Pencarian

Ratu Kembang Mayat 3

Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Bagian 3


Benar-benar bodoh diriku ini. seperti apa kata Guru Li itu!" Melihat raut wajah
dibungkus kecewa, Sendang Suci segera berkata kepada pendekar yang masih
kelihatan tampan dan menawan itu,
"Apakah hubunganmu dengan Kembang Mayat
sudah telanjur jauh?"
"Hmmm... yah, sejauh perjalanan kami menuju
pesanggrahannya saja, Bi! Tak ada yang kami perbuat
lebih jauh dari itu. Ketika aku tiba di pesanggrahannya, keadaan di sana sudah
habis terbakar dan Kem-
bang Mayat mengejar Topeng Merah, karena Topeng
Merah-lah yang membantai habis murid-murid Pe-
sanggrahan Belalang Liar itu, serta yang membakar
tempat tersebut Lalu aku mengejarnya untuk mence-
gah pertarungan antara Kembang Mayat dengan To-
peng Merah...."
"Mengapa kau ingin mencegahnya?"
"Karena dalam pikiranku, kalau Kembang
Mayat mati, aku akan kehilangan sumber bunga Tera-
tai Hitam yang ada dalam jarak dekat. Tapi jika Topeng Merah mati, aku pun
menyayangkannya."
"Mengapa kau menyayangkan kematian Topeng
Merah" Apakah dia temanmu atau...."
"Setahuku dia selalu membelaku jika aku se-
dang berselisih dengan siapa saja! Aku tak tahu apa
alasan pembelaan itu, dan aku juga belum tahu siapa
dia sebenarnya, Bi! Menurutku, dia bersikap baik pa-
daku, karena itu aku juga harus membalas sikap
baiknya. Dia pernah membelaku dalam sebuah perta-
rungan dan aku harus membelanya dalam sebuah per-
tarungan juga! Kira-kira begitulah jalan pikiran ku!"
"Tapi... bukankah kau tadi bilang bahwa yang
memotong tanganmu itu adalah si Topeng Merah?"
"Benar! Tapi sejujurnya kukatakan padamu,
Bi... bahwa naluri ku mengatakan hal itu dilakukan
oleh Topeng Merah di luar kesengajaan! Aku sempat
melihat kilatan cahaya matanya yang menandakan pe-
nyesalan melihat tangan kiriku terpotong oleh pedang-
nya!" Wajah Sendang Suci menampakkan rasa ha-
runya, lalu berkata dengan nada pelan namun jelas
terdengar dl pendengaran Yoga,
"Rasa-rasanya, kau layak membalas memotong
tangan kiri Topeng Merah!"
"Mengapa begitu?"
"Supaya ia tidak hidup dalam penyesalan yang
panjang!" "Topeng Merah belum tentu sejalan dengan pe-
rasaanmu, Bi! Dan aku mencoba melupakan peristiwa
itu! Sekarang yang ku pikirkan adalah mengobati lu-
kaku ini, Bi! Luka ini agaknya beracun dan memba-
hayakan keselamatanku. Setidaknya begitulah pertim-
bangan beberapa temanku, termasuk si Tua Usil itu!
Jadi aku ke sini untuk minta bantuanmu, menangkal
racun yang ada dalam lukaku!"
"Pedang si Topeng Merah beracun menurut-
mu?" "Kurasa memang begitu! Tidakkah kau bisa menyembuhkan dan menawarkan racun
tersebut?"
Sendang Suci memandangi luka itu dengan hati
bagai tersayat-sayat. Ia ingin menangis namun dita-
hannya kuat-kuat. Ia menarik nafas dan berkata,
"Ya, aku bisa! Sebentar... ku carikan obat un-
tukmu!" "Benarkah racun itu bisa merenggut nyawaku,
Bi?" "Benar. Racun itu akan membuat sekujur tubuhmu menjadi busuk!"
"Dalam berapa waktu?"
"Seharusnya dalam satu hari sekujur tubuhmu
sudah membusuk. Tapi agaknya kau punya tabib sen-
diri sehingga bisa memperlambat gerakan keganasan
racun tersebut. Racun itu namanya Racun Pusar Ko-
bra. Jarang dimiliki orang, dan jarang ada yang bisa
menangkalnya secara keseluruhan!"
"Apakah kau bisa menangkal secara keseluru-
han?" "Akan ku coba!" jawab Sendang Suci dengan suaranya yang pelan.
Sempat pula didengar oleh Pendekar Rajawali
Merah suara Sendang Suci yang berkata dari ruang
rempah-rempah, "Lain kali kau ke sini jangan membawa Panca-
sona!" "Kenapa, Bi"!" pertanyaan itu tak dijawab. Yoga bergegas mendekat ke
ruang rempah-rempah yang terbuka tabirnya itu, bahkan masuk ke ruang tersebut
dan bertanya ulang,
"Kenapa tak boleh membawa si Tua Usil, Bi?"
"Aku muak padanya!" jawab Sendang Suci
sambil berpaling ke belakang, dan wajahnya hampir
berbenturan dengan wajah Pendekar Rajawali Merah
yang tampan dan mengagumkan itu. Hati Sendang Su-
ci berdebar-debar. Matanya jadi tertancap lekat di ma-ta Yoga. Bibirnya
bergetar-getar saat berucap kata,
"Mengapa kau masuk kemari?"
"Maaf kalau ini kamar larangan! Maksudku
hanya mau menanyakan hal itu tadi, Bi!"
Tapi mata Sendang Suci masih tetap lekat me-
mandangi mata Yoga. Pandangan itu diterima aneh
oleh Yoga, dan Yoga pun berkata,
"Maaf, aku akan segera keluar, Bi!" Yoga pun segera beranjak meninggalkan tempat
itu, tetapi jari-jari tangan Sendang Suci menahan bahu Yoga, sehing-
ga Pendekar Rajawali Merah itu kembali memandang-
nya lagi. "Kalau kau suka menungguku meracik obat di
sini, tetaplah di sini! Aku tak akan mengusirmu, walau kamar ini tak pernah
dimasuki oleh pria lain kecuali
kamu, Yo!"
"Hmmm... eh... tapi...." Yoga menjadi menggeragap dan salah tingkah ketika
Sendang Suci semakin
dekat dengannya, semakin terasa hangatnya hembu-
san nafas perempuan cantik yang usianya sudah cu-
kup banyak itu. Sekalipun usianya sudah cukup ba-
nyak, dan layak menjadi bibinya Yoga, namun Sen-
dang Suci masih kelihatan muda, segar, dan kecanti-
kannya masih memancarkan daya pikat tersendiri.
Tiba-tiba mereka mendengar suara percakapan
antara Pancasona, si Tua Usil itu, dengan seseorang.
Lalu terdengar pula suara orang memanggilnya dari
luar rumah, "Tabib Perawan...! Keluarlah sebentar, aku in-
gin bicara padamu!"
Sendang Suci yang berada di dalam ruang rem-
pah-rempah itu terkejut, ia segera menarik wajahnya
yang tinggal dua jari lagi mendekati wajah Yoga Ha-
tinya kecewa sekali, tapi ia harus telan kekecewaan
itu, karena ia kenal betul suara orang yang memang-
gilnya tersebut.
"Tabib Perawan...! Sendang Suci...!"
"Tetaplah di sini. Jangan keluar!"
"Suara siapa itu?"
"Jalak Hutan!" dan Sendang Suci bergegas keluar. Ia menemui Jalak Hutan dengan
hati dongkol. "Mau apa kau kemari lagi, hah"!" geram Sen-
dang Suci dalam hardikan. Tetapi hardikan itu segera
sedikit tertahan begitu ia melihat kehadiran Jalak Hutan tidak sendirian,
melainkan bersama seorang gadis
cantik yang tak lain adalah Mutiara Naga.
"Sendang Suci, aku datang untuk satu keper-
luan berkenaan dengan keponakanku ini!"
"Tentang apa?"
"Hmmm...!" Jalak Hutan melirik si Tua Usil duduk di bawah pohon depan rumah.
Jalak Hutan mera-
sa tak enak bicara di situ karena akan didengar si Tua Usil. "Bisa aku bicara di
dalam rumah saja" Aku tak suka ada dia di situ!" seraya Jalak Hutan memandang
Tua Usil. Terdengar Tua Usil menyahut, "Aku akan men-
jauh kalau keberadaanku di sini mengganggu kalian!"
sambil berkata begitu, Tua Usil berdiri dan menatap
tak ramah pada Jalak Hutan, lalu melangkah pergi
menjauhi mereka.
"Katakan di sini saja keperluan kalian apa?" desak Sendang Suci.
Tapi Mutiara Naga menukasnya dengan perta-
nyaan, "Apa yang dikerjakan orang tua itu di sini, Bi?"
"Apakah tadi kalian belum bertegur sapa?"
"Memang sudah! Tapi kami hanya bicara ten-
tang keusilan dia! Paman Jalak Hutan mengancam
akan membunuhnya jika ia berani usil dengan ilmu
kabutnya itu!"
"Katakan, apa keperluan Pancasona ada di si-
ni?" desak Jalak Hutan, dan Sendang Suci hanya menjawab, "Biasa. Minta obat! Aku
tidak kasih, tapi dia tidak akan pergi sebelum aku memberi obat yang dimin-
tanya itu!"
Jalak Hutan menggumam sambil memandang
sinis ke arah Tua Usil yang ada jauh di pojokan sana,
"Pasti obat kuat yang dimintanya!"
"Jangan hiraukan tentang dia. Katakan saja
apa keperluan kalian datang kemari"!"
"Hmmm... begini, Sendang Suci.... Aku membu-
tuhkan dirimu untuk menolong keponakanku!"
"Dalam hal apa?"
"Satu jurus saja, tolong ajarkan kepadanya!"
kata Jalak Hutan yang membuat dahi Sendang Suci
berkerut heran.
"Jurus apa?"
"Jurus 'Kamasuta'!"
"Gila!" sentak Sendang Suci yang terperanjat kaget. "Jurus 'Kamasuta' tidak
boleh dipermainkan dan tak boleh digunakan sembarangan, Jalak Hutan!
Kau tahu jurus itu akan membuat seorang lawan jenis
menjadi tergila-gila dan berhasrat tinggi! Jika hasratnya tidak terpenuhi dia
bisa mati bunuh diri!"
"Kurasa keponakanku ini bisa mengatasi orang
yang akan diserangnya dengan jurus 'Kamasuta' itu,
Sendang Suci. Dia sangat mencintai orang tersebut
dan siap memberikan kehangatan kapan saja orang itu
menginginkannya!"
"Aku tidak berani memberikan jurus itu! Bah-
kan keponakanku sendiri tak kuajarkan jurus
'Kamasuta'! Itu sangat berbahaya!"
"Sendang Suci, cukup lama kita bersahabat,
cukup lama aku menunggu hatimu luluh, sampai ak-
hirnya sepanjang hidupku hanya menemui kekece-
waan dan kekecewaan lagi. Apakah sekarang pun akan
begitu?" Jalak Hutan memelas.
"Bibi Sendang Suci, tolonglah aku! Aku sudah
terjerat ke dalam khayalan jiwaku sendiri, Bi! Aku tergila-gila dengan pemuda
itu! Tak banyak yang ku mo-
hon darimu kecuali jurus 'Kamasuta', Bi!"
Jalak Hutan berkata lagi, "Sendang Suci, aku
berjanji tidak akan mengganggu hidupmu lagi dengan
pengejaran cintaku jika kau mau ajarkan jurus
'Kamasuta' kepada keponakanku ini! Aku hanya ingin
menjalin persaudaraan atau persahabatan yang baik
denganmu, Sendang Suci. Jadi ku mohon, tolong ban-
tu keponakanku ini. Kasihan dia!"
Sendang Suci diam beberapa saat. Ia memang
merasa sudah muak jika diganggu oleh pengejaran cin-
ta Jalak Hutan yang tiada mengenal lelah, tiada men-
genal malu dan tiada mengenal patah semangat itu.
Rasa-rasanya hidupnya akan lebih tenang dan tidak
terganjal oleh kekonyolan cinta Jalak Hutan yang dari dulu mengejar-ngejarnya
itu, jika ia mau turuti permohonan Jalak Hutan dan Mutiara Naga. Tetapi apa
yang dimintanya itu sungguh berat buat Sendang Suci.
Ia tahu persis tentang bahayanya orang yang terkena
jurus 'Kamasuta'; jika gagal terpenuhi hasratnya selain bisa bunuh diri juga
andai orang itu bertahan, maka
orang itu akan menjadi gila. Gilanya adalah gila yang amat memalukan, sehingga
ia berani lakukan perbuatan tak senonoh bersama binatang atau apa pun yang
akan dilakukan di depan orang banyak.
"Jalak Hutan," kata Sendang Suci setelah
mempertimbangkan langkah dan keputusannya, "Jika kau mendesak ku untuk
memberikan jurus
'Kamasuta', aku tak sanggup! Tapi kalau hanya mem-
buat seseorang agar mencintai Mutiara Naga, barang-
kali ada cara lain yang bisa ditempuh!"
"Cara apa?"
"Jurus 'Darah Kasih Dewa'!" jawab Sendang
Suci. Mutiara Naga bersemangat dan bertanya, "Maksud mu bagaimana, Bi?"
"Sebuah pukulan halus yang tak terasa menge-
nai lawan, dan membuat lawan menjadi kasmaran, se-
lalu merindukan kita, dia amat sayang kepada kita dan punya kesetiaan tinggi!"
"Kalau begitu, aku mau mendapatkan jurus itu,
Paman!" kata Mutiara Naga kepada pamannya. Ia tampak girang sekali mendengar hal
itu. Jalak Hutan pun berkata, "Kurasa itu juga bo-
leh, Sendang Suci!"
"Tapi, kalau boleh aku ingin tahu, siapa pria
yang kau tuju itu Mutiara Naga?"
Mutiara Naga ragu untuk menjawab, karena ia
tahu beberapa waktu lalu Pendekar Rajawali Merah
berbicara dengan akrabnya bersama Sendang Suci. Ia
juga tahu bahwa Mahligai, keponakan Sendang Suci,
menaruh hati kepada Yoga, si Pendekar Rajawali Me-
rah itu. Mungkinkah Sendang Suci mau memberikan
jurus itu jika yang diincar Mutiara Naga adalah pendekar tampan itu"
Mutiara Naga pun hanya bisa memandang pa-
mannya, dan Jalak Hutan rupanya juga mempunyai
kesangsian yang sama, sehingga ia tidak bisa menen-
tukan jawaban yang pasti. Sebab Jalak Hutan pun ta-
hu bahwa Sendang Suci bersahabat akrab dan baik
dengan Yoga. "Mengapa kalian diam semua" Mengapa tak
kau jawab pertanyaanku, Mutiara Naga?" "Hmmm...
ehh... aku... aku malu, Bi!" "Katakan saja, aku ingin tahu siapa orangnya!"
"Dia... dia seorang pendekar tampan!" hanya itu jawaban Mutiara Naga, selebihnya
ia tak bisa memberi jawaban yang pasti.
Tetapi Sendang Suci bukan orang bodoh. Den-


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan hanya menyebutkan 'seorang pendekar yang tam-
pan' itu saja ia sudah bisa tahu bahwa Yoga-lah orang yang dimaksud Mutiara
Naga. Karena itu, hati Sendang Suci mulai cemas setelah tadi mengalami senta-
kan mengejutkan. Siapa lagi pendekar tampan yang
sedang menjadi bahan incaran banyak wanita jika bu-
kan Pendekar Rajawali Merah itu"
Akhirnya Sendang Suci memberikan cairan da-
lam guci kecil berwarna hitam. Ia serahkan guci hitam itu kepada Mutiara Naga
sambil berkata,
"Minumlah habis cairan di dalam guci ini. Ia
akan bercampur dengan darahmu, nafasmu, dan selu-
ruh kekuatanmu. Jika kau lepaskan pukulan dari da-
lam pusar yang mengalir lewat kelingking, maka akan
terlepaslah kekuatan dahsyat yang bernama 'Darah
Kasih Dewa'! Arahkan pada bagian dadanya, persis di
tengahnya. Pukulanmu yang keluar lewat kelingking
itu tidak akan bersinar, tidak akan terasa sakit sedikit pun pada orang
tersebut! Beberapa kejap berikutnya,
dia akan mengalami perubahan dalam hatinya, otak-
nya, dan jiwanya. Dia akan takluk padamu dan tum-
buh rasa cinta serta ingin menyayangi mu!"
Mutiara Naga menyunggingkan senyum kegi-
rangannya. Ia mengucap kata terima kasih berulang-
ulang kepada Sendang Suci. Tabib Perawan itu berpe-
san, "Tapi jangan sekali-kali kau mempermainkan cintanya! Kalau dia sudah
kecewa, kau bisa diburunya
dan dicincang habis olehnya!"
"Tidak, Bi! Tidak! Aku tidak akan mengecewa-
kan dia sedikit pun, karena aku amat mencintai dia!"
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Sen-
dang Suci," ucap Jalak Hutan dengan rasa bangga pu-
la. Setelah mereka berdua pergi, Sendang Suci se-
gera kembali ke ruang rempah-rempah. Ternyata Yoga
sudah keluar dari ruangan itu dan dalam keadaan se-
dang mengusap-usap rambut Mahligai dengan hati
trenyuh memandangi nasib gadis yang pertama kali
dikenalnya itu.
Melihat Sendang Suci telah kembali masuk ke
dalam rumah dan mau menuju ke ruang rempah-
rempah, Yoga segera menyapanya,
"Sudah pulang, Bi?"
"Ya. Mereka sudah pulang!"
"Aku mendengar semua percakapan mu tadi,
Bi!" Sendang Suci menatap merasa tak bisa membantah. Kemudian ia hanya bertanya,
"Jika kau mendengarnya, lantas apa tangga-
panmu tentang Mutiara Naga itu, Yo?"
"Agaknya dia memang mencintai ku!"
"Kau ingin membalasnya?"
"Tidak! Tapi mengapa Bibi berikan ramuan
'Darah Kasih Dewa' itu kepada Mutiara Naga, Bi" Apa-
kah itu tidak membahayakan diriku?"
"Yang kuberikan adalah racun yang memati-
kan! Aku telah menipunya!"
"Racun..."!" yoga tersentak kaget.
* * * 8 SENDANG Suci menyarankan agar Yoga berma-
lam di pondoknya supaya pengobatan yang habis dila-
kukan itu dapat segera menyerap ke dalam darah. Jika
digunakan untuk perjalanan pulang, maka obat itu ti-
dak akan cepat menyerap ke dalam darah yang digu-
nakan untuk bergerak Anjuran itu memang beralasan,
tetapi jelas keberadaan Yoga di rumah Tabib Perawan
akan menimbulkan kecemburuan bagi Lili.
Maka Pendekar Rajawali Merah itu segera men-
gutus si Tua Usil untuk segera pulang dan memberita-
hukan hal itu kepada Lili. Katanya kepada si Tua Usil,
"Kalau Guru Li marah-marah di sana, suruh
dia datang ke sini dan ikut bermalam di sini!"
"Baik, akan kusampaikan pesanmu ini, Tuan
Yo! Tapi kalau Nona Lili masih berkeras hati tidak mau mengajari ku untuk bisa
berdiri di atas ilalang, aku tidak mau mengantarnya kemari!"
"Lakukan apa yang terbaik menurutmu, Tua
Usil!" Tua Usil pergi meninggalkan Lembah Bukit Berhala. Semangatnya cukup
menyala-nyala, karena ia
punya senjata untuk memaksa Lili agar mau mengaja-
rinya berdiri di atas ilalang, senjata tersebut ialah ala-mat tempat tinggal
Tabib Perawan, yang dulu sering
digerayanginya jika ia sedang berubah menjadi manu-
sia kabut. Tapi sejak Tabib Perawan itu memasang ke-
kuatan tenaga dalam dan melapisi kulit tubuhnya
dengan hawa panas, Pancasona tak pernah lagi ber-
buat usil kepada tabib yang benar-benar masih, pera-
wan itu. Matahari hampir tenggelam di dasar bumi. Tua
Usil berlari cepat agar segera tiba di rumahnya sebelum petang menjelang. Tetapi
di perjalanan langkah-
nya terhenti karena berpapasan dengan Nyali Kutu
yang juga berlari dalam ketakutan.
Ketika Nyali Kutu melihat Pancasona yang su-
dah dikenalnya sebagai Manusia Kabut itu, Nyali Kutu
punya sedikit kelegaan. Ia segera menemui Pancasona
dengan nafas terengah-engah.
"Ki Pancasona... tolong aku, Ki!"
"Apakah kau dikejar mayat hidup?"
"Tidak! Bukan karena itu, Ki! Oh, tolong sem-
bunyikan aku! Sembunyikanlah aku, Ki Pancasona!"
Orang tua berambut agak panjang dan putih
itu terkekeh sendiri.
"Kau ini seperti perawan saja, minta disembu-
nyikan segala! Apa kau tak bisa bersembunyi sendiri"!"
"Mak... maksudku, aku tidak punya tempat
yang aman untuk bersembunyi, Ki Pancasona! Jadi,
tolong carikan tempat untukku, Ki! Oh, celaka sekali!
Aku bisa mati jika tidak bersembunyi, Ki!"
"Apakah kalau kau bersembunyi, lantas umur-
mu bisa panjang, bisa mencapai ribuan tahun"!"
"Aduh, Ki...! Bodoh amat kau ini!" Nyali Kutu jadi jengkel sendiri dengan si
Manusia Kabut itu. "Aku dalam bahaya besar, Ki! Aku dalam ancaman kematian
yang sangat luar biasa berbahayanya!"
"Ah, dasar kau manusia tanpa nyali sedikit
pun, Nyali Kutu! Bahaya kecil juga kau katakan besar!
Tempo hari kau minta tolong padaku karena mengha-
dapi bahaya besar, tak tahunya kau hanya dikejar-
kejar babi hutan!"
"Kali ini bukan babi yang mengejarku, Ki!
Sungguh! Aku tidak mengada-ada! Tolonglah aku!"
"Siapa yang mengejarmu kali ini" Ayam hu-
tan"!" "Bukan!"
"Lantas siapa?"
"Malaikat Gelang Emas!"
"Hahh..."!" Pancasona terkejut, matanya mendelik, wajahnya ikut-ikutan menjadi
tegang. "Sumpah, Ki! Sumpah sejuta kali aku juga be-
rani! Aku dalam ancaman maut Malaikat Gelang Emas,
Ki! Tolonglah aku!"
"Persoalan apa sampai kau dikejar-kejar oleh
Malaikat Gelang Emas" Kau bukan tokoh sakti yang
setanding dengannya!"
Lalu, Nyali Kutu pun menceritakan tentang tu-
gasnya sebagai penjaga makam karena si Mata Neraka
pergi. Diceritakan pula tentang kekuatan ajaib pada
makam tersebut, sampai lompatnya Topeng Merah
yang dikejar-kejar oleh Kembang Mayat, dan berte-
munya Pendekar Rajawali Merah dengan dirinya.
"Jadi, Pendekar Rajawali Merah juga mengejar
mereka berdua?"
"Aku yakin memang begitu, Ki. Sebab, dia me-
nemuiku dan menanyakan ke mana arah larinya Kem-
bang Mayat dan manusia bertopeng merah itu. Aku
menunjukkan dan dia berlari mengejar mereka lagi!"
Tertegun si Tua Usil sambil mengusap-usap
kumis putihnya yang tipis itu. Lalu, dalam hatinya ia membatin, "Kalau begitu.
Pendekar Rajawali Merah pasti tahu dl mana Kembang Mayat! Setidaknya dia
pasti melihat persis bagaimana nasib pertarungan an-
tara Kembang Mayat dan Topeng Merah. Berarti benar-
lah apa yang kuduga sejak tadi; pasti salah satu dari mereka yang membuat tangan
Yoga putus; Kembang
Mayat atau Topeng Merah"! Ini bisa kujadikan senjata
buat Nona Lili agar gadis cantik itu mau mengajari ku berdiri di atas ilalang!"
Angin berhembus agak cepat. Rambut mereka
menyingkap dan tergerai-gerai disapu angin. Makin
lama makin cepat, semakin besar hembusannya. De-
daunan pun mulai runtuh di sana-sini. Angin besar itu membuat Nyali Kutu menjadi
semakin cemas, karena
biasanya kedatangan Malaikat Gelang Emas sering di
dului dengan angin berhawa panas. Walau angin yang
berhembus kala itu adalah berhawa biasa-biasa saja,
tapi hati Nyali Kutu menjadi lebih ketakutan dari sebelumnya. Tetap saja ia
memendam kecemasan dan keti-
daksabaran. "Ki Pancasona, ayolah... tolong aku! Aku tak
tahu harus bersembunyi di mana dari amukan Malai-
kat Gelang Emas itu!"
"Baiklah, kau bersembunyi di rumahku saja!"
"Baik, aku mau! Aku mau sekali, Ki! Tapi... aku tidak tahu di mana kau tinggal,
Ki!" "Jalanlah lurus menuju ke dua batang pohon
kelapa kuning yang kelihatan dari sini! Di seberangnya ada hutan, carilah hutan
yang pepohonannya tidak
terlalu rapat. Di tengah sana ada rumah kayu beratap
sirap. Itulah tempat tinggalku!"
"Kau sendiri mau ke mana, Ki?"
"Aku ya mau pulang!"
"Kalau begitu, kita bersama-sama saja ke sa-
nanya!" "Tidak bisa! Aku tidak mau bersama-sama kau! Sebab aku tidak mau
terlibat dalam urusanmu
itu! Kalau aku bersamamu dan menyembunyikan ka-
mu secara terang-terangan, maka jika Malaikat Gelang
Emas memergoki kita, aku bisa kena getahnya, Nyali
Kutu!" "Yaah... kena-kena sedikit tak apalah, Ki!"
"O, tidak bisa! Aku tidak mau terkena getah apa
pun kecuali getah dari perbuatanku sendiri!"
"Baiklah, kalau begitu aku jalan dulu, dan kau
menyusul di belakangku. Jika kau tiba di rumah aku
belum ada, berani aku tersesat di perjalanan dan
mungkin tak akan sampai di pondokmu!"
"Atau mungkin juga kau dibunuh Malaikat Ge-
lang Emas!" tambah Pancasona lagi. Nyali Kutu menjadi bersungut-sungut karena
takut. "Hei, mengapa kau tidak pulang ke Tanah Ge-
rong saja?" Pancasona memberikan gagasan baru sebelum Nyali Kutu berangkat.
"Tidak. Aku tidak mau ke sana, sebab Malaikat
Gelang Emas pasti akan menyangka aku pulang ke
sana! Dia pasti mencariku di sana!"
"Hmmm...!" Tua Usil manggut-manggut. "Bagus juga pemikiran mu! Sudah,
berangkatlah sana agar tidak terjebak gelap di perjalanan!"
Maka, Nyali Kutu pun segera pergi sesuai arah
yang ditunjukkan oleh si Tua Usil. Sementara itu, si Tua Usil terkekeh-kekeh
sendiri dan berkata dengan
pelan, "Dasar bocah goblok! Bukan nyalinya saja yang sebesar kutu, tapi otaknya
juga sebesar kutu! Apakah
dia tidak tahu kalau hutan di seberang dua kelapa
kuning itu adalah sarang ular" He, he, he, he...! Kura-sa esok pagi aku akan
menemukan mayatnya mati di-
gigit ular, atau mungkin dimakan ular besar separo
bagian?" Tua Usil berjalan lagi dengan senyum keme-
nangan. Ia juga berkata dalam hatinya, "Biar mampus itu anak! Dulu ketika dia
menjadi pelayannya Panglima Makar, dia semena-mena padaku! Sekaranglah saat-nya
menghajar sikapnya biar tidak semena-mena lagi
kepada orang lain!"
Tua Usil tahu persis bahwa Nyali Kutu sangat
berharap bisa mendapat tempat bersembunyi yang
sangat aman. Harapan itu memang ada di dalam hati
Nyali Kutu, karenanya ia berlari cepat sebatas kecepatan gerakannya yang tidak
bisa melebihi kecepatan lari seekor kuda. Sambil berlari, sebentar-sebentar ia
men- cari tanda dua batang pohon kelapa kuning itu.
Karena matanya memperhatikan tanda terse-
but, akhirnya Nyali Kutu tersungkur jatuh di tempat
yang berbau busuk. Kakinya telah menyandung sesua-
tu dan membuatnya jatuh tersungkur. Sesuatu yang di
sandungnya itu tiba-tiba dilihatnya dan ia pun menje-
rit ketakutan, "Waooow...! Mayaaat...!" teriaknya sambil lari dengan panik dan kakinya terbelit
akar, maka untuk
kedua kalinya Nyali Kutu jatuh tersungkur dengan wa-
jah hampir membentur batu besar. Bruuussk...!
"Uuhhgg...!" Ia menyeringai kesakitan. Tapi ingat mayat yang tadi tersambar
kakinya, ia pun segera
bangkit ketakutan. Ia pandangi sebentar mayat itu
dengan mata menyipit ngeri, dan tiba-tiba mata itu
menjadi terbuka lebar dan terbelalak.
"Ya ampun...! Bukankah itu mayat... mayat si
Mata Neraka"! Oh, ja... jadi dia sudah meninggal"
Iiih... mengerikan sekali keadaan jenazahnya! Hancur
lebur begitu dan membusuk! Pasti sudah beberapa ha-
ri dia tergeletak di situ!"
Nyali Kutu tak sanggup memperhatikan lebih
lama lagi. Ia pun kembali melarikan diri ke arah dua
pohon kelapa kuning itu. Namun ketika ia berbalik
arah untuk melanjutkan pelariannya, tiba-tiba ia
membentur pohon dan tersentak jatuh ke belakang.
Anehnya ia tak merasakan sakit sama sekali ketika
wajah dan bagian tubuh depannya membentur pohon
tadi. Maka mendongaklah wajah Nyali Kutu untuk
memperhatikan pohon tersebut.


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahh..."!" Nyali Kutu terpekik dengan wajah langsung pucat pasi. Yang
dibenturnya tadi ternyata
bukan pohon, melainkan tubuh orang besar yang ber-
kumis lebat melengkung sampai di dagunya. Orang itu
tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Gemetar sekujur tubuh Nyali Kutu melihat pe-
rawakan besar Malaikat Gelang Emas berdiri di de-
pannya. Jantungnya belum-belum sudah merasa sulit
dipakai untuk bernapas. Sesak sekali dadanya saat
itu. "Bangun....!" geram Malaikat Gelang Emas dengan mata tajam memandang,
menampakkan kemur-
kaan nya. "Kenapa kau pergi dari makam kakekku, hah"!
Apa kau tak mendengar perintahku waktu itu"!"
"Hmmm... anu... saya... saya takut sendirian di
kuburan itu, Tuan! Saya... tak berani menunggunya
sendirian! Maksud... maksud saya, mau panggil seo-
rang teman buat menemani saya untuk menghilang-
kan rasa takut dl kuburan itu, Tuan!"
"Kau telah melanggar perintahku, Nyali Kutu!
Kau pasti takut karena kuburan itu sudah dilangkahi
oleh seseorang! Benar, bukan"!" bentak Malaikat Gelang Emas.
"Anu... hmm... sebenarnya... begini, anu...
eeh...!" "Jawab yang benar!" sentaknya tiba-tiba. Tubuh Nyali Kutu hampir saja
terlonjak tinggi-tinggi karena kagetnya. Malaikat Gelang Emas berkata lagi,
"Kuperiksa makam itu, dan ternyata bunganya
telah layu, itu pertanda makam sudah dilangkahi se-
seorang! Benar, bukan"! Jawab!"
"Eehh..., ehhmmm... iyyy... iya, benar!"
Paaak...! Sebuah tamparan keras berkelebat tak
sempat dilihat. Tahu-tahu wajah Nyali Kutu bagai dis-
embur api yang berdaya didih cukup tinggi. Tubuhnya
sendiri terlempar akibat tamparan itu, jaraknya sekitar enam langkah dari
tempatnya berdiri. Dan ketika ia
memegangi pipinya sambil mengaduh, ternyata kulit
pipinya dalam keadaan terkelupas perih sekali.
"Edan tamparan itu tadi! Kulit pipiku sampai
terkelupas dan... oh, apa ini... mengganjal di mu-
lutku..." Oh, hmm...! Puih...!" Nyali Kutu meludah.
Pruk...! Ternyata dua gigi gerahamnya copot akibat
tamparan tadi. Nyali Kutu terkejut namun juga ber-
tambah takut. Malaikat Gelang Emas mendekatinya dengan
mata angker yang tidak terbayangkan lagi menyeram-
kannya, "Siapa yang melangkahi makam kakekku,
hah"!" "Buk... bukan saya, Tuan! Bukan saya yang melangkahinya!"
"Siapaaa...!" bentaknya membuat jantung Nyali Kutu bagaikan pecah. Untung ia
hanya terlonjak sedikit dari tempatnya berdiri.
"Seseorang, Tuan...!"
"Seseorang siapa" Yang Jelas!"
"Sssa... saya tidak tahu namanya, Tuan! Saya
tidak sempat berkenalan dengannya, tapi... tapi saya
tahu ciri-cirinya, Tuan!"
"Apa ciri-cirinya! Sebutkan!" "Pakaian merah dan memakai topeng berwarna merah
juga, Tuan!"
"Topeng Merah..."!" geram Malaikat Gelang
Emas. "Jahanam orang yang mengenakan topeng me-
rah itu!" ucapnya dengan penuh murka yang tak bisa dilampiaskan. Matanya yang
mendelik bergerak liar
menyusuri tempat tersebut. Lalu, mata itu semakin
terbelalak ketika melihat sesosok mayat tergeletak di seberangnya. Ia segera
menarik tangan Nyali Kutu,
menyeretnya ke seberang dan dilepaskan setelah sam-
pai di samping mayat itu. Malaikat Gelang Emas makin
merah wajahnya setelah mengetahui mayat busuk itu
adalah mayat adiknya sendiri.
"Jahanaaammm...! Heh!" ia menjambak rambut
Nyali Kutu dan kepala itu di dongakkan sambil bicara
dengan gigi menggeletuk,
"Siapa yang membunuh adikku itu, hah"! Sia-
pa"!" "Buk... bukan saya, Tuan! Sumpah mati tujuh kali, bukan saya yang
membunuhnya!"
Plook...! Sebuah pukulan dihantamkan telak di
pipi yang tidak lecet itu. Hantaman tersebut tidak bisa membuat Nyali Kutu
berteriak karena kelewat sakit.
Mulutnya saja yang ternganga saat ia terhempas di ta-
nah akibat hantaman keras itu.
Sekali lagi, gigi gerahamnya copot dua, ditam-
bah gigi taringnya patah dl pertengahan. Gigi yang patah itu tertelan olehnya,
hingga mata Nyali Kutu men-
delik kaget. Terdengar Malaikat Gelang Emas menggerutu
penuh luapan dendam.
"Melihat bekas lukanya, agaknya luka karena
cakaran! Kurasa Pendekar Rajawali Merah itulah yang
membunuh si Mata Neraka! Bangsat busuk anak itu!
Ku beset habis kulitnya nanti! Ku bakar hidup-hidup
anak itu biar impas menebus kematian adikku!"
Kemudian Malaikat Gelang Emas berseru den-
gan geramnya, "Topeng Merah, Pendekar Rajawali Merah...! Ku
hancurkan tubuh kalian kapan saja kutemukan!
Tunggu pembalasanku, Topeng Merah dan Pendekar
Rajawali Merah! Kalian berdua sama-sama bangsat...!"
Wuuus...! Tubuh Malaikat Gelang Emas yang
berperawakan besar itu cepat tinggalkan tempat terse-
but dengan tanpa sentakkan kaki ke tanah. Hanya sa-
tu lompatan, ia sudah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Nyali Kutu yang melihatnya sempat tak bisa berkedip
karena kagumnya. Tapi hatinya menjadi lega dan ber-
kata, "Selamat, selamat...! Untung aku tidak dibu-nuhnya! Kalau saja tadi ia
tidak terpancing perhatiannya kepada mayat Mata Neraka past! nyawaku sudah
melayang sejak tadi...!"
Tiba-tiba ada seseorang yang menyapa Nyali
Kutu dari belakang,
"Hai, Nyali Kutu...!"
Dengan cepat Nyali Kutu berbalik. "Hahh..."!"
Malaikat Gelang Emas kembali lagi. Begitu Nya-
li Kutu terperanjat kaget, tiba-tiba Malaikat Gelang
Emas sentakkan tangannya dan meluncurlah dari len-
gannya bulatan cahaya kuning emas menyerupai ge-
lang yang tak lebih besar dari mulut poci. Dua berkas sinar berbentuk gelang
warna kuning emas itu melesat
dan memburu tubuh Nyali Kutu.
Wuuut, wuuut...!
Jraab..! Keduanya menghantam tubuh Nyali
Kutu di bagian dada Nyali Kutu sempat menunduk
memperhatikan dua sinar bergelang itu menghantam
dadanya. Ia tidak merasa sakit, namun tiba-tiba jari
tangannya berjatuhan sendiri. Bahkan telapak tan-
gannya jatuh ke tanah. Pluuuk...! Plook..! Daun telin-
ganya juga jatuh sendiri tanpa darah. Puuk...!
Kejap berikutnya, kepala Nyali Kutu mengge-
linding jatuh dan tak bernyawa lagi setelah kepala itu sempat mengucap kata,
"Yaaah... mati juga aku...."
Lebih dari delapan bagian tubuh Nyali Kutu
mati terpotong-potong tanpa darah setetes pun yang
membekas pada potongan tubuhnya itu.
* * * 9 LILI si Pendekar Rajawali Putih itu, wajahnya
menjadi muram setelah si Tua Usil menyampaikan pe-
san dari Yoga. Rasa-rasanya, ingin sekali Lili melabrak ke tempat Tabib Perawan
itu untuk menyeret Yoga
agar tidak bermalam di sana. Tetapi alasan yang di-
dengarnya dari mulut si Tua Usil memang masuk akal.
Yoga perlu istirahat supaya obat pemunah racun itu
cepat larut dalam darahnya, jika Yoga pulang malam
itu juga, maka obat itu tidak bisa cepat larut dalam
darah karena darah dipakai bekerja selama perjalanan
pulang. Alasan itu cukup masuk akal, sehingga Pende-
kar Rajawali Putih yang menyimpan cinta di hatinya
itu hanya bisa menahan dongkol dan bersungut-
sungut sejak tadi. Si Tua Usil tambahkan kata,
"Tuan Yo juga berpesan, apabila hal ini tidak
berkenan di hatimu, Nona Li, maka Tuan Yo mengha-
rapkan Nona Li datang ke sana dan ikut bermalam di
tempatnya si Tabib Perawan itu!"
Lili diam merenung, Lembayung Senja berani-
kan diri ikut bicara,
"Untuk menenangkan hatimu, sebaiknya kau
datang ke sana dan bermalamlah di sana, Lili!"
"Tidak!" ucap Lili setelah diam beberapa saat.
"Terlalu rendah harga diriku jika ikut-ikutan bermalam di sana! Biarlah Yo
istirahat di sana. Aku tak perlu terlalu mencemaskan dirinya, toh dia belum
tentu men- cemaskan diriku! Tak perlu aku mencemburuinya, toh
dia belum pernah mencemburui ku!"
"Biasanya cemburu itu cinta, bukan?" kata si Tua Usil sambil cengar-cengir.
Lembayung Senja tersenyum mengedipkan mata kepada si Tua Usil. Lem-
bayung Senja sudah sejak kemarin menduga bahwa Li-
li menaruh hati pada muridnya. Itulah sebabnya Lem-
bayung Senja tak mau tunjukkan rasa terpikatnya ke-
pada ketampanan Yoga, walau sebenarnya hati Lem-
bayung Senja ingin sekali mencoba mendekati Pende-
kar Rajawali Merah itu.
"Ada satu kabar lagi yang kubawa pulang, Nona
Li!" si Tua Usil mulai memancing kepenasaran Lili lagi dengan maksud-maksud
tertentu. Kata-kata Tua Usil
itu membuat Lili yang termenung segera palingkan wa-
jah dan tatap mata si Tua Usil dengan dahi berkerut.
"Aku punya kabar bagus untukmu, Nona Li. Te-
tap tidak akan kukatakan kepadamu, sebelum kau
berjanji akan mengajari ku berdiri di atas ilalang!"
"Kabar tentang apa?" tanya Lili.
"Kabar tentang siapa orang yang membuntungi
lengan Tuan Yo!"
Terperanjat Lili jadinya, bersemangat sekali ia
mendengarkan kabar tersebut. Duduknya pun berpin-
dah ke bangku dekat si Tua Usil. Lembayung senja ju-
ga tertarik dengan kabar tersebut, sehingga perhatiannya tercurah sepenuhnya
kepada si Tua Usil. Tapi
yang diperhatikan hanya cengar-cengir dan tak mau
cepat-cepat melanjutkan kata-katanya, sehingga Lili
segera mendesaknya,
"Ceritakan kabar itu! Siapa yang membuntungi
lengan Yoga?"
"Oho, tidak akan kuceritakan sebelum Nona Li
berjanji akan mengajari ku berdiri di atas ilalang!" goda si Tua Usil sambil
terkekeh. "Ayolah, Tua Usil...!" Jangan bikin hatiku panas dan ingin menghajarmu malam ini
juga!" "Berjanjilah dulu, Nona Lil Kita saling bertukar jasa!" Hati Pendekar Rajawali
Putih geram sekali sebenarnya. tapi tak bisa dia asal pukul begitu saja. Dia
tahu si Tua Usil sangat ingin bisa mempelajari jurus
berdiri di atas ilalang, wajar rasanya jika si Tua Usil menggunakan berbagai
macam cara untuk mendapatkan jurus itu dari Lili. Keadaan Lili sekarang bagai
sedang dalam ancaman si Tua Usil. Itu yang membuat
Lili jengkel dan geregetan. Akhirnya, Lili hanya berka-ta,
"Baiklah! Akan kuajarkan jurus itu padamu,
tapi tidak dalam waktu dekat ini. Tunggu sampai aku
bisa membuntungi orang yang telah memenggal tangan
Yoga!" "Kurasa itu mudah sekali, Nona Li! Kejar orang itu dan tebaskan pedang
saktimu itu, maka habis sudah dendammu padanya!"
"Biarpun semudah itu tapi kalau tidak ku tahu
siapa pelakunya, sama saja itu hal yang sulit kulaku-
kan, Tua Usil! Karena itu, sekarang ceritakanlah kabar yang kau dengar dalam
perjalananmu tadi!"
"Baiklah! Dengar Nona Li..., di perjalanan tadi
aku bertemu dengan anak buah Panglima Makar, yaitu
si Nyali Kutu. Dia dalam ketakutan karena dike-
jar-kejar Malaikat Gelang Emas...."
"Nyali Kutu dikejar Malaikat Gelang Emas..."!"
Lembayung Senja menampakkan rasa herannya men-
dengar kabar itu. Ia berkata lagi,
"Ah, jangan-jangan itu hanya kibulan mu saja,
Tua Usil!"
"Aku berani angkat sumpah, apa yang kukata-
kan ini adalah apa yang kudengar dari mulut si Nyali
Kutu!" kata si Tua Usil meyakinkan, dan kemudian ia menuturkan apa yang
didengarnya dari Nyali Kutu secara keseluruhan, sampai pada bunga di atas makam
yang menjadi layu itu.
Hening tercipta beberapa saat setelah si Tua
Usil menceritakan apa yang didengarnya dari Nyali Ku-
tu. Samar-samar terdengar suara Pendekar Rajawali
Putih berkata dalam gumam yang lirih,
"Berarti sudah ada orang yang melompati ma-
kam itu, dan itu artinya kakek si Malaikat Gelang
Emas tidak akan bangkit lagi selamanya. Syukurlah
kalau begitu!" Lili manggut-manggut sejenak, kemudian berkata lagi sambil
memandang si Tua Usil.
"Jadi menurut keterangan dari Nyali Kutu, Yoga
da-tang kepadanya dan menanyakan ke mana arah pe-
larian Kembang May at dan Topeng Merah?"
"Benar, Nona Li! Dan aku yakin Tuan Yo pasti
tahu apa yang terjadi dengan nasib kedua orang itu.
Mungkin Topeng Merah telah mati dibunuh oleh Kem-
bang Mayat. Buktinya sampai sekarang Topeng Merah
tidak pernah kelihatan muncul di beberapa tempat."
"Tapi bisa juga Kembang Mayat yang dibunuh
Topeng Merah! Buktinya sudah beberapa hari ini Lem-
bayung Senja menunggu kemunculan Kembang Mayat
di reruntuhan pesanggrahannya, tapi Kembang Mayat
tidak pernah muncul-muncul lagi!"
Lembayung Senja menyahut, "Mungkin kedua-
nya sama-sama mati!"


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lili memandang Lembayung Senja dan men-
ganggukkan kepalanya setelah diam sesaat. Lili juga
membenarkan dugaan Lembayung Senja, dan segera
berkata, "Tapi jika keduanya sama-sama mati, lantas
siapa yang memotong tangan Yoga?"
Si Tua Usil nyeletuk, "Aku yakin salah satu dari mereka pasti ada yang hidup!
Jika mereka tidak muncul lagi selama ini, itu lantaran mereka bersembunyi
karena mereka takut adanya balas dendam yang akan
dilakukan oleh Tuan Yo!"
Lembayung Senja berkata juga, "Kurasa benar
apa dugaan Tua Usil, Lili. Tetapi aku yakin itu bukan pekerjaan. sang Ketua.
Kembang Mayat tak akan tega
memotong tangan Yoga, karena dia sangat tertarik
dengan Yoga. Jadi kesimpulanku mengatakan, Topeng
Merah-lah yang memotong tangan Yoga! Sedangkan
Kembang Mayat mungkin mati atau terluka entah di
mana!" "Topeng Merah...?" geram Pendekar Rajawali Putih sambil matanya
menerawang penuh dendam.
Lembayung Senja berkata lagi, "Kembang Mayat
pernah bilang padaku, dia sangat tertarik kepada Yoga dan ingin memilikinya.
Selama Ini, baru kepada Yoga
dia punya perasaan begitu terpikat Jadi tidak mungkin Kembang Mayat memotong
tangan orang yang
diharap-kan bisa menjadi pasangan hidupnya! Dan ka-
lau saat ini Kembang Mayat masih hidup, maka dia
akan membela mati-matian sebelum Yoga terpotong
tangannya oleh pedang Topeng Merah! Jadi kurasa
Kembang Mayat dibunuh lebih dulu oleh Topeng Me-
rah, barulah Topeng Merah memenggal tangan kiri
muridmu itu, Lili!"
Kata-kata Lembayung Senja berpengaruh da-
lam jiwa Lili, sehingga gadis cantik itu menggebrak me-ja dan berkata,
"Akan kucari si Topeng Merah tanpa setahu Yo-
ga, dan akan ku buntungi kedua kaki dan kedua tan-
gannya! Jangan satu pun dari kalian bet dua ada yang
menceritakan rencanaku ini kepada Yoga!"
Tua Usil menyahut, "Aku tidak akan mencerita-
kannya jika kau segera mengajari ku berdiri di atas ilalang, Nona Li! Tapi jika
kau tak mau mengajari ku,
maka...." "Maka kepalamu yang akan kupenggal!" geram
Lili dengan jengkel sekali mendengar ancaman-
ancaman usil dari mulut si Tua Usil itu. Akibatnya, si Tua Usil mengkerut dan
takut, ia tak berani memandang Lili yang tampak sedang mengendalikan amarah-
nya dengan susah payah.
Mereka bertiga memang tak satu pun yang bisa
punya kepastian. Semuanya bersifat dugaan dan ke-
simpulan-kesimpulan yang masih mengambang dalam
benak. Tak ada yang tahu, bahwa Topeng Merah masih
hidup dan Kembang Mayat jatuh ke jurang.
Bahkan dari mereka tak satu pun ada yang ta-
hu bahwa Kembang Mayat sebenarnya masih hidup.
Yoga sendiri tidak akan mengira kalau Kembang Mayat
masih hidup. Yoga melihat Kembang Mayat jatuh ke
jurang, tapi Yoga tidak melihat seseorang telah menyelamatkan Kembang Mayat.
Orang yang menyelamatkan Kembang Mayat itu
berbadan gemuk, berkepala gundul bersih, tapi jeng-
gotnya panjang berwarna putih dan alisnya pun ber-
warna putih juga. Ia mengenakan pakaian kain kuning
berhias kalung tasbih di lehernya sebesar kelereng
berwarna putih. Orang tersebut adalah Pendeta Gane-
sha yang sedang melakukan semedi di dasar jurang
tersebut. Pada waktu itu, suara jeritan Kembang Mayat
menggema di seluruh dinding jurang dan sampai ke te-
linga Pendeta Ganesha. Cepat-cepat orang berbadan
gemuk dan tinggi mirip raksasa itu mendongak ke
atas, lalu ia melihat sesosok tubuh yang terlempar turun ke dasar jurang.
Dalam keadaan tetap bersila, orang berusia se-
kitar tujuh puluh tahun itu melesat ke atas. Tubuhnya terangkat dengan
sendirinya dengan kedua kaki tetap
dalam keadaan bersila. Tubuh Pendeta Ganesha itu
seolah-olah menyambut kedatangan Kembang Mayat,
sehingga Kembang Mayat jatuh dalam pangkuan Pen-
deta Ganesha. Begitu menerima tubuh Kembang Mayat
dengan kedua tangan, tubuh Pendeta Ganesha kemba-
li bergerak turun dalam keadaan tetap bersila.
Kejap berikutnya Kembang Mayat pingsan sete-
lah menyadari dirinya ada yang menolong. Ia pingsan akibat pukulan tenaga dalam
yang dideritanya dan Topeng Merah. Pendeta Ganesha menyembuhkan luka
dalam itu dengan hanya menempelkan ujung jari ten-
gahnya ke ulu hati Kembang Mayat. Ketika Kembang
Mayat siuman, ia sudah dalam keadaan sehat tanpa
luka sedikit pun baik di luar maupun di dalam tubuh-
nya. Tapi ia terperanjat melihat orang tua berjenggot panjang dan berbadan besar
ada di sampingnya.
"Siapa kau, Pak Tua"!" tanya Kembang Mayat
sambil berdiri dan mengambil pedangnya yang ada di
tanah. Pendeta Ganesha membungkukkan badan,
memberi hormat dengan cukup hikmat. Tutur katanya
cukup lembut dan penuh kesabaran,
"Selamat datang, Gusti Ratu! Saya Pendeta Ga-
nesha menghaturkan sembah kepada Gusti Ratu!"
Dalam hatinya Kembang Mayat berkata, "Orang
ini gila barangkali! Dia menyembahku dan memanggil-
ku Gusti Ratu!" Lalu, Kembang Mayat berkata kepada Pendeta Ganesha, "Namaku
Kembang Mayat, dan aku
bukan seorang ratu, Pendeta Ganesha!"
"Memang benar. Tapi agaknya dewata membe-
rikan seorang ratu kepada kami! Sudah beberapa wak-
tu lamanya saya bertapa di sini dan memohon kepada
dewata untuk mendapatkan seorang ratu atau raja
yang akan memimpin rakyat kami, dan yang akan
menggantikan kedudukan raja kami yang telah me-
ninggal lebih dari lima purnama ini. Ternyata, dewata memberikan Gusti Ratu
Kembang Mayat kepada saya.
Sudah menjadi adat dan tata cara di negeri kami, bah-
wa seorang ratu atau raja diangkat bukan dari anggota masyarakat kami, melainkan
dari luar anggota masyarakat kami. Di mana pun saya bertapa untuk memo-
hon kepada dewata seorang pemimpin kami, maka
orang yang datang kepada saya itulah yang dipercaya
oleh rakyat kami sebagai pemimpin negeri kami. Orang
yang datang kepada saya itulah calon ratu atau raja
kami!" "Negerimu di mana?" sambil Kembang Mayat menyarungkan pedangnya.
"Negeri kami adalah Negeri Linggapraja, terletak di Pulau Kana Dan karena Gusti
Ratu Kembang Mayat
adalah orang yang kail ini datang kepada saya dalam
keadaan bagaimanapun, maka Gusti Kembang Mayat-
lah calon ratu di negeri kami! Rakyat Linggapraja akan sangat gembira menyambut
kedatangan Gusti Ratu
Kembang Mayat! Mohon kiranya Gusti Ratu tidak ke-
beratan jika saya boyong ke Pulau Kana sekarang ju-
ga!" Berdebar-debar hati Kembang Mayat, seperti
tak percaya bahwa dirinya akan dijadikan seorang ratu untuk sebuah negeri.
Bahkan Kembang Mayat menampakkan kesangsiannya dengan bertanya,
"Apakah pengangkatan diriku nantinya tidak
akan menimbulkan pemberontakan dl Negeri Lingga-
praja, Pendeta Ganesha?"
"Tidak, Gusti Ratu! Saya adalah Pendeta Agung
di negeri itu! Semua rakyat mempercayakan tugas ini
kepada saya! Siapa pun orangnya yang saya bawa pu-
lang ke Pulau Kana, rakyat akan langsung menga-
kuinya sebagai pemimpin kami!"
"Apakah di Pulau Kana keadaannya menye-
nangkan?" "Sangat menyenangkan, Gusti Ratu! Keadaan
tanahnya subur, makmur, dan kami mempunyai tam-
bang emas sendiri. Rakyat kami punya rasa pengab-
dian dan kesetiaan kepada pemimpin cukup tinggi.
Kami membangun istana sebagai tempat tinggal pim-
pinan negeri dengan bangunan berlapiskan emas dan
berhiaskan berlian! Negeri kami adalah negeri yang
sukar ditundukkan lawan karena mempunyai sejum-
lah pasukan yang tangguh dan siap mati demi ratu!"
Mendengar istana emas berhiaskan batu-batu
berlian dan permata lainnya hati Kembang Mayat san-
gat tertarik. Setidaknya dia ingin melihat sebuah nege-ri yang konon berkeadaan
subur, makmur, serta ber-
limpah kemewahan itu. Maka, ia pun segera menyetu-
jui rencana Pendeta Ganesha, yang konon menjabat
sebagai Pendeta Agung di Pulau Kana itu.
Kepergian Kembang Mayat ke Pulau Kana ber-
sama Pendeta Ganesha bukan melalui jalan darat atau
laut, namun melalui jalan udara. Kembang Mayat be-
rada dalam gendongan Pendeta Ganesha, lalu orang
bertubuh besar itu melompat dengan ringan dan cepat,
dari ujung batu ke ujung batu yang semua gerakannya
itu tak mungkin bisa di lihat dengan mata telanjang.
Dan memang begitulah tata cara bagi masyarakat Pu-
lau Kana dalam membawa seorang calon pemimpin
negara. Di situlah kehebatan sebagai Pendeta Agung
yang juga dihormati serta disegani oleh rakyat Linggapraja. Menurut keterangan
Pendeta Ganesha, nege-
rinya bukan tidak mampu mencari seorang pemimpin
negara dari penduduk Pulau Kana, melainkan sengaja
dicari orang di luar Pulau Kana untuk memimpin nege-
rinya. Hal itu dilakukan secara turun temurun, supaya dalam memberikan keputusan
pengadilan, seorang ra-ja atau ratu tidak memandang bulu, tidak mempertim-
bangkan segi persaudaraan, dan sebagainya. Dengan
mengambil pemimpin dari luar Pulau Kana, mereka
yakin betul bahwa segala keputusan yang diambil oleh
sang pemimpin adalah sesuatu yang adil dan seadil-
adilnya. Raja atau ratu hanya akan diganti jika wafat.
Tetapi bag) mereka yang sudah menjadi raja atau ratu, lalu ingin pulang ke
tempat asalnya, maka rakyat Pulau Kana siap menghadang di seluruh pantai dan
membunuhnya. Tetapi menurut penjelasan Pendeta Agung itu,
selama ini belum ada satu orang pun yang ingin mela-
rikan diri dari jabatannya sebagai raja atau ratu. Sebab mereka yang sudah
menjadi pimpinan di sana
akan merasa betah dan senantiasa bahagia hidupnya,
sampai beranak-cucu. Jika sang Raja wafat maka ke-
turunannya akan diperlakukan sebagai kelompok ma-
syarakat terhormat.
Kehadiran Kembang Mayat di Pulau Kana ter-
nyata disambut dengan sorak-sorai yang amat meriah
oleh rakyat negeri Linggapraja. Semua wajah menam-
pakkan keceriaan dan kegembiraannya, apalagi mere-
ka kali ini mendapat seorang ratu yang masih muda
dan cantik. Semua mata memandang dengan penuh
rasa kagum dan senang. Namun mereka tetap menjaga
diri untuk tetap menghormat dan menghargai Kem-
bang Mayat sebagai ratu mereka.
Hanya saja, Kembang Mayat merasa merinding
dan kaget saat pertama jumpa dengan orang-orang Pu-
lau Kana itu. Hal yang membuat Kembang Mayat ngeri
adalah melihat keadaan masing-masing penduduk Pu-
lau Kana itu semuanya menyerupai raksasa. Wajah
mereka ada yang jelek, ada yang cantik, ada yang ga-
gah, ada yang sedang-sedang saja. Tetapi ukuran tu-
buh mereka tinggi-tinggi Sudah tinggi, besar dan ba-
dan mereka sepertinya berotot keras atau berkulit teb-al. Orang yang paling
pendek dl Pulau Kana berukuran
satu setengah tombak lewat sedikit. Jika Kembang
Mayat berdiri di samping orang yang paling pendek di
Pulau Kana itu, maka batas ketinggian tubuh Kem-
bang Mayat hanya mencapai ketiak orang tersebut. Ji-
ka yang terpendek saja berukuran seperti itu, bagai-
mana jika yang tidak ter-hitung pendek"
Tetapi mereka itu ramah-ramah dan tidak buas
seperti raksasa pada umumnya. Mereka bersikap so-
pan, sekalipun para pemudanya sering memandang
dengan sikap kagum dan senyum menawan hati. Bebe-
rapa prajurit yang mengawal Kembang Mayat pada
umumnya berwajah tampan, berbadan tegak, kekar
dan besar. Salah satu prajurit pengawal ratu yang sering mencuri pandang adalah
seseorang yang bernama
Gandaloka. Konon orang itu masih berusia dua puluh
dua tahun dan belum mempunyai istri. Ia termasuk
prajurit paling tampan dan banyak diincar oleh gadis-
gadis cantik berbadan besar di Pulau Kana itu.
"Gusti Ratu," kata Pendeta Agung Ganesha
yang menjabat sebagai penasihat ratu dalam urusan
hukum adat, "Kami akan melakukan penobatan untuk Gusti Ratu Kembang Mayat.
Tetapi hal itu tidak bisa
kami lakukan sekarang. Karena menurut adat di sini,
seseorang akan dinobatkan sebagai ratu, apabila ia
sudah menikah dan pernikahan itu dilakukan di depan
rakyat Linggapraja. Jadi, kami sedang mempersiapkan
pesta perkawinan yang harus segera dilakukan sebe-
lum purnama tiba! Apabila sampai purnama tiba Gusti
Ratu Kembang Mayat belum melakukan perkawinan,
maka kami dengan sangat sedih akan membunuh
Gusti Ratu, karena kami anggap sebagai orang pem-
bawa sial yang datang ke Pulau Kana ini!"
"Jadi... aku harus menikah dulu, baru dino-
batkan sebagai ratu secara resmi?"
"Begitulah hukum adat di sini, Gusti!" jawab Pendeta Ganesha. "Oleh karena itu,
silakan mulai sekarang Gusti memilih pemuda atau lelaki mana saja
yang Gusti sukai untuk dijadikan calon pengantin pria yang akan duduk di samping
Gusti Ratu Kembang
Mayat!" "Aku... aku harus memilih salah satu pria di si-ni untuk menjadi
suamiku" Wow...! Mereka besar-
besar, Pendeta Agung! Aku ngeri mempunyai seorang
suami berukuran sebesar mereka!"
Tapi ini hukum adat yang berlaku di sini Gusti
Kembang Mayat! Apa pun alasannya, Gusti harus
mencari calon suami yang secepatnya dan kami akan
mengawininya!"


Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Mayat tertegun, dadanya terasa se-
sak. Ia harus menikah dengan salah satu pria raksasa
di negeri itu, adalah hal yang mengerikan. Melihat jari-jari tangan mereka yang
besar-besar saja Kembang
Mayat sudah merasa ngeri, apalagi ia membayangkan
pada malam pertama nanti. Oh, sungguh mengerikan
buat Kembang Mayat. Karenanya, Kembang Mayat pun
bertanya kepada Pendeta Agung,
"Bolehkah aku mencari suami dari luar Pulau
Kana?" "Tidak ada larangan, Gusti! Itu boleh-boleh sa-ja. Yang terpenting bagi
kami, seorang ratu atau raja harus sudah berkeluarga, supaya kerukunan dan ke-
damaian serta kemesraan sang Ratu akan menjadi
berkah bagi kehidupan keluarga kami, dan akan men-
jadi panutan bagi para suami-istri yang ada di bawah
titah paduka ratu!"
Kembang Mayat menghela napas panjang-
panjang. Sebenarnya sungguh menyenangkan menjadi
ratu di negeri itu. Seperti apa kata Pendeta Ganesha, negeri itu adalah negeri
yang subur, makmur, dan ber-limpah kekayaan. Istana itu benar-benar terbuat dari
emas dengan hiasan batu-batu berlian dan permata
lainnya Sungguh sebuah istana yang megah dan
menggiurkan siapa pun yang berhati jahat untuk me-
rebutnya. Tetapi selama ini tak pernah ada yang ber-
hasil menguasai Pulau Kana dengan segenap isinya,
karena pulau itu mempunyai pasukan yang tangguh
dan berbadan besar.
Dalam satu pertemuan untuk menentukan ca-
lon suami ratu, Gandaloka sejak tadi menatap Kem-
bang Mayat dengan hati berdebar-debar. Pria itu mem-
punyai mata bagus, hidung mancung, kulit bersih
berwarna kuning langsat, bibirnya pun indah dan
menggemaskan. Maka, ketika Pendeta Agung memang-
gil para pemuda yang dijadikan calon untuk dipilih sebagai suami Kembang Mayat,
satu di antara pemuda
itu adalah Gandaloka sendiri.
Kembang Mayat tersenyum ketika Gandaloka
menatapnya, lalu ia memanggil Gandaloka agar men-
dekat, "Datang kemari, Gandaloka!"
Semua mata tertuju pada Gandaloka yang ber-
pakaian putih dengan rambut ikal dan berkumis tipis.
Ganteng sekali dia dengan kumis tipisnya itu. Semua
orang menyangka Gandaloka terpilih sebagai suami ra-
tu nantinya. Gandaloka sendiri bersorak girang ha-
tinya. Tetapi kegirangan itu menjadi sirna ketika Kembang Mayat berkata,
"Kuperintahkan padamu, Gandaloka... pergi ke-
luar Pulau Kana dan cari pemuda ganteng yang ber-
nama Yoga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah!
Bawa dia kemari, karena aku ingin mengawininya!"
"Kami akan lakukan, Gusti Ratu Kembang
Mayat!" jawab Gandaloka.
"Bila mana perlu, bawa pasukan untuk menda-
patkan Pendekar Rajawali Merah! Aku ingin secepat-
nya kalian membawa dia kemari!"
Maka berangkatlah Gandaloka dengan pasu-
kannya mencari Yoga, si pendekar tampan itu. Jumlah
pasukan yang dibawanya tidak begitu banyak. Hanya
lima orang, enam bersama Gandaloka sendiri. Tapi me-
reka dikenal sebagai pasukan atau prajurit-prajurit
yang tangguh dan terpilih. Bukan hanya berbadan be-
sar dan kekar saja, namun mereka mempunyai ilmu
yang tergolong tinggi dan menjadi andalan kekuatan
pertahanan Pulau Kana.
Gandaloka memang kecewa, karena ternyata
bukan dia yang terpilih menjadi suami Kembang
Mayat. Tetapi Gandaloka sudah terbiasa menyingkir-
kan kekecewaan itu, membuang kepentingan pribadi
dan mengutamakan kepentingan negara. Karenanya,
Gandaloka tidak merasa sakit hati dan tetap berse-
mangat mencari Pendekar Rajawali Merah itu.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah sendiri
sudah punya kekasih yang jinak-jinak merpati, yaitu
Pendekar Rajawali Putih, gurunya sendiri. Jika keda-
tangan Gandaloka dan tujuan orang-orang Pulau Kana
itu diketahui oleh Lili, lantas bagaimana sikap Lili dalam mempertahankan Yoga
untuk tetap menjadi pen-
dampingnya" Mampukah Lili mengamuk dan menga-
lahkan enam orang sakti dari Pulau Kana itu"
Bagaimana pengobatan Sendang Suci terhadap
luka potong di tangan Yoga itu" Apakah berhasil, atau semakin parah" Seandainya
berhasil, maka cacat pada
tangan Yoga itu apakah tidak mengurangi kesaktian
dan kekuatannya" Bagaimana jika Yoga mendak aja-
kan Gandaloka untuk datang ke Pulau Kana dan ha-
rus bertarung dengan enam raksasa Pulau Kana itu,
apakah ia mampu mengalahkannya dengan satu tan-
gan" Atau mungkinkah Topeng Merah masih tetap
muncul untuk membela Yoga"
Berhasilkah Lili memburu Topeng Merah dan
membalaskan cacat yang terjadi pada diri Yoga" Lalu,
bagaimana dengan Mutiara Naga yang membawa guci
berisi racun itu" Apakah dia tahu bahwa guci itu ada-
lah racun yang mematikan, bukan Darah Kasih Dewa
yang diharapkan itu"
Semuanya bisa terjadi. Kemungkinan apa pun
bisa saja timbul dalam kisah selanjutnya. Silakan
mengikuti. SELESAI E-Book by Abu Keisel Senopati Pamungkas I 8 Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Kitab Mudjidjad 10
^