Sang Pembantai 1
Gento Guyon 15 Sang Pembantai Bagian 1
1 Matahari telah lama tenggelam. Dingin udara
menjelang malam terasa mencucuk tulang. Di langit
sebelah timur bulan mulai menampakkan diri meng-
gantikan sang surya yang lenyap di ufuk barat. Di bawah sebatang pohon rindang,
satu sosok dengan besar
badan seperti raksasa tidur melingkar dengan tangan bersilangan di depan dada.
Nampaknya dia tidur pulas sekali. Dada kembang kempis, mulut sesekali perden-
garkan suara mendengkur. Nyenyak tidur sosok raksa-
sa yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam lebat
tak berlangsung lama. Sesaat kemudian tubuhnya
menggeliat, dua kelopak mata yang terpejam bergerak-
gerak. Sayup-sayup telinganya mendengar suara berla-
ri di kejauhan. Sosok raksasa ini membuka mata. Dia
kemudian bangkit, duduk dengan kedua tangan men-
dekap lutut. Dua matanya makin melebar, memandang
ke satu arah di sebelah kiri dimana suara orang berlari makin bertambah dekat,
makin jelas. Masih tetap berada di tempatnya, sosok tinggi
besar manusia raksasa ini menoleh ke kanan. Disana
berdiri tegak sebuah pondok berlantai tinggi. Keberadaan pondok di tengah hutan
sunyi diapit kerapatan
pohon besar ini sejak dia sampai di tempat itu sore ta-di memang sempat
mengundang tanya. Pondok bagus
di tengah hutan, berpintu tapi tidak bertangga. Entah siapa tuan dari pemilik
pondok itu. Kini setelah mendengar ada suara orang berlari ke arahnya paling
tidak menimbulkan dugaan bahwa orang yang datang bukan
lain pemilik pondok itu.
Suara langkah kaki orang berlari makin ber-
tambah dekat. Timbul perasaan tidak enak bagi sosok
raksasa. Masih dalam keadaan terduduk dia lakukan
satu gerakan. Laksana kilat tubuhnya melesat ke atas cabang pohon, mendekam di
situ di balik reranting
daun sambil mengintai. Tidak berapa lama satu semak
belukar tersibak, muncul seorang nenek berambut pu-
tih, berpakaian kuning dengan renda-renda putih pada setiap sisinya. Sosok
raksasa terus mengawasi. Nenek yang baru munculkan diri ternyata berwajah seram
rusak seperti bekas dicacah. Wajahnya seolah bukan
rupa manusia lagi, tapi angker laksana setan. Rupanya dia tidak sendiri karena
di atas bagian bahu sebelah kiri tergeletak menelungkup satu sosok lain, agaknya
seorang gadis, berpakaian serba ungu. Wajah gadis itu sama sekali tidak terlihat
tertutup rambutnya yang ter-juntai ke bawah.
Sampai di depan pondok si nenek hentikan
langkah, sepasang mata memandang ke atas pondok
sekilas. Sesungging senyum bermain dibibirnya mem-
buat wajah setan si nenek bertambah angker. Tak la-
ma dia melompat ke dalam pondok. Pondok bergetar.
Si nenek lalu melangkah ke sudut ruangan kemudian
baringkan sosok dalam panggulannya di atas balai
bambu. Si nenek menyeringai, dia lalu duduk di balai ketiduran. Tangannya
terjulur bergerak mengelus dagu gadis baju ungu yang ternyata seorang gadis
cantik berkulit putih mulus.
Si gadis yang dalam keadaan tertotok hanya bi-
sa memaki si nenek karena sekujur tubuhnya memang
sulit digerakkan, dalam keadaan kaku tertotok. Tidak hanya tubuh, ternyata jalan
suaranya juga tertotok.
Belaian pada dagu membuat sang dara mendelik.
"Perempuan busuk, manusia edan berotak sint-
ing. Apa yang hendak kau perbuat pada diriku. Tua
bangka edan, berani kau berbuat kurang ajar kubu-
nuh kau!" teriak si gadis. Tapi suara si gadis hanya bergema disekitar rongga
dada dan terhenti ditenggo-rokan. Tak sepatah katapun yang terucap.
Seolah mengerti apa yang ada dalam hati si ga-
dis, si muka setan tersenyum. Tangan yang membelai
dagu kini beralih ke bagian leher. Dia lakukan tiga
usapan di leher sebelah kanan dan sebelah kiri si gadis. Setelah itu si nenek
berucap. "Rupanya kau sudah tidak sabar kekasihku. Berdua-dua tanpa bicara
memang kurang enak. Sekarang kau boleh bicara. Hik hik hik." Pada usapan keempat
membuat si gadis dapat menggerakkan bagian kepala sekaligus bicara, namun
tetap tak mampu menggerakkan bagian tubuh lainnya.
Begitu jalan suara terbebas dari totokan si gadis men-damprat. "Perempuan iblis,
lepaskan totokan ini. Apakah kau sudah gila hendak berbuat mesum dengan se-
sama jenis mu?"
Si nenek tertawa panjang. Dengan mata melotot
dikobari nafsu setan tangan si nenek berkelebat bergerak kebagian dada.
Breeet! Si gadis menjerit kaget. Pakaian di bagian dada
sebelah kiri robek, memperlihatkan bagian dada yang
putih. Darah si nenek laksana menggelegak, otot dis-
ekujur tubuhnya menegang. Tangan si nenek celami-
tan sedangkan mulutnya berucap. "Aku belum gila, ta-pi keindahan tubuhmu membuat
aku tergila-gila. Kau
tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Hik hik hik."
Di atas pohon besar sosok raksasa terus mem-
perhatikan ulah si nenek dengan perasaan heran.
Dia membatin. "Gadis itu jelas gadis culikan.
Tubuhnya dalam keadaan tertotok. Lalu siapa nenek
edan ini" Buat apa dia melakukan semua kegilaannya
pada si gadis" Jangan-jangan nenek muka setan itu
punya kelainan. Kudengar banyak orang yang mem-
punyai kelainan seperti itu. Seperti laki-laki yang
hanya suka pada sesama jenisnya. Gila...!" Sosok raksasa gelengkan kepala.
Sepasang matanya terus memperhatikan, men-
gintip melalui celah atap pondok dan menunggu apa
yang hendak dilakukan si nenek.
Sambil menunggu si raksasa berfikir, dia tak
dapat melihat bagaimana wajah si gadis. Belakangan
ini terlalu banyak kejadian aneh yang terjadi. Salah sa-tu diantaranya adalah
mengenai pertemuan para pen-
dekar golongan putih. Di Kiara Condong.
Konon kabarnya pertemuan itu dilaksanakan
atas gagasan seorang tokoh perempuan yang dikenal
dengan julukan Si Muka Setan. Seorang tokoh golon-
gan lurus namun memiliki wajah seangker setan. Ber-
temu dengan orangnya manusia raksasa ini belum
pernah, tapi melihat si nenek dalam pondok ciri-cirinya sama persis dengan tokoh
itu. Mungkinkah dia orangnya" Manusia yang se-
lama ini dihormati oleh kalangan dunia persilatan.
Apapun yang dilakukan si nenek dalam pondok jelas
dia menyimpan maksud keji pada si gadis. Agaknya
sosok raksasa itu tak perlu menunggu lebih lama ka-
rena pada waktu itu terdengar suara gelak tawa disertai robeknya pakaian yang
direnggut paksa.
Lalu terdengar suara si nenek berucap diantara
deru nafasnya yang memburu tersengal. "Tenang ga-disku, kita akan bercinta
bagaikan suami isteri. Aku kekasihmu, aku suamimu. Hik hik hik!"
"Nenek keparat. Lepaskan aku!" satu pekikan terdengar.
Di dalam pondok di atas balai bambu sosok ga-
dis cantik itu pakaiannya awut-awutan tak karuan.
Dia mencoba menutupi dadanya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dia lakukan
karena tangannya juga tak dapat bergerak.
Melihat keindahan yang terpentang di depan
matanya si nenek jadi tak sabar, nafas memburu da-
rah menggelegak.
Laksana kilat dia melompat ke atas balai bam-
bu. Baru saja si muka setan siap memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba dari bagian
atas atap pondok menderu segelombang angin panas yang langsung melabrak
atap pondok. Atap jebol, tembus sampai ke bagian da-
lam dan menghantam tubuh si nenek. Ternyata dalam
keadaan diri diamuk badai rangsangan si nenek tidak
kehilangan kewaspadaannya. Lebih hebat lagi dia ma-
sih sanggup bergulingan ke lantai pondok sambil me-
nyambar tubuh gadis itu.
Hantaman yang datang dari atap pondok
menghancurkan balai bambu tersebut.
Dengan membiarkan gadis culikan tergeletak di
atas lantai, laksana kilat si nenek melompat bangkit, berdiri tegak memandang ke
arah atap yang jebol berlubang besar, sedangkan mulut semburkan makian
marah. "Kurang ajar, mencari mati berani mencampuri urusan orang!"
Sosok manusia raksasa yang memiliki nama
aneh Rajo Penitis yang kini telah berdiri di atas bu-bungan pondok balas
menghardik. "Tua bangka bu-
suk, muka setan. Usia sudah mendekati ajal. Hendak
berbuat keji dan mesum dengan sesama kaumnya
sendiri, mengapa menyalahkan orang!"
Mendengar jawaban orang darah si nenek lak-
sana mendidih, bukan karena kobaran nafsu melain-
kan karena dibakar amarah. Lalu dia mendongak ke
atas, tangan ditarik ke belakang siap melepaskan satu pukulan keji. Tindakan
yang hendak dia lakukan tak
sempat terlaksana. Karena pada saat itu pula terden-
gar suara tawa bergelak panjang disertai pusaran an-
gin yang menjebol atap pondok. Atap berikut kayu pe-
nyanggahnya terangkat terbang ke udara, berputar la-
lu lenyap di pulas pusaran angin. Dari atap yang jebol melesat turun satu sosok
dengan besar tubuh sangat
luar biasa sekali. Sambil melesat ke lantai pondok secara tak terduga manusia
raksasa ini lepaskan ten-
dangan ke arah si nenek.
Muka setan yang belum habis rasa kagetnya,
surut satu langkah dua tangan dipergunakan untuk
menangkis. Dess! Dess! Buuk! Tangkisan bertenaga dalam penuh mampu
membuat sosok besar ini jatuh terduduk. Tapi kaki lawan yang sangat besar itu
sempat menghantam dada
si nenek, membuatnya mencelat, melayang di udara la-
lu jatuh di atas tanah.
Sambil bangkit berdiri si raksasa yang sempat
melihat wajah gadis itu dua kali dibuat kaget. Pertama dia kaget karena tak
menyangka nenek muka setan itu
memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan akibat
benturan membuat kakinya panas laksana terbakar.
Sedangkan yang kedua dia tidak menyangka gadis
yang hendak digagahi oleh nenek wajah setan adalah
gadis yang sangat dia kenal. Gadis ini bukan lain adalah Sriwidari yang beberapa
hari lalu sempat dilari-
kannya untuk dijadikan istri. Sebaliknya gadis berpakaian ungu begitu melihat
ada orang telah menyela-
matkan dirinya dari aib besar sempat gembira. Tapi
kini jadi kaget dan kembali dilanda ketakutan. Dito-
long oleh manusia raksasa itu baginya sama saja, tidak ubahnya lepas dari mulut
harimau jatuh ke mulut
ikan hiu. Malah kini dia menjadi sangat marah melihat kemunculan Rajo Penitis.
Dendamnya pada manusia
raksasa itu setinggi langit karena dialah yang telah membunuh ayahnya. Juru Obat
Angin Laknat. Untuk
lebih jelas (silahkan baca Episode Ki Anjeng Laknat).
Si raksasa sudah tak sempat lagi memikirkan
gadis itu, apalagi menutupi auratnya yang tidak ka-
ruan. Karena di bawah sana nenek muka setan yang
gusar melihat campur tangan raksasa itu telah bangkit berdiri sambil memandang
sosok besar yang tegak di
atas lantai pondok dengan mata mencorong marah,
disertai tatapan penuh selidik.
Jauh dalam hati sesungguhnya dia juga kaget.
Manusia raksasa ini tentu memiliki berat badan
mungkin lebih dari tiga ratus lima puluh kati. Anehnya ketika dia jejakkan kaki
di atas atap pondok tadi sama sekali tidak menimbulkan guncangan. Bahkan si
nenek sampai tidak tahu ada orang berada di atas pon-
dok. Jika tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa mana mungkin hal itu dapat dilakukannya.
*** 2 Betapapun nenek muka setan sempat dibuat
kagum, tapi kemarahan ternyata lebih besar mengua-
sai jiwa dan fikirannya. Dia tak mengenal siapa raksa-sa ini, namun dia
menyadari sosok raksasa di depan-
nya selain mempunyai tenaga dalam tinggi juga memi-
liki ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna.
"Makhluk raksasa keparat, aku tak pernah ber-
temu denganmu sebelumnya. Mengapa berani lancang
mencampuri urusan orang, siapa dirimu ini yang se-
benarnya!" hardik si nenek.
Si raksasa keluarkan suara tawa pendek. Se-
saat dia pandangi si nenek, merasa muak dia langsung berkata. "Tua bangka dalam
rupa setan. Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Bagaimana aku bisa
diam jika orang yang hendak kau gagahi itu adalah calon istriku" Ha ha ha." Lalu
tanpa memberi kesempatan pada nenek muka setan dia melanjutkan ucapan-
nya. "Kau ini bukan saja perempuan edan, tapi juga memiliki kelainan. Kau hendak
berlaku keji pada kaum sejenis. Apakah ini tidak keliru" Mestinya jodoh-mu
adalah laki-laki, karena cuma laki-laki yang memiliki pedang. Lagi pula jika
laki-laki yang kau ajak berbuat mesum, mereka pasti tidak akan marah. Bisa jadi
laki-laki itu senang. Tapi laki-laki mana yang mau den-
ganmu, muka rusak, hancur mengerikan seperti setan.
Kurasa setan bengekpun tak sudi bergendak dengan-
mu!" "Jahanam tengik, kau tak tahu siapa diriku.
Sampai kau mati kau tak bakal mengenali siapa jun-
junganmu ini. Manusia terkutuk cepat katakan siapa
dirimu?" bentak muka setan mengulangi pertanyaannya. "Rupanya kau penasaran. Kau
dengar, namaku Rajo Penitis. Sekarang kau harus mengganti pakaian
calon istriku, kau juga musti memotong tanganmu
yang telah kau pergunakan untuk menggerayangi ga-
dis itu!" berkata Rejo Penitis ulurkan tangan bersikap seolah meminta.
"Rajo Penitis, hem. Jika gadis itu calon istrimu, aku tidak merasa berat
mengganti pakaian dan menyerahkan dua tanganku ini. Kau meminta ambillah sen-
diri!" Nenek muka setan lalu ulurkan tangan kirinya.
Ternyata bukan untuk diserahkan karena begitu tan-
gan si nenek diangsurkan ke depan dari telapak tan-
gan itu menderu angin merah ke arah Rajo Penitis dan juga ke pondok dimana si
raksasa dan Sriwidari berada. Sadar lawan lepaskan pukulan jarak jauh bertena-
ga dalam tinggi, Rajo Penitis melesat ke udara, ber-
jumpalitan dua kali lalu jatuh berdiri di luar pondok.
Justru pada waktu itu terdengar suara berderak pon-
dok yang hancur disertai jeritan si gadis yang terpelanting di udara bersama
puing-puing pondok yang
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertebaran dikobari api. Rajo Penitis terkejut, tapi cepat melompat menangkap
Sriwidari yang meluncur ce-
pat ke arah batu dengan kepala terlebih dulu. Selagi Rajo Penitis berusaha
selamatkan si gadis dari han-curnya kepala akibat membentur batu. Maka kesempa-
tan ini dipergunakan si muka setan dengan mele-
paskan satu pukulan susulan yang tak kalah dahsyat.
Rajo Penitis menjadi gugup, dia dorongkan tan-
gan kanan menyambuti pukulan lawan, sedangkan
tangan kiri diteruskan menangkap tubuh si gadis. Ka-
rena pikirannya terpecah, baik tangkisan yang dilakukannya maupun gerakan tangan
kiri untuk menyela-
matkan Sriwidari tak dapat dilakukannya dengan baik.
Dia hanya dapat menyambar dan membalik kepala si
gadis. Sedangkan bagian tubuhnya tetap jatuh meng-
hempas ke batu. Sekali lagi gadis itu menjerit, benturan keras pada bagian
punggungnya membuat Sriwi-
dari jatuh pingsan seketika.
Manusia raksasa itu sendiri mencelat sejauh
satu tombak terhantam sebagian pukulan lawan yang
tak sempat ditangkisnya. Laksana kilat dia bangkit
berdiri. Akibat pukulan membuat tubuhnya terasa pa-
nas laksana terbakar. Rajo Penitis keluarkan suara
menggerung. Sebaliknya si nenek yang tegak di depan
sana diam-diam menjadi kaget. Pukulan yang dile-
paskannya tadi termasuk salah satu pukulan hebat
yang dia miliki. Tapi pukulan sakti itu hanya membuat lawan jatuh terjengkang
bukan tewas seperti yang diharapkan.
Pingsannya Sriwidari membuat Rajo Penitis jadi
marah besar. Kini dia melangkah maju, setiap gerakan kakinya menimbulkan getaran
hebat pada tanah yang
dipijaknya. "Kau pasti menyesal telah membuat calon istri-
ku jadi seperti itu. Kalau dia sampai mati, kepalamu akan ku pelintir sampai
putus!" "Hik hik hik! Kalau dia tak dapat kumiliki, ba-
gusnya kau dan dia kukirim ke neraka saja!" teriak nenek muka setan.
Suara teriakan dijawab dengan satu tendangan
menggeledek yang menghantam ke dahi, leher dan
tenggorokan si nenek. Angin keras menderu, hebatnya
lagi walau kaki itu besar sekali tapi dapat bergerak laksana kilat, membuat si
nenek keluarkan seruan kaget, lalu melompat mundur kemudian berkelebat gesit
hindari tendangan lawan. Sambil menghindar muka
setan membalas dengan pukulan-pukulan mautnya
hingga perkelahian itu berlangsung seru menegang-
kan. Beberapa jurus lamanya si nenek sempat terde-
sak hebat mendapat tendangan beruntun itu. Tapi se-
telah empat puluh jurus kemudian si nenek melaku-
kan gerakan aneh, lalu dia merobah jurus silat serta
gerakan tubuhnya. Sampai akhirnya sekarang dia ba-
las mendesak lawan, malah beberapa kali jotosan dan
tendangan kilat yang dilakukannya sempat mengenai
bagian tubuh lawannya. Rajo Penitis bertahan mati-
matian. Dia lalu lakukan serangan balasan yang da-
tangnya tidak terduga. Beberapa kali Rajo Penitis berhasil susupkan tangannya
lakukan jotosan ke tubuh
lawan. Nenek muka setan yang kena hantaman ter-
huyung. Jotosan itu memang tak membahayakan ji-
wanya, tapi mampu membuat tubuh goyah, inipun ba-
ginya sudah merupakan sesuatu yang memalukan.
Sekali ini si nenek melompat mundur sejauh ti-
ga langkah dari lawannya. Kemudian tangan diangkat,
lalu dikepal. Mulut nenek muka setan berkemak-
kemik. Dari tinjunya mengepulkan asap tipis kehita-
man, bukan hanya asap yang keluar tapi tinju sampai
sebatas siku telah pula berubah hitam menggidikkan.
Rajo Penitis menyadari lawan agaknya siap mele-
paskan pukulan saktinya. Si raksasa tidak tinggal di-am. Dia segera salurkan
tenaga dalam ke bagian tan-
gan dan kedua kakinya.
Sementara itu di balik sebatang pohon di sebe-
lah kiri tak jauh dari jatuhnya Sriwidari. Satu sosok mendekam disana. Sosok
berjubah biru yang selalu
menutupi wajahnya dengan ujung jubah yang menjun-
tai di depan dada. Sosok ini berada di situ sejak nenek muka setan siap menodai
Sriwidari. Dia bahkan me-nyaksikan perkelahian sengit itu. Entah mengapa begi-tu
melihat si nenek hendak menodai si gadis dia malah menangis tanpa suara sambil
tutupi wajahnya dengan
ujung kain jubah birunya.
"Hik hik hik. Mengapa dia berubah, mengapa
dia hendak berbuat mesum dengan gadis itu" Hik hik
hik. Malu aku jadinya. Apakah terlalu banyak yang di-
fikirkannya, apakah terlalu berat beban yang meng-
himpit batin hingga membuatnya jadi gila, tidak waras pikiran." Sosok yang
ternyata seorang gadis berdandan menor turunkan kain jubah yang dipergunakan
untuk menutupi wajah. Malu-malu dia julurkan kepala, men-
gintip ke arah orang yang berkelahi. Kemudian dia melirik ke arah Sriwidari.
Pakaian si gadis yang menying-kapkan aurat atas bawah membuatnya menjadi malu,
kasihan juga iba.
"Kakakku memalukan, dia mungkin sudah tak
waras. Jadi gila, padahal ilmunya tinggi, ini sangat berbahaya. Aku harus
membawa gadis itu, menyingkir
yang jauh mencari selamat! Hi hi hi." Dan gadis berjubah biru ini berkelebat
dengan satu gerakan cepat luar biasa tepat pada saat nenek muka setan melepaskan
pukulan ganas ke arah Rajo Penitis. Si gadis sempat
melihat berkiblatnya sinar hitam ke arah si raksasa.
Dia juga melihat manusia raksasa itu melepaskan satu pukulan yang tak kalah
hebatnya. Tanpa perduli dengan apa yang akan terjadi, si
jubah biru sambar tubuh Sriwidari, lalu berkelebat
pergi dengan kepala dipenuhi tanda tanya melihat pu-
kulan si muka setan.
"Hei... jahanam pencuri hendak kau bawa lari
kemana dia!" teriak muka setan. Berkata begitu sekali lagi dia lepaskan pukulan
ke arah orang yang melarikan gadis culikannya. Dua ledakan terjadi berturut-
turut. Ledakan pertama adalah akibat pukulan si ne-
nek yang berbenturan dengan pukulan Rajo Penitis.
Ledakan kedua adalah pukulan si nenek yang diarah-
kan oleh sosok gadis berjubah biru yang tak mengenai sasaran.
Si nenek yang terhuyung-huyung akibat bentu-
ran pertama, menyumpah habis-habisan karena puku-
lan kedua untuk mencegah orang melarikan Sriwidari
tak mengenai sasaran. Dia semakin geram karena di-
kejauhan dia mendengar ada suara orang berkata.
"Walah... hampir mati aku. Sialan... tobaat...!"
Suara lenyap, sosok jubah biru juga lenyap.
Si nenek memandang ke depan. Di depannya
sana Rajo Penitis nampak terkapar. Mulutnya yang
menyemburkan darah keluarkan suara erangan, dada
kembang kempis laksana mau meledak. Kecewa atas
segala yang terjadi, kini sambil menyeringai dia hendak lampiaskan kemarahannya
pada Rajo Penitis yang rupanya menderita luka dalam hebat akibat benturan
pukulan tadi. Dia melangkah tiga tindak. Tangan ka-
nan di angkat tinggi siap melepaskan satu pukulan
mematikan. "Malam ini ajalmu sampai, kau segera mengha-
dap malaikat penjaga neraka makhluk raksasa tolol!"
Si nenek Muka Setan menggeram. Perlahan tangan di-
turunkan siap menghantam. Namun gerakannya jadi
tertahan seketika, mulut ternganga mata memandang
ke satu arah ketika mendadak dia mendengar suara
siulan yang datang dari kejauhan. Si nenek batalkan
niat untuk membunuh lawannya, seperti orang gugup
dia balikkan badan. Tanpa menoleh dia berucap ditu-
jukan pada Rajo Penitis. "Makhluk keparat pengganggu kesenangan orang. Nyawamu
ku perpanjang tiga hari
lagi. Nanti bila urusan pentingku selesai aku akan
mencarimu, mencabut nyawa busukmu!" habis berka-ta dengan tergesa-gesa si nenek
berkelebat pergi tinggalkan Rajo Penitis seorang diri.
Seperginya nenek muka setan, Rajo Penitis ke-
luarkan suara erangan. Dia terbatuk, dada semakin
menyesak, mulut kembali semburkan darah hidup.
Cepat Rajo Penitis masukkan tangannya ke dalam kan-
tong celana dia mengambil dua buah benda kecil ber-
warna merah, lalu memasukkan benda itu ke dalam
mulut. Begitu obat memasuki kerongkongannya, rasa
panas di dada berangsur lenyap, berganti dengan rasa sejuk. Si raksasa bangkit,
duduk dan terlolong seperti orang bodoh. Dia kitarkan pandang, Sriwidari
ternyata lenyap. Tadi dia memang sempat melihat berkelebat-nya sosok serba biru.
Mungkin sosok itulah yang telah melarikan Sriwidari. Dengan perasaan sedih dia
berkata. "Gadis itu sudah dua kali dilarikan orang.
Mungkin dia tidak berjodoh denganku. Kasihan, orang
tuanya terlanjur terbunuh di tanganku. Karena aku
harus mencarinya." Membatin Rajo Penitis. Mendadak dia usap keningnya, kening
langsung mengernyit ketika teringat sahabatnya Gento Guyon. Setengah menge-
rang si raksasa berguman. "Kurcaci kecil, kurcaci jelek. Kemana kau" Aku
sekarang tidak butuh istri
pengganti. Aku memerlukan seorang sahabat. Kurcaci
kecil! Aku Kurcaca ingin bertemu denganmu!"
Terhuyung-huyung Rajo Penitis bangkit berdiri.
Tangan kanan mendekap dada yang masih terasa sa-
kit. Entah mengapa saat itu dia merasa begitu rindu
pada Gento. Kerinduan yang makin menghunjam da-
da, melecut kalbunya yang paling dalam. Aneh entah
kerinduan atau terkenang pada nasib hidupnya sendi-
ri, Rajo Penitis kucurkan air mata. Kemudian seperti orang mabuk dia berlari
tinggalkan tempat itu.
*** 3 Gadis cantik berdandan menor berjubah biru
membawa Sriwidari ke sebuah tempat sunyi tak dari
sungai Citarum. Saat itu banjir besar melanda sekitar kawasan sungai sampai
kebagian pendataran rendah.
Di satu tempat perbukitan si jubah biru turun-
kan gadis dalam panggulannya. Sriwidari lalu diba-
ringkan di atas tanah dengan hanya beralaskan daun dan rumput-rumput kering.
Sesaat lamanya gadis berdandan menor yang sering tertawa-tawa sendiri itu
pandangi gadis yang ditolongnya, dari kepala sampai
ke bagian kuku. Si jubah biru menjadi kasihan melihat bagaimana pakaian
Sriwidari yang acak-acakan, disana sini. Rasa malu melihat semua itu membuat dia
tutupi wajahnya dengan ujung jubah.
"Hik hik hik. Bagaimana aku harus menolong,
bagaimana aku harus mengganti pakaian yang rusak"
Bajuku cuma satu, pakaian juga cuma satu." Kata jubah biru sambil memandangi
dirinya sendiri. Dia lalu gelengkan kepala ketika melihat buntalan yang
tergantung dipinggangnya. "Mengapa aku lupa. Dalam buntalan ini bukankah
terdapat dua lembar pakaian salinan.
Sialan otak masih waras tapi mudah pikun." Si jubah biru yang bukan lain adalah
gadis sinting yang biasa dipanggil Puteri Pemalu dengan cepat menarik buntalan
lalu membukanya. Dia mengambil seperangkat pa-
kaian lengkap, kebetulan sekali pakaian itu berwarna ungu. Gadis sakit ingatan
ini lalu mendekati Sriwidari.
"Dia tidur atau pingsan. Hik hik hik, mungkin
pingsan. Selagi gadis ini pingsan sebaiknya pakaian-
nya kuganti saja." Kata Puteri Pemalu. Beberapa saat lamanya Puteri Pemalu
nampak sibuk mengganti pa-
kaian Sriwidari. Selesai mengganti pakaian orang Pute-ri Pemalu duduk termenung.
Wajahnya nampak sedih,
tapi mulut tetap tertawa.
"Kakakku itu, bagaimana mungkin perangainya
bisa berubah begitu rupa" Dia mengatakan aku gila,
otakku miring. Tak tahunya sekarang malah dia yang
gila. Tapi benarkah karena kegilaannya itu membawa
perubahan pada pukulan sakti yang dia miliki" Puku-
lan yang dilepaskannya padaku sama sekali bukan
pukulan yang biasanya kulihat. Pukulan itu lebih keji, lebih dahsyat bahkan
mengandung racun jahat. Pukulan seperti itu tidak pernah dia miliki sebelumnya.
Ayu Jelita alias Muka Setan. Apa yang telah terjadi pada dirimu" Mengapa kau
hendak berbuat keji pada kaum
sejenis?" kata Puteri Pemalu dengan perasaan sedih.
Walau dirinya merasa prihatin melihat apa yang terjadi pada Si Muka Setan, namun
mulutnya tetap menyemburkan tawa. Suara tawa lenyap, Puteri Pemalu pan-
dangi Sriwidari. Gadis itu masih belum sadarkan diri.
Gadis berdandan menor mulai diliputi kegelisahan.
Bukan gelisah memikirkan Sriwidari, melainkan kare-
na hati dan fikirannya merasa tidak dapat menerima
apa yang telah dilakukan oleh Si Muka Setan. Dia ma-
sih ingat beberapa waktu yang lalu telah terjadi pembantaian keji atas keluarga
Si Muka Setan. Seperti diketahui, Si Muka Setan sesungguhnya adalah guru Pu-
teri Pemalu, namun gadis yang terganggu ingatan ini
suka memanggilnya kakak.
Puteri Pemalu ingat beberapa hari yang lewat Si
Muka Setan pergi untuk memimpin pertemuan di Kia-
ra Condong. Puteri Pemalu mencoba mengikuti tapi
kehilangan jejak. Kelanjutan pertemuan gadis sakit ingatan itu tidak tahu. Tapi
kemudian terjadi sesuatu
yang mengejutkan. Dia yang dalam perjalanan menuju
ke tempat pertemuan untuk mencari Bagus Awan Pe-
teng melihat gurunya hendak melakukan perbuatan
terkutuk pada seorang gadis.
Puteri Pemalu dekap wajahnya, mulut bergu-
man. "Muka Setan. Benarkah dia kakakku" Atau
mungkin masih ada si Muka Setan yang lain. Jika be-
nar yang kulihat tadi malam itu adalah kakakku, men-
gapa pukulannya lain" Pukulan sakti yang dile-
paskannya sama sekali bukan pukulan yang biasanya"
Apakah mungkin dia menciptakan ilmu pukulan baru
yang tak pernah diajarkannya padaku" Harusnya aku
segera menyelidik. Tak mungkin aku menunggui gadis
ini sampai sadar. Jika dia nanti tahu aku punya hu-
bungan dengan Muka Setan aku bisa mendapat malu
besar! Hik hik." Kata Puteri Pemalu disertai gelak tawa panjang.
Sekali lagi gadis sakit ingatan ini pandangi Sri-
widari. Setelah itu dia lakukan tiga totokan di bagian dada untuk memperlancar
jalan darah di tubuh Sriwidari, kemudian dia bangkit berdiri. "Aku tak bisa me-
nunggumu sampai sadar. Aku takut banyak perta-
nyaanmu. Aku bisa jadi malu. Aku harus pergi menca-
ri Si Muka Setan. Aku akan bertanya segala sesuatu
tentang kebejatan yang hendak dia lakukan padamu.
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hik hik hik!" selesai dengan ucapannya Puteri Pemalu jejakkan kaki, lalu
berkelebat tinggalkan Sriwidari seorang diri.
Tak lama setelah perginya gadis sinting tadi,
Sriwidaripun siuman. Dia jadi kaget ketika dapatkan
dirinya berada di pinggir sungai itu seorang diri, lebih kaget lagi ketika
mendapati pakaiannya yang hancur
habis tercabik-cabik kini telah berganti dengan pa-
kaian yang lain. Ingat sekaligus sadar dirinya telah ditolong oleh seseorang,
tanpa menghiraukan rasa sakit
yang mendera sekujur tubuhnya Sriwidari kitarkan
pandang. Tidak terlihat Rajo Penitis, tidak terlihat pula Si Muka Setan yang
hendak menodai dirinya.
Tempat itu sama sekali telah berubah. Saat itu
dia mulai menyadari dirinya berada di tepi sebuah
sungai, di pinggir kawasan hutan pinus.
Sriwidari merasa gembira karena dirinya terle-
pas dari ancaman aib besar. Tapi siapa yang telah menolong dan memberinya
pakaian" Gadis itu pejamkan
matanya, mencoba mengingat-ingat. Yang teringat
olehnya justru ketika pondok yang terkena hantaman
pukulan nenek Muka Setan hancur berantakan, dia
yang berada di atas lantai pondok terpelanting tinggi ke udara. Kemudian selagi
tubuhnya meluncur deras
dengan kepala menghadap ke arah batu, si raksasa
Rajo Penitis mencoba menyelamatkannya. Bagian ke-
pala dapat diselamatkan dari kehancuran, tapi bagian tubuh yang lain menghantam
batu. Lalu dia jadi tak
sadarkan diri. Sriwidari menduga mungkin selagi di-
rinya dalam keadaan tak sadar itulah seseorang yang
begitu baik hati telah menyelamatkannya. Memba-
wanya pergi ke tempat yang aman, di pinggir sungai
itu. "Siapapun yang telah menyelamatkan diriku
aku patut mengucapkan rasa terima kasih. Tapi dima-
na penolongku itu sekarang" Dia sengaja tidak mau
menungguiku hingga sadar. Tidak mau mendengar se-
gala basa-basi atau memang ada sesuatu yang diraha-
siakannya!" batin si gadis. Beberapa saat berlalu, Sriwidari masih dalam
sikapnya, menelentang sedangkan
mata menerawang memandang ke langit dimana ma-
tahari baru saja menampakkan diri di langit sebelah
timur. Sriwidari lalu menggeliat, bangkit duduk. Saat
duduk dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Dia
gelengkan kepala untuk mengusir rasa sakit yang
menghebat. Belum lagi rasa sakit hilang sepenuhnya
mendadak dia mendengar suara langkah kaki. Sriwida-
ri tercekat, mengira yang datang adalah orang-orang
yang tidak diharapkan atau yang sangat dia benci.
Dia menoleh, memandang ke jurusan mana su-
ara langkah kaki terdengar. Semak belukar di bawah
deretan pohon pinus tersibak. Muncul sosok kepala,
tidak satu tapi sebanyak empat orang. Orang pertama
yang munculkan diri di tempat itu adalah seorang ga-
dis cantik berpakaian putih berkembang merah. Ram-
but terurai, kulit putih mulus. Di pinggang sebelah kiri membekal sebilah
pedang, sarung pedang berwarna
kuning keemasan. Sedangkan yang di belakangnya
dua laki-laki cacat berpakaian kuning. Laki-laki yang satu berbadan kurus,
tangan dan kaki kecil, perut
buncit besar mata buta. Di atas bahu si buta duduk
sang teman atau mungkin saudaranya. Orang yang
duduk di atas bahu badannya lebih besar, sehingga
yang mendukung dengan yang didukung memiliki be-
sar tak seimbang. Laki-laki ini kedua kakinya buntung sebatas lutut, wajah ceria
selalu memperlihatkan ke-bahagiaan, sayang setiap tarikan nafas mengeluarkan
suara aneh seperti orang bengek.
Hati Sriwidari berdebar gelisah, dia sama sekal
tak mengenai ketiga orang itu. Tapi kemudian dia me-
narik nafas lega begitu melihat kemunculan orang ke
empat. Yang terakhir muncul adalah seorang pemuda
berambut gondrong sebahu, bertelanjang dada berce-
lana hitam. Di leher pemuda gagah itu tergantung me-
lingkar seuntai kalung. Mata kalung terbuat dari batu berwarna putih buram
kuning kecoklatan, bentuk ma-ta kalung bulat lonjong.
Jika tiga temannya terheran-heran melihat ga-
dis yang duduk di atas tanah perbukitan itu, sebaiknya si gondrong tercekat,
mulut tersenyum sedangkan
mata dipentang lebar. Bagaimanapun dia tak akan lu-
pa pada gadis di depannya sana, beberapa hari yang
lalu dia menolong si gadis dari cengkeraman Rajo Penitis. Gadis yang sangat
cantik, sering mengusik fikirannya beberapa malam belakangan sayang dia tak tahu
namanya. Sebaliknya Sriwidari merasa gembira sekali ber-
temu dengan si gondrong. Pemuda ini yang telah
membuatnya nekad meninggalkan rumah setelah pe-
ristiwa terbunuhnya sang ayah tercinta Juru Obat An-
gin Laknat di tangan Rajo Penitis. Sriwidari tidak
mampu melupakan si gondrong sejak pertemuan yang
tidak terduga itu. Dia yang sempat marah ketika melihat si gondrong jatuhkan
diri ke sungai, di saat dirinya sedang dalam keadaan polos mandi di sungai.
Pemuda itu memang sempat menyebalkan, tapi belakangan en-
tah mengapa di hatinya timbul bunga-bunga kerin-
duan terhadap pemuda itu. Dia ingin menyapa, sayang
nama si gondrong dia tak tahu. Di samping itu hatinya jadi tidak enak karena si
gondrong datang bersama
seorang gadis yang memiliki wajah tak kalah cantik
dengannya. "Kau... bukankah...!" Agak ragu si gondrong yang bukan lain Pendekar Sakti Gento
Guyon adanya mencoba menyapa ramah.
"Iya aku, Sriwidari. Orang yang pernah kau se-
lamatkan dari tangan manusia raksasa keparat itu!"
kata si gadis. "Aku... aku Gento. Maaf waktu itu aku tak
sempat perkenalkan diri!" kata sang pendekar. Dia lalu melirik ke arah tiga
sahabatnya yang memandangnya
penuh heran karena tak menyangka Gento ternyata
mengenal gadis berpakaian ungu itu. Tanpa diminta
Gento memperkenalkan nama ketiga sahabatnya. "Gadis berbaju putih yang ada
kembangnya ini adalah sa-
habatku, namanya Roro Centil. Pakaiannya indah, se-
tiap pakaian yang dia miliki selalu ada kembangnya.
Karena selain menyukai kembang, orang tuanya me-
mang tukang jual kembang di pasar Kelewer," menerangkan Gento sambil tertawa
lepas. Gadis yang ber-
nama Roro Centil delikkan mata pada si pemuda dan
Gento pura-pura tak melihat. Lalu setelah hentikan
tawanya dia berpaling pada sahabatnya cacat. "Ka-wanku si kuda gering perut
buncit ini namanya Sapa.
Matanya kurang awas, hingga biarpun gajah lewat di
depan mata dia pasti tak melihat. Sedangkan yang
menjadi majikannya dan duduk di atas bahu itu ada-
lah si pemalas bernama Nyana. Kakinya buntung,
mungkin dulu disambar petir. Mereka berdua dikenal
dengan sebutan Sepasang Dewa Berwajah Ganda. Tapi
aku lebih suka memanggil mereka Dewa cacat berna-
sib sengsara. Ha ha ha!" Gento mengakhiri ucapannya dengan tawa bergelak.
"Bocah edan sialan. Mulutmu sungguh mem-
buat gatal telinga kami!" damprat Sapa, tangan si buta menggapai hendak memukul.
Tapi dia memukul angin
karena tak tahu posisi Gento secara pasti.
"Nah, kau dapat melihat begitulah kalau gi-
lanya lagi angot. Orang yang hendak dipukulnya di-
mana, memukulnya kemana." Kata Gento masih saja tertawa. Si buta Sapa jadi kesal
hingga membanting
kakinya. Kaki amblas, Sriwidari kaget sekaligus sadar bahwa laki-laki itu pasti
memiliki tenaga dalam tinggi.
"Sudah, kalian jangan bertengkar. Persoalan
yang kita hadapi belum selesai. Jika kalian terus bica-
ra melantur, biar aku pergi mencari pembunuh kepa-
rat itu seorang diri!" tegas Roro Centil yang diam-diam rupanya merasa tidak
enak hati melihat Gento sering
melirik ke arah gadis cantik yang bernama Sriwidari.
Sepasang Dewa Berwajah Ganda langsung ter-
diam. Gento mengusap wajahnya pulang balik. Se-
dangkan Sriwidari yang mendengar ucapan Roro Centil
jadi terheran-heran tapi kemudian ajukan pertanyaan.
"Pembunuh" Siapa yang dibunuh siapa pula yang
membunuh?"
Roro Centil tidak menjawab pertanyaan orang,
dia memandang ke arah Gento sambil berkata. "Untuk pertanyaanmu itu biar si
gendeng Gento yang menjawab!" Pendekar Sakti Gento Guyon pandangi Roro Centil
sekilas, lalu menatap ke arah Sriwidari. Si Gadis tundukkan kepala, tapi telinga
tetap dipasang siap
mendengar penjelasan orang.
"Begini, beberapa hari yang lalu kami baru saja sampai ke Kiara Condong untuk
melihat pertemuan
para tokoh dan pendekar golongan putih, sekalian in-
gin ikut mendengar hasil pertemuan yang dipimpin
oleh Si Muka Setan." Ujar Gento. Mendengar pemuda itu menyebut Si Muka Setan,
wajah Sriwidari sempat
berubah, namun dia memendam keinginannya untuk
tidak bertanya. Gento kemudian melanjutkan. "Tapi apa yang terjadi disana benar-
benar di luar dugaan.
Seluruh penjaga pertemuan tewas terbunuh, otak me-
reka lenyap kepala bolong. Kemudian mereka yang ha-
dir di dalam ruangan rahasia juga tewas di racun, beberapa diantaranya terkena
pukulan Telapak Beracun.
Bukan hanya itu saja, bahkan pemimpin pertemuan
agaknya mati sehari sebelumnya. Kami menemukan
pusara tak jauh di halaman rumah."
"Pertemuan. Aku memang mendengar tentang
rencana ini sebelumnya," gumam Sriwidari dalam hati.
Dia lalu ajukan pertanyaan. "Apakah kau dan sahabatmu itu sudah tahu siapa
kiranya pembunuh keji
itu?" "Pembunuhan itu mungkin tak bekerja seorang diri, bisa jadi dua orang.
Masih dalam penyelidikan.
Tapi salah seorang diantaranya kami sudah dapat
menduga. Dia adalah si penyedot otak yang dikenal
dengan julukan Perampas Benak Kepala," menerangkan Roro Centil.
"Perampas Benak Kepala. Aku tak mengenal-
nya. Tapi... tadi sahabatmu yang pernah menolongku
mengatakan dia menemukan sebuah kubur pemimpin
pertemuan. Kalau tak salah aku mendengar bukankah
yang memimpin pertemuan itu adalah Si Muka Setan?"
"Benar," sahut Nyana.
Kini Sriwidari dibuat terkejut. Mulut menggu-
mam sedangkan kepala digelengkan beberapa kali.
Keempat orang di depannya tentu saja menjadi heran.
Seakan tak perduli dengan sikap yang ditunjukkan
orang, Sriwidari berkata. "Aku tak percaya bangsat yang bergelar Si Muka Setan
itu benar-benar mampus!
Mungkin pusara itu hanya tipuan, atau sesuatu yang
dibuat untuk mengelabuhi orang lain."
"Gadis cantik, mulutmu lancang sekali. Si Mu-
ka Setan adalah manusia yang sangat disegani, men-
gapa kau seperti membenci dirinya?" tanya Sapa merasa tidak senang.
Sriwidari tertawa panjang, tapi wajahnya jelas
menunjukkan rasa benci. "Orang lain bisa berangga-pan begitu, tapi aku tidak.
Malah jika aku bertemu
dengannya Muka Setan akan kupenggal kepalanya."
Dengus si gadis.
Semakin bertambah heranlah Gento, Roro Cen-
til juga Sepasang Dewa Berwajah Ganda mendengar
suara ketus Sriwidari. Roro Centil yang kenal betul
dengan Si Muka Setan melompat maju. Wajah gadis ini
merah padam, matanya mendelik memandang pada
gadis itu. "Gadis lancang, berani kau menghina dan men-
caci orang yang telah berkubur" Apa salah dan do-
sanya kepadamu hingga kau tega mengucapkan kata-
kata seperti itu?" hardik Roro Centil siap melabrak Sriwidari.
Si gadis tersenyum sinis.
"Dosa si keparat Muka Setan selangit tembus
sedalam lautan. Perbuatannya terhadapku lebih ren-
dah dari binatang. Si Muka Setan baru saja tadi ma-
lam hendak berbuat keji, ingin melampiaskan nafsu
mesumnya kepadaku. Beruntung ada seseorang yang
menolongku, jika tidak mungkin aku mendapat aib be-
sar!" kata Sriwidari. Dia kemudian menuturkan kejadian yang sebenarnya. Termasuk
juga tentang kemun-
culan Rajo Penitis yang membelanya. Tapi pertolongan manusia raksasa itu tak ada
arti bagi Sriwidari karena orang itu telah membunuh ayahnya, lebih celaka lagi
hendak memperistri dirinya.
Gento dan para sahabatnya tentu jadi tercen-
gang mendengar penjelasan Sriwidari. Bagaimana
mungkin Si Muka Setan yang sudah berkubur di da-
lam pusara bisa gentayangan kembali. Malah berubah
jahat bahkan hendak berbuat keji pada Sriwidari. Apakah Si Muka Setan memang
masih hidup, atau mung-
kin ada Muka Setan yang lain" Lalu siapa yang terku-
bur di halaman rumah pertemuan itu" Paling tidak
pertanyaan ini menyelimuti benak setiap orang yang
ikut mendengar penjelasan gadis itu.
Karena Sriwidari melihat rasa tidak percaya pa-
da tatapan mata Gento dan kawan-kawannya. Dia lalu
gerakkan tangannya ke balik pakaian pemberian orang
lalu merenggut pakaiannya yang asli.
Bret! Bret! Pakaian yang tercabik-cabik itu ditunjukkan
pada Gento. Si gondrong memperhatikannya dengan
mata mendelik. Dia tahu pakaian itulah yang dipakai
Sriwidari saat dirinya dibawa lari oleh Rajo Penitis. Ini berarti Sriwidari
memang tidak berkata dusta. Gento
menganggukkan kepala ketika Sapa, Nyana dan Roro
Centil menatap kepadanya.
"Rasanya sulit untuk bisa kupercaya. Nenek
Muka Setan kuketahui sebagai orang normal. Dia per-
nah bersuami, punya anak punya keturunan. Bagai-
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana mungkin dia menyukai kaum sejenis. Kalaupun
itu benar, tentu sudah dilakukannya padaku." Kata Roro Centil dengan mulut
bergetar dan tubuh terasa
dingin. Gento terdiam, untuk membuktikan apakah Si
Muka Setan benar-benar telah mati atau masih hidup,
dia harus membongkar pusara di Kiara Condong. Tapi
mungkin jasadnya sudah mulai membusuk. Satu-
satunya cara adalah menemukan dimana beradanya Si
Muka Setan yang hampir menodai Sriwidari. Jika su-
dah bertemu baru bisa dipastikan orang itu apakah Si Muka Setan yang asli, atau
cuma seseorang yang menyamar sebagai Si Muka Setan. Fikir Gento.
"Bagaimana Gento, kau percaya dengan ucapan
gadis itu?" tanya Roro Centil dalam kebimbangan.
"Aku percaya dia bicara benar. Kurasa memang
ada orang yang sengaja menyiasati kita, melakukan
beberapa penipuan supaya kita jadi bingung. Aku
punya usul, itupun kalau kalian setuju!" ujar Gento,
lalu si gondrong terdiam melihat reaksi gadis disebelahnya. "Apa usulmu. Asal
kau tak menyuruh kami melakukan hal yang tidak-tidak, kami pasti akan mela-
kukannya!" ujar Nyana.
Gento tersenyum. "Usul pertama cocok untuk
kalian. Pekerjaan ini memang pantas untuk dilakukan
berdua." "Katakan cepat!" kata Sapa.
"Baik. Untuk membuktikan benar tidaknya Si
Muka Setan telah mati, kalian harus membongkar ku-
burnya. Dengan begitu kita baru bisa menyakini apa-
kah orang yang hendak berbuat keji pada Sriwidari,
apakah roh Si Muka Setan atau hanya seseorang yang
hendak mencari keuntungan dibalik kematian orang
tua itu." Kata Gento memberi penjelasan.
Sapa dan Nyana tercekat kaget. Sama sekali dia
tak menyangka akan mendapat tugas seperti itu. Tak
dapat dibayangkan betapa ngerinya mereka harus
mengeluarkan orang yang sudah mati dari kuburnya.
"Gento, apakah kau tidak bisa memberi tugas
yang lain untuk kami?" tanya Sapa dengan suara tercekat lidah kelu. Sementara
itu Roro Centil yang tidak mengerti dengan tujuan Gento kernyitkan alisnya.
"Tentu saja bisa," sahut si gondrong dengan senyum bermain dibibirnya. "Paman
berdua boleh mencari Perampas Benak Kepala, setelah itu cari nenek jelek kurang
ajar itu. Apa benar dia Si Muka Setan sebenarnya atau cuma hantu kesasar yang
menyamar se- bagai Si Muka setan...!"
"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Nyana ingin tahu.
"Aku... aku bersama dua gadis ini akan mencari
musuh besarku Panji Anom. Sejak dia menghantam
kalian di telaga, aku tidak lagi mendengar kabar beri-tanya. Apakah dia sudah
menjadi diraja dunia persilatan atau malah menjadi raja diraja
cacing tanah." Kata Gento sambil tertawa.
"Apa yang hendak kau lakukan itu cukup sulit
dan memakan waktu yang lama, Gento. Selain itu an-
caman besar selalu membayangi jiwa kita." Kata Roro Centil. Gento terdiam, tapi
memandang pada Roro
Centil. "Maksudmu?"
"Aku tak akan pergi bersamamu, aku lebih baik
mengambil jalan pintas yang gampang tak mengan-
dung banyak resiko. Terus-terang aku akan menemui
orang pintar. Dia seorang dukun sakti, namanya Mbah
Peti. Dia tahu berbagai hal gaib yang susah dipecah-
kan. Melalui dia aku akan tanyakan segala teka-teki
pembunuhan keji ini, aku juga akan bertanya apa
memang benar Sriwidari hendak dinodai nenek Muka
Setan!" ujar Roro Centil, diam-diam dia melirik ke arah gadis berbaju ungu.
"Mendengar nada ucapan sahabat Roro Centil,
agaknya dia tidak mempercayai ucapanku."
"Bukan tidak percaya, segala sesuatunya harus
dibuktikan bukan" Kami sendiri melihat pusara nenek
Muka Setan di Kiara Condong. Sekarang kau mengata-
kan Si Muka Setan hampir saja menebar aib atas diri-
mu, apakah ini tidak membingungkan"!" ujar Roro Centil sinis.
"Sudahlah, tak perlu berdebat. Kalau Roro Cen-
til mau bertemu dengan dukun sakti bernama Mbah
Pentil itu silahkan saja. Jika nanti bertemu katakan padanya, Gento kirim
salam," ujar si gondrong.
"Apakah kau mengenal dukun sakti dari gu-
nung Sembung itu?" tanya Roro Centil terheran-heran.
Murid si gendut Gentong Ketawa tertawa terba-
hak-bahak. "Mendengar namanya saja baru kali ini.
Bagaimana Mbah Sentir... eeh apa tadi namanya?"
"Mbah Petir." Jawab Roro Centil.
"Ya, Mbah Petir bisa mengenalku" Ha ha ha!"
"Dasar pemuda sinting, tak kenal berlagak ra-
mah." Dengus Roro Centil bersungut-sungut. Gadis itu kemudian memutar badan,
setelah melirik sekilas pada Sriwidari dia pun berkelebat pergi.
"Agaknya Roro Centil membawa satu ganjalan
di hati. Dia seperti tidak suka padaku." Kata Sriwidari seperginya Roro Centil.
Gento tertawa pendek. "Tak usah kau risaukan
dia. Roro Centil memang besar ambek, tapi dia gadis
yang baik." Jawab si pemuda.
"Gento, jadi apa yang harus kami lakukan?" sa-tu suara bertanya. Yang baru
bicara itu adalah Nyana.
Salah seorang dari Sepasang Dewa Berwajah Ganda.
"Kalau kami harus mencari tiga orang yang kau
sebutkan tadi, mungkin cuma arwah kami yang bisa
menjumpaimu lagi!" Sapa menimpali.
"Jika paman berdua merasa tugas ini sangat
berat, sebaiknya paman kembali ke Kiara Condong, la-
lu pastikan apakah benar Si Muka Setan yang terku-
bur di pusara itu. Tapi ingat, jangan kalian ikutan pula menguburkan diri
disana. Ha ha ha."
"Gento, walaupun kami berdua para orang ca-
cat. Kami juga menginginkan keselamatan dan ingin
umur panjang juga. Walaupun bagian badan ini cacat
tapi yang lain-lainnya ditanggung mantap." Celetuk Sapa sambil tersenyum. Gento
menjadi heran, lalu
ajukan pertanyaan. "Apa yang lain-lainnya itu?" Sapa dan Nyana tertawa tergelak-
gelak. Si kurus Sapa ba-
likkan badan sambil melangkah pergi dia menjawab.
"Sebagai orang muda kau tentu tahu apa yang kumaksudkan. Kau laki-laki aku laki-
laki. Perabotan sama
selera sama. Ha ha ha!"
Sang pendekar yang akhirnya tahu maksud
ucapan si buta Sapa jadi geleng kepala sambil me-
nyengir sendiri. Masih dengan tersenyum dia pandangi Sriwidari, bersama gadis
itu memandang kepadanya
juga. Sehingga mata mereka saling bertemu pandang.
Gento kedipkan matanya tiga kali. Sriwidari tunduk-
kan kepala dengan wajah bersemu merah.
"Sekarang kau hendak kemana, Gento?" tanya si gadis, suaranya bergetar menahan
deburan jantung
yang tidak karuan.
"Mencari pembunuh itu, juga mencari Si Muka
Setan." Jawab Gento.
"Jika aku ikut denganmu apakah tidak kebera-
tan?" "Ha ha ha. Aku senang saja diikuti gadis secan-tikmu. Tapi bagaimana jika
calon suamimu Rajo Peni-
tis nanti cemburu melihat kita berduaan?"
Diingatkan akan nama itu wajah Sriwidari
nampak menegang. Dia kepalkan tinjunya, lalu berka-
ta. "Jika bertemu dengannya merupakan satu kebe-runtungan karena dengan begitu
aku dapat membu-
nuhnya, membalaskan kematian ayahku Juru Obat
Angin Laknat!" geram si gadis.
Gento tidak ingin menanggapi karena takut
Sriwidari jadi bertambah marah. Dia hanya tertawa
dan tertawa lagi sambil tinggalkan tepian sungai citarum yang meluap-luap.
*** 4 Nenek Muka Setan terus berlari ke arah mana
siulan tadi terdengar. Sepanjang semak belukar yang
dilewatinya mulutnya terus semburkan kata makian.
Rupanya dia masih kesal karena niat untuk membu-
nuh Rajo Penitis jadi tak kesampaian akibat siulan
yang didengarnya tadi. Di satu tempat tak jauh dari
kerapatan pepohonan besar nenek muka setan henti-
kan langkah. Saat itu daerah disekitarnya masih dis-
aput kegelapan, udara malam menjelang pagi terasa
dingin mencucuk. Bersikap seolah tidak terpengaruh
oleh keadaan alam disekitarnya, si nenek kitarkan
pandang ke sekeliling tempat itu.
Orang yang dicari dan keluarkan siulan tak ada
di tempat itu. Kini dia putar kepala ke kiri. Disana terdapat tebing tanah merah
yang longsor. Si Muka Setan sempat melengak begitu melihat satu sosok duduk di
atas gundukan reruntuhan tanah, duduk dengan kaki
tertekuk menyentuh dagu, sedangkan kedua tangan
memegang kepalanya yang besar bukan main. Sosok
itu berpakaian hitam, wajah ditumbuhi bulu, kedua
mata hampir tertutup seperti terdesak cairan yang
memenuhi bagian atas serta samping kepalanya yang
besar dipenuhi urat bersembulan, berkerenyutan se-
perti hendak meletus.
Memandang pada manusia berkepala besar se-
tengah botak ini membuat si nenek sunggingkan seu-
las senyum sinis, tapi matanya memandang ke arah
laki-laki berpakaian hitam di atas longsoran tanah
dengan tatapan aneh jika tidak dapat dikatakan takut.
"Manusia penyedot otak bergelar Perampas Be-
nak Kepala. Kau baru saja menggagalkan niatku untuk
membunuh makhluk raksasa jahanam yang telah
mengusik kesenanganku. Kau memanggilku, heh"!"
tanya nenek Muka Setan penuh teguran.
Manusia dengan kepala lima kali lebih besar
dari manusia biasa perlihatkan seringai. Otaknya yang sering kacau karena begitu
banyak otak orang lain
yang bercampur aduk dengan otaknya sendiri berfikir.
"Tua bangka muka setan ini tak bisa kupandang en-teng. Ilmunya tinggi, keji, dan
berbahaya. Empat ma-
lam yang lalu aku dapat dikalahkannya, sehingga aku
harus patuh dengan segala perintahnya. Tapi aku tak
boleh tunduk padanya, bersikap patuh selama hi-
dupku. Aku harus menggunakan akal, mencari cara
agar suatu hari nanti, bukan aku yang berada di ba-
wah perintahnya. Melainkan dia yang harus menjalan-
kan perintahku!" batinnya berkata begitu tapi mulutnya tetap bicara lain. "Nenek
Muka Setan, aku tak sengaja telah mengusik kesenangan mu, aku mohon
maaf. Aku sengaja memanggilmu karena ingin bicara
padamu!" jawab Perampas Benak Kepala, suaranya pelan sedangkan wajahnya
tertunduk hingga mengesan-
kan laki-laki angker itu jerih terhadap si nenek.
Si nenek menatap sekilas orang didepannya,
otaknya mulai menduga gerangan apa yang ada dalam
hati manusia cerdik berkepala besar ini. Dia gelengkan kepala berusaha membuang
prasangka buruknya sejauh mungkin. Rasanya tak mungkin Perampas Benak
Kepala yang telah ditundukkannya itu berkhianat ke-
padanya. Perampas Benak Kepala boleh saja punya se-
ribu akal. Tapi si nenek merasa memiliki akal panjang.
"Katakan apa yang ingin kau sampaikan!" berkata Si Muka Setan kemudian setelah
terdiam cukup lama. Perampas Benak Kepala Angkat wajahnya. Se-
pasang mata laki-laki itu memandang tajam ke arah si nenek. Mulutnya membuka.
"Nenek Muka Setan. Sesuai dengan perjanjian kita. Tugasku membunuh para
penjaga pertemuan telah kulaksanakan. Sesuai dengan
perjanjian pula, akhir dari kematian para penjaga merupakan akhir dari
pengabdianku kepadamu! Bukan-
kah begitu?"
Si Muka Setan gelengkan kepala, lalu tertawa
tergelak-gelak.
"Perjanjian itu aku yang membuat, aku yang
atur aku pula yang menentukan. Bila aku menghen-
daki perjanjian diperpanjang. Maka untuk selanjutnya kau tidak akan bisa
menghindar dari tugas-tugas yang harus kau laksanakan. Hik hik hik!"
Perampas Benak Kepala tersentak kaget, ma-
tanya yang hampir tertutup membuka lebar, meman-
dangi si nenek dengan kilatan api amarah, bibir terkatub rapat sedangkan
gerahamnya bergemeletukan.
"Muka Setan keparat! Kau hendak memperalat
diriku, mau memanfaatkan tenagaku demi memenuhi
segala cita-cita gilamu?" geram Perampas Benak Kepala merasa diperbudak.
"Hik hik hik. Benar kuakui otakmu cerdik, tapi
aku lebih pintar, lebih licik darimu. Diriku berada di atas segala kecerdikan
orang. Kau boleh saja memban-tah, kau boleh saja tidak patuhi perintahku. Tapi
kau tidak mungkin bisa lari dariku. Aku tahu dimana ke-lemahanmu, aku tahu apa
saja yang bisa kuperbuat
atas dirimu!"
"Tua bangka jahanam. Baiklah untuk sementa-
ra aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tapi kau
harus ingat aku manusia yang mempunyai seribu akal.
Seluruh otak yang ada dikepalaku ini kelak akan ku-
kerahkan untuk memecahkan teka-teki ilmu pukulan
yang kau miliki."
Nenek Muka Setan hanya tertawa mendengar
ucapan Perampas Benak Kepala. Dengan sikap tenang,
namun penuh kesombongan dia berkata. "Segala keinginanmu tak mungkin terwujud,
malah kau bisa cela-
ka di tanganku." Dengus si nenek. Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Kau dengar,
tugas yang harus kau lakukan adalah mencari seorang pemuda gondrong
bernama Gento Guyon. Jika kau bertemu dengannya,
kau harus menangkap pemuda itu hidup atau mati.
Setelah itu kau harus membawanya ke hadapanku!" Si Muka Setan kemudian menjelaskan ciri-ciri pemuda
yang diinginkannya.
"Orang yang kau maksudkan belum pernah
aku bertemu dengannya." Kata Perampas Benak Kepa-la jengkel.
"Kau manusia cerdik, kau tahu apa yang harus
kau perbuat. Selain itu kau juga harus membunuh pa-
ra sahabat pemuda itu, jangan sisakan walau seorang-
pun!" "Tugas yang kau berikan tidak mudah. Kalau boleh aku tahu, mengapa kau
menginginkan Gento
Guyon?". tanya Perampas Benak Kepala.
"Hik hik hik! Manusia keparat. Kau tidak layak
bertanya. Kau hanya berhak jalankan perintahku!" teriak nenek Muka Setan.
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau juga perempuan edan keparat! Awas! Ke-
lak aku akan membunuhmu!" geram si kepala besar dalam hati.
"Sekarang juga kau harus berangkat!"
"Aku berangkat kapan saja aku mau. Untuk
yang satu itu kau tak boleh mengatur aku. Satu hal
yang ingin kutanyakan, jika pemuda itu telah kuring-
kus kemana aku akan membawanya?"
"Kau tak usah bertanya, aku nanti yang akan
mencarimu!" sahut si nenek.
"Keparat kurang ajar, nenek tua ini semakin
membuat aku geram!" Si Kepala Besar kembali merutuk dalam hati.
"Baik, sekarang segalanya kau yang menentu-
kan. Cepat kau menyingkir, aku ingin memulihkan te-
naga dalamku!" dengus Perampas Benak Kepala sinis.
Si nenek tersenyum, lalu memutar langkah, sekali dia gerakkan kaki maka sosoknya
lenyap dari hadapan Perampas Benak Kepala. Seperginya nenek Muka Setan,
laki-laki itu terdiam. Dia jadi ingat kejadian empat malam yang lalu. Semua yang
berlangsung di malam itu
sekarang seorang membayang jelas di matanya.
Malam itu setelah terjadi perkelahian antara di-
rinya dengan kakek buta yang dikenal dengan julukan
Si Mata Aneh. Tanpa menunggu lebih lama setelah
berhasil membunuh tokoh sesat bermata ganjil di ba-
gian jari tangannya itu si penyedot otak langsung berkelebat pergi tinggalkan
lawannya. Di satu pendataran rendah tidak jauh dari tempat terjadinya
perkelahian Perampas Benak Kepala hentikan larinya. Dia merasa
sejak tadi seperti ada orang yang mengikuti tak jauh dibelakang. Laki-laki
berkepala besar itu menoleh,
memandang ke belakang dengan tatapan penuh seli-
dik. Tapi aneh. Dia tidak melihat sesuatu apapun dibelakangnya. Langkah orang
yang mengikuti seakan le-
nyap ditelan bumi.
"Tidak mungkin aku salah mendengar. Aku je-
las dapat merasakan ada orang yang mengikuti, men-
gapa sekarang lenyap" Lenyap kemana?" fikir si besar kepala. Sekali lagi dia
memandang ke sekelilingnya. Si penguntit yang diharapkannya muncul saat itu juga
tak mau memperlihatkan diri. Perampas Benak Kepala
akhirnya jadi tidak sabar. Dia memutuskan hendak
meneruskan perjalanannya. Tapi baru saja manusia
penyedot otak ini hendak memutar tubuh dan tinggal-
kan tempat itu, entah dari mana datangnya seko-
nyong-konyong di tempat itu telah muncul sosok seo-
rang nenek angker berpakaian kuning berenda putih.
Wajah nenek itu rusak mengerikan bahkan lebih bu-
ruk dari wajah setan. Perampas Benak Kepala yang
sempat tercekat pandangi orang tidak dikenalnya ini
untuk beberapa jenak lamanya. Dengan suara bergetar
dia ajukan pertanyaan. "Makhluk aneh berujud seorang perempuan, wajah buruk
mengerikan seperti se-
tan. Aku merasakan kau membayangi diriku sejak ta-
di. Apakah kau tidak takut mati" Atau kau tidak takut otakmu kupindahkan ke
dalam kepalaku?"
Yang ditanya bukannya menjawab, sebaliknya
malah tertawa tergelak-gelak. Tawa si nenek lenyap,
mulut komat-kamit sambil sunggingkan senyum.
"Apa perlunya takut kepadamu. Buat apa aku
takut mati. Jika kau mempunyai kemampuan memin-
dahkan otak orang lain ke dalam kepalamu, maka aku
punya kemampuan memindahkan rohmu ke neraka.
Hik hik hik!" jawab si nenek dengan sikap pongah dan tak memandang dengan
sebelah matapun pada orang
di depannya. Perampas Benak Kepala keluarkan suara
menggeram! "Lagakmu seperti malaikat pencabut nyawa. Agaknya kau belum tahu
siapa diriku adanya!"
"Hik hik hik. Justru karena aku tahu siapa di-
rimu, justru aku tahu kelebihan yang kau miliki maka aku mengikutimu, membayangi
dirimu. Apakah kau
mengira aku mau melakukan sesuatu hanya untuk
kesia-siaan heh"!"
Perampas Benak Kepala jadi tercengang. Dia
berpikir dan tak habis mengerti apa yang sebenarnya
yang diinginkan oleh nenek bermuka setan ini. Belum
lagi Perampas Benak Kepala sempat ajukan perta-
nyaan, nenek Muka Setan melanjutkan ucapannya ta-
di. "Ketahuilah, terus-terang aku merasa kagum dengan kelebihan yang kau miliki.
Untuk itu kau harus
merasa beruntung karena aku telah memilihmu. Pili-
han yang tepat untuk seorang calon raja di raja dunia persilatan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku"! Hik hik hik. Kau telah kupilih
menjadi seorang pembantu, kau akan berangkat men-
jadi kacung. Satu kedudukan terhormat bagimu kare-
na kau akan kupercaya melakukan tugas-tugas pent-
ing!" tegas nenek Muka Setan.
Wajah angker Perampas Benak kepala nampak
berubah merah padam. Sekujur otot-otot tubuhnya
menegang, mulut terkunci rahang bergerak-gerak. Se-
dangkan urat-urat darah yang bersembulan dikepa-
lanya nampak menggembung, kepala itu sendiri berke-
renyutan tidak ubahnya seperti jantung yang berde-
nyut. Perlahan dia memandang ke depan, menatap
tajam pada nenek muka setan yang kelihatannya me-
rasa tidak bersalah atas apa yang telah diucapkannya.
Perampas Benak Kepala lalu berkata dengan suara
dingin menusuk. "Tua bangka rongsokan muka setan!
Sungguh kau tidak tahu gelagat. Kau mengira kau da-
pat memaksa diriku menjadi seperti apa yang kau in-
ginkan" Aku manusia cerdik. Jika pada Tuhan aku
yang diciptakan tak pernah mengabdi kepadaNya, ada-
lah suatu mimpi jika aku harus berhamba pada manu-
sia butut rongsokan sepertimu!" dengus laki-laki itu
sengit. Si Muka Setan tertawa bergelak.
"Hidupku tak pernah berpijak pada mimpi.
Apapun yang kukatakan adalah kenyataan. Berhari-
hari aku mengikutimu, seluruh gerak gerikmu berada
dalam pengawasanku. Hingga di balik segala keheba-
tanmu aku menemukan sesuatu. Suatu rahasia yang
mungkin tak pernah kau sadari dan mungkin pula tak
pernah diketahui oleh orang lain. Apakah kau ingin
mengatakan apa yang kuucapkan ini sebagai suatu
kedustaan belaka" Aku tak pernah mau ambil perduli.
Yang terpenting bagiku, kau harus menjadi pembantu-
ku. Hik hik hik!"
Si penyedot otak menggeram. "Kau hanya akan
mati sia-sia ditanganku, nenek Muka Setan"!"
Nenek Muka Setan mendengus sinis. "Kau be-
lum tahu siapa diriku. Sikapmu yang menganggap en-
teng orang lain hanya membuat kau cepat jatuh ke
tanganku!"
Perampas Benak Kepala tidak menanggapi. Se-
perti biasanya dia siap mengambil posisi menyerang
dengan mengerahkan kekuatan kepalanya. Tapi tu-
buhnya tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Si
Muka Setan sadar betul jika sampai dari kepala lawan memancarkan sinar biru,
maka dia bisa mendapat ke-sulitan besar. Karena itu habis berkata Si Muka Setan
melesat ke arah lawan sambil gerakkan tangan kanan
kiri ke bagian samping kepala lawannya.
Perampas Benak Kepala tercekat tak menyang-
ka akan mendapat serangan dibagian itu. Sehingga dia melompat mundur, dua tangan
diangkat dipergunakan
untuk melindungi bagian kepalanya, sedangkan kaki
kiri tanpa terduga menyambar perut lawannya.
Plak! Plak! Desss! Dua tangan beradu keras. Benturan itu saja
sudah membuat keduanya bergetar, tapi tendangan
yang menghantam perut si nenek membuatnya terpe-
lanting sejauh tiga langkah. Terbungkuk-bungkuk
sambil menahan sakit luar biasa Si Muka Setan meng-
gerung. Dia terbelalak begitu melihat bagaimana tan-
gannya yang bentrok dengan tangan lawan nampak
gembung bengkak membiru. Tak menyangka lawan ju-
ga memiliki tenaga dalam setinggi itu. Maka nenek
Muka Setan lipat gandakan tenaga dalam. Dua tangan
lalu diangkat tinggi, tanpa memberi kesempatan pada
lawan untuk menggunakan kekuatan kepalanya. Ne-
nek Muka Setan kembali berkelebat, lalu menyerang
dalam jarak dekat tanpa memberi jarak pada lawan-
nya. Perampas Benak Kepala yang selalu mencari ke-
sempatan untuk memusatkan perhatian siap menye-
rang lawan dengan kekuatan kepalanya jadi tercekat.
Dia berkelebat ke samping mencoba hindari hantaman
dan tendangan lawan yang selalu terarah di bagian
samping kepalanya.
Melihat lawan sibuk selamatkan kepalanya, Si
Muka Setan tertawa terkekeh. Tangan kiri lalu berge-
rak menyambar. Dari tangan itu berturut-turut mele-
sat sinar hitam, bergerak sedemikian rupa, seperti di-atur. Tiga sinar
menghantam dari depan belakang juga samping kepala Perampas Benak Kepala. Sambil
merutuk panjang pendek, laki-laki itu cepat tekuk kakinya, bungkukkan badan
hingga kepalanya selamat dari
hantaman sinar menggidikkan tadi. Dalam keadaan
membungkuk tangan digerakkan ke atas.
Buuum! Tiga letusan keras menggelegar, menggoncang
tempat disekelilingnya, merobek kesunyian malam. Si
Muka Setan terhuyung, Perampas Benak Kepala jatuh
terduduk. Muka Setan kembali terkekeh, benturan tadi
memang sempat membuat dadanya terguncang kepala
mendenyut sakit. Dia yang penuh kesombongan dan
selalu menganggap rendah orang lain tidak merasa-
kannya. Malah kini dia kembali melabrak ke depan
siap menghantam titik kelemahan lawan dengan jari
tangannya. Justru pada waktu itu dari bagian kepala
lawan nampak mengepulkan asap putih kebiruan. Lalu
dari kedua sisi kepala di atas bagian telinga membersit sinar biru. terang.
Sinar bergerak sedemikian rupa,
berkelebat menyambar ke arah Si Muka Setan yang
sedang mengapung di udara.
Si nenek tercekat dan keluarkan jeritan me-
nyayat begitu merasakan sambaran angin sinar maut
itu. Tubuhnya sontak berubah kaku, nyeri bukan main
seperti ditusuk ribuan batang jarum. Selain itu pan-
dangannya seolah menjadi gelap, kepala mendenyut. Si Muka Setan tercekat, dia
sadar bahaya besar kini sedang mengancam dirinya. Untuk itu dia kerahkan se-
luruh tenaga, lalu lakukan gerakan sedemikian rupa
hingga membuat tubuhnya yang sedang mengambang
jatuh ke bawah Brees! Begitu jatuh dia langsung bergulingan mende-
kati lawannya. Sinar yang seharusnya menghantam
batok kepala Si Muka Setan kini tiba-tiba berbalik terus bergerak mengejar ke
arah si nenek. Melihat ini Si Muka Setan tercekat. "Keparat jahanam. Dia benar-
benar hendak membolongi kepalaku!" rutuk Si Muka Setan. Mulutnya merutuk, tapi
niatnya tetap berjalan.
Baginya tak ada sesuatu yang dapat menghentikan se-
rangan cahaya maut itu terkecuali dia langsung meng-
hancurkan sumbernya. Karena itu tanpa menghirau-
kan sinar yang melesat dari arah belakang, kini dia lakukan satu lompatan. Dua
jari tangan bergerak menu-
suk bagian atas telinga kiri kanan.
Perampas Benak Kepala menjerit, jeritan kesa-
kitan membuat sinar maut yang mampu menjebol ba-
tok kepala dan memindahkan otak lawannya berang-
sur-angsur surut, lalu lenyap dibalik kepala lawannya.
Laki-laki itu meronta, mencoba membebaskan diri dari jari lawannya yang menusuk
bagian samping kepala
yang lunak. Tapi semakin dia meronta, maka tusukan
yang dilakukan si nenek semakin menghunjam, malah
kepala itu kini mulai meneteskan darah.
"Jahanam, lepaskan tanganmu! Lepaskan...!"
teriak Perampas Benak Kepala sambil meringis kesaki-
tan, sedangkan wajahnya yang angker kini berubah
sepucat kapas. Si Muka Setan tertawa bergelak, mulutnya me-
nyeringai penuh kemenangan.
"Jika aku mau, dua jariku itu bisa langsung
menembus otakmu. Kau tak bakal lolos dari kematian.
Kini keselamatan jiwamu tergantung pada kemurahan
hatiku!" geram Si Muka Setan dingin.
"Keparat! Bagaimana kau tahu salah satu ba-
gian titik kelemahanku?" tanya Perampas Benak Kepala dengan nafas mengengah.
"Hik hik hik! Seperti yang kukatakan, kau boleh saja memiliki seribu akal, tapi
aku manusia yang panjang akal. Orang lain boleh jerih bertemu denganmu,
mereka boleh kau ambil otaknya. Tapi aku, hik hik
hik. Dihadapanku segala kehebatanmu tak mempu-
nyai arti sama sekali!" kata Si Muka Setan ketus.
Perampas Benak Kepala terdiam. Baginya saat
ini yang terpenting adalah mencari selamat. Dalam
keadaan seperti itu tak mungkin dia melawan. Nenek
Muka Setan tahu akan kelemahannya. Tak ada jalan
selamat, satu-satunya jalan adalah mengikuti apa yang diinginkan nenek itu.
"Sekarang kau bisa berbuat apa" Hendak me-
nentang kekuasaanku"!" Si Muka Setan berkata disertai seringai mengejek.
Walaupun darah akibat tusukan jari dikepalanya sudah menetes membasahi sebagian
wajahnya. Namun sedikitpun Perampas Benak Kepala
tidak unjukkan sikap takut. Dengan suara menggereng
dia ajukan pertanyaan. "Aku mengakui kali ini kau menang. Sekarang katakan apa
yang harus kukerja-kan untukmu!"
Si Muka Setan dongakkan kepala, lalu tertawa.
Dia lalu berkata. "Kau harus pergi ke Kiara Condong.
Habisi seluruh penjaga pertemuan para pendekar. Se-
telah itu menyingkir yang jauh. Untuk tugas berikut-
nya aku yang akan melakukannya sendiri!"
"Tugas itu akan kulakukan sekarang. Tapi in-
gat, setelah itu kita tidak mempunyai ikatan atau perjanjian apapun!" kata
Perampas Benak Kepala. Si Mu-ka Setan tertawa bergelak. Dia lalu tarik kedua
jarinya dari kepala laki-laki itu. Perampas Benak Kepala langsung mengusap luka
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil disamping kepalanya. Begi-
tu diusap luka lenyap tak meninggalkan bekas. Si ne-
nek sempat melengak, tapi dia tutupi rasa kagetnya
dengan tawa bergelak.
"Sekarang kau harus pergi ke Kiara Condong.
Jika tugas telah kau lakukan baru kau boleh menemui
aku! Hik hik hik." Selesai berucap dan sambil mengumbar tawa si nenek tinggalkan
lawannya. Perampas Benak Kepala menggeram, dalam ha-
ti dia bersumpah akan mencari dan membunuh nenek
Muka Setan itu untuk membalas kekalahannya malam
ini. *** 5 Gadis itu berlari diantara semak belukar dan
batu cadas yang bertonjolan di permukaan tanah.
Sampai di satu ketinggian dia hentikan larinya. Mata menyapu pandang ke daerah
di sekelilingnya. Dari ketinggian bukit dimana dia berdiri saat itu gadis
berbaju putih berkembang merah ini dapat melihat hijaunya
pemandangan di daerah itu. Dia kemudian menoleh ke
sebelah kiri, bibirnya tersenyum. Gunung Sembung
yang menjulang tinggi ke angkasa sudah tak seberapa
jauh lagi dari tempat dirinya berada. Disayangkan cua-ca kurang begitu baik.
Disana sini terlihat kabut men-gantung menghalangi pemandangan. Selain itu di
atas sana mendung nampak kian menebal. Si gadis merasa
perlu berpacu dengan waktu, dia tak ingin hujan turun di saat mendaki lereng
Sembung. "Mudah-mudahan Mbah Petir ada di tempat.
Aku harus bisa sampai ke pondoknya sebelum kabut
menghadang perjalananku!" kata si gadis yang bukan lain adalah Roro Centil.
Tidak menunggu lebih lama Roro Centil berke-
lebat tinggalkan bukit yang berada di kaki gunung. Dia lalu mengerahkan ilmu
lari cepatnya, hingga dalam
waktu tidak lama dia sudah berada di jalan setapak di lereng sebelah barat
gunung Sembung.
Turunnya rahmat Tuhan ternyata tidak dapat
ditunda. Sebelum Roro Centil sampai ke tempat tujuan kilat menyambar, petir
menggelegar sambung me-
nyambung tiada henti. Lalu hujan pun turun tak kepa-
lang tanggung derasnya. Si gadis semakin memperce-
pat larinya. Sampai di satu lapangan Roro Centil hentikan langkah. Dia memandang
ke sebelah kiri, gadis
ini tercekat, mata membelalak mulut ternganga.
Dia melihat satu pondok porak poranda dikoba-
ri api. Tak jauh di halaman pondok yang tenggelam dalam kobaran api, di atas
tanah satu sosok menelung-
kup dengan wajah dibenamkan ke tanah, dua tangan
menutup telinga, pantat menungging seperti orang su-
jud, sedangkan pakaian tercabik-cabik hangus disana
sini. Dalam keadaan seperti itu dari mulut sosok
yang menungging terdengar suara ratap tak berkepu-
tusan. "Malaikat, walah tobaaat aku. Pondokku habis, harta benda ludes dihantam
petir. Habis sudah semua, Walah... bagaimana ini" Kemana aku harus cari selamat.
Duh Gusti... apa dosa hamba Mu ini. Kalau aku
memang banyak dosa mohon dimaafkan. Oh... tobat...
aku takut... Petir-petir, kalau mau menyambar jangan dekat-dekat sini. Aku suka
kagetan...!" ratap sosok yang ternyata adalah seorang kakek tua penuh rasa
takut. Belum lagi ratap takutnya terhenti, tak jauh dari si kakek kilat kembali
menyambar, petir menggelegar.
Hingga bukan saja membuat si kakek bertambah ke-
cut, tapi kencingnya pun terpancar.
Dut! Dut! Dut! "Walah tobat, hancur sudah kencingku, wa-
duh... waduh tak tertahan sudah kentutku. Sialan,
sungguh sialan. Beginilah kalau jadi orang suka kagetan." Cepat sekali si kakek
pergunakan tangan untuk mendekap aurat serta ujung punggungnya agar kencing dan
kentutnya tidak keluar lebih banyak lagi.
Usaha yang dilakukannya ini hanya sia-sia,
kencing tetap terpancar sedang kentut terus terdengar bertalu-talu.
Si kakek berambut panjang kelabu jadi kalang
kabut. Dia bangkit berdiri. Tangan kiri dipergunakan untuk mendekap auratnya,
sedangkan tangan kanan
dipergunakan untuk mendekap bagian pantatnya.
Memancarnya air kencing dan deru suara kentut terus
saja terdengar, apalagi saat itu entah petir terus menyambar menggelegar
disekitar lapangan.
"Waduh kaget lagi, ngocor lagi, kentut lagi! Sialan. Kalau begini jika sampai
ketahuan orang aku bisa malu besar. Masa sudah tua bangka kencing dan kentut di
celana!" si kakek merutuk habis-habisan.
Tak jauh dari si kakek yang tampak kalang ka-
but menghentikan kencing dan kentutnya. Roro Centil
yang memperhatikan sejak tadi tak dapat lagi mena-
han tawanya. Walau si kakek yang selalu menonggeng
dan sibuk mendekap aurat serta bagian di bawah au-
rat setiap mendengar suara petir walau pakaiannya
sudah kacau sedemikian rupa tapi jelas dia masih
mengenali orang tua itu. Si gadis kemudian berseru
keras. "Mbah Petir dukun sakti yang suka kagetan.
Aku Roro Centil datang menyambangimu?"
Si kakek berpakaian hitam berbadan tinggi be-
sar yang sering kaget dan ketakutan bila mendengar
suara petir nampak celingukan. Dia lalu berdiri tegak, tangan masih mendekap
selangkangan dan bagian bawah selangkangannya. Sementara itu suara petir tidak
lagi terdengar, hujan mulai mereda. Si kakek terheran-heran, tubuhnya yang terus
bergoyang tak mau diam
bagaikan pucuk ilalang ditiup angin kemudian berpu-
tar. Dia jadi melengak kaget. Rasa kaget yang mem-
buat kencing dan kentutnya keluar tak dapat ditahan
lagi. "Waduh, mancur sudah. Waduh kentut lagi...!"
Si kakek sambil mendumel dan merasa malu tutupi
bagian yang memancarkan kencing dan keluarkan
kentut, sehingga keadaannya saat itu membuat geli
bagi orang yang melihatnya.
Si gadis melangkah mendekati si kakek. Orang
tua itu dengan malu-malu malah melangkah mundur
menjauh. Sedangkan tatap matanya memandang ke
depan berusaha mengenali orang. Sepasang alis si ka-
kek kemudian berkerut. Mulutnya keluarkan satu se-
ruan. "Kau... kau... bukankah kau gadis konyol yang dulu suka menjahiliku?"
tanya si kakek yang pendengarannya agak budek ini. Si gadis hanya tersenyum
mendengar ucapan Mbah Petir. Kemudian orang tua
itu ketuk keningnya. "Tidak salah, kau pasti Roro Upil.
Bocah kampret yang dulu sering menggelitik telingaku selagi tidur hingga
sekarang terjadi ketidak beresan pada pendengaranku."
"Bukan itu namaku, namaku Roro Centil...!"
"Apa...?" Roro Cendil?"
"Bukan Cendil. Cendil itu bubur Mbah! Maka-
nan ringan buatan orang jawa. Namaku Roro Centil,
Centil, bukan Cendil!" teriak si gadis dengan suara keras dan perasaan jengkel.
Mbah Petir tersenyum. "Oh, ya... aku baru in-
gat, bukankah namamu Roro Centil, bukan Upil atau
Cendil"!" kata si kakek.
Roro Centil yang sekujur tubuh dan pakaian-
nya jadi basah terkena curahan air hujan jadi bersungut-sungut.
"Sejak tadi aku juga sudah bilang begitu!" kata si gadis. Dia lalu pandangi
kakek di depannya. Menya-
dari dirinya diperhatikan begitu rupa Mbah Petir jadi celingukkan. Dia malu,
karena sadar celananya yang
basah bukan saja karena terkena siraman air hujan,
tapi juga karena terkena pancaran air kencingnya sendiri. "Mbah... kau kencing
di celana ya Mbah" Mbah kaget lagi, Mbah jadi terkencing-kencing dan kentut
lagi, bukankah begitu Mbah?" tanya si gadis.
Dalam suasana hujan begitu rupa, pendenga-
ran si kakek semakin ngaco. Sehingga lain yang di-
tanya lain pula yang jawaban si kakek.
"Siapa bilang aku membakar gubukku sendiri.
Apa kau kira aku sudah gila. Pondok itu baru saja dihantam petir. Untung aku
masih bisa menyelamatkan
diri. Syukur cuma pakaianku yang terbakar, bagaima-
na kalau sekujur tubuhku yang terbakar. Lagipula
sialnya dirimu ini, datang bertamu di saat musim hu-
jan begini!" Mbah Petir mengomel.
Roro Centil menarik nafas, lalu gelengkan kepa-
la. Rasanya tak sabar dia menghadapi orang tua tuli
yang suka kagetan ini. Mau bicara salah tak bicara ju-ga salah"
"Terserahmulah, Mbah. Aku bicara apa kau
menjawab kemana?" kata Roro Centil dalam hati.
"Roro Centil. Kau tak usah sedih. Aku punya
tempat tinggal lain tak jauh dari sini. Mari ikuti aku.!"
berkata begitu si kakek balikkan badan kemudian ber-
kelebat menyisir jalan setapak di sebelah timur pondok yang terbakar. Roro
Centil yang mengikuti tak jauh dibelakang terpaksa dekap hidungnya saat tercium
bau pesing menyengat.
"Orang tua ini mungkin sepanjang hidup yang
dimakannya cuma jengkol melulu!" umpat gadis itu.
Tak lama setelah melewati pepohonan besar
mereka sampai di sebuah pondok sederhana yang be-
rada di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Mbah
Petir membuka pintu, dia melangkah masuk, lalu pin-
tu di tutupnya kembali. Dari dalam pondok terdengar
suara si kakek.
"Kau tunggu dulu di situ. Aku tadi banyak ka-
get dan ketakutan sekali. Kau sudah tahu penyakitku, jika terkejut dan takut
terus menerus akibatnya kentut dan kencingku tak dapat ku tahan.!"
Roro Centil menanggapi. "Bagaimana jika kau
ketakutan dan terkejut sepanjang hari. Cairan ditu-
buhmu bisa amblas menjadi kencing, sedangkan ken-
tutmu tidak berupa angin lagi tapi ampasnya juga ikut keluar. Hi hi hi!"
Karena pada dasarnya Mbah Petir orang tuli.
Maka ucapan si gadis terdengar samar ditelinganya.
Sehingga enak saja dia menjawab. "Sabar dulu kau di situ. Aku baru hendak
bertukar celana."
Mendengar jawaban si kakek, Roro Centil hanya dapat
mengurut dada. Dia pun akhirnya memilih diam. Fi-
kirnya dari pada bicara dan dijawab tak karuan kejuntrungannya lebih baik
berdiam diri. Tak lama pintu
pondok terbuka. Di dalam pondok suasana nampak te-
rang temaram karena di dalam ruangan itu hanya ada
sebuah pelita kecil yang menerangi. Roro Centil duduk di sudut kiri, sedangkan
di depannya Mbah Petir yang sudah berganti pakaian duduk menghadap sebuah
pendupaan berisi bara menyala.
*** 6 Mulut Mbah Petir yang tertutup kumis berwar-
na putih kelabu komat-kamit, entah membaca mantra
atau apa. Roro Centil jadi ingat Mbah Petir dulu suka minum teh tubruk. Tak
pernah menggunakan sarin-gan. Habis minum serbuk teh menempel dikumisnya.
Jadi kumis itu fungsinya antara lain sebagai penyaring teh.
Habis komat-kamit, Mbah Petir taburkan ser-
buk kayu damar. Terdengar suara berkeretakan ketika
serbuk damar menyentuh permukaan bara. Pondok
kecil itu kemudian menjadi gelap diwarnai asap tebal agak kecoklatan. Dalam
gelap Mbah Petir terbatuk diselingi suara kentut bertalu-talu. Untung di dalam
ruangan itu dipenuhi asap serbuk damar yang terba-
kar, sehingga kentut Mbah Petir yang konon mengan-
dung racun jahat mematikan tak tercium oleh Roro
Centil. Setelah menunggu tak seberapa lama asap teb-
al lenyap, di depan sana wajah Mbah Petir semakin hitam dipenuhi jelaga. Roro
Centil berlagak tak tahu.
Beberapa saat si kakek dan gadis itu saling berpan-
dangan. Mbah Petir kemudian membuka mulut, sua-
ranya memecah keheningan suasana.
"Roro Centil! Kita bersahabat sudah cukup la-
ma. Kau datang kemari tentu bukan ingin menjam-
bangi tua bangka ini bukan" Kau datang dengan
membekal satu persoalan pelik, menyangkut kegegeran
yang terjadi di Kiara Condong, bukankah begitu?"
tanya si kakek. Sesaat dia memandang ke atas bara
dalam pendupaan, kemudian mengangkat wajah lalu
memandang lurus ke arah si gadis.
"Begitulah kira-kira, Mbah. Aku memang da-
tang membekal suatu persoalan rumit. Persoalan itu
menyangkut terbunuhnya pemimpin pertemuan para
pendekar yang seharusnya berlangsung dua hari yang
lalu. Saya datang kemari adalah ingin menanyakan
siapa sebenarnya yang telah membunuh para tokoh
dan pendekar yang berkumpul di dalam ruangan raha-
sia. Kiranya Mbah Petir bisa membantu saya melalui
kekuatan batin yang Mbah miliki!" Kata si gadis menjelaskan maksud tujuannya.
Mbah Petir anggukkan kepala. Dalam hati Roro
Centil jadi heran, kakek di depannya itu entah menga-pa setiap berada di depan
pendupaan pendengarannya
seakan pulih kembali.
"Hebat. Urusanmu menyangkut masalah pelik.
Orang terbunuh, tapi kau tak tahu siapa pembunuh-
nya" Bagaimana kau bisa tak tahu?" tanya si kakek dengan mata terpejam.
"Kalau aku tahu buat apa aku jauh-jauh da-
tang menemui dan bertanya padamu, Mbah!" sahut si gadis kesal.
Mbah Petir manggut lagi, lalu dia tertawa hing-
ga terlihatlah gigi si kakek yang hanya beberapa buah.
"Kau benar. Jika kau tahu untuk apa susah payah datang ke sini." Ucap Mbah
Petir. Si Mbah kemudian mentertawai ketololannya sendiri. Dia kemudian mengambil
sikap duduk bersila. Dua tangan diletakkan di atas lutut, dua mata dipejamkan.
Mulut Mbah Petir
kembali komat-kamit. Roro Centil sadar saat itu si kakek sedang mengerahkan
kekuatan untuk melakukan
sambung rasa dengan dunia gaib, sehingga si gadis tak bicara apa-apa lagi takut
mengganggu konsentrasi si
kakek. Dia hanya memandang Mbah Petir dengan te-
linga dipentang siap mendengarkan.
Tak berselang lama sekujur tubuh Mbah Petir
bergetar, keringat bercucuran membasahi sekujur tu-
buh dan pakaian Mbah Petir. Mulut Si kakek yang ko-
mat-kamit kemudian terkatub, setelah itu terdengar
suara racau yang tak berkeputusan. Pendupaan yang
terletak di depan Mbah Petir bergetar hebat, sedangkan wajah si kakek nampak
berkerut tegang.
"Kau dengar!" dengan mata terpejam si kakek berucap. "Aku melihat ada rumah
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar. Kejadian ini kurasa sebelum terjadinya pembantaian itu." Menerangkan si
kakek. Dia lalu melanjutkan ucapannya.
"Aku melihat banyak penjaga disana. Ada umbul-
umbul, banyak pula penjaga yang bersembunyi. Aku
juga melihat... aku melihat ada seorang laki-laki berkepala setan, maksudku
kepalanya besar sekali. Laki-
laki itu dihadang oleh dua orang pengawal berseragam putih. Oh... oh, dua
pengawal itu dibunuhnya dengan
Pendekar Penyebar Maut 7 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Ilmu Silat Pengejar Angin 3
1 Matahari telah lama tenggelam. Dingin udara
menjelang malam terasa mencucuk tulang. Di langit
sebelah timur bulan mulai menampakkan diri meng-
gantikan sang surya yang lenyap di ufuk barat. Di bawah sebatang pohon rindang,
satu sosok dengan besar
badan seperti raksasa tidur melingkar dengan tangan bersilangan di depan dada.
Nampaknya dia tidur pulas sekali. Dada kembang kempis, mulut sesekali perden-
garkan suara mendengkur. Nyenyak tidur sosok raksa-
sa yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam lebat
tak berlangsung lama. Sesaat kemudian tubuhnya
menggeliat, dua kelopak mata yang terpejam bergerak-
gerak. Sayup-sayup telinganya mendengar suara berla-
ri di kejauhan. Sosok raksasa ini membuka mata. Dia
kemudian bangkit, duduk dengan kedua tangan men-
dekap lutut. Dua matanya makin melebar, memandang
ke satu arah di sebelah kiri dimana suara orang berlari makin bertambah dekat,
makin jelas. Masih tetap berada di tempatnya, sosok tinggi
besar manusia raksasa ini menoleh ke kanan. Disana
berdiri tegak sebuah pondok berlantai tinggi. Keberadaan pondok di tengah hutan
sunyi diapit kerapatan
pohon besar ini sejak dia sampai di tempat itu sore ta-di memang sempat
mengundang tanya. Pondok bagus
di tengah hutan, berpintu tapi tidak bertangga. Entah siapa tuan dari pemilik
pondok itu. Kini setelah mendengar ada suara orang berlari ke arahnya paling
tidak menimbulkan dugaan bahwa orang yang datang bukan
lain pemilik pondok itu.
Suara langkah kaki orang berlari makin ber-
tambah dekat. Timbul perasaan tidak enak bagi sosok
raksasa. Masih dalam keadaan terduduk dia lakukan
satu gerakan. Laksana kilat tubuhnya melesat ke atas cabang pohon, mendekam di
situ di balik reranting
daun sambil mengintai. Tidak berapa lama satu semak
belukar tersibak, muncul seorang nenek berambut pu-
tih, berpakaian kuning dengan renda-renda putih pada setiap sisinya. Sosok
raksasa terus mengawasi. Nenek yang baru munculkan diri ternyata berwajah seram
rusak seperti bekas dicacah. Wajahnya seolah bukan
rupa manusia lagi, tapi angker laksana setan. Rupanya dia tidak sendiri karena
di atas bagian bahu sebelah kiri tergeletak menelungkup satu sosok lain, agaknya
seorang gadis, berpakaian serba ungu. Wajah gadis itu sama sekali tidak terlihat
tertutup rambutnya yang ter-juntai ke bawah.
Sampai di depan pondok si nenek hentikan
langkah, sepasang mata memandang ke atas pondok
sekilas. Sesungging senyum bermain dibibirnya mem-
buat wajah setan si nenek bertambah angker. Tak la-
ma dia melompat ke dalam pondok. Pondok bergetar.
Si nenek lalu melangkah ke sudut ruangan kemudian
baringkan sosok dalam panggulannya di atas balai
bambu. Si nenek menyeringai, dia lalu duduk di balai ketiduran. Tangannya
terjulur bergerak mengelus dagu gadis baju ungu yang ternyata seorang gadis
cantik berkulit putih mulus.
Si gadis yang dalam keadaan tertotok hanya bi-
sa memaki si nenek karena sekujur tubuhnya memang
sulit digerakkan, dalam keadaan kaku tertotok. Tidak hanya tubuh, ternyata jalan
suaranya juga tertotok.
Belaian pada dagu membuat sang dara mendelik.
"Perempuan busuk, manusia edan berotak sint-
ing. Apa yang hendak kau perbuat pada diriku. Tua
bangka edan, berani kau berbuat kurang ajar kubu-
nuh kau!" teriak si gadis. Tapi suara si gadis hanya bergema disekitar rongga
dada dan terhenti ditenggo-rokan. Tak sepatah katapun yang terucap.
Seolah mengerti apa yang ada dalam hati si ga-
dis, si muka setan tersenyum. Tangan yang membelai
dagu kini beralih ke bagian leher. Dia lakukan tiga
usapan di leher sebelah kanan dan sebelah kiri si gadis. Setelah itu si nenek
berucap. "Rupanya kau sudah tidak sabar kekasihku. Berdua-dua tanpa bicara
memang kurang enak. Sekarang kau boleh bicara. Hik hik hik." Pada usapan keempat
membuat si gadis dapat menggerakkan bagian kepala sekaligus bicara, namun
tetap tak mampu menggerakkan bagian tubuh lainnya.
Begitu jalan suara terbebas dari totokan si gadis men-damprat. "Perempuan iblis,
lepaskan totokan ini. Apakah kau sudah gila hendak berbuat mesum dengan se-
sama jenis mu?"
Si nenek tertawa panjang. Dengan mata melotot
dikobari nafsu setan tangan si nenek berkelebat bergerak kebagian dada.
Breeet! Si gadis menjerit kaget. Pakaian di bagian dada
sebelah kiri robek, memperlihatkan bagian dada yang
putih. Darah si nenek laksana menggelegak, otot dis-
ekujur tubuhnya menegang. Tangan si nenek celami-
tan sedangkan mulutnya berucap. "Aku belum gila, ta-pi keindahan tubuhmu membuat
aku tergila-gila. Kau
tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Hik hik hik."
Di atas pohon besar sosok raksasa terus mem-
perhatikan ulah si nenek dengan perasaan heran.
Dia membatin. "Gadis itu jelas gadis culikan.
Tubuhnya dalam keadaan tertotok. Lalu siapa nenek
edan ini" Buat apa dia melakukan semua kegilaannya
pada si gadis" Jangan-jangan nenek muka setan itu
punya kelainan. Kudengar banyak orang yang mem-
punyai kelainan seperti itu. Seperti laki-laki yang
hanya suka pada sesama jenisnya. Gila...!" Sosok raksasa gelengkan kepala.
Sepasang matanya terus memperhatikan, men-
gintip melalui celah atap pondok dan menunggu apa
yang hendak dilakukan si nenek.
Sambil menunggu si raksasa berfikir, dia tak
dapat melihat bagaimana wajah si gadis. Belakangan
ini terlalu banyak kejadian aneh yang terjadi. Salah sa-tu diantaranya adalah
mengenai pertemuan para pen-
dekar golongan putih. Di Kiara Condong.
Konon kabarnya pertemuan itu dilaksanakan
atas gagasan seorang tokoh perempuan yang dikenal
dengan julukan Si Muka Setan. Seorang tokoh golon-
gan lurus namun memiliki wajah seangker setan. Ber-
temu dengan orangnya manusia raksasa ini belum
pernah, tapi melihat si nenek dalam pondok ciri-cirinya sama persis dengan tokoh
itu. Mungkinkah dia orangnya" Manusia yang se-
lama ini dihormati oleh kalangan dunia persilatan.
Apapun yang dilakukan si nenek dalam pondok jelas
dia menyimpan maksud keji pada si gadis. Agaknya
sosok raksasa itu tak perlu menunggu lebih lama ka-
rena pada waktu itu terdengar suara gelak tawa disertai robeknya pakaian yang
direnggut paksa.
Lalu terdengar suara si nenek berucap diantara
deru nafasnya yang memburu tersengal. "Tenang ga-disku, kita akan bercinta
bagaikan suami isteri. Aku kekasihmu, aku suamimu. Hik hik hik!"
"Nenek keparat. Lepaskan aku!" satu pekikan terdengar.
Di dalam pondok di atas balai bambu sosok ga-
dis cantik itu pakaiannya awut-awutan tak karuan.
Dia mencoba menutupi dadanya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dia lakukan
karena tangannya juga tak dapat bergerak.
Melihat keindahan yang terpentang di depan
matanya si nenek jadi tak sabar, nafas memburu da-
rah menggelegak.
Laksana kilat dia melompat ke atas balai bam-
bu. Baru saja si muka setan siap memeluk tubuh gadis itu, tiba-tiba dari bagian
atas atap pondok menderu segelombang angin panas yang langsung melabrak
atap pondok. Atap jebol, tembus sampai ke bagian da-
lam dan menghantam tubuh si nenek. Ternyata dalam
keadaan diri diamuk badai rangsangan si nenek tidak
kehilangan kewaspadaannya. Lebih hebat lagi dia ma-
sih sanggup bergulingan ke lantai pondok sambil me-
nyambar tubuh gadis itu.
Hantaman yang datang dari atap pondok
menghancurkan balai bambu tersebut.
Dengan membiarkan gadis culikan tergeletak di
atas lantai, laksana kilat si nenek melompat bangkit, berdiri tegak memandang ke
arah atap yang jebol berlubang besar, sedangkan mulut semburkan makian
marah. "Kurang ajar, mencari mati berani mencampuri urusan orang!"
Sosok manusia raksasa yang memiliki nama
aneh Rajo Penitis yang kini telah berdiri di atas bu-bungan pondok balas
menghardik. "Tua bangka bu-
suk, muka setan. Usia sudah mendekati ajal. Hendak
berbuat keji dan mesum dengan sesama kaumnya
sendiri, mengapa menyalahkan orang!"
Mendengar jawaban orang darah si nenek lak-
sana mendidih, bukan karena kobaran nafsu melain-
kan karena dibakar amarah. Lalu dia mendongak ke
atas, tangan ditarik ke belakang siap melepaskan satu pukulan keji. Tindakan
yang hendak dia lakukan tak
sempat terlaksana. Karena pada saat itu pula terden-
gar suara tawa bergelak panjang disertai pusaran an-
gin yang menjebol atap pondok. Atap berikut kayu pe-
nyanggahnya terangkat terbang ke udara, berputar la-
lu lenyap di pulas pusaran angin. Dari atap yang jebol melesat turun satu sosok
dengan besar tubuh sangat
luar biasa sekali. Sambil melesat ke lantai pondok secara tak terduga manusia
raksasa ini lepaskan ten-
dangan ke arah si nenek.
Muka setan yang belum habis rasa kagetnya,
surut satu langkah dua tangan dipergunakan untuk
menangkis. Dess! Dess! Buuk! Tangkisan bertenaga dalam penuh mampu
membuat sosok besar ini jatuh terduduk. Tapi kaki lawan yang sangat besar itu
sempat menghantam dada
si nenek, membuatnya mencelat, melayang di udara la-
lu jatuh di atas tanah.
Sambil bangkit berdiri si raksasa yang sempat
melihat wajah gadis itu dua kali dibuat kaget. Pertama dia kaget karena tak
menyangka nenek muka setan itu
memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan akibat
benturan membuat kakinya panas laksana terbakar.
Sedangkan yang kedua dia tidak menyangka gadis
yang hendak digagahi oleh nenek wajah setan adalah
gadis yang sangat dia kenal. Gadis ini bukan lain adalah Sriwidari yang beberapa
hari lalu sempat dilari-
kannya untuk dijadikan istri. Sebaliknya gadis berpakaian ungu begitu melihat
ada orang telah menyela-
matkan dirinya dari aib besar sempat gembira. Tapi
kini jadi kaget dan kembali dilanda ketakutan. Dito-
long oleh manusia raksasa itu baginya sama saja, tidak ubahnya lepas dari mulut
harimau jatuh ke mulut
ikan hiu. Malah kini dia menjadi sangat marah melihat kemunculan Rajo Penitis.
Dendamnya pada manusia
raksasa itu setinggi langit karena dialah yang telah membunuh ayahnya. Juru Obat
Angin Laknat. Untuk
lebih jelas (silahkan baca Episode Ki Anjeng Laknat).
Si raksasa sudah tak sempat lagi memikirkan
gadis itu, apalagi menutupi auratnya yang tidak ka-
ruan. Karena di bawah sana nenek muka setan yang
gusar melihat campur tangan raksasa itu telah bangkit berdiri sambil memandang
sosok besar yang tegak di
atas lantai pondok dengan mata mencorong marah,
disertai tatapan penuh selidik.
Jauh dalam hati sesungguhnya dia juga kaget.
Manusia raksasa ini tentu memiliki berat badan
mungkin lebih dari tiga ratus lima puluh kati. Anehnya ketika dia jejakkan kaki
di atas atap pondok tadi sama sekali tidak menimbulkan guncangan. Bahkan si
nenek sampai tidak tahu ada orang berada di atas pon-
dok. Jika tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa mana mungkin hal itu dapat dilakukannya.
*** 2 Betapapun nenek muka setan sempat dibuat
kagum, tapi kemarahan ternyata lebih besar mengua-
sai jiwa dan fikirannya. Dia tak mengenal siapa raksa-sa ini, namun dia
menyadari sosok raksasa di depan-
nya selain mempunyai tenaga dalam tinggi juga memi-
liki ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna.
"Makhluk raksasa keparat, aku tak pernah ber-
temu denganmu sebelumnya. Mengapa berani lancang
mencampuri urusan orang, siapa dirimu ini yang se-
benarnya!" hardik si nenek.
Si raksasa keluarkan suara tawa pendek. Se-
saat dia pandangi si nenek, merasa muak dia langsung berkata. "Tua bangka dalam
rupa setan. Kau telah melakukan satu kesalahan besar. Bagaimana aku bisa
diam jika orang yang hendak kau gagahi itu adalah calon istriku" Ha ha ha." Lalu
tanpa memberi kesempatan pada nenek muka setan dia melanjutkan ucapan-
nya. "Kau ini bukan saja perempuan edan, tapi juga memiliki kelainan. Kau hendak
berlaku keji pada kaum sejenis. Apakah ini tidak keliru" Mestinya jodoh-mu
adalah laki-laki, karena cuma laki-laki yang memiliki pedang. Lagi pula jika
laki-laki yang kau ajak berbuat mesum, mereka pasti tidak akan marah. Bisa jadi
laki-laki itu senang. Tapi laki-laki mana yang mau den-
ganmu, muka rusak, hancur mengerikan seperti setan.
Kurasa setan bengekpun tak sudi bergendak dengan-
mu!" "Jahanam tengik, kau tak tahu siapa diriku.
Sampai kau mati kau tak bakal mengenali siapa jun-
junganmu ini. Manusia terkutuk cepat katakan siapa
dirimu?" bentak muka setan mengulangi pertanyaannya. "Rupanya kau penasaran. Kau
dengar, namaku Rajo Penitis. Sekarang kau harus mengganti pakaian
calon istriku, kau juga musti memotong tanganmu
yang telah kau pergunakan untuk menggerayangi ga-
dis itu!" berkata Rejo Penitis ulurkan tangan bersikap seolah meminta.
"Rajo Penitis, hem. Jika gadis itu calon istrimu, aku tidak merasa berat
mengganti pakaian dan menyerahkan dua tanganku ini. Kau meminta ambillah sen-
diri!" Nenek muka setan lalu ulurkan tangan kirinya.
Ternyata bukan untuk diserahkan karena begitu tan-
gan si nenek diangsurkan ke depan dari telapak tan-
gan itu menderu angin merah ke arah Rajo Penitis dan juga ke pondok dimana si
raksasa dan Sriwidari berada. Sadar lawan lepaskan pukulan jarak jauh bertena-
ga dalam tinggi, Rajo Penitis melesat ke udara, ber-
jumpalitan dua kali lalu jatuh berdiri di luar pondok.
Justru pada waktu itu terdengar suara berderak pon-
dok yang hancur disertai jeritan si gadis yang terpelanting di udara bersama
puing-puing pondok yang
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertebaran dikobari api. Rajo Penitis terkejut, tapi cepat melompat menangkap
Sriwidari yang meluncur ce-
pat ke arah batu dengan kepala terlebih dulu. Selagi Rajo Penitis berusaha
selamatkan si gadis dari han-curnya kepala akibat membentur batu. Maka kesempa-
tan ini dipergunakan si muka setan dengan mele-
paskan satu pukulan susulan yang tak kalah dahsyat.
Rajo Penitis menjadi gugup, dia dorongkan tan-
gan kanan menyambuti pukulan lawan, sedangkan
tangan kiri diteruskan menangkap tubuh si gadis. Ka-
rena pikirannya terpecah, baik tangkisan yang dilakukannya maupun gerakan tangan
kiri untuk menyela-
matkan Sriwidari tak dapat dilakukannya dengan baik.
Dia hanya dapat menyambar dan membalik kepala si
gadis. Sedangkan bagian tubuhnya tetap jatuh meng-
hempas ke batu. Sekali lagi gadis itu menjerit, benturan keras pada bagian
punggungnya membuat Sriwi-
dari jatuh pingsan seketika.
Manusia raksasa itu sendiri mencelat sejauh
satu tombak terhantam sebagian pukulan lawan yang
tak sempat ditangkisnya. Laksana kilat dia bangkit
berdiri. Akibat pukulan membuat tubuhnya terasa pa-
nas laksana terbakar. Rajo Penitis keluarkan suara
menggerung. Sebaliknya si nenek yang tegak di depan
sana diam-diam menjadi kaget. Pukulan yang dile-
paskannya tadi termasuk salah satu pukulan hebat
yang dia miliki. Tapi pukulan sakti itu hanya membuat lawan jatuh terjengkang
bukan tewas seperti yang diharapkan.
Pingsannya Sriwidari membuat Rajo Penitis jadi
marah besar. Kini dia melangkah maju, setiap gerakan kakinya menimbulkan getaran
hebat pada tanah yang
dipijaknya. "Kau pasti menyesal telah membuat calon istri-
ku jadi seperti itu. Kalau dia sampai mati, kepalamu akan ku pelintir sampai
putus!" "Hik hik hik! Kalau dia tak dapat kumiliki, ba-
gusnya kau dan dia kukirim ke neraka saja!" teriak nenek muka setan.
Suara teriakan dijawab dengan satu tendangan
menggeledek yang menghantam ke dahi, leher dan
tenggorokan si nenek. Angin keras menderu, hebatnya
lagi walau kaki itu besar sekali tapi dapat bergerak laksana kilat, membuat si
nenek keluarkan seruan kaget, lalu melompat mundur kemudian berkelebat gesit
hindari tendangan lawan. Sambil menghindar muka
setan membalas dengan pukulan-pukulan mautnya
hingga perkelahian itu berlangsung seru menegang-
kan. Beberapa jurus lamanya si nenek sempat terde-
sak hebat mendapat tendangan beruntun itu. Tapi se-
telah empat puluh jurus kemudian si nenek melaku-
kan gerakan aneh, lalu dia merobah jurus silat serta
gerakan tubuhnya. Sampai akhirnya sekarang dia ba-
las mendesak lawan, malah beberapa kali jotosan dan
tendangan kilat yang dilakukannya sempat mengenai
bagian tubuh lawannya. Rajo Penitis bertahan mati-
matian. Dia lalu lakukan serangan balasan yang da-
tangnya tidak terduga. Beberapa kali Rajo Penitis berhasil susupkan tangannya
lakukan jotosan ke tubuh
lawan. Nenek muka setan yang kena hantaman ter-
huyung. Jotosan itu memang tak membahayakan ji-
wanya, tapi mampu membuat tubuh goyah, inipun ba-
ginya sudah merupakan sesuatu yang memalukan.
Sekali ini si nenek melompat mundur sejauh ti-
ga langkah dari lawannya. Kemudian tangan diangkat,
lalu dikepal. Mulut nenek muka setan berkemak-
kemik. Dari tinjunya mengepulkan asap tipis kehita-
man, bukan hanya asap yang keluar tapi tinju sampai
sebatas siku telah pula berubah hitam menggidikkan.
Rajo Penitis menyadari lawan agaknya siap mele-
paskan pukulan saktinya. Si raksasa tidak tinggal di-am. Dia segera salurkan
tenaga dalam ke bagian tan-
gan dan kedua kakinya.
Sementara itu di balik sebatang pohon di sebe-
lah kiri tak jauh dari jatuhnya Sriwidari. Satu sosok mendekam disana. Sosok
berjubah biru yang selalu
menutupi wajahnya dengan ujung jubah yang menjun-
tai di depan dada. Sosok ini berada di situ sejak nenek muka setan siap menodai
Sriwidari. Dia bahkan me-nyaksikan perkelahian sengit itu. Entah mengapa begi-tu
melihat si nenek hendak menodai si gadis dia malah menangis tanpa suara sambil
tutupi wajahnya dengan
ujung kain jubah birunya.
"Hik hik hik. Mengapa dia berubah, mengapa
dia hendak berbuat mesum dengan gadis itu" Hik hik
hik. Malu aku jadinya. Apakah terlalu banyak yang di-
fikirkannya, apakah terlalu berat beban yang meng-
himpit batin hingga membuatnya jadi gila, tidak waras pikiran." Sosok yang
ternyata seorang gadis berdandan menor turunkan kain jubah yang dipergunakan
untuk menutupi wajah. Malu-malu dia julurkan kepala, men-
gintip ke arah orang yang berkelahi. Kemudian dia melirik ke arah Sriwidari.
Pakaian si gadis yang menying-kapkan aurat atas bawah membuatnya menjadi malu,
kasihan juga iba.
"Kakakku memalukan, dia mungkin sudah tak
waras. Jadi gila, padahal ilmunya tinggi, ini sangat berbahaya. Aku harus
membawa gadis itu, menyingkir
yang jauh mencari selamat! Hi hi hi." Dan gadis berjubah biru ini berkelebat
dengan satu gerakan cepat luar biasa tepat pada saat nenek muka setan melepaskan
pukulan ganas ke arah Rajo Penitis. Si gadis sempat
melihat berkiblatnya sinar hitam ke arah si raksasa.
Dia juga melihat manusia raksasa itu melepaskan satu pukulan yang tak kalah
hebatnya. Tanpa perduli dengan apa yang akan terjadi, si
jubah biru sambar tubuh Sriwidari, lalu berkelebat
pergi dengan kepala dipenuhi tanda tanya melihat pu-
kulan si muka setan.
"Hei... jahanam pencuri hendak kau bawa lari
kemana dia!" teriak muka setan. Berkata begitu sekali lagi dia lepaskan pukulan
ke arah orang yang melarikan gadis culikannya. Dua ledakan terjadi berturut-
turut. Ledakan pertama adalah akibat pukulan si ne-
nek yang berbenturan dengan pukulan Rajo Penitis.
Ledakan kedua adalah pukulan si nenek yang diarah-
kan oleh sosok gadis berjubah biru yang tak mengenai sasaran.
Si nenek yang terhuyung-huyung akibat bentu-
ran pertama, menyumpah habis-habisan karena puku-
lan kedua untuk mencegah orang melarikan Sriwidari
tak mengenai sasaran. Dia semakin geram karena di-
kejauhan dia mendengar ada suara orang berkata.
"Walah... hampir mati aku. Sialan... tobaat...!"
Suara lenyap, sosok jubah biru juga lenyap.
Si nenek memandang ke depan. Di depannya
sana Rajo Penitis nampak terkapar. Mulutnya yang
menyemburkan darah keluarkan suara erangan, dada
kembang kempis laksana mau meledak. Kecewa atas
segala yang terjadi, kini sambil menyeringai dia hendak lampiaskan kemarahannya
pada Rajo Penitis yang rupanya menderita luka dalam hebat akibat benturan
pukulan tadi. Dia melangkah tiga tindak. Tangan ka-
nan di angkat tinggi siap melepaskan satu pukulan
mematikan. "Malam ini ajalmu sampai, kau segera mengha-
dap malaikat penjaga neraka makhluk raksasa tolol!"
Si nenek Muka Setan menggeram. Perlahan tangan di-
turunkan siap menghantam. Namun gerakannya jadi
tertahan seketika, mulut ternganga mata memandang
ke satu arah ketika mendadak dia mendengar suara
siulan yang datang dari kejauhan. Si nenek batalkan
niat untuk membunuh lawannya, seperti orang gugup
dia balikkan badan. Tanpa menoleh dia berucap ditu-
jukan pada Rajo Penitis. "Makhluk keparat pengganggu kesenangan orang. Nyawamu
ku perpanjang tiga hari
lagi. Nanti bila urusan pentingku selesai aku akan
mencarimu, mencabut nyawa busukmu!" habis berka-ta dengan tergesa-gesa si nenek
berkelebat pergi tinggalkan Rajo Penitis seorang diri.
Seperginya nenek muka setan, Rajo Penitis ke-
luarkan suara erangan. Dia terbatuk, dada semakin
menyesak, mulut kembali semburkan darah hidup.
Cepat Rajo Penitis masukkan tangannya ke dalam kan-
tong celana dia mengambil dua buah benda kecil ber-
warna merah, lalu memasukkan benda itu ke dalam
mulut. Begitu obat memasuki kerongkongannya, rasa
panas di dada berangsur lenyap, berganti dengan rasa sejuk. Si raksasa bangkit,
duduk dan terlolong seperti orang bodoh. Dia kitarkan pandang, Sriwidari
ternyata lenyap. Tadi dia memang sempat melihat berkelebat-nya sosok serba biru.
Mungkin sosok itulah yang telah melarikan Sriwidari. Dengan perasaan sedih dia
berkata. "Gadis itu sudah dua kali dilarikan orang.
Mungkin dia tidak berjodoh denganku. Kasihan, orang
tuanya terlanjur terbunuh di tanganku. Karena aku
harus mencarinya." Membatin Rajo Penitis. Mendadak dia usap keningnya, kening
langsung mengernyit ketika teringat sahabatnya Gento Guyon. Setengah menge-
rang si raksasa berguman. "Kurcaci kecil, kurcaci jelek. Kemana kau" Aku
sekarang tidak butuh istri
pengganti. Aku memerlukan seorang sahabat. Kurcaci
kecil! Aku Kurcaca ingin bertemu denganmu!"
Terhuyung-huyung Rajo Penitis bangkit berdiri.
Tangan kanan mendekap dada yang masih terasa sa-
kit. Entah mengapa saat itu dia merasa begitu rindu
pada Gento. Kerinduan yang makin menghunjam da-
da, melecut kalbunya yang paling dalam. Aneh entah
kerinduan atau terkenang pada nasib hidupnya sendi-
ri, Rajo Penitis kucurkan air mata. Kemudian seperti orang mabuk dia berlari
tinggalkan tempat itu.
*** 3 Gadis cantik berdandan menor berjubah biru
membawa Sriwidari ke sebuah tempat sunyi tak dari
sungai Citarum. Saat itu banjir besar melanda sekitar kawasan sungai sampai
kebagian pendataran rendah.
Di satu tempat perbukitan si jubah biru turun-
kan gadis dalam panggulannya. Sriwidari lalu diba-
ringkan di atas tanah dengan hanya beralaskan daun dan rumput-rumput kering.
Sesaat lamanya gadis berdandan menor yang sering tertawa-tawa sendiri itu
pandangi gadis yang ditolongnya, dari kepala sampai
ke bagian kuku. Si jubah biru menjadi kasihan melihat bagaimana pakaian
Sriwidari yang acak-acakan, disana sini. Rasa malu melihat semua itu membuat dia
tutupi wajahnya dengan ujung jubah.
"Hik hik hik. Bagaimana aku harus menolong,
bagaimana aku harus mengganti pakaian yang rusak"
Bajuku cuma satu, pakaian juga cuma satu." Kata jubah biru sambil memandangi
dirinya sendiri. Dia lalu gelengkan kepala ketika melihat buntalan yang
tergantung dipinggangnya. "Mengapa aku lupa. Dalam buntalan ini bukankah
terdapat dua lembar pakaian salinan.
Sialan otak masih waras tapi mudah pikun." Si jubah biru yang bukan lain adalah
gadis sinting yang biasa dipanggil Puteri Pemalu dengan cepat menarik buntalan
lalu membukanya. Dia mengambil seperangkat pa-
kaian lengkap, kebetulan sekali pakaian itu berwarna ungu. Gadis sakit ingatan
ini lalu mendekati Sriwidari.
"Dia tidur atau pingsan. Hik hik hik, mungkin
pingsan. Selagi gadis ini pingsan sebaiknya pakaian-
nya kuganti saja." Kata Puteri Pemalu. Beberapa saat lamanya Puteri Pemalu
nampak sibuk mengganti pa-
kaian Sriwidari. Selesai mengganti pakaian orang Pute-ri Pemalu duduk termenung.
Wajahnya nampak sedih,
tapi mulut tetap tertawa.
"Kakakku itu, bagaimana mungkin perangainya
bisa berubah begitu rupa" Dia mengatakan aku gila,
otakku miring. Tak tahunya sekarang malah dia yang
gila. Tapi benarkah karena kegilaannya itu membawa
perubahan pada pukulan sakti yang dia miliki" Puku-
lan yang dilepaskannya padaku sama sekali bukan
pukulan yang biasanya kulihat. Pukulan itu lebih keji, lebih dahsyat bahkan
mengandung racun jahat. Pukulan seperti itu tidak pernah dia miliki sebelumnya.
Ayu Jelita alias Muka Setan. Apa yang telah terjadi pada dirimu" Mengapa kau
hendak berbuat keji pada kaum
sejenis?" kata Puteri Pemalu dengan perasaan sedih.
Walau dirinya merasa prihatin melihat apa yang terjadi pada Si Muka Setan, namun
mulutnya tetap menyemburkan tawa. Suara tawa lenyap, Puteri Pemalu pan-
dangi Sriwidari. Gadis itu masih belum sadarkan diri.
Gadis berdandan menor mulai diliputi kegelisahan.
Bukan gelisah memikirkan Sriwidari, melainkan kare-
na hati dan fikirannya merasa tidak dapat menerima
apa yang telah dilakukan oleh Si Muka Setan. Dia ma-
sih ingat beberapa waktu yang lalu telah terjadi pembantaian keji atas keluarga
Si Muka Setan. Seperti diketahui, Si Muka Setan sesungguhnya adalah guru Pu-
teri Pemalu, namun gadis yang terganggu ingatan ini
suka memanggilnya kakak.
Puteri Pemalu ingat beberapa hari yang lewat Si
Muka Setan pergi untuk memimpin pertemuan di Kia-
ra Condong. Puteri Pemalu mencoba mengikuti tapi
kehilangan jejak. Kelanjutan pertemuan gadis sakit ingatan itu tidak tahu. Tapi
kemudian terjadi sesuatu
yang mengejutkan. Dia yang dalam perjalanan menuju
ke tempat pertemuan untuk mencari Bagus Awan Pe-
teng melihat gurunya hendak melakukan perbuatan
terkutuk pada seorang gadis.
Puteri Pemalu dekap wajahnya, mulut bergu-
man. "Muka Setan. Benarkah dia kakakku" Atau
mungkin masih ada si Muka Setan yang lain. Jika be-
nar yang kulihat tadi malam itu adalah kakakku, men-
gapa pukulannya lain" Pukulan sakti yang dile-
paskannya sama sekali bukan pukulan yang biasanya"
Apakah mungkin dia menciptakan ilmu pukulan baru
yang tak pernah diajarkannya padaku" Harusnya aku
segera menyelidik. Tak mungkin aku menunggui gadis
ini sampai sadar. Jika dia nanti tahu aku punya hu-
bungan dengan Muka Setan aku bisa mendapat malu
besar! Hik hik." Kata Puteri Pemalu disertai gelak tawa panjang.
Sekali lagi gadis sakit ingatan ini pandangi Sri-
widari. Setelah itu dia lakukan tiga totokan di bagian dada untuk memperlancar
jalan darah di tubuh Sriwidari, kemudian dia bangkit berdiri. "Aku tak bisa me-
nunggumu sampai sadar. Aku takut banyak perta-
nyaanmu. Aku bisa jadi malu. Aku harus pergi menca-
ri Si Muka Setan. Aku akan bertanya segala sesuatu
tentang kebejatan yang hendak dia lakukan padamu.
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hik hik hik!" selesai dengan ucapannya Puteri Pemalu jejakkan kaki, lalu
berkelebat tinggalkan Sriwidari seorang diri.
Tak lama setelah perginya gadis sinting tadi,
Sriwidaripun siuman. Dia jadi kaget ketika dapatkan
dirinya berada di pinggir sungai itu seorang diri, lebih kaget lagi ketika
mendapati pakaiannya yang hancur
habis tercabik-cabik kini telah berganti dengan pa-
kaian yang lain. Ingat sekaligus sadar dirinya telah ditolong oleh seseorang,
tanpa menghiraukan rasa sakit
yang mendera sekujur tubuhnya Sriwidari kitarkan
pandang. Tidak terlihat Rajo Penitis, tidak terlihat pula Si Muka Setan yang
hendak menodai dirinya.
Tempat itu sama sekali telah berubah. Saat itu
dia mulai menyadari dirinya berada di tepi sebuah
sungai, di pinggir kawasan hutan pinus.
Sriwidari merasa gembira karena dirinya terle-
pas dari ancaman aib besar. Tapi siapa yang telah menolong dan memberinya
pakaian" Gadis itu pejamkan
matanya, mencoba mengingat-ingat. Yang teringat
olehnya justru ketika pondok yang terkena hantaman
pukulan nenek Muka Setan hancur berantakan, dia
yang berada di atas lantai pondok terpelanting tinggi ke udara. Kemudian selagi
tubuhnya meluncur deras
dengan kepala menghadap ke arah batu, si raksasa
Rajo Penitis mencoba menyelamatkannya. Bagian ke-
pala dapat diselamatkan dari kehancuran, tapi bagian tubuh yang lain menghantam
batu. Lalu dia jadi tak
sadarkan diri. Sriwidari menduga mungkin selagi di-
rinya dalam keadaan tak sadar itulah seseorang yang
begitu baik hati telah menyelamatkannya. Memba-
wanya pergi ke tempat yang aman, di pinggir sungai
itu. "Siapapun yang telah menyelamatkan diriku
aku patut mengucapkan rasa terima kasih. Tapi dima-
na penolongku itu sekarang" Dia sengaja tidak mau
menungguiku hingga sadar. Tidak mau mendengar se-
gala basa-basi atau memang ada sesuatu yang diraha-
siakannya!" batin si gadis. Beberapa saat berlalu, Sriwidari masih dalam
sikapnya, menelentang sedangkan
mata menerawang memandang ke langit dimana ma-
tahari baru saja menampakkan diri di langit sebelah
timur. Sriwidari lalu menggeliat, bangkit duduk. Saat
duduk dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Dia
gelengkan kepala untuk mengusir rasa sakit yang
menghebat. Belum lagi rasa sakit hilang sepenuhnya
mendadak dia mendengar suara langkah kaki. Sriwida-
ri tercekat, mengira yang datang adalah orang-orang
yang tidak diharapkan atau yang sangat dia benci.
Dia menoleh, memandang ke jurusan mana su-
ara langkah kaki terdengar. Semak belukar di bawah
deretan pohon pinus tersibak. Muncul sosok kepala,
tidak satu tapi sebanyak empat orang. Orang pertama
yang munculkan diri di tempat itu adalah seorang ga-
dis cantik berpakaian putih berkembang merah. Ram-
but terurai, kulit putih mulus. Di pinggang sebelah kiri membekal sebilah
pedang, sarung pedang berwarna
kuning keemasan. Sedangkan yang di belakangnya
dua laki-laki cacat berpakaian kuning. Laki-laki yang satu berbadan kurus,
tangan dan kaki kecil, perut
buncit besar mata buta. Di atas bahu si buta duduk
sang teman atau mungkin saudaranya. Orang yang
duduk di atas bahu badannya lebih besar, sehingga
yang mendukung dengan yang didukung memiliki be-
sar tak seimbang. Laki-laki ini kedua kakinya buntung sebatas lutut, wajah ceria
selalu memperlihatkan ke-bahagiaan, sayang setiap tarikan nafas mengeluarkan
suara aneh seperti orang bengek.
Hati Sriwidari berdebar gelisah, dia sama sekal
tak mengenai ketiga orang itu. Tapi kemudian dia me-
narik nafas lega begitu melihat kemunculan orang ke
empat. Yang terakhir muncul adalah seorang pemuda
berambut gondrong sebahu, bertelanjang dada berce-
lana hitam. Di leher pemuda gagah itu tergantung me-
lingkar seuntai kalung. Mata kalung terbuat dari batu berwarna putih buram
kuning kecoklatan, bentuk ma-ta kalung bulat lonjong.
Jika tiga temannya terheran-heran melihat ga-
dis yang duduk di atas tanah perbukitan itu, sebaiknya si gondrong tercekat,
mulut tersenyum sedangkan
mata dipentang lebar. Bagaimanapun dia tak akan lu-
pa pada gadis di depannya sana, beberapa hari yang
lalu dia menolong si gadis dari cengkeraman Rajo Penitis. Gadis yang sangat
cantik, sering mengusik fikirannya beberapa malam belakangan sayang dia tak tahu
namanya. Sebaliknya Sriwidari merasa gembira sekali ber-
temu dengan si gondrong. Pemuda ini yang telah
membuatnya nekad meninggalkan rumah setelah pe-
ristiwa terbunuhnya sang ayah tercinta Juru Obat An-
gin Laknat di tangan Rajo Penitis. Sriwidari tidak
mampu melupakan si gondrong sejak pertemuan yang
tidak terduga itu. Dia yang sempat marah ketika melihat si gondrong jatuhkan
diri ke sungai, di saat dirinya sedang dalam keadaan polos mandi di sungai.
Pemuda itu memang sempat menyebalkan, tapi belakangan en-
tah mengapa di hatinya timbul bunga-bunga kerin-
duan terhadap pemuda itu. Dia ingin menyapa, sayang
nama si gondrong dia tak tahu. Di samping itu hatinya jadi tidak enak karena si
gondrong datang bersama
seorang gadis yang memiliki wajah tak kalah cantik
dengannya. "Kau... bukankah...!" Agak ragu si gondrong yang bukan lain Pendekar Sakti Gento
Guyon adanya mencoba menyapa ramah.
"Iya aku, Sriwidari. Orang yang pernah kau se-
lamatkan dari tangan manusia raksasa keparat itu!"
kata si gadis. "Aku... aku Gento. Maaf waktu itu aku tak
sempat perkenalkan diri!" kata sang pendekar. Dia lalu melirik ke arah tiga
sahabatnya yang memandangnya
penuh heran karena tak menyangka Gento ternyata
mengenal gadis berpakaian ungu itu. Tanpa diminta
Gento memperkenalkan nama ketiga sahabatnya. "Gadis berbaju putih yang ada
kembangnya ini adalah sa-
habatku, namanya Roro Centil. Pakaiannya indah, se-
tiap pakaian yang dia miliki selalu ada kembangnya.
Karena selain menyukai kembang, orang tuanya me-
mang tukang jual kembang di pasar Kelewer," menerangkan Gento sambil tertawa
lepas. Gadis yang ber-
nama Roro Centil delikkan mata pada si pemuda dan
Gento pura-pura tak melihat. Lalu setelah hentikan
tawanya dia berpaling pada sahabatnya cacat. "Ka-wanku si kuda gering perut
buncit ini namanya Sapa.
Matanya kurang awas, hingga biarpun gajah lewat di
depan mata dia pasti tak melihat. Sedangkan yang
menjadi majikannya dan duduk di atas bahu itu ada-
lah si pemalas bernama Nyana. Kakinya buntung,
mungkin dulu disambar petir. Mereka berdua dikenal
dengan sebutan Sepasang Dewa Berwajah Ganda. Tapi
aku lebih suka memanggil mereka Dewa cacat berna-
sib sengsara. Ha ha ha!" Gento mengakhiri ucapannya dengan tawa bergelak.
"Bocah edan sialan. Mulutmu sungguh mem-
buat gatal telinga kami!" damprat Sapa, tangan si buta menggapai hendak memukul.
Tapi dia memukul angin
karena tak tahu posisi Gento secara pasti.
"Nah, kau dapat melihat begitulah kalau gi-
lanya lagi angot. Orang yang hendak dipukulnya di-
mana, memukulnya kemana." Kata Gento masih saja tertawa. Si buta Sapa jadi kesal
hingga membanting
kakinya. Kaki amblas, Sriwidari kaget sekaligus sadar bahwa laki-laki itu pasti
memiliki tenaga dalam tinggi.
"Sudah, kalian jangan bertengkar. Persoalan
yang kita hadapi belum selesai. Jika kalian terus bica-
ra melantur, biar aku pergi mencari pembunuh kepa-
rat itu seorang diri!" tegas Roro Centil yang diam-diam rupanya merasa tidak
enak hati melihat Gento sering
melirik ke arah gadis cantik yang bernama Sriwidari.
Sepasang Dewa Berwajah Ganda langsung ter-
diam. Gento mengusap wajahnya pulang balik. Se-
dangkan Sriwidari yang mendengar ucapan Roro Centil
jadi terheran-heran tapi kemudian ajukan pertanyaan.
"Pembunuh" Siapa yang dibunuh siapa pula yang
membunuh?"
Roro Centil tidak menjawab pertanyaan orang,
dia memandang ke arah Gento sambil berkata. "Untuk pertanyaanmu itu biar si
gendeng Gento yang menjawab!" Pendekar Sakti Gento Guyon pandangi Roro Centil
sekilas, lalu menatap ke arah Sriwidari. Si Gadis tundukkan kepala, tapi telinga
tetap dipasang siap
mendengar penjelasan orang.
"Begini, beberapa hari yang lalu kami baru saja sampai ke Kiara Condong untuk
melihat pertemuan
para tokoh dan pendekar golongan putih, sekalian in-
gin ikut mendengar hasil pertemuan yang dipimpin
oleh Si Muka Setan." Ujar Gento. Mendengar pemuda itu menyebut Si Muka Setan,
wajah Sriwidari sempat
berubah, namun dia memendam keinginannya untuk
tidak bertanya. Gento kemudian melanjutkan. "Tapi apa yang terjadi disana benar-
benar di luar dugaan.
Seluruh penjaga pertemuan tewas terbunuh, otak me-
reka lenyap kepala bolong. Kemudian mereka yang ha-
dir di dalam ruangan rahasia juga tewas di racun, beberapa diantaranya terkena
pukulan Telapak Beracun.
Bukan hanya itu saja, bahkan pemimpin pertemuan
agaknya mati sehari sebelumnya. Kami menemukan
pusara tak jauh di halaman rumah."
"Pertemuan. Aku memang mendengar tentang
rencana ini sebelumnya," gumam Sriwidari dalam hati.
Dia lalu ajukan pertanyaan. "Apakah kau dan sahabatmu itu sudah tahu siapa
kiranya pembunuh keji
itu?" "Pembunuhan itu mungkin tak bekerja seorang diri, bisa jadi dua orang.
Masih dalam penyelidikan.
Tapi salah seorang diantaranya kami sudah dapat
menduga. Dia adalah si penyedot otak yang dikenal
dengan julukan Perampas Benak Kepala," menerangkan Roro Centil.
"Perampas Benak Kepala. Aku tak mengenal-
nya. Tapi... tadi sahabatmu yang pernah menolongku
mengatakan dia menemukan sebuah kubur pemimpin
pertemuan. Kalau tak salah aku mendengar bukankah
yang memimpin pertemuan itu adalah Si Muka Setan?"
"Benar," sahut Nyana.
Kini Sriwidari dibuat terkejut. Mulut menggu-
mam sedangkan kepala digelengkan beberapa kali.
Keempat orang di depannya tentu saja menjadi heran.
Seakan tak perduli dengan sikap yang ditunjukkan
orang, Sriwidari berkata. "Aku tak percaya bangsat yang bergelar Si Muka Setan
itu benar-benar mampus!
Mungkin pusara itu hanya tipuan, atau sesuatu yang
dibuat untuk mengelabuhi orang lain."
"Gadis cantik, mulutmu lancang sekali. Si Mu-
ka Setan adalah manusia yang sangat disegani, men-
gapa kau seperti membenci dirinya?" tanya Sapa merasa tidak senang.
Sriwidari tertawa panjang, tapi wajahnya jelas
menunjukkan rasa benci. "Orang lain bisa berangga-pan begitu, tapi aku tidak.
Malah jika aku bertemu
dengannya Muka Setan akan kupenggal kepalanya."
Dengus si gadis.
Semakin bertambah heranlah Gento, Roro Cen-
til juga Sepasang Dewa Berwajah Ganda mendengar
suara ketus Sriwidari. Roro Centil yang kenal betul
dengan Si Muka Setan melompat maju. Wajah gadis ini
merah padam, matanya mendelik memandang pada
gadis itu. "Gadis lancang, berani kau menghina dan men-
caci orang yang telah berkubur" Apa salah dan do-
sanya kepadamu hingga kau tega mengucapkan kata-
kata seperti itu?" hardik Roro Centil siap melabrak Sriwidari.
Si gadis tersenyum sinis.
"Dosa si keparat Muka Setan selangit tembus
sedalam lautan. Perbuatannya terhadapku lebih ren-
dah dari binatang. Si Muka Setan baru saja tadi ma-
lam hendak berbuat keji, ingin melampiaskan nafsu
mesumnya kepadaku. Beruntung ada seseorang yang
menolongku, jika tidak mungkin aku mendapat aib be-
sar!" kata Sriwidari. Dia kemudian menuturkan kejadian yang sebenarnya. Termasuk
juga tentang kemun-
culan Rajo Penitis yang membelanya. Tapi pertolongan manusia raksasa itu tak ada
arti bagi Sriwidari karena orang itu telah membunuh ayahnya, lebih celaka lagi
hendak memperistri dirinya.
Gento dan para sahabatnya tentu jadi tercen-
gang mendengar penjelasan Sriwidari. Bagaimana
mungkin Si Muka Setan yang sudah berkubur di da-
lam pusara bisa gentayangan kembali. Malah berubah
jahat bahkan hendak berbuat keji pada Sriwidari. Apakah Si Muka Setan memang
masih hidup, atau mung-
kin ada Muka Setan yang lain" Lalu siapa yang terku-
bur di halaman rumah pertemuan itu" Paling tidak
pertanyaan ini menyelimuti benak setiap orang yang
ikut mendengar penjelasan gadis itu.
Karena Sriwidari melihat rasa tidak percaya pa-
da tatapan mata Gento dan kawan-kawannya. Dia lalu
gerakkan tangannya ke balik pakaian pemberian orang
lalu merenggut pakaiannya yang asli.
Bret! Bret! Pakaian yang tercabik-cabik itu ditunjukkan
pada Gento. Si gondrong memperhatikannya dengan
mata mendelik. Dia tahu pakaian itulah yang dipakai
Sriwidari saat dirinya dibawa lari oleh Rajo Penitis. Ini berarti Sriwidari
memang tidak berkata dusta. Gento
menganggukkan kepala ketika Sapa, Nyana dan Roro
Centil menatap kepadanya.
"Rasanya sulit untuk bisa kupercaya. Nenek
Muka Setan kuketahui sebagai orang normal. Dia per-
nah bersuami, punya anak punya keturunan. Bagai-
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana mungkin dia menyukai kaum sejenis. Kalaupun
itu benar, tentu sudah dilakukannya padaku." Kata Roro Centil dengan mulut
bergetar dan tubuh terasa
dingin. Gento terdiam, untuk membuktikan apakah Si
Muka Setan benar-benar telah mati atau masih hidup,
dia harus membongkar pusara di Kiara Condong. Tapi
mungkin jasadnya sudah mulai membusuk. Satu-
satunya cara adalah menemukan dimana beradanya Si
Muka Setan yang hampir menodai Sriwidari. Jika su-
dah bertemu baru bisa dipastikan orang itu apakah Si Muka Setan yang asli, atau
cuma seseorang yang menyamar sebagai Si Muka Setan. Fikir Gento.
"Bagaimana Gento, kau percaya dengan ucapan
gadis itu?" tanya Roro Centil dalam kebimbangan.
"Aku percaya dia bicara benar. Kurasa memang
ada orang yang sengaja menyiasati kita, melakukan
beberapa penipuan supaya kita jadi bingung. Aku
punya usul, itupun kalau kalian setuju!" ujar Gento,
lalu si gondrong terdiam melihat reaksi gadis disebelahnya. "Apa usulmu. Asal
kau tak menyuruh kami melakukan hal yang tidak-tidak, kami pasti akan mela-
kukannya!" ujar Nyana.
Gento tersenyum. "Usul pertama cocok untuk
kalian. Pekerjaan ini memang pantas untuk dilakukan
berdua." "Katakan cepat!" kata Sapa.
"Baik. Untuk membuktikan benar tidaknya Si
Muka Setan telah mati, kalian harus membongkar ku-
burnya. Dengan begitu kita baru bisa menyakini apa-
kah orang yang hendak berbuat keji pada Sriwidari,
apakah roh Si Muka Setan atau hanya seseorang yang
hendak mencari keuntungan dibalik kematian orang
tua itu." Kata Gento memberi penjelasan.
Sapa dan Nyana tercekat kaget. Sama sekali dia
tak menyangka akan mendapat tugas seperti itu. Tak
dapat dibayangkan betapa ngerinya mereka harus
mengeluarkan orang yang sudah mati dari kuburnya.
"Gento, apakah kau tidak bisa memberi tugas
yang lain untuk kami?" tanya Sapa dengan suara tercekat lidah kelu. Sementara
itu Roro Centil yang tidak mengerti dengan tujuan Gento kernyitkan alisnya.
"Tentu saja bisa," sahut si gondrong dengan senyum bermain dibibirnya. "Paman
berdua boleh mencari Perampas Benak Kepala, setelah itu cari nenek jelek kurang
ajar itu. Apa benar dia Si Muka Setan sebenarnya atau cuma hantu kesasar yang
menyamar se- bagai Si Muka setan...!"
"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Nyana ingin tahu.
"Aku... aku bersama dua gadis ini akan mencari
musuh besarku Panji Anom. Sejak dia menghantam
kalian di telaga, aku tidak lagi mendengar kabar beri-tanya. Apakah dia sudah
menjadi diraja dunia persilatan atau malah menjadi raja diraja
cacing tanah." Kata Gento sambil tertawa.
"Apa yang hendak kau lakukan itu cukup sulit
dan memakan waktu yang lama, Gento. Selain itu an-
caman besar selalu membayangi jiwa kita." Kata Roro Centil. Gento terdiam, tapi
memandang pada Roro
Centil. "Maksudmu?"
"Aku tak akan pergi bersamamu, aku lebih baik
mengambil jalan pintas yang gampang tak mengan-
dung banyak resiko. Terus-terang aku akan menemui
orang pintar. Dia seorang dukun sakti, namanya Mbah
Peti. Dia tahu berbagai hal gaib yang susah dipecah-
kan. Melalui dia aku akan tanyakan segala teka-teki
pembunuhan keji ini, aku juga akan bertanya apa
memang benar Sriwidari hendak dinodai nenek Muka
Setan!" ujar Roro Centil, diam-diam dia melirik ke arah gadis berbaju ungu.
"Mendengar nada ucapan sahabat Roro Centil,
agaknya dia tidak mempercayai ucapanku."
"Bukan tidak percaya, segala sesuatunya harus
dibuktikan bukan" Kami sendiri melihat pusara nenek
Muka Setan di Kiara Condong. Sekarang kau mengata-
kan Si Muka Setan hampir saja menebar aib atas diri-
mu, apakah ini tidak membingungkan"!" ujar Roro Centil sinis.
"Sudahlah, tak perlu berdebat. Kalau Roro Cen-
til mau bertemu dengan dukun sakti bernama Mbah
Pentil itu silahkan saja. Jika nanti bertemu katakan padanya, Gento kirim
salam," ujar si gondrong.
"Apakah kau mengenal dukun sakti dari gu-
nung Sembung itu?" tanya Roro Centil terheran-heran.
Murid si gendut Gentong Ketawa tertawa terba-
hak-bahak. "Mendengar namanya saja baru kali ini.
Bagaimana Mbah Sentir... eeh apa tadi namanya?"
"Mbah Petir." Jawab Roro Centil.
"Ya, Mbah Petir bisa mengenalku" Ha ha ha!"
"Dasar pemuda sinting, tak kenal berlagak ra-
mah." Dengus Roro Centil bersungut-sungut. Gadis itu kemudian memutar badan,
setelah melirik sekilas pada Sriwidari dia pun berkelebat pergi.
"Agaknya Roro Centil membawa satu ganjalan
di hati. Dia seperti tidak suka padaku." Kata Sriwidari seperginya Roro Centil.
Gento tertawa pendek. "Tak usah kau risaukan
dia. Roro Centil memang besar ambek, tapi dia gadis
yang baik." Jawab si pemuda.
"Gento, jadi apa yang harus kami lakukan?" sa-tu suara bertanya. Yang baru
bicara itu adalah Nyana.
Salah seorang dari Sepasang Dewa Berwajah Ganda.
"Kalau kami harus mencari tiga orang yang kau
sebutkan tadi, mungkin cuma arwah kami yang bisa
menjumpaimu lagi!" Sapa menimpali.
"Jika paman berdua merasa tugas ini sangat
berat, sebaiknya paman kembali ke Kiara Condong, la-
lu pastikan apakah benar Si Muka Setan yang terku-
bur di pusara itu. Tapi ingat, jangan kalian ikutan pula menguburkan diri
disana. Ha ha ha."
"Gento, walaupun kami berdua para orang ca-
cat. Kami juga menginginkan keselamatan dan ingin
umur panjang juga. Walaupun bagian badan ini cacat
tapi yang lain-lainnya ditanggung mantap." Celetuk Sapa sambil tersenyum. Gento
menjadi heran, lalu
ajukan pertanyaan. "Apa yang lain-lainnya itu?" Sapa dan Nyana tertawa tergelak-
gelak. Si kurus Sapa ba-
likkan badan sambil melangkah pergi dia menjawab.
"Sebagai orang muda kau tentu tahu apa yang kumaksudkan. Kau laki-laki aku laki-
laki. Perabotan sama
selera sama. Ha ha ha!"
Sang pendekar yang akhirnya tahu maksud
ucapan si buta Sapa jadi geleng kepala sambil me-
nyengir sendiri. Masih dengan tersenyum dia pandangi Sriwidari, bersama gadis
itu memandang kepadanya
juga. Sehingga mata mereka saling bertemu pandang.
Gento kedipkan matanya tiga kali. Sriwidari tunduk-
kan kepala dengan wajah bersemu merah.
"Sekarang kau hendak kemana, Gento?" tanya si gadis, suaranya bergetar menahan
deburan jantung
yang tidak karuan.
"Mencari pembunuh itu, juga mencari Si Muka
Setan." Jawab Gento.
"Jika aku ikut denganmu apakah tidak kebera-
tan?" "Ha ha ha. Aku senang saja diikuti gadis secan-tikmu. Tapi bagaimana jika
calon suamimu Rajo Peni-
tis nanti cemburu melihat kita berduaan?"
Diingatkan akan nama itu wajah Sriwidari
nampak menegang. Dia kepalkan tinjunya, lalu berka-
ta. "Jika bertemu dengannya merupakan satu kebe-runtungan karena dengan begitu
aku dapat membu-
nuhnya, membalaskan kematian ayahku Juru Obat
Angin Laknat!" geram si gadis.
Gento tidak ingin menanggapi karena takut
Sriwidari jadi bertambah marah. Dia hanya tertawa
dan tertawa lagi sambil tinggalkan tepian sungai citarum yang meluap-luap.
*** 4 Nenek Muka Setan terus berlari ke arah mana
siulan tadi terdengar. Sepanjang semak belukar yang
dilewatinya mulutnya terus semburkan kata makian.
Rupanya dia masih kesal karena niat untuk membu-
nuh Rajo Penitis jadi tak kesampaian akibat siulan
yang didengarnya tadi. Di satu tempat tak jauh dari
kerapatan pepohonan besar nenek muka setan henti-
kan langkah. Saat itu daerah disekitarnya masih dis-
aput kegelapan, udara malam menjelang pagi terasa
dingin mencucuk. Bersikap seolah tidak terpengaruh
oleh keadaan alam disekitarnya, si nenek kitarkan
pandang ke sekeliling tempat itu.
Orang yang dicari dan keluarkan siulan tak ada
di tempat itu. Kini dia putar kepala ke kiri. Disana terdapat tebing tanah merah
yang longsor. Si Muka Setan sempat melengak begitu melihat satu sosok duduk di
atas gundukan reruntuhan tanah, duduk dengan kaki
tertekuk menyentuh dagu, sedangkan kedua tangan
memegang kepalanya yang besar bukan main. Sosok
itu berpakaian hitam, wajah ditumbuhi bulu, kedua
mata hampir tertutup seperti terdesak cairan yang
memenuhi bagian atas serta samping kepalanya yang
besar dipenuhi urat bersembulan, berkerenyutan se-
perti hendak meletus.
Memandang pada manusia berkepala besar se-
tengah botak ini membuat si nenek sunggingkan seu-
las senyum sinis, tapi matanya memandang ke arah
laki-laki berpakaian hitam di atas longsoran tanah
dengan tatapan aneh jika tidak dapat dikatakan takut.
"Manusia penyedot otak bergelar Perampas Be-
nak Kepala. Kau baru saja menggagalkan niatku untuk
membunuh makhluk raksasa jahanam yang telah
mengusik kesenanganku. Kau memanggilku, heh"!"
tanya nenek Muka Setan penuh teguran.
Manusia dengan kepala lima kali lebih besar
dari manusia biasa perlihatkan seringai. Otaknya yang sering kacau karena begitu
banyak otak orang lain
yang bercampur aduk dengan otaknya sendiri berfikir.
"Tua bangka muka setan ini tak bisa kupandang en-teng. Ilmunya tinggi, keji, dan
berbahaya. Empat ma-
lam yang lalu aku dapat dikalahkannya, sehingga aku
harus patuh dengan segala perintahnya. Tapi aku tak
boleh tunduk padanya, bersikap patuh selama hi-
dupku. Aku harus menggunakan akal, mencari cara
agar suatu hari nanti, bukan aku yang berada di ba-
wah perintahnya. Melainkan dia yang harus menjalan-
kan perintahku!" batinnya berkata begitu tapi mulutnya tetap bicara lain. "Nenek
Muka Setan, aku tak sengaja telah mengusik kesenangan mu, aku mohon
maaf. Aku sengaja memanggilmu karena ingin bicara
padamu!" jawab Perampas Benak Kepala, suaranya pelan sedangkan wajahnya
tertunduk hingga mengesan-
kan laki-laki angker itu jerih terhadap si nenek.
Si nenek menatap sekilas orang didepannya,
otaknya mulai menduga gerangan apa yang ada dalam
hati manusia cerdik berkepala besar ini. Dia gelengkan kepala berusaha membuang
prasangka buruknya sejauh mungkin. Rasanya tak mungkin Perampas Benak
Kepala yang telah ditundukkannya itu berkhianat ke-
padanya. Perampas Benak Kepala boleh saja punya se-
ribu akal. Tapi si nenek merasa memiliki akal panjang.
"Katakan apa yang ingin kau sampaikan!" berkata Si Muka Setan kemudian setelah
terdiam cukup lama. Perampas Benak Kepala Angkat wajahnya. Se-
pasang mata laki-laki itu memandang tajam ke arah si nenek. Mulutnya membuka.
"Nenek Muka Setan. Sesuai dengan perjanjian kita. Tugasku membunuh para
penjaga pertemuan telah kulaksanakan. Sesuai dengan
perjanjian pula, akhir dari kematian para penjaga merupakan akhir dari
pengabdianku kepadamu! Bukan-
kah begitu?"
Si Muka Setan gelengkan kepala, lalu tertawa
tergelak-gelak.
"Perjanjian itu aku yang membuat, aku yang
atur aku pula yang menentukan. Bila aku menghen-
daki perjanjian diperpanjang. Maka untuk selanjutnya kau tidak akan bisa
menghindar dari tugas-tugas yang harus kau laksanakan. Hik hik hik!"
Perampas Benak Kepala tersentak kaget, ma-
tanya yang hampir tertutup membuka lebar, meman-
dangi si nenek dengan kilatan api amarah, bibir terkatub rapat sedangkan
gerahamnya bergemeletukan.
"Muka Setan keparat! Kau hendak memperalat
diriku, mau memanfaatkan tenagaku demi memenuhi
segala cita-cita gilamu?" geram Perampas Benak Kepala merasa diperbudak.
"Hik hik hik. Benar kuakui otakmu cerdik, tapi
aku lebih pintar, lebih licik darimu. Diriku berada di atas segala kecerdikan
orang. Kau boleh saja memban-tah, kau boleh saja tidak patuhi perintahku. Tapi
kau tidak mungkin bisa lari dariku. Aku tahu dimana ke-lemahanmu, aku tahu apa
saja yang bisa kuperbuat
atas dirimu!"
"Tua bangka jahanam. Baiklah untuk sementa-
ra aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tapi kau
harus ingat aku manusia yang mempunyai seribu akal.
Seluruh otak yang ada dikepalaku ini kelak akan ku-
kerahkan untuk memecahkan teka-teki ilmu pukulan
yang kau miliki."
Nenek Muka Setan hanya tertawa mendengar
ucapan Perampas Benak Kepala. Dengan sikap tenang,
namun penuh kesombongan dia berkata. "Segala keinginanmu tak mungkin terwujud,
malah kau bisa cela-
ka di tanganku." Dengus si nenek. Dia lalu melanjutkan ucapannya. "Kau dengar,
tugas yang harus kau lakukan adalah mencari seorang pemuda gondrong
bernama Gento Guyon. Jika kau bertemu dengannya,
kau harus menangkap pemuda itu hidup atau mati.
Setelah itu kau harus membawanya ke hadapanku!" Si Muka Setan kemudian menjelaskan ciri-ciri pemuda
yang diinginkannya.
"Orang yang kau maksudkan belum pernah
aku bertemu dengannya." Kata Perampas Benak Kepa-la jengkel.
"Kau manusia cerdik, kau tahu apa yang harus
kau perbuat. Selain itu kau juga harus membunuh pa-
ra sahabat pemuda itu, jangan sisakan walau seorang-
pun!" "Tugas yang kau berikan tidak mudah. Kalau boleh aku tahu, mengapa kau
menginginkan Gento
Guyon?". tanya Perampas Benak Kepala.
"Hik hik hik! Manusia keparat. Kau tidak layak
bertanya. Kau hanya berhak jalankan perintahku!" teriak nenek Muka Setan.
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau juga perempuan edan keparat! Awas! Ke-
lak aku akan membunuhmu!" geram si kepala besar dalam hati.
"Sekarang juga kau harus berangkat!"
"Aku berangkat kapan saja aku mau. Untuk
yang satu itu kau tak boleh mengatur aku. Satu hal
yang ingin kutanyakan, jika pemuda itu telah kuring-
kus kemana aku akan membawanya?"
"Kau tak usah bertanya, aku nanti yang akan
mencarimu!" sahut si nenek.
"Keparat kurang ajar, nenek tua ini semakin
membuat aku geram!" Si Kepala Besar kembali merutuk dalam hati.
"Baik, sekarang segalanya kau yang menentu-
kan. Cepat kau menyingkir, aku ingin memulihkan te-
naga dalamku!" dengus Perampas Benak Kepala sinis.
Si nenek tersenyum, lalu memutar langkah, sekali dia gerakkan kaki maka sosoknya
lenyap dari hadapan Perampas Benak Kepala. Seperginya nenek Muka Setan,
laki-laki itu terdiam. Dia jadi ingat kejadian empat malam yang lalu. Semua yang
berlangsung di malam itu
sekarang seorang membayang jelas di matanya.
Malam itu setelah terjadi perkelahian antara di-
rinya dengan kakek buta yang dikenal dengan julukan
Si Mata Aneh. Tanpa menunggu lebih lama setelah
berhasil membunuh tokoh sesat bermata ganjil di ba-
gian jari tangannya itu si penyedot otak langsung berkelebat pergi tinggalkan
lawannya. Di satu pendataran rendah tidak jauh dari tempat terjadinya
perkelahian Perampas Benak Kepala hentikan larinya. Dia merasa
sejak tadi seperti ada orang yang mengikuti tak jauh dibelakang. Laki-laki
berkepala besar itu menoleh,
memandang ke belakang dengan tatapan penuh seli-
dik. Tapi aneh. Dia tidak melihat sesuatu apapun dibelakangnya. Langkah orang
yang mengikuti seakan le-
nyap ditelan bumi.
"Tidak mungkin aku salah mendengar. Aku je-
las dapat merasakan ada orang yang mengikuti, men-
gapa sekarang lenyap" Lenyap kemana?" fikir si besar kepala. Sekali lagi dia
memandang ke sekelilingnya. Si penguntit yang diharapkannya muncul saat itu juga
tak mau memperlihatkan diri. Perampas Benak Kepala
akhirnya jadi tidak sabar. Dia memutuskan hendak
meneruskan perjalanannya. Tapi baru saja manusia
penyedot otak ini hendak memutar tubuh dan tinggal-
kan tempat itu, entah dari mana datangnya seko-
nyong-konyong di tempat itu telah muncul sosok seo-
rang nenek angker berpakaian kuning berenda putih.
Wajah nenek itu rusak mengerikan bahkan lebih bu-
ruk dari wajah setan. Perampas Benak Kepala yang
sempat tercekat pandangi orang tidak dikenalnya ini
untuk beberapa jenak lamanya. Dengan suara bergetar
dia ajukan pertanyaan. "Makhluk aneh berujud seorang perempuan, wajah buruk
mengerikan seperti se-
tan. Aku merasakan kau membayangi diriku sejak ta-
di. Apakah kau tidak takut mati" Atau kau tidak takut otakmu kupindahkan ke
dalam kepalaku?"
Yang ditanya bukannya menjawab, sebaliknya
malah tertawa tergelak-gelak. Tawa si nenek lenyap,
mulut komat-kamit sambil sunggingkan senyum.
"Apa perlunya takut kepadamu. Buat apa aku
takut mati. Jika kau mempunyai kemampuan memin-
dahkan otak orang lain ke dalam kepalamu, maka aku
punya kemampuan memindahkan rohmu ke neraka.
Hik hik hik!" jawab si nenek dengan sikap pongah dan tak memandang dengan
sebelah matapun pada orang
di depannya. Perampas Benak Kepala keluarkan suara
menggeram! "Lagakmu seperti malaikat pencabut nyawa. Agaknya kau belum tahu
siapa diriku adanya!"
"Hik hik hik. Justru karena aku tahu siapa di-
rimu, justru aku tahu kelebihan yang kau miliki maka aku mengikutimu, membayangi
dirimu. Apakah kau
mengira aku mau melakukan sesuatu hanya untuk
kesia-siaan heh"!"
Perampas Benak Kepala jadi tercengang. Dia
berpikir dan tak habis mengerti apa yang sebenarnya
yang diinginkan oleh nenek bermuka setan ini. Belum
lagi Perampas Benak Kepala sempat ajukan perta-
nyaan, nenek Muka Setan melanjutkan ucapannya ta-
di. "Ketahuilah, terus-terang aku merasa kagum dengan kelebihan yang kau miliki.
Untuk itu kau harus
merasa beruntung karena aku telah memilihmu. Pili-
han yang tepat untuk seorang calon raja di raja dunia persilatan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku"! Hik hik hik. Kau telah kupilih
menjadi seorang pembantu, kau akan berangkat men-
jadi kacung. Satu kedudukan terhormat bagimu kare-
na kau akan kupercaya melakukan tugas-tugas pent-
ing!" tegas nenek Muka Setan.
Wajah angker Perampas Benak kepala nampak
berubah merah padam. Sekujur otot-otot tubuhnya
menegang, mulut terkunci rahang bergerak-gerak. Se-
dangkan urat-urat darah yang bersembulan dikepa-
lanya nampak menggembung, kepala itu sendiri berke-
renyutan tidak ubahnya seperti jantung yang berde-
nyut. Perlahan dia memandang ke depan, menatap
tajam pada nenek muka setan yang kelihatannya me-
rasa tidak bersalah atas apa yang telah diucapkannya.
Perampas Benak Kepala lalu berkata dengan suara
dingin menusuk. "Tua bangka rongsokan muka setan!
Sungguh kau tidak tahu gelagat. Kau mengira kau da-
pat memaksa diriku menjadi seperti apa yang kau in-
ginkan" Aku manusia cerdik. Jika pada Tuhan aku
yang diciptakan tak pernah mengabdi kepadaNya, ada-
lah suatu mimpi jika aku harus berhamba pada manu-
sia butut rongsokan sepertimu!" dengus laki-laki itu
sengit. Si Muka Setan tertawa bergelak.
"Hidupku tak pernah berpijak pada mimpi.
Apapun yang kukatakan adalah kenyataan. Berhari-
hari aku mengikutimu, seluruh gerak gerikmu berada
dalam pengawasanku. Hingga di balik segala keheba-
tanmu aku menemukan sesuatu. Suatu rahasia yang
mungkin tak pernah kau sadari dan mungkin pula tak
pernah diketahui oleh orang lain. Apakah kau ingin
mengatakan apa yang kuucapkan ini sebagai suatu
kedustaan belaka" Aku tak pernah mau ambil perduli.
Yang terpenting bagiku, kau harus menjadi pembantu-
ku. Hik hik hik!"
Si penyedot otak menggeram. "Kau hanya akan
mati sia-sia ditanganku, nenek Muka Setan"!"
Nenek Muka Setan mendengus sinis. "Kau be-
lum tahu siapa diriku. Sikapmu yang menganggap en-
teng orang lain hanya membuat kau cepat jatuh ke
tanganku!"
Perampas Benak Kepala tidak menanggapi. Se-
perti biasanya dia siap mengambil posisi menyerang
dengan mengerahkan kekuatan kepalanya. Tapi tu-
buhnya tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Si
Muka Setan sadar betul jika sampai dari kepala lawan memancarkan sinar biru,
maka dia bisa mendapat ke-sulitan besar. Karena itu habis berkata Si Muka Setan
melesat ke arah lawan sambil gerakkan tangan kanan
kiri ke bagian samping kepala lawannya.
Perampas Benak Kepala tercekat tak menyang-
ka akan mendapat serangan dibagian itu. Sehingga dia melompat mundur, dua tangan
diangkat dipergunakan
untuk melindungi bagian kepalanya, sedangkan kaki
kiri tanpa terduga menyambar perut lawannya.
Plak! Plak! Desss! Dua tangan beradu keras. Benturan itu saja
sudah membuat keduanya bergetar, tapi tendangan
yang menghantam perut si nenek membuatnya terpe-
lanting sejauh tiga langkah. Terbungkuk-bungkuk
sambil menahan sakit luar biasa Si Muka Setan meng-
gerung. Dia terbelalak begitu melihat bagaimana tan-
gannya yang bentrok dengan tangan lawan nampak
gembung bengkak membiru. Tak menyangka lawan ju-
ga memiliki tenaga dalam setinggi itu. Maka nenek
Muka Setan lipat gandakan tenaga dalam. Dua tangan
lalu diangkat tinggi, tanpa memberi kesempatan pada
lawan untuk menggunakan kekuatan kepalanya. Ne-
nek Muka Setan kembali berkelebat, lalu menyerang
dalam jarak dekat tanpa memberi jarak pada lawan-
nya. Perampas Benak Kepala yang selalu mencari ke-
sempatan untuk memusatkan perhatian siap menye-
rang lawan dengan kekuatan kepalanya jadi tercekat.
Dia berkelebat ke samping mencoba hindari hantaman
dan tendangan lawan yang selalu terarah di bagian
samping kepalanya.
Melihat lawan sibuk selamatkan kepalanya, Si
Muka Setan tertawa terkekeh. Tangan kiri lalu berge-
rak menyambar. Dari tangan itu berturut-turut mele-
sat sinar hitam, bergerak sedemikian rupa, seperti di-atur. Tiga sinar
menghantam dari depan belakang juga samping kepala Perampas Benak Kepala. Sambil
merutuk panjang pendek, laki-laki itu cepat tekuk kakinya, bungkukkan badan
hingga kepalanya selamat dari
hantaman sinar menggidikkan tadi. Dalam keadaan
membungkuk tangan digerakkan ke atas.
Buuum! Tiga letusan keras menggelegar, menggoncang
tempat disekelilingnya, merobek kesunyian malam. Si
Muka Setan terhuyung, Perampas Benak Kepala jatuh
terduduk. Muka Setan kembali terkekeh, benturan tadi
memang sempat membuat dadanya terguncang kepala
mendenyut sakit. Dia yang penuh kesombongan dan
selalu menganggap rendah orang lain tidak merasa-
kannya. Malah kini dia kembali melabrak ke depan
siap menghantam titik kelemahan lawan dengan jari
tangannya. Justru pada waktu itu dari bagian kepala
lawan nampak mengepulkan asap putih kebiruan. Lalu
dari kedua sisi kepala di atas bagian telinga membersit sinar biru. terang.
Sinar bergerak sedemikian rupa,
berkelebat menyambar ke arah Si Muka Setan yang
sedang mengapung di udara.
Si nenek tercekat dan keluarkan jeritan me-
nyayat begitu merasakan sambaran angin sinar maut
itu. Tubuhnya sontak berubah kaku, nyeri bukan main
seperti ditusuk ribuan batang jarum. Selain itu pan-
dangannya seolah menjadi gelap, kepala mendenyut. Si Muka Setan tercekat, dia
sadar bahaya besar kini sedang mengancam dirinya. Untuk itu dia kerahkan se-
luruh tenaga, lalu lakukan gerakan sedemikian rupa
hingga membuat tubuhnya yang sedang mengambang
jatuh ke bawah Brees! Begitu jatuh dia langsung bergulingan mende-
kati lawannya. Sinar yang seharusnya menghantam
batok kepala Si Muka Setan kini tiba-tiba berbalik terus bergerak mengejar ke
arah si nenek. Melihat ini Si Muka Setan tercekat. "Keparat jahanam. Dia benar-
benar hendak membolongi kepalaku!" rutuk Si Muka Setan. Mulutnya merutuk, tapi
niatnya tetap berjalan.
Baginya tak ada sesuatu yang dapat menghentikan se-
rangan cahaya maut itu terkecuali dia langsung meng-
hancurkan sumbernya. Karena itu tanpa menghirau-
kan sinar yang melesat dari arah belakang, kini dia lakukan satu lompatan. Dua
jari tangan bergerak menu-
suk bagian atas telinga kiri kanan.
Perampas Benak Kepala menjerit, jeritan kesa-
kitan membuat sinar maut yang mampu menjebol ba-
tok kepala dan memindahkan otak lawannya berang-
sur-angsur surut, lalu lenyap dibalik kepala lawannya.
Laki-laki itu meronta, mencoba membebaskan diri dari jari lawannya yang menusuk
bagian samping kepala
yang lunak. Tapi semakin dia meronta, maka tusukan
yang dilakukan si nenek semakin menghunjam, malah
kepala itu kini mulai meneteskan darah.
"Jahanam, lepaskan tanganmu! Lepaskan...!"
teriak Perampas Benak Kepala sambil meringis kesaki-
tan, sedangkan wajahnya yang angker kini berubah
sepucat kapas. Si Muka Setan tertawa bergelak, mulutnya me-
nyeringai penuh kemenangan.
"Jika aku mau, dua jariku itu bisa langsung
menembus otakmu. Kau tak bakal lolos dari kematian.
Kini keselamatan jiwamu tergantung pada kemurahan
hatiku!" geram Si Muka Setan dingin.
"Keparat! Bagaimana kau tahu salah satu ba-
gian titik kelemahanku?" tanya Perampas Benak Kepala dengan nafas mengengah.
"Hik hik hik! Seperti yang kukatakan, kau boleh saja memiliki seribu akal, tapi
aku manusia yang panjang akal. Orang lain boleh jerih bertemu denganmu,
mereka boleh kau ambil otaknya. Tapi aku, hik hik
hik. Dihadapanku segala kehebatanmu tak mempu-
nyai arti sama sekali!" kata Si Muka Setan ketus.
Perampas Benak Kepala terdiam. Baginya saat
ini yang terpenting adalah mencari selamat. Dalam
keadaan seperti itu tak mungkin dia melawan. Nenek
Muka Setan tahu akan kelemahannya. Tak ada jalan
selamat, satu-satunya jalan adalah mengikuti apa yang diinginkan nenek itu.
"Sekarang kau bisa berbuat apa" Hendak me-
nentang kekuasaanku"!" Si Muka Setan berkata disertai seringai mengejek.
Walaupun darah akibat tusukan jari dikepalanya sudah menetes membasahi sebagian
wajahnya. Namun sedikitpun Perampas Benak Kepala
tidak unjukkan sikap takut. Dengan suara menggereng
dia ajukan pertanyaan. "Aku mengakui kali ini kau menang. Sekarang katakan apa
yang harus kukerja-kan untukmu!"
Si Muka Setan dongakkan kepala, lalu tertawa.
Dia lalu berkata. "Kau harus pergi ke Kiara Condong.
Habisi seluruh penjaga pertemuan para pendekar. Se-
telah itu menyingkir yang jauh. Untuk tugas berikut-
nya aku yang akan melakukannya sendiri!"
"Tugas itu akan kulakukan sekarang. Tapi in-
gat, setelah itu kita tidak mempunyai ikatan atau perjanjian apapun!" kata
Perampas Benak Kepala. Si Mu-ka Setan tertawa bergelak. Dia lalu tarik kedua
jarinya dari kepala laki-laki itu. Perampas Benak Kepala langsung mengusap luka
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil disamping kepalanya. Begi-
tu diusap luka lenyap tak meninggalkan bekas. Si ne-
nek sempat melengak, tapi dia tutupi rasa kagetnya
dengan tawa bergelak.
"Sekarang kau harus pergi ke Kiara Condong.
Jika tugas telah kau lakukan baru kau boleh menemui
aku! Hik hik hik." Selesai berucap dan sambil mengumbar tawa si nenek tinggalkan
lawannya. Perampas Benak Kepala menggeram, dalam ha-
ti dia bersumpah akan mencari dan membunuh nenek
Muka Setan itu untuk membalas kekalahannya malam
ini. *** 5 Gadis itu berlari diantara semak belukar dan
batu cadas yang bertonjolan di permukaan tanah.
Sampai di satu ketinggian dia hentikan larinya. Mata menyapu pandang ke daerah
di sekelilingnya. Dari ketinggian bukit dimana dia berdiri saat itu gadis
berbaju putih berkembang merah ini dapat melihat hijaunya
pemandangan di daerah itu. Dia kemudian menoleh ke
sebelah kiri, bibirnya tersenyum. Gunung Sembung
yang menjulang tinggi ke angkasa sudah tak seberapa
jauh lagi dari tempat dirinya berada. Disayangkan cua-ca kurang begitu baik.
Disana sini terlihat kabut men-gantung menghalangi pemandangan. Selain itu di
atas sana mendung nampak kian menebal. Si gadis merasa
perlu berpacu dengan waktu, dia tak ingin hujan turun di saat mendaki lereng
Sembung. "Mudah-mudahan Mbah Petir ada di tempat.
Aku harus bisa sampai ke pondoknya sebelum kabut
menghadang perjalananku!" kata si gadis yang bukan lain adalah Roro Centil.
Tidak menunggu lebih lama Roro Centil berke-
lebat tinggalkan bukit yang berada di kaki gunung. Dia lalu mengerahkan ilmu
lari cepatnya, hingga dalam
waktu tidak lama dia sudah berada di jalan setapak di lereng sebelah barat
gunung Sembung.
Turunnya rahmat Tuhan ternyata tidak dapat
ditunda. Sebelum Roro Centil sampai ke tempat tujuan kilat menyambar, petir
menggelegar sambung me-
nyambung tiada henti. Lalu hujan pun turun tak kepa-
lang tanggung derasnya. Si gadis semakin memperce-
pat larinya. Sampai di satu lapangan Roro Centil hentikan langkah. Dia memandang
ke sebelah kiri, gadis
ini tercekat, mata membelalak mulut ternganga.
Dia melihat satu pondok porak poranda dikoba-
ri api. Tak jauh di halaman pondok yang tenggelam dalam kobaran api, di atas
tanah satu sosok menelung-
kup dengan wajah dibenamkan ke tanah, dua tangan
menutup telinga, pantat menungging seperti orang su-
jud, sedangkan pakaian tercabik-cabik hangus disana
sini. Dalam keadaan seperti itu dari mulut sosok
yang menungging terdengar suara ratap tak berkepu-
tusan. "Malaikat, walah tobaaat aku. Pondokku habis, harta benda ludes dihantam
petir. Habis sudah semua, Walah... bagaimana ini" Kemana aku harus cari selamat.
Duh Gusti... apa dosa hamba Mu ini. Kalau aku
memang banyak dosa mohon dimaafkan. Oh... tobat...
aku takut... Petir-petir, kalau mau menyambar jangan dekat-dekat sini. Aku suka
kagetan...!" ratap sosok yang ternyata adalah seorang kakek tua penuh rasa
takut. Belum lagi ratap takutnya terhenti, tak jauh dari si kakek kilat kembali
menyambar, petir menggelegar.
Hingga bukan saja membuat si kakek bertambah ke-
cut, tapi kencingnya pun terpancar.
Dut! Dut! Dut! "Walah tobat, hancur sudah kencingku, wa-
duh... waduh tak tertahan sudah kentutku. Sialan,
sungguh sialan. Beginilah kalau jadi orang suka kagetan." Cepat sekali si kakek
pergunakan tangan untuk mendekap aurat serta ujung punggungnya agar kencing dan
kentutnya tidak keluar lebih banyak lagi.
Usaha yang dilakukannya ini hanya sia-sia,
kencing tetap terpancar sedang kentut terus terdengar bertalu-talu.
Si kakek berambut panjang kelabu jadi kalang
kabut. Dia bangkit berdiri. Tangan kiri dipergunakan untuk mendekap auratnya,
sedangkan tangan kanan
dipergunakan untuk mendekap bagian pantatnya.
Memancarnya air kencing dan deru suara kentut terus
saja terdengar, apalagi saat itu entah petir terus menyambar menggelegar
disekitar lapangan.
"Waduh kaget lagi, ngocor lagi, kentut lagi! Sialan. Kalau begini jika sampai
ketahuan orang aku bisa malu besar. Masa sudah tua bangka kencing dan kentut di
celana!" si kakek merutuk habis-habisan.
Tak jauh dari si kakek yang tampak kalang ka-
but menghentikan kencing dan kentutnya. Roro Centil
yang memperhatikan sejak tadi tak dapat lagi mena-
han tawanya. Walau si kakek yang selalu menonggeng
dan sibuk mendekap aurat serta bagian di bawah au-
rat setiap mendengar suara petir walau pakaiannya
sudah kacau sedemikian rupa tapi jelas dia masih
mengenali orang tua itu. Si gadis kemudian berseru
keras. "Mbah Petir dukun sakti yang suka kagetan.
Aku Roro Centil datang menyambangimu?"
Si kakek berpakaian hitam berbadan tinggi be-
sar yang sering kaget dan ketakutan bila mendengar
suara petir nampak celingukan. Dia lalu berdiri tegak, tangan masih mendekap
selangkangan dan bagian bawah selangkangannya. Sementara itu suara petir tidak
lagi terdengar, hujan mulai mereda. Si kakek terheran-heran, tubuhnya yang terus
bergoyang tak mau diam
bagaikan pucuk ilalang ditiup angin kemudian berpu-
tar. Dia jadi melengak kaget. Rasa kaget yang mem-
buat kencing dan kentutnya keluar tak dapat ditahan
lagi. "Waduh, mancur sudah. Waduh kentut lagi...!"
Si kakek sambil mendumel dan merasa malu tutupi
bagian yang memancarkan kencing dan keluarkan
kentut, sehingga keadaannya saat itu membuat geli
bagi orang yang melihatnya.
Si gadis melangkah mendekati si kakek. Orang
tua itu dengan malu-malu malah melangkah mundur
menjauh. Sedangkan tatap matanya memandang ke
depan berusaha mengenali orang. Sepasang alis si ka-
kek kemudian berkerut. Mulutnya keluarkan satu se-
ruan. "Kau... kau... bukankah kau gadis konyol yang dulu suka menjahiliku?"
tanya si kakek yang pendengarannya agak budek ini. Si gadis hanya tersenyum
mendengar ucapan Mbah Petir. Kemudian orang tua
itu ketuk keningnya. "Tidak salah, kau pasti Roro Upil.
Bocah kampret yang dulu sering menggelitik telingaku selagi tidur hingga
sekarang terjadi ketidak beresan pada pendengaranku."
"Bukan itu namaku, namaku Roro Centil...!"
"Apa...?" Roro Cendil?"
"Bukan Cendil. Cendil itu bubur Mbah! Maka-
nan ringan buatan orang jawa. Namaku Roro Centil,
Centil, bukan Cendil!" teriak si gadis dengan suara keras dan perasaan jengkel.
Mbah Petir tersenyum. "Oh, ya... aku baru in-
gat, bukankah namamu Roro Centil, bukan Upil atau
Cendil"!" kata si kakek.
Roro Centil yang sekujur tubuh dan pakaian-
nya jadi basah terkena curahan air hujan jadi bersungut-sungut.
"Sejak tadi aku juga sudah bilang begitu!" kata si gadis. Dia lalu pandangi
kakek di depannya. Menya-
dari dirinya diperhatikan begitu rupa Mbah Petir jadi celingukkan. Dia malu,
karena sadar celananya yang
basah bukan saja karena terkena siraman air hujan,
tapi juga karena terkena pancaran air kencingnya sendiri. "Mbah... kau kencing
di celana ya Mbah" Mbah kaget lagi, Mbah jadi terkencing-kencing dan kentut
lagi, bukankah begitu Mbah?" tanya si gadis.
Dalam suasana hujan begitu rupa, pendenga-
ran si kakek semakin ngaco. Sehingga lain yang di-
tanya lain pula yang jawaban si kakek.
"Siapa bilang aku membakar gubukku sendiri.
Apa kau kira aku sudah gila. Pondok itu baru saja dihantam petir. Untung aku
masih bisa menyelamatkan
diri. Syukur cuma pakaianku yang terbakar, bagaima-
na kalau sekujur tubuhku yang terbakar. Lagipula
sialnya dirimu ini, datang bertamu di saat musim hu-
jan begini!" Mbah Petir mengomel.
Roro Centil menarik nafas, lalu gelengkan kepa-
la. Rasanya tak sabar dia menghadapi orang tua tuli
yang suka kagetan ini. Mau bicara salah tak bicara ju-ga salah"
"Terserahmulah, Mbah. Aku bicara apa kau
menjawab kemana?" kata Roro Centil dalam hati.
"Roro Centil. Kau tak usah sedih. Aku punya
tempat tinggal lain tak jauh dari sini. Mari ikuti aku.!"
berkata begitu si kakek balikkan badan kemudian ber-
kelebat menyisir jalan setapak di sebelah timur pondok yang terbakar. Roro
Centil yang mengikuti tak jauh dibelakang terpaksa dekap hidungnya saat tercium
bau pesing menyengat.
"Orang tua ini mungkin sepanjang hidup yang
dimakannya cuma jengkol melulu!" umpat gadis itu.
Tak lama setelah melewati pepohonan besar
mereka sampai di sebuah pondok sederhana yang be-
rada di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Mbah
Petir membuka pintu, dia melangkah masuk, lalu pin-
tu di tutupnya kembali. Dari dalam pondok terdengar
suara si kakek.
"Kau tunggu dulu di situ. Aku tadi banyak ka-
get dan ketakutan sekali. Kau sudah tahu penyakitku, jika terkejut dan takut
terus menerus akibatnya kentut dan kencingku tak dapat ku tahan.!"
Roro Centil menanggapi. "Bagaimana jika kau
ketakutan dan terkejut sepanjang hari. Cairan ditu-
buhmu bisa amblas menjadi kencing, sedangkan ken-
tutmu tidak berupa angin lagi tapi ampasnya juga ikut keluar. Hi hi hi!"
Karena pada dasarnya Mbah Petir orang tuli.
Maka ucapan si gadis terdengar samar ditelinganya.
Sehingga enak saja dia menjawab. "Sabar dulu kau di situ. Aku baru hendak
bertukar celana."
Mendengar jawaban si kakek, Roro Centil hanya dapat
mengurut dada. Dia pun akhirnya memilih diam. Fi-
kirnya dari pada bicara dan dijawab tak karuan kejuntrungannya lebih baik
berdiam diri. Tak lama pintu
pondok terbuka. Di dalam pondok suasana nampak te-
rang temaram karena di dalam ruangan itu hanya ada
sebuah pelita kecil yang menerangi. Roro Centil duduk di sudut kiri, sedangkan
di depannya Mbah Petir yang sudah berganti pakaian duduk menghadap sebuah
pendupaan berisi bara menyala.
*** 6 Mulut Mbah Petir yang tertutup kumis berwar-
na putih kelabu komat-kamit, entah membaca mantra
atau apa. Roro Centil jadi ingat Mbah Petir dulu suka minum teh tubruk. Tak
pernah menggunakan sarin-gan. Habis minum serbuk teh menempel dikumisnya.
Jadi kumis itu fungsinya antara lain sebagai penyaring teh.
Habis komat-kamit, Mbah Petir taburkan ser-
buk kayu damar. Terdengar suara berkeretakan ketika
serbuk damar menyentuh permukaan bara. Pondok
kecil itu kemudian menjadi gelap diwarnai asap tebal agak kecoklatan. Dalam
gelap Mbah Petir terbatuk diselingi suara kentut bertalu-talu. Untung di dalam
ruangan itu dipenuhi asap serbuk damar yang terba-
kar, sehingga kentut Mbah Petir yang konon mengan-
dung racun jahat mematikan tak tercium oleh Roro
Centil. Setelah menunggu tak seberapa lama asap teb-
al lenyap, di depan sana wajah Mbah Petir semakin hitam dipenuhi jelaga. Roro
Centil berlagak tak tahu.
Beberapa saat si kakek dan gadis itu saling berpan-
dangan. Mbah Petir kemudian membuka mulut, sua-
ranya memecah keheningan suasana.
"Roro Centil! Kita bersahabat sudah cukup la-
ma. Kau datang kemari tentu bukan ingin menjam-
bangi tua bangka ini bukan" Kau datang dengan
membekal satu persoalan pelik, menyangkut kegegeran
yang terjadi di Kiara Condong, bukankah begitu?"
tanya si kakek. Sesaat dia memandang ke atas bara
dalam pendupaan, kemudian mengangkat wajah lalu
memandang lurus ke arah si gadis.
"Begitulah kira-kira, Mbah. Aku memang da-
tang membekal suatu persoalan rumit. Persoalan itu
menyangkut terbunuhnya pemimpin pertemuan para
pendekar yang seharusnya berlangsung dua hari yang
lalu. Saya datang kemari adalah ingin menanyakan
siapa sebenarnya yang telah membunuh para tokoh
dan pendekar yang berkumpul di dalam ruangan raha-
sia. Kiranya Mbah Petir bisa membantu saya melalui
kekuatan batin yang Mbah miliki!" Kata si gadis menjelaskan maksud tujuannya.
Mbah Petir anggukkan kepala. Dalam hati Roro
Centil jadi heran, kakek di depannya itu entah menga-pa setiap berada di depan
pendupaan pendengarannya
seakan pulih kembali.
"Hebat. Urusanmu menyangkut masalah pelik.
Orang terbunuh, tapi kau tak tahu siapa pembunuh-
nya" Bagaimana kau bisa tak tahu?" tanya si kakek dengan mata terpejam.
"Kalau aku tahu buat apa aku jauh-jauh da-
tang menemui dan bertanya padamu, Mbah!" sahut si gadis kesal.
Mbah Petir manggut lagi, lalu dia tertawa hing-
ga terlihatlah gigi si kakek yang hanya beberapa buah.
"Kau benar. Jika kau tahu untuk apa susah payah datang ke sini." Ucap Mbah
Petir. Si Mbah kemudian mentertawai ketololannya sendiri. Dia kemudian mengambil
sikap duduk bersila. Dua tangan diletakkan di atas lutut, dua mata dipejamkan.
Mulut Mbah Petir
kembali komat-kamit. Roro Centil sadar saat itu si kakek sedang mengerahkan
kekuatan untuk melakukan
sambung rasa dengan dunia gaib, sehingga si gadis tak bicara apa-apa lagi takut
mengganggu konsentrasi si
kakek. Dia hanya memandang Mbah Petir dengan te-
linga dipentang siap mendengarkan.
Tak berselang lama sekujur tubuh Mbah Petir
bergetar, keringat bercucuran membasahi sekujur tu-
buh dan pakaian Mbah Petir. Mulut Si kakek yang ko-
mat-kamit kemudian terkatub, setelah itu terdengar
suara racau yang tak berkeputusan. Pendupaan yang
terletak di depan Mbah Petir bergetar hebat, sedangkan wajah si kakek nampak
berkerut tegang.
"Kau dengar!" dengan mata terpejam si kakek berucap. "Aku melihat ada rumah
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar. Kejadian ini kurasa sebelum terjadinya pembantaian itu." Menerangkan si
kakek. Dia lalu melanjutkan ucapannya.
"Aku melihat banyak penjaga disana. Ada umbul-
umbul, banyak pula penjaga yang bersembunyi. Aku
juga melihat... aku melihat ada seorang laki-laki berkepala setan, maksudku
kepalanya besar sekali. Laki-
laki itu dihadang oleh dua orang pengawal berseragam putih. Oh... oh, dua
pengawal itu dibunuhnya dengan
Pendekar Penyebar Maut 7 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Ilmu Silat Pengejar Angin 3