Pencarian

Ratu Pemikat 2

Joko Sableng Ratu Pemikat Bagian 2


terangkat ke atas.
Mencium adanya bahaya, si perempuan hantam-
kan lagi tangan kiri kanannya ke atas. Kakinya
pun bergerak menendang ke belakang. Namun lagi-
lagi pukul annya hanya menghajar angin. Malah
pada saat yang sama, terdengar suara tawa
mengekeh panjang. Tiba-liba kepala si perempuan laksana disentakkan hingga
tengadah. Namun
cuma sesaat, sekejap kemudian tasbih di lehemya terbetot ke belakang dengan
kerasnya. Terdengar tulang patah. Disusul kemudian dengan keluarnya raungan
keras dari mulut si perempuan. Ketika
tasbih melesat keluar dari leher, sebuah kaki
berkelebat menendang ke arah punggung.
Bukkk! Si perempuan dari Tiga Dayang Setan ini hanya
sempat mengerang sebentar. Tubuhnya mental ke
depan lalu terjerembab di hamparan semak
belukar dengan nyawa melayang!
Resi Mahayana komat-kamitkan mulut. Menyeringai sebentar lalu berkelebat meninggalkan tempat itu.
* * * Pada suatu tempat yang dirasa aman karena
sudah jauh dari bukit Sono Keiing, Dewi Seribu
Bunga hentikan larinya. Lalu duduk bersandar
pada sebuah pohon dengan napas terengah-engah.
"Bagaimana sekarang..." Apa aku akan kembali menemui Guru dahulu memberitahukan
semua ini, atau terus saja meiakukan penyelidikan" Ah....
Lebih baik teruskan saja melakukan penyelidikan.
Jika gagal, baru menemuinya! Hem.... Pedang
Tumpul. Apakah telah jatuh ke tangan orang lain"
Atau apakah pedang itu tidak ada" Hanya kabar
bohong yang direncanakan seseorang untuk suatu
tujuan tertentu" Bukankah Guru pernah mengatakan jika rimba persiiatan selalu diselimuti dengan akal licik dan
muslihat"!" gadis ini lantas teringat pada Resi Mahayana. "Seandainya aku tidak
sedang kebingungan untuk penyelidikan
pedang Itu, rasanya tanganku sudah gatal untuk
merobek mulutnya yang kelewat besar itu. Tiga
Dayang Setan.... ilmu masih sebatas mata kaki
sudah berani keluar sarang...."
Mungkin karena terlalu lelah, lagi pula angin
bertiup semilir, membuat Dewi Seribu Bunga
menguap dari sesaat kemudian gadis ini terlelap.
Namun baru saja sepasang mata si gadis menga-
tup, sebuah bayangan biru berkelebat dan tegak di samping
sang gadis yang tertidur setengah berbaring bersandar pada pohon. Sosok ini memperhatikan dada sang gadis yang bergerak
turun naik sambil mengelus-elus kepalanya yang
botak kelimis. "Nasibku baik. Ternyata dia kutemukan di sini.
hem.... Mungkin dia kelelahan...." Sepasang mata sosok berkepala botak yang
bukan lain adaiah Resi Mahayana mengerjap beberapa kali menelusuri
sekujur tubuh gadis di hadapannya. Jakunnya
mulai turun naik dengan dada berdebar. Karena
sang gadis tanpa disengaja angkat kaki sebelahnya hingga pahanya tersingkap.
Rangsangan yang mendera dada Resi Mahayana.
tampaknya sudah tak bisa dibendung iagi. Tanpa
pikir panjang lagi, laki-laki berkepala botak ini bungkukkan tubuhnya hendak
mencium wajah si
gadis, sementara tangan kirinya bergerak meraba paha si gadis.
Merasa ada hawa panas bersiur di wajah serta
usapan di pahanya, Dewi Seribu Bunga membuka
kelopak matanya. Mengerjap sebentar lalu tengadah. Gadis Ini tersentak dan cepat menarik tubuhnya ke samping. Lalu
bangkit tegak dengan
keluarkan bentakan marah.
"Kurang ajar! Laki-iaki terkutuk!"
Wuuuttt! Wuuuttt!
Kedua tangan Dewi Seribu Bunga bergerak
lepaskan hantaman ke arah kepala Resi Mahayana
dari arah kanan kiri.
Resi Mahayana tak melakukan gerakan sedikit
pun. Hingga tanpa ampun lagi kedua tangan Dewi
Seribu Bunga telah menghajar kepalanya dari arah samping kanan dan kiri. Kepala
botak ini tersentak ke kiri lalu ke kanan. Tubuhnya yang tinggi besar surut satu
tindak ke belakang. Namun dari mulut laki-laki ini tak terdengar seruan
kesakitan. Sebaliknya bibirnya keluarkan tawa pelan lalu
tangan kirinya mengusap kepalanya yang baru saja terkena pukuian Dewi Seribu
Bunga. "Kepala manusia ini tampaknya kebal terhadap pukulan. Tapi tidak bagian tubuhnya
yang lain...."
Dewi Seribu Bunga kembaii maju. Tenaga dalam-
nya dilipatgandakan. Didahului bentakan keras,
kedua tangannya kembali melesat. Tangan kiri
mengarah pada perut, tangan kanan menghantam
ke bahu. Kali ini Resi Mahayana tak tinggai diam. Tangan kirinya mengibas sementara
tangan kanannya yang memegang tasbih diangkat dan menyentakkan
tasbihnya ke bawah.
Bukkk! Prakkk! Benturan segera terdengar. Dewi Seribu Bunga
terpekik dan cepat mundur. Sepasang matanya
mendelik besar ketika mendapati tangan kanannya berubah merah sedangkan tangan
kirinya bergetar dan ada warna kebiru-biruan membentuk tiga
bundaran. Di depan sana, Resi Mahayana sedikit terkejut
ketika tangannya sempat bentrok dengan tangan si gadis. Dia tak menyangka sama
sekali jika si gadis memiiiki tenaga dalam tinggi. Selagi iaki-iaki ini
bertanya-tanya sendiri dalam hati tentang siapa sebenarnya adanya si gadis,
tiba-tiba terdengar suara bentakan garang melengking. Pada saat yang sama, dari
arah depan menyambar satu sinar
menyebarkan cahaya berwarna-warni.
Wuuusss! Setengah jalan, mendadak saja sinar itu pecah.
Lalu melesat berpuluh-puiuh pijaran api yang
selain keluarkan hawa panas juga berdesing tajam!
Resi Mahayana terkesiap. Dan buru-buru hantamkan tangan kirinya sementara tangan
kanannya diputar-putar. Habis lakukan tangkisan, laki-laki ini melesat ke
samping, menghindar dari muncratan pijar-pijar api. Terdengar beberapa
letupan yang keluarkan kobaran begitu pijaran-
pijaran api itu terkena pukulan tangan Resi
Mahayana. Namun karena banyaknya pijaran yang
muncrat, sebagian lolos dan menghajar pepohonan di sekitar tempat itu. Pohon
yang terkena pijaran api langsung hangus dan terbakar! Tidak lama
kemudian pohon itu berkeretekan lalu tumbang
terbelah! Tanah yang terkena percikan pijaran api langsung muncrat ke udara dan
berhamburan dengan berubah menjadi panas!
"Pukuian 'Api Seribu Bunga'!" desis Resi Mahayana mengenal pukuian yang
dilepaskan Dewi
Seribu Bunga. "Tak bisa kupercaya! Dalam rimba persilatan hanya satu orang yang
memiiiki pukulan sakti itu! Tokoh yang sudah lama tak unjuk diri lagi entah
sudah tewas atau masih sembunyikan
diri. Maut Mata Satu! Apakah dia murid Mata
Satu"! Hem.... Tak heran jika dia bergelar Dewi Seribu Bunga. Tapi aku tadi
masih belum mengira jika gelar itu ada hubungannya dengan pukuian
'Api Seribu Bunga'...."
Ketika pijaran bunga-bunga api sirap, Resi
Mahayana memperhatikan Dewi Seribu Bunga
yang saat itu juga menatap ke arahnya. Pelipis
gadis ini bergerak-gerak dengan mata berkilat
merah, karena pukulan yang dilepaskan tidak
menghantam sasaran.
"Apa hubunganmu dengan Maut Mata Satu"l"
bentak Resi Mahayana.
"Di sini bukan tempatnya untuk bertanya!" seru Dewi
Seribu Bunga meski parasnya sedikit berubah karena merasa orang mengenali siapa
gurunya. Namun perasaan itu segera lenyap begitu mengingat perlakuan laki-laki
di hadapannya yang baru saja mencoba mencium dan menggerayangi
pahanya. Amarahnya kembaii menggelora. Dan
tanpa berkata iagi, gadis ini tarik kedua tangannya ke
belakang dengan telapak mengepal. Lalu
didorong ke depan sambil mengembangkan telapak
tangannya. Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar yang menebarkan sinar berwarna-
warni kembali melesat keluar dari telapak tangan Dewi Seribu Bunga. Setengah
jalan, sinar itu pecah lalu bermuncratan kembang-kembang api yang
membawa hawa panas
dan keluarkan suara
mendesis tajam!
Tahu akan kehebatan pukulan yang dilancarkan
si gadis, Resi Mahayana cepat takupkan kedua
tangan nya. Tubuhnya melorot turun hingga duduk bersila.
Sesaat kemudian tubuh resi ini terangkat dan
mengapung di udara masih dengan bersila dan
mata mengatup. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan di hantamkan ke depan.
Asap biru membersit dari kedua tangan sang
Resi. Begitu keluar, asap itu melebar lau menghampar di tempat itu dan sebagian membentuk gulungan-gulungan dan melesat ke
arah Dewi Seribu Bunga.
Beberapa bunga pijaran api meletup lalu padam
namun sebagian lagi terus melesat ke arah Resi
Mahayana dari berbagai jurusan.
Laki-laki ini melengak kaget. Cepat dia angkat
tangan kanannya dan putar tasbihnya. Angin
menderu-deru segera melindungi tubuhnya yang
masih mengapung di udara. Beberapa bunga api
yang mengarah padanya segera mental lalu padam.
Namun karena banyaknya bunga api, mau tak mau
membuat sang Resi kewalahan. Hingga tak pelak
lagi satu dua bunga api sempat menyambar
tubuhnya! "Setan Jahanami" maki Resi Mahayana seraya tekapkan tangan kirinya ke lambung.
Tangan kanannya terus putar-putar tasbihnya. Tiba-tiba laki-laki ini gerakkan
kepalanya. Tubuhnya yang mengapung bergerak melayang ke belakang. Lalu
perlahan-lahan turun ke atas tanah.
Cepat-cepat ditelitinya bagian tubuh yang terkena pijaran. Dia berkerut. Kulit di bagian
lambungnya telah melepuh begitu juga lengan
kirinya. Dan belum sempat laki-laki ini kerahkan tenaga daiam, lambung dan
lengannya berkedut-kedut. Lalu lepuhan itu muncrat dengan keluarkan cairan
hitam. Ternyata kulit lambung dan lengan itu berlubang dan mengucurkan darah!
Tahu akibat apa yang akan terjadi kalau sampai
terlambat, Resi Mahayana cepat menotok permukaan kulit sekitar lubang yang mengucurkan darah
itu. Lalu

Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari balik pakaiannya dia keiuarkan butiran kecil yang segera ditelan. Kedua tangannya
lantas menakup dengan mata memejam, mulutnya perdengarkan suara yang tak
jelas. Di depan sana, Dewi Seribu Bunga terlihat
tersapu oleh hamparan asap biru. Tubuhnya
melayang dengan mulut megap-megap tanpa ada
suara yang terdengar. Tubuhnya baru terhenti
ketika menghantam sebatang pohon. Lalu terkapar dengan dada bergerak turun naik.
"Keparat! Dadaku seakan tak bisa digunakan untuk bernapas. Asap gila apa lni"i"
gumam Dewi Seribu Bunga seraya tarik tubuhnya bersandar ke batang pohon. Gadis
ini segera kerahkan hawa
murni untuk mengatasi dadanya. Namun gadis ini
tertegun dengan wajah makin pucat. Kekuatannya
tiba-tiba lenyap! Hingga dia tak mampu kerahkan tenaga daiam!
"Gila! Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi"
Padahal tubuhku tidak mengalami cidera yang
parah. Benar-benar gila. ilmu apa yang dilepaskan laki-laki bangsat itu"!"
Selagi Dewi Seribu Bunga dilanda kecemasan, di
depan sana Resi Mahayana buka kelopak matanya.
Darah yang mengucur telah berhenti. Sejenak
sepasang matanya memandang ke arah Dewi
Seribu Bunga. Tiba-tiba bibir laki-laki berkepala botak ini ulaskan senyum.
"Pukuian 'Pelebur Tenaga' ternyata telah terhirup. Hem.... Sekarang tanpa tenaga pun aku bisa meringkusnya! Aku harus
segera bertindak.
'Pelebur Tenaga' itu hanya akan melebur tenaganya selama seperempat hari!"
Resi Mahayana bangkit. Melangkah perlahan ke
arah Dewi Seribu Bunga dengan bibir tersenyum.
"Celaka! Keparat itu mendekat. Padahal tenagaku masih belum bisa puiih. Apa yang harus kulakukan...?"
Dewi Seribu Bunga mencoba duduk. Merasa
mampu, gadis ini segera hendak bangkit. Namun
mulutnya segera keluarkan keluhan pendek tatkala baru
saja bergerak, tubuhnya limbung dan akhirnya jatuh kembali.
Resi Mahayana tertawa bergelak-gelak.
"Dewi.... Tenagamu akan pulih jika kita telah bersatu dalam asmara. Ha....
Ha.... Ha...!"
Laki-laki berkepala botak ini hentikan langkah di samping Dewi Seribu Bunga.
Tasbihnya disimpan
ke balik jubahnya. Kedua tangannya lantas bergerak menjulur ke depan dengan tubuh sedikit dibungkukkan.
"Jahanam! Apa yang hendak kau lakukan"!"
teriak gadis berbaju merah dengan tubuh gemetaran dan mata mendelik.
"Sudah kukatakan. Tenagamu akan pulih jika kita bersatu dalam kemesraan.
Bukankah kau ingin tenagamu kembali?" sambii berkata, tangan laki-laki ini telah mengusap
pundak si gadis,
sedangkan tangan satunya merayap dari arah
bawah, menyingkap pakaian si gadis!
Dewi Seribu Bunga berteriak-teriak. Karena
hanya itu yang dapat dilakukan. Seluruh tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. Dan
teriakan itu berubah menjadi bentakan-bentakan marah serta
dampratan panjang pendek tatkala tangan kanan
Resi Mahayana telah menyingkap pakaian bawahnya hingga pahanya terlihat, sementara
tangan kirinya terus bergerak ke arah dadanya,
Breeettt! Resi Mahayana sentakkan tangan kirinya. Pakaian si gadis di bagian dada langsung robek.
Sepasang mata sang Resi membentang besar
melihat payudara putih membusung dan bergerak
turun naik. Tanpa mempedulikan teriakan dan makian si
gadis yang sudah tak berdaya. Resi Mahayana
rebahkan tubuhnya hendak menindih Dewi Seribu
Bunga. Namun gerakan laki-laki ini tertahan.
Karena dari arah samping menderu angin deras
menghantam ke arahnya. Mendapati gelagat buruk, Resi Mahayana segera berpaiing dan cepat membuat
gerakan memutar tubuh sambil melompat ke samping.
Brakkk! Pohon di belakang Dewi Seribu Bunga berderak
dan tumbang begitu terkena pukulan yang berhasil dihindari Resi Mahayana.
"Terkutuk! Siapa berani berlagak jual ilmu kepadaku"!" teriak Resi Mahayana
seraya putar kepala dengan mata liar ke sana kemari.
Belum lenyap gema teriakan Resi Mahayana,
sesosok bayangan berkelebat tahu-tahu tegak di
hadapan sang Resi dengan kepala celingukan!
*** LIMA ari tempatnya masing-masing, Resi Mahayana dan Dewi Seribu Bunga melihat
Dseorangpemudamengenakanpakaianputih
dengan ikat kepala putih melingkar di
rambutnya yang panjang dan sedikit acak-acakan.
Pemuda ini berparas tampan dengan tubuh tegap.
Namun gerak-geriknya membuat orang yang melihat kerutkan dahi, karena jari kelingking
tangan kanannya dimasukkan pada lubang telinganya hingga wajahnya meringis dengan tubuh sedikit menggelinjang!
"Tingkah dan gerak-geriknya seperti orang sedeng. Tapi melihat pukulannya tadi, jelas mengandung tenaga dalam tinggi. Hem.... Siapa
pemuda ini?" Resi Mahayana membatin dengan memandang
tak berkedip. Kemarahan akibat urusannya tertundak dicoba ditahan. Seraya.melangkah maju, dia keluarkan bentakan.
"Anak Muda. Kau mencari mati berani ikut
campur urusanku!"
Si pemuda seakan tak mendengar bentakan
orang. Malah dia telengkan kepalanya lalu digerakkan ke kanan kiri dengan tubuh berjingkat, karena kelingkingnya masuk
makin dalam! "Heran. Apa yang dilakukan pemuda ini" Tingkahnya mirip anak-anak saja! Tapi pukulannya tadi membuat laki-iaki keparat itu
urungkan niatnya. Mudah-mudahan dia bersedia
menolongku...," Dewi Seribu Bunga membatin seraya coba kerahkan tenaga dalamnya.
Namun gagal hingga yang keluar dari mulutnya adalah
keluhan pendek.
"Rupanya kau ingin mati dalam keadaan begitu!"
seru Resi Mahayana. Kemarahannya tak dapat
dibendung lagi karena merasa dirinya tidak digubris. "Makan pukulanku ini!" teriaknya seraya hantamkan kedua tangannya sekaligus.
Angin deras segera melesat mengarah pada si
pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng,
Pendekar Pedang Tumpul 131.
Paras Joko berubah seketika. Jari kelingkingnya cepat ditarik. Sambil mundur
satu langkah, kedua tangannya segera menyentak.
Tanah di tempat itu segera bergetar tatkala dua pukulan itu bertemu di udara.
Resi Mahayana cepat-cepat kerahkan tenaga dalamnya karena
merasa tubuhnya terdorong keras ke belakang.
"Anak Setan! Siapa kau sebenarnya"!"
Joko hanya menyeringai sambil gosok-gosokkan
tangannya. "Orang Tua! Manusia macam kau tak pantas
mengetahui siapa aku! Aku memberimu kesempatan untuk segera enyah dari tempat ini!"
"Begitu" Apa kau juga menginginkan tubuh
montok itu"! Hah..."!"
Paras Dewi Seribu Bunga tampak mengelam.
Gadis ini berteriak memaki.
"Orang tua gila! Ternyata pakaianmu saja yang menunjukkan
layaknya seorang resi. Tapi kelakuanmu lebih rendah dari binatang!"
Dimaki demikian, Resi Mahayana naik pitam.
"Diam kau, gadis keparat! Kau layak berterima kasih karena nasib burukmu
tertunda! Tapi jangan cepat bergembira, setelah orang gila itu menerima
kematian, pekerjaan nikmat itu kita teruskan!"
"Jangan mimpi bisa mereguk kenikmatan itu, Orang Tua!"
"Anak Keparat! Kau

Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih muda, belum merasakan bentangan ganasnya rimba persilatan
hingga tak tahu siapa yang sedang kau hadapi"
"Hem.... Bukankah aku sedang berhadapan
dengan resi berwatak kambing?"
"Jahanam!"
maki Resi Mahayana seraya kembangkan telapak tangan lalu didorong ke
depan. Dua asap biru membersit. Laiu menghampar dan
sebagian membentuk gulungan-gulungan. Resi ini
telah lepaskan kembali pukulan 'Pelebur Tenaga'.
Tiba-tiba Dewi Seribu Bunga tersadar. "Mungkin tenagaku ienyap karena menghirup
asap itu! Aku tadi megap-megap tatkala pertama kali menghirupnya!" berpikir sampai di situ sambil menahan napas gadis ini berteriak.
"He! Tahan napas. Asap itu beracunl" Mendapati peringatan, Joko cepat tutup
pernapasannya. Kedua tangannya dikembangkan lalu dihantamkan
ke depan. Wuuuttt! Wuuuttt!
Sinar kuning keperakan segera menyambar
keluar. Suasana di tempat itu berubah menjadi
semburat warna kuning dan panas!
Asap biru yang menghampar dan bergulung-
gulung ambyar dengan keluarkan ledakan dahsyat.
Namun tubuh murid Pendeta Sinting dari jurang
Tiatah Perak ini terlihat terhuyung-huyung karena tersapu oleh hamparan angin
yang keluar dari
asap biru. Di depan sana. Resi Mahayana terdorong mundur sampai tiga langkah sebelum
akhirnya lorotkan tubuh untuk duduk bersila.
Tubuh orang tua ini tampak bergetar keras. Kedua tangannya gemetar. Sedangkan
wajahnya berubah
pucat pasi. Laki iaki ini segera sentakkan kedua bahunya. Perlahan-lahan
tubuhnya terangkat dan
mengapung di udara. Kelopak matanya segera
memejam, lalu membuka kembali bersamaan
dengan menyentaknya kedua tangan.
Untuk kedua kalinya asap biru menghampar.
Namun kali ini daya lesatnya lebih cepat. Bahkan angin deras yang menyertainya
seolah datang dari segenap penjuru. Hingga saat itu juga hamparan
tanah di tempat itu laksana air yang terpukul,
muncrat ke udara menutupi pemandangan!
Joko cepat takupkan kedua tangannya. Tangannya berubah kekuningan. Lalu dengan
keluarkan bentakan keras, kedua tangannya didorong. Blaaammm! Tempat itu berguncang. Asap biru berantakan
sebelum akhirnya terseret ke atas dan lenyap!
Angin deras yang menyertai asap biru pukulan
'Pelebur Tenaga' pun menyibak ke kanan dan kiri.
Menghantam segala yang ada di sekitarnya!
Dewi Seribu Bunga yang berada di sebelah
kanan keluarkan seruan tertahan tatkala tubuhnya mencelat tersapu angin. Sementara di
sebelah depan, Resi Mahayana terdorong mundur
dengan derasnya, hingga tak bisa lagi kuasai
keadaan, laki-laki berkepala botak ini terjerembab dengan kepala mendahului
tubuh! Ketika orang
tua ini angkat kepalanya, dari hidung dan sudut bibirnya mengucur darah
kehitaman! Dua puluh langkah di hadapan Resi Mahayana
Joko Sableng berlutut dengan raut pucat seakan
tak berdarah. Dadanya bergetar keras. Urat-urat tubuhnya bertonjolan keluar
membentuk guratan-guratan merah.
Perlahan-lahan Resi Mahayana bergerak duduk.
"Hari ini aku menemui dua keanehan besar.
Pertama tentang pukulan yang dilepas gadis
keparat itu. Yang kedua pukulan yang dilepas
pemuda edan itu. Aku ingat betul. Pukulan yang
dilepas adalah milik tokoh sinting yang puluhan tahun lalu pernah menggedorkan
rimba persilatan.
Bagaimana ini" Apakah kedua orang ini murid-
murid tokoh itu"! Hem.... Meski pukulan 'Pelebur Tenaga'-ku tak berhasil, namun
aku yakin pemuda Itu
juga cidera dalam. Aku harus segera menyelesaikannya. Jika tidak, urusan kenikmatan dengan gadis Itu akan tertunda!"
Resi Mahayana segera bangkit, tangan kanannya
menyeilnap ke balik jubahnya mengambil tasbih.
Joko kerutkan dahi. "Dia menggunakan senjata.
Meski hanya, berupa untaian kayu, aku yakin itu bukan senjata sembarangan!
Apakah aku harus
menggunakan pedang ini"l Hem.... Tak ada salahnya jika aku mencoba kehebatannya!" Dia segera selinapkan tangan kanan ke
balik pakaian bagian pinggang di mana terselip Pedang Tumpul
131. Resi Mahayana telah bergerak melangkah seraya
putar-putar tasbihnya. Angin menderu-deru segera melingkupi tempat itu. Tangan
kiri sang Resi diangkat hendak lepaskan pukulan. Namun gerakannya tertahan tatkala di depan sana cahaya kuning segera menghampar
berkilat-kilat.
Resi Mahayana sejenak tertegun seakan tak
percaya dengan pandangan matanya. Mulutnya
berkemik. Lalu tanpa sadar dari mulutnya keluar desisan keras.
"Pedang Tumpul 131!"
"Hem.... Jadi manusia ini telah berhasil mendapatkan pedang itu! Bagus. Rezekiku besar.
Selain mendapatkan apa yang kucari, sekaligus
bisa menikmati tubuh montok...."
"Anak Muda! Selembar nyawamu kuampuni,
bahkan kalau mau kau boleh mengambil gadis itu.
Tapi serahkan pedang itu padaku!" sambil berkata, tangan kirinya membuat gerakan
orang meminta. Di samping, mendengar ucapan Resi Mahayana,
Dewi Seribu Bunga buka kelopak matanya yang
sejak tadi dikatupkan. Sejurus mata gadis itu
terpentang besar. Memperhatikan pedang di tangan kanan Joko.
"Pedang pendek berwarna kuning keperakan.
Gagangnya hijau dari batu giok. Di tubuh pedang terdapi guratan angka 131. Tak
salah lagi. itu
Pedang Tumpul 131! Jadi...," Dewi Seribu Bunga tak meneruskan kata hatinya,
karena tiba-tiba Resi Mahayana telah kembali membentak.
"Kau dengar ucapanku. Tunggu apa lagi"!
Serahkan pedang itu!"
Pendekar 131 tersenyum. "Orang Tua! Kau ini minta atau apa"!"
"Banyak mulut!" hardik Resi Mahayana. Semangat laki-laki ini kini bertambah besar. Dia memutuskan merebut pedang itu
dengan jalan apa
saja, malah ingatannya pada Dewi Seribu Bunga
seakan lenyap seketika. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, dia melompati depan.
Tangan kirinya melepas pukulan tangan kosong sementara tangan
kanannya menyentakkan tasbih.
"Saatnya bagiku melihat kehebatannya!" gumam Joko seraya hantamkan tangan
kirinya untuk menangkis hantaman pukulan tangan kiri sang
Resi. Sementara tangan kanannya mengayunkan
pedang. Letupan keras terdengar ketika pukulan tangan
kosong masing-masing orang ini bertemu. Kemudian disusul dengan suara benturan benda
tatkala Pedang Tumpul 131 menderu dan menghantam tasbih Resi Mahayana.
Tasbih di tangan Resi Mahayana langsung
berantakan dan berhamburan. Laki-laki botak ini berseru keras. Tangan kanannya
bergetar hebat dengan wajah pias! Sosoknya terhuyung ke belakang. Saat itulah Pendekar Pedang Tumpul
131 melesat ke depan. Tangan kanan yang
memegang pedang diangkat tinggi-tinggi. Resi
Mahayana menduga lawan akan babatkan pedangnya. Dia meliukkan tubuhnya ke bawah.
Namun dugaan Sang Resi melesat. Karena bukan
pedang Joko yang bergerak membabat, melainkan
tangan kirinya yang menghantam.
Bukkk! Resi Mahayana terpekik keras. Sosoknya mental
hingga dua tombak lalu berputar dan terbanting di atas tanah. Karena pukulan
tangan Joko Sableng
tepat mengenai lambungnya yang telah terluka,
lambung yang berlubang itu kembali keluarkan
darah hitam! Resi Mahayana keluarkan suara gemeretak dari
mulutnya. Dengan sisa-sisa tenaga, dia hendak
hantamkan tangannya. Namun tulang lengan
kanannya patah, hingga akhirnya dia hanya bisa
hantamkan pukulan dengan tangan kiri.
Pendekar Pedang Tumpui 131 bergerak ke
samping menghindar. Hingga pukulan tangan
kosong itu lewat. Saat itulah berdesing lingkaran coklat berputar-putar.
Ternyata Resi Mahayana
telah cabut kalung di lehernya dan dilemparkan ke arah Joko. Karena lemparan itu
bukan lemparan biasa, meski hanya sebuah kalung dari untaian
kayu, namun dapat mengeluarkan desingan tajam
dan mempunyai daya lesat luar biasa.
Murid Pendeta Sinting angkat pedangnya. Sinar
kuning keperakan membersit dengan keluarkan
suara bergemuruh ketika Pedang Tumpul 131
diayunkan memapak datangnya kalung.
Praaakkk! Untaian kalung hancur berkeping-keping.
Anehnya, hancuran kalung yang terbuat dari kayu itu masih berlesatan ke sana
kemari. Joko segera melompat, namun tak urung juga salah satu dari
hancuran kalung

Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerpa tubuhnya. Murid Pendeta Sinting seakan tak percaya. Pakaian yang dikenakannya serta-merta
terbakar dan tubuhnya
terdorong hingga jatuh berlutut!
Melihat Joko terjatuh berlutut, Resi Mahayana
tanpa memberi kesempatan. Tubuhnya bangkit
lalu melesat dengan tangan kiri menghantam.
Dengan menindih rasa panas, Joko cepat
gulingkan tubuh. Pada gulingan ketiga, pemuda ini berbalik lalu hantamkan tangan
kirinya. Sinar kuning keperakan membersit. Karena Resi
Mahayana datang menyongsong tepat saat sinar
mengembang, maka tak ampun lagi tubuh laki-laki berkepala botak ini mencelat
mental hingga beberapa tombak, lalu terbanting di tanah. Pakaian yang
dikenakannya telah hangus. Sekujur tubuhnya melepuh. Untuk beberapa saat lamanya
laki-laki botak ini mengerang dengan berguling-
gulingan menahan rasa panas.
Namun makin lama erangannya makin pelan,
gulingan tubuhnya pun tiba-tiba berhenti.
Pendekar Pedang Tumpui 131 memandang sekilas. Lalu melangkah mendekat dengan pedang
siap diayunkan sementara tangan kiri siap lepaskan pukulan. Tapi tiba-tiba Joko hentikan
langkahnya tatkala dilihatnya Resi Mahayana
meraung keras yang serta-merta putus laksana
disentakkan! Laki-laki ini kaku dan tak bergerak lagi!
Pendekar 131 teruskan langkah
mendekat. Sejenak diperhatikannya tubuh Resi Mahayana
yang terkapar mati dengan tubuh melepuh dan
darah menggumpal dari hidung dan mulut.
Murid Pendeta Sinting ini menarik napas dalam,
lalu memasukkan Pedang Tumpui 131 ke sarungnya di balik pakaiannya.
"Sebenarnya aku tak mengharapkan ini terjadi, tapi...," murid Pendeta Sinting
ini tak lanjutkan gumamannya, karena terdengar orang menegur.
"Hei.. Kau tidak menolongku"!"
"Astaga! itu suara gadis...." Joko cepat putar tubuh lalu melangkah lebar-lebar
ke arah Dewi Seribu Bunga. *** ENAM ENDEKAR Pedang Tumpul 131 melangkah
mendekati Dewi Seribu Bunga yang masih
terkapar tak berdaya. Begitu berada di
Psampingsanggadis,pemudamuridPendeta
Sinting ini tertegun lalu cepat arahkan pandangannya ke jurusan lain karena dada gadis
di hadapannya terpentang memperlihatkan payudaranya yang kencang putih!
Si gadis sendiri berubah parasnya menjadi
merah mengelam. Namun karena tak berdaya
untuk menggerakkan anggota tubuhnya akibat
pukulan 'Pelebur Tenaga' yang dilepas Resi Mahayana, gadis ini tak bisa berbuat banyak.
Hingga pada akhirnya dia buka mulut dengan
suara pelan. "Akibat pukulan laki-laki tadi, tenagaku lenyap.
Harap kau sudi menolongku dengan coba alirkan
tenaga dalam ke tubuhku. Siapa tahu bisa
membantu. Kau tak keberatan bukan"!"
"Hem.... Bagaimanapun juga gadis ini telah memperingatkanku sewaktu laki-laki
itu lepaskan pukulan. Jika tidak, mungkin aku mengalami hal
yang sama. Aku akan memenuhi permintaannya...."
Joko berpaling lagi. Namun matanya sengaja
diarahkan pada sepasang mata si gadis. Hingga
untuk beberapa saat kedua orang ini saling adu
pandang. "Hem.... Gadis cantik. Matanya bundar tajam.
Dan...," Joko coba meiirik agak ke bawah, ke dada si gadis. Namun baru saja
matanya beralih ke
dada, Dewi Seribu Bunga telah menegur.
"Apa lagi yang kau tunggu" Atau kau merasa keberatan"!"
Seakan baru tersadar, Joko segera gelengkan
kepalanya. Lalu dengan dada berdebar pemuda ini duduk disamping Dewi Seribu
Bunga. Dewi Seribu
Bunga sendiri tampak bersemu merah malah
begitu Joko duduk, gadis ini segera arahkan
pandangannya ke atas. Diam-diam dalam hati dia
berkata. "Mudah-mudahan pemuda ini tak punya niat
jelek. Ah, kenapa aku berpikir sampai ke sana"
Kalau dia berniat jeiek, bukankah mudah saja
baginya melakukan apa yang diinginkan karena
aku tak berdaya" Siapa pemuda ini sebenarnya..."
Sungguh beruntung pemuda ini. Berhasil mendapatkan pedang pusaka yang diperebutkan
banyak tokoh rimba persilatan. Hem.... Bagaimana sekarang" Apa yang harus
kulakukan setelah dia
nanti berhasil menolongku" Apakah aku harus
merebut pedang itu dari tangannya" Atau.... Ah.
Aku jadi bingung...."
Murid Pendeta Sinting ini sekilas menatap wajah Dewi Seribu Bunga. Lalu turun ke
dadanya. Jakun pemuda ini bergerak turun naik dengan wajah
hangat. Namun pemuda ini segera sadar bahwa si
gadis memerlukan pertolongan. Kedua tangannya
segera menjulur ke depan. Tubuh si gadis digerakkan membalik. Lalu kedua telapak tangannya ditempelkan ke punggung si gadis.
Sepasang matanya lantas mengatup. Setelah menarik napas dalam-dalam, murid Pendeta Sinting ini mulai alirkan tenaga dalam pada sang gadis.
Dewi Seribu Bunga merasakan hawa sejuk
menembus kulit punggungnya lalu mengalir ke
sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan anggota tubuhnya berubah hangat. Aliran darahnya teratur dan normal seperti sediakala.
Dengan masih menelungkup, Dewi Seribu Bunga
coba menggebrakkan jari-jari tangannya. Gadis ini bernapas lega, karena jari-
jari itu bisa digerakkan.
Merasa berhasil, gadis ini coba angkat tangannya.
Ternyata tangannya pun dapat digerakkan!
"Tenagaku pulih kembali...," batin Dewi Seribu Bunga dengan merentangkan tangan.
Ketika Joko tarik kedua tangannya dari punggung Dewi Seribu Bunga, gadis ini segera
gerakkan tubuhnya membalik. Kepalanya berpaling ke samping dengan mata memandang
lekat-lekat pada Joko Sableng.
"Terima kasih...," katanya sambil bergerak ke atas lalu bangkit duduk. Mungkin
karena merasa gembira tenaganya bisa pulih kembaii, Dewi Seribu Bunga segera rentang-
rentangkan kembali kedua
tangannya. Sementara Joko cepat-cepat alihkan
pandangan meski ekor matanya meiirik.
Melihat tingkah pemuda di sampingnya, Dewi
Seribu Bunga kerutkan dahinya. Namun mulutnya
segera keluarkan seruan tertahan tatkala mengetahui apa yang membuat sang pemuda
melirik. Ternyata dadanya yang terbuka terpentang lebar tatkaia dia merentangkan
tangannya. Dengan wajah berubah, gadis ini buru-buru menutupkan
pakaiannya yang robek pada dadanya yang terbuka. "Tak keberatan sebutkan siapa kau sebenarnya?"
Joko ajukan pertanyaan untuk mengatasi keadaan
yang kaku itu. "Aku... Dewi Seribu Bunga. Kau"!"
Joko Sabieng,berpaling memandang. "Joko...
Joko Sableng " "Joko Sableng.... Hem.... Pantas. Meski dia tak berniat
jahat, namun matanya itu nakal. Jelalatan..."
Joko bangkit. Tersenyum lalu berkata.
"Tenagamu telah pulih, dan kau bisa teruskan perjalanan. Sedangkan aku pun harus
pergi. Ada urusan yang perlu kuselesaikan."
Pendekar Pedang Tumpui 131 putar tubuh. Lalu
melangkah meninggalkan tempat itu. Namun suara
menahan langkahnya.
"Tunggu!"
Dewi Seribu Bunga melangkah mendekat. "Kau hendak ke mana"!"
Joko balikkan tubuh. Dewi Seribu Bunga tampak
kikuk karena harus memegangi robekan kain di
dadanya. Joko segera lepaskan ikat kepalanya dan diberikan pada si gadis. Tahu
akan maksud Joko, Dewi Seribu Bunga segera menyambuti ikat kepala itu. Lalu
diikatkan pada robekan kain di dadanya dan
diikatkan ke belakang. Hingga sejenak kemudian gadis ini bebas gerakkan tangannya. Dia mengulangi pertanyaannya.
"Aku pergi ke mana aku suka, ke mana kaki
mengajak. Kau sendiri hendak ke mana"!"
Mendengar pertanyaan Pendekar 131, Dewi
Seribu Bunga

Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah seakan terkejut. Memandang lekat-lekat pada pemuda di hadapannya dari bawah hingga atas.
"Bagaimana aku harus menjawab" Apakah aku
akan berterus terang tentang tujuan perjalananku ini" Padahal pedang itu telah
berhasil didapatnya!
Apakah aku harus
merebut dari tangannya"
Sedangkan dia baru saja menolongku" Kalau tidak karena pertolongannya, aku tak
tahu apa yang akan menimpaku! Menuruti ucapan Guru, ingin
rasanya aku merebut pedang itu. Tapi aku tak
kuasa melakukannya...."
"Wajahmu berubah. Kau memikirkan sesuatu?"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepaianya sembunyikan perasaan bimbang. Antara menuruti
ucapan gurunya yang harus mendapatkan pedang
dengan segala cara dan kerahkan segenap tenaga
atau menuruti kata hatinya yang tak kuasa
melakukan terhadap orang yang telah menolongnya. Lebih-iebih hati gadis ini sebenarnya mulai tertarik dengan pemuda
di hadapannya! Setelah berpikir agak lama, akhirnya Dewi
Seribu Bunga berkata.
"Tak mau jika aku ikut ke mana kau pergi"!"
Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Dia tak
menduga akan ucapan gadis di hadapannya.
Hingga untuk sesaat lamanya dia tak menjawab.
"Bagaimana ini"! Padahal aku akan menemui
Guru.... Apa nanti kata Guru jika aku menemuinya dengan membawa seorang gadis?"
"Bagaimana"! Apa kau merasa keberatan"!" Dewi Seribu Bunga ajukan lagi
pertanyaan setelah Joko tidak memberikan jawaban.
"Sebenarnya terlalu sayang jika menolak tawaran seorang
gadis cantik macam dia. Hem.... Sementara aku akan mengajaknya, sambil cari
jalan bagaimana sebaiknya...."
Joko Sableng tersenyum lalu berkata.
"Jika itu maumu, baiklah."
Dewi Seribu Bunga tersenyum lebar. Joko
mengangguk dengan sebelah mata dikedipkan lalu
balikka tubuh. Si gadis segera melangkah menjajari. Namun baru saja kedua muda-mudi ini hendak
melangkah, terdengar makian keras.
"Anak Jahanam! Diberi tugas keluar dari kandang malah digunakan untuk bermain gila!"
*** TUJUH OKO dan Dewi Seribu Bunga tersentak kaget.
Keduanya serentak palingkan kepala masing-
Jmasing ke samping kanan dari mana suara
teguran datang. Di situ tampak tegak seorang
kakek berparas bulat besar. Kulitnya tipis dan
pucat. Berambut putih dikuncir ke belakang. Raut wajahnya hampir tak kelihatan
karena ditutupi
sebagian jambang, kumis, dan jenggotnya yang
lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang
berwarna kuning. Matanya hanya sebelah, sedangkah sebelahnya lagi ditutup dengan sebuah kulit bundar yang diikat dengan
tali ke belakang kepalanya.
Joko sempat tersekat melihat tampang angker si
orang tua. Dalam hati dia bertanya-tanya siapa
yang di maki oleh kakek itu. Sebaliknya Dewi
Seribu Bunga tampak tercengang hingga untuk
sesaat dia pandangi kakek di hadapannya dengan
mulut terkancing rapat.
"Dewi.... Kau kenai dengan hantu ini"!" gumam Joko tanpa berpaling.
Tersadar oleh pertanyaan Joko, Dewi Seribu
Bunga segera menghambur ke depan lalu membungkuk dalam-dalam di hadapan si kakek.
"Guru...."
Mata kanan si kakek berompi kuning ini
mendelik angker. Memandang lurus pada Dewi
Seribu Bunga, lalu beralih pada Joko Sableng.
Seteiah keluarkan dengusan beberapa kali, kakek yang bukan lain adalah Maut Mata
Satu, guru Dewi Seribu Bunga keluarkan bentakan keras.
"Bagaimana tugasmu, Larasati"!"
"Guru. Murid minta maaf...," Dewi Seribu Bunga tidak dapat meneruskan ucapannya.
Apa yang akan dikatakan serasa tersekat di tenggorokan.
"Larasati! Kenapa kau berhenti"! Ayo teruskan kata-katamu!" seraya berkata Maut
Mata Satu terus memandang ke arah Joko tanpa berkedip.
Sementara Joko sendiri sepertinya acuh tak acuh, meski keterkejutan tak bisa
lenyap dari parasnya.
Namun diam-diam murid Pendeta Sinting ini kini
mengetahui hubungan antara Dewi Seribu Bunga
dengan kakek bermata satu itu.
"Gadis itu muridnya. Hem.... Tugas apa yang dibebankan pada gadis itu" Kenapa
dia tak menjawab pertanyaan gurunya" Kalau sampai
salah ucap, mungkin aku dicurigai! Sialan benar!
Perempuan ternyata bisa membuat masalah!"
Karena Dewi Seribu Bunga belum juga membuka
mulut, Maut Mata Satu akhirnya berkata. "Kau tak berhasil dengan tugasmu.
Benar"!"
Seribu Bunga anggukkan kepalanya. Maut Mata
Satu mendengus keras.
"Seseorang
mendahuluinya mendapatkannya.
Begitu"!"
Untuk kedua kalinya Dewi Seribu Bunga gerakkan kepalanya mengangguk.
"Kau tahu siapa orangnya"!"
Dewi Seribu Bunga berlutut. Lalu tengadahkan
kepalanya memandang pada sang guru. Wajah
gadis ini jelas menunjukkan rasa khawatir.
"Bagaimana
harus mengatakannya bahwa pedang itu sebenarnya telah jatuh ke tangan Joko"
Jika kukatakan terus terang, pasti Guru akan
bertindak! Kalau tidak kukatakan, dia pasti akan marah besar.... Ah!"
"Larasati. Baru beberapa hari kau merasakan dunia
luar sikapmu telah berubah! Kau menyimpan sesuatu! Dan hem.... Pakaianmu tak
karuan. Apa yang telah kau lakukan dengan anak
ingusan itu, nah"!"
"Guru.... Guru jangan salah sangka. Justru kalau tidak karena pertolongannya,
aku akan menemui ajal di tangan bangsat laki-laki itu!" Dewi Seribu Bunga arahkan
pandangannya pada mayat
Resi Mahayana. Maut Mata Satu mengikuti arah pandangan
muridnya. Kulit bundar penutup mata kirinya
bergerak-gerak mengikuti alis matanya yang terangkat naik.
"Berkepala
botak, mengenakan jubah biru, tubuh tinggi besar. Hem.... Bukankah bangkai itu Resi Mahayana" Resi cabul doyan
perempuan yang malang melintang memburu Pedang Tumpui 131"!"
Maut Mata Satu berpaling kembali ke arah Joko.
"Larasati mengatakan ditolong oleh anak ingusan ini. Kalau Resi Mahayana dapat
dibuat mayat, meski tampak ugal-ugalan, anak ini berarti mempunyai ilmu. Hem.... Siapa dia sebenarnya"!"
"Larasati. Kau telah menyelidik. Kau telah tahu bahwa seseorang telah
mendahului. Katakan siapa orangnya! Jangan berani berdusta kalau tidak
ingin kulumat mulutmu!"
Tubuh Dewi Seribu Bunga bergetar ketakutan.
Kepalanya ditundukkan tak berani memandang
pada gurunya, membuat Maut Mata Satu naik
pitam. "Ternyata dugaanku keliru, Larasati. Kau belum matang. Keadaan telah membuatmu
berubah. Lingkungan telah menjadikanmu lain. Hingga kau
berani menyembunyikan sesuatu padaku. Tahu
begini jadinya, aku akan bertindak sendiri!"
"Orang Tua! Jangan...."
"Diam kau! Jangan berani ikut campur urusanku. Nanti tiba giiiranmu untuk menjawab
pertanyaanku!" tukas Maut Mata Satu memotong ucapan Joko Sableng, membuat murid
Pendeta Sinting ini geleng-gelengkan
kepala seraya mengangkat bahu.
"Bagaimana" Kau masih tak mau mengatakan
siapa orangnya"!"
"Gila! Apa sih yang dibicarakan mereka ini"! Dan kenapa Dewi tak mau mengatakan
orang yang ditanyakan gurunya"!" Pendekar Pedang Tumpul 131 coba menduga-duga, namun tak
menemukan jawaban. "Guru. Kalau seseorang telah mendahului dan mendapatkan, kukira aku memang tak
berjodoh!"
"Haram jadah! Kau rupanya telah pandai pula menggurui gurumu! Larasati.... Kalau
kau tetap membisu, berarti kau memilih mati!" habis berkata begitu Maut Mata Satu maju
mendekat. Melihat gurunya mendekat, buru-buru Dewi
Seribu Bunga angkat kepalanya dan berkata pelan.
"Guru.... Aku akan mengatakan siapa orangnya, tapi
kumohon Guru tidak akan bertindak terhadapnya.... Aku berhutang budi padanya!"
Maut Mata Satu kernyitkan kening. "Anak ini benar-benar berubah. Apa yang


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatnya berubah demikian cepat" Seakan-akan dia melindungi orang itu melebihi nyawanya sendiri.
Aneh...." "Larasati. Kau tak usah banyak permintaan.
Katakan cepat!"
Sejenak gadis ini melirik pada gurunya. Mulutnya bergetar tatkala dia berkata. "Pemuda itulah orangnya!"
Saking kagetnya, jenggot dan kumis Maut Mata
Satu sampai bergerak-gerak. Satu-satunya mata
yang dimiliki mendelik besar memandang pada
Joko. Murid Pendeta Sinting sendiri bukan main
terkejutnya. Dia sekarang tahu apa yang sejak tadi menjadi perdebatan antara
murid dengan gurunya
ini. "Tak salah iagi. Pasti yang mereka percakapkan adalah Pedang Tumpui 131. Hem....
Aku harus mempertahankannya
kalau orang tua ini bertingkah macam-macami" kata Joko daiam hati.
Tangan kanannya segera bergerak meraba pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul
131. Tiba-tiba Maut Mata Satu melompat ke depan.
"Jangan berdusta padaku. Katakan siapa dirimu dan apakah benar kau telah
mendapatkan Pedang
Tumpui 131!"
"Guru...," seru Dewi Seribu
Bunga seraya balikkan tubuh dan memandang berganti-ganti
pada Joko dan gurunya.
"Larasati! Kalau mulutmu tak bisa diam, jangan menyesal jika kurobek-robek!"
bentak Maut Mata Satu tanpa berpaling.
Merasa tak ada gunanya lagi berkelit, akhirnya
Pendekar Pedang Tumpui 131 berkata.
"Orang Tua. Namaku Joko Sableng. Aku memang telah mendapatkan Pedang Tumpui
131...." "Bagus! Aku tak akan banyak bicara lagi.
Serahkan pedang itu padaku!"
"Sayang. Kalau itu yang kau minta, aku tak dapat memenuhinya!"
"Anak Muda. Kuingatkan padamu, hari-hari
selanjutnya masih sangat panjang dibanding dengan hari-hari yang telah kau lewati. Kenikmatan tentunya masih sedikit yang kau
enyam. Masih banyak kesenangan yang belum
sempat kau nikmati. Dan kau tak akan merasakan
kenikmatan itu kalau tak menyerahkan pedang
itu!" "Heh. Apa hubungannya antara pedang dan
kenimatan"!"
"Kau akan menemui ajal dahulu sebelum merasakan kenikmatan jika
tak memberikan pedang itu pada ku!"
"Hem.... Begitu" Bagaimana kaiau aku tak
menginginkan kenikmatan itu"!"
Maut Mata Satu terdiam beberapa lama sebelum
akhirnya berkata kembali.
"Kalau kau memang tak menginginkan, akan
kuantar kau secepatnya!"
"Guru...," teriak Dewi Seribu Bunga sambil melompat menghalang-halangi gurunya.
"Dia telah menolong menyelamatkan jiwaku. Kuharap kau
mengerti...."
Plaaakkk! Satu tamparan keras mendarat di pipi Dewi
Seribu Bunga, membuat gadis itu terhuyung-
huyung seraya memegangi pipinya yang telah
berubah menjadi merah.
"Sekali lagi kau berani bicara, aku pun tak segan membuatmu menjadi mayat. Kau
dengar?" Dewi Seribu Bunga tak menyahut. Dia memandangi gurunya dengan pandangan tak
percaya. Dia tadinya mengira Maut Mata Satu tidak akan bertindak meminta pedang
itu mengingat dia diselamatkan
oleh Joko Sableng. Namun dugaannya ternyata meleset. Tapi dia tak bisa
berbuat banyak. Gadis ini menjadi serba salah.
satu pihak harus berhadapan dengan gurunya, ya
bagaimanapun jahatnya, telah menurunkan ilmu
dan mendidiknya selama bertahun-tahun. Di pihak lain, dia mengkhawatirkan Joko.
Karena meski dia telah, tahu ilmu yang dimiliki Joko, namun dia
masih ragu jika bentrok dengan gurunya.
Ditunggu agak lama Pendekar 131 tak juga
memberikan apa yang diminta, Maut Mata Satu
habis kesabaran.
"Anak tak tahu diuntung. Kau akan merasakan akibat ulahmu!"
Maut Mata Satu maju satu langkah. Kedua
tangannya disentakkan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar membersit keluar dari kedua tangannya. Di tengah jalan sinar itu pecah lalu muncrat menjadi puluhan bunga-
bunga api yang membawa hawa panas
dan keluarkan suara
menggemuruh! Di lain kejap angin deras menyusuli. Mendapati serangan ganas, Pendekar Pedang
Tumpul 131 tak berani berlaku ayal. Murid
Pendeta Sinting ini cepat pula dorong kedua
tangannya. Seberkas sinar kuning keperakan menyambar
keluar. Pada saat yang sama suasana di tempat itu berubah menjadi semburat warna
kuning dan panas. Bunga-bunga api langsung meletup dan padam
begitu terhajar oleh pukuian Joko. Namun murid
Pendeta Sinting Ini terkesiap tatkala tiba-tiba di depannya
menghampar angin deras laksana gelombang. Tubuhnya terasa kesemutan, dadanya
sesak. Di lain saat, sosoknya telah mencelat mental ke belakang lalu terjerembab
di tanah. Mungkin
karena derasnya, tanah di mana dia terjerembab
kontan membentuk kubangan menganga!
Di seberang, Maut Mata Satu hanya terjajar
beberapa langkah ke belakang. Namun iaki-iaki
berusia lanjut ini langsung berubah parasnya. Dia merasakan
sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang bara api. Dada berdebar keras. Sebelum kedua kakinya
goyah, tokoh rimba
persilatan yang sangat ditakuti ini segera kerahkan tenaga dalamnya hingga
huyungan tubuhnya
terhenti. "Pukulan 'Lembur Kuning'! Apa hubungannya
anak ini dengan keparat Pendata Sinting"!" gumam Maut Mata Satu seraya usap-usap
dadanya. Lalu melangkah ke arah Joko dengan senyum seringai.
Yang paling cemas melihat keadaan Joko Sableng
adalah Dewi Seribu Bunga. Wajah gadis ini tampak pucat. Mulutnya membuka hendak
memperingati Joko agar melarikan diri menghindar. Namun tiada suara yang terdengar dari
mulutnya. "Kalau kau menuruti kata-kataku, tak akan
mengalami kematian semasa masih muda!" ujar Maut Mata Satu seraya terus
melangkah dan memandang tajam pada Joko yang berusaha
bangkit. Mendadak Maut Matu Satu hentikan langkahnya
dan serta-merta berseru geram tatkala dilihatnya kedua tangan Pendekar 131 telah
berubah menjadi kuning keperakan. Dia maklum jika lawan akan
segera lepaskan pukulan.
Belum lenyap gema seruan Maut Mata Satu,
hawa panas dan hamparan warna kuning telah
melingkupi tempat itu. Bersamaan dengan itu, dua berkas sinar kuning bercahaya
melesat deras ke
arahnya! Seraya melompat mundur, Maut Mata Satu
hantamkan kedua tangannya kembali.
Wuuuttt! Gelombang sinar hitam menderu dahsyat. Tanah
dan pohon serta semak belukar di sekitar tempat itu
bergetar sebagian langsung tumbang mengeluarkan suara berdebam. Daun dan tanah
berhamburan menutupi pemandangan. Sekejap
kemudian terdengar ledakan keras tatkala dua
pukulan mengandung tenaga dalam itu bersatu di
udara. Saat keadaan telah sirap, Maut Mata Satu telah
terduduk dua tombak dari tempatnya semula.
Pakaian yang dikenakan telah hangus dan dari
julaian jenggotnya yang lebat tampak menetes
darah, pertanda dari mulutnya yang tertutup
kumis telah mengeluarkan darah. Tampang kakek
ini pias laksana tak dialiri darah sama sekali. Dan mata satu-satunya membeliak
tatkaia dia dapatkan kedua tangannya melepuh merah dan panas bukan
alang kepalang.
Murid Pendeta Sinting terlihat terkapar sepuluh tombak di seberang. Diam tak
bergerak-gerak.
Hanya deburan dadanya tampak turun naik
dengan mulut keluarkan erangan pelan. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah.
Melihat Pendekar Pedang Tumpui 131 roboh tak
bergerak, Dewi Seribu Bunga yang tadinya menjauh untuk menghindar dari sapuan pukulan
yang sedang bentrok segera menghambur ke
depan. Tapi langkahnya tertahan ketika bayangan Maut Mata Satu telah terlebih
dahulu berkelebat dan berdiri empat langkah di depan Joko.
Pendekar Pedang Tumpul 131 cepat beringsut
menggeser tubuhnya ke atas lalu bergerak duduk.
Tangan kanannya meraba pinggang di mana
Pedang Tumpui 131 tersimpan.
"Terpaksa aku menggunakannya. Kalau tidak
nyawaku mungkin tak akan selamat...," Joko segera cabut pedang dari sarungnya di


Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik pakaiannya. Seberkas sinar kuning segera memancar. Maut
Mata Satu mendelik tak berkedip. Kumisnya
bergerak-gerak.
"Itu pedang yang kuimpikan!" hardik Maut Mata Satu. "Lekas serahkan pedang itu!"
Joko Sableng menatapnya dingin. Tangannya
bergerak mengangkat pedang tinggi-tinggi. Sedangkan tangan kirinya ditarik ke belakang
Melihat hal demikian, Maut Mata Satu tertawa
pajang. "Wajahmu berubah. Tanganmu bergetar. Aku tak bisa kau bodohi. Sebenarnya kau
sudah tak bisa kerahkan tenaga dalam!"
Pendekar Pedang Tumpul 131 merinding sendiri
karena lawan telah tahu keadaannya. Murid
Pendeta Sinting ini mengangkat tangan dan
menarik tangan satunya ke
belakang untuk menunjukkan bahwa dirinya masih sanggup melepaskan pukulan, padahal dia menutupi keadaannya yang sebenarnya. Dan dia jadi melengak ketika kakek di hadapannya telah
mengetahui tipu muslihatnya.
"Sialan! Dia tak dapat dikelabui!" rutuknya seraya tersenyum kecut.
Maut Mata Satu mendengus. Meski dia tahu
bahwa lawan belum bisa kerahkan tenaga dalamnya secara penuh karena telah terluka
dalam, namun dia tak berani bertindak ceroboh.
Pedang di tangan kanan lawan masih merupakan
ancaman yang tidak main-main. Hingga dia tak
segera maju untuk merebut pedang yang telah
sekian puluh tahun diimpi-impikannya. Sebaliknya disurutkan kaki satu tindak
dengan kedua tangan saling digosokkan.
"Baik. Rupanya kau minta aku mengambil
pedang dan tubuhmu yang telah jadi bangkai!"
Habis berkata begitu, laki-laki bermata satu ini angkat kedua tangannya. Di
hadapannya Joko
memperhatikan dengan kuduk berdiri. Keringat
dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Celaka! Apa riwayatku hanya sampai di sini"!"
Maut Mata Satu membentak dengan sentakkan
kedua tangannya. Namun bersamaan dengan itu
gelombang angin dahsyat datang menderu dari
arah samping dan mengarah pada Maut Mata Satu,
membuatnya melompat mundur selamatkan diri
lalu bergerak ke samping seraya berseru kaget.
Gelombang sinar hitam yang melesat keluar dari
kedua tangan Maut Mata Satu terus melarik ke
depan dengan dahsyatnya. Namun karena tubuhnya bergerak mundur ke samping, pukulan
yang dilepaskan untuk menghajar Pendekar Pedang Tumpul 131 menyamping tak mengenai
sasaran! "Keparat jahanam! Siapa main gila ini, hah"!"
teriak Maut Mata Satu dengan dagu terangkat dan mata mendelik merah.
Belum lenyap teriakan Maut Mata Satu, terdengar suara tawa mengekeh panjang. Di lain
kejap, sesosok bayangan berkelebat dan berdiri
tegak menghalang-halangi antara Maut Mata Satu
dan Joko Sableng!
*** DELAPAN ATA satu-satunya milik Maut Mata Satu
bergerak liar memandang beringas pada
Msosok hadapannya. Sosok ini adalah
seorang perempuan. Meski tidak muda, namun
paras wajahnya cantik jelita. Rambutnya panjang dengan bulu mata lentik.
Sepasang matanya bagus dan
bibir merah menyala. Dia mengenakan pakaian ketat warna biru yang bagian dadanya
dibuat rendah hingga payudaranya setengah menyembul. Putih membusung dan kencang menantang. Tiba-tiba Maut Mata Satu berseru lantang.
"Ratu Pemikat! Kau rupanya. Hem.... Kita
memang sahabat lama, namun untuk urusan ini
kuperingatkan agar kau tak ikut campur tangan!
Lebih dari itu kau harus segera tinggalkan tempat ini!"
Si perempuan berwajah cantik dan bukan lain
memang Ratu Pemikat adanya keluarkan tawa
panjang "Meski kita sudah lama tak jumpa
nyatanya kau masih bisa mengenaliku, Maut Mata
Satu! Tapi aku sedih mendengar ucapanmu tadi."
"Sedih" Apa maksudmu..."!"
"Aku sedih karena tak dapat memenuhi apa yang kau minta! Aku punya kepentingan
di sini!" habis berkata begitu, perempuan Ini berpaling pada Joko yang ada di
belakangnya. Sepasang mata bulat
perempuan membesar dengan senyum menyungging. Namun dadanya berdebar keras.
Bukan karena melihat pada Joko, melainkan pada
tangan kanan Joko yang masih memegang Pedang
Tumpul 131. Sesaat kemudian, matanya memperhatikan Joko dari rambut sampai kaki.
"Seorang pemuda berparas tampan. Tubuh tegap. Rambut gondrong sedikit acak-acakan.
Hem.... Sesuai dengan keterangan Bayangan Setan.
Dan pedang itu memang berada di tangannya....
Aku harus dapat merebutnya walau harus bertarung dulu dengan Maut Mata Satu. Aku
yakin, si mata satu itu pasti tak akan tinggal
diam!" Murid Pendeta Sinting yang semula merasa
gembira karena muncul orang yang menyelamatkan jiwanya tiba-tiba tersirap dengan dahi berkerut ketika Ratu
Pemikat berpaling
padanya. "Heran...," gumam Joko Sableng dalam hati.
"Rasa-rasanya aku pernah melihat perempuan ini.
Tapi di mana...?" Joko memperhatikan lebih seksama. "Benar. Aku pernah
melihatnya. Sayang aku tak dapat mengingatnya di mana dan kapan!
Hem.... Parasnya cantik, tubuhnya bagus, dan
dadanya...."
Di seberang, Dewi Seribu Bunga diam-diam juga
bersyukur karena Joko telah diselamatkan seseorang. Namun kelegaan dada gadis ini hanya
sesaat. Ketika dilihatnya sang penolong berbalik dan memandang Pendekar Pedang
Tumpul 131 dengan pandangan aneh, sementara Joko sendiri
balas memandang, dada gadis ini berdebar-debar.
Dia sendiri tak tahu, kenapa hal itu terjadi. Yang pasti dia tak senang dengan
pandangan si perempuan berparas cantik pada Joko!
"Ratu Pemikat!" Maut Mata Satu berkata. "Kau berkata punya kepentingan.
Kepentingan apa"!"
"Selama dunia masih terkembang. Selama rimba persilatan masih riuh rendah. Hanya
orang tak waras jika tak menginginkan senjata pada pemuda Itu!"
Maut Mata Satu tidak terkejut mendengar ucap
Ratu Pemikat. Karena ia sebelumnya telah menduga apa kepentingan sebenarnya perempuan
berdandan seronok ini. Namun lain halnya dengan Dewi Seribu Bunga lebih-lebih
Joko Sableng. Malah karena terkejutnya, Pendekar Pedang Tumpui 131 semakin kencang memegang gagang
pedang dan buru-buru masukkan pedang ke
sarungnya di balik pakaian. Lalu perlahan-lahan coba kerahkan tenaga dalamnya.
"Sial benar nasibku hari ini. Yang satu belum selesai, satu lagi telah
menyusuli"
Lain yang dibatin murid Pendeta Sinting, lain
yang dibatin murid Maut Mata Satu. "Kalau
perempuan itu sampai berulah macam-macam
terhadap Joko, aku tak akan tinggal diam!"
Di hadapan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu
keluarkan dengusan keras. Lalu berucap dingin.
"Dulu kita bersahabat. Kita sama-sama satu golongan. Apakah hal itu akan rusak
gara-gara perkara ini"! Harap kau berpikir dua kali. Juga perlu kau pertimbangkan, siapa
yang akan kau hadapi!" Ratu Pemikat keluarkan tawa mengekeh hingga
dadanya bergerak turun naik. Kepalanya lalu
tengadah. Dari mulutnya terdengar ucapannya.
"Maut Mata Satu. Sahabat memang perlu. Tapi tujuan adalah segala-galanya! Kalau
perlu, demi tujuan sahabat harus disingkirkan!" Ratu Pemikat lurus kepalanya ke
arah Maut Mata Satu. "Aku tahu siapa yang akan kuhadapi. Kau tak usah
memberi pertimbangan!"
"Begitu" Berarti kau ingin mati di tanganku!"
bentak Maut Mata Satu seraya melompat ke depan.
Tubuhnya sedikit didoyongkan ke depan sementara kedua tangannya disentakkan ke
bawah. Ratu Pemikat cepat angkat kedua tangannya menyilang
di depan dada. Menyangka lawan akan menghajar
dengan tangan, perempuan ini pun rundukkan
sedikit kepalanya.
Namun dugaan Ratu Pemikat meleset. Maut
Mata satu tiba-tiba putar tubuhnya. Karena waktu doyongkan tubuh ke depan tadi
kedua tangannya
menyentak ke bawah, membuat kakinya amblas
masuk sebatas mata kaki ke

Joko Sableng Ratu Pemikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tanah. Mendadak, kaki kanannya diangkat dan ketika
tubuhnya berbalik menghadap Ratu Pemikat, kaki
kanannya telah menggebrak ke depan!
Ratu Pemikat terperangah. Dia hanya dapat
merasakan deruan angin keras. Lalu melihat
tendangan kaki Maut Mata Satu telah berada di
depan matanya! Perempuan ini cepat sentakkan
kedua tangannya sekaligus ke bawah menghadang
tendangan lawan yang sengaja diarahkan ke
selangkangannya! Namun ternyata tendangan kaki
itu lebih cepat datangnya.
Brettt! Bukkk! Ratu Pemikat terpekik keras. Sosoknya terjajar
sampai lima langkah ke belakang. Untung perempuan ini masih sempat sorongkan tubuhnya
ke samping saat tendangan menghajar, hingga
tendangan itu hanya menghantam pahanya. Kain
bagian pahanya langsung robek dan kulit paha di baliknya
membiru. Perempuan cantik ini merasakan pahanya seakan patah.
Dalam keadaan marah besar, Ratu Pemikat cepat
melesat ke depan. Kedua tangannya dihantamkan
sekaligus ke arah kepala Maut Mata Satu.
Wuuuttt! Maut Mata Satu angkat pula kedua tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu di udara. Dua seruan
tertahan segera terdengar. Ratu Pemikat cepat
surutkan langkah satu tindak. Lalu secepat kilat kaki kiri diangkat dan
dilesatkan ke arah dada
Maut Mata Satu.
Maut Mata Satu kaget. Dia berusaha mundur,
namun lesatan kaki telah menghantam lebih dulu.
Bukkk! Laki-iakl bermata satu itu terseret hingga satu tombak ke belakang. Parasnya
yang pucat makin
pucar. Dari hidungnya terdengar dengusan keras.
Mata memandang berkilat-kilat pada Ratu Pemikat.
"Kita sudahi masalah ini sampai ada di antara kita yang menemui ajal!" ujarnya
dengan suara keras. Kedua tangannya lantas diangkat sejajar
dada. Serta-merta kedua tangannya dihantamkan
ke arah Ratu Pemikat
Wuuuttt! Wuuuttt!
Tangan kiri mengeluarkan sinar hitam, sedang
tangan kanannya membersitkan sinar berwarna-
warni. Laki-laki bermata satu ini telah lepaskan dua pukul sakti sekaligus.
Tangan kiri yang
mengeluarkan sinar
hitam lepaskan pukulan 'Gelombang Kematian' sedangkan tangan kanan
lepaskan pukulan 'Api Seribu Bunga'. Hingga saat itu juga gelombang hitam yang
membawa angin dahsyat segera menderu, disusul kemudian dengan pecahnya sinar warna-warni yang
memuncratkan puluhan bunga-bunga api yang menghamparkan
hawa panas! Ratu Pemikat yang sudah lama bersahabat
dengan Maut Mata Satu telah tahu bagaimana
kehebatan dua pukulan sakti itu. Maka perempuan sakti ini tak berani main-main.
Dia cepat pula hantamkan kedua tangannya.
Dari kedua tangannya langsung mengembang
sinar terang biru dan serentak menyungkup
tempat itu! Ratu cantik ini telah lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit'.
Bummm! Bummm! Terdengar ledakan dahsyat dua kali mengguncang tempat itu. Disusul dengan beberapa letupan dari bunga-bunga api
yang ambyar dan
padam. Joko Sableng yang berada tak jauh dari situ
tersapu mental dan terguling sampai beberapa
tombak jauhnya. Dadanya terasa sesak dan sulit
digunakan untuk bernapas hingga untuk beberapa
lama murid Pendeta Sinting ini buka mulutnya
lebar-lebar! Dewi Seribu Bunga sendiri terdorong hingga
beberapa langkah ke belakang. Tapi karena tempatnya berdiri agak jauh membuat gadis Ini
tidak mengalami cidera parah. Hingga dia cepat
memperhatikan ke arah Joko yang sedang terkapar dengan mulut menganga tanpa ada
suara yang keluar. Sejak tadi, murid Maut Mata Satu ini tak mau lepaskan perhatiannya pada
murid Pendeta Sinting. Dia khawatir, karena dia tahu jika
Pendekar Pedang Tumpul 131 telah terluka akibat bentrokan dengan gurunya.
Mungkin tak dapat menguasai rasa khawatirnya,
Dewi Seribu Bunga beranjak melangkah ke arah di mana Joko Sableng terkapar.
Namun baru empat
langkah, Joko telah bergerak bangkit. Begitu
pemuda ini melihat Dewi Seribu Bunga hendak
mendekat ke arahnya, dia memberi isyarat dengan gelengan kepalanya, membuat Dewi
Seribu Bunga hentikan langkah dan memandang dengan dahi
mengernyit. Setelah memperhatikan Pendekar 131
sejurus, gadis ini menghela napas dalam, lalu
melangkah lagi ke tempatnya semula dengan dada
dipenuhi beberapa perasaan.
Di bagian lain, Ratu Pemikat tampak berlutut
dengan dada bergetar dan mulut keluarkan darah.
Rambutnya yang panjang terlihat acak-acakan dan sebagian mengelinting seperti
rambut terbakar.
Wajahnya pucat pasi dengan mata setengah
terpejam menahan rasa sakit.
Jauh di depan Ratu Pemikat, Maut Mata Satu
duduk bersandar pada sebatang pohon kecil,
hingga pohon itu doyong ke belakang. Kumis dan
jenggot laki-laki itu telah berwarna kemerahan
karena terkena darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.
Beberapa saat berlalu. Masing-masing orang
tempat itu coba mengatasi diri masing-masing dari luka dalam yang mendera. Orang
pertama yang mengadakan gerakan adalah Ratu Pemikat. Kepala
perempua ini sejenak terlihat bergoyang-goyang.
Lalu sepasang matanya melirik ke tempat di mana Pendekar
Pedang Tumpul 131 berada. Lalu memandang ke depan, arah Maut Mata Satu yang
masih nampak memejamkan mata pulihkan tenaga
dalam. "Hem.... Kesempatan ini tak akan kusia-siakan.
Mumpung keparat itu masih tenggelam...," berpikir begitu, perempuan cantik
bertubuh sintal ini
arahkan pandangannya kembali pada Joko. Mendadak dia hentikan sepasang bahunya. Sosoknya melesat dan tahu-tahu telah tegak di
hadapan Joko yang sedang mengerahkan tenaga
dalamnya. Tanpa keluarkan suara sedikit pun, Ratu Pemikat langsung hantamkan kakinya ke arah
lambung Pendekar 131. Dewi Seribu
Bunga terkesiap kaget. Karena dia berada agak jauh,
maka jika lepaskan pukulan pun tak ada artinya, sebab
kaki Ratu Pemikat telah bergerak menendang. Bahkan kalau Ratu Pemikat sempat
bisa meloloskan diri dari pukulannya, pukulan itu bukan tak mungkin akan melesat
ke arah Joko Sableng. Hingga satu-satunya jalan yang bisa
dilakukannya adalah berseru memperingatkan Joko. Di lain pihak, bersamaan dengan melesatnya
tendangan Ratu Pemikat, satu-satunya mata milik Maut Mata Satu membuka. Dan
begitu melihat apa
yang hendak dilakukan Ratu Pemikat, laki-iaki
bermata satu ini cepat bangkit lalu hantamkan
kedua tangannya.
"Jahanam! Jangan mimpi bisa mendahuluiku,
Perempuan Sundal!" maki Maut Mata Satu.
Ratu Pemikat mendengar makian Maut Mata
Satu, namun perempuan ini tak menghiraukan.
Tendangan terus dilakukan.
Namun sebelum kedua tangan Maut Mata Satu
menghantam, dan sebelum Dewi Seribu Bunga
berteriak memperingatkan, mendadak di tempat itu terdengar suara tawa panjang
yang kemudian diputus mendadak laksana direnggutkan. Semua
orang di tempat itu jadi terkesiap. Pendekar 131
buka kelopak matanya. Pemuda murid Pendeta
Sinting ini tersirap darahnya melihat tendangan telah melesat di depannya. Tak
ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Namun bersamaan
dengan terhentinya suara tawa. tendangan kaki
Ratu Pemikat laksana ditahan!
Ratu Pemikat tersentak. Sebelum perempuan ini
mengetahui apa yang menahan gerakannya, tubuhnya tiba-tiba laksana dihempos gelombang
angin dahsyat. Meski dia lipat gandakan tenaga
dalamnya namun sia-sia. Malah hempasan gelombang itu makin deras, hingga tak lama
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 14 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Matahari Esok Pagi 11
^