Pencarian

Sang Cobra 1

Gento Guyon 3 Sang Cobra Bagian 1


1 Mentari sudah mulai condong di
ufuk sebelah barat. Sebentar lagi malam segera tiba. Di salah satu
tempat ketinggian bukit, Gunung Bromo tampak berdiri tegak dengan gagahnya.
Dari bukit ini gadis cantik berpakaian kuning bersenjata pedang berambut panjang
riap-riapan memandang ke
bagian selatan lereng gunung beberapa kejapan lamanya. Tiba-tiba bola
matanya yang bulat indah terbelalak lebar, wajahnya tegang sedangkan
perasaannya mulai gelisah. Di bagian selatan lereng Bromo gadis yang
menunggang kuda coklat ini melihat kepulan asap serta rona merah
membubung tinggi ke angkasa.
"Apa yang terjadi di perguruan.
Tidak mungkin ia datang secepat itu?"
desis si gadis kecut. "Tapi api itu datangnya seperti dari perguruan
Teratai Merah. Aku harus kembali
secepatnya!" Gadis cantik berambut panjang riap-riapan ini menggerakkan tali
kekang kuda. Terdengar suara ringkikan keras. Kuda menghambur
berlari cepat menuruni punggung bukit menuju bagian selatan lereng Gunung Bromo.
Hanya dalam selang waktu yang
tidak berapa lama gadis ini telah sampai di halaman perguruan Teratai
Merah. Sesaat lamanya dia nampak
tercengang, mata terbelalak, tubuh tegak kaku bagaikan orang yang baru saja
terjaga dari sebuah mimpi buruk.
Betapa tidak" Di depannya sana dia melihat mayat-mayat bergelimpangan roboh
dengan luka-luka mengerikan dan sekujur tubuh hitam membiru. Selain mayat murid-
murid perguruan, bangunan yang dijadikan tempat tinggal juga musnah terbakar.
Begitu sadar akan kenyataan yang terjadi laksana kilat gadis itu langsung
melompat dari atas punggung kudanya. Dia memeriksa mayat gadis-gadis yang
bertebaran di halaman itu. Tak ada yang selamat. Semuanya tewas dengan luka
menganga di bagian perut seperti bekas dijebol kuku yang tajam. Sedangkan di
bagian kening terdapat dua titik menghitam seperti luka bekas patukan mahluk
melata. Si gadis menarik nafas pendek
sambil gelengkan kepala. Kejap kemudian begitu ingat sesuatu kepalanya berputar,
mata memandang ke segenap sudut penjuru. Bibirnya yang mungil terbuka....
"Ni Estu Lampiri. Apa yang telah terjadi di tempat ini" Di mana kau?"
teriak si gadis. Suara si gadis
kemudian lenyap, dia menunggu untuk sesaat lamanya. Tak ada jawaban, yang
terdengar justru suara gemeretak kayu yang terbakar. "Ketua perguruan
Teratai Merah, tidak kau dengarkan suaraku ini?" teriak gadis itu lagi
penasaran. Dalam hati dia merasa yakin Ni Estu Lampiri pasti dalam keadaan
selamat, karena setelah memeriksa tadi dia tak menemukan mayat orang tua itu di
antara mayat murid-muridnya.
Tapi sia-sia saja dia berteriak,
karena kali ini suaranya tetap tak terjawab. Baru saja si gadis berniat mencari
ke setiap sudut perguruan pada saat itu pula mendadak sontak terdengar suara
tawa mengikik disertai batuk-batuk kecil. Si gadis melengak kaget. Namun dia
cepat menoleh memandang ke arah datangnya suara itu.
"Kurang ajar. Dia lagi!!" desis gadis itu.
"Hi... hi... hi, Huk... huk...
huk. Kau terlambat lagi Purbasari...
sudah kukatakan secepat apapun kau memacu kudamu. Kau tidak mungkin bisa
menyelamatkan dunia persilatan dari kehancurannya. Hi... hi... uhuk...
uhuk!" Beberapa saat lamanya gadis ini
terdiam. Dia sama sekali tidak
mengenal bocah laki-laki yang
bertelanjang dada dan cuma memakai cawat kulit kayu yang menutupi bagian
auratnya itu. Tapi aneh bocah berumur sepuluh tahun berambut gondrong dekil ini
mengenal namanya. Bahkan dia sudah mengikuti sejak Purbasari sampai di
perguruan Merak Emas dan juga
perguruan Sangra Buana.
Kini si gadis pandangi bocah
yang duduk seenaknya di atas pohon mengkudu. Yang dipandang menyengir, kemudian
mengguncang pohon besar itu sambil bernyanyi tidak karuan juntrungannya. Pohon
itu bergoyang keras laksana ditiup topan. "Anggut-anggutan seperti di awan.
Malapetaka datang mana mengenal kawan. Kalau lelah
memberi ingat mengapa tak datang ke gunung Butak sobat, Tralili...
tralulu... kalau lupa kepala dipalu.
Hi... hi... hi!"
"Bocah siapakah dirimu" Apa yang kau ketahui tentang perjalananku?"
hardik Purbasari curiga.
Bocah berbadan dekil tertawa
mengikik disertai batuk-batuk kecil.
"Sudah kukatakan namaku Iwir Iwir.
Sedangkan mengenai dirimu" Hik...
hik... hik." bocah yang mengaku bernama Iwir Iwir tekab mulutnya agar tidak
keterusan tertawa. Dia kemudian melanjutkan. "Tentang dirimu aku tahu banyak.
Kau adalah murid tunggal Ki Rangan dari Puncak Terang. Gurumu berjuluk Dewa
Ngelindur Bertangan Arwah. Kau ditugaskan olehnya untuk memberi ingat pada
seluruh perguruan silat di daerah timur Jawa ini agar mereka bersikap waspada
dari segala mara bahaya. Karena saat ini di rimba
persilatan muncul seorang tokoh sesat yang menamakan dirinya Sang Cobra.
Tidak jelas apa yang menjadi awal persoalan" Yang pasti dia datang ke setiap
perguruan membunuhi murid dan guru perguruan itu dengan ciri-ciri luka
sebagaimana yang kau lihat.
Setelah itu dia pergi menebar maut di perguruan yang lain...!" jelas si bocah.
Purbasari tersentak kaget men-
dengar ucapan bocah ini. Bagaimana Iwir Iwir bisa mengatakan segala
sesuatunya dengan jelas, padahal
perjalanannya untuk menjalankan amanat sang guru sangat dirahasiakan" Belum lagi
hilang rasa kaget di hati
Purbasari, bocah yang cuma mengenakan cawat itu melanjutkan. "Bukan hanya itu
saja, Purbasari. Kau juga
ditugaskan untuk mencari Pedang Raja.
Hanya pedang itu yang dapat dipergunakan untuk menghentikan segala sepak terjang
Sang Cobra. Namun kurasa bukan melalui tanganmu. Melainkan melalui tangan
pemilik pedang itu.
Hanya Anom Ka Ratan yang becus
menggunakan pedangnya sendiri. Hik...
hik... huk... huk."
Semakin bertambah kaget saja
Purbasari mendengar ucapan Iwir Iwir.
Bagaimana bocah itu bisa mengetahui segalanya" Ini merupakan sesuatu yang sangat
membingungkan bagi Purbasari.
Tapi benarkah dia tidak dapat menggunakan pedang Raja untuk menghentikan sepak
terjang Sang Cobra" Purbasari gelengkan kepala
"Bocah... bicaramu sombong
seperti seorang dewa yang tahu segalanya. Kau mengatakan aku tak sanggup
menggunakan pedang itu, padahal kau tak pernah tahu sejauh mana kesaktian yang
ku miliki" dengus Purbasari merasa tersinggung.
Iwir Iwir tertawa dan batuk-
batuk lagi. Dia lalu membuka mulut berucap. "Aku tahu konon kesaktian Dewa
Ngelindur Tangan Arwah sangat tinggi. Konon pula dia pernah
mempecundangi beberapa tokoh golongan hitam. Membunuh Cula Berkala dedengkot
tokoh sesat paling ditakuti di daerah selatan. Bahkan dia mengobrak-abrik
Kadipaten Pacitan. Dan aku percaya sepenuhnya sebagai murid kau mewarisi semua
ilmu kesaktian orang tua itu.
Tapi kali ini sangat lain. Pedang Raja benar-benar rajanya dari segala
pedang. Seperti yang kukatakan hanya Anom Ka Ratan yang bisa memper-gunakannya."
Merasa diri diremehkan oleh
bocah itu. Maka Purbasari berucap ketus. "Baik, kalau begitu kita temui orang
tua itu dan minta bantuannya?"
dengus si gadis.
Bocah di atas pohon mengkudu
dongakkan kepala dan batuk-batuk
beberapa kali. "Untuk mencarinya saja sudah sulit, apalagi minta bantuannya"
Dia orang tua yang mempunyai watak angin-anginan, mau menolong jika tidak
diminta. Sebaliknya sulit mengharap bantuannya jika dia tidak berkenan."
sahut Iwir Iwir.
"Bocah sinting! Apakah kau
sengaja hendak mempermainkan diriku"
Kau kira dirimu siapa?" hardik Purbasari marah,
"Hi... hi... hi. Namaku Iwir Iwir apakah kau lupa. Hanya itu saja yang patut kau
ketahui." tegas si bocah aneh disertai senyum namun
unjukkan mimik bersungguh-sungguh.
"Baiklah. Kau tadi mengatakan minta bantuan Anom Ka Ratan sangat sulit.
Sementara Sang Cobra terus menebar maut tanpa pandang bulu. Kalau begitu kita
ambil saja pedang itu."
"Aku percaya jiwa mudamu tidak mengenal rasa takut. Seperti yang sudah kukatakan
tak seorang pun di dunia ini yang sanggup mempergunakan Pedang Raja. Kalau kau
tak percaya, coba tangkap daun ini!" berkata begitu Iwir Iwir memetik selembar
daun mengkudu. Enak saja daun itu
dilemparkannya ke arah Purbasari. Daun meluncur, meskipun si gadis tak
mengetahui maksud Iwir Iwir. Namun daun itu ditangkapnya juga.
Wuut! "Uup... eehh...!" Dalam hati Purbasari terkejut luar biasa ketika mendapat
kenyataan selembar daun yang dilontarkan Iwir Iwir kepadanya
ternyata sangat berat bukan main. Si gadis pergunakan tenaga luar dalam untuk
menahan daun itu agar jangan sampai jatuh. Keringat mengucur
membasahi tubuhnya. Tapi pada akhirnya dia jatuh terduduk tak sanggup menahan
berat daun yang sangat luar biasa.
"Aneh, punya ilmu apa bocah ini"
Hanya selembar daun aku tak sanggup mengangkatnya. Aku merasa tidak
ubahnya seperti mengangkat sepuluh ekor kerbau?"" batin Purbasari dalam hati.
Dia pun dengan wajah pucat
bersimbah keringat bangkit berdiri. Di atas pohon si bocah tertawa mengikik
disertai batuk-batuk kecil.
"Apa sebenarnya yang kau mau?"
tanya Purbasari.
"Aku hanya sekedar menunjukkan padamu suatu contoh yang mungkin bisa menjadi
pelajaran bagimu. Kelak kau akan mengetahuinya sendiri mengapa aku mengatakan
kau tak sanggup menggunakan pedang itu!" jawab si bocah tetap disertai senyum.
"Bicaramu bertele-tele. Saat ini tugasku masih banyak. Kalau kau
mengikuti aku dengan maksud tujuan yang baik. Sekarang apa yang harus
kulakukan?" sambil menahan kekesa-lannya Purbasari ajukan pertanyaannya.
"Bertanya pada anak kecil apakah itu bukan tindakan keliru" Padahal aku sendiri
bisanya cuma main. Namun jika kau inginkan satu pandangan. Aku hanya bisa
mengatakan saat ini sebaiknya tak usah lagi kau pergi menemui ketua perguruan
yang ada di timur Jawa ini.
Karena kuanggap hanya merupakan
pekerjaan sia-sia. Dia selalu mendahu-luimu. Untuk itu kusarankan sebaiknya kita
pergi menemui Anom Ka Ratan. Jika kau tak berkenan juga carilah kakek gendut
besar luar biasa bernama
Gentong Ketawa. Orang tua itu punya pandangan luas, di samping juga
memiliki kepandaian sangat tinggi.
Apalagi turut yang kudengar saat ini dia mempunyai seorang murid bernama Gento
Guyon." Mendengar Iwir Iwir menyebut
nama Gentong Ketawa, Purbasari kembali dilanda rasa kaget. Gurunya sendiri Dewa
Ngelindur Bertangan Arwah sebelum si gadis pergi sempat berpesan agar
membicarakan persoalan pelik yang mereka hadapi saat itu.
"Gentong Ketawa kakek sakti yang punya tabiat aneh. Di mana harus
mencari orang tua itu?" tanya Purbasari.
"Eeh... kau juga mengenalnya?"
sergah Iwir Iwir sempat terlonjak
kaget. "Guruku ada sedikit memberi
penjelasan tentang kakek itu." sahut Purbasari.
"Bagus. Kalau begitu kau memilih hendak menyambangi siapa?" tanya si bocah.
"Aku belum menentukan pilihan.
Saat ini aku sedang memikirkan Ni Estu Lampiri." ujar si gadis.
"Dia tak berada di sini. Mungkin juga di suatu tempat. Untuk sementara sebaiknya
jangan dirisaukan dulu
masalah ketua perguruan Teratai Putih ini. Mudah-mudahan dia dalam keadaan
selamat. Hi... hi... hi."
"Aku pun berharap begitu. Tapi ingat, jika kau ternyata menipu, kau tak bakal
lolos dari tanganku!" ancam Purbasari,
Si bocah tertawa panjang
diselingi batuk. Ketika si gadis
memandang ke pohon sambil delikkan mata ternyata Iwir Iwir sudah tak berada lagi
di tempatnya. Purbasari pun tanpa menunggu lebih lama segera berkelebat ke arah
lenyapnya bocah aneh yang mengetahui banyak hal itu.
2 Laki-laki bercelana hitam ber-
telanjang dada yang di sekujur
tubuhnya dipenuhi hiasan mahluk
berujud sosok ular kobra itu mendadak memperlambat larinya. Di satu tempat laki-
laki yang kepalanya terbungkus kain hitam itu hentikan langkah. Sosok yang
tersampir di atas bahunya
dilemparkan, jatuh berguling-guling, diam dan tak bergerak.
"Laki-laki keparat siapa kau yang sebenarnya" Kau bunuhi murid-muridku. Kau
totok diriku lalu kau bawa ke mari. Apa maksudmu?" hardik perempuan setengah
baya berpakaian putih berhiaskan sulaman bunga Teratai berwarna merah.
Sejenak lamanya laki-laki ini
memperhatikan si perempuan melalui celah lubang kain hitam yang menyelubungi
seluruh kepalanya. Kemudian dia dongakkan kepalanya ke langit.
Terdengar tawa disertai desis aneh seperti desisan ular kobra yang marah.
"Ketua perguruan Teratai Merah! Kau dengar! Aku akan menghancurkan semua
perguruan silat yang ada di tanah Jawa ini. Akan kubunuh semua tokoh sakti baik
dari golongan putih dan golongan hitam. Mereka semua tidak pantas
diberi hidup. Karena orang yang
menganggap dirinya dari golongan baik-
baik sesungguhnya tidak punya perasaan sedikit pun." kata laki-laki itu sinis.
"Ucapanmu sama sekali tidak
memberikan jawaban apapun atas
pertanyaan yang kuajukan!" dengus perempuan itu yang bukan lain adalah Ni Estu
Lampiri. "Ha... ha... ha. Aku akan jawab pertanyaanmu. Tapi sebelum itu aku ingin kau
menjawab beberapa pertanyaanku dulu." sahut laki-laki itu.
Dia terdiam sejenak.
Dari balik penutup yang menyelubungi kepalanya terdengar suara aneh berupa desisan panjang.
"Pertanyaanku yang pertama.
Di mana dedengkot golongan putih
bernama Anom Ka Ratan saat ini
berada?" Ni Estu Lampiri terkejut besar
mendengar pertanyaan laki-laki
bertelanjang dada yang sekujur
tubuhnya dihias dengan gambar sosok ular kobra ini. Anom Ka Ratan adalah tokoh
dunia persilatan yang namanya sangat disegani di daerah timur tanah Jawa. Orang
tua itu sendiri sudah lama tak terdengar kabar beritanya. Kabar terakhir yang
didengar Ni Estu Lampiri tokoh sakti itu menetap tinggal di daerah Probolinggo,
menempati sebuah lembah yang diapit dua bukit. Konon di tempat itu pula dia
menciptakan senjata aneh yang diberi nama Pedang


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja. Tapi kalau pun dia tahu di mana Anom Ka Ratan tidak mungkin dia
memberitahukannya pada laki-laki yang telah membantai seluruh muridnya.
"Cepat jawab pertanyaanku!"
hardik laki-laki ini tak sabar.
"Aku tak tahu!" jawab Ni Estu Lampiri.
Orang itu menggeram pendek.
Walaupun mulai kesal, tapi dia terus melanjutkan pertanyaannya juga. "Kau tak
tahu tak mengapa. Sekarang katakan padaku di mana beradanya Ki Banjar Jati
berjuluk Mahluk Tanpa Tanda?"
Mendengar pertanyaan itu Ni Estu
Lampiri tertawa pelan.
"Buat apa kau tanyakan orang aneh yang satu itu" Dia bisa berada di mana saja.
Dia bisa muncul di
hadapanmu tanpa kau sadari. Hi...
hi... hi."
"Jadi kau tak tahu di mana
gerangan Mahluk Tanpa Tanda berada?"
desis laki-laki itu sinis.
"Aku tidak takut ancaman apapun darimu. Bahkan saat ini ingin rasanya aku
membunuhmu. Tapi terus terang kukatakan aku tak tahu di mana adanya orang yang
kau tanyakan ini!" sahut ketua perguruan Teratai Putih. Saat itu diam-diam dia
kerahkan tenaga dalam untuk membebaskan totokan di tubuhnya. Nampaknya usaha
yang dilakukan itu mendatangkan hasil.
Totokan di bagian punggung dapat
dimusnahkan. Tetapi dia tetap diam menunggu kesempatan terbaik untuk melepaskan
satu pukulan mautnya.
"Kau tak takut ancaman. Sungguh dirimu adalah seorang perempuan yang sangat
berani. Dua pertanyaan telah kuajukan. Di kejauhan sana ada sebuah pondok.
Pondok kecil di tepi kali Merayu. Tempat itu masih seperti dulu-dulu juga. Tapi
apa yang terjadi
sekarang sudah sangat lain." gumamnya.
Kemudian dia melanjutkan. "Waktu untuk membalas semua penghinaan itu sudah tiba.
Sebentar lagi aku sudah tidak membutuhkan penunjuk jalan lagi.
Karena itu aku akan jawab pertanyaanmu tadi. Kau ingat baik-baik, aku adalah
Sang Kobra. Sengaja dikembalikan ke dunia ini untuk memberikan pelajaran yang
berharga pada semua orang yang dulu pernah menghinaku."
"Sang Kobra. Kau sembunyikan wajahmu di balik selubung kain. Kau iblis pengecut.
Kejahatanmu telah tersebar, ditiupkan angin ke delapan penjuru arah. Kau
lampiaskan amarah pada orang-orang yang sama sekali tidak tahu musabab pangkal
persoalan. Sungguh kau manusia picik yang buta hati dan pikiran!" teriak Ni Estu Lampiri.
Wajah di balik selubung kain
hitam nampak gelap. Sepasang matanya
berkilat pancarkan amarah. Ingat akan segala yang pernah terjadi di masa
lalunya, maka sambil berteriak dia langsung menghantam. "Ucapanmu itu hanya
mempercepat ajalmu sendiri!"
bersamaan dengan itu pula Sang Cobra jentikkan lima jemari tangannya yang
berkuku panjang dan runcing ke arah Ni Estu Lampiri. Dengan serangan jarak jauh
ini Sang Cobra merasa yakin
perempuan setengah baya itu pasti menemui ajal seketika karena pada saat itu dia
melepaskan pukulan Sengatan Sang Cobra. Lima sinar hitam berbentuk seperti ekor
ular membersit, melesat dengan sangat cepat sekali menghantam bagian perut Ni
Estu Lampiri. Merasakan adanya sambaran hawa
dingin menerjang ke arahnya. Maka perempuan itu langsung melompat ke udara,
sambil berjumpalitan dia raup sesuatu dari balik pakaiannya. Setelah itu
tangannya dihantamkan ke arah lima larik sinar maut yang menderu sebat sejengkal
di bawah kakinya. Lima buah benda merah berupa senjata rahasia melesat memapas
pukulan Sengatan Sang Cobra.
Tuttt! Dar! Dar! Daar!
Terdengar lima kali letupan
berturut-turut. Ni Estu Lampiri akibat ledakan itu jatuh terguling-guling.
Lima buah benda berupa kuntum bunga
teratai merah yang disambitkannya hangus berkeping-keping begitu bentrok dengan
pukulan lawan. Tercium bau amis yang sangat
menyengat. Ni Estu Lampiri tanpa
menghiraukan rasa sakit yang
menyesakkan dadanya dengan cepat
bangkit berdiri. Wajahnya pucat pasi, sedangkan nafas perempuan itu agak
tersengal. Di hadapannya Sang Cobra yang tidak mengalami cidera sedikit pun
diam-diam jadi kaget. Dia sama sekali tak menyangka lawan yang sudah ditotoknya
sejak dari perguruan
Teratai Merah dapat membebaskan diri dari pengaruh totokan.
Walaupun begitu dia tetap
tersenyum. "Tenaga dalammu ternyata cukup tinggi juga. Tapi setinggi
apapun kesaktian yang kau miliki, di hadapanku kau tidak memiliki arti apa-apa."
kata Sang Cobra sengit.
"Manusia sombong! Terimalah
teratai beracunku!" Selesai berucap dengan sangat cepat sekali perempuan itu
sambitkan tiga kuntum kuncup bunga teratai yang langsung mengembang
bermekaran begitu menyentuh udara.
Ketiga kuntum teratai biru ini laksana kilat melabrak Sang Cobra. Serangan yang
dilakukan dari jarak dekat ini bukan serangan biasa. Karena mahluk apapun yang
menjadi sasaran tubuhnya pasti langsung layu. Apalagi saat itu
Ni Estu Lampiri mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki.
Dari mulut yang terselubung kain
hitam terdengar suara menggereng
marah. Dengan tangan kiri laki-laki yang sekujur tubuhnya dihiasi gambar ular
Cobra ini memukul ke depan.
Tes! Tes! Tes! Hantaman yang dilakukan Sang
Cobra membuat tiga kuntum bunga
teratai beracun itu berhamburan di udara. Justru hancurnya teratai
membuat serbuk beracun yang terkandung dalam kelopak bunga itu bertebaran
memenuhi udara. Sungguhpun Sang Cobra kebal terhadap semua jenis racun, tapi
jika serbuk bunga beracun itu sampai tersedot dalam pernafasannya tentu
akibatnya bisa jadi sangat fatal
sekali. Sambil mengibaskan tangannya menghalau serbuk bunga beracun
tersebut Sang Cobra melompat mundur.
"Kurang ajar. Jika tidak cepat kuhabisi dia lama-lama aku sendiri bisa kena
dicelakainya," batin laki-laki itu.
Baru saja Sang Cobra berniat
menyerang lawannya dengan satu pukulan yang mematikan. Pada saat yang
bersamaan pula Ni Estu Lampiri sudah melancarkan serangan ganasnya dengan jurus
Teratai Bermekaran Di Pagi Hari, Teratai Berguguran dan Teratai
Mengambang Di Atas Air. Serangan yang
sangat dahsyat yang tiada berkeputusan membuat lawan terdesak hebat untuk
beberapa saat lamanya. Namun ketika Sang Cobra rubah jurus-jurus silatnya.
Maka di lain kejap secara cepat
perempuan itu tampak terdesak. Apalagi ketiga tangan Sang Cobra yang berkuku
panjang, berwarna hitam mengandung racun ganas itu menyambar bagian
wajah, dada dan perutnya.
Tak punya pilihan lain sambil
melompat mundur Ni Estu Lampiri
melepaskan satu pukulan ganas ke arah lawannya. Kembali hawa dingin menderu
menghantam lawannya. Tanpa berusaha menghindar Sang Cobra menepis pukulan sakti
lawannya. Benturan yang terjadi membuat Ni Estu Lampiri terjajar.
Sebaliknya Sang Cobra melompat laksana kilat, tangan kiri menyambar.
Breet! Pakaian di bagian perut perem-
puan itu robek besar. Belum lagi Ni Estu Lampiri hilang kagetnya melihat pakaian
robek besar tangan kanan lawan kembali menyambar, menghunjam dalam perutnya.
Kraak! "Akhh...! "
Ni Estu Lampiri menjerit keras.
Perutnya robek besar, isi perut
berburaian keluar. Perempuan itu
terhuyung dan dekap perutnya. Pada saat itulah dari balik kepala depan
yang terselubung kain hitam melesat satu benda sepanjang satu jengkal.
Benda yang ternyata sosok ular kobra berwarna hitam langsung menghunjam di
bagian kening Ni Estu. Ada dua titik luka seperti bekas pagutan. Ular tadi jatuh
di atas tanah, lalu lenyap
setelah menyentuh ujung ibu jari kaki Sang Cobra. Sedangkan Ni Estu Lampiri
sendiri terguling roboh. Sekujur
tubuhnya menghitam keracunan sedangkan jiwanya tidak terselamatkan lagi.
Sang Cobra mendengus sinis.
Tanpa menoleh lagi dia tinggalkan mayat ketua perguruan Teratai Merah begitu
saja. 3 "Kaki kiri melangkah ke depan tiga langkah. Kemudian kaki kanan bergeser ke
samping satu langkah.
Tangan ditekuk, jemari yang saling dirapatkan menghadap ke depan, lengan ditarik
ke belakang. Dengan cepat digerakkan ke depan!" berkata kakek gendut besar
berbadan tinggi berpipi tembam dan berhidung pesek. Sambil berkata begitu tangan
membuat gerakan seperti gerakan kaki depan Congcorang.
Tidak jauh dari si kakek,
seorang pemuda tampan berambut
gondrong bertelanjang dada berwajah polos lugu meniru apa yang dikatakan
oleh si kakek gendut besar berkening lebar. Dia sama sekali tidak
memperdulikan sengatan terik matahari yang panas membakar. Sesekali pemuda
tampan yang bukan lain adalah Gento Guyon murid si kakek gendut besar Gentong
Ketawa memperhatikan jemari tangannya sendiri. Di bolak-balik, dirapatkan
digerakkan ke depan.
Sekejap dia melompat-lompat seperti congcorang, lalu jemarinya yang saling
merapat sedemikian rupa bagaikan
moncong ular yang mematuk, melesat menghantam batu besar yang terdapat di
depannya. Crok! Crok! Pyur! Hebat mengagumkan. Batu yang
sangat keras itu berlubang. Si pemuda memperhatikannya untuk beberapa saat.
Dia tersenyum, matanya dipentang
seakan tak percaya dengan kenyataan yang dialaminya.
"Guru. Kau lihat hasilnya. Jurus apa tadi namanya...?" tanya si pemuda seakan
lupa mengingat.
Kakek berbadan besar gendut luar
biasa yang mencangkung di atas batu yang baru saja menjadi sasaran si pemuda
cibirkan mulutnya.
"Mengingat nama jurus saja tak becus. Kalau mau tahu itulah yang namanya jurus
Congcorang Mabuk. Hanya gerakan kaki dan tubuhmu kurang luwes.
Kau juga harus mengerahkan tenaga dalam lebih banyak lagi ke bagian ujung jari
agar kehebatan jurus
Congcorang Mabuk dapat hasil yang lebih maksimal!" menyahuti si kakek dengan
sikap acuh tak acuh.
"Kurasa untuk memantapkan jurus itu kita harus mabuk dulu guru."
celetuk Gento dengan muka serius namun bibir sunggingkan senyum.
"Boleh juga, memainkan jurus belalang mabuk sambil mabok sungguhan memang
asyiik. Sayang tak ada warung tidak ada tuak. Bagaimana kalau kau minum air
sungai sampai mabuk"! Ha., ha... ha." kata si kakek Gentong Ketawa sambil
tertawa mengekeh.
"Air sungai masih kurang asyik.
Kurasa maboknya makin sedap kalau kita minum air kencing bersama-sama." sahut
Gento Guyon disertai tawa pula.
Si kakek unjukkan muka cemberut.
"Sudah, kau kalau diajak bicara kata-katamu makin melantur saja. Sekarang
sebaiknya kita tinggalkan tempat ini!"
kata Gentong Ketawa. Orang tua itu kemudian bangkit berdiri, lalu
tubuhnya digerakkan ke kanan dan ke kiri sampai terdengar suara berkero-takan
seperti tulang berderak.
Selagi si kakek menggerak-
gerakkan badan itulah matanya membentur sesuatu. Dia memperhatikan pohon yang
terdapat tak jauh di sebelah
kirinya. Kedua alisnya berkerut, matanya
yang agak sipit dikedip-kedipkan.
Melihat tingkah gurunya. Gento jadi ikutan melirik ke arah yang sama.
"Apa yang dilihat oleh kakek bunting ini." membatin Gento dalam hati. Dia
kemudian jadi melengak kaget ketika melihat ada beberapa baris coretan yang
terdapat di batang pohon itu. Belum lagi pemuda ini sempat ajukan pertanyaan
gurunya sudah melangkah mendekati pohon.
Cukup lama dia berdiri di situ,
memperhatikan, meneliti dan mengama-tinya dengan seksama, sampai kemudian
mukanya yang kemerahan nampak berubah pucat.
"Pesan ini rasanya sudah tidak asing lagi bagiku. Tulisannya jelek namun masih
dapat dibaca. Aneh... aku tidak melihat dia hadir di sini. Tadi ketika aku dan
Gege sampai aku tidak melihat adanya coretan di batang pohon ini. Ah, perasaanku
jadi tidak enak.
Jelas guru telah datang, namun aku tak melihat kehadirannya. Orang tua aneh!
Kedatangannya seperti setan dan pergi secepat angin berhembus. Aku tahu betul
dia tak suka banyak bicara. Tapi adalah sangat keterlaluan jika cuma
meninggalkan pesan!" gerutu si kakek.
"Guru bicara pada siapa?" tanya Gento yang sudah berdiri di samping
gurunya. Yang ditanya sempat kaget, mulutnya membuka hendak mendamprat tapi
tidak jadi. "Tulisan jelek siapa ini" Dibandingkan cakar ayam, rasanya masih
kalah bagus!" kata si pemuda lagi.
Kakek berbadan besar luar biasa
ini delikkan matanya. Merasa
dipelototi Gento pura-pura melihat ke arah lain sambil bersiul-siul.
"Jangan sembarangan kau bicara.
Orang yang membuat pesan ini adalah guruku, jadi masih terhitung kakek gurumu!
Dia datang tanpa kita
melihatnya. Meninggalkan pesan, berarti ada sesuatu yang sangat penting,
menyangkut urusan besar yang harus kita kerjakan." berkata si kakek.
Gento Guyon terdiam, mata tak
pernah beralih dari batang pohon, mulutnya melongo tanda heran. "Guru.
Apakah kakek guru sebangsanya hantu, memedi, kolong wewe atau setan
kampret?" tanya si pemuda bersungguh-sungguh.
"Bocah edan, bicara melantur apalagi kau. Tentu saja guruku adalah manusia
seperti kita. Bukan salah satu dari yang kau sebutkan!" bentak kakek Gentong
Ketawa bersungut-sungut.
Melihat gurunya cemberut begitu
rupa Gento Guyon tak dapat menahan senyum. Kalau sedang cemberut mulut gurunya
memang tidak ubahnya seperti
mulut ikan lele yang sedang bermain di atas air, apalagi kumis si kakek hanya
tumbuh beberapa helai saja,
Satu tepukan mendarat di bahu
Gento membuat senyumnya lenyap dan dia jadi meringis kesakitan.
"Guru ada apa ini" Kau memukulku tanpa sebab?" rutuk pemuda itu sambil mengusap-
usap bahunya yang serasa remuk. Gento menyadari tepukan si kakek hanyalah
tepukan biasa tapi karena tangan gurunya besar dan berat bukan main jadinya
pemuda itu merasa bahunya seperti dikemplang palu batu.
"Aku tahu, setiap kau tersenyum bila melihatku, pasti ada bagian
tubuhku yang kau caci. Jangan mungkir, aku selalu dapat menebak apa yang ada di
balik batok kepalamu itu!"
"Tidak malu aku berterus terang, apa yang guru katakan memang betul semuanya.
Ha., ha... ha!" ujar pemuda itu disertai tawa lebar.


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar bocah kurang ajar.
Sekarang kita mendapat pesan dari guruku. Ini bukan merupakan tugas yang dapat
dianggap main-main. Karena itu kuminta kau bersikap serius. Jika kita gagal
kakek gurumu bisa marah besar dan menghukum kita." berucap kakek Gentong Ketawa.
Gento Guyon keluakan siulan
pendek. Sambil bertolak pinggang dia berkata. "Aku sendiri belum pernah
bertemu dengan kakek guru.
Tapi kulihat kau begitu ketakutan. Apakah kakek guru itu tampangnya angker
menyeramkan" Atau barangkali kejam seperti iblis?" tanya si pemuda heran
"Suatu saat kau pasti bertemu dengannya. Kakek gurumu tidak seperti yang kau
sebutkan itu. Tapi terus terang selain Gusti Allah di dunia ini dialah yang
paling kutakuti. Aku
merasa lebih baik bertemu dengan
sepuluh musuh berkepandaian tinggi daripada harus bertemu dengannya."
kata si kakek merasa jerih.
Gento Guyon menyeringai men-
dengar pengakuan gurunya. Dalam hati dia menduga pasti kakek gurunya adalah
sosok laki-laki tua berbadan lebih besar dan lebih tinggi dari gurunya, berwajah
angker hampir tanpa senyum.
Sehingga wajar saja jika gurunya yang berbadan tambun itu jadi takut
kepadanya. "Sekarang kalau guru merasa
takut padanya, lebih baik kita baca saja pesan ini bersama-sama," berucap si
pemuda. Gentong Ketawa anggukkan kepala.
Mereka lalu membaca pesan itu bersama-sama.
Pada muridku si gendut Gentong Ketawa!
Dimohon perhatiannya. Saat ini
dunia persilatan
sedang dilanda kericuhan. Beberapa perguruan dibakar, murid dan gurunya dibantai. Nampaknya
korban akan terus berjatuhan, karena si pembunuh yang menamakan dirinya sebagai
Sang Cobra itu tidak memandang bulu dan membantai orang yang diinginkannya. Cari
tahu mengapa Sang Cobra sampai melakukan perbuatan keji dan tindakan biadab itu.
Kuminta padamu dan juga pada muridmu untuk menghentikannya. Mengingat ilmu
kesaktiannya sangat tinggi sebaiknya kau berhati-hati jika tak ingin mati
konyol! Tertanda Gurumu. Selesai membaca murid dan guru
saling pandang. Si kakek menarik
nafas, terdiam sejenak sambil berpikir. Sedangkan muridnya golang-
geleng kepala seperti orang linglung.
"Bocah, apalagi yang ada dalam kepalamu" Jika kau punya sesuatu yang hendak kau
sampaikan katakan saja terus terang mengapa harus malu-malu?"
Mendengar ucapan gurunya Gento
Guyon tertawa tergelak-gelak. "Apa guru mengira aku bicara dengan seorang gadis
ingusan yang baru mengenal cinta hingga aku harus merasa malu segala?"
menyahuti si pemuda. "Guru harus ingat
saat ini orang yang hendak kita cari itu tidak kita ketahui di mana" Paling
tidak kita harus menyerap kabar
tentang keberadaan Sang Cobra. Saat ini kita berada di sekitar daerah kali
Merayu. Apa salahnya jika mulai
melakukan penyelidikan dari sekarang?"
ujar si pemuda.
"Kau benar. Aku setuju saja.
Kebetulan sekali tidak jauh dari kali Merayu aku punya seorang sahabat lama.
Namanya Ki Bantaran berjuluk Iblis Berhati Suci." menerangkan si kakek.
Mendengar ucapan gurunya Gento
Guyon tersenyum dengan mulut ter-
pencong. "Aneh" Masa iya di dunia ini ada iblis yang hatinya suci" Manusia
sendiri kebanyakan hatinya bengkok.
tidak jujur. Ha... ha... ha."
"Bocah edan. Bisa mu
cuma mencaci melulu. Sudahlah ayo kita pergi!"
Selesai berkata kakek Gentong
Ketawa menyambar tangan muridnya.
Kejap kemudian pemuda itu merasa
tubuhnya seperti dibawa lari secepat terbang.
4 Yang pertama kali dilakukan oleh
Iwir Iwir dan Purbasari murid Ki
Rangan alias Dewa Ngelindur Bertangan Arwah itu adalah mengumpulkan sedikit-nya
delapan orang laki-laki tegap.
Purbasari sendiri sebenarnya tak
mengerti mengapa bocah aneh bernama Iwir Iwir itu mengumpulkan delapan pemuda
berbadan besar dan tegap. Namun untuk mengajukan pertanyaan tentu dia merasa
malu, karena dia manganggap walau Iwir Iwir memiliki ilmu aneh dan luas
pengalaman. Dia tetap merupakan seorang bocah yang tidak jauh berbeda dengan
bocah lain pada umumnya.
Saat itu matahari baru saja
tenggelam di balik gunung Bromo.
Kegelapan mulai menyelimuti lereng gunung sebelah barat yang sejuk. Di balik
kelebatan pohon yang tumbuh di sepanjang lereng gunung baik si bocah maupun
Purbasari sendiri nampaknya tidak menghiraukan sengatan hawa
dingin yang menusuk. Tak jauh di
belakang mereka delapan laki-laki tegap bertelanjang dada tampak terus mengikuti
mereka. "Sekarang sudah gelap. Aku tak ingin melanjutkan perjalanan di malam hari."
berkata Purbasari sambil
menghentikan langkah. Karena gadis berambut riap-riapan ini berhenti maka bocah
berumur sembilan tahun itu ikut berhenti. Dia menggaruk rambutnya.
Memandang ke depan sana nampaknya jalan akan mereka lalui semakin
bertambah sulit.
"Aku sendiri sebenarnya juga tidak mau. Tapi jika kita tunda
perjalanan ini, berarti kita
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk sampai di bukit Waton Hijau.
Padahal jika kita berniat mengambil Pedang Raja di malam hari besar
kemungkinan Anom Ka Ratan tidak akan mengetahui kehadiran kita." jelas Iwir
Iwir. "Jadi kita berniat mencuri
pedang itu?" tanya Purbasari. Sementara di belakang mereka delapan orang laki-
laki yang mereka bawa dari desa terdekat sudah ikut berhenti pula.
Mengingat perjalanan untuk mencapai Bukit Waton Hijau begitu sulit, tidak heran
jika ke delapan pemuda desa itu nampak kelelahan.
"Kita tidak punya pilihan lain.
Tidak mungkin kita meminta Pedang Raja pada pemiliknya. Anom Ka Ratan jelas
tidak mau memberikannya. Jika kita meminta orang tua itu untuk turut membantu,
ini akan lebih sulit lagi.
Seperti yang pernah kukatakan dia orang tua aneh yang mempunyai tabiat
sulit ditebak. Bisa jadi karena kita datang meminta tolong
dia malah membunuh kita."
"Manusia aneh. Tak pernah
kusangka begitu aku turun gunung aku akan banyak bertemu dengan orang
edan." gumam Purbasari. Dia melirik ke arah delapan laki-laki muda yang
berada di sampingnya. Setelah itu pandangannya kembali pada Iwir Iwir.
"Buat apa kau membawa serta mereka dalam perjalanan kita?" si gadis ajukan
pertanyaan. Si bocah aneh ini hendak
tertawa, namun cepat tekap mulutnya.
Dia hanya batuk-batuk kecil, baru kemudian menjawab dengan berbisik.
"Nantinya kau akan tahu bila sudah sampai di sana."
"Bagaimana orang-orang ini bisa menuruti perintahmu?" tanya Purbasari heran.
Iwir Iwir tersenyum, lalu
dongakkan kepala. Matanya berkedip-kedip memandang ke langit yang gelap dan
hanya ditaburi cahaya gemintang.
"Ada satu rahasia besar yang tidak bisa kuceritakan padamu saat ini. Tapi jika
kau mau berjanji mau menjadi sahabatku, kelak aku pasti akan menceritakan
tentang rahasiaku itu. Asal kau mau bersumpah tidak akan menceritakan rahasia
perihal diriku pada siapapun sampai kau mati." kata
Iwir Iwir. "Bocah aneh, siapa sebenarnya dia" Masih sekecil ini mempunyai
kesaktian tinggi. Tingkah lakunya selalu berubah-ubah, terkadang dia malah
memberi nasehat seperti orang tua." Batin Purbasari. Sejenak lamanya gadis itu
pandangi si bocah. "Baiklah, aku berjanji. Sekarang apakah kita hendak
meneruskan perjalanan seperti keinginanmu atau istirahat seperti yang kukatakan
tadi?" "Turut kata hatiku kita memang harus melanjutkan perjalanan. Tapi...
aku merasa sejak tadi ada orang yang mengikuti kita!" berkata bocah itu dengan
suara hampir tak terdengar.
Purbasari berjingkrak kaget.
"Apa..." Aku sendiri tidak merasa ada orang yang mengikuti kita. Bagaimana kau
bisa mengetahuinya?" tanya si gadis. Dia semakin tambah heran saja melihat
kemampuan dan kelebihan yang dimiliki oleh Iwir Iwir.
"Bocah ini, jika benar apa yang dikatakannya. Berarti dia mempunyai pendengaran
yang lebih tajam dariku."
Purbasari gelengkan kepala seakan merasa tak percaya.
Seolah dapat membaca pikiran si
gadis, Iwir Iwir menegaskan. "Aku bicara yang sebenarnya. Kita harus mencari
tempat untuk melewatkan malam sampai orang yang mengikuti kita
pergi. Besok pagi sekali baru kita lanjutkan perjalanan ini."
Purbasari menganggukkan kepala.
Dalam Kegelapan malam itu matanya memandang ke segenap penjuru sudut.
Dia kemudian melihat sebuah legukan batu yang cukup luas lagi dalam di lamping
tebing sebelah kirinya.
"Iwir Iwir, sebaiknya kita bawa orang-orang ini ke sana!" kata Purbasari.
"Aku mengikut
saja. Kau dan mereka bisa tidur di legukan batu itu.
Sementara aku sendiri biar berjaga-jaga di luar!"
"Apa, kau menyuruhku tidur
bersama mereka" Apa kau tidak ingat kalau aku seorang perempuan?" dengus
Purbasari. "Ingat, tentu saja aku ingat.
Tapi cuma tempat itu satu-satunya yang dapat dijadikan tempat berlindung dari
dinginnya malam." menerangkan si bocah mencoba memberi pengertian.
"Aku ingin tidur di luar legukan batu, kalau perlu kau yang tidur di luar
bersama mereka!" ujar si gadis cemberut.
"Baik. Tidurlah kau sesuka hati di mana saja yang engkau mau. Aku akan menyuruh
mereka tidur di balik legukan batu. Kulihat langit mendung. Sebentar lagi hujan
pasti segera turun. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik
padamu jika kau memang mengakui aku adalah sahabatmu!"
"Terima kasih atas kebaikanmu!"
kata Purbasari. Dia sendiri kemudian mencari tempat tak jauh dari legukan batu.
Berlindung di bawah sebatang pohon rindang, di mana karena di
tempat itu suasananya lebih gelap tentu dia dapat mengawasi suasana di
sekitarnya setiap saat.
Si bocah segera memerintahkan
delapan pemuda yang ikut serta dalam perjalanan mereka menuju ke legukan di
lamping batu tebing. Setelah para pemuda itu merebahkan diri di bagian dalam
legukan batu yang mirip gua dangkal. Purbasari melihat Iwir Iwir keluar dari
legukan batu. Dia duduk menyandarkan punggungnya di kaki
tebing yang masih merupakan bagian lereng Gunung Bromo.
Di bawah kegelapan pohon
Purbasari mencoba merenungi perjalanan yang dilakukannya sejak meninggalkan
Puncak Terang yang merupakan tempat pertapaan Ki Rangan alias Dewa
Ngelindur Bertangan Arwah. Beberapa perguruan telah didatanginya guna memberi
ingat agar para ketua
perguruan bisa bersikap waspada selalu mengingat munculnya Sang Cobra yang tidak
terduga yang sering melakukan pembunuhan keji. Apapun alasan di balik
pembantaian itu, baik Purbasari
maupun gurunya tidak tahu secara
pasti. Tapi sayang kedatangan Purbasari
selalu terlambat. Ketika dia sampai di perguruan yang disambanginya. Mereka yang
seharusnya diberi peringatan sudah tewas terbantai.
Semua ini baginya cukup
mengejutkan. Yang membuatnya heran, sejak pertama kali menginjakkan kaki di
salah satu perguruan, muncul bocah aneh yang kini turut serta bersamanya.
Bocah yang bila dilihat dari
segi usia masih terlalu sangat muda bahkan boleh dibilang anak-anak, tapi
memiliki kesaktian tinggi dan aneh, di samping itu si bocah juga tampaknya
mempunyai pengalaman yang sangat luas.
Dia mengaku bernama Iwir Iwir, namun siapa bocah itu yang sesungguhnya Purbasari
tak tahu. Satu hal lagi yang membuat
Purbasari menjadi bertanya-tanya dalam hati. Entah buat apa bocah itu kini
membawa serta delapan pemuda desa yang sesungguhnya tidak tahu tentang ilmu
silat dan tidak pula berkepandaian apa-apa. Dan yang terasa aneh lagi, sejak
ikut dengannya ke delapan pemuda itu sama sekali tak pernah bicara.
Mereka mengikut saja ke mana Purbasari dan Iwir Iwir melangkah. Anehnya
kepada bocah itu mereka sangat
menurut. Entah ilmu apa yang
dipergunakan si bocah"
Kini di bawah pohon hanya dengan
berbantal kedua tangannya sendiri si gadis mencoba memejamkan matanya.
Entah mengapa dia jadi gelisah.
Matanya sulit sekali dipejamkan.
Sementara hujan mulai turun rintik-rintik, angin dingin bertiup pula dengan
kencang. Bersamaan dengan itu pula suasana di lereng Bromo sebelah barat itu
semakin bertambah gelap saja. Purbasari terkejut, tapi aneh dia juga saat itu
diserang rasa kantuk yang berat. Sungguhpun si gadis sudah mencoba bertahan agar
jangan sampai terlelap, namun pada akhirnya dia pulas juga.
Justru pada saat itu pula satu
sosok tubuh yang sejak tadi mendekam di balik kegelapan kini bangkit
berdiri disertai seringai dingin
mengerikan. Dalam gelap itu wajahnya sama sekali tidak terlihat. Hanya kedua
matanya saja yang merah
berkilat-kilat memandang ke arah
legukan batu di mana delapan pemuda dusun itu melewatkan malam.
"Bocah itu ilmunya sungguh
tinggi. Kuharap mantra sirepku dapat bekerja dengan baik sebagaimana yang
kuharapkan. Aku sekarang sudah tahu mengapa bocah itu membawa serta
delapan orang pemuda dusun. Sebaiknya biar kuhabisi saja kedelapan pemuda
itu sekarang. Sedangkan bocah dan gadis itu gilirannya akan tiba begitu mereka
sampai di tempat tujuan. Jadi aku tidak perlu bersusah payah mencari di mana
beradanya Pedang Raja, karena mereka pasti akan membawaku ke sana!"
kata sosok serba hitam berbadan
bungkuk itu di dalam hati. Dia lalu mengendap-endap mendekati legukan lamping
tebing. Sementara itu Iwir Iwir si bocah
aneh juga rupanya juga tak mampu
menahan rasa kantuknya. Bocah ini malah lebih cepat pulas dibandingkan
Purbasari. Walau sebelumnya dia
sendiri sempat memberi tahu si gadis kalau saat itu ada orang mengikuti mereka.
Tapi dasar seorang bocah, tetap saja dia berlaku ceroboh.


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan leluasa sosok berpakaian
serba hitam itu memasuki legukan batu.
Sejenak lamanya dia pandangi ke
delapan pemuda yang pulas tertidur dibuai mimpi. Mulutnya membuka, dengan cepat
pula dia meniup. Dari mulutnya menyembur cairan putih yang langsung mengepul
menjadi kabut. Kabut putih itu menebar memenuhi ruangan dan
tersedot masuk ke dalam pernafasan ke delapan pemuda dusun. Begitu masuk ke
dalam pernafasan, maka ke delapan pemuda itu tersentak. Mereka memegangi leher
masing-masing yang terasa
tercekik, tubuh menggelepar sedangkan
kaki menggelinjang. Hanya beberapa saat kemudian ke delapan pemuda itu tampak
terdiam tidak berkutik lagi.
"Uap racun Raja Cobra tidak ada duanya di dunia ini. Kalau aku mau bahkan bocah
yang tidur di depan sana pasti menemui ajal saat ini, juga."
geram sosok bungkuk itu. Kemudian tanpa menunggu lebih lama sosok
berpakaian serba hitam ini langsung berkelebat meninggalkan korbannya.
Pada pagi keesokan harinya,
Purbasari jadi kaget begitu melihat delapan pemuda itu sudah tergeletak kaku
tanpa nyawa. Anehnya begitu dia melihat ke arah Iwir Iwir yang baru saja terjaga
bocah itu terlihat
tenang-tenang saja.
"Siapa yang membunuh mereka?"
bertanya gadis itu sambil memeriksa keadaan salah satu mayat tanpa luka namun
tubuhnya hitam membiru.
"Mana aku tahu" Aku sendiri
tidur," jawab si bocah. Iwir Iwir datang menghampiri, ikut memeriksa seluruh
mayat pemuda dusun kemudian dia melanjutkan ucapannya. "Racun yang sangat keji.
Ditiupkan ke udara lalu terhirup pernafasan. Untung... untung akalku lebih
panjang." "Eeh... apa maksudmu?" tanya Purbasari. Si bocah tersenyum. Tanpa menghiraukan
pertanyaan si gadis, Iwir Iwir menggerakkan tangannya ke arah
mayat-mayat itu.
Wuuut! Angin menderu menyapu ke delapan
mayat si pemuda. Purbasari terbelalak kaget, mulut ternganga seakan tak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
Bagaimana tidak" Ke delapan
pemuda itu kini telah berubah menjadi potongan kayu. Purbasari memandang pada si
bocah dengan tatapan penuh tanya.
Iwir Iwir tersenyum. "Aku punya firasat hal ini pasti akan terjadi.
Dengan sedikit kekuatan yang ku miliki kusarukan kayu-kayu itu menggantikan
delapan pemuda yang bersama kita. Aku tidak tahu apa maksud tujuan orang itu
mengikuti kita. Tapi kurasa jika dia telah berani melakukan pembunuhan.
Berarti ada sesuatu yang
diinginkannya." jelas si bocah.
Purbasari terdiam, dia semakin
kagum terhadap si bocah di samping juga tetap curiga.
"Sekarang di mana mereka"'"
tanya si gadis.
"Tak usah khawatir. Para pemuda itu bersembunyi di satu tempat aman tak jauh
dari sini. Kalau kau ingin melihatnya juga boleh. Mari kita ke sana." ujar Iwir
Iwir. Keduanya lalu menelusuri tanah
bebatuan di sebelah kanan tebing. Tak lama mereka sampai di sebuah gua
kecil. Si bocah batuk beberapa kali.
Dari balik mulut gua yang sempit
bermunculan kedelapan pemuda dusun itu.
"Aneh...!" desis si gadis merasa kagum.
Si bocah tertawa disertai batuk.
"Tidak ada yang aneh. Sedikit melakukan tipuan kecil terhadap orang yang berniat
jahat, kurasa aku bisa mendapat ganjaran pahala dari Tuhan.
Sekarang, walau tidak aman kurasa kita sudah bisa melanjutkan perjalanan."
ujar Iwir Iwir. Purbasari anggukkan kepala. Selanjutnya mereka berjalan melewati
lembah di mana bukit Waton Hijau nampak biru kehijauan di bawah siraman cahaya
matahari pagi. 5 Kakek tua berbadan kurus,
berpipi cekung bermata tajam penuh kearifan itu duduk diam di dalam
kamarnya yang sempit. Sebentar dia melirik ke arah pedang hitam bertelanjang
yang tergeletak di atas
pendupaan menyala. Sesekali mulutnya berkomat-kamit, anehnya tak sepatah katapun
yang terdengar dari mulutnya.
Sambil berkomat-kamit si kakek
berpakaian serba ungu ini menaburkan serbuk dalam genggaman tangannya.
Terdengar suara gemeretak begitu
serbuk berwarna kuning itu menyentuh api disertai dengan mengepulnya asap hitam
kekuningan menebar bau harum damar.
Di atas pendupaan pedang yang
diletakkan melintang bergetar disertai dengan terdengarnya suara dentring aneh.
Si kakek kemudian berucap
ditujukan pada pedang di atas
pendupaan. "Gagak Mencle, aku sudah mendengar kejahatan Sang Cobra. Saat ini
sudah sangat banyak kerabatku pendiri perguruan yang tewas di
tangannya. Aku ingin kau membunuhnya agar tidak ada lagi darah orang yang tidak
berdosa tercecer membasahi bumi.
Lakukan tugasmu sekarang juga!"
berkata begitu kakek tua bernama Ki Bantaran dan dikenal dengan julukan Iblis
Berhati Suci itu jentikkan ujung jemarinya ke hulu pedang hitam.
Zzzzt! Begitu angin dingin menyentuh
permukaan pendupaan. Maka pedang
Mencle Sapu Angin menderu, melesat di langit-langit pondok dan menerobos atap
ilalang dan lenyap dari pandangan mata. Beberapa saat lamanya si kakek tetap
duduk di depan pendupaan, dengan tangan dirangkapkan ke depan dada sedangkan
mata dalam keadaan terpejam.
Tapi tubuh si kakek tiba-tiba saja bergetar hebat. Punggungnya yang
berada di atas tempat tidur terangkat ke atas, lalu meluncur ke bawah
laksana dibanting.
"Oh celaka, ada apa gerangan?"
desis si kakek sambil membuka matanya.
Belum lagi lenyap rasa kaget di hati Ki Bantaran di atas pondok terdengar suara
letusan keras yang disusul
dengan hancurnya atap pondok. Satu benda hitam melayang jatuh, menancap tepat di
depan kaki Ki Bantaran.
Ketika melihat benda itu maka kagetlah si kakek dibuatnya.
"Pedang Gagak Mencle Sapu Angin, mengapa yang kau bunuh hanya seekor ular cobra
yang tidak berguna?" hardik orang tua itu sambil memperhatikan bagian kepala
ular yang menancap di ujung mata pedang. Si kakek lalu
mencabut pedang yang menancap di atas balai tempat tidur. Ekor ular dipegang dan
ditarik, sehingga kepala ular itu terlepas dari ujung pedang. "Seumur hidup aku
menggunakan senjata bertuah ini belum pernah meleset dari sasaran.
Tapi hari ini mengapa bisa terjadi kekeliruan" Apakah pedang ini salah mengerti
maksud dari ucapanku?" pikir si kakek.
Selagi hati orang tua ini
diliputi rasa bingung. Pada saat itu pula di depan rumahnya terdengar suara tawa
terbahak-bahak. Merasa terkejut Ki Bantaran melompat bangkit. Tawa
aneh yang didengarnya tadi lenyap, satu suara berkata. "Ki Bantaran, apapun yang
kau lakukan untuk
membunuhku hal itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Sekarang kau
keluarlah! Aku menunggumu di sini."
"Siapa dia" Suaranya sama sekali tidak kukenal." membatin Ki Bantaran.
Karena curiga kakek itu menyelipkan pedang yang dipungutnya tadi di balik
pakaian ungunya.
"Ki Bantaran Iblis Berhati Suci, tapi aku lebih suka menyebutmu iblis keparat!
Cepat keluar, waktuku tidak banyak karena masih dua nyawa lagi yang menunggu
untuk kukirim ke
neraka!" bentak orang di halaman. Ki Bantaran yang sempat heran karena orang
mengenali julukannya berkelebat ke bagian pintu depan. Sampai di depan pintu di
hentikan langkah. Sepasang matanya memandang tajam ke arah sosok laki-laki yang
berdiri tegak di
halaman. Orang tua ini kembali dilanda keterkejutan besar ketika melihat sosok
laki-laki bertelanjang dada bercelana hitam. Sedangkan di sekujur tubuhnya
dihiasi lukisan berupa sosok ular cobra. Wajah maupun kepala laki-laki itu sama
sekali tak terlihat karena diselubungi kain hitam. Hanya sepasang matanya saja
yang mengintai dari balik selubung kain yang diberi dua buah lubang.
Setelah saling beradu pandang
sekian lamanya, laki-laki bertelanjang dada itu akhirnya tertawa terbahak-bahak.
"Kau ingat dengan diriku iblis berhati suci"! Ha... ha... ha." hardik laki-laki
itu yang bukan lain adalah Sang Cobra.
"Melihat pada keadaan badanmu, kau pasti adalah Sang Cobra," menyahut Ki
Bantaran. Sang Cobra gelengkan kepala. "Bukan, bukan itu. Kau tentu ingat
kejadian sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ketika itu hujan deras melanda,
seluruh tanah Jawa. Dalam gelapnya malam di tengah hujan, ada seorang pemuda
datang ke rumahmu yang buruk. Di sini, di pondok ini!" jelas laki-laki itu.
Mendengar ucapan Sang Cobra di
samping terperanjat, kakek itu nampak terdiam. Kening si orang tua berkerut
tajam. "Dua puluh tahun yang lalu"
membatin si kakek dalam hati. Begitu otak si orang tua dapat mengingat maka
wajahnya menjadi murung.
*** Sejenak mari kita ikuti kejadian
yang terjadi sekitar dua puluh tahun yang silam. Saat itu hari sudah hampir
malam. Di bagian pendopo depan Ki Bantaran sedang berbincang-bincang dengan
salah seorang sahabatnya yang
bernama Ki Banjar Jati alias Mahluk Tanpa Tanda.
"Jadi sahabat kita Anom Ka Ratan berhasil membunuh Sepasang Iblis
Pengemis Harpa?" tanya Ki Bantaran saat itu pada sahabatnya Ki Banjar Jati.
"Bukan dia sendiri, tapi aku juga termasuk ikut ambil bagian dalam mengeroyok
dua tokoh sesat sakti itu.
Belasan ketua perguruan silat yang berada di tanah timur ini juga turut ambil
bagian. Kami tak ingin ada
pembalasan di kemudian hari. Itu
sebabnya aku dan para ketua perguruan yang ikut tergabung dalam penyerbuan ke
Puncak Tumapel terpaksa mengeroyoknya. Tapi ternyata Sepasang Iblis Pengemis
Harpa itu ilmunya sangat tinggi sekali. Kami hampir saja kalah.
Beruntung muncul Anom Ka Ratan. Orang tua itu membantu kami. Ketika mereka
terluka, aku membunuh mereka dengan pedang Gagak Mencle Sapu Angin yang kupinjam
darimu. Pedang sakti ini sangat bagus." berkata begitu orang tua berpakaian
serba putih keluarkan pedang berikut sarungnya dari balik pinggang. "Sekarang
pedang kukem-balikan padamu. Aku sangat berterima kasih!" kata Ki Banjar Jati
sambil mengelus-elus jenggot panjangnya.
Ki Bantaran menerima pedang
miliknya, kemudian meletakkan pedang
Gagak Mencle Sapu Angin di atas
pangkuannya. Setelah memandang tamunya beberapa jenak lamanya, Ki Bantaran
berucap. "Menurutku Sepasang Iblis Pengemis Harpa memang sudah selayaknya
disingkirkan. Karena sejak dulu mereka selalu berusaha menyingkirkan para
pendekar dari golongan kita. Keinginan mereka untuk merajai dunia persilatan dan
menjadi raja dan ratu untuk semua golongan adalah sebuah cita-cita gila yang
tidak boleh terjadi. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana sean-dainya orang-
orang seperti mereka berkuasa di seluruh tanah Jawa ini.
Kurasa bukan hanya rakyat saja yang sengsara, tapi kita sendiri juga bisa
dijadikan budaknya!"
"Kau betul aku sependapat
denganmu." sahut Ki Banjar Jati disertai anggukan kepala.
"Namun ada satu hal yang aku sesalkan. Tindakanmu dan tindakan kawan-kawan yang
ikut mengeroyoknya bukan tindakan seorang satria."
Ki Banjar Jati tertawa terkekeh.
"Untuk menghadapi mereka buat apa memakai segala aturan. Lagipula
Sepasang Iblis Pengemis Harpa sangat tinggi ilmunya. Aku tak mau salah seorang
di antara kami yang ikut
melakukan penyerbuan ke bukit Tumapel menjadi korban!" tegas orang tua itu.
"Lalu bagaimana dengan putra
kedua dedengkot tokoh sesat itu.
Apakah dia juga ikut terbunuh?" tanya Ki Bantaran alihkan pembicaraan. Ki Banjar
gelengkan kepala.
"Kami tak tega membunuhnya.
Pemuda itu sangat baik, mempunyai watak yang sangat jauh berbeda dengan kedua
orang tuanya. Lagipula saat itu dia tak berada di bukit Tumapel.
Menurut kabar yang kudengar dia
mengembara mendatangi setiap perguruan silat dan mengemis agar diangkat
menjadi murid. Tapi ketua perguruan mana yang sudi menerimanya mengingat dia jelas-jelas keturunan dua manusia sesat." dengus Ki Banjar Jati.
"Kurasa aku sendiri juga harus berpikir dua kali jika ingin mengangkat pemuda
itu menjadi muridku!"
berucap Ki Bantaran perlahan. "Tapi aku sendiri orang yang paling tidak dapat
berlaku tega pada sesama
manusia. Apalagi mengingat Lodra
Bergola hanya menjadi korban cacat buruk sepak terjang ke dua orang
tuanya," "Terserah padamu. Jika kelak dia datang kepadamu, harap kau ingat
jangan terlalu gegabah mengambil
keputusan untuk membesarkan anak
Singa." Setelah berkata Ki Banjar Jati bangkit berdiri.
"Eeh, kau hendak ke mana
sahabatku?" tanya Ki Bantaran.
"Saat ini hujan sudah hampir turun, Aku tidak mau basah kuyup
pulang ke rumah. Aku pulang dulu
sahabatku!" jawab Ki Banjar Jati, Ki Bantaran tidak berniat
mencegah kepergian sahabatnya. Dia mengantarkan tamunya sampai di halaman depan.
Beberapa saat setelah orang nomor satu dari daerah Sidoarjo itu berlalu hujan
turun bagai tercurah dari langit.
Sementara Ki Bantaran masuk
mengunci pintu rumahnya. Maka di balik rumpun bambu di samping rumah sosok tubuh
yang mendekam di situ dan turut mendengarkan pembicaraan kedua tokoh tadi keluar
dari tempat persembu-nyiannya. Dalam keadaan pakaian basah kuyup pemuda
berpakaian serba hitam ini mengetuk pintu rumah Ki Bantaran.
"Siapa?" tanya Ki Bantaran yang rupanya merasa terganggu.
"Saya ingin bertemu dengan pemilik rumah. Sangat penting sekali!"
sahut si pemuda.
Dengan perasaan heran Ki
Bantaran membuka pintu. Orangtua ini sempat tercekat begitu
melihat kehadiran seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Wajah pemuda itu
hancur mengerikan seperti bekas dihantam benda keras. Bagian dadanya terluka,
kedua bahu tampak memar.
Sedangkan kedua mata nyaris tak
terlihat karena bengkak membiru.
"Siapa kau" Mengapa keadaanmu seperti ini?" tanya Ki Bantaran.
"Paman... kumohon kiranya kau bersedia mengangkat diriku yang hina ini jadi
muridmu. Aku telah datang ke beberapa perguruan silat. Tapi
hasilnya seperti yang kau lihat.
Mereka menganiaya diriku. Sebagian di antaranya bahkan ada yang bermaksud
membunuhku. Dalam hidup aku sudah tak punya siapa pun paman. Kuharapkan rasa
belas kasihmu!" kata si pemuda memelas.
Mendengar ucapan pemuda itu ber-
getar hati Ki Bantaran. Keadaan tubuh pemuda itu memang mengundang rasa iba bagi
yang melihatnya.
"Hem, kau belum mengatakan siapa namamu!" kata Ki Bantaran mengingatkan.
"Namaku Lodra Bergola, putra Sepasang Iblis Pengemis Harpa. Kedua orangtuaku
telah terbunuh. Tapi aku tidak akan mendendam kepada pembunuh orangtuaku asal


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paman bersedia mengangkatku menjadi seorang murid.
Aku ingin paman mau memberiku petunjuk menuju jalan yang lurus. Agar kelak aku
dapat menebus semua kesalahan dan dosa orangtuaku!" kata Lodra Bergola dengan
setengah meratap.
Ki Bantaran sendiri sebenarnya
sangat terkejut sekali ketika men-
dengar si pemuda menyebutkan namanya.
Sama sekali dia tak menyangka bahwa pemuda yang berdiri tegak di
hadapannya itu adalah putra Sepasang Iblis Pengemis Harpa. Apapun yang menjadi
alasan Lodra Bergola, Ki
Bantaran sendiri sejak dulu tak pernah bercita-cita mempunyai murid atau
mengambil murid dari golongan manapun.
Apalagi jika harus mengangkat murid anak dari sepasang dedengkot datuk sesat
yang kejahatannya saja sudah melampaui batas. Apa nanti kata para sahabat sesama
golongan yang lain.
Tentu saja mereka akan memusuhi
dirinya. "Lodra Bergola, maafkan aku
karena tak dapat memenuhi permintaan-mu. Carilah guru di tempat lain,
mungkin mereka dapat membantu dalam memenuhi keinginanmu itu!" kata Ki Bantaran.
Si orang tua sudah hendak menutupkan pintu, tapi Lodra Bergola mencegahnya.
"Paman, seperti yang kukatakan aku telah mendatangi berbagai perguruan. Tapi
semua pintu tertutup
untukku. Dalam hidup aku tidak punya rasa dendam. Apa yang terjadi pada kedua
orangtuaku kuanggap sebagai balasan dari semua yang dilakukannya di masa lalu.
Aku sendiri tak mau disamakan dengan mereka. Aku hanya ingin menjadi seorang
pendekar yang kelak kuharapkan mampu menolong kaum yang tertindas. Hanya itu saja, tak lebih
tak kurang!" kata Lodra Bergola dengan mata berkaca-kaca.
"Cita-citamu sangat luhur dan mulia. Tapi seperti yang telah
kukatakan, aku tak mampu memenuhi keinginanmu. Ilmu yang kumiliki baru seujung
kuku bagaimana aku bisa
mempunyai murid?"
"Bagiku walau tingkat kepan-
daianmu baru setitik debu tidak
menjadi persoalan. Aku tidak tahu harus ke mana."
"Pergilah! Aku tak punya waktu untuk melayanimu!" hardik Ki Bantaran hilang
sudah kesabarannya. Dia lalu balikkan badan dan melangkah masuk.
Namun gerakannya jadi tertahan, karena Lodra Bergola memegangi kakinya sambil
berlutut. "Tolonglah aku, paman. Aku takut menjadi manusia sesat. Aku takut Tuhan
menyesatkan aku dalam kegelapan."
rintih si pemuda merasa putus asa.
"Ha... ha... ha! Siapapun
dirimu, apapun pendirianmu. Pada
dasarnya kau memang anak turun manusia sesat. Jika kau harus mengikuti
langkah orangtuamu, itupun bukan suatu tindakan yang keliru! Pergilah! Jangan
pernah datang ke mari." seiring dengan ucapannya itu Ki Bantaran gerakkan
kakinya yang dipeluk oleh Lodra
Bergola. Tak ampun lagi pemuda itu terpelanting ke halaman. Dalam hujan yang
kian bertambah deras dia merang-kak bangkit mendatangi Ki Bantaran sambil
berharap orang tua itu berubah pikiran sehingga bersedia mengangkatnya menjadi
seorang murid. Tapi begitu sampai di depan si orang tua dia malah diludahi.
"Pemuda tolol, jangan bertindak nekad. Salah-salah aku pasti membunuhmu!" hardik
Ki Bantaran. Apa yang dikatakannya itu nampaknya tidak main-main karena laksana
kilat dia angkat tangannya yang telah dialiri tenaga dalam dan telah berubah
memerah hingga sebatas siku.
Melihat kenyataan ini Lodra
Bergola menjadi ciut. Dia tak menyangka orang tua yang dikenal dengan
julukan Iblis Berhati Suci yang selama ini tersohor karena sikapnya yang sangat
bijaksana tega hendak berlaku keji terhadapnya. Dengan rasa kecewa dan membawa
keputus asaan yang amat sangat Lodra Bergola melangkah mundur.
Dia pandangi orang tua itu beberapa saat lamanya.
"Orang tua! Di manakah batas antara mulia dan hinanya seorang
manusia" Julukanmu Iblis Berhati Suci, tapi di mataku kau tetap iblis keji dan
jahat. Aku sadar siapa diriku adanya. Jika aku menyadari langkah
kedua orangtuaku sesat dan keliru.
Sebagai anaknya apakah aku tak boleh memilih jalan hidupku sendiri sejauh
kupandang benar" Kau
memandangku seperti seekor hewan menjijikkan.
Padahal apa yang baru saja kau lakukan padaku juga merupakan kejahatan besar
karena kau membedakan diriku dengan manusia lain." kata Lodra Bergola dengan
suara tersendat dan nafas
memburu. "Bocah turunan iblis. Jangan coba-coba mengguruiku. Seperti yang kukatakan aku
tidak bisa berubah
pikiran. Pergilah selagi aku masih dapat menghargai selembar nyawamu!"
hardik Ki Bantaran.
"Huh, sejak tadi kau mau
membunuhku. Mengapa tidak segera kau lakukan?" tantang Lodra Bergola.
Merah padam wajah Ki Bantaran
mendengarnya. Bibirnya terkatup rapat, gerahamnya bergerak-gerak sedangkan kedua
pipinya menggembung. Karena orang tua itu tak kunjung bicara, maka Lodra Bergola
melanjutkan. "Orang tua, kejadian hari ini akan kuingat selamanya. Penolakanmu ini kelak
pasti akan membuatmu
menyesal. Begitu juga orang-orang yang telah membunuh ayah ibuku. Hari ini kau
telah menabur angin orang tua.
Kelak kau dan orang yang segolongan denganmu pasti akan menuai badai!"
selesai berucap Lodra Bergola balikkan badan. Dalam hujan dan gelapnya malam dia
melangkah pergi dengan membawa sejuta luka dan kecewa di dada.
Sejak saat itu Ki Bantaran tak
lagi mendengar kabar tentang putra Sepasang Iblis Pengemis Harpa ini. Ada yang
mengatakan Lodra Bergola telah lama mati membunuh diri. Ada pula yang mengatakan
pemuda itu nekad memasuki Lembah Cobra di selatan Pacitan.
Tempat yang disebutkan terakhir merupakan daerah paling angker dan sangat
ditakuti oleh orang-orang dari dunia persilatan.
6 "Kurasa semuanya masih ada dalam kepalamu, Ki Bantaran" Betapa hinanya hidup di
saat itu. Ternyata tidak semua niat baik itu buahnya selalu manis. Ha... ha...
ha!" di hadapan si kakek tua berambut putih Lodra Bergola dongakkan kepala
disertai tawa dingin menyeramkan. Suara tawa itu
menyadarkan si kakek dari lamunannya.
Dia memandang ke depan. Seingat-
nya dulu dia tidak dihiasi tatto
begitu rupa dan dulu kepala Lodra Bergola tidak pula diselubungi kain hitam.
Apakah dia sengaja menyembunyi-kan cacat wajahnya" Walaupun begitu Ki
Bantaran tetap unjukkan sikap tenang.
"Tidak kusangka Sang Cobra itu adalah dirimu, Lodra Bergola" Mengapa kau memilih
langkah sesat seperti ini?" tanpa sadar si kakek telah melontarkan sebuah
pertanyaan tolol yang pada akhirnya berbalik menghantam dirinya sendiri. Dengan
tatapan dingin disertai desis aneh Lodra Bergola menjawab. "Manusia palsu.
Berkedok dengan topeng kebaikan, tidak tahunya hatimu sejahat iblis.
Pertanyaanmu itu mengingatkan kedatanganku ke sini dua puluh tahun yang lalu.
Puah...!" Sang Cobra semburkan ludah. Air ludah
bercampur darah berbau busuk menyembur ke luar. Karena kini jarak di antara
mereka hanya terpaut sejauh satu
setengah tombak. Maka semburan air ludah itu sebagian membasahi Ki
Bantaran. Mendapat penghinaan seperti itu
Ki Bantaran alias Iblis Berhati Suci menjadi hilang kesabarannya.
"Manusia keparat menyesal aku tak membunuhmu waktu itu!" maki si kakek.
Sang Cobra tertawa tergelak-
gelak. "Penyesalan datangnya memang selalu terlambat, orang tua. Sebagaimana ketua
perguruan yang dulu pernah menghinaku, maka nasibmu pun akan sama seperti
mereka." dengus laki-laki itu,
Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Kenal dengan Ni Estu Lampiri, orang tua?"
Mendapat pertanyaan itu wajah si
kakek berubah, dia terkejut. Bagaimana pun dia tentu saja sangat mengenai Ni
Lampiri karena masih terhitung saudara sepupu si kakek dan merupakan ketua
perguruan Teratai Merah.
Dengan suara tertahan si kakek
berkata. "Kau berurusan denganku. Jika kau ganggu dia atau kau usik saja
selembar rambutnya, kubunuh kau!"
ancam Ki Bantaran.
"Ha... ha... ha! Aku bukan saja telah mengusiknya, tapi aku malah telah mengirim
roh perempuan itu dan muridnya ke akherat. Jika kau inginkan jasadnya dia
kubuang tak jauh dari tempat tinggalmu ini!" dengus Sang Cobra.
Mendengar ucapan lawannya darah
si kakek laksana mendidih. Tanpa
bicara lagi dia mencabut pedang Gagak Mencle Sapu Angin dari balik punggungnya.
Dengan pedang terhunus disertai teriakan melengking, Ki Bantaran
menyerbu ke arah lawan dengan gerakan cepat laksana kilat. Saat tubuhnya berada
dekat dengan lawan, maka pedang dibabatkan ke arah dada dan perut Sang Cobra.
Lawan yang sudah menduga
serangan dan mengetahui kehebatan pedang yang dipergunakan untuk membunuh
orangtuanya melompat ke
belakang. Wuus! Serangan pedang luput. Si kakek
tak mau bersikap ayal. Dia hantamkan tangannya ke bagian kepala yang
diselubungi kain hitam itu. Sinar putih membersit dari telapak tangan si kakek,
hawa panas menyengat. Sang Cobra keluarkan seruan kaget, namun dia cepat
rundukkan kepala. Serangan sinar maut yang bersumber dari pukulan Inti Bumi
lewat sejengkal di atas kepala laki-laki itu. Di belakangnya terdengar ledakan
berdentum. Sang Cobra tak menghiraukan semua itu.
Jemari tangannya yang terentang berkelebat menyambar, hawa dingin menebar.
Si kakek berseru kaget, namun masih sempat melakukan langkah penyelamatan dengan
berjumpalitan ke belakang.
Begitu kakinya menjejak tanah
pada lompatan terakhir dia menghantam lawannya dengan pukulan Iblis Menebar
Kebajikan, Iblis Mengusung Mayat dan Iblis Menangis Dalam Dosa. Pukulan ini
dilepaskan silih berganti dan tiada berkeputusan. Sinar hitam, putih, biru,
merah bertubi-tubi menghujani tubuh Sang Cobra. Tapi sungguh aneh meskipun
sebagian pukulan tak dapat dielakkan oleh lawan dan menghantam tubuhnya dengan
telak. Namun hiasan ular cobra yang memenuhi sekujur tubuh Lodra Bergola seakan
bergerak hidup berkelebatan di sekujur tubuh lawan dan menelan habis sinar maut yang dilepaskan
oleh Ki Bantaran.
Akibatnya kakek tua ini lambat
laun terkuras juga tenaga saktinya.
Sadar hanya akan sia-sia bila
mengumbar pukulan. Sambil berteriak keras Ki Bantaran melompat di udara.
Pedang di tangannya diputar sebat seraya mengeluarkan suara menderu disertai
berkelebatnya sinar hitam yang mempersempit jalan gerak lawan.
"Ha... ha... ha! Dua puluh tahun yang lalu temanmu menggunakan pedang ini untuk
membunuh kedua orangtuaku.
Sekarang kau akan rasakan sendiri ketajaman senjata bututmu itu!"
berkata begitu dengan satu gerakan aneh Sang Cobra julurkan salah satu
tangannya. Tak ayal lagi tangan yang terjulur dan bermaksud merampas hulu pedang
terbabat mata pedang di tangan si kakek.
Traang! Traang!
Dua kali babatan mengeluarkan
suara berdentrang disertai berpijarnya bunga api. Si kakek melompat mundur,
tangannya bergetar sakit. Pedang yang membabat lengan lawannya laksana
menghantam tembok baja. Di depan sana Sang Cobra tidak mengalami cidera sedikit
pun. Malah kini dengan satu lompatan kilat tangan kirinya
terjulur. Tubuh berputar ke samping,
sedangkan kepala dimiringkan ke kiri kanan hindari tebasan senjata lawan.
Lalu... Sreet! Pedang dalam waktu sekejap telah
berpindah tangan. Rasa kaget di hati si kakek tak terperikan. Matanya
mendelik besar, belum lagi hilang rasa kagetnya. Maka detik itu pula pedang yang
telah dirampas lawannya berkelebat menyambar deras ke arah si
kakek. Tidak ada kesempatan lagi bagi Ki Bantaran untuk menyelamatkan diri pada
saat pedang itu menembus perutnya. Dia menjerit keras, kedua matanya melotot
bagai tak percaya dengan
kenyataan bahwa dia harus menemui ajal ditembus senjatanya sendiri.
Ketika Sang Cobra menyentakkan
pedang itu dari perut lawan. Tak ampun si kakek ambruk seketika. Sambil
tertawa terkekeh-kekeh, Sang Cobra bermaksud menggorok putus leher Ki Bantaran.
Namun pada saat yang
bersamaan mendadak dia mendengar suara orang berteriak sambil berlari cepat.
"Sahabatku, aku Gentong Ketawa datang menyambangi. Ha... ha... ha!"
"Aku juga, muridnya kakek gendut ikutan nimbrung. Harap kau sambut tamu yang
datang dari jauh!" kata suara yang satunya lagi disertai tawa pula.
"Huh, siapa mereka aku tak tahu.
Sebaiknya kutinggalkan tempat ini! Aku
harus mencari Mahluk Tanpa Tanda dan Anom Ka Ratan! Dua manusia keparat itu yang
paling bertanggung jawab atas kematian ayah ibuku!" selesai berkata dengan
tergesa-gesa setelah membuang Pedang Gagak Mencle Sapu Angin ke samping Ki
Bantaran, Sang Cobra
berkelebat pergi. Dia sama sekali tak menduga kalau lawan sebenarnya masih
hidup. Ketika orang yang bicara sambil
tertawa-tawa tadi jejakkan kakinya di bagian halaman. Mereka hanya melihat
berkelebatnya sosok tubuh bercelana hitam. Salah seorang diantaranya yang bukan
lain adalah Gento Guyon
bermaksud mengejar. Tapi niatnya
dicegah oleh kakek gendut besar.
"Biarkan saja. Mungkin dia
tetamu tuan rumah yang baru habis dijamu makanan sedap!" berkata si kakek yang
tak lain adalah Gentong Ketawa. Selanjutnya dia berkelebat dan jejakkan kaki di
depan pintu yang terbuka. Si kakek panjangkan leher julurkan kepala. Matanya
memandang ke segenap ruangan depan, tak ada
siapapun. "Ke mana perginya wong edan
sahabatku itu?" kata si kakek seorang diri. Sementara Gento Guyon tetap berdiri
tegak di tempatnya.
"Iblis Berhati Suci di manakah gerangan dikau?" teriak Gentong Ketawa
dengan suara keras.
Di belakang Gento terdengar
suara erangan lirih. Si pemuda memutar tubuhnya. Dia melihat satu sosok tubuh
terkapar di tanah sambil mengerang lirih.
"Guru... ternyata tuan rumah ketiduran di halaman ini!" seru si pemuda yang
tidak melihat kalau Ki Bantaran sesungguhnya tengah menghadapi sakaratul maut.
Si kakek memutar tubuhnya yang
besar luar biasa. Senyumnya mengembang, mulutnya berucap. "Ah, sobat, Kau tidur
di situ. Rupanya rumahmu yang lapuk sudah berubah panas
sekarang. Eeh... kau diam saja di situ, apakah hendak mengajak para tetamu tidur
juga. Jangan ngawur, yang kami butuhkan saat ini hanya segelas air putih atau
kalau ada sekendi tuak berikut makanannya. Ha... ha... ha!"
"Guru dia terluka parah!" teriak si pemuda begitu mendekati Ki
Bantaran. Dengan cepat si dia pemuda berlutut di samping Ki Bantaran.
Sedangkan si kakek gendut
langsung berlari mendatangi.


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa kau bilang" Dia berduka" Ah siapa yang mati"!" tanya si gendut heran.
Seingatnya Ki Bantaran sama seperti dirinya tetap hidup membujang sampai tua.
Tapi begitu sampai di samping Ki Bantaran segala tanya yang
mengganjal di hati kakek Gentong
Ketawa pupus sudah. Kini dia melihat sebuah kenyataan bahwa sahabat yang
disambanginya ternyata terkapar di atas tanah dengan perut bersimbah darah,
sementara sebuah pedang berwarna hitam tergeletak di sisi Ki Bantaran berlumur
darah. "Sahabatku, apa yang telah
terjadi" Apakah kau melakukan bunuh diri dengan senjatamu sendiri?" tanya si
kakek sambil memperhatikan luka di perut Ki Bantaran. Melihat pada luka dan
banyaknya darah yang mengucur keluar, tampaknya Ki Bantaran tidak punya harapan
hidup lebih lama.
"Sobat Gentong Ketawa," desis Ki Bantaran mencoba memaksakan senyumnya.
Tapi senyum itu di mata Gentong Ketawa tak ubahnya seperti seringai sakit dari
seorang yang mendekati ambang ajal. "Senang sekali kau datang menyambangi diriku
yang sudah jadi rongsokan ini. Ak... aku bukan
membunuh diri. Tapi... seseorang telah mencelakaiku...!" berkata Ki Bantaran
dengan suara tersendat-sendat.
"Apa, siapa yang melakukan
kekejian ini padamu kek!" desis Gento Guyon. Pemuda itu meraba nadi di
pergelangan Ki Bantaran. Denyut
nadinya terasa sangat lemah sekali.
Dalam hati Gento membatin. "Tidak ada lagi harapan baginya. Sebentar
nyawanya disambar malaikat maut."
Ki Bantaran pandangi orang yang
bertanya. Mulutnya mencoba tersenyum.
Lalu dengan gerakan lemah dia
memandang Gentong Ketawa.
"Muridmu?"
"Betul. Bocah gila ini memang muridku!" sahut Gentong Ketawa unjukkan muka
serius. "Ketahuilah, orang yang telah mencelakai diriku adalah Lodra Bergola berjuluk
Sang Cobra."
"Hah...!" Kakek Gentong Ketawa tersentak kaget.
"Setan itu" Bukankah dia yang kita cari selama ini sesuai dengan perintah kakek
guru"!" ujar Gento Guyon sambil melirik gurunya.
"Kau benar, tapi jangan bicara dulu. Aku mau bertanya pada sobatku ini." berkata
begitu dia kembali memandang ke arah Ki Bantaran. Saat itu mata Iblis Berhati
Suci tampak mulai meredup, wajah menciut dan
tampak memutih laksana kafan.
"Sobatku, akan kubalaskan dendam sakit hatimu. Coba terangkan pada kami
bagaimana ciri-ciri orang yang telah mencelakaimu itu!" pinta si kakek gendut.
Dengan bersusah payah dan malas
seperti orang bengek Ki Bantaran
berucap. "Kepala memakai selubung hitam, badan... badan dihiasi gambar
ular kobra...!"
"Apakah dia... membawa...!"
"Pentungan!" melanjutkan Gento.
Si kakek delikkan matanya. Ketika dia memandang ke arah sahabatnya, Gentong
Ketawa melihat kepala Ki Bantaran rebah miring ke kiri.
"Sobatku.... Huk... huk... huk.
Mengapa kau pergi tidak memberi tanda padaku!" seru si kakek besar gendut itu
sambil memeluki tubuh Ki Bantaran yang sudah tidak bergerak lagi.
Gento Guyon jadi salah tingkah.
"Guruku menangis, kasihan! Agaknya dia merasa terpukul atas kematian
sahabatnya. Aku sendiri apakah harus menangis juga membantu guru"!" kata si
pemuda dalam hati.
"Gege... bagaimana pun kita
harus mencari Sang Cobra untuk meminta pertanggung jawabannya!" desis kakek
Gentong Ketawa.
"Betul. Ditambah dengan tugas yang dibebankan kakek guru pada kita.
Berarti kita harus membunuhnya dua kali!" jawab si pemuda bersemangat.
Gentong Ketawa melengak kaget.
"Eeh, apa maksudmu?" tanya si kakek heran. Gento memperhatikan sang guru yang
sudah melepaskan pelukannya pada si mayat. Dia tampak pura-pura
bersedih, tapi mulutnya menyunggingkan senyum tipis.
"Katakan cepat! Aku tidak senang
bergurau." bentak si kakek.
"Begini. Bukankah kita mencari orang yang sama. Bagaimana pun dia harus mati di
tangan kita. Kalau guru ingin membalaskan kematian kakek ini, berarti guru harus
membunuh Sang Cobra sekali lagi. Ha... ha... ha."
"Bocah edan. Jangan kau tertawa-tawa selagi aku bersedih. Kubeset nanti
mulutmu!" hardik si kakek. Buru-buru Gento katupkan bibirnya.
"Sekarang ambil pacul atau alat apa saja yang kau temui di dalam pondok.
Kita harus menguburkan mayat Ki
Bantaran secepatnya. Kurasa Sang Cobra belum jauh dari sini!" perintah si kakek.
Tanpa banyak bicara Gento Guyon
mengerjakan perintah gurunya. Dia berkelebat ke arah pintu pondok. Hanya sekejap
kemudian pemuda itu telah keluar lagi sambil menjinjing sebakul peralatan yang
ditemukannya di dalam pondok. Melihat ini Gentong Ketawa geleng-gelengkan kepala
disertai gerutuan tak jelas.
"Apa saja yang kau bawa ini, banyak amat"!"
"Katanya tadi aku disuruh
membawa peralatan apa saja. Jadi
kukumpulkan semua yang ada di dalam sana. Lihat saja sendiri. Ada pisau, kuali
tanah, pacul, sabut kelapa untuk gosok gigi dan masih banyak yang
lainnya!" "Dasar sinting. Mengapa kau
tolol amat" Bagusnya dulu kau terlahir sebagai anak keledai!" si kakek mengomel.
"Ambil pacul itu, gali lubang yang dalam!" perintah si kakek
"Di mana guru?" Gento ajukan pertanyaan begitu pacul sudah ada dalam genggaman
tangannya. "Tentu saja di halaman ini."
Sambil bersungut-sungut Gento
Guyon mulai menggali sebuah lubang.
Tapi tidak sebagaimana lazimnya. Kubur yang dibuatnya kali ini bentuknya bulat
dan hanya pas untuk ukuran
badan. Si kakek yang terus mengawasi tentu saja jadi terheran-heran.
"Mengapa seperti itu?"
Si pemuda sambil mengayunkan
paculnya tersenyum. "Di suatu saat kelak entah kapan jika bumi ini telah penuh
sesak dihuni manusia. Pasti orang akan menguburkan mayat dengan cara berdiri
seperti ini. Supaya hemat tempat guru! Apa salahnya dari
sekarang kita mencobanya. Ha... ha...
ha!" "Dasar murid sinting. Jalan
pikiranmu ngelantur terus tak karuan juntrungannya!" Lagi-lagi si kakek
mengomel. Dia menjadi sangat kesal sekali melihat kelakuan muridnya. Si kakek
kemudian membentak tegas. "Buat sebagaimana biasanya. Sahabatku ini
hendak kembali ke asalnya. Itulah sebabnya dikatakan tempat peristi-rahatan yang
terakhir. Kalau kau mau, kelak aku akan membuat kubur untukmu seperti yang telah
kau buat tadi!"
"Bagaimanapun itu sangat tidak mungkin. Karena guru yang lahir duluan dan lebih
tua dariku, sudah sewajarnya guru mati duluan!"
Melihat muridnya selalu menim-
pali setiap apa yang diucapkannya.
Maka si kakek dengan perasaan kesal akhirnya cuma terdiam membisu. Tidak berapa
lama kubur telah siap digali.
Gentong Ketawa dengan dibantu muridnya memasukkan jenazah Ki Bantaran ke dalam
liang lahat. Setelah itu makam ditimbun dan diuruk dengan tanah
merah. Si kakek Gentong Ketawa
letakkan sebuah batu besar di atas kepala makam. Gento Guyon tidak mau
ketinggalan. Dia tancapkan Pedang Gagak Mencle Sapu Angin di kaki makam.
Dalam hati dia berkata. "Dengan pedang ini kakek arwah... eh, arwah kakek mudah-
mudahan bisa tenteram di alam sana. Aku Gento Guyon hanya bisa
mendoakan semoga arwahmu diterima di sisiNya!"
Pemuda itu kemudian memandang ke
arah gurunya. Ternyata si kakek sedang berdoa dengan mata terpejam. Doanya cepat
selesai. Begitu membuka mata Gentong Ketawa berkata. "Segala
kesalahanku di masa lalu harap dapat kau maafkan. Sekarang aku harus
mencari Sang Cobra, aku mohon pamit!"
selesai berkata si kakek memberi
isyarat pada muridnya.
"Aku juga mohon pamit, kakek arwah!" kata si pemuda, lalu menyusul gurunya yang
sudah berada jauh di depan.
7 Menjelang tengah hari Purbasari,
Iwir Iwir dan delapan pemuda dusun yang ikut serta dengan mereka telah sampai di
lereng bukit Waton Hijau yang letaknya di seberang lembah, bagian barat Gunung
Bromo. Saat itu cuaca sangat buruk, langit mendung dan matahari tak terlihat
sama sekali. Ketika mereka mulai mendaki ke
puncak bukit, hijau gerimis turun rintik-rintik. Iwir Iwir si bocah yang
mempunyai badan lebih kecil dengan gesit berjalan di bagian depan,
sedangkan kedelapan pemuda dusun
berada di belakang bocah sakti itu. Di belakang kedelapan pemuda tampak
Seruling Sakti 17 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 20
^