Pencarian

Rahasia Kampung Setan 1

Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan Bagian 1


RAHASIA KAMPUNG SETAN EPISODE I : KEMBANG DARAH SETAN
EPISODE II : GEGER TOPENG S. PENDEKAR
EPISODE III : RAHASIA KAMPUNG SETAN
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
http://duniaabukeisel.blogspot.com
SATU LAKSANA kesetanan, Setan Liang Makam terus
berkelebat. Dia tidak pedulikan teriakan Lasmini. Namun bagaimanapun dia
kerahkan segenap Ilmu perin-
gan tubuh serta tenaga yang dimiliki, tetap saja tak mampu mengejar Datuk
Wahing. Apalagi suara bersinan yang terus terdengar pantul-memantul membuat
Setan Liang Makam sulit menentukan arah yang di-
ambil Datuk Wahing. Hingga pada satu tempat, Setan
Liang Makam hentikan larinya. Suara bersinan me-
mang masih terdengar di sekitar tempat di mana dia
berada, namun sosok Datuk Wahing tidak kelihatan
laksana ditelan bumi.
"Pantulan Tabir!" desis Setan Liang Makam. "Manusia tadi memiliki Ilmu 'Pantulan
Tabir"! Berarti dialah orang yang bisa memberi keterangan padaku!"
"Kenapa kau mengejarnya"!" satu suara terdengar.
Ternyata Lasmini telah tegak di belakang Setan Liang Makam dengan mulut megap-
megap. Setan Liang Makam kancingkan mulut. Malah ge-
rakkan kepala berpaling pun tidak. Dia tegak dengan kepala sedikit ditengadahkan
dan mata setengah me-mejam. Manusia ini seolah masih tenggelam dalam ra-
sa kecewa! Seperti dituturkan dalam episode : "Geger Topeng Sang Pendekar", begitu dapat
membunuh Dadaka yang ternyata adalah salah seorang yang mengubur Setan
Liang Makam di makam batu, Setan Liang Makam te-
ruskan perjalanan ke Jurang Tatah Perak tempat ke-
diaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar 131
dengan maksud mencari tahu di mana gerangan Joko
Sableng yang diyakininya telah mengambil Kembang
Darah Setan. Namun begitu sampai di Jurang Tlatah
Perak, bukannya Pendeta Sinting yang ditemui, me-
lainkan Lasmini.
Lasmini sendiri muncul ke Jurang Tlatah Perak
atas anjuran Kiai Lidah Wetan, kekasihnya di masa
muda. Entah karena apa Lasmini tiba-tiba mengambil
keputusan menemui Kiai Lidah Wetan yang pada masa
mudanya pernah dikhianati. Dan entah karena apa
pula, meski pernah disakiti dan muncul dengan sikap bungkam serta acuh tak acuh,
Kiai Lidah Wetan menerima kembali kehadiran Lasmini yang pernah
mengkhianati cintanya di masa lalu. Makah Kiai Lidah Wetan bersedia membantu
Lasmini menuntaskan den-damnya setelah gagal dengan penyamarannya sebagai
Tengkorak Berdarah.
Antara Setan Liang Makam dan Lasmini pada ak-
hirnya terjalin persahabatan karena sama-sama men-
cari Pendeta Sinting. Dan karena mereka tidak menemukan Pendeta Sinting di
Jurang Tlatah Perak, kedua orang ini akhirnya memutuskan untuk mencari Pendeta
Sinting di luar. Namun begitu mereka muncul di Jurang Tlatah Perak, mereka
berdua jumpa dengan Da-
tuk Wahing. Setan Liang Makam dan Lasmini merasa
curiga dengan kemunculan Datuk Wahing di atas Ju-
rang Tlatah Perak. Tapi baik Lasmini maupun Setan
Liang Makam tidak berhasil mengorek keterangan sia-
pa sebenarnya Datuk Wahing sebelum akhirnya Datuk
Wahing tinggalkan tempat itu sambil bersin-bersin.
Setan Liang Makam pada mulanya tidak mau men-
gejar Datuk Wahing, namun begitu mengetahui suara
bersinan Datuk Wahing bisa memantul terus menerus
di delapan penjuru mata angin, buru-buru Setan Liang Makam sadar. Dia lantas
mengejar Datuk Wahing. Tapi pada akhirnya kehilangan jejak orang yang dikejar.
Di lain pihak, melihat perubahan pada Setan Liang Ma-
kam, Lasmini jadi penasaran. Dia ikut mengejar di belakang Setan Liang Makam.
"Lasmini! Kau bilang banyak mengenal tokoh-tokoh rimba persilatan. Mengapa kau
tidak mengenal siapa adanya manusia tadi"!" Berkata Setan Liang Makam masih
tanpa membuat gerakan.
Untuk beberapa lama Lasmini bungkam. Dia tidak
tahu harus menjawab apa. Karena selama ini dia me-
mang sama sekali belum mengenal Datuk Wahing.
Sementara Setan Liang Makam mau menerima persa-
habatan Lasmini karena Lasmini sendiri mengatakan
banyak tahu beberapa tokoh dunia persilatan yang untuk saat ini diperlukan
sekali oleh Setan Liang Makam.
Sebab terkubur selama tiga puluh enam tahun mem-
buat orang ini tidak tahu lagi perkembangan yang terjadi dalam rimba persilatan.
"Kau tidak menjawab! Berarti percuma kau dan
aku jalan bersama! Karena ternyata kau tidak lebih dariku dalam mengenali tokoh-
tokoh dunia persilatan!"
"Harap kau tidak terlalu tergesa-gesa!" ucap Lasmini. "Mengenal laki-laki tadi,
terus terang aku baru kali ini jumpa!"
"Hem... Itu cukup bagiku untuk mengatakan bah-
wa kau bukan orang yang banyak tahu tentang tokoh
dunia persilatan!"
"Tidak mengenali satu orang bukan alasan yang bi-sa dijadikan dugaan! Dan karena
baru kali ini aku
jumpa dengan laki-laki tadi, pasti dia bukan tokoh
rimba persilatan yang perlu diperhitungkan! Karena hampir lima tahun aku malang
melintang!"
Setan Liang Makam mendengus. "Kau mengatakan
manusia tadi bukan tokoh yang perlu diperhitung-
kan"!" Setan Liang Makam gerakkan kepala berpaling.
Telingamu tadi dengar suara bersinannya"!"
Lasmini tidak menjawab. Kepalanya pun tidak ber-
gerak memberi isyarat jawaban.
Setan Liang Makam tertawa pendek sebelum ak-
hirnya lanjutkan ucapan. "Dengar, Perempuan! Dia ta-di telah keluarkan satu Ilmu
langka. Itulah ilmu yang dikenal dengan nama 'Pantulan Tabir'! Kalau ilmu yang
dimilikinya adalah Ilmu langka, apakah kau masih
mengatakan dia manusia yang tidak perlu diperhi-
tungkan"!" Setan Liang Makam hentikan ucapannya sejenak.
Tanpa menunggu jawaban Lasmini, orang yang tu-
buhnya hanya merupakan kerangka tanpa daging ini
telah lanjutkan lagi. "Setinggi apa pun Ilmu yang dimiliki orang, bakalan sulit
menghadapi Ilmu 'Pantulan Tabir!"
Walau belum percaya ucapan Setan Liang Makam,
tapi melihat bagaimana tadi bersinan orang mampu
menghadang langkahnya bahkan membuatnya tersen-
tak karena suara bersinan itu pantul memantul ke segenap penjuru angin, mau tak
mau membuat perem-
puan yang pernah menyamar sebagai Tengkorak Ber-
darah palsu ini mulai mempercayai keterangan Setan
Liang Makam. Namun kail ini bukan keterangan Setan Liang Ma-
kam yang membuncah benak Lasmini. Justru dia pe-
nasaran, mengapa Setan Liang Makam mengatakan
bahwa si orang tua yang bersin-bersin itu adalah orang yang dicari!
"Perempuan! Kau telah dengar ucapanku! Mengapa kau tidak segera angkat kaki"!"
Setan Liang Makam telah buka mulut lagi. Suaranya agak keras.
"Jadi kau masih menganggapku tidak banyak tahu tokoh-tokoh rimba persilatan
gara-gara tidak mengena-
li laki-laki jahanam tadi"!"
"Kalau pada manusia berilmu langka saja kau tidak kenal, bagaimana mungkin kau
mengenal tokoh-
tokoh hebat lainnya"!'
Lasmini tertawa. "Kau boleh mengatakan laki-laki tadi manusia langka. Tapi di
mataku, dia bukan apa-apa! Maka' ya jangan heran kalau aku tidak menge-
nalnya!" Setan Liang Makam balik tertawa mendengar uca-
pan Lasmini. "Seberapa tinggi bekal yang kau miliki hingga bicaramu menembus
langit. Perempuan"! Apa
kau kira aku tak tahu jika kau sengaja mengajakku
sama-sama mencari Pendeta Sinting karena bekalmu
sangat rendah"!"
Dada Lasmini mulai panas mendengar ucapan Se-
tan Liang Makam. Sambil angkat tangannya, Lasmini
berkata setengah berteriak.
"Aku punya kekuatan! Kalau tidak, mana mungkin aku mendatangi tempat Pendeta
Sinting"!"
Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng.
"Meski aku telah berpuluh tahun tidak tahu dunia luar, aku tetap yakin kalau
perangai seorang perempuan tidak akan berubah! Dia tidak akan mengandal-
kan bekal ilmunya, tapi tubuh dan mulutnya!"
Paras wajah Lasmini seketika berubah. Sepasang
matanya mendelik besar dengan dada bergerak turun
naik keras. Kalau saja tidak sadar siapa orang yang kini dihadapi, pasti
sepasang tangannya sudah berkelebat lepaskan gebukan ke mulut orang.
"Kau terlalu rendah memandangku!" ujar Lasmini dengan suara bergetar.
"Kalau kau merasa membekal ilmu tinggi, mau tunjukkan padaku"!' tanya Setan
Liang Makam seraya
alihkan pandangan ke jurusan lain. Sikapnya jelas
memandang sebelah mata pada orang.
Dada Lasmini makin menggelegak. Sebenarnya dia
ingin menjajal sampai di mana ilmu yang dimiliki Setan Liang Makam. Namun karena
dia tidak mau me-
nanam permusuhan yang pada akhirnya akan meng-
hambat langkahnya di kemudian hari, maka perem-
puan ini harus menindih perasaan geram.
Mendapati Lasmini tidak menyahut atau membuat
gerakan untuk menyambut tantangannya, Setan Liang
Makam tertawa bergelak. Puas tertawa dia berkata.
"Apakah ucapanku tadi belum membuatmu men-
gerti untuk segera angkat kaki"! Atau kau ingin kuusir dengan tanganku, hah"!"
Lasmini memandang tajam pada Setan Liang Ma-
kam. Masih dengan kancingkan mulut, perempuan ini
putar diri. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu diirin-gi gelakan tawa Setan
Liang Makam. * * * Lasmini tidak tahu sampai seberapa jauh dia berla-
ri. Dia juga tidak tahu ke mana dia kini melangkah.
Dia hanya berlari dan berlari untuk melampiaskan ser-ta melupakan kegeraman
hatinya pada Setan Liang
Makam. Dia baru memperlambat larinya ketika sepa-
sang matanya menangkap satu sosok tubuh berjalan
perlahan-lahan di depan sana.
Sesaat Lasmini memperhatikan dengan seksama.
Mendadak matanya terpentang besar. Saat lain kedua
kakinya menjejak tanah. Laksana dikejar setan, pe-
rempuan ini melesat ke depan. Dalam beberapa saat
dia telah berada di belakang orang yang berjalan perlahan.
"Berhenti!" teriak Lasmini.
Seolah tidak mendengar teriakan orang, orang yang
berjalan di depan, yang ternyata seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan
pakaian putih lusuh yang di tangannya memegang sebuah tongkat butut, teruskan
langkah. "Keparat!" maki Lasmini. Sekali lagi berkelebat, sosoknya telah tegak menghadang
jalan orang. Sepasang matanya langsung membeliak mengawasi orang di hadapannya.
Yang dipandang angkat kepala. Bukan untuk balas
memandang, melainkan untuk ditarik sedikit lagi ke
belakang, lalu didorong ke depan. Saat lain orang ini telah pulang balikkan
kepalanya ke depan ke belakang dengan mimik meringis. Bukan untuk mengejek
orang, melainkan orang ini ingin bersin!
"Jahanam ini yang membuatku dipandang remeh
orang!" desis Lasmini dengan mendelik angker menatap pada orang di hadapannya
yang bukan lain ternya-ta Datuk Wahing. Mengingat semua ucapan Setan
Liang Makam, Lasmini jadi ingin membuktikan. Maka
dia cepat buka mulut dengan suara membentak.
"Sebutkan siapa dirimu kalau kau tak ingin tanganku merobek mulutmu!"
"Brusss! Bruss! Brusss!"
"Heran... Sudah demikian mahalkah harga nama-
ku"!"
"Keparat! Namamu tidak ada harganya di hada-
panku!" "Hem... Kalau begitu mengherankan sekali kalau sampai kau harus turun tangan
merobek mulutku ga-ra-gara aku tidak sebutkan nama....
Brusss! Brusss!"
"Kau terlalu banyak mulut! Atau kau....
Belum sampai ucapan Lasmini selesai, Datuk Wah-
ing telah memotong sambil tahan gerakan kepalanya
tengadah. Mengherankan. Sejak lahir kurasa mulutku
cuma satu. Atau barangkali aku tidak merasa kalau
mulutku bertambah..."!" Seolah ingin membuktikan, Datuk Wahing angkat tangan
kirinya lalu diusap-usapnya pada seluruh wajahnya.
"Masih tidak ada tambahan mulut.... Adalah mengherankan kalau ada orang yang
mengatakan mulutku
banyak...," Datuk Wahing lalu tertawa.
Tampang Lasmini mengetam. Sikap yang ditunjuk-
kan orang membuat dadanya dibungkus kemarahan
luar biasa. Hingga tanpa buka suara lagi, dia melompat ke depan dan langsung
kelebatan tangan kanan kirinya lepaskan pukulan ke arah kepala orang.
"Bruss! Bruss! Brusss!"
Datuk Wahing tidak membuat gerakan untuk me-
nangkis kelebatan kedua tangan orang. Sebaliknya dia bersin tiga kali dengan
kepala bergerak. Walau gerakan kepala itu hanya karena bersinan, hebatnya
gerakan kepalanya itu mampu membuat kelebatan kedua tan-
gan Lasmini menghantam tempat kosong.
Mendapati hantaman kedua tangannya tidak men-
genai sasaran, malah dihindari orang secara bersin, Lasmini tidak dapat kuasai
diri lagi. Namun perempuan ini tidak mau bertindak ayal. Dari gerakan orang yang
begitu mudah selamatkan diri dari hantamannya, dia maklum kalau orang di
hadapannya bukanlah
orang yang bisa dianggap enteng.
Lasmini kerahkan setengah tenaga dalam. Lalu
hantamkan tangan kanan ke arah perut, sedangkan
tangan kiri ke arah dada. Bersamaan dengan itu kaki kanannya di angkat siap
lepaskan tendangan jika pukulan lurus kedua tangannya gagal menghantam sasa-


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran. "Bruss!"
Datuk Wahing bersin sekali. Tangan kanannya
yang memegang tongkat butut diangkat lalu di putar di depan dada.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar benturan keras tatkala hantaman kedua
tangan Lasmini menghantam tongkat butut Datuk
Wahing yang diputar di depan dada.
Lasmini tersentak. Hantaman kedua tangannya ta-
di dengan kerahkan tenaga dalam yang seandainya di-
hantamkan pada batu besar, maka tak ayal lagi batu
besar itu akan hancur berkeping-keping! Namun tong-
kat butut di tangan kanan Datuk Wahing yang baru
saja bentrok dengan kedua tangannya tidak patah! Malah kedua tangannya laksana
membentur tembok ko-
koh. Hingga saat itu juga Lasmini cepat-cepat tarik pulang kedua tangannya!
Mungkin hanyut dalam kekage-
tannya, Lasmini sampai lupa untuk lepaskan tendan-
gan kaki kanan yang telah disiapkan untuk susuli
hantaman kedua tangannya.
Datuk Wahing mengusap-usap tongkatnya yang
baru saja menghadang pukulan lurus kedua tangan
Lasmini. Saat lain kakek ini bersin tiga kali sebelum akhirnya angkat bicara.
"Heran.... Kau membuat hatiku heran, Sahabat!
Kau tadi mendustai ku dengan mengatakan mulutku
banyak. Lalu tiba-tiba kau hendak memukul ku! Tidak keberatan menghilangkan rasa
heran ku dengan mengatakan ada apa sebenarnya"!"
Lasmini katupkan rahang tidak jawab pertanyaan
orang. Kejap lain perempuan ini mundur tiga langkah.
Tangannya diangkat tinggi-tinggi. Sosoknya bergetar, tanda dia telah kerahkan
hampir segenap tenaga da-
lamnya. "Aku telah tanya dengan baik-baik, tapi rupanya kau inginkan jalan keras!" kata
Lasmini. "Bruss! Brusss!"
"Ah.... Kau ini mengherankan! Bukankah namaku tidak ada harganya di hadapanmu"
Lalu kenapa kau
marah-marah saat aku tidak mau turuti ucapanmu"!"
Lasmini tidak menyahut dengan ucapan. Sebalik-
nya dia sentakkan kedua tangannya lepas pukulan ja-
rak jauh bertenaga dalam tinggi!
* * * DUA DUA gelombang luar biasa dahsyat berkiblat ganas
ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing hentikan gera-
kan kepalanya. "Tamat riwayatmu, Keparat!" desis Lasmini dengan senyum dingin tatkala
mengetahui Datuk Wahing tidak membuat gerakan apa-apa meski dua gelombang
pukulan orang setengah tombak lagi menghantam tu-
buhnya. Tapi dua jengkal lagi pukulan Lasmini melabrak,
tiba-tiba Datuk Wahing melompat ke belakang. Saat
bersamaan kepalanya bergerak ke depan. Dari hidung-
nya terdengar bersinan dua kali.
"Brusss! Brusss!"
Dua gelombang dahsyat yang dilepas Lasmini lak-
sana ditahan tembok besar dan kokoh. Hingga untuk
beberapa lama dua gelombang dahsyat itu tertahan di udara.
Datuk Wahing tak sia-siakan kesempatan. Begitu
gelombang angin tertahan di udara. Dia bergerak satu kali. Sosoknya melesat ke
sebelah kanan. Saat yang
sama, dua gelombang yang tertahan berhasil menem-
bus benteng pertahanan hingga menghampar ke de-
pan. Tapi karena sosok Datuk Wahing telah berkelebat ke samping kanan, dua
gelombang hantaman kedua
tangan Lasmini melabrak hamparan tanah dan bong-
kahan sebuah batu.
Tanah yang terkena sasaran muncrat ke udara.
Bongkahan batu langsung pecah berantakan.
Lasmini pentang mata hampir saja tidak percaya.
Namun dadanya makin panas melihat bagaimana
orang dengan mudah menghindar selamatkan diri ser-
ta menghadang pukulannya.
Dengan lipat gandakan tenaga dalam, Lasmini ber-
gerak setengah lingkaran menghadap Datuk Wahing.
Namun perempuan ini terkesiap. Sosok Datuk Wahing
yang tadi berkelebat ke samping kanan ternyata sudah tidak kelihatan lagi!
"Jahanam! Ke mana lolosnya keparat itu"!" desis Lasmini dengan sosok bergetar.
Baru saja Lasmini membatin begitu dan belum
sampai membuat gerakan apa-apa, dia dikejutkan
dengan sambaran angin di sebelah kirinya. Menangkap gelagat membahayakan,
Lasmini cepat rundukkan kepala seraya tarik tubuh atasnya ke bawah. Saat ber-
samaan sikunya membuat gerakan menyentak. Se-
mentara tangan kanannya ikut pula lepaskan satu pu-
kulan lewat depan dadanya.
Sambaran angin yang melesat dari samping kiri
Lasmini menghantam udara beberapa jengkal di atas
kepalanya. Namun sentakan siku serta susupan tan-
gan kanan Lasmini juga melesat menghantam sasaran.
Namun perempuan ini tidak menunggu lama. Begitu
hantaman kedua tangannya melesat, dia cepat putar
tubuh setengah lingkaran. Dengan bertumpu pada ka-
ki kiri, kaki kanannya diangkat membuat satu tendangan. Bukkk!
Sosok Datuk Wahing yang berada di belakangnya
tersambar tendangan kaki kanan Lasmini hingga men-
celat dan jatuh berlutut sejarak satu setengah tombak.
Tangan kanannya memegangi tongkat bututnya. Se-
mentara tangan kiri bertelekan pada paha kakinya.
Kepalanya bergerak pulang balik ke depan ke belakang lalu terdengar suara
bersinan dua kail.
Melihat lawan telah jatuh berlutut, Lasmini tak sa-
baran lagi. Dia cepat angkat kedua tangannya. Kejeng-kelan rupanya sudah
mendidihkan dadanya, hingga
perempuan ini serta-merta hantamkan kedua tangan-
nya lepas pukulan bertenaga dalam tinggi!
"Sekali ini kau tak akan lolos, Keparat!" teriak Lasmini dengan seringai dingin
dan mata mementang
angker. Di seberang sana, mendadak Datuk Wahing tarik
kepalanya sedikit tengadah dengan mimik meringis.
Saat lain kepalanya bergerak empat kali.
"Bruss! Bruss! Bruss! Bruss!"
Dari hidung Datuk Wahing melesat angin deras
empat kali berturut-turut. Dua gelombang dahsyat
yang berkiblat dari kedua tangan Lasmini tiba-tiba membubung ke udara. Lalu
melesat balik ke arah
Lasmini. Lasmini tidak membuat gerakan menghindar,
karena jelas dua gelombang pukulannya berada jauh
di atas tubuhnya. Tapi bukan karena pukulannya yang membalik berada jauh di
atasnya yang membuat Lasmini tegak diam tidak membuat gerakan apa-apa. Se-
baliknya perempuan ini terpaku tegang melihat bagaimana tiba-tiba dua gelombang
pukulannya laksana
membentur kekuatan dahsyat di atas tubuhnya hingga
dua gelombang itu mental balik dan kini melesat di
atas sosok Datuk Wahing.
Di atas sosok Datuk Wahing, kembali dua gelom-
bang pukulan Lasmini membentur kekuatan dahsyat
hingga mental lagi. Begitu terus menerus bahkan kini mentalan dua gelombang itu
berpindah-pindah ke delapan penjuru mata angin. Hebatnya, meski kepala Datuk
Wahing sudah berhenti bergerak, suara bersinan
terus saja terdengar dan ikut mantul memantul ke delapan penjuru mata angina!
"Bruss!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan sekali. Ber-
samaan itu sosok Lasmini laksana disentak, hingga
karena tegang melihat apa yang terjadi, perempuan ini terkesiap. Namun sudah
sangat terlambat untuk imbangi diri. Sosok Lasmini tersapu ke belakang dan jatuh
terduduk dengan tubuh bergoyang-goyang.
Dalam keadaan seperti itu, Lasmini cepat kerahkan
tenaga dalam. Lalu kedua tangannya diangkat. Tapi
perempuan ini melengak. Suara bersinan yang masih
memantul terdengar makin lama makin keras. Hingga
bagaimanapun Lasmini kerahkan tenaga untuk menu-
tup jalan pendengaran, namun gendang telinganya
laksana ditusuk-tusuk.
Lasmini pejamkan sepasang matanya. Kedua tan-
gannya yang sejak tadi hendak bergerak lepaskan pu-
kulan serta-merta ditarik untuk menutupi kedua telinganya. Perempuan ini coba
membendung suara bersi-
nan dengan segenap tenaga yang dimiliki.
"Sahabat.... Semuanya sudah berakhir! Menghe-
rankan kalau kau masih duduk begitu rupa...," Datuk
Wahing berkata.
Lasmini terlengak. Dari suara yang baru saja ter-
dengar, dia jelas dapat menentukan kalau orang yang bersuara tidak jauh dari
sampingnya. Perempuan ini
cepat buka kelopak sepasang matanya dengan kepala
digerakkan sedikit ke samping kanan.
Memandang ke depan, Lasmini tegang sendiri. Da-
tuk Wahing tampak duduk berlutut hanya tiga langkah di sebelahnya dengan bibir
sunggingkan senyum. Kalau saja Datuk Wahing berniat jahat, tentu tidak sulit
baginya menggebuk Lasmini! Apalagi dalam keadaan
tegang begitu rupa, kedua tangan Lasmini yang masih menutupi kedua telinganya
tentu sudah sangat terlambat untuk membendung pukulan orang!
"Jangan membuatku heran dengan tegang begitu....
Kita bisa bicara baik-baik bukan"!" tanya Datuk Wahing. Lasmini kini sadar,
bahwa orang di sampingnya
masih bukan tandingannya. Namun Lasmini tidak
mau dianggap remeh orang. Dengan raut merah pa-
dam dan turunkan kedua tangannya, perempuan ini
berkata dengan suara keras.
'Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara ki-ta! Dan jangan kira aku tak
bisa lakukan sesuatu untuk membunuhmu!"
Datuk Wahing gelengkan kepala. Tanpa berkata la-
gi, orang tua ini bangkit lalu balikkan tubuh dan melangkah.
"Siapa manusia itu sebenarnya" Mengapa Setan
Liang Makam mencarinya"!" Lasmini bergumam.
"Hai, tunggu!" teriak Lasmini seraya bergerak bangkit.
Datuk Wahing hentikan tindakan. Bersin tiga kali
seraya berkata pelan. "Sikap perempuan di mana-
mana selalu mengherankan.... Di depan orang tidak
mau berkata-kata, tapi begitu hendak ditinggal berteriak-teriak...."
"Ada yang hendak kau utarakan, Sahabat?" tanya Datuk Wahing seraya putar tubuh.
"Siapa kau sebenarnya"!" Lasmini langsung bertanya dengan pandangi sosok sang
Datuk seolah baru
pertama kali jumpa.
"Sahabat.... Di antara kita aku yakin tak ada hubungan apa-apa! Bukankah
mengherankan kalau kau
harus penasaran dengan diriku! Jangan membuatku
curiga dan makin heran...."
Paras muka Lasmini sedikit tegang. Mulutnya
membuka lagi ajukan tanya.
"Lalu apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-
kam"!"
Dahi Datuk Wahing berkerut "Kurasa.... Aku tak punya kerabat bernama Setan Liang
Makam! Aku pun merasa belum pernah...."
Belum sampai Datuk Wahing lanjutkan ucapan-
nya, Lasmini telah menukas. "Kau jangan berpura-pura. Setan Liang Makam
mengatakan kau adalah
orang yang dicari!"
"Aku"!" ujar Datuk Wahing seraya tertawa menge-keh. "Mengherankan! Bagaimana kau
bisa berkata begitu" Sementara orangnya saja aku belum tahu...."
Lasmini tertawa pendek. "Setan Liang Makam adalah orang yang bersamaku ketika
keluar dari Jurang Tlatah Perak!"
Datuk Wahing angguk-anggukkan kepala. "Agar
aku tidak makin heran, mau katakan mengapa saha-
batmu itu mencariku"!"
"Aku yang tanya padamu!" kata Lasmini dengan suara agak keras mulai jengkel.
Datuk Wahing garuk-garuk kepalanya dengan
ujung tongkat bututnya. "Dengar, Sahabat. Mendengar keteranganmu aku jadi tak
habis heran. Sudah kukatakan aku tidak mengenalnya. Sementara kau adalah
sahabatnya! Bagaimana bisa kau balik bertanya pada-
ku"! Bukankah seharusnya kau yang memberi kete-
rangan padaku"!"
Merasa tak mungkin lagi orang mau memberi kete-
rangan, Lasmini alihkan pembicaraan dengan berkata.
"Kemunculanmu di sekitar Jurang Tlatah Perak pasti bukan satu kebetulan! Kau
punya urusan dengan
Pendeta Sinting"!"
"Ini baru pertanyaan yang tidak mengherankan,"
ujar Datuk Wahing. "Dugaanmu tidak salah. Aku memang hendak berkunjung pada
sahabatku...."
"Pendeta Sinting"!" tanya Lasmini seolah tidak sabar. Datuk Wahing menjawab
dengan anggukan kepala
lalu berkata. "Sudah berbilang tahun aku tidak jumpa sahabatku itu. Mumpung ada
waktu dan masih dika-runiai umur, tidak mengherankan bukan kalau aku
ingin bertemu"!"
"Hanya ingin bertemu" Tidak ada urusan lain"!"
tanya Lasmini menyelidik.
"Aku tidak ingin membuat heran orang-orang muda dengan membuat urusan antar
sahabat. Apalagi usia
sudah bau tanah begini...."
"Hem.... Membuka mulut manusia macam begini
hanya akan membuat dada pecah!" kata Lasmini dalam hati mendengar jawaban-
jawaban yang diucapkan
Datuk Wahing. "Masih ada pertanyaan lagi"! tanya Datuk Wahing begitu agak lama Lasmini tidak
lagi buka suara.
Yang ditanya kancingkan mulut. Malah saat itu ju-
ga hendak bergerak langkahkan kaki. Tapi sebelum
Lasmini bergerak lebih jauh, Datuk Wahing telah berkata.
"Tidak merasa heran kalau aku sekarang yang bertanya, Sahabat?"
Lasmini urungkan niat. Sebelum perempuan ini
menyahut, Datuk Wahing sudah mendahului. "Aku tidak sempat bertemu dengan
sahabatku di Jurang Tla-
tah Perak, sementara kau sudah muncul dari tempat
kediamannya. Bisa mengatakan bagaimana keadaan
sahabatku itu"!'
"Sahabatmu itu beruntung!"
"Ah.... Aku senang mendengarnya! Yang masih


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatku heran, untung bagaimana" Apa dia men-
dapat rezeki besar" Kudengar-dengar dia kawin lagi
dengan seorang gadis cantik...."
Lasmini tertawa. "Sahabatmu itu beruntung karena dia tidak ada di tempatnya!"
"Jawabanmu membuat aku jadi heran...."
"Seandainya dia berada di tempatnya, saat itu juga nyawanya pasti putus!"
"Kau dan sahabatmu itu hendak membunuhnya"!
Mengherankan sekali! Padahal menurut yang ku tahu,
sahabatku itu tidak pernah membuat urusan meski
kadangkala ucapan-ucapannya membuat orang jengkel
dan kelakuannya gila-gilaan...."
"Aku tak heran mendengar ucapanmu! Siapa lagi yang akan membelanya kalau bukan
sobatnya sepertimu"!"
"Justru aku kini jadi heran mendengar ucapanmu, Sahabat. Mau katakan apa
sebenarnya yang dilakukan
sahabatku itu"!"
"Akhir-akhir ini dia telah membunuh banyak
orang! Bukan itu saja. Perbuatan murid tunggalnya ju-
ga dikabarkan atas perintah Pendeta Sinting!"
"Heran.... Heran.... Bagaimana bisa begitu"!
Bruss! Bruss!"
"Kau tak perlu heran! Manusia setiap kali bisa berubah pikiran! Maka jangan
coba-coba mendekati Pen-
deta Sinting!"
"Meski aku masih heran, tapi aku mengucapkan
terima kasih atas keterangan dan peringatanmu! Sekarang aku harus segera
pergi...."
"Kau masih tidak mau terangkan siapa dirimu"!"
ujar Lasmini membuat gerakan Datuk Wahing yang
akan putar tubuh tertahan.
"Aku hanya orang tua bau tanah! Dan kurasa tidak ada artinya sekalipun kau
mengetahuinya! Jadi cukup-lah jika kau mengenalku sebagai sahabat lama Pende-
ta Sinting!"
"Kau juga tak mau mengatakan apa hubunganmu
dengan Setan Liang Makam"!"
"Jangan heran. Bukannya aku tak mau. Tapi aku
tidak mau membuatmu nantinya makin heran...."
"Aku telah lama malang melintang beberapa puluh tahun dalam dunia persilatan.
Tidak ada satu hal pun yang membuatku jadi heran! Katakan saja...!"
"Sayang sekali, Sahabat! Aku tak bisa memberi keterangan apa-apa! Harap tidak
heran.... Tapi meski begitu aku punya saran untukmu. Kalau kau terima
syukur, jika tidak, itu akan membuatku heran...."
Walau Lasmini merasa jengkel dengan ucapan Da-
tuk Wahing, namun perempuan ini pasang telinga
baik-baik. Sementara Datuk Wahing alihkan pandan-
gan ke jurusan lain seraya lanjutkan ucapan. "Jangan kau terlalu percaya pada
kabar berita yang belum ter-bukti kebenarannya. Dan hati-hati dengan orang yang
baru kau kenali. Satu hal lagi, jangan mudah percaya
pada orang yang berbuat baik padamu padahal kau
pernah menyakitinya!"
Lasmini simak ucapan orang dengan dahi berkerut.
Datuk Wahing tersenyum seraya teruskan ucapan.
"Jangan merasa tersinggung.... Aku bicara begini karena terus terang aku pernah
mendengar kabarmu di
masa lalu...."
"Jahanam! Apa manusia ini tahu hubungan ku
dengan Kiai Lidah Wetan"!" Lasmini membatin dengan dada gelisah. Lasmini
sebenarnya ingin langsung bertanya. Namun setelah ditimbang-timbang, perempuan
ini akhirnya memutuskan untuk diam.
"Terima kasih kau tidak merasa tersinggung juga tidak merasa heran! Syukur-
syukur juga kalau kau
mau sedikit membuka hati untuk turuti saran ku...."
Habis berkata begitu, Datuk Wahing putar diri.
Bersin dua kali sebelum akhirnya melangkah perla-
han-lahan dengan ketukan-ketukan tongkat butut di
tangan kanannya.
"Aku makin penasaran dengan manusia itu! Dia
seolah-olah tahu hubungan ku dengan Kiai Lidah We-
tan! Bagaimana dia bisa tahu..."! Kalau benar dia dengar kisah ku masa lalu, aku
masih maklum. Tapi uca-
pannya tadi sepertinya bukan mengarah ke sana! Apa
dia sempat jumpa dengan Kiai Lidah Wetan" Lantas....
Ah. Itu tidak mungkin! Kiai Lidah Wetan mengatakan
urusan besar ini adalah rahasia. Aku akan mengikuti orang itu...."
Lasmini memandang pada sosok Datuk Wahing
yang telah berada di depan sana. Sebelum sosok Datuk Wahing belok dan lenyap
dari pandangannya, Lasmini
cepat berkelebat lalu secara diam-diam mengikuti
langkah Datuk Wahing.
* * * TIGA TIDAK jauh melangkah, Datuk Wahing hentikan
tindakannya. Kepalanya mendongak. Saat bersamaan
terdengar orang tua ini perdengarkan bersinan bebera-pa kali. Lalu berucap tanpa
membuat gerakan.
"Sahabat.... Jangan membuatku jadi heran dengan mengikuti ke mana aku pergi!"
Sejarak tujuh tombak di belakang Datuk Wahing,
Lasmini yang mendekam sembunyi tampak terkesiap
kaget. Wajahnya berubah. Sesaat perempuan ini tam-
pak bimbang. Namun sebelum dia dapat memutuskan
apa yang hendak diperbuat, dari arah depan kembali
terdengar suara Datuk Wahing.
"Sahabat.... Sekalipun kau ikut ke mana aku pergi, adalah mengherankan kalau kau
nanti akan mendapat
keterangan dariku! Harap kau pikir masak-masak se-
belum kau kelak jadi heran...."
Lasmini menggerendeng panjang pendek dalam ha-
ti. Tanpa menyahut ucapan Datuk Wahing, perempuan
ini bergerak melangkah keluar dari persembunyiannya.
Memandang sejenak pada sosok Datuk Wahing yang
masih tegak membelakangi. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Bruss! Bruss! Bruss!"
"Kau mengambil keputusan bagus, Sahabat! Kare-
na percuma saja kau...." Laksana direnggut setan, Datuk Wahing putus gumamannya.
Saat lain orang tua
ini melangkah tiga tindak. Mendadak dia bergerak cepat. Sosoknya saat itu juga
melesat dan lenyap dari
tempat itu. Baru saja sosok Datuk Wahing melesat lenyap, sa-
tu bayangan berkelebat dan tahu-tahu tidak jauh dari tempat di mana tadi Datuk
Wahing berada, satu sosok tubuh telah berdiri tegak.
Orang yang baru muncul putar kepalanya dengan
mata dipentang besar-besar. "Aneh.... Baru saja kudengar suara bersinannya di
sini! Tapi batang hidungnya sudah tidak kelihatan! Ke mana lenyapnya"!"
Orang yang baru muncul menggumam. Lalu kembali
gerakkan kepalanya berputar dengan mata makin di-
beliakkan. Namun orang ini tetap tidak melihat siapa-siapa!
"Hem.... Pada akhirnya lain yang dikejar, lain pula yang ku dapati. Yang kukejar
gadis cantik, tapi yang akan kutemui pasti orang lain. Tapi.... Bagaimana ta-hu-
tahu orang tua itu berkeliaran di sekitar tempat ini"! Atau selama ini dia
secara diam-diam selalu mengikuti langkahku! Aku harus tahu apa maksudnya...."
Berpikir begitu dan merasa yakin orang masih be-
rada di sekitar tempat itu, orang yang baru muncul buka mulut berteriak.
"Kek! Aku tahu kau berada di sini! Mengapa takut unjuk diri"! Jangan membuatku
heran!" Selesai berteriak, orang ini memandang berkeliling
dengan telinga dipasang baik-baik. Namun tidak ter-
dengar suara sahutan atau terlihatnya orang.
"Kek! Harap tak usah malu-malu unjuk diri!' Kembali orang yang baru muncul
berteriak. Tubuhnya bergerak berputar setengah lingkaran.
Bruss! Bruss! Mengherankan kalau aku merasa
malu unjuk diri di hadapanmu. Anak Muda!" tiba-tiba terdengar suara.
Orang yang tadi berteriak cepat balikkan tubuh,
karana jelas suara yang baru saja terdengar bersumber dari arah belakangnya.
Namun orang ini tersentak
sendiri. Dia tidak melihat siapa-siapa!
"Telingaku jelas mendengar dari arah belakang.
Tapi orangnya tidak juga kelihatan!"
Baru saja orang ini membatin, orang ini mendadak
putar diri membalik, karena dia mendengar langkah-
langkah dari arah belakangnya.
Memandang ke depan, orang ini tertengak. Sejarak
lima tombak di depan sana, terlihat Datuk Wahing duduk berlutut di atas tanah
dengan kepala bergerak ke depan ke belakang. Tangan kanan memegang tongkat
yang ditancapkan di sampingnya sementara tangan ki-
rinya diletakkan di atas pahanya.
"Hem.... Bagaimana dia bisa membuat telingaku seperti mendengar langkah-langkah"
Padahal orangnya enak-enakan duduk"!"
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Wajahmu membua-
tku heran. Apa kau tidak menemukan gadis yang kau
kejar"!' Datuk Wahing buka mulut bertanya.
Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Seba-
liknya dia melangkah mendekati Datuk Wahing dengan
mata memandang tak berkesip.
"Kek! Apa yang sedang kau lakukan di sini"!"
Orang yang baru muncul balik ajukan tanya.
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Sekarang ucapanmu yang membuatku heran! Kau
sepertinya menaruh curiga padaku....'
Orang di hadapan Datuk Wahing yang ternyata
adalah seorang pemuda berpakaian putih-putih be-
rambut agak panjang sedikit acak-acakan yang diikat dengan ikat kepala warna
putih, berparas tampan dan bermata tajam dan bukan lain adalah Pendekar 131
Joko Sableng tertawa pendek lalu berkata.
"Kek! Sejak kita bertemu, dua kali kau muncul tidak jauh dariku! Aku tidak
curiga padamu. Tapi setidaknya keberadaanmu punya maksud tertentu.... Ha-
rap kau mau katakan terus terang!"
"Bruss! Bruss! Anak muda.... Kalau boleh kukatakan, berarti kau merasa heran
kita harus jumpa ber-
kali-kali. Tapi kali ini aku tidak merasa heran! Yang Maha Kuasa mungkin telah
menyiratkan demikian...."
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Kek! Ini bukan semata-mata suratan! Ini juga
bukan satu kebetulan.
Kau sepertinya sengaja muncul di mana aku berada!
Harap kau tidak keberatan mengatakan maksudmu!
Seperti diketahui, sejak Pendekar 131 jumpa per-
tama kali dengan Datuk Wahing, orang tua ini tiba-tiba muncul ketika sedang
terjadi adu mulut dan hampir
saja terjadi adu pukulan antara Joko dengan Dewi Seribu Bunga. Saat itu pada
akhirnya Dewi Seribu Bunga berkelebat. Joko mengejar. Tapi murid Pendeta Sinting
kehilangan jejak Dewi Seribu Bunga. Joko lantas teruskan perjalanan. Pada satu
tempat mendadak dia
mendengar suara bersinan. Joko dengan cepat dapat
menebak siapa adanya orang yang bersin-bersin.
"Bruss! Bruss! Aku tak punya maksud apa-apa,
Anak Muda! Aku baru saja mengunjungi tempat seo-
rang sahabat! Sayang.... Aku harus menerima kehera-
nan!" "Siapa sahabat yang kau kunjungi"! Dan kehera-
nan apa yang kau terima"!"
"Aku heran dengan pertanyaanmu. Apa maksud
dibalik ucapan tanya mu itu"!" kata Datuk Wahing.
"Menurut Kiai Laras, orang ini bukan orang baik-baik! Sementara Jurang Tlatah
Perak tidak jauh dari sini.... Apa yang dimaksud sahabatnya adalah Eyang
Guru..."l" Joko membatin. Lalu berkata.
"Seperti halnya dirimu, aku juga tak punya maksud apa-apa! Hanya saja aku punya
seorang sahabat
tidak jauh dari sini! Siapa tahu sahabat yang kau kunjungi adalah juga
sahabatku...."
"Hem.... Dia hanya sahabatmu" Tidak lebih, Anak Muda"!" Datuk Wahing balik
ajukan tanya membuat Joko terdiam sesaat.
"Anak muda!" ucap Datuk Wahing sebelum Pendekar 131 perdengarkan suara. "Bisa
katakan siapa sahabatmu itu"!"
"Pendeta Sinting!"
"Bruss! Bruss! Heran.... Sahabatku itu ternyata benar-benar berubah! Para
sahabatnya kini orang-orang muda.... Hem.... Pasti ada apa-apa!" gumam Datuk
Wahing. "Kek! Berarti yang hendak kau kunjungi Pendeta Sinting! Betul"!"
"Aku tidak bisa jawab pertanyaanmu yang mengherankan itu, Anak Muda! Karena
sahabatku itu tak
mungkin punya sahabat orang-orang muda seperti-
mu!" "Kek! Aku murid Pendeta Sinting!" kata Joko berterus terang mendapati Datuk
Wahing sepertinya mena-
ruh curiga. Datuk Wahing angkat kepalanya dengan mata se-
dikit dibesarkan. Untuk beberapa lama orang tua ini memperhatikan sosok murid
Pendeta Sinting dengan
seksama. "Kek! Kau belum katakan keheranan mu tadi! Apa sebenarnya yang telah terjadi"!
Kau bertemu dengan
eyang guruku itu"!"
Datuk Wahing gerakkan kepalanya menggeleng.
"Anak Muda! Itulah yang membuatku merasa heran....
Apa sebenarnya yang telah terjadi"! Karena bukan saja
aku tak menemukan sahabatku itu, tapi..." Datuk Wahing tidak lanjutkan
ucapannya. Sepasang matanya
melirik ke kanan kiri.
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi lalu ikut-
ikutan melirik. Yakin tak ada orang lain, dia berkata.
"Kek! Di sini tak ada orang lain! Teruskan ucapanmu tadi!"
"Bruss! Bruss! Aku justru bertemu dengan dua
orang yang muncul dari kediaman eyang gurumu....
Yang mengherankan lagi, menurut salah seorang dari
mereka, justru aku termasuk manusia yang dia cari-
cari!" "Kau mengenal mereka"!" tanya Joko dengan maju satu tindak.
"Aku hanya mengenali yang satu, satunya lagi kurasa aku baru melihatnya!
Herannya, orang yang baru pertama kulihat itulah yang katanya mencari-
cariku...."
"Kau bisa katakan ciri-ciri orang itu"!"
"Satunya perempuan. Ini yang kukenal. Satunya
lagi seorang laki-laki. Kalau kau sempat melihatnya, pasti kau akan merasa
heran! Laki-laki ini hampir saja tidak bisa dikatakan sosok manusia. Tubuhnya
hanya merupakan kerangka tanpa daging...."
"Setan Liang Makam'! desis murid Pendeta Sinting.
"Bruss! Bruss! Betul! Itulah nama yang disebut-sebut! Setan Liang Makam.... Kau
mengenalnya, Anak
Muda..."!"


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar 131 tidak jawab pertanyaan Datuk Wah-
ing. Sebaliknya dia cepat ajukan tanya. "Apa yang terjadi di sana"!"
"Aku belum sempat jumpa dengan eyang gurumu.
Tapi dari percakapan dua orang itu, aku bisa menduga kalau mereka juga tidak
bertemu dengan eyang guru-
mu...." Murid Pendeta Sinting menarik napas lega. Sejenak
tadi perasaannya gelisah, ia sangat mengkhawatirkan keselamatan eyang gurunya,
apalagi sejak peristiwa di Kedung Ombo, dia belum berhasil menemukan Pendeta
Sinting. "Kek! Menurutmu, apakah kedua orang itu juga
sahabat eyang guruku"!"
"Bruss! Bruss! Anak muda! Aku memang bukan
orang baik-baik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan mereka orang
baik-baik! Kau tentu bisa
menebak sendiri apa ucapanku...!"
"Hem.... Pasti mereka menduga akulah yang mem-
bawa barang aneh itu! Lalu mereka membuka sengketa
dengan Eyang Guru.... Heran! Dewi Seribu Bunga juga menuduhku hendak
memperkosanya. Lalu ada lagi
orang-orang yang menuduhku melarikan barang-
nya...." Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. Lalu memandang ke arah Datuk
Wahing sambil bertanya.
"Kek! Kau sungguh tak tahu tentang sebuah benda bernama Kembang Darah Setan"!"
Yang ditanya kancingkan mulut tidak menjawab.
Joko berpikir sejenak, lalu berkata lagi. "Kek! Aku pernah jumpa dengan Setan
Liang Makam, Dia sebut-sebut Kembang Darah Setan. Sementara kau tadi
mengatakan Setan Liang Makam mencarimu! Aku da-
pat menebak kalau kau tahu tentang urusan Kembang
Darah Setan itu! Setidaknya kau ada hubungan den-
gan Setan Liang Makam! Harap kau mau memberi ke-
terangan!"
Datuk Wahing belum juga menyahut. Joko mulai
agak jengkel. Dia segera buka mulut lagi. "Kek! Jangan-jangan kau ini masih
kambratnya Setan Liang
Makam!" "Bruss! Brusss!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan. Namun se-
jauh ini orang tua berambut tipis ini belum juga mau bersuara. Malah dia alihkan
pandangannya ke jurusan lain!
"Kek! Berarti kemunculanmu selama ini memang
kau sengaja! Kau selalu ikuti ke mana aku melangkah!
Katakan saja terus terang apa maumu! Aku tahu, kau
berilmu sangat tinggi! Tapi seperti halnya diriku, kau tak mungkin punya nyawa
rangkap!" "Bruss! Bruss! Anak muda.... Kau sudah selesai bicara"!" tanya Datuk Wahing
tanpa berpaling.
Kali ini Joko yang tidak menjawab. Dia hanya me-
mandang pada Datuk Wahing dengan sikap tidak sa-
bar. "Anak muda... Perlu kau ketahui dan harap jangan heran. Aku bukan kambratnya
Setan Liang Makam!
Aku juga tidak mengikuti langkahmu! Aku pun bukan
orang yang berilmu tinggi apalagi punya nyawa rangkap!"
"Hem.... Kau menyangkal semua ucapanku. Tapi
kau tidak menyangkal ucapanku tentang Kembang Da-
rah Setan! Berarti kau tahu urusan benda itu!"
Datuk Wahing tidak sambuti ucapan murid Pende-
ta Sinting. Sebaliknya orang ini beranjak bangkit. Dan tanpa berkata apa-apa dia
melangkah. Murid Pendeta Sinting melompat dan tegak meng-
hadang di depan Datuk Wahing.
"Kek! Kurasa dugaanku tidak meleset! Harap kau mau beri keterangan! Kalau tidak,
terpaksa aku...."
"Bruss! Brusss! Kau terlalu berprasangka buruk, Anak Muda! Jangan heran kalau
aku tidak mau jawab
pertanyaanmu di sini!" Datuk Wahing arahkan pandangan matanya berkeliling. Lalu
lanjutkan ucapan-
nya. "Apa kau kira di sini aman untuk bicara"!"
Habis berkata begitu, Datuk Wahing teruskan
langkah menyisi di sebelah kanan murid Pendeta Sinting. "Kek! Jadi....'
"Bruss! Kalau kau ingin tahu, jangan banyak bicara!' Pendekar 131 angkat bahu.
Lalu balikkan tubuh.
Memandang ke depan, dia tersentak. Datuk Wahing
yang baru saja melangkah di sisi samping kanannya
sudah berada jauh di depan sana. Dia tetap melangkah perlahan-lahan dengan
kepala ditarik pulang balik ke depan ke belakang meski tidak perdengarkan
bersinan. Tanpa pikir panjang lagi, murid Pendeta Sinting se-
gera berkelebat menyusul. Dia sempat menggerendeng.
Karena begitu dia berkelebat, si kakek di depan sana tiba-tiba ikut berkelebat
tidak lagi melangkah! Hingga mau tak mau Joko harus kerahkan segenap ilmu pe-
ringan tubuhnya agar tidak kehilangan jejak.
* * * EMPAT SEBELUM kita ikuti ke mana Datuk Wahing dan
Pendekar 131 Joko Sableng pergi serta mengetahui apa yang hendak dibicarakan
Datuk Wahing, kita kembali
dahulu pada satu peristiwa yang kejadiannya berlangsung pada tiga puluhan tahun
yang lalu. Pada satu tempat di sebelah hutan belantara lebat
tidak jauh dari sebuah pesisir pantai, tepatnya pada satu tempat terbuka yang
dikelilingi beberapa julangan
batu karang tampak duduk bersila seorang laki-laki setengah baya. Paras laki-
laki ini tidak begitu tampan.
Bagian depan hidungnya besar. Rambutnya tipis telah berwarna dua. Kedua
tangannya merangkap di depan
dada. Sepasang matanya terpejam rapat. Laki-laki ini tidak sedang pusatkan
pikiran bersemadi. Karena sesekali mulutnya membuka. Dan yang lebih menunjuk-
kan kalau laki-laki setengah baya tidak sedang bersemadi, di hadapannya hanya
sejarak sepuluh langkah,
tampak tegak berdiri seorang laki-laki yang meski
usianya tidak muda lagi, tapi masih lebih muda di-
banding laki-laki yang tengah duduk bersila.
Orang yang tegak berdiri berparas agak tampan.
Dagunya kokoh dengan sosok kekar. Sepasang ma-
tanya tajam dengan rambut panjang sebatas bahu. La-
ki-laki ini tegak dengan mata memandang tak berkedip pada laki-laki yang duduk
bersila. Sesekali bibirnya sunggingkan senyum dingin. Dan kadangkala kepalanya
bergerak tengadah meski sepasang matanya te-
rus menghujam pada laki-laki di hadapannya.
Untuk beberapa saat lamanya kedua laki-laki ini
tidak ada yang buka mulut. Laki-laki yang satu duduk dengan mata terpejam
sementara satunya lagi memandang tajam. Namun tak berapa lama kemudian, laki-
laki yang tegak buka mulut perdengarkan suara.
"Galaga! Rasanya penantian ku sudah lama. Aku sudah tidak sabar lagi! Kalau kau
tetap kukuh pada pendirianmu, apa boleh buat. Kita lupakan semua pertalian di
antara kita!"
Laki-laki yang duduk bersila dan dipanggil dengan
Galaga buka sepasang matanya. Sejurus dia meman-
dang orang yang tegak. Lalu mulutnya bergerak mem-
buka. "Maladewa! Kau jangan memojokkan aku dengan
begitu rupa! Dan apakah kau tega memutus semua
pertalian ini hanya gara-gara barang sepele"! Apalagi kita tahu, Eyang Guru
masih hidup! Kita harus sabar menunggu. Percayalah! Apa yang kau inginkan pasti
kau dapatkan! Kepada siapa lagi barang itu akan diberikan kalau tidak pada kita
sebagai muridnya"!"
Laki-laki yang tegak dan dipanggil dengan Malade-
wa sunggingkan senyum seringai. Lalu tertawa pendek sebelum akhirnya berkata.
"Galaga! Lalu sampai kapan kita menunggu"! Lagi pula belum tentu barang itu
diberikan pada kita! Kita tahu bagaimana watak Eyang Guru!"
Galaga gelengkan kepala. "Eyang Guru memang
kadangkala sikapnya aneh! Namun dalam hal barang
pusaka, aku yakin dia tidak akan berani memberikan
pada orang lain!"
"Aku tidak percaya semua itu, Galaga!"
"Hem.... Bagaimana kau sampai tidak percaya"!"
Maladewa tertawa lagi, lalu berkata. "Kau ingin salah satu bukti"!"
Untuk pertama kalinya paras wajah Galaga tampak
berubah. Namun laki-laki ini coba tutupi perubahan
wajahnya dengan sunggingkan senyum. "Maladewa!
Sebaiknya kita tidak usah membicarakan benda itu.
Selama ini kita hanya mendengar bahwa benda itu di
tangan Eyang Guru' Tapi bertahun-tahun kita jadi muridnya, apakah kita pernah
melihatnya"!"
"Itu kita bicarakan nanti, Galaga! Aku tadi bilang, apakah kau ingin salah satu
bukti hingga mengapa
aku tidak percaya pada Eyang Guru"!"
Diam-diam Galaga tampak gelisah. Dadanya ber-
debar keras. Dan perlahan-lahan laki-laki setengah
baya ini palingkan wajahnya menghadap jurusan lain.
Mulutnya terkancing tidak menyahut ucapan Malade-
wa. Maladewa maju dua tindak. Kepalanya didongak-
kan sedikit ke atas. Namun sepasang matanya tetap
melirik ke arah orang di hadapannya. Lalu dia berkata.
"Galaga! Apa kau kira aku tak tahu kalau selama ini Eyang Guru telah turunkan
ilmu 'Pantulan Tabir'
padamu"!"
Galaga tidak bisa lagi sembunyikan rasa kejutnya.
Kepalanya cepat bergerak berpaling. Mulutnya mem-
buka namun tidak perdengarkan suara.
Maladewa tertawa panjang. "Kau tak usah berucap, Galaga! Sikapmu sudah menjawab!
Sekarang aku tanya, apakah itu bukan salah satu bukti bahwa ben-
da itu kelak tidak akan diberikan pada kita"! Kau
mungkin masih bisa berharap! Tapi aku"! Dari cara Eyang Guru yang menurunkan
ilmu padamu sementara padaku tidak, apakah aku masih punya harapan"!"
Galaga tetap tidak menyahut. Bagaimanapun dia
coba sembunyikan rasa kagetnya, namun siapa pun
yang melihat, pasti dapat melihat bayang kegelisahan pada raut muka laki-laki
ini. Sementara melihat hai ini, Maladewa kembali buka mulut.'
"Kita memang tidak pernah melihat benda itu di tangan Eyang Guru! Dan kita pun
boleh kesampingkan
kabar yang tersebar dalam dunia persilatan! Tapi apakah munculnya beberapa orang
di tempat ini dengan
berani pertaruhkan nyawa, belum bisa dijadikan satu tanda kalau benda itu benar-
benar di tangan Eyang
Guru"!" Maladewa hentikan ucapannya sambil tertawa.
Lalu lanjutkan kata-katanya.
"Galaga! Seandainya aku jadi kau, pasti aku juga akan bertindak sepertimu! Dan
kau pasti akan berbuat sepertiku seandainya kau jadi aku! Dan...."
Belum sampai Maladewa teruskan ucapannya, Ga-
laga sudah memotong.
"Maladewa! Aku...."
"Galaga!" kali ini ganti Maladewa yang memotong ucapan Galaga sebelum laki-laki
ini lanjutkan ucapannya. "Aku belum selesai bicara! Jangan memotong!"
Galaga tidak hiraukan kata-kata Maladewa. Laki-
laki ini buka mulut teruskan ucapannya yang sejenak tadi terputus.
"Maladewa! Kau jangan terlalu berprasangka yang bukan-bukan! Kalau saat ini
Eyang Guru menurunkan
ilmu 'Pantulan Tabir', semata-mata hanya karena aku adalah saudara tuamu! Dan
tak lama lagi, kau pun
pasti akan mendapatkan ilmu itu!"
Maladewa gelengkan kepala. Wajahnya sudah me-
rah padam. Tanda dia sudah tak bisa lagi menahan
hawa amarah. "Galaga! Usia bukanlah satu alasan yang tepat untuk persoalan ini!
Yang jelas, Eyang Guru tidak menyukaiku! Dan dia sengaja turunkan ilmuku
padamu untuk berjaga-jaga!" Maladewa menyela dengan tertawa pendek, lalu
lanjutkan ucapan. "Tapi apakah dengan membekal ilmu 'Pantulan Tabir' kau dapat
menghadangku"!" Maladewa geleng-gelengkan kepala menjawab pertanyaannya sendiri.
"Maladewa! Kau masih saja punya dugaan buruk!"
"Dengar, Galaga! Ini bukan dugaan! Ini adalah kenyataan! Tapi.... Aku masih bisa
menerima semua ini kalau kau mau membantuku!"
"Maladewa! Apakah kita hendak membalas semua
yang telah diberikan Eyang Guru dengan tindakan
yang tidak pantas"!"
"Belum, Galaga! Eyang Guru belum memberikan
semuanya pada kita! Bahkan dia telah memberimu le-
bih dibanding apa yang telah diberikan padaku! Dan
aku ingin jatah kita sama! Tapi bukan ilmu 'Pantulan
Tabir' yang kuminta!"
Walau Galaga mulai jengkel dengan ucapan Mala-
dewa namun laki-laki ini masih coba menahannya ka-
rena sebenarnya dia sendiri merasa tidak enak begitu mengetahui kalau adik
seperguruannya itu telah tahu kalau dirinya telah diberi ilmu 'Pantulan Tabir'
oleh eyang gurunya. Dan dia pun dapat memaklumi kalau
Maladewa merasa kecewa dan marah. Namun dia ma-
sih coba menyadarkan dengan berkata.
"Maladewa.... Walau ucapanmu sedikit ada benarnya, tapi seharusnya kita harus
bersyukur karena selama ini Eyang Guru telah berikan pada kita beberapa ilmu.
Kalaupun Eyang Guru belum memberikan semuanya, mungkin dia punya pertimbangan
sendiri.... Dan percayalah, Eyang Guru akan memberikan semu-
anya pada kita...."
Maladewa gelengkan kepala. "Pertimbangan apa"!
Kurasa usia kita telah cukup. Usia Eyang Guru pun
sudah lanjut! Kalau dalam usia demikian lanjut dia tidak juga memberikan apa
yang dimiliki pada murid-
nya, apakah mungkin dia akan memberikan itu"!"
"Aku tak bisa jawab pertanyaanmu, Maladewa!
Yang pasti aku masih punya keyakinan jika Eyang
Guru akan memberikan pada kita! Untuk itu bersabar-
lah...." "Hem.... Sampai kapan"! Kau bisa menghitung-
nya"!" tanya Maladewa.
"Aku memang tidak bisa menghitung! Tapi aku yakin!"
Maladewa tertawa pendek. "Kau bisa merasa yakin, karena kau masih punya harapan!
Dan aku sebaliknya! Maka dari itu, Galaga. Aku sekali lagi tawarkan rencana ini
padamu! Jika kau tidak setuju, kau telah tahu apa akibatnya!"
"Bukannya aku tidak setuju. Tapi kalau menim-
bang, apa yang telah diberikan Eyang Guru selama ini, kurasa itu sudah lebih
daripada cukup! Kita jangan se-rakah meminta lebih!"
"Hem.... Apa ucapanmu itu jawaban penolakan
atas rencanaku"!"
Galaga tidak segera menjawab Dia pandangi Mala-
dewa dengan seksama seakan ingin yakinkan kalau
ucapan itu benar-benar diucapkan oleh Maladewa. Di
lain pihak, Maladewa sudah tidak sabar melihat sikap Galaga. Maka dia segera
buka mulut lagi.


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Galaga! Aku butuh ketegasan mu!"
"Maladewa! Kau memberi ku tawaran yang siapa pun juga akan sulit untuk
memilihnya!"
"Itu urusanmu! Dan aku menunggu keputusan-
mu!" Glaga menarik napas panjang. Laki-laki ini jelas
bimbang. Di satu pihak dia tak ingin hubungan sauda-ra seperguruan terputus, di
sisi lain dia tak mungkin berkhianat pada eyang gurunya yang selama ini dirasa
telah memberikan segala ilmu. Hingga pada akhirnya
dia berkata. "Maladewa! Sebenarnya aku dalam situasi sulit!
Dan kau tahu apa sebabnya...."
Mendengar ucapan Galaga, Maladewa mendengus
lalu berkata dengan suara membentak. "Galaga! Aku butuh jawaban tegas! Mau apa
tidak!" Setelah berpikir sejenak, akhirnya Galaga menja-
wab. "Maladewa! Untuk persoalan ini, semuanya kuserahkan padamu!"
"Maksudmu"!"
"Aku tak bisa ikut serta melakukan rencanamu.
Aku pun tak akan mencegah semua rencanamu!"
"Hem.... Begitu"! Kau telah pikirkan akibatnya"!"
"Aku tidak ikut apa-apa. Jadi kurasa aku tidak menanggung akibat apa-apa pula!
Semua kuserahkan
padamu...."
'Tidak semudah itu, Galaga! Meski kau tidak ikut
serta dalam rencanaku ini, tapi kau adalah satu-
satunya orang yang tahu! Dan kau dengar, aku tak
mau seorang pun tahu apa rencanaku!"
Galaga kerutkan kening. "Apa maksud ucapanmu,
Maladewa"!"
Yang ditanya tertawa. "Sebuah rencana akan ber-buntut panjang kalau ada salah
seorang yang tahu!
Dan aku tidak mau hal itu terjadi! Apalagi kau tidak memberikan jawaban pasti!
Jadi.... Aku inginkan nyawamu saat ini juga! Tapi itu masih bisa ku tunda jika
kau setuju dengan rencanaku!"
"Kau memaksaku, Maladewa!"
"Terserah kau katakan apa. Yang jelas kau tinggal memutuskan sekarang juga!"
"Sebenarnya aku telah memilih jalan tengah, Maladewa! Tapi kau rupanya hendak
memaksakan kehen-
dak padaku! Sayang sekali, aku tidak suka dipaksa...."
"Kalau itu kau katakan sejak tadi-tadi, tak perlu ki-ta bicara panjang lebar!
Dan berarti kau siap meneri-ma kenyataan!"
"Sebenarnya aku tak mau hal ini terjadi antara ki-ta! Tapi kalau kau terlalu
memaksaku, aku bukannya
melawan namun aku juga tidak akan tinggal diam!"
"Bagus! Kau telah memutuskan! Aku pun telah
mengambil sikap!"
Habis berkata begitu, Maladewa angkat kedua tan-
gannya. Sekali bergerak sosoknya telah tegak hanya sejarak empat langkah dari
tempat Galaga duduk bersila. "Maladewa! Tunggu!" tahan Galaga sambil beranjak
bangkit. "Akankah persahabatan ini harus berakhir dengan pertumpahan darah"!
Akankah tali persaudaraan ini berakhir di ujung kekerasan hanya gara-gara yang
belum jelas benar ada tidaknya"!"
"Manusia tidak tahu harus mati karena apa" Demikian juga persahabatan dan ikatan
persaudaraan! Tidak seorang pun tahu akan berujung dengan
apa! Hanya untuk kita, kau tahu bagaimana jalan ak-
hirnya! Galaga pandangi Maladewa sejenak. Meski tadi te-
lah berkata tidak akan tinggal diam, tapi entah karena apa, akhirnya laki-laki
ini gerakkan kaki melangkah hendak tinggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa.
Maladewa melirik sejurus. Saat lain tiba-tiba laki-
laki ini telah melompat dan tegak menghadang jalan
Galaga sambil berkata.
"Kau telah dengar ucapanku! Tidak seorang pun
akan kubiarkan lolos kalau dia tahu urusan ini!"
"Maladewa! Kau tak usah khawatir! Aku tetap merahasiakan urusan ini meski dengan
berat hati.... Yang kuminta darimu, jika nantinya Eyang Guru tidak
memberikan apa yang kau minta, kau harus menerima
dengan lapang dada dan jangan bertindak lebih jauh!"
Habis berkata begitu, Galaga berkelebat. Namun
bersamaan itu Maladewa telah merangsek dengan han-
tamkan tangan kanannya.
Galaga yang masih punya keyakinan kalau Mala-
dewa tak akan bertindak jauh meski telah keluarkan
ancaman, hanya diam tanpa membuat gerakan me-
nangkis atau menghindar selamatkan diri.
Bukkk! Galaga tersentak. Bukan saja karena pukulan tan-
gan kanan Maladewa yang menghantam bahunya, na-
mun juga karena keyakinannya meleset!
Sosok Galaga terhuyung tiga langkah ke samping.
Laki-laki ini segera berpaling dengan mata berkilat. Dilihatnya Maladewa
sunggingkan senyum seringai.
"Galaga! Kau salah duga kalau mengira ancaman ku hanya ucapan mulut saja!"
Belum sampai ucapan Maladewa selesai, laki-laki
ini telah berkelebat. Kedua tangannya segera mele-
paskan pukulan.
"Kau yang memaksaku, Maladewa!" ujar Galaga la-lu angkat kedua tangannya membendung kelebatan
kedua tangan Maladewa yang mengarah pada kepala
dan dadanya. Bukkk! Bukkk! Terdengar benturan keras. Baik sosok Galaga
maupun sosok Maladewa tampak tersurut tiga langkah
ke belakang. Wajah keduanya sama berubah. Tangan
masing-masing yang baru saja berbenturan sama ber-
getar keras. Maladewa tekuk sedikit lututnya. Tenaga dalamnya
dilipatgandakan. Saat lain dia telah sentakkan kedua tangannya lepas pukulan
jarak jauh bertenaga dalam
tinggi. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat dua gelombang angin
dahsyat perdengarkan sua-
ra gemuruh keras.
Kalau dalam benturan tangan tadi Galaga masih
belum percaya benar akan niat Maladewa, kini melihat pukulan Maladewa, perlahan-
lahan Galaga mulai menangkap isyarat kalau ucapan Maladewa tidak main-
main! Hingga tanpa pikir panjang lagi dia segera pula angkat kedua tangannya
lalu disentakkan ke depan.
Blammm! Tanah di tempat ini dibuncah dengan suara leda-
kan keras. Julangan-julangan batu karang bergetar.
Sosok Galaga mencelat mental sampai dua tombak.
Paras mukanya pias dengan tubuh bergetar keras. Ma-
lah kalau laki-laki ini tidak segera kerahkan tenaga dalam, niscaya sosoknya
akan roboh terkapar.
Sementara di depan sana, sosok Maladewa juga
terpelanting lalu tegak dengan kedua kaki goyah. Wajahnya pucat pasi. Namun
laki-laki ini cepat kerahkan tenaga dalamnya kembali. Dan sekali berkelebat, dia
telah tegak dua belas langkah di depan Galaga.
"Maladewa! Mungkinkah kenyataan ini benar-benar akan terjadi"!"
Maladewa tertawa panjang! "Pertanyaanmu akan
segera terjawab, Galaga!"
"Aku tak pernah membayangkan kalau hal ini akan terjadi, Maladewa!"
"Itulah ketololan mu! Dan kau terlambat untuk menyadarinya! Bahkan kau mungkin
tidak tahu apa yang telah terjadi!" kata Maladewa sambil tersenyum.
Senyumnya kali ini agak aneh. "Kau tahu, Galaga! Aku tadi cuma ingin tahu
bagaimana pendirianmu! Aku ju-ga ingin tahu apakah benar Ilmu 'Pantulan Tabir'
telah kau miliki! Aku pun ingin tahu, seberapa jauh penge-tahuanmu tentang benda
yang ada di tangan Eyang
Guru!" Galaga merasa tak enak mendengar ucapan Mala-
dewa. Dahinya berkerut. "Apa sebenarnya yang telah dilakukannya"! Dan apa pula
yang telah terjadi"!"
Karena tidak juga menemukan jawaban, pada ak-
hirnya Galaga buka mulut.
"Maladewa! Apa maksud ucapanmu"!"
Maladewa tertawa dahulu sebelum akhirnya berka-
ta menjawab. "Kau boleh memiliki ilmu 'Pantulan Tabir' meski seratus buah! Dan
kau boleh bangga karena telah mendapat Ilmu itu! Tapi bagiku.... Semua itu tidak
ada artinya apa-apa bagiku! Karena aku telah
mendapatkan yang lebih daripada yang kau miliki!"
Galaga makin tak enak. Namun sejauh ini dia be-
lum dapat menduga-duga ke mana arah ucapan Mala-
dewa. Hingga dia ajukan tanya lagi.
"Aku belum mengerti apa arti ucapanmu!"
"Tak usah khawatir, Galaga! Kau akan segera mengerti! Namun sayang, hal itu
adalah pengertian terakhir bagimu! Begitu kau mengerti, saat itu juga nyawa-mu
harus melayang!"
Galaga tambah gelisah. Dia hanya dapat menduga,
kalau pengertiannya harus ditebus dengan nyawa,
pasti hal itu adalah satu rahasia besar. Sementara rahasia besar itu tentu tidak
jauh dengan urusan Maladewa dan eyang gurunya.
"Hem.... Jangan-jangan dia telah lakukan rencananya tanpa sepengetahuanku! Dan
Sepasang Pedang Iblis 2 Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Sejengkal Tanah Sepercik Darah 1
^