Pencarian

Rembulan Berdarah 3

Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah Bagian 3


dang dihampirinya dengan kesan terancam,
"Bocah Bodoh! Kami datang! Tenang, tenang...,!"
seru Tua Usil ketika burung itu melintas tepat di atas
kepala Bocah Bodoh untuk kemudian mendarat di
tempat sedikit jauh dari Bocah Bodoh dan Jin Arak.
Dan melihat kedatangan Yoga, Bocah Bodoh benar-
benar merasa tenang serta gembira. Ia berani meringis
di depan Jin Arak yang memandang burung dengan
mata sedikit menyipit dan mulut terbengong.
"Mereka temanku. Tua Usil dan Tuan Yo!" kata Bocah Bodoh sambil cengar-cengir
tanpa rasa takut
seperti tadi. "Apa benar dia naik burung perkutut?" tanya Jin Arak. "Itu bukan burung
perkutut! Huhh... dasar mabuk! Burung rajawali dikatakan burung perkutut"!"
Bocah Bodoh berani mengecam sekarang. Ia melihat
yoga dan Tua Usil berlari mendekatinya. Semakin be-
rani ia bersikap di depan Jin Arak.
"Bagaimana keadaanmu, Bocah Bodoh"! Kau ce-
dera"!" tanya Tua Usil yang menduga telah terjadi pertarungan seru antara Bocah
Bodoh dengan tiga orang
tak dikenal. Dua orang di antaranya sudah tergeletak
menjadi bangkai, satu orang lagi masih hidup dan di-
anggap sedang berusaha ditumbangkan oleh Bocah
Bodoh. Yoga cepat bertanya kepada Bocah Bodoh setelah
menatap ke arah mayat Sakuntala dan mayat Barong
Bangkai, "Apa yang terjadi di sini, Bocah Bodoh"!"
"Aku yang bunuh mereka berdua. Mau apa ka-
lian"!" Jin Arak tunjukkan sikap tidak bersahabat. Tua Usil memandang dengan
gemas, tapi Yoga memberi
isyarat supaya Tua Usil tidak bertindak. Yoga tahu,
orang gemuk itu sedang mabuk. Buktinya orang ge-
muk itu segera meneguk araknya lagi dari kantong ku-
lit. Setelah mendengar penjelasan dari Bocah Bodoh
secara lengkap, maka Pendekar Rajawali Merah pun
berkata, "Sebaiknya kita menghadap Dewi Gita Dara! Ba-
wa kami ke istana itu, Bocah Bodoh. Aku ingin bica-
ranya padanya!"
"Baik, Tuan Yo! Tapi bagaimana dengan kedua
mayat itu?"
"Tak perlu dibawa dulu. Biar nanti orang-orang
Dewi yang mengurusnya. Kita perlu laporkan hal ini
kepada sang penguasa itu!"
Jin Arak dibujuk oleh Yoga sehingga akhirnya
mau diajak pergi ke istana walau sepanjang perjalanan
selalu bikin ulah yang menjengkelkan hati Tua Usil.
Bocah Bodoh sempat ingatkan kepada Tua Usil dengan
berbisik, "Hati-hati terhadap Jin Arak. Hanya dengan ber-
tepuk tangan dia bisa bunuh lawannya dengan mudah.
Ilmunya tinggi!"
Tua Usil hanya manggut-manggut menahan ke-
jengkelan. Sampai akhirnya mereka berhasil mengha-
dap Dewi Gita Dara yang bertindak sebagai ratu di is-
tana megah tersebut. Kehadiran Yoga dan Tua Usil
disambut hangat oleh Dewi Gita Dara. Perempuan itu
tampak riang dan berseri-seri melihat kehadiran Yoga
dan Tua Usil. "Sudah kuduga kalian pasti akan datang juga,"
kata Dewi Gita Dara sambil menatap ke arah Yoga.
"Baru saja aku datang sudah melihat kejadian
yang tak sehat, Dewi. Kusarankan kau buat pengu-
muman baru."
"Pengumuman tentang apa?"
"Pembatalan sayembara itu! Tutup saja sayemba-
ra itu supaya tidak timbulkan banyak korban sia-sia,
seperti yang dialami Sakuntala dan Barong Bangkai
itu!" Dewi Gita Dara tertegun diam setelah menerima laporan lengkap dari Bocah
Bodoh. Kemudian, Yoga
tambahkan kata,
"Akan terjadi saling bunuh seperti ini jika sayembara mu tidak segera ditutup.
Akibatnya banyak yang
mati bukan karena melawan naga itu, melainkan me-
lawan sesamanya sendiri. Kau akan dikecam sebagai
penguasa penyebar petaka di dunia persilatan!"
"Kecaman itu sudah telanjur kuterima sebenar-
nya. Tapi itu bukan salahku. Aku tidak pernah menyu-
ruh mereka untuk saling bunuh. Aku menyuruh mere-
ka untuk membunuh Naga Bara!"
"Benar! Tapi akibat dari apa yang kau suruhkan
itu adalah bencana besar bagi kaum lelaki. Jujur saja
kukatakan, semua kaum lelaki berminat menjadi sua-
mimu, dan itu akan mengundang mereka untuk saling
bunuh. Kau belum terlambat, Dewi Gita Dara. Kau
masih bisa menghapus kecaman itu di mata dunia
persilatan!"
Rupanya Jin Arak yang ada di belakang jauh dari
Yoga itu mendengar percakapan tersebut. Dari tem-
patnya duduk di lantai dengan santai, ia berseru ke-
ras-keras, "Aku tidak setuju!" lalu ia bangkit dan mengge-loyor hendak Jatuh. Jin Arak
berjalan limbung dekati
Dewi Gita Dara. Dalam jarak empat langkah ia berhen-
ti dan berseru;
"Aku tidak setuju kau menutup sayembara mu,
Dewi Gita Dara. Aku sudah telanjur datang kemari.
Sayembara itu harus tetap berjalan. Kalau tidak, akan
ku obrak-abrik istana ini!"
Yoga segera mengatasi ancaman tersebut dengan
berkata, "Jin Arak, jangan turuti nafsumu sendiri. Pikirkan nasib para peserta
lainnya yang menderita ke-
matian seperti Sakuntala dan Barong Bangkai itu! Me-
reka mati bukan membunuh naga, bukan melawan
Naga Bara, tapi melawan dirimu!"
"Itu salah mereka sendiri, mengapa mereka bera-
ni menghina dan mengusik Jin Arak"!" bantahnya.
"Kau pun bisa kubuat senasib dengan mereka jika berani menentang kehendakku!"
Tua Usil panas hatinya mendengar ucapan Jin
Arak. Belakangan ini, ia memang tak bisa banyak me-
nahan kesabaran seperti dulu. Ia cepat menjadi panas
hati dan mudah tersinggung oleh kata-kata lawan
ataupun orang yang belum dikenalnya. Karena itu, Tua
Usil segera berkata kepada Jin Arak,
"Jin Arak. kuharap kau bersikap sopan di depan
tuan ku!" "Aku sopan"! Ya. Aku telah bersikap sopan. Tapi
dia punya usul yang membahayakan dan mempenga-
ruhi pikiran Dewi Gita Dara! Aku tidak setuju dengan
caranya itu! Kalau memang dia mau ikut jadi peserta
sayembara, jangan begitu caranya!"
"Tuan Yo tidak ingin jadi peserta sayembara.
Tuan Yo hanya inginkan supaya Nona Dewi tidak men-
dapat kecaman buruk di mata dunia persilatan. Harap
kau mau mengerti."
"Tidak mau!" bantahnya dengan suara keras dan gerakkan tangan berkelebat lemas.
"Aku tidak mau
mengerti, karena aku sudah telanjur ingin membunuh
Naga Bara! Aku ingin buktikan di mata dunia persila-
tan bahwa Jin Arak adalah tokoh sakti yang layak
mendapat penghargaan besar, yaitu menikah dengan
Dewi Gita Dara! Ha, ha, ha...!"
Tua Usil dan Yoga sama-sama pandangi Dewi Gi-
ta Dara, sementara Bocah Bodoh menatap ke arah Tua
Usil dengan mulut terbungkam. Dewi Gita Dara men-
jadi bingung memutuskan hal itu. Kejap selanjutnya ia
pun berkata, "Begini saja Yoga... beri aku waktu semalam un-
tuk mempertimbangkan usul dan saranmu itu!"
Jin Arak menyahut, "Tidak bisa! Kau tidak boleh
tutup sayembara ini jika tidak ingin kubuat hancur
kekuasaanmu! Kalau pemuda itu mau ikut campur,
kuhancurkan sekalian kepalanya!" sambil ia menunjuk Bocah Bodoh, walau yang
dimaksud adalah Yoga.
Tua Usil segera berkata dengan suara memben-
tak, "Jin Arak! Kalau kau berniat hancurkan kepala Tuan Yo, kau harus berhadapan
denganku lebih dulu!"
Jin Arak memandang Tua Usil sambil menggeram
keras karena merasa ditantang. Dengan mata mendelik
merah dan tubuh bergoyang-goyang Jin Arak berkata,
"Kau membuatku marah, Tikus Sawah! Kubukti-
kan kesaktianku!"
Jin Arak baru saja mau bertepuk tangan, tapi
Tua Usil sudah lebih dulu sentakkan tangan kirinya
dengan cepat. Wuuut...! Telapak tangan kiri itu belum
sampai menyentuh perut besar Jin Arak, tapi orang
gemuk itu sudah terlempar keras, melayang keluar da-
ri serambi depan istana.
Bluuhg...! Terdengar suara jatuhnya di halaman
depan istana itu cukup jelas. Tua Usil melompat men-
gejarnya tanpa hiraukan seruan Yoga yang mencegah-
nya, "Jangan layani dia, Tua Usil! Dia dalam keadaan mabuk!"
Tua Usil sampai di depan istana, pada tangga ke-
dua dari bawah. Bocah Bodoh, Yoga, Dewi Gita Dara,
dan dua pengawal lainnya bergegas susul Tua Usil ke-
luar. Pada waktu itu, Jin Arak segera bangkit dan le-
paskan pukulan bersinar dari tangannya. Pukulan itu
keluarkan cahaya kuning bagaikan besi lurus ke dada
Tua Usil. Namun dengan cepat bagai tangan bergerak
sendiri, seberkas sinar hijau berkelebat dari dua jari Tua Usil dan menghantam
sinar kuningnya Jin Arak.
Blaaar...! Benturan itu timbulkan suara ledakan yang bagai
ingin meretakkan dinding-dinding istana. Tua Usil di-
am di tempat sedangkan Jin Arak terlempar lagi ke be-
lakang dalam jarak cukup jauh, sekitar tujuh tombak.
"Tua Usil, tahan napas mu...!" Yoga mengin-
gatkan. Tapi Tua Usil berkata dengan wajah marah,
"Sudah telanjur, Tuan! Saya bereskan sekalian
dia!" Wuuut...! Tua Usil sentakkan kaki di lantai tangga, tubuhnya melayang jauh
ke depan dan mendarat di
depan Jin Arak dalam jarak tiga langkah. Jin Arak ba-
ru saja berdiri dengan sempoyongan. Begitu melihat
lawannya sudah berdiri di depannya, ia segera angkat
kedua tangan dan bertepuk satu kali. Plook...!
Tua Usil hanya kibaskan badan ke samping. Ia
tetap berdiri di tempatnya. Ketika Jin Arak ingin bertepuk satu kali lagi, Tua
Usil cepat berkelebat maju dan menghantamkan telapak tangannya ke dada orang
gemuk itu. Buuhg...!
"Uuuhgg...!" Jin Arak terdorong-ke belakang dan terbungkuk sebentar dengan mulut
ternganga serukan
pekik tertahan. Mulutnya keluarkan darah kental hi-
tam kemerah-merahan.
"Tua Usil, tahan...!" seru Yoga, ia segera bergegas hampiri Tua Usil karena tak
menghendaki Tua Usil
membunuh Jin Arak.
Namun sebelum Yoga tiba di tempat, Jin Arak
sudah lebih dulu sentakan kaki dan melompat lari
tinggalkan istana sambil berteriak,
"Akan kubalas kau secepatnya! Akan kubalas ke-
kalahan ku ini!"
Tua Usil ingin mengejar, tapi tangan Yoga cepat
menyambar pundaknya dan mencengkeramnya. Tua
Usil hentikan langkah dan berpaling kepada Yoga.
"Tahan. Jangan turuti amarah mu. Tua Usil.'"
Pelan-pelan Tua Usil. kendurkan ketegangannya.
Wajahnya terlihat lunak kembali. Kemarahannya surut
perlahan-lahan. Kejap berikutnya ia menjadi heran
sendiri dan bertanya,
"Apa yang telah saya lakukan tadi, Tuan Yo..."!"
Pendekar Rajawali Merah hanya tarik napas da-
lam-dalam. Dewi Gita Dara terdengar berucap kata, "Hebat
juga dia! Pukulannya bukan pukulan kelas ringan!"
Bocah Bodoh melirik tanpa senyum. Mereka me-
mandang Yoga yang menuntun Tua Usil untuk kembali
ke serambi istana.
* * * 7 SATU malam sudah Yoga menginap di istana itu.
Ternyata menurut perhitungan penduduk Teluk Gang-
ga, malam bulan purnama tepat jatuh pada esok ma-
lam. Tentu saja pada malam itu, Yoga membahas ma-
salah sayembara tersebut dengan Dewi Gita Dara. Me-
reka bicara di taman, hanya berduaan.
Sekalipun belum tiba saat purnama, tapi rembu-
lan sudah bertengger di angkasa. Sinarnya telah teran-
gi bumi, dan membuat taman menjadi asri. Suasana
itu sungguh indah untuk sepasang anak manusia yang
ingin berkasih-kasihan. Tetapi tidak demikian halnya
dengan Yoga-dan Dewi Gita Dara. Mereka justru terli-
bat pembicaraan yang tidak menyinggung-nyinggung
kemesraan sedikit pun. Dewi Gita Dara banyak berce-
rita tentang leluhurnya dan Naga Bara.
Malam itu diputuskan, Dewi Gita Dara akan tu-
tup pengumuman sayembara tersebut. Menurut Yoga,
jika tidak disebarluaskan tidak akan dianggap sah oleh mereka yang ingin
mengikuti sayembara tersebut. Dewi
Gita Dara setuju untuk menyebarluaskan penutupan
sayembara tersebut. Esok ia akan suruh pegawainya
untuk atur hal itu.
Tetapi kesibukan Dewi Gita Dara dalam mengata-
si para penduduk yang mengeluh dan dicekam pera-
saan takut itu membuatnya lupa memerintahkan pe-
gawainya untuk menangani masalah penutupan
sayembara. Apa lagi esok harinya Dewi Gita Dara ke-
datangan tamu penting, yaitu seekor burung rajawali


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih yang membawa dua penumpangnya, Lili dan
Pandu tawa. Kehadiran Lili di Teluk Gangga membuat wajah
Tua Usil makin ceria. Namun tidak demikian halnya
dengan Yoga. Wajah pemuda itu berkesan murung dan
tampak menahan kedongkolan. Bukan karena kehadi-
ran Lili yang membuat hati Yoga dongkol, namun ke-
bersamaan Lili dengan Pandu Tawa yang tampan itu-
lah yang membuat dada Yoga bergemuruh dan ingin
meledak rasanya.
Lili segera ambil kesempatan bicara berdua den-
gan Yoga, sementara Pandu Tawa bicara dengan Dewi
Gita Dara mengenai maksudnya membunuh Naga Ba-
ra. Di sudut halaman samping yang tertata indah itu,
Yoga bicara dengan Lili sedikit bernada cekcok. Pada
dasarnya Yoga cemburu Lili naik rajawali berdua den-
gan Pandu Tawa. Namun Lili segera jelaskan permasa-
lahan sebenarnya.
"Dan semua sudah kuceritakan padanya tentang
siapa diriku dan siapa dirimu. Dia tahu kalau aku ke-
kasihmu. Dia berjanji tidak akan mengganggu hubun-
gan kita, bahkan ingin berkenalan dengan baik pada-
mu, Yo! Tolong, pahami dulu niatnya itu, Jangan ma-
rah dulu, Yo!"
Agaknya Lili punya rasa takut juga jika Yoga te-
lah cemburu begitu. Ia berusaha membujuk muridnya
sebisa-bisa mungkin, sampai akhirnya Yoga pun mele-
paskan perasaan itu, membuangnya jauh-jauh, dan
hati Lili menjadi lega kembali.
"Sebenarnya ada sesuatu yang penting ingin ku-
bicarakan padamu. Tak bisa ditunda, Yo. Karenanya
aku menyusulmu kemari." "Tentang apa?"
"Pisau Pusaka Hantu Jagal itu sudah di tangan
Pandu Tawa."
"Hahhh..."!" Pendekar Rajawali Merah belalakkan matanya lebar-lebar. Rupanya ia
sangat terkejut dan
belum mengetahui hal itu.
"Aku melihatnya sendiri. Melihat dengan jelas se-
kali, karena Pandu Tawa memperlihatkannya padaku,
Yo!" "Bagaimana mungkin pisau itu ada di tangannya?" Yoga bersungut-sungut
dengan wajah menegang.
"Ini kesalahan Tua Usil. Ia menukar pisau itu
dengan sebuah ilmu milik Pandu Tawa: Namanya jurus
'Angin Saka'. Jurus itu membuat Tua Usil bisa berdiri
di atas ilalang, seperti apa yang diinginkannya dulu.
Padahal sebelum peristiwa ini, aku lihat sendiri dia
sudah bisa berdiri di atas ilalang!"
"Tolol sekali orang itu!" gerutu Yoga dengan jeng-
kel. "Pandu Tawa memiliki pisau itu sengaja untuk membunuh Naga Bara."
"Dia ingin menjadi suami Dewi Gita Dara?"
"Bukan. Dia hanya ingin membalas dendam, ka-
rena ayahnya dulu seorang pendekar yang mati dima-
kan Naga Bara!"
"Celaka betul kalau pisau itu sudah di tangan
orang! Tempo hari Dewi Gita Dara ingin meminjamnya
saja tidak diberikan, sekarang malahan ditukar dengan
satu ilmu! Uuuh...!" Yoga menggeram menahan kema-
rahan hatinya. "Mungkinkah pisau itu bisa kita minta lagi secara baik-baik, Yo?"
"Kurasa tak mungkin. Pandu Tawa jelas bukan
orang bodoh!"jawab Yoga sambil cemberut. "Kita temui si Tua Usil itu!"
Yoga bergegas lebih dulu, Lili mengikutinya. Tapi
mereka tidak menemukan Tua Usil, lalu, Yoga ber-
tanya kepada salah seorang penjaga pintu gerbang is-
tana. Orang itu memberitahukan bahwa Tua Usil pa-
mit mau ke pantai, sebab sejak pagi Bocah Bodoh pergi
ke pantai namun belum kembali sampai sesiang ini.
Maka Lili dan Yoga pun bergegas pergi ke pantai untuk
memarahi Tua Usil.
* * * Di pantai, Bocah Bodoh sudah cukup lama du-
duk di atas sebuah batu. Ia termenung di sana, bicara
pada dirinya sendiri, memikirkan jika sayembara itu
ditutup oleh Dewi Gita Dara. Menurutnya, jika sayem-
bara ditutup, berarti siapa pun yang berhasil membu-
nuh Naga Bara belum tentu menjadi suami Dewi Gita
Dara. Tapi selama sayembara itu belum ditutup, siapa
yang membunuh Naga Bara boleh memperistri Dewi
Gita Dara. Sedangkan sampai sesiang itu Dewi Gita
Dara belum kasih perintah kepada pegawainya untuk
mengumumkan penutupan tersebut.
Menurut pemikiran Bocah Bodoh, peluang ini se-
benarnya ada di tangan Tua Usil, karena Tua Usil-lah
yang mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal, yang da-
pat dipakai membunuh Naga Bara. Jika Tua Usil da-
tang ke Teluk Gangga, berarti Tua Usil nanti malam
pasti akan melawan Naga Bara demi keselamatan pen-
duduk Teluk Gangga. Setidaknya Yoga dan Lili perin-
tahkan Tua Usil untuk lawan Naga Bara.
Itulah sebabnya Bocah Bodoh merasa sedih dan
kecewa atas kedatangan Tua Usil ke Teluk Gangga.
Dengan kedatangan Tua Usil ke Teluk Gangga, maka
Dewi Gita Dara lebih percaya bahwa Tua Usil-lah yang
mampu kalahkan Naga Bara ketimbang dirinya, pikir
Bocah Bodoh. Akibatnya nanti, Tua Usil-lah yang
mendapat tempat di hati Dewi Gita Dara. Terbukti
waktu Tua Usil melawan Jin Arak, Dewi Gita Dara su-
dah menunjukkan rasa kagumnya terhadap kehebatan
Tua Usil. "Lalu untuk apa Nona Dewi mengangkat ku men-
jadi pengawal pribadinya" Pasti tidak ada gunanya.
Pasti dia akan memilih Tua Usil sebagai pengawal pri-
badinya sekaligus sebagai suaminya ketimbang aku.
Ah, Tua Usil pakai datang kemari segala! Dia bikin ka-
cau rencanaku! Kalau sudah begini, lalu apa yang
akan kuterima dari pengorbanan ku dan kesetiaan ku
terhadap Dewi Gita Dara" Padahal... aku sangat suka
sama perempuan itu. Aku ingin sekali dipeluknya den-
gan hangat!"
Lamunan dan kecamuk batin Bocah Bodoh ter-
putus, rasa dongkolnya kian membengkak di dada, ka-
rena saat itu Tua Usil datang untuk memberi tahu
bahwa Nona Li tiba di Teluk Gangga. Ternyata berita
kehadiran Lili tidak menarik bagi Bocah Bodoh, ia te-
tap diam termenung dengan wajah cemberut kesal.
"Kau dicari oleh Nona Li! Dia ingin bertemu den-
gan mu, Bocah Bodoh!"
Tak ada jawaban apa pun dari Cola Colo, si Bo-
cah Bodoh itu. Bahkan memandang Tua Usil pun tak
mau. Tua Usil merasa heran dan bertanya-tanya dalam
hatinya; apa yang membuat Bocah Bodoh semurung
itu. Maka ia pun menanyakan dengan ikut duduk di
batu sebelahnya,
"Ada apa sebenarnya" Kau tampak murung dan
cemberut begitu?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Bocah Bodoh dengan ketus.
"Nada bicaramu berbeda, Bocah Bodoh." "Biar sa-ja!" Tua Usil memandang dengan
dahi makin berke-
rut. ia mencoba menerka-nerka dalam hatinya. Namun
ia tidak bisa temukan apa penyebab kemurungan Bo-
cah Bodoh itu. Maka, sekali lagi ia mendesak dengan
bertanya, "Sebenarnya ada apa kau ini, Bocah Bodoh" Ka-
takanlah!"
Dengan makin ketus Bocah Bodoh akhirnya men-
jawab, "Aku muak padamu! Muak sekali!" sambil Bocah Bodoh bangkit dan melangkah
maju. Tua Usil mengejar dan berseru, "Kenapa kau ber-
sikap begitu padaku" Apa salahku, Bocah Bodoh"!"
"Jangan pura-pura tidak tahu!" sentak Bocah
Bodoh. "Kau datang ke sini pasti untuk membunuh
naga siluman itu!"
"Justru aku datang untuk mengajak mu pulang!"
sanggah Tua Usil.
"Aku berani bertaruh, kau pasti nanti malam
akan tampil sebagai pahlawan Teluk Gangga, karena
kau punya pisau Pusaka Hantu Jagal yang bisa dipa-
kai untuk melawan dan mengalahkan Naga Bara!"
"Kalau toh itu terjadi, aku hanya semata-mata
menolong Dewi Gita Dara saja!"
"Iya! Kau bisa saja beralasan begitu. Tapi Dewi
Gita Dara akan memujimu dan mengagumimu. Akhir-
nya kau akan dijadikan suaminya sesuai dengan
sayembara yang belum sempat ditutup ini!"
Tua Usil menarik napas. Ia tahu masalah sebe-
narnya. Rupanya Bocah Bodoh merasa tersaing den-
gan kedatangan Tua Usil di Teluk Gangga itu. Tua Usil
menyadari kehadirannya hanya mengecewakan hati
seorang sahabat. Maka, Tua Usil pun berkata,
"Baikah. Kalau begitu besok aku akan segera pu-
lang dan tak ingin mengganggu rencanamu."
"Rencanaku sudah telanjur kau obrak-abrik, Tua
Usil. Dewi Gita Dara telanjur mengagumimu. Dan se-
bentar lagi dia akan terpikat olehmu, lalu menjadi is-
trimu!" Tua Usil masih paksakan diri untuk ajak terse-
nyum Bocah Bodoh sambil berkata, "Itu namanya na-
sib dan keberuntungan ku!"
"Iya, nasib dan keberuntunganmu kau peroleh
dari merebut kesempatan milik teman sendiri! Padahal
tanpa pisau pun aku bisa membunuh naga itu. Kau
pikir hanya kau sendiri yang punya pusaka" Aku pun
punya!" Sreeet...! Bocah Bodoh menarik pusaka Pedang
Jimat Lanang. Tua Usil kaget, dan segera naik pitam
merasa ditantang adu pusaka. Maka dengan cepat Tua
Usil melompat mundur dan mencabut pisau Pusaka
Hantu Jagal dari balik baju coklatnya. Seet...!
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa pamer
pusaka" Aku juga bisa. Ayo, mau apa kau sekarang"!"
"Kau sendiri mau apa"! Mau adu pusaka" Boleh!"
Wuuut...! Bocah Bodoh melompat untuk ambil
jarak. Kini keduanya sama-sama siap lepaskan seran-
gan dengan gunakan pusaka masing-masing, yang sa-
tu menggunakan pusaka Pedang Jimat Lanang, yang
satunya lagi menggunakan Pusaka Hantu Jagal. Pa-
dahal kedua pusaka itu sama kuatnya dan sama he-
batnya, Hanya saja mempunyai kegunaan khusus
yang berbeda-beda. Karena itu, baik Tua Usil maupun
Bocah Bodoh merasa tidak mau saling mengalah. Me-
reka sama-sama merasa punya kekuatan lebih di luar
kemampuan diri mereka masing-masing.
"Majulah kalau kau ingin celaka!" seru Tua Usil.
"Serang aku kalau kau bisa!" balas Bocah Bodoh. Pada waktu itu, Yoga dan Lili
muncul di pantai tersebut. Mereka sama-sama terkejut melihat Bocah Bodoh dan
Tua Usil bertarung dengan menggunakan pusaka mas-
ing-masing. Mereka sangat cemas. Lalu keduanya sa-
ma-sama melompat menyambar satu-persatu. Yoga
menyambar Tua Usil dan Bocah Bodoh disambar oleh
Lili. Mereka saling dijauhkan. Tapi mereka sama-sama
meronta. Bahkan Tua Usil sempat memukul dada Yoga
dengan tangan kirinya. Buhhg...!
"Lepaskan aku! Jangan ikut campur urusanku!"
Yoga tersentak ke belakang. Kaget bukan kepalang me-
lihat Tua Usil berani melawannya. Sementara itu, ia
pun melihat Bocah Bodoh dikuasai oleh keberanian
dan kemarahannya. Ia meronta dari pertahanan Lili.
Bahkan dengan cepat dan gesit, ia berhasil membant-
ing tubuh Lili sambil berseru,
"Jangan campuri urusan kami! Akan kubunuh si
Tua Usil itu!"
Buuhg...! Lili terbanting karena tidak melakukan
perlawanan dan pertahanan. Sementara itu, Tua
Usil berseru, "Kau pun akan kubunuh dengan pusaka ini, Bo-
cah Bodoh!" Tua Usil berlari.
"Heaaattt...!"
Bruukk...! Kakinya disengkat oleh kaki Yoga
hingga ia jatuh tersungkur. Pada waktu itu, Bocah Bo-
doh pun berlari dengan hasrat membunuh sangat be-
sar. "Hiaaah...!"
Sambil mengangkat Pedang Jimat Lanang yang
siap ditebaskan, Bocah Bodoh melangkahi tubuh Lili
yang masih berada di tanah. Begitu ia melompat, tan-
gan Lili menyambar kakinya dan menariknya.
Bruus...! Bocah Bodoh jatuh tak bisa lanjutkan
pelariannya. Lili cepat menghantamkan kakinya den-
gan tumit ke pergelangan tangan Bocah Bodoh.
Duuhg...! Pedang terlepas dan Lili menyambarnya.
Wuuut..! Sedangkan di pihak Tua Usil, Yoga berhasil
memelintir tangan Tua Usil dengan kuat. Tua Usil
memekik. Pisau itu terlepas dari genggamannya dan
segera disambar oleh Yoga pula. Wuuut...!
Yoga berlari ke pertengahan jarak, demikian pula
Lili. Keduanya merasa lega karena telah selamatkan
kedua pusaka yang amat berbahaya itu. Lalu, Lili pun
berseru kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh,
"Nah, sekarang kalau kalian mau bertarung, ber-
tarunglah! Ayo, saling hantamlah kalian, asal jangan
gunakan pusaka-pusaka ini!"
Bentakan kemarahan Lili membuat Tua Usil di-
am. Bocah Bodoh pun terbungkam. Wajah mereka mu-
lai surut dari kemarahan. Kemudian Tua Usil terben-
gong dan berkata, "Apa yang telah saya lakukan, Nona Li"!" Bocah Bodoh pun
berkata, "Apa yang terjadi, Tuan Yo" Mengapa pedang saya ada di tangan Nona
Li?" Kedua pendekar itu saling hembuskan napas ke-legaan. Mereka saling
menyadari, bahwa ada satu ke-
kuatan yang mendorong nafsu mereka untuk saling
bunuh dan berani menentang Lili dan Yoga. Mereka


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak jadi menyalahkan Tua Usil dan Bocah Bodoh. Pu-
saka mereka pun dikembalikan ke pemilik masing-
masing. "Jaga batinmu! Kendalikan nafsumu!" kata Lili kepada Tua Usil. "Sudah berapa
kali ku ingatkan padamu, jaga batinmu dan kendalikan nafsumu! Jika
kau tidak bisa lakukan, kau akan binasa oleh kekua-
tanmu sendiri. Mengerti"!"
"Mengerti, Nona Li," jawab Tua Usil dengan pelan dan takut.
"Kau juga begitu, Bocah Bodoh! Tak boleh men-
gumbar nafsu amarah yang tidak beralasan!"
"Baik, Nona Li," jawab Bocah Bodoh dengan lemah. Mata Lili segera tertuju ke
tangan kiri Tua Usil
yang masih memegangi pisau pusaka. Pisau itu sudah
disarungkan, tapi membuat Lili terheran-heran. Yoga
pun mengikuti arah pandangan mata Lili, kemudian
mengerti maksud keheranan Lili. Maka Yoga pun ber-
kata, "Dia masih mempunyai pisau Pusaka Hantu Jag-al"!" "Iya. Padahal aku
melihat sendiri Pandu Tawa mempunyainya pula!" kata Lili bernada heran. Kemu-
dian Lili dan Yoga dekati Tua Usil dan bertanya kepada orang berkumis dan
berjenggot putih tipis itu,
"Apakah kau kenal dengan orang bernama Pandu
Tawa?" "Pandu Tawa..."!" Tua Usil merenung sebentar.
"Tidak. Saya tidak kenal, Nona Li!"
"Apakah kau pernah menukar pisau itu dengan
ilmu seseorang?"
"Sama sekali tidak pernah, Nona Li. Saya berani
bersumpah!" Tua Usil agak ngotot.
"Aneh...?" gumam Lili sambil memandang Yoga.
Pada waktu itu, Pandu Tawa pun muncul. Tu-
juannya ingin bicara dengan Lili tentang rencananya
nanti malam. Ia sudah mendapat izin dari Dewi Gita
Dara untuk kuasai Bukit Palagan begitu malam tiba.
Tetapi kehadiran Pandu Tawa di pantai itu membuat-
nya menjadi berkerut dahi pertanda mengalami kehe-
ranan. Ia melihat Tua Usil yang belum sempat berke-
nalan dengannya itu memegang pisau yang sama den-
gan pisau pusaka yang dibawanya.
"Dia dapatkan dari mana pisau pusaka itu?" ta-nyanya kepada Lili.
"Justru aku ingin bertanya begitu kepadamu,
Pandu Tawa. Benarkah kau mempunyai pisau Pusaka
Hantu Jagal?"
Pandu Tawa segera keluarkan pisaunya dari balik
baju. Mereka tercengang, termasuk Tua Usil dan Bo-
cah Bodoh. Pandu Tawa segera berkata,
"Kudapatkan pisau pusaka ini dari seseorang
yang bernama Tua Usil!"
Yoga menyahut, "Ini yang namanya Tua Usil!"
sambil menepuk pundak Tua Usil. Tapi Pandu Tawa
memandanginya beberapa saat dengan dahi kian ber-
kerut tajam. "Bukan. Bukan ini orangnya."
Tua Usil berkata, "Bagaimana ciri-ciri orang yang mengaku bernama Tua Usil itu,
Tuan Pandu"!"
"Hmmm... dia punya badan agak gemuk, rambutnya
panjang tapi tipis. Usianya berkisar lima puluh tahun.
Dia kenakan ikat kepala kuning dan kenakan pakaian
abu-abu." "Agak pendek?"
"Benar!"
"Hmmm...! Tahu saya!" cetus Tua Usil. "Dia adalah Tambayon!"
"Siapa itu Tambayon?" tanya Yoga. "Raja Tipu!"
"Oooo...." Lili, Yoga, dan Bocah Bodoh hampir bersamaan serukan kata tersebut.
Mereka pun manggut-manggut.
"Dia pandai memalsukan barang apa saja. Itu ke-
lebihannya. Dia telah memalsukan Pusaka Hantu Jag-
al karena dia pernah lihat saat saya membawanya dan
hampir tertipu menyerahkan kepadanya."
Pandu Tawa menggeram jengkel. Tapi masih be-
rusaha tidak mempercayai keterangan mereka. Ia ber-
kata, "Kurasa ini yang asli. Milikku ini Pusaka Hantu Jagal yang asli!"
Tua Usil melepas pisau itu dari sarungnya dan
memperlihatkan ciri-ciri Pusaka Hantu Jagal yang asli.
Mata pisaunya berwarna hitam, tapi dikelilingi cahaya
merah. Pandu Tawa pun mencabut pisaunya itu, ter-
nyata mata pisau berwarna putih mengkilat tanpa si-
nar apa pun. "Yang asli punya sinar merah, Tuan Pandu," kata Tua Usil.
"Keparat prang itu!" geram Pandu Tawa antara malu dan marah. "Padahal sudah ku
tukar dengan jurus 'Angin Saka'!"
Bocah Bodoh menimpali, "Dia memang jago tipu.
Jika tidak bisa menipu Tuan Pandu, bukan Raja Tipu
namanya!" Wuuut...! Tiba-tiba hadir di antara mereka seo-
rang berjubah hitam tapi tidak kenakan baju dalam.
Celananya pun hitam. Tubuhnya agak besar. Rambut-
nya panjang dan wajahnya berkesan bengis. Orang itu
adalah orang yang dilihat oleh Yoga dari atas rajawali sedang berjalan di atas
permukaan air laut dengan gunakan sepotong kayu papan. Orang itu segera dikenali
pula oleh Tua Usil.
"Banteng Tato...?"
Orang yang badannya penuh dengan tato itu se-
gera menggeram dan berkata. "Aku dengar percakapan kalian. Aku sangsi dengan
pengakuan kalian itu. Sebab aku pun mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal.
Karenanya aku datang kemah untuk bunuh Naga Bara
itu, biar aku bisa jadi suami Dewi Gita Dara!" kemudian Banteng Tato keluarkan
pisau bergagang dan ber-
sarung emas berukir. Sama persis dengan milik Pandu
Tawa dan Tua Usil. Tapi ketika dicabut, ternyata mata
pisaunya berwarna putih dan tidak mengandung ca-
haya apa pun. "Pisaumu itu palsu, Kawan!" kata Pandu Tawa.
"Sama dengan pisauku! Kau dapatkan dari mana pisau itu?", "Seseorang yang
bernama Tua Usil bersedia menukar pisau ini dengan tiga cincin emas berlian ku!"
Ketika ditanyai ciri-cirinya, Banteng Tato se-
butkan ciri-ciri yang ada pada diri Raja Tipu. Maka
Pandu Tawa pun tersenyum geli sambil geleng-geleng
kepala dan berkata,
"Kau tertipu, Kawan. Nasibmu sama denganku.
Orang itu bukan Tua Usil melainkan Tambayon, si Ra-
ja Tipu! Tua Usil adalah dia!" sambil menunjuk Tua Usil. "Bangsat!" geram
Banteng Tato dengan menggele-tukkan giginya, mengepalkan tangannya kuat-kuat,
matanya menerawang menyipit. Katanya lagi,
"Akan kucari dia dan ku rajang habis seluruh tu-
buhnya!" Nasib Banteng Tato memang sama dengan nasib
Pandu Tawa. Kedatangannya ke Teluk Gangga sung-
guh merupakan pekerjaan yang sia-sia. Tak mungkin
mereka berani melawan Naga Bara jika mereka sebe-
lumnya sudah tahu betul, bahwa Naga Bara hanya bi-
sa dibunuh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal. Tapi
apalah artinya jika mereka datang dengan pisau palsu
dan bermaksud kalahkan Naga Bara"
Namun, Banteng Tato segera punya pemikiran
lain. Di depan mereka ia bicara dengan Tua Usil, "Ku-bayar pisaumu itu berapa
pun harganya! Sebutkan
apa yang kau inginkan dan berapa uang yang harus
kuberikan padamu untuk membeli pisau itu."
"Tak akan kujual dengan harga berapa pun, Ban-
teng Tato!"
"Gggrrhmm...! Kalau begitu, aku terpaksa mere-
butnya dari tanganmu, Bocah Kunyuk! Heaaat...!"
Wuuut...! Plook...! Sebongkah batu melayang ce-
pat dari samping Banteng Tato tepat kenai wajahnya
sendiri. Padahal batu itu tidak ada yang melempar-
kannya. Tentu saja hal itu membuat Banteng Tato ke-
labakan sendiri. Bingung mencari pelemparnya.
"Kau tak boleh merampas hak milik orang lain
begitu, Kawan!" kata Pandu Tawa. Lili segera melirik pemuda itu dan cepat
tanggap, bahwa Pandu Tawa telah gunakan kekuatan batinnya untuk lemparkan batu
itu ke wajah Banteng Tato hingga memar membiru.
Tua Usil semula mau bergerak, demikian pula
Yoga, tapi Lili kasih isyarat dan mereka mundur se-
mua, tinggal Pandu Tawa yang berhadapan dengan
Banteng Tato. "Apa maksudmu menggurui ku, Setan"!" bentak Banteng Tato. "Apa pun yang akan kau
katakan dan kau lakukan, aku tetap harus bisa dapatkan pisau
itu!" Mata Banteng Tato tertuju pada Tua Usil. Sekele-bat sinar tiba-tiba keluar
dari mata itu berwarna kun-
ing, Claaap...!
Blaar...! Tua Usil cepat sentakkan dua jarinya
yang memercikkan sinar hijau dan menghantam sinar
kuning tersebut. Dentuman kuat membuat Banteng
Tato mundur terdorong tiga langkah.
Wuuut..! Ploook...! Sebuah batu melayang lagi
dari tanah tanpa ada yang melemparnya. Batu itu te-
pat kenai pertengahan mata Banteng Tato. Tepat di
bagian hidung atas. Tempat itu berdarah karena batu
karang itu cukup runcing dan mampu menggores kulit
Banteng Tato. Ketika Banteng Tato gelagapan, tiba-tiba beberapa batu beterbangan
menghantamnya dari berbagai arah, termasuk dari belakangnya. Bahkan dahan
kayu kering pun melayang sendiri dari tanah melesat
ke tengkuk kepala Banteng Tato.
Wuuut, wuuut, wuuut...! Plok, plok. praak, plok,
buuhg, plok! Banteng Tato dihujani batu dan benda apa pun
dl sekitarnya. Ia tak dapat melawan, menangkis, mau-
pun menghindar. Bahkan batu sebesar kepala manu-
sia ada yang menghantam punggungnya dengan keras.
Beehg...! Menghadapi serangan aneh itu. Banteng Tato me-
rasa kewalahan karena tak jelas siapa penyerangnya.
Karena itu. Banteng Tato memutuskan gagasannya
untuk segera larikan diri dan jauhi tempat itu. Sekalipun ia berlari, masih saja
batu-batu yang dilaluinya itu berkelebat menghujani tubuhnya hingga ia lari
sambil berteriak-teriak kesakitan dan cepat lompat ke sepo-
tong papan di perairan. Ia melesat pergi tinggalkan Teluk Gangga dengan keadaan
tubuh luka babak belur.
Yoga dan yang lainnya hanya tersenyum geli menerta-
wakan nasib aneh orang itu.
* * * 8 DENGAN jujur dan watak kesatrianya, Pandu
Tawa temui Dewi Gita Dara dan berkata, bahwa di-
rinya tak jadi membunuh Naga Bara karena pisau yang
dibawanya adalah pisau pusaka palsu. Dewi Gita Dara
tampak sedikit kecewa mendengar hal itu. Wajah Pan-
du Tawa dipandanginya dengan rasa iba dan kasihan.
Tapi Pandu Tawa segera berkata,
"Sekalipun begitu, aku tetap akan bantu Tua Usil
untuk lakukan penyerangan terhadap Naga Bara den-
gan kemampuanku seadanya."
"Tua Usil..."! Apakah kau yakin Tua Usil mau la-
kukan hal itu walau dia memiliki pisau Pusaka Hantu
Jagal?" "Kurasa dia bersedia,"
"Kalian sudah bicarakan hal itu?"
"Memang belum. Tapi untuk apa dia ke sini kalau
bukan untuk membunuh Naga Bara?"
"Dia datang untuk menyusul Bocah Bodoh."
Pandu Tawa tertegun diam, ia tak mengerti mak-
sud kedatangan Tua Usil yang sebenarnya. Ketika hari
menjelang sore, atas usul Pandu Tawa, mereka men-
gadakan pertemuan di bangsal samping istana. Perte-
muan itu dihadiri oleh Tua Usil, Yoga dan Lili, Dewi Gi-ta Dara, Bocah Bodoh,
dan Pandu Tawa sendiri.
Di depan mereka, Pandu Tawa menanyakan ke-
sanggupan Tua Usil untuk melakukan penyerangan
terhadap Naga Bara nanti malam. Tapi Tua Usil justru
berkeringat dingin menandakan sedang menahan rasa
takutnya. Tiba-tiba Bocah Bodoh memberanikan diri
berkata, "Kalau kau tidak berani. biar aku yang hadapi
naga itu!"
"Dengan mengandalkan pedang pusaka mu itu?"
tanya Pandu Tawa sedikit meremehkan Pedang Jimat
Lanang. "Tuan Pandu, kata ibu saya, pedang ini bisa un-
tuk membelah baja. Kalau baja saja bisa dibelah, ten-
tunya daging naga pun bisa dibelah."
"Baja tidak mempunyai kekuatan gaib, Bocah
Bodoh. Tapi naga itu mempunyai kekuatan gaib. Ke-
kuatan itu bertambah besar manakala ia terkena sinar
bulan purnama!"
Bocah Bodoh diam, menampakkan rasa kece-
wanya. Tapi sebelum yang lain bicara, Bocah Bodoh
beranikan diri lagi untuk berkata,
"Bagaimana kalau aku meminjam pisau pusaka
mu, Tua Usil" Sebagai jaminannya, kuserahkan pe-
dang pusakaku ini! Nanti kalau aku sudah selesaikan
tugas membunuh Naga Bara, kukembalikan pisaumu
itu!" Agaknya Bocah Bodoh sangat bernafsu untuk
melakukan hal itu demi menunjukkan sikap pengab-
dian dan kesetiaannya kepada Dewi Gita Dara. Tetapi
sayangnya Tua Usil berkata dengan suara lemah,
"Pesan Ki Pamungkas, pisau ini tidak boleh dis-
erahkan kepada siapa-siapa. Tidak boleh jatuh ke tan-
gan orang lain. Harus tetap ada bersamaku! Jadi...
maaf saja, aku tidak bisa meminjamkannya kepadamu,
Bocah Bodoh."
"Kalau tak boleh dipinjam, kau harus berani la-
kukan!" sentak Bocah Bodoh sambil bersungut-sungut jengkel sendiri.
Yoga berkata kepada Bocah Bodoh, "Tenanglah.
Jangan bersikap seperti itu." Bocah Bodoh pun tenang, tapi masih menggerutu tak
jelas. Kemudian Yoga berkata kepada Tua Usil,
"Kalau kau tak berani, kau akan ku dampingi.
Aku akan melindungimu jika terjadi sesuatu padamu!"
Lili menyahut, "Aku pun akan menjaga mu dari


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya. Sebelum bahaya itu datang kau akan ku sam-
bar lebih dulu!"
Pandu Tawa akhirnya berkata, "Tua Usil tak per-
lu takut. Aku ada di sana dan memancing naga itu
agar lengah, lalu kau membunuhnya dari belakang.
Setidaknya aku akan menahan ekornya dengan kekua-
tan batin ku, seperti aku melemparkan batu-batu ke
tubuh Banteng Tato tadi. Kau tak akan celaka.
"Nah, sudah banyak yang mau melindungimu.
Apa masih belum berani juga?" kata Bocah Bodoh.
"Percuma jadi laki-laki kalau begitu saja tak berani.
Kalau kau punya istri, bagaimana kau nanti melin-
dungi istrimu dari serangan orang jahat"!" Bocah Bodoh agaknya sengaja
menjatuhkan Tua Usil agar Dewi
Gita Dara punya penilaian rendah terhadap Tua Usil.
Yoga pun mengerti arah tujuan kata-kata Bocah
Bodoh itu. Sebab Yoga tahu, Bocah Bodoh merasa iri
jika nantinya Tua Usil akan disanjung dan dikagumi
oleh Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh takut kehilangan
perhatian dari gadis cantik yang menawan hatinya itu.
Sementara itu, di dalam hati Tua Usil timbul per-
golakan batin. Ia malu dikecam Bocah Bodoh di depan
orang-orang terhormat itu. Ia benci pada dirinya sendi-ri yang punya perasaan
takut melawan seekor naga
sakti. Ia juga malu memiliki pusaka sehebat itu jika tidak mempunyai keberanian.
Karenanya, hatinya kini
membulat dan pikirannya menyatu membentuk nyali
yang cukup besar. Ia berkata kepada mereka,
"Baiklah. Saya akan hadapi Naga Bara itu. Tapi
saya minta satu syarat!" lalu setiap wajah dipandanginya satu-persatu.
Dewi Gita Dara bertanya, "Apa syaratnya?" "Jangan ada yang ikut campur dengan
pertarungan saya
dengan Naga Bara nanti. Jika ada yang ikut campur,
saya akan tinggalkan pertarungan dan tak mau laku-
kan apa-apa lagi."
Pernyataan itu membuat hati mereka berdesir.
Lalu senyum mereka pun mengembang dengan kesan
bangga dan kagum. Tapi Bocah Bodoh diam saja dan
semakin bersungut-sungut jengkel. Ternyata kata-
katanya tadi justru menjadi pancingan keberanian Tua
Usil dan membuat Dewi Gita Dara menjadi bangga
mendengar pernyataan itu.
"Seharusnya aku tidak perlu berkata apa-apa se-
jak tadi. Kalau begini, Tua Usil justru dihormati dan
dibanggakan oleh Dewi Gita Dara. Uuuh...! Nasibku je-
lek amat. Mau dapat istri cantik saja sudah diserobot
teman sendiri!" gerutu Bocah Bodoh dalam hatinya.
Petang mulai tiba. Rembulan pun telah nampak
di cakrawala. Bergerak perlahan-lahan meninggalkan
curahan sinarnya, memamerkan kecantikannya yang
utuh. Langit cerah, tak berawan, dan tak bermendung
sedikit pun. Langit bagaikan permukaan cermin biru
yang bersih dan hanya ada sepucuk rembulan yang
menghiasinya. Tua Usil bersiap hadapi lawannya yang kali ini
bukan sembarang lawan. Ia harus berhadapan dengan
seekor naga yang belum diketahui jurus-jurusnya di
mana titik kekuatan serta titik kelemahannya. Tetapi
Pandu Tawa segera mendekatinya dan berkata,
"Kakekku bercerita tentang naga titisan itu. Be-
liau bilang, kalau aku melawan naga itu, aku harus bi-
sa menghunjamkan pisau tersebut di telinga kirinya.
Konon, kekuatan naga itu ada di seluruh tubuhnya.
Tapi kelemahannya hanya ada di lubang telinga ki-
rinya." "Ya. Terima kasih atas saran Tuan Pandu," jawab Tua Usil dengan suara tegas,
tanpa getar sedikit pun.
"Kami akan mengantarmu ke kaki Bukit Pala-
gan!" "Tapi saya tidak ingin ada yang ikut campur."
"Kami hanya mengantar, setelah itu kami lepas
kau bertarung sendiri dengan Naga Bara."
Ketika petang mulai menua dan rembulan kian
meninggi, Tua Usil pun segera berangkat ke kaki Bukit
Palagan. Ia diberi kehormatan oleh Dewi Gita Dara un-
tuk di usung memakai tandu, dibawa ke tempat perta-
rungannya nanti. Tandu mewah telah disiapkan, dan
tandu itu membuat Bocah Bodoh melirik sinis dengan
hati dongkol sekali.
"Baiklah. Biarkan kami memberimu penghorma-
tan," kata Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh segera berkelebat pergi lebih dulu, tak
mau melihat Tua Usil naik
ke dalam tandu seperti seorang pangeran.
Tetapi ternyata Tua Usil tidak bersedia naik ke
dalam tandu. Ia berkata kepada, Dewi Gita Dara,
"Saya manusia biasa. Saya rakyat jelata. Saya
hanya tunaikan tugas sebagai manusia, membela ke-
benaran dan melawan kejahatan!"
Sayang Bocah Bodoh tidak mendengar ucapan
itu. Kalau ia mendengar, ia akan bisa mengambil ke-
simpulan bahwa Tua Usil lakukan tugas itu bukan ka-
rena punya pamrih apa-apa. Bocah Bodoh ada di pintu
gerbang, bermaksud keluar lebih dulu. Tapi tubuhnya
segera di terjang dua puluh orang yang berlarian ma-
suk halaman istana dengan panik.
Bocah Bodoh jatuh dan terinjak-injak mereka
yang dicekam rasa takut begitu tinggi. Orang-orang itu adalah utusan dari rakyat
yang ingin memberikan laporan serta tuntutan kepada Dewi Gita Dara. "Gusti, naga
itu telah muncul!" teriak salah seorang. Semua yang ada bersama Dewi Gita Dara
menjadi terperanjat
tegang. Tua Usil masih tetap tenang mendengar seruan
itu. Namun ia perhatikan tiap orang yang bicara kepa-
da Dewi Gita para itu.
"Anak saya telah dimakannya! Anak saya, Gus-
ti...! Oooh...!" seorang ibu menangis ambil mencium kaki Dewi Gita Dara.
"Naga itu sudah mencari mangsa. Karena di tem-
patnya tak ada manusia lagi, ia bergerak kemari. Seka-
rang sedang menuju ke alun-alun, dan para penduduk
berlarian ke segala arah."
"Rumah saya dihancurkannya, Gusti. Rumah
saya itu bagaimana"!" seorang lelaki tua renta menangis karena kehilangan
rumahnya. Seorang anak kecil
juga menangis memanggil-manggil bapaknya. Rupanya
bapak anak itu telah mati dimakan Naga Bara titisan
Ratu Gaib. Tua Usil terbakar amarahnya melihat pen-
deritaan mereka. Kemudian ia bertanya kepada Dewi
Gita Dara, "Di mana letak alun-alun?" "Sebelah utara
sana...!" Wuuut...! Tua Usil cepat larikan diri tanpa banyak me-
nunggu perintah lagi. Pada waktu ia mau melewati pin-
tu gerbang, serombongan manusia datang menyerbu
dengan teriakan kepanikan. Pada saat itu juga Bocah
Bodoh baru saja bangkit dari jatuhnya. Ia diterjang
rombongan manusia panik lagi hingga jatuh dan terin-
jak-injak kembali.
Entah ilmunya siapa, yang bekerja dalam diri Tua
Usil saat itu, ia mampu melompati tembok pagar ista-
na yang tinggi itu, dan berlari dengan cepatnya menuju ke alun-alun. Suasana
malam yang cerah telah berubah menjadi gaduh, panik, jeritan-jeritan kengerian
terdengar di mana-mana. Langkah Tua Usil semakin
lebih cepat lagi.
Tepat ketika ia tiba di alun-alun, tepat pula see-
kor naga sedang menumbangkan sebuah rumah yang
ada tak jauh dari sana. Rumah itu telah kosong dan
tidak berpenghuni, sehingga naga itu bagaikan marah
karena kecewa. Ekornya yang buntung itu mengibas
dan meremukkan rumah tersebut.
Alun-alun sangat sepi. Cahaya rembulan bersinar
terang nyaris membuat bumi bagaikan slang. Tua Usil
berdiri di tengah alun-alun menunggu kedatangan
sang naga. Kejap berikutnya, rombongan Yoga, Lili,
Pandu Tawa, Dewi Gita Dara, dan yang lainnya tiba di
tempat itu. Namun mereka segera merapat ke tepi ja-
lan yang mengelilingi alun-alun itu. Bocah Bodoh tam-
pak pula ada di balik sebuah pohon dalam keadaan
babak belur karena terinjak-injak manusia panik tadi.
Mereka memperhatikan Tua Usil dengan tenang, dan
seekor naga sedang bergerak mendekati pertengahan
alun-alun. Naga yang mempunyai badan sebesar singa na-
mun panjang seukuran batang kelapa itu bergerak pe-
lan, bagai mengincar mangsanya yang tersedia di alun-
alun. Naga itu mempunyai sisik tebal dan tajam, kulit-
nya tampak keras, di tengah-tengah kepalanya yang
bermata besar itu terdapat tanduk tajam dan kokoh.
Naga yang punya enam kaki itu menyembur-
nyemburkan asap panas dari hidungnya.
Mereka yang memperhatikan Tua Usil diam saja
itu menjadi sangat tegang. Naga itu mengendap-endap
dengan langkahnya yang menggetarkan pepohonan di
sekitar tempat itu. Bocah Bodoh menggigil di balik po-
hon melihat binatang panjang sebesar itu. Ia tak sadar jika celananya telah
menjadi basah. Berulang kali ia
gagal memegang gagang pedangnya karena gerakan
tangannya sangat gemetar dan lemas.
Wooosss... Naga itu semburkan api dari dalam
mulutnya yang lebar, tapi jarak semburnya belum
mencapai tempat Tua Usil berdiri. Melihat keadaan se-
perti itu, Tua Usil segera cabut pisau Pusaka Hantu
Jagal. Seeet...! Pisau menyala merah. Sinar bulan
membuat pisau itu memancarkan sinar merah lebih
terang dan lebih lebar lagi. Hal itu membuat naga ter-
sebut cepat hentikan langkahnya. Ia mundur pelan-
pelan. Tua Usil tahu, naga itu takut melihat pisau pu-
saka tersebut, maka Tua Usil pun melangkah pelan-
pelan mendekatinya.
Kepala naga bergerak-gerak bagai menggeleng.
Semburan uap dari hidungnya telah berhenti. Kini na-
ga itu berhenti, seakan tak mengerti apa yang harus
dilakukannya. Makin lama Tua Usil makin lebih dekat.
Naga itu keluarkan suara aneh yang tak bisa ditiru-
kan, tapi badannya segera merendah dan menyentuh
tanah. Kepalanya pun terkulai di permukaan tanah.
Matanya masih memandangi pisau di tangan Tua Usil.
Semakin Tua Usil mendekati semakin suara naga
itu berubah pelan. Satu hal yang membuat Tua Usil
heran adalah air mata yang keluar dari mata besar itu.
Air tersebut adalah air mata naga yang sepertinya me-
nangis sedih melihat pisau tersebut.
Rupanya Naga Bara tahu pisau itu adalah pisau
Pusaka Hantu Jagal. Hantu Jagal adalah orang yang
dicintai oleh Ratu Gaib semasa hidupnya. Tapi cinta
mereka tidak sampai berlanjut ke jenjang perkawinan.
Kini, Naga Bara sepertinya mengenang sedih seorang
kekasih yang masih tersimpan di hatinya. Naga itu ba-
gaikan pasrah kepada pisau Pusaka Hantu Jagal.
Melihat keadaan naga seperti itu, Tua Usil yang
sudah berjarak tujuh langkah dari naga tersebut sege-
ra melompat dengan satu teriakan yang membuat jan-
tung para penontonnya kian menghentak-hentak,
"Heaaaahhh...!"
Wuuut...! Tua Usil bersalto satu kali di udara.
Buuhg...! Ia jatuh terduduk di punggung naga besar
itu, lalu dengan menggunakan tangan kiri, Tua Usil
menancapkan pisau tersebut di telinga kiri sang naga,
Jrrub...! "Heaaaa,..!" sambil ia berteriak bagai orang kese-tanan.
Naga itu meraung panjang dengan suara bercam-
pur serak. Tubuhnya bagai tak bisa bergerak lagi wa-
lau menggerinjal-gerinjal bagai ingin berontak. Pisau
itu tetap tertancap di telinga kirinya. Tua Usil menggigil diserbu kemarahan
yang amat hebat. Dan tiba-tiba
seluruh badan Naga Bara berubah menjadi merah me-
nyala. Warna merah itu segera mengalir dan kini ganti
tubuh Tua Usil yang menyala merah dan tubuh naga
padam seperti biasanya.
Terdengar suara Lili tersentak kaget, "Ilmunya
masuk! Ilmu naga itu masuk ke dalam diri Tua Usil...!"
Tapi tak ada yang menyahut karena semua ter-
pana dan terpaku di tempat menyaksikan perubahan
warna dan keberanian Tua Usil itu. Beberapa saat ke-
mudian, naga itu terkulai lemas, dan menghembuskan
napas terakhir. Sedangkan warna merah yang menyala
di tubuh Tua Usil itu pun padam.
Tua Usil turun dari punggung naga, pisau pun
dicabutnya. Pisau pusaka itu dimasukkan kembali ke
dalam sarungnya. Satu-persatu mereka mulai berani
mendekat. Namun sempat tersentak mundur karena
tubuh naga itu berubah menjadi asap. Makin lama
makin tebal, membubung tinggi, dan dalam kejap beri-
kutnya mereka sama-sama memandang ke arah rem-
bulan kuning. Ternyata rembulan kuning sudah terno-
da merah sebagian. Warna merah gelap itulah konon
darah Naga Bara yang memercik sampai ke permukaan
rembulan. Lebih mengherankan lagi, ketika asap itu hilang,
tubuh naga berubah menjadi tubuh seorang wanita
cantik berpakaian serba kuning. Ia terkapar tak ber-
nyawa. Menurut Dewi Gita Dara, perempuan, itulah
yang berjuluk Ratu Gaib. Tubuh itu pun kembali bera-
sap dan akhirnya lenyap bagai ditelan bumi.
Rakyat Teluk Gangga bersorak semeriah-
meriahnya. Mereka mengelu-elukan Tua Usil, sebagai
pahlawan penyelamat rakyat Teluk Gangga. Mereka
menyerbu Tua Usil secara berbondong-bondong dan
melintasi bawah pohon. tempat Bocah Bodoh duduk
terkulai lemas menyaksikan peristiwa tadi. Akibatnya,
Bocah Bodoh dilanda puluhan kaki yang menginjak-
injaknya dengan di luar kesadaran mereka.
Bocah Bodoh tidak melihat Tua Usil diarak berke-


Jodoh Rajawali 14 Rembulan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liling Teluk Gangga dengan dielu-elukan, karena pada
waktu itu, Bocah Bodoh dalam keadaan pingsan kare-
na terinjak-injak rombongan manusia sampai tiga kali.
Bocah Bodoh siuman setelah ia berada di sebuah
kamar dalam istana. Sepi, tak ada siapa-siapa. Mereka
sedang merayakan pesta kemenangan dan kebebasan
pada malam itu juga. Tua Usil dinobatkan sebagai pah-
lawan dan pendekar Teluk Gangga. Bocah Bodoh se-
benarnya ingin keluar dari kamar, tapi karena kepa-
lanya masih pusing, ia akhirnya merebah saja dan la-
ma-lama tertidur sampai pagi.
Dewi Gita Dara berkata kepada Tua Usil secara
pribadi, "Sayembara itu lupa belum kututup. Jadi masih berlaku aturan mainnya.
Apakah kau ingin men-
gambil hadiahnya?"
Tua Usil tersenyum, lalu berkata, "Berikan saja
untuk sahabat saya, si Bocah Bodoh itu!"
"Akan kutawarkan padanya," kata Dewi Gita Dara yang tidak ingin ingkar dari
janjinya dalam sayembara
itu. "Bocah Bodoh, sayembara itu belum kututup dan janjinya masih harus
ditepati. Tapi Tua Usil tidak bersedia mengambil hadiahnya. Dia menyerahkan ha-
diahnya kepadamu. Apakah kau mau mengambilnya?"
"Hadiah apa?"
"Mengawini ku."
"Hahhh..."!" Bocah Bodoh mendelik seketika
sampai matanya seolah-olah mau lompat keluar. Ia
gemetar, menggigil, dan pucat pasi wajahnya. Menelan
ludah pun tak sanggup. Jantungnya terasa berhenti.
"Apakah kau bersedia"'" ulang Dewi Gita Dara.
Bocah Bodoh geleng-geleng kepala dengan me-
rinding. Tak sanggup berkata apa pun. Lalu ia berge-
gas lari temui Tua Usil dan berkata,
"Mari kita pulang! Ternyata aku tak mampu me-
nerima sesuatu yang melebihi takaran diriku. Mari kita pulang, Tua Usil...!"
Tua Usil hanya longok-longok kebingungan, tak
mengerti maksud sahabatnya itu. Ia hanya ikut saja
ketika ditarik tangannya oleh Bocah Bodoh.
SELESAI Segera terbit!!!
SETAN DARI BIARA
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pedang Pusaka Naga Putih 3 Hong Lui Bun Karya Khu Lung Riwayat Lie Bouw Pek 9
^