu, belum satu pun
serangannya yang mengenai sasaran. Hal ini
membuat Broto semakin ganas.
Apalagi ketika pukulan Kertapati menggedor
dadanya, disusul dengan satu tendangan yang
mengenai leher Broto. Hingga laki-laki itu ter-
huyung ke belakang.
"Bangsat geram Broto sambil menyeka darah
yang keluar di mulutnya.
Kertapati hanya tersenyum dengan sikap
bersahabat. Sementara sorakan ramai terdengar kembali.
"Kau harus mampus, Kertapati!" geram Broto sambil bangkit menyerang kembali.
"Hati-hati, Broto! Kadang pukulan dan ten-
dangan bisa mematikan?" sahut Kertapati tetap
dengan suara bersahabat.
"Anjing buduk! Aku memang berniat hendak
membunuhmu!" bentak Broto sengit. Serangan-
serangannya semakin berbahaya.
Terdengar sorakan yang ramai.
Ada sorak kegembiraan.
Ada sorak ketakutan.
Di antara penonton itu nampak seorang laki-
laki berusia setengah baya dengan serius mem-
perhatikan pertandingan itu. Wajah laki-laki itu
begitu arif dan bijaksana. Dia mengenakan jubah
berwarna putih.
"Kejam!" desisnya ketika Broton men-gamuk dengan cakaran-cakaran yang mematikan.
Sasarannya wajah, jantung dan kemaluan.
Sementara Kertapati harus dengan susah
payah menghindar dan membalas.
"Sebenarnya laki-laki yang berpakaian putih-
putih itu bisa menang," desis orang yang menge-
nakan jubah putih itu lagi. "Hanya sayang... dia terlalu welas asih dan
menganggap ini memang
sebuah pertandingan biasa. Tapi... ah, yang men-
genakan pakaian hitam-hitam itu begitu kejam.
Bahkan wajahnya berkesan ingin membunuh!
Hmmm... ini tidak adil!"
Laki-laki berjubah putih itu menggeleng-
gelengkan kepala.
Di atas panggung, Kertapati memang men-
ganggap ini sebuah pertandingan biasa. Bukan
untuk saling membunuh. Gerakannya pun tak se-
buas gerakan Broto. Malah dia seakan selalu
memberi angin untuk Broto menyerang.
Tetapi sampai sejauh itu, serangan-serangan
kejam Broto tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Kau memang hebat, Kertapati!" desisnya
sambil bersalto ke belakang. Dan ketika hinggap,
tangan kanannya sudah memegang sebilah pe-
dang. "Haruskah kita bermain dengan senjata,
Broto?" tanya Kertapati dengan sikap sebagai sahabat.
"Hhh! Kau takut rupanya!"


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini hanya pertandingan biasa, Broto. Kau
ingat?" "Perduli setan!"
"Broto...."
"Bila kau takut, menggelindinglah dari arena
ini, Kertapati!"
Wajah Kertapati memerah. Tetapi nampak
dia masih berusaha bersabar.
"Kita tak perlu bermain-main dengan senja-
ta! Antara kau dan aku bukan lawan! Kita saha-
bat, Broto.... Kau ingat?"
"Pengecut busuk! Turunlah dari arena ini bi-
la kau takut! Dan larilah seperti anak perempuan!"
"Broto...."
"Cabut kerismu, Kertapati...."
"Ingatlah, Broto... sangat berbahaya sekali
bila bermain-main dengan senjata!"
"Baik, kalau begitu. Aku terima. Tapi dengan
syarat, kau harus menyerah...."
Di samping memiliki sifat yang polos dan ju-
jur, Kertapati juga memiliki sifat seorang kesatria
sejati. Dia pantang mengalah bila diejek seperti
itu. Sebenarnya Kertapati ingin mundur saja dan
menyerahkan jabatan sebagai kepala pengawal
kepada Broto. Tetapi dia tidak suka melihat sikap Broto
yang pongah dan congkak. Lalu dengan berat hati,
dia pun mencabut kerisnya.
"Kalau itu maumu... baiklah...." kata Kertapati tetap berusaha menahan marahnya.
Sementara para penonton menjadi tegang
ketika keduanya mencabut senjata. Begitu pula
dengan Ki Ageng Tapa.
"Oh, mengapa harus mencabut senjata?"
gumamnya. "Bukankah senjata yang mereka bawa
itu hanya untuk menambah kegagahan mereka
saja di atas arena?"
Laki-laki yang berjubah putih pun me-
nyayangkan hal itu. Dia memuji Kertapati dan
memaki kesombongan Broto.
"Hmm... yang berpakaian putih begitu bijak-
sana. Dia masih menganggap lawannya itu sebagai
seorang sahabat. Tetapi yang berbaju hitam, dia
begitu congkak. Tapi mudah ditebak mengapa dia
mencabut senjatanya. Karena dia kalah bila ber-
hadapan dengan tangan kosong. Itu adalah jiwa
yang pengecut!"
Sementara di atas arena, keduanya sudah
mencari posisi. Dan bergerak bagaikan ayam
aduan Tiba-tiba Broto memekik. Dan menerjang
dengan pedang mengarah pada tenggorokan. Ker-
tapati pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pe-
dang itu dengan mudah. Dia menggerakkan tan-
gannya dan menangkis pedang itu dengan keris-
nya. "Traaangg"
Benturan kedua senjata itu menimbulkan
cahaya yang cukup terang. Para penonton mena-
han nafas dengan tegang.
Serangan-serangan yang di lancarkan Broto
demikian ganas. Pedangnya berkelebat ke sana ke
mari dengan cepat. Penuh tenaga dan nafsu ingin
membunuh. Namun Kertapati memang tangguh dalam
memainkan kerisnya. Dia dapat menghindar dan
menangkis setiap serangan Broto. Membuat Broto
semakin panas. "Jangan hanya seperti tikus dikejar kucing,
Kertapati! Bisa mu hanya menghindar saja!" serunya sambil terus menggebrak.
Lama kelamaan karena diejek dan didesak
terus menerus, Kertapati pun menjadi panas. Lalu
dia pun mulai membalas.
Kertapati bersalto dua kali ke belakang. Dan
begitu kakinya hinggap, dia langsung melenting ke
atas. Kerisnya siap menyambar kepala Broto.
"Anjing kurap!!" bentak Broto seraya meng-
gelinding. Namun begitu dia berdiri tegak, keris
Kertapati sudah menyerang nya lagi.
Sebisanya Broto menangkis.
"Traaannggg!!"
Karena posisi berdirinya belum begitu kuat
dan tenaga sambaran Kertapati yang cukup kuat,
membuat pedang di tangan Broto terlepas.
Para penonton bertepuk tangan.
Broto menggeram dengan marah.
Kertapati menghentikan serangannya.
Dia tersenyum. "Bangunlah, Kawan...."
"Bangsat! Aku belum kalah!" geram Broto
marah dan panas. Wajahnya memerah karena ma-
lu. "Lalu bagaimana maumu, Broto...."
"Aku akan membunuhmu, Kertapati!" geram
Broto murka. Ki Ageng Tapa yang melihat Broto sudah ja-
tuh, yakin sekali kalau Adipati Wisnuwisesa akan
menghentikan pertandingan itu dan menyatakan
Kertapati sebagai pemenang.
Namun dia melihat Adipati Wisnuwisesa
hanya terdiam saja. Wajahnya tidak menampak-
kan ingin menghentikan pertandingan itu. Malah
dia seperti robot belaka.
Para penonton yang menyaksikan hal itu
pun menjadi heran. Mengapa Adipati Wisnuwisesa
tidak menghentikan pertandingan itu. Jelas-jelas
kalau Broto sudah kalah.
Merasa adipati tidak menghentikan pertan-
dingan itu, Broto berguling kembali sembari me-
nyambar pedangnya dan langsung menyerang.
Masih dengan keheranan mengapa sikap
adipati hanya diam saja, Kertapati menyambut se-
rangan Broto. Sementara laki-laki berjubah putih meng-
gumamkan sesuatu,
"Hmm... ada yang tidak beres di sini"
Di atas panggung, Broto lebih gencar menye-
rang. Kejam. Dan mematikan. Kertapati sendiri
kali ini dengan susah payah menghindar, melom-
pat dan membalas.
Broto seakan mendapat tenaga baru. Seran-
gan-serangannya makin cepat dan hebat Penuh
tenaga dalam dan teknik-teknik yang mematikan.
"Tahan seranganku, Kertapati!!"
"Kau sudah kalah, Broto...."
"Aku belum kalah!"
"Kau sudah terjatuh! Dan pedangmu sudah
terlepas dari tanganmu!"
"Bodoh! Mengapa kau tidak segera membu-
nuhku!!" "Karena ini hanya pertandingan biasa, Broto!
Bukan pertarungan!"
"Goblok! Ini pertarungan, Kertapati! Perta-
rungan antara hidup dan mati! Tahan seranganku!
Aku siap untuk mencabut nyawamu!"
Sadarlah Kertapati kalau Broto kini telah
menjadi lawannya. Dia pun membalas dengan gi-
gih. Serangan Broto hebat dan cepat.
Sampai suatu ketika, terdengar jeritan Broto.
Laki-laki itu bersalto. Dan kakinya menyambar
dada Kertapati hingga jatuh.
Lalu menyusul pedang Broto siap menikam
jantungnya! Orang-orang menahan nafas tegang.
*** 4 Kertapati sendiri merasa tak ada lagi jalan
baginya untuk meloloskan diri. Dia hanya pasrah
saja ketika melihat jalannya pedang yang siap
mencabut nyawanya.
Tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras.
"Traaangg"
Pedang Broto melenceng dari sasarannya.
Kertapati membuka matanya.
Nampak di hadapannya Ki Ageng Tapa berdi-
ri dengan memegang tasbih peraknya. Dia yang
melihat nasib Kertapati sangat mengerikan dan
aja! siap menjemputnya, langsung bersalto dan
menyambarkan tasbih peraknya ke pedang Broto.
"Kau"!" geram Broto begitu melihat siapa
yang menghalanginya.
Ki Ageng Tapa tersenyum dingin.
"Kau kenapa Broto...."
"Jangan ikat campur urusan ini, Ki Ageng!"
seru Broto keras. Tidak sedikit pun dia menghor-
mati Ki Ageng Tapa. Di luar kebiasaannya yang se-
lalu menghormati Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri terkejut melihat peru-
bahan sikap Broto yang tidak menghormat pa-
danya. "Kau bukan seorang kesatria, Broto...." katanya dengan suara dingin.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir kau, Ki
Ageng! Aku harus membunuh Kertapati!"
"Broto!" seru Ki Ageng Tapa keras. Kemara-
hannya mulai naik.
"Jangan ikut campur urusanku! Kau tak
berhak melarangku, Ki Ageng! Yang berhak hanya-
lah Adipati Wisnuwisesa! Kau lihat sendiri bukan,
Adipati saja tidak menghentikan pertarungan
ini...." "Pertandingan, Broto...." potong Ki Ageng Ta-pa.
"Apalah katamu, Ki Ageng! Tapi aku mena-
makan ini pertarungan antara hidup dan mati!
Dan kau tak berhak menghentikan semua ini tan-
pa perintah dari Adipati Wisnuwisesa"
"Tapi kau kulihat ingin membunuh Kertapa-
ti!" "Niatku memang begitu."
"Kau keji, Broto!"
"Persetan dengan kau, Ki Ageng! Minggirlah
kau dari sini!"
"Broto... tadi kau sudah terjatuh dan kalah.
Tetapi sebagai seorang yang kesatria, Kertapati ti-
dak menyudahi mu. Padahal dia bisa membuatmu
mampus saat itu juga!"
"Itu salahnya sendiri! Minggir kau, Ki Ageng!"
"Kau sudah kalah, Broto!"
"Persetan! Minggir kataku, kalau tidak, ter-
paksa aku harus menyingkirkan mu dari sini, Ki
Ageng Tapa!" seru Broto.
Ki Ageng Tapa tetap tersenyum dingin. Sebe-
narnya dia semakin keheranan pada sikap Adipati
Wisnuwisesa. Mengapa Adipati tidak menghenti-
kan pertandingan ini" Ah, dia bagaikan robot be-
laka di tempat duduknya.
Ki Ageng makin merasakan ada sesuatu
yang ganjil pada diri Adipati Wisnuwisesa.
"Apa boleh buat... aku terpaksa melayani,
Broto.... Bila tidak, kekejamanmu akan terus ber-
lanjut. Bila pun kau menang, kau tak patut men-
jadi kepala pengawal kadipaten...."
"Bangsat tua! Baik, bersiaplah!" geram Broto seraya menghunuskan pedangnya.
Diiringi dengan
pekikan yang cukup keras, dia menerjang ke arah
Ki Ageng Tapa. Para penonton terpekik terkejut melihat Bro-
to menyerang Ki Ageng Tapa.
Laki-laki yang mengenakan jubah putih itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak tahu berterima kasih kalau nyawanya
sudah diselamatkan tadi. Tapi biarlah, aku ingin
melihat sampai di mana kehebatan laki-laki ber-
pedang itu...."
Di panggung, kini Ki Ageng Tapa harus
menghadapi serangan-serangan kejam dan ganas
dari Broto. Berkali-kali dia hanya menghindar
atau menangkis dengan tasbih peraknya.
Namun lama kelamaan dia bermaksud hen-
dak memberi pelajaran pada Broto. Maka dia pun
mulai melancarkan serangan balasannya.
Tasbih peraknya berkelebat dengan hebat.
Setiap kali dihentakkan atau digerakkan, menim-
bulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Broto kelihatan cukup terdesak.
"Menyerahlah, Broto! Sebelum kuturunkan
tangan telengas!" geram Ki Ageng Tapa.
"Jangan bermimpi kau, Ki Ageng!" sambut
Broto dengan garang.
Keduanya saling menyerang dengan cepat
dan hebat. Ganas dan kejam.
Para penonton menahan nafas.
Di bibir Nyai Diah tersinggung sebuah se-
nyuman. Sekar Juwita berkali-kali bertepuk tangan.
Adipati Wisnuwisesa hanya terdiam mem-
perhatikan bagai sebuah robot.
Laki-laki yang berdiri di antara penonton
yang mengenakan jubah putih bergumam,
"Hmm... agaknya yang menggunakan tasbih ber-
warna perak itu sudah di atas angin.... Tapi... hei, apa yang dilakukan laki-
laki berpedang itu" Dia


Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiam diri dengan kedua tangan bersatu. Pe-
dangnya pun dilepaskan! Dan... ah, kedua telapak
tangannya berwarna putih...."
Memang benar apa yang dikatakan laki-laki
berjubah putih itu. Broto sambil bersalto mem-
buang pedangnya dan menyatukan telapak tan-
gannya. Lalu dibukanya kembali. Dan saat terbu-
ka telapak tangannya berwarna putih.
"Mampuslah kau saat ini juga, Ki Ageng Ta-
pa!" geram Broto seraya menyerang. Kedua telapak tangannya seakan berusaha ingin
menyentuh bagian tubuh dari Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri merasakan hawa pa-
nas yang keluar dari kedua telapak tangan itu. Dia
yakin kedua telapak tangan itu mengandung ra-
cun. Namun dia tidak tahu jenis racun apa. Lagi-
pula yang membuatnya heran, mengapa Broto
mendadak mempunyai ilmu pukulan beracun"
"Hahaha... jangan lari seperti anak perem-
puan, Ki Ageng!" bentak Broto sambil terus menekan dan mendesak Ki Ageng Tapa.
"Pukulan beracun apa yang kau gunakan
itu, Broto"!" seru Ki Ageng Tapa sambil menghindar.
"Kau akan tahu setelah kau merasakannya!"
"Ilmu hitam yang keji!"
"Dan kau akan merasakan kekejian ini, Ki
Ageng Tapa!"
"Broto... di mana rasa hormatmu padaku,
hah"!"
"Sekarang aku tak perlu menghormatimu, Ki
Ageng Tapa! Meskipun kau seorang penasehat
Adipati! Tapi kau tak patut dihormati!"
"Budak setan!"
"Memakilah sepuasmu, Ki Ageng! Karena tak
lama lagi kau tak akan bisa memaki!"
"Hhh! Kau begitu yakin dengan ucapanmu,
Broto!" "Karena kau lari seperti anak perempuan!
Kau tak berani menyerangku, hah" Kau tak ubah-
nya seperti kucing yang dikejar anjing!"
"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi!
Sambutlah seranganku!"
"Sejak tadi aku yang menyerangmu! Baik,
aku akan sambut!"
Ki Ageng pun mulai membalas. Namun sam-
pai sejauh itu tak satu pun serangannya yang
mengenai sasaran. Dia pun berusaha agar tubuh-
nya tidak bersentuhan dengan kedua telapak tan-
gan Broto. "Ayo, Ki Ageng! Ayo cepat'" ejek Broto sambil terus menyerang. Dia tidak
menghindar. Namun
setiap kali Ki Ageng menyerang, dia pun mengge-
rakkan tangannya untuk menyentuh tangan atau
bagian lain dari Ki Ageng Tapa.
Ini malah membuat Ki Ageng bingung, bah-
kan setiap kali dia menyambarkan tasbih perak-
nya, dengan licin dan lincahnya Broto segera me-
nyerang bagian yang kosong. Ini membuat Ki
Ageng Tapa menjadi sulit untuk menyerang secara
pasti. Sampai suatu ketika, kaki kanan Broto me-
nyambar dadanya.
"Dess"
Laki-laki setengah umur itu pun terhuyung
ke belakang dengan dada yang sakit. Sedangkan
Broto tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang
ada. Dia langsung memekik menerjang. Kedua te-
lapak tangannya yang kini berwarna putih menga-
rah ke bagian dada Ki Ageng Tapa.
Sulit bagi Ki Ageng Tapa untuk menghindar.
Para penonton menahan nafas tegang. Tiba-
tiba Kertapati yang dalam keadaan terluka, bang-
kit memekik dan memapaki serangan ganas dari
Broto. "Des!"
"Des!"
Kedua pukulan itu beradu. Tubuh Kertapati
terpental ke belakang beberapa tindak lalu am-
bruk dengan tubuh yang amat kesakitan.
Di dadanya tertanda dua buah telapak tan-
gan Broto. Sedangkan Broto hanya terhuyung dua tin-
dak lalu berdiri dengan tegap.
"Kertapatiiiiii!!" seru Ki Ageng Tapa yang tidak menyangka Kertapati akan
berbuat nekad un-
tuk menyelamatkannya.
Dia pun bangkit memburu untuk melihat
keadaan Kertapati. Dua buah telapak tangan Broto
yang bercap didada Kertapati mendadak berubah
menjadi hitam. Lalu menjalar warna hitam itu ke
seluruh tubuh Kertapati.
Satu keanehan terjadi. Tiba-tiba dari mulut
Kertapati mengeluarkan darah berwarna kehita-
man pula. Dan sekujur tubuh nya mendadak
membengkak besar. Lalu bengkakan itu pun mele-
tus. Mengeluarkan nanah berwarna putih. Menge-
rikan. Menandakan pukulan yang dilepaskan Broto
mengandung racun yang sangat kejam.
Terdengar jeritan Kertapati menahan rasa
sakit. "Aaaakkkhhh!!"
Lalu kepalanya terkulai. Ambruk. Matilah
Kertapati dengan keadaan tubuh yang memilukan,
sekaligus sangat mengerikan.
Para penonton memekik ngeri.
Ki Ageng Tapa menoleh pada Broto yang se-
dang tersenyum sinis. Tatapan Ki Ageng Tapa
membara membahayakan. Menandakan dia sangat
marah sekali. "Kau harus membalas nyawa Kertapati, Bro-
to!" ujarnya sambil berdiri dengan tegap. Siap menyerang Broto yang kini
tertawa-tawa. Namun belum lagi Ki Ageng Tapa bergerak
menyerang, terdengar bentakan keras.
"Hentikan semuanya! Broto dinyatakan ke-
luar sebagai pemenang!!"
*** 5 Semua kepala yang ada menoleh ke arah su-
ara itu. Mereka melihat Adipati Wisnuwisesa ber-
diri gagah dengan mengangkat tangan kanannya.
"Pertandingan ini ku nyatakan selesai!" terdengar suaranya lagi.
"Dan mulai sekarang Broto kuangkat sebagai
kepala pengawal di Kadipaten!"
Ki Ageng Tapa menjadi keheranan melihat
sikap dan kata-kata Adipati. Adipati Wisnuwisesa
yang selama ini disanjung dan dipujanya, ternyata
hanya luarnya saja yang bijaksana.
Kalau dia adil dan bijaksana, dia pun sudah
dapat melihat kalau Kertapati keluar sebagai pe-
menang. Tetapi tadi pun sang Adipati tidak me-
nyatakan pertandingan selesai.
Malah dia membiarkan saja Broto bangkit
kembali menyerang. Bahkan ketika Ki Ageng Tapa
melesat ke panggung untuk menyelamatkan Ker-
tapati, Adipati Wisnuwisesa tetap diam saja tak
banyak mulut. Tetapi kala Kertapati sudah terbunuh oleh
tangan telengas Broto, dan Ki Ageng Tapa siap
membalas kematian Kertapati yang telah menye-
lamatkannya, barulah terdengar suara Adipati
Wisnuwisesa menghentikan pertandingan.
Diam-diam dari rasa keheranan melihat si-
kap aneh Adipati Wisuwisesa dalam diri Ki Ageng
Tapa telah berubah menjadi kebencian. Dia muak
melihat sikap Adipati sekarang.
Bahkan boleh dikatakan, rasa hormatnya te-
lah lenyap sama sekali.
Namun Ki Ageng Tapa seorang laki-laki yang
kesatria dan amat menghormati tuannya. Meski-
pun dia kini benci dan muak, namun dia masih te-
tap menghargai perintah Adipati, yang menyeru-
kan pertandingan telah selesai.
Ki Ageng Tapa melirik pada Broto yang ter-
senyum kemenangan. Lalu dia kembali memperli-
hatkan mayat Kertapati yang sangat mengerikan.
Benar-benar kejam pukulan dari Broto itu.
Sementara laki-laki yang mengenakan jubah
putih sangat terkejut melihat pukulan yang dile-
paskan Broto tadi.
Bersamaan kedua pukulan antara Broto dan
Kertapati beradu, laki-laki berjubah putih itu me-
nahan nafas cukup tegang. Dan dia melihat Kerta-
pati terpental jauh beberapa tombak. di dadanya
tercap kedua telapak tangan dari Broto.
Saat itulah dia berseru, "Racun Kelabang Pu-
tih!" Suaranya bergetar. Menandakan keterkeju-
tan yang cukup beralasan. Laki-laki berjubah pu-
tih itu tahu betapa keji dan ganasnya racun itu.
Di atas panggung, Ki Ageng Tapa tak kuasa
menahan air matanya. Jago tua itu pun menangis
terharu melihat mayat Kertapati yang mengerikan.
Juga mengingat Kertapati menjadi begini karena
Si Kangkung Pendekar Lugu 5 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pendekar Seribu Diri 2
^