Pencarian

Sang Petaka 1

Gento Guyon 21 Sang Petaka Bagian 1


1 Di atas gubuk yang sudah tidak terpakai,
pemuda gondrong bertelanjang dada itu sandar-
kan punggungnya pada salah satu dari empat
tiang penyangga gubuk. Dari atas ketinggian gu-
buk si gondrong yang bukan lain adalah Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon ini seharusnya dapat meli-
hat keindahan matahari yang hampir tenggelam
di balik bukit. Tapi segala keindahan alam yang
terdapat di sekitar tanah persawahan ini nam-
paknya tidak menarik perhatian sang pendekar
karena saat itu justru dia memejamkan matanya,
mengatur jalan nafas dan aliran darah di sekujur tubuhnya yang sempat menjadi
kacau akibat pukulan yang dilepaskan seorang nenek angker ber-
nama Nyi Ronggeng, setelah sebelumnya nenek
itu mendorong dirinya ke dalam lubang kubur.
Kini kesehatan Gento mulai pulih sebagai-
mana sediakala. Walau Gento harus mengakui
kepalanya terkadang masih terasa sakit akibat
terlalu banyak menghirup uap racun yang dita-
burkan nenek di liang kubur. Lebih kurang sepe-
nanakan nasi lamanya Gento memulihkan tenaga
dalam dan juga mengembalikan keseimbangan
tubuhnya, beberapa saat kemudian murid kakek
aneh dan gunung Merbabu itu pun membuka ma-
tanya. Mula-mula sang pendekar mencium
adanya bau harum ikan bakar. Bau begitu menu-
suk membuat perutnya menjadi lapar. Gento ju-
lurkan kepala ke arah pintu gubuk yang terbuka.
Di bawah tangga gubuk dilihatnya gadis cantik
berkulit putih yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi alias Puteri Kupu Kupu
Putih nampak sibuk
membolak-balik ikan yang hampir matang di atas
panggangan. "Matahari belum lagi tenggelam, tapi sete-
lah mencium bau ikan bakar itu mendadak pe-
rutku seperti digelitik. Pelangi, berapa lama lagikah aku harus menunggu?" tanya
pemuda itu. Membuat wajah si gadis bersemu merah namun
jauh dilubuk hatinya senang karena Gento yang
berhasil ditolongnya dari liang kubur ternyata sekarang sepertinya sudah pulih
sebagaimana se-
diakala. Cepat sang darah menoleh, dengan tatapan
mata berseri-seri penuh sejuta makna gadis ini
berkata. "Aih, Gento rupanya kau sudah sangat lapar. Tapi harap kau mau
bersabar. Sebentar la-gi ikan ini baru matang." ujar gadis itu dengan nada penuh
kemanjaan. "Yang matang tidak ada, setengah matang
pun bolehlah. Atau mungkin aku merasa perlu
untuk membantumu?"
"Jangan, sebaiknya kau duduk di situ saja.
Kau membutuhkan istirahat yang cukup untuk
menyembuhkan luka dalammu." ujar sang darah penuh perhatian.
Mendengar ucapan Mutiara Pelangi Gento
tersenyum. Dia lalu bangkit berdiri, kemudian
berjalan menuruni anak tangga setelah itu ber-
jongkok pula di belakang si gadis. Sejenak la-
manya Gento menatap Mutiara Pelangi. Yang di-
pandang tersipu malu, pura-pura menyibukkan
diri sambil tangan kirinya membolak-balik ikan
panggang yang dibakar diatas bara api.
Ketika jemari tangan si gondrong menyen-
tuh lengannya, sang dara diam-diam merasakan
debaran jantungnya berdetak lebih keras. Hati
Mutiara Pelangi terasa berbunga-bunga. Sentu-
han yang sekilas itu menimbulkan sejuta keinda-
han sekaligus kesan yang sangat sukar dilu-
kiskan dengan kata-kata.
"Pelangi, kau telah menolongku. Budi ke-
baikanmu tak dapat kulupakan. Jika bukan ka-
rena pertolonganmu mungkin aku sudah mati di
dalam liang kubur itu!" kata Gento penuh rasa terima kasih dan haru.
Untuk pertama kali Pelangi memberanikan
diri memandang Gento. Namun ketika mata me-
reka saling bersitatap, sang dara kembali palingkan wajahnya ke arah lain.
Pelangi merasa betapa polos dan jujurnya Gento ketika mengucapkan
kata-kata itu. Sepolos tatap mata di balik wajahnya yang tampan.
"Kau tak usah bicara seperti itu, Gento.
Apa yang aku lakukan tidak seberapa bila diband-
ing dengan pertolongan yang pernah kau berikan
pada keluarga pamanku Karma Sudira." ujar sang dara. Sambil berkata pula Pelangi
sodorkan ikan bakar besar yang sudah masak pada Gento. "Ma-kanlah...!" katanya lagi penuh
ketulusan. "Ha ha ha. Kau amat baik, Pelangi. Aku be-
lum pernah punya sahabat sebaik dirimu. Tapi
rasanya tidak adil jika aku yang tidak berbuat
apa-apa menikmati hasil jerih payahmu. Padahal
kau sendiri belum mencicipi ikan yang lezat ini
sama sekali!"
"Gento, mengapa sungkan. Untuk kesem-
buhanmu aku bersedia melakukan apa saja. Te-
rus-terang aku sangat mengkhawatirkan kesela-
matanmu!" "Hmm, aku tidak menampik kebaikan se-
tiap orang. Apalagi gadis secantik dirimu!" kata Si pemuda sambil melahap ikan
yang diberikan kepadanya.
Melihat ini Pelangi merasa senang. Pertama
senang karena melihat Gento telah pulih dari lu-
ka-luka yang dia derita sedangkan yang ke dua
senang karena hubungan diantara mereka kini
terjalin semakin akrab. Sejenak kemudian kehe-
ningan menyelimuti suasana di sekeliling pondok.
Gadis dan pemuda itu melahap ikan yang masih
mengepulkan uap panas.
Tak lupa sambil mengunyah ikannya Pe-
langi ajukan pertanyaan. "Gento apakah kau masih berkeinginan melakukan
pengejaran terhadap
nenek cantik yang bernama Nyi Ronggeng itu?"
"Nyi Ronggeng bukan nenek, umurnya pal-
ing juga baru empat puluh tahun. Aku seperti
yang kau lihat kena ditipunya malah nyaris ter-
bunuh akibat ketololanku sendiri. Menurutmu
apakah tidak aneh ada seorang perempuan me-
mendam kebencian yang begitu mendalam pada
seorang laki-laki?"
Mendengar ucapan Gento sang dara ter-
diam. Tapi kemudian dia berkata. "Agaknya dia
punya masa lalu yang sangat menyakitkan. Ba-
gaimana dan apa yang telah terjadi dengannya itu yang tidak kita tahu!"
"Kau benar. Dia punya pengalaman pahit
dengan laki-laki. Namun jika semua laki-laki
hendak dibunuhnya apa yang akan terjadi dengan
gadis yang belum punya suami. Sampai tua me-
reka tidak akan pernah kawin, sampai mati mere-
ka tetap gigit jari karena tidak pernah merasakan betapa indahnya sorga dunia!
Ha ha ha!" kata sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
Mendengar ucapan Gento, wajah Pelangi
berubah memerah. Tapi sama sekali dia tidak me-
rasa marah. Malah enak saja dia menimpali. "Perempuan itu agaknya mempunyai
gangguan inga- tan. Mungkin saja dia disakiti atau dikecewakan
oleh laki-laki yang disebutnya. Tapi jika karena kesalahan seorang laki-laki
harus ditanggung oleh mereka yang tak tahu apa-apa, itu tindakan gila
namanya." "Apa yang kau katakan memang benar.
Menurut pendapatku alangkah baiknya jika kita
melakukan penyelidikan. Nyi Ronggeng perem-
puan berbahaya, apalagi dia baru saja berhasil
mendapatkan ilmu Sesat Jiwa. Siapapun yang
menjadi sasarannya jika tidak memiliki ilmu serta tenaga dalam yang tinggi
tubuhnya jadi hangus,
hancur menjadi debu!"
"Dan kau masih beruntung karena puku-
lan Nyi Ronggeng tidak sampai membuatmu men-
jadi kepingan arang!" ujar Pelangi disertai kerlin-gan penuh arti.
"Ha ha ha. Aku mendapat untung dua kali.
Keuntungan pertama aku selamat dari pukulan
dahsyat Nyi Ronggeng. Sedangkan keuntungan
kedua yang menolong diriku adalah gadis secan-
tik dirimu."
Kembali gadis itu tersipu. Ucapan Gento
yang polos paling tidak menimbulkan kesan yang
begitu dalam di hati sang dara. Dan untuk yang
kesekian kalinya pula Pelangi mencuri pandang
ke arah si pemuda gagah. Gento kedipkan ma-
tanya. Ah, sungguh kedipan mata itu membuat
hati Pelangi diliputi kegelisahan.
Dan kedamaian serta keindahan yang ter-
jadi di tempat itu nampaknya tidak berlangsung
lama karena sekejap kemudian mereka dike-
jutkan dengan terdengarnya suara gelak tawa se-
seorang. Gento Guyon melengak kaget, dia bangkit
berdiri dengan masih menggigit ikan panggang di
mulutnya. Sebaliknya sang dara bertindak lebih
cepat. Menyadari Gento baru saja sembuh dari
luka dalam yang dia derita gadis inipun bersikap melindungi dengan berdiri di
hadapan pemuda itu. Baik si gadis maupun Gento sama meman-
dang ke arah terdengarnya suara tawa, tapi beta-
pa kagetnya mereka karena orang yang tertawa
sama sekali tak terlihat. Malah kini mereka men-
dengar suara tawa itu seakan datang dari segenap penjuru arah.
"Orang itu agaknya memiliki ilmu memin-
dahkan suara, Gento. Di rimba persilatan orang
yang memiliki ilmu seperti itu dapat dihitung
dengan jari. Agaknya kita perlu bersikap waspa-
da!" kata sang dara dengan suara perlahan.
Gento Guyon tersenyum. Dia memutar tu-
buh, lalu memperhatikan suasana disekeliling-
nya. Setelah itu Gento tertawa membahak. Di
tengah-tengah suara tawanya pula dia berkata.
"Segala ilmu memindah suara kau pamerkan di hadapanku. Wahai orang yang tertawa
menjelang malam buta. Jika sedang berbahagia mengapa ti-
dak mau berbagi suka denganku. Datanglah ke
mari. Kita bisa tertawa bersama, sementara sam-
bil tertawa kau bisa menikmati sisa tulang ikan
bakar ini. Ha ha ha!"
Suara tawa mendadak lenyap. Sesaat sua-
sana di sekeliling pondok di tengah persawahan
yang terletak di kaki bukit itu berubah sunyi.
Kemudian terdengar ada satu suara berkata.
"Memang asyik bercinta di keremangan malam
sambil menikmati ikan panggang. Namun sung-
guh kusesalkan kasih yang terpadu agaknya ha-
rus diteruskan di alam roh."
Gento dan Pelangi saling berpandangan.
Sementara itu di atas langit suasana dalam kea-
daan terang benderang karena pada saat itu bu-
lan sudah munculkan diri memancarkan ca-
hayanya yang kuning kemilau.
"Gento, perasaanku mengapa jadi tidak
enak begini?" bisik sang dara gelisah.
"Tenang saja. Yang datang cuma hantu ke-
sasar yang tidak berani menampakkan diri. Men-
gapa harus takut?" sahut si pemuda dengan sua-
ra perlahan pula.
"Bukannya aku takut. Aku hanya
mengkhawatirkan dirimu!" ucap Pelangi sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ah, mengapa dia begitu risau akan kese-
lamatanku" Apakah mungkin dia..."!" Gento
membatin lalu mengusap wajahnya. Setelah itu
dengan sikap tenang pula dia berteriak. "Orang yang bicara, dirimu hantu atau
malaikat" Jika
kau malaikat harap dapat mengirim roh kami ke
surga. Terus-terang jika aku dan kekasihku ini tetap berada di sini aku takut
banyak orang yang
merasa iri melihat kebahagiaan kami. Salah satu
diantaranya adalah dirimu itu."
Apa yang dikatakan Gento sempat mem-
buat perasaan Pelangi jadi terbuai. 'Kekasih',
hanya sepatah kata yang diucapkan Gento secara
bercanda. Namun Pelangi menanggapinya lain.
Benarkah pemuda segagah Gento suka padanya"
Pertanyaan itu sempat membuat hati sang dara
jadi gelisah. Akan tetapi sang dara tidak lama
tenggelam dalam perasaannya sendiri karena pa-
da saat itu terdengar jawaban disertai berkelebatnya satu sosok bayangan ke arah
mereka. "Siapa aku bukan suatu yang harus diper-
soalkan. Yang harus kalian ingat kematian akan
mencerai beraikan impian dan segala harapan! Ha
ha ha!" Begitu suara keras menggelegar itu lenyap, tak jauh di depan mereka
berdiri tegak satu sosok berpakaian hitam bertelanjang kaki. Yang membuat Gento
maupun si gadis jadi terkejut, sosok
yang berdiri tak jauh di depan mereka bukannya
sosok angker mengerikan sebagaimana yang me-
reka bayangkan, melainkan hanya seorang pemu-
da berusia sekitar lima belas tahun berwajah po-
los dengan tatapan mata hampa seperti orang
yang terbuai dalam lamunan.
2 Pemuda itu terkesan begitu bersahaja, ti-
dak jauh berbeda dengan pemuda sebagaimana
umumnya. Tapi ada sesuatu yang terasa lain, di
bawah kedua alisnya yang hitam lebat, sepasang


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata pemuda itu seakan menyimpan pijaran ca-
haya yang setiap saat siap menghanguskan apa
saja. "Pelangi kau lihat, ada yang aneh dalam di-ri pemuda ini. Dia hadir di
depan kita, tapi kurasa fikirannya menerawang entah kemana"!" ujar
Gento. "Ya, aku melihatnya." sahut Pelangi. Gadis itu kemudian melangkah maju.
Setelah jarak diantara mereka hanya tinggal dua tombak Pelangi
hentikan langkah sambil ajukan pertanyaan. "Bocah ingusan, kami tidak
mengundangmu datang
kemari. Lalu, kau hadir begitu saja dan mengata-
kan hendak mencabut nyawa kami. Tindakan itu
tak mungkin kau lakukan jika kau tidak mempu-
nyai urusan tertentu dengan kami!"
"Hei, mana bisa begitu. Aku sama sekali ti-
dak kenal dengan bocah mata binyawak ini, ba-
gaimana di antara kita bisa tersangkut segala
urusan konyol?" kata sang pendekar memprotes.
Pemuda belasan tahun itu delikkan ma-
tanya, mulut menyeringai. Kemudian dari mulut-
nya terdengar suara tawa.
"Kau benar gondrong. Diantara kita me-
mang belum pernah bertemu sebelumnya. Kau
juga benar, tidak ada silang sengketa diantara ki-ta. Karena itu kalian dengar
baik-baik. Aku hanya bisa mengampuni kalian bila kau dan gadis kekasihmu itu mau
melakukan sesuatu untukku!"
Gento melongo. "Kau bocah ingusan siapa-
kah dirimu" Bicara seenaknya sendiri seperti seorang pangeran cilik yang memberi
perintah pada pengawalnya. Kau mengatakan kami sepasang
kekasih. Apakah kau lihat kami sedang berkasih-
kasihan" Padahal yang kami lakukan sejak tadi
cuma makan ikan sambil cari kutu. Ha ha ha!"
"Gento, bicara jangan ngaco." hardik Pelangi sambil menoleh ke belakang dan
delikkan ma- tanya. Dalam kesempatan itu si pemuda menja-
wab. "Aku Kerabat Melamun, putera Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan. Beberapa
waktu yang la-lu seorang kakek tua telah membunuh ayahku
Sesepuh Tua juga kakakku Kerabat Menangis.
Aku tidak perduli apakah kalian sepasang keka-
sih atau cuma sepasang setan kesasar. Yang jelas kau dan gadis itu harus bisa
membantuku mencari pembunuh orang tua dan saudaraku!"
Mendengar penjelasan pemuda berpakaian
hitam itu, Pelangi kerutkan keningnya, sedangkan Gento Tertawa membahak. "Oh,
rupanya kau tu-runan para kerabat. Satu julukan yang aneh. Ka-
lau boleh aku mengenalkan diri. Aku kerabat ba-
pak ibuku, gadis ini kerabatnya si pulan. Jadi ki-ta masih sama-sama memiliki
hubungan kerabat.
Sesama kerabat tidak boleh memerintah seenak
sendiri. Terkecuali minta tolong, tapi rasanya aku dan gadis ini tidak mau
menolongmu. Terkecuali
kau mengatakan siapa orang yang kau cari itu?"
ujar Gento kemudian.
Pemuda belasan tahun itu tidak langsung
menjawab. Dia diam sesaat dada di balik pakaian
hitamnya bergetar, nafas memburu tersengal per-
tanda Kerabat Melamun sedang berusaha mene-
kan gejolak batin yang mendera perasaannya.
Tak lama setelah dapat meredakan pera-
saannya Kerabat Melamun dongakkan wajahnya.
Sepasang matanya yang menerawang kosong
memandang ke langit, menatap ke arah bulan
bundar dengan cahayanya yang indah. Setelah itu
dia berkata. "Aku inginkan orang yang bergelar Tabib Setan!"
Ketika mendengar julukan yang dikatakan
Kerabat Melamun, Pelangi tidak menunjukkan
ekpresi apa-apa, karena dia memang tidak men-
genal nama atau julukan itu. Lain lagi halnya
dengan sang pendekar. Mendengar Tabib Setan
disebut Kerabat Melamun dia berjingkrak kaget.
Wajah pemuda itu sempat berubah, mata terbela-
lak mulut ternganga. Tapi tentu saja semua ini tidak sempat terlihat oleh
Pelangi karena gadis itu
memunggunginya.
"Celaka! Tabib Setan, bagaimana bisa sam-
pai kelayapan di tempat ini. Terakhir bertemu
denganku dia mengatakan hendak mencari sau-
daranya, Sesat Timur, Sesat Barat dan Sesat Uta-
ra. Hmm, mengapa urusan jadi runyam begitu.
Tabib Setan kuakui adalah seorang tabib sesat.
Tapi setelah bertemu denganku untuk yang kese-
kian kalinya, segala tindak tanduk dan semua
perbuatannya telah berubah. Bahkan dia menu-
runkan beberapa ilmu serta pukulan hebat juga
memberiku senjata sakti Penggada Bumi. Tabib
Setan kuyakini tidak mungkin menjatuhkan tan-
gan jahat tanpa alasan yang kuat untuk melaku-
kan semua itu." batin Gento.
"Gondrong, kulihat wajahmu berubah, mu-
kamu pucat, matamu mendelik. Apakah ini berar-
ti kau memang mengenal orang yang kucari?"
hardik Kerabat Melamun.
Belum lagi sang pendekar sempat memberi
jawaban, Pelangi sudah menoleh ke arahnya
sambil bertanya. "Kau mengenal kakek itu Gen-to?" Pertanyaan itu bukan hanya
sekedar pertanyaan biasa. Tapi suatu rasa ingin tahu yang
mengandung kecemasan di hati Pelangi.
Sebaliknya dengan suara lantang dan sam-
bil tertawa Gento menjawab. "Jika Tabib Setan orang yang kau maksudkan. Aku
bukan hanya sekedar mengenalnya, aku bahkan pernah hidup
dalam suka dan derita dalam asuhannya. Nah,
kau sudah tahu. Sekarang terserah dirimu, apa-
kah kau tetap menyuruhku untuk menangkapnya
atau bagaimana?"
"Gento, mengapa kau bicara terus terang
begitu?" tanya Pelangi dengan suara perlahan sekali. "Tenanglah, sesekali dia
memang perlu di-ajar adat agar tahu tata krama dan bagaimana
seharusnya bersikap terhadap orang yang lebih
tuaan." sahut Gento tenang.
Mendengar penjelasan Pendekar Sakti 71
Gento Guyon wajah polos pemuda itu sontak be-
rubah. Bahkan tatap mukanya yang menerawang
kosong kini nampak bengis, mencorong tajam
memancarkan cahaya dendam kesumat dalam
kebencian membara.
"Tak kusangka aku telah datang pada
orang yang salah. Orang yang seharusnya ku-
singkirkan malah kumintai pertolongannya, itu
adalah suatu kekeliruan. Kubatalkan niatku se-
mula, sekarang bagimu tidak ada jalan selamat
terkecuali mati!" dengus Kerabat Melamun.
"Oalah, sengsara amat hidup ini. Yang
membunuh kerabatmu adalah Tabib Setan, bu-
kan aku atau gadis ini. Mengapa sekarang kami
yang harus menanggung akibatnya?" Dia ber-
tanya begitu, tapi mulutnya tersenyum mengejek.
"Setiap orang yang punya hubungan den-
gan Tabib Setan, memang telah ditakdirkan mati
untuk menebus dosa orang tua itu.'"
"Kerabat Melamun. Pemuda ingusan seper-
timu bicara sesuka hati, apa kau mengira akan
mudah melakukan semua apa yang kau inginkan
itu" Jika kau berani mengganggu Gento apalagi
membuat gugur rambutnya barang selembar, se-
lamanya aku akan mencarimu. Kau tidak bakal
hidup tenteram karena aku akan tetap membu-
rumu!" kata Pelangi.
Kerabat Melamun tersenyum sinis. "Kau
terlalu meremehkan aku, karena kau tidak kenal
siapa aku yang sebenarnya!" sahut Kerabat Melamun. Habis berkata begitu Kerabat
Melamun melompat ke depan, dua tangannya menyambar
ganas ke arah wajah dan bagian perut Pelangi.
Serangan yang tidak terduga datang begitu cepat.
Namun dengan mudah si gadis dapat menghinda-
rinya setelah melompat mundur ke belakang. Ma-
lah kini dia melakukan serangan balik dengan
melepaskan tendangan beruntun ke beberapa ba-
gian tubuh pemuda itu.
Tendangan yang demikian cepat masih da-
pat dihindari oleh Kerabat Melamun, namun Pe-
langi memutar tubuhnya, lakukan satu lompatan
setinggi setengah tombak lalu lancarkan tendan-
gan kilat ke wajah Kerabat Melamun. Nampaknya
pemuda ini sudah tak mampu menghindar atau
berkelit dari serangan Pelangi.
Duuuuuk! Tendangan keras membuat pemuda bela-
san tahun ini jatuh terjajar, dagunya terasa sakit luar biasa sedangkan tulang
lehernya seperti patah. Hebatnya lagi dengan cepat dia bangkit, seakan tidak
menghiraukan rasa sakit dikepalanya
yang serasa mau meledak. Tiba-tiba saja Kerabat
Melamun berteriak keras. Pada saat itu Pelangi
telah menyerbu ke arahnya dengan kecepatan
luar biasa sambil melepaskan serangkaian seran-
gan beruntun ke arah Kerabat Melamun. Menda-
pat serangan gencar begitu rupa dan datang bagai curahan anak panah, pemuda itu
nampak terdesak hebat. Dia hanya dapat menangkis, menghin-
dar atau mementahkan serangan lawan, namun
tak mampu melakukan serangan balasan. Satu
kesempatan begitu Kerabat Melamun berkelit ke
samping, dari arah sebelah kiri tangan Pelangi
menghantam tulang rusuknya.
Buuuuk! Hantaman yang cukup telak membuat pe-
muda itu terjajar. Gento yang terus melihat jalannya perkelahian langsung
menyeletuk. "Ternyata kau hanya pemuda besar mulut sama kentut. Bagaimana kau
dapat bertarung dengan benar, usia
baru seumur jagung, buang ingus masih belum
becus dan kencing pun masih belum lempang!
Masih bagus kau duduk di bawah pohon duduk
melamun sambil memandang bulan. Coba kau
renungkan bulan bundar bagus begitu yang
menggantungkannya ke langit siapa?"
Kerabat Melamun sama sekali tak menja-
wab, bibirnya terkatup. Tapi diluar dugaan sesua-tu yang mengerikan terjadi.
Ketika Pelangi menyerang dengan menggunakan pedang kembar pen-
deknya. Pada saat itu pula Pelangi menjerit.
Dua pedang ditangan terpental lepas, mele-
leh bagaikan perak yang mendidih, sedangkan
tangannya melepuh. Dalam kagetnya Pelangi me-
lompat mundur, lalu memandang ke depan dima-
na lawan berdiri tegak disitu. Rasa kaget dihati
Pelangi makin bertambah besar ketika dia melihat bagaimana sepasang mata Kerabat
Melamun kini telah berubah putih total secara keseluruhan.
Dan mata yang memutih itu memancarkan ca-
haya putih berkilauan menyilaukan mata.
Gento sendiri walaupun sempat kaget me-
lihat perubahan mata lawan yang sungguh aneh
menggidikkan itu, namun rasa kejut itu hanya
berlangsung sesaat saja. Kejab kemudian Gento
tertawa. "Pelangi, lihatlah! Nampaknya dia hendak
meminjamkan suluh pada kita. Dalam malam be-
gini, bagaimana kalau kita copot matanya. Den-
gan menggunakan mata itu kita bisa melanjutkan
perjalanan! Ha ha ha!"
"Gento, pemuda itu sangat berbahaya. Kau
lihat kekuatan matanya membuat kedua pedang-
ku jadi leleh. Hendaknya kau memikirkan semua
itu!" Pelangi berteriak memberi ingat.
"Kalau begitu kau mundurlah!" sahut Gen-to. Dia melangkah lebih mendekati
Pelangi. Tapi nampaknya Kerabat Melamun sudah tidak mem-
berikan kesempatan lagi bagi lawannya. Terbukti
dia cepat gelengkan kepala. Begitu kepala dige-
lengkan, Pelangi melihat ada suatu pancaran
yang memukau perhatiannya keluar dari mata
Kerabat Melamun. Sang dara tertegun, justru pa-
da waktu bersamaan dari sepasang mata si pe-
muda melesat dua larik sinar maut. Kedua sinar
maut itu satu mengarah ke bagian dada tepat
searah dengan jantung, sedangkan satunya lagi
menghantam batok kepala tepat di bagian kening.
"Pelangi awas!" teriak Gento ketika melihat dua cahaya seterang matahari siap
menghajar tubuh Pelangi.
Teriakan itu membuat sang Pendekar ter-
sentak. Mukanya menjadi pucat ketika melihat
dua sinar maut sudah berada sejengkal di depan-
nya. Sekejap lagi dada dan kening si gadis berlubang hangus mengerikan diterjang
serangan la- wan. Pada saat itu pula Gento dari arah samping
mendorongnya dengan keras hingga membuat Pe-
langi terjungkal namun selamat dari hantaman
sinar. Dua sinar maut menghantam kaki pondok
yang terdapat dibelakang mereka membuat pon-
dok berderak, rebah miring dan terbakar dikobari api. Walaupun si gadis
merasakan bahu kirinya
sakit bukan main akibat dorongan Gento yang ke-
ras, namun dia merasa bersyukur karena selamat
dari hantaman kedua sinar tadi.
Pelangi cepat duduk bersila, mengatur na-
fas dan mencoba melancarkan jalan darahnya
yang kacau. 3 Sementara itu tak jauh di depannya sana
di samping kiri Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
melihat segala apa yang terjadi leletkan lidah sedangkan mata terbelalak
memandang ke arah Ke-
rabat Melamun penuh rasa tak percaya.


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gondrong aku inginkan nyawamu seka-
rang juga!" seru pemuda itu. Lalu serentak kepala
digelengkan ke kiri. Begitu kepala bergoyang, sepasang mata yang telah berwarna
putih dan me- mancarkan cahaya itu membersitkan cahaya te-
rang menghanguskan dan melabrak Gento secara
susul menyusul. Mendapat serangan seperti itu
murid Gentong Tertawa itu dengan mengandalkan
kelincahan gerak serta ilmu mengentengi tubuh-
nya melesat ke udara. Selagi tubuhnya berjumpa-
litan di udara dia menghantam serangan sinar
yang membersit dari mata lawan dengan pukulan
Dewa Awan Mengejar Iblis. Begitu kedua tangan
didorong ke arah sinar putih yang meluncur deras ke arahnya, terjadilah satu
benturan yang sangat hebat hingga menimbulkan suara ledakan ber-dentum. Tanah
persawahan menjadi bergetar lak-
sana dilanda gempa. Batu dan debu berpentalan
diudara, Kerabat Melamun nampak terhuyung.
Tapi dia sama sekali tidak terluka akibat bentrok pukulan dengan lawannya.
Pelangi, gadis yang selalu mengkhawatir-
kan keselamatan Gento, masih tegak di tempat-
nya dengan wajah pucat dan mata mencari-cari.
Gento ternyata lenyap dari pandangan. Se-
lagi Kerabat Melamun sibuk mencari lawannya,
dia merasakan ada orang menepuk bagian tu-
buhnya dari belakang disertai suara orang berka-
ta. "Aku belum menjadi arwah sebagaimana yang kau kehendaki. Kekuatan matamu
boleh juga, ta-pi seranganmu masih ngawur."
Laksana kilat dalam kagetnya pemuda re-
maja itu balikkan badan. Tapi baru setengah ba-
dan dia memutar tubuh satu pukulan menghan-
tam bagian ubun-ubunnya.
Duuugh! Pukulan keras itu membuat kepala Kerabat
Melamun laksana mau meledak. Kedua kaki am-
blas ke dalam tanah sampai ke bagian mata kaki.
Pemuda itu menjerit kesakitan. Dia merasa men-
dadak tanah yang dipijaknya berputar lebih cepat.
Ternyata apa yang sedang terjadi pada dirinya
bukan membuat Kerabat Melamun jatuh kehilan-
gan keseimbangan. Sebaliknya secara tak terduga
tubuh pemuda itu berputar. Seiring dengan ber-
putarnya sosok Kerabat Melamun, dari kedua ma-
tanya melesat sinar putih yang menghantam ke
segenap penjuru arah.
"Gila, apa yang salah" Kupukul kepalanya
agar perlawanannya terhenti karena aku tidak te-
ga mencidrainya. Tapi mengapa hasilnya jadi be-
gini"!" batin Gento bingung. Lebih bingung lagi ketika melihat kini sinar mata
Kerabat Melamun
menghantam dan menghanguskan apa saja yang
terdapat di sekelilingnya. Melihat kenyataan ini melalui ilmu menyusupkan suara
Gento mengisi-ki Pelangi.
"Bocah ini terlalu sia-sia jika harus mati
muda. Aku tidak tega mencelakainya. Bagaimana
jika kau tinggalkan tempat ini secepatnya. Tak
jauh dari bukit itu di sebelah utara ada sebuah
kuil. Kau tunggulah aku disana. Aku akan me-
lumpuhkannya dengan menotoknya. Cepat laku-
kan perintahku sebelum sinar mata Kerabat Me-
lamun menghanguskan tubuhmu!"
"Gento, mana aku tega meninggalkanmu.
Aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diingin-
kan terhadap dirimu. Biarlah susah dan senang
kita tanggung bersama!" jawab Pelangi.
"Jangan bodoh. Dalam keadaan seperti ini
aku tak mungkin bertahan selamanya. Terkecuali
jika aku menghabisinya, persoalan menjadi lain.
Cepat pergi kataku! Jangan membantah, jangan
pula keras kepala!"
Wuuut! Set! Set! Kembali sinar putih menyilaukan meng-
hantam Gento. Pemuda itu jatuhkan diri lalu ber-
gulingan menghindari terjangan dua sinar panas
yang menghantamnya secara bersilangan.
Buum! Buuum! Dua sinar maut menghantam bagian rusuk
Gento. Tapi pemuda itu sudah melompat, bangkit
kemudian berkelebat mengitari lawannya. Sesaat
Kerabat Melamun jadi kebingungan. "Aku inginkan nyawamu, Gondrong!" lagi-lagi
Kerabat Melamun berteriak.
"Jika kau sanggup silahkan ambil sendiri,
jangan berteriak melulu!" sahut sang pendekar.
Sambil berkata begitu si pemuda bergerak men-
dekati lawan, sambil bergerak dia lancarkan se-
rangan berupa hantaman ke bahu dan tenggoro-
kan Kerabat Melamun. Serangan ini sebenarnya
hanya tipuan saja karena begitu lawan menghin-
dar, kini tangan kirinya terjulur menghantam ba-
gian punggung. Tes! Tes! Dua totokan yang bersarang di punggung-
nya membuat Kerabat Melamun tak mampu ber-
gerak lagi. Dia juga tak kuasa menggerakkan ke-
palanya. Hingga secara praktis tak mampu laku-
kan serangan berbahaya pada Gento maupun Pe-
langi. "Manusia pengecut jahanam. Kau mengira aku menyerah begitu saja setelah
kau perlakukan seperti ini!" Kerabat Melamun keluarkan suara menggerung.
"Bocah ingusan, sudah dalam keadaan se-
perti itu masih juga kau bermulut besar!" dengus Gento sambil mengusapi wajah
lawannya yang basah bercucuran keringat.
"Ah Gento. Mengapa berlaku nekad seperti
orang gila. Bagaimana bila Kerabat Melamun
mampu membebaskan totokannya" Pemuda itu
nampaknya mempunyai ilmu di atas kewajaran!
Hemm, sekarang aku ingat. Tadi aku sempat ter-
pengaruh oleh kekuatan sinar matanya. Mata itu
seperti menyimpan sirap yang cukup berbahaya.
Agaknya dia memiliki ilmu Sirap Pancaran Inti
Matahari. Jika benar berarti totokan Gento tidak memiliki arti apa-apa." batin
Pelangi. Ingat akan semua itu dengan wajah pucat sang dara berteriak memberi
ingat. "Gento Awas!"
"Hah, totokannya" Bagaimana dia bisa
membebaskan diri dari totokanku secepat itu!" teriak si pemuda yang mendadak
tubuhnya terlem-
par seperti dicampakkan. Pemuda itu jatuh ter-
guling-guling. Kejut di hati Gento bukan alang kepalang.
Ketika dia merayap bangkit dan memandang ke
depan dilihatnya sosok Kerabat Melamun kini te-
lah berubah sama sekali. Sekujur tubuhnya be-
rubah memutih sebagaimana yang terjadi pada
matanya. Selain itu bagian tubuh si pemuda juga
memancarkan hawa panas menghanguskan,
hingga Gento yang berjarak tiga tombak dari la-
wan merasakan tubuhnya laksana dipanggang.
"Pelangi, apa yang terjadi pada anak bi-
nyawak ini?" tanya Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon. "Berhati-hatilah, Aku berani memastikan, pemuda itu memiliki ilmu Sirep
Pancaran Inti Matahari!" kata Pelangi mengingatkan. Walaupun begitu dia sendiri
sebenarnya merasa cemas memikirkan apa yang bakal terjadi. Tapi tak lama
kemudian terlintas sesuatu dalam benaknya, ma-
tanya pun mencari-cari.
Sementara itu Gento yang sudah bangkit
berdiri kini mendapat serangan bertubi-tubi dari Kerabat Melamun. Setiap
serangan yang dilancarkan oleh Kerabat Melamun tentu saja sangat ber-
bahaya karena kini sekujur tubuh pemuda itu
seolah telah berubah menjadi api sehingga apa-
pun yang menjadi sasarannya jadi terbakar. Men-
dapat serangan seperti ini Gento tak mau men-
gambil resiko dengan menyerang lawan dari jarak
dekat. Kini ketika dilihatnya lawan melesat ke
arahnya sambil kembangkan dua tangan dengan
gerakan merengkuh, pemuda ini melompat mun-
dur. Dua tangan yang siap dengan pukulan Iblis
Ketawa Dewa Menangis dihantamkannya ke de-
pan. Dua larik sinar pelangi menderu, hawa din-
gin laksana es menghampar memenuhi udara dis-
ekitarnya hingga membuat Pelangi yang saat itu
sedang mengisi kendi yang ditemukannya di su-
dut pondok terbakar menggigil kedinginan. Di de-
pannya sana gerakan Kerabat Menangis nampak
tertahan. Tubuhnya bergetar, cahaya putih mem-
bakar yang memancar dari sekujur tubuh dan
matanya sempat surut.
"Jahanam, kau tak mungkin sanggup me-
nahan dan menghentikan amarahku! Heaaah...!"
Sambil berteriak, pemuda itu lipat gandakan te-
naga dalamnya. Tak lama kemudian tangan dige-
rakkan kembali ke depan.
"Edan bagaimana dia mampu menembus
pertahananku!" rutuk sang pendekar di dalam ha-ti.
Lalu Gento dorongkan kembali kedua tan-
gannya ke depan. Satu letupan hebat terjadi. Tu-
buh si gondrong tergetar, nafasnya terasa sesak sementara lawan tanpa dapat
dicegah lagi terus
bergerak mendekat ke arahnya sedang kedua tan-
gan siap menyambar leher dan menghanguskan
dada Gento. "Aih, habislah sudah!" seru Gento tercekat.
Diapun rundukkan tubuhnya hindari serangan
lawan. Dalam keadaan seperti itu secara tak ter-
duga kaki Kerabat Melamun bergerak ke atas
menghantam perut Gento. Jika sampai Gento ter-
kena tendangan kaki lawan, perutnya bisa men-
jadi hangus gosong. Tapi dalam keadaan seperti
itu Pelangi yang berhasil mengisi kendi di tepian sawah telah melompat ke arah
Kerabat Melamun.
Semakin lama tubuhnya melambung di udara, ke-
tika gadis itu tepat berada di atas Kerabat Melamun, kendi langsung
dipecahkannya. Air di dalam
kendi bermuncratan kemana-mana, sebagian be-
sar membasahi sekujur tubuh Kerabat Melamun.
Ketika cairan itu mengenai tubuhnya terdengar
suara seperti besi membara yang dicelupkan ke
dalam air. Apa yang terjadi akibat air yang diguyur-
kan oleh Pelangi sungguh mengerikan. Kerabat
Melamun menjerit kesakitan. Tubuhnya menge-
pulkan asap tebal sedangkan bagian yang terkena
siraman air nampak melepuh di sana sini. Kera-
bat Melamun jatuh berkelojotan, sekujur tubuh
mengelupas sehingga terlihat dagingnya yang ke-
merahan. Kerabat Melamun terus meraung, namun
makin lama suara raungannya semakin bertam-
bah perlahan. Seiring dengan itu pula gerakan
tubuhnya juga tampak melemah sampai akhirnya
pemuda belasan tahun itu diam tidak bergerak-
gerak lagi. Gento yang merasa tidak tega untuk men-
jatuhkan tangan keji pada pemuda belasan tahun
itu bangkit berdiri. Dia memandang ke arah Pe-
langi dan Kerabat Melamun silih berganti. Lalu
sang pendekar menarik nafas sambil gelengkan
kepalanya. "Apakah dia mati?" tanya Gento,
Sang dara menggeleng.
"Dia tidak sadarkan diri dalam waktu yang
lama." "Mengapa kau lakukan ini padanya" Ba-
gaimana pula kau bisa tahu air tadi merupakan
kelemahannya?"
Pelangi tersenyum. Dia menatap ke arah
Gento sesaat, selanjutnya alihkan pandangannya
ke jurusan lain sambil berkata. "Guruku manusia misterius. Sampai sekarang aku
tidak tahu wajah
dan namanya. Dia banyak mengajarkan padaku
berbagai macam kelemahan ilmu orang, tapi san-
gat sedikit menurunkan ilmu saktinya padaku.
Aku terpaksa menyiramnya karena aku menyada-
ri Kerabat Melamun sulit dihentikan jika sudah
berada dalam penerapan ilmu Sirep Pancaran Inti
Matahari. Dalam keadaan seperti itu seorang to-
koh sakti sekalipun tak bakal sanggup meng-
hadapinya. Terkecuali kita memiliki ilmu yang tahan terhadap kobaran cahaya
panas." mene-
rangkan Pelangi.
"Hebat. Kau mengetahui berbagai kelema-
han ilmu lawan, kau sebenarnya lebih beruntung
karena setiap berhadapan dengan musuh kau tak
perlu bersusah payah. Hanya dengan melumpuh-
kan ilmu lawan, mereka tidak dapat berkutik!" celetuk Gento.
"Ah, aku bukanlah apa-apa dibandingkan
dirimu. Kau seorang pendekar yang memiliki ber-
bagai ilmu kesaktian. Kau punya pengalaman
luas. Sedangkan aku tidak memiliki kepandaian
apapun yang patut dibanggakan!" ujar Pelangi lu-gu.
"Ha ha ha. Kau pandai menyenangkan pe-
rasaan orang. Padahal jika kau mau, pasti kau
dapat menggembosi atau mencabut segala kesak-
tian yang kumiliki." kata Gento.
"Untuk seorang sahabat sebaik dirimu,
mana aku tega melakukannya. Sudahlah jangan
lagi kau persoalkan segala kepandaian picisan
yang aku miliki. Sebaiknya kita lanjutkan saja
perjalanan!"


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku setuju." sahut Gento.
Kemudian tanpa bicara apa-apa lagi kedua
muda mudi itu lanjutkan perjalanannya. Semen-
tara tanpa mereka sadari sesosok bayangan yang
baru muncul di tempat itu diam-diam mem-
bayangi dari jarak yang tidak begitu jauh.
4 Kakek berpakaian putih berambut dan ber-
janggut putih panjang itu duduk sambil berkipas-
kipas di bawah rumpunan pohon bambu. Kedua
kaki di jelujurkan, sedangkan tak jauh disam-
pingnya di ujung bambu pancing yang selalu di-
bawa kemana pun dia pergi tergantung binatang
langka yang daging dan darahnya dia yakini men-
gandung khasiat meningkatkan tenaga dalam ser-
ta penawar racun yang hebat. Binatang aneh yang
punggungnya dipenuhi sisik besar berwarna pu-
tih, berbulu putih, berbuntut panjang dan berke-
pala seperti kepala musang itu tidak hentinya me-ronta. Sesekali terdengar pula
suaranya yang aneh. Tapi si kakek yang bukan lain adalah Tabib Setan alias Tabib Sesat ini
bersikap acuh tak
acuh. "Bocah edan! Entah berada dimana dia sekarang. Sudah beberapa hari aku
mencarinya tapi
tidak ketemu," kata si kakek seorang diri. Dia terdiam beberapa saat lamanya,
kening berkerut
otak berfikir. Kemudian sang tabib menyeringai.
"Bocah itu kalau kupikirkan terus lama-lama aku bisa jadi gendeng. Dicari sudah,
terkadang tidak dicari datang sendiri! Ha ha ha!" kata si kakek disertai tawa.
Tawa Tabib Setan mendadak lenyap begitu
dia melihat satu sosok besar luar biasa berpa-
kaian serba hitam berkelebat tidak jauh di de-
pannya. "Eh, orang gendut besar tadi bukan-
kah..."!" Sang tabib tidak teruskan ucapannya.
Wajah Tabib Setan sempat berubah, mulut tern-
ganga sedangkan matanya berkedap-kedip. Ada
rasa jerih membayang di wajah orang tua ini.
"Mungkinkah dia" Jika benar dia adanya,
urusanku dengan Gento bisa jadi tidak aman"
Heran... walaupun kini aku telah berubah bahkan
telah menganggap Gento sebagai anak sendiri,
masih saja dia tak percaya padaku. Mungkin dia
selalu teringat tentang perlakuanku pada Gento
ketika bocah itu kecil dulu." gumam si kakek. Sekali lagi dia mengelus
jenggotnya yang panjang
sampai ke dada. "Mudah-mudahan dia tidak tahu aku berada di sini." kata si kakek
penuh harap. Tetapi segala apa yang diharapkan itu
agaknya menjadi sia-sia karena pada saat itu terlihat satu bayangan berkelebat
ke arahnya. Di lain saat hanya dalam waktu sekedipan mata saja
berdiri tegak seorang kakek berbadan besar bu-
kan main, berkening lebar berpipi tembem. Meli-
hat kehadiran kakek dengan bobot lebih dari dua
ratus kati berpakaian hitam ini untuk beberapa
saat lamanya Tabib Setan jadi tergagap, keringat mengucur sedangkan perasaan
jadi gelisah. Sebaliknya si kakek gendut besar yang bu-
kan lain adalah Gentong Ketawa guru Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon pandangi Tabib Setan den-
gan mata mendelik.
"Tabib butut apa yang kau kerjakan dis-
ini?" tanya Gentong Ketawa.
Dikatakan tabib butut sebenarnya pera-
saan tabib itu jadi mendongkol juga. Tapi dia ta-hu diri hingga memilih
mengambil sikap menga-
lah. Dengan tenang dia menjawab. "Aku sedang istirahat dan tidak sedang
mengerjakan apapun!"
Kakek gendut melirik ke arah bambu panc-
ing di mana pada bagian ujung bambu tergantung
seekor binatang aneh yang ke empat kakinya da-
lam keadaan terikat.
"Jadi kau tidak melakukan apapun" Ba-
gaimana jika kuminta binatang itu untuk kujadi-
kan penangsal perutku?"
Air muka Tabib Setan sempat berubah
memucat. "Jangan... binatang itu satu-satunya milikku. Lagipula dia sangat
beracun?" kata Tabib Setan berbohong.
"Ha ha ha. Aku suka memakan segala se-
suatu yang mengandung racun. Itulah sebabnya
tubuhku jadi gembul begini." celetuk si kakek
yang tahu dirinya telah dibohongi.
"Tapi... tapi yang ini lain. Racun yang ter-kandung di tubuhnya sangat jahat
sekali. Jika kau makan sepotong dagingnya kau bisa mati se-
ketika!" jawab Tabib Setan gugup.
"Tabib Setan, aku cuma bergurau. Tapi kau
sudah berani membohongiku" Aku tahu binatang
langka itu tidak beracun, hendak kau berikan ke-
pada siapakah?" tanya Gentong Ketawa disertai seringai mengejek.
Mendapat pertanyaan yang tak pernah di-
duganya itu Tabib Setan jadi melengak kaget. Ma-
sih dengan berhati-hati dia menjawab. "Binatang ini sulit dicarinya. Aku
membuang waktu mem-pertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya. Sik-
lututjang tidak akan kuberikan pada siapapun.
Dia akan kujadikan teman dalam seperjalanan."
Mendengar nama binatang yang dianggap-
nya aneh itu Gentong Ketawa bertanya. "Apa itu Siklututjang" Rasanya baru sekali
ini aku mendengarnya!"
"Siklututjang itu nama yang kubuat sendi-
ri. Artinya binatang bersisik, mempunyai bulu ju-ga berbuntut panjang."
menerangkan Tabib Setan. "Tabib sial, kukira apa!" gerutu si kakek gendut, namun
dalam hati orang tua ini tak
mampu menahan tawa.
Dimaki begitu rupa Tabib Setan hanya di-
am saja. Dalam hati dia berharap si gendut segera berlalu dari hadapannya.
Keadaan dan perubahan
sikap Tabib Setan yang lebih banyak mengalah
memang merupakan suatu tanda bahwa si kakek
benar-benar telah bertobat sebagaimana yang
pernah dikatakannya pada Gento.
Jika beberapa tahun yang lalu Gentong Ke-
tawa bicara seperti itu pada Tabib Setan, mung-
kin guru Gento ini sudah dilabraknya.
"Gentong Ketawa sobatku, kalau boleh aku
tahu engkau hendak kemanakah" Kulihat kau
begitu tergesa-gesa, matamu menyimpan kegeli-
sahan. Adakah sesuatu yang sedang kau cari?"
tanya Tabib Setan.
"Sobat" Siapa bilang aku ini sobatmu" Aku
tak pernah bersahabat dengan tabib butut seper-
timu. Lagipula kemanapun aku pergi perduli apa"
Aku tidak gelisah, aku juga tidak sedang mencari apapun?" jawab si kakek sinis.
Tabib Setan tersenyum, masih dengan sa-
bar dan suara lembut sang tabib berkata. "Gentong Ketawa, jika di masa lalu
masih ada ganjalan dalam hatimu, maka selamanya kau tetap bersikap memusuhi aku.
Setiap manusia manapun
pernah melakukan kesalahan. Karena sejak ma-
nusia dilahirkan memang membawa sifat-sifat se-
perti itu. Aku tahu mungkin kau sedang mencari
muridmu Gento Guyon?"
"Ah kau terlalu sok tahu!" potong si gendut cepat. Tabib Setan gelengkan kepala.
"Aku tidak mengada-ada, apa yang kukata-
kan ini adalah yang sebenarnya!" sergah sang tabib. "Kalau benar kau mau apa?"
tanya kakek gendut yang merasa terpojok. Dengan tenang Ta-
bib Setan mengelus jenggotnya.
"Aku hanya sekedar bertanya. Siapa tahu
bisa membantu menemukan muridmu. Lagipula
bagaimana kau bisa terpisah dari muridmu?"
"Ha ha ha. Setelah kuajak bicara makin
bertambah besar rasa ingin tahumu, tapi aku ti-
dak akan pernah mengatakannya padamu!" kata Gentong Ketawa lalu cepat palingkan
wajahnya ke arah lain. "Baiklah, kalau kau tak mau berterus-
terang tidak mengapa." Tabib Setan kemudian bangkit berdiri. Setelah itu sambil
mengangkat dan meletakkan bambu pancing di bahu kirinya
dia melanjutkan ucapannya. "Aku pun sekarang hendak pergi."
"Kau mau kemana" Apakah hendak men-
cari muridku" Awas, kalau sampai kau mengu-
siknya akan kupelitir lehermu sampai patah!" ancam Gentong Ketawa.
"Buat apa aku mencari bocah edan itu.
Masih bagus lagi aku mencari monyet untuk ku-
jadikan teman!"
Mendengar ucapan Tabib Setan, Gentong
Ketawa tertawa tergelak-gelak.
"Aku tidak menyalahkan bila kau berkata
begitu karena tingkah lakumu memang sangat
mirip dengan monyet. Tapi ingat bila suatu saat
kau berani menemui muridku aku pasti tak akan
memaafkanmu."
Tabib Setan tidak menjawab, setelah berka-
ta begitu Gentong Ketawa berkelebat pergi ting-
galkan orang tua berjanggut panjang itu seorang
diri. Seperginya Gentong Ketawa, Tabib Setan
menyeringai. "Dia bisa saja bicara begitu. Nanti jika sudah tiba masanya, mana
dia tahu aku menemui muridnya atau tidak." kata si kakek. Orang tua ini
gelengkan kepala, kemudian sambil mera-cau tak karuan dia tinggalkan tempat itu.
*** Di dalam bangunan yang sepenuhnya ter-
buat dari batu dan berbentuk kerucut yang diberi nama Singgasana Abadi itu laki-
laki tua bernama
Dipati Durga duduk di depan seorang perempuan
cantik berkulit putih bersih berusia sekitar empat puluhan. Perempuan itu
tersenyum sambil me-lingkarkan tangannya di leher laki-laki berjubah hitam yang
bagian dadanya dipenuhi bulu-bulu
lebat. "Dipati Durga," terdengar suara si perempuan memecah keheningan suasana.
"Suamiku Sesepuh Tua telah tiada. Sejak dulu semasa sua-
miku masih hidup kita sering melakukan hubun-
gan terlalu jauh. Kini setelah suamiku meninggal apakah tidak ada keinginan di
hatimu untuk menjadikan aku sebagai seorang istri?"
Orang yang dipanggil Dipati Durga ke-
rutkan alisnya yang tebal menyatu. Mendengar
ucapan perempuan cantik itu dia langsung men-
jauhkan diri, sedangkan mulutnya menyeringai.
"Memang kita seringkali bersenang-senang,
sudah tidak terhitung berapa kali kita bercinta.
Tapi bagiku, rasanya lebih suka menjadikanmu
sebagai kekasih. Istri yang kuharap adalah Nyi
Sekar Langit! Walaupun dia dalam keadaan begi-
tu rupa, aku yakin dapat menyembuhkan penya-
kitnya akibat salah penerapan ilmu." jawab Dipati Durga sambil benahi bagian
depan jubahnya yang
tidak terkancing.
Walaupun perempuan itu nampak kecewa
mendengar jawaban laki-laki yang selama ini di-
cintainya, namun dia tetap tersenyum. Lalu den-
gan tersenyum pula dia berkata. "Konon kudengar Nyi Sekar Langit berubah menjadi
nenek begitu karena ulah bekas kekasihmu yang bernama Nyi
Ronggeng. Agaknya sebagaimana diriku, Nyi
Ronggeng juga tidak rela melihat dirimu menjadi
milik orang lain. Hik hik hik!"
"Kerabat Perempuan, hati-hati kau bicara.
Ingat anak dan suamimu belum lagi tujuh hari
meninggal. Aku tidak mau menyakitimu, tapi jika
tidak ada pilihan lain mungkin aku terpaksa me-
lakukannya!" tegas Dipati Durga sengit.
"Aih, mengapa sekarang kau gampang se-
kali naik darah Dipati" Apakah kau tidak ingat
dengan manisnya madu cinta yang telah kita
nikmati tadi?" tanya wanita yang bergelar Kerabat Perempuan itu disertai senyum
genit. Mendengar
ucapan Kerabat Perempuan ketegangan di wajah
Dipati Durga berubah surut. Dia menarik nafas
pendek, lalu tangannya diulurkan hingga me-
nyentuh bahu Kerabat Perempuan. Sambil terse-
nyum pula dia berkata. "Segala budi baik serta kesenangan yang telah kau berikan
padaku tidak akan pernah aku lupakan. Terus-terang walau-
pun nantinya aku berhasil menjadikan Nyi Sekar
Langit menjadi istriku kau tetap menjadi kekasih simpananku. Terus-terang aku
memang memen-dam amarah dan rasa benci pada Nyi Ronggeng
bekas kekasihku itu, karena ulahnya Nyi Sekar
Langit jadi sangat menderita. Akibat apa yang di-alaminya, semakin sulit bagiku
untuk mendekati
Nyi Sekar."
"Lalu sekarang apa yang hendak kau laku-
kan?" tanya Kerabat Perempuan.
"Sekali lagi aku ingin minta kepastian dari Nyi Sekar Langit sekaligus meminta
pada Nyi Ronggeng agar dia mau memulihkan keadaan Nyi
Sekar sebagaimana semula."
"Hik hik hik. Aku berani menjamin Nyi
Ronggeng pasti tidak mau melakukannya!" kata Kerabat Perempuan.
Dipati Durga kepalkan kedua tangannya.
"Jika dia tidak mau memulihkan Nyi Sekar, aku bersumpah akan membunuhnya!" tegas
Dipati Durga. "Baiklah," kata Kerabat Perempuan mengalah. "Apapun keputusanmu aku pasti
berada di pihakmu!"
Mendengar ucapan perempuan itu legalah
hati laki-laki berjubah hitam itu. Dia kemudian
bangkit dan berjalan di depan Kerabat Perem-
puan. Dengan tidak sabar dia berucap. "Sekarang tunggu apa lagi" Bersiap-
siaplah. Kita harus be-rangkat ke Teluk Rembang. Kuharapkan Nyi Se-
kar Langit masih berada di sana."


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bodoh, menurutku sebaiknya kita
ke Pati saja. Aku yakin gurunya Ambeng saat ini
berada di sana."
"Aku tak membutuhkan gurunya" Ambeng
Tatap Banyu orang ketiga, yang penting bagiku
adalah Nyi Sekar bukan perempuan renta itu!"
sergah Dipati Durga.
"Jangan bodoh, walaupun putraku Kerabat
Melamun memiliki kesaktian tinggi, aku ragu dia
mampu menuntut balas pada Ambeng Tatap
Banyu yang hampir membuat kami menjadi pa-
tung batu. Sebaliknya aku merasa yakin saat ini
Nyi Sekar pasti minta perlindungan pada gurunya
karena dia tak ingin kau mengusiknya terus. Lalu apa salahnya dalam sekali
perjalanan dua tujuh
pulau dapat kita capai sekaligus?"
"Kau benar. Bagaimanapun Ambeng Tatap
Banyu jika masih hidup bisa menjadi ganjalan
bagiku. Ilmu kesaktian nenek itu tak bisa dipan-
dang sebelah mata. Baiklah, sekarang ini sebaik-
nya kita pergi. Untuk mempersingkat waktu aku
akan memanggil Makhluk Kutukan Neraka."
Mendengar Dipati Durga menyebut nama
makhluk hitam yang menjadi tunggangannya wa-
jah Kerabat Perempuan berubah pucat.
"Mengapa kita tidak berkuda saja. Aku ta-
kut dengan ketinggian!" kata perempuan itu ter-bata. "Ha ha ha. Tak usah takut,
aku akan duduk menjagamu di belakang!" kata Dipati Durga.
Setelah berkata begitu dia bersuit tiga kali. Suara Dipati Durga melengking
tinggi ke angkasa.
Tidak berselang lama setelah suara suitan-
nya lenyap, sayup-sayup dikejauhan terdengar
suara pekikan aneh yang disertai dengan terden-
garnya suara bergemuruh hebat. Suara gemuruh
makin lama makin bertambah jelas, Kerabat Pe-
rempuan dongakkan kepalanya ke langit. Perem-
puan itu tercekat begitu melihat makhluk besar
berbulu hitam, berkepala seperti burung rajawali bersayap lebar bagaikan
kelelawar. Binatang hitam bermata merah itu berputar-putar diangkasa.
Setiap kepakan sayapnya menimbulkan gelom-
bang angin yang nyaris membuat Kerabat Perem-
puan jatuh terpental.
Dipati Durga dengan tersenyum lambaikan
tangannya memberi isyarat pada Makhluk Kutu-
kan Neraka. Binatang itu memekik, lalu bagaikan
anak panah melesat turun hingga sampai pada
ketinggian tidak kurang dari setengah tombak.
Melihat binatang itu sudah berada dalam jang-
kauannya, maka tanpa bicara lagi, Dipati Durga
langsung menyambar lengan Kerabat Perempuan.
Hanya dalam waktu yang amat singkat Kerabat
Perempuan dan Dipati Durga telah berada diatas
punggung binatang raksasa yang sosoknya dalam
ujud kelelawar dan berkepala seperti burung ra-
jawali itu. "Sahabatku hitam, bawa kami ke Pati. Ka-
mi ingin bertemu dengan Ambeng Tatap Banyu di
Watu Cadas Hitam!" seru Dipati Durga.
"Kiiiiik...!"
Makhluk Kutukan Neraka meringkik keras.
Dalam waktu singkat sosoknya melesat ke atas.
Semakin lama membubung tinggi ke udara, sam-
pai kemudian bergerak ke arah selatan dengan
kecepatan luar biasa sekali.
5 Menjelang tengah hari setelah Gento dan
Pelangi melewati kota Rembang, kedua orang ini
mulai memasuki kawasan Kaliori dan hutan kecil
yang terdapat di daerah itu. Beberapa saat setelah mereka tiba di satu dataran
rendah Gento yang
merasa selama dalam perjalanan selalu dibayangi
oleh seseorang segera memberi isyarat pada Pe-
langi. Sang dara tak perlu banyak bertanya, kare-na dia sendiri memang sudah
tahu ada orang yang membuntuti perjalanan mereka sejak lama.
Anehnya orang yang menguntit seperti sengaja
menjaga jarak. Setiap kedua orang ini berhenti,
maka penguntit itu pun ikut berhenti. Seolah di-
rinya memang tidak mau dikenali.
Terdorong oleh rasa ingin tahu siapa yang
telah menguntit mereka, sang pendekar dan Pe-
langi akhirnya menyelinap di balik gerumbulan
semak belukar. "Aku ingin tahu setan mana lagi yang men-
gikuti kita. Akan kutangkap dia. Setelah itu baru kutanya apa yang diinginkannya
dari orang-orang
seperti kita!" kata pemuda itu setelah berada di tempat persembunyian.
"Kurasa dia tidak bermaksud jahat. Jika
dia membekal maksud buruk tentu sudah sejak
tadi dilakukannya." sahut Pelangi dengan suara
perlahan. "Hem, mungkin kau benar. Bisa jadi dia
hanya orang yang merasa iri melihat kita berdua
selalu. Atau mungkin dia kekasihmu, hingga begi-
tu melihat aku bersamamu dia menjadi cemburu
lalu membayangi kita terus!"
Mata Pelangi membulat besar. "Jangan
sembarangan kau bicara. Aku sama sekali belum
pernah bercinta, apalagi memiliki seorang keka-
sih." sahut Pelangi agak gusar.
"He he he. Rupanya kali ini aku bernasib
baik. Kau belum punya kekasih dan aku juga be-
gitu. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh." kata Gento bergurau.
Walau Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
hanya sekedar bicara iseng, namun ucapan Gento
bagi Pelangi menimbulkan kebahagiaan dan ha-
rapan tersendiri. Disertai lirikan penuh arti gadis ini menyahut. "Semua laki-
laki memang pandai merayu. Aku yakin kekasihmu ada dimana-mana." Gento
menyeringai lebar, lalu usap wajahnya pulang balik. Belum lagi pemuda itu sempat
berucap, di jalan setapak yang mereka lalui tadi muncul sesosok tubuh berpakaian
serba hijau, bertubuh jangkung ramping. Melihat kehadiran
sosok yang ternyata seorang gadis jelita ini baik Gento maupun Pelangi sama
melengak kaget.
"Yang mengikuti kita ternyata bukan setan,
tapi gadis secantik bidadari!" desah Pelangi seperti ada kegelisahan dalam
ucapannya. Gento ber-
sikap pura-pura tak mendengar.
Enak saja dia bicara. "Dasar rejeki besar.
Kukira yang mengikuti kita seorang nenek tua, tidak tahunya...!"
"Tidak tahunya gadis cantik luar biasa."
dengan sewot Pelangi menyahuti.
Sementara itu gadis jelita berpakaian hijau
begitu merasa kehilangan jejak orang yang diiku-
tinya kini nampak kebingungan. Setelah meneliti
suasana di sekitarnya dan tidak mendapatkan
orang yang dikuntitnya sang dara berucap seten-
gah mengeluh. "Aku merasa yakin dialah orangnya yang dimaksudkan Nyi Sekar
Langit. Lalu ga-
dis yang bersamanya itu siapakah" Heran, ba-
gaimana tiba-tiba mereka bisa menghilang seperti itu?" Kembali si gadis kitarkan
pandangan matanya. Di saat itu mendadak sontak si baju hijau dikejutkan oleh
berkelebatnya satu bayangan serba putih berkelebat ke arahnya. Belum lagi hilang
rasa kaget di hati si baju hijau segulung angin
menderu melabrak tubuhnya. Walaupun kaget,
namun gadis jelita ini masih sempat gerakkan
tangannya ke atas menangkis serangan lawan.
Angin sedingin es bergulung-gulung keluar
dari jubah si baju hijau. Lalu terdengar suara letupan keras menggelegar. Sosok
berpakaian serba
putih jejakkan kakinya dengan tubuh terhuyung.
Sedangkan gadis berpakaian serba hijau tetap te-
gak di tempatnya. Mata indahnya berkedip dan
menatap orang yang menyerangnya dengan pan-
dangan tidak mengerti.
Sementara itu Gento yang tidak menyang-
ka Pelangi melakukan tindakan nekad dan mela-
kukan penyerangan secara membabi buta, diam-
diam dibuat kaget. "Ah, mengapa dia mendadak seperti orang yang kehilangan
kendali. Melam-piaskan amarah pada orang yang belum tentu
bersalah?" fikir Gento tak habis mengerti.
Pelangi sendiri kini memandang dengan
mata mendelik pada dara berpakaian hijau. Dia
yang biasanya bersikap lemah lembut kini nam-
pak berubah bengis. Dengan suara keras pula dia
membentak. "Gadis penguntit siapa kau yang sebenarnya, mengapa berani mengikuti
perjalanan orang?" Si baju hijau tersenyum, sebagai orang
yang berpengalaman dia dapat merasakan ada
kecemburuan dalam nada ucapan gadis berpa-
kaian putih. Dia sendiri tidak dapat menduga ada hubungan apa antara pemuda
gondrong tadi dengan gadis itu. Tetapi dengan penuh santun si baju hijau
menjawab. "Adik, aku mengikuti kalian bukan membawa maksud jahat. Oh ya...
kemana sahabatmu pemuda rambut gondrong tadi?" tanya si baju hijau. Mendengar pertanyaan gadis itu
semakin bertambah sengitlah Pelangi dibuatnya.
Hanya sikapnya agak berubah begitu melihat
Gento munculkan diri dari tempat mereka ber-
sembunyi tadi. "Aku tadi bersembunyi disana. Sekarang
kau sudah tertangkap basah. Apa sebenarnya
yang kau inginkan hingga terus membuntuti per-
jalanan kami?"
Dengan nada lembut si jelita menjawab.
"Namaku Nyi Besinga. Ketuaku memberi perintah padaku untuk mencari seseorang."
menerangkan si jelita bernama Nyi Besinga seadanya.
"Apakah orang yang kau cari sudah kau
temukan?" tanya Gento.
Nyi Besinga tersenyum, lalu gelengkan ke-
pala. Walau senyum gadis itu terkesan wajar dan
menunjukkan keramahan, namun membuat Pe-
langi jadi mendongkol.
"Gadis ini entah apa yang diinginkannya.
Tapi... jika sampai dia berani menggoda Gento,
dia akan tahu rasa nanti." batin Pelangi dalam hati. "Jadi kau belum menemukan
orang yang oleh ketuamu diperintahkan untuk mencari?"
"Lalu mengapa kau mengikuti kami"!" hardik Pelangi tidak sabar.
"Ketuaku, Nyi Sekar Langit sekarang se-
dang menderita suatu penyakit akibat salah da-
lam menerapkan ilmu baru. Jelasnya, seseorang
yang menyaru sebagai gurunya telah menipu Nyi
Sekar. Penipuan yang dilakukan oleh orang itu
membuat ketua menderita. Sudah banyak tabib
yang didatangkan namun tak satupun yang dapat
mengembalikan ketua dalam keadaan sebagaima-
na sediakala. Kemudian dia melakukan semedi
selama berbulan-bulan. Dalam semedi dia men-
dapat petunjuk, bahwa untuk mengembalikan
keadaan Nyi Sekar sebagaimana sediakala hanya
dapat dilakukan dengan cara yang sama yaitu
menormalkan aliran darah serta tenaga dalam
yang sempat berbalik arah dan mengacaukan ke-
seimbangan otak kecil. Tidak ada manusia di
rimba persilatan ini yang dapat membantunya
melakukan itu terkecuali orang yang di dalam tu-
buhnya telah mampu mengendalikan sekaligus
menggerakkan tujuh pusat tenaga dalam yang
konon kabarnya dikenal dengan nama Tujuh Ca-
kra inti Manusia."
Mendengar uraian Nyi Besinga diam-diam
Gento jadi terkejut. Tujuh pusat tenaga dalam,
atau Tujuh Inti Cakra Manusia dia sendiri me-
mang telah menguasainya. Dan tujuh sumber te-
naga dalam yang dapat dikeluarkannya secara si-
lih berganti itu didapatnya dari Manusia Seribu
Tahun. Untuk lebih jelas (Ikuti Episode Ki Anjeng Laknat). Tapi selama ini sejak
Gento berpisah dengan kakek yang umurnya hampir mencapai
seribu tahun itu dia belum pernah mengguna-
kannya. Karena selain sangat berbahaya, Manu-
sia Seribu Tahun juga pernah berpesan, Gento
hanya dapat menggunakan tujuh tenaga dalam
yang bersumber dari tujuh titik di tubuhnya seka-li dalam tiga bulan.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon akhirnya ajukan perta-
nyaan. "Apakah kau telah menemukan orang
yang diharapkan oleh ketuamu dapat menyem-
buhkan penyakitnya itu?"
Sekali lagi Nyi Besinga menggeleng.
"Belum. Tapi melihat ciri-cirinya, mungkin kaulah orangnya." ujar gadis itu
dengan suara perlahan.
"Ha ha ha. Manusia geblek macamku tidak
becus apa-apa, apalagi menyembuhkan orang
yang telah kesalahan dalam menerapkan ilmu?"
sahut sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
"Dugaanku mungkin saja keliru. Tapi sebe-
lum pergi, mungkin aku boleh mengetahui siapa
dirimu adanya?"
Ditanya seperti itu Gento langsung melirik
ke arah Pelangi seakan minta pendapat. Si gadis
yang dibakar api cemburu dengan tegas geleng-
kan kepala. Belum lagi Gento sempat menjawab, Nyi
Besinga mendesah dalam. "Kau tak mau menye-
butkan nama tidak mengapa. Sayang jika ketua
harus kecewa karena kepulanganku tidak mem-
bawa hasil. Tapi yang lebih kecewa lagi kurasa
kakek gendut yang bernama Gentong Ketawa itu.
Aku jadi ragu, jangan-jangan diapun tidak dapat


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan muridnya!" Selesai berkata Nyi Besinga memutar tubuh siap hendak
melangkah pergi. Tapi pada saat itu Gento yang sempat kaget mendengar nama gurunya disebut
orang cepat berkata. "Nyi Besinga jangan pergi dulu!"
Gerakan langkah kaki sang dara jadi terta-
han, dia kembali balikkan badan dan menghadap
langsung ke arah Gento. Masih dengan suara
lembut si gadis bertanya. "Masih ada lagikah yang hendak kau katakan padaku?"
"Betul sekali. Jika yang kau cari adalah
orang yang bernama Gento, akulah orangnya. Ta-
pi apakah betul kau bertemu dengan guruku"!"
tanya pemuda itu ragu-ragu.
"Gento, jangan mudah terkecoh mulut ma-
nisnya. Ingat, walaupun gadis ini bersuara lem-
but, tapi suaranya seperti suara nenek tua lanjut usia. Aku curiga bukan
mustahil dia hendak
mengelabuhimu!" Pelangi memberi kisikan. Gento terdiam, apa yang dikatakan
Pelangi memang tidak berlebihan. Gadis itu suaranya memang lem-
but, namun nada suaranya seperti suara orang
tua. "Orang tua yang datang kepada kami berbadan tinggi, pakaian hitam. Pipi
tembem, hi- dungnya nyaris tenggelam bobotnya mungkin le-
bih dua ratus kati!" menerangkan Nyi Besinga.
"Apakah orang itu berkumis dan berjeng-
got?" tanya Gento ingin memastikan.
"Jenggotnya cuma beberapa helai. Kumis-
nya juga, tidak ubahnya seperti ikan lele!"
"Ha ha ha. Memang seperti itulah guruku.
kumis dan jenggotnya seperti ikan lele." sahut Gento. Dia lalu berpaling pada
Pelangi "Ternyata dia tidak berdusta, Pelangi. Apa yang dikatakannya tentang
guruku memang benar! Semua ini
merupakan sesuatu yang tidak terduga. Sudah
lama aku mencari guruku, tidak kusangka akhir-
nya aku mendapatkan petunjuk!"
"Kalau begitu tunggu apalagi. Sebaiknya ki-
ta ikuti saja dia!" usul Mutiara Pelangi. "Tapi awas, jika kau menipu kami. Kau
akan mendapat ganjaran yang setimpal!" ancam si gadis.
"Aku tidak pernah bicara dusta. Mari ikuti
aku!" kata Nyi Besinga. Gento dan Pelangi sama mengangguk setuju.
6 Bukit Cadas Hitam letaknya tidak jauh dari
Pati. Di sebelah timur bukit beberapa pohon besar menjulang tinggi. Sedangkan
pada bagian Si Bukit lainnya yang terlihat hanya kegersangan yang diwarnai
dengan batu-batu bertonjolan. Di atas
bukit di depan sebuah pondok buruk beratap ila-
lang. Nenek berpakaian kuning duduk termenung
sedangkan tatap matanya menerawang ke depan.
Cukup lama si nenek dalam keadaan se-
perti itu sampai akhirnya dia menarik nafas da-
lam-dalam. "Terlalu lama aku pergi meninggalkan mu-
ridku. Selama itu apapun yang tidak terduga bisa saja terjadi. Lalu sekarang
kemana perginya Nyi
Sekar Langit" Aku punya firasat telah terjadi sesuatu dengannya. Aku harus pergi
aku harus mencari Nyi Sekar. Barangkali dia begitu ketaku-
tan, Dipati Durga manusia kurang ajar. Sudah
tahu muridku tidak menyukainya namun dia ma-
sih saja mengejarnya." kata nenek itu seorang di-ri.
Terik matahari terasa semakin membakar
puncak bukit. Si nenek bangkit berdiri. Dia ke-
mudian melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Tidak berapa lama kemudian si nenek yang
bukan lain adalah Ambeng Tatap Banyu telah ke
luar dari pondoknya. Orang tua ini agaknya siap
melakukan perjalanan lagi terbukti di punggung-
nya kini tergantung kantong perbekalan. Sedang-
kan di pinggang sebelah kiri tergantung satu senjata aneh mirip bumerang yang
tajam pada salah
satu sisinya, dan bengkok pada bagian tengah-
nya. "Satu-satunya tempat yang harus kutuju adalah Teluk Rembang. Aku yakin
muridku pasti berada disana. Tapi... apakah mungkin tiga pen-
gasuh Nyi Sekar juga berada di sana?" fikir si nenek. Sejenak dia dibuai
kebimbangan, sesaat dia
diliputi keraguan. Namun akhirnya si nenek
membulatkan tekad untuk menyusul sang murid.
Pada saat itu pula dia mendengar suara gemuruh
hebat di angkasa sana. Suara gemuruh semakin
bertambah jelas disertai suara pekikan menggele-
gar seperti suara burung besar.
Sontak Ambeng Tatap Banyu dongakkan
kepala memandang ke atas. Si nenek tercekat,
wajahnya berubah. Dia melihat saat itu di angka-
sa sana satu sosok berwarna hitam bersayap le-
bar bagaikan sayap kelelawar dan berkepala se-
perti burung rajawali terbang berputar-putar di-
atas ketinggian puncak bukit. Di punggung mak-
hluk aneh yang sudah cukup dikenalnya itu du-
duk dua sosok berpakaian hitam.
"Makhluk Kutukan Neraka. Pasti dia da-
tang bersama Dipati Durga, tapi yang satunya lagi siapakah?" gumam si nenek
heran. Belum lagi lenyap keheranan di hati Am-
beng Tatap Banyu, dari atas sana terdengar satu
bentakan keras menggelegar. "Ambeng Tatap
Banyu, lima purnama kau menghilang. Sekarang
kulihat kau berada di tempat kediamanmu. Kebe-
tulan sekali. Ha ha ha...!"
"Dipati Durga. Kau datang pada waktu
yang kurang tepat. Aku tidak dapat menerimamu
sebagaimana layaknya. Aku hendak pergi, harap
kau suka kembali dilain waktu!" sahut si nenek.
Di atas sana kembali terdengar suara tawa
bergelak. Lalu di tengah suara gemuruh kepakan
sayap makhluk tunggangan Dipati Durga terden-
gar teriakan laki-laki itu.
"Kau tidak akan pernah pergi kemanapun,
nenek tua. Terkecuali kau mau membujuk Nyi
Sekar Langit agar bersedia menjadi istriku. Jika kau menolak, nasib celaka akan
terjadi padamu!"
"Hik hik hik. Agaknya kau ini wakil malai-
kat yang dikirim dari neraka" Apa kau mengira
aku mudah digertak?" dengus si nenek.
"Tua bangka busuk. Sebelum sahabatku
ini mencabut nyawamu, kau juga harus menye-
rahkan dua tangan dan kedua matamu!" kata sa-tu suara lain menimpali.
Ambeng Tatap Banyu berjingrak kaget
mendengar suara itu. Rasanya suara yang baru
dia dengar tidak begitu asing. Sesaat si nenek tertegun, otaknya dipacu untuk
mengingat-ingat.
"Kau lupa padaku Tatap Banyu. Aku ada-
lah Kerabat Perempuan!" Di angkasa kembali terdengar suara melengking. Mendengar
orang me- nyebutkan gelarnya, nenek tua itupun tak mam-
pu lagi menahan tawanya.
"Kau rupanya" Setelah suamimu tewas di
tangan Tabib Setan, sekarang kau pasti bebas
bergendak dengan Dipati Durga. Perempuan bu-
suk penyeleweng, jika bukan karena bantuan Ta-
bib Setan yang dapat kalian kelabuhi, sekarang
ini kau dan kerabatmu yang lain pasti sudah
membeku jadi patung batu. Hik hik hik!"
"Nenek keparat, apapun yang kulakukan
bersama Dipati Durga bukan urusanmu, yang je-
las sekarang kau harus menerima balasan dari
apa yang pernah kau lakukan padaku, pada Em-
pat Kerabat Siluman!"
"Hebat. Rupanya hari ini aku merasa perlu
merubah dirimu menjadi siluman sungguhan. Hik
hik hik!" "Kerabat Perempuan kuberi kesempatan
padamu untuk membalas rasa sakit hati dendam
kesumat pada nenek itu. Sekarang bersiaplah
kau!" berkata begitu Dipati Durga mengelus leher binatang tunggangannya tiga
kali disertai seruan.
"Makhluk Kutukan Neraka, turunkan kami!"
"Kraaak...!"
Makhluk besar yang menyerupai burung
dan kelelawar memekik keras, laksana kilat tu-
buhnya menukik tajam ke bawah. Melihat hal ini
si nenek tidak mau tinggal diam. Begitu binatang itu bergerak dan dua
penunggangnya siap melompat turun, Ambeng Tatap Banyu siapkan pu-
kulan di kedua tangannya. Apa yang dilakukan-
nya tidak kepalang tanggung. Begitu Kerabat Pe-
rempuan melesat meninggalkan punggung Mak-
hluk Kutukan Neraka yang kemudian disusul
oleh Dipati Durga, nenek itu segera menyambut-
nya dengan pukulan Waton Atos Loro. Seperti te-
lah diceritakan pada episode sebelumnya Kerabat
Perempuan dan tiga kerabat lainnya pernah di-
buat tidak berkutik ketika tubuh mereka terkena
pukulan ini. Malah begitu terkena pukulan tubuh
mereka kemudian membeku dan berangsur-
angsur menjadi gumpalan batu.
Kini Kerabat Perempuan yang tidak me-
nyangka disambut dengan pukulan yang sama.
Dia menjadi terkejut luar biasa. Dalam keadaan
tubuh mengambang meluncur turun sedemikian
rupa tentu sulit baginya untuk berbuat banyak.
Tak ada pilihan lain, Kerabat Perempuan pun se-
lagi tubuhnya meluncur segera hantamkan kedua
tangannya menyambuti pukulan dahsyat yang di-
lepaskan oleh lawannya. Selarik sinar merah
mendera, melesat ke depan hingga terjadilah ben-
turan hebat. Tapi sebagaimana yang terjadi bebe-
rapa waktu lalu ketika Kerabat Perempuan berha-
sil dipecundangi oleh si nenek, kali ini pun pukulan yang dilepaskan Kerabat
Perempuan amblas
begitu saja. Jika waktu itu dia bersama tiga kerabat siluman yang lainnya saja
kalang kabut menghadapi nenek ini, apalagi kini.
Malah pukulan yang dilepaskannya terse-
dot oleh pukulan Ambeng Tatap Banyu, kini dia
terbetot ke bawah, sementara hawa dingin yang
sangat hebat terus mendera dirinya.
"Dipati Durga..." seru Kerabat Perempuan.
Dipati Durga tertawa mengekeh. Dia me-
mang sudah melihat pukulan lawan tak terben-
dung oleh Kerabat Perempuan. Malah kalau di-
biarkan kekasih gelapnya itu bisa menjadi korban keganasan pukulan Waton Atos
Loro. Karena itu
dia Dipati Durga yang berada dalam posisi sama
seperti Kerabat Perempuan gerakkan tangannya
ke bawah. Wuut! Wuuut! Dua kali tangannya menghantam, dari te-
lapak tangan laki-laki itu melesat sinar biru. Sinar biru berhawa panas luar
biasa itu kemudian
melebar begitu bersentuhan dengan udara, berge-
rak cepat ke arah si nenek hingga untuk beberapa saat lamanya terjadi satu
keanehan. Tubuh Dipati Durga seolah tertahan oleh satu tembok yang tidak
terlihat. Sedangkan dibawah sana si nenek
nampak berusaha menahan tekanan keras yang
menghimpit dari bagian atas.
Sementara itu dengan ikut campur tan-
gannya Dipati Durga, Kerabat Perempuan tentu
saja terhindar dari maut, karena kini perhatian si nenek tercurah pada Dipati
Durga, maka setelah
berhasil membebaskan diri dari pengaruh sedotan
pukulan lawan Kerabat Perempuan meskipun
sempat terhuyung namun mampu jejakkan ka-
kinya di atas tanah. Melihat salah satu lawan telah berdiri tegak di depannya
bahkan siap meng-
hantamnya dengan salah satu pukulan, maka
dengan segenap tenaga yang dimilikinya Ambeng
Tatap Banyu menghantam ke atas.
Buum! Satu ledakan keras menggelegar laksana
mengguncang puncak bukit. Dipati Durga yang
menyerang dengan posisi mengambang tampak
terpental dan jatuh dengan punggung menyentuh
tanah. Si nenek terguncang hebat, dadanya terasa
nyeri. Sementara itu melihat si nenek dalam kea-
daan terhuyung-huyung, Kerabat Perempuan
yang memang sangat mendendam pada orang tua
ini tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dari balik
pakaian hitamnya dia mencabut sebilah pedang
tipis yang di bagian ujungnya berbentuk mata
tombak. Dengan tombak terhunus Kerabat Pe-
rempuan menyerang lawannya. Di tangan perem-
puan cantik itu pedang tipis yang bagian ujung-
nya bermata seperti tombak seakan berubah
menjadi puluhan, menusuk dan membabat bebe-
rapa bagian tubuh lawan yang paling mematikan.
Mendapat serangan hebat begitu rupa, beberapa
saat lamanya Ambeng Tatap Banyu tampak terde-
sak. Beberapa kali dia coba menghindari seran-
gan lawan yang ganas itu. Namun hebatnya ke-
manapun dia menghindar pedang lawan selalu
mengejar, hingga ruang gerak orang tua ini men-
jadi sempit. Tidak ada pilihan lain, sambil mendengus
nenek itu melompat ke samping. Tapi pada saat
yang sama belum lagi dia sempat melepaskan pu-
kulan yang menjadi andalan, pedang ditangan Ke-
rabat Perempuan bergerak lakukan babatan dari
kiri ke kanan. Ujung pedang menyambar dada. Si


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek memekik kaget, namun dia masih sempat
mundur satu langkah.
Breet! Tak urung bahu kanannya robek besar ter-
kena sambaran pedang lawan. Kulit dan daging di
bagian bahu berserabutan, darah mengucur. Me-
lihat ini Kerabat Perempuan semakin berseman-
gat. Kini dia melompat ke depan sambil tusukkan
pedang ke bagian perut. Serangannya yang terlalu berapi-api membuatnya lengah
dari kemungkinan
serangan balik yang dilakukan lawannya.
Di luar dugaan si nenek yang sudah terlu-
ka ini melompat ke atas. Lalu dengan tangan ki-
rinya dia menghantam Kerabat Perempuan den-
gan satu pukulan berhawa panas luar biasa.
Kerabat Perempuan tercekat ketika merasa
ada hawa panas luar biasa menyambar tubuhnya.
Dalam kagetnya laksana kilat perempuan itu
memutar pedang ditangan membentuk perisai di-
ri. Tapi pukulan si nenek seakan tidak ter-
bendung dan terus menerobos pertahanan pe-
rempuan itu. Kerabat Perempuan menjerit histeris ketika
tubuhnya diterjang pukulan si nenek. Tubuhnya
roboh, pakaian hangus kulit gosong, sedangkan
pedang ditangan Kerabat Perempuan terpental le-
pas. Dia tidak berkutik lagi begitu sosoknya am-
bruk ke tanah. Melihat kejadian yang tidak pernah disang-
ka ini, Dipati Durga keluarkan suara mengge-
rung. Apa yang terjadi dirasakannya berlangsung
singkat. Dengan dada dipenuhi kemarahan, Dipa-
ti Durga bangkit berdiri. Dia lalu bersuit keras ditujukan pada Makhluk Kutukan
Neraka yang sampai saat itu masih terus berputar-putar di
atas bukit. "Sahabatku, mari kita bunuh nenek kepa-
rat ini bersama-sama!" teriak Dipati Durga. Dia
sendiri lalu menerjang ke arah si nenek sambil
melepaskan pukulan dan tendangan bertubi-tubi.
Di angkasa terdengar pekikan keras, mak-
hluk bersayap kelelawar berkepala seperti rajawa-li mendadak lakukan gerakan
menukik. Menyam-
bar dengan kepakan sayapnya yang setajam pe-
dang dan mematuk dengan paruhnya yang se-
runcing tombak.
Si nenek yang sudah terluka yang tengah
menghadapi serangan gencar Dipati Durga berta-
han mati-matian. Sambil menghindari setiap se-
rangan yang datang dia meraih senjata bengkok-
nya tanpa gagang yang tergantung di pinggang ki-
ri. Senjata itu kemudian disambitkannya ke atas
searah kepala Makhluk Kutukan Neraka. Bina-
tang ini sama sekali tidak menghindar ketika me-
lihat cahaya putih berputar menghantam leher-
nya. "Binatang tolol itu segera mampus dengan kepala buntung dihantam
senjataku!" kata Ambeng Tatap Banyu. Sambil berkata begitu dia
menghantam ke depan dengan tangan kiri me-
nyambuti pukulan lawannya.
Plak! Duuk! Benturan keras terjadi, si nenek yang su-
dah tak dapat menggerakkan tangan kanannya
akibat adanya luka di bagian bahu jatuh bergu-
lingan. Sementara itu di atas sana senjata si nenek begitu mengenai leher
binatang berkepala bu-
rung rajawali ternyata tidak membawa akibat se-
bagaimana yang diinginkannya. Malah kini den-
gan penuh kemarahan Makhluk Kutukan Neraka
meluncur deras ke arahnya. Melihat semua ini
Dipati Durga yang jatuh terduduk berteriak keras.
"Bunuh tua bangka itu sekarang!"
Teriakan laki-laki itu sangat berpengaruh
bagi binatang tunggangannya. Sayap sebelah kiri
binatang tersebut menyambar ke bagian kepala si
nenek. Angin menderu akibat kepakan sayap
makhluk itu. Si nenek merasakan tubuhnya te-
rangkat ke udara lalu dihempaskan dengan keras.
Tapi dia masih sempat melepaskan pukulan Wa-
ton Atos Loro. Pukulan si nenek seolah tak berarti bagi
makhluk yang memiliki kekebalan ini. Karena be-
gitu Makhluk Kutukan Neraka kepakan sayap
kanan kirinya, pukulan Ambeng Tatap Banyu
buyar seketika. Begitu berhasil menghancurkan
serangan si nenek, tak terduga sang makhluk
menukik tajam, paruhnya yang terbuka melesat
ke bagian perut.
Dalam keadaan menderita cidera di bagian
dalam akibat bentrok pukulan dengan Dipati
Durga tadi ditambah luka akibat sabetan pedang
Kerabat Perempuan tentu si nenek sulit menghin-
dar. Sehingga tanpa ampun lagi paruh tajam
Makhluk Kutukan Neraka menghunjam ke perut-
nya tembus sampai ke bagian punggung. Si nenek
menjerit setinggi langit. Ketika makhluk itu me-
nyentakkan paruhnya, isi perut Ambeng Tatap
Banyupun tanpa ampun berbusaan keluar. Darah
menyembur, mata si nenek mendelik. Sang mak-
hluk melesat kembali ke udara. Sedangkan Dipati
Durga kini telah berada di atas punggung bina-
tang tersebut. "Kau telah menyingkirkan batu penghalang
yang merintangi segala rencanaku selama ini, so-
bat." kata Dipati Durga.
"Kraak!" seakan mengerti Makhluk Kutu-
kan Neraka keluarkan pekikan pendek.
"Bagus. Kita sekarang harus pergi secepat-
nya ke Teluk Rembang. Biarkan jenazah Kerabat
Perempuan menemani mayat nenek sinting itu.
Aku tidak butuh orang yang sudah mati, walau
dia kekasihku sekalipun!" kata Dipati Durga.
Seakan mengiyakan binatang itu kembali meme-
kik, lalu membumbung tinggi dan melesat ke arah
teluk. 7 Sejak Dipati Durga datang ke tempat ting-
gal Nyi Sekar Langit yang berada di penanjung Teluk Rembang, nenek renta ini
memutuskan untuk
menempati gua karang yang terletak di celah dua
tebing curam. Tempat ini cukup tersembunyi dan
merupakan tempat yang aman untuk menghinda-
ri kejaran Dipati Durga. Sore itu air sedang pa-
sang, deburan ombak yang sesekali bergemuruh
diseling dengan suara burung camar.
Dalam suasana seperti itu dua sosok ber-
pakaian serba hijau nampak berkelebat di antara
batu-batu yang bertonjolan, lalu memasuki celah
sempit menuju gua tersembunyi.
Ketika mereka masuk ke dalam gua, kedu-
anya segera jatuhkan diri berlutut di depan sosok nenek yang duduk di tengah
ruangan gua itu. Sesaat dua sosok berpakaian serba hijau yang ter-
nyata adalah gadis muda belia berparas cantik
luar biasa nampak saling berpandangan. Kemu-
dian salah seorang yang berbadan agak pendek
anggukkan kepala.
"Nyi Sekar kurasa tidak mau diganggu!"
"Nyi Arianti, sampaikan saja padanya bah-
wa sampai saat ini Nyi Besinga belum juga kem-
bali." "Aku tidak berani, Nyi Artawanti!" sahut Si Pendek.
Sosok nenek yang duduk dalam keadaan
bersemedi di lantai ruangan gua dan cuma dite-
rangi cahaya pelita merah temaram buka ma-
tanya. Perlahan sepasang matanya yang bening
indah memandang ke arah kedua gadis itu yang
bukan lain adalah pengasuhnya sendiri. Melihat
kemunculan kedua pengasuhnya ini, tahulah dia
pengasuh pertama belum juga kembali.
"Kalian datang tanpa Nyi Besinga. Berarti
dia belum menemukan orang yang kuinginkan.
Sayang sekali, aku sendiri tidak bisa menunggu
lebih lama. Jika sampai malam nanti Nyi Besinga
tidak muncul bersama Gento berarti kita harus ke Bukit Cadas Hitam untuk
menjumpai guruku!"
berkata si nenek. Anehnya walaupun nenek itu
sudah sangat tua sekali, namun nada suaranya
tidak berbeda dengan suara gadis berusia dua pu-
luhan, bahkan sepasang matanya juga berbeda
dengan mata nenek tua pada umumnya. Menden-
gar keputusan si nenek kagetlah kedua gadis itu.
Salah seorang diantaranya yang bernama Nyi
Arianti setelah menjura hormat cepat berkata.
"Nyi Sekar, bukan saya bermaksud lan-
cang, menurut saya tempat itu sekarang sudah
tidak aman lagi. Selain itu belum tentu guru Am-
beng Tatap Banyu telah kembali dari perjalanan-
nya." "Nyi Sekar, kami selalu menyayangimu.
Saya rasa apa yang dikatakan Nyi Arianti tidaklah keliru dan bukan sesuatu yang
berlebihan. Bukit
Cadas Hitam bukan hanya Dipati Durga saja yang
mengetahui tempat itu, tapi Nyi Ronggeng paham
betul tentang seluk beluk tempat tinggal guru ki-ta. Yang saya khawatirkan
bagaimana kalau tiba-
tiba mereka muncul disana?" ujar Nyi Artawanti.
Mendengar pengasuhnya menyebut nama
Nyi Ronggeng bergetarlah tubuh si nenek. Pelipis nenek tua itu bergerak-gerak,
hidung kembang kempis napas memburu sedangkan matanya ber-
kilat tajam memancarkan amarah.
"Siapa takut pada perempuan itu" Kalau
dia tidak menyaru sebagai guru, andai Ia tidak
menipuku mana mungkin aku jadi begini" Sayang
waktu itu dia berhasil meloloskan diri. Jika tidak tentu aku telah berhasil
membunuhnya!" geram si nenek. "Apa yang Nyi Sekar katakan memang benar. Tak
satupun diantara kita yang takutkan dia.
Kami berdua juga merasa tertipu olehnya. Walau-
pun wajah kami begini rupa, semuanya tidak
memberikan keuntungan apa-apa bagi saya pri-
badi. Malah saya merasa malu dengan kenyataan
yang sebenarnya!" kata Nyi Arianti.
"Baiklah, lalu apakah kita harus mende-
kam di tempat ini selamanya bagaikan seorang
pengecut" Tidak, bagaimana pun kita harus men-
cari jalan agar dapat keluar dari kemelut yang ki-ta hadapi!" tegas Si nenek.
"Nyi Sekar benar, tapi hendaknya kita me-
nunggu sampai Nyi Besinga kembali." Usul Nyi Artawanti.
Si nenek tidak menanggapi, sebaliknya dia
miringkan kepala, kedua telinganya nampak ber-
Anak Pendekar 17 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Tusuk Kondai Pusaka 18
^