Pencarian

Mbah Pete 1

Gento Guyon 16 Mbah Pete Bagian 1


1 Bukit kecil itu letaknya tidak jauh dari Telaga
Tengkorak Hantu. Di Lereng kaki bukit, di bawah cu-
rahan hujan lebat sesosok tubuh berpakaian hitam,
bertopi tinggi dihiasi dua buah tanduk kerbau duduk
diam disana. Bersikap seolah tak perduli dengan apa
yang terjadi disekelilingnya, walau saat itu tubuh dan pakaian sosok kakek tua
ini basah kuyup terkena si-raman air hujan.
Sekian lama dalam keadaan seperti itu, telinga
kiri si kakek bergerak-gerak. Sepasang mata yang ter-
pejam terbuka, si kakek gerakkan kepala ke sebelah
kiri, dua bola matanya yang merah seperti habis me-
nangis memandang ke jurusan Telaga Tengkorak Han-
tu. Tidak ada binatang atau satupun manusia yang
terlihat, terkecuali kepekatan kabut akibat derasnya
hujan yang tercurah. Si kakek kembali pada sikapnya
semula. Dia hembuskan nafasnya yang terasa menye-
sak di dada, kepala menggeleng, mulut yang tertutup
kumis kelabu membuka berucap. "Tidak mungkin. Aku belum tuli, telingaku tidak
salah mendengar. Suara
yang kudengar barusan tadi sama sekali bukan suara
gemuruh hujan. Suara tadi datangnya dari arah telaga.
Ada sesuatu yang jatuh ke dalam telaga itu. Batu" Ti-
dak! Jika batu sebesar apapun bila jatuh ke dalam te-
laga suaranya bukan seperti yang kudengar" Apa
mungkin suara setan penghuni telaga?" gumam si kakek. Sekali lagi dia putar
kepala ke arah telaga, ma-
tanya memandang ke tempat itu, berputar liar menco-
ba mencermati. Tatap mata si kakek terhenti, diam
memperhatikan begitu melihat tiga batang pohon ka-
puk besar seukuran tiga pelukan orang dewasa. Ha-
tinya mendadak gelisah, jantung berdebar. Satu demi
satu ketiga pohon yang terdapat di sebelah barat tepi telaga itu ditelitinya,
dari bagian pangkal batang hingga ke bagian pucuk pohon. Si kakek jadi tercekat
begi-tu melihat sebuah lubang besar di pertengahan batang
pohon. Ketiga lubang yang terdapat di pohon itu sama
menghadap ke arah telaga. Sedangkan di mulut lubang
ditiap pohon itu tersumpal satu tengkorak kepala ma-
nusia berwarna hijau ditumbuhi lumut. Memandang
ke arah tiga tengkorak dengan mata mendelik, mulut si kakek kembali berucap.
"Tiga pohon kapuk di tepi telaga. Pada masing-
masing lubang di sumpal dengan tengkorak kepala.
Celaka! Berarti aku telah sampai di Telaga Tengkorak
Hantu. Bagaimana aku bisa melantur hingga sampai
ke tempat ini?" kata si kakek dengan suara tercekat dan wajah berubah pucat.
Cepat dia palingkan wajahnya ke jurusan lain. Dia kini jadi ingat konon telaga
itu sangat angker. Banyak roh jahat dan mahluk gaib
tinggal didalam telaga. Belasan tahun telaga itu tak
pernah didekati manusia, walau konon pemandangan
bagian dasar telaga sangat indah.
Ingat dengan segala cerita yang didengarnya se-
lama ini apalagi di tambah dengan suara aneh yang
didengarnya barusan tadi membuatnya ingin tinggal-
kan bukit itu secepatnya. Si kakek bangkit berdiri, kepala didongakkan ke atas,
sepasang mata memandang
ke langit. Langit tertutup awan kelabu. Sementara cu-
rahan hujan tidak lagi sederas tadi, tapi juga tidak
menunjukkan tanda-tanda akan terhenti.
"Aku tidak mau mencari penyakit. Yang ku ta-
hu Si Muka Setan telah terbunuh. Tapi tiga orang sak-
si mengatakan sahabatku itu belum mati. Malah gen-
tayangan, hendak berlaku bejad menodai seorang ga-
dis. Sungguh gila. Aku sendiri terlanjur membunuh
Rajo Penitis, telah kulakukan satu dosa besar yang ti-
dak akan impas jika tidak kutebus dengan kematian
pula. Tidak mengapa. Aku rela membayar hutang nya-
wa asal aku sudah dapat bertemu dengan Si Muka Se-
tan. Aku ingin tahu apakah nenek Muka Setan yang
mereka jumpai itu memang sahabatku adanya atau
cuma palsu belaka."
Selesai berkata si kakek balikkan badan siap
hendak pergi. Di saat dia membalikkan badan itulah
sudut matanya menangkap ada sesuatu yang bergerak
di tengah telaga. Si kakek tercekat, dia urungkan niatnya untuk tinggalkan
tempat itu. Kembali si kakek pu-
satkan perhatian ke tengah telaga. Saat itu air telaga bergolak menimbulkan
gelombang hebat disertai dengan munculnya gelembung memutih laksana buih. Di
tengah curah air hujan yang sudah tidak seberapa de-
ras lagi gelombang di tengah telaga makin menghebat,
bergerak keseluruh penjuru telaga lalu lenyap setelah menghempas tepian telaga.
Terdorong oleh rasa keingintahuan yang besar
si kakek membuat satu gerakan. Laksana kilat tubuh-
nya berkelebat melesat ke balik batu besar yang terdapat di sebelah kiri telaga.
Dari balik tempat persembu-nyiannya dia julurkan kepala, sepasang mata di pen-
tang memandang lurus ke tengah telaga.
Si kakek menduga mustahil gelombang besar
itu terjadi akibat curahan air hujan. Ternyata dugaannya tidak meleset karena
hanya beberapa saat setelah
itu di permukaan air muncul satu sosok serba kuning.
Sosok itu kemudian melesat ke udara. Di udara dia la-
kukan gerakan berjumpalitan sebanyak tiga kali.
Wuuut! Wuut! Wuuut!
Hanya dalam beberapa kejapan sosok yang
muncul dari dasar telaga telah jejakkan kakinya di
pinggir telaga itu. Kini dengan jelas si kakek dapat melihat satu sosok seorang
perempuan tua, berambut pu-
tih berwajah hancur mengerikan seperti dicacah.
Si kakek jadi tercekat, wajah pucat, tubuh ber-
getar. Semua ini bukan karena akibat rasa takut meli-
hat betapa angkernya wajah si nenek. Melainkan kare-
na sosok yang dilihatnya bukan orang asing dalam hi-
dup si kakek tapi adalah orang yang sangat dia kenal.
"Si Muka Setan" Bagaimana dia dapat hidup
kembali. Tidak mungkin" Sulit untuk dapat kuper-
caya!" kata si kakek dengan bibir bergetar.
Sosok berpakaian kuning berenda putih di tepi
telaga yang tubuhnya dalam keadaan basah kuyup ti-
ba-tiba dongakkan kepala ke langit. Senyum angker si
nenek muka setan mengembang. "Seharusnya bangsat Perampas Benak Kepala sudah
datang kesini, menghadap padaku dan melaporkan tentang segala yang te-
lah dilakukannya. Hemm, sudah satu hari lebih men-
gapa dia tidak kembali" Gerangan apa yang terjadi pa-
danya?" batin si nenek. Orang tua itu diam sejenak dia ingat sesuatu. Sambil
menepuk kepala dia berucap.
"Ah, aku lupa bukan dia yang menemuiku, tapi aku yang mencarinya. Terlalu banyak
mereguk manisnya
madu cinta membuat aku lupa. Untuk sementara se-
baiknya kutinggalkan dulu istana sorga kenikmatan di
dasar telaga. Aku akan menyelidik, menyirap kabar
siapa tahu dua manusia tolol itu sudah dapat me-
nangkap Pendekar Sakti Gento Guyon. Pemuda edan
itu harus kubunuh secepatnya, kalau tidak dia bisa
menjadi penghalang dari semua cita-cita keinginanku!"
Selesai bicara sendiri si nenek hendak beranjak
pergi, tapi entah mengapa niatnya urung. Kini dia ma-
lah memandang di seputar tepi telaga. Matanya jelala-
tan mencari-cari.
Di balik batu kakek bertopi tinggi di buat he-
ran. "Dia mengatakan dua manusia tolol" Siapa yang dimaksudkannya" Dia juga
menginginkan Gento
Guyon" apa benar yang berdiri di tepi telaga itu me-
mang Si Muka Setan sahabatku. Rambut, wajah serta
pakaian yang dia pakai sama persis. Bisa jadi dia Si
Muka Setan. Mungkin Muka Setan yang lain, bukan
sahabatku Si Muka Setan yang telah mati." membatin si kakek dalam hati. Dia
gelengkan kepala lanjutkan
ucapannya. "Mungkin yang kulihat ini adalah saudara Kembar Si Muka Setan. Tidak
mungkin, Muka Setan
tak pernah mengatakan dia mempunyai saudara kem-
bar!" Sesaat si kakek diliputi perasaan bingung. Sementara itu ditepi telaga
sana Si Muka Setan sudah
menghadap ke arah batu dimana si kakek bersem-
bunyi. Nenek itu kemudian berkata.
"Dalam hujan begini aku jadi malas untuk me-
ninggalkan telaga. Sayang pekerjaanku tak dapat di-
tunda. Baiklah, sebelum pergi kurasa ada baiknya aku
bereskan dulu tikus comberan yang bersembunyi di
balik batu." kata si nenek. Belum lagi gema suara si nenek lenyap laksana kilat
dia hantamkan tangan kanannya ke arah batu dimana si kakek bersembunyi.
Sinar hitam menggidikkan membersit dari lima ujung
jari nenek berwajah setan, melesat sebat ke arah batu hingga menimbulkan ledakan
berdentum. Si kakek
yang sempat melihat datangnya serangan lawan lang-
sung melompat ke samping selamatkan diri sehingga
ketika pukulan maut menghantam batu si kakek su-
dah tak berada lagi di tempat itu.
Batu hancur berkeping-keping, bertebaran di
udara dalam keadaan dikobari api, kemudian jatuh
berserakan ke berbagai arah.
"Hemm, rupanya kau tikus comberan tua
mempunyai kebisaan juga. Pantas saja kau berani
muncul di tempat ini"!" dengus si nenek sambil memperhatikan kakek bertopi
tinggi yang telah berdiri tegak sejarak empat tombak di depannya. Sebaliknya si
ka- kek-jadi bertambah heran begitu melihat kenyataan
bahwa Si Muka Setan ternyata sudah tak mengena-
linya lagi. Untuk meyakinkan dugaannya itu si kakek
sengaja berucap menyebut nama asli Si Muka Setan.
"Ayu jelita. Astaga! Apakah kau sudah tidak mengenal sahabatmu sendiri. Apa yang
terjadi dengan dirimu selama ini?"
Diam-diam nenek berwajah setan terkejut. Dia
sama sekali tidak tahu kakek itu bersahabat dengan
dirinya. Akal cerdik, otak liciknya langsung berfikir mencari jalan untuk
memuslihati orang tua didepannya. "Hik hik hik. Sejak terjadi benturan hebat
serta guncangan batin yang amat berat dalam jiwaku aku
sudah tidak lagi dapat membedakan mana teman ma-
na sahabat. Tua bangka bertopi tanduk dapatkah kau
membantu diriku untuk dapat mengenal siapa dirimu
ini?" tanya Si Muka Setan seperti orang bingung. Wajah si nenek berubah memelas,
sedih bahkan dia sam-
pai teteskan air mata. Jauh berbeda dengan yang dili-
hat si kakek pertama tadi, bengis, garang dan penuh
kecongkakan. Si kakek tidak mudah terkecoh. Dia melihat
ada yang ganjil, ada sesuatu yang tidak wajar dalam
diri nenek yang mengaku dirinya telah menjadi gila ini.
Sungguhpun begitu dia tetap menjawab. "Muka Setan.
Aku tahu kejadian yang menimpa keluarga dan kera-
batmu. Tapi kau harus bisa menerima kenyataan tak-
dir yang sudah digariskan Tuhan. Aku, Gelombang
Tangis Dalam Duka adalah sahabatmu sendiri. Aku
merasa ikut prihatin atas musibah itu!" ujar si kakek.
Menyangka pancingannya sudah mengena pada
sasaran yang diharapkan Si Muka Setan masih dengan
unjukkan wajah sedih berucap.
"Aku berterima kasih atas simpati yang kau
tunjukkan. Aku pasti tidak akan melupakannya!
Hanya saat ini dihatiku masih ada beberapa ganjalan!"
kata si nenek ragu-ragu.
"Sahabat, kita berteman sudah cukup lama,
malah sudah berlangsung belasan tahun. Jika kau
memang punya ganjalan dihati katakan saja padaku.
Sebagai sahabat aku pasti akan membantumu!"
"Begitukah?" gumam si nenek disertai tatapan menyelidik.
Kakek Gelombang Tangis Dalam Duka angguk-
kan kepala. 2 Nenek muka setan mengusap air matanya, da-
lam hati ia tertawa penuh kemenangan karena merasa
telah berhasil memperdaya orang tua itu. Kemudian
dengan suara sedemikian rupa hingga mengundang
rasa simpati orang Si Muka Setan berkata. "Kau ingat pertemuan itu?" Di depannya
Gelombang Tangis Dalam Duka anggukkan kepala. Si Muka Setan melanjutkan.
"Seharusnya aku hadir dan memimpin pertemuan itu.
Sayang di tengah perjalanan seorang pemuda berilmu
tinggi menghadangku. Dia bermaksud menghalangi
aku untuk memimpin pertemuan para pendekar. Kami
terlibat perkelahian sengit. Aku kalah bahkan kepala-
ku terluka di bagian dalam."
Si kakek cepat memotong. "Bagaimana ciri-ciri
pemuda itu?" tanyanya dengan pandangan penuh selidik.
"Pemuda itu berambut gondrong, dilehernya
melingkar sebuah kalung, bertelanjang dada suka ter-
senyum, mungkin otaknya kurang waras. Masih be-
runtung aku berhasil menyelamatkan diri. Belakangan
baru kuketahui pemuda sakti itu bernama Gento
Guyon." Si kakek terdiam, otaknya cepat berfikir men-
gingat. "Ciri-ciri yang disebutkannya sama persis dengan pemuda itu. Aku baru
saja bertemu dengannya
beberapa hari yang lalu. Jika dia mengaku dihadang
oleh pemuda itu, mungkin ini hanya satu kedustaan
saja." fikir Gelombang Tangis Dalam Duka. Masih kurang yakin si kakek ajukan
pertanyaan. "Sahabatku, mungkin akibat luka di dalam kepalamu membuat fiki-ranmu
terganggu. Tapi yang membuat aku heran ba-
gaimana setelah mengalami gangguan ingatan kini
mengalami perubahan kebiasaan pula"!"
"Apa maksudmu?" tanya si nenek dengan tatap mata tak mengerti.
Gelombang Tangis Dalam Duka tersenyum pe-
nuh arti. Dengan sikap tenang namun mengejutkan
bagi si nenek dia berucap. "Nenek Muka Setan yang sesungguhnya tidak pernah
berendam di dalam air,
apalagi yang namanya tinggal di dalam telaga. Malah
sahabatku itu seperti kucing. Takut air dan mandinya
setiap satu tahun sekali. Itu keanehan pertama. Se-
dangkan yang kedua, Si Muka Setan yang kukenal tak
pernah suka atau mencintai kaum sejenis. Apalagi
sampai berbuat keji pada seorang gadis. Tapi kau me-
nurut yang kudengar malah menculik gadis dan mela-


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kukan perbuatan mesum pada gadis culikannya. Muka
Setan, apakah segala kegilaan yang telah kau lakukan
ini ada hubungannya dengan cacat cedera yang terjadi
di dalam otakmu" Aku sahabatmu Gelombang Tangis
mohon diberi penjelasan. Cukup sekian pertanyaanku,
si tua yang murah tangis ini menunggu jawaban." kata si kakek.
Tak pernah menyangka mendapat pertanyaan
seperti itu, Si Muka Setan tentu saja jadi tercekat. Ru-
panya tidak rupa setan lagi, tapi telah berubah memutih laksana kertas. Kini dia
merasa telah ditelanjangi oleh si kakek. Tapi dasar si nenek banyak akal
muslihat, dengan tenang dia menjawab. "Sahabatku. Dalam keadaan otak tidak
waras, seseorang bisa me-lakukan
atau berbuat apa saja diluar kesadarannya. Apa yang
aku katakan itu kalaupun memang benar terjadi pasti
diluar kesadaranku. Karena terkadang aku sendiri ti-
dak mengenal siapa diriku. Orang gila sering melaku-
kan perbuatan menyimpang diluar kebiasaannya. Jika
kau lihat aku mendekam di dasar telaga itu, berdasar-
kan apa yang kukatakan masihkah kau menganggap
aneh segala yang kulakukan"!"
Si kakek gelengkan kepala. Tapi dia ingat, Si
Muka Setan, seperti yang dilihatnya telah mati. Kea-
daannya mengenaskan. Kepala berlubang, isi kepala
lenyap. Gelombang Tangis Dalam Duka tak mau terke-
coh bahkan dia tak kehabisan akal.
"Sahabatku, aku ingin menyembuhkan penya-
kitmu agar kau mendapatkan kewaras-anmu kembali.
Maukah kau?"
"Tentu saja mau, malah aku merasa berterima
kasih sekali." jawab si nenek. Dalam hati, dia bertanya.
"Apa lagi yang hendak dilakukan oleh jahanam tua ini"
Seandainya dia hendak bertingkah yang tidak-tidak
aku harus menghabisinya secepat mungkin."
Didepannya sana Gelombang Tangis Dalam
Duka melangkah maju dua tindak sehingga jarak dian-
tara mereka hanya tinggal sekitar tiga langkah saja. Si kakek ulurkan tangannya,
lalu berucap. "Aku ingin memeriksa luka didalam kepalamu. Aku akan menya-lurkan
tenaga sakti di bagian kepalamu itu. Kemari-
lah.... maju mendekat...!"
Si Muka Setan tercengang, bukannya maju
mendekati si kakek. Sebaliknya dia melompat mundur.
Matanya terbelalak seolah saat itu dia melihat satu sosok hantu besar berdiri
tegak di depannya.
"Sahabatku Muka Setan mengapa" Aku ber-
maksud baik hendak menolongmu kemarilah!" kata si kakek lagi. Dia maju mendekat.
Setiap Gelombang
Tangis Dalam Duka melangkah maju sebaliknya si ne-
nek bergerak mundur. Sampai akhirnya Si Muka Setan
membentak. "Berhenti! Jangan coba-coba mendekati aku lagi!" kata si nenek
bengis. Bentakan keras itu tidak membuat si kakek
merasa takut, malah sambil tertawa tergelak-gelak Ge-
lombang Tangis Dalam Duka memandang tajam ke
arah Si Muka Setan dengan sorot mata sulit ditebak.
"Muka Setan. Aku tahu ada sesuatu yang kau
sembunyikan bukan" Sesuatu yang kau tak ingin
orang lain mengetahuinya. Aku sudah melihat, aku
sudah merasakannya. Ha ha ha!" kata si kakek sambil mengumbar tawanya. Dia
kemudian melanjutkan ucapannya. "Kau bukan sahabatku Si Muka Setan, mungkin kau
orang lain. Seseorang yang sengaja menyaru
sebagai Muka Setan untuk kepentingan dan maksud-
maksud tertentu. Padahal aku adalah salah seorang
yang menyaksikan dengan kepala sendiri bahwa Si
Muka Setan yang sebenarnya telah tewas dan kini ber-
kubur di Kiara Con-dong."
"Jika kau sudah mengetahuinya, berarti aku
akan membungkam mulutmu agar tidak usil lagi. Hik
hik hik!" sahut Si Muka Setan. Kini nada suaranya telah berubah sama sekali,
melengking penuh keangku-
han. "Kau hendak membungkam mulutku. Ha ha ha!
Akan kukelupas wajah yang buruk itu hingga aku da-
pat melihat wajah aslimu. Setelah itu baru kutelanjan-gi tubuhmu hingga aku
dapat melihat apakah kau pe-
rempuan sejati atau banci! ha ha ha!"
Wajah yang dipenuhi carut marut itu meng-
gembung merah, mulut terkatub rapat sedangkan se-
pasang matanya mencorong angker.
"Tua bangka tolol kau mengira dirimu itu sia-
pa" Kau sama sekali tidak akan pernah dapat menyen-
tuh tubuhku. Karena sebelum itu kau lakukan nya-
wamu akan kubuat amblas terbang ke neraka!"
Gelombang Tangis Dalam Duka sebagaimana
julukannya langsung keluarkan suara menggerung.
Dia menangis keras. Si nenek tercekat begitu menya-
dari ternyata tangis kakek itu bukan tangis biasa ka-
rena mengandung satu kekuatan dan pengaruh hebat
hingga bagi orang yang memiliki tingkat tenaga dalam
tidak begitu tinggi bisa terpengaruh ikut terseret dalam tangisan itu.
Sebaliknya Si Muka Setan begitu menutup indera pendengarannya langsung mengumbar
ta- wa. Suara tawa dan tangis akhirnya saling tindih,
hingga terjadilah adu tenaga sakti melalui suara tawa dan tangis masing-masing
lawan. Beberapa saat keduanya tampak keluarkan ke-
ringat dingin, wajah mereka nampak tegang, sedang-
kan sekujur tubuh bergetar. Malah kaki si kakek mulai amblas melesak ke dalam
tanah. Diam-diam orang tua
itu jadi kaget, tak menyangka tenaga dalam lawan ter-
nyata tidak berada di bawahnya. Dalam hati Gelom-
bang Tangis Dalam Duka merutuk. "Nenek keparat ini jelas bukan Si Muka Setan.
Entah siapa dia adanya,
tapi aku melihatnya ada hawa keji yang dipergunakan
untuk menyerangku lewat suara tawa itu."
Di depan sana masih dengan tertawa mengum-
bar tawanya si nenek Muka Setan sendiri memaki.
"Tua bangka jahanam! Aku akan menghabisimu. Nya-
wamu tidak akan bertahan lebih dari lima jurus dimu-
ka!" Masih dengan tertawa si nenek hantamkan
tangannya ke depan. Sinar hitam membersit dari tela-
pak tangannya. Kedua sinar berhawa dingin mengidik-
kan itu langsung menyambar tubuh lawan disertai su-
ara bergemuruh bagaikan tanggul besar yang jebol di-
labrak banjir. Si kakek yang menyerang lawan melalui
suara tangis kejutnya bukan alang-alang. Dia tidak
menyangka dalam keadaan mengadu kesaktian dari ja-
rak jauh lawan masih dapat menyerangnya dengan
pukulan pula. Padahal salah sedikit saja dalam mela-
kukan gerakan akibatnya bisa fatal bagi nenek itu. Kenyataan yang terjadi malah
sebaliknya. Dua sinar hi-
tam itu ternyata dua kali lebih ganas dari serangan
yang dilakukan lewat tawa.
Seketika Gelombang Tangis Dalam Duka henti-
kan suara tangisnya. Dia melompat ke samping, tapi
gerakannya ini kalah cepat dengan pukulan lawan, se-
hingga bahu kirinya masih terkena sambaran pukulan
lawan. Si kakek menjerit kesakitan, tubuh terhuyung
bagian bahu dikobari api. Dia bergerak menjauh se-
dangkan tangan kanan sibuk memadamkan api yang
membakar pakaian di bagian bahu.
Di belakang si kakek terdengar dua kali leda-
kan berturut-turut akibat dua pukulan yang menyam-
bar bahu orang tua itu menghantam pohon di bela-
kangnya. Pohon hancur tumbang disertai suara gemu-
ruh. Tanpa menghiraukan semua itu si kakek ini mele-
sat ke depan, mempergunakan kesempatan selagi la-
wan siap melepaskan pukulan kedua dia langsung le-
paskan tendangan disertai dua pukulan yang menga-
rah ke bagian wajah dan bahu lawannya. Nenek Muka
Setan terkejut besar, tapi segera melompat ke udara
hindari tendangan. Tendangan lawan dapat dielakan-
nya tapi si kakek masih berhasil susupkan pukulan-
nya ke dada nenek itu.
Deeees! Hantaman yang sangat keras membuat si ne-
nek jatuh terjengkang. Tanpa menghiraukan sakit
yang mendera dadanya orang tua itu melompat bang-
kit, tegak dengan terhuyung-huyung dari mulutnya
terdengar sumpah serapah. Kesempatan itu dipergu-
nakan oleh Gelombang Tangis Dalam Duka merangsak
maju dengan sepuluh jari tangan berkelebat. Lima
mencari sasaran di bagian wajah sedangkan lima lain-
nya menyambar dada si nenek.
"Tua bangka keparat! Dia mencoba melihat ba-
gaimana rupa asliku. Baiklah, rasa penasaranmu akan
kubuat impas hari ini!" geram Si Muka Setan dalam hati. Orang tua itu mundur
satu langkah, dua tangan
cepat diputar sedemikian rupa lalu di dorong ke depan.
Pada saat itu dua tangan si nenek telah berubah
menghitam sampai sebatas siku
Dua gelombang angin menderu dari telapak
tangan Si Muka Setan. Akibatnya sungguh sangat luar
biasa. Hantaman itu bukan saja membuat dua seran-
gan berupa cakaran si kakek berbalik dan hampir
menghantam wajahnya sendiri tapi juga membuat Ge-
lombang Tangis Dalam Duka jatuh terjajar lalu tergul-
ing-guling. Si nenek tertawa lebar. Dia memutar tangannya
yang semakin menghitam setelah itu laksana kilat si
nenek melompat ke arah lawan disertai teriakan me-
lengking. Laki-laki tua itu jadi tercekat begitu melihat lawan telah berada
disampingnya. Lebih kaget lagi ketika melihat kedua tangan si nenek siap
melancarkan pukulan mautnya.
Tak punya pilihan lain, masih dalam keadaan
menelentang ia sambut serangan lawannya. Dua tan-
gan yang diangkat ke udara bergerak secara bersilan-
gan seperti gunting begitu tangan si nenek meluncur
ke bagian dadanya.
Plak!! Benturan keras terjadi, membuat salah satu
dari serangan yang dilancarkan Si Muka Setan tak
mengenai sasaran, sebaliknya tangannya yang lain
menghantam bagian perut kakek itu, membuat si
orang tua menjerit setinggi langit.
Pakaian hitam di bagian perut si kakek hangus
robek meninggalkan bekas telapak tangan. Asap men-
gepul, bagian perut si kakek hangus gosong menebar-
kan bau sangit daging terbakar. Gelombang Tangis Da-
lam Duka begitu perutnya terkena pukulan lawan su-
dah tak mampu lagi bergerak dari tempatnya. Dia ter-
kapar, mata mendelik seakan tak percaya dengan apa
yang terjadi pada dirinya. Hanya sesaat saja terdengar suara erangan. Di lain
kejab erangannya terputus, kepala terkulai jiwa melayang.
Si Muka Setan tertawa bergelak. Dia memper-
hatikan Gelombang Tangis Dalam Duka sejenak sambil
berkata sinis. "Sepuluh manusia berkepandaian sepertimu belum tentu sanggup
menghadapi aku. Kelak se-
luruh kawan-kawanmu juga akan mengalami nasib
seperti dirimu.!" kata si nenek. Selesai bicara sendiri dia bukan langsung
tinggalkan mayat lawannya. Sebaliknya mayat si kakek dipanggulnya, kemudian
dibawa pergi entah kemana.
3 Di bawah sebatang pohon besar gadis cantik
berpakaian putih berkembang merah nampak duduk
termenung menekuri pendupaan menyala yang terda-
pat didepannya. Tak jauh di depannya seorang kakek
tua berambut kelabu, berpakaian hitam berkumis teb-
al masih pulas di buai mimpi. Di langit sebelah timur
matahari baru saja munculkan diri dari balik bukit.
Udara di pagi itu terasa dingin sekali, membuat tidur si kakek kelihatan nyenyak
sekali. Si gadis yang bukan lain adalah Roro Centil
adanya jadi tak sabar menunggu. Dia bangkit berdiri,
melangkah mendekati si kakek. Setengah berjongkok
dia bangunkan orang tua itu.
"Mbah... sudah siang Mbah. Bangun Mbah, kita
harus meneruskan perjalanan.!"
Si kakek yang dibangunkan menggeliat seben-
tar, tangan ditendangnya tapi kejab kemudian kembali
tertidur. Roro Centil gelengkan kepala. Dia jadi kesal
melihat orang tua ini. Sejak meninggalkan gunung
Sembung yang merupakan tempat tinggal si kakek,
orang tua yang bernama Mbah Petir ini memang selalu
membikin ulah. Ada saja keisengan yang dilakukannya
hingga membuat perjalanan mereka jadi sering tertun-
da. "Mbah bangun! Pendupaanmu digondol mal-
ing!" teriak gadis itu dengan suara keras dekat telinga si kakek. Teriakan yang
keras membuat Mbah Petir
tersentak kaget.
"Hah, apa" Jeroanku di gondol maling?" sentak si Mbah. Serentak dia bangkit dan
duduk. Rasa kejut
membuat si kakek terkentut-kentut. Roro Centil me-
lompat mundur sambil tekab hidungnya karena kentut
Mbah Petir ternyata bau pete.
"Orang tua sialan. Kentut tidak bilang-bilang,
mana bau pete lagi!" si gadis mengomel panjang pendek. Si Mbah yang
pendengarannya kadang tergang-
gu nampak kalang kabut. Bangkit berdiri matanya jela-
latan memandang kesegenap penjuru arah. Aneh, ke-
mudian tersenyum. Dia mengusap perutnya sendiri.
"Roro kau suka menggodaku. Jeroanku masih ada disini kau bilang di gondol
maling!" ucap Mbah Petir sambil menarik nafas lega.
"Orang tua tuli. Orang bilang pendupaan dia bi-
lang jeroan." Roro Centil menggerutu. Di depan sana si kakek melanjutkan
ucapannya yang terputus tadi."
"Roro kau jangan kelewat sering membuat aku


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaget. Aku bisa terkencing-kencing sambil kentut. Un-
tung tadi aku tidak seberapa kaget, jadi cuma kentut
saja. Coba kalau tidak, repot aku jadinya."
"Mbah Petir dari pada bicara tak karuan lebih
baik Mbah junjung saja pendupaan itu. Beberapa hari
yang lalu kulihat kalau Mbah berada dekat pendupaan
pendengaran Mbah jadi normal. Dari pada aku harus
teriak melulu, lama-lama capek aku!" kata si gadis kesal. Tanpa menunggu jawaban
Mbah Petir, Roro
Centil langsung angkat pendupaan berisi bara menyala
dan segera meletakkannya diatas kepala Mbah Petir.
Orang tua yang sering merasa ketakutan bila menden-
gar suara petir sejenak lamanya nampak kebingungan.
Tapi kenyataan yang terjadi kemudian memang aneh.
Karena begitu pendupaan menyala itu diletakkan di
atas kepala Mbah Petir telinga orang tua ini jadi terang dan pendengarannya jadi
normal kembali.
"Walah kulit kepalaku rasanya seperti hangus
terbakar, Roro. Tapi aneh pendengaranku jadi tajam
kembali." "Biar kepalamu hangus melepuh tidak mengapa
yang penting kau bisa mendengar suaraku. Dengan
begitu aku tidak teriak melulu bila bicara denganmu!"
kata si gadis. Mbah Petir tersenyum. "Sekarang apa yang
akan kita lakukan?" Mbah Petir ajukan pertanyaan sambil menyandarkan punggungnya
di batang pohon,
sementara asap tebal mengepul dari atas pendupaan
yang berada di atas kepalanya.
"Mbah ini bagaimana" Engkau yang menjadi
penunjuk jalan. Kau yang menentukan arah langkah.
Mengapa sekarang harus bertanya padaku" Kalau be-
gitu percuma saja kau dipanggil Dukun Sakti!" gerutu si gadis.
Mbah Petir yang pendengarannya jadi normal
akibat pengaruh pendupaan yang diletakkan diatas
kepala enak saja menyahut. "Yang mengatakan aku ini dukun sakti kan orang-orang
gila yang berobat kepadaku. Aku sendiri tidak sakti-sakti amat."
"Baiklah, kalau begitu sekarang kau kerahkan
kesaktianmu untuk melihat dimana sebenarnya nenek
Muka Setan itu berada!"
Mbah Petir manggut-manggut. Dia pejamkan
kedua matanya, dua tangan disilangkan ke depan da-
da. Kumisnya yang tebal bergerak, mulut komat-kamit
membaca mantra. Tak berselang lama terdengar suara
Mbah petir yang seperti orang mengigau. "Wes suwi ora mangan pete. Sudah lama
nggak makan pete. Tidak
juga tempe apalagi dele, Heee... wewe, genderuwo,
memedi, jembalang. Aku Mbah Petir ingin melihat se-
suatu yang tersembunyi di balik kasatnya mata raha-
sia dari orang yang kucari dimana kini gerangan ber-
sembunyi!" kata si kakek. Roro Centil yang sangat percaya dengan kemampuan si
kakek dalam dunia perdu-
kunan memperhatikan segala ucapan bahkan sampai
pada gerak gerik orang tua itu.
Di depannya sana tubuh Mbah Petir tiba-tiba
bergetar, seiring dengan itu pula pohon yang dijadikan tempat bersandar
berguncang keras. Setelah itu terdengar suara kentut si kakek bertalu-talu.
Kalang ka- but Roro Centil melompat menjauh hindari berondon-
gan kentut Mbah Petir yang menebar bau pete me-
nyengat. "Sialan... sialan. Tidak biasanya si Mbah sam-
pai terkentut-kentut bila memusatkan perhatian dan
menyambung tali rasa dengan dunia gaib. Tapi kali ini agaknya ada sesuatu yang
hebat dilihat orang tua ini!"
sambil mendekap hidungnya si gadis berkata.
Pada kesempatan itu Mbah Petir berucap. "Aku
melihat seorang pemuda gondrong, bertelanjang da-
da...!" Roro Centil yang mengenal orang yang disebutkan langsung memotong ucapan
si kakek. "Mbah, kau keliru melihat. Orang yang baru kau sebutkan itu
adalah Pendekar Sakti Gento Guyon. Aku mengenal-
nya, dia sama sekali bukan orang jahat." menerangkan si gadis. Dalam kesempatan
itu Roro Centil jadi teringat pada gadis yang bersama Gento. Sehingga secara
iseng namun hati berdebar dia ajukan pertanyaan.
"Mbah, apakah si gondrong bersama-sama seorang gadis cantik?"
Mulut si kakek komat-kamit lagi, masih dengan
mata terpejam dia menjawab. "Kalau gadis yang kau maksudkan itu berkumis,
berjengggot tebal berpakaian
kuning-kuning penuh tambalan dan berambut klimis.
Gadis itu saat ini bersama si gondrong menuju ke sua-
tu tempat!"
Roro Centil berjingkrak kaget, matanya membu-
lat besar, mulut ternganga wajah merah padam. "Mbah kau melantur. Mana ada
perempuan berjenggot dan
berkumis. Hanya satu manusia di rimba persilatan ini
dengan ciri-ciri sebagaimana yang kau sebutkan. Dia
adalah Raja Pengemis! Sudahlah Mbah jangan melan-
tur seperti itu. Sekarang coba cari dimana bersembu-
nyinya Si Muka Setan?"
Si kakek diam tak menjawab, kembali dia ke-
rahkan segala kekuatan yang dia miliki, hingga pen-
dupaan diatas kepalanya bergetar hebat, sedangkan
bara api yang berada didalam pendupaan nampak me-
nyala berkobar, membuat si kakek golang golengkan
kepalanya yang kepanasan. "Roro, aku hanya melihat telaga tak jauh dari sini.
Aku juga melihat mayat seseorang. Aku melihat bayangan orang berlari, tapi tak
dapat kuketahui laki-laki atau perempuan. Ada satu
kekuatan yang melindungi dirinya hingga aku tak da-
pat meneliti siapa bayangan itu. "jelas si kakek.
"Ada telaga tak jauh dari sini, tapi ada mayat
pula. Kemudian ada orang berlari" Apakah ketiga hal
yang disebutkan Mbah Petir ada hubungannya satu
sama lain" Aneh, mayat itu mayat siapa. Mengapa
muncul dalam pandangan mata batin orang tua ini" fikir Roro Centil. Merasa
bingung gadis ini gelengkan
kepala. Baru saja Roro Centil hendak ajukan perta-
nyaan. Mendadak sontak kesunyian ditempat itu dipe-
cahkan oleh suara gelak tawa seseorang.
Mbah Petir yang sedang memusatkan perhatian
dalam tali sambung rasa dengan dunia gaib jadi terke-
jut. Konsentrasinya buyar, sedangkan semua apa yang
dilihatnya lenyap dalam seketika.
"Pokrol, siapa itu yang tertawa"!" bentak Mbah Petir yang sempat terkencing dan
terkentut-kentut
mendengar suara tawa orang.
"Bukan aku Mbah. Mungkin setan kobakan
yang tertawa!" sahut Roro Centil sambil palingkan wajah memandang ke arah mana
suara tawa tadi terden-
gar. Belum lagi lenyap rasa heran dihati si gadis, dari arah sebelah kanannya
dia melihat satu bayangan biru
berkelebat ke arahnya. Di lain kejab di depannya ber-
diri tegak seorang gadis berjubah biru berdandan me-
nor. Gadis ini dengan malu-malu sambil terus tertawa
tutupi wajahnya dengan ujung jubah yang menjuntai
di bagian dada.
"Jubah biru, muka celemongan tak karuan.
Memandangku dengan malu-malu. Agaknya gadis ini
manusia yang tidak mempunyai kewarasan." memba-
tin Roro Centil dalam hati. Sebaliknya Mbah Petir yang dibuat marah mendengar
suara tawa gadis jubah biru
ini ketika membuka mata dan memandang ke depan
jadi melengak kaget. Dia rasa-rasa kenal dengan gadis berjubah biru. Dicobanya
untuk mengingat, sayang
otaknya seperti buntu.
"Hik hik hik. Mbah Pete.... Mbah Pete..." Mujur
sekali aku dapat bertemu dengan dirimu hari ini,
Mbah." kata si gadis yang bukan lain adalah Puteri pemalu, gadis sakit ingatan
murid Si Muka Setan. Sejenak Puteri Pemalu memandang ke arah si kakek, lalu
beralih pada gadis yang berada di depan kakek itu.
Mulut usilnya berucap. "Mbah Pete... gadis ini apamu-kah" Pembantu, istri atau
kekasihmu" Hik hik hik!"
Dikatakan istri Mbah Petir, Roro Centil jadi me-
radang. Dengan sengit Roro Centil membentak. "Gadis gila! Melihat tampangmu
membuat aku jadi muak. Pertama kau begitu kurang ajar memanggil sahabatku ini
dengan Mbah Pete. Kedua beraninya kau mengatakan
aku ini istri sahabatku! Siapakah dirimu ini gadis gi-la?"
Puteri Pemalu tertawa panjang. Ucapan Roro
Centil sama sekali tidak membuatnya menjadi marah.
Malah dengan tenang dia menyahuti. "Kalau kau tidak merasa jadi istrinya mengapa
harus, marah. Aku memanggil orang tua penjunjung dupa itu dengan panggi-
lan Mbah Pete karena memang betul dia paling doyan
makan pete. Begitu keranjingannya dia akan pete
sampai keringat bau pete, mulut bau pete bahkan
sampai kentutnyapun bau pete. Hik hik hik. Bukankah
begitu Mbah?"
Bukannya marah Mbah Petir malah ikutan ter-
tawa, membuat Roro Centil jadi heran sambil meman-
dang pada Mbah Petir dengan mata mendelik. Masih
dengan tertawa si kakek terus berusaha mengingat.
Mbah Petir kemudian tepuk keningnya sendiri. Pada
Roro Centil dia berbisik. "Tak usah diambil hati, aku ingat siapa dia. Gadis ini
manusia sinting. Kalau lagi waras bicaranya bisa lempang, tapi kalau gilanya
lagi angot bicaranya suka melantur." selesai bicara begitu pada Roro Centil dia
kemudian beralih pada gadis berjubah biru. Pada gadis ini dia mendamprat.
"Kau... hem, beberapa tahun yang lalu kau pernah mengerjai
aku. Waktu itu aku sedang mandi di sungai. Begitu se-
lesai celana dan pakaianku raib, bukan itu saja. Cela-na kolorku bahkan amblas!
Gadis gila sialan.... kau...!"
Mbah Petir tidak meneruskan ucapannya. Mungkin dia
malu besar, buktinya wajah si kakek bersemu merah.
Puteri Pemalu kembali tergelak. "Biar aku yang
lanjutkan ceritanya itu Mbah Pete," kata si jubah biru sambil melirik ke arah
Roro Centil. "Kemudian Mbah, kau melihat bajumu melayang dari atas pohon,
setelah itu celana panjang dan juga celana kolormu yang bau.
Bau pete. Aku juga masih ingat Mbah. Waktu itu kau
tak berani keluar dari dalam sungai. Kau berendam
didalam air, sampai kulit dan perabotanmu jadi keri-
put kedinginan. Kau jadi tak tahan. Sungai kau ken-
cingi, kentutmu meledak seperti bunyi petasan. Keeso-
kan harinya di bagian hilir sungai kulihat ikan-ikan
mati terkapar. Ikan-ikan itu mati karena air kencing
dan kentutmu yang bau. Aku sempat memeriksa air
sungai itu. Tanganku yang kumasukkan ke dalam air
sungai, baunya tujuh hari tak mau hilang Mbah.
Sungguh luar biasa, kentut dan kencingmu ternyata
sangat beracun! Hik hik hik."
Merasa ditelanjangi di depan Roro Centil, wajah
Mbah Petir memang sempat memerah, tapi dia kemu-
dian malah tertawa tergelak-gelak. Sambil terkekeh
mulutnya menyeletuk. "Mengapa tidak kau minum saja air sungai itu sekalian.
Kalau kau lakukan aku yakin kau juga ikut mabok kebauan pete. Tapi kurasa memang
itu satu-satunya obat untuk menyembuhkan
penyakit gilamu. Ha ha ha!"
4 Puteri Pemalu tertawa mengikik mendengar
ucapan Mbah Petir. Malu-malu si gadis turunkan
ujung jubah lebarnya yang dipergunakan untuk menu-
tupi bagian wajah, lalu berucap. "Mbah Pete sebenarnya aku tidak gila. Orang
saja yang mengatakan aku
ini orang gila, padahal aku cuma sinting sedikit. Hik hik hik!"
"Aku tidak akan heran, orang yang gilanya me-
lebihi takaran memang suka begitu. Mengaku diri pal-
ing waras dan paling benar." ucap Roro Centil disertai senyum mengejek.
Puteri Pemalu pandangi Roro Centil sekilas. Se-
telah itu kembali beralih pada Mbah Petir sambil aju-
kan pertanyaan. "Mbah, temanmu itu usil dan ceriwis-nya seperti dukun beranak.
Apakah dia memang du-
kun benaran atau cuma gadungan" Sumpah klenger
jika aku melahirkan kelak tidak mau memanggil dia.
Bisa jadi karena keceriwisannya anak-anak yang mau
keluar masuk lagi ke dalam perut. Hik hik hik!"
Mbah Petir tidak menjawab, tapi ikutan terta-
wa. Roro Centil langsung menyambuti ucapan Puteri
Pemalu. "Gadis jelek, kau bicara soal beranak segala.
Bunting tidak, hamil tidak. Lagipula siapa yang sudi
menjadi suamimu. Dandanan medok, muka celemon-
gan. Setan pun tak kan sudi hidup denganmu!" kata Roro Centil ketus.
Tawa Puteri Pemalu mendadak lenyap, wajah
gadis itu berubah merah padam. Bola matanya berpu-
tar liar memandang Roro Centil dengan penuh keben-
cian dan amarah.
"Celaka! Dia mau mengamuk, Roro. Kau sih bi-
cara seenakmu sendiri?" sesal si kakek.
"Kalau dia mau marah siapa takutkan dia" Se-
sekali gadis gila ini harus diberi pelajaran agar tidak bicara seenaknya!"
dengus si gadis. Mbah Petir gelengkan kepala. "Kau sahabatku, dia juga masih
terhitung teman sendiri." sahut Mbah Petir bingung.
Roro Centil tersenyum sinis. "Rupanya Mbah
sudah ketularan penyakit edannya. Sudah terang dia
mempermalukan dirimu dengan menyembunyikan pa-
kaian disaat dirimu sedang mandi, kau kok malah
mengakuinya sebagai teman. Jika benar seorang te-
man dia tak akan menyusahkan dirimu apalagi mem-
buatmu malu besar!"
Mbah Petir seperti orang linglung anggukkan
kepala. "Kau benar, seorang sahabat pasti tidak
mungkin tega membuat malu temannya. Lalu apa yang
harus kita lakukan?"
"Tenang saja Mbah disitu. Gadis ini biar aku
yang mengurus!" jawab Roro Centil sambil berlaku waspada.
Di depan sana gadis sakit ingatan agaknya siap
menghantam Roro Centil dengan salah satu pukulan
tangan kosong. Tapi entah mengapa tangan kanan
yang sudah diangkat diatas kepala itu perlahan-lahan
diturunkannya kembali. Seperti orang yang baru ingat
akan sesuatu cepat sekali dia berpaling pada Mbah Pe-
tir. "Biar, urusanku dengan gadis centil ini kutun-


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da dulu." kata si gadis. Dia memandang lurus pada kakek didepannya. "Mbah
Pete.... sekarang aku baru
ingat. Sebenarnya perjalananku kali ini selain mencari seseorang juga ingin
menemui dirimu."
Merasa heran, Mbah Petir ajukan pertanyaan.
"Menemui diriku" Untuk maksud dan tujuan apakah?"
"Mungkin dia hendak mengajakmu pergi pelesi-
ran, Mbah. Siapa tahu kau merupakan laki-laki ida-
man baginya. Bukankah sampai sekarang Mbah masih
bujangan, masih perjaka" Memang kulihat dirimu ma-
sih gagah, wajah tampan." puji Roro Centil perlahan.
Mbah Petir sempat merasa senang mendengar pujian
itu. Laki-laki mana yang tidak senang mendapat
pujian" Apalagi yang memujinya adalah seorang gadis
cantik. "Tapi Mbah.. ketampananmu itu baru bisa dilihat dimalam buta dan oleh
perempuan buta pula, na-
mun menurutku lebih baik kau banyak mendekatkan
diri pada Gusti Allah. Karena dalam taksiranku
umurmu paling juga hanya sampai pada beduk magrib
nanti! Hi hi hi!"
Mbah Petir yang tadinya merasa berbunga-
bunga mendapat pujian kini berubah cemberut, men-
damprat. "Kau memang gadis sialan!"
Si kakek kini sambil mesem-mesem meman-
dang ke arah Puteri Pemalu. "Katakan apa kepentin-ganmu?" Mbah Petir ulangi
pertanyaannya. "Mbah Pete, terus terang aku mau minta tolong
padamu untuk menyembuhkan guruku, kakak Muka
Setan dari kegilaan!"
"Hah...!" Mbah Petir berseru kaget.
"Si Muka Setan masih hidup"!" tanya Roro Centil tercekat. "Gadis gila kau jangan
bercanda!"
"Kau yang gila!" Puteri Pemalu balas memaki.
"Guruku Si Muka Setan memang masih hidup. Hanya
sekarang ini dia dalam keadaan terganggu ingatan.
Menurut pengakuannya kepala kakakku itu terbentur
batu ketika bentrok dengan seorang pemuda bergelar
Pendekar Sakti Gento Guyon. Saat ini aku sedang da-
lam perjalanan mencari pemuda itu. Aku akan menye-
ret pemuda itu untuk mendapat hukuman atas dosa
yang dilakukannya!"
Segala yang diucapkan Puteri Pemalu ini tentu
mengejutkan bagi Roro Centil. Baru saja beberapa
waktu yang lalu dia dan Gento berada di Kiara Con-
dong suatu tempat yang dijadikan pertemuan para
pendekar. Tapi ketika mereka sampai disana, mereka
hanya menjumpai mayat-mayat yang berkaparan.
Bahkan di salah satu ruangan rahasia para pendekar
juga beberapa tokoh penting tewas diracun dan ada
pula yang tewas terkena pukulan Telapak Beracun.
"Bagaimana gadis sakit ingatan ini mengaku
gurunya masih hidup, bahkan berani melempar fitnah
keji Gento yang telah menciderai Si Muka Setan?"
"Gadis gila Puteri Pemalu. Agaknya penyakit gi-
lamu semakin bertambah parah. Aku sendiri telah me-
lihat pusara nenek Muka Setan di Kiara Condong. Ba-
gaimana sekarang kau mengatakan nenek itu masih
hidup?" "Hik hik hik. Gadis gendeng... aku bicara yang sebenarnya. Beberapa hari
yang lalu aku bertemu dengan kakak Muka Setan. Dia berada di dalam Telaga
Tengkorak Hantu, tinggal disana dan baru saja meno-
dai seorang gadis. Hal yang tak mungkin dilakukannya
jika otaknya waras!" sahut Puteri Pemalu sengit.
Bukan hanya Roro Centil saja yang dibuat ter-
perangah, Mbah Petir pun tak kalah kagetnya. Roro
Centil jadi ingat waktu Mbah Petir mengadakan sam-
bung rasa dengan dunia gaib, dia mengatakan melihat
sebuah telaga. Dia juga mengaku melihat ada satu
bayangan berkelebat, tak dapat dipastikan siapa
bayangan itu adanya. Yang jelas siapapun orang itu
pasti dia memiliki ilmu yang sangat tinggi yang sang-
gup menangkal pandangan gaib Mbah Petir.
"Mbah, bagaimana pendapatmu tentang uca-
pannya tadi?" tanya Roro Centil melalui ilmu mengi-rimkan suara.
"Namanya juga orang gila, mengapa harus di-
percaya" Tapi kurasa dia tidak berdusta dalam hal ini."
jawab Mbah Petir.
"Maksudmu dia telah bertemu dengan Muka
Setan?" "Benar. Tapi Si Muka Setan yang palsu, atau orang yang sengaja menyaru
sebagai Muka Setan untuk suatu tujuan dan kepentingan tertentu."
"Apa yang kalian bicarakan" Nampaknya kalian
tak percaya bahwa aku benar-benar telah bertemu
dengan guruku?" tanya Puteri Pemalu merasa tidak enak hati.
Mbah Petir menyahuti. "Kami tentu saja per-
caya. Kau mengatakan Muka Setan telah berbuat keji
pada seorang gadis?"
"Benar. Itu karena otaknya sakit." jawab Puteri Pemalu.
"Orang yang sama. Dia juga hampir menodai
Sriwidari. Berarti siapa pun adanya Si Muka Setan
yang ditemui gadis itu, pastilah dia orangnya yang telah membunuh para tokoh di
tempat pertemuan itu
bersama Perampas Benak Kepala!" fikir Roro Centil.
"Kalau Mbah Pete percaya. Sebaiknya Mbah ce-
pat pergi ke Telaga Tengkorak Hantu. Aku mohon kau
mau menolongnya. Bantulah dia, sembuhkan otaknya
yang sakit, hingga dia mendapatkan kewarasannya
kembali!" berkata Puteri Pemalu penuh rasa hormat.
"Kau sendiri hendak kemana?" tanya Mbah Pe-
tir. "Hik hik hik. Aku tentu saja mau mencari pe-
muda gondrong bernama Gento yang telah menciderai
guruku!" sahut si gadis. Dengan malu-malu dia melanjutkan ucapannya, "Selain itu
tentu saja aku akan mencari kekasihku."
Sambil tersenyum simpul Roro Centil bertanya.
"Siapa kekasihmu itu" Aku tak percaya kau punya kekasih!" Penuh semangat gadis
sakit ingatan ini menjawab. "Kekasihku ciri-cirinya sama dengan Gento
Guyon. Namanya Bagus Awan Peteng... aih malu aku
telah membuka rahasiaku sendiri. Hik hik hik!"
Roro Centil kerutkan keningnya. Belum lagi dia
sempat ajukan pertanyaan Puteri Pemalu telah berke-
lebat pergi tinggalkan tempat itu.
Kedua orang ini saling pandang.
"Mbah, menurutmu apakah ada orang dengan
nama seperti itu?"
Mbah Petir tersenyum. "Bagus Awan Peteng...
Bagus Awan Peteng." Si kakek menyebut nama itu be-rulang kali. Tiba-tiba dia
tepuk keningnya sambil tertawa tergelak-gelak. "Dia kena tepu, dia telah di
tepu. Maksudku dia telah ditipu oleh pemuda yang dite-
muinya." "Maksudmu Mbah?" tanya si gadis tak menger-
ti. "Mana ada orang dengan nama seperti itu. Ba-
gus Awan Peteng bukankah artinya sama dengan Ba-
gus Siang Malam. Dasar gadis gila, bukan mustahil
pemuda itu adalah Gento Guyon sahabatmu,"
"Jadi... jadi pemuda edan itu kekasihnya gadis
gila tadi?" desis Roro Centil. Mbah Petir menangkap adanya rasa cemburu dalam
nada suara si gadis, hingga sambil tersenyum dia berucap. "Bisa jadi karena
sahabatmu Gento mengetahui dia gadis gila, sehingga
Gento memalsukan namanya. Wah urusan bisa ru-
nyam jika mereka bertemu nanti. Ha ha ha!"
Kata-kata yang diucapkan Mbah Petir paling ti-
dak menyejukkan perasaan si gadis.
"Mbah, sebaiknya sekarang kita langsung saja
menuju telaga itu. Aku ingin cepat mengetahui sekali-
gus meringkus Si Muka Setan. Jika sudah tertangkap
nanti baru bisa ketahui sebenarnya dia perempuan
atau laki-laki yang menyembunyikan jati dirinya diba-
lik penyamaran!"
Mbah Petir cepat memotong ucapan si gadis.
"Tidak perlu gegabah, Roro. Kau harus ingat sudah dua kali aku mencoba untuk
mengetahui siapa adanya
orang yang bersembunyi dibalik penyamaran dalam
rupa Si Muka Setan. Dua kali pula aku mengalami ke-
gagalan. Jika ilmunya tidak tinggi sekali, hal itu tak mungkin bisa
dilakukannya. Selain itu kita juga harus ingat, menurutmu apakah mungkin manusia
dapat hidup dan tinggal didasar telaga sebagai mana yang di-
katakan oleh Puteri Pemalu tadi?"
"Mungkin gadis gila itu bicara ngawur, Mbah
Petir?" "Terkadang dia memang begitu. Tapi apa yang dikatakannya tadi sama
sekali bukan ngawur. Dia bicara tentang sebuah kebenaran." ujar Mbah Petir.
Kemudian tanpa menunggu tanggapan gadis didepannya
si kakek melanjutkan. "Dia beruntung, nenek Muka Setan tidak membunuh atau
menodainya. Dia cuma
diperalat untuk melakukan suatu tugas....!"
"Mengingat gadis tadi disuruh menangkap Gen-
to Guyon. Apakah mungkin nenek itu mempunyai sua-
tu dendam pada Gento?"
"Masih belum dapat kupastikan. Hanya dengan
membongkar kedok penyamarannya baru bisa kita ke-
tahui siapa dirinya" Boleh jadi dia memang musuh be-
buyutan Gento Guyon. Buktinya dia berani memfitnah
pemuda gendeng itu sebagai orang yang telah melu-
kainya. Sehingga Puteri Pemalu mau saja disuruh
mengerjakan perintahnya!" ujar si kakek.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan,
Mbah?" tanya Roro Centil.
"Tidak ada pilihan lain. Kita memang harus ke
telaga itu secepatnya. Seperti yang kukatakan tadi, ki-ta harus berlaku
waspada." pesan si kakek. Roro Centil anggukkan kepala. Dia kemudian mengikuti
Mbah Petir yang sudah berjalan didepannya.
5 Si gondrong bertelanjang dada itu berdiri tegak
di depan gundukan tanah yang masih memerah. Tak
jauh di sampingnya persis di bagian kepala makam
seorang laki-laki setengah baya berambut panjang hi-
tam berpakaian serba kuning diwarnai tambalan du-
duk bersimpuh sambil mengguratkan nama orang
yang dikubur dengan menggunakan kuku jarinya. Ba-
tu besar yang telah diberi nama lalu diletakkan diatas kepala makam.
Masih dengan tanpa kata si orang tua beram-
but klimis diam disitu. Si gondrong menarik nafas
pendek. Sepasang matanya yang terasa hangat berke-
dap-kedip. Dua air mata bergulir, jatuh melewati pi-
pinya. Mulutnya bergetar, kemudian terdengar sua-
ranya yang parau. "Sriwidari. Kau telah mengorbankan nyawamu hanya untuk
membantuku. Perampas Benak
Kepala telah ku bunuh untuk menebus dosa-dosanya.
Aku yakin segalanya masih belum berakhir. Masih ada
orang yang bersembunyi dibalik serangkaian misteri
yang disuguhkannya padaku. Tetapi.... kau tak usah
khawatir, aku akan terus mencari siapa sebenarnya
pelaku dari serangkaian peristiwa keji ini. Nenek Muka Setan!" desis si gondrong
yang bukan lain adalah Pendekar Sakti Gento Guyon. "Muka Setan kurasa pe-
nampilan dan kedoknya hanya palsu belaka. Aku tahu
persis Si Muka Setan telah mati. Aku melihat pusa-
ranya di Kiara Condong!" geram sang pendekar sambil kepalkan dua tinjunya.
Seperti telah dituturkan dalam episode sebe-
lumnya. Pendekar Sakti Gento Guyon terlibat perkela-
hian sengit dengan tokoh penyedot otak yang dikenal
dengan sebutan Perampas Benak Kepala. Tokoh hitam
itu untuk mengecoh Gento menyerang Sriwidari dan
Raja Pengemis yang saat itu berada di belakang Gento
dengan sinar biru yang memancar dari kepalanya. Se-
bagaimana telah diketahui sinar maut yang keluar dari kepala Perampas Benak
Kepala sangat berbahaya sekali. Karena selain sanggup menjebol batok kepala ju-
ga dapat memindahkan otak orang kedalam kepalanya
hanya dalam waktu yang sangat singkat. Gento sendiri
tak sempat menyelamatkan Sriwidari, karena pada
saat itu dirinya juga mendapat serangan enam sinar
maut. Jika Raja Pengemis lolos dari maut akibat cer-
min sakti batu segitiga di tangan, sebaliknya Sriwidari mengalami nasib malang.
Pedang yang dipergunakan untuk menangkis
hantaman sinar biru jadi leleh. Sinar maut itu kemu-
dian menghantam bagian atas ubun-ubunnya. Gadis
itu terkapar dengan luka mengerikan di bagian kepala.
Gento sendiri akhirnya dengan menggunakan
kalung Batu Raja Langit. Yaitu batu sakti pemberian
Manusia Seribu Tahun berhasil menghantam titik ke-
lemahan Perampas Benak Kepala. Hingga dari kepala
lawannya yang terluka menyembur cairan otak yang
bukan kepalang banyaknya.
"Gento, kesedihan dan kemarahan tidak pernah
menyelesaikan satu persoalan apapun yang kau hada-
pi. Agaknya gadis ini mempunyai kesan tersendiri di
hatimu." Satu suara seakan mengingatkan Gento bah-wa hidup manusia didunia ini
sesungguhnya adalah
fana adanya. Dan orang yang baru bicara tadi bukan
lain adalah laki-laki berbaju kuning Raja Pengemis
Tangan Akherat.
"Kau benar paman, kesanku kepadanya semata
dalam pandanganku Sriwidari adalah gadis yang baik.
Rasanya tidak pantas baginya untuk mati muda!" sahut Gento sambil duduk dan
menyandarkan pung-
gungnya di sebatang pohon yang terletak tidak begitu
jauh dari pusara.
"Ingat Gento, bagi seorang pendekar seperti di-
rimu rasanya tidak patut pula bagiku untuk mengata-
kan bahwa sesungguhnya umur manusia, rejeki jodoh
dan maut sudah ditetapkan oleh Gusti Allah. Tidak
bersyukur dan tidak mau menerima kenyataan yang
telah digariskan sang takdir. Bukankah sama artinya
dengan menentang kehendak Gusti Allah"!"
"Ya, aku tahu hal itu paman. Aku bukannya
menyesali apa yang telah terjadi. Tapi jika saja Sriwidari tidak bersamaku saat
itu, mungkin dia tidak akan mengalami kejadian menggenaskan seperti ini!"
"Kau tidak boleh menyesali dirimu sendiri.
Seandainya aku juga terbunuh di tangan Perampas
Benak Kepala. Apakan kau juga akan menyalahkan di-


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rimu lagi?" Gento gelengkan kepala.
"Tentu saja tidak paman. Pertama kau sudah
berada ditempat itu sebelum aku dan Sriwidari datang.
Malah kulihat kau kalang kabut, jika kemudian aku
datang membantu anggap saja ini satu keberuntungan
bagimu. Tapi seandainya yang terjadi lain. Misalnya
kau terbunuh waktu itu, paling aku cuma meman-
jatkan doa. Untuk keselamatan diriku!"
"Dan kau pasti tidak mau berdoa untukku bu-
kan?" kata Raja Pengemis sambil delikkan matanya.
Murid kakek gendut Gentong Ketawa ini tertawa men-
gekeh. "Tentu saja aku mau. Cuma aku pasti bingung dan malaikat pengantar doa
juga ikut bingung, kemana dia akan mengantarkan doaku itu. Ke surga atau
neraka" Melihat potongan dan tongkronganmu, aku ti-
dak yakin kau bisa masuk surga. Paling tidak kau ha-
rus dimandikan dengan api dulu di neraka jahanam.
Ha ha ha!"
"Pemuda edan kurang ajar. Apa kau mengira
dirimu bisa masuk sorga heh!" dengus Raja Pengemis.
Tawa Gento semakin bertambah keras menga-
kak. "Kalau paman bertanya tentang diriku, jelas aku ragu menjawabnya. Sebab
yang ku tahu kakek
moyangku tidak meninggalkan warisan di sana. Biar
diemperannya sekalipun mungkin tidak bisa. Kesala-
hanku banyak, dosaku juga menumpuk. Bagaimana
orang banyak dosa bisa masuk sorga. Jadi kurang le-
bih bisa mencium bau sorganya saja aku sudah se-
nang sekali. Ha ha ha!"
"Dasar sialan." damprat Raja Pengemis. Walau dia bicara begitu, namun diam-diam
dia merasa senang bersahabat dengan Gento. Di matanya Gento se-
lain konyol, agak urakan tapi dia adalah pemuda jujur dan polos disamping juga
suka bicara apa adanya.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" bertanya Raja Pengemis setelah berdiam
diri sejenak la-
manya. "Paman adalah seorang raja, walau cuma Raja Pengemis. Bagaimana jika
paman mengajari aku tentang bagaimana cara mengemis yang paling baik?" Ra-ja
Pengemis mendelik. "Dalam keadaan seperti ini masihkah kau mau berlaku kurang
ajar?" "Hemm...!" Gento menggumam kemudian me-
nyeka wajahnya. Setelah itu baru berucap. "Kita memang harus mencari tahu dimana
beradanya Si Muka
Setan. Aku yakin Muka Setan yang sebenarnya me-
mang telah tiada. Jadi sekarang yang gentayangan
adalah nenek Muka Setan yang palsu. Atau orang yang
berkedok sebagai nenek Muka Setan?"
"Bisa jadi dia ibu moyangnya Si Muka Setan."
sahut Raja Pengemis.
Gento gelengkan kepala.
"Aku jadi ingat dengan seseorang. Manusia se-
gala keji sekaligus musuh besarku. Namanya Panji
Anom Penggetar Jagad murid kakek sialan Begawan
Panji Kwalat!" berkata sang pendekar dengan suara perlahan.
Raja Pengemis terlonjak kaget mendengar nama
yang disebutkan Gento. Dengan mata terbelalak lebar
dia bertanya. "Panji Anom, nama itu pernah kudengar.
Jadi dia murid Begawan Panji Kwalat" Begawan edan
yang tinggal di hutan Banyubiru?"
"Benar paman."
"Manusia yang satu itu bukan saja sangat ber-
bahaya karena memiliki ilmu Sabda Alam. Dengan il-
munya itu orang dapat dibunuhnya hanya dengan me-
lalui ucapan. Disamping itu dia juga mempunyai ilmu
kesaktian yang lain. Konon kudengar lagi, mungkin dia sudah mati! Seandainya dia masih hidup dimasa depan kau akan mengalami berbagai macam rintangan
Gento. Sebab jika mereka berdua telah bersatu, apalagi jika mereka menggabungkan
ilmu kemudian diturunkannya pada muridnya aku tak dapat membayangkan
betapa besar malapetaka yang harus kau singkirkan."
"Panji Anom sendiri sebenarnya orang yang
berbahaya. Bukan hanya ilmu kepandaiannya saja
yang tinggi. Disamping itu Panji Anom sangat licik,
memiliki berbagai muslihat juga segudang kekejian
lainnya" kata Gento. Dia kejadian menceritakan perte-muannya dengan Panji Anom
hingga pemuda itu ak-
hirnya terkena hantaman senjata Bintang Penebar
Bencana. Untuk lebih jelasnya (silahkan anda ikuti episode Bidadari Biru).
"Aneh, walaupun waktu itu dia terluka parah.
Namun beberapa waktu yang lalu dia muncul di se-
buah telaga. Panji Anom melukai Sepasang Dewa Ber-
wajah Ganda. Beruntung dua manusia cacat itu mem-
punyai ilmu bernafas dalam air. Kalau tidak mungkin
mereka sudah tewas!" kata Gento.
Raja Pengemis merasa terkesan mendengar pe-
nuturan Gento, juga merasa kagum dengan ilmu ke-
pandaian serta kesaktian yang dimilikinya. Masih pe-
nasaran Raja Pengemis ajukan pertanyaan. "Setelah kejadian di telaga itu, apakah
kau mendengar sepak
terjangnya selanjutnya?"
"Itulah yang membuat aku heran. Setelah keja-
dian itu aku tak pernah mendengar kabar beritanya.
Justeru yang sering muncul adalah Si Muka Setan.
Padahal nenek tua itu sesungguhnya telah berkubur di
Kiara Condong." kata Gento lagi.
Raja Pengemis terdiam sejenak, otaknya berfi-
kir. "Kau telah mengutus si picak dan si kaki buntung.
Menurut pengakuanmu kedua orang itu saat ini se-
dang menuju ke Kiara Condong untuk membongkar
pusara Si Muka Setan. Hanya dengan melihat mayat-
nya baru kita dapat memastikan Si Muka Setankah
yang terkubur disana atau orang lain."
"Kau benar, paman. Tapi mereka sampai seka-
rang tidak kembali menemuiku. Sampai disini aku ber-
fikir bukan mustahil telah terjadi sesuatu yang tak di-inginkan pada mereka?"
"Maksudmu?"
"Mengingat yang kuhadapi sekarang ini adalah
merupakan persoalan besar, aku jadi takut mereka
malah terbunuh di tengah jalan!" ujar murid si gendut Gentong Ketawa.
"Sudahlah, jangan terlalu kau risaukan. Jika
mereka terbunuh, anggap saja semua ini terjadi atas
kehendak takdir." tenang saja Raja Pengemis menimpali. Gento gelengkan kepala.
"Kau ini manusia aneh paman. Terlalu menggampangkan nyawa orang dan
terlalu menganggap remeh persoalan."
"Ha ha ha. Kau pemuda edan, tapi terkadang
penuh keperdulian. Aku ingin bertanya apakah kau
pernah bertemu dengan manusia pitak?" tanya Raja Pengemis masih dengan tertawa-
tawa. Kedua alis mata Gento terangkat naik, berkerut
lalu gelengkan kepala. "Aku tidak pernah bertemu atau mengenal Manusia Pitak.
Mendengar namanya saja ba-ru kali ini. Apakah dia bangsanya manusia atau turu-
nan memedi?" tanya Gento.
"Dia masih turunan manusia, wataknya aneh.
Kelak jika bertemu dengan orang itu kau akan menda-
pat pelajaran baru bagaimana caranya dia menghadapi
hidup ini!"
"Kalau begitu sebaiknya sekarang kita lan-
jutkan perjalanan sambil menyirap kabar apakah sa-
habatku Roro Centil telah kembali dari menemui Mbah
dukun atau malah berguru pada dukun itu."
"Eh, sahabatku. Ternyata kau begitu banyak
memiliki teman wanita. Apakah temanmu yang satu ini
hanya sekedar teman atau kekasih?" tanya Raja Pengemis lalu kedipkan sebelah
matanya. "Orang tua apa maksudmu?" tanya Gento jadi
salah tingkah. "Nah-nah, kulihat sudah. Gadis yang kau se-
butkan pasti bukan hanya sekedar teman, dia pasti
kekasihmu."
"Bagaimana kau bisa berangggapan begitu?"
"Kulihat wajahmu merah, matamu jadi mengke-
lerep dan begitu bersemangat. Ha ha ha."
"Ha ha ha. Paman bisa saja. Terus terang
orangnya cantik, sayang ceriwis. Aku suka berteman
padanya dia juga begitu. Sedangkan untuk urusan cin-
ta sebaiknya kuserahkan saja pada Mbah Dukun. Ha
ha ha!" sahut Gento seenaknya.
"Bagaimana jika Mbah Dukunnya malah jatuh
cinta pada Roro Centil?" tanya Raja Pengemis disela-sela tawanya.
"Gampang saja. Aku yang jadi juru nikahnya,
kau menjadi saksinya. Roro Centil pasti akan kuka-
winkan melawan dukun itu. Ha ha ha!"
Kedua orang ini sejenak larut dalam tawa. Un-
tuk sesaat mereka jadi lupa pada persoalan yang me-
reka hadapi. 6 Tawa Gento dan Raja Pengemis seketika terhen-
ti begitu terdengar suara tawa lain yang disertai berke-lebatnya satu sosok
serba biru ke arah mereka. Tak
berselang lama di depan Gento dan sahabatnya berdiri
tegak seorang gadis cantik berdandan menor memakai
jubah kedodoran. Jika Raja Pengemis merasa heran
melihat kehadiran gadis itu, sebaliknya Gento seman-
gatnya seperti terbang meninggalkan dirinya. Muka
pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga lebar.
"Gadis sakit ingatan ini bagaimana bisa muncul
disini" Waduh, celaka aku!" batin Gento ketakutan sekali. "Gento, ada apa dengan
dirimu" Mengapa wa-
jahmu mendadak pucat begitu rupa?" tanya Raja Pengemis. "Eh, anu...gawat. Urusan
bisa gawat lebih baik kita minggat dari sini secepatnya!" Gento berbisik.
"Mengapa harus pergi" Apakah kau merasa ga-
dis ini terlalu cakep untukmu?" Belum lagi pertanyaan Raja Pengemis tak sempat
dijawab oleh sang pendekar.
Gadis berjubah biru ini sambil tutupi wajahnya beru-
cap. "Aih, kakang Bagus Awan Peteng, tidak kusangka kita bertemu lagi di tempat
ini. Oh kakangku, Kekasihku, curahan jantungku! Apa yang kau lakukan dis-
ini bersama gembel pengemis itu" Hik hik hik!" Raja Pengemis dan Gento saling
berpandangan. Sama sekali
orang tua itu tidak marah dikatakan dirinya gembel
pengemis. Malah dia gelengkan kepala sambil mencoba
mencari jawab lewat tatap mata pemuda.
"Kau...benarkah namamu Bagus Awan Peteng"
Apa benar kau ini kekasihnya gadis yang baru tercebur dari comberan itu?" tanya
Raja Pengemis. "Semua itu tidak benar. Gadis ini ngaco, pasti
otaknya miring!" sahut Gento dengan wajah merah padam. "Aku tahu kau pasti malu
mengakui gadis ini sebagai kekasihmu karena ada aku. Tidak boleh begitu
Gento, mau jelek mau cantik, entah mulus entah burik
jika kalian sudah saling mencinta tunggu apa lagi"!"
Merasa dipojokkan Gento menjadi kesal. Dia
bangkit berdiri, lalu berucap dengan suara keras. "Kau dengar Raja Pengemis.
Beberapa hari yang lalu aku
memang bertemu dengannya di sebuah kedai. Dari
semula aku sudah menduga otaknya pasti miring. Ter-
nyata dugaanku tidak meleset, dia bukan saja miring
tapi gila sungguhan. Lagipula siapa sudi punya keka-
sih seperti dia. Kalau dia merasa dirinya cakep masih bagus berjodoh denganmu.
Ha ha ha!"
"Kakang Bagus Awan Petang, kau sangat keter-
laluan sekali. Setelah memadu kasih denganku, sete-
lah kita bermesra-mesra, mengapa kau tega bicara se-
perti itu. Kau buang diriku setelah tinggal ampasnya.
Huk huk huk!" kata si gadis sambil menangis tersedu-sedu. "Bicara soal ampas,
hampir setiap hari orang membuang ampas. Mengapa harus kau persoalkan.
Jika paman pengemis ini mau berikan saja ampasmu
padanya. Lagipula dia sangat senang dengan segala
sesuatu yang bekas. Dia suka sisa bekas orang! Ha ha
ha." "Sialan! Kau telah berbuat, mengapa tak berani
bertanggung jawab!" damprat Raja Pengemis.
Gento semakin jengkel saja mendengar ucapan
Raja Pengemis. "Raja Pengemis jangan ngaco. Aku tak pernah memadu kasih, tak
pernah pula bermesra-mesra dengan hantu kuntilanak ini. Enak saja kau su-
ruh aku bertanggung jawab!" labrak Gento sengit.
"Ha ha ha. Paling tidak kau harus menanggung
biaya hidup dan perongkosan melahirkan!"
"Kampret sontoloyo. Siapa yang bunting, siapa
yang hamil. Menyentuhnya saja tidak bagaimana bisa
bunting. Gila sungguh keterlaluan. Mimpi apa aku se-
malam"!" kata sang pendekar sambil menepuk keningnya yang terasa pusing
mendadak. "Anggap saja kau mimpi kejatuhan kuntilanak
ini!" celetuk Raja Pengemis.
Gento sama sekali tidak menanggapi ucapan
Raja Pengemis. Dia memandang tajam ke arah Puteri
Pemalu. "Hei kau, gendoruwo kesasar siapa namamu?"
tanya Gento sambil tudingkan telunjuknya.
"Hik hik hik. Masa' kakang lupa. Namaku Ayu
Seruni atau Puteri Pemalu. Kakang aku rindu, apakah
kau tidak mau memelukku"!" berkata begitu Puteri Pemalu kembangkan tangannya.
"Pantas kau telah membuat aku malu hari ini.
Kalau kau mau dipeluk mintalah pada Raja Pengemis,
dia pasti tidak menolak!"
"Gento, tak usah malu-malu. Lakukan saja apa
yang dimintanya. Hitung-hitung aku bisa melihat pe-
mandangan gratis. Ha ha ha!" kata Raja Pengemis.
"Gento" Jadi...jadi kau bukan Bagus Awan Pe-
teng?" tanya Puteri Pemalu dengan suara tercekat. Sepasang mata gadis berdandan
menor itu mendelik.
Sikap manjanya, suaranya yang lembut ketika
memanggil Gento dengan Bagus Awan Peteng kini le-
nyap sekali. Mendadak wajah Puteri Pemalu berubah
bengis, sedangkan matanya menyorot tajam penuh ke-
bencian. "Wajahmu sangat mirip sekali dengan Bagus
Awan Peteng. Tidak tahunya kau Gento Guyon. Orang
yang telah membuat celaka guruku Si Muka Setan,
hingga dia jadi kehilangan kewarasannya. Kau telah
membuat satu kesalahan besar. Aku akan meringkus-
mu hidup atau mati!" dengus Puteri Pemalu sinis.
Raja Pengemis dan Gento saling berpandangan.
"Celaka Gento, gadis ini penyakit gilanya kambuh lagi."
kata Raja Pengemis berbisik.


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kubilang juga apa" Gadis ini bicaranya suka
ngaco. Bertemu dengan Si Muka Setan saja aku belum
pernah. Enak saja dia menuduhku telah mencelakai
nenek itu." sahut sang pendekar. Tapi dia kemudian segera ingat bahwa Si Muka
Setan yang sebenarnya
sudah mati. Jika sekarang dia menyebut-nyebut Si
Muka Setan pasti orang yang dimaksudkannya adalah
Si Muka Setan yang sedang mereka cari.
"Puteri Pemalu. Agaknya kau salah melihat
orang, mungkin kau keliru mengenali gurumu. Keta-
huilah, Si Muka Setan telah tewas. Kuburnya kami te-
mukan di Kiara Condong di depan halaman tempat
pertemuan. Kau telah diperdaya oleh musuhmu sendi-
ri, malah tidak tertutup kemungkinan dialah yang te-
lah membunuh gurumu." tegas Gento.
"Kau hendak memutar balikkan kenyataan"
Huh, kau mau menipuku. Kau tak mungkin bisa
memperdaya diriku. Sekarang lebih baik kau menye-
rah untuk kubawa kehadapan guruku!" teriak Puteri Pemalu sengit.
"Ha ha ha! Dia mengajarmu menjumpai gu-
runya. Ikut saja, siapa tahu gurunya hendak memberi
restu atas tali kasih yang kalian bina selama ini." satu suara menimpali dan
yang baru bicara tadi bukan lain
adalah Raja Pengemis.
Meskipun jengkel, Gento menimpali ucapan
orang. "Sayang tali kasih itu putus karena kupergunakan untuk main layangan.
Karena aku tidak punya tali
lagi, apakan kau mau meminjamkan tali celanamu un-
tuk menyambung tali kasih yang putus itu" Ha ha ha!"
Raja Pengemis tidak menanggapi hanya ta-
wanya saja yang makin bertambah keras. Di depan sa-
ja Puteri Pemalu mendamprat. "Pengemis semprul. Sebaiknya cepat angkat kaki dari
hadapanku, silahkan
mengemis di tempat lain. Jangan kau berani mencam-
puri urusanku!"
"Tenang saja puteri gila. Raja Pengemis tak
mungkin mengemis harta bendamu. Tapi jika keadaan
memaksa aku bisa meminta nyawamu. Ha ha ha!" sa-
hut Raja Pengemis.
"Paman Raja Pengemis, daripada nyawanya
yang kau minta. Masih bagus orangnya sekalian kau
bawa pulang. Ha ha ha."
"Semula niatku memang begitu tapi aku takut
malah jadi ikut gila!" sahut Raja Pengemis.
Mendengar kata-kata bernada mengejek Puteri
Pemalu tidak dapat lagi menahan kemarahannya. "Ra-ja Pengemis, aku tak punya
urusan denganmu. Se-
baiknya kau cepat menyingkir!"
"Ha ha ha. Gento Guyon bagaimanapun saha-
batku. Masa' aku harus diam berpangku tangan meli-
hat teman sendiri digebuk orang. Sebelum kau berhasil menangkapnya terimalah
gebukanku dulu!" bentak la-ki-laki itu.
"Paman biar....!"
Raja Pengemis cepat memotong. "Kau tenang
saja disitu. Duduk yang anteng, biar aku akan menjaj-
al gadis ini!" potong Raja Pengemis. Gento tersenyum.
"Menjajalnya sih boleh saja, tapi jangan keterusan." celetuk Gento. Raja
Pengemis yang tahu kemana arah
ucapan si pemuda delikan matanya. Gento Guyon ter-
tawa terkekeh lalu dia beralih pada Puteri Pemalu
sambil berucap. "Kau sudah mendengar apa yang di-ucapkannya. Kau hadapi dia
dulu. Kau harus dapat
membunuhnya atau paling tidak sanggup membun-
tungi kedua tangan dan kakinya."
"Dasar bocah edan, rupanya kau senang meli-
hat teman sendiri menjadi cacat heh!" hardik Raja Pengemis.
"Kurang lebih memang begitu." sahut sang
pendekar enteng.
Di depan sana Puteri Pemalu tanpa banyak bi-
cara lagi langsung berkelebat melesat kedepan menye-
rang Raja Pengemis dengan pukulan tangan kosong.
Angin menderu menghantam wajah laki-laki itu. Raja
Pengemis tarik kepalanya kebelakang sambil melompat
ke samping. Dua tangan dipergunakan untuk me-
nangkis. Hingga terjadi benturan keras.
Duk! Duuk! Puteri Pemalu memekik kaget dan terhuyung
dua tindak kebelakang. Raja Pengemis sendiri nampak
bergetar, alisnya mengernyit matanya setengah terbelalak ketika melihat
bagaimana tangannya yang diper-
gunakan menangkis pukulan lawan berubah membiru
dan mengepulkan asap tipis. Lebih kaget lagi ketika
melihat ujung lengan bajunya hangus menjadi bubuk.
Didepan sana Puteri Pemalu sempat merasakan
dadanya menjadi sesak, gadis ini cepat memandang ke
depan. Melihat ujung pakaian lawannya hangus, dia
tertawa lebar. "Gembel pengemis, saat ini pakaianmu yang
kubuat hangus. Sebentar lagi tubuh dan nyawamu
akan kubuat amblas! Hik hik hik!"
Raja Pengemis menjadi geram, apalagi ketika
melihat Gento. Pemuda itu nampaknya tersenyum
mencemooh. Malah si gondrong kemudian sengaja
memanas-manasi. "Paman Raja Pengemis, kau sung-
guh membuat malu kaum lelaki. Baru menghadapi ga-
dis sakit ingatan saja kau sudah kedodoran. Hayo,
tunggu apa lagi, keluarkan semua ilmu simpanan yang
kau miliki!"
"Kadal gondrong. Lihat apa yang akan kulaku-
kan!" teriak Raja Pengemis kesal. Laki-laki itu tiba-tiba saja melompat mundur
kebelakang. Dua tangan diputar sedemikian rupa membentuk perisai diri yang ko-
koh. Di depannya Puteri Pemalu kembali melakukan
gebrakan dengan melancarkan serangkaian serangan
bertubi-tubi namun sulit dibaca ke mana arahnya.
"Bagus majulah lebih mendekat!" Raja Penge-
mis berseru. Dan ternyata lawan memang semakin
bertambah dekat ke arahnya. Bersamaan dengan itu
pula Puteri Pemalu lepaskan tendangan dan pukulan-
nya. Tendangan dan pukulan yang dilancarkan ga-
dis itu menghantam benteng pertahanan yang dibuat
oleh Raja Pengemis. Si gadis jadi tercekat ketika merasakan bagaimana pukulan
serta tendangan yang dila-
kukan seolah menabrak satu benteng yang sangat ko-
koh. Selagi si gadis di buat tercengang dengan kenya-
taan yang dihadapinya, Raja Pengemis susupkan tan-
gannya. Tangan meluncur ke arah perut lawan. Lalu...
Desss! Deees! Puteri Pemalu keluarkan keluhan panjang. Dua
pukulan mendera perutnya, membuat gadis ini jatuh
terguling-guling sambil muntahkan darah segar. Meli-
hat kejadian itu Pendekar Sakti Gento Guyon berseru.
"Walah paman Raja Pengemis. Begitu tega kau terhadap calon istrimu. Sudah tak
pernah kau urus kini
kau malah menyakitinya."
"Pemuda sinting. Semua ini kulakukan semata-
mata hanya untukmu, tolol!"
"Oh kalau begitu aku harus berterima kasih
padamu." Puteri Pemalu bangkit berdiri. Dia keluarkan
suara gerengan marah. Tanpa menghiraukan darah
yang menetes di sudut bibirnya gadis ini melompat ke
depan. Tubuhnya masih terhuyung-huyung ketika
berkata. "Jika aku tak sanggup melenyapkanmu dari dunia ini Raja Pengemis,
seumur hidup aku pasti akan
merasa penasaran dan dikejar-kejar perasaan berdo-
sa!" "Ha ha ha. Daripada kejar-kejaran dan terus
memendam rasa penasaran bukankah lebih baik Raja
Pengemis kau ajak kawin saja. Setelah itu jadilah ka-
lian raja dan ratu pengemis.!" mulut Gento usil lagi.
Hingga bukan saja membuat Raja Pengemis dibuat
jengkel. Sebaliknya Puteri Pemalu jadi ingin meringkus pemuda itu secepatnya.
"Raja Pengemis terimalah kematianmu!" teriak Puteri Pemalu. Laksana kilat gadis
itu melompat ke
udara. Dua tangan diputar didepan dada, hingga dari
kedua tangan itu memancar cahaya putih yang me-
lingkar bergulung-gulung. Begitu kedua tangan kemu-
dian didorong ke depan, lingkaran cahaya putih itu
kemudian melesat kedepan disertai suara gemuruh
hebat dan sengatan hawa panas yang luar biasa.
"Jaring Jaring Matahari!" teriak Raja Pengemis yang mengenali ilmu pukulan yang
dimiliki gadis itu.
Sambil dorongkan kedua tangannya ke depan, Raja
Pengemis melompat ke samping selamatkan diri. Puku-
lan yang dilancarkan laki-laki itu amblas lenyap, begi-tu masuk dalam lingkaran
cahaya putih dalam bentuk
kerucut terbalik itu.
Buuum! Satu ledakan berdentum mengguncang angka-
sa. Tanah disekitarnya bergetar hebat, batu dan debu
beterbangan. Satu lubang akibat pukulan menganga
lebar. Gento jadi tercekat, tak menyangka gadis sakit ingatan itu memiliki
pukulan hebat. Sebaliknya di depan sana begitu pukulan luput
dan Puteri Pemalu jejakkan kaki diatas tanah dia kem-
bali menghantam Raja Pengemis. Orang tua itu segera
sadar apa yang harus dilakukannya. Karena itu dia
langsung mencabut cermin batu segitiga dari balik
pinggang dan kemudian langsung dipergunakan untuk
menangkis serangan si gadis.
Teesss! Sinar putih yang bergerak seperti lingkaran
spiral ini langsung berbalik ke arah pemiliknya. Masih untung Puteri Pemalu
cepat jatuhkan diri hindari serangannya sendiri. Walaupun begitu bagian bahu
sampai kebahagiaan ketiaknya masih terkena samba-
ran sinar putih tadi. Kalang kabut Puteri Pemalu sam-
bil memadamkan api langsung berkelebat melarikan
diri. Raja Pengemis tidak sempat mengejar. Dia sendiri
sibuk meniup-niup tangannya yang dipergunakan
memegang gagang cermin. Rupanya akibat benturan
sinar tadi membuat cermin sampai ke gagangnya men-
jadi panas luar biasa. Orang tua ini lebih tercekat lagi ketika melihat
bagaimana tangannya yang memegang
cermin melepuh hangus.
"Raja Pengemis memang hebat. Punya senjata
seperti kaca rias milik banci. Ha ha ha. Ada apa den-
gan tanganmu?" tanya Gento yang saat itu sudah
bangkit berdiri sambil memandang ke arah si orang
tua. Dengan muka masam Raja Pengemis menja-
wab. "Gadis gila tadi membuat tanganku melepuh." rutuk si orang tua.
"Masih bagus tangan yang melepuh. Kalau si-
nar tadi sampai menghantam matamu, kepalamupun
bisa meletus paman. Sudahlah... kuucapkan terima
kasih atas bantuanmu. Sebaiknya sekarang kita pergi
saja." kata Gento dengan lagak tak perduli.
Raja Pengemis menggerutu, lalu mengomel pan-
jang pendek dan mengejar ke arah lenyapnya Gento.
7 Ketika Mbah Petir dan Roro Centil sudah me-
masuki kawasan telaga Tengkorak Hantu, mereka ti-
dak langsung menuju ke tepi telaga, melainkan sengaja mengambil jalan memutar ke
sebelah kiri telaga itu
untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diin-
ginkan. Akan tetapi baru saja beberapa tindak dari jalan utama langkah mereka
mendadak terhenti. Kedua
kaki terasa berat untuk digerakkan sedangkan mata
memandang lurus kedepan. Kejut dihati kedua orang
ini bukan kepalang. Sekian lamanya mereka terdiam.
Perasaan mereka oleh pemandangan yang terpampang
di depan satu sosok tubuh dengan leher terjerat tali
dadung. Sosok yang dalam keadaan tergantung itu
berpakaian serba hitam, lidah terjulur mata membeliak keluar. Dari telinga,
hidung dan mulut sosok itu mene-teskan darah berwarna merah kehitaman. Sosok itu
ternyata adalah seorang kakek tua memakai topi tinggi yang dihias dengan dua
Tangan Geledek 18 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Kisah Dewi Kwan Im 2
^