Pencarian

Raja Rampok Lereng Ciremai 2

Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai Bagian 2


Atau mungkin lebih muda sebenarnya, tetapi karena rambutnya awut-awutan dan
pakaiannya pun compang-camping, ia tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Di wajahnya, terutama di bagian
dahinya terlihat kerut-kerut yang
nyata. Tidak hanya mencerminkan
ketuaan, tetapi juga penderitaan
bathin yang teramat sangat.
Wanita tua itu memainkan jurus-
jurus ilmu pedang yang teramat
dahsyat. Pedangnya diputar cepat
sekali membentuk gulungan sinar
kemerah-merahan, menandakan betapa cepatnya gerakan pedangnya.
Kadang-kadang ia meloncat tinggi
ke udara, lalu meluncur bagaikan
burung rajawali dengan gerakan
menyambar ke bawah. Pedangnya menusuk sementara kedua kakinya menendang ke arah
kiri dan kanan. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya membentuk cengkeraman
meluncur juga dengan
kecepatan luar biasa dan mengandung tenaga dalam yang teramat dahsyat.
Serangan yang sangat mematikan.
Dapat dipastikan, pendekar silat yang memiliki ilmu biasa-biasa saja, akan tewas
oleh serangan itu.
"Ciaaat...!" Wanita itu berteriak nyaring sambil mengerahkan tenaga dalam hingga
tempat itu terasa bergetar. Bersamaan dengan itu,
tubuhnya mendarat ringan di atas
bongkahan batu. Pergelangan tangan kanannya diputar, sehingga pedangnya yang
tadinya menusuk berubah menjadi membabat.
"Mampus kau, laknat! Mampus kau.
Mampus...!" teriak wanita itu dengan
beringas. Tetapi kemudian, tiba-tiba ia
menjatuhkan diri menelungkup di atas batu sambil menangis tersedu-sedu.
"Kakang, oh kakang. Betapa
beratnya penderitaan bathinku. Tapi akan kubalaskan dendam pada si laknat itu.
Waktu itu akan segera tiba
kakang. Si bangsat itu pasti mati di tanganku..."
Mendadak, ia bangkit lagi,
Matanya yang masih basah kini berubah merah bagaikan memancarkan api.
Rupanya dalam keadaan sedih ia tetap waspada. Pendengarannya yang sangat tajam
menangkap suara mendesis-desis di atas pohon. Sewaktu ia mengangkat wajah,
tampaklah olehnya seekor ular belang-belang sebesar paha orang dewasa melingkar
di dahan pohon,
sementara mulutnya terbuka, siap
mematuk mangsa yang lewat di bawah.
"Kebetulan aku sudah lapar
sekali. Sejak tadi perutku keron-
congan," ujarnya setengah bergumam.
Secepat kilat wanita itu meloncat.
Seberkas cahaya menghantam leher ular itu, hingga putus seketika oleh pedang di
tangan wanita itu.
Wanita itu kemudian menarik
tubuh ular yang panjangnya lebih
sepuluh meter. Dipotongnya tubuh ular itu menjadi tiga bagian sambil tak henti-
hentinya terkekeh-kekeh.
"He-he-he...! Makan besar aku hari ini. Kupotong menjadi tiga. Yang paling besar
ini buat kau, kakang.
Yang tengah untukku dan ekornya buat anak kita."
Lalu dilahapnya daging ular
mentah itu. Darah segar menetes dari mulutnya. "Enak.... enak sekali. Puas, puas
rasanya sekarang. Kakang, lihat tetangga kita juga merasakannya..."
Malam harinya, wanita itu
menanggalkan semua pakaian yang
melekat di tubuhnya, lalu duduk
bersila di tengah-tengah air terjun yang deras dan penuh gemuruh itu. Tak
terlihat bahwa wanita itu terganggu oleh derasnya air terjun yang menimpa
tubuhnya. Ia juga tak merasa
kedinginan sedikit pun juga. Suatu pertanda betapa hebatnya tenaga dalam wanita
itu. Siapakah sebenarnya wanita itu"
Tak ada yang mengetahuinya. Sebab jangankan menjenguknya ke hutan angker itu,
membicarakan hutan itu saja orang sudah pada takut. Orang mungkin per nah
mendengar suaranya jika kebetulan agak dekat ke hutan itu. Tetapi orang yang
mendengarnya tentulah menjadi ketakutan karena mengira suara itu adalah suara
para dedemit. "He he he... Makan besar aku hari ini. Kupotong menjadi tiga... Yang paling besar
ini buat kau. Yang tengah untukku, dan ekornya buat anak kita."
Suatu malam ketika rembulan
sedang bersinar dengan terangnya.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan bergoyang-goyang berkilau-kilau ditimpa
sinar rembulan. Suasana sangat sepi, karena penduduk sudah tidur lelap di bawah
selimut. Hanya beberapa orang saja penjaga di sekitar rumah Gembong Wungu masih
berjaga-jaga. Tetapi tanpa sepengetahuan para
penjaga itu, wanita penghuni hutan angker telah menyelinap masuk ke
halaman rumah. Dengan gerakan ringan bagaikan kapas, wanita itu meloncat ke atas
genteng. Ia melangkah sambil mengendap-endap lalu mengintip ke bawah.
Sebentar kemudian, wanita itu
melayang turun ke halaman rumah.
Seorang penjaga yang berdiri terkantuk-kantuk di dekat jendela kamar Ranti masih
belum menyadari kehadiran orang asing di tempat itu.
Tanpa menimbulkan suara mencuri-
gakan, wanita itu menghantam tengkuk penjaga hingga roboh seketika. Suara jerit
tertahan yang keluar dari
mulutnya rupanya sempat menarik perhatian penjaga lainnya. Namun penjaga yang
satu itu pun tak luput dari
sasaran hantaman wanita misterius itu.
Suara berisik itu rupanya tak
luput dari perhatian Ranti. Sebagai pendekar yang sejak kecil telah
digembleng untuk selalu waspada, ia segera terbangun dari tidurnya. Dengan
gerakan yang sangat ringan dan cepat, ia meloncat ke luar dari jendela.
Persis ketika ia menginjakkan
kakinya di tanah, sesosok tubuh
penjaga yang dilemparkan meluncur ke arahnya. Ranti terpaksa membuang diri ke
samping hingga tidak terjadi
tabrakan. Ketika ia berdiri kembali, maka tampaklah olehnya seorang wanita
berdiri tegak sambil menghunus sebilah pedang di hadapannya.
"Heh, siapa kau" Saya akan
menghajarmu, berani datang ke mari membikin keonaran. Sebutkan namamu!"
bentak Ranti geram.
Wanita asing itu tiba-tiba
tersenyum. Di bawah sinar rembulan terlihat senyumnya itu begitu lembut dan
penuh kasih sayang, tidak sinis.
Beberapa saat, Ranti merasa terpukau melihatnya. Dadanya berdebar tidak karuan,
entah karena apa.
"Oh, Ranti. Ranti, kau sudah besar, cantik jelita dan gagah
perkasa." Alangkah terkejutnya Ranti
mendengar orang itu menyebut namanya dengan sikap yang sangat akrab dan lembut,
seolah-olah sebelumnya sudah kenal padanya.
"Kau tahu namaku" Siapa kau
sebenarnya" Apa maksudmu datang ke
sini dan membunuh orang-orangku?"
"He-he-he.....! Mereka yang
lebih dulu menyerangku, anak manis.
Aku datang ke mari untuk mencari
Gembong Wungu, Di mana dia?"
"Oh, jadi kau ingin menghadapi ayahku" Kalau begitu hadapilah aku lebih dulu!"
bentak Ranti sambil menghunus pedangnya.
Namun tiba-tiba, Kosim
pembantunya yang sangat setia datang ke tempat itu. Dengan sangat terburu-buru
dan agak gugup, pelayan tua itu menarik tangan Ranti.
"Aduh, tobat. Tunggu dulu, den.
Sabar, den. Sabar." Kosim kemudian duduk bersimpuh sambil memeluk kedua kaki
Ranti. Ranti terkejut, karena tak biasanya pelayannya yang setia itu bersikap
demikian. "Heh, Pak Kosim. Apa artinya semua ini" Kenapa sikapmu jadi
begini?" "Ampun, Den. Jangan, jangan
hadapi dia. Aku... oh, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu. Tolonglah, simpan
pedang itu kembali. Ampun, Den.
Ya, Allah...."
"Apa maksudmu, Pak Kosim"
Mengapa semua ini bisa terjadi" Aku sungguh tak mengerti."
Tiba-tiba wanita itu tertawa
cekikikan sambil menatap Ranti dan Kosim bergantian dengan tatapan aneh.
"Baiklah anak manis. Aku pergi dulu. Katakan kepada Gembong Wungu aku ingin
bertemu dengannya kapan saja ia mau...."
Sebelum Ranti dapat menguasai
kebingungannya, sosok tubuh wanita itu melesat seperti seekor burung walet
terbang ke pohon.
"Katakan kepada Gembong Wungu, aku selalu menantinya di Cadas
Kuriling..." kata wanita itu sambil berlalu. Tubuhnya hilang di balik pepohonan.
Ranti tertegun beberapa saat.
Perasaannya semakin tak menentu dan otaknya pun penuh tanda tanya. Dan sinar
mata wanita tua itu, kenapa membuat dadanya berdebar tak karuan"
"Pak Kosim," kata Ranti kemudian, "Mengapa wanita itu mencari ayahku" Dia bahkan
menantangnya untuk bertarung di Cadas Kuriling. Siapakah dia, Pak Kosim"
Tampaknya kau mengenalnya. Katakanlah padaku."
"Saya... saya tidak tahu, Den.
Sungguh saya tidak tahu. Aku hanya khawatir tadi terhadap keselamatan aden,
karena ayah aden tidak ada di rumah," kata Kosim gugup.
"Kau jangan bohong, Pak Kosim."
"Ah, buat apa saya berbohong, Den" Saya sungguh tak mengenalnya.
Permisi, Den. Saya harus bekerja
sekarang." Lelaki itu segera berlalu
dari hadapan Ranti.
Ribut-ribut kecil seperti yang
terjadi malam itu sebenarnya adalah hal biasa bagi penduduk desa
Perbutulan. Dan biasanya kalau hal seperti itu terjadi dengan cepat
dilupakan orang. Tetapi kejadian malam itu, diam-diam menarik perhatian
petani tua di mana Parmin bekerja.
Malam itu, ketika keduanya makan
bersama-sama, petani tua itu
membicarakan kedatangan wanita asing tersebut.
"Parmin, orang-orang di desa ini sebenarnya menyimpan suatu rahasia.
Kau dengar kejadian malam itu" Tentu kau tahu, bukan" Ah, kasihan si Kosim itu.
Dia selalu dicekam ketakutan, sehingga tidak pernah berani
menceritakan hal-hal yang sebenarnya."
"Kosim yang mana maksud bapak?"
"Pelayan Ranti sejak kecil.
Dia seorang lelaki yang sangat setia kepada juragannya."
"Rahasia apakah yang bapak
maksud?" "Nanti kau akan mengetahuinya"
kata petani tua sambil menghela nafas panjang-panjang. Wajahnya tampak
muram, seperti sedang memikirkan
sesuatu yang sangat rumit.
Adapun Ranti sendiri masih tetap
penasaran. Nalurinya mengatakan bahwa Kosim mengenal wanita asing itu. Kosim
memang tidak mengakuinya, tetapi
bisikan nalurinya tidak bohong.
Apalagi sejak kejadian itu, Kosim tampak berubah, sering termenung
sendiri dengan wajah muram.
"Pak Kosim, kaulah yang mengasuh aku sejak kecil. Kau selalu baik dan
menyayangiku. Sekarang aku minta kau berterus terang padaku. Sejak
kedatangan pendekar wanita itu, kau tampak jadi berubah. Aku yakin kau pasti
sedang menyembunyikan sesuatu.
Katakanlah, siapa sebenarnya wanita itu?" kata Ranti pada hari berikutnya.
"Den Ranti, sudah kubilang aku tidak mengenalnya. Kenapa pula Den Ranti
beranggapan seperti itu?"
"Firasatku berkata begitu, Pak Kosim. Terus-terang saya sendiri
merasa aneh melihat wanita itu. Ketika dia tersenyum manis padaku, dadaku terasa
berdebar tak karuan. Heran, tak biasanya aku merasa begitu."
"Mungkin Den Ranti kurang
sehat." "Ah, tidak mungkin. Kau jangan mengada-ada, Pak Kosim. Katakanlah sejujurnya apa
yang kau ketahui. Aku mempercayaimu, Pak. Karena itu, kau juga harus
mempercayaiku."
"Ah, Den Ranti..." keluh Kosim dengan suara serak dan hampir tak terdengar.
Wajahnya semakin murung lagi. Teringat dia akan masa silam,
suatu masa yang tak pernah lepas dari ingatannya. Dan sejak masa itu hingga
sekarang, Kosim menyimpan atau
terpaksa memendam sebuah rahasia.
Sering dadanya hendak meledak,
bibirnya ingin berteriak mengungkap tabir tersebut. Tetapi ada suatu
pertimbangan baginya, yang membuatnya tak berani membeberkannya.
Tanpa terasa air mata lelaki tua
itu menetes satu per satu membasahi wajahnya yang mulai keriputan.
Sekarang, ia merasa diri seperti tak berarti karena selama ini tak berani
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya.
Ia tak ingin bersikap seperti itu lagi terus-terusan. Ia tak ingin membiarkan
Ranti hidup lama-lama di dalam
kegelapan. Maka dia pun duduk bersimpuh di
hadapan Ranti. Dicekalnya kedua lengan gadis itu dengan air mata makin deras
membasahi pipi.
"Den Ranti, maafkan aku...."
"Jangan bersikap begitu, Pak Kosim. Jangan menangis, aku jadi ikut sedih.
Sekarang katakanlah keadaan yang sebenarnya."
"Den Ranti, aku sebenarnya takut mengatakannya..."
"Kenapa harus takut" Siapa yang kau takuti" Kau tak perlu takut. Aku akan
melindungimu. Katakanlah, Pak Kosim!"
"Beliau... beliau adalah ibu kandung Den Ranti sendiri..."
"Hah, ibuku" Betulkah itu, Pak Kosim" Tapi ayahku mengatakan bahwa ibu meninggal
ketika aku berumur satu tahun," ujar Ranti terkejut bukan main.
"Benar, Den Ranti. Beliaulah ibu kandung Den Ranti sendiri. Beliau menghilang
sekitar lima belas tahun yang lalu..."
"Saya tak mengerti. Bagaimana semua ini bisa terjadi?"
"Baiklah, Ranti. Aku akan menceritakan semuanya. Tetapi sebelumnya aku minta
maaf, karena semua ini
mungkin sangat mengejutkan Den Ranti.
Saya sudah mengikuti ayah dan ibumu sejak aden belum lahir. Ayahmu
bukanlah seorang perampok, melainkan seorang guru silat yang arif
bijaksana. Sedangkan Gembong Wungu sendiri bukan..."
Tiba-tiba tiga kilatan cahaya
keputih-putihan meluncur dari balik dinding. Kilatan itu adalah tiga
senjata rahasia berupa pisau kecil.
Tanpa sempat mengelak, tubuh Kosim pada bagian punggungnya tertancap pisau-pisau


Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut. Tiba-tiba tiga kilatan cahaya keputih-putihan meluncur dari balik dinding.
Kilatan itu adalah tiga senjata rahasia berupa pisau kecil Tanpa sempat
mengelak, tubuh Kosim pada bagian punggungnya tertancap pisau-pisau tersebut.
"Akh..." jerit lelaki tua itu.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya ambruk.
Darah segar membasahi sekujur
tubuhnya. Beberapa saat kemudian, di situ telah muncul Gembong Wungu. Raja
rampok itu berdiri sambil menatap tubuh Kosim dengan mata merah.
"Ayah!?" seru Ranti terkejut,
"Kenapa kau membunuhnya" Apa salahnya"
Oh, kau sungguh kejam, ayah!"
"Diam! Penghasut itu harus
lenyap dari muka bumi ini. Aku dengar semua omongannya. Aku tak segan-segan
mencopot batang leher setiap Penghasut yang ada di desa ini."
"Jika demikian berarti Kosim benar. Kau telah berbohong. Katakan siapa ibuku!"
kata Ranti setelah berteriak. Dan sambil berkata begitu, ia menatap ayahnya
dengan sinar mata merah bagaikan memancarkan api.
Seolah-olah ia hendak menelan Gembong Wungu hidup-hidup.
"Heh, anak manis. Sejak kapan kau berani menatap aku seperti itu, heh?"
"Aku tak percaya lagi padamu.
Ayo, mengakulah sekarang juga."
Gembong Wungu marah bukan main
mendengar ucapan Ranti. Wajahnya merah padam. Bahkan sekujur tubuhnya gemetar
menahan gejolak emosi. Tetapi ia tak ingin menyakiti Ranti. Ia tak mau
melampiaskan kekesalannya kepada gadis
manis itu. Sambil berteriak nyaring, lelaki
bermata satu itu menghunus goloknya.
Ia lalu meloncat tinggi kemudian
membabat tiang-tiang kandang ayam.
"Akan kulenyapkan orang-orang yang mencoba mengusik kehidupan kita. Ciaaat....!"
Gembong Wungu membabat dan menendang kandang ayam.
Demikian marah dan kesalnya jagoan itu, sehingga dalam sekejap saja, kandang
ternak itu telah ambruk.
"Siapa yang mau membalas dendam kepadaku" Ayo, siapa" Gembong Wungu tidak gentar
sedikit pun juga. Aku adalah raja di seputar lereng Ciremai.
Siapa berani menantangku, berarti maut akan menjemputnya!"
Setelah itu, Gembong Wungu
menghampiri Ranti yang sedang tersedu-sedu meratapi nasib malang yang
menimpa Kosim. Lelaki tua itu selama ini selalu menyayanginya. Selalu
memperhatikan dan mengurus segala keperluannya. Semua kebaikan Kosim, tak
mungkin hapus begitu saja dari hati sanubari Ranti. Lelaki itu sudah bagaikan
orang tua sendiri bagi Ranti.
Tidaklah mengherankan, jika ia sangat terpukul melihat kenyataan lelaki yang
disayanginya itu sudah tergeletak tanpa nyawa.
"Ranti, kau tak perlu meratapi bangkai anjing penghasut itu.
Tinggalkan dia, cepat!"
Ranti tak menyahut, Ia tetap
menangis sesunggukan di depan tubuh pelayannya yang setia itu. Ia benar-benar
merasa sangat kehilangan. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja timbul rasa benci
terhadap lelaki yang selama ini menjadi ayahnya.
Melihat Ranti tidak mau
beranjak, Gembong Wungu semakin kesal lalu secepatnya meninggalkan tempat itu.
Di depan kandang ayam itu kini berdiri dua lelaki lain, menatap Ranti dan
jenazah Kosim dengan tatapan penuh keprihatinan.
"Innalillahi! Iblis itu tak
segan-segan membunuh. Kasihan si
Kosim. Yah, semua orang di desa ini tak berani membuka rahasia karena nasib
seperti inilah yang akan menimpa mereka," ujar lelaki tua yang kini sedang
berdiri bersama Parmin.
Ranti agak terkejut juga men-
dengar ucapan petani tua itu. Dengan airmata masih berurai membasahi pipi,
ditatapnya kedua lelaki itu. Lalu dengan suara parau, gadis itu berkata:
"Apakah kalian juga mengetahui rahasia tentang diriku" Benarkah aku bukan anak
Gembong Wungu" Kalau memang
benar, siapa ibuku, siapa ayahku?"
"Ranti, Tuhan maha Pengasih dan Penyayang. Sekarang duduklah dan
tenangkan perasaanmu. Hapus airmatamu,
jangan menangis lagi. Kita doakan saja semoga arwah Kosim diterima di sisi Tuhan
yang Maha Esa," kata petani tua itu dengan sikap lembut.
Dan setelah Ranti duduk dengan
sikap yang lebih tenang, petani tua itu melanjutkan, "Ranti, ayahmu yang
sebenarnya adalah Gagak Ciremai. Ia gugur di ujung pedang Gembong Wungu dalam
pertarungan di lembah Cadas Kuriling lima belas tahun silam."
"Jadi....?"
"Aku bersama kawanku yang
menguburkan jenazah ayahmu saat itu.
Sedangkan ibumu sendiri, sejak saat itu menghilang entah ke mana. Kemudian kau
dipungut anak oleh Gembong Wungu, selanjutnya menggantikan kedudukan ayahmu.
Sayang si Kosim sudah lebih dulu menghadap Tuhan hingga tidak bisa bercerita
tentang semua peristiwa itu."
"Aku adalah salah seorang pengikut ayahmu yang masih mau bertahan di desa
terkutuk ini. Karena aku yakin dan ingin menyaksikan bahwa suatu saat kezaliman
ini akan berakhir."
Oh, benarkah itu" Benarkah" Hati
Ranti bertanya-tanya dan berkecamuk hebat. Samar-samar terlintaslah
bayang-bayang lima belas tahun lalu.
Ia melihat dirinya masih kecil,
berusia satu tahun. Ia digendong
seorang wanita dan seorang laki-laki.
Itukah gerangan ayah dan ibunya"
Tetapi bayangan itu sangat samar-samar dan timbul tenggelam di dalam
benaknya. Tetapi sepertinya bayangan
wanita itu mempunyai persamaan dengan wajah pendekar wanita berambut awut-awutan
yang beberapa malam lalu
membunuh penjaga. Dan kalau memang benar bayangannya itu tidak meleset, pastilah
ada hubungannya dengan
pendekar wanita itu. Siapakah dia sebenarnya" Apakah itu adalah ibunya yang
dikabarkan menghilang lima belas tahun lalu"
Secara tiba-tiba, Ranti bangkit
dari duduknya dan tubuhnya melesat cepat ke arah rumahnya. Sambil
berteriak histeris, ia menendang pintu hingga terpental. Seorang pelayan wanita
di rumah itu menjadi terkejut, lalu sujud gemetar di hadapan Ranti.
"Mana majikanmu Gembong Wungu, hah" Mana dia" Ayo, jawab!"
"Oh, bibi tidak tahu, Den Ranti.
Sungguh, bibi tidak tahu kemana
juragan pergi..."
Ranti mendengus kesal. Ia lalu
berlari-lari seperti orang kesetanan.
Wajah dara jelita itu merah padam, matanya bagai memancarkan api.
Setibanya di gerbang desa, Ranti
dihadang para penjaga. Namun dengan kasar, Ranti membentak.
"Buka pintunya, cepat! Katakan padaku ke mana Gembong Wungu pergi!"
"Maaf, den Ranti. Ayahmu
memerintahkan kami untuk melarang Aden keluar dari lingkungan desa ini," kata
penjaga. "Apa" Ayahku katamu" Gembong Wungu itu bukan ayahku. Cepat buka pintunya, atau
nyawa kalian akan
melayang di ujung pedangku!"
"Maaf, Den Ranti. Kami hanya menjalankan perintah. Kawan-kawan kepung dia.
Jangan sampai keluar dari desa ini."
"Bagus kalau begitu. Jangan
salahkan jika aku terpaksa menurunkan tangan kejam."
"Tangkap dia!"
Dengan serempak, para penjaga
gerbang menerkam tubuh Ranti. Melihat itu, Ranti tersenyum sinis. Ia sengaja
tidak segera mengelak seolah-olah membiarkan dirinya ditangkap. Namun ketika
tangan para lelaki itu
menyentuh tubuhnya, Ranti meloncat tinggi.
"Trok....!" Kepala para penjaga itu saling beradu dengan kerasnya.
Sambil menjerit kesakitan, tubuh para penjaga itu terlempar dan bergulingan di
atas tanah. Kesempatan itu digunakan Ranti
meloloskan diri. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, ia meloncat
tinggi ke atas pintu gerbang. Hanya beberapa detik kemudian, tubuhnya telah
melesat cepat meninggalkan desa.
Sambil berlari-lari, gadis itu
teringat pesan pendekar wanita yang menyatakan ingin bertemu Gembong Wungu
setiap saat di lembah Cadas Kuriling.
Gembong Wungu yang sangat dibencinya itu sekarang pastilah berada di sana untuk
memenuhi tantangan lawan.
Dugaan Ranti memang benar juga.
Gembong Wungu pergi ke Cadas Kuriling, bahkan kini sedang berhadap-hadapan
dengan pendekar wanita. Kedua pendekar itu kini siap mengadu nyawa. Pedang telah
dihunus di tangan, kuda-kuda telah dipasang. Siap menyerang dan diserang.
"Hi-hi-hi...! Aku gembira karena kau ternyata mau memenuhi tantanganku, bangsat
keji. Lima belas tahun yang lalu. suamiku kau robohkan di sini.
Sekarang aku datang untuk menagih janji, mencabut nyawamu, bangsat
tengik!" seru pendekar wanita itu.
"Kalau begitu susullah suamimu ke akherat, wanita iblis. Aku Gembong Wungu
takkan tergeser dari muka bumi ini!"
"Tutup mulutmu, bangsat!
Hiyaaat...!" Wanita itu berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya
mencelat ke arah Gembong Wungu. Sementara ujung pedangnya membentuk sinar-sinar
bagaikan kilat mengarah ke tubuh lawan.
"Tutup mulutmu, bangsat!
Hiyaaaat.!" Wanita itu berteriak nyaring. Bersamaan dengan itu,
tubuhnya mencelat ke arah Gembong Wungu, sementara ujung pedangnya
membentuk sinar-sinar bagaikan kilat mengarah ke tubuh lawan.
Gembong Wungu segera memutar
goloknya. Maka tampaklah sinar golok dan pedang bergulung-gulung membentuk
semacam tembok pertahanan yang sangat kokoh.
Pada jurus-jurus berikutnya,
Gembong Wungu balas menyerang. Ia sangat geram sekarang ditantang
seorang wanita yang menurutnya
sinting. Ditambah lagi rasa kesalnya dari rumah lantaran kata-kata Ranti yang
mengatakan tidak mau percaya lagi padanya.
Maka dalam menyerang, Gembong
Wungu tidak mau tanggung-tanggung.
Pendekar bermata satu itu mengeluarkan ilmu pedang andalannya "Grojogan Sewu".
Jurus-jurus ilmu pedang ini sangat cepat dan mengandung tenaga dalam yang luar
biasa, sehingga
pendekar yang tingkat ilmu belum
tinggi benar, tidak bisa menguasainya.
Demikian cepatnya gerakan pedang
Gembong Wungu, sehingga golok atau pedang pusaka di tangannya seolah-olah
berubah jadi banyak sekali, mengincar tubuh lawan dari segala penjuru. Batu-
batu beterbangan bercampur debu
terkena hantaman tenaga dalam kedua jagoan itu.
Pendekar wanita itu terpaksa
harus berjuang mati-matian menghindari serangan lawan. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang hampir mencapai kesempurnaan, ia berkelit di sela-sela
ujung senjata lawan. Diam-diam Gembong Wungu merasa kagum juga melihat
kemampuan lawan menghadapi ilmu pedang
"Grojogan Sewu" andalannya.
Dahulu Gagak Ciremai sendiri
dapat dirobohkannya tanpa mengeluarkan ilmu tertinggi yang dimilikinya itu.
Jelaslah sudah bahwa kesaktian
pendekar wanita itu lebih tinggi
daripada suaminya.
Nafas Gembong Wungu menggeros-
geros dan peluh bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Sejenak ia meloncat ke
belakang untuk mengatur pernafasan dan mempersiapkan jurus baru.
"Ha-ha-ha..." Wanita pendekar itu tertawa mengejek, "Tidak percuma selama lima
belas tahun ini aku
berlatih siang dan malam, di lembah dedemit. Tunjukkan kemampuanmu,
Gembong Picak."
"Wanita sundal! Awas sera-
ngan....!" Dengan teriakan menggeledak menggetarkan tebing-tebing, Gembong Wungu
kembali menyerang. Kali ini ia mengeluarkan jurus inti ilmu pedang
Grojogan Sewu, yakni jurus "Dewa Bayu Nitis".
Jurus itu boleh dikatakan tidak
lumrah dikuasai manusia. Karena selain sangat cepat hingga yang tampak hanya
bayangan, juga karena mempunyai
perkembangan yang sangat tak terduga sekaligus amat berbahaya.
Selama melalangbuana di dunia
persilatan, pendekar mata satu hampir tak pernah mengeluarkan jurus itu.
Atau kalaupun terpaksa mengeluar-
kannya, lawan pastilah tidak akan bisa menyelamatkan diri.
Gembong Wungu meloncat tinggi ke
udara. Tangan kirinya dibuka mengeluarkan pukulan jarak jauh. Hawa panas yang
teramat dahsyat menyambar ke arah tubuh lawan. Kaki kiri Gembong Wungu dilipat
siap menendang ke arah ulu hati pendekar wanita itu, sedangkan pedangnya
diangkat tinggi siap untuk menikam atau membabat.
Semakin terkejutlah istri almar-
hum Gagak Ciremai menghadapi serangan lawan yang teramat dahsyat dan
mematikan itu. Secepat kilat ia
mengelak ke kanan, menghindari pukulan jarak jauh lawan. Namun pada saat
bersamaan, kaki kiri Gembong Wungu menendang dengan tenaga luar biasa ke arah
ulu hati lawan.
Dalam keadaan terdesak, pendekar
wanita itu masih sempat berkelit ke
sebelah kanan. Maka luputlah tendangan Gembong Wungu yang mengandung maut itu.
Namun saat itu juga, pedang
pusaka pendekar bermata satu itu
menghujam ke arah perut lawan.
Crob! Dengan sangat telaknya,
pedang itu merobek kulit perut
pendekar wanita.
Disertai jerit panjang yang
sangat memilukan, tubuh pendekar
wanita itu ambruk ke bumi. Darah segar memancar deras dari luka menganga itu.
Sejenak, tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih. Lalu
kemudian diam, tak bergerak-gerak lagi.
"Mampus kau wanita iblis...!"
kata Gembong Wungu sambil menyarungkan pedangnya yang masih berlepotan darah.
Setelah itu, ia mengempos tenaga, melesat bagai anak panah meninggalkan tempat
itu. Hanya beberapa detik kemudian,
Ranti tiba di lembah Cadas Kuriling.
Dadanya berdegup kencang, dan matanya nanar melihat tetesan darah di sekitar
tempat itu. "Ibu....!" Gadis itu berteriak sambil berlari menghampiri tubuh yang sedang
terkapar berlumuran darah itu.
Didekapnya tubuh itu erat-erat dan diciuminya, hingga darah wanita itu pun
membasahi pakaian Ranti.
"Ibu...! Ibu, jangan tinggalkan
aku. Tidak. Tidak, Bu. Jangan


Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggalkan aku. Ibu..." jerit gadis itu sekuat-kuat tenaga.
Dan Tuhan memang maha Pemurah.
Tiba-tiba wanita itu membuka kelopak mata. Tatkala ia menatap wajah Ranti, maka
seulas senyum manis menghiasi bibirnya. Menandakan betapa ia sangat bahagia
sekarang menyaksikan buah hatinya berada di dekatnya.
"Ranti, anakku. Kau datang,
Nak..." ujar wanita itu tersendat-sendat.
"Ibu, ibu... kau harus sembuh, Bu..." "Tenanglah, anakku. Dekatlah kemari, Nak.
Ibu ingin mengusap wajah-mu... ibu ingin memelukmu. Selama lima belas tahun itu
memendam rasa mengekang rindu ingin membelaimu.
Setiap malam ibu menengokmu tanpa sepengetahuan Gembong Wungu. Tapi selama itu
pula kasih ibu tak sampai.
Ibu tak berdaya, anakku..."
"Kuatkan hatimu, Bu. Maafkan anakmu yang tak tahu diri ini."
"Jangan berkata begitu, anakku.
Semua ini sudah takdir. Manusia telah mempunyai garis kodrat hidup masing-
masing. Tapi sekarang ibu sangat
bahagia, di saat-saat terakhir ini kau datang. Ibu bahagia karena membela
almarhum ayahmu, walaupun dendam pati ayahmu belum terbalas. Itu sudah
kewajibanku, anakku..."
Sejenak wanita itu berhenti,
seolah-olah sedang mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah itu, ia
melanjutkan dengan suara tersendat-sendat dan hampir tak terdengar.
"Ranti, anakku. Maafkan ibumu, sayangku. Rasanya waktu ibu telah tiba. Ibu akan
menyusul ayahmu.
Pesanku... janganlah kau bermaksud membalaskan dendam, karena kutahu engkau
bukanlah tandingan raja rampok itu. Cukuplah kau gunakan kepandaianmu itu untuk
perikemanusiaan dan
kebajikan. Biarlah Tuhan yang kelak menjatuhkan hukuman kepada bajingan itu.
Ranti, selamat tinggal anakku..."
Seusai mengucapkan kata-kata
itu, kepala wanita itu terkulai. Detak jantungnya terhenti, diam dan mati. Ia
telah menghembuskan nafas terakhir, hilang bersama angin yang berhembus sepoi-
sepoi. Ia telah pergi untuk selama-lamanya tanpa pernah kembali.
"Ibu...!" Ranti kembali menjerit histeris di atas jenazah ibunya. Tak terkatakan
betapa hancurnya perasaan gadis itu sekarang. Baru bertemu
dengan ibunya sudah langsung berpisah.
Sungguh sangat menyakitkan karena pertemuan itu ternyata juga sekaligus
perpisahan. Maka patahlah segala
harapan yang ada dalam hati Ranti.
Pupus gairah hidupnya. Dan mataharinya pun telah tenggelam, dan ia hanya bisa
meratapinya. Ketika Ranti meratapi jenazah
ibunya, seorang lelaki melangkah
sambil menunduk. Wajahnya muram,
karena sangat terharu menyaksikan tragedi berdarah yang menimpa keluarga Ranti.
Pemuda yang tak lain tak bukan
adalah Parmin itu berusaha menghibur Ranti. Dibelai-belainya rambut gadis itu,
dihapusnya airmata yang membasahi pipi Ranti dengan penuh persahabatan.
"Jangan menangis lagi, Ranti.
Semua ini sudah takdir. Berdoalah agar arwah ibumu tenang di peristi-rahatannya
yang terakhir."
Menjelang senja, Parmin mengu-
burkan jenazah ibu Ranti. Ranti belum juga mau berhenti menangis. Ia memeluk
tanah merah itu dan meraung-raung hingga suaranya semakin parau.
"Sudahlah, Ranti. Jangan terlalu sedih. Toh semuanya sudah terjadi...
Ayo, sebaiknya kita segera pulang."
"Tidak! Aku tidak mau pulang.
Aku akan membalaskan kematian ibu dan ayahku. Aku tak takut pada Gembong Wungu.
Akan kutebas batang lehernya dan kuminum darahnya!"
"Jangan, nona Ranti..." kata Parmin sambil menarik tangan gadis itu.
"Jangan halangi aku. Aku harus membunuh bajingan itu sekarang juga."
"Tenang, nona Ranti. Apakah kau telah lupa akan pesan ibumu" Pesan ibumu itu
harus kau patuhi. Dan
ketahuilah, pembelaanmu nanti pasti sia-sia. Gembong Wungu adalah jagoan silat
yang sangat jarang tandi-ngannya."
"Aku sudah hidup sebatangkara.
Apa gunanya hidup lagi?"
"Jangan putus asa, nona! Di
dunia ini banyak sekali orang hidup sebatangkara. Bahkan banyak yang lebih
sengsara darimu. Percayalah! Pembala-san akan segera datang, walaupun bukan
dengan perantaraan tangan nona."
"Bajingan si Gembong Wungu.
Bedebah...!" Saking kesalnya, Ranti menancapkan pedangnya ke batu karang sekuat
tenaga sehingga amblas sampai ke hulu.
Tiba-tiba terdengar gelak tawa,
menggelegar dan sambung-menyambung di atas tebing. Parmin dan Ranti
terkejut, lalu serempak memutar tubuh, menatap ke arah asal suara itu.
Di atas tebing tampak oleh
mereka sejumlah lelaki, mungkin lebih dari tujuh orang. Para lelaki itu rata-
rata bertampang seram. Semuanya bersenjatakan golok dan pedang.
Melihat tingkah laku dan ciri-ciri mereka, maka tahulah Parmin bahwa kelompok
orang itu adalah anak buah Gembong Wungu.
Salah seorang di antaranya, yang
agaknya merupakan pemimpin komplotan itu menatap Parmin dengan sinar mata
mencorong tajam dan terasa sangat sinis. Sambil menuding Parmin dengan pedang di
tangan kirinya, pria itu berkata: "Hei, santri! Jangan coba-coba mempengaruhi
Ranti untuk balas dendam pada Gembong Wungu. Bagaimana pun juga, selama ini
Gembong Wungu telah merawat, mendidik dan
membesarkan Ranti dengan penuh kasih sayang sebagai ayah."
Setelah berkata begitu, lelaki
itu memberi isyarat melalui gerakan tangan kanan dan kepalanya. Maka
berloncatanlah sekitar tujuh lelaki dari balik tebing dan langsung
mengepung Parmin dan Ranti.
"Hei, kau! Kedatanganmu ke desa ini hanya membuat kekacauan. Selama ini desa
kami aman tenteram, tak
pernah terjadi keributan seperti ini.
Dengan kepintaranmu bersilat lidah, kau membujuk-bujuk orang. Karena
pergaulanmulah makanya Ranti akhir-akhir ini jadi berubah. Den Ranti jadi
bandel, bahkan telah berani menentang ayahnya."
"Apakah kau tidak salah
bicara, sahabat?" ujar Parmin tenang.
"Diam kau, bedebah! Orang-orang semacam kau dan petani tua itu harus lenyap dari
desa ini. Kalian tidak
boleh lagi hidup di desa ini, karena kalian hanya menghasut orang-orang saja.
Kalian akan menjadi perintang yang semakin lama semakin kuat karena kepintaran
kalian membujuk-bujuk
orang." Setelah berkata demikian, lelaki
berkumis tebal itu berpaling kepada teman-temannya yang sebagian lagi masih
berada di balik tebing.
"Hai, kawan-kawan. Seret ke mari keledai tua itu. Hari ini akan kita bikin pesta
perkedel!"
Dari balik bebatuan, keluarlah
beberapa orang laki-laki sambil
menyeret petani tua tempat Parmin bekerja. Kakinya diikat begitu juga kedua
tangannya diikat ke belakang.
Dari kedua tangan itu kemudian diulur tali untuk menyeret tubuh lelaki tua
bernasib malang itu, dengan posisi menelungkup.
Terdengar suara tulang berdetak-
detak akibat tubuh yang beradu dengan batu-batu di atas tanah. Baju dan celana
petani tua itu sobek dan kulit tubuhnya terkelupas hingga mengeluarkan darah.
"Pak... ?"seru Parmin terkejut.
"Ha ha ha...! Lihat si tua bangka yang keras kepala itu. Ia berlagak sebagai
pahlawan kebenaran.
Sekarang rasakan betapa enaknya diseret seperti gedebog pisang.
"Pak...?" seru Parmin terkejut.
"Ha-ha-ha...! Lihat, si tua
bangka yang keras kepala ini. Ia
berlagak sebagai pahlawan kebenaran.
Sekarang rasakan betapa enaknya
diseret seperti gedebog pisang..."
Melihat perlakuan yang tidak
berperikemanusiaan itu, tubuh Parmin menggigil, darahnya pun mendidih
hingga ke ubun-ubun, menahan amarah melihat kekejian anak buah Gembong Wungu.
Bagaimana pun juga, petani tua itu telah berjasa padanya, dan selama ini selalu
bersikap baik. Sekalipun mereka baru kenal, petani itu seolah-olah telah
merupakan saudara sendiri bagi Parmin.
"Ha-ha-ha keledai tua! Siapa yang akan menolongmu" Siapa" Kau akan segera mampus
sekarang. Tadi kau
bilang Tuhan akan menolongmu dan
melindungimu...."
"Ya, Tuhan selalu melindungi-ku..." kata petani tua itu tersendat-sendat.
"Bangsat, berani ngomong lagi!"
bentak anak buah Gembong Wungu sambil menginjak dada petani tua itu.
"Mana pertolongan Tuhanmu" Mana"
Omong kosong kau! Nyawamu sekarang berada di tanganku, bukan di tangan Tuhan
seperti yang kau bilang. Akulah yang berkuasa sekarang atas nyawamu!"
Melihat perlakuan yang sudah
sangat di luar batas itu ditambah lagi oleh ucapan yang sangat kurang ajar, maka
habislah kesabaran Parmin. Ia merasa tak mungkin lagi diam. Ia harus segera
bertindak. Maka dicabutnya sebuah golok yang disembunyikan di balik bajunya.
"Ciaaat...!" Pemuda itu berteriak nyaring, sambil meloncat tinggi ke arah anak
buah Gembong Wungu. Golok di tangannya ia putar cepat sekali membentuk sinar
kemilau dan langsung mengincar dada lawan.
Bet!, bet! "Augh...!" Tanpa sempat mengelak, dua anak buah Gembong Wungu terjungkal terkena
sabetan pedang Parmin.
Kedua tubuh pria sejenak ber-
kelojotan dengan darah menyembur dari luka menganga di bagian dada. Setelah itu,
nyawa keduanya pun melayang.
"Hai, orang-orang murtad. Tindakan kalian sudah melewati batas.
Bukalah mata kalian lebar-lebar. Tuhan telah menolong orang tua itu dengan
perantaraan tanganku."
"Jangan kira kami takut padamu, santri tak tahu diri. Bersiaplah untuk mampus!"
Anak buah Gembong Wungu menyerang Parmin dari segala penjuru.
Pedang di tangan mereka berkelebatan mengincar tubuh lawan. Namun dengan sangat
tenangnya, Parmin mengelak
kemudian balas menyerang dengan jurus-jurus mautnya.
Ternyata, Parmin bukanlah tan-
dingan para anak buah Gembong Wungu.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Parmin dapat menumbangkan lawan-lawannya,
hingga yang masih hidup tinggal seorang saja.
"Aku sengaja membiarkan kau
hidup untuk memberimu kesempatan
bertobat. Sekarang enyahlah dari sini.
Dan jangan lupa, beritahukan kepada Gembong Wungu bahwa aku menunggunya di hutan
Plangon!" Dengan tubuh gemetaran, lelaki
itu berlari meninggalkan tempat itu.
Ranti segera berlari menghampiri
Parmin. Dicekalnya lengan pemuda itu, lalu berkata dengan agak terburu-buru:
"Oh, jadi kau menantang Gembong Wungu"
Aku sangat senang mendengarnya. Kau pasti menang! Kau hebat, Parmin! Kau mau
membalas dendam atas kematian ayah dan ibuku, bukan?"
"Nona Ranti," ujar Parmin sambil tersenyum bijaksana, "Aku bukan mau membela
atas kepentingan seseorang.
Aku berjuang atas nama kebenaran, keadilan, perikemanusiaan dan
ketuhanan."
"Jadi....?"
"Sudahlah. Sekarang kita harus merawat orangtua itu. Tentunya kau mengetahui
jenis daun-daunan untuk
obat lukanya. Aku minta kau mau
mengambilnya. Sementara itu, aku akan menolong pernafasannya agar ia sadar
kembali. "Baiklah, Parmin. Tapi kupikir, kita harus mengungsikannya ke desa lain. Karena
tidak mustahil Gembong Wungu telah memasang jebakan untuk kita."
"Baiklah kalau begitu."
Kedua pendekar muda usia itu
segera mengangkat tubuh petani tua ke desa lain. Di tempat itu, mereka
menumpang di rumah seorang petani untuk merawat luka-luka yang diderita pria tua
bernasib malang itu.
Kejadian tersebut benar-benar
telah mengubah pikiran Parmin. Karena sebenarnya, pemuda itu sedang dalam
perjalanan jauh yang sangat penting.
Dan kehadirannya di desa Perbutulan pada waktu itu hanya karena kebetulan saja.
Pendekar itu kehabisan bekal sehingga terpaksa menunda perjalanan dengan maksud
mencari upah kepada petani di desa itu.
Akan tetapi sekarang, melihat
sepak terjang Gembong Wungu dan anak buahnya, ia merasa tak boleh tinggal diam
lagi. Darah kependekaran yang mengalir dalam tubuhnya segera
bergejolak, bahwa ia harus segera bertindak. Kesewenang-wenangan itu harus
segera dihentikan. Kalau tidak,
Gembong Wungu pasti akan semakin
menjadi-jadi. Penduduk yang tadinya sudah tersiksa akan semakin tersiksa lagi,
Maka tanpa pikir panjang lagi,
pendekar dari pantai utara itu segera memutuskan bahwa ia harus menantang
Gembong Wungu. Biarpun secara diam-diam ia sendiri harus mengakui bahwa ilmu
Gembong Wungu mungkin berada di atasnya. Atau kalaupun misalnya
setingkat, ia masih kalah dalam hal pengalaman. Apalagi tokoh dunia hitam
seperti Gembong Wungu, tentulah tidak akan segan-segan berbuat licik demi
hasratnya melenyapkan orang-orang yang berani menentangnya. Tapi sebagai
pendekar yang gagah perkasa, Parmin merasa tak punya alasan untuk mundur.
Ia bahkan merasa lebih baik mati
daripada harus bersikap pengecut.
Maka ketika matahari mulai
condong ke arah barat, pemuda itu melangkah ke tepi hutan Plangon. Angin yang
berhembus cukup kencang
menyambutnya, seolah-olah mengatakan selamat datang wahai pendekar muda yang
gagah perkasa. Di sebuah dataran yang cukup
luas, pendekar dari pantai utara itu berdiri tegak menunggu lawan. Dari
sekelilingnya terdengar suara monyet-monyet, yang mungkin masih kenal
kepadanya, lalu mengucapkan selamat
bertemu kembali.
Parmin tidak terlalu lama
menunggu, sebab tak berapa lama
berselang, muncullah Gembong Wungu di tempat itu. Pendekar bermata satu itu
berjalan tegak, bibirnya mengulum senyum sinis seolah-olah tidak memandang mata
sebelah pun terhadap calon lawannya.
Sejenak ia menatap Parmin dengan
mata tak berkedip dari bawah sampai ke atas, lalu turun lagi. Ia lalu tertawa
terbahak-bahak sambil berkata: "Rupanya kambing kacang semacam inilah yang
bermulut lebar mengembik-embik menantang macan dari lereng Ciremai."
"Selamat datang, Gembong Wungu.
Saya ucapkan terimakasih atas
kejantananmu datang ke tempat ini."


Jaka Sembung 4 Raja Rampok Dari Lereng Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha-ha... santri! Jangan kau kira kau dapat mempengaruhi anak
buahku dengan segala ajaranmu itu. Apa sebenarnya yang mendorongmu berani
berkaok-kaok dihadapanku" Apakah kau sudah bosan hidup" Sekarang
sebutkanlah namamu sebelum lehermu kubuntungi!"
"Namaku" Ah, tentunya kau sudah tahu, Gembong Wungu. Namaku Parmin.
Tapi orang-orang sering menyebutku dengan nama Jaka Sembung...!"
"Oh, rupanya beginilah rupa
pahlawan santri dari Gunung Sembung itu. He-he-he... namaku tentu akan
semakin termasyhur setelah melenyapkan kau dari muka bumi ini."
Tak terkatakan betapa marahnya
Parmin mendengar kata-kata Gembong Wungu. Pantaslah selama ini sangat banyak
korban yang menemui ajal di ujung golok jagoan bermata satu itu.
Rupanya Gembong Wungu adalah iblis berdarah dingin yang seolah-olah
mempunyai prinsip, makin banyak
membunuh adalah makin baik. Terutama jika yang dibunuh itu adalah pendekar yang
sudah kesohor. Kebiadaban seperti ini harus dihentikan, pikir Parmin geram.
"Dosamu sudah bertimbun-timbun, Gembong Wungu. Kau selalu mengancam ketenteraman
dan kedamaian di daerah ini. Kau memperbudak penduduk dan menjadikannya sebagai
sapi perahan. Nyawa manusia tak kau hargai sedikit pun juga. Kau betul-betul biadab, kau
menambah derita bangsa kita yang
sedang terjajah. Orang semacam kau seharusnya tak perlu dilahirkan ke dunia
ini!" "Aku tak butuh kotbahmu, monyet sembung!"
"Ingat, Gembong Wungu! Kezaliman pasti akan segera berakhir!"
"Tutup bacotmu, bedebah...!"
Gembong Wungu tiba-tiba mengayunkan tangan kirinya. Maka tampaklah
kilatan-kilatan cahaya menyambar ke
arah dada dan pusar Parmin. Dengan sikapnya yang sangat licik, pendekar bermata
satu itu menyerang Parmin dengan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil.
Untunglah pendekar yang dijuluki
Jaka Sembung itu selalu waspada.
Dengan gerakan yang sangat cepat, yang juga disertai teriakan nyaring, ia
meloncat menghindari senjata rahasia lawan.
Namun begitu ia menginjakkan
kakinya di tanah, sudah menyusul lagi serangan Gembong Wungu. Goloknya ia
ayunkan membabat ke arah kedua kaki Parmin. Terpaksa pendekar muda usia itu
meloncat lagi dan bergelantungan ke dahan pohon. Setelah itu ia
melompat jatuh ke belakang,
mempersiapkan diri menghadapi serangan Gembong Wungu selanjutnya. Ia mencabut
goloknya, lalu memasang kuda-kuda dari ilmu silat andalannya.
"Kau pasti mampus di tanganku, Jaka Sembung..." teriak lelaki bermata satu itu
geram. Ia kembali menyerang dengan ganas.
Diam-diam Parmin merasa terkejut juga menyaksikan betapa hebat dan dahsyatnya
serangan lawan. Jurus-jurus yang dikeluarkan gembong Wungu selalu mengandung
maut dan mempunyai perkembangan yang sulit diterka. Nyatalah sudah, jagoan
bermata satu itu
mempelajari ilmu silat kelas tinggi secara sesat. Tak ada jurusnya yang tidak
ganas dan penuh tipu daya,
sehingga kalau lawan lengah sedikit saja pastilah terjungkal atau tewas
seketika. Maka Parmin segera mengeluarkan
jurus-jurus yang sangat baik untuk bertahan. Gulungan sinar goloknya membentuk
benteng pertahanan yang sangat kokoh bagaikan tembok batu karang. Dan sekali-
kali sinar mata goloknya mencelat mengincar tubuh lawan dengan serangan yang
juga berbahaya. Pertempuran itu makin lama makin
seru dan menegangkan. Jurus demi jurus berlalu begitu cepat. Rumput-rumput
laksana tercabut dari akar-akarnya dan daun-daunan rontok berguguran terkena
sambaran tenaga dalam kedua jagoan yang sedang bertarung mengadu nyawa itu.
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh,
empat puluh jurus berlalu dengan
keadaan yang cukup berimbang. Serangan golok Gembong Wungu tampak lebih cepat
dan berbahaya, sebaliknya Parmin
memiliki kelincahan gerak yang sedikit lebih unggul dari lawan.
Memasuki jurus yang kelima
puluh, Gembong Wungu mengeluarkan jurus "Angin Beliung", yang merupakan puncak
dari ilmu pedang andalannya
"Dewa Banyu Nitis".
Begitu menghadapi jurus maut
itu, Parmin merasa sangat kewalahan.
Nafasnya hampir putus karena harus melakukan jungkir balik beberapa kali di
udara tanpa mendapat kesempatan menginjak tanah.
Ketika serangan Gembong Wungu
agak mengendur, Parmin meloncat jauh ke belakang, mengatur nafas
mempersiapkan jurus baru.
"Ha-ha-ha...! Cuma sampai di sinikah kepandaian pendekar yang
diagung-agungkan rakyat Gunung
Sembung" Kurasa si Subekti itu terlalu mengobral julukan," kata Gembong Wungu
mengejek. Parmin tidak memperdulikan
sindiran lawan. Ia mulai tenang
kembali. Setelah konsentrasi sejenak, ia mulai mempersiapkan jurus ampuh dari
ilmu silat "Gunung Sembung" yaitu jurus yang kesembilan puluh sembilan dengan
sebutan jurus "Wahyu Taqwa".
Guruku bilang jurus ini belum pernah dilumpuhkan oleh cabang persilatan mana pun
di tanah Pasundan ini, pikir Parmin.
Disertai teriakan mengguntur,
Parmin menyerang Gembong Wungu.
Tubuhnya melayang di udara, mempersiapkan serangan maut dari kedua
tangan dan kakinya. Melihat serangan itu, terkejut juga Gembong Wungu,
karena tak dapat dipungkiri lagi, serangan itu sangatlah berbahaya. ia
mengelakkan tendangan kaki Parmin, kemudian mengerahkan segenap tenaga dalamnya
menangkis sabetan senjata lawan.
"Trang....!" Kedua senjata itu beradu keras. Bunga-bunga api
bertebaran, karena kerasnya pertemuan kedua senjata itu. Kedua tubuh
pendekar itu sama-sama terdorong
mundur beberapa meter pertanda tenaga dalam mereka cukup berimbang.
Dan apa yang telah terjadi
benar-benar mengejutkan kedua pendekar itu. Golok di tangan Parmin terpental
jauh, sedangkan golok Gembong Wungu patah pada bagian ujungnya.
Hal itu membuat raja rampok itu
sangat geram. Dengan raungan bagai harimau lapar, ia menyerang Jaka
Sembung dengan golok buntungnya.
"Kau akan segera mampus, monyet sialan...!" bentaknya.
Tetapi tiba-tiba pedang di
tangannya terhenti di tengah jalan dan ia berteriak kaget ketika seekor
monyet menerkam lengannya. Dengan perasaan semakin geram, Gembong Wungu
menyabetkan senjatanya dan hewan kecil itu memekik. Tubuhnya melambung ke udara
dalam keadaan terbelah dua.
Rupanya kejadian itu membuat
monyet-monyet lainnya menjadi marah.
Bagaikan hujan yang turun dari langit, berpuluh-puluh bahkan mungkin ratusan
jumlahnya, monyet-monyet berloncatan dari pepohonan menyerbu Gembong Wungu, dari
segala penjuru.
Dalam beberapa gebrakan, pen-
dekar bermata satu itu memang bisa membunuh beberapa bahkan puluhan
monyet yang menyerangnya. Namun karena hewan itu sangat banyak, ia akhirnya
kewalahan juga. Bahkan tak lama
kemudian, ia benar-benar tak berdaya.
Monyet-monyet itu menggigiti sekujur tubuhnya, bagaikan semut menggerogoti
bangkai tikus. "Aduh... tolong.... tolong...!"
teriak Gembong Wungu kesakitan.
Tubuhnya menggelepar-gelepar dan
bergulingan ke sana kemari dengan tubuh penuh bekas gigitan dan cakaran monyet.
Karena sangat panik dan kesakitan, Gembong Wungu kemudian berlari-lari tak tentu
arah karena matanya yang tinggal satu itu juga sudah luka
dicakar monyet. Ia terus berlari
sambil melolong-lolong menjauhi tempat itu.
... Monyet-monyet itu menggigiti sekujur tubuhnya, bagaikan semut menggerogoti
bangkai tikus. "Aduh... tolong... tolong...!"
teriak Gembong Wungu kesakitan.
Tubuhnya menggelepar-gelepar dan bergulingan ke sana kemari dengan tubuh penuh
bekas gigitan dan cakaran monyet.
Nasib naas rupanya telah tiba
bagi jagoan sakti itu. Ia justru
berlari ke arah jurang yang sangat dalam yang dasarnya penuh batu cadas runcing.
Sambil menjerit panjang, tubuh Gembong Wungu terhempas dan melayang-layang ke
dalam jurang, bersama monyet-monyet yang mengeru-butinya.
Sambil menghela nafas dalam-
dalam, Parmin melangkah perlahan ke pinggir jurang. Ia mencoba melihat ke dasar
jurang. Tetapi dia tidak bisa melihat apa-apa, karena dasar jurang itu gelap.
Tidak terdengar lagi suara jeritan Gembong Wungu. Tak terlihat lagi sepak
terjangnya yang sangat ganas.
"Parmin..." tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya. Manakala Parmin
menoleh ke belakang, tampaklah olehnya Ranti berdiri sambil
menatapnya dengan airmata berlinang-linang.
"Parmin, terimakasih..." ujar gadis itu lirih.
"Bukan aku yang membunuhnya, nona Ranti. Dia terlalu hebat untuk kukalahkan. Aku
hampir saja tewas di tangannya. Tuhanlah yang menghendaki kematiannya. Sayang,
selama ini ia mempergunakan kehebatannya untuk
memerangi bangsa sendiri. Dia menutup mata dari kenyataan bahwa bangsanya
sangat menderita karena penjajah,"
kata Parmin sedih.
Ranti tidak menyahut. Air
matanya makin deras membasahi
wajahnya. "Nona Ranti," kata Parmin lagi,
"Semuanya telah berlalu. Bimbinglah sisa anak buah Gembong Wungu ke jalan yang
benar. Tanamkan ke dalam jiwa mereka tentang kesadaran bertanah air.
Engkaulah pemimpin mereka di desa ini.
Dan kau boleh minta nasehat kepada Pak Tani tua jika hendak memutuskan
sesuatu." "Kurasa aku tak mampu. Kaulah yang lebih pantas memegang kedudukan itu. Kau
merupakan malaikat penolong bagi desa ini, bahkan di seluruh
lereng Ciremai ini."
"Perjalananku masih jauh, Ranti.
Aku harus menghubungi pendekar di seluruh daerah selatan ini.
Berjanjilah, Ranti. Kita saling bahu-membahu mengusir penjajah dari bumi
nusantara ini. Aku segera melanjutkan perjalanan setelah Pak Tani itu sembuh
dari lukanya."
Malam itu terang bulan. Angin
bertiup lembut mengusap bumi persada.
Bintang-bintang bertaburan bagaikan zamrud mutu manikan. Bertebaran di atas
permadani biru lazuardi. Semua itu melambangkan perdamaian di desa Perbutulan.
Dan nun di sana, sayup-
sayup terdengar alunan seruling dengan nada rindu.
Suara merdu seruling itu
terhenti ketika Ranti muncul di
hadapan Parmin si Jaka Sembung.
"Jadikah kau berangkat besok?"
tanya gadis itu.
"Ya, nona Ranti."
"Aku kesepian tanpa kau. Aku ingin ikut bersamamu ke mana pun kau pergi. Aku ...
aku mencintaimu,
Parmin..."
"Nona Ranti, semua orang tentu tertarik padamu karena engkau sangat cantik.
Tetapi aku tak boleh ingkar janji. Aku telah berjanji dengan
seorang gadis yang setiap saat
kurindukan. Seorang lelaki tak boleh mengingkari janjinya, Ranti. Kudoakan
semoga engkau memperoleh jodoh yang lebih berarti dariku kelak."
Esok harinya, Jaka Sembung
meninggalkan desa Perbutulan, diantar-kan Ranti dan Petani Tua itu. Ia terus
menuju selatan. Di sana puncak Gunung Ciremai menjulang megah, seakan-akan
menantang minta ditaklukkan.
Sedang pada wajah yang diting-
galkan terlukis perasaan berlainan.
Petani Tua itu terharu, sedang pipi Ranti basah oleh airmata menyaksikan
keberangkatan pendekar yang dikagumi-nya, Pendekar Jaka Sembung, yang di
pundaknya kini terletak tugas yang
sangat penting, demi tanah air
tercinta. Bagaimanakah nasib Ranti, gadis
pendekar anak angkat Gembong Wungu setelah kepala rampok dari lereng utara
Gunung Ciremai itu tewas di tangan Jaka Sembung"
Apa yang ia lakukan dengan
dendam cinta tak terbalas" Tak mungkin ia menyerah begitu saja, karena sifat
manja dan keras kepala akibat salah-asuh akan mendorongnya untuk berbuat sesuatu
diluar dugaan. Tunggulah episode yang berjudul:
"AIR MATA KASIH TERTUMPAH
DI KANDANG HAUR"
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Cinta Bernoda Darah 3 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bara Naga 3
^