Pencarian

Rahasia Pulau Biru 1

Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Bagian 1


RAHASIA PULAU BIRU Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Joko Sableng
Dalam Episode 003 :
Rahasia Pulau Biru
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 LOLONGAN anjing menggema di kawasan sebuah lembah. Melengking tinggi seakan
hendak mendaki angkasa raya, di mana sang rembulan terlihat menyembunyikan diri
di balik arakan awan hitam yang bergerak perlahan. Namun mendadak arakan awan
bergerak cepat. Kejap kemudian petir menyambar. Guntur menggelegar seolah hendak
membongkar lintasan bumi yang mulai didera hujan dan kegelapan yang menakutkan.
Sebuah kereta tua tampak bergerak cepat menuju lembah. Anehnya, meski cuaca
tiba-tiba memburuk dan kepekatan membungkus jalanan yang dilewati, namun kereta
itu seakan tak mengalami
keuletan, malah sang kuda penarik kereta itu tampak berlari makin kencang
laksana dikejar setan!
Kusir kereta itu adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Mukanya pucat dan tirus. Sepasang matanya besar masuk
ke dalam lipatan rongga yang dalam.
Rambutnya putih panjang disanggul ke atas. Kakek ini mengenakan jubah besar
warna hitam. Sebelah tangannya
tersembunyi di balik saku jubahnya sementara tangan satunya sesekali menyentak
tali kekang kuda.
Di belakang tempat duduk si kakek terlihat sebuah peti persegi panjang dari kayu
berwarna putih mengkilat yang
panjangnya kira-kira satu setengah tombak dan lebarnya satu tombak.
Pada satu tempat, si kakek tiba-tiba berdiri. Air terlihat mengucur dari jubah
dan tubuhnya yang telah basah kuyup. Sepasang matanya yang besar dijerengkan
menembusi kegelapan lembah.
Mulutnya komat-kamit. Tangannya yang memegang tall kekang ditarik ke
belakang. Bersamaan dengan itu terdengar empat kaki kuda menghentak tanah
disusul dengan ringkihan keras.
"Dewi...!" si kakek berseru. "Kita telah sampai!" Terdengar suara berderit.
Lalu perlahan-lahan tutup peti bergeser membuka. Di lain kejap, dua buah tangan
terlihat menjulur keluar dari peti lalu....
Wuttt! Dari dalam peti melesat sesosok
tubuh dan lenyap dalam kegelapan.
Si kakek berpaling ke belakang
sejenak. Tiba-tiba dia membuat gerakan melesat ke udara, Jungkir baiik dua kali
sebelum akhirnya menjejak tanah dengan sepasang mata liar memandang ke seantero
lembah. "Buyut...! Apa yang kau tunggu"!"
satu teguran keras membuat si kakek seakan tersadar. Buru-buru dia
berkelebat ke arah datangnya suara teguran.
"Dewi...," kata si kakek begitu telah sampai di belakang sesosok tubuh
yang kini tegak tiga langkah di depannya.
Namun kakek yang dipanggil Buyut tak meneruskan ucapannya demi dilihatnya sosok
di depannya angkat sebeiah tangannya memberi isyarat agar si kakek diam.
"Hem.... Ternyata mereka murid-murid yang tangguh. Tak lekang oleh panas tak
lapuk oleh hujan." Sosok di depan si kakek perdengarkan gumaman perlahan dengan
sepasang mata menatap tak berkedip ke depan.
Lima belas langkah dari tempat
mereka berdua, tampak duduk bersila tiga orang gadis berparas jelita. Seluruh
pakaian dan tubuh mereka bertiga basah kuyup. Sepasang mata masing-masing gadis
ini terpejam rapat. Mulut mereka juga terkancing. Namun sesekali tubuh mereka
terlihat bergoyang-goyong keras.
Melihat pada keadaannya jelas jika ketiga gadis ini sedang melakukan semadi.
Gadis paling kanan mengenakan jubah besar warna merah. Rambutnya lebat dan
dikuncir agak tinggi. Pada sebelah atas bibirnya tampak sebuah lahi lalat.
Sementara gadis yang tengah mengenakan jubah warna kuning. Rambutnya panjang
dibiarkan bergerai. Hidungnya mancung dengan kulit putih. Sepasang bulu matanya
lentik. Sedang gadis paling kiri mengenakan jubah besar warna biru.
Rambutnya sebatas bahu. Bibirnya membentuk bagus dan merah tanpa polesan.
Tiba-tiba gadis berjubah kuning
yang duduk paling tengah terlihat membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan ke kiri
ke arah gadis berjubah merah.
Perlahan sepasang matanya membuka dan untuk beberapa saat memandang ke arah
gadis di sebelahnya. Mulutnya bergerak sedikit sepertinya hendak keluarkan
ucapan. Namun ketika dilihatnya gadis berjubah merah dan biru di sebelahnya diam
tak membuat gerakan apa-apa, gadis berjubah kuning ini urungkan niatnya.
Tapi kebimbangan jelas membayang di wajahnya. Ini terlihat tatkala meski dia
kembali pejamkan sepasang matanya, namun sebentar kemudian matanya dibuka
kembali bahkan seraya menarik napas panjang dan dalam.
Untuk kedua kalinya gadis berjubah kuning palingkan kepalanya ke samping kiri.
Demi dilihatnya kedua gadis di sebelahnya tetap diam, gadis berjubah kuning
gelengkan kepalanya perlahan.
Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Heran.... Apa mereka begitu tenggelam dalam kekhusyukan hingga tak merasa
adanya orang lain di tempat ini"!
Atau hanya telingaku saja yang menipu"!"
Gadis berjubah kuning tiba-tiba
sentakkan kepalanya ke samping kanan, kedua tangannya yang merangkap di dada
diturunkan. Sepasang matanya
dibeliakkan dan memandang liar ke sana kemari.
"Aku tak dapat ditipu! Aku baru saja mendengar suara roda kereta. Lalu suara
ringkihan kuda. Lebih-lebih baru saja kudengar suara orang! Tapi mana bangsat
jahanamnya"!"
Gadis berjubah kuning putar
kepalanya. Lalu terhenti pada sosok gadis di sebelahnya yang tetap terpejam
dengan tangan masing-masing merangkul di depan dada.
"Mereka hams diberitahu sebelum ada sesuatu yang terjadi. Aku menangkap gelagat
tidak baik...," batinnya lalu membuka mulut.
"Sitoresmi! Ayu Laksmi! Apa kalian mendengar sesuatu"!"
"Aku dengar apa yang kau dengar, Wulandari!" Yang menjawab adalah gadis berjubah
merah yang dlpanggil Sitoresmi seraya buka sepasang matanya. Kepalanya tengadah
hingga wajahnya tercurah air hujan.
"Orang yang berani datang kemari, siapa pun dia adanya pasti minta mampus!
Kita segera berpencar! Jangan sampai orang itu lolos!"
"Tahan!" Mendadak gadis berjubah biru menahan seraya buka kelopak matanya.
"Tempat dan pertemuan ini telah diatur tujuh purnama yang lalu. Hanya satu orang
yang tahu tempat dan pertemuan
ini. Aku khawatir, jangan-jangan orang tak diundang ini adalah...."
Belum selesai gadis berjubah biru yang dipanggil
dengan Ayu Laksmi
selesaikan ucapannya, Wulandari telah memotong.
"Rimba persiiatan sedang dilanda kemelut tak menentu. Dalam situasi demikian,
apa pun dapat terjadi! Dan bukan tak mungkin tempat ini telah diendus orang
lain! Munculnya manusia lain akan merusak suasana. Kita harus segera berbuat
sesuatu!" Meski ucapan Wulandari bernada
perintah, namun baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak ada yang membuat gerakan,
membuat Wulandari sedikitg. Tanpa pedulikan pada kedua gadis di sebelahnya gadis
berjubah kuning yang terlihat sedikit tua dibanding dua gadis di sebeiahnya dan
sepertinya menjadi pimpinan serentak bangkit
berdiri. Sambil mendongak dia berucap lantang.
"Siapa pun kau adanya, kami tahu kau berada di sekitar tempat ini. Sebelum
kesabaran kami pupus, keluarlah dari persembunyianmu."
Tak ada sahutan atau gerakan
pertanda akan muncuinya seseorang.
Wulandari makin geram. Pelipis kiri kanan gadis ini bergerak-gerak. Dagunya
sedikit mengembang sementara dari hidungnya terdengar dengusan keras.
"Hai!" untuk kedua kalinya Wulandari berteriak keras. "Waktu kami tidak banyak!
Lekas tampakkan tampangmu atau kami akan mencari dan memutus selembar nyawamu!"
Belum juga ada tanda-tanda akan
munculnya seseorang, membuat Wulandari yang sepertinya tak sabaran segera
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Sementara Sitoresmi dan Ayu Laksmi
cepat pula ikut-ikutan berdiri.
"Kita harus hati-hati! Dengan tidak berani tampakkan wajah di hadapan kita,
berarti jahanam itu punya maksud tidak baik! Dan dengan tidak bisa diketahui di
mana beradanya bangsat itu, Jelas jika dia punya ilmu tinggi!" berkata Ayu
Laksmi seraya putar kepalanya.
"Aneh. Bagaimana mungkin tempat ini bisa diketahui orang lain"! Apakah ada yang
membocorkan pertemuan ini"!"
Sitoresmi diam-diam membatin dalam hati.
"Hem.... Cuaca yang buruk membuat keparat Jahanam itu sulit diduga di mana
beradanya...." Gadis berjubah kuning bergumam, lalu palingkan kepala ke arah si
jubah merah Sitoresmi.
"Kau bergerak ke arah timur, aku ke barat. Sementara Ayu Laksmi ke arah
selatan!" ucapnya seraya memberi isyarat dengan anggukkan kepala.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi saling pandang sejenak. Lalu sama-sama
anggukkan kepala. Ketiga gadis berparas
jelita ini segera berkelebat ke arah yang telah ditentukan. Namun belum sampai
tubuh mereka bergerak berkelebat, dari arah kegelapan terdengar satu deruan luar
biasa dahsyat. Di lain kejap tiga rangkum angin keluarkan suara bergemuruh
laksana topan melabrak ke arah mereka!
Masing-masing gadis keluarkan suara seruan tegang tertahan. Di saat lain
ketiganya segera sama berkelebat ke arah samping, lalu hantamkan kedua tangan
masing-masing! Brakkk! Brakkk! Brakkk!
Terdengar tiga kali suara gebrakan berturut-turut laksana derakan pohon tumbang.
Angin bertenaga dalam tinggi yang mengarah pada ketiga gadis itu serta-merta
ambyar berkeping. Sejenak lembah Itu disinari cahaya benderang akibat bentroknya
tiga pukulan. Namun belum sirap cahaya benderang dan gema gebrakan masih mengiang, dari arah
depan ketiga gadis ini melesat tiga kabut putih keluarkan
hawa panas menyengat menindih lenyap hawa dingin cuaca.
"Kabut Neraka!" seru Sitoresmi mengenali pukulan yang kini mengarah pada diri
dan kedua gadis di sampingnya.
Namun bersamaan dengan datangnya serangan itu, ketegangan yang tadi terlihat
pada raut muka ketiga gadis ini serta-merta lenyap.
"Dugaanku benar. Untung dia yang datang...," gumam Ayu Laksmi seraya takupkan
kedua tangannya di depan dada.
Sementara Wulandari dan Sitoresmi undurkan langkah masing-masing satu tindak ke
belakang. Kedua tangannya segera puia ditakupkan di depan dada.
Kejap kemudian, ketiganya sama hantamkan tangan masing-masing ke depan.
Wuuutt! Wuutt! Wuuttt!
Dari masing-masing kedua tangan
ketiga gadis itu melesat tiga kabut putih yang selain perdengarkan suara luar
biasa dahsyat juga tebarkan hawa panas!
Blaarr! Blaarr! Blaarrr!
Lembah sunyi dan geiap itu iaksana didera gempa. Tanah berlumpur muncrat ke
udara. Semak belukar dan pohon
tercerabut lalu membumbung ke angkasa membuat cuaca yang sebentar tadi terang
mendadak gelap kembali!
Bersamaan dengan terdengarnya suara ledakan, tiga sosok tampak mencelat sampai
dua tombak ke belakang dengan wajah pucat dan tubuh bergetar. Pada saat yang
sama, dari arah kegelapan terdengar makian panjang pendek yang kemudian disusul
dengan terdengarnya suara tawa mengekeh panjang. Namun tiba-tiba suara tawa itu
terputus laksana dirobek iblis.
Kejap lain dua sosok bayangan hitam berkelebat dari satu pohon besar dan tahu-
tahu telah berdiri tegak empat belas Iangkah di hadapan ketiga gadis.
Laksana terbang, Wulandari,
Sitoresmi dan Ayu Laksmi melompat ke depan lalu sama jatuhkan diri tiga langkah
di hadapan dua sosok yang baru datang.
"Guru! Ki Buyut!" seru ketiga gadis berbarengan dengan suara sedikit bergetar.
Kepaia masing-masing orang ini menunduk.
Terdengar suara tawa pelan. Disusul dengan ucapan.
"Aku gembira melihat perkembangan kalian yang maju pesat! Dan aku kagum pada
ketabahan kalian. Bangkitlah, murid-muridku!"
Ketiga gadis itu menuruti ucapan orang di hadapannya. Sepasang mata masing-
masing gadis menatap ke depan, ke arah dua orang yang tegak mengawasi dengan
sorot mata tak berkesiap.
Sebelah kanan adalah seorang kakek berjubah hitam besar dan panjang.
Mukanya amat pucat dengan rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya
melotot besar, sementara kedua tangannya masuk ke dalam saku jubah hitamnya. Di
samping kakek yang dipanggil Ki Buyut ini, tegak seorang perempuan mengenakan
jubah yang juga berwarna hitam panjang sebatas lutut. Rambut pirang dan panjang
dibiarkan bergerai menutupi sebagian bahu dan punggungnya. Pada kedua tangannya
terlihat sarung tangan dari kulit berwarna hitam hingga tangan
perempuan ini tak kelihatan kulitnya.
Perempuan ini juga sukar ditebak umurnya, karena pada wajahnya tampak sebuah
cadar hitam, hingga yang terlihat dari wajahnya hanyalah sepasang matanya yang
tajam dari kedua lobang cadar.
"Guru...," kata Wulandari. "Maaf atas kelancangan muridmu yang telah berani
bertindak kurang ajar terhadap-mu!"
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam yang dipanggil guru kembail perdengarkan suara tawa perlahan.
"Lupakan semua itu! Delapan tahun kalian kuberi kesempatan untuk melalang buana
di arena rimba persilatan. Lalu tujuh purnama kalian bersemadi di tempat ini.
Meski kurun waktu itu belum bisa dibuat jaminan kalian matang betul, namun
setidaknya kalian telah mendapatkan pengalaman berharga. Lebih dari itu pasti
kalian telah tahu apa yang kini sedang terjadi dalam kancah dunia
persilatan...." Sejenak perempuan berjubah dan bercadar hitam hentikan
ucapannya. Setelah menarik napas panjang dan merapikan rambutnya dia
melanjutkan. "Aku tanya pada kalian. Apa kalian dengar tentang munculnya beberapa tokoh yang
menurut sebagian orang telah mengundurkan diri bahkan sebagian orang mengabarkan
telah tewas"!"
"Benar, Guru. Pada beberapa tahun terakhir ini memang kami dengar banyak
tokoh yang muncul Kembali. Malah kami sempat hertemu dengan sebagian dari
mereka...." Yang angkat bicara Wulandari.
"Hem.... Begitu" Mendung memang tak selamanya pertanda akan turunnya hujan.
Namun kemunculan beberapa tokoh rimba persilatan pasti ada sesuatu yang
menyebabkannya. Kalian tahu, untuk npa mereka muncui kembali"!"
"Itu tidak jelas. Namun akhir-akhir ini rimba persilatan diselimuti
kegegeran tentang sebuah kitab. Bukan tidak mustahii, kemunculan mereka mungkin
ada kaitannya dengan kitab itu!"
Kembali Wulandari yang bicara.
"Tapi kami telah menyeiidik dan beberapa kali kami mendapat petunjuk tentang
kitab itu. Namun pada akhirnya kami harus menelan rasa kecewa. Karena petunjuk
yang kami dapatkan tidak sesuai dengan kenyataan. Padahal untuk
mendapatkan petunjuk itu, kami harus tumpahkan darah siapa saja! Dari kenyataan
itulah, kami akhirnya
mengambil kesimpulan jika berita tentang kitab itu hanya kabar bohong!"
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam tert-wa pendek. Lalu berpaling pada si kakek di sampingnya.
"Sudan saatnya Dewi memberitahukan pada mereka. Kita sekarang dituntut untuk
bergerak cepat. Terlambat sedikit, bukan hanya penyesalan yang akan kita


Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peroleh, namun cita cita Dewi juga akan kandas di tengah jalan!" kata si kakek
seraya mengarahkan sepasang matanya pada ketiga gadis di depannya.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam manggut-manggut. Kepalanya dipalingkan ke jurusan lain.
"Aku maklum jika kalian
berkesimpulan bahwa adanya kitab itu hanya kabar bohong, karena kalian
mendapatkan petunjuk bukan dari orang yang benar-benar tahu akan kitab itu!"
"Maksud Guru..."!" tanya Sitoresmi.
"Dengar balk-baik. Kitab yang disebut orang dengan nama Kitab Serat Biru itu
benar adanya dan bukan cerita kosong!"
Ketiga gadis di hadapan perempuan berjubah dan bercadar hitam terkejut dan
saling pandang satu sama lain. Jelas wajah mereka membayangkan rasa tidak
percaya pada ucapan gurunya, membuat sang guru tertawa panjang.
"Guru...," kata Ayu Laksmi. Namun ucapan gadis berjubah biru itu segera dipotong
oleh sang guru.
"Tak ada guna kalian berdalih.
Karena kalian mendapat keterangan dari orang yang tidak tahu, mana mungkin
kalian tidak akan tersesat" Dengar baik-baik! Hari ini aku akan membuka sesuatu
yang sejak dua puluh tahun silam selalu mengganjal pikiranku. Tapi kalian harus
ingat. Jika salah seorang di antara
kaiian ada yang membocorkan hal ini, berarti kalian menggali lobang kubur
sendiri! Kalian dengar itu"!"
Ketiga gadis itu sama anggukkan
kepala. Lalu sama menatap pada perempuan berjubah dan bercadar hitam.
"Kitab Serat Biru tersimpan pada sebuah pulau yang disebut Pulau Biru."
"Guru. Harap katakan di mana Pulau Biru. Kami akan segera berangkat ke sana!"
kata Wulandari seraya maju satu tindak.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam gelengkan kepala. Kembali ketiga gadis berparas cantik di hadapannya
saling pandang. Kini raut mereka membayangkan rasa heran.
"Seandainya aku tahu di mana pulau itu, tak mungkin hai itu mengganjal dalam
benakku selama dua puluh tahun! Lagi pula tiada gunanya aku menggembleng kaiian
agar kelak dapat membantuku!"
"Lantas apa yang sekarang harus kami perbuat" tanya Wulandari.
"Ada waktu menanam benih, ada pula saat mengambil buah. Segala ilmu telah
kuturunkan pada kalian. Kini kuminta kalian membantuku!"
"Budi jasa Guru tak impas ditukar dengan seisi dunia. Jangankan hanya membantu,
kepala kami pun akan kami serahkan jika Guru minta!" ujar Ayu Laksmi.
"Bagus! Kuharap ucapan itu tidak hanya di mulut, karena tanpa ucapan itu pun aku
tak segan memutus kepala kalian jika berbuat di luar perintahku!"
"Harap Guru segera beritahukan apa yang harus kami lakukan!" kata Sitoresmi
dengan suara sedikit serak.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam selinapkan tangan kanannya ke balik jubah. Ketika tangan itu keluar
kembali, terlihat lembaran kulit sepanjang satu setengah jengkal. Kulit itu
berwarna coklat kusam dan telah lapuk di sana sini. Pada sisi samping tampak
berkelok pertanda kulit itu dirobek secara paksa.
Untuk beberapa saat baik perempuan berjubah dan bercadar hitam serta si kakek
yang tegak di sampingnya pandangi kulit coklat itu dengan tak kesiap.
Sementara ketiga gadis di hadapan mereka berdua sama arahkan pandangannya pada
kulit coklat dengan hati masing-masing orang disarati beberapa pertanyaan dan
dugaan. "Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab yang tiada tandingnya. Karena itulah untuk
mendapatkannya bukan urusan yang gampang. Kalian lihat! Di kulit ini tertera
peta yang nantinya berakhir pada Pulau Biru di mana tersimpan Kitab Serat
Biru...." Selesai berucap demikian, perempuan berambut pirang dan berjubah serta
bercadar hitam gerakkan tangannya yang memegang kulit. Kulit warna coklat itu
melesat ke depan.
Di depan sana, si jubah kuning
Wulandari segera angkat tangan kanannya.
Dan.... Settt! Kulit coklat itu telah tersambar ke tangannya.
Sitoresmi dan Ayu Laksmi segera
bergerak mendekat. Ketiganya kini menatap kulit coklat yang ada di tangan
Wulandari. Wulandari kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Tiba-tiba dari
kedua tangannya sampai siku memancar sinar terang keputihan. Hingga mesti
suasana di sekitar lembah masih dicekam kepekatan, tapi mereka bertiga dapat
dengan jelas melihat apa yang tertera di atas kuiit coklat lusuh itu.
Namun tiba-tiba secara serentak kepala masing-masing gadis ini
disentakkan menghadap gurunya. Setelah saling pandang sejenak, Wulandari hendak
buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, perempuan berjubah dan bercadar
hitam telah angkat bicara.
"Tugas kalian mencari penggalan kulit itu! Dan Itu dapat kalian mulai dari
menelusuri peta yang ada di tangan kalian!"
"Dan ingat!" kali ini yang keluarkan ucapan adalah si kakek. "Kalian harus
waspada. Mengingat kitab itu bukan
sembarangan, maka tidak tertutup kemungkinan adanya orang-orang yang memalsu
penggalan kulit itu. Kalian harus teliti benar! Sekali kulit palsu yang kalian
dapat, kesesatan yang akan kalian peroleh!"
"Lebih dari itu, kalian harus hati-hati. Pemegang penggalan kulit itu pasti
bukan orang yang bisa dipandang sebelah mata. Dan melihat kulit itu, aku
mempunyai firasat pemegang penggalan kulit itu bukan hanya satu orang!"
"Kenapa bisa begitu?" tanya Ayu Laksmi.
"Seperti ucapan Ki Buyut Pagar Alam, kitab itu bukan kitab sembarangan. Tidak
mustahil peta menuju Pulau Biru itu sengaja dipenggal menjadi beberapa bagian
untuk menyesatkan dan membuat orang bingung!"
"Guru.... Mendengar keteranganmu, apakah Guru telah yakin bahwa penggalan ini
asli?" tanya Sitoresmi.
"Lima tahun aku melatih diri untuk dapat mengalahkan dan merebut penggalan kulit
itu dari tangan pemegangnya! Dia adalah seorang tokoh tua yang hanya beberapa
orang saja yang mengenalnya.
Mendiang guruku yang memberi petunjuk padaku. Dan ucapan guruku tak mungkin
dusta! Jadi penggalan kulit itu asli adanya!"
"Apakah dari tokoh itu kulit ini telah demikian adanya"!" Yang ajukan tanya
Wulandari. "Benar. Dari itulah aku mempunyai firasat jika penggalan kulit itu bukan hanya
pada satu orang!"
"Hem.... Bagaimana mungkin petunjuk sebuah kitab sakti bisa dipenggal menjadi
beberapa bagian" Apakah
orang-orang itu tidak menginginkan kitab itu"!"
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam tertawa panjang mendengar ucapan Wulandari yang bernada seolah tak
percaya. "Kalian hanya perlu dengar dan berpikir tanpa harus mengerti bagaimana dan
mengapa kulit peta itu sampai dibagi menjadi beberapa penggalan! Kalian tak akan
menemukan jawaban pasti! Masih ada yang hendak kalian tanyakan"!"
"Guru. Setiap kali Guru ucapkan perintah pada kami pasti dengan waktu yang Guru
tentukan. Apakah tugas memburu Kitab Serat Biru itu juga Guru beri batasan
waktu?" tanya si jubah biru Ayu Laksmi.
Perempuan berjubah dan bercadar
hitam menghela napas panjang. Seraya menatap satu persatu pada ketiga muridnya
dia berujar. "Tugas kalian kaii ini adalah sangat berat. Kalian pasti akan menghadapi
beberapa tokoh yang selain belum kalian
kenal juga berlimu sangat tinggi. Untuk kali ini kalian tak kuberi batasan
waktu. Hanya jika kalian berhasil mendapatkan peta itu dengan sempurna, kalian kutunggu
di istana Setan!"
Setelah berkata demikian, perempuan berjubah dan bercadar hitam dongakkan
kepala. Air hujan terns mendera, namun anehnya baik rambut maupun pakaian yang
dikenakan perempuan ini tidak basah sama sekali.
"Cuaca tampaknya makin menggila.
Kalau memang semuanya sudah jelas aku akan segera tinggalkan tempat ini...."
Ketiga gadis berparas cantik
dihadapan perempuan berambut pirang saiing pandang lalu anggukkan kepala.
"Keterangan Guru kami kira sudah cukup. Dan kami pun akan segera
berangkat!" kata Wulandari.
Belum habis ucapan Wulandari,
perempuan berjubah bercadar hitam palingkan kepala ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
Kejap kemudian tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ketiga gadis di hadapan perempuan
berjubah hitam tidak lagi menangkap sosok orang di hadapan mereka!
Mereka hanya mendengar suara ringkihan kuda ditingkah dengan gemeletak roda
kereta yang sayup-sayup makin perlahan sebelum akhirnya lenyap!
Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu
Laksmi sama keluarkan gumaman tak jelas.
Di lain saat, Wulandari berpaling pada
kedua gadis di sampingnya seraya anggukkan kepala. Kejap kemudian, ketiga gadis
ini berkelebat tinggalkan lembah tanpa keluarkan sepatah kata!
* * * 2 DI satu kawasan hutan kecil terlihat seorang pemuda keluar dari gerumbulan
jajaran pohon tua dan melangkah perlahan menuju sebuah dataran berbatu yang
menghampar luas di hadapannya. Seraya melangkah, terdengar gumaman senandung
nyanyian dari mulutnya. Sesekali kepalanya dipalingkan ke sana kemari dengan
sepasang matanya yang tajam memperhatikan kawasan yang dilewati.
Namun meski pemuda ini melangkah sendirian, tak jarang dia tampak senyum-senyum
sendiri seraya berjingkat-jingkat. Ternyata si pemuda memainkan jari kelingkingnya ke dalam
lobang telinganya.
Pada satu tempat, si pemuda yang mengenakan pakaian putih-putih,
berambut panjang sedikit acak-acakan yang dibalut dengan ikat kepala warna putih
Ini hentikan langkahnya. Tangan kanannya diangkat dan ditadangkan di depan
kening untuk menangkis silaunya matahari. Sepasang matanya menyapu seantero
dataran berbatu.
"Kitab Serat Biru.... Hem.... aku sama sekali masih
buta dengan seluk-beluk kitab itu. Ke mana aku harus mencari" Manusia Dewa maupun Eyang guru
tidak berikan petunjuk secuil pun tentang keberadaan kitab itu. Ke mana aku
harus bertanya" Pulau Biru.... Hanya itu satu-satunya keterangan! Ah, mungkin
aku harus menjalankan tugas ini dengan meraba-raba. Menilik dari namanya, jelas
jika tempat Itu berada pada kawasan laut.
Tapi laut mana" Laut Utara atau kawasan Laut Selatan?" Si pemuda menarik napas
dalam-dalam. "Peduli setan. Yang penting aku harus menuju kawasan laut...,"
akhirnya si pemuda memutuskan. Lalu meneruskan Iangkah.
Namun gerak kakinya tertahan
tatkala tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengekeh panjang. Paras muka si
pemuda tampak berubah tegang. Suara tawa yang terdengar bukan suara tawa biasa.
Karena si pemuda merasakan kedua kakinya yang menginjak tanah bergetar hebat
pertanda siapa pun adanya orang yang perdengarkan tawa memilikl ilmu
kepandaian tinggi serta tenaga dalam yang luar biasa dahsyat!
Menangkap gelagat akan adanya
bahaya, si pemuda segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, kejap
kemudian kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tawa.
Namun si pemuda jadi terkesiap
sendiri. Bersamaan dengan berpalingnya kepala, suara tawa itu tiba-tiba terputus
laksana direnggut setan. Lebih dari Itu, si pemuda tak menangkap seorang pun
meski sepasang matanya dijerengkan mengawasi berkeliling!
"Apakah telingaku yang salah dengar"!" gumam si pemuda. Untuk beberapa saat dia
menunggu. "Heran.
Suara tawa itu demikian keras, tanpa manusianya tak berada jauh dari sekitar
tempat ini. Tapi...." Si pemuda tak teruskan kata hatinya karena saat itu juga
kembali terdengar suara tawa mengekeh panjang keras membahana!
Si pemuda cepat putar tubuh.
Sepasang matanya mendelik besar tak kesiap memandang ke depan. Di atas satu
gundukan batu tujuh tombak dari
tempatnya berdiri si pemuda melihat seorang nenek duduk mencangklong dengan
kedua tangan merangkap di depan sepasang kakinya.
Perempuan tua Ini mengenakan jubah besar warna merah menyala. Parasnya pucat.
Kelopak sepasang matanya besar, tapi sepasang bola mata di dalamnya amat sipit.
Rambutnya putih sebatas tengkuk.
Mulutnya terus menerus bergerak-gerak memainkan gumpalan tembakau berwarna
hitam. Anehnya, meski suara tawa masih terus membahana, si nenek justru
enak-enakan memainkan gumpalan tembakau di mulutnya!
Mungkin karena baru kali ini menemui keanehan pada orang, si pemuda sempat
berulangkali kerjapkan sepasang matanya untuk meyakinkan bahwa apa yang di
hadapannya benar-benar bukan tipuan matanya.
"Edan! Manusia tua ini betul-betul luar biasa.... Siapa nenek ini?"
Belum sampai si pemuda mendapat
jawab dari pertanyaannya sendiri, nenek di depan sana
goyangkan bahunya.
Tiba-tiba sosoknya meiesat. Kejap lain tahu-tahu telah berdiri tegak lima
langkah di hadapan si pemuda dengan kedua tangan berkacak pinggang!
"Lekas katakan siapa nama dan apa gelarmu!" Mendadak si nenek keluarkan bentakan
garang, membuat si pemuda tersentak kaget. Bukan karena kerasnya suara bentakan,
tapi karena bentakan itu demikian keras padahal si nenek hanya sedikit buka
mulutnya dan masih mainkan gumpalan tembakau di mulutnya!
"Nek...."
"Setan! Aku bukan nenekmu!" potong si nenek sebelum habis ucapan si pemuda.
"Jawab cepat tanyaku atau kupuntir tanggal lehermu!"
"Gila! Orang tua Ini bukan hanya aneh, tapi juga galak.... Hemm.... Aku tahu
bagaimana menghadapi orang tua macam ini!" Si pemuda membatin, lalu
arahkan pandangannya pada jurusan lain.
Mulutnya sunggingkan senyum. Lalu berujar.
"Kau telah tahu namaku, harap kau tidak lagi bercanda!"
Si nenek komat-kamitkan mulut
hingga gumpalan tembakau hitam di dalamnya terlihat keluar masuk. Sepasang
matanya yang sipit membeliak.
"Kulngatkan, Anak Muda! Sebutkan apa yang kutanya atau...."
Kali ini ganti si pemuda yang
memotong ucapan si nenek sebelum kata-katanya selesai.
"Nek. Kau tadi telah menyebutku Setan. Memang itulah namaku! Kau sendiri siapa,
Nek"!"
"Hem.... Namamu Setan. Siapa gelarmu"!" si nenek baiik ajukan tanya.
"Ah, sebenarnya aku malu mengatakan padamu.
Tapi untukmu tak apalah. Asal Nenek jangan mengejeknya... karena...."
"Setan! Jangan bertele-tele!" putus si nenek seraya hembuskan napas panjang.
Si pemuda terkesiap dan buru-buru geser tubuhnya sedikit ke samping karena
bersamaan dengan itu satu gelombang angin keras melesat ke urahnya dengan
keluarkan hawa busuk luar biasa!
Anehnya, kejap kemudian bersamaan dengan lewatnya hawa busuk, menebar aroma
harum! "Orang-orang
menggelariku Setan
Jelek! Sekarang harap Nenek sudi sebutkan diri...," kata si pemuda dengan mata
tak berkedip memperhatikan dari bawah sampai atas.
Si nenek dongakkan kepala. Sepasang matanya dipejamkan rapat,
"Kasihan kau Setan Jelek! Karena nasibmu sama dengan gelar yang kau sandang!"
"Apa maksudmu, Nek"!"
"Nasibmu jelek. Karena harus tewas di tanah tak bertuan! Hik... hik...
hik...! Kau harus terima takdirmu!"
Habis berkata begitu, si nenek
goyang-goyangkan kepalanya. Tiba-tiba sepasang tangannya bergerak mendorong ke
depan. Gerakan itu pelan saja. Namun pada saat bersamaan si pemuda yang tegak di
hadapannya merasakan hantaman angin yang luar biasa dahsyat! Hingga jika saja si
pemuda tak segera menghindar selamatkan diri dengan berkelebat ke samping,
niscaya tubuhnya akan terpelanting dan terbanting jatuh. Karena hembusan angin
itu secara mendadak berputar-putar membentuk pusaran! Hebatnya, pusaran angin
itu kini bergerak ke arah mana si pemuda menghindar!


Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nek! Kenapa kau menyerangku"!"
teriak si pemuda. Namun jawaban yang terdengar adalah kekehan tawa membahana,
membuat pemuda itu mulai agak geram.
Si pemuda palingkan kepala.
Mulutnya membuka hendak bicara, namun suaranya terhenti di tenggorokan tatkala
saat itu juga pusaran angin telah menggebrak ke arahnya!
"Busyet!" maki si pemuda seraya hantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin keluarkan suara keras memekak telinga keluar dari telapak
tangan si pemuda.
Busss! Pusaran angin ambyar lalu
membumbung ke udara dan lenyap.
"Hem.... Orang tua macam Ini tak perlu diladeni. Bukan saja membuang waktu dan
tenaga tapi juga tak ada gunanya!" Berpikir sampai di situ, si pemuda putar
tubuh lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun Iangkah si pemuda terhenti, ketika dia merasakan sebuah kekuatan dahsyat
membetot tubuhnya dari beiakang.
"Gila! Nenek ini tidak bercanda dengan ancamannya! Dia benar-benar inginkan
nyawaku! Meski aku tak tahu pasti apa maksud sebenarnya, namun hal Ini tak boleh
dibiarkan..." Si pemuda segera kerahkan tenaga dalam. Secepat kilat kedua
tangannya dihantamkan seraya balikkan tubuh. Tapi baru saja kedua tangannya
bergerak, dia merasakan tubuhnya terangkat ke udara. Si pemuda teruskan
hantamannya ke bawah.
Wuuttt! Wuuuttt!
SI pemuda terbelalak. Ternyata dia hanya menghantam udara kosong. Belum habis
rasa kejutnya, satu kekuatan balikkan kembali tubuhnya hingga membelakangi si
nenek. Pada saat bersamaan tiba-tiba tubuhnya seakan dibetot dari bawah. Dan....
Bukkk! Sosok si pemuda jatuh terbanting di atas tanah berbatu. Megap-megap, si pemuda
segera bangkit. Raut wajahnya berubah merah padam. Pelipisnya bergerak dengan
dagu mengembung pertanda hawa amarah telah melanda dadanya.
"Orang tua! Kau memaksaku bertindak kasar. Jangan menyesal dengan apa yang akan
terjadi!" teriak si pemuda lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Mendadak saja kedua tangan si pemuda berubah warna menjadi kekuningan.
"Lembur Kuning!" seru si nenek tahu pukulan apa yang hendak dilancarkan si
pemuda, membuat sang pemuda terkesiap kaget mendengar orang tua di hadapannya
telah tahu pukulan yang hendak dilancarkan, padahal pukulan itu sendiri belum
dilepaskan. "Jangkrik! Siapa sebenarnya nenek ini" Dia tahu pukulan 'Lembur Kuning'
yang hendak kulepaskan...," batin si pemuda seraya pandangi kedua tangannya yang
telah berubah warna kekuningan.
Inilah pertanda bahwa si pemuda memang
benar hendak lepaskan pukulan sakti
'Lembur Kuning'. Pukulan milik seorang tokoh aneh yang dikenal dengan Pendeta
Sinting yang kemudian diwariskan pada muridnya yakni Joko Sableng alis Pendekar
Pedang Tumpul 131.
"Setan jelek! Pasti kau masih kambratnya orang tua sinting itu! Hik...
hik... hik...! Kebetulan sekali. Aku ingin lihat apakah pukulan 'Lembur Kuning'
tidak ketinggalan zaman dan masih cocok di alam gila sekarang ini!"
"Sombong betul Orang tua ini. Aku pun ingin tahu, apakah ucapannya tidak laksana
tong kosong!"
Si pemuda yang bukan lain Joko
Sableng segera hantamkan kedua tangannya lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Hingga saat itu juga suasana berubah jadi semburat warna kuning. Pada saat yang
sama sinar kuning mencorong meiesat membawa hawa panas dan suara laksana
gelombang dahsyat.
DI depan sana, si nenek kancingkan mulutnya rapat-rapat. Namun di lain kejap
terdengar suara tawanya yang membahana panjang. Bersamaan dengan itu, si nenek
terlihat angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke bawah.
Tiada suara yang terdengar. Namun pukulan 'Lembur Kuning' tiba-tiba tertahan
sejenak di udara.
Lalu laksana dlhantam kekuatan luar biasa garang, pukulan itu menukik deras ke
bawah! Bummm! Tanah berbatu tampak muncrat
setinggi lima tombak ke udara. Tanah dan pasir pecahan batu menutupi pemandangan
untuk beberapa saat. Samar-samar di sebelah depan, sosok Pendekar 131 tampak
bergetar hebat. Kejap lain tubuhnya mencelat sampai dua tombak ke belakang.
Murid Pendeta Sinting ini berusaha kuasai tubuhnya yang terhuyung hendak
terjerembab. Namun kedua kakinya goyah hingga tak lama kemudian dia jatuh
terduduk dengan tubuh bergetar dan dada naik turun megap-megap!
Di pihak lain, si nenek tampak
mundur tiga Iangkah ke belakang.
Sosoknya terlihat bergoyang-goyang.
Namun sebentar kemudian telah diam malah dengan kacak pinggang dia perdengarkan
tawa mengekeh panjang!
Begitu tanah dan pasir sirap dari udara, empat tombak di depan Joko Sableng
tampak lobang menganga besar sedalam satu tombak!
Pendekar Pedang Tumpul 131 bergerak bangkit. Wajahnya makin merah padam.
Sepasang matanya membeliak besar. Murid Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak
ini sadar jika orang tua di h-dapannya benar-benar bukan orang yang bisa
dinnggap remeh. Pukulan 'Lembur Kuning'
begitu mudah ditahan meski biasnya masih tetap membuat si nenek tersurut
langkah. "Aku penasaran. Kalau kulipat gandakan tenaga dalamku, masakan tidak roboh!"
gumam Joko sambil kerahkan tenaga dalam. Kali ini dia lipat gandakan tenaga
dalamnya hingga pancaran sinar kuning dari kedua tangannya makin bersinar.
Melihat hal demikian, si nenek
kerjapkan sepasang matanya. Kepalanya digoyang-goyang. Tiba-tiba....
Wuttt! Tubuhnya melesat ke depan. Joko
Sableng tak tinggal diam. Kedua
tangannya dipukulkan ke depan. Tapi darah murid Pendeta Sinting laksana sirap.
Pukulan kedua tangannya hanya menggebrak udara kosong. Lebih dari itu dia
merasakan angin bersiur di atas kepalanya lalu....
Bukkk! Sebuah tendangan keras mendarat di punggung Pendekar Pedang Tumpul 131.
Pemuda itu berseru tertahan. Sosoknya terhuyung ke depan. Begitu tubuhnya
setengah membungkuk hendak tersuruk ke atas tanah berbatu, dua pasang kaki
menjepit lehernya. Hingga sosok Joko tertahan.
Sambil berteriak keras, Joko
Sableng hantamkan tangan kiri kanan ke arah sepasang kaki di atas pundaknya.
Namun gerakannya terlambat. Sepasang
kaki yang ternyata milik si nenek itu telah bergerak menyentak ke belakang.
Bukkk! Untuk kedua ksiinya murid Pendeta Sinting jatuh punggung di atas tanah.
Untuk beberapa saat dia hanya diam terkapar dengan punggung serasa Jebol.
Pada saat itulah satu sambaran angin menggebrak dari arah samping kanan mengarah
pada kepalanya.
Meski seluruh tubuhnya terasa sakit bukan main, namun Pendekar Pedang Tumpul 131
segera palingkan wajahnya untuk selamatkan diri. Namun dia tertipu, karena
bersamaan dengan itu dari arah samping kiri satu sambaran angin meiesat. Tak ada
kesempatan lagi baginya untuk menghindar.
Plaaakkk! Satu tamparan keras mendarat di pipi Pendekar 131. Meski hanya satu tamparan,
namun karena dialiri tenaga dalam tinggi, membuat kepala murid Pendeta Sinting
laksana pecah. Sepasang mata pemuda ini berkunang-kunang. Kejap kemudian segala
sesuatunya menjadi gelap. Lalu kepala Joko terkulai dengan tubuh tergolek
pingsan. Satu langkah di sebelah samping
kanan Joko, nenek berjubah merah menyala usap-usap kedua tangannya. Kepalanya
mendadak disentakkan ke samping kiri.
Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat keluar dari balik pohon!
* * * 3 ADA satu keanehan dengan sosok yang berkelebat muncul dari balik pohon ini.
Seraya berkelebat melayang, sosok ini terlihat duduk bersila dengan kedua tangan
menakup di bawah dagu.
Tiga langkah di hadapan si nenek, sosok yang melayang dengan duduk bersila turun
mendarat di atas tanah. Sepasang matanya yang terpejam bergerak membuka.
Memandang sejenak pada si nenek lalu memperhatikan pada sosok Joko yang masih
terkapar pingsan.
Dia adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Mengenakan jubah warna kuning tanpa leher. Rambutnya putih
panjang dikelabang dan dikalungkan pada lehernya. Kedua alis matanya saling
bertautan. Bibir selalu berkemik perdengarkan gumaman tak jelas.
"Manusia Dewa! Betul dia
orangnya"!" Si nenek ajukan tanya seraya arahkan pandangannya pada sosok Joko
Sableng. Laki-laki berusia lanjut yang duduk bersila dan bukan lain memang Manusia Dewa
adanya, seorang tokoh tua dari golongan Budha yang terjun dalam kancah rimba
persilatan dan pernah menggegerkan rimba persilatan karena perannya ikut
serta membasmi kejahatan, anggukkan kepala.
Meski si nenek telah mendapat
jawaban dengan anggukkan kepala, namun wajahnya tetap membayangkan kebimbangan.
Ini jelas terlihat dari cara memandangnya pada sosok Joko yang tak berkesip sama
sekali. "Ratu Malam...," kata Manusia Dewa seakan bisa menangkap arti pandangan si nenek
yang dipanggil dengan Ratu Malam.
"Tak ada guna menyimpan segala tanya dalam
hati. Keraguan tak akan
menyelesaikan segalanya. Urusan ini sudah sangat mendesak. Silakan buktlkan agar
semua keraguan dan tanya di hatimu bisa terjawab...."
Ratu Malam jongkok di sebelah Joko.
Tangan kanannya cepat bergerak ke arah pinggang Joko di mana tersimpan Pedang
Tumpul 131. Begitu tangannya dapat merasakan sembulan senjata, tangan itu segera
berputar ke depan dan menyelinap ke balik pakaian Joko. Sekali sentak, tangan
Ratu Malam telah keluar lagi. Di tangannya kini tampak sebuah pedang yang
terbungkus dalam sarungnya yang berwarna kuning.
Untuk beberapa saat lamanya
sepasang mata Ratu Malam memperhatikan pedang di tangannya dengan mata tak
berkedip. Mulutnya komat-kamit permainkan gumpalan tembakau hitam. Kepalanya
bergerak manggut-manggut.
Setelah puas pandangi
pedang, kembali Ratu Malam selinapkan pedang itu ke balik pakaian Joko. Lalu bangkit dan
melangkah ke arah Manusia Dewa.
"Bagaimana sekarang" Apa kita tunggu sampai dia siuman"!" tanya Ratu Malam.
Manusia Dewa gelengkan kepala.
"Waktu kita terbatas. Masih ada yang harus kita kerjakan. Tinggalkan pesan
padanya! Hal ini untuk melatih dia menghadapi perjalanan berat yang bakal
dihadapinya!"
Ratu Malam keluarkan selembar kain putih dari saku jubahnya. Jari telunjuk
tangan kanannya diangkat. Gumpalan tembakau hitam dlkeluarkan dari dalam
mulutnya. Jari telunjuk disentuhkan pada gumpalan tembakau, lalu ditulis pada
kaln putih. Tak berselang lama, Ratu Malam
lemparkan kain putih ke arah sosok Joko.
"Kita tinggalkan tempat Ini...,"
katanya seraya mengangguk ke arah Manusia Dewa. Tanpa menunggu jawaban, nenek
berjubah merah menyala ini gerakkan tubuh. Dan sekali bergerak tubuhnya melesat
lenyap ke arah kawasan hutan.
Manusia Dewa sejenak memperhatikan pada Joko, lalu putar tubuh. Dengan tetap
bersila dan kedua tangan menakup ke bawah dagu, orang tua ini pun berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Matahari telah hamplr turun ke kaki langit barat saat Pendekar 131 sadar dari
pingsannya. Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini diam tak
bergerak. Dia coba mengingat apa yang baru dialaminya. Dan ketika menyadari apa
yang baru saja terjadi, mungkin karena khawatir bahaya masih mengancam dirinya,
secepat kilat dia bangkit.
Sepasang matanya menebar berkeliling dengan kepala diputar.
"Nenek galak berilmu tinggi itu, minggat ke mana dia" Hem, Nyatanya dia tak
menginginkan nyawaku. Tapi apa maksud sebenarnya hingga dia membuatku jatuh
bangun demikian rupa" Orang tua berilmu sangat tinggi, siapa dia sebenarnya"
Ah.... Lebih baik aku segera tinggalkan tempat ini. Aku harus segera mencapal kawasan
laut...." Joko segera melangkah hendak
tinggalkan tempat itu. Saat itulah sepasang matanya melihat selembar kain putih
tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan sekali sambar, kain putih telah berada di tangannya.
"Tak ada orang lain di sini tadi selain aku dan nenek itu. Pasti kain putih ini
milik orang tua itu...."
Joko segera meneliti carikan kain putih. Ternyata di kain putih itu ada tulisan.
Pergi ke arah selatan. Beberapa burung merpati kepakkan sayap, Kunci akan segera
diberikan. Tugas sudah di depan mata.
Beberapa lama Joko berpikir. "Apa maksud tulisan ini" Pasti orang tua Itu yang
menulis. Hem.... Kalau dia tak membunuhku, lalu tinggalkan pesan, berarti orang
tua itu punya tujuan tertentu padaku. Tulisan ini mengarah ke sana. Tak ada
salahnya kuturuti pesan tulisan ini. Lagl pula aku masih penasaran. Dia
mengenali pukulanku, berarti dia kenal dengan Eyang guru.
Urusan ini bisa baik dan tak mustahil akan membawa petaka. Tapi aku perlu orang
tempat bertanya...."
Berpikir sampai di situ, dengan kerahkan peringan tubuh, Joko segera berkelebat
ke arah selatan.
* * * Hingga matahari kembaii muncul dari timur, murid Pendeta Sinting terus
berkelebat. Namun mendadak dia hentikan larinya. Dari mulutnya terdengar gumaman
gerutu berkepanjangan.
"Sial! Di mana dapat kutemukan beberapa burung merpati seperti pesan tulisan
itu" Apakah tulisan itu hanya canda si nenek" Hem.... Bodohnya aku.
Kenapa kuturuti pesan orang yang belum
kukenal, padahal aku punya tugas...,"
kata Joko seraya usap keringat yang membasahi leher dan wajahnya.
"Sebelum aku jauh tersesat, aku harus cepat tinggalkan..." Belum habis gumaman
Joko, semak belukar delapan tombak dari tempatnya berdiri
bergerak-gerak. Murid Pendeta Sinting tersentak
kaget. Sepasang matanya
dibelalakkan. Takut sesuatu terjadi, dia cepat pula kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya.
Namun Joko segera menarik napas
panjang tatkala dari gerumbulan semak belukar Itu menyeruak beberapa burung
merpati. Mungkin terkejut dengan kedatangan orang, serentak beberapa burung
merpati itu melesat terbang ke udara.
"Hem.... Berarti tempat ini yang dlmaksud tulisan pesan itu. Tapi mana batang
hidung nenek itu"!" tanya Joko seraya memandang berkeliling.
Saat itulah tiba-tiba terdengar
derap langkah ladam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya. Disusul dengan suara
bentakan-bentakan keras agar kuda tunggangan itu berlari leblh kencang.
"Jelas jika penunggang kuda ini ada beberapa orang. Siapa pula mereka"
Apakah ini telah diatur oleh orang tua itu" Atau...," Joko putuskan kata
hatinya, karena langkah-langkah kuda makin dekat.
"Aku harus tahu dahulu siapa mereka...," Joko segera berkelebat ke samping dan
menyelinap ke balik sebatang pohon. Sepasang matanya dlpentangkan.
Tapi murid Pendeta Sinting Ini jadi tersirap. Hentakan kaki ladam kuda tiba-tiba
lenyap! Pendekar 131 sejenak menunggu
dengan telinga dan mata ditajamkan. Tapi setelah lama ditunggu tak ada juga


Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncuinya seseorang, akhirnya dia memutuskan keluar dari tempat
persembunyiannya.
Namun langkahnya tertahan tatkala tiba-tiba dari arah samping terdengar deru
keras. Di lain kejap tiga rangkum angin dahsyat melabrak ke arahnya!
Sambil. berseru tertahan, Joko
berkelebat selamatkan diri. Bersamaan dengan itu terdengar suara berderak keras.
Kejap kemudian batang pohon di mana tadi Joko bersembunyi tumbang dengan batang
berkeping-keping! Lalu terlihat tiga bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah
tegak berjajar tujuh langkah di hadapan Joko Sableng!
Orang sebelah tengah adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan
jubah warna kuning. Rambutnya ikal panjang bergerai. Kulitnya putih dengan
hidung mancung serta buiu mata lentik. Orang sebelah kanan juga adalah seorang
gadis muda berwajah jelita.
Mengenakan jubah warna merah. Rambutnya
yang panjang dikuncir agak tinggi. Gadis ini mempunyai tahi lalat pada sebelah
atas bibirnya. Sedangkan orang yang tegak paling kiri ternyata juga seorang
gadis muda cantik mengenakan jubah warna biru. Rambutnya sebatas bahu.
Bibirnya merah tanpa polesan dan membentuk bagus.
"Hem.... Gadis-gadis cantik....
Siapa pula mereka?" sepasang mata Joko mengawasi satu persatu ketiga gadis dl
hadapannya dengan bibir sunggingkan senyum. Sementara tiga gadis di
hadapannya yang bukan lain adalah Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi saling
berpandangan sejenak.
"Jelas peta itu mengarah menuju tempat Ini. Tapi aku ragu, apakah manusia itu
yang memegang penggalan peta itu?"
bisik Wulandari.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi tak ada yang menyahut ucapan Wulandari.
Namun wajah keduanya jelas membayangkan perasaan sepertl yang diucapkan
Wulandari. "Mendengar keterangan Guru, dapat dipastikan bukan dia orangnya yang memegang
penggalan peta itu. Tapi mengapa dia berada di sini" Apakah dia juga memiliki
tujuan yang sama" Atau dia hanya manusia yang tersesat"!" Diam-diam Sitoresmi
membatin sendiri dalam hatl.
"Hem.... Pemuda ini membekal llmu yang
tidak boleh dipandang sepele. Siapa dia sebenarnya?"
Seperti halnya Sitoresmi, diam-diam pula Ayu Laksmi berkata dalam hati.
"Pemuda tampan. Apakah satu kebetulan dia berada dl tempat Ini" Ataukah dia
memang sengaja datang ke tempat ini"
Melihat usianya, dapat kupastikan jika bukan dia yang memegang penggalan peta
itu. Namun...." Belum sampai Ayu Laksmi teruskan kata hatinya, tiba-tiba
terdengar bentakan dari arah sampingnya.
"Pemuda tak dikenal! Cepat katakan siapa kau! Ada urusan apa berada di tempat
Ini"!" Ternyata yang keluarkan bentakan adakan Wulandari.
Orang yang dibentak bukannya cepat menjawab. Sebaliknya celingukan dengan
memandang satu persatu pada ketiga gadis di
depannya. Kejap kemudian la
cengengesan sendiri seraya mainkan Jari kelingkingnya pada lobang telinganya.
SI jubah kuning Wulandari yang tak sabaran kembali keluarkan bentakan garang.
Namun lagi-lagi Joko tidak menjawab, membuat kesabaran gadis cantik berjubah
kuning itu putus. Seraya keluarkan seruan keras, Wulandari melompat ke depan.
Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi siap untuk lepaskan satu tendangan. Tapi
gerakan kaki si gadis tertahan dl tengah jalan tatkala tiba-tiba Joko Sableng
angkat kedua tangannya dan didorong perlahan ke
depan, membuat Wulandari bukan saja gagal kirimkan tendangan, namun kakinya
tersentak pulang ke belakang!
Kertakkan rahang, Wulandari
pentangkan sepasang matanya ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131. Rahangnya
mengembung dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.
"Jahanam! Siapa sebenarnya pemuda ini" Dia benar-benar menganggap enteng
padaku!" umpat Wulandari. Dia llpat gandakan tenaga dalamnya.
"Gadis cantik! Harap bersabar barang sedikit. Kita tak ada silang sengketa...,"
ujar Joko. "Persoalan tak akan tuntas dengan jalan kekerasan!"
"Hem.... Begitu" Jika kau tak ingin kekerasan, Jawab tanyaku tadi!"
"Jika itu pintamu, baik. Aku Joko Sableng, Boleh tahu siapa kalian adanya?"
"Dengar! Kami bertiga adalah Pemburu Dari Neraka! Aku tanya padamu.
Kau kemari tidak secara kebetulan bukan"!"
"Pemburu Dari Neraka" Hem.... Gelar angker. Melihat nada bicaranya mereka bukan
derl kalangan orang baik-baik. Dan jelas tujuannya pasti kemari. Ada sangkut
paut apa antara mereka dengan nenek tua itu?"
"Hai!" teriak Wulandari ketika dilihatnya Joko tidak segera menjawab.
"Kau tidak tuli. Harap jawab pertanyaanku!"
"Ah. Kau salah. Justru aku kebetulan sampai berada dl tempat ini. Kalau ini
memang daerah kawasan kalian, aku mohon maaf...." Selesai berkata, Joko
bungkukkan tubuh tiga kali
berturut-turut seraya menghadap pada satu persatu gadis di hadapannya yang kini
menggelari diri mereka dengan Pemburu Dari Neraka.
Wulandari menyeringai. Sementara si jubah merah Sitoresmi senyum tertahan.
Di sampingnya si jubah biru Ayu Laksmi terlihat arahkan pandangan pada jurusan
lain dengan ekor mata melirik tajam.
"Dengar baik-baik. Jika masih sayang pada selembar nyawamu, lekas angkat kaki
dari hadapan kami!" kata Wulandari dengan suara masih garang.
"Aku jelas masih sayang pada satu-satunya nyawaku. Tapi aku tidak bisa
tinggalkan tempat ini. Aku penat sekali. Aku Ingin istirahat...." Enak saja Joko
segera putar tubuh lalu melangkah ke arah sebuah pohon. Dengan tanpa memandang
pada ketiga gadis di depan sana, Joko sandarkan punggung lalu pejamkan sepasang
matanya. "Aku curiga manusia satu itu punya tujuan sama dengan kita!" bisik Wulandari.
"Dia harus kita singkirkan"
Tak ada gunanya kita buang tenaga meladeni manusia yang belum jelas
tujuannya. Lebih baik kita segera mencari orang yang ada sangkut pautnya dengan
penggalan peta itu!" kata Sitoresmi seraya arahkan pandangannya pada Joko.
Wulandari perdengarkan dengusan
pelan. Kepalanya disentakkan berpaling pada Sitoresmi. "Adanya manusia tak
diundang di tempat ini akan membuat urusan tidak seperti yang kita
rencanakan. Malah tidak tertutup dia akan merusak suasana!"
"Tapi dia sudah bilang jika hanya kebetulan berada di tempat ini. Untuk apa kita
bersusah-susah pedulikannya"
Lihat! Dia pun tak pedulikan kita dan sudah tertidur pulas!" kata Sitoresmi
dengan arahkan telunjuk tangannya pada Joko.
Tinggi langit bisa dilihat.
Dalamnya lautan dapat diselami. Tapi hati manusia siapa yang tahu. Kebetulan
atau tidak, kita tak boleh ambil resiko.
Urusan dan tugas kita amat rahasia dan sangat penting. Selain kita bertiga, tak
seorang pun boleh tahu! Kalau manusia itu tetap tak mau tinggalkan tempat ini,
berarti takdirnya buruk!"
Habis berkata begitu, Wulandari
melangkah ke arah Joko.
"Tahan!" seru Ayu Laksmi seraya melompat menjajari Wulandari.
"Kita tak perlu berdebat soal manusia Itu. Kita telah sampai di tempat
yang tertera dalam peta. Namun apa yang kita temukan" Aku mulai curiga
jangan-jangan penggalan peta di tangan kita itu palsu!"
Wulandari hentikan langkah. Ucapan Ayu Laksmi seolah menyadarkan gadis berjubah
kuning ini. Sepasang matanya menebar berkeliling.
"Hem.... Di sini memang tak tampak adanya tempat bermukimnya seseorang.
Padahal penggalan peta itu berada di tangan seseorang. Jangan-jangan peta itu
memang palsu...." Diam-diam Wulandari mulai khawatir. Namun ketika sepasang
matanya menumbuk pada murid Pendeta Sinting, pikirannya berubah.
"Astaga! Jangan-jangan pemuda itu berkata dusta. Satu-satunya manusia di tempat
ini adalah dia. Pasti dia tahu banyak tentang tempat ini!" Berpikir begitu,
Wulandari teruskan langkah ke arah Joko. Ayu Laksmi coba menahan dengan
berteriak, tapi Wulandari tak ambil peduli. Namun yang paling tampak cemas
dengan tindakan Wulandari adalah Sitoresmi. Malah dengan diam-diam gadis
berjubah merah ini berkata sendiri.
"Wulandari boleh
bertindak semena-mena pada tiap orang, tapi tidak pada pemuda itu! Aku menangkap wajah
kejujuran di mukanya! Dan.... Ah, apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku...."
Di depan sana, dua langkah dari
tempat Joko bersandar,
Wulandari hentikan langkah. Sepasang matanya mengawasi tak berkedip. Bibir gadis ini
terlihat bergetar. Ada perasaan aneh menjalari dadanya, membuatnya untuk
beberapa saat hanya diam termangu.
"Hem.... Seandainya ini bukan tugas dari Guru...," batin Wulandari seraya
pejamkan sepasang matanya. Dia coba menahan guncangan pada dadanya. Setelah
menarik napas panjang dan dalam, akhirnya mulutnya membuka. Kali ini suaranya
terdengar agak bergetar dan serak.
"Hai! Aku tahu kau berpura-pura pulas! Jangan coba-coba menipu kami.
Kami perlu beberapa keterangan!"
Joko Sableng buka kelopak matanya.
Setelah mengerjap, dia tersenyum-senyum.
"Tak ada untungnya menipu gadis cantik macam kau. Malah kalau bisa aku ingin
Pendekar Cacad 13 Pendekar Misterius Karya Gan K L Kemelut Di Majapahit 15
^