Rahasia Pulau Biru 2
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru Bagian 2
memberi keterangan yang kau butuhkan...."
"Bagus! Aku ingin tahu, apakah tempat ini dihuni seseorang"!"
"Hem.... Karena aku kebetulan lewat tempat ini, maka aku tak bisa memastikan
apakah tempat ini berpenghuni atau tidak!"
Paras muka Wulandari sedikit
berubah. Namun dia masih coba menahan hawa amarah yang mulai menyeiimuti
dadanya. "Kuingatkan! Kesabaran kami ada batasnya, waktu kami juga tidak banyak.
Jawab dengan jujur atau kutanggalkan kepalamu!"
"Aku telah menjawab apa yang kuketahui. Jika kau ingin jawaban pasti, kenapa
tidak buktikan sendiri dengan menyelidik?"
Wulandari katupkan rahangnya
rapat-rapat. "Jauh-Jauh datang kemari percuma kalau tidak ada manusia yang bisa
memberi keterangan" Wulandari maju satu tindak. "Kau telah berada di tempat ini
waktu kami tiba, pasti kau tahu banyak tentang tempat ini!"
"Hem.... Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang kalian cari di tempat ini" Adakah
kalian mencari seseorang"
Atau...." "Tepat!" potong Wulandari. "Kami memang mencari seseorang!"
"Bisa katakan, siapa yang kalian cari?"
Sejenak Wulandari tampak kebi-
ngungan karena dia sendiri tak tahu siapa yang dicari. Yang mereka ketahui
adalah peta itu berakhir di tempat mana kini mereka berada. Dan mereka
berpikiran, di tempat itu pasti akan menemukan
seseorang yang diduga menyimpan
penggalan peta. Mereka tidak tahu siapa nama orang itu.
Mungkin karena tak bisa katakan
siapa orang yang dicari, akhirnya
Wulandari berujar dengan suara agak keras.
"Siapa adanya orang yang kami cari bukan urusanmu! Yang penting tunjukkan di
mana tempat sembunyinya!"
"Hem.... Kalau pesan itu memang dari nenek galak itu, aku bisa pastikan jika
gadis-gadis cantik ini mencari si nenek!
Melihat gelagat, di antara mereka dan si nenek ada urusan...," Joko membatin.
Lalu berujar. "Jika aku menjawab, kau pasti akan menuduhku berkata dusta. Jika kalian mencari
seseorang, kusarankan kau menyelidik saja! Jawaban itu pasti akan kau temukan!"
"Keparat! Rupanya kau sengaja sembunyikan sesuatu pada kami!"
"Apa kubilang. Belum apa-apa kau telah lemparkan tuduhan lagi padaku.
Sialnya diriku ini. Tak tahu apa-apa namun kena getah melulu"
"Banyak mulut" teriak Wulandari.
Gadis Ini angkat kedua tangannya sejajar dada. Siap lepaskan satu pukulan. Namun
baru saja tangannya hendak bergerak kirimkan pukulan, sebuah tangan menarik dari
beiakang, membuat Wulandari tertahan gerakannya.
"Apa yang dikatakannya benar.
Sebaiknya kita menyelidik tempat ini!
Kita belum tahu siapa adanya orang yang kita cari. Jangan sampai kita salah
turunkan tangan!"
Dengan mendengus keras, Wulandari palingkan kepala ke belakang. Sepasang matanya
melotot angker.
"Sitoresmi! Sejak kapan kau berubah jadi manusia tahu peradatan dengan kata-kata
lembut begitu rupa" Aneh di telingaku jika mendadak saja kau kini berpikir hanya
untuk selembar nyawa seseorang!"
Meski sedikit geram, namun
Sitoresmi yang menahan gerakan tangan Wulandari sunggingkan senyum. "Urusan kita
sekarang adalah urusan pelik.
Dibutuhkan pikiran panjang meski harus dibarengi dengan kekuatan!"
Wulandari tertawa pendek.
"Jangan-jangan ucapanmu hanya topeng saja. Sedang sebenarnya kau tertarik pada
manusia itu! Betul"!"
Wajah Sitoresmi berubah merah
padam. "Kau tak layak ucapkan kata-kata itu, Wulandari! Aku tak peduli siapa dia
adanya, tapi kalau ucapannya benar, apa salahnya kita turuti"! Lebih baik kita
segera menyelidik daripada bertele-tele tanpa guna!"
"Rupanya kau sudah pandai pula menggurui. Tapi akan kubuktikan dahulu bahwa
dugaanku tidak keliru. Manusia itu menyembunyikan sesuatu pada kita!" Habis
berkata begitu, si jubah kuning Wulandari sentakkan tangan Sitoresmi yang masih
memegang tangannya. Kejap kemudian
kedua tangannya kirimkan satu pukulan ke arah Joko!
* * * 4 TERDENGAR deruan luar biasa keras.
Kejap itu juga melesat segelombang angin laksana deburan ombak. Karena telah
menduga jika lawan yang dihadapi punya simpanan ilmu, kali ini Wulandari sengaja
langsung kirimkan pukulan dengan tenaga dalam tinggi.
Di sebelah depan, melihat ganasnya serangan, murid Pendeta Sinting segera angkat
kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin berkelebat angker keluarkan suara menderu keras.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi yang melihat dahsyatnya pukulan segera
berkelebat ke depan. Meski mereka berdua tak sependapat dengan tindakan
Wulandari, namun tampaknya mereka berdua tak ingin saudara seperguruannya itu
mendapat celaka.
Blaammm! Terdengar ledakan hebat saat dua serangan itu bentrok di udara. Wulandari
terlihat tersurut dua langkah dengan wajah berubah pucat pasi dan dada bergetar.
Di depan sana, Joko Sableng
tersandar pada batang pohon dengan keadaan tetap berdiri tegak.
Wulandari kertakkan rahang. Dari mulutnya terdengar seruan keras. Tanpa
pedulikan pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berteriak menahan, gadis berjubah
kuning ini lipat gandakan tenaga dalam.
Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke depan.
Suasana tiba-tiba berubah jadi
terang. Pada saat yang sama, sebongkah kabut putih melesat dengan keluarkan hawa
panas luar biasa.
"Glia! Mengapa Wulandari begitu bernafsu menghabisi pemuda itu" Mampukah pemuda
itu menahan pukulan 'Kabut Neraka'?" diam-diam Sitoresmi dilanda kecemasan. Dan
tanpa diketahui oleh Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berjubah merah ini kerahkan
tenaga dalam. "Aku harus selamatkan jiwanya. Apa pun kata mereka, aku tak peduli!" ujar
Sitoresmi sambil angkat kedua tangannya hendak menghantam. Tapi gerakan tangan
gadis ini tertahan ketika dari arah depan sana melesat sinar mencorong berwarna
kekuningan yang juga membawa hawa panas.
Blaarrr! Untuk kedua kalinya tempat itu
dibuncah ledakan dahsyat.
Tanahnya bergetar keras laksana diguncang gempa.
Kejap kemudian tampak muncratan tanah menghaiangi pemandangan.
Sosok Wulandari tampak mencelat
sampai dua tombak ke belakang. Kalau saja Ayu Laksmi tidak segera berkelebat dan
menahan tubuhnya, niscaya sosok
Wulandari akan jatuh terbanting di atas tanah.
"Tak kusangka jika manusia jahanam itu mampu menahan pukulan Kabut Neraka!
Aku makin curiga padanya!" gumam Wulandari kerahkan tenaga untuk
mengatasi rasa sakit pada dadanya.
Tiba-tiba gadis ini memekik tertahan.
Ayu Laksmi cepat berpaling. Gadis berjubah biru ini pun jadi tercekat.
"Wulandari! Kau terluka dalam.
Bibirmu keluarkan darah...."
"Hem.... Kita harus segera
selesaikan manusia satu itu.
Keberadaannya di tempat ini jelas bukan satu kebetulan! Jika tidak, bukan saja
dia akan merusak urusan kita, tapi Juga membahayakan jiwa kita!"
Sitoresmi sejenak tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi diam-diam dia merasa lega, karena di
depan sana Joko terlihat tetap tegak meski sosoknya tersurut ke belakang satu
langkah dan tersenyum-senyum seraya usap-usap dadanya.
"Siapkan pukulan gabungan 'Kabut Neraka'!" Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar teriakan, membuat Sitoresmi cepat berpaling.
"Edan! Untuk apa hal itu harus dllakukan" Apa maksud sebenarnya Wulandari"!
Apakah dia menduga pemuda itu yang memegang penggalan peta itu?"
gumamnya seraya berkelebat ke arah Wulandari.
"Sitoresmi! Aku tahu kau tak ingin manusia itu mampus!" Wulandari telah
mendahului bicara sebelum Sitoresmi buka mulut. "Tapi tugas adalah di atas
segalanya!"
"Wulandari! Kau jangan salah sangka. Aku tak ada sangkut paut apa-apa dengan
pemuda Itu. Hanya sangat
disayangkan jika harus mencabut nyawa orang tanpa hasil yang didapat!"
Wulandari melotot sambil mendengus.
"Perasaan kadangkala membawa perhitungan semula jadi kacau. Perasaan seringkali
menghanyutkan keyakinan menjadi
keraguan. Sebelum semuanya
membutakan mata dan hatimu, buka matamu lebar-lebar! Ingat siapa dirimu. Ingat
akan ikrar yang kita ucapkan di hadapan Guru!"
Ucapan Wulandari membuat Sitoresmi jadi serba salah. Di satu pihak dia tak
menginginkan si pemuda mengalami nasib buruk, karena dia yakin, meski ia tahu si
pemuda dapat menahan pukulan 'Kabut Neraka' Wulandari namun dia belum pasti bisa
menahan gabungan 'Kabut Neraka'.
Sementara di pihak lain, dia harus singkirkan siapa saja yang coba
menghalangi demi untuk laksanakan tugas yang dlembankan oieh sang guru.
"Wulandari...," kata Sitoresmi pada akhirnya. "Apakah kau menduga jika pemuda
itu pemegang penggalan peta yang kita buru itu"!"
"Melihat usia dan keterangan Guru, aku memang tidak yakin benar, namun
keberadaannya di tempat ini pasti ada hubungannya dengan peta itu! Hem....
Kita singkirkan dahulu dia, baru kita menyelidik seantero tempat ini! Siapkan
gabungan 'Kabut Neraka'!"
Habis berkata, Wulandari kerahkan tenaga dalam. Di sampingnya Ayu Laksmi segera
pula berbuat sama. Meski agak enggan, akhirnya Sitoresmi kerahkan pula tenaga
dalamnya. "Tahan!" di depan sana murid Pendeta Sinting berteriak. "Aku sungguh tidak
mengerti dengan maksud kalian. Di antara kita tak ada silang urusan. Adalah aneh
jika kalian benar-benar inginkan
nyawaku. Apakah begitu berharga selembar nyawaku buat kalian"!"
"Kau tak layak mengerti!" hardik Wulandari.
"Katakan saja, apakah kau tahu seluk-beluk sebuah penggalan peta!" kata
Sitoresmi terus terang.
Joko pandangi ketiga gadis di
hadapannya silih berganti.
"Penggalan peta" Peta apa"!"
"Jahanam! Jangan berlagak pilon!
Kami jauh-jauh datang kemari perlu mengambil penggalan peta itu! Lekas serahkan
pada kami, dan kau boleh angkat kaki dengan nyawa utuh!" akhirnya si jubah
kuning Wulandari buka maksud sebenarnya.
"Ah. Aku makin tak mengerti dengan ucapan kalian. Mula-mula kalian bilang
mencari seseorang. Lalu kini bicara soal penggalan peta. Sekarang aku bukan saja
tak mengerti tapi jadi bingung...,"
ucapan Joko Sesaat membuat Sitoresmi dan Ayu Laksmi jadi bimbang. Namun
Wulandari segera menghardlk.
"Jangan jadi ragu karena ucapan orang! Mana mungkin orang berterus terang,
apalagi dalam urusan besar begini! Habisi dia!"
Wulandari cepat hantamkan kedua
tangannya ke depan lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Di sampingnya, Ayu Laksmi meski masih tampak ragu-ragu namun
segera pula kirimkan pukulan.
Mungkin tak mau menyakiti hati kedua saudara seperguruannya, akhirnya Sitoresmi
ikut pula lepaskan pukulan
'Kabut Neraka' meski dengan tenaga tidak sampai setengahnya.
Begitu masing-masing gadis telah lepaskan pukulan, terdengar suara deru keras
luar biasa. Enam kabut putih tampak melesat lalu menyatu di udara. Suasana
berubah terang panas menyengat! Di lain
kejap, kabut putih itu menggebrak ganas ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131!
Melihat ganasnya pukulan, mau tak mau murid Pendeta Sinting ini terbelalak
besar. Darahnya laksana strap. Namun ingat akan keselamatan dirinya Joko cepat
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Didahului teriakan keras, murid Pendeta Sinting melesat dua tombak ke udara. Dan
seraya melayang di atas udara, dia dorongkan kedua tangannya ke arah depan.
Sinar kuning mencorong dengan
keluarkan suara dahsyat dan hawa panas menderu menyapu ke arah kabut putih.
Sesaat kemudian terdengar dentuman keras menggelegar di tempat itu.
Sosok Joko terlempar sampai satu tombak ke belakang. Lalu terduduk di atas tanah
dengan sekujur tubuh tertutup oleh hamburan tanah yang membumbung ke angkasa
waktu terjadi bentrok pukulan.
Wajah murid Pendeta Sinting ini pucat laksana kehabisan darah. Beberapa saat
lamanya tubuhnya bergetar hebat. Napas dan peredaran darahnya seolah tersumbat
hingga untuk sesaat dia megap-megap.
Darah berwarna kehitaman pun terlihat mengalir keluar dari sela mulutnya
pertanda dia telah terluka dalam.
Di seberang, Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi terlihat terhuyung-huyung.
Raut wajah ketiganya tampak pias. Jubah yang mereka kenakan
berkibar-kibar. Sitoresmi dan Ayu Laksmi
segera dapat menguasai diri meski mereka berdua merasakan dadanya nyeri. Kedua
tangannya laksana hilang kekuatannya.
Ketika mereka berdua meneliti, kedua gadis ini jadi melengak kaget. Sepasang
tangan mereka tampak berubah agak merah kehitaman.
Kalau kedua gadis itu masih bisa bertahan, tidak demikian halnya dengan
Wulandari. Sosok gadis ini langsung terbanting begitu terjadi bentrok pukulan.
Hal ini terjadi karena
sebelumnya dia telah terluka dalam.
Hingga waktu terjadi bentrok kedua kali, dia tak dapat iagi menguasai tubuh.
Darah hitam mengucur kembali dari mulutnya pertanda lukanya makin parah.
Melihat keadaan saudara
seperguruannya, Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang semula enggan dengan tindakan
Wulandari menjadi berubah.
"Keparat! Kau harus bayar mahal semua Ini!" teriak si jubah biru Ayu Laksmi
seraya bantingkan sepasang kakinya. Matanya bernyala-nyala laksana dikobari api.
Di sebelahnya, meski Sitoresmi tak rela melihat keadaan Wulandari yang terluka
dalam, tapi dia masih coba menahan hawa amarahnya. Dia hanya keluarkan gumaman
tak jelas dan arahkan pandangannya pada jurusan lain.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Ayu Laksmi keluarkan teriakan keras.
Tubuhnya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak menghantam ke arah Joko yang
mulai bergerak bangkit.
Murid Pendeta Sinting melengak
dengan mata melotot tatkala dari arah depan menggebrak kabut putih ke arahnya.
Begitu cepatnya lesatan kabut putih pukulan 'Kabut Neraka' itu, hingga tak ada
kesempatan lag! bagi Joko untuk selamatkan diri, apalagi kini dia terluka
membuat gerakannya sedikit lamban.
"Busyet!" keluh Joko dengan mata meredup. Dia kerahkan tenaga dalam, laillu
geser tubuhnya seraya angkat kedua tangannya untuk menahan pukulan.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar satu suara tawa mengekeh panjang. Di lain saat
terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan itu pukulan 'Kabut Neraka' yang
mengarah mengancam pada Pendekar 131 tertahan di udara. Bukan itu saja, kabut
putih itu serta-merta laksana dihantam kekuatan dari atas hingga kabut itu
menukik deras ke bawah.
Bummm! Tanah muncrat berhambur ke udara menutupi tempat itu. Saat tanah sirap Ayu
Laksmi dan Sitoresmi sama pelototkan mata masing-masing. Ternyata Joko telah
lenyap dari tempat itu! Dan di hadapan mereka terlihat lobang menganga akibat
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulan 'Kabut Neraka' yang menghantam tanah.
"Ada seseorang yang menolongnya!
Pasti dia orang yang kita cari!" seru Ayu Laksmi. "Cepat keJar!"
Tanpa menunggu sahutan, si jubah biru Ayu Laksmi segera berkelebat ke jurusan
barat, sementara si jubah merah Sitoresmi melesat ke arah timur.
Wulandari sebenarnya ingin pula
berkelebat, namun karena sekujur tubuhnya masih terasa sakit, akhirnya dia
memutuskan untuk menunggu di tempat itu.
* * * 5 ADALAH suatu hal yang luar biasa jika murid Pendeta Sinting tak dapat gerakkan
tubuh padahal dia merasa tak satu pun bagian tubuhnya ditotok orang.
Tapi meski dia sudah coba dengan kerahkan tenaga dalam, tetap saja sia-sia,
hingga pada akhirnya dia hanya diam seraya memperhatikan pada punggung orang
yang kini memanggul tubuhnya seraya melangkah perlahan. Anehnya, walau terlihat
melangkah pelan, Joko dapat merasakan siuran angin keras, pertanda orang yang
memanggulnya berkelebat kencang!
Mungkin karena penasaran ingin
tahu, Joko perhatikan sekali lagi lebih seksama. Mula-mula dia melihat jubah
besar berwarna merah menyala di
bawahnya. Ketika dia melirik ke atas, tampak oleh matanya bahwa orang yang
sedang membawa dirinya sudah berambut putih dan hanya sebatas tengkuk.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba-
tiba dia terperangah. "Busyet Bukankah orang ini si nenek itu?"
Yakin akan adanya siapa orang yang kini melarikannya, Joko segera berkata.
"Nek. Ke mana aku hendak kau bawa pergi?"
Orang yang ditanya tidak menjawab.
Bahkan berhenti pun tidak. Pendekar Pedang Tumpul 131 ulangi lagi ucapannya
dengan suara agak dikeraskan.
"Nek. Harap jawab kata-kataku...."
Orang yang membawa lari Joko hentikan langkah. Kepalanya didongakkan.
Tiba-tiba terdengar suara kekehan tawanya. Namun tiba-tiba tawanya diputus. Dan
sekali gerak, Joko
merasakan tubuhnya melayang setinggi satu tombak ke atas. Joko coba gerakkan
tubuh untuk menahan tubuhnya yang kini menukik ke bawah. Tapi murid Pendeta
Sinting Ini terkejut. Tubuhnya masih belum bisa digerakkan, hingga tanpa ampun
lagi tubuhnya terjerembab di atas tanah.
"Astaga! Apa maksud sebenarnya orang tua ini?" kata Joko dalam hati seraya
bergerak hendak bangkit. Namun lagi-lagi dia tercekat. Tubuhnya kejang tak bisa
digerakkan. Mendadak di depannya, orang yang melarikannya yang ternyata seorang perempuan
tua berambut putih sebatas tengkuk mengenakan jubah merah menyala dengan mulut
memainkan gumpalan tembakau dan bukan lain adalah Ratu Malam gerakkan tangan
kanannya membuat gerakan seperti orang mengetuk. Anehnya, bersamaan dengan itu,
Joko dapat kembali gerakkan anggota tubuhnya.
"Luar biasa nenek ini...," gumam Joko seraya bangkit berdiri lalu menjura hormat
dan berkata. "Nek, terima kasih atas
pertolonganmu...."
"Setan jelek!
Siapa yang menolongmu" Hah..."!" Ratu Malam membentak galak, membuat Joko terkesiap kaget.
Hingga untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting ini diam. Namun ketika
dilihatnya si nenek hendak buka mulut kembali, Joko buru-buru berkata.
"Nek, bukankah kau yang menulis pesan itu"! Tapi kenapa yang kutemui adalah
gadis-gadis cantik"! Siapa mereka, Nek"! Anak-anakmu"! Wah....
Mereka cantik-cantik, tentu kau dulu cantik seperti mereka!''
Ratu Malam pentangkan sepasang
matanya. Gumpalan tembakau hitam di mulutnya terlihat keluar masuk.
"Setan ini sama sintingnya dengan gurunya.... Kalau diladeni ucapannya akan
terus ngelantur!" Mendadak Ratu
Malam katupkan rapat-rapat mulutnya.
Ketika mulut itu bergerak membuka terdengar bentakannya.
"Aku tanya padamu. Apa gurumu yang menyuruhmu hingga kau sampai di tempat tadi
bertemu denganku"!"
"Bagaimana ini" Apa harus kukatakan terus terang tentang tugas ini"!"
"Hai, Setan Jelek! Lekas jawab tanyaku!"
"Apa hendak dikata. Aku butuh orang tempat bertanya. Siapa tahu dia nanti bisa
memberi petunjuk...," pikir Joko dalam hati. Lalu berujar.
"Eyang Guru menugaskan aku untuk menyelidik ke Pulau Biru. Hanya sayang dia tak
mengatakan padaku di mana pulau itu berada. Kalau Nenek tahu, harap sudi
tunjukkan padaku ke mana aku harus menuju"
Mendadak Ratu Malam goyang-
goyangkan kepala. Lalu tertawa
bergelak-gelak. "Urusan gila itu nyatanya sudah diendus banyak orang.
Hem.... Setan jelek. Ternyata kau anak manusia yang beruntung!"
"Beruntung?" ulang Joko Sableng seraya gelengkan kepala. "Justru aku ketiban
sial. Menuruti pesan yang kau tinggalkan, yang kutemui ternyata tuduhan yang tak
kumengerti. Untung kau segera datang. Jika tidak, mungkin aku sudah berkalang
tanah. Apakah itu dikatakan beruntung"!"
"Sudah. Jangan banyak berkeluh.
Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau masih hendak teruskan perjalanan ke Pulau
Biru?" "Karena itu tugas, lebih dari itu karena tugas ini demi untuk
menyelamatkan rimba persilatan, apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan
teruskan perjalanan!"
"Bagus! Semangatmu besar, nyalimu masih berkobar. Urusan Pulau Biru memang harus
segera dituntaskan. Kitab Serat Biru harus diselamatkan dari
tangan-tangan yang tak bertanggung jawab!" ujar Ratu Maiam. Perempuan tua
berjubah merah menyala ini selinapkan tangan ke balik jubahnya. Ketika tangannya
ditarik keluar iagi, tampaklah selembar kulit berwarna coklat lusuh.
"Setan Jelek. Dengar baik-baik!
Sampai hari ini belum ada manusia yang tahu di mana sebenarnya Pulau Biru itu
berada. Orang-orang rimba persilatan selama ini hanya dengar namanya namun tak
tahu di mana" Sejenak Ratu Malam hentikan ucapannya sebelum akhirnya
melanjutkan. "Kulit jelek ini dua puluh tahun tersimpan padaku. Dan kau adalah orang yang
kutunggu selama kurun masa itu untuk menerimanya!"
"Eh. Jadi kaulah orang yang dicari para gadis-gadis itu. Mereka sebut-sebut
penggalan peta. Apakah kulit itu memang penggalan peta"!"
"Tak salah. Ikuti apa yang tertera dalam peta ini. Dan ingat. Jaga kulit ini
sebagaimana kau jaga dirimu sendiri.
Karena sekali kulit ini jatuh ke tangan orang lain, berarti tugasmu lebih berat
Iagi!" "Nek. Kalau boleh tahu, apakah kulit Itu ada hubungannya dengan Kitab Serat
Biru?" "Aku tak bisa jawab dengan pasti.
Jika kau nanti telah mendapatkan penggalan peta ini dengan sempurna, di sanalah
jawaban itu akan kau peroleh!"
"Jadi...?"
"Seperti yang kau lihat. Kulit ini hanyalah penggalan. Kau dituntut untuk
mencari penggalannya!"
"Tapi Nek" Aku ditugaskan untuk menyelidik ke Pulau Biru. Bukan mencari
penggalan peta!"
Si nenek pelototkan sepasang
matanya yang sipit. "Sudah kukatakan.
Tak seorang pun sampai sekarang ini yang tahu di mana beradanya Pulau Biru. Dan
hanya dengan sempurnanya penggalan peta ini, kau baru dapat sampai ke Pulau
Biru. Tapi ingat. Aku tak bisa menjamin apakah Pulau Biru itu masih ada hubungannya
dengan Kitab Serat Biru atau tidak!"
Habis berkata begitu, Ratu Malam ulurkan kulit warna coklat pada Pendekar 131.
Joko segera menyambuti kulit itu.
Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting perhatikan apa yang tertera dalam kulit coklat di tangannya.
"Melihat bentuknya, sebelum kulit ini ada kulit lain yang telah dipenggal.
Kulit ini sudah penggalan. Bukan yang pertama...," kata Joko dalam hati lalu
katakan apa yang ada dalam benaknya pada si nenek.
"Dugaanmu benar. Sebelum kulit ini ada penggalan sebelumnya. Tapi kau tak perlu
cemaskan hal itu. Kau mulai saja perjalanan dari yang tertera dalam kulit
itu...." "Hem.... Aku tahu sekarang.
Jangan-jangan penggalan pertama kulit ini ada pada gadis-gadis cantik yang
mencarimu itu!"
"Itu bisa saja. Hanya yang
kuherankan, kalau memang gadis-gadis itu memegang penggalan yang pertama, dari
mana mereka dapatkan" Apakah mungkin Jalu Paksi salah berikan pada orang"
Padahal kurasa dia sudah tahu, kepada siapa sebenarnya kulit itu harus
diberikan...," Ratu Malam bergumam seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Nek. Siapa Jalu Paksi...?" "Dialah pemegang penggalan kuiit yang pertama.
Kau harus hati-hati. Dengan berhasilnya para gadis itu sampai di tempat mana kau
tadi berada, berarti mereka memang telah mendapatkan penggalan kulit yang
pertama dan tentu yang asli...," Ratu Malam menghela napas panjang. "Aku
mendapat firasat sesuatu telah terjadi pada Jalu Paksi jika sampai kulit itu jatuh pada
orang yang tidak ditentukan.."
"Jadi kulit-kulit itu memang harus diberikan pada orang yang telah
ditentukan?" Joko ajukan tanya.
Ratu Malam mengangguk perlahan.
"Dengarlah. Aku mempunyai empat saudara seperguruan. Menjelang
meninggalnya, guru kami memberikan penggalan kulit pada satu persatu muridnya
dengan pesan kelak penggalan kulit itu harus diberikan pada seseorang yang
mempunyai ciri tertentu...."
"Apakah ciri itu, Nek...?" "Orang itu berhasil mendapatkan pedang pusaka yang
disebut Pedang Tumpul 131!"
Joko jadi terkejut. Tanpa sengaja tangan kanannya meraba ke pinggang, di mana
tersimpan Pedang Tumpul 131. Dia bernapas lega karena pedang itu masih ada di
sana. "Kami tak tahu, kenapa kulit itu dipenggal-penggal demikian rupa. Kami juga tak
pernah tanya, apa yang terpendam dalam Pulau Biru. Yang kami ketahui adalah,
jika penggalan-penggalan kulit itu digabung, maka di situ akan tertera peta yang
berakhir pada Pulau Biru...."
"Tapi Nek. Orang-orang rimba persilatan kini tampaknya sedang dibikin gila
dengan urusan Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan di dalam Pulau
Biru!" "Kau tak usah kaget. Urusan ini bukan sekarang saja diributkan orang.
Jauh sebelumnya, urusan Kitab Serat Biru telah menjadi buah bibir. Bahkan telah
menelan banyak korban. Kalau sekarang kitab itu kembali diributkan, mungkin ada
seseorang yang mengail di air keruh.
Mau mengambil keuntungan dengan tanpa bersusah payah. Mungkin juga untuk
memancing keluarnya beberapa orang tokoh yang diduga banyak mengetahui tentang
seluk-beluk kitab itu. Karena kudengar saat ini telah muncul beberapa orang yang
justru dikabarkan jika orang itu telah tewas! Hem.... Hari ini tugasku
menyampaikan penggalan kuiit itu telah kulaksanakan. Apa yang sekarang hendak
kau lakukan terserah padamu. Hanya kalau mau kusarankan, carilah penggalan kulit
selanjutnya!"
Habis berkata, Ratu Malam putar
diri. Tunggu!" tahan Joko. "Ke mana aku harus mencari pemegang penggalan kulit
lainnya?" "Ikuti yang tertera dalam peta. Di sana kau akan menemukan orang yang kau cari!
Karena Guru kami telah menentukan di mana kami harus menunggu orang yang telah
ditentukan itu. Selamat jalan...."
Sebenarnya Joko masih
hendak menahan kepergian si nenek. Namun belum sampai ucapannya keluar, si nenek telah
berkelebat lenyap.
"Busyet! Aku sampai lupa menanyakan siapa namanya...."
Joko memperhatikan sejenak pada
peta yang tertera dalam kulit coklat di tangannya. "Hem.... Aku harus mulai dari
tempat gadis-gadis tadi berada....
Mudah-mudahan mereka telah pergi."
* * * 6 PENDEKAR 131 terkesiap dan segera hantamkan kedua tangannya memapak pukulan yang
mengarah padanya. Terdengar dentuman menggelegar menyentak tempat itu.
Di depan sana, dari mana tadi
pukulan gelap bersumber terdengar seruan tertahan. Lalu sesosok tubuh membuat
gerakan berjumpalitan di udara sebelum akhirnya menjejak tanah dengan kaki
terkembang sepuluh langkah di hadapan Joko Sableng.
Dia adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah warna biru.
Tubuhnya sesaat bergetar, tapi kejap kemudian terdengar suaranya. "Mana dia"!"
Joko memandang tajam pada gadis
cantik di hadapannya. Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, si gadis
yang bukan lain adalah Ayu Laksmi telah membentak kembali.
"Cepat katakan. Atau kurobek mulutmu!"
"Aneh. Siapa yang kau maksud" Aku di sini sendirian!"
Ayu Laksmi menatap sejenak pada
Joko. Lalu berpaling dengan mata menyapu berkeliling tak berkesiap. Dalam hati
si gadis berkata. "Bayangan kelebatannya masih
dapat kutangkap. Sayang,
gerakannya terlalu cepat hingga kalau kukejar pun hanya sia-sia! Tapi pasti
pemuda ini tahu siapa dan di mana orang tadi berada. Aku hampir yakin. orang
tadilah yang selama ini kucari!"
"Kuberi waktu untuk berpikir.
Katakan di mana
orang tadi atau
kutamatkan riwayatmu!" sentak Ayu Laksmi.
Joko geleng-geleng kepala seraya tersenyum.
"Sudah kukatakan, aku sedari tadi berada sendirian di tempat ini! Kalau tidak
percaya...."
"Diam!" hardik Ayu Laksmi habis kesabaran. "Jangan kira kau bisa menipuku. Dan
aku tahu kau masih terluka dalam. Jangan sampai aku gelap mata karena kau keras
kepala!" Karena Joko tak segera menjawab, kemarahan Ayu Laksmi tak dapat ditahan Iagi.
"Baik. Rupanya kau memilih tamat riwayat daripada buka mulut!"
Wuutt! Wuuutt! Ayu Laksmi sentakkan kedua
tangannya ke depan, lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat kabut putih
hamparkan hawa panas dan suara
menggidikkan! Meski murid Pendeta Sinting masih merasakan sakit pada dadanya, namun dia tak
tinggal diam. Serta-merta kedua tangannya diangkat laiu didorong ke depan
kirimkan pukulan sakti Lembur Kuning.
Tempat itu serentak terang-
benderang dan panas luar biasa. Sinar kuning meiesat keluarkan deru dahsyat.
Di kejap lain terdengar ledakan keras.
Disusul terdengar suara pekikan dan seruan tertahan.
Dua sosok tubuh tampak saling mental masing-masing ke belakang.
Buk! Buk! Joko terlihat terhuyung-huyung ke belakang. Sosoknya bergoyang-goyang dengan
tangan gemetar. Sepasang matanya bolak-balik mengerjap meredup setengah membuka
dengan bibir bergetar. Sementara di depan sana, Ayu Laksmi
terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh terjengkang di atas tanah. Tapi gadis
cantik ini cepat bergerak bangkit.
"Aku yakin pemuda itu telah cidera waktu bentrok dengan pukulan gabungan
'Kabut Neraka'. Tapi aneh jika dia masih bisa bertahan dan dapat menahan pukulan
'Kabut Neraka'ku! Kalau tidak segera kuhabisi, bukan saja aku yang akan mendapat
celaka, tapi kelak dia bisa jadi penghalang!" Berpikir sampai di situ, Ayu
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laksmi lipatkan tenaga dalam.
Sepasang matanya dipejamkan. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada.
Tiba-tiba dari sekujur tubuh gadis berjubah biru ini keluarkan asap tipis.
Dan saat kedua kakinya dibantingkan ke atas tanah, dari sepasang matanya yang
tiba-tiba dipentangkan melesat dua larik sinar biru. Tak ada suara yang
terdengar bersamaan dengan melesatnya sinar biru dari sepasang mata si gadis.
Tapi pada saat yang sama, tanah di depan si gadis membentuk jalur memanjang dan
rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus memanjang dengan cepat ke
arah Pendekar 131!
"Celaka! ilmu apa yang dimiliki gadis ini" Aku telah terluka, tak mungkin aku
kerahkan tenaga dalam. Hem....
Terpaksa aku pergunakan Pedang Tumpul 131...."
Joko segera selinapkan tangan ke balik pakaiannya untuk mencabut Pedang Tumpul
131. Tapi belum sampai senjata mustika itu keluar, dari semak belukar terdengar
gumaman. Karena sumber suara gumaman jauh dari tempatnya Ayu Laksmi, gadis ini
sama sekali tak mendengar.
Namun tidak demikian halnya dengan
Pendekar 131. Dia dapat dengan jelas mendengar gumaman itu.
"Sinar Setan. Lekas menyingkir.
Pukulan itu amat berbahaya!"
Meski tak tahu siapa adanya orang yang bergumam, namun isyarat ucapannya
menandakan bahwa orang itu tahu betul akan pukulan yang kini melabrak ke arah
Joko. Joko urungkan niat cabut senjata.
Dan secepat kilat dia menyingkir ke samping dengan gulingkan tubuh. Saat itulah
dari semak belukar melesat keluar dua larik sinar merah.
Bummmm! Rengkahan tanah yang terus bergerak terhenti lalu terdengar dentuman keras.
Hamburan tanah membubung ke udara.
Tempat itu bergetar hebat seolah ditimpa gelombang besar. Tubuh murid Pendeta
Sinting terlihat mental dan untuk kedua kalinya jatuh bergulingan di atas tanah.
"Cepat menyingkir ke arah timur!"
lagi-lagi terdengar gumaman.
Joko pentangkan sepasang matanya.
Karena saat itu hamburan tanah masih menutupi pemandangan, dia belum
memastikan siapa adanya orang yang bergumam. Namun jelas dia dapat
memastikan bahwa suara itu adalah suara seorang perempuan.
"Bukan. Suara itu bukan suara si nenek. Tapi siapa?"
Selagi Joko bertanya-tanya, kembali terdengar teguran.
"Waktumu cuma sedikit. Selagi masih gelap, lekas menyingkir!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko kerahkan sisa tenaganya. Lalu berkelebat ke
arah yang dikatakan orang dari kegelapan.
Begitu hamburan tanah sirap, di
depan sana Ayu Laksmi tampak
bergerak-gerak bangkit. Wajah gadis ini pucat pasi. Dari mulutnya terlihat darah
mengalir pertanda dia terluka cukup dalam.
"Jahanam! Lagi-lagi ada orang yang menolongnya! Keparat siapa gerangan yang
berani ikut campur Ini" Adakah orang pemegang penggalan peta itu"!"
Ayu Laksmi bergerak duduk.
Tiba-tiba sepasang matanya mendelik besar memperhatikan ke depan. Dadanya
berdebar keras. Mulutnya yang berdarah komat-kamit.
Di depan sana, di mana pukulannya terhenti, tampak lobang besar menganga.
Di belakangnya tampak dua jalur
memanjang sampai gerumbulan semak belukar.
"Aku sepertinya mengenali pukulan yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku.
Mungkinkah dia..." Tapi apa mungkin?"
Selagi Ayu Laksmi didera berbagai pertanyaan, dari arah belakangnya berkelebat
sesosok bayangan.
"Apa yang terjadi" Kau terlihat
terluka....' Ayu Laksmi berpaling. Di hadapannya tegak seorang gadis berjubah
merah yang kini menatapnya dengan pandangan cemas. Untuk sesaat, Ayu Laksmi
memperhatikan sosok di hadapannya seolah baru saja dikenalnya.
'Ayu Laksmi, kenapa kau memandangku begitu rupa" Apa sebenarnya yang telah
terjadi?" Gadis berjubah merah yang bukan lain adalah Sitoresmi ajukan teguran
karena jengah dipandangi demikian rupa.
"Ah, tidak mungkin. Mungkin orang lain yang melakukannya...," kata Ayu Laksmi
dalam hati. Lalu palingkan kepalanya pada jurusan lain dan berkata.
"Aku berhasil menemukan pemuda yang kita kejar. Tapi lagi-lagi ada orang yang
menolong. Kini dia lenyap lagi!
Tapi...." "Tapi apa..."!" sahut Sitoresmi.
"Aku sepertinya dapat mengenali pukulan jahanam yang menolong itu!"
Sitoresmi palingkan kepala
memandang pada jurusan timur. Sesaat kepalanya didongakkan, lalu terdengar
ucapannya. "Itukah sebabnya kau memandangku seolah menaruh curiga"!"
"Aku tahu pasti pukulan apa yang menahan
pukulan 'Sinar Setan'-ku!
Dan...." "Ayu Laksmi!" potong Sitoresmi.
"Rimba persilatan bukan dunia sempit.
Pukulan sakti 'Sinar Setan' bukan hanya kita saja yang memiliki. Jadi aneh
kedengaran di telingaku jika nada kata-katamu menaruh curiga padaku!"
"Aku tidak curiga padamu. Hanya aku heran...." Sitoresmi tertawa perlahan.
"Aku tahu. Kau menaruh curiga padaku.
Hem.... Terserah padamu. Hanya
kuingatkan. Jangan bikin jurang
perpecahan antara kita hanya gara-gara kecurigaan!"
Mendengar ucapan Sitoresmi, Ayu Laksmi terdiam untuk beberapa lama. Saat itulah
sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di sebeiah Sitoresmi.
Dia bukan lain adalah Wuiandari.
Setelah ditinggal sendirian oleh Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berkelebat
mengejar Joko, Wulandari kerahkan tenaga untuk kembalikan keadaan tubuhnya.
Setelah dirasa tubuhnya membaik, gadis ini merasa kebingungan. Akankah ikut
berkelebat mengejar atau diam menunggu.
Dia mondar-mandir sendirian dengan berpikir mencari jalan terbaik yang harus
ditempuh. Saat itulah dia dengar satu dentuman keras dari arah barat, arah mana
tadi Ayu Laksmi menuju. Tapi Wulandari masih juga belum beranjak dari tempatnya.
Dia seolah masih ingin meyakinkan.
Dan tatkala tak lama kemudian mendengar lagi ledakan keras, dia cepat berkelebat ke arah barat.
"Orang yang kita kejar berhasil lolos!" ujar Sitoresmi sebelum Wulandari buka
mulut untuk bertanya.
Sepasang mata Wulandari memandang silih berganti pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi.
Sekali pandang tampaknya gadis berjubah kuning ini telah menangkap ada sesuatu
antara kedua gadis di sebelanya.
'Ada apa di antara kalian"! Ingat.
Jangan sampai ada sesuatu yang
tersembunyi di antara kita bertiga...!"
Sitoresmi dan Ayu Laksmi sama
bentrok pandangan. Namun sesaat kemudian Ayu Laksmi berpaling pada jurusan lain
sambil berkata.
"Aku hampir saja berhasil menangkap jahanam itu. Tapi tiba-tiba seseorang
menahan pukulan 'Sinar Setan' yang kulepaskan! Dan aku tahu pasti, aku mengenali
pukulan yang menahan
seranganku...."
"Dia menuduh akulah yang menahan pukulannya, padahal kami berdua
berkelebat bersilangan jalan. Dia ke arah barat, aku ke arah timur!"
"Sudah. Tak perlu diteruskan persoalan ini!" damprat Wuiandari dengan suara
keras. "Sekarang kita berpencar.
Besok pagi kita bertemu di tempat ini kembali! Aku kini yakin. Pemuda itu ada
hubungannya dengan penggalan peta itu!
Ingat. Jangan sampai ada yang bertindak
menyimpang dari rencana semula, Apalagi coba-coba berkhianat!"
Habis berkata demikian, Wulandari bergerak menuju ke arah utara. Ayu Laksmi
melirik pada Sitoresmi.
"Mudah-mudahan dugaanku keliru. Dan memang orang lain yang melakukannya...,"
gumam Ayu Laksmi lalu berkata.
"Sitoresmi. Kuharap kau melupakan apa yang baru saja terjadi...."
Sitoresmi tak menyahut. Mulutnya terkancing rapat dengan pandangan mata jauh ke
depan. Dan ketika dia menunggu agak lama tak ada suara lagi yang terdengar,
gadis berjubah merah ini berpaling. Ternyata Ayu Laksmi sudah tidak ada di
tempat itu. Sitoresmi menarlk napas
dalam-dalam. Setelah berpikir sejenak akhirnya dia berkelebat ke arah timur.
*** 7 MURID Pendeta Sinting kerahkan sisa tenaga untuk dapat berlari sekencang yang
bisa diperbuatnya. Nyeri pada dada dan sekujur tubuh ngilu tak
dipedulikannya. Dia bukan saja merasa jika dikejar oleh orang, lebih dari itu,
dia khawatir jika penggalan kulit yang kini di tangannya sampai jatuh pada orang
lain. Karena dia sadar, dia kini terluka
dalam. Dan yakin bahwa para gadis yang baru saja bentrok dengannya menginginkan
sekaligus mencari penggalan kulit di tangannya.
Namun karena lukanya cukup parah, tak lama kemudian dia merasakan dadanya sesak
dan sepasang kakinya terasa panas laksana dipanggang bara. Kejap kemudian
sepasang matanya berkunang-kunang.
Hingga meski dengan perasaan cemas akhirnya Joko hentikan larinya.
"Celaka! Kalau sampai gadis tadi benar-benar mengejarku maka bukan saja jiwaku
terancam tapi kulit ini bisa jatuh ke tangannya!" gumam Joko lalu memandang
berkeliling seraya pelototkan sepasang matanya.
Ternyata dia berada pada satu tempat terbuka yang jarang ditumbuhi pohon dan
semak belukar. Sedangkan gugusan bukit tampak masih jauh dari tempatnya berada.
Tapi karena gugusan bukit itu
satu-satunya tempat yang diyakini bisa untuk sembunyi selamatkan diri dari
kejaran orang, maka meski dadanya masih sulit untuk dibuat bernapas dan sepasang
kakinya semakin terasa panas dia kuatkan hati untuk melangkah ke arah gugusan
bukit. Begitu kakinya menapak gugusan
bukit, sepasang kakinya goyah, tak berselang iama tubuhnya limbung dan roboh di
kerapatan semak gugusan bukit.
Murid Pendeta Sinting ini pejamkan
sepasang matanya dan kerahkan hawa murni untuk mengatasi hawa panas yang kini
mulai menjalar ke segenap tubuhnya.
Namun Joko jadi tercekat sendiri tatkala hawa murni yang dikerahkan seakan
tertahan oieh sebuah kekuatan hingga mental, dan ini berakibat fatal bagi
dirinya karena darah lebih banyak keluar dari mulutnya.
"Edan! Mengapa bisa begini?" tanya Joko seraya melirik pada bagian kakinya yang
terasa makin panas. Tiba-tiba dia berseru tertahan. Ternyata kakinya berubah
warna agak kehitaman! Dan di sana-sini terlihat menggembung!
Sebenarnya waktu terjadi bentrok antara Joko dengan Ayu Laksmi, tanpa disadari
oleh Joko, saat Ayu Laksmi lancarkan pukulan sakti 'Sinar Setan'
meski Joko sempat gulingkan tubuh selamatkan diri, namun tak urung sepasang
kakinya tersambar pukulan si gadis. Joko memang tidak pedulikan, karena saat itu
dia tidak merasakan apa-apa. Inilah kehebatan pukulan 'Sinar Setan' yang
dilepaskan Ayu Laksmi.
Pukulan itu akan menghantam sasaran dengan tanpa mencederai dan lawan tidak akan
merasakan apa-apa. Namun dalam jarak beberapa saat kemudian, orang yang terkena
pukulan 'Sinar Setan' akan merasakan tubuhnya panas luar biasa.
Lalu tubuhnya akan menggembung laksana orang dipanggang dalam api. Kejap
kemudian, gelembung itu akan pecah berkeping-keping semburkan darah hitam!
"Celaka!" desis Pendekar 131 dengan perasaan khawatir. Dia tak berani Iagi
kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa panas di tubuhnya. Namun dia tak mau begitu
saja rasa sakit yang menjalari tubuhnya semakin menyiksa. Maka dia putar tubuh
membalik dengan sepasang mata ditebar ke seantero gugusan bukit.
Saat itulah telinganya mendengar gemeretak ranting diinjak orang.
Serta-merta murid Pendeta Sinting beringsut dengan sejajarkan tubuh ke tanah.
Sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar memandang tak berkedip ke arah
datangnya suara ranting. Namun dia melengak karena dia tak menangkap adanya
orang! Menangkap adanya bahaya, lupa akan keadaan dirinya yang terluka dalam, murid
Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam. Serta-merta dia merasakan tubuhnya
laksana disengat, meski dia takupkan telapak tangannya, suara erangannya masih
terdengar. Tubuhnya bergetar hebat. Dan tak lama kemudian kepalanya jatuh
lunglai di atas tanah.
Lalu segalanya menjadi gelap!
Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di samping
murid Pendeta Sinting dengan sepasang mata memandang tajam perhatikan
sekujur tubuhnya yang mulai kehitaman dan menggembung.
"Astaga! Terlambat sedikit nyawanya tidak akan tertolong...," gumam orang yang
baru datang. Ternyata dia adalah seorang perempuan. Wajahnya tidak bisa dikenali
karena ditutup dengan cadar berlobang kecil-kecil berwarna biru.
Pada punggung orang ini terlihat punuk besar. Pada bagian tubuhnya yang terlihat
tampak diberi pewarna hitam.
Perempuan berpunuk besar jongkok di samping tubuh Joko. "Untung tubuhnya tahan.
Tapi jika dibiarkan saja paling bisa bertahan sampai matahari terbenam."
Si perempuan berpunuk mengeluarkan kantong dari balik pakaiannya. Dari dalam
kantong dia keluarkan butiran kecil berwarna hitam. Kepala Joko yang lunglai di
atas tanah diangkat dan dibalikkan. Dengan sedikit menekan kedua pipinya, mulut
Joko terbuka. Butiran hitam segera dimasukkan. Tak selang lama, si perempuan
berpunuk keluarkan bungkusan dari dalam kantong.
Bungkusan segera dibuka. Ternyata berisi serbuk berwarna putih. Serbuk putih
segera ditebar ke seluruh tubuh Joko dengan tangan satunya membuka sebagian
pakaiannya. Perubahan segera terlihat. Gelembung-gelembung pada tubuh Joko
perlahan-lahan mengempis. Dan perlahan-lahan pula warna kulitnya yang
agak kehitaman berubah kemerahan kembali.
Si perempuan berpunuk menarik napas lega.
Dia lalu pejamkan sepasang
matanya. Telapak tangannya segera ditempelkan ke punggung Joko salurkan hawa
murni. Beberapa saat berlalu. Si perempuan berpunuk tarik kedua tangannya dari punggung
Joko. Seraya menghela napas, dia usap keringat yang membasahi lehernya. Sepasang
mata dari balik cadar menatap memperhatikan sekujur tubuh di depannya dengan
perdengarkan gumaman tak jelas.
Mendadak tangan kanan si perempuan berpunuk bergerak ke arah punggung Joko.
Dari punggung di mana tersimpan Pedang Tumpul 131, si perempuan keluarkan
senjata mustika itu.
Untuk sesaat sepasang mata di balik cadar si perempuan menatap tak berkedip pada
pedang yang kini telah dikeluarkan dari sarungnya. Saat terlihat guratan angka
131 dan bersitan kuning mencorong, si perempuan tersentak kaget.
"Astaga! Aku memang belum pernah melihat senjata ini. Tapi aku yakin, ini adalah
pedang yang beberapa tahun silam sempat membuat rimba persilatan geger.
Pedang Tumpul 131. Hem.... Jadi pemuda ini adalah manusia yang bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131...."
Setelah memasukkan pedang kembali pada balik pakaian Joko, si perempuan berpunuk
bergerak bangkit, kepalanya berputar sejenak perhatikan keadaan sekeliling.
"Hem.... Tempat ini kurasa masih aman dari jangkauan tangan orang.... Dan aku
harus segera meninggalkan tempat ini...."
Si perempuan berpunuk bangkit
berdiri. Kepalanya dipaiingkan dan menatap sekali lagi pada tubuh serta muka
Pendekar 131. Lagi-iagi terdengar gumaman dari mulutnya sambil kepalanya
bergerak menggeleng perlahan. Sesaat kemudian perempuan ini balikkan tubuh dan
melangkah pergi.
"Tunggu!"
Mendadak satu suara menahan dari arah belakang, membuat perempuan berpunuk putar
diri. Di depan sana dilihatnya tubuh Joko bergerak-gerak hendak bangkit,
sementara kepala dan sepasang matanya menghadap ke arah si perempuan dengan
mulut membuka hendak ucapkan kata-kata lagi.
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap jangan bergerak dulu...,"
ujar si perempuan dengan masih tegak di tempatnya.
"Terima kasih.... Kau telah menolongku. Boleh aku tahu, siapa kau?"
Si perempuan berpunuk tertawa
perlahan seraya gelengkan kepaia.
"Siapa aku tak begitu penting bagimu. Aku merasa lega jika kau telah baik
kembali. Aku masih punya urusan.
Kelak semoga kita bisa bertemu lagi...."
"Ah. Aku merasa kecewa. Selain tak dapat mengetahui siapa namamu, aku juga tak
bisa mengenali wajahmu. Hem....
Kalau kau keberatan sebutkan nama, bagaimana kalau kuminta kau singkapkan barang
sejenak cadar penutup wajahmu agar aku dapat mengenal meski tak tahu namamu?"
Seraya berkata, perlahan-lahan Joko bergerak duduk. Dia masih merasakan sedikit
nyeri pada dadanya, tapi sudah jauh berkurang dari sebelumnya.
Di seberang, mendengar ucapan Joko, si perempuan berpunuk kembali gelengkan
kepala. "Untuk sementara ini, biarlah kau mengenal dan mengetahui diriku
sebagaimana adanya yang kau lihat saat ini. Hanya kupesan. Kau harus lebih
berhati-hati. Beberapa orang kini sedang mengejarmu. Dan kusarankan jika
lanjutkan perjalanan, hindari arah utara dan barat. Nah, Pendekar Pedang Tumpul
131, selamat tinggal...."
Joko Sableng terkesiap melihat
orang tahu siapa dirinya. Dia coba mengenali siapa adanya si perempuan dengan
memandang dari atas sampai bawah.
Tapi untuk beberapa saat dia tak dapat menemukan jawaban. Sementara perempuan
berpunuk telah putar diri dan kembali hendak melangkah tinggalkan tempat itu.
Namun lagi-lagi langkah si perempuan tertahan tatkala dia dengar sebuah seruan
dari belakangnya.
"Perempuan bercadar! Kau seolah tahu apa yang kualami. Apakah kau masih ada
hubungannya dengan nenek berjubah merah yang tadi juga sempat menolongku?"
Tanpa berpaling Iagi, perempuan
berpunuk gelengkan kepala. Lalu berujar pelan. "Aku tak tahu dan tak mengenal
orang yang kau sebut...."
"Aneh. Dua kali aku bertemu orang yang menolong tapi gagal kuketahui
namanya...," gumam Joko seraya geleng-geleng kepala. Dia hendak buka mulut untuk
berucap lagi. Namun suaranya terputus tatkala di depan sana si perempuan
berpunuk ternyata telah tidak ada lagi!
Hanya sesaat setelah perempuan
berpunuk berlalu, mendadak semak belukar tujuh langkah di samping Joko bergerak
menguak. Satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Pendekar 131 tegak
sesosok tubuh! * * * 8 SOSOK ini adalah seorang perempuan.
Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat yang bagian dadanya dibuat sangat
rendah hingga sebagian kulit payudaranya yang kencang putih terlihat dengan
jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan sepasang mata
bulat tajam. Bibirnya merah ditingkah dengan hidung sedikit mancung. Walau
perempuan ini tidak muda Iagi, namun paras wajahnya sangat cantik, bahkan
kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.
"Ratu Pemikat...!" seru Pendekar 131 dalam hati dengan tengkuk merinding.
Sepasang matanya perhatikan perempuan berparas cantik di hadapannya dengan tak
berkesiap. "Tenagaku belum pulih betul. Dan perempuan ini pasti ingin meneruskan urusan
lama...." Perempuan berpakaian biru tipis dan memang Ratu Pemikat adanya perdengarkan tawa
panjang. Tiba-tiba suara tawanya diputus. Kepalanya disentakkan
berpaling ke arah jurusan lain.
"Pendekar 131! Bentangan dunia terlalu sempit untuk tempatmu
berlindung. Kematian tak akan berada jauh dari sepasang kakimu! Tapi, kematian
itu akan menjauh malah kau bisa merasakan kenikmatan yang kau inginkan jika kau
serahkan Pedang Tumpul 131
padaku! Kau mendengar ucapanku, kau tidak tuli! Apa jawabmu"!"
Ucapan Ratu Pemikat alias Dewi
Asmara untuk beberapa saat membuat murid Pendeta Sinting menjadi tegang. Dia
menyadari bahwa dirinya masih terluka dalam meski sudah berkurang rasa sakitnya.
Namun karena telah mengetahui siapa adanya perempuan di hadapannya, mau tak mau
Pendekar 131 harus berpikir dua kali untuk terlibat bentrok dengan si perempuan.
Karena yang ditanya tidak memberi jawaban, Ratu Pemikat berpaling. Dari
hidungnya keluar suara dengusan keras.
Lalu dia membentak.
"Pendekar 131! Aku telah buang waktu banyak. Aku tak mau perjalanan ini sia-sia.
Kalau kau tak suka buka mulut, lekas serahkan apa yang kuminta! Dan kau bisa
tinggalkan tempat ini!"
Seraya berkata, Ratu Pemikat
ulurkan tangan kanannya membuat gerakan seperti orang meminta.
Setelah dapat menguasai diri, Joko sunggingkan senyum di mulut. Setelah meraba
pada pinggang di mana tersimpan pedangnya, murid Pendeta Sinting ini berujar.
"Aku heran. Jauh-jauh kau melakukan perjalanan hanya untuk meminta barang yang
bukan milikmu. Apakah tidak ada barang lain yang menarik hatimu selain benda
yang kau minta itu"!"
"Sekarang bukan saatnya untuk tawar-menawar. Serahkan saja apa yang kuminta
dengan baik-baik. Aku tahu kau dalam keadaan terluka!"
Terkesiap juga Joko mengetahui Ratu Pemikat tahu keadaan dirinya. Namun Joko tak
hendak unjukkan perubahan wajah.
Bahkan dia kembali tersenyum sambll usap-usap dadanya. Lalu tangannya bergerak
ke arah pinggang dan membuat gerakan seolah hendak keluarkan pedang dari balik
pakaiannya. Melihat hal ini, Ratu Pemikat
sunggingkan senyum seraya
goyang-goyangkan pinggul. Dadanya dibusungkan dengan mulut sedikit dibuka dan
perdengarkan desahan. Kejap kemudian perempuan ini berucap.
"Bagus! Begitu pedang itu kau serahkan, kuanggap habis urusan di antara kita!
Dan kau kuberi kesempatan luas untuk bersenang-senang denganku!"
"Hem.... Ternyata kau selalu salah duga! Dengar. Pedang ini keluar bukan untuk
kau miliki, tapi akan mengantarmu ke bawah tanah!"
Ratu Pemikat bukannya terkejut
mendengar kata-kata Joko. Sebaliknya ia tertawa panjang. "Ternyata kau benar-
benar manusia yang tak mau diuntung. Kau tak mau lihat tingginya langit. Buta
akan dalamnya laut! Itu kesalahan besar bagimu!" Sesaat Ratu Pemikat hentikan
ucapannya, lalu
meneruskan. "Kau masih punya waktu untuk berdamai...."
Joko Sableng dongakkan kepala.
Mengingat siapa adanya perempuan di hadapannya yang dulu pernah membuatnya
celaka, sebenarnya murid Pendeta Sinting ini sedari tadi sudah coba menahan hawa
amarahnya dan menindih keinginannya untuk membuat perhitungan atas tindakan si
perempuan pada beberapa tahun silam.
Namun ucapan Ratu Pemikat mau tak mau membangkitkan kembali hawa amarah Joko.
Hlngga dengan suara keras dia membentak.
"Ratu Pemikat! Kesalahanmu sudah menjulang. Kuperingatkan sekali ini!
Tinggalkan tempat ini atau...."
"Kali ini aku tak akan berhampa tangan jika tinggalkan tempat ini!"
potong Ratu Pemikat. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan! Nyawa pemuda itu milikku.
Tak seorang pun boleh menyentuhnya meski setan akhirat!"
Belum habis suara teguran, satu
bayangan muncul dari rimbun semak belukar. Melangkah perlahan ke arah Pendekar
131. Ada keanehan dengan sosok yang baru muncul ini. Meski dia tampak melangkah
pelan, namun dalam sekejap mata sudah tegak di hadapan Joko sejarak tiga
langkah. Dan dia melangkah dengan mundur membelakangi!
Ratu Pemikat terlihat
tegang sesaat. Tapi sesaat kemudian dia dapat
kuasai diri dan perlihatkan senyum seringai. Meski demikian perempuan cantik ini
tak dapat sembunyikan perubahan raut wajahnya.
"Iblis Ompong... Jahanam sialan!
Urusan ini rupanya akan jadi panjang! Apa dia juga punya urusan sama denganku"
Kudengar manusia aneh satu ini telah undur diri dari rimba persilatan. Adalah
aneh jika tahu-tahu muncul dan inginkan nyawa Pendekar 131! Hem.,.."
"Iblis Ompong!" seru Ratu Pemikat setelah terdiam beberapa saat. "Kalau kau
punya urusan dengan pemuda itu, harap kau suka menunggu setelah urusanku
dengannya selesai!"
Orang yang baru muncul dan dipanggil dengan Iblis Ompong balikkan tubuh.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia kira-kira tujuh puluh tahunan.
Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya tirus memanjang dengan dilapis kulit amat
tipis. Sepasang matanya besar melotot. Ketika kepalanya bergerak, kedua bahunya
terlihat ikut bergerak ke mana kepala mengarah, karena ternyata kakek ini tak
mempunyai leher! Hingga kepala itu seperti nongol di antara pundaknya. Dan kakek
Ini terus-terusan buka mulut perlihatkan giginya yang ompong!
Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh rimba persilatan yang digelari orang
dengan Iblis Ompong. Seorang tokoh
aneh yang sulit ditebak tindak-
tanduknya. Meski demikian banyak kalangan rimba persilatan yang enggan membuat
urusan dengannya, karena selain memiliki ilmu tinggi, dia juga dikenal sebagai
tokoh yang tak pandang bulu jika apa yang dilakukannya diyakini benar.
Pada beberapa tahun belakangan, tokoh ini dikabarkan mengundurkan diri tak mau
turut campur dalam urusan dunia
persilatan. Hal ini terbukti dengan ketidak munculannya untuk jangka waktu yang
panjang, meski rimba persilatan mengalami beberapa kemelut dan kegegeran yang
mengundang muncuinya tokoh-tokoh tua. Bahkan tatkala dunia persilatan disentak
dengan riuhnya perebutan Pedang Tumpul 131, Iblis Ompong juga tak tampak batang
hidungnya. Hal ini menguatkan dugaan orang jika orang tua itu memang telah
benar-benar undur diri. Hal ini pulalah yang mengherankan Ratu Pemikat jika
tiba-tiba dia muncul, lebih-lebih mengatakan punya urusan nyawa dengan Pendekar
131. Iblis Ompong dongakkan kepala.
Karena dia tak punya leher, saat mendongak tampak tubuhnya sedikit melengkung ke
depan. Kejap kemudian dia perdengarkan tawa mengekeh panjang.
Kisah Dua Naga Di Pasundan 3 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Pedang Kunang Kunang 7
memberi keterangan yang kau butuhkan...."
"Bagus! Aku ingin tahu, apakah tempat ini dihuni seseorang"!"
"Hem.... Karena aku kebetulan lewat tempat ini, maka aku tak bisa memastikan
apakah tempat ini berpenghuni atau tidak!"
Paras muka Wulandari sedikit
berubah. Namun dia masih coba menahan hawa amarah yang mulai menyeiimuti
dadanya. "Kuingatkan! Kesabaran kami ada batasnya, waktu kami juga tidak banyak.
Jawab dengan jujur atau kutanggalkan kepalamu!"
"Aku telah menjawab apa yang kuketahui. Jika kau ingin jawaban pasti, kenapa
tidak buktikan sendiri dengan menyelidik?"
Wulandari katupkan rahangnya
rapat-rapat. "Jauh-Jauh datang kemari percuma kalau tidak ada manusia yang bisa
memberi keterangan" Wulandari maju satu tindak. "Kau telah berada di tempat ini
waktu kami tiba, pasti kau tahu banyak tentang tempat ini!"
"Hem.... Kalau boleh tahu, apa sebenarnya yang kalian cari di tempat ini" Adakah
kalian mencari seseorang"
Atau...." "Tepat!" potong Wulandari. "Kami memang mencari seseorang!"
"Bisa katakan, siapa yang kalian cari?"
Sejenak Wulandari tampak kebi-
ngungan karena dia sendiri tak tahu siapa yang dicari. Yang mereka ketahui
adalah peta itu berakhir di tempat mana kini mereka berada. Dan mereka
berpikiran, di tempat itu pasti akan menemukan
seseorang yang diduga menyimpan
penggalan peta. Mereka tidak tahu siapa nama orang itu.
Mungkin karena tak bisa katakan
siapa orang yang dicari, akhirnya
Wulandari berujar dengan suara agak keras.
"Siapa adanya orang yang kami cari bukan urusanmu! Yang penting tunjukkan di
mana tempat sembunyinya!"
"Hem.... Kalau pesan itu memang dari nenek galak itu, aku bisa pastikan jika
gadis-gadis cantik ini mencari si nenek!
Melihat gelagat, di antara mereka dan si nenek ada urusan...," Joko membatin.
Lalu berujar. "Jika aku menjawab, kau pasti akan menuduhku berkata dusta. Jika kalian mencari
seseorang, kusarankan kau menyelidik saja! Jawaban itu pasti akan kau temukan!"
"Keparat! Rupanya kau sengaja sembunyikan sesuatu pada kami!"
"Apa kubilang. Belum apa-apa kau telah lemparkan tuduhan lagi padaku.
Sialnya diriku ini. Tak tahu apa-apa namun kena getah melulu"
"Banyak mulut" teriak Wulandari.
Gadis Ini angkat kedua tangannya sejajar dada. Siap lepaskan satu pukulan. Namun
baru saja tangannya hendak bergerak kirimkan pukulan, sebuah tangan menarik dari
beiakang, membuat Wulandari tertahan gerakannya.
"Apa yang dikatakannya benar.
Sebaiknya kita menyelidik tempat ini!
Kita belum tahu siapa adanya orang yang kita cari. Jangan sampai kita salah
turunkan tangan!"
Dengan mendengus keras, Wulandari palingkan kepala ke belakang. Sepasang matanya
melotot angker.
"Sitoresmi! Sejak kapan kau berubah jadi manusia tahu peradatan dengan kata-kata
lembut begitu rupa" Aneh di telingaku jika mendadak saja kau kini berpikir hanya
untuk selembar nyawa seseorang!"
Meski sedikit geram, namun
Sitoresmi yang menahan gerakan tangan Wulandari sunggingkan senyum. "Urusan kita
sekarang adalah urusan pelik.
Dibutuhkan pikiran panjang meski harus dibarengi dengan kekuatan!"
Wulandari tertawa pendek.
"Jangan-jangan ucapanmu hanya topeng saja. Sedang sebenarnya kau tertarik pada
manusia itu! Betul"!"
Wajah Sitoresmi berubah merah
padam. "Kau tak layak ucapkan kata-kata itu, Wulandari! Aku tak peduli siapa dia
adanya, tapi kalau ucapannya benar, apa salahnya kita turuti"! Lebih baik kita
segera menyelidik daripada bertele-tele tanpa guna!"
"Rupanya kau sudah pandai pula menggurui. Tapi akan kubuktikan dahulu bahwa
dugaanku tidak keliru. Manusia itu menyembunyikan sesuatu pada kita!" Habis
berkata begitu, si jubah kuning Wulandari sentakkan tangan Sitoresmi yang masih
memegang tangannya. Kejap kemudian
kedua tangannya kirimkan satu pukulan ke arah Joko!
* * * 4 TERDENGAR deruan luar biasa keras.
Kejap itu juga melesat segelombang angin laksana deburan ombak. Karena telah
menduga jika lawan yang dihadapi punya simpanan ilmu, kali ini Wulandari sengaja
langsung kirimkan pukulan dengan tenaga dalam tinggi.
Di sebelah depan, melihat ganasnya serangan, murid Pendeta Sinting segera angkat
kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin berkelebat angker keluarkan suara menderu keras.
Baik Sitoresmi maupun Ayu Laksmi yang melihat dahsyatnya pukulan segera
berkelebat ke depan. Meski mereka berdua tak sependapat dengan tindakan
Wulandari, namun tampaknya mereka berdua tak ingin saudara seperguruannya itu
mendapat celaka.
Blaammm! Terdengar ledakan hebat saat dua serangan itu bentrok di udara. Wulandari
terlihat tersurut dua langkah dengan wajah berubah pucat pasi dan dada bergetar.
Di depan sana, Joko Sableng
tersandar pada batang pohon dengan keadaan tetap berdiri tegak.
Wulandari kertakkan rahang. Dari mulutnya terdengar seruan keras. Tanpa
pedulikan pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berteriak menahan, gadis berjubah
kuning ini lipat gandakan tenaga dalam.
Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke depan.
Suasana tiba-tiba berubah jadi
terang. Pada saat yang sama, sebongkah kabut putih melesat dengan keluarkan hawa
panas luar biasa.
"Glia! Mengapa Wulandari begitu bernafsu menghabisi pemuda itu" Mampukah pemuda
itu menahan pukulan 'Kabut Neraka'?" diam-diam Sitoresmi dilanda kecemasan. Dan
tanpa diketahui oleh Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berjubah merah ini kerahkan
tenaga dalam. "Aku harus selamatkan jiwanya. Apa pun kata mereka, aku tak peduli!" ujar
Sitoresmi sambil angkat kedua tangannya hendak menghantam. Tapi gerakan tangan
gadis ini tertahan ketika dari arah depan sana melesat sinar mencorong berwarna
kekuningan yang juga membawa hawa panas.
Blaarrr! Untuk kedua kalinya tempat itu
dibuncah ledakan dahsyat.
Tanahnya bergetar keras laksana diguncang gempa.
Kejap kemudian tampak muncratan tanah menghaiangi pemandangan.
Sosok Wulandari tampak mencelat
sampai dua tombak ke belakang. Kalau saja Ayu Laksmi tidak segera berkelebat dan
menahan tubuhnya, niscaya sosok
Wulandari akan jatuh terbanting di atas tanah.
"Tak kusangka jika manusia jahanam itu mampu menahan pukulan Kabut Neraka!
Aku makin curiga padanya!" gumam Wulandari kerahkan tenaga untuk
mengatasi rasa sakit pada dadanya.
Tiba-tiba gadis ini memekik tertahan.
Ayu Laksmi cepat berpaling. Gadis berjubah biru ini pun jadi tercekat.
"Wulandari! Kau terluka dalam.
Bibirmu keluarkan darah...."
"Hem.... Kita harus segera
selesaikan manusia satu itu.
Keberadaannya di tempat ini jelas bukan satu kebetulan! Jika tidak, bukan saja
dia akan merusak urusan kita, tapi Juga membahayakan jiwa kita!"
Sitoresmi sejenak tidak percaya
dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi diam-diam dia merasa lega, karena di
depan sana Joko terlihat tetap tegak meski sosoknya tersurut ke belakang satu
langkah dan tersenyum-senyum seraya usap-usap dadanya.
"Siapkan pukulan gabungan 'Kabut Neraka'!" Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar teriakan, membuat Sitoresmi cepat berpaling.
"Edan! Untuk apa hal itu harus dllakukan" Apa maksud sebenarnya Wulandari"!
Apakah dia menduga pemuda itu yang memegang penggalan peta itu?"
gumamnya seraya berkelebat ke arah Wulandari.
"Sitoresmi! Aku tahu kau tak ingin manusia itu mampus!" Wulandari telah
mendahului bicara sebelum Sitoresmi buka mulut. "Tapi tugas adalah di atas
segalanya!"
"Wulandari! Kau jangan salah sangka. Aku tak ada sangkut paut apa-apa dengan
pemuda Itu. Hanya sangat
disayangkan jika harus mencabut nyawa orang tanpa hasil yang didapat!"
Wulandari melotot sambil mendengus.
"Perasaan kadangkala membawa perhitungan semula jadi kacau. Perasaan seringkali
menghanyutkan keyakinan menjadi
keraguan. Sebelum semuanya
membutakan mata dan hatimu, buka matamu lebar-lebar! Ingat siapa dirimu. Ingat
akan ikrar yang kita ucapkan di hadapan Guru!"
Ucapan Wulandari membuat Sitoresmi jadi serba salah. Di satu pihak dia tak
menginginkan si pemuda mengalami nasib buruk, karena dia yakin, meski ia tahu si
pemuda dapat menahan pukulan 'Kabut Neraka' Wulandari namun dia belum pasti bisa
menahan gabungan 'Kabut Neraka'.
Sementara di pihak lain, dia harus singkirkan siapa saja yang coba
menghalangi demi untuk laksanakan tugas yang dlembankan oieh sang guru.
"Wulandari...," kata Sitoresmi pada akhirnya. "Apakah kau menduga jika pemuda
itu pemegang penggalan peta yang kita buru itu"!"
"Melihat usia dan keterangan Guru, aku memang tidak yakin benar, namun
keberadaannya di tempat ini pasti ada hubungannya dengan peta itu! Hem....
Kita singkirkan dahulu dia, baru kita menyelidik seantero tempat ini! Siapkan
gabungan 'Kabut Neraka'!"
Habis berkata, Wulandari kerahkan tenaga dalam. Di sampingnya Ayu Laksmi segera
pula berbuat sama. Meski agak enggan, akhirnya Sitoresmi kerahkan pula tenaga
dalamnya. "Tahan!" di depan sana murid Pendeta Sinting berteriak. "Aku sungguh tidak
mengerti dengan maksud kalian. Di antara kita tak ada silang urusan. Adalah aneh
jika kalian benar-benar inginkan
nyawaku. Apakah begitu berharga selembar nyawaku buat kalian"!"
"Kau tak layak mengerti!" hardik Wulandari.
"Katakan saja, apakah kau tahu seluk-beluk sebuah penggalan peta!" kata
Sitoresmi terus terang.
Joko pandangi ketiga gadis di
hadapannya silih berganti.
"Penggalan peta" Peta apa"!"
"Jahanam! Jangan berlagak pilon!
Kami jauh-jauh datang kemari perlu mengambil penggalan peta itu! Lekas serahkan
pada kami, dan kau boleh angkat kaki dengan nyawa utuh!" akhirnya si jubah
kuning Wulandari buka maksud sebenarnya.
"Ah. Aku makin tak mengerti dengan ucapan kalian. Mula-mula kalian bilang
mencari seseorang. Lalu kini bicara soal penggalan peta. Sekarang aku bukan saja
tak mengerti tapi jadi bingung...,"
ucapan Joko Sesaat membuat Sitoresmi dan Ayu Laksmi jadi bimbang. Namun
Wulandari segera menghardlk.
"Jangan jadi ragu karena ucapan orang! Mana mungkin orang berterus terang,
apalagi dalam urusan besar begini! Habisi dia!"
Wulandari cepat hantamkan kedua
tangannya ke depan lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Di sampingnya, Ayu Laksmi meski masih tampak ragu-ragu namun
segera pula kirimkan pukulan.
Mungkin tak mau menyakiti hati kedua saudara seperguruannya, akhirnya Sitoresmi
ikut pula lepaskan pukulan
'Kabut Neraka' meski dengan tenaga tidak sampai setengahnya.
Begitu masing-masing gadis telah lepaskan pukulan, terdengar suara deru keras
luar biasa. Enam kabut putih tampak melesat lalu menyatu di udara. Suasana
berubah terang panas menyengat! Di lain
kejap, kabut putih itu menggebrak ganas ke arah Pendekar Pedang Tumpul 131!
Melihat ganasnya pukulan, mau tak mau murid Pendeta Sinting ini terbelalak
besar. Darahnya laksana strap. Namun ingat akan keselamatan dirinya Joko cepat
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'.
Didahului teriakan keras, murid Pendeta Sinting melesat dua tombak ke udara. Dan
seraya melayang di atas udara, dia dorongkan kedua tangannya ke arah depan.
Sinar kuning mencorong dengan
keluarkan suara dahsyat dan hawa panas menderu menyapu ke arah kabut putih.
Sesaat kemudian terdengar dentuman keras menggelegar di tempat itu.
Sosok Joko terlempar sampai satu tombak ke belakang. Lalu terduduk di atas tanah
dengan sekujur tubuh tertutup oleh hamburan tanah yang membumbung ke angkasa
waktu terjadi bentrok pukulan.
Wajah murid Pendeta Sinting ini pucat laksana kehabisan darah. Beberapa saat
lamanya tubuhnya bergetar hebat. Napas dan peredaran darahnya seolah tersumbat
hingga untuk sesaat dia megap-megap.
Darah berwarna kehitaman pun terlihat mengalir keluar dari sela mulutnya
pertanda dia telah terluka dalam.
Di seberang, Wulandari, Sitoresmi, dan Ayu Laksmi terlihat terhuyung-huyung.
Raut wajah ketiganya tampak pias. Jubah yang mereka kenakan
berkibar-kibar. Sitoresmi dan Ayu Laksmi
segera dapat menguasai diri meski mereka berdua merasakan dadanya nyeri. Kedua
tangannya laksana hilang kekuatannya.
Ketika mereka berdua meneliti, kedua gadis ini jadi melengak kaget. Sepasang
tangan mereka tampak berubah agak merah kehitaman.
Kalau kedua gadis itu masih bisa bertahan, tidak demikian halnya dengan
Wulandari. Sosok gadis ini langsung terbanting begitu terjadi bentrok pukulan.
Hal ini terjadi karena
sebelumnya dia telah terluka dalam.
Hingga waktu terjadi bentrok kedua kali, dia tak dapat iagi menguasai tubuh.
Darah hitam mengucur kembali dari mulutnya pertanda lukanya makin parah.
Melihat keadaan saudara
seperguruannya, Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang semula enggan dengan tindakan
Wulandari menjadi berubah.
"Keparat! Kau harus bayar mahal semua Ini!" teriak si jubah biru Ayu Laksmi
seraya bantingkan sepasang kakinya. Matanya bernyala-nyala laksana dikobari api.
Di sebelahnya, meski Sitoresmi tak rela melihat keadaan Wulandari yang terluka
dalam, tapi dia masih coba menahan hawa amarahnya. Dia hanya keluarkan gumaman
tak jelas dan arahkan pandangannya pada jurusan lain.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Ayu Laksmi keluarkan teriakan keras.
Tubuhnya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak menghantam ke arah Joko yang
mulai bergerak bangkit.
Murid Pendeta Sinting melengak
dengan mata melotot tatkala dari arah depan menggebrak kabut putih ke arahnya.
Begitu cepatnya lesatan kabut putih pukulan 'Kabut Neraka' itu, hingga tak ada
kesempatan lag! bagi Joko untuk selamatkan diri, apalagi kini dia terluka
membuat gerakannya sedikit lamban.
"Busyet!" keluh Joko dengan mata meredup. Dia kerahkan tenaga dalam, laillu
geser tubuhnya seraya angkat kedua tangannya untuk menahan pukulan.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar satu suara tawa mengekeh panjang. Di lain saat
terdengar deruan pelan. Namun bersamaan dengan itu pukulan 'Kabut Neraka' yang
mengarah mengancam pada Pendekar 131 tertahan di udara. Bukan itu saja, kabut
putih itu serta-merta laksana dihantam kekuatan dari atas hingga kabut itu
menukik deras ke bawah.
Bummm! Tanah muncrat berhambur ke udara menutupi tempat itu. Saat tanah sirap Ayu
Laksmi dan Sitoresmi sama pelototkan mata masing-masing. Ternyata Joko telah
lenyap dari tempat itu! Dan di hadapan mereka terlihat lobang menganga akibat
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukulan 'Kabut Neraka' yang menghantam tanah.
"Ada seseorang yang menolongnya!
Pasti dia orang yang kita cari!" seru Ayu Laksmi. "Cepat keJar!"
Tanpa menunggu sahutan, si jubah biru Ayu Laksmi segera berkelebat ke jurusan
barat, sementara si jubah merah Sitoresmi melesat ke arah timur.
Wulandari sebenarnya ingin pula
berkelebat, namun karena sekujur tubuhnya masih terasa sakit, akhirnya dia
memutuskan untuk menunggu di tempat itu.
* * * 5 ADALAH suatu hal yang luar biasa jika murid Pendeta Sinting tak dapat gerakkan
tubuh padahal dia merasa tak satu pun bagian tubuhnya ditotok orang.
Tapi meski dia sudah coba dengan kerahkan tenaga dalam, tetap saja sia-sia,
hingga pada akhirnya dia hanya diam seraya memperhatikan pada punggung orang
yang kini memanggul tubuhnya seraya melangkah perlahan. Anehnya, walau terlihat
melangkah pelan, Joko dapat merasakan siuran angin keras, pertanda orang yang
memanggulnya berkelebat kencang!
Mungkin karena penasaran ingin
tahu, Joko perhatikan sekali lagi lebih seksama. Mula-mula dia melihat jubah
besar berwarna merah menyala di
bawahnya. Ketika dia melirik ke atas, tampak oleh matanya bahwa orang yang
sedang membawa dirinya sudah berambut putih dan hanya sebatas tengkuk.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba-
tiba dia terperangah. "Busyet Bukankah orang ini si nenek itu?"
Yakin akan adanya siapa orang yang kini melarikannya, Joko segera berkata.
"Nek. Ke mana aku hendak kau bawa pergi?"
Orang yang ditanya tidak menjawab.
Bahkan berhenti pun tidak. Pendekar Pedang Tumpul 131 ulangi lagi ucapannya
dengan suara agak dikeraskan.
"Nek. Harap jawab kata-kataku...."
Orang yang membawa lari Joko hentikan langkah. Kepalanya didongakkan.
Tiba-tiba terdengar suara kekehan tawanya. Namun tiba-tiba tawanya diputus. Dan
sekali gerak, Joko
merasakan tubuhnya melayang setinggi satu tombak ke atas. Joko coba gerakkan
tubuh untuk menahan tubuhnya yang kini menukik ke bawah. Tapi murid Pendeta
Sinting Ini terkejut. Tubuhnya masih belum bisa digerakkan, hingga tanpa ampun
lagi tubuhnya terjerembab di atas tanah.
"Astaga! Apa maksud sebenarnya orang tua ini?" kata Joko dalam hati seraya
bergerak hendak bangkit. Namun lagi-lagi dia tercekat. Tubuhnya kejang tak bisa
digerakkan. Mendadak di depannya, orang yang melarikannya yang ternyata seorang perempuan
tua berambut putih sebatas tengkuk mengenakan jubah merah menyala dengan mulut
memainkan gumpalan tembakau dan bukan lain adalah Ratu Malam gerakkan tangan
kanannya membuat gerakan seperti orang mengetuk. Anehnya, bersamaan dengan itu,
Joko dapat kembali gerakkan anggota tubuhnya.
"Luar biasa nenek ini...," gumam Joko seraya bangkit berdiri lalu menjura hormat
dan berkata. "Nek, terima kasih atas
pertolonganmu...."
"Setan jelek!
Siapa yang menolongmu" Hah..."!" Ratu Malam membentak galak, membuat Joko terkesiap kaget.
Hingga untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting ini diam. Namun ketika
dilihatnya si nenek hendak buka mulut kembali, Joko buru-buru berkata.
"Nek, bukankah kau yang menulis pesan itu"! Tapi kenapa yang kutemui adalah
gadis-gadis cantik"! Siapa mereka, Nek"! Anak-anakmu"! Wah....
Mereka cantik-cantik, tentu kau dulu cantik seperti mereka!''
Ratu Malam pentangkan sepasang
matanya. Gumpalan tembakau hitam di mulutnya terlihat keluar masuk.
"Setan ini sama sintingnya dengan gurunya.... Kalau diladeni ucapannya akan
terus ngelantur!" Mendadak Ratu
Malam katupkan rapat-rapat mulutnya.
Ketika mulut itu bergerak membuka terdengar bentakannya.
"Aku tanya padamu. Apa gurumu yang menyuruhmu hingga kau sampai di tempat tadi
bertemu denganku"!"
"Bagaimana ini" Apa harus kukatakan terus terang tentang tugas ini"!"
"Hai, Setan Jelek! Lekas jawab tanyaku!"
"Apa hendak dikata. Aku butuh orang tempat bertanya. Siapa tahu dia nanti bisa
memberi petunjuk...," pikir Joko dalam hati. Lalu berujar.
"Eyang Guru menugaskan aku untuk menyelidik ke Pulau Biru. Hanya sayang dia tak
mengatakan padaku di mana pulau itu berada. Kalau Nenek tahu, harap sudi
tunjukkan padaku ke mana aku harus menuju"
Mendadak Ratu Malam goyang-
goyangkan kepala. Lalu tertawa
bergelak-gelak. "Urusan gila itu nyatanya sudah diendus banyak orang.
Hem.... Setan jelek. Ternyata kau anak manusia yang beruntung!"
"Beruntung?" ulang Joko Sableng seraya gelengkan kepala. "Justru aku ketiban
sial. Menuruti pesan yang kau tinggalkan, yang kutemui ternyata tuduhan yang tak
kumengerti. Untung kau segera datang. Jika tidak, mungkin aku sudah berkalang
tanah. Apakah itu dikatakan beruntung"!"
"Sudah. Jangan banyak berkeluh.
Sekarang aku tanya padamu. Apakah kau masih hendak teruskan perjalanan ke Pulau
Biru?" "Karena itu tugas, lebih dari itu karena tugas ini demi untuk
menyelamatkan rimba persilatan, apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan
teruskan perjalanan!"
"Bagus! Semangatmu besar, nyalimu masih berkobar. Urusan Pulau Biru memang harus
segera dituntaskan. Kitab Serat Biru harus diselamatkan dari
tangan-tangan yang tak bertanggung jawab!" ujar Ratu Maiam. Perempuan tua
berjubah merah menyala ini selinapkan tangan ke balik jubahnya. Ketika tangannya
ditarik keluar iagi, tampaklah selembar kulit berwarna coklat lusuh.
"Setan Jelek. Dengar baik-baik!
Sampai hari ini belum ada manusia yang tahu di mana sebenarnya Pulau Biru itu
berada. Orang-orang rimba persilatan selama ini hanya dengar namanya namun tak
tahu di mana" Sejenak Ratu Malam hentikan ucapannya sebelum akhirnya
melanjutkan. "Kulit jelek ini dua puluh tahun tersimpan padaku. Dan kau adalah orang yang
kutunggu selama kurun masa itu untuk menerimanya!"
"Eh. Jadi kaulah orang yang dicari para gadis-gadis itu. Mereka sebut-sebut
penggalan peta. Apakah kulit itu memang penggalan peta"!"
"Tak salah. Ikuti apa yang tertera dalam peta ini. Dan ingat. Jaga kulit ini
sebagaimana kau jaga dirimu sendiri.
Karena sekali kulit ini jatuh ke tangan orang lain, berarti tugasmu lebih berat
Iagi!" "Nek. Kalau boleh tahu, apakah kulit Itu ada hubungannya dengan Kitab Serat
Biru?" "Aku tak bisa jawab dengan pasti.
Jika kau nanti telah mendapatkan penggalan peta ini dengan sempurna, di sanalah
jawaban itu akan kau peroleh!"
"Jadi...?"
"Seperti yang kau lihat. Kulit ini hanyalah penggalan. Kau dituntut untuk
mencari penggalannya!"
"Tapi Nek" Aku ditugaskan untuk menyelidik ke Pulau Biru. Bukan mencari
penggalan peta!"
Si nenek pelototkan sepasang
matanya yang sipit. "Sudah kukatakan.
Tak seorang pun sampai sekarang ini yang tahu di mana beradanya Pulau Biru. Dan
hanya dengan sempurnanya penggalan peta ini, kau baru dapat sampai ke Pulau
Biru. Tapi ingat. Aku tak bisa menjamin apakah Pulau Biru itu masih ada hubungannya
dengan Kitab Serat Biru atau tidak!"
Habis berkata begitu, Ratu Malam ulurkan kulit warna coklat pada Pendekar 131.
Joko segera menyambuti kulit itu.
Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting perhatikan apa yang tertera dalam kulit coklat di tangannya.
"Melihat bentuknya, sebelum kulit ini ada kulit lain yang telah dipenggal.
Kulit ini sudah penggalan. Bukan yang pertama...," kata Joko dalam hati lalu
katakan apa yang ada dalam benaknya pada si nenek.
"Dugaanmu benar. Sebelum kulit ini ada penggalan sebelumnya. Tapi kau tak perlu
cemaskan hal itu. Kau mulai saja perjalanan dari yang tertera dalam kulit
itu...." "Hem.... Aku tahu sekarang.
Jangan-jangan penggalan pertama kulit ini ada pada gadis-gadis cantik yang
mencarimu itu!"
"Itu bisa saja. Hanya yang
kuherankan, kalau memang gadis-gadis itu memegang penggalan yang pertama, dari
mana mereka dapatkan" Apakah mungkin Jalu Paksi salah berikan pada orang"
Padahal kurasa dia sudah tahu, kepada siapa sebenarnya kulit itu harus
diberikan...," Ratu Malam bergumam seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Nek. Siapa Jalu Paksi...?" "Dialah pemegang penggalan kuiit yang pertama.
Kau harus hati-hati. Dengan berhasilnya para gadis itu sampai di tempat mana kau
tadi berada, berarti mereka memang telah mendapatkan penggalan kulit yang
pertama dan tentu yang asli...," Ratu Malam menghela napas panjang. "Aku
mendapat firasat sesuatu telah terjadi pada Jalu Paksi jika sampai kulit itu jatuh pada
orang yang tidak ditentukan.."
"Jadi kulit-kulit itu memang harus diberikan pada orang yang telah
ditentukan?" Joko ajukan tanya.
Ratu Malam mengangguk perlahan.
"Dengarlah. Aku mempunyai empat saudara seperguruan. Menjelang
meninggalnya, guru kami memberikan penggalan kulit pada satu persatu muridnya
dengan pesan kelak penggalan kulit itu harus diberikan pada seseorang yang
mempunyai ciri tertentu...."
"Apakah ciri itu, Nek...?" "Orang itu berhasil mendapatkan pedang pusaka yang
disebut Pedang Tumpul 131!"
Joko jadi terkejut. Tanpa sengaja tangan kanannya meraba ke pinggang, di mana
tersimpan Pedang Tumpul 131. Dia bernapas lega karena pedang itu masih ada di
sana. "Kami tak tahu, kenapa kulit itu dipenggal-penggal demikian rupa. Kami juga tak
pernah tanya, apa yang terpendam dalam Pulau Biru. Yang kami ketahui adalah,
jika penggalan-penggalan kulit itu digabung, maka di situ akan tertera peta yang
berakhir pada Pulau Biru...."
"Tapi Nek. Orang-orang rimba persilatan kini tampaknya sedang dibikin gila
dengan urusan Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan di dalam Pulau
Biru!" "Kau tak usah kaget. Urusan ini bukan sekarang saja diributkan orang.
Jauh sebelumnya, urusan Kitab Serat Biru telah menjadi buah bibir. Bahkan telah
menelan banyak korban. Kalau sekarang kitab itu kembali diributkan, mungkin ada
seseorang yang mengail di air keruh.
Mau mengambil keuntungan dengan tanpa bersusah payah. Mungkin juga untuk
memancing keluarnya beberapa orang tokoh yang diduga banyak mengetahui tentang
seluk-beluk kitab itu. Karena kudengar saat ini telah muncul beberapa orang yang
justru dikabarkan jika orang itu telah tewas! Hem.... Hari ini tugasku
menyampaikan penggalan kuiit itu telah kulaksanakan. Apa yang sekarang hendak
kau lakukan terserah padamu. Hanya kalau mau kusarankan, carilah penggalan kulit
selanjutnya!"
Habis berkata, Ratu Malam putar
diri. Tunggu!" tahan Joko. "Ke mana aku harus mencari pemegang penggalan kulit
lainnya?" "Ikuti yang tertera dalam peta. Di sana kau akan menemukan orang yang kau cari!
Karena Guru kami telah menentukan di mana kami harus menunggu orang yang telah
ditentukan itu. Selamat jalan...."
Sebenarnya Joko masih
hendak menahan kepergian si nenek. Namun belum sampai ucapannya keluar, si nenek telah
berkelebat lenyap.
"Busyet! Aku sampai lupa menanyakan siapa namanya...."
Joko memperhatikan sejenak pada
peta yang tertera dalam kulit coklat di tangannya. "Hem.... Aku harus mulai dari
tempat gadis-gadis tadi berada....
Mudah-mudahan mereka telah pergi."
* * * 6 PENDEKAR 131 terkesiap dan segera hantamkan kedua tangannya memapak pukulan yang
mengarah padanya. Terdengar dentuman menggelegar menyentak tempat itu.
Di depan sana, dari mana tadi
pukulan gelap bersumber terdengar seruan tertahan. Lalu sesosok tubuh membuat
gerakan berjumpalitan di udara sebelum akhirnya menjejak tanah dengan kaki
terkembang sepuluh langkah di hadapan Joko Sableng.
Dia adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah warna biru.
Tubuhnya sesaat bergetar, tapi kejap kemudian terdengar suaranya. "Mana dia"!"
Joko memandang tajam pada gadis
cantik di hadapannya. Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut, si gadis
yang bukan lain adalah Ayu Laksmi telah membentak kembali.
"Cepat katakan. Atau kurobek mulutmu!"
"Aneh. Siapa yang kau maksud" Aku di sini sendirian!"
Ayu Laksmi menatap sejenak pada
Joko. Lalu berpaling dengan mata menyapu berkeliling tak berkesiap. Dalam hati
si gadis berkata. "Bayangan kelebatannya masih
dapat kutangkap. Sayang,
gerakannya terlalu cepat hingga kalau kukejar pun hanya sia-sia! Tapi pasti
pemuda ini tahu siapa dan di mana orang tadi berada. Aku hampir yakin. orang
tadilah yang selama ini kucari!"
"Kuberi waktu untuk berpikir.
Katakan di mana
orang tadi atau
kutamatkan riwayatmu!" sentak Ayu Laksmi.
Joko geleng-geleng kepala seraya tersenyum.
"Sudah kukatakan, aku sedari tadi berada sendirian di tempat ini! Kalau tidak
percaya...."
"Diam!" hardik Ayu Laksmi habis kesabaran. "Jangan kira kau bisa menipuku. Dan
aku tahu kau masih terluka dalam. Jangan sampai aku gelap mata karena kau keras
kepala!" Karena Joko tak segera menjawab, kemarahan Ayu Laksmi tak dapat ditahan Iagi.
"Baik. Rupanya kau memilih tamat riwayat daripada buka mulut!"
Wuutt! Wuuutt! Ayu Laksmi sentakkan kedua
tangannya ke depan, lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Hingga saat itu juga dari kedua tangannya melesat kabut putih
hamparkan hawa panas dan suara
menggidikkan! Meski murid Pendeta Sinting masih merasakan sakit pada dadanya, namun dia tak
tinggal diam. Serta-merta kedua tangannya diangkat laiu didorong ke depan
kirimkan pukulan sakti Lembur Kuning.
Tempat itu serentak terang-
benderang dan panas luar biasa. Sinar kuning meiesat keluarkan deru dahsyat.
Di kejap lain terdengar ledakan keras.
Disusul terdengar suara pekikan dan seruan tertahan.
Dua sosok tubuh tampak saling mental masing-masing ke belakang.
Buk! Buk! Joko terlihat terhuyung-huyung ke belakang. Sosoknya bergoyang-goyang dengan
tangan gemetar. Sepasang matanya bolak-balik mengerjap meredup setengah membuka
dengan bibir bergetar. Sementara di depan sana, Ayu Laksmi
terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh terjengkang di atas tanah. Tapi gadis
cantik ini cepat bergerak bangkit.
"Aku yakin pemuda itu telah cidera waktu bentrok dengan pukulan gabungan
'Kabut Neraka'. Tapi aneh jika dia masih bisa bertahan dan dapat menahan pukulan
'Kabut Neraka'ku! Kalau tidak segera kuhabisi, bukan saja aku yang akan mendapat
celaka, tapi kelak dia bisa jadi penghalang!" Berpikir sampai di situ, Ayu
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Laksmi lipatkan tenaga dalam.
Sepasang matanya dipejamkan. Kedua tangannya ditakupkan di depan dada.
Tiba-tiba dari sekujur tubuh gadis berjubah biru ini keluarkan asap tipis.
Dan saat kedua kakinya dibantingkan ke atas tanah, dari sepasang matanya yang
tiba-tiba dipentangkan melesat dua larik sinar biru. Tak ada suara yang
terdengar bersamaan dengan melesatnya sinar biru dari sepasang mata si gadis.
Tapi pada saat yang sama, tanah di depan si gadis membentuk jalur memanjang dan
rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus memanjang dengan cepat ke
arah Pendekar 131!
"Celaka! ilmu apa yang dimiliki gadis ini" Aku telah terluka, tak mungkin aku
kerahkan tenaga dalam. Hem....
Terpaksa aku pergunakan Pedang Tumpul 131...."
Joko segera selinapkan tangan ke balik pakaiannya untuk mencabut Pedang Tumpul
131. Tapi belum sampai senjata mustika itu keluar, dari semak belukar terdengar
gumaman. Karena sumber suara gumaman jauh dari tempatnya Ayu Laksmi, gadis ini
sama sekali tak mendengar.
Namun tidak demikian halnya dengan
Pendekar 131. Dia dapat dengan jelas mendengar gumaman itu.
"Sinar Setan. Lekas menyingkir.
Pukulan itu amat berbahaya!"
Meski tak tahu siapa adanya orang yang bergumam, namun isyarat ucapannya
menandakan bahwa orang itu tahu betul akan pukulan yang kini melabrak ke arah
Joko. Joko urungkan niat cabut senjata.
Dan secepat kilat dia menyingkir ke samping dengan gulingkan tubuh. Saat itulah
dari semak belukar melesat keluar dua larik sinar merah.
Bummmm! Rengkahan tanah yang terus bergerak terhenti lalu terdengar dentuman keras.
Hamburan tanah membubung ke udara.
Tempat itu bergetar hebat seolah ditimpa gelombang besar. Tubuh murid Pendeta
Sinting terlihat mental dan untuk kedua kalinya jatuh bergulingan di atas tanah.
"Cepat menyingkir ke arah timur!"
lagi-lagi terdengar gumaman.
Joko pentangkan sepasang matanya.
Karena saat itu hamburan tanah masih menutupi pemandangan, dia belum
memastikan siapa adanya orang yang bergumam. Namun jelas dia dapat
memastikan bahwa suara itu adalah suara seorang perempuan.
"Bukan. Suara itu bukan suara si nenek. Tapi siapa?"
Selagi Joko bertanya-tanya, kembali terdengar teguran.
"Waktumu cuma sedikit. Selagi masih gelap, lekas menyingkir!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko kerahkan sisa tenaganya. Lalu berkelebat ke
arah yang dikatakan orang dari kegelapan.
Begitu hamburan tanah sirap, di
depan sana Ayu Laksmi tampak
bergerak-gerak bangkit. Wajah gadis ini pucat pasi. Dari mulutnya terlihat darah
mengalir pertanda dia terluka cukup dalam.
"Jahanam! Lagi-lagi ada orang yang menolongnya! Keparat siapa gerangan yang
berani ikut campur Ini" Adakah orang pemegang penggalan peta itu"!"
Ayu Laksmi bergerak duduk.
Tiba-tiba sepasang matanya mendelik besar memperhatikan ke depan. Dadanya
berdebar keras. Mulutnya yang berdarah komat-kamit.
Di depan sana, di mana pukulannya terhenti, tampak lobang besar menganga.
Di belakangnya tampak dua jalur
memanjang sampai gerumbulan semak belukar.
"Aku sepertinya mengenali pukulan yang menahan pukulan 'Sinar Setan'ku.
Mungkinkah dia..." Tapi apa mungkin?"
Selagi Ayu Laksmi didera berbagai pertanyaan, dari arah belakangnya berkelebat
sesosok bayangan.
"Apa yang terjadi" Kau terlihat
terluka....' Ayu Laksmi berpaling. Di hadapannya tegak seorang gadis berjubah
merah yang kini menatapnya dengan pandangan cemas. Untuk sesaat, Ayu Laksmi
memperhatikan sosok di hadapannya seolah baru saja dikenalnya.
'Ayu Laksmi, kenapa kau memandangku begitu rupa" Apa sebenarnya yang telah
terjadi?" Gadis berjubah merah yang bukan lain adalah Sitoresmi ajukan teguran
karena jengah dipandangi demikian rupa.
"Ah, tidak mungkin. Mungkin orang lain yang melakukannya...," kata Ayu Laksmi
dalam hati. Lalu palingkan kepalanya pada jurusan lain dan berkata.
"Aku berhasil menemukan pemuda yang kita kejar. Tapi lagi-lagi ada orang yang
menolong. Kini dia lenyap lagi!
Tapi...." "Tapi apa..."!" sahut Sitoresmi.
"Aku sepertinya dapat mengenali pukulan jahanam yang menolong itu!"
Sitoresmi palingkan kepala
memandang pada jurusan timur. Sesaat kepalanya didongakkan, lalu terdengar
ucapannya. "Itukah sebabnya kau memandangku seolah menaruh curiga"!"
"Aku tahu pasti pukulan apa yang menahan
pukulan 'Sinar Setan'-ku!
Dan...." "Ayu Laksmi!" potong Sitoresmi.
"Rimba persilatan bukan dunia sempit.
Pukulan sakti 'Sinar Setan' bukan hanya kita saja yang memiliki. Jadi aneh
kedengaran di telingaku jika nada kata-katamu menaruh curiga padaku!"
"Aku tidak curiga padamu. Hanya aku heran...." Sitoresmi tertawa perlahan.
"Aku tahu. Kau menaruh curiga padaku.
Hem.... Terserah padamu. Hanya
kuingatkan. Jangan bikin jurang
perpecahan antara kita hanya gara-gara kecurigaan!"
Mendengar ucapan Sitoresmi, Ayu Laksmi terdiam untuk beberapa lama. Saat itulah
sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di sebeiah Sitoresmi.
Dia bukan lain adalah Wuiandari.
Setelah ditinggal sendirian oleh Sitoresmi dan Ayu Laksmi yang berkelebat
mengejar Joko, Wulandari kerahkan tenaga untuk kembalikan keadaan tubuhnya.
Setelah dirasa tubuhnya membaik, gadis ini merasa kebingungan. Akankah ikut
berkelebat mengejar atau diam menunggu.
Dia mondar-mandir sendirian dengan berpikir mencari jalan terbaik yang harus
ditempuh. Saat itulah dia dengar satu dentuman keras dari arah barat, arah mana
tadi Ayu Laksmi menuju. Tapi Wulandari masih juga belum beranjak dari tempatnya.
Dia seolah masih ingin meyakinkan.
Dan tatkala tak lama kemudian mendengar lagi ledakan keras, dia cepat berkelebat ke arah barat.
"Orang yang kita kejar berhasil lolos!" ujar Sitoresmi sebelum Wulandari buka
mulut untuk bertanya.
Sepasang mata Wulandari memandang silih berganti pada Sitoresmi dan Ayu Laksmi.
Sekali pandang tampaknya gadis berjubah kuning ini telah menangkap ada sesuatu
antara kedua gadis di sebelanya.
'Ada apa di antara kalian"! Ingat.
Jangan sampai ada sesuatu yang
tersembunyi di antara kita bertiga...!"
Sitoresmi dan Ayu Laksmi sama
bentrok pandangan. Namun sesaat kemudian Ayu Laksmi berpaling pada jurusan lain
sambil berkata.
"Aku hampir saja berhasil menangkap jahanam itu. Tapi tiba-tiba seseorang
menahan pukulan 'Sinar Setan' yang kulepaskan! Dan aku tahu pasti, aku mengenali
pukulan yang menahan
seranganku...."
"Dia menuduh akulah yang menahan pukulannya, padahal kami berdua
berkelebat bersilangan jalan. Dia ke arah barat, aku ke arah timur!"
"Sudah. Tak perlu diteruskan persoalan ini!" damprat Wuiandari dengan suara
keras. "Sekarang kita berpencar.
Besok pagi kita bertemu di tempat ini kembali! Aku kini yakin. Pemuda itu ada
hubungannya dengan penggalan peta itu!
Ingat. Jangan sampai ada yang bertindak
menyimpang dari rencana semula, Apalagi coba-coba berkhianat!"
Habis berkata demikian, Wulandari bergerak menuju ke arah utara. Ayu Laksmi
melirik pada Sitoresmi.
"Mudah-mudahan dugaanku keliru. Dan memang orang lain yang melakukannya...,"
gumam Ayu Laksmi lalu berkata.
"Sitoresmi. Kuharap kau melupakan apa yang baru saja terjadi...."
Sitoresmi tak menyahut. Mulutnya terkancing rapat dengan pandangan mata jauh ke
depan. Dan ketika dia menunggu agak lama tak ada suara lagi yang terdengar,
gadis berjubah merah ini berpaling. Ternyata Ayu Laksmi sudah tidak ada di
tempat itu. Sitoresmi menarlk napas
dalam-dalam. Setelah berpikir sejenak akhirnya dia berkelebat ke arah timur.
*** 7 MURID Pendeta Sinting kerahkan sisa tenaga untuk dapat berlari sekencang yang
bisa diperbuatnya. Nyeri pada dada dan sekujur tubuh ngilu tak
dipedulikannya. Dia bukan saja merasa jika dikejar oleh orang, lebih dari itu,
dia khawatir jika penggalan kulit yang kini di tangannya sampai jatuh pada orang
lain. Karena dia sadar, dia kini terluka
dalam. Dan yakin bahwa para gadis yang baru saja bentrok dengannya menginginkan
sekaligus mencari penggalan kulit di tangannya.
Namun karena lukanya cukup parah, tak lama kemudian dia merasakan dadanya sesak
dan sepasang kakinya terasa panas laksana dipanggang bara. Kejap kemudian
sepasang matanya berkunang-kunang.
Hingga meski dengan perasaan cemas akhirnya Joko hentikan larinya.
"Celaka! Kalau sampai gadis tadi benar-benar mengejarku maka bukan saja jiwaku
terancam tapi kulit ini bisa jatuh ke tangannya!" gumam Joko lalu memandang
berkeliling seraya pelototkan sepasang matanya.
Ternyata dia berada pada satu tempat terbuka yang jarang ditumbuhi pohon dan
semak belukar. Sedangkan gugusan bukit tampak masih jauh dari tempatnya berada.
Tapi karena gugusan bukit itu
satu-satunya tempat yang diyakini bisa untuk sembunyi selamatkan diri dari
kejaran orang, maka meski dadanya masih sulit untuk dibuat bernapas dan sepasang
kakinya semakin terasa panas dia kuatkan hati untuk melangkah ke arah gugusan
bukit. Begitu kakinya menapak gugusan
bukit, sepasang kakinya goyah, tak berselang iama tubuhnya limbung dan roboh di
kerapatan semak gugusan bukit.
Murid Pendeta Sinting ini pejamkan
sepasang matanya dan kerahkan hawa murni untuk mengatasi hawa panas yang kini
mulai menjalar ke segenap tubuhnya.
Namun Joko jadi tercekat sendiri tatkala hawa murni yang dikerahkan seakan
tertahan oieh sebuah kekuatan hingga mental, dan ini berakibat fatal bagi
dirinya karena darah lebih banyak keluar dari mulutnya.
"Edan! Mengapa bisa begini?" tanya Joko seraya melirik pada bagian kakinya yang
terasa makin panas. Tiba-tiba dia berseru tertahan. Ternyata kakinya berubah
warna agak kehitaman! Dan di sana-sini terlihat menggembung!
Sebenarnya waktu terjadi bentrok antara Joko dengan Ayu Laksmi, tanpa disadari
oleh Joko, saat Ayu Laksmi lancarkan pukulan sakti 'Sinar Setan'
meski Joko sempat gulingkan tubuh selamatkan diri, namun tak urung sepasang
kakinya tersambar pukulan si gadis. Joko memang tidak pedulikan, karena saat itu
dia tidak merasakan apa-apa. Inilah kehebatan pukulan 'Sinar Setan' yang
dilepaskan Ayu Laksmi.
Pukulan itu akan menghantam sasaran dengan tanpa mencederai dan lawan tidak akan
merasakan apa-apa. Namun dalam jarak beberapa saat kemudian, orang yang terkena
pukulan 'Sinar Setan' akan merasakan tubuhnya panas luar biasa.
Lalu tubuhnya akan menggembung laksana orang dipanggang dalam api. Kejap
kemudian, gelembung itu akan pecah berkeping-keping semburkan darah hitam!
"Celaka!" desis Pendekar 131 dengan perasaan khawatir. Dia tak berani Iagi
kerahkan tenaga untuk mengatasi rasa panas di tubuhnya. Namun dia tak mau begitu
saja rasa sakit yang menjalari tubuhnya semakin menyiksa. Maka dia putar tubuh
membalik dengan sepasang mata ditebar ke seantero gugusan bukit.
Saat itulah telinganya mendengar gemeretak ranting diinjak orang.
Serta-merta murid Pendeta Sinting beringsut dengan sejajarkan tubuh ke tanah.
Sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar memandang tak berkedip ke arah
datangnya suara ranting. Namun dia melengak karena dia tak menangkap adanya
orang! Menangkap adanya bahaya, lupa akan keadaan dirinya yang terluka dalam, murid
Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam. Serta-merta dia merasakan tubuhnya
laksana disengat, meski dia takupkan telapak tangannya, suara erangannya masih
terdengar. Tubuhnya bergetar hebat. Dan tak lama kemudian kepalanya jatuh
lunglai di atas tanah.
Lalu segalanya menjadi gelap!
Bersamaan dengan itu, satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu berdiri di samping
murid Pendeta Sinting dengan sepasang mata memandang tajam perhatikan
sekujur tubuhnya yang mulai kehitaman dan menggembung.
"Astaga! Terlambat sedikit nyawanya tidak akan tertolong...," gumam orang yang
baru datang. Ternyata dia adalah seorang perempuan. Wajahnya tidak bisa dikenali
karena ditutup dengan cadar berlobang kecil-kecil berwarna biru.
Pada punggung orang ini terlihat punuk besar. Pada bagian tubuhnya yang terlihat
tampak diberi pewarna hitam.
Perempuan berpunuk besar jongkok di samping tubuh Joko. "Untung tubuhnya tahan.
Tapi jika dibiarkan saja paling bisa bertahan sampai matahari terbenam."
Si perempuan berpunuk mengeluarkan kantong dari balik pakaiannya. Dari dalam
kantong dia keluarkan butiran kecil berwarna hitam. Kepala Joko yang lunglai di
atas tanah diangkat dan dibalikkan. Dengan sedikit menekan kedua pipinya, mulut
Joko terbuka. Butiran hitam segera dimasukkan. Tak selang lama, si perempuan
berpunuk keluarkan bungkusan dari dalam kantong.
Bungkusan segera dibuka. Ternyata berisi serbuk berwarna putih. Serbuk putih
segera ditebar ke seluruh tubuh Joko dengan tangan satunya membuka sebagian
pakaiannya. Perubahan segera terlihat. Gelembung-gelembung pada tubuh Joko
perlahan-lahan mengempis. Dan perlahan-lahan pula warna kulitnya yang
agak kehitaman berubah kemerahan kembali.
Si perempuan berpunuk menarik napas lega.
Dia lalu pejamkan sepasang
matanya. Telapak tangannya segera ditempelkan ke punggung Joko salurkan hawa
murni. Beberapa saat berlalu. Si perempuan berpunuk tarik kedua tangannya dari punggung
Joko. Seraya menghela napas, dia usap keringat yang membasahi lehernya. Sepasang
mata dari balik cadar menatap memperhatikan sekujur tubuh di depannya dengan
perdengarkan gumaman tak jelas.
Mendadak tangan kanan si perempuan berpunuk bergerak ke arah punggung Joko.
Dari punggung di mana tersimpan Pedang Tumpul 131, si perempuan keluarkan
senjata mustika itu.
Untuk sesaat sepasang mata di balik cadar si perempuan menatap tak berkedip pada
pedang yang kini telah dikeluarkan dari sarungnya. Saat terlihat guratan angka
131 dan bersitan kuning mencorong, si perempuan tersentak kaget.
"Astaga! Aku memang belum pernah melihat senjata ini. Tapi aku yakin, ini adalah
pedang yang beberapa tahun silam sempat membuat rimba persilatan geger.
Pedang Tumpul 131. Hem.... Jadi pemuda ini adalah manusia yang bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131...."
Setelah memasukkan pedang kembali pada balik pakaian Joko, si perempuan berpunuk
bergerak bangkit, kepalanya berputar sejenak perhatikan keadaan sekeliling.
"Hem.... Tempat ini kurasa masih aman dari jangkauan tangan orang.... Dan aku
harus segera meninggalkan tempat ini...."
Si perempuan berpunuk bangkit
berdiri. Kepalanya dipaiingkan dan menatap sekali lagi pada tubuh serta muka
Pendekar 131. Lagi-iagi terdengar gumaman dari mulutnya sambil kepalanya
bergerak menggeleng perlahan. Sesaat kemudian perempuan ini balikkan tubuh dan
melangkah pergi.
"Tunggu!"
Mendadak satu suara menahan dari arah belakang, membuat perempuan berpunuk putar
diri. Di depan sana dilihatnya tubuh Joko bergerak-gerak hendak bangkit,
sementara kepala dan sepasang matanya menghadap ke arah si perempuan dengan
mulut membuka hendak ucapkan kata-kata lagi.
Joko Sableng 3 Rahasia Pulau Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Harap jangan bergerak dulu...,"
ujar si perempuan dengan masih tegak di tempatnya.
"Terima kasih.... Kau telah menolongku. Boleh aku tahu, siapa kau?"
Si perempuan berpunuk tertawa
perlahan seraya gelengkan kepaia.
"Siapa aku tak begitu penting bagimu. Aku merasa lega jika kau telah baik
kembali. Aku masih punya urusan.
Kelak semoga kita bisa bertemu lagi...."
"Ah. Aku merasa kecewa. Selain tak dapat mengetahui siapa namamu, aku juga tak
bisa mengenali wajahmu. Hem....
Kalau kau keberatan sebutkan nama, bagaimana kalau kuminta kau singkapkan barang
sejenak cadar penutup wajahmu agar aku dapat mengenal meski tak tahu namamu?"
Seraya berkata, perlahan-lahan Joko bergerak duduk. Dia masih merasakan sedikit
nyeri pada dadanya, tapi sudah jauh berkurang dari sebelumnya.
Di seberang, mendengar ucapan Joko, si perempuan berpunuk kembali gelengkan
kepala. "Untuk sementara ini, biarlah kau mengenal dan mengetahui diriku
sebagaimana adanya yang kau lihat saat ini. Hanya kupesan. Kau harus lebih
berhati-hati. Beberapa orang kini sedang mengejarmu. Dan kusarankan jika
lanjutkan perjalanan, hindari arah utara dan barat. Nah, Pendekar Pedang Tumpul
131, selamat tinggal...."
Joko Sableng terkesiap melihat
orang tahu siapa dirinya. Dia coba mengenali siapa adanya si perempuan dengan
memandang dari atas sampai bawah.
Tapi untuk beberapa saat dia tak dapat menemukan jawaban. Sementara perempuan
berpunuk telah putar diri dan kembali hendak melangkah tinggalkan tempat itu.
Namun lagi-lagi langkah si perempuan tertahan tatkala dia dengar sebuah seruan
dari belakangnya.
"Perempuan bercadar! Kau seolah tahu apa yang kualami. Apakah kau masih ada
hubungannya dengan nenek berjubah merah yang tadi juga sempat menolongku?"
Tanpa berpaling Iagi, perempuan
berpunuk gelengkan kepala. Lalu berujar pelan. "Aku tak tahu dan tak mengenal
orang yang kau sebut...."
"Aneh. Dua kali aku bertemu orang yang menolong tapi gagal kuketahui
namanya...," gumam Joko seraya geleng-geleng kepala. Dia hendak buka mulut untuk
berucap lagi. Namun suaranya terputus tatkala di depan sana si perempuan
berpunuk ternyata telah tidak ada lagi!
Hanya sesaat setelah perempuan
berpunuk berlalu, mendadak semak belukar tujuh langkah di samping Joko bergerak
menguak. Satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Pendekar 131 tegak
sesosok tubuh! * * * 8 SOSOK ini adalah seorang perempuan.
Mengenakan pakaian warna biru tipis dan ketat yang bagian dadanya dibuat sangat
rendah hingga sebagian kulit payudaranya yang kencang putih terlihat dengan
jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan sepasang mata
bulat tajam. Bibirnya merah ditingkah dengan hidung sedikit mancung. Walau
perempuan ini tidak muda Iagi, namun paras wajahnya sangat cantik, bahkan
kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.
"Ratu Pemikat...!" seru Pendekar 131 dalam hati dengan tengkuk merinding.
Sepasang matanya perhatikan perempuan berparas cantik di hadapannya dengan tak
berkesiap. "Tenagaku belum pulih betul. Dan perempuan ini pasti ingin meneruskan urusan
lama...." Perempuan berpakaian biru tipis dan memang Ratu Pemikat adanya perdengarkan tawa
panjang. Tiba-tiba suara tawanya diputus. Kepalanya disentakkan
berpaling ke arah jurusan lain.
"Pendekar 131! Bentangan dunia terlalu sempit untuk tempatmu
berlindung. Kematian tak akan berada jauh dari sepasang kakimu! Tapi, kematian
itu akan menjauh malah kau bisa merasakan kenikmatan yang kau inginkan jika kau
serahkan Pedang Tumpul 131
padaku! Kau mendengar ucapanku, kau tidak tuli! Apa jawabmu"!"
Ucapan Ratu Pemikat alias Dewi
Asmara untuk beberapa saat membuat murid Pendeta Sinting menjadi tegang. Dia
menyadari bahwa dirinya masih terluka dalam meski sudah berkurang rasa sakitnya.
Namun karena telah mengetahui siapa adanya perempuan di hadapannya, mau tak mau
Pendekar 131 harus berpikir dua kali untuk terlibat bentrok dengan si perempuan.
Karena yang ditanya tidak memberi jawaban, Ratu Pemikat berpaling. Dari
hidungnya keluar suara dengusan keras.
Lalu dia membentak.
"Pendekar 131! Aku telah buang waktu banyak. Aku tak mau perjalanan ini sia-sia.
Kalau kau tak suka buka mulut, lekas serahkan apa yang kuminta! Dan kau bisa
tinggalkan tempat ini!"
Seraya berkata, Ratu Pemikat
ulurkan tangan kanannya membuat gerakan seperti orang meminta.
Setelah dapat menguasai diri, Joko sunggingkan senyum di mulut. Setelah meraba
pada pinggang di mana tersimpan pedangnya, murid Pendeta Sinting ini berujar.
"Aku heran. Jauh-jauh kau melakukan perjalanan hanya untuk meminta barang yang
bukan milikmu. Apakah tidak ada barang lain yang menarik hatimu selain benda
yang kau minta itu"!"
"Sekarang bukan saatnya untuk tawar-menawar. Serahkan saja apa yang kuminta
dengan baik-baik. Aku tahu kau dalam keadaan terluka!"
Terkesiap juga Joko mengetahui Ratu Pemikat tahu keadaan dirinya. Namun Joko tak
hendak unjukkan perubahan wajah.
Bahkan dia kembali tersenyum sambll usap-usap dadanya. Lalu tangannya bergerak
ke arah pinggang dan membuat gerakan seolah hendak keluarkan pedang dari balik
pakaiannya. Melihat hal ini, Ratu Pemikat
sunggingkan senyum seraya
goyang-goyangkan pinggul. Dadanya dibusungkan dengan mulut sedikit dibuka dan
perdengarkan desahan. Kejap kemudian perempuan ini berucap.
"Bagus! Begitu pedang itu kau serahkan, kuanggap habis urusan di antara kita!
Dan kau kuberi kesempatan luas untuk bersenang-senang denganku!"
"Hem.... Ternyata kau selalu salah duga! Dengar. Pedang ini keluar bukan untuk
kau miliki, tapi akan mengantarmu ke bawah tanah!"
Ratu Pemikat bukannya terkejut
mendengar kata-kata Joko. Sebaliknya ia tertawa panjang. "Ternyata kau benar-
benar manusia yang tak mau diuntung. Kau tak mau lihat tingginya langit. Buta
akan dalamnya laut! Itu kesalahan besar bagimu!" Sesaat Ratu Pemikat hentikan
ucapannya, lalu
meneruskan. "Kau masih punya waktu untuk berdamai...."
Joko Sableng dongakkan kepala.
Mengingat siapa adanya perempuan di hadapannya yang dulu pernah membuatnya
celaka, sebenarnya murid Pendeta Sinting ini sedari tadi sudah coba menahan hawa
amarahnya dan menindih keinginannya untuk membuat perhitungan atas tindakan si
perempuan pada beberapa tahun silam.
Namun ucapan Ratu Pemikat mau tak mau membangkitkan kembali hawa amarah Joko.
Hlngga dengan suara keras dia membentak.
"Ratu Pemikat! Kesalahanmu sudah menjulang. Kuperingatkan sekali ini!
Tinggalkan tempat ini atau...."
"Kali ini aku tak akan berhampa tangan jika tinggalkan tempat ini!"
potong Ratu Pemikat. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan! Nyawa pemuda itu milikku.
Tak seorang pun boleh menyentuhnya meski setan akhirat!"
Belum habis suara teguran, satu
bayangan muncul dari rimbun semak belukar. Melangkah perlahan ke arah Pendekar
131. Ada keanehan dengan sosok yang baru muncul ini. Meski dia tampak melangkah
pelan, namun dalam sekejap mata sudah tegak di hadapan Joko sejarak tiga
langkah. Dan dia melangkah dengan mundur membelakangi!
Ratu Pemikat terlihat
tegang sesaat. Tapi sesaat kemudian dia dapat
kuasai diri dan perlihatkan senyum seringai. Meski demikian perempuan cantik ini
tak dapat sembunyikan perubahan raut wajahnya.
"Iblis Ompong... Jahanam sialan!
Urusan ini rupanya akan jadi panjang! Apa dia juga punya urusan sama denganku"
Kudengar manusia aneh satu ini telah undur diri dari rimba persilatan. Adalah
aneh jika tahu-tahu muncul dan inginkan nyawa Pendekar 131! Hem.,.."
"Iblis Ompong!" seru Ratu Pemikat setelah terdiam beberapa saat. "Kalau kau
punya urusan dengan pemuda itu, harap kau suka menunggu setelah urusanku
dengannya selesai!"
Orang yang baru muncul dan dipanggil dengan Iblis Ompong balikkan tubuh.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia kira-kira tujuh puluh tahunan.
Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya tirus memanjang dengan dilapis kulit amat
tipis. Sepasang matanya besar melotot. Ketika kepalanya bergerak, kedua bahunya
terlihat ikut bergerak ke mana kepala mengarah, karena ternyata kakek ini tak
mempunyai leher! Hingga kepala itu seperti nongol di antara pundaknya. Dan kakek
Ini terus-terusan buka mulut perlihatkan giginya yang ompong!
Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh rimba persilatan yang digelari orang
dengan Iblis Ompong. Seorang tokoh
aneh yang sulit ditebak tindak-
tanduknya. Meski demikian banyak kalangan rimba persilatan yang enggan membuat
urusan dengannya, karena selain memiliki ilmu tinggi, dia juga dikenal sebagai
tokoh yang tak pandang bulu jika apa yang dilakukannya diyakini benar.
Pada beberapa tahun belakangan, tokoh ini dikabarkan mengundurkan diri tak mau
turut campur dalam urusan dunia
persilatan. Hal ini terbukti dengan ketidak munculannya untuk jangka waktu yang
panjang, meski rimba persilatan mengalami beberapa kemelut dan kegegeran yang
mengundang muncuinya tokoh-tokoh tua. Bahkan tatkala dunia persilatan disentak
dengan riuhnya perebutan Pedang Tumpul 131, Iblis Ompong juga tak tampak batang
hidungnya. Hal ini menguatkan dugaan orang jika orang tua itu memang telah
benar-benar undur diri. Hal ini pulalah yang mengherankan Ratu Pemikat jika
tiba-tiba dia muncul, lebih-lebih mengatakan punya urusan nyawa dengan Pendekar
131. Iblis Ompong dongakkan kepala.
Karena dia tak punya leher, saat mendongak tampak tubuhnya sedikit melengkung ke
depan. Kejap kemudian dia perdengarkan tawa mengekeh panjang.
Kisah Dua Naga Di Pasundan 3 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Pedang Kunang Kunang 7