Pencarian

Iblis Penebus Dosa 1

Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa Bagian 1


1 Petir menggelegar hujan bagai tercurah dari
langit saat seekor kuda yang ditunggangi laki-laki berpakaian serba merah
memasuki kotagede. Dari
caranya menunggang kuda yang dipacu tiada hen-
ti, jelas dia dalam keadaan tergesa-gesa. Di samp-
ing itu juga dia cukup mengenal seluk-beluk kota
tua tersebut. Setelah melewati deretan bangunan tinggi
tanpa mengurangi kecepatan kudanya, dia mem-
belokkan binatang tunggangannya ke arah jalan di
sebelah kiri. Setelah melewati belasan rumah pen-
duduk yang terdapat di kanan kiri jalan. Kuda itu
membelok memasuki sebuah halaman luas di de-
pan rumah berdinding papan.
Kuda berhenti di halaman rumah yang di-
genangi air. Orang berpakaian serba merah me-
lompat turun dari kuda. Binatang tunggangan itu
lalu ditambatkan di bawah sebatang pohon jambu.
Hujan semakin bertambah keras, kilat me-
nyambar petir menggelegar. Suara angin menderu
berbaur dengan suara gemuruh hujan. Laki-laki
berpakaian merah melangkah lebar menuju bagian
teras depan. Tanpa menghiraukan pakaian serta
tubuhnya yang basah bersimbah air hujan orang
itu mengetuk pintu berukir gambar naga.
"Ki Ageng Pamanakan, aku datang untuk
mengambil barang pesanan!" kata orang itu. Walau telah bicara dengan suara
keras, namun suara
orang ini seolah tenggelam lenyap ditelan gemu-
ruhnya angin dan hujan yang makin menggila.
Untuk sejenak lamanya dia menunggu, tapi
ketika tidak terdengar suara jawaban dari dalam
sana sekali lagi dia mengetuk pintu.
"Ki Ageng.... aku Wedus Jaran Kalabakan
datang ingin bertemu!" teriaknya tidak sabar.
"Tamu yang datang mengapa harus berte-
riak" Aku masih belum tuli untuk dapat membe-
dakan suara hujan dan suara dengus kasar ma-
nusia. Masuklah!" satu suara dari dalam menyahuti. Mendengar jawaban orang Wedus
Jaran Ka- labakan menyeringai. Pintu didorongnya. Dari ba-
gian dalam ruangan dia merasa ada hawa hangat
menyambut kehadirannya. Jaran Kalabakan me-
langkah masuk, sampai di tengah ruangan yang
hanya diterangi sebuah pelita gantung laki-laki itu hentikan langkah. Sepasang
matanya memandang
ke depan. Saat itu dia melihat seorang kakek tua
berusia sekitar enam puluh tahun, berpakaian dan
berambut serba putih duduk di atas balai kayu be-
ralaskan kulit kambing.
Sedangkan di depan si kakek tergeletak so-
sok seorang gadis berambut panjang berpakaian
hitam transparan. Di atas perut si gadis terdapat
sebuah pendupaan berisi bara menyala mengepul-
kan asap biru kelabu. Yang membuat Wedus Ja-
ran Kalabakan bergidik ngeri di bagian dada gadis
itu tertancap sebilah pedang berhulu kepala seekor cobra. Baik badan maupun hulu
pedang berwarna
hitam kebiruan pertanda senjata itu mengandung
racun jahat. "Pedang Tumbal Perawan...!" Jaran Kalabakan menyebut nama senjata yang menancap
di dada si gadis dengan suara tercekat. Kakek di de-
pan sana tertawa bergelak.
"Senjata yang diminta oleh saudaramu telah
kubuat. Senjata ini terbuat dari perak asli. War-
nanya jadi berubah setelah ku rendam dalam ra-
cun Seratus Hari. Jaran Kalabakan, Pedang Tum-
bal Perawan adalah senjata yang kuciptakan yang
terakhir kalinya selama hidup. Setelah itu aku ti-
dak akan pernah lagi menciptakan senjata yang
lain." kata si kakek. Mendengar ucapan si kakek Jaran Kalabakan terdiam sejenak
lamanya. Apa yang telah diputuskan oleh Ki Ageng Pamanakan
diam-diam membuat perasaan Jaran Kalabakan
menjadi lega. Dia sadar betul Ki Ageng adalah sa-
tu-satunya pembuat senjata ampuh mandraguna
yang tiada tanding di Kotagede. Kehebatannya da-
lam membuat senjata tak perlu diragukan, teru-
tama senjata yang terbuat dari perak. Nama besar
Ki Ageng dikenal oleh berbagai kalangan di seluruh penjuru tanah Jawa.
Semula saudara tua Wedus Jaran Kalaba-
kan telah memberinya perintah begitu senjata pe-
sanan selesai dibuat dan diserahkan pada dirinya.
Jaran Kalabakan harus membunuh orang tua itu,
agar kelak tidak akan ada lagi pemesan senjata
yang datang pada Ki Ageng. Kini rasanya kekejian
itu tidak perlu dilakukannya terhadap diri si orang tua. "Ki Ageng...!" setelah
terdiam cukup lama Jaran Kalabakan akhirnya membuka mulut beru-
cap. Si kakek memandang lurus ke arah sang ta-
mu dengan tatapan tajam menyelidik. Sedangkan
Jaran Kalabakan melanjutkan ucapannya. "Senja-ta aku lihat telah selesai dibuat
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, selanjutnya aku in-
gin bertanya apakah aku boleh membawa Pedang
Tumbal Perawan untuk kuserahkan pada kakang
ku Kertadilaga?" Ki Ageng kembali memandang ke depan. Entah mengapa orang tua
ini merasa perasaannya jadi tidak enak, sehingga dia kemudian
menegaskan. "Kakang mu tentu sudah menje-
laskan beberapa perjanjian yang telah sama kami
ikrarkan ketika dia datang kemari minta dibua-
tkan senjata sakti mandraguna ini." ujar si kakek.
"Betul Ki Ageng. Kakang pernah mengata-
kan salah satu sumpah perjanjian antara dirinya
dengan Ki Ageng adalah bila senjata itu telah selesai dibuat, maka dia hanya
boleh dipergunakan
khusus untuk membunuh Kala Bayu alias Angin
Pesut, Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan yang
telah begitu banyak membunuh saudara kita satu
golongan. Setelah itu senjata harus diserahkan
pada Ki Among Rogo Katisan."
"Kau benar, salah satu bunyi perjanjian itu
memang sebagaimana yang kau katakan. Tapi in-
gat, masih ada dua perjanjian lain yang harus di-
penuhi oleh Kertadilaga. Apakah dua perjanjian itu ada dikatakannya padamu?"
tanya Ki Ageng.
Jaran Kalabakan gelengkan kepala.
"Tidak Ki Ageng, kakang tidak pernah men-
gatakan apapun selain perjanjian pertama seba-
gaimana yang kusebutkan tadi!"
"Sayang sekali. Tapi tidak mengapa, aku
bukan manusia yang suka membuat dosa dengan
menyalahi janji. Pedang tanpa sarung ini akan ku-
serahkan padamu. Senjata pusaka ampuh, seo-
rang gadis telah ku korbankan sebagai tumbal un-
tuk memperhebat pengaruh iblis yang terkandung
di dalamnya. Jika kubiarkan selamanya dia akan
menancap di tubuh mayat gadis malang ini. Kare-
na kau tak mengetahui dua syarat yang telah ku-
katakan pada saudara tuamu, sekarang kau ku-
persilahkan mencabut senjata ini sendiri. Jika kau mampu mencabutnya kau boleh
membawanya pergi!" kata si kakek.
Wedus Jaran Kalabakan diam-diam menjadi
kaget mendengar ucapan Ki Ageng Pamanakan.
Akan tetapi di hatinya sedikit pun tidak ada rasa
curiga. Laki-laki itu menjura hormat ke arah si kakek. Tidak berselang lama
setelahnya dia melang-
kah maju mendekati pedang yang tertancap di be-
lahan dada mayat gadis berdaster hitam panjang.
Berdiri tegak di depan mayat yang terlentang di
atas balai-balai kayu itu, Jaran Kalabakan me-
mandang lurus ke arah pedang dan wajah si gadis
silih berganti. Sementara itu Ki Ageng Pamanakan
telah menggeser pendupaan menyala di atas perut
si mayat dan kini meletakkannya di atas bagian
kepala. Mula-mula Jaran Kalabakan merasakan
tengkuknya merinding. Perasaan seram menyeli-
muti dirinya. Tapi perasaan itu secara cepat hilang dengan sendirinya dan kini
muncul perasaan lain,
rasa dan keinginan sebagaimana umumnya laki-
laki tertarik pada lawan jenisnya.
Sebagai orang yang memiliki tingkat kepan-
daian tinggi begitu merasakan keanehan terjadi
pada dirinya dia segera kerahkan tenaga dalam ke
sekujur tubuhnya untuk melenyapkan pengaruh
gejolak aneh yang terjadi pada dirinya. Begitu Ja-
ran Kalabakan dapat menguasai diri sambil ulur-
kan tangannya dalam hati dia berkata. "Apa sebenarnya yang telah terjadi pada
diriku. Aku merasa
seperti ada kekuatan iblis yang menguasai pedang
dan mayat gadis itu. Tapi apakah dugaanku ini
benar" Atau aku cuma terbawa pengaruh pera-
saanku karena melihat mayat yang begini menan-
tang?" "Wedus Jaran Kalabakan. Tunggu apa lagi, mengapa kau malah memandangi
mayat yang tidak berguna itu?" satu suara menegurnya mem-
buat Jaran Kalabakan tersentak kaget. Dia menja-
di malu sendiri ketika melihat kakek yang duduk
di atas balai kayu itu ternyata terus memperhati-
kan dirinya sejak tadi.
Tak lama kemudian Jaran Kalabakan julur-
kan tangannya. Jemari tangan yang bergetar itu
bergerak ke arah hulu pedang.
"Tak usah ragu, cepatlah kau ambil pedang
itu sebelum aku berubah fikiran!" seru Ki Ageng Pamanakan.
Jaran Kalabakan akhirnya tanpa ragu lagi
mencengkeram erat hulu pedang bergambar kepa-
la ular cobra itu. Tapi di luar dugaan begitu tan-
gannya menyentuh hulu pedang mendadak dia
merasakan ada hawa dingin menyengat tangan-
nya. Hawa dingin dengan cepat terus menjalar ke
sekujur tubuhnya hingga laki-laki itu menjerit, sekujur tubuhnya menggigil.
Ketika dia menarik tan-
gannya dari hulu pedang, sepasang mata Jaran
Kalabakan mendelik besar. Tangan itu kini telah
berubah membiru kehitam-hitaman.
"Akh... apa yang telah terjadi pada diriku
ini?" jerit Jaran Kalabakan sambil memandangi tangannya juga si kakek silih
berganti. "Ha ha ha! Tubuhmu kini telah keracunan,
Jaran Kalabakan. Racun itu hanya aku yang dapat
memusnahkannya!" kata Ki Ageng Pamanakan
disertai tawa tergelak-gelak.
"Ki Ageng... apa maksudmu...?" tanya Jaran Kalabakan kaget juga penuh rasa tidak
mengerti. "Heh, kau kira akan semudah itu untuk
mendapatkan pedang maut ini" Aku harus mengi-
kuti kehendak kalian, menuruti apa saja yang
engkau mau. Jika kakang mu punya rencana un-
tuk membalaskan sakit hati dendam kesumat pa-
da Kala Bayu, aku malah punya segudang rencana
setelah berhasil mendapatkan pedang ini. Kau dan
saudaramu itulah yang harus menuruti apa yang
menjadi kehendakku, bukan aku yang harus pa-
tuh pada perintah kalian. Ha ha ha!"
"Ki Ageng sungguh aku tidak mengerti akan
semua ini." ujar Jaran Kalabakan bingung.
"Kau tidak akan pernah mengerti. Tapi ke-
lak kau akan tahu sendiri. Sekarang ikuti aku!"
perintah si kakek. Selesai berkata Ki Ageng Pama-
nakan melompat bangkit dari balai kayu, sementa-
ra pendupaan berisi bara panas menyala masih
terletak di atas kepalanya.
"Ki Ageng aku tidak dapat mengikuti kehen-
dakmu. Pedang itu harus kubawa lalu kuserahkan
pada kakang Kertadilaga sesuai dengan perjanjian
yang telah sama kita sepakati." ujar Jaran Kalabakan sengit.
"Hemm, begitu" Coba kau sebutkan perjan-
jian kedua dan ketiga!"
"Ki Ageng... yang membuat perjanjian ada-
lah kau dan saudaraku. Aku sama sekali tidak ta-
hu menahu dalam urusan itu." jawab laki-laki itu.
"Untuk membuatmu mengerti, kau harus
ikut aku!" seru Ki Ageng Pamanakan. Selesai berkata tanpa menghiraukan Jaran
Kalabakan dia ge-
rakkan tangan kirinya ke arah si mayat. Ketika
tangan melambai di udara segulung angin berhawa
panas menderu di udara, lalu bergerak lurus me-
nyambar ke arah mayat gadis berdaster hitam.
Kemudian Ki Ageng Pamanakan keluarkan seruan
keras. "Wahai gadis yang tersia-sia. Sekarang bangkitlah, bangun! Tidak ada
tidur abadi terkecuali dalam kubur. Kau belum lagi terkubur. Ja-
sadmu masih berada di alam fana, karena itu
bangkit! Ikuti aku dan ikuti semua petunjukku!"
ujar si kakek dengan suara bergetar tapi mengan-
dung pengaruh gaib yang membuat tengkuk Jaran
Kalabakan berubah dingin laksana es.
"Kakek jahanam ini telah ingkar janji. Seka-
rang apa yang hendak dilakukannya" Aku harus
mampu menghantamnya dengan satu pukulan
mematikan. Setelah itu secepatnya aku ambil pe-
dang itu dan melarikan diri!" batin Jaran Kalabakan dalam hati.
Selagi kakek di depan sana sibuk dengan
mayat yang dadanya ditancapi pedang. Diam-diam
laki-laki berpakaian merah itu salurkan tenaga da-
lam ke bagian tangannya. Dalam waktu sekejap
kedua tangan Jaran Kalabakan telah berubah
warna menjadi hitam kebiruan. Laksana kilat tan-


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan kanan kiri lalu dihantamkan ke arah Ki Ageng.
Segulung hawa dingin menderu menghantam tu-
buh si kakek. Di depannya sana Ki Ageng yang
hampir berhasil membangkitkan mayat gadis ber-
daster hitam sempat dibuat kaget tak menyangka
mendapat serangan seperti ini. Rasa kejut hanya
berlangsung sekejap, setelah itu dengan perasaan
geram namun acuh dia kibaskan ujung lengan ba-
junya. Wuuut! Segulung angin menderu melabrak habis
pukulan yang dilakukan oleh Jaran Kalabakan.
Terjadi ledakan berdentum yang membuat seluruh
bangunan yang terbuat dari papan itu bergetar
hebat. Jaran Kalabakan terdorong mundur, lalu ja-
tuh terhenyak. Dia mencoba bangkit berdiri di saat Ki Ageng kembali gerakkan
tangan kirinya ke arah
si mayat. Kejut di hati Jaran Kalabakan bukan alang-
alang ketika mendapati sekujur tubuhnya tak da-
pat digerakkan lagi. "Huarkh...!" bersusah-payah dia mencoba bangkit.
Kenyataannya segala apa
yang dilakukannya hanya sia-sia. "Bangsat, mengapa tiba-tiba saja aku menjadi
seperti ini. Dadaku
sakit bukan main, sekujur tubuhku jadi kaku.
Apakah mungkin ini pengaruh dari racun yang
terdapat di hulu pedang itu?" fikirnya.
Sementara itu mayat si gadis dengan dada
tertancap pedang Tumbal Perawan kini nampak
mulai bergerak bangkit, sepasang matanya men-
gerjab membuka. Lalu secara perlahan dan dengan
gerakan yang kaku dia berdiri tegak. Memandang
ke arah Jaran Kalabakan sekilas membuat laki-
laki yang sudah tidak berdaya ini jadi bergidik nge-ri. Tapi kejadian itu tak
berlangsung lama. Di ke-
jab kemudian mayat yang telah dihidupkan itu
berbalik menghadap ke arah Ki Ageng Pamanakan.
Melihat mayat telah dapat dibangkitkannya
Ki Ageng tersenyum puas. Dia kemudian berkata,
pelan namun cukup berpengaruh. "Gadis cakep.
Aku merasa senang kau telah terjaga dari tidurmu.
Sekarang kau harus ikut denganku. Laki-laki itu
agaknya memang berjodoh dengan dirimu. Mari ki-
ta pergi ke suatu tempat dimana aku akan tunjuk-
kan kebahagiaan padamu." ujar si kakek. Perlahan dia alihkan perhatiannya pada
Jaran Kalabakan.
Kembali si kakek menyeringai. "Bagaimana, bocah.
Aku tahu kau memiliki kesaktian yang tidak ren-
dah, tapi hal itu tidak ada gunanya karena kau te-
lah terkena racun Cobra yang terdapat di bagian
gagang pedang itu. Kau akan tersiksa selamanya,
hidupmu akan menderita. Ha ha ha!"
Wajah Jaran Kalabakan yang telah berubah
pucat kebiru-biruan kini tampak berubah merah.
Pelipis bergerak-gerak, sepasang matanya menco-
rong tajam menyimpan amarah.
"Kakek keparat apa sebenarnya keinginan-
mu" Aku datang kemari untuk mengambil senjata
pesanan, tapi kau malah menjebakku!" teriak laki-laki itu geram.
"Keinginanku banyak sekali tak mungkin
untuk kusebutkan satu persatu. Yang jelas kau
ikuti saja kemauanku, nantinya kau pasti akan
memiliki sebuah senjata yang tidak kalah hebat-
nya dengan Pedang Tumbal Perawan! Ha ha ha...!"
"Kurang ajar, kakang ku dan orang-orang
dunia persilatan pasti tidak akan diam berpangku
tangan setelah mengetahui kejadian ini!" dengus Jaran Kalabakan sengit.
Si kakek dongakkan kepala, lalu tertawa
tergelak-gelak.
"Persetan dengan saudaramu dan orang
rimba persilatan, mereka orang-orang luar. Yang
terpenting kau harus ikut denganku, kau dan ga-
dis mayat itu akan berjodoh satu sama lain. Kalian akan menjadi pasangan hebat.
Sedangkan aku anggap saja sebagai seorang ayah yang baik! Ha ha
ha!" "Tua bangka keparat apa maksudmu?" teriak Jaran Kalabakan kaget tapi juga
marah sekali. Ki Ageng tidak menanggapi. Dia gerakkan
tangannya ke arah Jaran Kalabakan. Ketika ada
hawa panas menyambar tubuhnya laki-laki itu
mencoba untuk menghindar. Tapi seperti tadi, tu-
buhnya sama sekali tak dapat digerakkan. Malah
kini sosoknya dengan cepat terbetot ke arah si ka-
kek seolah ada tangan yang tidak terlihat telah
menariknya. Di lain waktu leher Jaran Kalabakan kena
dicekal oleh kakek itu. Ki Ageng sunggingkan se-
ringai. Sambil menenteng Jaran Kalabakan di tan-
gan kirinya dia berkata pada mayat gadis berdaster hitam. "Tempat ini sudah
tidak nyaman lagi bagi kita. Sekarang kita pindah ke tempat baru!" ucap Ki
Ageng. Dengan gerakan yang kaku gadis mayat
anggukkan kepala. Dia mengikuti Ki Ageng Pama-
nakan ketika kakek itu berjalan menuju pintu be-
lakang rumahnya. Dalam hujan sambil menenteng
Jaran Kalabakan yang terus memaki semburkan
sumpah serapah dan dengan diikuti mayat yang
telah dihidupkan, si kakek tinggalkan Kotagede.
2 Api yang dipergunakan untuk memanggang
Siklututjang makhluk langka yang diyakini oleh
Tabib Setan sebagai hewan yang mengandung
khasiat tinggi baru saja dinyalakan. Di bawah se-
batang pohon di balik batu besar si kakek berpa-
kaian serba putih berjanggut panjang menyela
nampak sibuk menguliti binatang bawaannya. Se-
lesai menguliti tubuh binatang itu dia melumu-
rinya dengan darah hewan yang dipotongnya. Tak
lama setelah itu si kakek mengikatkan kedua kaki
depan dan kaki belakang binatang yang telah di-
kulitinya pada sebatang kayu panjang.
"Gento, apakah kayu yang kau bakar sudah
menjadi bara?" tanya si kakek dari balik batu.
"Sudah, apakah kau hendak ikutan mem-
bakar diri Tabib?" tanya si gondrong bertelanjang dada yang duduk mencangkung di
depan bara yang baru saja dibuatnya.
Di balik batu si kakek bersungut-sungut, la-
lu dia bangkit berdiri selanjutnya berjalan meng-
hampiri si pemuda dan duduk menjelepok di
samping Pendekar Sakti 71 Gento Guyon.
Tabib Setan meletakkan Siklututjang di atas
api membara. Sambil membolak-balik daging yang
dipanggangnya dia berucap. "Biarpun sudah tua begini, aku tak ingin Gusti Allah
cepat-cepat mencabut nyawaku. Bagaimana kau yang sudah kua-
nggap sebagai anak sendiri mengapa begitu tega
mendoakan aku agar cepat mati!"
"Ha ha ha! Kau tak usah gusar tabib, bi-
asanya orang banyak dosa sepertimu selalu diberi
umur panjang oleh Tuhan. Sedangkan mengenai
segala doaku jangan kau ambil hati. Doa orang
geblek dan banyak salah seperti diriku ini cuma
didengar setan." ujar Gento.
Mendengar ucapan Gento si kakek merasa
senang. Dengan penuh semangat dia berkata lagi.
"Jangan suka menyumpahi aku. Susah payah aku
mencarimu semata-mata aku ingin kau menda-
patkan yang terbaik dariku. Setelah kejadian bu-
ruk yang pernah kulakukan dulu, kini aku ingin
memberinya yang terbaik untukmu."
"Kalau benar katamu, buktinya apa?"
"Seperti yang kau lihat, aku membawakan
binatang ini untukmu. Khusus kuberikan untuk-
mu. Malah ketika aku bertemu gurumu dia me-
minta Siklututjang. Aku tidak memberikannya,
padanya kukatakan binatang ini sangat beracun.
Ee...dia percaya, sungguh tolol dia."
"Siapa Siklututjang?" tanya Gento.
"Siklututjang adalah binatang yang kupang-
gang ini."
Gento gelengkan kepala.
"Aneh, baru kali ini aku mendengar nama
binatang seaneh ini." gumam sang pendekar sambil menatap kakek yang berada di
sampingnya. Tabib Setan tertawa mengekeh. Begitu ta-
wanya lenyap dia berkata. "Siklututjang adalah nama pemberianku. Nama binatang
ini sendiri yang sebenarnya aku tak tahu. Siklututjang ke-
pendekan dari binatang bersisik, badan berbulu
dan buntutnya panjang."
"Ha ha ha. Dasar tabib gila, ada-ada saja."
celetuk pemuda itu. Sang pendekar mendadak
hentikan tawanya. Lalu dia memegang pundak Ta-
bib Setan. "Tadi kau ada mengatakan telah bertemu dengan guruku. Mengapa kau
membiarkannya gentayangan, tidak membawanya ke Teluk Rem-
bang?" Si kakek unjukkan tampang jerih, lalu
menggaruk telinganya habis-habisan. "Mana aku tahu kita akan bertemu" Lagi pula
kau tahu sendiri, sejak dulu dia selalu bersikap memusuhi aku.
Setiap bertemu dia pasti marah, tampaknya me-
mang sudah ditakdirkan dia membenciku sela-
manya." ujar si kakek sedih.
"Si gendut tidak bisa disalahkan. Pertama
kali bertemu denganmu dia memang tidak menyu-
kaimu. Dulu kau menyiksaku, mungkin itulah
yang membuatnya tak pernah mempercayaimu.
Biarlah gendut gentayangan tak karuan. Jika dia
tetap bersamaku terkadang aku suka dibuatnya
repot. Bukannya apa, si gendut bawelnya seperti
nenek tua."
"Bagaimana jika aku bersamamu?" tanya si kakek sambil mengangkat daging panggang
yang kini sudah matang. Disertai senyum Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon menjawab.
"Bersamamu ternyata lebih memuakkan di-
bandingkan aku bersama kakek Gentong Ketawa.
Menurutku lebih enak, lebih asyik lagi bersama
seorang gadis. Sayang Mutiara Pelangi minggat en-
tah kemana ketika aku menolong Nyi Sekar Langit.
Ha ha ha."
"Bocah edan sial. Hampir setiap waktu aku
selalu memikirkan dirimu, tapi ternyata kau tidak
menghargai aku sama sekali! Nih, ambil daging
panggang ini, makan sampai habis!" rutuk Tabib Setan namun tetap sodorkan daging
panggangnya pada Gento. "Tabib, kalau mau marah karena ucapanku
silahkan saja. Yang jelas pemberianmu ini pasti tidak kutolak!" Gento menyambar
daging yang di-
angsurkan kepadanya. Setelah itu dengan lahap
dia memakan daging panggang yang lezat tersebut.
Dengan mulut penuh berisi makanan si
pemuda berucap. "Enaknya bukan main tabib.
Kau tidak menyesal memberikan semua daging ini
kepadaku?"
Tabib Setan gelengkan kepala.
"Sebaliknya apakah kau tidak curiga daging
itu kububuhi racun" Ingat aku Tabib Setan bisa
berbuat apa saja! Ha ha ha." kata si kakek disertai tawa mengekeh.
"Hah...!" Gento keluarkan seruan tertahan.
Matanya mendelik besar, begitu kagetnya dia sam-
pai sisa daging yang berada di mulutnya dia mun-
tahkan semua. Selagi murid kakek gendut Gen-
tong Ketawa dibuat tercengang seperti itu, Tabib
Setan julurkan tangannya ke arah Gento. Di lain
saat tahu-tahu sisa daging panggang telah berpin-
dah tangan. Kini si kakek sambil uncang-uncang
kaki memakan daging itu dengan lahap.
"Ha ha ha! Dasar tolol, seperti gurumu. Dari
dulu sampai sekarang ternyata kau tidak percaya
padaku. Aku telah bersumpah meninggalkan sega-
la kesesatan. Tapi ternyata kau masih curiga pa-
daku. Siapa mau meracuni daging yang lezat ini"
Krauk...mmm...enak...!"
"Tabib, kau curang sekali. Berikan daging
itu padaku." seru si pemuda.
"Kau boleh merogohnya di dalam perutku!
Ha ha ha!"
Gento bangkit berdiri, dia menyerbu ke arah
si kakek. Tapi gerakannya mendadak terhenti begi-
tu dia merasakan sekujur tubuhnya terasa panas
laksana dibakar dari bagian dalam.
Terbungkuk-bungkuk Gento pegangi perut-
nya. "Tabib, mengapa jadi begini" Badanku jadi panas, perut bagai terbakar.
Apakah daging binatang itu benar-benar mengandung racun?" tanya si
pemuda dengan suara seperti orang tercekik.
Tak jauh di depannya sana si kakek juga
unjukkan air muka kaget, mata terbelalak dan
mulut ternganga. Jatuh dengan kedua kaki terte-
kuk. Sama seperti Gento si kakek juga dekap pe-
rutnya. "Hegh...sungguh luar biasa daging Siklututjang ini. Begitu kumakan isi
perutku langsung
mau ambrol. Uh...uhhh...mungkin perabotan di
dalam perutku sudah usang hingga begini keja-
diannya. To...Gento, apakah kau merasa perutmu
mulas?" kata si kakek seperti orang mengerang, sedangkan saat itu posisinya
dalam keadaan menungging.
"Perutku tidak apa-apa, walah...tapi tubuh-
ku seperti dibakar dari bagian dalam." Gento menyahuti. Walau dalam keadaan
seperti itu masih
saja muncul keisengan si pemuda untuk mengerjai


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si kakek. Sambil meringis kegerahan dia berkata.
"Tabib lari di belakangmu kulihat ada harimau"!"
"Heh, mana...!" seru Tabib Setan. Cepat dia bangkit berdiri lalu berpaling ke
belakang. Di saat sang tabib menoleh itulah Gento menyelinap ke
balik semak belukar yang terdapat di sebelah ki-
rinya. "Bocah setan. Kau menipuku...!" damprat sang tabib. Tapi kemudian betapa
kaget orang tua
ini ketika mendapati Gento ternyata lenyap entah
ke mana. "Bocah itu minggat kemana lagi?" batin si kakek.
Tabib Setan memperhatikan ke segenap
penjuru arah sambil memanggil-manggil si pemu-
da. Sepi tak ada jawaban.
"Oalah, aku kena dikerjainya lagi. Dia
mungkin sengaja menghindar dariku karena tidak
mau menjelaskan pertemuannya dengan Manusia
Seribu Tahun. Byuh...dasar bocah licik. Kemana
sekarang aku harus mencarinya?" kata sang tabib seorang diri.
Di balik semak belukar Pendekar Sakti 71
Gento Guyon menyeringai. "Aku tak mungkin menjelaskan pertemuanku dengan Manusia
Seribu Ta- hun pada siapapun termasuk juga tabib gendeng
itu." "Gento...bocah kampret sial. Minggat kemana kau"!" teriak Tabib Setan.
Orang tua ini baru saja hendak meninggalkan tempat itu. Tapi baru
saja dia langkahkan kaki kanannya mendadak
sontak perutnya kembali mulas, malah kali ini be-
nar-benar tak dapat ditahankan.
"Biyuh, biyuh...sungguh daging yang penuh
khasiat. Walah, kalau begitu aku jadi tidak tahan."
desis si kakek. Terbirit-birit sambil mendekap pe-
rutnya Tabib Setan menyelinap di balik batu di-
mana tadi dia menguliti binatang bawaannya. Tapi
ternyata isi perutnya tidak mau kompromi sehing-
ga belum lagi dia mencapai balik batu pertaha-
nannya ambrol. Untung tak ada orang melihat.
"Aduh, celaka sudah. Memalukan sungguh
memalukan...!" Lagi-lagi Tabib Setan mengomel.
Kalang kabut dia menuju sungai yang terdapat
dua tombak di depannya. Tabib Setan setelah pe-
lingak-celinguk memastikan tak ada orang di situ
langsung membuka celananya yang kotor. Enak
saja dia berjongkok mencuci pakaiannya sambil
membersihkan punggung pantatnya.
Sementara itu Gento yang melihat sang ta-
bib cuma memakai baju tanpa celana tak dapat la-
gi menahan tawa.
"Rasakan, dasar kakek rakus. Untung aku
membaca gelagat, sebagian daging kulumuri den-
gan serbuk lada. Sekarang rasakan sendiri akibat-
nya!" kata Gento menyeletuk sendiri.
Tak sadar dirinya telah dikerjai Gento, ma-
sih dengan mulut bersungut-sungut dengan sese-
kali diselingi gerutuan si kakek mengambil celana
kering dari balik kantong perbekalannya. Di saat
sang tabib hendak memakai pakaiannya menda-
dak sontak kesunyian dipecahkan dengan terden-
garnya suara bentakan menggelegar.
"Kelewatan betul, kakek cebol kurang ajar.
Beraninya kau mencuci pantat sambil buang hajat
di sungai sumber air minumku"!"
Kaget sang tabib membuat celana yang di-
pegangnya jatuh. Seakan lupa dengan keadaan di-
rinya dengan alis berkerut dan wajah pucat si ka-
kek berpaling lalu memandang ke arah jurusan
datangnya suara.
Sekejap kemudian kedua mata Tabib Setan
bagai mau melompat keluar dari dalam rongganya
begitu dia melihat satu sosok berambut panjang
berkulit hitam gosong dengan tinggi melampaui
pepohonan yang terdapat di sekitar tempat itu
berdiri tegak sejarak sepuluh tombak di depannya.
Melihat wajah angker sosok tinggi berbadan
besar luar biasa itu Tabib Setan merasa seman-
gatnya langsung terbang, sekujur tubuhnya meng-
gigil, wajah pucat laksana mayat. Melihat kehadi-
ran sosok raksasa itu Tabib Setan semakin lupa
dengan keadaannya sendiri.
Sementara itu dibalik semak dimana Pen-
dekar Sakti 71 Gento Guyon mendekam ternyata
pemuda ini tidak kalah kagetnya dengan sang ta-
bib. Malah Gento hampir tak tahan menahan
kencing saking takutnya.
"Manusia atau malaikatkah yang berdiri
mengangkang di sungai itu" Makhluk sebesar dan
setinggi itu bagaimana mungkin aku tidak sempat
mendengar kehadirannya?" kata si pemuda. Tak
urung si pemuda terpaksa menahan tawa ketika
melihat ke arah Tabib Setan. Orang tua yang dike-
nalnya sebagai manusia pemberani yang tidak
mengenal rasa takut terhadap apa dan siapa pun
itu kini tertunduk lemas. Tak kuasa beranjak tak
mampu meranjak kemana pun.
"Kasihan kakek itu. Akibat rasa takut yang
demikian hebat membuat dia lupa menutupi ba-
rangnya sendiri. Barang jelek begitu dipertonton-
kan, apa raksasa itu bisa melihatnya. Kalau pun
bisa melihat apa iya dia jadi tertarik. Paling juga jika manusia raksasa itu
berminat cuma dijadikan
korek hidung atau korek kuping!"
"Kakek cebol kuntet, aku bertanya kau ma-
lah enak duduk di situ. Mengapa sungai itu tidak
cepat kau bersihkan. Apa kau ingin aku mema-
kanmu hidup-hidup?" kembali terdengar bentakan laksana merobek langit. Bentakan
itu membuat Tabib Setan terguncang jatuh bangun. Sang tabib
kemudian merangkak, setelah itu dia bangkit ber-
diri. Dengan suara keras dia menyahuti. "Ba-
gai...bagaimana aku membersihkan sungai ini.
Anuku bukankah sudah hanyut dibawa arus. La-
gipula aku tidak menyangka sungai ini adalah mi-
likmu!" jawab sang tabib gugup.
"Kakek kuntet cebol. Kau kira sungai ini mi-
lik siapa?" hardik sosok raksasa membuat Tabib Setan makin menderita. Suara
sosok besar yang
tingginya melebihi pucuk cemara itu laksana me-
robek gendang telinga. Si kakek bahkan merasa
kepalanya seperti mau meledak. Dengan sekujur
tubuh bersimbah keringat si kakek menjawab.
"Kukira...kukira sungai ini memang milik Tuhan.
"Kakek kuntet cebol pandai bicara. Semua
yang ada di bumi ini memang milik Tuhan. Kau
tak usah mengguruiku."
"Sialan. Aku bukan manusia cebol, atau
kuntet. Ukuranku sama dengan manusia normal
lainnya. Enak saja dia mengatakan aku orang ce-
bol." maki Tabib Setan dalam hati.
"Kakek cebol, tunggu apa lagi. Cepat ber-
sihkan air sungai ini, sebentar lagi di bawah sana adikku akan mati."
"Bagaimana mungkin... aku tak sanggup
membersihkannya. Lagipula ampasnya sudah ha-
nyut!" dengan memberanikan diri Tabib Setan
menjawab. "Ha ha ha. Kalau begitu celaka besar bagi-
mu. Kau telah melakukan kesalahan, kau telah
membuat dosa besar yang ternyata tak mampu
kau tebus. Sebagai hukumannya kau akan kure-
bus hidup-hidup untuk dijadikan campuran ra-
muan obat penyembuh penyakit ayah dan ibuku!"
Dalam keadaan tubuh jungkir balik akibat
pengaruh suara tawa manusia raksasa itu si kakek
merasa nyawanya laksana terbang mendengar ke-
putusan manusia raksasa. Dalam keadaan seperti
itu kesadarannya masih utuh sepenuhnya. Walau-
pun dirinya tidak berarti dibandingkan sosok ma-
nusia raksasa itu. Tapi dia tak mau menyerah be-
gitu saja. Dia akan berusaha meloloskan diri. Ka-
lau hal itu tak mungkin dilakukannya, dia akan
melawan sampai titik darah terakhir. Namun di
sudut lain dia akan berusaha bersikap lunak dan
membujuk sosok bertampang seram itu.
Tak lama kemudian Tabib Setan dongakkan
kepala memandang lurus ke wajah makhluk rak-
sasa. "Makhluk besar tinggi, siapa dirimu?" si kakek ajukan pertanyaan.
"Ha ha ha! Kakek cebol kau mau tahu siapa
diriku. Akulah Anggagana. Aku tinggal di lereng
bukit sebelah sana." kata manusia raksasa sambil menunjuk ke seberang sungai.
Si kakek memandang ke arah bukit yang di-
tunjuk sosok raksasa itu. Tabib Setan menelan lu-
dah. Dengan suara parau dia berkata. "Kau tak perlu merebusku hidup-hidup. Aku
seorang tabib, aku juru obat yang belum pernah gagal menyem-
buhkan berbagai jenis penyakit. Jika kedua orang
tuamu memang sakit. Bawalah aku kepadanya.
Mudah-mudahan aku bisa membantu menyem-
buhkannya." kata si kakek.
Makhluk raksasa yang mengaku bernama
Anggagana terdiam sejurus. Sepasang alisnya ber-
gerak turun naik, nafas mendengus. Dengus yang
hanya perlahan saja, namun bagi si kakek tidak
ubahnya angin topan yang disertai suara bergemu-
ruh hebat membuat orang tua ini jatuh bangun
tunggang langgang dan makin menderita saja.
3 Beberapa saat lamanya si kakek diam me-
nunggu. Dia berharap sosok manusia raksasa itu
mempercayai ucapannya. Pada saat itu di tempat
persembunyiannya Gento hampir tiada henti me-
nyeka wajahnya yang berkeringat. "Jika raksasa itu tak percaya dengan ucapan
tabib, aku tidak
dapat bayangkan bagaimana nasibnya nanti. Dia
akan direbus, tubuhnya bisa leleh seperti ingus.
Kasihan sekali dia, sudah tua harus mati sengsa-
ra! Bagaimana pun aku tak bisa berdiam diri ber-
pangku tangan, aku harus menolongnya. Tapi
mungkin aku harus memberi ingat agar tabib ber-
pakaian pantas." ujar Gento.
Pemuda itu baru saja hendak mengisiki Ta-
bib Setan yang masih terduduk menjelepok di atas
bebatuan yang terdapat di pinggir sungai. Akan te-
tapi pada waktu bersamaan secara tak terduga
tangan kanan manusia raksasa itu bergerak me-
nyambar pinggang Tabib Setan. Laksana kilat sang
tabib berusaha menghindar, sayang gerakan yang
dilakukannya kalah cepat dengan gerakan tangan
Anggagana. Kini tahu-tahu Tabib Setan telah be-
rada dalam cengkeraman jemari tangan Anggaga-
na. Terjepit diantara lima jemari tangan mak-
hluk raksasa itu Tabib Setan merasa dadanya lak-
sana mau meledak. Tak mau mengalami nasib ce-
laka di tangan orang, sang tabib siapkan pukulan
Dewa Awan Mengejar Iblis. Dua tangannya yang
bebas siap menghantam ketika tiba-tiba Anggaga-
na berkata. "Kakek cebol benarkah kau ini seorang tabib?" "Iya...aku, aku
seorang tabib."
Mendengar jawaban si kakek cengkeraman
pada bagian pinggang si kakek terasa mengendur.
Malah Anggagana meletakkan Tabib Setan yang
cuma sebesar lengan raksasa itu di telapak tan-
gannya. Di atas telapak tangan sosok besar ini
sang tabib berusaha berdiri. Tapi ketika telapak
tangan itu digoyang, si kakek jatuh bangun.
Agaknya Anggagana baru melihat keadaan
sang tabib yang cuma berpakaian dari bagian pu-
sar ke atas. "Ha ha ha. Kakek cebol sialan. Rupanya kau
tidak memakai celana dan kulihat jenggotmu lebat
atas bawah. Barang jelek kau pamerkan tabib, un-
tuk menggelitik telingaku saja tidak terasa. Ha ha ha!" kata Anggagana disertai
tawa terkekeh-kekeh.
"Hah, setan alas sialan. Bagaimana aku
sampai lupa kalau sejak tadi aku dalam keadaan
polos"!" maki si kakek. Kalang kabut Tabib Setan tutupi auratnya dengan tangan
kiri, sedangkan
tangan kanan sibuk mengobrak-abrik buntalan
pakaiannya. Dalam keadaan pontang-panting ka-
rena tangan sosok raksasa itu tak mau diam aki-
bat terlalu banyak mengumbar tawa si kakek cepat
kenakan celana yang diambilnya dalam buntalan
pakaian. "Sejak dulu aku memang sudah tahu ba-
rang tabib jelek, sudah burik ada lumutnya lagi.
Dan raksasa gosong itu sial empat puluh hari ga-
ra-gara melihat anunya Tabib Setan!" celetuk Pendekar Sakti 71 Gento Guyon yang
kini sudah bangkit berdiri.
Pada saat itu tawa Anggagana lenyap. Den-
gan mata berkedap-kedip dan mulut mengurai se-
nyum manusia raksasa setinggi pucuk pohon ber-
kata. "Jadi kau seorang tabib" Hemm...jika benar.
Jiwamu kurasa bisa kuampuni dengan syarat kau
harus bisa menyembuhkan ayah ibuku!"
"Aku akan mencobanya. Bawalah aku men-
jumpai kedua orang tuamu. Dengan begitu aku bi-
sa mengetahui penyakit dan tentukan obatnya."
ujar si kakek. "Baik. Sekarang juga aku akan memba-
wanya kesana." berkata begitu Anggagana ka-
tupkan lima jari tangannya, hingga Tabib Setan
kembali terjepit diantara celah jari manusia raksa-sa itu. "Huek...!" Tabib
Setan keluarkan suara seperti orang mau muntah. "Sial! Gara-gara bocah edan itu


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari ini nasibku jadi apes!"
Gento Guyon menyeringai lebar. Anggagana
yang tidak melihat kehadiran Gento di tempat itu
segera memutar tubuh, balikan badan lalu berke-
lebat menaiki bukit yang terdapat di seberang sun-
gai. "Tabib Setan, bagaimana pun kau sudah
kuanggap seperti orang tua sendiri. Aku tahu un-
tuk sementara mungkin kau aman. Tapi jika kau
sampai gagal menyembuhkan bapak dan ibu rak-
sasa itu dirimu bisa berubah menjadi setan bena-
ran. Mengingat segala budi baik yang telah kau be-
rikan kepadaku pasti aku akan menolongmu!" Setelah mengambil keputusan begitu
Gento keluar dari tempat persembunyiannya. Sejurus dia me-
mandang ke arah lenyapnya Anggagana. Gento sa-
dar, manusia raksasa itu memiliki ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah sangat sempurna. Ini se-
babnya kehadiran maupun kepergian sosok raksa-
sa itu tidak menimbulkan suara sebagaimana yang
semestinya. "Aku tidak tahu manusia raksasa itu orang
jahat atau baik. Untuk menolong Tabib Setan bu-
tuh waktu, butuh akal serta kesabaran. Sebaiknya
sekarang aku mulai mendaki bukit itu." kata si pemuda.
Gento kemudian melangkah menyeberangi
sungai dangkal berbatu dengan airnya yang jernih.
Baru sampai di tengah sungai langkah murid ka-
kek gendut Gentong Ketawa ini mendadak terta-
han saat pemuda ini mendengar kecipak air dan
suara merdu perempuan bersenandung.
Gento mempertegas pendengarannya.
"Jelas aku mendengar suara seorang pe-
rempuan di bawah sana. Mungkinkah perempuan,
bukan Anggagana" Siapa tahu dia sempat meli-
hatku tadi dan kini sedang memasang siasat un-
tuk menjebakku!" Beberapa saat Gento terombang ambing dalam kebimbangan.
Sementara suara senandung makin bertambah jelas. Terdorong oleh
rasa curiga Gento segera menyeberangi sungai. Se-
lanjutnya dia menyisir tepian sungai dan terus
bergerak ke bawah sambil mengendap-endap. Di
satu tempat sang pendekar hentikan langkah, dia
menyelinap dibalik bebatuan yang terdapat di tepi
sungai itu. Memandang ke tengah sungai seketika
sepasang mata pendekar 71 terbelalak. Tak per-
caya dengan penglihatannya sendiri Gento mengu-
sap matanya pulang balik. Penglihatannya me-
mang tidak salah, saat itu di tengah sungai yang
airnya setinggi dada manusia normal duduk ber-
simpuh sosok gadis berambut panjang sepinggang,
berkulit putih lembut namun memiliki tinggi ham-
pir sama dengan sosok raksasa yang menculik Ta-
bib Setan tadi. Dalam keadaan polos tanpa selem-
bar benang dan duduk di kedalaman air yang cu-
ma sedalam pinggulnya, sosok gadis ini tingginya
setengah dari tinggi pohon. Sampai sejauh itu
Gento sama sekali tak dapat melihat bagaimana
rupa gadis raksasa yang mandi dengan asyiknya
itu, karena gadis berkulit putih mulus itu tunduk-
kan wajah dan nampak sibuk membasahi rambut-
nya. "Bukan main. Gadis ini segalanya luar biasa. Jika aku sampai terjepit di
ketiaknya atau tergencet bagian yang lain, dadaku bisa remuk.
Apakah gadis ini adiknya raksasa berkulit gosong
tadi. Heh...aneh, apa sebenarnya yang telah terjadi di sini. Saat ini aku berada
di Wates, bagaimana
mungkin ada manusia sebesar dan setinggi ini?"
fikir Gento. Sekali lagi dia memandang ke tengah sun-
gai, kini gadis itu dongakkan wajahnya. Gento jadi tercengang ketika melihat
gadis itu ternyata memiliki wajah cantik luar biasa. Selagi sang pendekar dibuat
terkagum-kagum melihat kecantikan gadis
itu. Pada waktu bersamaan terdengar satu suara
berkata memuji.
"Cantik, mulus dan besar-besar. Peman-
dangan bagus, tidak dilewatkan dosa, dilewatkan
mubazir." Sama seperti Gento, gadis berbadan tinggi
besar yang berendam di tengah sungai juga melen-
gak kaget. Cepat sekali sambil menjerit jerit, ka-
lang kabut dia tutupi auratnya di bagian dada.
Sementara tangannya yang lain segera menyambar
pakaiannya yang berwarna kuning.
"Pengintip tengik sialan. Berani mati kau
datang ke tempat ini!" teriak si gadis sambil mengenakan pakaiannya. Setelah
pakaian menutupi
seluruh auratnya si gadis melompat ke tepi sungai.
Dengan tatapan liar dia memandang ke jurusan
suara tadi berasal. Saat itu gadis dengan tinggi
hampir sama dengan pucuk pohon itu melihat sa-
tu bayangan serba putih berkelebat. "Orang kuntet baju putih, pengintip keparat
hendak lari kemana
kau!" teriak si gadis. Sambil berkata tangannya laksana kilat menyambar bergerak
mencengkeram sosok berpakaian serba putih tadi. Sambaran tan-
gan disertai suara gemuruh angin berkesiuran
membuat sosok serba putih tadi terpelanting ja-
tuh, bergulingan sambil mengaduh dan umbar ta-
wa. Beberapa lompatan aneh dilakukannya mem-
buat sosok serba putih tadi lenyap dari pandangan
mata gadis raksasa.
Dengan badan setengah membungkuk dan
mulut mengumbar amarah gadis raksasa itu men-
gobrak-abrik batu besar yang dijadikan tempat
mengintai sosok serba putih tadi.
Belasan batu sebesar kerbau berpentalan di
udara membuat Gento jadi merinding.
"Celaka, jika aku tidak menyingkir dari
tempat ini, bisa jadi akhirnya dia mengetahui ke-
hadiranku." kata si pemuda. Tertarik dengan kehadiran sosok berpakaian serba
putih tadi, Gento
jadi melupakan Tabib Setan. Kemudian sambil
mengendap-endap Gento tinggalkan tempat per-
sembunyiannya. Seakan mengetahui ada orang lain di bela-
kangnya si gadis raksasa mendadak menoleh dan
memandang ke arah Gento. Sepasang mata si ga-
dis terbelalak lebar.
"Hah...siapa lagi kau bocah cebol gondrong
sialan! Kau ikut mengintip juga sebagaimana cebol
baju putih tadi?"
Merasa terjebak dengan gugup sang pende-
kar menjawab. "Bukan. Aku tidak mengintipmu,
yang kuintip justru orang berpakaian putih yang
mengintipmu tadi!"
"Bocah gondrong kurang ajar. Siapa percaya
ucapanmu. Lancang betul kau masih kecil berani
mengintip!" berkata begitu si gadis cengkeramkan jemarinya ke kepala Gento.
Melihat tangan raksasa
itu bergerak hendak menjebol ubun-ubunnya,
Gento jatuhkan diri, bergulingan menjauh kemu-
dian menyelinap di balik semak belukar dan le-
nyap dari balik jangkauan tangan gadis raksasa.
"Bocah cebol sial. Hendak lari kemana kau!"
teriak si gadis. Suara teriakan si gadis bergema ke seluruh penjuru bukit, kedua
kaki terus bergerak
menginjak-injak rumpun semak belukar yang ter-
dapat di sekitar tempat itu. Ternyata sampai selu-
ruh rerumpun semak belukar yang terdapat di
tempat itu sama rata dengan tanah si gondrong le-
nyap tidak meninggalkan bekas.
Gadis berbadan lima kali lebih besar dan
lima kali lebih tinggi dari gadis biasa ini akhirnya menjadi letih sendiri. Dia
tertegun, otaknya berpikir, hati berkata. "Si gondrong tadi, jika besar dan
tingginya seperti aku tentulah dia pemuda dewasa.
Walau tidak jelas, tapi aku sempat melihat wajah-
nya yang tampan. Aku belum pernah melihatnya
sebelum ini. Apakah benar kebetulan saja dia be-
rada disini, dia mengintai laki-laki cebol baju putih tadi sebagaimana yang
dikatakannya. Jangan-jangan dia menipuku. Dia mengintipku seperti
yang dilakukan cebol keparat tadi."
Membayangkan saat dirinya berada dalam
sungai tadi wajah gadis itu berubah merah jengah.
Dengan tangan terkepal dan perasaan men-
dongkol dia tinggalkan tempat itu. Sepanjang jalan menuju puncak bukit tak
hentinya dia menggeru-tu. "Sayang... ayah dan ibuku sedang sakit keras.
Jika tidak pemuda gondrong kerdil tadi pasti akan
kucari." katanya sambil gelengkan kepala.
4 Bangunan batu berbentuk kubah itu sepe-
nuhnya telah hancur porak poranda dan kini ting-
gal menjadi puing-puing berserakan. Sementara di
sekeliling reruntuhan gedung tulang belulang ber-
taburan tidak terurus. Agaknya beberapa tahun
sebelumnya telah terjadi peperangan besar di tem-
pat ini. Semua itu dibuktikan dengan banyaknya
senjata yang bergeletakan di sembarang tempat.
Siang itu terik matahari terasa begitu me-
nyengat, namun angin bertiup keras. Tak jauh di
belakang gedung yang runtuh di tepi sebuah telaga
seorang kakek tua berumur hampir sembilan pu-
luh tahun duduk diam di atas batu bundar. Orang
tua itu berpakaian serba hitam, sepasang alis ber-
warna merah, rambutnya yang panjang menjela
juga berwarna merah, bertampang seram berhi-
dung mancung berkuku panjang hitam dan runc-
ing. Beberapa saat si kakek diam seperti itu, ti-
dak bergerak tidak bersuara. Sedangkan sepasang
matanya yang merah angker menatap lurus ke
arah birunya air telaga. Setelah itu dia menghem-
buskan nafas panjang disertai gelengan kepala.
"Terlalu lama aku menunggu datangnya
sang maut. Ternyata penantian hanya sia-sia.
Mungkin Tuhan sengaja memanjangkan umurku
agar aku dapat melebur segala dosa yang pernah
kulakukan." kata si kakek seorang diri. Agaknya si kakek menjadi bosan berada di
tepi telaga itu lebih
lama, sekejap kemudian dia bangkit berdiri siap
tinggalkan telaga. Namun pada waktu bersamaan
dari empat penjuru arah terdengar suara bentakan
menggeledek yang disertai berkelebatnya empat
bayangan serba kuning ke arah si kakek. "Angin Pesut alias Kala Bayu alias Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Kami datang ingin menagih hutang
nyawa dua saudara kami juga hutang tangan kami
yang telah kau buat buntung dua tahun yang la-
lu...!" Mendengar suara teriakan seperti itu si kakek sempat tersentak kaget,
hanya sesaat saja. Di
lain kejab air mukanya telah berubah biasa kem-
bali. Dia kitarkan pandang matanya ke empat su-
dut penjuru tepian telaga. Sepasang alis matanya
yang merah mengernyit ketika melihat kehadiran
empat laki-laki berpakaian serba kuning berwajah
angker dan masing-masing buntung pada bagian
tangan sebelah kiri berdiri tegak tak jauh dari
tempat berada. "Empat Pedang Bayangan. Aku tidak akan
melupakan segala apa yang telah kulakukan di-
masa lalu. Kedatangan kalian kali ini kuanggap
sebagai pembawa amanat dan kehendakku. Terus-
terang, sejak dua tahun setelah kedatanganku ke
tempat kalian, aku telah bersumpah untuk tidak
lagi menggunakan senjata sebagai jalan satu-
satunya untuk menyelesaikan persoalan. Aku pun
bersumpah untuk menjauhi kehidupan dunia den-
gan mengasingkan diri di tempat ini.!" ujar si kakek sambil menatap ke empat
orang yang me- ngepung dirinya dengan pandangan datar.
Empat Pedang Bayangan sama keluarkan
suara mendengus. Kemudian laki-laki yang berba-
dan besar tinggi berkumis tebal yang jadi pimpi-
nan dari tiga temannya melompat maju. Dengan
mata mendelik sambil mencabut pedangnya dia
berteriak. "Angin Pesut, begitu banyak orang yang hendak menagih hutang nyawa
kepadamu. Dalam
waktu tidak lama lagi, tempat ini tentu akan di-
banjiri oleh orang-orang yang ingin membalaskan
segala sakit hati dan dendam kesumat kepadamu.
Karena itu kami tak ingin keduluan oleh mereka.
Hari ini kau harus menyerahkan kedua kaki, tan-
gan serta kepalamu kepada kami, setelah yang
kami minta kau serahkan, baru nanti kami minta
nyawamu sebagai pengganti nyawa kedua saudara
kami!" "Itupun belum cukup. Dia harus menyerahkan kitab Hitam Pembangkit Mayat
pada kita." ka-ta laki-laki berbadan pendek menimpali.
"Ha ha ha. Jangan lupa saudaraku semua.
Selain kitab dia mesti menyerahkan senjata sakti
Panah Matahari. Bukankah dengan senjatanya itu
dulu dia pernah membuat kegegeran di Kotagede
dengan membunuh dua ribu perajurit Senopati
Waduk Kedung dari Kalasan?" kata laki-laki berwajah pucat yang berdiri tegak di
samping si ge- muk pendek. Sedangkan yang berada di sebelah
kiri wajah pucat hanya diam mendengarkan. Cu-
ma matanya saja yang berkedip tak mau diam.
Walaupun laki-laki itu sangat jarang sekali
bicara. Diantara tiga saudaranya yang lain dialah
yang memiliki ilmu sulit dijajaki, jurus-jurus pe-
dangnya sangat dahsyat, cepat dan mematikan.
Tidak heran jika selain bergabung dengan tiga
saudaranya hingga mereka dijuluki Empat Pedang
Bayangan, si mata berkedip juga memiliki julukan


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain yaitu Pembunuh Tanpa Jejak.
"Hem, kalian benar. Dia memang harus me-
nyerahkan kitab dan panah saktinya pada kita."
ujar si tinggi besar. Laki-laki itu lalu berpaling kembali dan menatap si kakek
dengan seksama.
Beberapa saat kemudian dia berkata tegas. "Angin Pesut, kau sudah dengar apa
yang dikatakan oleh
saudaraku. Serahkan dulu apa yang kami minta.
Baru setelah itu serahkan tubuh dan jiwa busuk-
mu!" Si kakek tersenyum, sungguh senyum serta tatap matanya kini telah jauh
berbeda dengan dua
tahun yang lalu. Jika dulu senyum dan tatap ma-
tanya mengisyaratkan maut, maka kini senyum
maupun tatap mata si kakek begitu arif, penuh ra-
sa penyesalan dan sarat dengan berbagai gejolak
batin yang membuat si kakek nampak begitu
menderita. Tanpa dia sadari dari kedua mata yang ce-
kung terlihat ada air matanya bergulir, menuruni
pipi yang kempot.
Tanpa emosi dan penuh sabar, kemudian si
kakek menjawab. "Bukannya aku takut pada ka-
lian para pendekar gagah. Kalian ingin meminta
atau mencincang tubuhku pasti kuserahkan. Ka-
lian menghendaki nyawaku, pasti tidak akan kuto-
lak. Mohon dimaafkan, jika kalian meminta diluar
apa yang menjadi tanggunganku untuk meluna-
sinya, tentu aku tidak dapat mengabulkan. Pula
buat apa Panah Matahari bagi kalian, buat apa pu-
la Kitab Hitam Pembangkit Mayat. Dua benda yang
kalian sebutkan itu hanya akan menjadi malape-
taka bagi semua orang. Sebagai orang yang men-
gaku dari kalangan pendekar golongan putih, Em-
pat Pedang Bayangan tidak pantas memilikinya.
Karena begitu panah dan kitab ada di tangan ka-
lian. Seketika jalan hidup kalian akan berubah
menjadi sesat!" menerangkan si kakek bersung-
guh-sungguh. "Dia berdusta!" teriak si wajah pucat.
"Bangsat itu sengaja menipu kita." kata si gemuk pendek menimpali.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Kekua-
tan batin serta ketabahan yang kalian miliki untuk menahan rebawa jahat yang
terkandung dalam
kedua benda yang kalian minta lebih dahsyat dari
kekuatan batin kalian. Kuminta urungkan niat ja-
hat sifat serakah itu. Dan aku telah siap untuk
menebus dosa-dosanya."
"Iblis sombong jahanam, kau terlalu meren-
dahkan kami!" teriak si muka pucat.
"Bunuh...!" kata si gemuk tinggi.
Begitu mendapat aba-aba dari pimpinan
mereka, si gemuk pendek dan si muka pucat lang-
sung meloloskan pedangnya. Dengan dibarengi te-
riakan menggeledek ketiga laki-laki itu menyerbu
ke depan. Pedang di tangan mereka berkelebat
menyambar ke sekujur tubuh si kakek, membabat,
menusuk dan membacok ke berbagai arah. Sam-
baran pedang menimbulkan suara gemuruh hebat,
cahaya putih bertabur di udara. Si kakek sama se-
kali tidak beranjak dari tempatnya.
Tidak pelak lagi tubuh si kakek pun menja-
di sasaran senjata lawan.
Crak! Craak! Cring!
Terdengar suara berdentring hebat ketika
mata pedang membentur tubuh Angin Pesut alias
Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Si kakek ja-
tuh terjengkang akibat hantaman yang sangat ke-
ras itu. Tiga sosok tubuh terdorong mundur. Keti-
ganya keluarkan seruan tertahan dan sama me-
mandang ke arah si kakek dengan mulut terngan-
ga dan mata terbelalak seolah tak percaya. Mereka
lebih terkejut lagi ketika melihat mata pedang yang menghantam tubuh Angin Pesut
rompal seolah membentur besi baja.
Di depannya sana si kakek sudah bangkit
berdiri. Tubuhnya sama sekali tidak cedera. Se-
mua ini tentu tidak luput dari perhatian saudara
mereka yang pendiam.
Dengan mata yang senantiasa berkedip tak
mau diam orang itu mencabut senjatanya.
"Saudaraku semuanya. Kalian tidak mung-
kin sanggup membunuhnya dengan cara seperti
tadi. Dia memiliki ilmu kebal. Aku bergabung den-
gan kalian. Tusukkan ujung pedang kalian ke ta-
nah. Gabungkan seluruh kekuatan dan ser-
buuu...!" teriak si mata berkedip.
Empat pedang ditusukkan lalu digerakkan
di atas tanah. Sambil berkelebat empat pedang
yang diseret menyentuh tanah itu serentak meng-
hantam kaki. Cahaya putih berkiblat dari empat
penjuru disertai deru angin dingin menusuk.
Melihat empat pedang mengarah ke bagian
kaki kiri, si kakek gerakkan kedua kakinya hingga
tubuhnya melesat tinggi di udara. Empat Pedang
Bayangan tidak membiarkan lawannya lolos, me-
reka berlompatan di udara. Sebagaimana julukan
mereka, empat pedang kini bagaikan kilat bertabur
menghantam sekujur tubuh si kakek. Iblis Tujuh
Rupa Delapan Bayangan yang sama sekali me-
mang tidak bermaksud melakukan perlawanan
atau menghindar dari setiap serangan kini terku-
rung oleh kilatan sinar putih yang bersumber dari
kecepatan gerak senjata lawannya. Semakin lama
Empat Pedang Bayangan semakin memperkecil
ruang gerak si kakek.
"Bunuh sekarang...!" teriak si Mata Berkedip memberi aba-aba.
Singg! Cras! Craas! Ces! Ces! Empat mata pedang menyambar sekujur
tubuh si kakek, tak ayal lagi tubuh orang tua itu
terbabat putus, terkutung-kutung menjadi bebera-
pa bagian. Darah bermuncratan di udara. Poton-
gan tubuh orang tua itu berjatuhan di atas tanah
di pinggir telaga.
Empat Pedang Bayangan serentak bergerak
turun dan sama jejakkan kakinya di tanah dalam
waktu bersamaan. Melihat tubuh si kakek yang te-
lah tercerai-berai si tinggi besar berseru memuji.
"Adik ke Empat benar katamu. Ternyata kelema-
han ilmunya bersumber pada tanah. Terbukti sete-
lah senjata kita tusukkan ke tanah dia sama sekali tidak dapat menyelamatkan
diri. Ha ha ha!"
"Dunia persilatan pasti akan gempar. Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan yang selama ini
menjadi momok bagi semua pihak dan konon keb-
al terhadap semua senjata ternyata dapat kita bu-
nuh secara mudah!" kata si gemuk pendek.
"Dendam berkarat yang menggerogoti pera-
saan kita selama ini sekarang benar-benar terbalas impas. Sekarang setelah dia
mampus kita hanya
tinggal mencari Kitab Hitam Pembangkit Mayat
dan Panah Sakti Matahari!" ujar si muka pucat pu-la. Si tinggi besar kini
memandang ke tengah puing reruntuhan bangunan batu tak jauh di sebelah
kanannya. Dia tidak tahu di mana tempat tinggal
Angin Pesut atau Kala Bayu ini setelah tempat ke-
diaman utamanya konon dihancurkan oleh bela-
san tokoh dunia persilatan golongan hitam dan go-
longan putih beberapa belas tahun yang lalu.
Selagi si tinggi besar sedang mengira-ngira
tentang keberadaan kitab dan panah yang mereka
inginkan disembunyikan. Secara tak terduga men-
dadak angin sedahsyat topan berhembus mener-
bangkan pasir dan debu hingga menutupi peman-
dangan Empat Pedang Bayangan. Ke empat laki-
laki itu terkesiap dan masing-masing terpaksa
alirkan tenaga dalam ke bagian kaki agar mereka
tidak tersapu mental oleh hembusan angin aneh
tersebut. Herannya hembusan angin itu hanya berpu-
tar-putar di sekitar tubuh si kakek yang terku-
tung-kutung, secara tak terduga pula masing-
masing penggalan tubuh itu satu sama lain saling
bergerak mendekati ke arah kepala Iblis Tujuh
Rupa Delapan Bayangan yang tergeletak di tepi te-
laga. Dalam gelapnya suasana akibat hembusan
angin yang menerbangkan debu, ke empat laki-laki
yang sibuk mempertahankan diri dari amukan an-
gin topan, tentu saja mereka tak dapat melihat ke-
jadian aneh, ganjil dan sulit dipercaya itu.
Tak berselang lama kemudian tubuh yang
telah tercerai berai itu satu sama lain bertaut
kembali, menyatu secara utuh tanpa kekurangan
sesuatu apapun.
Sosok kakek yang kini telah kembali seperti
sediakala bangkit berdiri. Begitu Angin Pesut
bangkit badai topan yang muncul akibat kesaktian
si kakek berangsur lenyap sampai pada akhirnya
hilang sama sekali.
Kegelapan yang menyelimuti kawasan di se-
kitar telaga lenyap, kembali sebagaimana semula.
"Empat Pedang Bayangan ternyata bukan
nama kosong. Kecepatan dan kecerdikan yang di-
miliki Si Kedip Mata memang patut kupuji. Tapi
ternyata walaupun kalian telah sanggup mencerai
beraikan tubuhku sayang tidak sanggup membuat
aku binasa!" ujar si kakek dingin.
Ke empat laki-laki berpakaian serba kuning
begitu mendengar suara si kakek sama tujukan
perhatian ke arah tepi telaga. Mereka surut satu
langkah begitu melihat Angin Pesut berdiri tegak di situ tanpa kekurangan suatu
apapun. Empat Pedang Bayangan saling pandang satu sama lain. Si
tinggi besar saking tak percaya sempat mengusap
matanya beberapa kali.
"Satu keajaiban yang mustahil dapat terjadi.
Bagaimana mungkin tubuhnya yang telah terku-
tung-kutung itu kini dapat menyatu kembali"!" desis laki-laki itu.
"Dia bukan manusia. Mungkin dia iblis yang
menyamar sebagai Angin Pesut!" kata si muka pucat menimpali.
Selagi Empat Pedang Bayangan bicara se-
samanya si kakek pandangi mereka dengan tata-
pan sedih penuh rasa iba.
5 Beberapa saat berlalu suasana di tepi telaga
yang terletak di belakang bangunan kubah yang
runtuh dicekam kesunyian. Angin Pesut agaknya
tidak mau membuang waktu lebih lama karena
kemudian dia berkata. "Sudah kukatakan sejak
dua tahun yang lalu, kalian yang dulu terdiri dari Enam Pedang Bayangan tak
sanggup membunuhku dengan cara seperti tadi. Dua saudara kalian
telah binasa. Sejak saat itu kematian menjadi da-
sar pertimbanganku. Setelah lama aku merenung
tentang asal usul kehidupan manusia. Aku jadi
menyadari kalau setiap orang tidak punya hak wa-
lau seujung rambut sekalipun untuk menghilang-
kan nyawa orang lain. Lalu... akupun jadi mengerti sebelumnya hidupku terlalu
menuruti hawa nafsu
mengikuti kehendak amarah. Dosaku pada manu-
sia selangit tembus, kesalahanku pada Tuhan se-
banyak tujuh lapis bumi. Empat Pedang Bayan-
gan, kukatakan terus-terang dengan ilmu sekali-
gus jurus pedang yang kalian miliki saat ini kuja-
min kalian berempat tak bisa membunuhku. Pu-
langlah, biarkan orang lain yang membunuhku!"
Empat Pedang Bayangan yang tadi sempat
menjadi ciut melihat lawan dapat hidup kembali
mendengar ucapan Angin Pesut kini merasa terhi-
na. Ucapan itu bagi mereka tidak ubahnya bagai
suatu tamparan yang membuat telinga jadi merah
dan otak laksana mendidih.
Kini si tinggi besar melangkah maju dua
tindak ke depan. Mewakili tiga saudaranya dengan
lantang dia menjawab. "Angin Pesut...kami bukan manusia berkepandaian rendah.
Ilmu kesaktian yang kau miliki boleh tinggi, tapi jangan kau ang-
gap aku dan tiga saudaraku takut padamu!"
Si kakek gelengkan kepala.
Belum lagi dia sempat berucap si baju kun-
ing muka pucat berseru. "Kami juga tak mungkin tinggalkan tempat ini atau
kembali ke Tengger sebelum dapat membunuhmu!"
"Muka pucat! Kau menghendaki nyawaku,
kau inginkan tubuhku boleh saja. Majulah kemari,
aku akan terima lima belas tebasan senjatamu.
Aku tidak akan membalas. Kedua tanganku akan
kurantai. Tapi ingat, jangan salahkan aku jika ke-
mudian terjadi sesuatu yang tidak diharapkan pa-
da dirimu. Aku orang yang memiliki kesaktian di
atas orang-orang sakti. Di luar kehendakku sendiri sewaktu-waktu ilmu itu dapat
bekerja dengan sendirinya. Hanya jika kau tak dapat kuperingatkan,
ikutilah apa yang menjadi kemauanmu. Sekarang
aku sudah siap!" ucap si kakek, perlahan penuh ketenangan.
Kemudian Angin Pesut merogoh saku celana
hitamnya. Dari balik celana dia mengeluarkan
seuntai rantai baja berwarna hitam. Rantai itu lalu dililitkannya di kedua
pergelangan tangan, sedangkan kedua ujung rantai ditautkan satu sama
lain. Dua tangan yang terbelenggu rantai diacung-
kan ke atas kepala hingga bagian tubuh Angin Pe-
sut tidak terlindung sama sekali.
Melihat hal ini, terkecuali Si Mata Kedip, ti-
ga dari Empat Pedang Bayangan dengan senjata


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhuyung berkelebat ke arah si kakek. Tiga
bayangan kuning mengepung si kakek, pedang di
tangan mereka kini menyambar ganas menghan-
tam dada dan perut juga bagian leher Angin Pesut.
Crang! Craang! Craang!
Bukk! Buk! Bacokan, tusukan maupun hantaman keti-
ga bersaudara itu membuat tubuh si kakek ter-
lempar. Tiga pedang yang membentur tubuh Angin
Pesut berpijar memercikkan bunga api. Si tinggi
besar, si gemuk pendek dan muka pucat kelua-
rkan seruan kaget. Pedang di tangan nyaris terle-
pas, sedangkan tangan yang memegang pedang
langsung melepuh, kaki mereka yang diperguna-
kan untuk menendang juga menggembung beng-
kak. Walaupun rasa kejut sempat menyelimuti pe-
rasaan tiga bersaudara ini, namun demi melihat si
kakek dalam keadaan terkapar. Serentak mereka
kehilangan takut, lalu kembali menyerbu sambil
hantamkan pedangnya ke tubuh Angin Pesut.
Crang! Cring! Crak! Crok! Selagi tubuh si kakek dihujani serangan
senjata begitu rupa, sementara orang tua itu sen-
diri tidak melakukan perlawanan sedikitpun. Pada
saat bersamaan mendadak sontak terjadi peruba-
han pada sekujur tubuhnya. Kulitnya yang semula
berwarna putih dengan cepat kini berubah merah
membara memancarkan hawa panas luar biasa.
Rantai baja yang membelenggu kedua tangannya
kini meleleh. Setelah itu secara tak terduga dari
sekujur tubuh si kakek menyembur hawa panas
yang kemudian menghantam ke seluruh penjuru
arah. Hawa panas berwarna merah yang disertai
hembusan angin itu memang sempat dilihat oleh
para penyerang si kakek. Karena itu demi menye-
lamatkan diri mereka memutar senjata memben-
tuk perisai diri. Pertahanan yang mereka lakukan
tidak membawa arti sama sekali, karena ketiganya
langsung terpental sejauh belasan tombak di uda-
ra, lalu jatuh bergedebukan dengan tubuh dipe-
nuhi lubang mengucurkan darah.
Melihat kematian tiga saudaranya Si Mata
Kedip untuk sesaat lamanya hanya dapat belalak-
kan mata seolah tak percaya dengan apa yang ter-
jadi. Namun ketika kesadarannya pulih, meledak-
lah amarah laki-laki itu.
"Saudara-saudaraku, huuuu...!" jerit Si Ma-ta Kedip menangis mengerung.
"Mata Kedip, cepat kau berlalu dari ha-
dapanku. Aku sudah hampir tidak dapat lagi men-
gendalikan ilmu Ratap Langit" Aku sama sekali ti-
dak bermaksud membunuh tiga saudaramu. Tapi
ilmu ini bekerja dengan sendirinya!" ujar Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan yang
saat itu sudah berdiri dan nampak mati-matian
berusaha mengendalikan ilmu anehnya yang san-
gat langka itu.
Buuum! Buum! Di dalam telaga terjadi ledakan berturut-
turut saat si kakek berusaha mengendalikan gejo-
lak ilmu saktinya agar tidak mengenai Si Mata Ke-
dip. Sebaliknya lawan sudah tidak dapat lagi
menggunakan akal sehat lagi saat melihat tiga
saudaranya tewas menggenaskan.
Dengan wajah tegang dan dada laksana ter-
bakar Si Mata Kedip berteriak.
"Bagaimana aku bisa pergi begitu saja sete-
lah kulihat kematian menggenaskan tiga saudara-
ku. Aku tidak perduli dengan segala ilmu setan-
mu" Hiaa...!" Laksana kilat Si Mata Kedip orang yang paling berbahaya
dibandingkan tiga Pedang
Bayangan nampak menyerbu ke depan.
Melihat hal itu Angin Pesut jadi gugup. Di-
apun jatuhkan diri hingga sama rata dengan tanah
cuma untuk satu tujuan. Agar ilmunya yang san-
gat liar, ganas dan dapat bekerja dengan sendi-
rinya itu tidak mengenai Si Mata Kedip. Tak pelak
lagi pedang ditangan laki-laki itu menghantam
punggung si kakek. Karena pedang di tangan Si
Mata Kedip sebelumnya telah ditusukkan ke ta-
nah. Tak pelak lagi kini punggung yang terkena
hantaman pedang jadi terluka. Namun dengan be-
kerjanya ilmu Ratap Langit di tubuh si kakek
membuat luka yang menganga itu dengan cepat
bertaut kembali. Malah kini secara tak terduga da-
ri sekujur tubuh Angin Pesut menderu hawa panas
mengerikan yang dengan sangat cepat sekali mele-
sat menghantam Si Mata Kedip. Dalam keadaan
seperti itu Angin Pesut yang tidak ingin ada korban jatuh lagi sempat berteriak
memberi peringatan.
"Mata Kedip, demi Gusti Allah aku nyatakan diriku bertobat. Aku tidak ingin ada
nyawa melayang sia-sia." Peringatan si kakek ternyata tidak dihiraukan sama
sekali oleh Si Mata Kedip. Sebaliknya
disertai suara teriakan menggerung dia kembali
menyerbu ke arah si kakek. Tak pelak lagi samba-
ran hawa panas yang bersumber dari ilmu Ratap
Langit menghantam tubuh laki-laki itu. Si Mata
Kedip menjerit kesakitan. Sosoknya laksana daun
ditiup angin kembali terlempar, lalu jatuh terhem-
pas dengan sekujur tubuh dipenuhi lubang men-
gucurkan darah. Si Mata Kedip berkelojotan seje-
nak, namun kemudian sosoknya terdiam. Dia te-
was dengan mata mendelik penasaran.
Melihat kematian musuh-musuhnya, kakek
yang memiliki segala kesaktian ini bukannya me-
rasa senang, sebaliknya malah menangis mengge-
rung seperti anak kecil.
"Habis...habis sudah usahaku. Mengapa
disaat aku menginginkan agar jangan ada jiwa
yang terbuang percuma, justru malah banyak
nyawa yang melayang ditanganku. Bagaimana ca-
ranya aku memusnahkan seluruh ilmu yang kumi-
liki agar orang-orang yang pernah kusakiti dapat
membunuhku dengan cara yang mudah. Tuhan.
Gusti Allah, berilah hambamu yang hina ini suatu
jalan, beri aku petunjuk. Aku muak melihat darah,
aku bosan melihat kematian. Aku ingin bertobat,
aku ingin membersihkan diri dari segala dosa agar
jiwa ini menjadi tenang. Tuhan cabutlah nyawaku
karena kehadiranku hanya menjadi malapetaka
bagi orang lain. Huk huk huk!" rintih si kakek disertai tangis tersedu-sedu.
Entah berapa lama si kakek menangis sam-
bil meratap. Tapi tak berselang lama dia mengusap
air matanya. Orang tua ini sejenak memandang ke
arah mayat-mayat yang bergelimpangan. Semakin
tercabik-cabik saja perasaannya melihat empat
mayat yang mengenaskan itu.
"Ilmu celaka...ilmu sialan...!" pekik si kakek sambil menghantam dadanya sendiri
pulang balik. Hantaman itu bukan hantaman biasa, tapi men-
gandung tenaga dalam penuh. Jangankan dada,
batu karang sekalipun pasti hancur menjadi debu
terkena hantaman si kakek. Tapi dengan hanta-
man sehebat itu dan dilakukan secara bertubi-tubi
pula, dada si kakek sama sekali tidak remuk, apa-
lagi hancur. Sampai Angin Pesut jadi letih dan
dengan perasaan putus asa dia menghentikan ke-
gilaannya sendiri.
"Hidup bagiku tidak akan menjadi lebih
baik. Tidak ada orang yang mampu menghilang-
kan nyawaku, sekarang aku punya cara bagaima-
na bisa mati secepat yang kuharapkan!"
Setelah menemukan akal yang dianggapnya
terbaik, tanpa menunggu lebih lama Angin Pesut
alias Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan segera
tinggalkan tempat itu.
6 Hujan gerimis masih belum menunjukkan
tanda-tanda akan mereda. Luapan Kaliurang
menggenangi dataran rendah yang terdapat di ka-
nan kiri sungai. Belasan kubur yang berada di sisi sebelah kanan sungai juga
digenangi air, hingga
yang terlihat hanya batu nisannya saja. Tak jauh
dari belasan makam yang terdapat di pinggir sun-
gai terdapat sebuah kuil yang telah lama tak ter-
pakai ada sesosok tubuh berkulit serba hijau tidur menelentang di atas lantai.
Sosok bertelanjang da-da itu nampaknya tidak menghiraukan keadaan
disekelilingnya. Dia tidur terlalu nyenyak, padahal udara dikawasan kali terasa
dingin menggigil.
Yang aneh sosok yang hanya mengenakan celana
hitam komprang ini tubuhnya malah bersimbah
keringat. Entah sudah berapa lama sosok kakek ber-
kulit hijau tidur mendengkur seperti itu. Yang jelas di tengah hujan gerimis
dari sebelah barat kuil tua satu bayangan berkelebat diantara kerapatan
pepohonan menuju kuil dimana kakek berkulit hijau
terlelap dalam tidurnya. Hanya dalam waktu seke-
jap sosok bayangan hitam tadi telah jejakkan ka-
kinya di bagian emperan kuil.
Ternyata dia adalah seorang kakek berba-
dan kurus ceking berbaju dan bercelana hitam
panjang melewati ujung jemari tangan juga jemari
kakinya. Yang terasa aneh dalam penampilan ka-
kek ini, kedua tangannya selalu terlipat di depan
dada, sedangkan kepalanya nampak menggoleng
tak mau diam dari kiri ke kanan. Di dunia persila-
tan kakek ceking yang satu ini dikenal dengan ju-
lukan Tapa Gedek, sedangkan nama yang sesung-
guhnya atau asal-usul si kakek jarang sekali orang yang tahu.
Sejenak lamanya si kakek berdiri tegak di
tempatnya. Kedua mata menatap ke dalam ruan-
gan kuil. Si kakek jadi terkejut ketika melihat sesosok tubuh tidur di tengah
ruangan kuil itu.
"Datuk Lemah Hijau," desisnya. "Apakah kakek beracun yang satu ini juga diundang
oleh Kertadilaga" Enak saja dia tidur di situ, apa tidak takut dikutuk dewa" Hemm,
agaknya urusan bakal jadi runyam. Biar dia tidur berpuas-puas di situ.
Untuk menunggu kedatangan sahabat yang lain
biarlah aku duduk di emperan kuil tua ini. Aku
manusia waras, masih tahu aturan. Biar aku tak
pernah sembahyang, tapi Dewa pasti tahu dalam
hatiku aku tetap menghormat padanya. Tidak se-
perti Datuk itu, dia terlalu ceroboh." Kemudian si kakek sambil geleng-gelengkan
kepala melangkah
menuju emperan samping kuil, lalu duduk di situ.
Belum begitu lama si kakek duduk, dua bayangan
datang bersamaan dari arah yang berlawanan. Si
kakek memandang ke arah orang yang datang. Dia
menarik nafas pendek begitu melihat seorang laki-
laki bersenjata pedang berpakaian biru jejakkan
kaki di halaman kuil. Sedangkan tak jauh di sebe-
lahnya tegak pula seorang kakek bermata lebar,
bertelinga panjang berwajah kusam. Kakek yang
satu ini berumur sekitar enam puluh tahun, wajah
kusam seperti orang bangun tidur berpakaian me-
rah. Kedua orang yang baru datang saling pan-
dang sejenak, setelah itu mereka sama menjura.
"Kebetulan sekali kita sedang bersamaan.
Mungkin inilah yang dikatakan nasib peruntungan
yang baik!" berkata si kakek.
"Terima salam hormatku, Ki Menoreh. Teri-
ma asih atas kesediaanmu hadir memenuhi un-
danganku." kata laki-laki berbaju biru yang bukan lain adalah Kertadilaga.
"Ha ha ha. Dengan sahabat sendiri tak perlu
memakai segala peradatan dan sikap basa-basi.
Aku tentu saja tidak melewatkan kesempatan ini
karena kita memiliki kesempatan yang sama." ujar Ki Menoreh.
Keduanya saling mendekat, lalu mereka
pun berangkulan. Selagi kedua orang ini mele-
paskan rangkulannya dan kemudian memasuki
kuil mereka dikejutkan oleh terdengarnya suara
celetukan seseorang.
"Mata belok, telinga panjang tampang ma-
cam orang belum mandi baru datang langsung di-
beri penghormatan segala. Aku yang sudah meng-
gigil kedinginan sejak tadi dilupakan begitu saja.
Rupanya tua bangka sepertiku sudah tidak dipan-
dang muka lagi. Biarlah aku pergi saja, huk...!"
Ki Menoreh dan Kertadilaga tersentak kaget,
serentak dia memandang ke arah datangnya sua-
ra. "Astaga...! Bagaimana mungkin kita tak me-
lihat si ceking geleng kepala ini"!" seru Ki Menoreh.
"Ah, kakek Tapa Gedek. Maafkan aku kare-
na tidak melihat kehadiranmu disini. Apa kabarmu
orang tua?" tanya Kertadilaga sambil menjura
hormat. "Kabarku seperti yang kau lihat, sehat tak
kekurangan sesuatu apa terkecuali mata sedikit
lamur dan tetap belum beristri." sahut Tapa Gedek sambil bersunggut-sungut dan
kepala digolang goleng. "Tua bangka macammu perempuan mana
yang mau. Kepala saja tak pernah lempang bagai-
mana bisa punya istri." ujar Ki Menoreh disertai tawa mengekeh. "Tapa Gedek,
mari bergabung dengan kami. Sekejap lagi pertemuan akan dilaku-
kan!" "Hem, kau nampaknya yang paling tidak sabar. Aku punya firasat kau orang
pertama yang bakal menemui ajal di tangan Iblis Tujuh Rupa De-
lapan Bayangan! Ha ha ha."
Terkejutlah Kartadilaga dan Ki Menoreh


Gento Guyon 22 Iblis Penebus Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar ucapan Tapa Gedek. Mereka tahu bi-
asanya apa yang dikatakan oleh Tapa Gedek selalu
menjadi kenyataan karena orang tua yang punya
kebiasaan buruk golang-golengkan kepala ini me-
miliki sejenis ilmu yang dapat memandang jauh ke
depan. Dan semua itu telah dibuktikan dalam be-
berapa kali kejadian besar yang melanda tanah
Jawa. "Tapa Gedek, tua bangka ceking keparat.
Kuharap kau pandai menjaga mulutmu!" hardik Ki Menoreh gusar.
"Kakek Tapa Gedek, jangan mencari keribu-
tan di sini. Kalian semua kuundang untuk mencari
kata sepakat, bukan menjadikan pertemuan kita
menjadi tempat perdebatan dan timbulnya malape-
taka." ujar Kertadilaga merasa tidak enak hati.
Tenang saja dan masih gelengkan kepala
Tapa Gedek menyahut. "Siapa yang mau ribut
dengan kambing dekil itu. Aku cuma sekedar bica-
ra, kalau nanti menjadi suatu kenyataan itu me-
rupakan persoalan takdir semata."
"Tapi ucapanmu bisa membuat semua
orang yang hadir disini jadi kehilangan nyali!"
"Ki Menoreh, yang kehilangan nyali itu sia-
pa" Kau" Kalau kau tak punya nyali pulanglah ke
kampungmu di puncak Menoreh. Aku sendiri biar
tubuhku kecil begini namun nyali tetap besar."
"Kurang ajar! Tua bangka... kupecahkan ba-
tok kepalamu!" teriak Ki Menoreh. Berkata begitu si kakek siap melompat dan
memukul kepala Tapa
Gedek. Tapi belum sempat si kakek bergerak tan-
gannya sudah dicekal oleh Kertadilaga. "Harap dapat menahan diri. Tidak ada
gunanya bersitegang
dengan teman sendiri Ki Menoreh." ujar laki-laki itu. "Kertadilaga, biarkan
saja. Lepaskan dia!
Dia tak mungkin berani padaku. Berani tua bang-
ka itu mendekat kemari, kubetot tanggal daun te-
linganya yang panjang itu. Ha ha ha!"
"Ceking keparat, kubunuh kau... kubu-
nuh...!" teriak Ki Menoreh.
"Yang hendak kau bunuh apaku" Kentutku
atau bayanganku. Sudahlah lebih baik kalian ma-
suk ke dalam. Datuk Lemah Hijau sampai ngiler
menunggu kehadiran kalian."
Ki Menoreh dan Kertadilaga saling berpan-
dangan. "Ah, orang itu telah datang rupanya!" desah Kertadilaga. Laki-laki itu kemudian
berpaling pada Tapa Gedek. "Kek, apakah kau tidak ikut masuk sekarang?" tanya
Kertadilaga. "Ha ha ha. Masih enak disini. Duduk tenang
sambil menunggu bidadari lewat, biarpun cuma
bidadari kesasar." kata Tapa Gedek. Kakek itu kemudian kembali duduk menjelepok
di tempatnya semula. "Tua bangka ceking, urusan diantara kita
belum berakhir. Seusai pertemuan nanti aku akan
menjajal kehebatanmu!" dengus Ki Menoreh, lalu balikkan badan dan menyusul
Kertadilaga yang
sudah terlebih dulu masuk ke dalam ruangan kuil.
Enak saja sambil gelengkan kepala Tapa
Gedek menyahuti ucapan orang. "Yang hebat itu siapa, orang kalau sudah mau
mampus memang selalu bicara yang aneh-aneh."
"Kuuk! Kuuung! Kuuung!"
"Heh...siapa tadi yang menyahuti ucapan-
ku?" celetuk si kakek tersentak kaget.
"Aku mendengar seperti suara kodok, tapi
mengapa suaranya besar amat! Jangan-jangan
dia...!" fikir si kakek lalu matanya mencari-cari ke arah datangnya suara. Suara
tadi ternyata berasal
dari arah belasan makam yang digenangi air.
Beberapa saat dia tercenung, memandang
ke arah makam tengkuknya mendadak terasa din-
gin seperti es. Tapa Gedek lebih tercekat lagi ketika melihat seseorang berada
di tengah tanah makam.
Sosok berbadan pendek berperut menggelembung
itu dalam keadaan mengambang dengan posisi
menelungkup. Dalam suasana yang sedingin itu
dia cuma mengenakan penutup aurat ala kadar-
nya. "Mungkinkah dia" Sejak kapan dia berada di situ" Apakah sudah mampus atau
sengaja ber-main di atas air." batin si kakek.
"Dewa kodok, engkaukah itu?" teriak Tapa Gedek yang menyangka sosok yang
mengambang di atas air di tengah makam adalah sahabatnya
sendiri. Sebagaimana yang dia ketahui sahabatnya
Dewa Kodok memiliki kemampuan mengambang di
atas air dengan cara menggelembungkan perutnya
Pengelana Rimba Persilatan 3 Panji Wulung Karya Opa Manusia Srigala 9
^