Rahasia Kampung Setan 3
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan Bagian 3
Seandainya aku bisa, aku akan menolongmu meski
aku tidak percaya benar dengan janji ucapanmu!"
"Nek...."
"Maladewa!" potong si nenek sebelum Maladewa teruskan ucapannya. "Percuma kau
terus memohon! Yang kuharap sekarang, bersabarlah! Percayalah bah-
wa kau akan bertahan sampai ada orang yang kelak
menolongmu dari sini! Karena tempat itu dibuat khusus. Orang tak mungkin mati
begitu saja meski ter-
pendam di dalamnya berpuluh-puluh tahun! Malah ka-
lau kau bisa memanfaatkan keadaan, kelak kau akan
jadi manusia disegani begitu bisa keluar!"
"Nek! Tiga belas ribu hari bukan waktu pendek! Ka-
laupun aku bisa bertahan hidup, siapa kelak yang
akan mengeluarkan aku"! Kau mungkin sudah tidak
ada!" "Kau tidak boleh kecil hati, Maladewa! Ingat, kau adalah generasi dari Kampung
Setan!. Kalau nasibmu
baik, pasti ada seseorang yang kelak menolongmu!"
"Nek...! Rasanya aku tidak bisa tahan hidup di tempat ini! Kuharap kau bisa
lakukan sesuatu untuk-ku!" Tidak ada sahutan. Maladewa kembali perdengarkan
suara. "Nek! Kau masih berada di luar bukan"!"
Meski sebenarnya si nenek masih tegak di samping
makam batu, namun nenek ini tidak buka suara me-
nyahut. Malah begitu Maladewa ajukan tanya, perla-
han-lahan si nenek melangkah mundur.
"Nek! Kau masih berada di luar"!" Maladewa berteriak keras.
Si nenek tetap tidak menyahut. Dia terus melang-
kah mundur. Sejarak kira-kira lima tombak, si nenek balikkan tubuh, lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mendapati suaranya tidak ada yang menyahut, Ma-
ladewa berteriak keras-keras. Namun setelah agak la-ma dan tidak ada suara yang
menyahut, akhirnya Ma-
ladewa hentikan teriakannya sambil memaki panjang
pendek. Hanya sesaat setelah si nenek berkelebat pergi dan
Maladewa hentikan teriakannya, dari balik salah satu lamping julangan batu
karang, tampak keluar satu kepala! Kepala ini bergerak mengikuti arah
berkelebatnya si nenek.
Begitu sosok si nenek tidak kelihatan lagi, kepala
ini bergerak menghadap makam batu. Ternyata kepala
ini milik seorang laki-laki. Usianya masih muda. Rambutnya panjang hitam dan
lebat. Sepasang matanya
tajam. Pada kedua cuping hidungnya tampak meling-
kar anting-anting dari benang berwarna merah.
"Hem.... Apa ucapan nenek tadi bisa dipercaya"!
Tiga belas ribu hari.... Hem.... Waktu yang terlalu lama untuk menunggui.
Rasanya percuma kalau menunggu sampai saat itu dating! Aku jadi tidak bermi-nat
lagi dengan Kembang Darah Setan yang selama ini banyak dibicarakan orang! Tapi
hal ini akan kubicara-kan dengan adikku Kiai Laras. Siapa tahu dia sabar
menanti...."
Habis bergumam begitu, laki-laki ini perlahan-
lahan keluar dari lamping julangan batu karang. Kepalanya berputar menyiasati
keadaan. "Kiai Laras pasti akan sabar menunggu saat itu!
Dan jika dia nanti memang berhasil, saat itulah aku baru bertindak! Ha....
Ha.... Ha...! Aku tidak mau berlaku ceroboh. Kalau orang bernama Maladewa itu
ber- tahan hidup, pasti akan menjelma sebagai manusia
sakti.... Aku tak mau ambil risiko! Biar Kiai Laras yang lakukan semua ini! Aku
nanti tinggal menangguk ha-silnya...."
Laki-laki yang kedua cuping hidungnya dihias den-
gan anting-anting dari benang warna merah ini sekali lagi arahkan pandang
matanya pada makam batu.
Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat pergi
mengambil arah berlawanan dengan si nenek.
* * * SEMBILAN KITA kembali pada Datuk Wahing dan Pendekar
131. Berlari kira-kira seratus tombak, Datuk Wahing berhenti. Lalu enak saja
kakek ini duduk menjeplok di atas tanah dengan punggung bersandar pada batangan
pohon randu yang baru tumbuh dan banyak berteba-
ran di tempat itu.
Pendekar 131 Joko Sableng ikut-ikutan duduk ber-
sandar tidak jauh dari tempat Datuk Wahing. Dan seolah tidak sabar, begitu duduk
bersandar, Joko segera buka mulut.
"Kek! Harap kau segera memberi keterangan pada-ku tentang Kembang Darah Setan
dan hubunganmu dengan makhluk yang sebutkan diri sebagai Setan
Liang Makam itu!"
"Bruss! Bruss! Sabar, Anak Muda! Beri kesempatan padaku untuk menarik napas! Aku
sudah tua. Berlari
jauh membutuhkan tenaga yang tidak sedikit buat
manusia tua macam aku ini!" ujar Datuk Wahing
meski wajah kakek ini sama sekali tidak membayang-
kan kelelahan. Justru murid Pendeta sinting yang sekujur tubuhnya telah basah
oleh keringat dan dadanya bergerak turun naik dengan keras.
Datuk Wahing memandang berkeliling. Lalu tak
lama kemudian dia mulai perdengarkan suara.
"Anak muda! Kuharap kau nanti tidak memotong
keteranganku...."
Murid Pendeta Sinting tidak memberi sahutan. Dia
hanya memandang seraya angkat bahu. Datuk Wahing
melirik. Setelah bersih dua kali. Kakek ini mulai men-ceritakan kejadian tiga
puluhan tahun silam di Kampung Setan yang telah dituturkan sebelum ini.
Habis bercerita panjang lebar, Datuk Wahing ber-
sin beberapa kali dan diam untuk beberapa lama. Pada akhirnya Datuk Wahing
berpaling pada murid Pendeta
Sinting sambil berkata. "Anak muda! Hanya sekelumit
itulah yang kuketahui tentang Kampung Setan serta
Kembang Darah Setan!"
"Kek! Mendengar penuturan mu serta menghu-
bungkannya dengan apa yang saat ini tengah terjadi, apa tidak salah dugaanku
jika Setan Liang Makam itu adalah Maladewa"!"
'Bruss! Brusss! Kau boleh saja menduga, Anak
Muda! Tapi aku tidak berani memberikan kepastian
salah benarnya dugaanmu! Kau tentu bisa menentu-
kannya sendiri...."
"Kek! Menurut yang pernah kudengar, kau berada di balik pembunuhan beberapa
tokoh rimba persilatan saat itu! Berarti kalau dihubungkan dengan keteranganmu,
kau adalah salah satu orang yang disuruh Ma-
ladewa untuk mencari jejak Galaga dan neneknya. Apa hal itu benar"!" tanya
Pendekar 131 tatkala teringat akan keterangan Kiai Laras pada pertemuannya
beberapa saat lalu.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting yang te-
rus terang menuduh, bukan membuat Datuk Wahing
menjadi berang. Sebaliknya kakek ini tertawa panjang lalu berkata. "Aku tidak
membela pada diri sendiri, Anak Muda! Dan kau jangan heran. Dunia yang kita
hadapi adalah dunia persilatan. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi!
Jadi terserah padamu bagaimana penilaianmu padaku...."
Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam mendengar
jawaban Datuk Wahing. Tak lama kemudian dia berka-
ta lagi. "Kek! Apa selama ini antara kau dan Kiai Laras punya silang
sengketa..."!"
"Bruss! Bruss! Sekali lagi, aku tidak membela diri apalagi membuat aku baik di
matamu. Tapi adalah
mengherankan kalau sampai aku membuat permusu-
han apalagi silang sengketa dengan orang lain...."
Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapan-
nya dengan seksama. Kini kembali dia teringat akan
peristiwa yang tengah dialaminya. Hingga tak lama
kemudian dia angkat bicara.
"Kek! Sekarang katakanlah aku tak ambil peduli siapa sebenarnya manusia yang
sebutkan diri Setan
Liang Makam itu. Yang ku herankan, mengapa dia
meminta Kembang Darah Setan padaku!"
"Bruss! Bruss! Anak muda! Kau tak akan merasa
heran jika simak ucapanku tadi! Bukankah sudah ku-
bilang. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi dalam rimba persilatan!
Dan kalau kau merasa difit-nah, inilah saatnya kau menyelidik!"
"Kek! Menurutmu bagaimana dengan nenek yang
sebutkan diri Dayang Sepuh"!"
"Bruss! Bruss! Kau akan tambah heran kalau min-ta pertimbangan padaku, Anak
Muda! Karena di hada-
panku, semua orang adalah baik!"
"Hem.... Jika demikian, aku sependapat denganmu seperti yang kau ucapkan
beberapa hari lalu. Bahwa ada orang yang melakonkan diriku!"
'Jangan membuat kepastian. Anak Muda! Itu akan
menimbulkan hal-hal yang lebih mengherankan! Jalan
terbaik bagimu adalah menyelidiki"
Habis berkata begitu, Datuk Warung bergerak
bangkit. Murid Pendeta Sinting ikut beranjak berdiri.
Sebelum Joko angkat bicara, Datuk Wahing telah
mendahului. "Anak muda! Kiranya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan...." Datuk Wahing
putar diri. Kakinya hendak bergerak melangkah. Tapi tiba-tiba kakek ini
urungkan gerakan kakinya. Sebaliknya angkat bicara.
"Anak muda.... Waktu kau muncul tadi, aku heran melihat tampangmu. Apa memang
kau tidak menemu-
kan gadis cantik itu"!"
Joko menghela napas sebelum akhirnya berkata.
"Benar, Kek! Aku kehilangan gadis itu! Padahal masih banyak yang hendak
kutanyakan padanya!"
"Bruss! Bruss! Anak muda. Kalau mau ikut saran ku, jangan kau banyak bertanya
untuk menghadapi
urusan ini! Semakin banyak tanya, kau akan makin
heran! Dan itu akan membuatmu salah langkah!"
Pendekar 131 hendak angkat bicara. Namun di-
urungkan tatkala melihat si kakek telah berkelebat
dan tahu-tahu sosoknya telah berada jauh di depan
sana. "Orang tua aneh.... Dari penuturan keterangannya, dia kurasa masih sembunyikan
sesuatu padaku!
Sayang aku tak dapat menebak apa yang disembunyi-
kan itu.... Hanya saja kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa, aku bisa
menduga kalau dia sebenarnya adalah murid si nenek itu! Hem.... Tapi kalau Setan
Liang Makam bukan si Maladewa..."!" Murid Pendeta Sinting tidak bisa jawab
pertanyaannya sendiri. Dia mendongak. "Aku memang harus segera menyelidik! Aku
juga harus segera menemukan jejak Eyang Guru! Urusan ini rupanya tidak hanya
terhenti sampai pada diriku semata. Karena Setan Liang Makam telah
coba mencari Eyang Guru...."
Murid Pendeta Sinting perlahan-lahan melangkah
tinggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya ber-
gerak lima tindak, dia dikejutkan dengan terdengarnya suara orang batuk-batuk
beberapa kali. Laksana disentak tangan setan, kepala Joko cepat
berpaling. Memandang ke arah depan, sepasang mata
Joko sempat membeliak besar. Enam tombak dari
tempatnya berdiri terlihat satu sosok tubuh tegak dengan kedua tangan merangkap
di depan dada. Orang ini
tidak hadapkan wajahnya ke arah murid Pendeta Sint-
ing meski jelas dari isyarat batuknya menandakan agar orang menghadap dan
memandang ke arahnya.
* * * SEPULUH ORANG yang tegak dengan kedua tangan merang-
kap di muka dada adalah seorang perempuan. Ram-
butnya sangat tipis bahkan hampir bisa dikatakan
plontos. Nenek ini mengenakan pakaian putih. Meski
Joko tidak bisa dengan jelas melihat raut wajahnya, karena orang ini tetap
hadapkan wajah ke jurusan
lain, namun murid Pendeta Sinting sedikit banyak bisa menduga kalau wajah nenek
ini telah mengeriput. Karena kedua tangannya yang merangkap di depan dada
tampak ringkih. Hanya Pendekar 131 sedikit merasa
heran. Suara batukan tadi yang jelas diperdengarkan oleh si nenek sangat berat
dan menggetarkan! Satu
tanda siapa pun orang yang perdengarkan, tentu me-
miliki tenaga dalam luar biasa.
Belum sampai murid Pendeta Sinting dapat men-
duga siapa gerangan adanya si nenek, orang ini telah angkat bicara.
"Manusia Muda! Benarkah kau pemuda yang ber-
gelar Pendekar Pedang Tumpul 131"!"
Joko terkesiap. Bukan hanya karena pertanyaan
orang, namun suara yang diperdengarkan si perem-
puan amat berat! Dan seolah-olah diperdengarkan dari segala jurusan!
"Dari pertanyaannya, mungkin ini masih ada hu-
bungannya dengan urusan yang tengah kuhadapi!
Hem.... Inilah saatnya aku mulai menyelidiki" Joko membatin dalam hati. Lalu
setelah kuasa diri murid
Pendeta Sinting buka suara.
"Bukan satu kali ini orang salah menduga padaku!
Kalau aku boleh tanya, apakah wajahku memang sama
dengan orang yang baru kau tanyakan"!"
Jawaban Joko membuat orang di seberang depan
mau tak mau harus gerakkan kepala menghadap mu-
rid Pendeta Sinting. Dan ternyata dugaan Joko tidak meleset. Paras wajah si
perempuan ternyata memang
telah dihias dengan keributan. Masih ditambah dengan sepasang matanya yang
menjorok masuk ke dalam
rongga yang sangat dalam. Hingga raut wajah nenek
ini menakutkan! Dilingkari kepalanya yang hampir tidak ditumbuhi rambut membuat
sosok si nenek bukan
hanya menakutkan namun juga angker!
Mungkin untuk memperjelas pandang matanya,
begitu kepalanya bergerak menghadap ke arah Joko, si nenek membuat gerakan satu
kali. Sosoknya tiba-tiba melesat dan tegak enam langkah di depan murid Pendeta
Sinting yang tergagu diam.
Begitu injakkan sepasang kakinya di depan Joko,
sepasang mata si nenek cepat perhatikan sosok pemu-
da di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Meski agak ngeri dengan pandangan mata si ne-
nek, Joko tersenyum-senyum dengan mata melirik
memperhatikan keadaan si nenek. Hingga untuk bebe-
rapa saat kedua orang ini saling memperhatikan satu sama lain. Bedanya kalau si
nenek memandang dengan sepasang mata melotot angker, Joko mengawasi
dengan mata melirik.
"Bagaimana, Nek"!" tanya Joko setelah agak lama.
"Apa tampangku memang mirip dengan orang yang
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau tanyakan tadi"!"
Yang ditanya tidak menyahut. Kalaupun tak lama
kemudian buka suara, bukannya menjawab perta-
nyaan orang, melainkan balik ajukan tanya.
"Manusia Muda! Kau murid Pendeta Sinting, bu-
kan?" "Hem.... Nek! Bukan kau saja yang menduga demikian padaku! Kalau kau bisa
memberi jawaban atas
pertanyaanku yang pertama tadi, tentu kau pun akan
mendapat jawaban pasti dari pertanyaanmu yang ke-
dua...! Agar kau tidak lupa. Ku ulangi pertanyaanku yang pertama tadi. Apakah
tampangku mirip Pendekar
Pedang Tumpul 131"!"
"Manusia Muda! Aku tak tahu apa wajahmu mirip
atau tidak! Yang jelas dari ciri-cirinya aku hampir yakin kau adalah Pendekar
131!" Murid Pendeta Sinting tersenyum dengan gelengan
kepala. "Nek... Jangan lupa. Ciri orang bisa sama, tapi beda manusianya! Dan
kadang-kadang, ciri orang ber-beda, tapi sama manusianya!"
Ucapan Joko rupanya membuat si nenek agak
jengkel. Hingga begitu Joko selesai berucap, si nenek telah menyambut dengan
suara keras. "Persetan dengan ucapanmu yang terbalik-balik
itu! Yang pasti aku yakin kau adalah Pendekar 131!"
"Baiklah kalau demikian dugaanmu. Kalau sean-
dainya aku Pendekar 131, ada sesuatu yang hendak
kau utarakan"!" tanya Joko.
"Hanya ada satu pertanyaan, Manusia Muda! Ja-
wablah dengan jujur dan jangan banyak berprasangka!
Apakah benar kau yang berhasil mendapatkan Kem-
bang Darah Setan"!"
Joko tertawa panjang sebelum akhirnya angkat su-
ara. "Seandainya pun aku Pendekar 131, maka aku akan menjawab bahwa tidak benar
kalau Kembang Darah Setan berhasil kudapatkan! Jangankan menda-
patkan, melihat pun belum pernah!"
"Kau tidak berdusta"!"
"Kalau berdusta tidak ada untungnya, mengapa
harus kulakukan"!"
"Baik! Aku pegang ucapanmu. Tapi ingat, Manusia Muda! Kelak jika kau berkata
dusta, saat itulah ajalmu sampai!"
Habis berkata begitu, si nenek balikkan tubuh. Ta-
pi Joko cepat berkelebat dan tegak menghadang,
"Nek! Aku telah jawab pertanyaanmu. Sekarang
aku juga ingin kau jawab satu pertanyaanku! Harap
kau juga berkata jujur dan tidak menaruh prasangka!
Siapa kau sebenarnya"!"
Si nenek pentangkan matanya. Namun tampaknya
dia enggan jawab pertanyaan Joko karena sejauh ini
dia hanya memandang dengan mulut terkancing rapat.
"Nek! Kalau kau tidak mau jawab pertanyaanku, maka kau tidak bisa pegang
ucapanku tadi! Jadi seandainya kelak ternyata ucapanku tadi dusta, kau tidak
bisa seenaknya saja menentukan saat tibanya ajal ku!"
"Hem.... Begitu"! Baik. Dengar, Manusia Muda!
Aku adalah Nyai Suri Agung!"
"Nek! Bukan itu yang ku maksud! Yang kutanya-
kan siapa kau sebenarnya! Bukan siapa namamu!"
Si nenek yang baru katakan namanya Nyai Suri
Agung tertawa pendek. Lalu berkata. "Siapa pun manusianya yang tanya begitu,
maka dia tidak akan
mendapat jawaban apa-apa! Malah kalau memaksa, itu
adalah takdir buruk baginya! Kau dengar"!"
"Hem.... Berarti aku masih punya pertanyaan satu lagi! Karana kau membatalkan
pertanyaanku tadi! Dari
raut wajahmu, aku menduga kau masih ada hubun-
gannya dengan Setan Liang Makam. Harap kau mau
katakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-
kam!" kata Joko meski dalam hati dia berkata sendiri.
"Kau tadi merasa yakin kalau aku adalah Pendekar 131. Sekarang aku pun balas
mengatakan kau mirip
dengan Setan Liang Makam!"
Sejenak Nyai Suri Agung mengernyit. Lalu berkata.
"Manusia Muda! Meski kau duga demikian, perlu kau tahu! Aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan manusia yang namanya baru kau sebut! Marah aku belum
pernah bertemu dengannya!"
"Hem.... Kau berkata jujur"!"
Nyai Suri Agung melotot angker. "Kalau aku tidak sedang menyelidik dan
melibatkan dirimu, sudah ku-gebuk mulutmu!" bentak si nenek lalu membuat satu
gerakan. Sosoknya tiba-tiba telah melesat dan di lain saat telah lenyap jauh di
depan sana! "Satu lagi orang aneh yang muncul!" gumam murid Pendeta Sinting. Entah merasa
ragu masih ada orang
lagi, sebelum melangkah pergi, Pendekar 131 putar
pandangannya berkeliling. Dan merasa tidak ada orang lagi, dia berkelebat
tinggalkan tempat itu.
* * * Pendekar 131 Joko Sableng celingukan sebentar.
Lalu arahkan pandangan matanya pada sebuah kedai
di depan sana. Setelah mendapat keterangan dari Da-
tuk Wahing dan menimbang-nimbang, akhirnya murid
Pendeta Sinting memutuskan untuk penyelidikan dari
kedai. Seperti diketahui, di kedai itulah Joko sempat jumpa dengan seorang nenek
yang sebutkan diri seba-
gai Dayang Sepuh. Dan menurut Dewi Seribu Bunga di
kedai ini pula si gadis berjumpa dengan Joko. Padahal murid Pendeta Sinting
merasa tidak pernah bertemu
dengan Dewi Seribu Bunga di kedai. Karena hai itulah pada akhirnya murid Pendeta
Sinting memutuskan
mulai penyelidikan dari kedai. Setelah lakukan perjalanan semalam dua hari,
murid Pendeta Sinting sam-
pai di tempat tidak jauh dari kedai di mana beberapa saat yang lalu dia bertemu
dengan Dayang Sepuh.
Pendekar 131 sengaja menunggu sampai suasana
kedai agak sepi seraya memperhatikan dengan seksa-
ma beberapa orang yang keluar masuk kedai.
"Meski aku tidak bisa dengan jelas membedakan
raut wajahku dengan orang, tapi rasanya belum ada
orang yang mirip denganku.... Anehnya bagaimana
Dewi Seribu Bunga bisa mengatakan bertemu aku di
kedai itu"! Malah hendak memperkosanya..."! Sialan betul! Menyentuh saja tidak,
malah dituduh hendak
memperkosa! Hem.... Keterangan orang tua pemilik
kedai itu mungkin bisa membuka benar tidaknya uca-
pan Dewi Seribu Bunga!"
Setelah dilihat keadaan kedai agak sepi, perlahan-
lahan Pendekar 131 melangkah ke arah kedai. Dia se-
jenak hentikan langkah di pintu kedai dengan mata
memperhatikan ke dalam. Hanya ada beberapa orang.
Namun tak ada yang dikenal apalagi wajahnya mirip
dengannya. Sementara itu melihat ada orang hendak masuk ke
dalam kedai, orang tua pemilik kedai yang wajahnya
dikenali murid Pendeta Sinting buru-buru melangkah mendekat. Namun tiba-tiba
orang tua ini hentikan
langkahnya. Sepasang matanya memandang tak ber-
kedip. Saat lain mulutnya telah membuka perdengar-
kan suara seraya tertawa.
"Aku.... Aku tidak lupa.... Kau pasti anak muda yang beruntung itu...."
Yang disapa tidak menyahut. Dia hanya meman-
dang lalu sebelum si orang tua pemilik kedai memper-silakan, Joko sudah
melangkah. Bukan mencari tem-
pat duduk, melainkan mendekati si pemilik kedai dan berbisik sambil pegangi
lengan orang. "Orang tua! Terima kasih kau tidak lupa padaku!
Aku datang tidak perlu untuk makan atau minum!
Aku...." Si orang tua pemilik kedai sesaat tampak tersentak
kaget. Dia buru-buru berkata memotong ucapan Joko.
"Anak muda.... Silakan makan dan minum. Aku tidak akan menarik bayaran...."
"Harap dengar ucapanku dulu. Orang Tua! Aku datang tidak perlu makan atau minum!
Aku butuh kete-
rangan darimu!"
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting mena-
rik pemilik kedai ke bangku di sebelah pojok.
Orang tua itu tampak gugup. Wajahnya berubah
tegang malah tubuhnya bergetar.
"Orang tua! Harap kau jujur memberi keterangan padaku!" kata Joko begitu mereka
berdua duduk di bangku paling pojok.
Si pemilik kedai memandang takut-takut sambil
anggukkan kepala. Dari keningnya keringat sudah
mengalir deras.
Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil gelengkan
kepala. "Orang tua! Tak usah takut.... Aku hanya minta kau memberi keterangan
apa adanya!"
Walau si orang tua anggukkan kepala, tapi jelas
sekali kalau wajahnya masih membayangkan rasa ke-
takutan. Bahkan untuk imbangi getaran tubuhnya,
orang tua ini sengaja berpegangan pada bangku di ba-
wahnya. "Orang tua.... Setelah kepergianku bersama nenek berdandan menor tempo hari itu,
apakah ada seorang
gadis cantik mengenakan pakaian warna merah mun-
cul di sini" Rambutnya dikuncir, kulitnya putih...!"
Si orang tua yang ditanya tidak segera menjawab.
Sebaliknya dia menatap pada orang yang bertanya
dengan dahi berkerut. Diam-diam dalam hati orang tua ini berkata. "Aneh....
Bagaimana dia bertanya begitu"
Apa dia lupa" Atau anak ini bercanda" Atau jangan-
jangan dia punya penyakit pikun...."
Karena agak lama yang ditanya tidak memberi ja-
waban, Joko buka suara lagi.
"Orang tua! Aku telah bertanya. Harap kau menjawab! Dan jangan lupa, jawab
dengan apa adanya!"
"Anak muda.... Setelah kepergianmu, memang ada gadis yang cirinya seperti kau
katakan itu...."
"Hem.... Lalu apakah ada pemuda yang muncul setelah itu"! "
Si pemilik kedai pandangi murid Pendeta Sinting
dengan tatapan heran. Namun buru-buru anggukkan
kepala saat dilihatnya Joko hendak buka mulut lagi menegur karena yang ditanya
belum juga memberi jawaban.
"Kau bisa terangkan ciri-ciri pemuda yang muncul setelah kedatangan gadis
berbaju merah itu"!"
Mendengar ucapan Joko, perlahan-lahan ketegan-
gan di wajah orang tua pemilik kedai sirna. Malah tak lama kemudian, orang tua
ini sudah tersenyum. Tapi
sejauh ini belum memberi jawaban. Orang tua ini ru-
panya menduga jika si pemuda sedang mengajaknya
bercanda. Karena dia tahu betul, pemuda yang muncul setelah kedatangan si gadis
baju merah adalah pemuda yang kini ada di hadapannya dan sedang bertanya!
"Orang tua! Aku bertanya. Mengapa kau terse-
nyum"!" tanya Joko.
"Anak muda.... Kau tidak sedang mengajakku bercanda, bukan"!"
"Orang tua! Dengar, aku tidak sedang bercanda!
Aku bertanya, bagaimana ciri-ciri pemuda yang mun-
cul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu!"
Meski masih merasa heran dengan pertanyaan
orang, tapi pada akhirnya si orang tua menjawab juga.
"Anak muda.... Aku tak bisa menerangkan panjang lebar bagaimana ciri-ciri pemuda
itu. Karena pemuda itu adalah kau sendiri!"
Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-
tanya mendelik pandangi orang tua di hadapannya.
"Orang tua! Harap kau mengatakan dengan jujur!"
"Aneh.... Kau ini aneh, Anak Muda! Untuk apa aku mendustai mu"! Kau telah
berjasa menolongku membawa nenek itu dari sini! Lalu kau datang lagi tidak
berapa lama. Karena kita sudah sepakat tentang imba-
lan. Dan menurutku, saat itu kaulah anak manusia
yang punya rezeki besar. Selain mendapat imbalan,
kau juga pergi membawa gadis cantik itu...."
"Orang tua! Kau tidak salah melihat orang"!" tanya murid Pendeta Sinting seolah
ingin yakinkan ucapan
orang. "Anak muda.... Usia kadangkala memang mengu-
rangi ketajaman penglihatan orang. Tapi dalam hal ini aku tak mungkin salah
lihat! Apalagi kau muncul tidak berapa lama setelah kepergianmu membawa si nenek
yang berdandan mencolok itu!"
"Apa kau mendengar percakapan antara si gadis
dengan pemuda itu"!"
"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak terbiasa
mencuri dengar perbincangan orang! Apalagi yang se-
dang bercakap-cakap adalah seorang gadis dan seo-
rang pemuda! itu hanya akan membuatku ingin kawin
lagi...." Si orang tua pemilik kedai sudah berani tertawa keras dan panjang.
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. Dia
arahkan pandangan matanya ke halaman kedai den-
gan sesekali menarik napas panjang.
"Anak muda.... Wajahmu berubah! Boleh tahu apa yang terjadi"!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab pertanyaan
orang. Bahkan berpaling pun tidak.
Si pemilik kedai tersenyum. "Anak muda.... Aku sudah pernah kawin tujuh kali.
Kau tahu.... Jika aku tertarik lagi dengan seorang perempuan, kadang-kadang aku
lupa pada diriku sendiri! Dan aku juga lu-pa apa yang pernah kulakukan! Jatuh
cinta memang bisa membuat orang lupa segalanya!"
"Orang tua! Apa setelah itu pemuda yang bersama gadis baju merah pernah muncul
lagi di sini"!"
"Pernah...!"
"Kapan"! Dia datang bersama siapa"!" sahut Joko dengan cepat.
"Dia datang sendirian! Munculnya waktu kau bertanya ini!"
"Busyet!" maki Pendekar 131 dalam hati. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
beranjak bangkit. Lalu melangkah tinggalkan ruangan kedai.
"Tunggu, Anak Muda!" tahan si pemilik kedai. "Aku merasa ada yang tak beres
dengan pertanyaan-pertanyaanmu! Kau bisa menjelaskan"! Siapa tahu
aku bisa membantu! Kau telah pernah menolongku.
Tak ada salahnya kalau sekarang aku membantumu."
Joko hentikan langkah. Lalu balikkan tubuh
menghadap si orang tua. Sepasang matanya meman-
dang tajam. "Orang tua! Kalau kau memang mau
membantu, tolong jawab sekali lagi pertanyaanku. Kau benar-benar melihat bahwa
aku yang datang saat
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu"!"
"Aku tak mungkin salah!"
Murid Pendeta Sinting sejurus masih menatap pa-
da si orang tua. Lalu balikkan tubuh dan teruskan
langkah meninggalkan kedai.
Si orang tua pemilik kedai pandangi sosok murid
Pendeta Sinting hingga lenyap di luar sana. Kepalanya menggeleng. "Kasihan....
Jangan-jangan pemuda itu akan hilang ingatan! Dia sudah tidak ingat lagi pada
apa yang pernah dilakukan. Pada dirinya sendiri!
Hem.... Nyatanya penyakit asmara lebih berbahaya da-ri penyakit lainnya....
Mudah-mudahan aku tidak jatuh cinta lagi...."
Tidak jauh dari kedai, pada tempat agak sepi, mu-
rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Berarti ucapan Dewi Seribu Bunga benar!
Dan ini berarti pula memang ada manusia yang memerankan sebagai diriku!
Kalau Setan Liang Makam tiba-tiba meminta Kembang
Darah Setan padaku, berarti jelas jika manusia yang memerankan sebagai diriku
itulah yang telah mendapatkan Kembang Darah Setan! Yang sekarang jadi per-
tanyaan, siapa dia"! Bagaimana mungkin rupanya ti-
dak beda dengan rupa ku"!"
Benak Pendekar 131 terus didera pertanyaan.
Hingga dia sampai tidak ingat berapa lama dia berada di tempat itu. Dia baru
sadar tatkala perlahan-lahan suasana berubah temaram. Ketika dia memandang ke
jurusan barat, ternyata matahari sudah satu tombak di atas bentangan kaki
langit. * * * SEBELAS SUDAH berapa lama Lasmini duduk di atas ham-
paran rumput itu sambil memikirkan apa yang baru
saja dialami. Dia sekarang dalam keadaan bimbang
tentang apa sebaiknya yang harus dilakukan. Dia tidak berhasil menemukan Pendeta
Sinting di Jurang Tlatah Perak. Sementara mencari orang macam Pendeta Sinting
bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kini dia telah berjumpa dengan Setan Liang
Makam dan Datuk Wahing. Walau belum benar-benar bentrok, tapi Lasmini
cukup maklum kalau kedua orang itu memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi. Dan
melihat kemunculan keduanya di Jurang Tlatah Perak, jelas keduanya punya
urusan penting meski sejauh ini Lasmini tidak tahu urusan sebenarnya. Dan hal
itu sudah cukup bagi
Lasmini untuk tidak ingin terlibat lagi dengan ikut serta mencari Pendeta
Sinting. Karena akan membuatnya
secara tidak langsung akan terlibat bentrok dengan Setan Liang Makam dan Datuk
Wahing. "Sementara waktu lebih baik aku menemui Saras-
wati...." Akhirnya Lasmini memutuskan. Seperti diketahui, Saraswati adalah anak
perempuan Lasmini den-
gan Panjer Wengi. (Lebih jelasnya tentang hubungan
antara Lasmini dengan Saraswati dan Panjer Wengi, silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").
Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, menda-
dak perempuan ini sadar kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Lasmini cepat
palingkan kepala ke samping kanan. Dugaannya tidak meleset. Matanya menangkap
satu sosok berkelebat ke jurusan timur.
Tanpa menunggu lama, Lasmini segera beranjak
bangkit lalu sekali membuat gerakan, sosoknya telah melesat ke arah
berkelebatnya sosok yang baru saja di-tangkap pandangan mata Lasmini.
"Tunggu!" teriak Lasmini begitu sosok yang dikejar telah terlihat di depan sana.
Orang di depan tidak pedulikan teriakan Lasmini.
Dia terus saja berkelebat. Lasmini jadi curiga. Seraya mengejar perempuan ini
berteriak. "Kalau kau terus lari, jangan menyesal kalau kaki-mu kupatahkan!"
Mendengar ancaman orang, orang di depan sana
tiba-tiba hentikan larinya. Orang ini membuat gerakan berputar hingga sosoknya
menghadap Lasmini yang
buru-buru hentikan larinya meski jaraknya dengan
orang yang dikejar kira-kira lima belas langkah.
Begitu orang di depan balikkan tubuh, Lasmini
tampak tersentak kaget. Kalau saja dia tidak segera sadar, tentu dia akan segera
menghambur ke depan.
Malah saat itu juga mulutnya sudah menyebut sebuah
nama. Untung Lasmini segera maklum dan cepat-cepat
katupkan mulutnya dengan mata dipentang besar-
besar. Lasmini tidak tahu jelas siapa adanya orang itu.
Yang pasti dia adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Dan yang lebih
pasti lagi, seandainya pada cuping kedua hidung orang itu mengenakan anting-
anting dari benang warna merah, tentu saja Lasmini dengan
tepat dapat menebak siapa adanya si laki-laki.
Anehnya, orang di depan sana hanya putar seben-
tar tanpa buka suara. Dia seolah hanya ingin unjuk
tampang pada orang. Setelah itu dia putar tubuh lagi dan enak saja melangkah
teruskan jalan.
"Wajahnya persis dengan Kiai Lidah Wetan! Siapa dia"! Sikapnya mencurigakan! Di
sana tadi pasti dia selalu memperhatikan tingkah ku. Dan tidak.... Dia
sengaja balikkan tubuh hanya untuk agar aku meli-
hatnya...."
Merasa penasaran, Lasmini akhirnya mengejar.
Orang di depan sana tampaknya sengaja melangkah
perlahan-tahan dan seakan-akan tidak merasa sedang
dikejar orang. Malah ketika Lasmini berkelebat dan ti-ba-tiba telah tegak
menghadang di hadapannya, laki-
laki ini tidak unjukkan sikap kaget. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum lalu
berkata mendahului.
"Ada yang membuatmu heran, Sobat"!"
Lasmini kancingkan mulut dengan mata membe-
liak besar pandangi orang di hadapannya dengan sek-
sama. Dia kini percaya, kalau seandainya orang di hadapannya mengenakan anting-
anting dari benang pada
kedua cuping hidungnya, pasti dia tak bisa membeda-
kan mana yang Kiai Lidah Wetan sesungguhnya!
"Kiai Lidah Wetan tidak pernah cerita padaku kalau punya saudara! Jadi mungkin
ini satu kebetulan aku bertemu dengan orang yang wajahnya mirip dengan Kiai
Lidah Wetan...." Lasmini diam-diam membatin dalam hati. 'Tapi mengapa dia tadi
berada di...."
Belum sampai Lasmini teruskan kata hatinya,
orang di hadapannya telah buka suara lagi. "Sobat!
Apa yang membuatmu memandangku begitu rupa"!
Ada yang salah dengan diriku"!"
Tanpa sadar, Lasmini buka mulut menggumam.
"Wajahmu...."
Laki-laki di hadapan Lasmini tertawa. "Kenapa wajahku"! Mengingatkan kau pada
seseorang"! Atau wa-
jahku menakutkan"!"
"Kau kenal dengan seorang bernama Kiai Lidah
Wetan"!"
"Namanya saja baru kudengar sekarang...," jawab orang yang ditanya.
Lasmini terdiam. Laki-laki di hadapannya melirik,
lalu angkat bicara.
"Harap kau tidak menaruh dugaan buruk padaku.
Aku tadi kebetulan lewat di sana. Kulihat kau sedang tenggelam berpikir, hingga
aku urungkan niat untuk
menyapa mu. Aku menunggu agak sama, tapi rupanya
kau sedang terlibat dalam urusan penting hingga tak menghiraukan kehadiranku di
sekitar tempat kau tadi berada. Aku tadi sebenarnya hendak tanyakan sesuatu
padamu. Tapi takut mengagetkan mu dan mungkin
akan menambah keruwetan pikiranmu, aku putuskan
untuk pergi...."
Entah karena apa, tiba-tiba Lasmini ajukan tanya.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku"!"
Orang yang ditanya gelengkan kepala. "Aku tidak mau menambah keruwetan
pikiranmu! Sebaiknya aku
akan membantumu kalau kau bersedia mengatakan
apa yang kini jadi urusanmu...."
Karena memang sedang dilanda kebimbangan,
Lasmini segera saja utarakan apa yang kini sedang dialaminya. Dia buka mulut
berkata. "Beberapa saat yang lalu aku jumpa dengan seorang laki-laki tua. Tangan kanannya
memegang tong- kat. Dia sering bersin-bersin. Kau tahu siapa adanya orang itu"!"
"Ah.... Kau beruntung. Karena aku mengenali
orang yang baru saja kau katakan! Kalau tidak salah, dia adalah seorang tokoh
rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Datuk Wahing...!"
"Hem.... Berarti orang ini juga salah seorang tokoh.
Buktinya dia mengetahui siapa adanya orang tua yang
baru saja disebutnya dengan Datuk Wahing!" Lasmini diam-diam membatin.
"Kau tahu hubungan antara Datuk Wahing dengan
seorang yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Ma-
kam"!" Lasmini ajukan tanya lagi.
Kali ini yang ditanya gelengkan kepala. Malah ke-
ningnya tampak berkerut. Dan tak lama kemudian dia
balik bertanya pada Lasmini.
"Mengapa kau tanyakan hubungan antara Datuk
Wahing dengan Setan Liang Makam?"
"Aku hanya ingin tahu...," ujar Lasmini tidak mau berterus terang.
"Kalau kau menanyakan Setan Liang Makam, aku
dapat menduga jika kau pernah bertemu dengan ma-
nusia itu. Betul"!"
Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata oleh
orang, Lasmini berkata.
"Dia adalah sahabatku...."
"Kalau dia sahabatmu, aku makin bisa menebak
apa yang tengah kalian lakukan! Setidaknya apa yang dilakukan oleh sahabatmu
itu!" "Hem.... Rupanya orang ini tahu banyak tentang urusan orang!" kata Lasmini dalam
hati. Lalu berkata.
"Aku ingin tahu apa tebakanmu tepat!"
"Pasti saat ini tengah mencari Pendeta Sinting atau muridnya! Pemuda yang
dikenal dengan Pendekar Pedang Tumpul 131!"
Lasmini tampak tak bisa sembunyikan rasa kejut-
nya mendengar ucapan laki-laki di hadapannya. Se-
mentara laki-laki di hadapan Lasmini yang bukan lain adalah Kiai Laras alihkan
pandang matanya ke jurusan lain dengan bibir sunggingkan senyum.
"Boleh aku tahu"!" tanya Kiai Laras. Pandangannya masih ke arah lain. "Apakah
kalian berhasil jumpa
dengan orang yang kalian cari"!"
Dari raut muka Lasmini rupanya Kiai Laras sudah
bisa membaca kalau tebakannya tidak meleset. Malah
dia pun seakan sudah tahu jawaban apa yang akan
didengar dari mulut Lasmini. Karena sikap Lasmini
yang tenggelam dalam pikirannya sendiri saat dilihatnya di padang rumput tadi,
sudah cukup bagi Kiai Laras untuk menduga-duga.
"Aku belum menemukan Pendeta Sinting atau mu-
ridnya!" kata Lasmini setelah agak lama terdiam.
Kiai Laras tertawa perlahan. "Sobat! Untuk saat-saat sekarang ini percuma kau
mencari Pendeta Sint-
ing!" "Bagaimana bisa begitu"!"
"Kau tentu telah mendengar peristiwa besar di Kedung Ombo! Saat peristiwa itu
terjadi, Pendeta Sinting terluka parah. Saat ini dia tengah dirawat untuk pu-
lihkan keadaannya!"
"Kau tahu di mana dia sekarang berada"!" tanya Lasmini seraya melompat dan tegak
lima langkah di
hadapan Kiai Laras.
Kiai Laras gelengkan kepalanya. "Aku tahu di ma-na. Tapi Jangan tanya padaku di
mana tempat itu!
Aku tak mau nantinya ikut terlibat dalam urusan se-
sama orang persilatan!"
"Kau tak usah khawatir terlibat dalam urusan ini!
Ini urusanku dengan Pendeta Sinting dan si jahanam
muridnya itu! Harap katakan padaku di mana orang
itu berada!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Lebih baik kau tanya seribu hal, asal jangan kau
tanyakan tempat di mana Pendeta Sinting berada!"
"Hem.... Kalau begitu berarti kau akan terlibat urusan denganku!" ujar Lasmini
seraya tertawa pendek.
Kiai Laras pasang tampang terkejut. "Sobat! Aku tak mau terlibat urusan dengan
siapa pun!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh. Tapi
pada saat bersama Lasmini sudah melompat dan tegak
menghadang di depan Kiai Laras.
"Urusanku dengan Pendeta Sinting begitu besar!
Aku tidak mau orang lain mendahuluiku! Jadi apa pun akan kulakukan untuk
mendapatkannya! Kuharap
kau mengerti maksudku!"
"Ah.... Tahu begini akhirnya, aku tadi menyesal berbicara denganmu!" ujar Kiai
Laras dengan nada rendah. Meski kepala orang ini menghadang ke jurusan lain
namun sepasang matanya melirik pada Las-
mini yang tegak di hadapannya.
Lasmini tersenyum. Lalu bertanya. "Kau ada hu-
bungan apa dengan Pendeta Sinting" Saudara seper-
guruan" Saudara pertalian darah"!"
Kiai Laras untuk kesekian kalinya gerakkan kepala
menggeleng. "Aku dengannya hanya sebatas sebagai sahabat!"
"Apa kau merasa kehilangan kalau pendeta sialan itu mampus"!"
"Sobat! Persoalannya bukan merasa kehilangan
atau tidak! Tapi terus terang aku merasa tidak enak!
Apalagi jika nantinya tersiar kabar bahwa akulah yang menunjukkan tempat di mana
dia berada!"
"Hem.... Begitu" Sekarang kau tinggal pilih dua jalan! Kau tunjukkan di mana
beradanya jahanam itu
dan aku akan merahasiakan semua ini, atau kau tetap bungkam namun saat ini juga
kau akan berurusan
denganku!"
Kiai Laras terdiam beberapa lama. Sementara Las-
mini dongakkan kepala menunggu jawaban.
"Bagaimana"!" tanya Lasmini setelah agak lama
menunggu. "Sobat! Kau mau berjanji untuk merahasiakan pertemuan ini"!"
Lasmini tertawa panjang. "Aku bukan orang baik-baik. Tapi janji adalah gantungan
nyawa bagiku! Aku bersumpah akan merahasiakan pertemuan ini!"
Kiai Laras pandangi orang seakan ingin yakinkan
ucapan yang baru diperdengarkan orang. Setelah
menghela napas dalam dan putar kepala, dia berkata.
"Pergilah ke utara. Carilah sebuah bukit bernama Kalingga. Pada ramping bukit
itu ada sebuah goa! Di sanalah Pendeta Sinting dirawat...."
Selesai berkata, Kiai Laras kembali putar kepala.
Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sosok Kiai Laras benar-
benar berkelebat, Lasmini telah rentangkan kedua tangannya, membuat Kiai Laras
tahan gerakannya. Sebelum Kiai Laras berucap, Lasmini telah buka suara.
"Aku tak mau pencarian ku sia-sia! Dan aku pun tak mau ditipu orang!"
"Aku tidak menipumu! Bahkan sebenarnya aku
merasa menyesal katakan semua ini!"
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lasmini tersenyum. "Bagaimana aku bisa percaya kau tidak menipuku"!"
"Lalu apa maumu"!" tanya Kiai Laras dengan suara agak keras.
"Aku belum pernah mendengar nama Bukit Kaling-
ga! Untuk membuktikan bahwa kau tidak menipuku,
kau harus ikut bersamaku!"
"Gila! Kau terlalu banyak permintaan, Sobat! Seharusnya kau sudah berterima
kasih padaku!"
'Siapa pun bisa mengarang cerita seperti yang baru
kau katakan! Apakah untuk hal begitu dan belum ten-
tu benarnya, aku harus berucap terima kasih"!" Las-
mini tertawa. "Kau telah telanjur tunjuk tempat! Kau harus bisa buktikan padaku!
Kalau kau tidak mau, jelas ucapanmu tadi dusta! Dan itu harus mendapatkan
ganjaran!"
Kiai Laras tergagu diam mendengar kata-kata Las-
mini. Saat lain kepala laki-laki ini menggeleng. "Tidak kuduga kalau urusan ini
akan jadi panjang! Dan tahu-kah kau, bahwa dengan ikut serta bersamamu berarti
malapetaka bagiku"!"
"Kau tak usah khawatir! Kau hanya perlu tunjukkan tempatnya! Kau tidak usah ikut
masuk!" "itu masih membahayakan bagiku! Kalau sam-
pai...." "Kau membuatku habis kesabaran!" sergah Lasmini memotong ucapan Kiai Laras. "Aku
sekarang tanya padamu. Kau mau ikut serta atau tidak"!"
"Kau memberi pilihan sulit padaku! Padahal aku telah memberikan keterangan
berharga...."
"Keterangan tidak ada harganya kalau belum di-
buktikan benar tidaknya!"
"Baiklah.... Aku akan ikut bersamamu! Tapi aku hanya bisa mengantarmu sampai
samping bukit. Dan
harap jangan minta yang lebih dari itu! Karena kau ta-di telah berbalik lidah!"
Lasmini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Kiai
Laras. "Aku bukannya berbalik lidah! Aku hanya tidak mau ditipu orang!"
"Kau pandai bicara...." gumam Kiai Laras sambil alihkan pandangan.
"Rimba persilatan dipenuhi dengan ucapan-ucapan dusta dan kebohongan! Kalau kita
tak pandai-pandai
bicara, kita akan tertelan ucapan dusta orang! Sekarang kita berangkat!"
Kiai Laras tidak segera penuhi ucapan Lasmini.
Laki-laki ini tetap tegak tidak membuat gerakan apa-apa. "Kau dengar ucapanku,
bukan"!" tanya Lasmini mulai geram.
"Aku bukan hanya dengar ucapanmu, tapi juga
melihat adanya orang lain di sekitar tempat ini!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh se-
tengah lingkaran. Kepala lurus menghadap ke satu
arah. Saat bersamaan mulutnya perdengarkan suara.
"Siapa pun kau adanya, harap keluar!"
Ucapan Kiai Laras belum selesai, satu sosok tubuh
melesat keluar dari balik tanah agak tinggi dan tegak tujuh langkah di hadapan
Kiai Laras. * * * DUA BELAS ORANG yang baru muncul ternyata adalah seorang
pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-
hitam. Rambutnya panjang lebat diikat. Sepasang ma-
tanya bulat tajam. Hidungnya mancung dengan kumis
tipis. Lasmini tampak tercekat. Sesaat sepasang mata
perempuan ini membelalak besar. Saat lain tangan kanannya bergerak menunjuk pada
pemuda berkumis ti-
pis yang baru saja muncul. Saat yang sama mulutnya
membuka. "Kau...." Hanya ucapan itu yang bisa diucapkan Lasmini. Kejap lain sosoknya
telah melompat ke depan dan tegak dua langkah di hadapan si pemuda berkumis
tipis. "Saraswati...," desis Lasmini. Kedua tangannya me-rentang.
Pemuda berkumis tipis yang dipanggil Saraswati ti-
dak menyahut. Sebaliknya menubruk Lasmini lalu
memeluknya erat-erat. Untuk beberapa lama kedua
orang ini saling peluk cium tanpa ada yang buka sua-ra. Di sebelah samping, Kiai
Laras memperhatikan
dengan dahi berkerut.
"Aku gembira bisa bertemu denganmu di sini, Saraswati.... ibu sudah lama ingin
mencari dan bertemu denganmu...."
"Aku pun sudah lama mencari kabar di mana ibu
berada..," ujar Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini tarik kepalanya dari
dekapan Lasmini yang bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri. (Tentang hubungan
antara Saraswati dan Lasmini harap baca serial
Joko Sableng dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").
Saraswati melirik sejenak pada Kiai Laras. Lalu
perlahan-lahan menarik lengan ibunya untuk men-
jauh. Meski merasa sedikit heran, namun Lasmini tidak mencegah tindakan
Saraswati. Dia menurut saja
ditarik menjauh.
"Ibu.... Aku tadi sempat mendengar percakapan
dengan orang tua itu.... Siapa dia sebenarnya"!" tanya Saraswati yang seperti
masa lalu, tetap menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan
pakaian hitam-hitam, pakaian yang biasanya dipakai
oleh seorang laki-laki.
Lasmini sesaat bingung. Dia belum mengenal benar
siapa Kiai Laras. Bahkan dia tadi belum sempat tanya siapa nama Kiai Laras.
Namun karena tak mau menge-cewakan anaknya, Lasmini menjawab.
"Kau tak usah curiga, Anakku.... Dia adalah saha-
bat Ibu...!"
"Mengapa Ibu mengajaknya mencari tempat Pende-
ta Sinting"!" tanya Saraswati dengan berbisik.
"Saraswati.... Kau tak usah ikut campur urusan Ibu!"
"Aku tidak ikut campur.... Aku hanya curiga...."
"Saraswati.... Lupakan itu semua! Sekarang katakan pada ibu. Di mana kau berdiam
selama ini"!"
"Aku tinggal tidak jauh dari istana Hantu. Kira-kira lima puluh tombak dari
Istana Hantu ke jurusan sela-tan. Pada sebuah rumah tua...."
"Kau tinggal dengan siapa"!"
"Selama ini sendirian. Tapi kadang-kadang Ayah berkunjung...."
Wajah Lasmini tampak berubah. Dadanya berdebar
keras. Saraswati rupanya dapat menangkap apa yang
membuat paras ibunya berubah.
"Ibu.... Kuharap Ibu bisa melupakan peristiwa yang telah berlalu.... Lebih dari
itu, aku ingin hidup bersama dengan Ibu.... Untuk itulah selama ini aku mencari
kabar di mana Ibu berada...."
"Saraswati.... Telah bertahun-tahun kita hidup berpisah! Seperti halnya dirimu,
aku pun ingin bersatu denganmu.... Tapi...."
"Ibu.... Demi anakmu, kuharap Ibu melupakan apa yang pernah terjadi! Dan saat
ini juga kuharap Ibu
mau ikut serta denganku...."
Lasmini gelengkan kepalanya perlahan. "Saraswa-ti.... Mengucapkan memang lebih
mudah daripada me-
lakukan! Kau tahu, Anakku... Selama ini Ibu sudah
mencoba untuk melupakan apa yang pernah terjadi!
Tapi yang terjadi justru sebaliknya! Setiap kali aku mencoba, setiap kali pula
wajah jahanam-jahanam itu terbayang di mataku!"
Saraswati memeluk kembali ibunya erat-erat. "Kalau Ibu masih memendam dendam,
kapan akan be- rakhir semua ini" Kapan kita akan bisa berkumpul"!"
Lasmini menghela napas dalam. "Aku tak tahu,
Anakku.... Aku bahkan kadang-kadang menyesali hi-
dup ini! Mengapa nasib kita begitu buruk" Mengapa
kita harus hidup di tengah manusia-manusia yang
pernah memporak-porandakan kebahagiaan kita!
Mengapa kita harus hidup di samping orang-orang
yang pernah menyebabkan kita berpisah bahkan tidak
saling mengenal"! Mengapa"! Mengapa"!" Suara Lasmini terdengar tersendat dan
bergetar. "Ini gara-gara manusia jahanam-jahanam itu! Rasanya mati pun aku
belum lega kalau belum bisa selesaikan urusan ini
sampai tuntas!"
"Ibu.... Ibu hanya akan memperdalam jurang pemisah ini! Semua sudah selesai...."
Saraswati gelengkan kepala. "Bagi mereka memang sudah selesai. Tapi bagi Ibu....
Semua belum berakhir!"
"Ibu...."
Sebelum Saraswati lanjutkan ucapannya, Lasmini
telah menukas. "Saraswati.... Kita nanti bisa bicara panjang lebar!
Sekarang kuharap kau pulang dan menungguku. Ibu
masih harus selesaikan satu urusan! Tidak lama lagi Ibu akan menyusulmu...."
"Ibu.... Kuharap Ibu mau urungkan niat untuk
pergi bersama kakek itu...."
Lasmini tertawa perlahan. "Kau masih menaruh
curiga pada orang.... Dia adalah sahabat baik Ibu!"
"Ibu jangan berdusta padaku! Aku tadi sempat
mendengar percakapan Ibu dengan kakek itu! Ibu mau
mengajaknya mencari Pendeta Sinting bukan"!
"Dia tahu di mana orang yang Ibu cari! Karena Ibu
tak mau ditipu orang, apa salahnya Ibu mengajaknya
ikut serta"!"
"Ibu terlalu percaya pada orang yang belum dikenal dengan baik!"
"Kalau dia menipu, nyawanya tidak akan lama!"
"Baiklah.... Tapi kurasa Ibu tidak ada gunanya lagi mencari Pendeta Sinting! Itu
hanya akan membuka
urusan baru. Dan itu akan membawa kita untuk ber-
pisah lagi! Apa Ibu tidak merasa kasihan dengan
anakmu..."!"
"Saraswati.... Ibu tidak membuka urusan baru! Ini urusan lama! Justru kalau
urusan ini tidak diselesaikan, kelak di kemudian hari akan bisa memisahkan ki-
ta!" "Mengapa Ibu berpikir demikian"! Apa karena pemuda murid Pendeta sinting
itu?" "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Saras-
wati.... Dan kuharap kau melupakan pemuda jahanam
itu!" Kini paras wajah Saraswati yang tampak berubah.
Lasmini rupanya dapat menangkap perubahan pada
wajah anaknya. Lasmini sebenarnya hendak berkata.
Namun sebelum ucapannya terdengar, dari seberang
sana terdengar Kiai Laras telah berkata.
"Sobatku.... Aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa menunggumu...."
"Tunggu!" tahan Lasmini. Perempuan ini lalu berbisik pada Saraswati. "Anakku.
Kau pulang dahulu dan Ibu pasti akan menyusulmu...."
"Ibu.... Untuk kali ini harap Ibu urungkan niat!"
"Hem.... Kau takut karena Pendeta Sinting guru pemuda keparat itu"!"
Meski parasnya berubah, tapi Saraswati gelengkan
kepala. "Persoalannya bukan itu, Ibu.... Tapi aku me-
rasa kakek itu berkata dusta!"
"Kau jangan menghalang-halangi karena kau tertarik dengan murid Pendeta Sinting!
Ibu tahu itu, Saraswati.... Jadi kuperingatkan sekali lagi, lupakan pemuda
bangsat itu!"
Saraswati menarik napas panjang. "Persoalannya bukan itu, Ibu.... Tapi...."
"Tapi apa..."!"
Saraswati tampak mengerling pada Kiai Laras sebe-
lum berkata dengan suara amat pelan. "Aku tahu di mana Pendeta Sinting berada!
Dan aku yakin bukan di bukit yang dikatakan orang tua itu!"
Mendengar ucapan Saraswati, Lasmini tertawa
agak keras. "Kau jangan mengada-ada, Saraswati! Dan jangan kira aku tak tahu....
Kau berdusta padaku
hanya agar aku urungkan niat! Tidak, Anakku! Urusan ini harus selesai....
Setelah itu kita hidup dengan bahagia. Tentunya setelah urusan dengan yang
lainnya juga tuntas!"
"Ibu.... Aku tidak berdusta padamu! Aku sempat jumpa dengan Pendeta Sinting....
Dia memang dalam
keadaan terluka! Tapi tempatnya bukan yang dikata-
kan orang tua itu! Aku akan tunjukkan padamu. Tapi
dengan syarat...."
"Aku tidak bisa kau dustai, Anakku...," ujar Lasmini seraya mencium kening Saraswati. "Jaga dirimu baik-baik...."
Habis berkata begitu, Lasmini lepaskan pelukan-
nya pada Saraswati. Perlahan-lahan perempuan ini
melangkah mendekati Kiai Laras yang saat itu tengah memandang tajam pada
Saraswati. "Ibu...."
Lasmini berpaling. Sepasang matanya mendelik
tatkala melihat Saraswati hendak melangkah ke arah-
nya. Hingga Saraswati urungkan niat.
"Sobatku.... Kalau anakmu masih merasa curiga, apa tidak sebaiknya dia diajak
ikut serta"!" tanya Kiai Laras seraya memandang pada Lasmini yang sudah
berada di hadapannya.
"Ini urusanku! Sekarang kita berangkat!"
Lasmini sudah melangkah ke jurusan utara. Tak
lama kemudian Kiai Laras melompat dan sudah me-
langkah di samping Lasmini.
"Aku tidak mendengar apa yang kalian perbincangkan! Tapi dari sikapnya, anakmu
tadi punya prasang-
ka jelek padaku.... Hem.... Nasibku hari ini tidak baik!"
"Manusia akan selamat jika berlaku hati-hati! Dan nasibmu akan lebih tidak baik
kalau kau berani mendustai ku!"
Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya laki-laki ini menyeringai dingin. Saat
lain tiba-tiba Kiai Laras berkelebat seraya berkata. "Aku masih ada yang harus
kulakukan! Kita harus cepat sampai!"
Lasmini tidak menunggu lama. Perempuan ini se-
gera pula berkelebat mengikuti Kiai Laras yang berlari cepat menuju ke arah
utara. Sementara jauh di belakang sana, Saraswati tampak pandangi sosok ibunya
dengan dada turun naik.
"Ibu.... Mengapa kau masih juga tak bisa le-
nyapkan perasaan dendam"! Dan mengapa kau cari
urusan dengan Pendeta Sinting"! Bukankah kalau
memang ingin selesaikan urusan harus dengan Pende-
kar 131"!"
Mengingat sampai di situ, tiba-tiba pemuda yang
benarnya adalah seorang gadis ini menghela napas.
"Pendekar 131.... Mengapa aku tidak bisa melupa-kannya"! Di mana dia sekarang
berada..."! Hem.... Ibu tengah mencari jejak Pendeta Sinting. Aku harus men-
gikutinya. Siapa tahu di sana aku bisa jumpa dengannya...."
Saraswati tidak lanjutkan gumamannya. Sebalik-
nya cepat berkelebat karena dilihatnya sosok Ibunya dan Kiai Laras sudah hampir
tidak kelihatan lagi.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah
hari, Kiai Laras dan Lasmini sampai pada satu tempat yang banyak ditumbuhi
jajaran pohon dan semak belukar. Memandang jauh ke depan, tampak sebuah bu-
kit. "Sobatku.... Aku hanya bisa mengantarmu sampai di tempat ini!! ucap Kiai
Laras. Lasmini berpaling pada Kiai Laras. Namun cuma
sejurus. Di lain saat dia arahkan pandangannya pada bukit di depan sana.
"Apakah bukit itu yang kau maksud tempat per-
sembunyiannya Pendeta Sinting"!"
"Benar! itulah Bukit Kalingga. Kau jalan memutar dari sebelah timur. Dari arah
sana kau nanti akan menemukan sebuah goa!"
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah termakan oleh ucapan Saraswati, tanpa ber-
paling hadapkan wajah pada Kiai Laras, Lasmini berucap. "Sebelum aku pergi ke
sana, aku tanya sekali lagi padamu. Kau tidak berdusta?"
"Aku telah berani mengantarmu sampai di sini!
Apakah itu masih belum cukup untuk membuatmu
percaya"!"
"Hem.... Bagaimana kalau kau ikut bersamaku"!"
"Sobatku! Kuharap kau pegang janjimu! Kita tadi telah sepakat. Bahkan kau telah
mengatakan sendiri
jika kau yang akan masuk sendirian!"
"Sebenarnya apa yang membuatmu takut"!"
"Ini bukan masalah takut, Sobat! Tapi urusan pe-
rasaan! Aku kenal baik dengan Pendeta Sinting. Se-
mentara secara diam-diam aku menunjukkan di mana
dia berada pada orang yang punya urusan maut! Kau
tentu bisa merasakan bagaimana rasanya jika kau jadi aku!"
Lasmini tertawa pendek. "Baik! Aku akan pergi ke sana sendirian! Tapi ingat, kau
jangan ke mana-mana sebelum aku kembali!"
Kiai Laras tampak terkesiap. "Urusanmu adalah hidup dan mati! Sementara orang
tidak tahu kapan
matinya! Aku khawatir...."
"Kau khawatir aku akan mati di sana dan tidak
akan kembali"!" tanya Lasmini seraya tertawa. "Aku masih punya kekuatan kalau
hanya membekuk jahanam Pendeta Sinting itu! Tunggulah di sini sampai aku
kembali! Dan jangan coba-coba angkat kaki dari sini sebelum aku datangi"
Habis berkata begitu, Lasmini berkelebat menuju
arah bukit di depan sana. Dan seperti ucapan Kiai Laras, Lasmini berkelebat
memutar dari arah timur.
Setelah agak lama mencari, pada satu tempat tiba-
tiba Lasmini hentikan langkahnya tatkala sepasang
matanya samar-samar menangkap sebuah lobang di
lamping bukit. Lobang itu tidak begitu kelihatan karena di kanan kirinya
diranggasi semak belukar. Sementara tidak jauh dari situ banyak berjajar pohon-
pohon besar, hingga keadaannya agak temaram.
"Hem.... Mungkin ini goa yang dimaksud...," desis Lasmini dengan mata dipentang
besar-besar dan mulai melangkah mendekat. Dia melangkah dengan hati-hati
dan mata melirik kian kemari. Tenaga dalamnya telah dikerahkan pada kedua
tangannya. Lasmini hentikan langkah enam tindak ke depan
mulut goa. Sejenak perempuan ini terlihat bimbang
antara langsung menerobos masuk atau berteriak
memberitahukan kedatangannya.
Belum sampai Lasmini memutuskan apa yang ha-
rus dilakukan, tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan bergerak-gerak. Lasmini
angkat kedua tangannya
seraya berpaling.
Memandang ke depan, dada Lasmini laksana dis-
entak. Sepasang matanya mementang angker berkilat-
kilat. Kedua tangannya yang terangkat bergetar keras.
Saat bersamaan mulutnya mendesis. "Kau!"
Di seberang depan, di antara semak belukar, tegak
seorang pemuda berparas tampan mengenakan pa-
kaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-
acakan dilingkari ikat kepala warna putih. Lasmini ta-hu benar, bahwa pemuda
yang tegak di seberang bu-
kan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131
Joko Sableng! SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Para Ksatria Penjaga Majapahit 15
Seandainya aku bisa, aku akan menolongmu meski
aku tidak percaya benar dengan janji ucapanmu!"
"Nek...."
"Maladewa!" potong si nenek sebelum Maladewa teruskan ucapannya. "Percuma kau
terus memohon! Yang kuharap sekarang, bersabarlah! Percayalah bah-
wa kau akan bertahan sampai ada orang yang kelak
menolongmu dari sini! Karena tempat itu dibuat khusus. Orang tak mungkin mati
begitu saja meski ter-
pendam di dalamnya berpuluh-puluh tahun! Malah ka-
lau kau bisa memanfaatkan keadaan, kelak kau akan
jadi manusia disegani begitu bisa keluar!"
"Nek! Tiga belas ribu hari bukan waktu pendek! Ka-
laupun aku bisa bertahan hidup, siapa kelak yang
akan mengeluarkan aku"! Kau mungkin sudah tidak
ada!" "Kau tidak boleh kecil hati, Maladewa! Ingat, kau adalah generasi dari Kampung
Setan!. Kalau nasibmu
baik, pasti ada seseorang yang kelak menolongmu!"
"Nek...! Rasanya aku tidak bisa tahan hidup di tempat ini! Kuharap kau bisa
lakukan sesuatu untuk-ku!" Tidak ada sahutan. Maladewa kembali perdengarkan
suara. "Nek! Kau masih berada di luar bukan"!"
Meski sebenarnya si nenek masih tegak di samping
makam batu, namun nenek ini tidak buka suara me-
nyahut. Malah begitu Maladewa ajukan tanya, perla-
han-lahan si nenek melangkah mundur.
"Nek! Kau masih berada di luar"!" Maladewa berteriak keras.
Si nenek tetap tidak menyahut. Dia terus melang-
kah mundur. Sejarak kira-kira lima tombak, si nenek balikkan tubuh, lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mendapati suaranya tidak ada yang menyahut, Ma-
ladewa berteriak keras-keras. Namun setelah agak la-ma dan tidak ada suara yang
menyahut, akhirnya Ma-
ladewa hentikan teriakannya sambil memaki panjang
pendek. Hanya sesaat setelah si nenek berkelebat pergi dan
Maladewa hentikan teriakannya, dari balik salah satu lamping julangan batu
karang, tampak keluar satu kepala! Kepala ini bergerak mengikuti arah
berkelebatnya si nenek.
Begitu sosok si nenek tidak kelihatan lagi, kepala
ini bergerak menghadap makam batu. Ternyata kepala
ini milik seorang laki-laki. Usianya masih muda. Rambutnya panjang hitam dan
lebat. Sepasang matanya
tajam. Pada kedua cuping hidungnya tampak meling-
kar anting-anting dari benang berwarna merah.
"Hem.... Apa ucapan nenek tadi bisa dipercaya"!
Tiga belas ribu hari.... Hem.... Waktu yang terlalu lama untuk menunggui.
Rasanya percuma kalau menunggu sampai saat itu dating! Aku jadi tidak bermi-nat
lagi dengan Kembang Darah Setan yang selama ini banyak dibicarakan orang! Tapi
hal ini akan kubicara-kan dengan adikku Kiai Laras. Siapa tahu dia sabar
menanti...."
Habis bergumam begitu, laki-laki ini perlahan-
lahan keluar dari lamping julangan batu karang. Kepalanya berputar menyiasati
keadaan. "Kiai Laras pasti akan sabar menunggu saat itu!
Dan jika dia nanti memang berhasil, saat itulah aku baru bertindak! Ha....
Ha.... Ha...! Aku tidak mau berlaku ceroboh. Kalau orang bernama Maladewa itu
ber- tahan hidup, pasti akan menjelma sebagai manusia
sakti.... Aku tak mau ambil risiko! Biar Kiai Laras yang lakukan semua ini! Aku
nanti tinggal menangguk ha-silnya...."
Laki-laki yang kedua cuping hidungnya dihias den-
gan anting-anting dari benang warna merah ini sekali lagi arahkan pandang
matanya pada makam batu.
Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat pergi
mengambil arah berlawanan dengan si nenek.
* * * SEMBILAN KITA kembali pada Datuk Wahing dan Pendekar
131. Berlari kira-kira seratus tombak, Datuk Wahing berhenti. Lalu enak saja
kakek ini duduk menjeplok di atas tanah dengan punggung bersandar pada batangan
pohon randu yang baru tumbuh dan banyak berteba-
ran di tempat itu.
Pendekar 131 Joko Sableng ikut-ikutan duduk ber-
sandar tidak jauh dari tempat Datuk Wahing. Dan seolah tidak sabar, begitu duduk
bersandar, Joko segera buka mulut.
"Kek! Harap kau segera memberi keterangan pada-ku tentang Kembang Darah Setan
dan hubunganmu dengan makhluk yang sebutkan diri sebagai Setan
Liang Makam itu!"
"Bruss! Bruss! Sabar, Anak Muda! Beri kesempatan padaku untuk menarik napas! Aku
sudah tua. Berlari
jauh membutuhkan tenaga yang tidak sedikit buat
manusia tua macam aku ini!" ujar Datuk Wahing
meski wajah kakek ini sama sekali tidak membayang-
kan kelelahan. Justru murid Pendeta sinting yang sekujur tubuhnya telah basah
oleh keringat dan dadanya bergerak turun naik dengan keras.
Datuk Wahing memandang berkeliling. Lalu tak
lama kemudian dia mulai perdengarkan suara.
"Anak muda! Kuharap kau nanti tidak memotong
keteranganku...."
Murid Pendeta Sinting tidak memberi sahutan. Dia
hanya memandang seraya angkat bahu. Datuk Wahing
melirik. Setelah bersih dua kali. Kakek ini mulai men-ceritakan kejadian tiga
puluhan tahun silam di Kampung Setan yang telah dituturkan sebelum ini.
Habis bercerita panjang lebar, Datuk Wahing ber-
sin beberapa kali dan diam untuk beberapa lama. Pada akhirnya Datuk Wahing
berpaling pada murid Pendeta
Sinting sambil berkata. "Anak muda! Hanya sekelumit
itulah yang kuketahui tentang Kampung Setan serta
Kembang Darah Setan!"
"Kek! Mendengar penuturan mu serta menghu-
bungkannya dengan apa yang saat ini tengah terjadi, apa tidak salah dugaanku
jika Setan Liang Makam itu adalah Maladewa"!"
'Bruss! Brusss! Kau boleh saja menduga, Anak
Muda! Tapi aku tidak berani memberikan kepastian
salah benarnya dugaanmu! Kau tentu bisa menentu-
kannya sendiri...."
"Kek! Menurut yang pernah kudengar, kau berada di balik pembunuhan beberapa
tokoh rimba persilatan saat itu! Berarti kalau dihubungkan dengan keteranganmu,
kau adalah salah satu orang yang disuruh Ma-
ladewa untuk mencari jejak Galaga dan neneknya. Apa hal itu benar"!" tanya
Pendekar 131 tatkala teringat akan keterangan Kiai Laras pada pertemuannya
beberapa saat lalu.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting yang te-
rus terang menuduh, bukan membuat Datuk Wahing
menjadi berang. Sebaliknya kakek ini tertawa panjang lalu berkata. "Aku tidak
membela pada diri sendiri, Anak Muda! Dan kau jangan heran. Dunia yang kita
hadapi adalah dunia persilatan. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi!
Jadi terserah padamu bagaimana penilaianmu padaku...."
Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam mendengar
jawaban Datuk Wahing. Tak lama kemudian dia berka-
ta lagi. "Kek! Apa selama ini antara kau dan Kiai Laras punya silang
sengketa..."!"
"Bruss! Bruss! Sekali lagi, aku tidak membela diri apalagi membuat aku baik di
matamu. Tapi adalah
mengherankan kalau sampai aku membuat permusu-
han apalagi silang sengketa dengan orang lain...."
Murid Pendeta Sinting pandangi orang di hadapan-
nya dengan seksama. Kini kembali dia teringat akan
peristiwa yang tengah dialaminya. Hingga tak lama
kemudian dia angkat bicara.
"Kek! Sekarang katakanlah aku tak ambil peduli siapa sebenarnya manusia yang
sebutkan diri Setan
Liang Makam itu. Yang ku herankan, mengapa dia
meminta Kembang Darah Setan padaku!"
"Bruss! Bruss! Anak muda! Kau tak akan merasa
heran jika simak ucapanku tadi! Bukankah sudah ku-
bilang. Fitnah dan saling hasut bukan barang baru lagi dalam rimba persilatan!
Dan kalau kau merasa difit-nah, inilah saatnya kau menyelidik!"
"Kek! Menurutmu bagaimana dengan nenek yang
sebutkan diri Dayang Sepuh"!"
"Bruss! Bruss! Kau akan tambah heran kalau min-ta pertimbangan padaku, Anak
Muda! Karena di hada-
panku, semua orang adalah baik!"
"Hem.... Jika demikian, aku sependapat denganmu seperti yang kau ucapkan
beberapa hari lalu. Bahwa ada orang yang melakonkan diriku!"
'Jangan membuat kepastian. Anak Muda! Itu akan
menimbulkan hal-hal yang lebih mengherankan! Jalan
terbaik bagimu adalah menyelidiki"
Habis berkata begitu, Datuk Warung bergerak
bangkit. Murid Pendeta Sinting ikut beranjak berdiri.
Sebelum Joko angkat bicara, Datuk Wahing telah
mendahului. "Anak muda! Kiranya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan...." Datuk Wahing
putar diri. Kakinya hendak bergerak melangkah. Tapi tiba-tiba kakek ini
urungkan gerakan kakinya. Sebaliknya angkat bicara.
"Anak muda.... Waktu kau muncul tadi, aku heran melihat tampangmu. Apa memang
kau tidak menemu-
kan gadis cantik itu"!"
Joko menghela napas sebelum akhirnya berkata.
"Benar, Kek! Aku kehilangan gadis itu! Padahal masih banyak yang hendak
kutanyakan padanya!"
"Bruss! Bruss! Anak muda. Kalau mau ikut saran ku, jangan kau banyak bertanya
untuk menghadapi
urusan ini! Semakin banyak tanya, kau akan makin
heran! Dan itu akan membuatmu salah langkah!"
Pendekar 131 hendak angkat bicara. Namun di-
urungkan tatkala melihat si kakek telah berkelebat
dan tahu-tahu sosoknya telah berada jauh di depan
sana. "Orang tua aneh.... Dari penuturan keterangannya, dia kurasa masih sembunyikan
sesuatu padaku!
Sayang aku tak dapat menebak apa yang disembunyi-
kan itu.... Hanya saja kalau benar Setan Liang Makam adalah Maladewa, aku bisa
menduga kalau dia sebenarnya adalah murid si nenek itu! Hem.... Tapi kalau Setan
Liang Makam bukan si Maladewa..."!" Murid Pendeta Sinting tidak bisa jawab
pertanyaannya sendiri. Dia mendongak. "Aku memang harus segera menyelidik! Aku
juga harus segera menemukan jejak Eyang Guru! Urusan ini rupanya tidak hanya
terhenti sampai pada diriku semata. Karena Setan Liang Makam telah
coba mencari Eyang Guru...."
Murid Pendeta Sinting perlahan-lahan melangkah
tinggalkan tempat itu. Namun baru saja kakinya ber-
gerak lima tindak, dia dikejutkan dengan terdengarnya suara orang batuk-batuk
beberapa kali. Laksana disentak tangan setan, kepala Joko cepat
berpaling. Memandang ke arah depan, sepasang mata
Joko sempat membeliak besar. Enam tombak dari
tempatnya berdiri terlihat satu sosok tubuh tegak dengan kedua tangan merangkap
di depan dada. Orang ini
tidak hadapkan wajahnya ke arah murid Pendeta Sint-
ing meski jelas dari isyarat batuknya menandakan agar orang menghadap dan
memandang ke arahnya.
* * * SEPULUH ORANG yang tegak dengan kedua tangan merang-
kap di muka dada adalah seorang perempuan. Ram-
butnya sangat tipis bahkan hampir bisa dikatakan
plontos. Nenek ini mengenakan pakaian putih. Meski
Joko tidak bisa dengan jelas melihat raut wajahnya, karena orang ini tetap
hadapkan wajah ke jurusan
lain, namun murid Pendeta Sinting sedikit banyak bisa menduga kalau wajah nenek
ini telah mengeriput. Karena kedua tangannya yang merangkap di depan dada
tampak ringkih. Hanya Pendekar 131 sedikit merasa
heran. Suara batukan tadi yang jelas diperdengarkan oleh si nenek sangat berat
dan menggetarkan! Satu
tanda siapa pun orang yang perdengarkan, tentu me-
miliki tenaga dalam luar biasa.
Belum sampai murid Pendeta Sinting dapat men-
duga siapa gerangan adanya si nenek, orang ini telah angkat bicara.
"Manusia Muda! Benarkah kau pemuda yang ber-
gelar Pendekar Pedang Tumpul 131"!"
Joko terkesiap. Bukan hanya karena pertanyaan
orang, namun suara yang diperdengarkan si perem-
puan amat berat! Dan seolah-olah diperdengarkan dari segala jurusan!
"Dari pertanyaannya, mungkin ini masih ada hu-
bungannya dengan urusan yang tengah kuhadapi!
Hem.... Inilah saatnya aku mulai menyelidiki" Joko membatin dalam hati. Lalu
setelah kuasa diri murid
Pendeta Sinting buka suara.
"Bukan satu kali ini orang salah menduga padaku!
Kalau aku boleh tanya, apakah wajahku memang sama
dengan orang yang baru kau tanyakan"!"
Jawaban Joko membuat orang di seberang depan
mau tak mau harus gerakkan kepala menghadap mu-
rid Pendeta Sinting. Dan ternyata dugaan Joko tidak meleset. Paras wajah si
perempuan ternyata memang
telah dihias dengan keributan. Masih ditambah dengan sepasang matanya yang
menjorok masuk ke dalam
rongga yang sangat dalam. Hingga raut wajah nenek
ini menakutkan! Dilingkari kepalanya yang hampir tidak ditumbuhi rambut membuat
sosok si nenek bukan
hanya menakutkan namun juga angker!
Mungkin untuk memperjelas pandang matanya,
begitu kepalanya bergerak menghadap ke arah Joko, si nenek membuat gerakan satu
kali. Sosoknya tiba-tiba melesat dan tegak enam langkah di depan murid Pendeta
Sinting yang tergagu diam.
Begitu injakkan sepasang kakinya di depan Joko,
sepasang mata si nenek cepat perhatikan sosok pemu-
da di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Meski agak ngeri dengan pandangan mata si ne-
nek, Joko tersenyum-senyum dengan mata melirik
memperhatikan keadaan si nenek. Hingga untuk bebe-
rapa saat kedua orang ini saling memperhatikan satu sama lain. Bedanya kalau si
nenek memandang dengan sepasang mata melotot angker, Joko mengawasi
dengan mata melirik.
"Bagaimana, Nek"!" tanya Joko setelah agak lama.
"Apa tampangku memang mirip dengan orang yang
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau tanyakan tadi"!"
Yang ditanya tidak menyahut. Kalaupun tak lama
kemudian buka suara, bukannya menjawab perta-
nyaan orang, melainkan balik ajukan tanya.
"Manusia Muda! Kau murid Pendeta Sinting, bu-
kan?" "Hem.... Nek! Bukan kau saja yang menduga demikian padaku! Kalau kau bisa
memberi jawaban atas
pertanyaanku yang pertama tadi, tentu kau pun akan
mendapat jawaban pasti dari pertanyaanmu yang ke-
dua...! Agar kau tidak lupa. Ku ulangi pertanyaanku yang pertama tadi. Apakah
tampangku mirip Pendekar
Pedang Tumpul 131"!"
"Manusia Muda! Aku tak tahu apa wajahmu mirip
atau tidak! Yang jelas dari ciri-cirinya aku hampir yakin kau adalah Pendekar
131!" Murid Pendeta Sinting tersenyum dengan gelengan
kepala. "Nek... Jangan lupa. Ciri orang bisa sama, tapi beda manusianya! Dan
kadang-kadang, ciri orang ber-beda, tapi sama manusianya!"
Ucapan Joko rupanya membuat si nenek agak
jengkel. Hingga begitu Joko selesai berucap, si nenek telah menyambut dengan
suara keras. "Persetan dengan ucapanmu yang terbalik-balik
itu! Yang pasti aku yakin kau adalah Pendekar 131!"
"Baiklah kalau demikian dugaanmu. Kalau sean-
dainya aku Pendekar 131, ada sesuatu yang hendak
kau utarakan"!" tanya Joko.
"Hanya ada satu pertanyaan, Manusia Muda! Ja-
wablah dengan jujur dan jangan banyak berprasangka!
Apakah benar kau yang berhasil mendapatkan Kem-
bang Darah Setan"!"
Joko tertawa panjang sebelum akhirnya angkat su-
ara. "Seandainya pun aku Pendekar 131, maka aku akan menjawab bahwa tidak benar
kalau Kembang Darah Setan berhasil kudapatkan! Jangankan menda-
patkan, melihat pun belum pernah!"
"Kau tidak berdusta"!"
"Kalau berdusta tidak ada untungnya, mengapa
harus kulakukan"!"
"Baik! Aku pegang ucapanmu. Tapi ingat, Manusia Muda! Kelak jika kau berkata
dusta, saat itulah ajalmu sampai!"
Habis berkata begitu, si nenek balikkan tubuh. Ta-
pi Joko cepat berkelebat dan tegak menghadang,
"Nek! Aku telah jawab pertanyaanmu. Sekarang
aku juga ingin kau jawab satu pertanyaanku! Harap
kau juga berkata jujur dan tidak menaruh prasangka!
Siapa kau sebenarnya"!"
Si nenek pentangkan matanya. Namun tampaknya
dia enggan jawab pertanyaan Joko karena sejauh ini
dia hanya memandang dengan mulut terkancing rapat.
"Nek! Kalau kau tidak mau jawab pertanyaanku, maka kau tidak bisa pegang
ucapanku tadi! Jadi seandainya kelak ternyata ucapanku tadi dusta, kau tidak
bisa seenaknya saja menentukan saat tibanya ajal ku!"
"Hem.... Begitu"! Baik. Dengar, Manusia Muda!
Aku adalah Nyai Suri Agung!"
"Nek! Bukan itu yang ku maksud! Yang kutanya-
kan siapa kau sebenarnya! Bukan siapa namamu!"
Si nenek yang baru katakan namanya Nyai Suri
Agung tertawa pendek. Lalu berkata. "Siapa pun manusianya yang tanya begitu,
maka dia tidak akan
mendapat jawaban apa-apa! Malah kalau memaksa, itu
adalah takdir buruk baginya! Kau dengar"!"
"Hem.... Berarti aku masih punya pertanyaan satu lagi! Karana kau membatalkan
pertanyaanku tadi! Dari
raut wajahmu, aku menduga kau masih ada hubun-
gannya dengan Setan Liang Makam. Harap kau mau
katakan apa hubunganmu dengan Setan Liang Ma-
kam!" kata Joko meski dalam hati dia berkata sendiri.
"Kau tadi merasa yakin kalau aku adalah Pendekar 131. Sekarang aku pun balas
mengatakan kau mirip
dengan Setan Liang Makam!"
Sejenak Nyai Suri Agung mengernyit. Lalu berkata.
"Manusia Muda! Meski kau duga demikian, perlu kau tahu! Aku tidak ada hubungan
apa-apa dengan manusia yang namanya baru kau sebut! Marah aku belum
pernah bertemu dengannya!"
"Hem.... Kau berkata jujur"!"
Nyai Suri Agung melotot angker. "Kalau aku tidak sedang menyelidik dan
melibatkan dirimu, sudah ku-gebuk mulutmu!" bentak si nenek lalu membuat satu
gerakan. Sosoknya tiba-tiba telah melesat dan di lain saat telah lenyap jauh di
depan sana! "Satu lagi orang aneh yang muncul!" gumam murid Pendeta Sinting. Entah merasa
ragu masih ada orang
lagi, sebelum melangkah pergi, Pendekar 131 putar
pandangannya berkeliling. Dan merasa tidak ada orang lagi, dia berkelebat
tinggalkan tempat itu.
* * * Pendekar 131 Joko Sableng celingukan sebentar.
Lalu arahkan pandangan matanya pada sebuah kedai
di depan sana. Setelah mendapat keterangan dari Da-
tuk Wahing dan menimbang-nimbang, akhirnya murid
Pendeta Sinting memutuskan untuk penyelidikan dari
kedai. Seperti diketahui, di kedai itulah Joko sempat jumpa dengan seorang nenek
yang sebutkan diri seba-
gai Dayang Sepuh. Dan menurut Dewi Seribu Bunga di
kedai ini pula si gadis berjumpa dengan Joko. Padahal murid Pendeta Sinting
merasa tidak pernah bertemu
dengan Dewi Seribu Bunga di kedai. Karena hai itulah pada akhirnya murid Pendeta
Sinting memutuskan
mulai penyelidikan dari kedai. Setelah lakukan perjalanan semalam dua hari,
murid Pendeta Sinting sam-
pai di tempat tidak jauh dari kedai di mana beberapa saat yang lalu dia bertemu
dengan Dayang Sepuh.
Pendekar 131 sengaja menunggu sampai suasana
kedai agak sepi seraya memperhatikan dengan seksa-
ma beberapa orang yang keluar masuk kedai.
"Meski aku tidak bisa dengan jelas membedakan
raut wajahku dengan orang, tapi rasanya belum ada
orang yang mirip denganku.... Anehnya bagaimana
Dewi Seribu Bunga bisa mengatakan bertemu aku di
kedai itu"! Malah hendak memperkosanya..."! Sialan betul! Menyentuh saja tidak,
malah dituduh hendak
memperkosa! Hem.... Keterangan orang tua pemilik
kedai itu mungkin bisa membuka benar tidaknya uca-
pan Dewi Seribu Bunga!"
Setelah dilihat keadaan kedai agak sepi, perlahan-
lahan Pendekar 131 melangkah ke arah kedai. Dia se-
jenak hentikan langkah di pintu kedai dengan mata
memperhatikan ke dalam. Hanya ada beberapa orang.
Namun tak ada yang dikenal apalagi wajahnya mirip
dengannya. Sementara itu melihat ada orang hendak masuk ke
dalam kedai, orang tua pemilik kedai yang wajahnya
dikenali murid Pendeta Sinting buru-buru melangkah mendekat. Namun tiba-tiba
orang tua ini hentikan
langkahnya. Sepasang matanya memandang tak ber-
kedip. Saat lain mulutnya telah membuka perdengar-
kan suara seraya tertawa.
"Aku.... Aku tidak lupa.... Kau pasti anak muda yang beruntung itu...."
Yang disapa tidak menyahut. Dia hanya meman-
dang lalu sebelum si orang tua pemilik kedai memper-silakan, Joko sudah
melangkah. Bukan mencari tem-
pat duduk, melainkan mendekati si pemilik kedai dan berbisik sambil pegangi
lengan orang. "Orang tua! Terima kasih kau tidak lupa padaku!
Aku datang tidak perlu untuk makan atau minum!
Aku...." Si orang tua pemilik kedai sesaat tampak tersentak
kaget. Dia buru-buru berkata memotong ucapan Joko.
"Anak muda.... Silakan makan dan minum. Aku tidak akan menarik bayaran...."
"Harap dengar ucapanku dulu. Orang Tua! Aku datang tidak perlu makan atau minum!
Aku butuh kete-
rangan darimu!"
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting mena-
rik pemilik kedai ke bangku di sebelah pojok.
Orang tua itu tampak gugup. Wajahnya berubah
tegang malah tubuhnya bergetar.
"Orang tua! Harap kau jujur memberi keterangan padaku!" kata Joko begitu mereka
berdua duduk di bangku paling pojok.
Si pemilik kedai memandang takut-takut sambil
anggukkan kepala. Dari keningnya keringat sudah
mengalir deras.
Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil gelengkan
kepala. "Orang tua! Tak usah takut.... Aku hanya minta kau memberi keterangan
apa adanya!"
Walau si orang tua anggukkan kepala, tapi jelas
sekali kalau wajahnya masih membayangkan rasa ke-
takutan. Bahkan untuk imbangi getaran tubuhnya,
orang tua ini sengaja berpegangan pada bangku di ba-
wahnya. "Orang tua.... Setelah kepergianku bersama nenek berdandan menor tempo hari itu,
apakah ada seorang
gadis cantik mengenakan pakaian warna merah mun-
cul di sini" Rambutnya dikuncir, kulitnya putih...!"
Si orang tua yang ditanya tidak segera menjawab.
Sebaliknya dia menatap pada orang yang bertanya
dengan dahi berkerut. Diam-diam dalam hati orang tua ini berkata. "Aneh....
Bagaimana dia bertanya begitu"
Apa dia lupa" Atau anak ini bercanda" Atau jangan-
jangan dia punya penyakit pikun...."
Karena agak lama yang ditanya tidak memberi ja-
waban, Joko buka suara lagi.
"Orang tua! Aku telah bertanya. Harap kau menjawab! Dan jangan lupa, jawab
dengan apa adanya!"
"Anak muda.... Setelah kepergianmu, memang ada gadis yang cirinya seperti kau
katakan itu...."
"Hem.... Lalu apakah ada pemuda yang muncul setelah itu"! "
Si pemilik kedai pandangi murid Pendeta Sinting
dengan tatapan heran. Namun buru-buru anggukkan
kepala saat dilihatnya Joko hendak buka mulut lagi menegur karena yang ditanya
belum juga memberi jawaban.
"Kau bisa terangkan ciri-ciri pemuda yang muncul setelah kedatangan gadis
berbaju merah itu"!"
Mendengar ucapan Joko, perlahan-lahan ketegan-
gan di wajah orang tua pemilik kedai sirna. Malah tak lama kemudian, orang tua
ini sudah tersenyum. Tapi
sejauh ini belum memberi jawaban. Orang tua ini ru-
panya menduga jika si pemuda sedang mengajaknya
bercanda. Karena dia tahu betul, pemuda yang muncul setelah kedatangan si gadis
baju merah adalah pemuda yang kini ada di hadapannya dan sedang bertanya!
"Orang tua! Aku bertanya. Mengapa kau terse-
nyum"!" tanya Joko.
"Anak muda.... Kau tidak sedang mengajakku bercanda, bukan"!"
"Orang tua! Dengar, aku tidak sedang bercanda!
Aku bertanya, bagaimana ciri-ciri pemuda yang mun-
cul setelah kedatangan gadis berbaju merah itu!"
Meski masih merasa heran dengan pertanyaan
orang, tapi pada akhirnya si orang tua menjawab juga.
"Anak muda.... Aku tak bisa menerangkan panjang lebar bagaimana ciri-ciri pemuda
itu. Karena pemuda itu adalah kau sendiri!"
Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-
tanya mendelik pandangi orang tua di hadapannya.
"Orang tua! Harap kau mengatakan dengan jujur!"
"Aneh.... Kau ini aneh, Anak Muda! Untuk apa aku mendustai mu"! Kau telah
berjasa menolongku membawa nenek itu dari sini! Lalu kau datang lagi tidak
berapa lama. Karena kita sudah sepakat tentang imba-
lan. Dan menurutku, saat itu kaulah anak manusia
yang punya rezeki besar. Selain mendapat imbalan,
kau juga pergi membawa gadis cantik itu...."
"Orang tua! Kau tidak salah melihat orang"!" tanya murid Pendeta Sinting seolah
ingin yakinkan ucapan
orang. "Anak muda.... Usia kadangkala memang mengu-
rangi ketajaman penglihatan orang. Tapi dalam hal ini aku tak mungkin salah
lihat! Apalagi kau muncul tidak berapa lama setelah kepergianmu membawa si nenek
yang berdandan mencolok itu!"
"Apa kau mendengar percakapan antara si gadis
dengan pemuda itu"!"
"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak terbiasa
mencuri dengar perbincangan orang! Apalagi yang se-
dang bercakap-cakap adalah seorang gadis dan seo-
rang pemuda! itu hanya akan membuatku ingin kawin
lagi...." Si orang tua pemilik kedai sudah berani tertawa keras dan panjang.
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa lama. Dia
arahkan pandangan matanya ke halaman kedai den-
gan sesekali menarik napas panjang.
"Anak muda.... Wajahmu berubah! Boleh tahu apa yang terjadi"!"
Murid Pendeta Sinting tidak menjawab pertanyaan
orang. Bahkan berpaling pun tidak.
Si pemilik kedai tersenyum. "Anak muda.... Aku sudah pernah kawin tujuh kali.
Kau tahu.... Jika aku tertarik lagi dengan seorang perempuan, kadang-kadang aku
lupa pada diriku sendiri! Dan aku juga lu-pa apa yang pernah kulakukan! Jatuh
cinta memang bisa membuat orang lupa segalanya!"
"Orang tua! Apa setelah itu pemuda yang bersama gadis baju merah pernah muncul
lagi di sini"!"
"Pernah...!"
"Kapan"! Dia datang bersama siapa"!" sahut Joko dengan cepat.
"Dia datang sendirian! Munculnya waktu kau bertanya ini!"
"Busyet!" maki Pendekar 131 dalam hati. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
beranjak bangkit. Lalu melangkah tinggalkan ruangan kedai.
"Tunggu, Anak Muda!" tahan si pemilik kedai. "Aku merasa ada yang tak beres
dengan pertanyaan-pertanyaanmu! Kau bisa menjelaskan"! Siapa tahu
aku bisa membantu! Kau telah pernah menolongku.
Tak ada salahnya kalau sekarang aku membantumu."
Joko hentikan langkah. Lalu balikkan tubuh
menghadap si orang tua. Sepasang matanya meman-
dang tajam. "Orang tua! Kalau kau memang mau
membantu, tolong jawab sekali lagi pertanyaanku. Kau benar-benar melihat bahwa
aku yang datang saat
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu"!"
"Aku tak mungkin salah!"
Murid Pendeta Sinting sejurus masih menatap pa-
da si orang tua. Lalu balikkan tubuh dan teruskan
langkah meninggalkan kedai.
Si orang tua pemilik kedai pandangi sosok murid
Pendeta Sinting hingga lenyap di luar sana. Kepalanya menggeleng. "Kasihan....
Jangan-jangan pemuda itu akan hilang ingatan! Dia sudah tidak ingat lagi pada
apa yang pernah dilakukan. Pada dirinya sendiri!
Hem.... Nyatanya penyakit asmara lebih berbahaya da-ri penyakit lainnya....
Mudah-mudahan aku tidak jatuh cinta lagi...."
Tidak jauh dari kedai, pada tempat agak sepi, mu-
rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Berarti ucapan Dewi Seribu Bunga benar!
Dan ini berarti pula memang ada manusia yang memerankan sebagai diriku!
Kalau Setan Liang Makam tiba-tiba meminta Kembang
Darah Setan padaku, berarti jelas jika manusia yang memerankan sebagai diriku
itulah yang telah mendapatkan Kembang Darah Setan! Yang sekarang jadi per-
tanyaan, siapa dia"! Bagaimana mungkin rupanya ti-
dak beda dengan rupa ku"!"
Benak Pendekar 131 terus didera pertanyaan.
Hingga dia sampai tidak ingat berapa lama dia berada di tempat itu. Dia baru
sadar tatkala perlahan-lahan suasana berubah temaram. Ketika dia memandang ke
jurusan barat, ternyata matahari sudah satu tombak di atas bentangan kaki
langit. * * * SEBELAS SUDAH berapa lama Lasmini duduk di atas ham-
paran rumput itu sambil memikirkan apa yang baru
saja dialami. Dia sekarang dalam keadaan bimbang
tentang apa sebaiknya yang harus dilakukan. Dia tidak berhasil menemukan Pendeta
Sinting di Jurang Tlatah Perak. Sementara mencari orang macam Pendeta Sinting
bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kini dia telah berjumpa dengan Setan Liang
Makam dan Datuk Wahing. Walau belum benar-benar bentrok, tapi Lasmini
cukup maklum kalau kedua orang itu memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi. Dan
melihat kemunculan keduanya di Jurang Tlatah Perak, jelas keduanya punya
urusan penting meski sejauh ini Lasmini tidak tahu urusan sebenarnya. Dan hal
itu sudah cukup bagi
Lasmini untuk tidak ingin terlibat lagi dengan ikut serta mencari Pendeta
Sinting. Karena akan membuatnya
secara tidak langsung akan terlibat bentrok dengan Setan Liang Makam dan Datuk
Wahing. "Sementara waktu lebih baik aku menemui Saras-
wati...." Akhirnya Lasmini memutuskan. Seperti diketahui, Saraswati adalah anak
perempuan Lasmini den-
gan Panjer Wengi. (Lebih jelasnya tentang hubungan
antara Lasmini dengan Saraswati dan Panjer Wengi, silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").
Belum sampai Lasmini bergerak bangkit, menda-
dak perempuan ini sadar kalau di tempat itu dia tidak sendirian. Lasmini cepat
palingkan kepala ke samping kanan. Dugaannya tidak meleset. Matanya menangkap
satu sosok berkelebat ke jurusan timur.
Tanpa menunggu lama, Lasmini segera beranjak
bangkit lalu sekali membuat gerakan, sosoknya telah melesat ke arah
berkelebatnya sosok yang baru saja di-tangkap pandangan mata Lasmini.
"Tunggu!" teriak Lasmini begitu sosok yang dikejar telah terlihat di depan sana.
Orang di depan tidak pedulikan teriakan Lasmini.
Dia terus saja berkelebat. Lasmini jadi curiga. Seraya mengejar perempuan ini
berteriak. "Kalau kau terus lari, jangan menyesal kalau kaki-mu kupatahkan!"
Mendengar ancaman orang, orang di depan sana
tiba-tiba hentikan larinya. Orang ini membuat gerakan berputar hingga sosoknya
menghadap Lasmini yang
buru-buru hentikan larinya meski jaraknya dengan
orang yang dikejar kira-kira lima belas langkah.
Begitu orang di depan balikkan tubuh, Lasmini
tampak tersentak kaget. Kalau saja dia tidak segera sadar, tentu dia akan segera
menghambur ke depan.
Malah saat itu juga mulutnya sudah menyebut sebuah
nama. Untung Lasmini segera maklum dan cepat-cepat
katupkan mulutnya dengan mata dipentang besar-
besar. Lasmini tidak tahu jelas siapa adanya orang itu.
Yang pasti dia adalah seorang laki-laki berusia agak lanjut. Dan yang lebih
pasti lagi, seandainya pada cuping kedua hidung orang itu mengenakan anting-
anting dari benang warna merah, tentu saja Lasmini dengan
tepat dapat menebak siapa adanya si laki-laki.
Anehnya, orang di depan sana hanya putar seben-
tar tanpa buka suara. Dia seolah hanya ingin unjuk
tampang pada orang. Setelah itu dia putar tubuh lagi dan enak saja melangkah
teruskan jalan.
"Wajahnya persis dengan Kiai Lidah Wetan! Siapa dia"! Sikapnya mencurigakan! Di
sana tadi pasti dia selalu memperhatikan tingkah ku. Dan tidak.... Dia
sengaja balikkan tubuh hanya untuk agar aku meli-
hatnya...."
Merasa penasaran, Lasmini akhirnya mengejar.
Orang di depan sana tampaknya sengaja melangkah
perlahan-tahan dan seakan-akan tidak merasa sedang
dikejar orang. Malah ketika Lasmini berkelebat dan ti-ba-tiba telah tegak
menghadang di hadapannya, laki-
laki ini tidak unjukkan sikap kaget. Bahkan bibirnya sunggingkan senyum lalu
berkata mendahului.
"Ada yang membuatmu heran, Sobat"!"
Lasmini kancingkan mulut dengan mata membe-
liak besar pandangi orang di hadapannya dengan sek-
sama. Dia kini percaya, kalau seandainya orang di hadapannya mengenakan anting-
anting dari benang pada
kedua cuping hidungnya, pasti dia tak bisa membeda-
kan mana yang Kiai Lidah Wetan sesungguhnya!
"Kiai Lidah Wetan tidak pernah cerita padaku kalau punya saudara! Jadi mungkin
ini satu kebetulan aku bertemu dengan orang yang wajahnya mirip dengan Kiai
Lidah Wetan...." Lasmini diam-diam membatin dalam hati. 'Tapi mengapa dia tadi
berada di...."
Belum sampai Lasmini teruskan kata hatinya,
orang di hadapannya telah buka suara lagi. "Sobat!
Apa yang membuatmu memandangku begitu rupa"!
Ada yang salah dengan diriku"!"
Tanpa sadar, Lasmini buka mulut menggumam.
"Wajahmu...."
Laki-laki di hadapan Lasmini tertawa. "Kenapa wajahku"! Mengingatkan kau pada
seseorang"! Atau wa-
jahku menakutkan"!"
"Kau kenal dengan seorang bernama Kiai Lidah
Wetan"!"
"Namanya saja baru kudengar sekarang...," jawab orang yang ditanya.
Lasmini terdiam. Laki-laki di hadapannya melirik,
lalu angkat bicara.
"Harap kau tidak menaruh dugaan buruk padaku.
Aku tadi kebetulan lewat di sana. Kulihat kau sedang tenggelam berpikir, hingga
aku urungkan niat untuk
menyapa mu. Aku menunggu agak sama, tapi rupanya
kau sedang terlibat dalam urusan penting hingga tak menghiraukan kehadiranku di
sekitar tempat kau tadi berada. Aku tadi sebenarnya hendak tanyakan sesuatu
padamu. Tapi takut mengagetkan mu dan mungkin
akan menambah keruwetan pikiranmu, aku putuskan
untuk pergi...."
Entah karena apa, tiba-tiba Lasmini ajukan tanya.
"Apa yang hendak kau tanyakan padaku"!"
Orang yang ditanya gelengkan kepala. "Aku tidak mau menambah keruwetan
pikiranmu! Sebaiknya aku
akan membantumu kalau kau bersedia mengatakan
apa yang kini jadi urusanmu...."
Karena memang sedang dilanda kebimbangan,
Lasmini segera saja utarakan apa yang kini sedang dialaminya. Dia buka mulut
berkata. "Beberapa saat yang lalu aku jumpa dengan seorang laki-laki tua. Tangan kanannya
memegang tong- kat. Dia sering bersin-bersin. Kau tahu siapa adanya orang itu"!"
"Ah.... Kau beruntung. Karena aku mengenali
orang yang baru saja kau katakan! Kalau tidak salah, dia adalah seorang tokoh
rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Datuk Wahing...!"
"Hem.... Berarti orang ini juga salah seorang tokoh.
Buktinya dia mengetahui siapa adanya orang tua yang
baru saja disebutnya dengan Datuk Wahing!" Lasmini diam-diam membatin.
"Kau tahu hubungan antara Datuk Wahing dengan
seorang yang sebutkan diri sebagai Setan Liang Ma-
kam"!" Lasmini ajukan tanya lagi.
Kali ini yang ditanya gelengkan kepala. Malah ke-
ningnya tampak berkerut. Dan tak lama kemudian dia
balik bertanya pada Lasmini.
"Mengapa kau tanyakan hubungan antara Datuk
Wahing dengan Setan Liang Makam?"
"Aku hanya ingin tahu...," ujar Lasmini tidak mau berterus terang.
"Kalau kau menanyakan Setan Liang Makam, aku
dapat menduga jika kau pernah bertemu dengan ma-
nusia itu. Betul"!"
Mungkin agar tidak dipandang sebelah mata oleh
orang, Lasmini berkata.
"Dia adalah sahabatku...."
"Kalau dia sahabatmu, aku makin bisa menebak
apa yang tengah kalian lakukan! Setidaknya apa yang dilakukan oleh sahabatmu
itu!" "Hem.... Rupanya orang ini tahu banyak tentang urusan orang!" kata Lasmini dalam
hati. Lalu berkata.
"Aku ingin tahu apa tebakanmu tepat!"
"Pasti saat ini tengah mencari Pendeta Sinting atau muridnya! Pemuda yang
dikenal dengan Pendekar Pedang Tumpul 131!"
Lasmini tampak tak bisa sembunyikan rasa kejut-
nya mendengar ucapan laki-laki di hadapannya. Se-
mentara laki-laki di hadapan Lasmini yang bukan lain adalah Kiai Laras alihkan
pandang matanya ke jurusan lain dengan bibir sunggingkan senyum.
"Boleh aku tahu"!" tanya Kiai Laras. Pandangannya masih ke arah lain. "Apakah
kalian berhasil jumpa
dengan orang yang kalian cari"!"
Dari raut muka Lasmini rupanya Kiai Laras sudah
bisa membaca kalau tebakannya tidak meleset. Malah
dia pun seakan sudah tahu jawaban apa yang akan
didengar dari mulut Lasmini. Karena sikap Lasmini
yang tenggelam dalam pikirannya sendiri saat dilihatnya di padang rumput tadi,
sudah cukup bagi Kiai Laras untuk menduga-duga.
"Aku belum menemukan Pendeta Sinting atau mu-
ridnya!" kata Lasmini setelah agak lama terdiam.
Kiai Laras tertawa perlahan. "Sobat! Untuk saat-saat sekarang ini percuma kau
mencari Pendeta Sint-
ing!" "Bagaimana bisa begitu"!"
"Kau tentu telah mendengar peristiwa besar di Kedung Ombo! Saat peristiwa itu
terjadi, Pendeta Sinting terluka parah. Saat ini dia tengah dirawat untuk pu-
lihkan keadaannya!"
"Kau tahu di mana dia sekarang berada"!" tanya Lasmini seraya melompat dan tegak
lima langkah di
hadapan Kiai Laras.
Kiai Laras gelengkan kepalanya. "Aku tahu di ma-na. Tapi Jangan tanya padaku di
mana tempat itu!
Aku tak mau nantinya ikut terlibat dalam urusan se-
sama orang persilatan!"
"Kau tak usah khawatir terlibat dalam urusan ini!
Ini urusanku dengan Pendeta Sinting dan si jahanam
muridnya itu! Harap katakan padaku di mana orang
itu berada!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Lebih baik kau tanya seribu hal, asal jangan kau
tanyakan tempat di mana Pendeta Sinting berada!"
"Hem.... Kalau begitu berarti kau akan terlibat urusan denganku!" ujar Lasmini
seraya tertawa pendek.
Kiai Laras pasang tampang terkejut. "Sobat! Aku tak mau terlibat urusan dengan
siapa pun!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh. Tapi
pada saat bersama Lasmini sudah melompat dan tegak
menghadang di depan Kiai Laras.
"Urusanku dengan Pendeta Sinting begitu besar!
Aku tidak mau orang lain mendahuluiku! Jadi apa pun akan kulakukan untuk
mendapatkannya! Kuharap
kau mengerti maksudku!"
"Ah.... Tahu begini akhirnya, aku tadi menyesal berbicara denganmu!" ujar Kiai
Laras dengan nada rendah. Meski kepala orang ini menghadang ke jurusan lain
namun sepasang matanya melirik pada Las-
mini yang tegak di hadapannya.
Lasmini tersenyum. Lalu bertanya. "Kau ada hu-
bungan apa dengan Pendeta Sinting" Saudara seper-
guruan" Saudara pertalian darah"!"
Kiai Laras untuk kesekian kalinya gerakkan kepala
menggeleng. "Aku dengannya hanya sebatas sebagai sahabat!"
"Apa kau merasa kehilangan kalau pendeta sialan itu mampus"!"
"Sobat! Persoalannya bukan merasa kehilangan
atau tidak! Tapi terus terang aku merasa tidak enak!
Apalagi jika nantinya tersiar kabar bahwa akulah yang menunjukkan tempat di mana
dia berada!"
"Hem.... Begitu" Sekarang kau tinggal pilih dua jalan! Kau tunjukkan di mana
beradanya jahanam itu
dan aku akan merahasiakan semua ini, atau kau tetap bungkam namun saat ini juga
kau akan berurusan
denganku!"
Kiai Laras terdiam beberapa lama. Sementara Las-
mini dongakkan kepala menunggu jawaban.
"Bagaimana"!" tanya Lasmini setelah agak lama
menunggu. "Sobat! Kau mau berjanji untuk merahasiakan pertemuan ini"!"
Lasmini tertawa panjang. "Aku bukan orang baik-baik. Tapi janji adalah gantungan
nyawa bagiku! Aku bersumpah akan merahasiakan pertemuan ini!"
Kiai Laras pandangi orang seakan ingin yakinkan
ucapan yang baru diperdengarkan orang. Setelah
menghela napas dalam dan putar kepala, dia berkata.
"Pergilah ke utara. Carilah sebuah bukit bernama Kalingga. Pada ramping bukit
itu ada sebuah goa! Di sanalah Pendeta Sinting dirawat...."
Selesai berkata, Kiai Laras kembali putar kepala.
Lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun sebelum sosok Kiai Laras benar-
benar berkelebat, Lasmini telah rentangkan kedua tangannya, membuat Kiai Laras
tahan gerakannya. Sebelum Kiai Laras berucap, Lasmini telah buka suara.
"Aku tak mau pencarian ku sia-sia! Dan aku pun tak mau ditipu orang!"
"Aku tidak menipumu! Bahkan sebenarnya aku
merasa menyesal katakan semua ini!"
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lasmini tersenyum. "Bagaimana aku bisa percaya kau tidak menipuku"!"
"Lalu apa maumu"!" tanya Kiai Laras dengan suara agak keras.
"Aku belum pernah mendengar nama Bukit Kaling-
ga! Untuk membuktikan bahwa kau tidak menipuku,
kau harus ikut bersamaku!"
"Gila! Kau terlalu banyak permintaan, Sobat! Seharusnya kau sudah berterima
kasih padaku!"
'Siapa pun bisa mengarang cerita seperti yang baru
kau katakan! Apakah untuk hal begitu dan belum ten-
tu benarnya, aku harus berucap terima kasih"!" Las-
mini tertawa. "Kau telah telanjur tunjuk tempat! Kau harus bisa buktikan padaku!
Kalau kau tidak mau, jelas ucapanmu tadi dusta! Dan itu harus mendapatkan
ganjaran!"
Kiai Laras tergagu diam mendengar kata-kata Las-
mini. Saat lain kepala laki-laki ini menggeleng. "Tidak kuduga kalau urusan ini
akan jadi panjang! Dan tahu-kah kau, bahwa dengan ikut serta bersamamu berarti
malapetaka bagiku"!"
"Kau tak usah khawatir! Kau hanya perlu tunjukkan tempatnya! Kau tidak usah ikut
masuk!" "itu masih membahayakan bagiku! Kalau sam-
pai...." "Kau membuatku habis kesabaran!" sergah Lasmini memotong ucapan Kiai Laras. "Aku
sekarang tanya padamu. Kau mau ikut serta atau tidak"!"
"Kau memberi pilihan sulit padaku! Padahal aku telah memberikan keterangan
berharga...."
"Keterangan tidak ada harganya kalau belum di-
buktikan benar tidaknya!"
"Baiklah.... Aku akan ikut bersamamu! Tapi aku hanya bisa mengantarmu sampai
samping bukit. Dan
harap jangan minta yang lebih dari itu! Karena kau ta-di telah berbalik lidah!"
Lasmini lagi-lagi tertawa mendengar ucapan Kiai
Laras. "Aku bukannya berbalik lidah! Aku hanya tidak mau ditipu orang!"
"Kau pandai bicara...." gumam Kiai Laras sambil alihkan pandangan.
"Rimba persilatan dipenuhi dengan ucapan-ucapan dusta dan kebohongan! Kalau kita
tak pandai-pandai
bicara, kita akan tertelan ucapan dusta orang! Sekarang kita berangkat!"
Kiai Laras tidak segera penuhi ucapan Lasmini.
Laki-laki ini tetap tegak tidak membuat gerakan apa-apa. "Kau dengar ucapanku,
bukan"!" tanya Lasmini mulai geram.
"Aku bukan hanya dengar ucapanmu, tapi juga
melihat adanya orang lain di sekitar tempat ini!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar tubuh se-
tengah lingkaran. Kepala lurus menghadap ke satu
arah. Saat bersamaan mulutnya perdengarkan suara.
"Siapa pun kau adanya, harap keluar!"
Ucapan Kiai Laras belum selesai, satu sosok tubuh
melesat keluar dari balik tanah agak tinggi dan tegak tujuh langkah di hadapan
Kiai Laras. * * * DUA BELAS ORANG yang baru muncul ternyata adalah seorang
pemuda berparas tampan mengenakan pakaian hitam-
hitam. Rambutnya panjang lebat diikat. Sepasang ma-
tanya bulat tajam. Hidungnya mancung dengan kumis
tipis. Lasmini tampak tercekat. Sesaat sepasang mata
perempuan ini membelalak besar. Saat lain tangan kanannya bergerak menunjuk pada
pemuda berkumis ti-
pis yang baru saja muncul. Saat yang sama mulutnya
membuka. "Kau...." Hanya ucapan itu yang bisa diucapkan Lasmini. Kejap lain sosoknya
telah melompat ke depan dan tegak dua langkah di hadapan si pemuda berkumis
tipis. "Saraswati...," desis Lasmini. Kedua tangannya me-rentang.
Pemuda berkumis tipis yang dipanggil Saraswati ti-
dak menyahut. Sebaliknya menubruk Lasmini lalu
memeluknya erat-erat. Untuk beberapa lama kedua
orang ini saling peluk cium tanpa ada yang buka sua-ra. Di sebelah samping, Kiai
Laras memperhatikan
dengan dahi berkerut.
"Aku gembira bisa bertemu denganmu di sini, Saraswati.... ibu sudah lama ingin
mencari dan bertemu denganmu...."
"Aku pun sudah lama mencari kabar di mana ibu
berada..," ujar Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini tarik kepalanya dari
dekapan Lasmini yang bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri. (Tentang hubungan
antara Saraswati dan Lasmini harap baca serial
Joko Sableng dalam episode: "Misteri Tengkorak Berdarah").
Saraswati melirik sejenak pada Kiai Laras. Lalu
perlahan-lahan menarik lengan ibunya untuk men-
jauh. Meski merasa sedikit heran, namun Lasmini tidak mencegah tindakan
Saraswati. Dia menurut saja
ditarik menjauh.
"Ibu.... Aku tadi sempat mendengar percakapan
dengan orang tua itu.... Siapa dia sebenarnya"!" tanya Saraswati yang seperti
masa lalu, tetap menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis dan mengenakan
pakaian hitam-hitam, pakaian yang biasanya dipakai
oleh seorang laki-laki.
Lasmini sesaat bingung. Dia belum mengenal benar
siapa Kiai Laras. Bahkan dia tadi belum sempat tanya siapa nama Kiai Laras.
Namun karena tak mau menge-cewakan anaknya, Lasmini menjawab.
"Kau tak usah curiga, Anakku.... Dia adalah saha-
bat Ibu...!"
"Mengapa Ibu mengajaknya mencari tempat Pende-
ta Sinting"!" tanya Saraswati dengan berbisik.
"Saraswati.... Kau tak usah ikut campur urusan Ibu!"
"Aku tidak ikut campur.... Aku hanya curiga...."
"Saraswati.... Lupakan itu semua! Sekarang katakan pada ibu. Di mana kau berdiam
selama ini"!"
"Aku tinggal tidak jauh dari istana Hantu. Kira-kira lima puluh tombak dari
Istana Hantu ke jurusan sela-tan. Pada sebuah rumah tua...."
"Kau tinggal dengan siapa"!"
"Selama ini sendirian. Tapi kadang-kadang Ayah berkunjung...."
Wajah Lasmini tampak berubah. Dadanya berdebar
keras. Saraswati rupanya dapat menangkap apa yang
membuat paras ibunya berubah.
"Ibu.... Kuharap Ibu bisa melupakan peristiwa yang telah berlalu.... Lebih dari
itu, aku ingin hidup bersama dengan Ibu.... Untuk itulah selama ini aku mencari
kabar di mana Ibu berada...."
"Saraswati.... Telah bertahun-tahun kita hidup berpisah! Seperti halnya dirimu,
aku pun ingin bersatu denganmu.... Tapi...."
"Ibu.... Demi anakmu, kuharap Ibu melupakan apa yang pernah terjadi! Dan saat
ini juga kuharap Ibu
mau ikut serta denganku...."
Lasmini gelengkan kepalanya perlahan. "Saraswa-ti.... Mengucapkan memang lebih
mudah daripada me-
lakukan! Kau tahu, Anakku... Selama ini Ibu sudah
mencoba untuk melupakan apa yang pernah terjadi!
Tapi yang terjadi justru sebaliknya! Setiap kali aku mencoba, setiap kali pula
wajah jahanam-jahanam itu terbayang di mataku!"
Saraswati memeluk kembali ibunya erat-erat. "Kalau Ibu masih memendam dendam,
kapan akan be- rakhir semua ini" Kapan kita akan bisa berkumpul"!"
Lasmini menghela napas dalam. "Aku tak tahu,
Anakku.... Aku bahkan kadang-kadang menyesali hi-
dup ini! Mengapa nasib kita begitu buruk" Mengapa
kita harus hidup di tengah manusia-manusia yang
pernah memporak-porandakan kebahagiaan kita!
Mengapa kita harus hidup di samping orang-orang
yang pernah menyebabkan kita berpisah bahkan tidak
saling mengenal"! Mengapa"! Mengapa"!" Suara Lasmini terdengar tersendat dan
bergetar. "Ini gara-gara manusia jahanam-jahanam itu! Rasanya mati pun aku
belum lega kalau belum bisa selesaikan urusan ini
sampai tuntas!"
"Ibu.... Ibu hanya akan memperdalam jurang pemisah ini! Semua sudah selesai...."
Saraswati gelengkan kepala. "Bagi mereka memang sudah selesai. Tapi bagi Ibu....
Semua belum berakhir!"
"Ibu...."
Sebelum Saraswati lanjutkan ucapannya, Lasmini
telah menukas. "Saraswati.... Kita nanti bisa bicara panjang lebar!
Sekarang kuharap kau pulang dan menungguku. Ibu
masih harus selesaikan satu urusan! Tidak lama lagi Ibu akan menyusulmu...."
"Ibu.... Kuharap Ibu mau urungkan niat untuk
pergi bersama kakek itu...."
Lasmini tertawa perlahan. "Kau masih menaruh
curiga pada orang.... Dia adalah sahabat baik Ibu!"
"Ibu jangan berdusta padaku! Aku tadi sempat
mendengar percakapan Ibu dengan kakek itu! Ibu mau
mengajaknya mencari Pendeta Sinting bukan"!
"Dia tahu di mana orang yang Ibu cari! Karena Ibu
tak mau ditipu orang, apa salahnya Ibu mengajaknya
ikut serta"!"
"Ibu terlalu percaya pada orang yang belum dikenal dengan baik!"
"Kalau dia menipu, nyawanya tidak akan lama!"
"Baiklah.... Tapi kurasa Ibu tidak ada gunanya lagi mencari Pendeta Sinting! Itu
hanya akan membuka
urusan baru. Dan itu akan membawa kita untuk ber-
pisah lagi! Apa Ibu tidak merasa kasihan dengan
anakmu..."!"
"Saraswati.... Ibu tidak membuka urusan baru! Ini urusan lama! Justru kalau
urusan ini tidak diselesaikan, kelak di kemudian hari akan bisa memisahkan ki-
ta!" "Mengapa Ibu berpikir demikian"! Apa karena pemuda murid Pendeta sinting
itu?" "Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Saras-
wati.... Dan kuharap kau melupakan pemuda jahanam
itu!" Kini paras wajah Saraswati yang tampak berubah.
Lasmini rupanya dapat menangkap perubahan pada
wajah anaknya. Lasmini sebenarnya hendak berkata.
Namun sebelum ucapannya terdengar, dari seberang
sana terdengar Kiai Laras telah berkata.
"Sobatku.... Aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa menunggumu...."
"Tunggu!" tahan Lasmini. Perempuan ini lalu berbisik pada Saraswati. "Anakku.
Kau pulang dahulu dan Ibu pasti akan menyusulmu...."
"Ibu.... Untuk kali ini harap Ibu urungkan niat!"
"Hem.... Kau takut karena Pendeta Sinting guru pemuda keparat itu"!"
Meski parasnya berubah, tapi Saraswati gelengkan
kepala. "Persoalannya bukan itu, Ibu.... Tapi aku me-
rasa kakek itu berkata dusta!"
"Kau jangan menghalang-halangi karena kau tertarik dengan murid Pendeta Sinting!
Ibu tahu itu, Saraswati.... Jadi kuperingatkan sekali lagi, lupakan pemuda
bangsat itu!"
Saraswati menarik napas panjang. "Persoalannya bukan itu, Ibu.... Tapi...."
"Tapi apa..."!"
Saraswati tampak mengerling pada Kiai Laras sebe-
lum berkata dengan suara amat pelan. "Aku tahu di mana Pendeta Sinting berada!
Dan aku yakin bukan di bukit yang dikatakan orang tua itu!"
Mendengar ucapan Saraswati, Lasmini tertawa
agak keras. "Kau jangan mengada-ada, Saraswati! Dan jangan kira aku tak tahu....
Kau berdusta padaku
hanya agar aku urungkan niat! Tidak, Anakku! Urusan ini harus selesai....
Setelah itu kita hidup dengan bahagia. Tentunya setelah urusan dengan yang
lainnya juga tuntas!"
"Ibu.... Aku tidak berdusta padamu! Aku sempat jumpa dengan Pendeta Sinting....
Dia memang dalam
keadaan terluka! Tapi tempatnya bukan yang dikata-
kan orang tua itu! Aku akan tunjukkan padamu. Tapi
dengan syarat...."
"Aku tidak bisa kau dustai, Anakku...," ujar Lasmini seraya mencium kening Saraswati. "Jaga dirimu baik-baik...."
Habis berkata begitu, Lasmini lepaskan pelukan-
nya pada Saraswati. Perlahan-lahan perempuan ini
melangkah mendekati Kiai Laras yang saat itu tengah memandang tajam pada
Saraswati. "Ibu...."
Lasmini berpaling. Sepasang matanya mendelik
tatkala melihat Saraswati hendak melangkah ke arah-
nya. Hingga Saraswati urungkan niat.
"Sobatku.... Kalau anakmu masih merasa curiga, apa tidak sebaiknya dia diajak
ikut serta"!" tanya Kiai Laras seraya memandang pada Lasmini yang sudah
berada di hadapannya.
"Ini urusanku! Sekarang kita berangkat!"
Lasmini sudah melangkah ke jurusan utara. Tak
lama kemudian Kiai Laras melompat dan sudah me-
langkah di samping Lasmini.
"Aku tidak mendengar apa yang kalian perbincangkan! Tapi dari sikapnya, anakmu
tadi punya prasang-
ka jelek padaku.... Hem.... Nasibku hari ini tidak baik!"
"Manusia akan selamat jika berlaku hati-hati! Dan nasibmu akan lebih tidak baik
kalau kau berani mendustai ku!"
Kiai Laras tidak menyahut. Sebaliknya laki-laki ini menyeringai dingin. Saat
lain tiba-tiba Kiai Laras berkelebat seraya berkata. "Aku masih ada yang harus
kulakukan! Kita harus cepat sampai!"
Lasmini tidak menunggu lama. Perempuan ini se-
gera pula berkelebat mengikuti Kiai Laras yang berlari cepat menuju ke arah
utara. Sementara jauh di belakang sana, Saraswati tampak pandangi sosok ibunya
dengan dada turun naik.
"Ibu.... Mengapa kau masih juga tak bisa le-
nyapkan perasaan dendam"! Dan mengapa kau cari
urusan dengan Pendeta Sinting"! Bukankah kalau
memang ingin selesaikan urusan harus dengan Pende-
kar 131"!"
Mengingat sampai di situ, tiba-tiba pemuda yang
benarnya adalah seorang gadis ini menghela napas.
"Pendekar 131.... Mengapa aku tidak bisa melupa-kannya"! Di mana dia sekarang
berada..."! Hem.... Ibu tengah mencari jejak Pendeta Sinting. Aku harus men-
gikutinya. Siapa tahu di sana aku bisa jumpa dengannya...."
Saraswati tidak lanjutkan gumamannya. Sebalik-
nya cepat berkelebat karena dilihatnya sosok Ibunya dan Kiai Laras sudah hampir
tidak kelihatan lagi.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah
hari, Kiai Laras dan Lasmini sampai pada satu tempat yang banyak ditumbuhi
jajaran pohon dan semak belukar. Memandang jauh ke depan, tampak sebuah bu-
kit. "Sobatku.... Aku hanya bisa mengantarmu sampai di tempat ini!! ucap Kiai
Laras. Lasmini berpaling pada Kiai Laras. Namun cuma
sejurus. Di lain saat dia arahkan pandangannya pada bukit di depan sana.
"Apakah bukit itu yang kau maksud tempat per-
sembunyiannya Pendeta Sinting"!"
"Benar! itulah Bukit Kalingga. Kau jalan memutar dari sebelah timur. Dari arah
sana kau nanti akan menemukan sebuah goa!"
Joko Sableng 21 Rahasia Kampung Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah termakan oleh ucapan Saraswati, tanpa ber-
paling hadapkan wajah pada Kiai Laras, Lasmini berucap. "Sebelum aku pergi ke
sana, aku tanya sekali lagi padamu. Kau tidak berdusta?"
"Aku telah berani mengantarmu sampai di sini!
Apakah itu masih belum cukup untuk membuatmu
percaya"!"
"Hem.... Bagaimana kalau kau ikut bersamaku"!"
"Sobatku! Kuharap kau pegang janjimu! Kita tadi telah sepakat. Bahkan kau telah
mengatakan sendiri
jika kau yang akan masuk sendirian!"
"Sebenarnya apa yang membuatmu takut"!"
"Ini bukan masalah takut, Sobat! Tapi urusan pe-
rasaan! Aku kenal baik dengan Pendeta Sinting. Se-
mentara secara diam-diam aku menunjukkan di mana
dia berada pada orang yang punya urusan maut! Kau
tentu bisa merasakan bagaimana rasanya jika kau jadi aku!"
Lasmini tertawa pendek. "Baik! Aku akan pergi ke sana sendirian! Tapi ingat, kau
jangan ke mana-mana sebelum aku kembali!"
Kiai Laras tampak terkesiap. "Urusanmu adalah hidup dan mati! Sementara orang
tidak tahu kapan
matinya! Aku khawatir...."
"Kau khawatir aku akan mati di sana dan tidak
akan kembali"!" tanya Lasmini seraya tertawa. "Aku masih punya kekuatan kalau
hanya membekuk jahanam Pendeta Sinting itu! Tunggulah di sini sampai aku
kembali! Dan jangan coba-coba angkat kaki dari sini sebelum aku datangi"
Habis berkata begitu, Lasmini berkelebat menuju
arah bukit di depan sana. Dan seperti ucapan Kiai Laras, Lasmini berkelebat
memutar dari arah timur.
Setelah agak lama mencari, pada satu tempat tiba-
tiba Lasmini hentikan langkahnya tatkala sepasang
matanya samar-samar menangkap sebuah lobang di
lamping bukit. Lobang itu tidak begitu kelihatan karena di kanan kirinya
diranggasi semak belukar. Sementara tidak jauh dari situ banyak berjajar pohon-
pohon besar, hingga keadaannya agak temaram.
"Hem.... Mungkin ini goa yang dimaksud...," desis Lasmini dengan mata dipentang
besar-besar dan mulai melangkah mendekat. Dia melangkah dengan hati-hati
dan mata melirik kian kemari. Tenaga dalamnya telah dikerahkan pada kedua
tangannya. Lasmini hentikan langkah enam tindak ke depan
mulut goa. Sejenak perempuan ini terlihat bimbang
antara langsung menerobos masuk atau berteriak
memberitahukan kedatangannya.
Belum sampai Lasmini memutuskan apa yang ha-
rus dilakukan, tiba-tiba semak belukar di sebelah kanan bergerak-gerak. Lasmini
angkat kedua tangannya
seraya berpaling.
Memandang ke depan, dada Lasmini laksana dis-
entak. Sepasang matanya mementang angker berkilat-
kilat. Kedua tangannya yang terangkat bergetar keras.
Saat bersamaan mulutnya mendesis. "Kau!"
Di seberang depan, di antara semak belukar, tegak
seorang pemuda berparas tampan mengenakan pa-
kaian putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-
acakan dilingkari ikat kepala warna putih. Lasmini ta-hu benar, bahwa pemuda
yang tegak di seberang bu-
kan lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131
Joko Sableng! SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Para Ksatria Penjaga Majapahit 15