Pencarian

Sang Petaka 2

Gento Guyon 21 Sang Petaka Bagian 2


gerak-gerak. Tak berapa lama kemudian si nenek
melompat bangkit. Berkelebat ke arah mulut gua
dia berteriak. "Pengintai tengik, beraninya ikut mendengar pembicaraan orang!"
Lalu sambil berkelebat si nenek hantam-
kan tangannya ke arah gundukan batu karang
yang tersembul di mulut goa. Serangkum hawa
panas bergulung melabrak batu besar itu. Sesaat
lagi pukulan Nyi Sekar Langit menghantam batu
yang dijadikan tempat persembunyian, satu sosok
serba putih berkelebat menghindar sambil umbar
tawanya. Hantaman yang sangat keras membuat
gundukan karang hancur berkeping-keping. Se-
mentara itu kedua pengasuh si nenek kini begitu
keluar menyusul majikannya langsung berpencar
mengepung sosok berpakaian seperti pocong itu.
"Hik hik hik! Dicari kemana-mana tidak ta-
hunya bersembunyi disini. Nyi Sekar, ternyata
kau tidak berani menghadapi kenyataan hidup
yang terjadi pada dirimu. Setelah tubuh dan wa-
jahmu berubah begitu rupa, baru kau rasakan
alangkah hidup ini tidak ada artinya bagi dirimu."
dengus orang yang sembunyikan diri di balik se-
lubung putih yang dipocong pada bagian atasnya.
Nyi Sekar Langit diam-diam jadi kaget ka-
rena tidak menyangka orang berselubung putih
itu ternyata mengenal dirinya. Begitu juga halnya dengan Nyi Arianti dan Nyi
Artawanti. "Kau siapa" Berani datang tapi tak berani
tunjukkan wajah!" hardik Nyi Arianti.
"Mungkin dia memiliki wajah yang buruk
sehingga malu memperlihatkannya pada kita!" Nyi Artawanti menimpali, lalu gadis
jelita ini tertawa lebar. "Dua gadis menyedihkan. Tampang kalian berdua adalah
wajah palsu. Aku bahkan tahu
keadaan kalian yang sebenarnya. Nasib kalian
masih terbilang bagus dari nasib yang dialami Nyi Sekar. Ketahuilah, aku lebih
cantik dari nenek
itu. Jika kalian melihat gelagat seharusnya segera memohon ampun pada Tuhan
karena tak lama
lagi ajal akan datang menjemput! Hik hik hik."
"Tunggu, aku rasa-rasa kenal dengan po-
cong kesasar itu! Tapi biarlah agar lebih pasti lagi, sekarang akan kubongkar
dulu selubung kain putih yang menutupi sekujur tubuhnya!" kata Nyi Sekar Langit.
Bersamaan dengan ucapannya itu
tanpa bergerak dari tempatnya si nenek tuding-
kan jari telunjuknya lurus ke arah sosok berjubah putih yang dipocong pada
bagian atasnya. Setelah
itu jari digerakkan dari bawa ke atas. Secara
mengejutkan terdengar suara robeknya kain yang
menyelubungi sekujur tubuh di depannya. Satu
gerakan lagi dilakukannya. Selubung kain putih
itu seolah seperti ada tangan yang menggerak-
kannya langsung melesat ke atas. Begitu selu-
bung kain terbuka terlihatlah satu sosok tubuh
berpakaian serba kuning berwajah cantik berusia
sekitar empat puluh tahun. Kelabakan perem-
puan itu mencoba menggapai kain selubungnya
yang terbetot lepas, tapi gerakannya kalah cepat dengan gerakan si nenek.
Selubung kain terus
membubung tinggi, lalu bergerak ke arah pantai.
Merasa kedoknya telah terbuka, dalam ke-
marahannya perempuan berpakaian kuning itu
malah tertawa mengikik.
"Sejak semula sudah kuduga memang kau-
lah orangnya Nyi Ronggeng!" kata Nyi Sekar Langit dengan suara dingin. "Setelah
kau buat keadaanku menjadi begini rupa, berani mati kau da-
tang kemari?"
"Hik hik hik. Cacat serta perubahanmu
masih belum membuat hatiku puas. Aku merasa
Dipati Durga baru mau kembali kepadaku setelah
kau dapat kubunuh! Hik hik hik!"
Si nenek tersenyum sinis. "Walaupun kea-
daanku sudah begini rupa, jangan kau mengira
aku sudi pada laki-laki bejat itu. Bagiku lebih
baik mati daripada hidup dengannya. Jadi tidak
ada lagi alasan bagimu untuk membuat perkara
membesarkan persoalan denganku!" tegas si nenek.
"Kau berkata begitu, tapi di hatiku tetap
ada ganjalan. Aku tahu karena kehadiranmu ma-
ka Dipati Durga berpaling muka dan kini men-
jauhi diriku. Sekarang aku datang dengan tujuan
ingin mengambil nyawamu!"
"Perempuan sundal! Kau telah membuat
ketua kami menjadi sangat menderita. Seharus-
nya kami yang menuntut balas atas segala yang
telah kau lakukan. Dasar iblis! Ketua biar kami
mewakilimu untuk meringkusnya!" kata Nyi
Arianti. Gadis itu kemudian melangkah maju,
siap lancarkan serangan ke arah Nyi Ronggeng.
"Kau mau mewakili nenek itu. Kuingatkan
padamu sebaiknya mundurlah! Kalaupun kau
dan temanmu maju berdua, kalian akan mati sia-
sia!" kata perempuan itu sinis.
Merasa diremehkan Nyi Arianti dan Nyi Ar-
tawanti serentak bergerak ke depan. Setelah sem-
pat bentrok beberapa waktu yang lalu sebagaima-
na telah dituturkan dalam episode sebelumnya.
Keduanya tahu kehebatan yang dimiliki oleh Nyi
Ronggeng. Sehingga begitu mereka bergebrak,
langsung saja lancarkan pukulan yang memati-
kan. Begitu kedua pengasuh Nyi Sekar Langit
hantamkan kedua tangannya, dari samping ka-
nan dan sebelah kiri Nyi Ronggeng menderu hawa
dingin yang sanggup membekukan tubuhnya.
Namun Nyi Ronggeng yang baru saja berhasil
mendapatkan sekaligus menguasai ilmu Sesat Ji-
wa ini mendapat serangan cukup berbahaya
hanya mendengus disertai tawa panjang.
"Cuma ilmu pukulan rongsokan, Kemilau
Bidadari Langit siapa takut?" seru Nyi Ronggeng.
Nyi Arianti terkejut tak menyangka lawan
mengenali pukulan yang mereka lepaskan. Tapi
dia dan sahabatnya terus bergerak ke depan
sambil mendorongkan dua tangannya.
Tak pelak lagi kedua pukulan itu menghan-
tam Nyi Ronggeng. Tapi aneh begitu pukulan
membentur tubuhnya hanya dengan menggerak-
kan tubuhnya dengan gerakan seperti orang me-
nari pukulan yang dilepaskan oleh kedua penga-
suh itu berbalik mental menghantam pemiliknya
sendiri malah dengan kecepatan berlipat ganda.
Nyi Sekar tercekat, tak menyangka lawan
mampu berbuat seperti itu. Dia menjadi heran
mengapa kini lawan bisa memiliki tenaga dalam
sehebat itu. Sebaliknya jika Nyi Arianti dan Nyi Artawanti tidak melompat ke
samping jatuhkan
diri yang diteruskan dengan gerak bergulingan
menyelamatkan diri niscaya mereka menjadi sa-
saran pukulan sendiri.
Dengan wajah pucat dan keluarkan kerin-
gat dingin kedua gadis cantik itu bangkit berdiri.
Sejenak lamanya mereka menatap ke arah lawan
dengan pandangan seolah tak percaya.
"Ilmu apa lagi yang dipergunakan oleh pe-
rempuan genit ini?" batin Nyi Artawanti heran.
"Celaka. Agaknya dia telah berhasil men-
gamalkan suatu ilmu yang baru. Beberapa waktu
yang lalu tenaga dalamnya tidak sehebat ini. Pantas saja dia berani datang
kemari!" fikir Nyi Arianti.
Di depan sana Nyi Ronggeng berdiri tegak
sambil berkacak pinggang. Sepasang bibirnya
menyunggingkan seulas senyum sinis hingga
terkesan sangat meremehkan.
8 Melihat semua ini tentu saja Nyi Arianti
dan Nyi Artawanti jadi terpancing amarahnya.
Memang ini yang dikehendaki oleh Nyi Ronggeng.
"Kalian terkejut! Hik hik hik. Mendekatlah
kemari, kau dan temanmu boleh memilih bagian
tubuhku yang paling empuk!" seru Nyi Ronggeng penuh tantangan.
Dua gadis pengasuh itu saling berpandan-
gan. Mereka lalu sama-sama anggukkan kepala.
Secara bersamaan keduanya melepaskan lingka-
ran cambuk yang tergantung di pinggang kiri
masing-masing. "Aku dan temanku akan menghela tubuh-
mu tidak ubahnya seperti seekor kuda tunggan-
gan!" seru Nyi Arianti.
"Aku khawatir malah kalian yang menjadi
penghela mampus lebih duluan!" sahut Nyi Ronggeng. Sekali lagi perempuan cantik
setengah baya ini umbar tawanya.
Kedua pengasuh berwajah jelita itu sama
keluarkan suara menggerung. Cambuk ditangan
mereka laksana seekor ular meliuk diudara, mele-
cut dan melibat tubuh Nyi Rombeng dengan arah
serangan yang sulit diduga. Akibatnya tentu san-
gat luar biasa sekali, dalam waktu hanya bebera-
pa jurus saja Nyi Rombeng terdesak hebat. Setiap serangan yang dilancarkannya
untuk melemah-kan serangan cambuk kedua tawanya selalu kan-
das di tengah jalan.
Karena cambuk itu terkadang dapat beru-
bah kaku laksana kawat baja dan dilain saat da-
pat melentur sesuai dengan keinginan pemiliknya.
Yang lebih berbahaya lagi di bagian ujung cam-
buk yang sengaja dipasangi mata tombak laksana
kepala ular menyambar bagian-bagian tubuhnya
Nyi Ronggeng. Jika sampai mengenai tubuhnya,
atau mata tombak itu amblas menembus tubuh
dan lawan menarik cambuknya maka bagian da-
lam tubuh perempuan itu pasti berbusaian ke
luar. "Hem, serangan dua cambuk celaka itu sungguh tak dapat dibuat main. Aku
harus bisa mengenyahkan senjata celaka itu!" rutuk Nyi Ronggeng. Tapi apa yang hendak
dilakukannya itu tidaklah mudah. Begitu dia bergerak ke sebe-
lah kiri dengan gerakan tangan menyambar cam-
buk di tangan Nyi Arianti, dari arah belakangnya ujung cambuk Nyi Artawanti
menderu menyambar punggungnya.
Sambil lontarkan makian Nyi Ronggeng
tanpa menoleh kibaskan tangannya ke belakang.
Tapi tangkisan yang dilakukannya mengenai tem-
pat kosong karena ujung cambuk kini bergerak ke
bawah menyambar bagian pinggang.
Breeet! "Agrh...!"
Nyi Ronggeng menjerit keras, punggung ba-
junya robek besar, kulit dan dagingnya tergores
hingga mengucurkan darah.
"Jahanam keparat!" teriak perempuan itu kesakitan. Tak terperikan betapa
marahnya perempuan itu. Tiba-tiba dia dorongkan tangan ka-
nannya ke arah Nyi Arianti. Begitu tangan dido-
rong, Nyi Ronggeng cepat membalikkan tubuh
menghadap langsung ke arah Nyi Artawanti.
Apa yang terjadi kemudian sungguh sangat
luar biasa sekali. Begitu Nyi Ronggeng dorongkan tangan ke arah kedua lawannya
melesat segulung
angin berhawa panas luar biasa. Kedua pengasuh
itu tercekat begitu merasakan adanya sambaran
angin berhawa panas luar biasa. Laksana kilat
mereka memutar cambuk di tangan masing-
masing hingga membentuk perisai diri yang ko-
koh. Tapi pertahanan yang mereka lakukan nam-
paknya sia-sia saja karena kejab kemudian begitu angin pukulan Nyi Ronggeng
melabrak cambuk
mereka yang digunakan sebagai perisai terdengar
suara. Tess! Tess!
Cambuk di tangan pengasuh itu hancur
menjadi bubuk, hingga kini mereka hanya meme-
gang bagian gagangnya saja. Kejut di hati Nyi
Arianti dan Nyi Artawanti bukan kepalang melihat kenyataan yang tak pernah
mereka sangkakan
ini. Sadar akan bahaya yang mereka hadapi me-
reka melompat ke samping selamatkan diri.
Sayang gerakan yang mereka lakukan terlambat.
Bahkan Nyi Sekar Langit yang berusaha meno-
long kedua pengasuhnya dengan melepaskan pu-
kulan jarak jauh tak dapat berbuat banyak. Dua
pukulan Nyi Sekar seolah amblas setelah mem-
bentur pukulan lawan.
Bumm! Bumm! Dua pukulan berturut-turut mengenai ke-
dua pengasuh tadi. Mereka langsung terjungkal.
Pakaian dan sekujur tubuh dikobari api. Anehnya
begitu terkena pukulan mereka tidak mampu lagi
bangkit berdiri. Tidak pelak lagi keduanya tewas seketika dalam keadaan hangus
gosong menjadi arang. "Nyi Arianti... Nyi Artawanti...!" Nyi Sekar Langit menjerit melihat
kematian kedua anak
buahnya yang mengenaskan itu. Dengan penuh
kemarahan nenek renta ini melompat ke depan,
lalu jejakkan kaki tak jauh di depan Nyi Rong-
geng. Dengan tatap mata menyorot tajam penuh
kebencian, Nyi Sekar Langit berteriak. "Nyi Ronggeng, kalau tak salah
penglihatanku kau baru sa-
ja membunuh kedua pengasuhku dengan puku-
lan keji Sesat Jiwa. Kudengar bangsanya siluman
sekalipun tak pernah menggunakan ilmu sekeji
itu. Tak kusangka kau telah mengamalkan ilmu
itu. Kau bunuh mereka secara kejam, padahal


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua itu tidak seharusnya terjadi!"
"Nyi Sekar, kau dan para pengasuhmu itu
memang orang yang harus kusingkirkan. Sayang
sekali aku tidak melihat pembantumu yang ber-
nama Nyi Besinga. Dua nyawa telah kuberang-
katkan ke neraka, sekarang tiba giliranmu untuk
menyusul mereka!"
"Perempuan keparat! Apa kau mengira se-
telah kau memiliki pukulan Sesat Jiwa aku jadi
takut kepadamu?" berkata begitu si nenek gerakkan tangannya ke depan dada. Dua
tangan bersi- langan depan dada. Dalam kesempatan itu Nyi
Ronggeng telah menggerakkan tangannya ke atas
kepala. Beberapa saat kemudian begitu tangan
terpentang lurus di atas kepala mulutnya berke-
mak-kemik. Beberapa saat setelah mulut berko-
mat-kamit, dari bagian kepala mengepul asap ti-
pis berwarna hitam kebiruan. Perlahan tubuhnya
bergetar, dua tangan yang kini telah berubah
menjadi merah hitam membara perlahan ditu-
runkan siap menghantam ke depan.
Akan tetapi sebelum Nyi Ronggeng sempat
melepaskan pukulan Sesat Jiwa yang sangat di-
andalkannya, pada saat itu Nyi Sekar Langit telah hantamkan kakinya ke tanah.
Duuk! Begitu kaki kanan Nyi Sekar menghantam
tanah, tubuh Nyi Ronggeng laksana ada satu ke-
kuatan yang melontarkan dari dalam tanah nam-
pak terpelanting ke udara.
Kejut di hati Nyi Ronggeng bukan alang-
alang. Dalam keadaan berjumpalitan dia berusa-
ha jatuhkan diri dengan kedua kaki terlebih da-
hulu menginjak tanah. Baru saja kaki menyentuh
tanah Nyi Sekar Langit kembali hantamkan kaki
kanannya ke tanah.
Duuuk! Seperti tadi Nyi Sekar tubuhnya. terpelant-
ing ke udara akibat serangan aneh lawannya ini.
Selagi tubuh perempuan itu terpelanting ke atas
si nenek tanpa memberi kesempatan lawannya
segera menghantam lawannya.
Wuuut! Wuut! Sinar merah, putih dan kuning melesat da-
ri telapak tangan Nyi Sekar Langit. Serangkum
hawa dingin luar biasa menghantam Nyi Rong-
geng. Perempuan itu memaki panjang pendek
saat merasakan bagaimana sekujur tubuhnya
laksana ditindih balok es. Tapi walaupun posi-
sinya saat itu dalam keadaan tidak menguntung-
kan dengan menggunakan daya gerak tubuhnya
dia menghantam ke arah Nyi Sekar Langit.
Sinar hitam kemerahan menderu bergerak
lurus dari atas ke bawah. Akibatnya bukan hanya
menghancurkan pukulan berhawa dingin yang di-
lepaskan si nenek, tapi juga terus bergerak me-
luncur menghantam Nyi Sekar Langit. Jika nenek
itu tidak melompat ke belakang selamatkan diri,
tentu tubuhnya kini telah berubah menjadi arang.
Tak urung sebagian pukulan yang dilancarkan
Nyi Ronggeng masih menyambar bahunya. Si ne-
nek menjerit kesakitan. Pakaian hijaunya diba-
gian bahu hangus menjadi bubuk, kulit melepuh
tembus hingga ke permukaan daging. Termiring-
miring si nenek mencoba berdiri tegak, siap me-
lancarkan serangan susulan. Tetapi pada waktu
bersamaan Nyi Ronggeng yang masih mengam-
bang di udara mempergunakan kesempatan ini
untuk melepaskan serangkaian tendangan beran-
tai ke bagian kepala dan punggung lawan.
Nyi Sekar Langit liukkan tubuh dan kepa-
lanya menghindari tendangan bertenaga dalam
tinggi itu. Walaupun begitu tak urung salah satu tendangan Nyi Ronggeng masih
sempat mendera bagian belakang kepalanya. Si nenek jatuh mene-
lungkup, dia merasakan pemandangannya jadi
gelap. Tanah di tempat dia berada seolah berputar lebih cepat. Jika bukan nenek
ini yang terkena
tendangan dapat dipastikan kepalanya hancur,
atau paling tidak pecah.
Sekejap lamanya si nenek tak mampu ber-
gerak sama sekali. Nyi Ronggeng tertawa terba-
hak-bahak. "Tercapai juga apa yang aku inginkan.
Sekarang sampai sudah giliranku untuk mengi-
rimmu ke neraka!" berkata begitu Nyi Ronggeng memutar tangannya di depan dada.
Setelah itu dengan gerakan lurus tangan didorongnya ke de-
pan. Dalam keadaan seperti itu Nyi Sekar Langit
yang baru saja berusaha bangkit berdiri tentu sa-ja tidak dapat berbuat banyak.
Dengan mata ter-
belalak si nenek mencoba menggerakkan kedua
tangan untuk menangkis serangan lawan. Tapi
dia jadi kaget karena ternyata pukulan yang dilepaskan lawan datangnya lebih
cepat dari yang dia perhitungkan.
Saat itu jiwa si nenek benar-benar berada
dalam ancaman bahaya besar, namun sekejap la-
gi tubuhnya hangus terkena pukulan lawannya
pada saat itu pula satu bayangan berkelebat ke
arahnya. Segulung angin dingin menderu mendo-
rong si nenek, hingga membuat tubuhnya mence-
lat ke udara, lalu jatuh terduduk di atas bukit karang. Sekali lagi sosok
bayangan putih gerakkan
sesuatu yang belum jelas benda apa adanya ke
arah pukulan Nyi Ronggeng.
Bruss! "Walah, habis barangku...!" satu suara ber-seru. Pukulan Nyi Ronggeng buyar.
Perempuan itu nampak terhuyung. Sedangkan di depannya
sosok yang menyelamatkan Nyi Sekar Langit yang
ternyata adalah seorang kakek berpakaian serba
putih berjenggot panjang nampak kalang kabut
kibaskan bagian hulu bambu pancingnya yang
hangus terbakar hingga kini hanya tersisa tiga
jengkal saja. Di bagian sisa bambu yang dipergu-
nakan untuk menangkis itulah tergantung mak-
hluk berbulu putih dengan punggung dipenuhi
sisik berbuntut panjang.
Melihat binatang itu terkulai si kakek ber-
teriak histeris seperti orang yang ditinggal mati anaknya.
"Sialan... walah, Siklututjang... jangan mati dulu... jangan mati jika aku belum
bertemu dengan si bocah edan." seru si kakek. Rupanya ketika mempergunakan salah
satu ujung bambu untuk
menangkis pukulan Nyi Ronggeng tadi telah ter-
jadi satu benturan hebat. Hingga binatang itu
pingsan. Kini dengan sikap seolah tidak memperdu-
likan Nyi Ronggeng, kakek berjenggot panjang itu sibuk meniup bagian dubur
binatang itu. "Jangan mati... phuh... puuuh...!" kata si kakek. Sedangkan pipinya yang kempot
nampak kembang kempis.
Tak berselang lama kedua mata binatang
berkedap-kedip disertai terdengarnya suara men-
guik. Lega hati si kakek. Dia tersenyum, sambil mengelus-elus punggung
Siklututjang kini si kakek tertawa lebar.
"Ha ha ha! Ternyata nyawamu mendengar
permintaanku, hingga tak jadi minggat mening-
galkan ragamu. Terima kasih... terima kasih...!"
kata si kakek yang bukan lain Tabib Setan
adanya. 9 Posisi jatuh Nyi Sekar Langit yang seperti
didudukkan membuat nenek itu sadar betul bah-
wa dirinya telah diselamatkan orang dari sebuah
petaka yang mengerikan. Kini dia memandang ke
depan. Dia melihat seorang kakek berpakaian pu-
tih yang tidak dikenalnya nampak sibuk meniup-
niup bagian pantat binatang yang dibawanya. Se-
telah meneliti dan memperhatikan kakek itu, ter-
nyata dia memang tidak mengenali siapa si kakek
adanya. "Kakek aneh, rasanya baru kali ini aku me-
lihatnya. Dia telah menolongku, tapi aku tidak
yakin dia mampu menghadapi pukulan Sesat Ji-
wa yang dimiliki oleh Nyi Ronggeng."
Sebaliknya Nyi Ronggeng sendiri diam-
diam jadi kaget tak menyangka kakek itu mampu
menahan serangannya. Tidak sampai di situ saja,
dia juga bahkan mampu membuat tubuhnya ter-
huyung dada bergetar mendenyut sakit.
"Siapa bangsat tua ini" Tenaga dalamnya
tidak berada di bawahku. Jika tidak kuhabisi dia secepatnya, bukan mustahil aku
tidak dapat membunuh Nyi Sekar!" membatin perempuan itu dalam hati.
"Ha ha ha. Binatangku selamat. Tapi bam-
buku hangus nyaris tidak bersisa." kata si kakek.
Sejurus dia memandang ke depan. Sepasang ma-
tanya berkedip-kedip. Enak saja dia berucap. "Perempuan cantik tapi keji.
Bagaimana ini urusan-
nya. Bambuku sudah kau hanguskan. Untuk
memanggul binatang ini aku membutuhkan alat,
kalau kuminta salah satu tanganmu yang mulus
itu apakah boleh?"
Mendengar ucapan Tabib Setan pelipis Nyi
Ronggeng bergerak-gerak. Mata mencorong tajam
sedangkan mulutnya memperdengarkan suara
menggeram. "Tua bangka tak tahu gelagat, sudah tahu
bersalah masih juga kau berani jual lagak di de-
pan Nyi Ronggeng!" dengus perempuan itu sengit.
Si kakek miringkan kepala, empat jemari tangan
ditempelkan di belakang daun telinga, berlagak
seperti orang tuli ia bertanya. "Maaf, aku belum tuli cuma agak budek saja. Tadi
kau mengatakan namamu siapa" Nyi Serundeng" Serundeng itu
makanan dari kelapa. Sayang... perempuan se-
cantik dan menggiurkan seperti dirimu namanya
kok seperti makanan. Ha ha ha!" Selagi si kakek tabib sedang tertawa seperti itu
satu suara menimpali. "Dia bukan hanya sekedar makanan, ia
juga tidak ubahnya seperti kuda tunggangan. Ji-
ka kau tak percaya coba saja sendiri kakek peno-
longku!" Tabib Setan dan Nyi Ronggeng berpaling
serentak ke arah suara. Ternyata yang baru bica-
ra tadi adalah Nyi Sekar Langit. Mendengar uca-
pan si nenek amarah Nyi Ronggeng jadi tak terpe-
rikan. Sementara itu si kakek dengan tenang be-
rucap. "Aku sudah tua, tak suka menunggang
kuda, tidak yang jantan tidak pula yang betina,
karena aku lebih suka jalan kaki saja." Setelah itu sang tabib kembali menghadap
ke arah Nyi Ronggeng. "Eeh sobat cantik, kau tadi mengatakan aku telah melakukan
kesalahan. Dapatkah kau mengatakan dimana kesalahanku dan yang salah itu
apaku?" Semakin bertambah geramlah Nyi Rong-
geng dibuatnya. "Tua bangka keparat rupanya kau tidak tahu kesalahan yang telah
kau perbuat" Baiklah aku akan menunjukkannya pada-
mu!" teriak perempuan itu. Diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian
tangannya siap menghajar si kakek dengan pukulan mautnya.
Melihat gelagat seperti ini Tabib Setan ang-
kat tangannya. "Jangan. Sebelum kau menggebuk tua ini apakah kau tak ingin
mengenal siapa na-ma pangeranmu ini" Ha ha ha!" kata Tabib Setan.
"Memangnya kau siapa tua bangka kepa-
rat!" hardik Nyi Ronggeng sengit. Masih dengan tertawa-tawa sang tabib berucap.
"Nah, begitu.
Aku masih belum terlalu tua untuk kau panggil
aku kakang." Gurau si kakek. Tanpa memperdu-
likan orang yang memandang mendelik padanya,
Tabib Setan melanjutkan. "Kekasihku, nama aku tidak punya. Tapi orang-orang
tolol dunia persilatan memberiku gelar jelek Tabib Setan. Ha ha ha!"
kata sang tabib.
Jika mendengar petir di siang bolong Nyi
Ronggeng tidaklah sekaget mendengar si kakek
menyebut gelarannya. Sejak lama dia mendengar
kehebatan tabib yang satu ini. Dengan Ilmu pen-
gobatannya nama Tabib Setan pernah menggetar-
kan delapan penjuru rimba persilatan di tanah
Jawa. Pengobatannya dalam menyembuhkan ber-
bagai macam penyakit tidak perlu diragukan lagi.
Sifatnya yang angin-anginan tak jarang orang be-
robat kepadanya justru menemui ajal secara
mengerikan. Sebaliknya Nyi Sekar Langit sendiri walau-
pun ketika mendengar si kakek menyebut siapa
dirinya sempat dibuat tercekat tapi melihat kakek itu berada di pihaknya ia
tidak begitu risau. Malah kini jauh di lubuk hatinya muncul secercah
harapan untuk mengobati penyimpangan menge-
rikan yang terjadi pada dirinya.
"Tabib Setan, nama besarmu dulu sering
aku mendengarnya. Tapi jangan mengira setelah
mengetahui siapa dirimu aku mau membatalkan
apa yang telah menjadi niatku. Pertama kubunuh
dulu dirimu, setelah itu baru kuselesaikan nenek jelek yang satu itu!" kata Nyi
Ronggeng. "Tabib Setan, hati-hati. Dia memiliki ilmu
pukulan Sesat Raga. Lengah sedikit tubuhmu bi-
sa menjadi arang gosong!" teriak Nyi Sekar Langit.
Tabib Setan berpaling sejenak pada nenek
itu. Dia manggut-manggut. Sambil mengelus
jenggotnya dia berkata. "Terima kasih atas perin-gatanmu nenek butut. Aku akan
menghadapi pe- rempuan cantik ini dengan penuh kesabaran. He


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

he he." "Sialan, aku dibilangnya nenek-nenek butut!" gerutu Nyi Sekar Langit
sambil menggaruk keningnya.
"Lihat serangan!" teriak Nyi Ronggeng. Bersamaan dengan teriakannya itu Nyi
Ronggeng lancarkan serangan berupa cengkeram yang men-
garah ke bagian wajah kakek itu. Serangan ganas
ini sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu
Tabib Setan gerakkan kepalanya ke belakang.
Tinju Nyi Ronggeng menderu menghantam da-
danya. "Walah, calon istri mengapa galak amat"
Sudah habis mencakar kini malah menggebuk
dada!" berkata begitu sang tabib melompat ke belakang, lalu dia dorongkan
sepuluh jarum perak
yang tersusun rapi di sela-sela jemari tangannya sambil berkata. "Biar kuobati
tanganmu agar tidak jahil lagi!" ejek si kakek.
Ucapan sang tabib sebenarnya hanya gu-
rauan saja karena jarum perak itu mengandung
racun jahat yang dapat menghancurkan pembu-
luh darah hanya dalam waktu sedetik.
"Keparat...!" maki lawannya begitu dia merasakan sambaran angin dingin mencuat
dari ujung setiap jarum. Nyi Ronggeng tarik balik se-
rangannya. Dia lalu melompat ke atas, tubuhnya
berkelebat lenyap hingga kini hanya berupa
bayangan saja. Tabib Setan bersikap tenang luar
biasa. Walaupun matanya setengah terpejam,
namun orang tua yang sudah sangat berpengala-
man dalam berbagai tempat perkelahian itu dapat
melihat keberadaan posisi lawannya.
Dengan sudut matanya dia melirik setiap
gerak yang dilakukan lawan. Lalu ketika Nyi
Ronggeng melesat ke bawah sambil gerakkan kaki
menghantam dada dan kepalanya. Pada saat itu
pula si kakek raup sesuatu dari balik kantong
perbekalan obat yang tergantung di pinggangnya.
Ketika tangan ditarik ke atas dan dihan-
tamkannya ke arah lawan. Maka melesatlah pu-
luhan benda berwarna hitam sebesar ujung jari
kelingking memenuhi udara. Nyi Ronggeng batal-
kan serangan kaki, sebaliknya kini dia menghan-
tam orang tua itu dengan pukulan Sesat Jiwa.
Puluhan benda yang disambitkan ke udara
mengeluarkan letupan keras begitu membentur
pukulan lawannya. Asap biru menebar di udara,
menutupi pemandangan. Sementara sang tabib
melompat menghindar selamatkan diri dari jang-
kauan serangan lawannya.
Buum! Si kakek tak urung menjerit begitu mera-
sakan bahunya terasa luluh lantak terkena sam-
baran sebagian pukulan yang dilancarkan lawan-
nya. Tak jauh dari si kakek pendataran batu ka-
rang nampak berlubang besar, hangus menghi-
tam terkena pukulan Nyi Ronggeng.
Si kakek sendiri masih dapat berdiri den-
gan bahu termiring-miring. Pakaian putihnya di-
bagian bahu hangus mengepulkan asap. Semen-
tara di tengah tebaran asap biru ada sosok tubuh yang terjatuh bergedebukan
disertai terdengarnya suara batuk dan sumpah serapah.
Melihat keadaan si kakek, Nyi Sekar Langit
langsung melompat ke arah Tabib Setan setelah
sebelumnya tutup jalan nafasnya.
"Kakek tua kau tidak apa-apa...?" seru Nyi Sekar cemas.
Di tengah-tengah kepulan asap yang mulai
menghilang Tabib Setan tertawa mengekeh.
"Aku... aku tidak apa-apa. Cuma posisi ba-
huku saja yang letaknya jadi tidak benar. Terima kasih atas perhatianmu nenek
butut. Kau ming-girlah sebentar, setelah kuracuni nafas perem-
puan itu sekarang aku ingin menghadiahinya
dengan jarum neraka! Ha ha ha!" Selesai dengan ucapannya Tabib Setan raup
belasan jarum beracun dari balik pakaiannya. Nyi Sekar Langit me-
lompat mundur. Sedangkan Nyi Ronggeng yang
sekujur tubuhnya berubah membiru akibat me-
nyedot asap beracun milik si kakek dengan nekad
melesat ke depan.
"Aku mengadu jiwa denganmu, tua bangka
jahanam!" teriak perempuan itu sengit. Dengan cepat dia berkelebat, dia
dorongkan tangannya ki-ri kanan dengan segenap kemampuan yang dia
miliki. Melihat Nyi Ronggeng kembali melepaskan
pukulan Sesat Jiwa, maka Nyi Sekar Langit tidak
tinggal diam. Dari samping dia mencoba mema-
paki pukulan lawan dengan satu pukulan yang
tak kalah hebatnya dengan pukulan yang dilan-
carkan oleh Nyi Ronggeng.
Cahaya putih laksana kilat berkiblat me-
motong gerak sinar merah yang melesat dari tan-
gan Nyi Ronggeng. Satu letusan mengguncang
udara, Nyi Sekar terdorong mundur. Sedang Nyi
Ronggeng tubuhnya terus meluncur ke arah Ta-
bib Setan, sementara belasan jarum berwarna hi-
tam datang menyongsongnya.
Lawan yang sudah gelap mata ini dengan
menggunakan tangan kiri mencoba menghantam
serangan jarum maut itu sedangkan tangan di-
pergunakan untuk menghantam perut si kakek.
Tapi sangat disayangkan, tidak seperti
yang dia duga, hanya beberapa batang jarum
maut itu saja yang dapat dibuatnya terpental. Sedangkan sebagian lainnya
menancapi sekujur tu-
buh Nyi Ronggeng.
Seakan ada kekuatan yang tidak terlihat,
perempuan itu terdorong mundur ke arah semula.
Dia menjerit setinggi langit. Tubuhnya jatuh terpelanting. Begitu sosoknya
menyentuh tanah,
dengan mata mendelik jiwanya pun tidak ketolon-
gan lagi. Hanya dalam waktu sekejap mata, sekujur
tubuh Nyi Rombeng yang ditancapi puluhan ba-
tang jarum nampak mengucurkan darah, seolah
sekujur pembuluh darahnya pecah.
"Ha ha ha! Ternyata dia adalah perempuan
jahat lagi keras kepala. Perempuan seperti itu
mana bisa dijadikan seorang istri." kata si kakek
sambil memandang mayat Nyi Ronggeng. Nyi Se-
kar Langit yang saat itu mengurut dadanya belum
lagi sempat menimpali ucapan sang tabib ketika
secara tak terduga terdengar suara orang seperti mengomel yang disertai
berkelebatnya tiga sosok bayangan hijau, putih dan cokelat ke arah mereka.
"Tua bangka setan, katanya kau udah ber-
tobat. Mengapa kau membunuh orang dengan ca-
ra sekeji itu. Padahal kau mengaku perempuan
itu calon isterimu. Adakah di dunia ini calon suami sekejam dirimu?"
"Ah...!" sang tabib tercengang. Dia menoleh ke arah datangnya suara. Wajah sang
tabib mendadak berubah pucat, namun juga gembira begitu
matanya membentur satu sosok tubuh yang se-
lama ini dicarinya berdiri tegak diantara dua gadis cantik yang sama sekali
tidak dia kenal.
10 Beberapa saat lamanya Tabib Setan berdiri
termangu. Rasa girangnya melihat orang yang dia
cari selama ini membuat si kakek tak mampu bi-
cara walau barang sepatah katapun. Disisi lain,
dia sebenarnya juga merasa tidak enak hati, ka-
rena apa yang dilakukannya dilihat oleh pemuda
itu. Pemuda konyol dimana si kakek pernah ber-
janji untuk tidak lagi melakukan pembunuhan
secara keji. Sementara itu Nyi Sekar Langit begitu
mengenali salah satu dari tiga orang yang datang nampak begitu gembira.
"Nyi Besinga, mungkinkah pemuda yang
datang bersamanya adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon" Lalu gadis berpakaian serba putih
itu siapa?" batin nenek itu. "Ciri-ciri pemuda itu sama persis dengan gambaran
yang kudapatkan
dalam semediku. Mudah-mudahan saja dia?" fikir si nenek. Diam-diam dia terpesona
melihat kega-gahan pemuda bertelanjang dada itu.
"Tabib Setan.. kau telah melanggar pan-
tangan membunuh dengan semena-mena. Seka-
rang apa tanggung jawabmu?" Si Gondrong bertelanjang dada membuka mulut ajukan
pertanyaan. Tabib Setan jadi salah tingkah. "Gento...
kau... kau jangan salah paham. Kau lihat dulu
keadaan serta pakaianku yang hangus begini.
Bukannya aku membela diri. Aku lakukan semua
ini karena demi membela nenek itu sekaligus me-
nyelamatkan diri. Mana boleh kau marah pada-
ku!" "Ah, ternyata pemuda gagah itu memang pendekar sakti 71 Gento Guyon. Mudah-
mudahan dengan kehadirannya aku dapat keluar
dari gelapnya hati rumitnya fikiran dalam meng-
hadapi kenyataan yang pahit ini" gumam Nyi Sekar Langit merasa lega. Sampai
sejauh itu dia masih tak ingin bicara apapun. Sementara gadis
berpakaian putih yang tiada lain adalah Mutiara
Pelangi alias Putri Kupu Kupu Putih sejak hadir
di tempat itu perhatian lebih banyak tercurah pa-
da Nyi Sekar Langit.
"Kalau cuma seorang nenek renta begitu
yang harus ditolong Gento. Dengan senang hati
aku merelakan Gento menolongnya," fikir sang dara. "Tabib-tabib, ternyata sifat
setanmu tidak berubah sampai sekarang. Tadi kau mengatakan
perempuan itu kudengar calon istrimu. Mengapa
kau sekarang malah berpihak pada nenek itu?"
tanya Gento dengan mulut mengulum senyum.
Tabib Setan jadi salah tingkah. "Gento...
kau seperti tidak mengenal bagaimana sifatku.
Apa yang kukatakan tadi semua hanya bergurau
saja. Tua bangka seperti diriku mana mungkin
punya keinginan untuk mencari pendamping lagi.
Tidak seperti dirimu, kulihat kau begitu serakah.
Dua gadis cantik kau gandeng sekaligus. Ha ha
ha!" Si baju hijau Nyi Besinga dan Pelangi nampak tersipu. Sementara Gento hanya
cengengesan dan sambil menyeka wajahnya. Sedangkan Nyi
Sekar langit pada saat itu berkata. "Anak muda apakah kau yang bergelar Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon?"
Mendengar Nyi Sekar menyebut gelar Gen-
to, Tabib Setan kerutkan keningnya. Kerut merut
diwajahnya makin tajam ketika dia melihat se-
buah kalung bermata batu berbentuk bulat lon-
jong tergantung di leher pemuda itu. Kalung aneh itulah yang luput dari
perhatiannya. "Bocah edan kau punya gelar hebat itu kau
dapatkan dari mana" Dan siapa pula yang mem-
berimu kalung bermata batu butut itu?" tanya si kakek tiba-tiba.
"Walah pertanyaan nenek itu saja belum
kujawab, kau malah ikut-ikutan bertanya. Jadi
mana yang harus kujawab?"
"Lebih baik kau jawab pertanyaan nenek
itu dulu." kata Pelangi.
"Hmm, sobatku Pelangi benar. Mendahulu-
kan kepentingan seorang perempuan lebih afdol
dari pada kepentingan kakek gila itu. Nek... terus-terang, namaku Gento Guyon.
Mengenai gelarku,
itu hanya pandai-pandainya seorang kakek berge-
lar Manusia Seribu Tahun!"
"Hah... Manusia Seribu Tahun" Kau jangan
bercanda. Manusia Seribu Tahun bukan orang
biasa. Dia hidup antara ada dan tiada. Bahkan
segala kehebatan serta ilmunya lebih tinggi dari para dewa. Dulu ketika aku
masih kecil, aku sering mendengar tentang Manusia Seribu Tahun,
tapi semua itu hanya sebuah cerita legenda. Gen-
to kau jangan main-main...!"
Gento tertawa, lalu menunjuk ke wajahnya
sendiri. "Kau lihat adakah aku sedang bercanda.
Aku bertemu dengannya, tapi buat apa aku ceri-
takan semua ini padamu. Ha ha ha!"
"Ah... jadi, apakah rajah berupa angka 71
di dada kirimu itu dia yang membuatnya?" tanya si kakek.
"Kau kira siapa, kakek tabib" Bukan hanya
di dada saja, tapi di telapak tanganku juga di-
buatnya rajah." kata Gento sambil menunjukkan
telapak tangan kanannya dimana pada bagian te-
lapak tangan itu tertera pula angka yang sama.
"Tabib Setan, kalau aku menghendaki waktu itu mungkin di anuku juga sudah
dibubuhi rajah angka, maksudnya supaya jangan tertukar den-
gan punya orang lain. Ha ha ha!"
"Bocah edan. Kau ada-ada saja, kuharap
kau mau menceritakan peristiwa hebat yang telah
terjadi padamu." kata sang tabib penuh harap.
"Oalah, kau penasaran tabib" Rupanya in-
gin pula kau bertemu dengan Manusia Seribu Ta-
hun, apa kau ingin menjadi muridnya?" sindir Gento. "Ah tidak, aku sudah terlalu
tua untuk menjadi murid orang. Aku sudah cukup senang
jika kau mendapat ilmu hebat dari Manusia Seri-
bu Tahun, karena seingatku tidak pada semba-
rang orang manusia setengah roh itu mau menu-
runkan ilmunya. Jangankan memberikan ilmu
untuk menemuinya saja rasanya tidak mungkin!"
"Kalau begitu aku termasuk orang yang be-
runtung ya?"
"Kau bukan cuma beruntung, tapi bertemu
dengannya merupakan suatu karunia." Berkata begitu Tabib Setan lalu mendekati
Gento. Di bawah pandangan setiap orang sang tabib tanpa
perduli lagi berbisik. "Gento... aku mencarimu karena ada yang ingin kuberikan
padamu. Sesuatu
yang sangat langka mengandung khasiat luar bi-
asa. Kita akan membuat acara kecil, kita pesta.
Binatang ini akan ku sembelih, darahnya nanti


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kucampur dengan ramuan." ujar si kakek sambil
menunjuk ke arah binatang yang ditentengnya.
"Gento... darah dan daging binatang ini mengandung kekuatan yang mampu menambah
daya ta- han tubuhmu terhadap racun, dengan meminum
darah dan daging binatang ini segalanya dalam
dirimu juga akan bertambah hebat. Termasuk
yang itu...!"
"Itu apa?" tanya si pemuda dengan mulut melongo.
"Ah, jangan berlagak tolol, itu anu...!" Lalu tabib aneh ini menggerak-gerakkan
jari telunjuknya. "Sudah tahu kan?"
"Ha ha ha. Dasar tabib edan, menikah saja
belum, bagaimana bisa anu?"
"Paling tidak kau untuk sementara puasa
dulu. Lagipula kau hanya tinggal memilih salah
satu diantara dua gadis itu. Kalau kau mau men-
gambil keduanya juga boleh." kata si tabib sambil kedipkan matanya.
"Ngaco. Aku belum berfikir sejauh yang
kau bayangkan." sahut sang pendekar
"Ya sudah. Sebaiknya kau ikut denganku
sekarang!" ujar si kakek, dengan suara keras.
"Tidak. Kakek tabib, kuharap kau tidak bi-
cara melantur. Aku mempunyai kepentingan ter-
sendiri dengan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon.
Harap kau mau memberi waktu agar aku dapat
meminta bantuan Gento untuk menyelesaikan
masalahku!" Yang berkata begitu adalah Nyi Sekar Langit.
Gento dan Tabib Setan berpaling ke arah
nenek itu. "Nenek jelek. Apa sebenarnya urusanmu.
Apakah aku juga boleh mengetahuinya?" tanya Tabib Setan
Si nenek gelengkan kepala. "Kau orang luar
tidak boleh ikut campur, karena kepentinganku
tidak ada hubungannya denganmu!" tegas si nenek. "Kalau begitu aku sangat kecewa
sekali." celetuk si kakek bersungut-sungut.
"Silahkan nikmati rasa kecewamu sambil
menunggu di sini!" berkata begitu Nyi Sekar Langit memberi isyarat pada Nyi
Besinga dan Pelangi.
Setelah itu dia berkata ditujukan pada Gento.
"Gento... ada yang ingin kubicarakan. Harap kau ikut denganku tanpa kakek
tabib!" Selesai berkata Nyi Sekar berkelebat menuju gua karang yang
terletak tak jauh di belakangnya. Yang kemudian
disusul oleh Nyi Besinga dan Pelangi.
"Kau sudah dengar sendiri Tabib Setan.
Jauh sebelum datang kemari aku memang berniat
menolong nenek itu. Jadi kuharap kau suka ber-
sabar menunggu giliranmu!"
"Gento, mengapa kau lebih memilih meme-
nuhi keinginan nenek butut itu dari pada berpes-
ta denganku. Ingat binatang ini khusus kuper-
sembahkan padamu. Jika kau mencarinya sendiri
ke ujung dunia pun kau tak akan menemukan-
nya." "Kuhargai atas segala perhatianmu. Engkau tunggulah disini, aku tak akan
lama. Begitu urusan selesai aku akan kembali menjumpaimu!"
"Gento, aku tidak bisa menunggu lama. Ji-
ka gurumu muncul habislah aku dibuatnya!" kata si kakek.
Sepi tidak ada jawaban. Ketika Tabib Setan
berpaling ke arah dimana sang Pendekar tadi ber-
diri, ternyata Gento telah pergi meninggalkannya.
"Setan... apa sebenarnya yang sedang ter-
jadi dengan nenek tadi. Suaranya begitu merdu
seperti suara seorang gadis cantik jelita. Jangan-jangan dia sengaja hendak
mengerjai Gento. Ada
baiknya jika aku mengintai!" fikir Tabib Setan.
Tak lama kemudian sang tabib berjalan
mengendap-endap mendekati mulut gua. Semen-
tara itu hari mulai merembang petang. Hembusan
angin laut menderu menghempas batu karang
menimbulkan suara aneh seperti bisikan setan.
11 Di dalam ruangan yang hanya diterangi se-
buah pelita merah temaram Nyi Sekar Langit du-
duk berdampingan dengan Nyi Besinga pengasuh
sedangkan Gento duduk di samping Pelangi
menghadap langsung ke arah si nenek dan si jeli-
ta Nyi Besinga. Gadis itu sendiri yang tidak melihat dua pengasuh lainnya segera
ajukan perta- nyaan. "Nyi Sekar, kemanakah perginya Nyi
Arianti dan Nyi Artawanti" Sejak tadi aku tak melihatnya!"
Nyi Sekar Langit tundukkan wajahnya
sambil menarik nafas dalam. Dengan suara per-
lahan pula dia menjawab. "Kedua sahabat pengasuhmu itu telah tewas di tangan Nyi
Ronggeng. Beruntung Tabib Setan datang menolong, jika ti-
dak mungkin aku juga turut binasa."
"Nyi Ronggeng...!" seru Gento dan Pelangi hampir bersamaan, sedangkan sepasang
matanya terbelalak lebar.
"Tak pernah ku menyangka perempuan ke-
parat itu telah datang kemari!" desis Gento.
"Kau mengenalnya?" tanya Nyi Sekar Langit. "Aku hampir saja terbunuh, setelah
kena ditipunya." sahut sang pendekar. Dia kemudian menceritakan segala
sesuatunya yang terjadi ketika Nyi Ronggeng baru saja berhasil menguasai
ilmu barunya. Untuk lebih jelas (baca episode Sesat Jiwa).
"Perempuan iblis itu memang selalu bertin-
dak membabi buta. Sejak kekasihnya berpaling
pada diriku, dia begitu benci pada laki-laki. Ke-benciannya pada diriku malah
lebih gila lagi, karena dia menyangka aku yang telah merebut Di-
pati Durga! Padahal sampai diriku menjadi cacat
buruk rupa begini, sedikit pun aku tak pernah
tertarik pada si hidung belang Dipati Durga. Tapi dia tetap tidak mau percaya.
Setelah membuat
rusak diriku, tadi dia datang lagi ingin membu-
nuhku!" geram si nenek.
"Memangnya apa yang terjadi dengan diri-
mu, nek. Kulihat kau dalam keadaan sehat saja
tak kekurangan sesuatu apapun?" ujar Pelangi. Si nenek tersenyum getir. Dia
tengadahkan wajah,
lalu memandang ke langit-langit gua. Masih da-
lam keadaan seperti itu dia berkata.
"Keadaanku yang sebenarnya bukanlah se-
perti ini. Begitu juga keadaan Nyi Besinga yang
aslinya bukan seperti yang kau lihat...!"
"Eh, apa maksudmu, nek?" tanya Gento
tak mengerti. "Begini... diriku sampai menjadi seperti ini karena Nyi Ronggeng yang menyaru
sebagai guru kami telah melakukan penipuan. Dengan me-
nyamar sebagai guruku dia mengajarkan suatu
ilmu bernama Angin Sungsang Jiwa. Aku percaya,
karena sudah lama guruku Sri Ambeng Tatap
Banyu pernah menjanjikan ilmu itu akan ditu-
runkannya pada kami. Tidak tahunya yang me-
nemuiku itu bukan guruku. Tapi Nyi Ronggeng,
perempuan iblis yang begitu mendendam pada di-
riku." "Memang gurumu kemana nek, mengapa kau sampai tertipu Nyi Ronggeng?"
tanya Pelangi. "Guruku pergi untuk menyelesaikan satu
urusan. Tapi sampai sekarang belum kembali. Ke-
tika Nyi Ronggeng datang, aku mengira dia adalah guru karena dia menyamar
sebagai guru."
"Setelah Nyi Ronggeng mengajarimu ilmu
baru apa yang terjadi nek?" tanya Gento.
"Yang terjadi adalah seperti yang kau lihat sekarang. Aku menjadi tua sebelum
waktunya."
sahut Nyi Sekar.
"Apa maksudmu?" tanya Pelangi.
"Umurku yang sebenarnya adalah sekitar
dua puluh tahun. Mungkinkah orang seumur itu
punya tampang seperti ini. Menjadi seorang ne-
nek berusia sekitar tujuh puluh tahun?"
Mendengar jawaban Nyi Sekar Gento ter-
cengang, lalu tertawa. Sedangkan Pelangi akhir-
nya mulai diliputi perasaan tidak enak jika tidak boleh dikatakan cemburu.
"Hebat. Tapi sayang Nyi Ronggeng sudah
mati. Jika tidak tentu dia dapat kumintai tolong untuk merubah sobatku Tabib
Setan menjadi seorang bocah berusia tujuh tahun. Ha ha ha!"
"Gento, kau jangan bercanda. Terus-terang
hidup dalam keadaan seperti ini aku selalu di-
rundung duka. Aku ingin kembali seperti sediaka-
la. Aku mau seluruh tenaga dalamku pulih, aku
juga berharap wajahku kembali seperti semula,
tidak peot begini rupa."
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon menyerin-
gai, lalu usap wajahnya yang berkeringat pulang
balik. Baru kemudian membuka mulut. "Pertolongan apa yang dapat kau harapkan
dari orang geb-
lek seperti diriku ini nek" Aku ora iso opo-opo, tidak becus apapun."
"Dalam wangsit aku mendapat petunjuk
hanya kau yang bisa menolongku. Untuk kembali
seperti sedia kala memang tidak mudah, salah
sedikit nyawaku menjadi taruhannya. Saat ini pe-
redaran darahku kacau, tenaga sakti tidak bisa
kuhimpun. Hingga aku kehilangan dua pertiga
dari seluruh kekuatan yang kumiliki. Selama hi-
dup, aku memiliki tenaga dari satu sumber yang
berpusat di bagian pusar. Sedangkan kau memi-
liki tujuh inti pembangkit tenaga, tujuh titik pem-
bangkit kekuatan atau cakra. Ketujuh pusat
pembangkit tenaga itu dapat kau manfaatkan
dengan baik kapan saja kau mau. Konon menurut
Nyi Ronggeng yang membuat kami cacat begini,
aku dan Nyi Besinga telah menderita kerusakan
pada bagian otak kecil. Kerusakan itu membuat
aku dan pengasuhku ini kehilangan keseimban-
gan. Hilangnya keseimbangan serta kacaunya pe-
redaran darah di nadi besar membuat perubahan
tubuh seperti yang kau lihat. Sedangkan kerusa-
kan yang terjadi di bagian dalam membuat aku
tak mampu menggunakan seluruh tenaga dalam-
ku, tubuh menjadi rapuh dan dalam waktu ter-
tentu urat-urat darah yang terdapat di sekujur
tubuh kami rasanya laksana mau meledak, me-
nimbulkan rasa sakit yang tidak terkirakan!" ujar si nenek.
"Tolonglah kami, Gento." desak Nyi Besinga yang sejak tadi hanya diam ikut
mendengarkan. "Gento... di dalam dirimu, terdapat tujuh
pembangkit sumber tenaga yang oleh Manusia
Seribu Tahun dinamakan Tujuh Inti Pembangkit
Cakra. Karena sumber penyakit yang kuderita ini
berada di bagian otak kecil. Maka kau dapat
menggunakan pembangkit tenaga atau cakra
yang ketujuh untuk menolong diriku. Rasanya
aku tidak perlu menjelaskan apa dan bagaimana
caranya kau membantu diriku. Karena kau lebih
mengetahui apa yang harus aku lakukan!" ujar si nenek. Sejenak lamanya suasana
di dalam ruangan gua berubah sunyi. Gento pun terdiam, otak-
nya mengingat. Dia tahu setelah bertemu dengan
kakek setengah roh bergelar Manusia Seribu Ta-
hun, kesaktian yang dimilikinya kini semakin bertambah tinggi. Dia bahkan dapat
mengerahkan tenaga dalam dari tujuh bagian sumber tenaga di
tubuhnya. Tujuh sumber tenaga yang dapat dike-
luarkan secara serentak pada saat dibutuhkan.
Semuanya tergabung menjadi satu di dalam jiwa
raganya. Hingga Manusia Seribu Tahun membe-
rinya gelar Pendekar Sakti 71.
Tapi tujuh inti kesaktian itu selama ini be-
lum pernah dipergunakannya karena selain dapat
membuat lawannya menjadi debu, juga ke tujuh
inti kekuatan itu dapat dipergunakan sekali da-
lam tiga purnama. Kini agaknya dia harus meng-
gunakan inti yang berpusat di bagian otak kecil-
nya untuk menolong Nyi Sekar Langit dan Nyi Be-
singa. Gento merasa tidak keberatan untuk me-
nolong mereka, namun diam-diam perasaannya
jadi tidak enak ketika dilihatnya Pelangi cemberut terus. "Gento... apakah kau
tidak bersedia menolongku?" tanya Nyi Sekar Langit.
"Aku tentu saja mau menolong kalian. Bu-
kankah begitu, Pelangi?"
"Yang dimintai pertolongan adalah dirimu
dan yang punya kemampuan untuk melakukan-
nya juga kau sendiri. Mengapa harus bertanya
padaku?" jawab Pelangi ketus. Mendengar ucapan sang dara, Gento akhirnya
berkata. "Baiklah, aku akan membantumu. Seka-
rang apa yang harus kulakukan" Perlu diingat,
aku hanya akan menggunakan sumber tenaga
yang berpusat di bagian otak kecilku cuma satu
kali, jadi pengobatan akan kulakukan sekaligus.
Jadi Nyi Besinga harap duduk bersila di depan,
Nyi Sekar. Sedangkan aku sendiri berada di bela-
kang kalian berdua!" tegas sang pendekar.
"Gento, apapun yang bakal terjadi dengan
kami nanti, sebelumnya aku mengucapkan terima
kasih kepadamu karena kau telah mau meno-
long!" ujar Nyi Sekar.
"Aku juga berterima kasih pada Pelangi,
karena beberapa waktu yang lalu dia telah me-
nyelamatkan aku dari liang kubur. Kalau bukan
karena bantuannya, mungkin kalian cuma bisa
minta tolong pada arwahku. Itupun kalau arwah-
ku kesasar kemari. Ha ha ha!"
Mutiara Pelangi dalam hati tertawa men-
dengar ucapan Gento. Sebaliknya si nenek dan
Nyi Besinga nampak sibuk melakukan apa yang
diperintahkan murid kakek gendut Gentong Ke-
tawa itu.

Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini Nyi Besinga duduk bersila dengan ma-
ta terpejam. Dibelakangnya si nenek juga dalam
keadaan yang sama. Bedanya tangan nenek itu,
kanan kiri menempel ketat di kedua pelipis Nyi
Besinga. Melihat ini Gento jadi tersenyum. "Lucu sekali keadaan mereka, tidak
ubahnya seperti
monyet mencari kutu." katanya dalam hati.
Tak begitu lama si pemuda duduk di bela-
kang Nyi Sekar Langit. Kedua kaki dilipat, lalu dia berkata pada Pelangi.
"Sobatku, tolong kau jaga
kami. Siapapun jangan boleh mengganggu kami!"
Si gadis anggukkan kepala.
"Bagus, Nyi Sekar Langit, ikutlah petun-
jukku. Sesuai dengan petunjuk yang kuberikan
lakukan pula terhadap Nyi Besinga. Pertama tarik nafas dalam-dalam, setelah itu
kosongkan fikiran dan hati. Jangan kau fikirkan kekasihmu, kalau
ada atau orang tua juga anakmu kalau punya.
Selama aku menyalurkan dan memperbaiki pere-
daran darahmu yang kacau jangan pula berani
membuang nafas atau segala sesuatu yang ber-
hubungan dengan angin. Nah... sekarang bersiap-
siaplah!" "Kami sudah siap," Nyi Sekar dan Nyi Besinga menyahut serentak.
Gento tersenyum puas. Kedua tangan ke-
mudian ditempelkan ke belakang kepala Nyi Se-
kar Langit tepat di bagian otak kecil. Setelah itu perlahan kedua mata sang
pendekar terpejam. La-lu, diapun mulai menggerakkan tenaga sakti yang
bersumber di bagian otak kecilnya. Sesaat Gento
tersentak, kepalanya seolah melembung besar.
Hawa panas mengalir deras dari bagian otak ke-
cilnya kemudian bergerak ke bagian leher, selan-
jutnya terus menjalar ke bagian tangannya. Begi-
tu tenaga sakti yang keluar dari pusat keseim-
bangan tubuh menyentuh kepala Nyi Sekar Lan-
git, tubuh sang pendekar bergetar. Wajahnya
nampak memerah, urat-urat darah di bagian wa-
jah bersembulan keluar sedangkan sekujur tu-
buhnya nampak basah bersimbah keringat.
Di depannya sekali Nyi Besinga yang me-
nerima hawa sakti yang tersalur lewat Nyi Sekar
nampak menggeliat kesakitan. Kepala gadis jelita itu nampak mengepulkan asap
tebal berwarna putih. Hebatnya lagi kepalanya laksana meledak,
sedangkan perutnya terasa mulas hingga mem-
buat si gadis tak dapat menahan kentut.
"But! But! But!
Terdengar suara kentut bertalu-talu.
"Celaka siapa yang kentut"!" batin Gento dalam hati. Tapi pemuda ini terus
mengerahkan tenaga dalam yang bersumber pada bagian otak
kecilnya. Nyi Sekar sendiri sebenarnya merasakan hal yang sama sebagaimana yang
dialami oleh Nyi
Besinga. Namun nenek berusaha sekuat tenaga
agar dari bagian bawahnya tidak keluar angin.
Dia hanya mengerang, merintih tak berke-
putusan menahan rasa sakit luar biasa yang
mendera sekujur tubuhnya terlebih-lebih di ba-
gian kepala. Sampai pada puncaknya sekujur tu-
buh Nyi Sekar dan Nyi Besinga nampak mengge-
lembung besar laksana balon. Bersamaan dengan
itu pula bagian kepala dan wajahnya ikut melem-
bung. Pelangi yang melihat semua perubahan ini
nampak terkejut setengah mati. Dengan wajah
pucat dan mata terbelalak lebar dia berkata. "Celaka! Bagaimana seandainya tubuh
mereka mele- dak?" Sementara itu Nyi Sekar Langit dan Nyi Besinga merasa seolah dunia ini
bagai dijungkir balikkan. Bagian belakang kepalanya tidak ubahnya
bagai dihantam palu godam. Mereka menjerit,
bersamaan dengan terdengarnya suara jeritan
mereka, dari bagian hidung, mulut serta telinga
nampak mengeluarkan uap hitam menyerupai
kabut yang terus menerus tiada henti.
Keluarnya uap berbau busuk itu membuat
sekujur tubuh serta bagian wajah mereka men-
ciut, kembali kepada keadaan semula. Tapi suatu
kejadian aneh dan sulit dipercaya terjadi wajah
Nyi Sekar yang semula dalam rupa nenek jelek
kini nampak berubah cantik luar biasa. Sebalik-
nya Nyi Besinga lain lagi. Wajah cantik gadis jelita itu kini dipenuhi kerut
merut dan mengeriput di
sana sini. Kulitnya yang putih mulus sama sekali lenyap berganti dengan wajah
seorang nenek tua
berkulit hitam berbadan kurus berpantat tepos.
"Ilmu tipuan iblis apa yang dipergunakan
Gento. Mengapa bisa terjadi dua hal yang bertolak belakang?" batin Pelangi tak
habis mengerti.
Pada saat itu Gento sudah menarik kedua
tangannya yang ditempelkan ke bagian kepala be-
lakang Nyi Sekar Langit. Namun pemuda yang te-
lah kehilangan banyak tenaga sakti itu kini tetap duduk bersila. Wajahnya
membayangkan keleti-han yang amat sangat, juga pucat seperti kehi-
langan semangat. Sementara Nyi Sekar Langit
yang telah pulih seperti sediakala kini membuka
matanya, dua tangan yang menempel di pelipis
Nyi Besinga ditarik lepas. Dia kemudian mengu-
sap wajahnya sendiri. Lalu terdengar suara se-
ruan. "Ah... aku telah kembali pada keadaanku yang sebenarnya. Terima kasih
Gusti Allah, terima kasih Pendekar Sakti 71." Begitu gembiranya
dia karena telah mendapatkan kesembuhan.
Hingga diapun bangkit, balikkan badan dan me-
meluk Gento yang masih dalam proses pemulihan
tenaga yang terkuras sambil menangis haru.
Melihat kejadian ini, Pelangi jadi berang dia
bangkit berdiri. Lupa dengan segala pemandan-
gan yang menakjubkan tadi dia membentak. "Nenek jelita. Jangan kau sentuh
sahabatku. Perbua-
tanmu bisa mencelakakan dirinya!"
"Ah... maafkan aku... aku... aku begitu terharu!" jawab Nyi Sekar dengan muka
merah padam menahan malu.
"Jika terharu apa harus seenaknya main
peluk begitu saja?" dengus Pelangi. Rupanya gadis ini dibakar api cemburu.
Terlebih-lebih setelah melihat sendiri bahwa setelah pulih seperti sediakala
ternyata Nyi Sekar cantik luar biasa. Walaupun dia sendiri memiliki kecantikan
yang tak ka- lah menariknya, namun bila dibandingkan Nyi
Sekar kecantikannya masih jauh berada di bawah
nenek yang sesungguhnya adalah gadis cantik
itu. Sebaliknya bila memandang ke depan, Pe-
langi masih juga dibuat tertegun. Nyi Besinga
yang semula memiliki wajah cantik mempesona
kini telah berubah menjadi seorang nenek jelek.
Tapi perempuan itu tidak merasakan gusar kare-
na keadaan yang sesungguhnya memang seorang
nenek berusia sekitar enam puluh tahun.
"Nyi Besinga... kau...!"
Si nenek gelengkan kepala. "Tidak menga-
pa. Aku tidak menyesal kembali pada keadaanku
yang sebenarnya. Tapi mengapa kepalaku masih
terasa panas begini"!" kata Nyi Besinga.
"Nyi, rambutmu mengepulkan asap seperti
terbakar!" seru Nyi Sekar.
"Hah... apa?" Kalang kabut Nyi Besinga mengusapi rambut dikepalanya. Nenek tua
ini ja-di kaget ketika mencium bau rambut terbakar.
Ketika dia menarik rambutnya, si nenek pun
langsung menggerung. Rambut di kepalanya han-
gus rontok seperti terbakar. Ketika si nenek mengusap seluruh kepala maka
seluruh rambutnya
rontok, hingga kini kepalanya jadi botak pelontos alias botak.
"Hai... hu hu hu. Matilah aku mengapa
keadaan rambutku bisa jadi begini?" teriak Nyi Besinga. Suara teriakannya yang
keras membuat Gento membuka matanya. Ketika dia memandang
ke arah Nyi Besinga yang wajah dan kepalanya te-
lah berubah demikian rupa, sang pendekar pun
tidak lagi dapat menahan tawanya.
"Mengapa begini... mengapa...?" kata Nyi Besinga sambil bantingkan kakinya di
lantai gua. Pelangi yang melihat keadaan di nenek ce-
pat palingkan wajah namun tak mampu sembu-
nyikan senyum. Gento Guyon bangkit, sambil mengusap
wajahnya dia berkata. "Walah, bukankah kau Nyi Besinga yang cantik jelita.
Mengapa wajahmu sekarang jadi peot babak belur begitu" Mana kepa-
lanya botak lagi. Nenek yang malang, pasti tadi
kau telah melakukan kesalahan."
"Pendekar gila. Kesalahan apa?" hardik si
nenek dengan mata mendelik.
"Kau tadi telah melanggar pantangan. Aku
sudah memberi ingat ketika aku mengerahkan
tenaga saktimu jangan ada yang menarik atau
membuang nafas. Tapi kau malah kentut. Akibat-
nya ya seperti ini. Kau sekarang jadi neneknya
para tuyul. Ha ha ha!"
"Bocah keparat! Kubunuh kau!" ancam Nyi Besinga. Mulutnya mengancam namun dia
tak pernah beranjak dari tempatnya.
"Eeh, tadi sewaktu menjadi gadis cantik
suaramu lembut nek. Mengapa setelah kembali ke
asalnya kau jadi galak dan ceriwis begini rupa!"
sergah Gento. "Namanya juga nenek-nenek, jadi harap
dimaklumi. Ha ha ha! Pertunjukan hebat."
Tabib Setan yang mengintai semua peristi-
wa yang berlangsung berkelebat masuk ke dalam
ruangan gua. Sambil cengengesan dan kedipkan
matanya ke arah Gento dia ajukan pertanyaan.
"To... melihat apa yang telah kau lakukan terhadap mereka ini rasanya aku tak
bakal melupakan
semua kejadian langka ini seumur hidup. Tapi,
To. Apakah kau mau menolongku..."
"Pertolongan apa yang dapat kuberikan pa-
damu, kek...?" tanya Gento.
"Maksudku begini, tolong rubah rambutku
yang sudah memutih ini jadi hitam kembali. Lalu
wajah yang keriput ini menjadi kencang. Pokok-
nya semua perabotanku yang kendur kau ken-
cangkan, biar kalau bertemu dengan gadis atau
janda segalanya jadi siap...!" kata Tabib Setan
bersemangat. "Ha ha ha! Kepalamu yang sip tabib. Ba-
gaimana kalau kupindahkan saja anumu ke jidat
kek" Pasti akan lebih bagus lagi. Ha ha ha!"
"Bocah edan sialan. Itunya sudah tidak ba-
gus, tidak mulus malah ada panunya. Kau jangan
membuat aku malu!" kata si kakek tersipu.
Nyi Sekar Langit tertawa merdu. Sedang-
kan Pelangi palingkan wajahnya ke arah lain. Nyi Besinga walau tadi sempat gusar
kini sambil me-rengut menimpali.
"Barang jelek saja disimpan. Mending di-
buang. Hik hik hik."
"Walah nenek jelek, tidak sedih lagi kau
rupanya. Tadinya aku sudah berniat menjodoh-
kan kau dengan Gento. Tapi niatku terpaksa ku-
telan kembali begitu melihat dirimu yang sesung-
guhnya, ternyata nenek tua bangka. Ha ha ha...!"
12 Beberapa saat lamanya suasana di dalam
ruangan gua itu dipenuhi dengan gelak canda dan
tawa. Sampai kemudian Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon memandang ke arah nenek yang ditolong-
nya. Pemuda ini tercengang, mata terbelalak, se-
dangkan mulutnya berdecak penuh rasa kagum.
"Astaga! Tidak salahkah penglihatanku ini.
Nyi Sekar Langit bagaimana bisa berubah begini
cantik" Mungkinkah memang begini kenyataan
yang sebenarnya" Kecantikan gadis ini hampir
sama dengan Bidadari Biru. Bahkan wajah mere-
ka memiliki banyak persamaan" Kalau tidak me-
lihatnya sendiri mana aku percaya"!" desis sang pendekar. Beberapa kali dia
mengusap matanya
seakan tidak percaya dengan penglihatannya sen-
diri. "Pantas saja ketika wajahnya berupa seorang nenek suaranya begitu merdu,
tak tahunya dia
memang gadis rupawan." batin Gento dalam hati.
Mengenai Bidadari Biru agar lebih jelasnya (baca episode Bidadari Biru).
Sementara itu semua rasa kagum yang ter-
pancar di mata Gento kiranya tidak luput dari
perhatian Pelangi. Gadis cantik yang diam-diam
menaruh hati pada Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon sejak pertama kali mereka bertemu kini
merasa jadi tidak enak hati.
"Kecantikan Nyi Sekar Langit jelas bukan
tandinganku. Menyesal aku mengijinkan Gento
mengobatinya. Kini jelas dia tertarik pada Nyi Sekar. Pemuda mata keranjang,
semula aku mengi-
ra dia benar-benar tertarik padaku sebagaimana
aku tertarik padanya. Tak kusangka ternyata ha-
tinya mudah tergoda. Menyesal sekali aku ikut
bersamanya datang kemari." gerutu Pelangi jeng-kel. "Gento, segala urusanmu
dengan Nyi Sekar telah selesai. Sesuai janjiku tadi, sekarang kau harus pergi
denganku. Kita akan membuat acara
di suatu tempat yang tidak mungkin dapat dite-
mukan oleh gurumu!" kata Tabib Setan beberapa saat kemudian.
Diingatkan akan gurunya, Gento Guyon
tentu saja kaget. "Guruku... dimana kau bertemu guruku" Aku dan dia sudah lama
terpisah. Sudah
saatnya aku bertemu dengannya."
"Eit, kau tak boleh mungkir janji. Gurumu
dalam keadaan baik, malah semakin gendut saja.
Waktu bertemu denganku dia mengatakan ingin


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencarimu."
"Tabib Setan siapa yang percaya dengan
ucapanmu?" dengus Gento.
"Apa yang dikatakan Tabib Setan memang
benar, Gento. Gurumu dalam keadaan baik saja.
Beberapa waktu yang lalu dia malah bersama
kami!" ujar Nyi Sekar. Dan tentu saja dia tidak mau menceritakan telah menculik
Gentong Ketawa melalui ilmu dasar Angin Sungsang Jiwa. Ke-
jadian salah mengambil orang itu tentu akan
memalukan jika sampai diketahui oleh orang ba-
nyak. "Benarkah apa yang kau katakan ini?"
"Aku tidak berbohong Gento." jawab Nyi Sekar serius.
"Oh, syukurlah kalau begitu. Mudah-
mudahan guruku tidak kesasar atau putus asa
mencariku!" kata Gento pula.
Sementara itu Pelangi yang merasa dirinya
diabaikan oleh mereka yang berada di dalam
ruangan gua itu, secara diam-diam dia menyeli-
nap keluar. Di luar gua dia menyandarkan tu-
buhnya pada salah satu tebing karang. Saat itu
malam semakin larut, hembusan angin laut tera-
sa begitu dingin menusuk menerpa wajahnya
yang sendu. Sementara di langit bulan bersinar
terang. Dalam keadaan hati dilanda kegalauan se-
perti itu Pelangi sama sekali tidak tahu kalau pa-da waktu bersamaan di atas
sana satu sosok ser-
ba hitam meluncur deras dengan kecepatan se-
perti kilat ke arah gua.
Lamunannya buyar seketika begitu dia
mendengar suara pekikan keras disertai gemuruh
di atas kepalanya.
Wuuut! Sambaran yang sangat keras membuat Pe-
langi seperti dilontarkan. Dalam kagetnya sang
dara bangkit dan memandang ke atas. Rasa kejut
di hatinya makin menjadi ketika dia melihat satu sosok makhluk besar bersayap
seperti kelelawar
dan berkepala serta ekor seperti rajawali terbang berputar-putar mengitari
bagian atas gua.
"Makhluk apa itu. Belum pernah kulihat
makhluk seaneh dan sebesar ini!" gumam Pelangi dalam hati.
"Aku harus melakukan sesuatu, tapi apa-
kah perlu memberitahu mereka yang berada di
dalam" Tidak, Nyi Sekar sedang tenggelam dalam
kebahagiaan, Gento sendiri nampaknya banyak
mencurahkan perhatiannya pada Nyi Sekar Lan-
git. Sedangkan Tabib Setan... orang tua itu tentu lebih mengutamakan
kepentingannya sendiri!"
"Kreaaak!"
Di atas sana makhluk hitam raksasa men-
geluarkan suara pekikan keras. Lalu di tengah-
tengah suara gemuruh kepakan sayap sang mak-
hluk terdengar suara teriakan keras menggelegar.
"Nyi Sekar Langit, aku tahu kau bersembunyi di dalam gua itu. Kuharap cepatlah
kau keluar, kau
harus bersedia menjadi istriku!"
"Hmm, ada orang rupanya di punggung bi-
natang itu. Dia menyebut nama Nyi Sekar, mung-
kinkah orang itu kekasihnya?" batin Pelangi.
"Orang yang duduk di punggung makhluk
jelek. Siapa dirimu" Berteriak di tengah malam
membangunkan orang tidur, apa perlumu datang
kemari?" tanya sang dara.
"Kau siapa" Bagaimana sampai tidak men-
genal Dipati Durga?"
"Aku setan. Perlu apa kenal denganmu."
"Hem, bukan Nyi Sekar, bukan pula pem-
bantunya. Aku tidak punya kepentingan dengan-
mu, cepat panggil Nyi Sekar atau dia ingin aku
menghancurkan gua itu!" teriak Dipati Durga.
"Sebelum gua kau hancurkan, tubuhmu
yang kubuat hancur!" jawab Mutiara Pelangi tak kalah sengitnya.
"Jahanam, aku akan menyingkirlah kau
gadis cilik. Jika kau tetap membangkang kuhan-
guskan tubuhmu!"
Belum lagi Pelangi sempat menjawab, dari
dalam gua berkelebat dua sosok bayangan berpa-
kaian biru. Dia bukan lain adalah Nyi Sekar Lan-
git dan Nyi Besinga yang kini sudah berubah
menjadi nenek botak.
"Pelangi, menyingkirlah. Aku berterima ka-
sih atas bantuanmu, tapi kau tak perlu mencam-
puri urusan ini. Tua bangka itu sudah saatnya
untuk disingkirkan!" kata Nyi Sekar.
Ucapan gadis itu ternyata ditanggapi salah
oleh Pelangi. Dia berkata:
"Nyi Sekar, kau mengusirku" Kau mengira
cuma dirimu saja yang memiliki ilmu kepan-
daian" Ingat, kalau bukan karena pertolongan
yang diberikan oleh sahabatku Gento. Belum ten-
tu keadaanmu pulih seperti sekarang ini. Atau
kau memang ingin memisahkan aku dari Gento,
baiklah. Aku mengalah! Tolong sampaikan salam-
ku kepadanya!" kata Pelangi. Selesai berkata sang dara yang hatinya diguncang
kecemburuan hebat
berkelebat pergi.
"Hei, apa maksudmu?" tanya Nyi Sekar
bingung bercampur rasa heran.
"Nyi, mungkin dia cemburu padamu. Dia
merasa kau merebut penolong kita itu darinya!"
ujar Nyi Besinga.
"Gadis tolol, cemburu membabi buta.
Huh... ada-ada saja!" kata gadis secantik Bidadari itu disertai senyum sinis.
"Gadisku, kekasih belahan jantung. Yang
kurindu sepanjang siang dan malam. Sekarang
aku ingin membawamu ke Singgasana Abadi.
Apakah kau sudah siap?" kembali terdengar suara lantang Dipati Durga disertai
tawa mengekeh. "Walah... jika kau mau lebih baik kau bawa
nenek botak itu saja. Nyi Sekar terlalu cantik un-tukmu. Lagipula aku ragu
sebagai laki-laki kau
tidak punya kemampuan apa-apa. Aku bisa me-
nyarankan mintalah obat kuat pada sahabatku
Tabib Setan. Setelah kau menjadi kuat lahir ba-
tin, tak jauh dari sini ada beberapa ekor kuda,
semuanya dalam keadaan mulus. Kau boleh me-
milih salah satu diantaranya untuk kau jadikan
istri. Ha ha ha!" satu suara tiba-tiba menimpali.
Dipati Durga yang duduk di atas punggung
Makhluk Kutukan Neraka melengak kaget karena
tak menyangka selain Nyi Sekar, pengasuh dan
gadis yang pergi tadi ternyata masih ada orang
lain. Dalam kejut dan kemarahannya, Dipati
Durga julurkan kepala memandang ke bawah. Dia
melihat seorang pemuda bertelanjang dada be-
rambut gondrong dan seorang kakek berpakaian
serba putih berjanggut panjang nampak baru saja
keluar dari dalam gua dan kini berdiri tegak tak jauh di belakang Nyi Sekar
Langit dan Nyi Besinga.
"Gondrong jahanam siapa kau?" bentak
Dipati Durga sengit.
Enak saja Gento menjawab. "Aku sahabat-
nya Nyi Sekar, kalau tidak bisa dikatakan keka-
sihnya. Sedangkan kakek yang janggutnya seperti
kambing ini Tabib Setan kacungku!"
"Sialan kau, To...!" maki sang tabib begitu Gento mengatakan dia sebagai
kacungnya. Diam-diam Dipati Durga terkejut begitu
Gento menyebut gelar si kakek. Sebagai orang
yang sering berpetualang di rimba persilatan, ten-tu saja dia sudah tahu siapa
Tabib Setan adanya.
Tapi sama sekali dia tak pernah menyangka akan
bertemu dan berhadapan dengan tabib itu di saat
seperti ini. "Tabib Setan. Aku senang bertemu den-
ganmu. Sebagai tabib sesat kejahatanmu menjadi
momok bagi kamu golongan hitam dan putih. Ko-
non selain sangat ahli dalam berbagai ilmu pen-
gobatan kau juga memiliki berbagai ilmu pukulan
hebat! Sayang aku tidak membutuhkan dirimu,
juga aku tak butuh dengan si gondrong gila itu.
Yang kuinginkan cuma Nyi Sekar! Jika kau ingin
panjang umur sebaiknya cepat minggat dari ha-
dapanku!" teriak Dipati Durga lantang.
"Oalah, jadi kau sama sekali tidak mengu-
bris ucapan sahabatku Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon. Mentang-mentang perabotan kita sama,
kau jadi tidak menyukai kami. Baiklah, kami
akan pergi. Bukankah begitu, Gento?" kata sang tabib sambil melirik ke arah
Gento. "Ya, aku setuju. Karena hari sudah malam
kami tak tahu harus pergi ke mana. Tabib... kau
dikenal sebagai orang yang memiliki banyak ilmu
setan, walaupun kau bukan setan beneran. Aku
ingin kau turunkan laki-laki tengik itu dari makhluk tunggangannya. Begitu dia
turun aku akan menggebuknya. Setelah itu baru kita bersama-
sama tinggalkan tempat ini dengan menumpang
tunggangan miliknya!"
"Ho ho ho. Permintaanmu akan kuturuti
dengan senang hati. Akan kuseret dia. Kau tung-
gulah disini!" sahut sang tabib sambil tertawa-tawa. "Kalian hendak berbuat apa"
Jika Sri Ambeng Tatap Banyu dapat kubuat mampus. Apalagi
cuma dua tikus comberan seperti kalian. Ha ha
ha!" "Dipati Durga manusia jahanam, kau telah
membunuh guruku! Aku bersumpah tidak akan
mengampuni jiwamu!" teriak Nyi Sekar Langit Nyi Besinga juga keluarkan suara
menggerung marah begitu Dipati Durga mengaku telah
membunuh Ambeng Tatap Banyu.
Nenek botak dan gadis jelita itu tiba-tiba
memutar tubuhnya, begitu tubuh mereka berpu-
tar hebat, tak lama kemudian keduanya melesat
ke udara dengan gerakan lurus. Ke arah Dipati
Durga. Laki-laki itu tertawa mengekeh. "Ah, kalian rupanya hendak menyerahkan
diri. Bagus!"
seru lawannya. Kemudian tangan Dipati Durga di-
julurkan ke bawah, sementara Makhluk Kutukan
Neraka seakan mengerti bergerak merendah hing-
ga Nyi Sekar berada dalam jangkauannya.
Tapi di luar dugaan Nyi Sekar dan penga-
suhnya lecutkan cambuk di tangan masing-
masing ke arah Dipati Durga dan leher binatang
tunggangannya. Kejut laki-laki ini bukan kepa-
lang, dia tarik kedua tangannya yang menjadi sa-
saran hantaman cambuk. Mulutnya semburkan
makian. "Jadah!"
Hantaman cambuk Nyi Sekar tidak menge-
nai sasaran. Sebaliknya cambuk yang menghan-
tam leher Makhluk Kutukan Neraka malah tidak
dapat dibetot lepas oleh Nyi Besinga sungguh pun nenek itu telah menariknya.
"Lepaskan cambuk itu!" teriak Nyi Sekar pada pengasuhnya. Cambuk terlepas. Tubuh
si nenek dan Nyi Sekar kembali meluncur deras ke
bawah. Ketika makhluk raksasa itu kepakkan ke-
dua sayapnya ke bawah. Tak pelak lagi sosok
sang dara dan si nenek jatuh terhempas di atas
pendataran batu karang.
"Kalian tidak punya sayap, bagaimana
mungkin bisa terbang seperti tungganganku!" teriak Dipati Durga.
"Tabib Setan giliranmu sekarang!" Gento berteriak memberi aba-aba.
Sang tabib keluarkan suara racau aneh se-
perti membaca mantra. Sekujur tubuhnya tam-
pak keluarkan asap tipis. Begitu salah satu kaki si kakek dijejakkan ke tanah
terdengar suara letupan aneh dua kali berturut-turut.
Dess! Dess! Letupan keras membuat sosok Tabib Setan
laksana dilontarkan ke udara. Segala apa yang
terjadi berlangsung sangat cepat sekali. Di lain kesempatan terdengar suara di
belakang Dipati
Durga. "Dalam gelap tanpa cahaya, tak ada yang
dapat dilihat. Dalam kebutaan, cahaya menjadi
tidak berguna. Akan kubuat binatang yang kebal
senjata ini jadi tidak bisa melihat, kalau perlu penunggangnya pun kubuat
menjadi buta. Asal ta-
nah kembali menjadi tanah, yang berasal dari api kembali menjadi api. Puah...!"
Dengan mengandalkan ajian Sakaning Hurip, sang tabib yang
saat itu berada di belakang punggung Makhluk
Kutukan Neraka menghembus ke arah Dipati
Durga dan juga binatang yang menjadi tunggan-
gannya. Dari mulut si kakek menderu angin api
yang langsung menghantam lawan juga binatang
itu. Akibatnya sungguh luar biasa. Makhluk Ku-
tukan Neraka memekik keras. Tubuhnya mulai
dari bagian kepala sampai ke bagian ekor dan ke-
dua sayapnya dikobari api. Dipati Durga terpe-
rangah, tak menyangka lawan dapat berbuat se-
hebat itu. Tak ingin dirinya ikut hangus terbakar.
Dipati Durga melesat tinggalkan binatang tung-
gangan. Sedangkan Tabib Setan telah bergerak
mendahuluinya. Di udara makhluk aneh yang sekujur tu-
buhnya terbakar kalang kabut melayang tak tentu
arah. Suara pekikan tak berkeputusan. Makhluk
Kutukan Neraka selanjutnya meluncur deras ke
arah laut, bergerak ke arah air dalam upayanya


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan diri. Tapi begitu sosoknya me-
nyentuh air terdengar suara ledakan dahsyat.
"Celaka sahabatku, Hitam!" teriak Dipati Durga yang saat itu tubuhnya terus
meluncur ke bawah. Kemarahan Dipati Durga bukan kepalang,
dia bertekad untuk menghabisi Tabib Setan. Tapi
sayang sekitar setengah tombak lagi tubuhnya
menyentuh tanah. Tabib Setan yang telah jejak-
kan kakinya di atas batu karang menyambutnya
dengan pukulan Dewa Langit Mengejar Iblis. Se-
dangkan dari arah sebelah kanannya Gento
menghantam lawan dengan pukulan Iblis Ketawa
Dewa Menangis. Dua pukulan menghantam Dipati Durga
dalam waktu bersamaan, membuat awan tengge-
lam dalam kobaran api. Dua puncak bukit karang
berguncang hebat. Dipati Durga melolong langit.
Suara lolongan lenyap. Ketika kepulan asap dan
kobaran api hilang dari pandangan, baik Gento
maupun Tabib Setan sama belalakkan mata.
"Dia menghilang!" seru sang pendekar.
"Sulit dipercaya. Seharusnya dia tewas aki-
bat terkena pukulan mautku." kata Tabib Setan tak kalah kaget.
"Dia punya ilmu menghilang?" kata Gento.
"Kau benar Gento. Dia memiliki ilmu
menghilang. Jika Dipati Durga tidak mati karena
pukulan kalian itu. Kemunculannya yang kedua
bisa lebih berbahaya lagi!" yang berkata ternyata Nyi Sekar Langit.
"Dalam hal ini aku tidak bisa disalahkan.
Jika Gento tidak ikutan menghantamnya dengan
pukulan sakti kujamin dia mampus olehku!"
"Tabib gila. Dua pukulan menghantam tu-
buhnya, itupun masih membuatnya dapat melo-
loskan diri, apalagi cuma satu pukulan!" sahut Gento. Pemuda itu kemudian
kitarkan pandang.
Melihat Gento seperti orang bingung Nyi Besinga
ajukan pertanyaan. "Siapa yang kau cari" Pelangi?" "Kau betul. Kemana dia?"
"Sudah pergi sejak tadi."
"Ah... Mengapa tidak bilang padaku?"
"Dia merasa cemburu. Pelangi menyangka
Nyi Sekar hendak memisahkan kau dengannya!"
kata Nyi Besinga menimpali.
"Oh...!"
"Agaknya gadis itu suka padamu, Gento."
sindir Nyi Sekar.
"Ha ha ha. Aku suka pada semua gadis, te-
rutama yang cantik dan yang baik-baik."
"Apakah ini berarti kau cinta padanya?"
tanya Tabib Setan sambil mengelus-elus janggut-
nya. "Mana aku tahu. Pelangi begitu baik, dia juga banyak menanam budi kepadaku.
Bagaimana aku bisa melupakan kebaikannya begitu saja?"
"Kalau begitu maafkanlah aku, Gento. Dia
telah salah paham. Kelak jika kau bertemu den-
gannya katakan aku minta maaf."
"Juga jangan lupa Gento. Bila kau bertemu
gurumu, aku titip salam. Hik hik hik!" kata Nyi Besinga disertai tawa malu-malu.
"Semuanya tak kulupakan. Nenek botak
apakah tidak ingin aku bertanya pada guruku
kapan dia harus datang melamarmu! Ha ha ha."
Dengan bibir bergetar si nenek menyahuti.
"Semuanya kuserahkan padanya. Sebagai
seorang gadis tentu aku menunggu dengan segala
pengharapan. Hik hik hik!"
"Oalah, sudah bau tanah begitu bukan
memikirkan kuburan, tapi malah bicara segala
asmara sialan. Gento... ayo kita pergi!" kata Tabib Setan tidak sabaran lagi.
Pendekar Sakti Gento Guyon tersenyum.
Dia menghampiri Nyi Sekar. Memegang jemari
tangan gadis jelita itu sambil berkata perlahan.
"Nyi Sekar, inginnya aku bisa berdua denganmu lebih lama. Kecantikanmu tidak
akan pernah kulupa. Inginnya aku menjadikanmu sebagai keka-
sih, tapi apa iya orang geblek macamku ini pantas menjadi kekasihmu?"
Bergetar sekujur tubuh Nyi Sekar Langit
mendengar ucapan si pemuda. Wajahnya merona
merah, bukan karena marah. Tapi karena dia me-
rasa terharu juga bahagia mendengar ucapan
Gento. Lama dia tertegun, sedangkan bola ma-
tanya berbinar indah. Begitu indahnya kata-kata
yang diucapkan Gento sampai dia tak menyadari
pegangan tangan Gento pada jemarinya terlepas
karena Tabib Setan menarik telinga sang pende-
kar. Sebelum pergi Tabib Setan berbisik pada
Gento. "Apa yang kau katakan padanya bocah
edan sampai anak orang bengong seperti itu?"
Sambil berkelebat tinggalkan tempat itu
Gento menjawab. "Aku katakan padanya, sebagai tabib puluhan tahun kau tidak
pernah mandi. Aku juga katakan padanya walaupun kau ber-
jenggot sebagaimana layaknya laki-laki, namun
dirimu mempunyai anu dan anu seperti dirinya.
Ha ha ha!"
"Bocah sial!" maki si kakek sambil memper-keras jewerannya.
Sang pendekar meringis disertai suara
mengaduh tak berkeputusan. Sedangkan di de-
pan mulut gua Nyi Besinga menepuk bahu Nyi
Sekar, sambil senyum dia berkata. "Sudah jangan difikirkan, orangnya sudah
minggat!" Nyi Sekar Langit terkejut dan tersipu malu. Ketika dia balikkan badan
memasuki mulut gua satu perta-
nyaan mengganjal di hatinya. Mungkinkah sang
Pendekar bersungguh-sungguh dengan bisikan-
nya tadi. TAMAT NANTIKAN...... IBLIS PENEBUS DOSA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pendekar Sadis 1 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Naga Mas 9
^