Pencarian

Rahasia Kampung Setan 2

Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan Bagian 2


dia telah berha-
sil.... Celaka!" gumam Galaga dalam hati, lalu buru-buru berkata.
"Maladewa! Apa yang telah kau lakukan pada
Eyang Guru"!"
Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya dia
tertawa panjang. Puas tertawa, Maladewa angkat bica-ra. "Aku tak bisa
menerangkan di sini, Galaga! Tapi kau akan segera mengerti kalau kau tahu apa
yang kuperlihatkan padamu! Tapi perlu kau tahu, itulah
saat tibanya kematianmu!"
Habis berkata begitu, Maladewa tenang saja ma-
sukkan tangan kanannya ke balik pakaian yang dike-
nakannya. Sepasang matanya memandang tajam pada
Galaga. Sementara bibirnya sunggingkan senyum. Di
sebelah depan, dada Galaga tampak berdebar keras.
Sepasang matanya mendelik tak berkesip memandang
ke arah gerakan tangan kanan Maladewa.
Seraya tertawa perlahan, Maladewa keluarkan tan-
gan kanannya dari balik pakaiannya. Laksana dipen-
tang setan, sepasang mata Galaga tampak makin
membeliak seperti hendak loncat dari rongganya anta-ra terkejut dan tidak
percaya! * * * LIMA KEMBANG Darah Setan!" desis Galaga dengan sua-
ra bergetar berat. Tubuhnya ikut gemetar. Sementara sepasang matanya mementang
besar. Di seberang depan, Maladewa masih saja terse-
nyum sebelum akhirnya angkat bicara. "Galaga! Dengan beradanya benda ini di
tanganku, rasanya kau tak perlu lagi tanya padaku apa yang telah terjadi! Dan
seperti kataku tadi, begitu kau mengerti, maka itulah saat tibanya kematianmu!"
Habis berkata begitu, Maladewa angkat tangannya
yang ternyata memegang setangkai bunga yang pan-
carkan sinar. Bunga itu memiliki kuncup berwarna
merah. Pada bagian tangkainya terdapat tiga daun
berwarna hitam, putih, dan merah.
Begitu dapat kuasai diri, Galaga segera buka suara.
"Maladewa! Aku tidak akan tanyakan bagaimana
kau memperolehnya. Yang ingin ku tahu, bagaimana
keadaan Eyang Guru!"
"Kau terlambat untuk bertanya, Galaga! hanya ada satu hal yang perlu kau tahu
sebelum ajal menjemput mu! Dengar baik-baik! Sebenarnya aku adalah cucu
dari Eyang Guru! Dan akulah generasi terakhir dari penghuni Kampung Setan ini!"
Galaga tampak terkesiap. Dia pandangi sosok Ma-
ladewa dengan teliti. Bertahun-tahun dia diangkat murid oleh eyang gurunya,
serta bertahun-tahun pula dia bersahabat dengan Maladewa yang juga sebagai adik
seperguruannya, dia sama sekali tidak mengetahui rahasia kalau Maladewa adalah
cucu dari eyang gurunya sendiri! Yang dia tahu, pada masa mudanya dulu dia
dengar dan tahu kalau rimba persilatan pernah dibuat geger dengan munculnya
tokoh-tokoh berilmu tinggi
yang sebutkan diri Kampung Setan. Sebuah kampung
yang pada akhirnya menjadi momok, bukan saja bagi
kalangan orang biasa, melainkan juga bagi kalangan
orang-orang rimba persilatan. Karena beberapa tokoh dari Kampung Setan
merajalela membunuhi beberapa
tokoh rimba persilatan tanpa pandang bulu dari golongan hitam maupun dari
golongan putih.
Namun keangkeran Kampung Setan pada akhirnya
tenggelam setelah beberapa tokoh dari golongan putih dan golongan hitam bersatu
membasmi dengan memporak-porandakan Kampung Setan. Hanya saja kalan-
gan orang-orang rimba persilatan tidak tahu kalau dari generasi Kampung Setan
masih ada seorang yang selamat. Orang inilah yang pada akhirnya mengangkat
Galaga sebagai murid juga sebagai sahabat dari mu-
ridnya yang dahulu yakni Maladewa. Meski Maladewa
sudah menjadi murid sebelum datangnya Galaga, na-
mun karena Galaga lebih tua, maka Maladewa men-
ganggap Galaga sebagai kakak seperguruannya.
Tapi keangkeran Kampung Setan ternyata hanya
tenggelam sesaat. Karena begitu Kampung Setan po-
rak-poranda, tersiar kabar bahwa sebuah senjata dahsyat bernama Kembang Darah
Setan berada di Kam-
pung Setan. Malah tersiar pula berita, kalau sebenarnya Kembang Darah Setan itu
masih memiliki rahasia
lagi di dalamnya!
Tersiarnya berita ini membuat para tokoh-tokoh
rimba persilatan mulai berlomba memburu. Kalau pa-
da awalnya para golongan putih dan golongan hitam
saling bersatu dalam memporak-porandakan Kampung
Setan, maka dalam hal pemburuan senjata itu, para
tokoh mulai saling bersaing untuk mendahului. Hal ini menimbulkan terjadinya
kacau balau. Terjadi saling
tuduh dan saling hasut! Belum lagi ditambah dengan tidak pernah kembalinya
beberapa orang yang coba-coba menyelidik ke Kampung Setan!
Galaga arahkan pandangannya ke jurusan lain.
Sebenarnya dia belum percaya benar dengan ucapan
Maladewa yang mengatakan dirinya adalah cucu eyang
gurunya. Namun melihat Kembang Darah Setan yang
sesekali pernah didengar ceritanya dan yakin yang di tangan Maladewa adalah
Kembang Darah Setan, sedikit banyak Galaga mulai bimbang akan ketidakper-
cayaannya. Yang membuatnya makin gelisah, mengapa
Maladewa menginginkan nyawanya" Alasan Maladewa
karena Galaga telah tahu rencananya bukanlah satu
alasan yang kuat. Ada hal lain mengapa Maladewa in-
ginkan nyawanya! Namun pada saat seperti sekarang
ini adalah sudah sangat terlambat untuk menanya-
kannya. Berpikir begitu, akhirnya Galaga ambil keputusan.
'Aku harus dapat menghindar dahulu! Aku perlu me-
nyelidiki tentang keberadaan Eyang Guru! Setelah itu baru aku bisa tentukan
langkah...."
"Maladewa!" ujar Galaga setelah kedua orang ini sama-sama berdiam diri untuk
beberapa lama. "Kembang Darah Setan telah berada di tanganmu! Berarti apa yang
kau inginkan tercapai! Kuharap dengan...."
"Belum, Galaga!" tukas Maladewa memotong uca-
pan Galaga. "Keinginanku belum semuanya tercapai!
Dan salah satunya adalah mencabut nyawamu!"
"Kau ini aneh! Kembang Darah Setan telah berada di tanganmu. Apa artinya nyawaku
bagimu"!"
"Saat ini bukan saat yang baik untuk bertanya! Seharusnya kau sudah berpikir
jauh-jauh sebelum ini!"
"Hem.... Jadi selama ini kau telah memendam rencana tidak baik!"
Maladewa tertawa panjang sebelum akhirnya ber-
kata. 'Tadi sudah kukatakan kau sangat terlambat
mengetahuinya! Bahkan tak mungkin tahu apa yang
telah terjadi!"
"Aku tidak menduga sama sekali, Maladewa...,"
gumam Galaga. Lalu tanpa sambut! ucapan Maladewa,
Galaga balikkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Galaga sudah siap
menghadapi apa yang akan terjadi seandainya Maladewa menghadang dan paksa-kan
niatnya. Hingga sambil berkelebat, Galaga kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Namun dugaan Galaga kali ini meleset. Meski dia
telah berkelebat, Maladewa tidak membuat gerakan
untuk menghadang atau lepaskan pukulan untuk me-
nahan gerakannya. Hingga Galaga bisa terus berkelebat. Begitu memasuki kawasan
hutan belantara lebat, Galaga sengaja memperlambat larinya sambil terus
berpikir. "Tak mungkin aku memasuki Kampung Setan dan melihat keadaan Eyang Guru
kalau Maladewa masih berada di sana! Aku harus menunggu sampai Ma-
ladewa pergi.... Hem.... Apa yang telah dilakukan Maladewa pada Eyang Guru"!
Mengapa pula Eyang Guru
tidak pernah cerita kalau Maladewa adalah cucunya
sendiri" Kembang Darah Setan.... Ternyata benda itu benar-benar ada! Dan selama
ini pasti berada di tan-
gan Eyang Guru.... Apakah kabar yang selama ini tersebar bahwa di dalam benda
itu masih tersimpan ra-
hasia, benar juga adanya"! Mudah-mudahan Eyang
Guru tidak mengalami apa-apa. Dengan begitu aku bi-
sa menanyakan urusan ini! Selama ini aku tidak bera-ni mengatakannya!
Herannya.... Mengapa Eyang Guru
sengaja turunkan ilmu 'Pantulan Tabir' padaku"! Se-
mentara tidak pada Maladewa"! Apakah hal ini dilakukan Eyang Guru agar aku tidak
kecewa dengan diberi-
kannya Kembang Darah Setan pada Maladewa"! Seha-
rusnya Eyang Guru tahu.... Aku tidak begitu tertarik dengan segala macam benda
pusaka kalau benda itu
memang harus diberikan pada cucunya! Dan...."
Mendadak Galaga putuskan gumamannya sendiri.
Bersamaan itu laksana disentak setan, langkah ka-
kinya terhenti. Sepasang matanya memandang tajam
ke depan dengan dada berdebar. Karena hanya sejarak delapan tombak di depan
sana, terlihat tegak satu sosok tubuh dengan kedua tangan merangkap di depan
dada. Kepalanya sedikit didongakkan.
"Maladewa!" desis Galaga mengenali siapa adanya sosok yang tegak seolah
menghadang jalannya. "Bagaimana dia tahu-tahu sudah muncul di situ"!"
"Galaga! Jangan mimpi kalau bisa teruskan langkah!"
"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu, Mala-
dewa!" "Sudah kukatakan berulang kali. Itulah satu ketololan mu! Dan kau telah
ditakdirkan untuk tewas tan-pa mengerti!"
Habis berkata begitu, Maladewa telah melesat ke
depan. Kedua tangannya sudah berkelebat lepaskan
pukulan jarak jauh selagi sosoknya berada di atas
udara sejarak dua tombak dari tempat Galaga.
Galaga tidak tinggal diam. Kalau tadi hanya seten-
gah hati dalam menghadapi Maladewa, kali ini dia
langsung melompat ke depan menyongsong pukulan
Maladewa dengan kedua tangan disentakkan.
Blammm! Blammm!
Hutan belantara lebat itu seketika disentak dengan
ledakan keras dan getaran hebat. Beberapa jajaran pohon tampak doyong lalu
tumbang. Rangasan semak
belukar terbabat sebelum akhirnya tersapu amblas!
Sosok Maladewa terhuyung-huyung ke belakang.
Sementara Galaga tampak terseret lima langkah. Na-
mun kedua orang ini cepat lipat gandakan tenaga da-
lam masing-masing. Saat lain keduanya telah sama
sentakkan tangan ke depan.
Empat gelombang dahsyat menderu dari dua juru-
san. Dua gelombang melesat dari kedua tangan Mala-
dewa, dua lagi berkiblat dari kedua tangan Galaga.
Namun tiba-tiba Maladewa tersentak. Dua gelom-
bang pukulannya laksana menghantam kekuatan dah-
syat. Hingga sebelum dua gelombang pukulannya ben-
trok dengan dua gelombang pukulan Galaga, dua ge-
lombang pukulannya mental balik. Bersamaan dengan
itu secara aneh dua gelombang pukulan Galaga me-
nyusul. Empat gelombang ini saling menyatu di udara.
Maladewa makin besarkan beliakan matanya. Ka-
rena begitu empat gelombang bersatu, gelombang itu
membubung ke angkasa. Lalu melesat dari satu arah
ke arah lainnya saling memantul di delapan penjuru mata angin!
Hebatnya, begitu gelombang itu memantul dari sa-
tu arah hendak menuju lain arah, Maladewa rasakan
tubuhnya tersentak-sentak! Hingga untuk beberapa
kali orang ini harus kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri dari sentakan
tubuhnya yang mengikuti pan-
tulan gelombang.
"Ilmu 'Pantulan Tabir!'" desis Maladewa dengan suara bergetar. Dia lipat
gandakan tenaga dalam untuk kuasai diri. Begitu gelombang berada di atas udara
dan akan memantul, dia segera saja lepaskan pukulan.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang kembali melesat ke arah gelombang
yang tadi memantul-mantul di atas udara. Namun Ma-
ladewa harus terkesiap. Belum sampai dua gelombang
pukulannya menghantam gelombang yang memantul,
Galaga telah sentakkan kedua tangannya. Bersamaan
dengan itu gelombang yang tadi pantul-memantul ke
delapan penjuru mata angin perdengarkan ledakan
dahsyat dan ambyar berkeping-keping! Pukulan ge-
lombang yang melesat dari kedua tangan Maladewa te-
rus amblas ke atas melabrak tempat kosong!
Dan pada saat gelombang yang tadi memantul am-
byar, sosok Maladewa terjengkang roboh di atas tanah!
Dari mulutnya mengucur darah. Tanda orang ini telah terluka dalam. Sementara di
seberang sana, Galaga
tampak terhuyung-huyung, tapi laki-laki ini cepat dapat kuasai diri.
Maladewa perlahan-lahan bergerak bangkit. Sepa-
sang matanya langsung menyengat angker ke arah Ga-
laga. Namun sesaat kemudian Maladewa tiba-tiba per-
dengarkan suara tawa bergerak panjang. Bersamaan
itu tangan kanannya menyelinap masuk ke balik pa-
kaiannya. "Dia akan pergunakan Kembang Darah Setan!
Meski aku belum pernah tahu kehebatan benda itu,
aku harus berhati-hati. Sebagai benda pusaka sakti
pasti memiliki kehebatan luar biasa!"
Memikir sampai di situ, Galaga cepat kerahkan se-
genap tenaga yang dimiliki. Di sebelah depan, Malade-
wa telah genggam tangkai Kembang Darah Setan yang
pancarkan sinar.
Maladewa menyeringai dingin. Tanpa berkata-kata
lagi dia segera melompat ke depan. Tangan kanannya
yang memegang Kembang Darah Setan segera digerak-
kan ke depan. Wuutt! Dari tangan kanan Maladewa berkiblat sinar ca-
haya berwarna merah, hitam serta putih.
Galaga sempat melengah melihat dahsyatnya sinar
dari Kembang Darah Setan. Namun dia segera sadar.
Cepat-cepat dia sentakkan kedua tangannya dengan
andalkan ilmu 'Pantulan Tabir'. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat
melesat dari kedua tangannya.
Hebatnya dua gelombang itu bukannya langsung me-
nyongsong tiga sinar yang kini menggebubu. Namun
melesat ke samping. Saat lain dua gelombang itu telah melesat dan memantul kian
kemari menghadang tiga
sinar! Namun kali ini Galaga harus waspada. Karena


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meski gelombang dari kedua tangannya mampu meng-
hadang lesatan tiga sinar yang melesat, tiga sinar itu tidak mampu disapunya
hingga mengikuti pantulan
gelombang! Hingga tiga sinar itu tampak terapung di udara!
Maladewa tidak menunggu lama. Mendapati Galaga
tidak menyapu tiga sinar yang keluar dari Kembang
Darah Setan, laki-laki ini untuk kedua kalinya sentakkan Kembang Darah Setan.
Hingga saat itu juga kem-
bali melesat tiga sinar berwarna merah, putih, dan hitam!
"Celaka!" gumam Galaga mengetahui bagaimana ti-ga sinar kini melesat kembali
dari arah depan. Laki-laki ini pejamkan sepasang matanya. Lalu dengan ke-
rahkan seluruh tenaga luar dan dalam, kedua tangan-
nya disentakkan.
Wuutt! Wuuutt! Dari kedua tangannya menghampar gelombang
dahsyat yang tak lama kemudian bergabung dengan
gelombang yang pantul memantul di udara mengha-
dang sinar dari Kembang Darah Setan.
Di lain pihak tiga sinar yang baru melesat dari
Kembang Darah Setan mendorong tiga sinar yang ter-
hadang gelombang. Begitu terdorong, mendadak tiga
sinar itu melesat deras ke depan!
Galaga tersentak. Tak ada jalan baginya untuk se-
lamat selain harus menghadang dari arah depan. Maka dengan membentak garang,
laki-laki ini sentakkan
tangannya ke belakang. Bersamaan itu gelombang
yang memantul tertarik. Saat Galaga mendorong ke
depan, gelombang yang tadi memantul di udara mele-
sat deras menyongsong sinar yang datang...
Blaarr! Blarrr!
Hutan belantara itu laksana diterjang gelombang
dahsyat hingga bergetar keras. Beberapa pohon basar langsung tumbang. Tanah di
mana terjadi benturan
pukulan muncrat sambil lima tombak ke udara.
Sosok Galaga langsung mencelat dan jatuh ter-
banting dengan punggung menghantam batangan po-
hon yang tumbang melintang. Darah mengucur dari
hidung dan mulutnya. Galaga rasakan sekujur tubuh-
nya panas luar biasa laksana dipanggang dalam bara.
Pakaian yang dikenakan tampak hangus di bagian de-
pan. "Rasanya sulit bagiku kalau harus berhadapan
dengan Kembang Darah Setan. Lagi pula aku harus
tahu bagaimana keadaan Eyang Guru! Aku harus la-
kukan sesuatu agar bisa selamatkan diri!" Galaga ber-
gerak duduk. Sepasang matanya mengedar berkeliling.
Saat itu suasana masih agak gelap karena terbungkus muncratan tanah serta
banyaknya tumbangan pohon.
Dan ketika dia memandang ke depan, samar-samar
terlihat sosok Maladewa tegak berdiri dengan tangan kanan mengangkat Kembang
Darah Setan. Galaga tidak tunggu lama. Dia kerahkan sisa tena-
ga dalamnya. Serta-merta kedua tangannya disentak-
kan ke depan. Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat menderu deras ke depan.
Beberapa batangan pohon yang melintang tersapu.
Saat yang sama, Galaga bergerak bangkit. Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Maladewa tampak tersenyum dingin mendapati be-
berapa batangan pohon menyapu ke arahnya. Dia
hanya gerakkan tangan kanannya yang menggenggam
Kembang Darah Setan.
Wuutt! Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat.
Brakk! Brakkk! Terdengar beberapa kali derakan. Beberapa batan-
gan pohon yang menghampar ke arah Maladewa lang-
sung porak-poranda dan hancur berkeping-keping!
Maladewa seakan tahu apa yang diperbuat Galaga.
Hingga hampir berbarengan dengan gerakan tangan
kanannya yang berkelebat, sosoknya langsung melesat ke depan. Meski dia
tertambat, tapi sepasang matanya masih dapat menangkap kelebatan sosok Galaga,
hingga sambil berkelebat mengejar, tangan kanannya
bergerak. Kembali hutan belantara itu dibuncah tiga kiblatan
sinar tiga warna. Merah, hitam, dan putih.
Di depan sana, Galaga rupanya sudah pula menga-
tur siasat. Hingga dia tidak berkelebat lurus. Tapi sengaja mengambil arah
berbelok-belok. Hingga kesulitan bagi Maladewa untuk arahkan hantaman tangan
kanannya yang memegang Kembang Darah Setan. Na-
mun laki-laki ini tidak ambil peduli. Tangan kanannya terus menerus menghantam,
hingga saat itu juga hutan belantara itu dibuncah suara derakan tumbangnya
beberapa pohon serta terbabatnya ranggasan semak
belukar. Udara di atas hutan pun tampak berubah ka-
rena sesekali tampak hamburan tanah dan daun-daun
yang membubung ke angkasa.
Pada satu tempat, tiba-tiba Maladewa hentikan ke-
lebatan tubuhnya. Tangan kanannya yang memegang
Kembang Darah Setan ditarik ke bawah. Sepasang ma-
tanya berkilat-kilat memandang berkeliling.
"Meski saat ini kau lolos, namun bukan berarti kau akan mendapat tempat untuk
sembunyikan diri, Galaga!" teriak Maladewa begitu dia tidak lagi melihat sosok
Galaga. Kehilangan jejak orang yang dikejar rupanya mem-
buat Maladewa marah besar. Karena yang ada di ha-
dapannya hanya jajaran pohon, maka semua kemara-
hannya ditumpahkan pada apa saja yang terlihat ma-
tanya. Tangan kanan yang memegang Kembang Darah
Setan dan tangan kirinya serta-merta bergerak.
Wuutt! Wuutt! Beberapa jajaran pohon dan semak belukar kemba-
li berderak dan bertaburan ke angkasa. Saat derakan dan hamburan semak belukar
sirap, sosok Maladewa
sudah tidak kelihatan lagi di tempat itu.
Begitu suasana kembali tenang, perlahan-lahan
semak belukar tidak jauh dari tempat di mana tadi Maladewa berdiri kalap
hantamkan kedua tangannya ka-
rena marah, tiba-tiba bergerak menyibak. Lalu tam-
paklah, satu sosok tubuh keluar dengan kepala bergerak ke samping kanan kiri dan
mata liar menyelidik.
Orang ini ternyata bukan lain adalah Galaga.
"Hem.... Aku harus mencari kesempatan! Pada beberapa hari ini mungkin Maladewa
masih berada di
Kampung Setan. Aku akan menyingkir dahulu...."
Habis bergumam begitu, Galaga putar kepalanya.
Saat kakinya bergerak, sosoknya melesat tinggalkan
tempat itu. * * * ENAM SEBELUM kita ketahui ke mana Maladewa berke-
lebat pergi dan ke mana pula Galaga sembunyikan diri setelah berhasil lolos dari
tangan maut Maladewa, kita ikuti dahulu peristiwa yang terjadi tiga hari sebelum
Maladewa dan Galaga bertemu.
Saat itu malam hampir saja menjelang. Keadaan
samar-samar sudah gelap. Namun hutan belantara
berbatasan dengan pesisir itu sudah tenggelam dalam kepekatan. Hujan rintik-
rintik yang turun sejak petang membuat suasana hutan kelam menggidikkan. Apalagi
samar-samar jauh di dalam hutan terdengar lolongan
anjing yang bersahut-sahutan.
Dalam kelamnya suasana, laksana hantu gen-
tayangan, satu sosok tubuh tampak berkelebat cepat
melintasi kekelaman hutan belantara. Melihat gera-
kannya, jelas sekali kalau sosok ini telah tahu benar seluk beluk tempat yang
dilalui. Hingga dalam beberapa saat saja sosoknya telah melewati hutan belantara
tanpa halangan suatu apa.
Sosok ini baru hentikan larinya tatkala di hada-
pannya tampak julangan-julangan batu karang yang
berjajar melingkar seakan membentuk pagar. Di ten-
gah julangan-julangan batu karang terlihat sebuah tanah terbuka yang pada
tengahnya tampak sebuah al-
tar batu. Tidak jauh dari altar batu tampak menggugus satu gundukan batu yang di
bagian kedua ujungnya
terdapat batu pipih mirip batu nisan. Batu menggugus ini panjangnya kira-kira
dua tombak. Karana di bagian kedua ujungnya terdapat batu pipih, sementara
gugusan batu itu menggunduk, sepintas saja orang yang
melihat pasti sudah dapat menduga kalau gugusan ba-
tu itu adalah sebuah makam.
Dalam beberapa tahun silam, tempat yang dikeli-
lingi julangan-julangan batu karang yang seakan me-
magari makam batu inilah yang sempat membuat geg-
er dunia persilatan dan sempat menjadi tempat angker dan dijuluki orang dengan
Kampung Setan. Beberapa
tokoh rimba persilatan yang coba-coba menyelidik ke tempat ini banyak yang tidak
terdengar lagi kabar beri-tanya.
Sejenak sosok tubuh yang tegak memandang ju-
langan-julangan batu karang edarkan pandangannya
berkeliling. Dia adalah seorang laki-laki bermata tajam.
Rambutnya panjang sebahu, paras wajahnya agak
tampan. Sosoknya kekar.
Setelah edarkan mata berkeliling, laki-laki ini
membuat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-
tahu telah tegak di antara salah satu julangan batu karang. Kepala laki-laki ini
kembali berputar. Saat lain dia melangkah mendekati julangan batu karang di
hadapannya. Dengan mata melirik ke samping kiri kanan, tan-
gan kanannya bergerak menjulur ke depan. Laki-laki
ini tampak menekan pada permukaan batu karang di
depannya. Pada saat yang sama, terdengar suara ber-
derit gesekan batu.
Laki-laki di hadapan batu karang tidak menunggu
lama. Julangan batu karang di hadapannya tiba-tiba
menguak terbuka. Kepala si laki-laki sesaat berputar sekali lagi. Jelas kalau
laki-laki ini waspada dan tak mau diketahui orang. Saat dirasa aman, laki-laki
ini melangkah panjang-panjang memasuki julangan batu
karang yang ternyata memiliki pintu rahasia.
Begitu sosok si laki-laki lenyap masuk, batu karang yang terbuka menutup lagi.
Si laki-laki cepat edarkan pandangan. Tempat itu ternyata mirip sebuah ruangan.
Dan tempat itu terang benderang karena di bagian pojok tampak sebuah obor yang
menyala. Di bawah
obor, tampak sebuah ruangan kecil yang pada bagian
tengahnya terdapat tempat datar dari batu karang ber-bentuk persegi panjang
sebesar satu tombak berkeliling. Si laki-laki yang baru masuk langsung arahkan
pandangan matanya ke ruangan di bawah obor. Bukan
pada batu karang persegi panjang, namun pada satu
sosok tubuh yang duduk bersila di atas batu karang
persegi panjang. Sosok ini adalah seorang perempuan berusia amat lanjut. Seluruh
wajahnya sudah mengeriput. Rambutnya yang telah putih tampak sangat tipis sekali
hingga batok kepalanya terlihat jelas. Kelopak sepasang matanya yang menjorok
masuk tampak terpejam rapat. Kedua tangannya yang ringkih bersede-
kap merangkap di dada. Nenek ini mengenakan pa-
kaian warna putih bersih.
Si laki-laki bergerak melangkah. Dan berhenti
hanya sejarak delapan langkah di depan ruangan ma-
na si nenek berada. Untuk beberapa lama si laki-laki memandang pada si nenek
dengan seksama. Namun
sejauh ini mulutnya masih terkancing tidak perden-
garkan suara meski jelas kalau si laki-laki sudah tidak sabaran.
"Maladewa...." Mendadak si nenek perdengarkan suara. Meski sosoknya terlihat
ringkih dan mulutnya membuka sedikit, namun suara yang diperdengarkan
sangat berat dan menggema ke Seantero ruangan!
Si laki-laki yang dipanggil Maladewa sejurus tam-
pak tersentak kaget. Tapi dia belum juga buka mulut.
Dia hanya memandang dengan sikap makin gelisah.
"Maladewa! Kau tahu, saat ini bukan waktunya
kau dating!" Si nenek kembali buka mulut. Namun sepasang matanya tetap terpejam
rapat. "Aku tahu!" Maladewa menyahut. "Tapi ada sesuatu yang mengharuskan ku datang!"
Si nenek buka kelopak matanya. Memandang seje-
nak pada obor di atasnya lalu mulutnya meniup den-
gan kepala sedikit didongakkan.
Terdengar siuran angin. Di lain saat, tiba-tiba obor yang menyala padam! Ruangan
di dalam julangan batu
karang itu hitam pekat.
"Katakan padaku, Maladewa! Apa yang membuat-
mu datang bukan pada waktunya!" Si nenek perdengarkan suara lagi. Namun suaranya
kali ini tidak bisa ditentukan bersumber dari mana. Karena suara itu
laksana diperdengarkan dari delapan jurusan mata
angin! Maladewa tidak segera menjawab. Sebaliknya
laki-laki ini pentang mata besar-besar memandang ke arah batu persegi panjang di
mana tadi si nenek duduk bersila. Laki-laki ini sejenak terkesiap. Karena
matanya tidak lagi melihat sosok si nenek di atas batu!
Mendapati hal demikian, Maladewa tampak geram.
Dia cepat balikkan tubuh lalu melompat dan tegak di tengah ruangan dengan kepala
mendongak. Saat lain
tanpa gerakan kepala berpaling, dia bersuara.
"Nek! Bertahun-tahun aku merahasiakan siapa diriku pada Galaga! Hingga yang dia
tahu sampai seka-
rang adalah bahwa di antara kita berdua hanya hu-
bungan sebagai guru dan murid!"
"Hem.... Hanya itu yang membuatmu datang, Cu-
cuku..."!" Terdengar suara si nenek namun tidak jelas di mana dia beradanya.
Suaranya masih menggema
dari delapan arah.
"Nek! Rasanya usiaku telah cukup. Usiamu juga telah lanjut! Sudah saatnya kau
serahkan semua wari-
san leluhur penguasa Kampung Setan ini padaku! Aku
khawatir kalau Galaga mencium siapa adanya kita
berdua!" "Maladewa cucuku.... Kau tidak usah khawatir
dengan Galaga! Aku percaya penuh padanya! Dia tidak mungkin membocorkan keadaan
Kampung Setan ini di
luaran sana! Dia murid baik! Tak mungkin berani
berkhianat, apalagi dia telah bersumpah sebelum kuangkat sebagai muridku!" Si
nenek hentikan ucapannya sejenak. Tak lama kemudian terdengar lagi ucapannya.
"Tentang permintaanmu, Cucuku. Kau harus ber-
sabar. Saat itu pasti akan tiba! Tapi bukan sekarang!"
"Hem.... Lalu sampai kapan" Kau bisa tentukan
waktunya"!" tanya Maladewa masih dengan tegak di tengah ruangan dan kepala
mendongak. "Seperti pendahulu ku. Aku tidak boleh mengatakan saat tibanya waktu itu! Tapi


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasti akan datang!
Dan semua permintaanmu akan terpenuhi meski kau
tidak memintanya! Dan karena kau adalah generasi terakhir, maka kau akan
mendapat tugas penting yang
sebelumnya tidak pernah kulakukan!"
"Tugas apa itu"!"
"Kau nanti akan mengetahuinya bila upacara pe-
nyerahan berlangsung!"
Beberapa saat antara kedua orang ini tidak ada
yang perdengarkan suara. Namun tak lama kemudian,
Maladewa tampak buka mulut lagi.
"Nek! Kau tidak mengada-ada dengan keterangan
yang kau ucapkan"!"
Terdengar suara tawa berat menggema. Lalu dis-
usul dengan suara si nenek.
"Untuk apa aku mengada-ada keterangan, Cucuku!
Kau adalah generasi terakhir dari Kampung Setan
yang harus mengemban tugas! Jadi kelak tidak ada la-gi yang perlu disembunyikan
lagi!" "Begitu"! Lalu mengapa kau masih sembunyikan
sesuatu dariku"!"
Sesaat tak ada sahutan. Maladewa ganti perden-
garkan suara tawa sebelum akhirnya berkata. "Nek!
Mengapa kau diam saja"!" "Coba katakan apa yang ka-tamu ku sembunyikan!'
"Mengapa kau turunkan Ilmu
'Pantulan Tabir' pada Galaga"! Sementara aku sebagai generasi terakhir dan
cucumu kau abaikan"! Padahal
sudah beberapa kali aku meminta padamu untuk tu-
runkan ilmu itu!"
"Maladewa! Galaga sengaja kuambil murid untuk
mendampingimu kelak dalam melaksanakan tugas!
Dan sengaja ilmu itu kuturunkan dahulu padanya
agar dapat menjaga diri.... Karana selama ini dialah yang sering keluar! Lebih
dari itu, kau tak usah khawatir. Kau juga akan segera menerima ilmu itu begitu
saatnya dekat dengan upacara penyerahan!'
"Rasanya itu bukan satu alasan yang masuk akal, Nek! Tidak ada salahnya bukan
kalau ilmu itu kau turunkan jauh sebelum upacara penyerahan"! Kau se-
pertinya mendahulukan orang lain daripada cucumu
sendiri! Aku menduga ada apa-apa di balik semua ini!"
"Maladewa! Jangan berprasangka buruk padaku!
Adalah tindakan bodoh jika seorang nenek mendahu-
lukan kepentingan orang lain daripada cucunya!"
"Aku tidak bisa percaya dengan ucapanmu, Nek!"
"Dengar, Maladewa! Aku tak suka dengan sikapmu yang kurang ajar berani berkata
begitu padaku! Kau juga datang bukan pada saatnya! Kuperintahkan kau
agar segera keluar dari sini!"
"Kau jangan lupa, Nek! Kita sama-sama berhak
atas warisan leluhur! Dan aku minta saat ini juga warisan itu diberikan padaku!"
"Ucapanmu benar, Maladewa! Tapi aku tak berani melanggar pesan! Semua warisan
boleh kau miliki setelah upacara penyerahan berlangsung! Lain dari saat itu, kau
tidak akan memperoleh apa-apa. Aku pun tak berani memberikan padamu!"
"Kalau begitu aku akan mengambil dengan caraku sendiri!"
"Jangan bicara sembarangan, Maladewa! Kau me-
nyalahi peraturan yang berlaku di Kampung Setan ini!"
"Aku tak peduli! Karena kau juga telah bertindak ceroboh turunkan ilmu 'Pantulan
Tabir' pada orang selain keturunan dari Kampung Setan!"
Habis berkata begitu, Maladewa gerakkan tubuh
berputar. Sepasang matanya terpentang besar coba
tembusi kepekatan suasana. Namun sejauh ini ma-
tanya tak bisa menangkap di mana beradanya si ne-
nek. "Nek! Kau kira aku tak bisa berbuat sesuatu meski aku tak bisa melihat kau
berada di mana"!"
Tak ada suara sahutan. Maladewa angkat kedua
tangannya. Saat lain laki-laki ini sentakkan tangannya
sambil berputar.
Terdengar suara melesatnya beberapa gelombang
yang datang susul menyusul. Lalu terdengar suara
gemuruh dahsyat tiada hentinya. Ruangan dalam ju-
langan batu karang itu bergetar keras. Keadaannya
makin pekat karena hamburan beberapa pecahan batu
karang. "Hentikan, Maladewa!" tiba-tiba terdengar teriakan si nenek.
Maladewa hentikan gerakan kedua tangannya serta
putaran tubuhnya. "Berikan warisan itu padaku! Atau kau ingin tempat ini porak-
poranda!" "Maladewa...." Terdengar suara si nenek. Kali ini nadanya lembut meski suaranya
berat. "Bersabarlah!
Saatnya pasti akan tiba!"
"Aku tak akan menunggu saat yang belum pasti
kapan datangnya! Aku minta saat ini juga!"
Habis berkata begitu, Maladewa kembali angkat
kedua tangannya. Namun sebelum kedua tangannya
sempat bergerak, terdengar suara si nenek. Namun
kali ini suaranya keras.
"Maladewa! Aku telah memperingatkanmu! Tapi
rupanya kau keras kepala! Sekarang katakan apa yang kau minta!"
"Kembang Darah Setan!" jawab Maladewa dengan suara tak kalah kerasnya.
"Benda itu harus kau terima saat penyerahan, Maladewa!"
"Persetan dengan upacara penyerahan! itu hanya omong kosong belaka! Buktinya
sudah berapa tahun
aku menunggu! Tapi apa yang ku dapati"! Hanya
tunggu dan tunggu! Sementara orang lain telah men-
dapatkannya meski tidak meminta!"
"Hem.... Jadi kau tidak sabar menunggu upacara
penyerahan itu"! Dan memintanya sekarang"!"
"Nek! Kau telah dengar ucapanku!"
"Baik! Ini permintaanmu! Aku pun tak akan menolak apa yang kau minta karena itu
memang hakmu!"
Suasana ruangan di dalam julangan batu karang
sejenak hening. Maladewa tegak menunggu dengan
dada berdebar. Tiba-tiba laki-laki ini tersentak tatkala matanya menangkap
cahaya sinar. Dia cepat balikkan
tubuh menghadap sumber berpencarnya cahaya. Na-
mun dia tersentak tatkala melihat cahaya sinar ber-
warna merah, hitam serta putih itu melesat ke arah-
nya! Maladewa cepat rundukkan tubuh dengan lutut
sedikit ditekuk. Saat bersamaan kedua tangannya bergerak berkelebat ke atas
menyahut cahaya yang menu-
ju arahnya. Tappp! Cahaya tiga warna tersahut kedua tangan Malade-
wa. Laki-laki ini merasakan hawa hangat merasuki sekujur tubuhnya.
"Kembang Darah Setan!" desis Maladewa dengan mata membeliak besar perhatikan apa
yang kini berada dalam tangannya. Perlahan-lahan dia turunkan
tangannya. "Maladewa! Kau telah mendapatkan apa yang jadi hakmu! Tapi ingat, hal itu kau
peroleh tanpa upacara penyerahan! Aku tak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah
kemauanmu! Sekarang segeralah angkat kaki
dari ruangan ini!"
Maladewa angkat kepalanya. "Kembang Darah Se-
tan telah berada di tanganku! Siapa pun juga tak berhak memberi perintah! Justru
akulah sekarang yang
buat aturan dan keluarkan perintah!"
"Maladewa! Kau jangan...."
"Kuperintahkan kau agar unjuk diri, Nek!" potong Maladewa.
"Maladewa! Kau...."
Lagi-lagi Maladewa sudah memotong ucapan si ne-
nek sebelum suaranya selesai.
"Nek! Kau dengar ucapanku! Lekas unjuk diri!" Selesai berucap begitu, Maladewa
angkat Kembang Darah Setan yang ada di tangan kanannya.
Karena ditunggu agak lama si nenek tidak juga tu-
ruti ucapan Maladewa, laki-laki ini habis kesabaran.
Kedua tangannya serta-merta bergerak. Tangan kanan
hantamkan Kembang Darah Setan sementara tangan
kiri lepas pukulan bertenaga dalam tinggi.
Ruangan dalam julangan batu karang ini dibuncah
dengan menderunya gelombang dahsyat dan berkib-
latnya beberapa sinar tiga warna. Sambil lepaskan pukulan tangan kiri kanan,
Maladewa putar tubuh.
Terdengar suara bergemuruh luar biasa. Karena
ruangan itu diterangi sinar terang tiga warna, maka tampaklah jika ruangan itu
telah porak-poranda. Bahkan di sana-sini tampak longsoran batu karang. Malah
batu persegi panjang di mana tadi si nenek duduk bersila telah hancur
berantakan! Tiba-tiba dari arah sudut sebelah timur terdengar
suara bentakan keras membahana. "Maladewa! Kau telah hancurkan tempat
persemadian leluhur mu! Kau
kelak akan menerima akibat dari ulah mu ini!"
Maladewa tidak menyahut. Sebaliknya cepat putar
tubuh menghadang suara yang baru terdengar. Begitu
tubuhnya bergerak memutar, kedua tangannya berge-
rak menyentak. Blaarr! Ruangan sebelah timur langsung longsor. Namun
satu bayangan putih sudah melesat terlebih dahulu
sebelum gelombang dan sinar tiga warna menghantam.
Kepala Maladewa cepat bergerak mengikuti mele-
satnya bayangan putih yang bukan lain adalah sosok si nenek. Saat bersamaan,
Maladewa hantamkan tangan kanan kirinya.
Wusss! Bayangan putih mencelat mental lalu menghantam
langit-langit ruangan. Anehnya bayangan putih itu tidak langsung meluncur ke
bawah meski baru saja ter-
hantam. Sebaliknya menempel erat pada langit-langit ruangan!
"Maladewa! Kau boleh memiliki Kembang Darah Setan. Tapi bukan berarti kau dapat
membunuh dengan
benda itu!"
Maladewa terkesiap. Suara itu tidak terdengar dari
langit-langit ruangan. Melainkan dari sudut ruangan sebelah barat!
Memandang ke sebelah barat, samar-samar Mala-
dewa menangkap satu sosok bayangan putih. Malade-
wa sesaat ingin meyakinkan. Lalu sekonyong-konyong
kedua tangannya bergerak menghantam!
Sosok bayangan putih tidak membuat gerakan
menghindar, hingga tak ampun lagi gelombang dah-
syat dan sinar tiga warna yang melesat dari Kembang Darah Setan menghantam
telak! Bayangan putih mencelat menghantam dinding
ruangan di belakangnya. Anehnya Maladewa tidak
mendengar suara pekik atau seruan. Sebaliknya laki-
laki ini mendengar suara berderit jauh di belakangnya.
Maladewa sadar. Dia buru-buru putar tubuh. Ter-
nyata bagian mana tadi Maladewa masuk telah terbu-
ka. Saat bersamaan, satu sosok bayangan putih berkelebat keluar!
"Bangsat! Aku tertipu! Dia tadi telah peragakan il-
mu 'Pantulan Tabir'!" desis Maladewa. Dia cepat mengejar. Namun begitu keluar
dari ruangan dalam julangan batu karang, sosok si nenek sudah lenyap! Dan
bersamaan keluarnya sosok Maladewa, pintu batu ka-
rang menutup kembali.
Maladewa pandangi Kembang Darah Setan yang
tergenggam di tangannya. Bibirnya sunggingkan se-
nyum. "Galaga! Saatnya kau harus mampus! Aku tak ingin Kampung Setan dimasuki
manusia selain dari
keturunan penguasa Kampung Setan! Setelah itu....
Aku akan mencari di mana jejaknya tua bangka itu!"
Maladewa masukkan Kembang Darah Setan ke ba-
lik pakaiannya. Kepalanya berputar dua kali dengan
mata menembusi kegelapan malam yang semakin la-
rut. Saat lain laki-laki ini membuat gerakan satu kali.
Gerakannya ini serta-merta melesatkan tubuhnya me-
ninggalkan pelataran Kampung Setan.
* * * TUJUH DUA orang sama berpacu cepat menuju sebelah
timur hutan belantara di mana Kampung Setan bera-
da. Orang di sebelah depan memanggul satu sosok tu-
buh yang dari mulut dan hidungnya tampak kucurkan
darah. Sosok yang dipanggul orang tampak tidak ber-
gerak-gerak. Sementara orang yang di sebelah bela-
kang berlari sambil sesekali putar kepala dan mem-
perhatikan sosok yang ada di panggulan orang di de-
pannya. Begitu memasuki kawasan yang dipagari julangan-
julangan batu karang, orang di sebelah depan yang
memanggul sosok tubuh berlumuran darah hentikan
larinya. Orang ini memandang berkeliling sebentar, la-lu dengan enaknya bahunya
bergerak. Sosok tubuh
yang berada di panggulnya serta-merta jatuh bergedebukan di atas hamparan batu
tidak jauh dari gundukan makam batu yang ada ditengah-tengah beberapa
julangan batu karang.
Orang yang berlari di sebelah belakang ikut henti-
kan larinya tidak jauh dari orang yang baru saja ja-tuhkan sosok tubuh di
panggulannya. Kedua orang ini sejenak saling pandang.
Orang yang tadi berlari di sebelah depan sambil
membawa sosok tubuh di pundaknya adalah seorang
laki-laki berperawakan kekar. Rambutnya panjang
menutupi bahu dan sebagian wajahnya. Parasnya
tampan. Matanya tajam. Dagunya kokoh. Laki-laki ini mengenakan pakaian warna
putih. Sementara orang yang tadi berlari di sebelah bela-
kang adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar.
Raut wajahnya juga tampan. Sepasang matanya juga
tajam. Orang yang tadi berlari di sebelah depan angkat
kepalanya, lalu berteriak.
"Maladewa! Kami berdua datang!"
Gema suara orang belum lenyap, mendadak dari
salah satu lamping julangan batu karang yang berjajar memagari makam batu
melesat satu sosok tubuh. Ternyata dia adalah juga seorang laki-laki dan bukan
lain adalah Maladewa.
Maladewa tegak di hadapan dua laki-laki yang baru
datang. Sejurus mata Maladewa perhatikan dua laki-
laki di hadapannya. Lalu melirik pada orang yang ter-bujur diam berlumuran darah
di bawah. "Kami hanya berhasil membawa mayat Nyai Randu
Abang!" berkata laki-laki yang tadi berlari di sebelah depan.
"Dadaka!" kata Maladewa menyebut nama laki-laki yang tadi berlari di sebelah
depan. "Satu purnama kau dan Kigali kuberi waktu untuk laksanakan tugas ini.
Nyatanya yang kalian bawa hanya mayat perempuan


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak berguna ini!"
Dadaka berpaling pada laki-laki yang tadi berlari di sebelah belakang yang
disebut Maladewa dengan nama
Kigali. Kedua orang ini sejurus saling pandang. Setelah Dadaka anggukkan kepala,
Kigali buka mulut angkat
bicara. "Maladewa! Satu purnama waktu yang kau berikan ternyata terlalu pendek untuk
mencari jejak manusia macam Galaga! Kuharap kau mengerti! Dan untuk sementara
ini kami berdua hanya mampu membawa
mayat Nyai Randu Abang, salah satu orang yang nya-
wanya kau inginkan!"
"Betul!" timpal Dadaka. "Lagi pula, dengan tewas-nya Nyai Randu Abang, Galaga
pasti akan segera unjuk tampang keluar dari persembunyiannya! Karena
kau tahu sendiri, Nyai Randu Abang adalah kekasih
Galaga!" Maladewa memandang silih berganti pada Dadaka
dan Kigali. Lalu beralih pada sosok berlumur darah di bawah yang ternyata adalah
seorang perempuan. Raut
wajahnya hampir tidak bisa dikenali karena di sana-
sini banyak dibercaki darah.
"Bagaimana dengan jejak si nenek tua bangka
itu"!" tanya Maladewa.
"Sejauh ini kami belum mendapatkan jejaknya!
Kau tahu sendiri, nenek itu hanya kami kenali ciri-
cirinya saja tanpa kami kenali wajahnya. Itu salah satu
kesulitan kami dalam mencari jejaknya!" Yang angkat bicara menyahut adalah
Dadaka. "Tapi kau tak usah cemas! Kami berdua akan tetap mencari di mana jejak si nenek
itu sekaligus jejak Galaga! Aku menduga kedua orang ini bersatu dan sem-
bunyi pada satu tempat!" sahut Kigali.
"Berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk
membawa kedua orang itu mati atau hidup ke hada-
panku"!"
"Yang kami hadapi bukan orang sembarangan! Jadi kami tak bisa tentukan batas
waktunya!" ujar Dadaka.
"Benar. Maladewa! Apalagi saat ini rimba persilatan sedang geger dengan
banyaknya tokoh yang terbunuh
secara misterius! Kami harus bertindak hati-hati agar tidak sampai dicurigai!"
sahut Kigali seraya memandang berkeliling.
Maladewa untuk kesekian kalinya memandang sa-
tu persatu pada kedua laki-laki di hadapannya. "Kalian telah katakan bisa
membawa orang-orang yang kuinginkan dalam waktu tidak lama. Kini ucapan kalian
berbalik! Katakan saja kalau kalian tidak mampu!" ka-ta Maladewa dengan suara
agak keras. Dadaka dan Kigali tampak sama gelengkan kepala.
"Kami berdua telah ambil risiko dengan berani lakukan apa yang kau ucapkan! Bagi
kami itu adalah taruhan
nyawa! Kalau kami merasa tidak mampu, apa mungkin
kami berani lakukan ini"!" kata Dadaka.
"Benar'" sahut Kigali. "Apalagi kini mulai tercium bahwa terbunuhnya tokoh-tokoh
rimba persilatan ada
kaitannya dengan penghuni Kampung Setan ini! Dan
tersiar pula kalau Maladewa adalah salah seorang yang tersisa dari penghuni
Kampung Setan! Maka dari itu
kami harus selalu waspada agar tidak sampai diketahui kalau kami berdua adalah
orang-orang suruhan-
mu!" Sesaat Maladewa tampak terdiam. Diam-diam laki-
laki ini membatin dalam hati. "Jika benar bahwa apa yang kulakukan telah tercium
beberapa orang, maka
kedua orang ini pun harus segera mampus! Jika tidak, aku khawatir keduanya akan
berkhianat dengan se-barkan berita! Jika itu terjadi, Kampung Setan akan menjadi
bulan-bulanan kalangan rimba persilatan seperti yang pernah terjadi pada
beberapa puluh tahun silam! Dan itu berarti kebangkitan Kampung Setan tidak akan
terwujud! Kembang Darah Setan memang te-
lah ku genggam. Dan dengan Kembang Darah Setan di
tanganku, rasanya tidak sulit menghadapi manusia-
manusia yang hendak menghalangi bangkitnya pengu-
asa Kampung Setan, tapi aku tidak menginginkan hal
itu terjadi saat ini! Setidaknya sebelum tua bangka itu dan Galaga tewas!"
Berpikir begitu, pada akhirnya Maladewa berkata.
"Dadaka, Kigali! Sesuai dengan kesepakatan, sebenarnya kalian saat ini harus
sudah membawa dua orang
yang kuinginkan. Aku masih berbaik hati pada kalian!
Tapi aku tak mau kalau kalian tidak bisa memberi batasan waktu padaku untuk
membawa dua orang itu!"
"Maksudmu"!" tanya Dadaka seraya lempar kerlin-gan pada Kigali.
"Kalian kuberi waktu sampai delapan hari di muka!
Jika sampai hari itu kali in tidak juga berhasil, kalian tahu bukan apa yang
harus kalian lakukan"!"
"Maladewa! Rasanya waktu yang kau berikan terla-lu sempit jika harus membawa dua
orang itu! Dengan
tersebarnya berita di kalangan dunia persilatan tentang siapa sebenarnya Galaga,
pasti Galaga akan coba sembunyi sejauh mungkin!" ucap Kigali.
"Persetan sembunyi sejauh mana jahanam itu!
Yang jelas kalian berdua telah menerima imbalan da-
lam laksanakan hal ini! Dan seharusnya kalian ber-
syukur aku telah memperpanjang dari waktu yang ka-
lian janjikan!" Maladewa pandangi satu persatu orang di hadapannya dengan
tatapan angker. Lalu teruskan
ucapan. "Delapan hari di muka itulah waktu untuk kailan berdua! Dan kalian
ingat, delapan hari adalah sisa umur kailan berdua kalau kalian tidak berhasil
membawa dua orang yang kuinginkan!"
Kigali melangkah mendekat pada Dadaka lalu ber-
bisik. "Perkiraan kita meleset! Berarti kita harus laksanakan rencana sekarang
juga! Jika tidak, nyawa kita pasti melayang terlebih dahulu! Kita tidak mungkin
menemukan dua orang yang diinginkannya dalam
waktu delapan hari!"
Dadaka anggukkan kepala. Lalu melangkah men-
dekat ke arah Maladewa dengan bibir sunggingkan se-
nyum. "Maladewa! Kami telah berani lakukan keingi-nanmu yang berarti kami juga
telah siap serahkan
nyawa! Maka dari itu, dalam waktu delapan hari ini
kami akan mencari dua orang itu! Jika tidak berhasil, kami dengan suka rela akan
serahkan nyawa masing-masing padamu!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali
oleh Maladewa, kedua tangan Dadaka bergerak lepas
satu pukulan ke arah Maladewa yang berdiri hanya
dua langkah di hadapannya.
Maladewa tersentak. Dia masih coba mengelak se-
lamatkan diri dengan tarik kepalanya. Namun tak
urung dadanya terhantam tangan kanan Dadaka.
Bukkk! Sosok Maladewa terjajar dua langkah. Belum sem-
pat orang ini membuka gerakan, Kigali telah berkelebat dan hantamkan tangan kiri
kanan. "Jahanam!" maki Maladewa. Kedua tangannya diangkat menghadang pukulan yang
datang. Namun bersamaan dengan itu Dadaka sudah merangsek maju
sambil kirimkan satu tendangan.
Bukk! Bukkk! Desss! Maladewa masih sanggup menghadang kedua tan-
gan Kigali. Namun tendangan yang dilepas Dadaka tak bisa dielakkan, hingga tanpa
ampun lagi sosoknya terjengkang di atas hamparan batu.
"Jangan beri kesempatan tangannya mengambil
Kembang Darah Setan!" bisik Kigali.
Belum sampai ucapan Kigali selesai, Dadaka sudah
sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua gelombang
dahsyat saat itu juga menggebrak deras ke arah Maladewa. Kigali tidak tinggal
diam. Kedua tangannya se-rentak juga lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam
tinggi ke arah Maladewa.
Maladewa sejenak hendak selinapkan tangan ka-
nannya ke balik pakaiannya di mana tersimpan Kem-
bang Darah Setan. Namun gelombang yang mengge-
brak sudah berada setengah depa di depannya. Hingga mau tak mau Maladewa harus
segera urungkan niatnya untuk mengambil Kembang Darah Setan. Sebalik-
nya dia segera menghadang gelombang yang datang
dengan sentakkan kedua tangannya.
Blammm! Blammm!
Terdengar ledakan keras. Sosok Maladewa yang
terhantam di batu mencelat jauh ke belakang. Semen-
tara sosok Dadaka dan Kigali hanya terhuyung-huyung sejenak. Namun kedua orang
ini rupanya tidak mau
memberi kesempatan pada Maladewa. Begitu sosok
Maladewa mencelat, keduanya cepat lipat gandakan
tenaga dalam lalu hampir berbarengan keduanya ber-
kelebat mengejar sosok Maladewa. Kedua orang ini
sengaja berpencar. Datang menyongsong Maladewa da-
ri sebelah kanan dan kiri.
Maladewa tampak gertakkan rahang. Dia segera
bangkit dengan tangan sudah menyelinap ke balik pa-
kaiannya. Namun belum sampai tangannya mengelua-
rkan Kembang Darah Setan, sosok Dadaka dan Kigali
telah tegak di sebelah kanan kirinya!
Seolah tidak mau didahului tangan kanan Malade-
wa yang hendak keluarkan Kembang Darah Setan, Da-
daka dan Kigali langsung lepaskan tendangan kaki
masing-masing. Maladewa sesaat bimbang. Kalau dia teruskan niat
ambil Kembang Darah Setan, maka tak ampun lagi
tendangan orang akan menghantam tubuhnya. Di satu
sisi, kalau dia urungkan niat ambil Kembang Darah
Setan, mungkin masih dapat menghadang datangnya
tendangan. Karena berpikir bahwa masih dapat membendung
tendangan orang dan dengan demikian masih punya
kesempatan mengambil Kembang Darah Setan, pada
akhirnya Maladewa urungkan niat ambil Kembang Da-
rah Setan. Sebaliknya segera sentakkan tangan kanan kirinya ke samping kanan dan
kiri menghadang tendangan orang.
Bukkk! Bukkk! Perhitungan Maladewa tidak meleset. Kedua ten-
dangan yang datang dari samping kanan kiri berhasil dihadang meski sosoknya
harus terseret ke belakang
dengan kedua tangan mental balik. Namun perhitun-
gan Maladewa tidak seluruhnya benar. Karena bersa-
maan dengan mentalnya kaki Dadaka dan Kigali ter-
hadang kedua tangan Maladewa, Dadaka dan Kigali
serta-merta sentakkan tangan masing-masing lepas
pukulan! Maladewa terkesiap. Kalau datangnya pukulan dari
satu arah mungkin masih bisa dihadang. Namun da-
tangnya pukulan kali ini justru dari dua jurusan. Ini membuat Maladewa sedikit
kebingungan. Menghadang
keduanya pasti akan membuat dirinya cedera parah,
menghadang salah satunya, pasti pukulan satunya
dengan telak akan menghantam tanpa bisa dielakkan
lagi! Pada puncak kebingungannya, akhirnya Maladewa mengambil keputusan
menghadang kedua pukulan
dengan sentakkan kedua tangannya ke samping kanan
kiri. Blaar! Blarr!
Terdengar dentuman hebat tatkala pukulan Dada-
ka dan Kigali bertemu dengan pukulan Maladewa. Ka-
rena harus mengimbangi dua pukulan, maka begitu
terdengar ledakan, sosok Maladewa mencelat sebelum
akhirnya terkapar dengan menghantam gundukan ba-
tu makam di tengah tempat terbuka itu. Darah tampak mengucur deras dari mulutnya
yang megap-megap.
Sementara sosok Dadaka dan Kigali sama jatuh
terduduk. Karena masih khawatir Maladewa hendak
keluarkan Kembang Darah Setan, kedua orang ini ce-
pat beranjak bangkit. Kigali memberi isyarat. Lalu berkelebat ke arah altar batu
tidak jauh dari makam itu.
Di lain pihak, Dadaka cepat hantamkan kedua tan-
gannya. Hingga saat itu juga dua gelombang dahsyat
menghampar deras ke arah Maladewa yang coba bang-
kis. Tangan kanan Maladewa ternyata telah berhasil
keluarkan Kembang Darah Setan, hingga sambil berge-
rak bangkit, tangan kanannya diangkat. Lalu disen-
takkan begitu telinganya mendengar deruan gelom-
bang datang ke arahnya.
Wuuutt! Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih ber-
kiblat. Gelombang yang keluar dari kedua tangan Dadaka
serta-merta ambyar di tengah jalan. Malah saat itu ju-ga sosok Dadaka mencelat
dan jatuh terjengkang.
Namun bersamaan dengan bergeraknya tangan ka-
nan Maladewa, Kigali yang berada di atas batu altar je-jakkan kakinya pada
bagian tengah batu altar. Bersamaan itu, kedua tangannya bergerak lepaskan satu
pukulan jarak jauh.
Terjadi satu keanehan. Begitu kaki Kigali menjejak
bagian tengah batu altar, tiba-tiba makam batu di belakang Maladewa bergerak-
gerak. Saat lain makam ba-
tu itu secara aneh membuka! Hingga tepat di belakang Maladewa tampak lobang
menganga besar!
"Keparat! Dia tahu rahasia makam batu ini!" desis Maladewa dengan mata melirik
pada Kigali. Maladewa hendak sentakkan Kembang Darah Setan kembali.
Namun karana baru saja menghadang pukulan Dada-
ka, maka gerakannya sudah sangat terlambat. Hingga
belum sampai tangannya bergerak, gelombang yang
datang dari pukulan Kigali telah melabrak!
Sesaat sosok Maladewa tampak bergoyang-goyang.
Namun saat lain sosoknya mental ke belakang. Karena di belakangnya adalah lobang
makam yang telah terbuka, maka tak ampun lagi sosok Maladewa terjeram-
bab masuk ke dalam lobang makam!
Dalam keadaan seperti itu, dengan luar biasa Ma-
ladewa masih mampu bertahan. Hingga meski sosok-
nya terbanting menghantam dinding lobang sebelah
dalam, tangan kanannya yang memegang Kembang
Darah Setan masih mampu menggapai ke bagian
samping atas lobang.
Kesempatan ini tak disia-siakan Dadaka yang telah
berhasil kuasai diri serta sudah tegak kerahkan tenaga dalam. Hingga begitu
melihat tangan kanan Maladewa
berusaha menggapai bagian atas lobang, Dadaka cepat berkelebat.
Kigali tidak tinggal diam. Dia cepat pula membuat
gerakan. Sosoknya serta-merta melesat ke arah ma-
kam batu yang telah terbuka.


Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir bersamaan, tangan Dadaka dan Kigali
tampak berkelebat menyambar Kembang Darah Setan
yang berada di tangan kanan Maladewa yang berusaha
mencari pegangan.
Wuutt! Wuuutt! Maladewa rupanya masih merasa apa yang hendak
dilakukan kedua orang di luar makam batu. Hingga
dengan gerakan kilat, dia segera tarik tangan kanannya ke bawah. Hal ini membuat
sambaran tangan Da-
daka dan Kigali hanya menyambar udara kosong, na-
mun tindakan Maladewa ini berakibat amblas masuk-
nya sosok Maladewa ke dalam makam batu!
"Terlambat!" desis Dadaka seraya cepat tarik pulang tangan dan tubuhnya. Di
sebelahnya, Kigali cepat pula membuat gerakan tarik pulang tangan dan tubuhnya
karena bersamaan masuknya sosok Maladewa,
secara aneh makam batu yang terbuka menutup kem-
bali. Blammm! Terdengar debuman dahsyat saat lobang makam
tertutup kembali. Satu sambaran angin luar biasa keras menghampar. Hingga tubuh
Dadaka dan Kigali
mental beberapa tombak ke belakang dan jatuh berlu-
tut. Dari mulut Dadaka dan Kigali tampak bercakan
darah. Tubuh masing-masing orang tampak bergetar
keras. Wajah keduanya pias. Jelas kalau kedua orang ini telah terluka bagian
dalam. Selain akibat bentrok pukulan dengan Maladewa, juga karena sambaran angin
dahsyat yang mencuat dari menutupnya lobang
makam batu. Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan Dadaka
yang sejenak tadi coba himpun tenaga dalam berpaling pada Kigali. Terlihat
Kigali juga masih coba kuasai diri namun telah buka kelopak matanya.
"Kigali!" kata Dadaka dengan suara agak tersendat dan bergetar. Tanda dia
sepenuhnya dapat kuasai diri.
"Bagaimana sekarang"! Apa kita hancurkan makam batu itu"!"
Kigali gelengkan kepala. "Percuma, Dadaka! Kalaupun kita berhasil membongkar
makam itu, kita hanya
akan serahkan nyawa. Karena Kembang Darah Setan
masih berada di tangan Maladewa!"
"Hem.... Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang"!"
"Menyingkir dari tempat ini!"
"Hem.... Hanya begitu saja"!"
"Apa boleh buat, Dadaka! Nyawa kita selamat saja sudah untung! Dan aku yakin,
Maladewa tidak akan
selamat!" Dadaka menyeringai. "Aku akan bongkar makam
batu itu! Kita sudah mati-matian berusaha! Kalau pa-da akhirnya hanya begini
saja, usaha kita percuma!"
"Jangan bertindak gegabah, Dadaka! Kau tahu
sendiri. Makam batu itu bukan makam biasa! Samba-
ran menutupnya saja sudah bisa membuat kita terlu-
ka! Aku hanya memberi peringatan. Kalau kau hendak
lakukan silakan! Tapi aku tidak akan ikut-ikutan! Aku harus segera tinggalkan
tempat ini!"
Habis berkata begitu, Kigali bergerak bangkit. Dan
perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.
Dadaka sejurus pandangi makam batu di depan
sana. Laki-laki ini bergerak bangkit. Ada kebimbangan pada raut wajahnya. Dan
entah karena percaya pada
ucapan Kigali, pada akhirnya perlahan-lahan Dadaka
putar diri lalu melangkah mengikuti Kigali.
* * * DELAPAN BEBERAPA saat setelah Dadaka dan Kigali tinggal-
kan tempat yang dalam rimba persilatan dikenal den-
gan Kampung Setan, satu sosok putih tiba-tiba berkelebat dan tegak hanya dua
langkah dari makam batu
di mana Maladewa baru saja amblas masuk.
Sosok putih ini ternyata adalah seorang perempuan
berusia amat lanjut mengenakan pakaian putih. Selu-
ruh wajahnya telah mengeriput. Rambutnya putih dan
jarang. Sesaat nenek ini buka kelopak matanya tetapi ma-
kam batu di hadapannya. Namun bersamaan dengan
itu tiba-tiba terdengar suara membentak.
"Dadaka! Kigali! Kalian manusia-manusia jahanam yang berani bertindak bodoh!
Nyawa kalian berdua
akan kukejar dan ku cabut perlahan-lahan! Tapi hal itu tak akan kalian alami
asal kalian mau keluarkan aku dari sini!"
Suara itu terdengar seperti dari tempat yang sangat jauh dan dalam. Suara itu
terdengar terbata-bata dan bergetar.
Karena tak ada sahutan, sesaat kemudian terden-
gar lagi suara.
"Dadaka! Kigali! Kalian berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalau kalian inginkan
Kembang Darah Se-
tan, benda ini akan kuberikan pada kalian! Lekas keluarkan aku dari tempat
celaka ini!"
"Maladewa! Percuma kau berteriak. Sahabat-
sahabatmu itu telah pergi dari sini!" Yang buka mulut perdengarkan suara adalah
si nenek yang berada di
sebelah makam batu. Suara nenek ini berat parau dan seolah diperdengarkan dari
setiap celah julangan-julangan batu karang yang berjajar memagari makam
batu. Sesaat tidak ada sahutan. Yang terdengar justru
suara dengusan keras. Namun tak lama kemudian,
terdengar suara dari dalam makam batu.
"Nek! Kaukah yang di luar"!"
"Betul, Maladewa!"
"Nek! Kuharap kau mau keluarkan aku dari tempat jahanam ini!"
Si nenek gelengkan kepala seolah orang yang di-
ajak bicara berada di hadapannya serta dapat melihat gerakan tubuhnya. "Menyesal
sekali, Maladewa! Aku tidak bisa berbuat banyak! Kau tahu sendiri.... Makam ini
baru terbuka jika julangan batu nomor satu, nomor tiga, dan nomor tiga belas
dihancurkan! Dan aku tak bisa lakukan itu!"
"Tapi setidaknya kau bisa memberi udara pada-
ku...." "Itu baru bisa jika julangan batu karang nomor sa-tu dihancurkan! Dan aku sekali
lagi tak bisa lakukan itu!" Jahanam! Lalu mengapa kau datang"!"
"Maladewa.... Sebenarnya aku hendak menyadar-
kan dirimu! Tapi melihat apa yang terjadi, kurasa ke-
datanganku akan percuma!"
"Nek.... Sekarang aku sadar! Aku telah berbuat kurang ajar padamu! Kembang Darah
Setan akan kube-
rikan padamu lagi! Tapi keluarkan aku dari tempat ini!" "Kau telah dengar
ucapanku, Maladewa! Aku tidak bisa melakukannya!"
"Nek! Apa susahnya kalau hanya menghancurkan
batu karang itu"!"
"Memang tidak susah.... Tapi seberapa tinggi ilmu yang dimiliki orang, tidak
mungkin bisa hancurkan ba-tu karang itu!"
"Omong kosong! Mengapa kau memberi alasan
yang tak masuk akal"!"
"Terserah padamu untuk percaya apa tidak, Maladewa! Yang jelas, julangan batu
karang itu baru bisa hancur pada tiga belas ribu tiga puluh tiga hari mendatangi
itu pun harus dilakukan pada malam ketiga
belas purnama ketiga!"
"Setan! Aku tidak percaya dengan semua itu!"
Si nenek tertawa. "Sudah kukatakan. Terserah padamu untuk percaya atau tidak.
Yang jelas aku tidak bisa melakukan itu saat ini! Karena meski kulakukan, aku
merasa yakin tidak akan berhasil!"
Sesaat tidak lagi terdengar suara dari dalam ma-
kam batu. Tapi beberapa saat kemudian, Maladewa
sudah perdengarkan suara lagi. Kali ini suaranya sangat rendah, hingga kalau
bukan orang yang memiliki tingkat pendengaran yang tajam, tentu tidak akan
mendengarnya. "Nek.... Carilah jalan lain.... Ku mohon padamu agar kau keluarkan aku dari
sini! Aku akan sabar menunggu sampai datangnya saat upacara penyerahan!
Malah kalau kau masih kecewa dengan sikapku tempo
hari, aku rela seluruh warisan leluhur Kampung Setan kau miliki!"
"Maladewa! Usiaku sudah lanjut. Warisan leluhur ini sudah tidak ada artinya
bagiku! Dan aku juga menyesal tidak bisa menolongmu! Jadi kuharap kau ber-
sabar menerima kenyataan ini.... Kau telah berlaku
kurang waspada pada orang! Dan kau harus siap me-
nerima buahnya!"
"Nek! Dengan terkuburnya diriku, bukankah ke-
bangkitan Kampung Setan tidak akan terjadi"! Apa
kau tidak merasa kecewa"!"
Si nenek sesaat menarik napas panjang. Lalu ber-
kata. "Maladewa! Sebenarnya aku ikut menyesal. Tapi apa boleh buat. Semuanya
sudah terjadi.... Tentang
kebangkitan Kampung Setan, sebenarnya itu adalah
tugas yang harus kau lakukan! Tapi karena kau telah terjerumus, kurasa kecewa
setinggi langit pun tak ada gunanya!"
"Nek.... Kau tega melihat cucumu mati terpendam di tempat terkutuk ini"!"
"Ini bukan masalah tega atau tidak, Maladewa!
Pendekar Remaja 1 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Terbang Harum Pedang Hujan 13
^