Pencarian

Sang Cobra 2

Gento Guyon 3 Sang Cobra Bagian 2


mengikuti Purbasari. Gadis ini sejak berhasil menyeberangi lembah tadi tampak
selalu menoleh ke belakang. Dia merasa seperti ada orang yang
mengikuti tidak jauh di belakang. Tapi bila gadis ini berpaling ke bela-
kangnya maka dengan cepat sekali si penguntit menyelinap ke balik pohon-pohon
yang bertebaran di tempat itu.
"Sialan. Siapa sebenarnya
penguntit dibelakang sana" Apakah dia orangnya yang berusaha membunuh para
pemuda di dusun itu?" Batin si gadis dalam hati.
Purbasari kemudian memandang
lurus ke depan. Di bagian paling depan si bocah sakti melangkah tertatih-tatih
sambil sesekali tangannya
berpegangan pada salah satu akar pohon agar tubuhnya tidak meluncur ke bawah.
Si gadis tersenyum melihat Iwir-lwir, bocah aneh yang tahu tentang banyak hal
itu. Tapi kemudian pandangannya dialihkan ke puncak bukit. Seketika gadis itu
jadi terkesima. Dia mengusap matanya sampai tiga kali seakan tidak percaya
dengan pandangannya sendiri Adapun yang sempat dilihatnya
saat itu adalah satu cahaya putih berkilauan tepat berasal dari puncak bukit
sana. Tak percaya dengan
pemandangannya sendiri Purbasari
berkata melalui ilmu mengirimkan
suara. "Iwir Iwir sahabatku, apakah kau melihat sesuatu di puncak Bukit Waton Hijau
ini?" Untuk pertama kalinya setelah
setengah hari penuh mereka berjalan Si bocah sakti tertawa cekikikan disertai
batuk-batuk kecil. Tawa dan batuk lenyap. Iwir Iwir melalui ilmu yang sama
menjawab. "Terima kasih kau sekarang mau mengakui aku sebagai sabahat. Apa yang
kau katakan itu, semua yang kau lihat memang tidak salah. Ada seberkas cahaya
yang datang dari puncak sana. Kalau tak keliru penglihatanku cahaya yang kau
lihat tentu cahaya yang bersumber dari
Pedang Raja" Kata si bocah. Sambil melanjutkan perjalanannya dia memberi ingat.
"Sobatku, setan yang bermaksud membunuh kawan-kawan kita tadi malam sekarang
berada dibelakangmu. Kurasa dia tidak akan melakukan tindakan apapun sebelum
sampai di atas bukit sana. Tapi aku merasa pasti, dia
sangat kaget melihat para pemuda yang dibunuhnya ternyata masih hidup sampai
sekarang."
"Dia pasti menyangka kau telah membangkitkan para pemuda yang telah dibunuhnya!"
menimpali Purbasari tanpa melupakan kewaspadaannya.
"Hust, hati-hati kau bicara
sobatku. Aku ini bukan Tuhan, kalau ucapanmu didengar malaikat kita semua bisa
konyol di tempat ini,"
mengingatkan si bocah sakti.
Purbasari terdiam mendengar
kata-kata si bocah. Mereka terus
mendaki dengan penuh semangat.
Sesungguhnya lereng bukit Waton Hijau
tidak begitu tajam. Kalau si gadis dan si bocah mau tentu dengan menggunakan
ilmu lari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh dalam waktu sekejap
mereka pasti sampai di puncak bukit. Namun hal itu tak mereka
lakukan mengingat mereka harus
mengiringi ke delapan pemuda dusun yang tidak mengerti ilmu silat maupun ilmu
berlari cepat. Apalagi seseorang yang terus menguntit perjalanan mereka
tampaknya memang menghendaki kematian para pemuda itu.
Tidak berselang lama dengan
pakaian basah kuyup karena keringat.
Mereka akhirnya sampai juga di puncak Bukit Waton Hijau. Terkecuali Iwir Iwir
yang memiliki kelebihan ilmu berupa dapat melihat sesuatu yang jauh melalui
pengerahan kekuatan batin.
Baik Purbasari maupun delapan pemuda dusun itu sama-sama terkejut besar begitu
melihat sebuah pedang berwarna putih tanpa sarung yang tergeletak di atas batu
pipih yang sangat panjang.
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat senjata sepanjang dan selebar ini!"
desis Purbasari dengan suara bergetar.
"Pedang itu mungkin milik
manusia raksasa!" untuk pertama kalinya salah seorang dari kedelapan pemuda
dusun ini buka suara.
"Pedang ini pasti miliknya Jin!"
menimpali yang satunya lagi.
"Bukan! Aku sependapat dengan Jendul. Pedang ini milik manusia
raksasa!" berkata pemuda lainnya yang dibagian kening terdapat codet besar.
Iwir Iwir tertawa lepas.
Sedangkan Purbasari yang belum hilang rasa kagetnya terus memperhatikan pedang
yang tergeletak di atas batu yang memiliki hulu kecil, sebesar genggaman orang
dewasa. Menurut
tafsirannya pedang aneh itu panjangnya hampir mencapai sepuluh tombak, dengan
lebar tak kurang dari tiga tombak.
Manusia biasa pasti tidak sanggup menggunakan atau mengangkat pedang itu,
apalagi menggunakannya dalam suatu pertempuran. Jadi menurutnya Anom Ka Ratan
yang disebut-sebut oleh si bocah sakti sebagai pemilik pedang pastilah seorang
laki-laki yang memiliki badan yang luar biasa besar dengan tinggi seperti pohon kelapa.
Mengherankan juga mengagumkan. Tapi apakah mungkin ada manusia sebesar dan
setinggi yang dibayangkannya"
"Sekarang kau tahu mengapa aku membawa serta delapan pemuda itu, sobatku?"
Pertanyaan ini cukup mengejutkan Purbasari. Tapi si gadis cantik berambut awut-
awutan itu kemudian tersenyum.
"Aku sudah mengerti. Pedang itu tidak bisa dibawa oleh kekuatan tenaga
satu orang saja walau pun dia
menggunakan tenaga luar dalam."
"Tepat! Apa yang kau katakan itu memang tidak salah. Sekarang coba kau angkat
dibagian hulu pedang, apakah Pedang Raja ini dapat kau geser dari tempatnya?"
ujar si bocah. Tanpa bicara Purbasari
mengerjakan apa yang diperintahkan si bocah kepadanya. Dengan sekali lompat dia
sudah berada di dekat hulu pedang.
Hulu pedang digenggamnya dengan erat, setelah si gadis mencoba mengangkatnya.
Mula-mula hanya dengan tenaga kasar saja. Karena dengan tenaga kasar pedang
tidak juga bergeming. Maka Purbasari mengerahkan tenaga dalam.
Dengan menggunakan tenaga luar dalam Purbasari mulai menggerakkan hulu pedang ke
atas. Pedang hanya bergeser sedikit saja. Dengan nafas memburu si gadis
meletakkan hulu pedang.
"Berat luar biasa." keluh Purbasari.
Iwir Iwir si bocah sakti
tersenyum. "Namanya juga Pedang Raja.
Tentu berat dan besarnya sangat
berbeda dengan pedang biasa. Kurasa kita dapat membawa turun pedang ini
sekarang. Firasatku mengatakan Anom Ka Ratan tak berada di tempat ini." ujar si
bocah. "Siapa yang akan membawanya?"
tanya Purbasari bingung.
"Hi hi hi, uhuk uhuk uhuk. Sudah besar masih bodoh. Yang membawa pedang istimewa
ini tentu para pemuda itu, dengan di gotong atau di pikul
beramai-ramai." Tegas si bocah.
Purbasari terdiam. Tapi dia lalu
ajukan pertanyaan kembali. "Jika kita berhasil membawa turun Pedang Raja,
kemudian siapa yang akan menggunakannya untuk menghadapi sang Cobra?"
Si bocah sakti mengusap wajahnya
tiga kali. Apa yang dikatakan oleh Purbasari memang benar, "selain yang
menciptakan pedang besar itu rasanya hanya tokoh aneh bernama Gentong
Ketawa saja yang dapat mengguna-
kannya." "Tapi kemana kita harus mencari orang tua itu?" tanya si gadis.
Iwir Iwir gelengkan kepala.
"Aku sendiri tak tahu. Tapi bisa kita fikirkan nanti. Sekarang yang terpenting
kita bawa saja pedang ini turun dari puncak bukit." Tegas si bocah. Dia lalu
berpaling pada para pemuda dusun itu. Baru saja si bocah hendak mengatakan
sesuatu mendadak terdengar suara desis panjang yang kemudian disusul dengan
suara tawa aneh seperti suara ayam jantan
berkokok. "Gila! Tak kusangka di tempat sesunyi ini ada ayam jantan berkokok.
Apa tidak terlalu kesiangan!" celetuk
Iwir Iwir. Sebaliknya Purbasari
melengak kaget, bersikap waspada
sambil memperhatikan ke setiap penjuru sudut puncak bukit.
"Kalian yang berada di puncak bukit ini tidak satu pun yang
kubiarkan lolos dari kematian!" kata si suara begitu suara tawa lenyap.
"Pedang Raja tidak akan pernah pergi kemana pun dan kalian telah melakukan
perjalanan yang sangat sia-sia."
Terdengarnya suara itu disertai dengan berkelebatnya satu sosok tubuh
berpakaian hitam.
Hanya sekejaban saja di depan
mereka berdiri tegak seorang kakek renta bertubuh bungkuk. Sekujur
tubuhnya di tumbuhi sisik kasar
berwarna hitam, sedangkan wajahnya lancip rambut memutih berdiri tegak, mulut
juga lancip sedangkan giginya runcing seperti gigi ular. Jika
Purbasari merasa kaget melihat
kehadiran orang tua ini, sebaliknya si bocah sakti merasa yakin orang tua inilah
yang malam tadi hampir membunuh ke delapan pemuda itu.
"Kakek jelek amat wajahmu"
Mulutmu seperti moncong ular, tubuhmu bungkuk seperti punggung unta.
Memangnya kau bekerja jadi kuli
dimana?" Tanpa terduga Iwir Iwir berkata mengejek. Masih dengan
tersenyum-senyum dia melanjutkan.
"Tadi kau mengatakan kami tak akan lolos dari kematian. Rupanya kau ini utusan
malaikat maut" Hi hi hi huk huk!"
"Tertawalah
sepuasmu selagi sempat. Pertama yang harus kulakukan adalah membunuh para pemuda ini,
setelah itu baru kuhancurkan pedang raja. Baru kemudian giiiranmu,
sedangkan gadis itu" Ha ha ha...
untuknya paling tidak ada perlakuan sedikit istimewa. Pertama aku akan
mengajaknya bersenang-senang, bercinta sampai aku bosan. Barulah setelah itu
mamberikannya pada mahluk pelihara-anku!" kata kakek bungkuk angker itu disertai
seringai penuh arti.
"Tua bangka tak tahu diri.
Mulutmu kotor amat! Siapa dirimu?"
hardik Purbasari dengan muka bersemu merah dan suara ketus.
"Aku tak punya waktu bicara
banyak. Terus terang saat ini aku sedang membantu seseorang untuk
melenyapkan musuh-musuhnya. Namaku Karmaraga, di selatan orang mengenalku dengan
julukan Lidah Penebar Bencana."
jelas kakek bungkuk itu.
Si bocah sakti yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman luas sempat berjingkrak kaget. Sedangkan Purbasari
maupun ke delapan pemuda yang memang tidak mengetahui siapa orang tua ini adanya
bersikap biasa saja. Sambil
mengedip-ngedipkan matanya memandangi kakek di depannya dia berucap.
"Aku tahu siapa dirimu, manusia jahat. Kau pasti setan gentayangan yang tinggal
di gua Cobra sebelah selatan Pacitan. Kebiasaanmu membunuh korban yang sedang
bercinta, kemudian kau larikan perempuannya, bersenang-senang dengannya sampai
kau bosan. Tepat seperti katamu selanjutnya kau berikan perempuan yang kau nodai pada
mahluk piaraanmu. Mahluk piaraan...!"
Iwir Iwir mengulang ucapannya
sendiri sambil mencoba mengingat.
Sampai akhirnya bocah ini tertawa lebar, jari telunjuknya menuding tepat ke
bagian punuk Karmaraga alias Lidah Penebar Bencana. "Aku ingat sekarang.
Mahluk piaraan yang kau katakan itu pastilah binatang melata berbisa. Ular
Cobra... itu pasti yang kau maksudkan!" seru si bocah kembali
berjingkrak dan melangkah mundur dua tindak.
"Jadi apa hubungan bangsa ini dengan Sang Cobra, sobatku Iwir Iwir?"
tanya Purbasari.
"Hmmm... hubungannya bisa jadi dia kakeknya. Tapi kurasa yang paling tepat dia
ini adalah gurunya. Iyaa betul pasti gurunya. Bukankah begitu kakek muka
lancip?" setengah mengejek si bocah polos saja ajukan pertanyaan.
8 Karmaraga tidak menanggapi
ucapan si bocah. Hanya matanya
mendelik membesar sesaat memandang si bocah, seakan ingin tahu siapa adanya
bocah aneh yang tahu banyak hal ini.
Diam-diam si kakek kerahkan tenaga saktinya ke bagian lidah, lidah
bergetar mulut terbuka. Tak disangka lidah si kakek yang bercabang dan berwarna
biru itu terjulur memanjang, semakin bertambah panjang seakan
menggapai, menjangkau lawannya.
"Awas....!" Purbasari keluarkan seruan kaget melihat bagaimana lidah biru
bercabang itu hendak melibas menggulung tubuh si bocah. Tidak usah diberi ingat
sekalipun sebenarnya Iwir Iwir sudah melihat adanya bahaya yang mengancam.
Melihat lidah lawan melesat memanjang ke arahnya si bocah sakti melompat ke
samping sambil tertawa terkikik-kikik dia membuka mulut
keluarkan ucapan.
"Walah kau baik amat kek.
Badanku yang bau dan tak pernah mandi bertahun-tahun hendak kau bersihkan dengan
lidahmu. Terima kasih banyak kek. Tapi aku takut lidahmu jadi
kotor, lagipula tubuhku ini banyak kuman penyakitnya. Jika sampai
tertelan olehmu, mana aku berani
menjamin kesehatanmu. Jadi tak usah repot-repot, sebaliknya biar kuelus lidahmu
yang bagus ini!" berkata begitu dari samping si bocah julurkan kedua tangannya
dengan gerakan seperti mengelus. Tapi apa yang terjadi
kemudian membuat Karmaraga jadi
terkejut besar. Dari telapak tangan Iwir Iwir yang diusapkan satu sama lain
melesat lidah api yang akhirnya menyambar lidah panjang bercabang si kakek.
Orang tua itu gerakkan
tenggorokannya. Lidah yang terjulur memanjang ini dengan cepat melesat masuk ke
dalam mulut, mengkerut dan kembali seperti semula.
"Keparat! Bocah jahanam!" maki si kakek dengan muka merah padam
merasa tertipu. Maksud di lubuk hati Karmaraga
sebenarnya adalah ingin
mengetahui siapa bocah ini. Benarkah dia seorang bocah atau seseorang yang
menyerukan diri dengan ujud seorang bocah. Hal itu hanya dapat diketahui dengan
menyentuhkan lidahnya di tubuh si bocah. Tapi tampaknya bocah sakti ini berlaku
cerdik. Dia seperti mampu membaca apa yang ada dalam fikiran si kakek.
Melihat Karmaraga kalang kabut,
Purbasari tak kuasa menahan geli.
Sedangkan delapan pemuda dusun diam membisu. Mereka saling berdiri merapat
satu sama lain di balik batu dimana Pedang Raja berada. Si Bocah sakti
sebaliknya hanya tersenyum saja sambil menggigit jari telunjuknya.
"Manusia aneh, kebaikan orang malah dibalas dengan makian. Hi hi uhuk uhuk...!"
"Untuk segala tindakan yang
telah mempermainkan aku. Sekarang aku harus mempercepat kematianmu!" dengus
Karmaraga. "Purbasari, celaka! Tua bangka penerima karma ini hendak membunuhku.
Apakah pantas!" kata si bocah sakti seperti bingung. Purbasari berkelebat ke
arah Iwir Iwir, dia berdiri tegak di depan si bocah bersikap melindungi.
Si bocah sembunyikan wajahnya di
bagian punggung si gadis.
"Pengecut tengik, hendak membunuh bocah yang tidak punya kebecusan apa-apa.
Akulah lawanmu!" seru Purbasari. Di belakangnya Iwir Iwir sunggingkan senyum


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menyeka wajah dengan punggung tangannya.
"Iya betul sobatku, dia pengecut. Cepat tangkap dia biar aku bisa duduk di atas
punggungnya," menimpali bocah sakti itu.
Di depan sana Karmaraga dengan
tangan terpentang sudah berkelebat cepat ke arah Purbasari. Begitu dekat dengan
sasaran, tangan yang terpentang dan telah berubah menghitam membabat
dengan gerakan menggunting ke arah leher. Purbasari berkelit ke samping,
berputar satu kali kemudian menghantam ke bagian tangan lawannya.
Wuuus! Hawa panas luar biasa
menyambar, Karmaraga keluarkan seruan keras dan terpaksa mundur lalu robah
gerakan tangan dari menggunting
berbalik memukul.
Hawa dingin berkesiuran menyer-
tai gerakan tangan si kakek bungkuk berkepala lancip. Benturan keras tak dapat
dihindari. Buum! Purbasari terjajar, mukanya
pucat dada berdenyut dan tangan
seperti beku. Karmaraga menyeringai.
Si bocah sakti sejak Purbasari lakukan gerakan berputar tadi otomatis
kehilangan perlindungan. Dia pontang panting selamatkan diri. Tapi celaka
ledakan akibat beradunya dua tenaga sakti terjadi di atas kepalanya.
Iwir Iwir jatuh punggung ke
tanah dan terkapar. Kepalanya sakit mendenyut seperti kejatuhan bintang dari
langit. Atau seperti melihat kunang-kunang yang bertaburan di
gelapnya malam. Anehnya si bocah sakti malah tersenyum.
"Amboi... bagus sekali aku
melihat pemandangan indah di matahari.
Hi hi hi!"
Purbasari yang semula
menghawatirkan keselamatan si bocah akhirnya menarik nafas lega, Dia lalu
berseru. "Iwir Iwir, menyingkir. Cari tempat perlindungan seperti yang
dilakukan oleh para pemuda itu!"
"Kau sendiri apakah hendak
mencari tempat berlindung juga?" tanya si bocah polos.
"Tolol, kalau semua berlindung siapa yang menyerang?" hardik si gadis. Ucapan
Purbasari disambut
dengan pukulan ganas yang dilepaskan oleh Karmaraga alias Lidah Penebar Bencana!
Si gadis menggerung, dia berkelebat ke udara. Pukulan ganas menghantam tempat
kosong. Wuees! Pohon-pohon yang berada
di belakang Purbasari rambas hangus mengepulkan asap hitam. Sementara Purbasari
berjumpalitan mendekat ke arah lawan. Namun pada saat itu
Karmaraga buka mulutnya. Lidahnya yang dapat berubah panjang hampir tanpa batas
terjulur. "Sobatku, jangan sampai terkena sambaran lidahnya. Lidah itu
mengandung racun jahat!" teriak si bocah sakti. Dalam keadaan
tubuh mengapung di udara, Purbasari tak mau berlaku ayal. Dia langsung melolos pedang
yang tergantung di bagian
pinggangnya. Pedang lalu diayun,
berkelebat memancarkan cahaya putih disertai sambaran angin berhawa panas.
Mata pedang memapas lidah bercabang yang hendak melilit tubuhnya.
Dheeel! "Hah....!" si gadis berseru kaget. Tebasan pedangnya sama sekali tidak mampu
membabat putus lidah
Karmaraga. "Dia mempunyai ilmu kebal!"
rutuk si gadis. Dia lalu memutar
tubuhnya yang terus meluncur ke udara guna menyelamatkan diri dari sambaran
lidah. Tapi celakanya kemana pun
Purbasari menghindar lidah bercabang berwarna kebiruan itu terus mengejar.
Satu jengkal lagi lidah Karma-
raga menggulung lengan si gadis yang memegang pedang. Pada saat itu pula satu
sosok berkelebat, satu tangan memegang ranting kecil bercabang
bergerak menggebuk ke bagian perte-ngahan lidah. Karmaraga alias Lidah Penebar
Bencana terkejut besar melihat serangan ini. Dia menarik kembali lidahnya ke
dalam mulut. Tapi
gerakannya masih terlambat, lidah tetap kena di gebuk,
Ctaaar! "Wuaaaah...!" Karmaraga menjerit kesakitan, lidahnya yang kena dihantam ranting
keluar masuk kembali ke
mulutnya, bagaikan seekor anjing yang baru saja berlari jauh. Si bocah sakti
tertawa mengikik.
"Iblis edan. Punya lidah
dibiarkan celamitan. Kalau tidak
disabet mana pernah kapok!" kata si bocah. Rupanya meskipun tak mempan pedang,
lidah itu punya kelemahan tak kuat menahan hantaman tetumbuhan
berdaun. Terbukti bagian permukaan lidah mengucurkan darah. Sambil
menggerung kesakitan si kakek bungkuk menyerbu ke arah Iwir Iwir. Bocah itu
langsung pasang kuda-kuda. Mulut
mungilnya keluarkan ucapan.
"Eh.... rupanya belum kapok juga dia. Mau minta tambahan, cucumu ini tentu saja
bersedia menambahi!"
Wuuut! Ranting dihantamkan ke wajah
Lidah Pembawa Bencana. Mendapat
serangan yang terlihat asal-asalan namun mengandung tenaga dalam tinggi ini si
kakek tak berusaha mengelak sama sekali.
Dia tetap menggerakkan tangan-
nya. Lima jari mencengkeram bagian ubun-ubun sedangkan tangan kiri
menghantam dada. Si bocah sakti
miringkan kepala, cengkeraman pada bagian kepala luput, tapi tinju lawan
menghantam telak dada Iwir Iwir.
Bagaikan dilabrak angin topan si bocah mencelat dan jatuh tergeletak dibagian
badan pedang tak jauh-jauh dari
delapan pemuda yang direncanakan akan menggotong Pedang raksasa itu.
"Gusti kecil kau...!" seru para pemuda itu hampir bersamaan. Mereka
rupanya sangat khawatir melihat nasib bocah itu. Karena kalau si bocah sakti
sampai celaka, mereka juga ikut
celaka. Iwir Iwir menoleh ke arah
mereka, batuk-batuk kecil kedipkan mata sambil duduk terlolong sedangkan tangan
menyeka darah yang meleleh di sudut bibirnya. Si bocah pandangi tangannya yang
berselemotan darah. Dia lalu menyengir. "Tidak apa-apa, hanya ingus yang keluar
setelah sembilan tahun tertahan di dalam mulut!"
celetuk si bocah seenaknya.
Mengetahui lawan dalam keadaan
terluka, Karmaraga bermaksud menghabisi bocah itu sekaligus menghancurkan pedang
Raja yang diduduki Iwir Iwir.
Karenanya sambil mengatupkan
bibirnya si kakek yang bukan lain adalah guru Sang Cobra himpun tenaga sakti ke
bagian tangan siap melepaskan pukulan Sang Cobra Mematuk Mangsa. Ini salah satu
pukulan yang sangat ganas mematikan. Siapapun yang menjadi
sasaran tubuhnya hancur membusuk
seketika. Dan tampaknya Karmaraga memang menghendaki hal itu terjadi.
Sekejap kemudian Karmaraga
mendorongkan kedua tangannya yang telah berubah berwarna hitam ke arah Iwir
Iwir. Selarik sinar hitam berhawa dingin bukan main menderu, membelah sejuknya
udara bukit dan menghantam
dua sasaran sekaligus.
"Walsh matilah aku sekali ini!"
Si bocah mengeluh tapi cepat gulingkan diri ke bawah berlindung di balik
lebarnya badan Pedang Raja.
Menyangka si bocah Sakti tak
dapat selamatkan diri, maka Purbasari tidak tinggal diam. Sambil berteriak keras
dia melompat di udara. Tangan kanan babatkan pedangnya ke arah bahu Karmaraga
sedangkan tangan kiri
lepaskan pukulan salah satu pukulan andalannya.
Siiing! Wuuut! Sinar putih yang memancar dari
pedang berkelebat, sedangkan dari telapak tangan kiri menderu sinar biru yang
memapas pukulan lawan dari arah samping.
Craak! Buuuum! Purbasari keluarkan seruan
kaget. Pedangnya yang membacok bahu lawannya bukan saja patah, tapi juga
berwarna hitam. Jika dia tidak membuang sisa pedang dalam genggamannya.
Tentu Purbasari keracunan. Bukan itu saja, pukulan yang dilepaskannya
seakan membalik. Si gadis jatuh
terpelanting dengan dada mendenyut sakit dan semburkan darah. Di depan sana
pukulan yang dilepaskan oleh Karmaraga menghantam bagian badan
pedang. Terdengar suara berkeron-
tangan, karena pedang itu sempat
terlontar ke udara lalu jatuh kembali menghantam lempengan batu yang
dijadikan tatakan. Sebagian badan pedang tampak menghitam. Walau Pedang Raja
tidak mengalami kerusakan apapun, tapi bekas pukulan telah meninggalkan racun
yang amat ganas.
Delapan pemuda yang berkaparan
terkena sambaran pukulan tidak
berkutik lagi. Mereka semuanya tewas seketika dengan muka hangus dan tubuh
telinga mengucurkan darah. Melihat ini si bocah sakti menggerung marah.
Delapan pemuda yang diharapkan untuk memikul Pedang Raja, dibawanya dari tempat
yang amat jauh kini telah
berkaparan menjadi jasad yang tidak berguna. Sungguh dia telah melakukan satu
pekerjaan yang sia-sia. Apalagi kini dia melihat Purbasari sahabatnya juga
tergeletak dalam keadaan terluka.
Lengkap sudah kemarahan di hati Iwir Iwir.
Dengan sekali lompat dia telah
berada di hadapan si kakek. Matanya mendelik ketika mulutnya berucap
membentak. "Lidah Penebar Bala! Kau kira aku tak tahu kau adalah gurunya Sang
Cobra. Kau hendak menghancurkan senjata itu karena takut aku menggunakannya
untuk membunuh muridmu yang terkutuk itu. Kau sangka biar aku
masih kecil takut padamu" Biar kau tuaan aku tak pernah sungkan menampar pipimu
pulang balik!" berkata begitu si bocah sakti berkelebat ke depan.
Hanya sekejap, tak sampai sekedipan mata tahu-tahu bocah itu sudah berada di
depan hidung Karmaraga. Sedangkan tangan si bocah terjulur lakukan
tamparan. Si kakek tidak sempat lagi
menghindar. Plak! Plaak! Bruk! Tamparan si bocah tampaknya
seperti tamparan biasa. Tapi akibatnya membuat si kakek jatuh terbanting. Dua
giginya tanggal. Ketika dia
menyemburkan ludah, maka air ludah bercampur dengan darah. Selain itu ada dua
benda putih kekuningan ikut
melesat keluar. Tanpa menghiraukan rasa sakit si kakek memungutnya,
mendekatkan ke mata dan mengamat-
amati. Kagetlah Karmaraga di buatnya.
"Gigiku... gigiku...! Kau
hancurkan gigiku!" teriak si kakek gusar.
"Kau ingin kutampar lagi, atau mau kurontokkan gigimu semuanya" Maju
.... Majulah...!" tantang si bocah sakti. Sambil berkata dia balikkan tangan
lalu menggerak-gerakkan jari telunjuknya memberi isyarat agar Lidah Penebar
Bencana mendekat.
Merasa sangat diremehkan si
kakek melompat bangkit. Dia lalu
membuka mulut, nafas ditarik sedangkan pipi menyedot. Terdengar suara
menderu. Iwir Iwir merasa tubuhnya tersedot ke arah si kakek. Si bocah hantamkan
kaki kanannya hingga amblas.
Tangan kanan dikepalkan dan diangkat ke atas kepala. Sedangkan tangan kiri
ditarik ke belakang, lalu dihantamkan ke depan.
"Kau makan nih apiku!" desis si bocah.
Wuuus! Dari telapak tangan si bocah
menderu kobaran api sebesar buah
kelapa, meluncur deras mengikuti
tenaga sedotan yang berasal dari mulut Karmaraga. Melihat hal ini dan tak
menyangka lawan akan melepaskan
pukulan yang mengobarkan api si kakek tentu saja jadi kaget. Dia menyadari jika
bola api sampai tertelan maka hanguslah bagian dalam tubuhnya.
Sungguhpun begitu si kakek tidak
menjadi gugup. Jika tadi mulutnya menyedot. Maka kini dia rubah
serangan. Selanjutnya dia meniup ke depan.
Akibatnya tentu sangat
mengerikan, karena tiba-tiba saja bola api berbalik menyerang si bocah sakti.
"Hah, orang tua edan ini
ternyata panjang akalnya!" desis si
bocah. Laksana kilat dia jatuhkan diri, namun tak urung rambutnya yang gondrong
sebagian hangus terbakar.
Selagi si bocah sibuk memadamkan api yang membakar rambutnya. Maka
kesempatan itu tak disia-siakan oleh Karmaraga.
9 Secepat kilat kakek bungkuk ini
menyemburkan cairan putih dari
mulutnya. Cairan putih menderu
bertebaran di udara dan mengurung si bocah sakti dari seluruh penjuru arah.
Cairan ini tentu sangat berbahaya bila sampai mengenai tubuh si bocah karena
dalam cairan terkandung racun raja cobra yang sangat ganas. Menyadari betapa
berbahayanya serangan lawan, maka tanpa banyak cakap lagi Iwir Iwir lesatkan
tubuhnya di udara. Begitu tubuhnya melesat setinggi tiga tombak, serta merta dia
menghantam ke bawah.
Wuut! Dari telapak tangan si bocah
sakti kanan kiri menderu dahsyat hawa panas yang berputar seperti lingkaran.
Semakin merangsak jauh ke depan maka lingkaran angin semakin melebar.
Semburan cairan beracun dengan angin badai kemudian saling beradu di udara.
Terjadi ledakan beruntun yang memporak porandakan tanah di atas bukti. Bukan
hanya tanah dan bebatuan saja yang berpelantingan
di udara. Tapi Purbasari yang tengah berusaha
menyembuhkan luka dalam yang dialaminya juga sempat terlempar ke udara.
Di depan sana Karmaraga.
terdorong mundur. Benturan keras yang terjadi sempat membuat mulutnya
seperti ditampar pulang balik. Sehingga kini mulutnya jadi terpencong.
Sedangkan si bocah sakti sendiri jatuh terduduk dengan kepala menyentuh
tanah, kaki terlipat. Nafas bocah itu megap-megap.
"Sobatku.., sobatku...!" seru si bocah seperti orang yang sedang
sesambat. Tanpa menunggu, Purbasari yang
merasa dipanggil dengan terhuyung-huyung segera mendatangi. Dia menarik tangan
Iwir Iwir. "Kau cidera?" tanya si gadis setengah mendesis.
"Hi... hi... hi. Aku cuma ingin muntah. Hoeeek... hueek...! Uh keluar sudah isi
perutku!" kata si bocah sambil mengikuti tarikan Purbasari sehingga dia jadi
berdiri tegak. Purbasari terkejut besar melihat
banyaknya darah yang keluar dari dalam mulut si bocah sakti. Dia memijiti


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengkuk si bocah untuk memperlancar aliran darah yang sempat tersendat di bagian
nadi besar. "Aduh enaknya... aku senang
punya sahabat pandai memijit. Tapi kurasakan akan lebih nikmat lagi bila
digendong di bagian depan! Hi... hi...
hi." Paras si gadis bersemu merah.
"Iwir Iwir jaga mulutmu!" desis Purbasari yang diam-diam merasa tak tega melihat
wajah bocah sakti itu tampak pucat seperti mayat.
Di depan sana Lidah Penebar
Bencana yang tak pernah menyangka si bocah memiliki kesaktian tinggi
belalakkan mata tak percaya. Dia
kurang yakin bocah sekecil itu sanggup membendung cairan beracun yang
tersembur dari mulutnya sendiri.
Padahal seorang tokoh angkatan tua berkepandaian tinggi sekalipun belum tentu
sanggup menyelamatkan diri dari semburan cairan beracun itu.
Menyadari bocah itu tak dapat
dipandang sebelah mata. Maka selagi si bocah lengah. Tanpa membuang kesempatan lagi Karmaraga alias Lidah
Penebar Bencana kepalkan kedua
tinjunya. Begitu tinju terkepal dan teraliri tenaga dalam, maka si kakek pun
langsung menghantam ke depan. Dua sasaran di arahkannya sekaligus. Satu adalah
Iwir Iwir sedangkan yang
satunya lagi Purbasari.
Sinar hitam kebiruan berkiblat,
hawa dingin bukan kepalang menderu
sebat, menghantam lurus ke bagian punggung Purbasari dan juga bagian dada si
bocah sakti. "Menyingkir!" satu suara berseru. Kemudian dari sebelah samping kanan si bocah
dan si gadis terlihat sinar putih menyilaukan mata memotong gerak pukulan lawan
di tengah jalan.
Glarrr! Ledakan maha dahsyat yang
terjadi bukan saja hanya membuat
Karmaraga terpelanting dan jauh ke lereng tebing. Tapi puncak bukit itu juga
laksana diguncang gempa hebat.
Purbasari dan Iwir Iwir jatuh
terduduk. Sementara dari tempat sinar putih tadi berasal, terdengar suara tawa
mengekeh menyakitkan telinga tak ubahnya seperti tawa mahluk raksasa.
"Terima kasih kalian mau
melindungi pedang ciptaanku. Aku
merasa bersyukur masih ada orang yang mau menyambangi bukit batu ini. Ha...
ha... ha!" kata satu suara keras menggelegar.
Karena orang yang bicara ada
menyebut pedang yang diciptakannya.
Maka baik si bocah maupun Purbasari langsung dapat menduga yang bicara barusan
tadi pastilah Anom Ka Ratan.
Si bocah bangkit berdiri dan
langsung mengusap bagian badannya yang kotor diselimuti debu. Dia lalu
menghadap ke arah datangnya suara.
"Terima kasih juga kuucapkan padamu. Kau telah menyelamatkan kami dari serangan
kakek berpunuk unta itu.
Setelah mengucapkan terima kasih dan merasa berhutang nyawa sekarang aku ingin
tahu apakah kau orangnya yang bernama Anom Ka Ratan?"
Terdengar suara tawa bergelak.
Tawa lenyap berganti dengan ucapan.
"Kau tak salah. Aku sendiri sudah tahu tentang maksud kedatanganmu juga
maksud teman gadismu itu. Kau tentu hendak menggunakan Pedang Raja untuk
membunuh Sang Cobra. Mengenai Sang Cobra aku sudah menyelidik siapa
adanya gerangan. Semula aku memang bermaksud menutup mata menulikan
telinga begitu mengetahui sepak
terjangnya. Tapi kini aku juga
bermaksud turun bukit. Aku bersedia membantu kalian. Kurasa dengan
tanganku sendiri aku akan
membunuhnya!" kata suara itu.
"Jadi pedang ini?" tanya Purbasari membuka mulut.
"Ha... ha... ha. Pedang Raja memang rajanya segala pedang, panjang juga termasuk
besarnya. Aku yakin jika ke delapan pemuda itu masih hidup pasti juga tak
sanggup memikul atau menggotongnya. Karena aku pemiliknya, maka biarkan aku
sendiri yang membawanya!" sahut suara yang mengaku sebagai Anom Ka Ratan.
"Jadi kami sendiri bagaimana?"
tanya Iwir Iwir
"Kau boleh turun dengan
melenggang bersama gadis itu. Boleh juga kalian saling berangkulan. Yang
terpenting kau dan gadis itu cepat tinggalkan tempat ini!"
"Eeh, mengapa secepat itu?" si bocah sakti melengak kaget. "Apakah kau tak mau
unjukkan diri" Ingat gadis cantik ini sangat ingin bertemu
denganmu. Ingin pula memastikan dirimu sebesar dan setinggi apa?"
"Ha., ha... ha. Kurasa itu tak perlu. Nantinya juga kita pasti bisa bertemu di
Tosari. Jadi kuharap kau jangan kecewa!" kata Anom Ka Ratan.
Si bocah sakti memandang tajam
pada Purbasari.
"Bagaimana, tuan yang punya
tempat tak berkenan menemuimu. Mungkin dia takut jatuh cinta padamu!" ujar si
bocah bercanda.
"Tidak jadi apa. Kurasa lebih cepat kita tinggalkan tempat ini
rasanya akan lebih baik!" kata Purbasari.
Kini setelah anggukkan kepala
Iwir Iwir kembali memandang ke arah datangnya suara. "Orang yang mendekam malu
tunjukkan diri. Kami mohon pamit, mohon maaf pula kalau ada kata-kataku yang
salah, maklum aku ini bocah kecil yang belum tahu banyak tentang segala
macam peradatan."
"Aku maklum, pergilah cepat!"
bentak Anom Ka Ratan.
"Eeh, galak amat!" celetuk si bocah sakti. Sambil bersungut-sungut mereka
meninggalkan puncak Bukit Waton Hijau. Ketika melewati tempat jatuhnya Lidah
Penebar Bencana, baik Iwir Iwir maupun Purbasari sama-sama terkejut karena
ternyata kakek bungkuk itu tak mereka temukan di situ. Mereka hanya melihat
bercak-bercak darah yang
berceceran di atas rerumputan di
sepanjang lereng bukit. Ceceran darah baru tak terlihat lagi setelah sampai di
batas antara lereng bukit dan
lembah. "Setan tua itu ternyata nyawanya cukup alot juga!" gerutu murid Dewa Ngelindur
Bertangan Arwah.
"Malaikat maut ternyata masih segan mencabut nyawanya! Hi... hi...
hi!" sahut si bocah sakti disertai tawa cekikikan.
10 Terdorong oleh mimpi buruk yang
dialaminya, kakek tua berpakaian dalam warna hitam dan memakai mantel
berwarna putih di bagian luarnya ini akhirnya terpaksa memperturutkan kata hati
untuk menyambangi sahabatnya.
Selain itu dia sendiri memang sudah
lama tidak pernah bertemu dengan Ki Bantaran. Kurang lebih dua puluh tahun sejak
kunjungan terakhir beberapa bulan setelah peristiwa pengeroyokan Sepasang Iblis
Pengemis Harpa di
puncak Tumapel. Kini dia ingin cepat sampai di tempat tujuan. Kali Merayu
jaraknya memang hanya tinggal setengah hari lagi perjalanan. Jarak yang tidak
begitu jauh bila ditempuh dengan
perjalanan berkuda.
Setelah melewati dusun, sawah
dan perladangan juga hutan rimba. Pagi itu si kakek yang bukan lain adalah Ki
Banjar Jati yang dikenal dengan
julukan Mahluk Tanpa Tanda sampai di tepi telaga kecil. Air di telaga itu sangat
jernih. Kebetulan sekali
perbekalan airnya untuk minum kuda sudah habis. Sehingga tanpa pikir panjang si
kakek turun dari atas
kudanya. Dia mengambil botol kendi dari tanah liat yang terdapat di dalam
kantong perbekalan kuda.
"Kau di sini dulu putih. Kita istirahat tidak lama. Setelah itu perjalanan kita
teruskan. Entah
mengapa saat ini aku ingin sekali cepat bertemu dengan Ki Bantaran."
berkata Ki Banjar Jati, seraya
mengelus bulu leher kuda. Setelah itu berjalan menuju tepi telaga. Empat botol
kendi besar diisinya sampai penuh. Ketika si kakek hendak mengisi
botol kendi terakhir mendadak laksana kilat satu benda besar melesat ke dalam
telaga kecil berair dangkal.
Byuuur! Air dalam telaga muncrat
bertebaran membasahi sekujur pakaian si kakek luar dalam Ki Banjar Jati terkejut
besar, dia kaget ketika
melihat telaga yang kecil serta
dangkal itu menjadi keruh. Si kakek bangkit berdiri, memandang ke arah telaga
ternyata yang tergeletak
mengapung di atas air telaga bukan lain adalah sebuah kelapa.
Ki Banjar Jati kitarkan pandang,
melihat ke sekeliling daerah itu
ternyata tak satupun pohon kelapa yang terlihat. Jelas semua itu merupakan
perbuatan iseng seseorang.
"Tak ada pohon kelapa bagaimana ada buahnya?" pikir si kakek heran.
Selagi kakek itu belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba dari balik semak belukar
yang terdapat di depannya sana muncul seorang kakek berbadan gemuk besar luar
biasa berpakaian hitam besar tak terkancing, berwajah bulat berkening lebar.
Sedangkan satunya lagi adalah seorang pemuda tampan berambut gondrong berwajah
polos. Mereka sambil berlari tampak sibuk membolang-baling kelapa.
Sedangkan masing-masing tangan memegang satu buah kelapa. Hanya si pemuda yang
memegang satu kelapa di tangan
kirinya. "Dasar bocah bodoh, melemparkan kelapa saja tidak becus. Hayo cari kelapamu yang
kabur tadi!" kata si kakek bersungut-sungut.
"Aku malas mencarinya. Melemparkan satu kelapa di udara kurasa lebih mudah
daripada melempar dua kelapa sekaligus." Walau mulutnya bicara begitu namun mata
si pemuda yang tiada lain adalah Gento Guyon tetap mencari kian ke mari.
"Ha... ha... ha. Akhirnya
kutemukan juga biji kelapaku yang hilang!" seru si pemuda kegirangan.
"Mana... mana...?" Si kakek pentang mata dan memandang jelalatan.
"Lihat di dalam telaga itu!"
sahut Gento. Bersikap seakan tak ada orang lain di tempat itu si pemuda
berkelebat ke arah telaga. Tangannya bergerak mencoba meraih kelapanya.
Wuuut! Mendadak laksana disentakkan
kelapa yang mengapung di atas air melesat ke udara. Gento Guyon
terkesiap. Ketika dia berdiri tegak dan memandang ke depannya, maka
kagetlah pemuda ini dibuatnya. Buah kelapa itu ternyata sudah berada di tangan
seorang kakek. Hanya dengan sekali pukul kelapa milik Gento
terbelah menjadi delapan bagian,
masing-masing bagian sama rata sama besar seolah ketika membelah
menggunakan benda tajam.
"Hei, tikus tua, mengapa kau belah buah
kelapaku"!" hardik si
pemuda tampak gusar sekali.
"Sikapmu yang kurang ajar bisa saja memaksaku membelah kepalamu
sendiri!" dengus si kakek.
"Apa" Kenal dan melihat rupamu saja baru kali ini bagaimana kau bisa mengatakan
aku berlaku kurang ajar!"
"Coba kau lihat ke telaga. Aku jadi batal mengisi botol kendi yang terakhir
gara-gara kelapamu itu.
Pakaianku juga basah luar dalam, kau sudah mengerti kesalahan yang kau perbuat?"
hardik si kakek.
Gento Guyon jadi melengak kaget.
"Ah, kau sungguh pandai sekali mencari perkara. Baru persoalan kecil saja kau
besar-besarkan"!" kata si pemuda bersungut-sungut.
"Bukan perkara yang kucari, tapi kurasa gurumu memang tak becus
mendidikmu!" dengus Ki Banjar Jati alias Mahluk Tanpa Tanda.
Merasa gurunya dibawa-bawa,
Gento jadi tidak senang. Dia hendak mendamprat. Tapi di belakangnya
Gentong Ketawa sudah lebih dulu
keluarkan omelan.
"Eeh, siapa berani bicara
lancang begitu. Aku gurunya bocah edan
itu. Sudah kudidik dan kuajar dia luar dalam, otaknya yang tidak benar sudah
pula kucuci dengan air tujuh sumur.
Kurang ajar betul!" sambil keluarkan suara omelan si kakek berkelebat, tahu-tahu
dia sudah berdiri tegak di depan Ki Banjar Jati. Kedua orang tua ini saling
pandang sejenak lamanya.
Kemudian sama pula bersurut langkah.
"Kau... orang tua kurus, hidung kecil mulut seperti tikus cecurut.
Rasa-rasa aku seperti mengenalmu!"
desis Gentong Ketawa dengan alis
berkerut sambil usap-usap wajahnya.
"Ah, bukankah kau Gentong
Ketawa" Sudah lama sekali kita tak bertemu, lebih dari tiga puluh tahun!"
menimpali Ki Banjar Jati.
"Eeh, kau siapa ya. Aku memang merasa seperti punya seorang sahabat jelek
sepertimu. Ah...!" Gentong Ketawa tersenyum lebar. "Aku ingat sekarang. Bukankah
kau, tikus buduk yang bernama Ki Banjar Jati bergelar Mahluk Tanpa Tanda.
Bagaimana kabarmu?" tanya Gentong Ketawa sambil tertawa tergelak-gelak. Dua orang tua ini
sama bungkukkan badan menjura hormat. Sedangkan Gento Guyon semakin cemberut.
"Sialan. Baru hendak kugebuk, tak tahunya mereka berteman." rutuk si pemuda
dalam hati. "Kau betul... kau betul...!"
menanggapi si kakek berjubah putih.
"Bagaimana kau bisa berada di sini sahabat Gentong Ketawa?" tanya Ki Banjar
Jati. "Sebelum kujelaskan sebaiknya kuperkenalkan pemuda itu adalah
muridku. Namanya Gento Guyon." jelas si kakek gendut. Dia lalu berpaling pada
muridnya. "Gege menghormatlah pada kakek ini!" perintah si kakek.
Tanpa bicara apa-apa Gento Guyon
langsung jatuhkan diri sambil
bungkukkan badan.
"Terimalah hormatku, kakek!"
"Berdirilah anak muda. Kau
memang pantas menjadi murid Gentong Ketawa karena tingkah lakumu memang sangat
mirip dengannya." kata Ki Banjar Jati.
"Terima kasih. Aku memang
berjodoh dengannya!" sahut si pemuda seenaknya.
Si kakek manggut-manggut, lalu
kembali menghadap ke arah Gentong Ketawa. "Sekarang coba ceritakan bagaimana kau
bisa sampai di sini?" Ki Banjar Jati mengulang pertanyaannya.
"Aku dan muridku baru saja
mengejar Sang Cobra. Rupanya kau tidak tahu manusia biadab berselubung itu baru
saja membunuh sahabat kita Ki Bantaran?" ujar si kakek dengan wajah murung.
"Apa" Dia membunuh Ki Bantaran"
Bagaimana hal itu bisa terjadi?" desis Ki Banjar Jati tak kuasa menahan rasa
kaget juga kesedihan hatinya.
Gentong Ketawa kemudian menu-
turkan kedatangannya di tempat


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kediaman Ki Bantaran di tepi kali Merayu. Tak lupa dia juga menceritakan siapa
adanya Sang Cobra.
Mendengar penuturan Gentong
Ketawa, wajah si kakek berubah
menegang, ke dua bibir terkatup rapat geraham bergemeletukan. Sedangkan mata Ki
Banjar Jati tampak berkaca-kaca.
Kedua tinjunya dipukulkan satu sama lain.
"Keparat betul manusia itu. Aku sudah menduga putra Sepasang Iblis Pengemis
Harpa kelak memang akan
menjadi pangkal bencana. Tapi waktu itu Ki Bantaran sahabat kita itu tak percaya
dengan penjelasanku. Kini segalanya terbukti." desis si kakek.
Dengan suara bergetar dia lalu
melanjutkan. "Selama ini aku memang sering mendengar tentang sepak terjang Sang
Cobra. Kejahatannya dalam
menghancurkan setiap perguruan yang ada serta tindakannya yang kejam dalam
membunuh beberapa tokoh penting
golongan putih kuanggap sebagai
tindakan iblis. Adapun maksud kehadi-ranku di sini selain ingin melihat sahabat
Ki Bantaran juga ingin
menyerap kabar tentang kebenaran
berita yang kudengar. Sama sekali tidak pernah kusangka kalau Sang Cobra manusia
keji yang akhir-akhir ini menjadi momok bagi dunia persilatan itu dialah
orangnya." ujar Ki Banjar Jati.
Lalu apa rencanamu?" tanya
Gentong Ketawa.
"Apa rencanaku?" sahut Ki Banjar Jati setengah berseru. "Aku tak punya rencana
lain terkecuali memburu
jahanam yang satu ini!" tegas si kakek sengit.
"Kalau begitu kata sepakat sudah sama didapat, mengapa sekarang kita tidak
berangkat saja?" celetuk Gento Guyon yang sejak tadi hanya ikut
mendengar. "Kita memang harus berangkat.
Kurasa lebih cepat lebih baik lagi!"
ujar Ki Banjar Jati.
"Kek bagaimana dengan kudamu"
Kalau aku yang menunggang apakah
boleh?" tanya si pemuda usil.
Mendengar permintaan Gento
gurunya delikkan mata. Si pemuda
menyeringai. Sedangkan Ki Banjar Jati langsung anggukkan kepala. "Boleh.
Tentu saja boleh!" Mendapat
persetujuan dari pemilik kuda enak saja Gento melompat dan kemudian duduk
uncang-uncang kaki di atas punggung kuda. Sementara kedua orang tua itu segera
berkelebat meninggalkan tepi
telaga. Gento Guyon tak mau kalah.
Sekali gebrak kuda berlari kencang mengikuti kedua orang tua tadi.
11 Dua sosok tubuh berkelebat
laksana dikejar-kejar setan. Satu di antaranya yang berpakaian serba kuning
berada di bagian depan. Sedangkan satunya lagi yang bertelanjang dada dan cuma
memakai cawat dan berbadan pendek berada di bagian depan. Di satu tempat setelah
melewati bukit kapur si gadis cantik berambut panjang riap-riapan perlambat
larinya begitu sampai di tepi sebuah jalan sunyi.
"Ke arah mana yang harus kita lalui Iwir Iwir. Ke kanan atau ke kiri?" tanya si
gadis sambil memperhatikan kedua sisi jalan yang ada di kanan kirinya.
Di belakang si gadis bocah
bertelanjang dada berumur sepuluh tahun juga ikut hentikan langkah. Dia
memandang ke jalan di sebelah kiri, setelah itu beralih ke arah jalan di sebelah
kanan. Si bocah diam sejenak, matanya terpejam sedangkan ibu jari dimasukkan ke
dalam mulut, di sedot dan dihisap-hisap pertanda si bocah memang sedang berpikir
keras. "Kalau ke kiri berarti kita
menuju ke Sidoarjo, sedangkan kalau ke kanan pasti ke
Tosari. Menurutku
sebaiknya kita memilih jalan yang ke kanan. Nanti kita segera sampai ke tempat
tujuan." ujar si bocah sakti.
"Aku menurut saja apa yang kau katakan, namun jika kita sampai di tempat tujuan
yang salah kau tanggung sendiri akibatnya!" berkata Purbasari.
Iwir Iwir anggukkan kepala.
"Baiklah, semua akibat dari
kekeliruanku biar aku yang menang-gungkannya." sahut si bocah sakti.
Karena sudah sama sepakat maka
Purbasari dan Iwir Iwir kembali
meneruskan perjalanan mereka. Belum lama kedua orang ini berlari. Mendadak
sontak keduanya hentikan langkah.
Mereka saling pandang ketika melihat satu sosok tubuh berdiri tegak di tengah
jalan sambil berkacak pinggang.
Siapapun adanya laki-laki itu,
pasti sengaja membawa niat yang buruk.
Namun yang membuat mereka heran
mengapa kepalanya diselubungi kain hitam. Tapi setelah melihat sekujur tubuh
telanjangnya yang dihiasai
lukisan ular cobra sadarlah mereka siapa adanya laki-laki yang menghadang di
tengah jalan. "Sobatku Iwir Iwir, bagaimana kita harus bersikap?" tanya Purbasari berbisik.
Si bocah sakti tersenyum.
"Tosari masih jauh, namun kurasa tak sampai sepemakan sirih lagi kita sudah
sampai di tempat itu. Kita hanya
berdua, walaupun begitu aku yakin Anom Ka Ratan pasti juga melewati jalan ini.
Sekarang nampaknya kita
menghadapi kesulitan besar. Melihat pada keadaan tubuhnya yang dihiasi lukisan
ular cobra, kurasa dia adalah orang yang kita cari," menjawab si bocah dengan
berbisik pula, "Kita sudah letih mengejarnya. Tapi setelah letih ternyata dia
datang sendiri.
Sekarang tunggu apa lagi" Teruskan rencana semula."
"Maksudmu?"
"Kita pura-pura melewatinya
tolol." sahut Iwir Iwir.
Sesuai dengan perintah si bocah
sakti, maka Purbasari lanjutkan
langkahnya. Akan tetapi belum lagi dia melewati laki-laki itu, tiba-tiba
terdengar suara bentakan.
"Dua manusia tidak tahu gelagat berhenti!" hardik laki-laki
berselubung yang tiada lain adalah Sang Cobra.
"Kau menghentikan kami, sekarang kami berhenti. Apa maumu?" tanya Iwir Iwir.
Sang Cobra tidak langsung men-
jawab, dia dongakkan kepala memandang ke langit. Kemudian terdengar suara
tawanya yang dingin angker.
"Siapapun yang bertemu denganku keselamatannya tidak ada yang dapat menjamin.
Tapi terhadap kalian berdua, kuanggap sebagai suatu pengecualian.
Itupun jika kau mampu
menjawab pertanyaanku." dengus laki-laki itu sinis.
"Jika tidak?" Iwir Iwir menimpali.
"Seandainya tidak mampu menjawab kalian berdua secepatnya akan kukirim ke
neraka. Ha...ha... ha...!"
"Mengerikan sekali. Apakah kau salah satu penjaga di neraka sana yang ditugaskan
menjemput roh manusia di dunia?" tanya si bocah disertai senyum mengejek.
"Hust, jangan bicara yang bukan-bukan. Tanyakan saja apa yang hendak
diketahuinya!" Purbasari memberi bisikan. Bocah itu anggukkan kepala
"Eeh, maaf apa pertanyaanmu
tadi?" "Pertanyaanku ada dua. Pertama tahukah kalian di mana saat ini Ki Banjar Jati
alias Mahluk Tanpa Tanda berada?"
Si bocah sakti memandang ke arah
Purbasari. Dia sendiri tidak kenal dengan orang yang dimaksudkan oleh Sang
Cobra. Sebaliknya Purbasari
memang sering mendengar nama Ki Banjar Jati. Namun berjumpa dengan orangnya atau
mengenal tempat tinggal salah
satu tokoh golongan putih itu tentu dia tak tahu. Purbasari akhirnya
geleng kepala. Melihat si gadis
gelengkan kepala maka si bocah sakti juga ikut melakukan hal yang sama.
"Kami tak tahu." sahut
Purbasari. "Satu pertanyaan tak terjawab, berarti salah satu di antara kalian harus
menyerahkan kepalanya kepadaku.
Ha... ha... ha!"
"Boleh saja, lalu apa
pertanyaanmu yang kedua?" tanya Iwir Iwir ringan saja. Seakan menganggap ancaman
Sang Cobra sebagai angin lalu.
"Pertanyaanku yang kedua, di manakah tinggalnya manusia yang
bernama Anom Ka Ratan?"
Mendengar pertanyaan itu baik
Purbasari maupun Iwir iwir diam-diam menjadi kaget. Dan Sang Cobra melihat semua
ini walau cuma sekilas saja.
"Bagaimana" Kau saja yang
menjawab!" ujar Purbasari. Perasaannya mulai diselimuti kegelisahan.
"Kau ingin aku berkata jujur atau bohong?"
"Bocah kurang ajar! Katakan
dengan sejujurnya, cepat!" bentak Sang Cobra sengit.
"Kalau kau ingin jawaban yang jujur. Anom Ka Ratan tinggal di puncak bukit Waton
Hijau. Kalau tak percaya silakan lihat sendiri. Tapi kurasa kau
tak perlu bersusah payah ke sana, karena sekejap lagi kurasa dia segera datang
ke sini." berkata si bocah sakti polos.
"Bagus. Sekarang sambil menunggu kedatangan bangsat tua yang telah membunuh
kedua orang tuaku itu, kurasa ada baiknya jika aku membereskan
kalian!" Ucapan Sang Cobra tentu saja
sangat mengagetkan kedua orang ini.
Iwir Iwir menjadi kesal. Sambil
melompat ke depan dia membentak.
"Aku ingin ajukan pertanyaan padamu. Engkau ini setan atau manusia"
Kalau setan kurasa memang pantas
sesuai dengan keadaanmu, kalau manusia mana aku percaya. Karena tak satupun dari
ucapanmu yang dapat kupegang!
Hi... hi... hi. Huk... huk... huk!"
selesai berkata si bocah sakti tertawa cekikikan.
Melihat si bocah terkesan mere-
mehkan dirinya, maka sambil menggerung marah Sang Cobra menggerakkan kedua
tangannya ke arah si bocah sakti. Hawa panas menderu disertai berkelebatnya tiga
sosok benda hitam sebesar ibu jari ke arah si bocah sakti. Ketika meluncur di
udara ketiga benda hitam itu lalu berpencar, satu menghantam kepala, satunya
lagi melesat ke bagian perut dan yang lainnya menghantam bagian di bawah perut
Iwir Iwir. Walaupun berkelebatnya tiga buah
benda sepanjang tiga jengkal sangat cepat bukan main. Tapi sebagai gadis yang
memiliki ilmu sangat tinggi tentu dia dapat melihat benda apa yang
melesat di udara itu. Tanpa pikir panjang Purbasari berteriak memberi
peringatan. "Iwir Iwir awas!"
Si bocah yang juga sudah melihat
benda apa gerangan yang meluncur deras ke arahnya langsung hantamkan kedua
tangannya tiga kali berturut-turut.
Tesss! Tess! Tess!
Pukulan yang dilontarkan oleh si
pemuda walau terkesan asal-asalan ternyata menghantam tiga benda panjang itu
secara tepat. Tercium adanya bau amis terbakar. Tiga buah benda yang kena
dipukul ternyata adalah tiga sosok ular cobra. Begitu jatuh ketiga ular tadi
dalam keadaan hangus gosong.
Melihat kenyataan ini kagetlah
Sang Cobra dibuatnya. Sama sekali dia tak menyangka bocah sekecil itu di samping
memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi juga mampu melepaskan pukulan sehingga
tepat mengenai sasaran kalau tak melihatnya sendiri mana dia bisa percaya.
Tapi kematian tiga ular itu
baginya sudah mengundang satu kemarahan besar. Itulah sebabnya tanpa bicara lagi
Sang Cobra segera
mengerahkan jurus aneh yang merupakan serangkaian dan jurus-jurus mahluk yang
sangat berbisa tersebut.
Sambil melakukan satu lompatan
ke depan, kedua tangannya dengan
jemari saling merapat membentuk kepala ular berkelebat menghantam leher dan juga
tubuh si bocah tepat di bagian yang paling mematikan. Mendapat
serangan yang ganas bertubi-tubi, si bocah sakti tampak terdesak. Dengan lincah
dia berkelit menghindar, atau terkadang membalas serangan lawan dengan kekuatan
berlipat ganda. Satu saat dia terpaksa memiringkan badan dan rundukkan kepala
saat Sang Cobra menghantam ke bagian matanya. Melihat serangannya luput, kaki
kanan Sang Cobra laksana kilat menyambar
menghantam bagian perut bocah ini.
"Aih...!" sambil memekik kaget si bocah sakti berusaha berkelit. Tapi gerakan
kaki lawannya ternyata memang jauh lebih cepat daripada gerakan menghindar yang
dilakukan Iwir Iwir.
Buuk! Tak urung satu tendangan keras
mendarat di perut si bocah sakti
membuatnya terlontar sejauh tiga
tombak. Iwir Iwir jatuh berkelukuran dengan wajah pucat, perut laksana pecah
sedangkan mulut meneteskan
darah. Purbasari terkesiap. Sejenak lamanya dia hanya mampu berdiri tegak
dengan mata melotot dan mulut
ternganga. 12 Beberapa saat kemudian seakan
baru saja tersadar dari mimpi buruk Purbasari tersentak kaget saat
mendengar suara teriakan keras Sang Cobra. "Ajalmu sampai pada detik ini!"
Seiring dengan teriakannya itu
laki-laki yang bagian kepalanya
diselubungi kain hitam laksana kilat melompat. Satu tangan menghantam
bagian kepala sedangkan tangan yang lainnya menderu menghantam perut. Si bocah
sakti memang sempat merasakan adanya sambaran angin dingin menerpa kepala dan
perutnya. Walau saat itu dia sedang merasakan sakit yang amat luar biasa di
bagian perut akibat tendangan lawan. Namun dengan cepat dia gulingkan dirinya ke
samping mencari selamat.
Sebaliknya Purbasari yang
melihat si bocah sakti berada dalam ancaman bahaya besar tidak tinggal diam.
Dengan nekad dia melesat
menghadang lawan guna menyelamatkan si bocah dari malapetaka.
"Hiaa...!"
Dua tangan menghantam dari arah
samping menepis tangan Sang Cobra.
Tapi laki-laki itu ternyata cukup cerdik juga, begitu melihat tangannya
hendak dipukul remuk oleh gadis itu.
Maka dia menarik balik serangan.
Dengan gerakan begitu rupa, tiba-tiba saja tangan lawan kini sudah meluncur ke
bagian dada serta wajah si gadis dengan jari terkembang.
Purbasari tersentak kaget
melihat serangannya luput, sebaliknya tangan lawan kini malah mengancam dua
bagian tubuhnya. Dengan cepat dia sentakkan kepala ke belakang. Kepala selamat
dari hantaman lima jari lawan.


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi dia tidak sanggup menghindari serangan Sang Cobra yang menghantam di bagian
dada. Desss! Kraak! Hantaman yang sangat keras bukan
saja membuat Purbasari terpental, tapi juga membuat tulang dadanya remuk.
Pakaian di bagian dada hangus,
sedangkan kulit di balik pakaian yang hangus nampak membiru. Gadis itu
menjerit, jatuh terkapar diam tak bergerak. Melihat sahabatnya terluka parah
bahkan menderita keracunan pula.
Si Bocah sakti tentu saja menjadi sangat marah, apalagi mengingat
Purbasari terluka karena menolong dirinya. Tanpa menghiraukan luka yang
dideritanya sendiri Iwir Iwir segera bangkit. Dia kemudian memutar kedua tangan
di atas kepala. Angin menderu menyertai berkelebatnya ke dua tangan
itu. Sambil berteriak nyaring si bocah sakti kemudian melesat ke depan, dua
tangan yang diputar selanjutnya
dihantamkan ke arah lawan.
Sang Cobra sempat dibuat kaget
ketika bagaimana dari telapak tangan bocah itu menderu angin yang berpilin
melingkar berbentuk kerucut memanjang.
Semakin mendekati Sang Cobra maka bagian depan pusaran angin aneh ini semakin
membesar tak ubahnya seperti mulut jalan yang ditebarkan.
"Pusaran angin aneh?" desis lawannya. Dan memang pada saat itu si bocah sakti
sedang mengerahkan salah satu ilmunya yang paling hebat yaitu ilmu Menjaring
Iblis Di Balik Rembulan. Akibatnya tentu saja sangat fatal bagi lawan. Tapi Sang Cobra adalah
iblis keji yang mempunyai
banyak akal dan berbagai kelicikan.
Melihat gelombang angin pusaran yang tidak ubahnya seperti terowongan yang
hendak menyungkup dan menggilas
dirinya. Maka detik itu pula dia
segera memutar tubuhnya, dalam keadaan berjongkok dia menghantam ke depan dengan
pukulan beruntun.
Wuss! Wuus! Terdengar suara menderu dahsyat
disertai melesatnya cahaya hitam
laksana iring-iringan mendung tebal di angkasa. Sinar hitam itu kemudian
menerobos pusaran angin yang berputar
seperti lingkaran. Begitu sinar maut ini berada di tengah lingkaran pusaran
angin, maka dia tampak melebar.
Membesar sampai akhirnya terdengar suara ledakan berdentum.
Dua sosok tubuh sama terdorong
mundur akibat benturan dua tenaga sakti itu. Tapi Sang Cobra hanya
tergetar saja, sedangkan si bocah kemudian jatuh terjengkang. Nafasnya kembang
kempis, sedangkan dari
hidungnya mengucur darah. Melihat keadaan lawannya, Sang Cobra
menyeringai sinis.
"Kau tak bakal lolos kali ini!
Aku akan tunjukkan padamu bagaimana caranya mati yang paling menyakitkan!"
selesai berkata Sang Cobra gerakkan kepalanya. Tiga kali kepala
digelengkan, maka pada detik itu pula dari bagian atas kepalanya mengepul kabut
hitam yang semakin lama semakin bertambah tebal. Kabut itu akhirnya membubung
tinggi di udara. Seiring dengan mengepulnya kabut, terdengar pula suara desis
aneh. Sekali lagi Sang Cobra gelengkan kepalanya yang diselubungi kain hitam.
Sekonyong-konyong dari bagian kepala Sang Cobra secara aneh melesat belasan ekor
ular cobra. Ular-ular yang sangat berbisa ini berputar-putar di udara untuk
beberapa jenak lamanya. Tapi ketika Sang Cobra memberi aba-aba.
"Bunuh bocah gondrong itu!"
Belasan ekor ular cobra ini tanpa dapat dicegah langsung berserabutan melesat
deras ke arah Iwir Iwir yang sudah terluka parah. Melihat semua ini si bocah
sakti cepat gerakkan kedua tangannya. Celaka! Kedua tangan
mendadak terasa lumpuh dan tak dapat digerakkan sama sekali. Lebih aneh lagi
ketika bocah itu hendak
menggerakkan bagian badan, sekujur tubuhnya ternyata juga tak dapat
digerakkan. Dalam kagetnya si bocah sakti hanya dapat delikkan matanya, wajahnya
pucat terpana sedangkan
tengkuknya mendadak berubah menjadi dingin, nampaknya ajal si bocah sakti sampai
pada detik itu juga jika saja pada saat yang menegangkan itu tidak terdengar
suara bentakan disertai berkelebatnya dua sosok tubuh yang satu gemuk besar luar
biasa sedangkan yang satunya lagi kurus kerempeng.
"Manusia iblis! Seorang bocah yang sudah tak berdaya pun dibunuhnya!" dengus
satu suara. "Hati dan matanya jadi gelap tertutup dendam kesumat. Kita cincang dia bersama-
sama!" menimpali satu suara yang lain. Dua pasang tangan gemuk dan kurus seakan
berlomba melepaskan pukulan. Di udara terdengar suara bergemuruh laksana bendungan air
bah yang jebol. Hawa panas dan dingin
saling tindih menindih melabrak habis belasan ular yang menyerbu ganas ke arah
si bocah sakti. Sesaat gerakan ular-ular itu seolah tertahan, pada kesempatan
berikutnya bagaikan ilalang belasan ular cobra tersapu mental, jatuh berkaparan
tak bergerak lagi.
Sang Cobra sendiri juga tidak kerahkan tenaga dalam ke bagian kakinya pasti akan
terpelanting. Kini dengan muka pucat pasi
laki-laki itu memandang ke depan. Di sana tepat di depan si gadis berdiri tegak
seorang kakek berbadan besar luar biasa, berwajah bulat berkening lebar berpipi
tembem dengan bukit hidung sama rata dengan pipi. Kakek gendut besar yang satu
ini sama sekali tak dikenal oleh Sang Cobra. Tapi kakek satunya lagi yang
berbadan kurus berpakaian dalam hitam berjubah putih tentu tak pernah dilupakan
oleh laki-laki itu. Dialah kakek yang dilihatnya dua puluh tahun yang lalu di
rumah Ki Bantaran, kakek ini dulu menggunakan pedang Gagak Mencle Sapu Angin
milik Ki Bantaran untuk membunuh kedua orang tuanya. Mengenang segala
pembicaraan si kakek dua puluh tahun yang lalu membuat darah Sang Cobra laksana
mendidih. Tapi belum lagi dia sempat melakukan tindakan atau bicara apapun,
tiba-tiba saja terdengar derap suara langkah kuda disertai dengan suara
siulan panjang. Siulan mendadak
terhenti. Bagaikan terkejut orang yang datang dengan menunggang kuda berseru.
"Walah rupanya pesta sudah
dimulai. Ada yang tergeletak, eh
ternyata seorang gadis. Sedangkan yang duduk itu, aha tak kukira kiranya seorang
bocah tolol yang sedang sakit perut. Guru... siapa laki-laki yang bagian
kepalanya diselubungi kain itu"
Apakah ini manusianya yang berjuluk Sang Cobra" Ha. . ha...ha!" bersamaan dengan
terdengar suara tawa itu, maka di samping si kakek terlihat seorang pemuda
tampan bertelanjang dada duduk di atas punggung seekor kuda. Sikap pemuda
gondrong itu terkesan acuh tak acuh. Tapi setelah melihat ke arah Iwir Iwir dan
Purbasari yang terkapar dan sedang ditolong oleh bocah itu, perhatian pemuda ini
tertuju sepenuhnya pada Sang Cobra.
"Aku inginkan kakek kerempeng itu!" dengus Sang Cobra tanpa memandang sebelah
matapun atas kehadiran Gentong Ketawa dan muridnya.
"Eeh... kau tolol amat. Mengapa kau tidak inginkan kakek gemuk besar ini saja.
Kalau kau seorang penjagal tentu kau dapat untung besar. Kakek gemuk ini
dagingnya banyak. Jadi buat apa kau menghendaki kakek kurus peot itu. Dagingnya
sedikit, paling juga yang banyak tulang sama kentutnya....
Atau mungkin kau orang yang suka makan tulang dan menghirup segarnya bau kentut"
Ha... ha... ha!"
Gentong Ketawa mendelik men-
dengar gurauan muridnya. Sedangkan Ki Banjar Jati hendak mendamprat. Tapi urung
karena dia melihat di depan sana Sang Cobra sudah mendahuluinya
berkata. "Orang tua gemuk besar dan pemuda sinting. Aku tak punya silang
sengketa dengan dirimu. Jika sayangkan nyawa maka sebaiknya cepat menyingkir.
Urusanku adalah dengan Mahluk Tanpa Tanda!" tegas Sang Cobra yang rupanya sudah
dapat membaca gelagat kalau kakek Gentong Ketawa dan muridnya pasti merupakan
orang-orang yang
memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi.
Murid dan guru saling pandang.
Gento Guyon menyeletuk. "Rupanya dia takut pada kita, guru. Kalau dia
mengusir kita apa yang harus kita lakukan?" tanya si pemuda.
Si kakek gendut besar tersenyum-
senyum saja. "Memang jalan ini milik bapak moyangnya. Dia mengusir, kita diam
saja di sini. Kita baru pergi setelah sahabatku menyelesaikan
urusannya dengan orang yang malu
memperlihatkan wajahnya itu," sahut Gentong Ketawa.
"Kau sudah mendengarkan, kakek Banjar Jati. Kau selesaikanlah
urusanmu dengan bangsat itu. Sementara aku sendiri hendak berkenalan dengan
bocah aneh di sana. Siapa tahu aku juga bisa kenalan dengan gadis yang
ditolongnya." kata si pemuda. Enak saja Gento Guyon melompat dari kuda dan
berjalan melenggang menghampiri si bocah sakti.
13 Di tempatnya berdiri Gentong
Ketawa dengan tangan dilipat di depan dada terus menatap lurus ke arah Sang
Cobra. Sementara Ki Banjar Jati telah melompat dua tombak ke depan. Sejenak si
kakek memperhatikan sepasang mata yang mencorong di balik dua lubang selubung
kain yang menutupi kepalanya.
Dia lalu membentak. "Melihat pada penampilanmu, kau pasti Sang Cobra manusia
tengik yang telah
membunuh sahabatku Ki Bantaran,
membantai beberapa tokoh dan menyikat habis beberapa perguruan silat.!" kata
kakek tua itu dingin.
Sang Cobra dongakkan kepala,
lalu tertawa terbahak-banyak. Tawanya yang dingin mendadak lenyap. Mulut dibalik
selubung berucap. "Bagus kalau kau mau menghitungnya. Ha ha ha!"
"Mengapa kau bunuh mereka
semua?" tanya Ki Banjar Jati.
"Mereka memang pantas mati
karena dulu mereka menghinakan diriku.
Seperti halnya Ki Bantaran, kau juga layak mampus!" dengus Sang Cobra sinis. Ki
Banjar Jati tersenyum. "Kau begitu membenci banyak orang bahkan ingin membunuh
diriku. Tentu kau punya sebab dan alasan tertentu. Coba kau jelaskan, aku ingin
mendengar!" pinta si kakek. Nada suaranya tetap pelan lembut, walau di dalam
hati sesungguhnya dia ingin menghancurkan batok kepala Sang Cobra detik itu juga.
"Ha ha ha! Kau hanya berlagak tak mengerti atau otakmu benar-benar telah pikun"
Kau dengar! Dua puluh tahun yang lalu kau bersama beberapa ketua perguruan
dengan dibantu oleh Anom Ka Ratan telah membunuh kedua orang tuaku di Puncak
Tumapel. Kau ingat"!"
Mendengar ucapan Sang Cobra
sebenarnya si kakek tidak begitu kaget karena dia sendiri sudah mendengar
penjelasan dari sahabatnya Gentong Ketawa. Sehingga si kakek pun
tersenyum. "Jadi kau putranya Sepasang
Iblis Pengemis Harpa?"
"Kalau sudah tahu mengapa
bertanya?" hardik Sang Cobra. Dengan sengit laki-laki itu melanjutkan.
"Saat ini hanya tinggal kau dan Anom Ka Ratan yang harus bertanggung
jawab atas kematian orang tuaku!"
Si kakek yang telah menyadari
keganasan Sang Cobra mencoba berkata.
"Kau hendak membalas dendam padaku.
Padahal kau tahu kedua orang tuamu jelas berada di jalan yang salah!"
"Aku telah
berusaha menebus
kesalahan mereka. Tapi kalian pihak yang mengaku dari golongan lurus
menganggap diri sesuci malaikat,
sehingga golonganmu sama sekali tak memandang muka padaku!" teriak Sang cobra
kalap. Begitu bencinya Sang Cobra pada Ki Banjar Jati sehingga tanpa pikir
panjang lagi dia melesat mengelilingi si kakek. Beberapa saat orang tua itu
dibuat bingung dengan apa yang dilakukan oleh lawan. Karena Sang Cobra ternyata
hanya berputar-putar tanpa menyerang. Tapi setelah lawan sampai pada putaran
ketiga sadarlah si kakek bahwa saat itu dari dalam terjadi getaran keras yang
disertai merekahnya tanah di
sekeliling Ki Banjar Jati dalam bentuk lingkaran. Dari lingkaran tanah yang
menganga lebar bermunculan ratusan ular Cobra api berwarna merah menyala yang
langsung berserabutan menyerbu ke arah Ki Banjar Jati.
"Cobra Api! Selamatkan dirimu!"
seru si kakek gendut. Orang tua ini sendiri lalu melompat mencoba menarik
sahabatnya dari lingkaran tanah yang
terbelah. Tapi begitu mendekati
lingkaran dimana tanah terbelah secara aneh, tubuh gendutnya seperti
dilontarkan. Seakan dia membentur tembok baja yang tak terlihat. Si kakek sambil
menggeram mencoba
mendobrak tabir tembok gaib yang
diciptakan oleh sang Cobra. Tapi
walaupun dia mengerahkan tenaga dalam penuh tetap saja tubuhnya seperti
dicampakkan. Malah semakin berusaha mendobrak tabir lingkaran itu, maka jatuh si
kakek semakin bertambah jauh.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang
telah dipergunakan oleh iblis ini?"
maki Gentong Ketawa dalam hati.
Sementara itu begitu melihat
cobra api menyerang si kakek dari segala penjuru arah. Maka orang tua ini
berkelebat melompat berusaha
keluar dari lingkaran. Tapi hal yang sama juga terjadi pada dirinya. Ketika dia
melesat, tepat di bagian lingkaran tanah yang ternganga tubuhnya
terpental masuk ke dalam lagi tidak ubahnya seperti menabrak tembok baja.
Dalam kejutnya menghadapi
kenyataan yang ada serta serbuan
ratusan ular cobra yang menyala itu.
Si kakek akhirnya kerahkan tenaga dalam ke bagian tangan. Laksana kilat tangan
kemudian dipukulkan ke arah ular-ular berapi yang menyerangnya.
Hawa dingin luar biasa berkiblat
disertai suara angin menderu menghantam ratusan ular-ular yang
menyerangnya. Ledakan dahsyat berdentum menggetarkan tanah yang
dipijaknya. Beberapa ular cobra api yang terkena pukulan berpentalan di udara
tapi tenyata ular-ular itu tidak mati. Begitu jatuh dalam lingkaran dengan ganas
mereka menyerang Ki
Banjar Jati. Orang tua ini terus
menghindar dengan cara melompat-lompat hindari serangan binatang itu. Sambil
menghindar dia mencoba mencoba mendobrak tembok gaib yang mengurungnya.
Tapi usahanya ini sia-sia, dia
kehabisan tenaga apalagi saat itu udara di sekeliling lingkaran gaib yang
diciptakan oleh sang Cobra telah dipenuhi dengan kabut beracun yang disemburkan
ratusan mahluk yang
menyerangnya. Si kakek akhirnya menjerit
ketika belasan ular cobra itu mematuk kakinya. Begitu tergelimpang ratusan ular
yang sangat berbisa ini langsung mengerubutinya. Gentong Ketawa yang melihat
nasib tragis sahabatnya
menggerung marah. Dia lalu melepaskan pukulan Raja Dewa Ketawa ke arah
tembok lingkaran gaib didepanya.
Selarik sinar putih laksana perak berkiblat hawa panas melebar. Kemudian terjadi
ledakan berdentum. Pukulan dahsyat yang dilepaskan si kakek
membalik begitu membentur tembok
lingkaran yang tidak terlihat. Si kakek banting diri ke samping. Pukulan lewat
diatas tubuhnya. Kemudian
menghantam pohon di seberang jalan.
Sementara itu tubuh Ki Banjar


Gento Guyon 3 Sang Cobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jati yang terkurung dalam lingkaran tembok gaib hanya tinggal tulang
belulang saja, Ular cobra api yang mengerubutinya begitu melihat lawan hanya
tinggal belulang saja segera merayap pergi meninggalkan korbannya dan lenyap di
balik retakan tanah yang menganga.
Di sebelah kiri Gentong Ketawa
terdengar suara tawa bergelak. Kiranya yang tertawa adalah Sang Cobra. Gento
Guyon yang melihat semua kejadian ini sambil meninggalkan si bocah sakti segera
mendekati Sang Cobra. Dia sudah melihat sejak tadi bahwa Sang Cobra terus
menerus melapatkan sesuatu.
Sedangkan kedua tangannya diacungkan ke arah lingkaran dimana Ki Banjar Jati
terkurung. Jelas Sang Cobra telah menggunakan kekuatan hitam untuk
menghabisi lawannya. Itu pula sebabnya si kakek gendut tak kuasa
menghancurkan tabir tembok lingkaran gaib yang diciptakan oleh lawan.
Menyadari lawan menggunakan
puncak dari segala kekuatan. Maka Gento Guyon juga tak mau bersikap ayal. Kini
sambil melesat ke arah
lawannya dia melepaskan dua pukulan maut sekaligus. Begitu dia menghantam ke
depan, maka dari tangan kirinya memancarkan sinar putih berkilauan yang
bersumber dari pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis. Sedangkan dari telapak tangan
kanannya menderu sinar biru pekat yang bersumber dari pukulan Selaksa Duka. Dua
pukulan maut itu tak dihindari oleh lawannya.
Sehingga tak ayal lagi masing-
masing pukulan menghantam tubuh Sang Cobra.
Dentuman keras menggelegar, debu
dan pasir mengepul di udara.
Pemandangan jadi gelap. Ketika suasana jadi terang kembali Gento terkejut besar.
Dua pukulan sakti tak dapat merobohkan lawannya, tubuh Sang Cobra hanya bergetar
saja. Padahal andai seorang tokoh sakti sekalipun pasti tak sanggup menahan dua
pukulan yang dilepaskan oleh pemuda itu. Gento golang golengkan kepala. Diam-
diam menjadi jerih. Saat itu si kakek
gendut besar sudah bangkit dan
mendekati si pemuda sambil berbisik.
"Agaknya aku harus menggunakan senjataku untuk membunuhnya!"
Gento terdiam, dia juga sedang
berfikir untuk menggunakan Gada bumi.
Yaitu senjata mustika pemberian Tabib Sesat Timur. Konon senjata sebesar ibu
jari kaki namun dapat membesar bila
telah dihantamkan ke bumi itu sangat ampuh. Sekarang saatnya jika sang Cobra
kebal pukulan dan kebal juga senjata. Berpikir sampai kesitu si pemuda siap
hendak mengeluarkan
senjata di balik pinggangnya. Tapi pada saat itu pula terdengar suara tawa
mengekeh disertai
dengan terdengarnya suara bergemuruh serta kilatan cahaya menyilaukan mata. Satu sosok
berkelebat, satu cahaya panjang besar menyilaukan menyambar ke arah Sang Cobra.
Laki-laki yang baru saja hendak melancarkan serangan kedua dengan ilmu lingkaran
Sang Cobra ke arah Gento dan gurunya itu jadi
tersentak kaget. Dia yang saat itu berdiri tegak menghadap ke arah
Gentong Ketawa laksana kilat berusaha melompat selamatkan diri. Tapi
gerakannya kalah cepat. Kilatan cahaya putih besar dan panjang luar biasa
menerabas putus pinggangnya. Sang Cobra tak sempat lagi menjerit.
Tubuhnya terpotong menjadi dua. Baik Gento sendiri maupun gurunya jadi
tercengang dengan mata terbelalak.
Mereka bukan terkejut melihat
kematian Sang Cobra yang menggenaskan itu. Mereka kaget bahkan nyaris
terkencing-kencing begitu melihat sesungguhnya cahaya putih besar dan panjang
luar biasa yang membabat putus pinggang lawan tadi sebenarnya adalah
kilatan cahaya sebuah pedang yang panjangnya lebih dari sepuluh tombak dengan
lebar tak kurang dari tiga tombak.
Pedang sebesar dan sepanjang itu
tidaklah mengherankan bila yang
menggunakannya adalah sosok mahluk tinggi besar seperti raksasa. Justru yang
baru saja membabat pinggang Sang Cobra ternyata adalah seorang kakek tua renta
berambut putih berjenggot putih berbadan pendek setinggi
pinggang Gento Guyon. Anehnya kakek itu tampaknya tidak merasa berat dan lelah
ketika membawa dan menggunakannya tadi. Padahal berat pedang mungkin sama dengan
berat kakek Gentong Ketawa. Berarti lebih dari dua ratus kati.
"Senjata besar mengerikan.
Sungguh aku tak percaya bila tidak melihatnya sendiri. Kakek kecil,
apakah engkau orangnya yang bernama Anom Ka Ratan?" tanya Gento yang sudah
mendengar sedikit riwayat orang tua kerdil ini.
"Ho ho ho! Sudah tau buat apa bertanya" Apa kau mau membantu memikul Pedang Raja
ini untuk dikembalikan Ke Bukit Waton Hijau!" tanya si kakek berbadan kecil
pendek sambil acung-acungkan pedangnya dengan sebelah tangan. Sikapnya itu
terkesan enak saja, seakan berat pedang yang dua
ratus kati tak memiliki arti apa-apa baginya.
"Kakek sakti, aku berterima
kasih kau telah datang membantu. Tapi kumohon jangan kau suruh aku atau muridku
untuk membawakan pedangmu.
Kami berdua bisa mencret." kata Gentong Ketawa sambil keluarkan
keringat dingin. Dia sadar hanya
dengan melihat cara si kakek dalam memegang pedang raksasa Gentong Ketawa tahu
kakek Anom Ka Ratan pasti
memiliki tenaga dalam serta ilmu
berada di atasnya. Sehingga dia harus berlaku hati-hati. Anom Ka Ratan
meludah. "Kalau kalian tak mau membantu tak mengapa. Biang bencana telah
kusingkirkan. Aku akan kembali ke Bukit Waton Hijau. Jika tadi pedang ini
kuseret, maka sekarang Pedang Raja harus kupanggul. Ho ho ho!", berkata si kakek
sambil tertawa tergelak-gelak. Enak saja di meletakkan hulu pedang di bahunya.
Kemudian melangkah pergi. Dilihatnya sekilas dari
belakang tubuh si kakek tak terlihat karena terlindung lebarnya badan
pedang. Gentong Ketawa yang melihat
semua ini sebenarnya hampir tak kuasa menahan tawa disamping terselip juga rasa
takut. Tapi tawa si kakek yang keras menggelegar bagaikan dentuman
gunung meletus membuat murid dan guru terpaksa menyumbat liang telinga
dengan jati tangan. Meskipun begitu tubuh mereka berguncang keras karena
terpengaruh getaran Anom Ka Ratan.
"Sinting edan. Punya ilmu apa dia. Ilmunya tinggi tak terjajaki.
Besar pedangnya lima puluh kali lipat dengan besar orangnya. Gila betul!"
gumam Gento Guyon. Dia cepat berpaling ke arah Iwir Iwir. Tapi si bocah sakti
bersama gadis yang tengah dirawatnya lenyap dari tempat itu.
"Kemana mereka?"
"Siapa?" tanya gurunya tanpa pernah mengalihkan perhatiannya dari kakek cebol
yang mulai tampak berlari sambil memikul pedangnya.
"Bocah dan gadis itu." sahut si pemuda.
"Hari ini kau banyak melihat keanehan. Sehingga telingamu jadi tidak mendengar
ketika bocah dan gadis itu pergi." celetuk si kakek.
"Apakah dia pamitan denganmu?"
"Ya.... tapi dia segan pamitan padamu. Katanya takut sahabatnya jatuh cinta
padamu. Namun suatu saat dia berjanji akan mencarimu. Biarkan saja terkecuali
bila kau sudah terlanjur cinta pada gadis tadi, baru boleh mengejar mereka."
Gento terdiam, gadis berpakaian
kuning yang belum sempat dia ketahui
namanya tadi memang cantik. Hanya sayangnya sepasang matanya berkedip melulu.
Bagaimana dia bisa jatuh cinta pada gadis yang cacingan" Sambil
tersenyum-senyum dia lalu mengikuti gurunya yang sudah melangkah
mendahuluinya. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Seruling Samber Nyawa 14 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Dendam Sembilan Iblis Tua 4
^