Pencarian

Semerah Darah 2

Gento Guyon 28 Semerah Darah Bagian 2


Hawa panas membersit dari tangan pemuda itu. Tetapi apa yang menjadi kenyataan
kemudian membuat Gento lebih kaget lagi. Serangan
yang dilancarkannya seolah amblas begitu saja,
sedang dari arah depan hawa dingin menyerangnya dengan kekuatan berlipat ganda.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang dimiliki oleh
iblis satu ini?" rutuk Gento. Pemuda itu segera
berkelit ke samping. Sementara di depan sana lawan sudah lakukan lompatan sambil
melepaskan pukulan ke beberapa bagian di tubuh pemuda
itu. Gento yang merasa tubuhnya seolah menjadi beku akibat serangan pertama segera
menangkis sambil menghindar. Sayang salah satu
pukulan lawan masih sempat mendarat di tubuhnya.
Buuk! Buuk! Dua pukulan keras berturut-turut menghantam dada Gento membuat pemuda ini jatuh
terlentang di halaman yang digenangi air. Melihat
kenyataan ini Taktu pun tidak tinggal diam. Tubuhnya berkelebat, melesat
setengah tombak di
udara. Lalu dengan cepat kakinya menghantam
pinggang si kakek.
Dess! Iblis Ular Sembilan jatuh ke samping. Dia
menggeram begitu melihat siapa yang telah menyerangnya.
"Gadis berkepala botak, rupanya kau ingin
mampus mendahului temanmu" Baiklah, biar salah satu mahluk piaraanku ini
membantumu berangkat ke akherat!" Si kakek bangkit berdiri.
Kemudian dengan gerakan cepat melemparkan
salah satu ularnya ke arah Taktu.
Di udara terlihat benda hitam panjang berbelang kuning melesat cepat ke arah
Taktu. Gadis ini tanpa membuang waktu langsung berkelit. Tapi begitu ular itu tidak mengenai
sasarannya, tiba-tiba saja mahluk ini berbalik dan mengejar
Taktu. Taktu tercekat. Kalang kabut gadis ini selamatkan diri dengan melesat ke
atas. Serangan ular lewat setengah jengkal di bawah kakinya. Seperti tadi, begitu sasarannya
luput maka ular itu
berbalik. Semula Taktu sudah melihat bahwa ular
itu sepertinya tidak mempan pukulan. Itu sebabnya tanpa fikir panjang lagi ia
segera mencabut
pedangnya. Sambil berjumpalitan di udara. Taktu
babatkan pedangnya ke arah ular yang melesat ke
arahnya. Sinar putih berkiblat disertai deru angin
kencang. Tidak dapat dihindari lagi mata pedang
kemudian menghantam mahluk melata tersebut.
Tringg! Terdengar suara berdentring. Taktu terkejut. Ular itu sama sekali tidak terluka.
Sementara gagal membunuh lawan, ular itu kemudian menjalar merambati kaki si kakek, lalu
melingkar bergelung di kaki itu bagai seorang bocah yang melepaskan lelah.
Walau kecewa ularnya tidak dapat membunuh Taktu, namun Iblis Ular Sembilan
nampaknya tidak begitu perduli, sebab baginya yang
terpenting saat itu adalah membunuh atau menangkap si gondrong yang dia anggap
sangat berbahaya bahkan memiliki ilmu yang tidak rendah.
Sadar lawan berilmu tinggi dan tidak terduga Iblis Ular Sembilan tiba-tiba
melemparkan lima ularnya ke arah sang pendekar.
Ternyata serangan yang dilakukannya kali
ini hanya muslihat saja, terbukti begitu Gento
menghindar dari serangan lima ular itu Iblis Ular
Sembilan berkelebat ke arah Gento.
Empat jari tangannya berkelebat menyusup ke arah pertahanan pemuda itu. Dan
semua ini dilakukan dengan tiba-tiba. Sang pendekar
tercengang. Serangan kelima ular itu saja sebenarnya telah membuatnya kewalahan.
Apalagi kini lawan ikut menyerangnya dari jarak yang begitu dekat.
Sebagai pemuda cerdik Gento segera mengambil tindakan dengan menghindari patukan
kelima ular yang berputar-putar mengelilinginya.
Luput dari kepungan lawan dia sambut dengan
pukulan Raja Dewa Ketawa. Ini adalah salah satu
pukulan dahsyat yang jarang dipergunakan Gento
dalam pengembaraannya. Seandainya lawan terkena pukulan ini maka tubuhnya akan
seperti digelitik. Dia akan terus tertawa sampai menemui
ajal dalam keadaan tertawa.
Iblis Ular Sembilan memang belum men-
genal betul siapa pemuda ini. Itu sebabnya walau
dirinya sempat merasakan ada hawa dingin menyambar tubuhnya, namun tetap saja
dia julurkan jarinya ke arah leher Gento dalam usahanya
melakukan totokan.
Dess! Sebelum totokan tepat mengenai sasaran,
pukulan yang dilakukan Gento menghantam tubuh kurus lawannya. Orang tua itu
seketika terjajar, tertegun lalu tertawa terpingkal-pingkal.
Gento bergulingan menjauh. Lima ular kini
sudah tidak terkendali lagi. Mereka saling bertubrukan satu sama lain, begitu
jatuh mereka lari
berserabutan mendapatkan kakek itu.
Melihat kejadian aneh ini Taktu yang semula hendak turun tangan membantu Gento
kini malah terheran-heran.
"Kau apakan dia?" Taktu bertanya begitu
berada di depan Gento.
Gento tersenyum. "Aku cuma berusaha
membuat hatinya senang, itu sebabnya kuhantam
dia dengan pukulan Raja Dewa Ketawa. Sekarang
sebaiknya kita cepat pergi. Kurasa tenaga dalam
kakek itu tidak rendah. Begitu dia sadar dan dapat menggunakan tenaga dalamnya.
Dia pasti segera bisa mengatasi keanehan yang terjadi padanya."
Taktu mengangguk.
Sebelum Gento berkelebat tinggalkan Iblis
Ular Sembilan pemuda itu tiba-tiba berteriak lantang.
"Iblis Ular Sembilan. Tertawalah kau sampai puas, kalau perlu sampai gila dan
sampai mampus. Kuharap kau cepat mati, agar di lain
waktu aku tidak bakal pernah bertemu dengan
kakek edan sepertimu! Ha ha ha....!
Si kakek tidak menjawab. Orang tua ini terus saja tertawa. Tetapi jauh di lubuk
hati sebenarnya Iblis Ular Sembilan kaget juga mendapati
dirinya dalam keadaan seperti itu.
Iblis Ular Sembilan merasa mulutnya seperti mau robek dan otaknya bagai mau
meledak pula. Kemudian kesadarannya pulih. Dia sadar
dirinya sudah dikerjai orang. Itu sebabnya si kakek berteriak keras di tengah
suara gelak tawanya.
Sejalan dengan teriakannya, tawa si kakek
mendadak terhenti. Iblis Ular Sembilan terhuyung-huyung seperti orang linglung.
"Jahanam pemuda gondrong itu." Geramnya dengan nafas megap-megap. "Bagaimana
dengan ilmunya bisa membuat diriku seperti ini"
Hmm... aku harus mengejar. Aku harus bisa
mengorek keterangan dari mulutnya. Barulah setelah itu aku membunuhnya!" geram
si kakek. Iblis Ular Sembilan lalu balikkan badan.
Selanjutnya tanpa menghiraukan mayat Pandan
Arum dia berlari cepat ke arah Gento dan Taktu
lenyap. 6 Puncak gunung yang semula dalam keadaan sunyi tiba-tiba dikejutkan oleh suara
bergemuruh hebat. Bersamaan dengan itu tanah di
sekitarnya juga bergetar, pepohonan bertumbangan.
Kejadian ini berlangsung cepat. Tidak lama
setelah itu dari balik gua yang terbelah porak poranda terlihat satu sosok serba
kuning melesat ke
udara membebaskan diri dari bebatuan yang
menghimpitnya. Sosok serba kuning itu jatuh bangun dihempas angin yang datang dari arah depan.
Dia yang ternyata adalah seorang kakek bertato tengkorak tepat di bagian kening itu
jadi menggeram.
Gler! Ujung tongkat amblas sejengkal ke dalam
tanah disertai percikan bunga api. Kemudian
orang tua ini hantamkan tangan kirinya ke arah
depan persis dengan arah datangnya angin topan
tersebut. Buum! Satu ledakan akibat benturan pukulan dan
hembusan angin mengguncang bagian puncak
gunung. Kakek angker berpakaian kuning diwarnai tambalan bergambar tengkorak itu
jatuh berlutut. Dentuman tadi sekaligus mengakhiri hembusan topan yang melanda
tempat itu. Terbungkuk-bungkuk sambil dekap da-
danya yang berdenyut si rambut putih ini bangkit
berdiri. Dua matanya menatap ke depan. Tak lama kemudian si kakek dongakkan
kepala dan tertawa tergelak-gelak.
"Ha ha ha. Duniaku baru saja dilanda bencana hebat. Aku tahu rencana itu bukan
kehendak Tuhan. Penyair Halilintar, mengapa kau usik
tapaku. Katakanlah apa salah dan dosaku?" Geram si kakek merasa tidak senang.
Suara si kakek kemudian lenyap. Lalu dia
menunggu. Tak lama kemudian dari arah lereng
bukit tiba-tiba terdengar suara raungan menggeledek.
Suara raungan bergerak menjauh, namun
satu bayangan bergerak cepat menuju ke bagian
puncak gunung. Tak lama kemudian kakek baju kuning melihat satu sosok berpakaian serba putih
berjalan mengambang di permukaan tanah. Walau si baju
putih berjalan biasa namun sekejap saja telah
sampai di depan kakek berpakaian sutera kuning.
Yang baru datang itu ternyata adalah seorang pemuda, badan tegap, wajah tampan
namun dipenuhi cambang bawuk lebat, rambut panjang
menjela namun tersisir rapi.
Melihat pada penampilan pemuda yang satu ini ia tidak ubahnya seperti seorang
sastrawan. Melihat siapa yang datang di depannya segera berseru, "Penyair Halilintar,
mengapa kau hancurkan tempat ini?"
Si pemuda bersikap tenang. Tidak hanya
itu, ia kemudian juga tersenyum. Senyum tipis
yang menggambarkan kekerasan jiwa.
"Kakek Wanaraga, kukenal kau dengan julukan si Pengemis Nyawa. Keberadaanmu di
sini telah mengusik ketenteraman Semerah Darah.
Mahluk itu kini menjadi beringas. Padahal aku
sedang meneliti sisi kehidupannya yang lain. Semua itu kulakukan agar aku bisa
membuat kehidupan mahluk itu berguna bagi manusia!"
"Kurang ajar!" bentak si kakek berapi-api.
"Kau biarkan mahluk terkutuk penghisap darah
itu hidup bebas" Sementara kau hendak mengusir diriku dari tempat tapa ini?"
Pengemis Nyawa kini merasa tersinggung. Sekali lagi Penyair Halilintar tersenyum.
"Rasanya bukan keberadaanmu yang menjadi persoalan bagiku!"
"Jika bukan aku lalu apa?" sentak si kakek.
Penyair Halilintar menarik nafas dan
menghembuskannya. Setelah itu sambil memandang tajam ke arah Pengemis Nyawa ia
membuka mulut buka suara. "Beberapa hari yang lalu muncul prajurit Pangeran Sobali.
Kudengar pangeran
itu masih punya hubungan persahabatan denganmu."
"Memang kuakui. Tapi hubungan persahabatanku dengannya tidak lebih dekat
dibandingkan hubunganku dengan Empu Barada Sukma."
Sahut Pengemis Nyawa dengan tegas.
"Begitukah?" gumam Penyair Halilintar.
"Kalau demikian halnya kau mewakili kebaikan.
Hendaknya kau suka memberi peringatan pada
sahabatmu itu agar jangan suka memperkeruh
suasana yang terjadi saat ini."
Mendengar itu sepasang mata si kakek
berkerut tajam.
"Apa maksudmu, Penyair Halilintar?"
Tanya si kakek tidak mengerti.
"Mungkin kau hanya pura-pura Pengemis
Nyawa, itu aku tidak perduli. Aku hanya ingin
bertitip pesan, hendaknya Empu Barada Sukma
jangan lagi menyebar fitnah demi keuntungan dirinya sendiri!"
Si kakek jadi bingung tentu saja semakin
bertambah jengkel.
"Jahanam. Aku tidak tahu apa maksudmu,
ucapanmu hanya membuat kepalaku jadi pusing.
Bicaralah terus terang!" bentak si kakek tidak sabar.
"Aku tidak layak menerangkannya padamu. Kau cari sendiri sahabatmu itu, kemudian
kau tanyakan duduk persoalan yang sebenarnya,"
"Jika kau tahu apa yang dilakukan sahabatku Barada Sukma mengapa kau tidak
memberitahukannya padaku?"
"Dunia persilatan sedang dilanda kekacauan. Mana mungkin aku jelaskan segalanya
padamu. Aku tidak punya waktu bicara panjang
lebar denganmu!" sahut Penyair Halilintar.
Pengemis Nyawa benar-benar merasa terhina mendengar ucapan Penyair Halilintar.
"Penyair gila. Mengingat usiaku seharusnya
kau bisa berlaku hormat kepadaku. Tapi kau
sendiri malah sebaliknya."
"Penghormatanku hanya berlaku pada
orang yang menjunjung tinggi keadilan." Sahut
pemuda itu dingin.
"Itu berarti kau hanya mencari perkara
denganku!"
"Terserah kau mau beranggapan apa. Yang
panting bagiku cepat kau tinggalkan tempat ini!"
perintah Penyair Halilintar.
Sebagai orang tua, kata-kata yang diucapkan pemuda itu tidak ubahnya bagai
sebuah tamparan yang cukup pedes hingga membuat
Pengemis Nyawa merasa harga dirinya sebagai
orang tua seperti dicabik-cabik.
Dengan suara lantang menyimpan geram,
Pengemis Nyawa akhirnya bertanya. "Penyair Halilintar, kau tadi mengatakan ada
prajurit kerajaan mencari diriku. Sekarang mereka berada di
mana?"

Gento Guyon 28 Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka telah tewas dicabik-cabik mahluk
penghisap darah, pemakan daging manusia tanpa
aku sempat mencegahnya."
"Apakah kau tahu mengapa mereka mencariku?" Tanya si kakek diam-diam merasa
ngeri. "Mungkin untuk satu kepentingan. Mungkin mereka ingin minta bantuanmu untuk
mendapatkan benda sakti bernama Sengkala Angin
Darah itu. Aku tidak tahu pasti. Lebih baik kau
tanyakan saja pada pangeran Sobali."
"Celaka. Kau telah membunuh para tetamuku tanpa memberi kesempatan pada mereka
untuk menemuiku?" teriak Pengemis Nyawa.
"Yang membunuh mereka bukan aku, tapi
mahluk Semerah Darah." Jawab pemuda itu tenang.
"Tapi mahluk terkutuk itu berada dalam
pengawasanmu. Karena itu kau harus mempertanggung jawabkan perbuatannya."
"Orang tua kau dengar! Aku tidak bertanggung jawab atas semua perbuatan Semerah
Darah. Yang kulakukan selama ini adalah sekedar
ingin mengetahui asal usul dan tabiat hidupnya.
Mahluk itu tidak dapat digolongkan sebagai binatang, tapi juga tak bisa disebut
manusia. Pengemis Nyawa, sebagai orang yang kenal baik dengan
Barada Sukma, sebaiknya kau temuilah dia dan
tinggalkan tempat ini!"
Pengemis Nyawa tentu tambah jengkel.
"Jahanam! Kau kira dirimu siapa" Kau beranggapan dapat memerintahku sesuka
hatimu sendiri?" dengus si kakek dengan mata mendelik.
Pemuda itu tersenyum. Dia dongakkan kepala ke langit. Setelah itu mulutnya
berkemakkemik. Bersamaan dengan itu dua tangan diangkat seperti layaknya orang
berdoa kemudian dari
mulutnya menggumam lantunan bait-bait syair.
Hidup dalam puluhan tahun
Belum pernah bertemu maut dan cela
Naluri berbisik melihat angkara murka ma-
nusia.... Berjalan diantara hembusan angin
Ingin kutegakkan jalan keadilan
Lalu musuh bermunculan di mana-mana
Kepadamu banyak kugantungkan harap
Agar tidak banyak jiwa melayang sia-sia
Tapi jika harapan tak bersambut
Mengumbar nafsu amarah bukanlah jalan
terbaik Orang tua Kuminta kau pergi dengan tutur kata
Jika kau keras kepala
Jangan salahkan jika tangan terpaksa bicara
Selesai Penyair Halilintar melantunkan
bait-bait syairnya saat itu pula terlihat kilat menyambar diiringi dengan
gelegar suara petir dan
halilintar sambung menyambung. Pengemis Nyawa bukan kaget, sebaliknya malah
tertawa tergelak. Tongkat hitam di tangan langsung dilintangkan ke depan dada.
Dengan nada mengejek dia berkata, "Itulah
senandung terakhir yang aku dengar. Selanjutnya
kau akan melantunkan syair bututmu di neraka!"
Selesai berkata begitu, Pengemis Nyawa
pukulkan tongkat hitamnya ke atas tanah. Begitu
tongkat menyentuh permukaan tanah terjadi ledakan dahsyat menggelegar memekakkan
telinga. Debu dan batu berlesatan di udara. Si kakek
mendadak raib dari pandangan mata. Penyair Ha-
lilintar segera mencari-cari. Pemuda ini segera
melompat mundur ketika melihat sepasang tangan tanpa badan terjulur cepat dengan
gerakan menjebol dada dan membetot jantung.
Walau si pemuda sempat kaget melihat kejadian ini, tapi dengan tenang dia
menyambut serangan tangan itu yang mencuatkan kukukukunya yang panjang.
Plak! Plaak! Benturan terjadi dua kali berturut-turut.
Dua tangan yang terjulur siap membetot jantung
nampak bergetar, sekaligus membuat si kakek
terlihat seutuhnya kembali. Orang tua ini tercengang.
Tidak membuang waktu dia segera hantamkan tongkat saktinya ke udara. Ketika
tongkat memukul udara kembali terdengar suara ledakan
menggeledek. Tetapi sebelum Pengemis Nyawa berubah lenyap menjadi bayangan,
Penyair Halilintar tiba-tiba keluarkan suara raungan yang keras.
Tubuhnya berputar tiga kali. Gerakan berputar
yang dia lakukan membuat sosoknya melambung
di udara. Begitu tubuhnya melambung dari langit
mencuat cahaya kilat yang langsung menyambar
tubuh pemuda itu.
Dalam waktu sekejap sang penyair telah dilingkupi cahaya putih menyilaukan yang
bergetar menjalari sekujur badan. Ketika cahaya itu berangsur lenyap, maka dari tubuh itu
pula menderu angin yang sangat dahsyat luar biasa. Deru
angin itu melabrak si Pengemis Nyawa.
Tak ayal lagi Pengemis Nyawa jatuh terbanting. Sambil semburkan sumpah serapah
si kakek cepat gerakkan tongkatnya ke permukaan
tanah. Braak! Tanah berderak. Berpegangan pada tongkat
saktinya Pengemis Nyawa dapat bertahan, walau
tidak urung pakaian kuningnya robek di beberapa
bagian. "Pengemis Nyawa, bukankah aku sudah
mengatakan kepadamu agar meninggalkan puncak gunung Kawi ini secepatnya?"
"Aku baru mau pergi setelah dapat memenggal kepalamu!" sahut Pengemis Nyawa
sinis. "Kalau begitu lakukanlah jika kau mampu!"
Dengan tubuh mengambang di udara Penyair Halilintar berputar tiga kali. Apa yang
kemudian terjadi benar-benar merupakan kenyataan yang sulit dipercaya.
Dari sekujur tubuh pemuda itu angin dahsyat kembali menderu. Kekuatan yang
menyertainya bahkan berlipat ganda. Pengemis Nyawa
kali ini jadi tercekat. Dia berusaha bertahan sekaligus hendak melepaskan
serangan balik, tapi pada waktu bersamaan ujung tongkat yang tertancap di tanah
berderak patah.
Patahnya tongkat membuat Pengemis Nyawa jatuh terpelanting, bergulingan lalu
melesat lenyap ke arah lereng gunung.
Terdengar suara jerit menggidikkan disertai
suara berdebum seperti suara tubuh terhempas
ke atas batu. Setelah itu sunyi menghantui. Penyair Halilintar kembali memutar
tubuhnya dengan gerakan berlawanan arah. Tak lama ia melesat turun dan jejakkan
kakinya di atas tanah.
"Aku tidak tahu apakah orang tua itu hidup atau mati. Apapun akibatnya bagiku
sama saja. Aku harus membantu orang-orang yang
membutuhkan pertolongan." Fikir pemuda itu.
Sejenak ia memandang ke arah lereng gunung. Lalu pemuda ini bersuit nyaring.
Dari lereng gunung terdengar suara raungan menggidikkan. Dengan wajah muram
Penyair Halilintar berkata. "Semerah Darah mahluk dari
alam lain. Kau boleh mengiringi perjalananku.
Tapi kau tidak boleh membuat kekacauan atau
membunuh dengan seenak sendiri. Kau tidak boleh memakan manusia atau meminum
darahnya."
Dari lereng gunung terdengar suara raungan panjang.
Pemuda itu tersenyum, lalu dengan suara
perlahan ia berkata. "Sejak kecil manusia harus
belajar agar setelah besar tidak menjadi kurang
ajar. Kau hanyalah mahluk ciptaan gusti Allah
juga. Aku tidak mengatakan dirimu adalah manusia seperti diriku, Semerah Darah,
namun aku juga tidak dapat mengatakan dirimu adalah binatang. Dalam ujudmu yang
menyeramkan kau juga
punya darah, jantung dan otak. Mungkin suatu
saat kau dapat berkata bahwa hidup tidak berpihak kepadamu. Itu bukanlah suatu
hal yang per- lu kau tangisi. Segala yang terjadi atas mahluk
bernyawa semuanya berjalan atas ketentuan sang
takdir. Jika kau terlahir dari rahim ibu manusia
jangan kau salahkan ibumu. Kau berada dalam
pengawasanku. Sekarang kita pergi untuk melakukan suatu tugas, jangan kau
cemarkan namaku dengan perbuatan nistamu!" Penyair Halilintar
lalu balikkan badan. Setelah itu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Dari lereng gunung terdengar raungan mirip ratap tangis. Ratapan yang kemudian
mengikuti kemana perginya penyair itu.
7 Tunggul Miring memacu kudanya meninggalkan gunung Kawi. Setelah sampai di
pinggir sungai kecil, laki-laki itu melompat turun dari
kudanya. Laki-laki itu sendiri kemudian duduk
menyandarkan punggungnya di batang pohon.
Dia menarik nafas, sementara fikirannya menerawang membayangkan kejadian di
gunung Kawi. Semuanya berlangsung cepat. Delapan prajurit
tewas tercabik-cabik dalam waktu singkat. Bukan
cuma itu sobatnya Tunggul Oleng juga kemudian
menjadi korban. Tidak jelas siapa yang membunuh mereka. Tunggul Miring sendiri
hanya melihat satu bayangan berkelebat. Sosok itu miring
binatang, tapi juga hampir mirip manusia.
"Aku tidak bisa menduga. Mungkin juga
dia adalah Pengemis Nyawa. Jika Pengemis Nyawa, mengapa ia mengaku sebagai
Penyair Halilintar. Pangeran Sobali memintaku untuk menjumpai kakek itu, sebelum
usaha mencapai hasil malapetaka datang menghadang. Apa yang harus kulakukan
kini. Kembali ke Kediri adalah hal yang
tidak bisa kulakukan," fikir laki-laki itu. Tunggul
Miring pejamkan matanya.
Dia sama sekali tidak tahu sejak tadi ada
sepasang mata yang terus memperhatikan gerak
geriknya. Tidak lama setelah Tunggul Miring pejamkan matanya orang itu
berkelebat tinggalkan
tempat persembunyiannya. Sesaat kemudian dia
telah jejakkan kaki di depan Tunggul Miring. Laki-laki itu terkejut, dia membuka
matanya. Dan lebih kaget lagi ketika melihat siapa sosok yang
berdiri di depannya. "Setan Santet Delapan Penjuru?" Tunggul Miring ajukan
pertanyaan sambil
rangkapkan kedua tangan di depan dada. Yang
ditanya sunggingkan seringai dingin. Sepasang
matanya memandang angker ke arah Tunggul
Miring, membuat laki-laki itu jadi tidak enak hati.
"Bukankah kau sendiri kaki tangan pangeran Kediri" Apa yang kau lakukan di
tempat ini?"
"Benar Mbah, aku adalah orang kepercayaan Pangeran Sobali."
"Tepat seperti yang kuduga dan dugaanku
ternyata tidak salah." guman kakek itu. Dengan
perasaan kesal Tunggul Miring menjawab."Aku
baru saja menjalankan perintah pangeran Sobali."
"Tugas apa?"
"Tugas... eh, tugasku menemui seseorang
bernama Pengemis Nyawa." jawab laki-laki itu gugup. Kegugupannya bukan karena
melihat tampang angker kakek itu, melainkan karena sekonyong-konyong ia melihat
di atas kepala kakek itu
muncul seraut wajah mengerikan. Wajah itu seperti iblis yang tingginya hampir
menyandak langit. Herannya sosok itu lenyap begitu Tunggul
Miring kedipkan matanya. "Pengemis Nyawa,
hmm. Orang tua itu sama liciknya dengan Barada
Sukma. Aku telah mencium adanya hal yang tidak beres. Aku sebenarnya sudah
mendapat petunjuk di tangan siapa benda sakti itu berada.
Pangeran Sobali, hmm... ternyata kau tidak bisa
menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Kau ular
kepala dua, kau meremehkan jerih payahku. Kelak kau pasti akan menyesali
tindakanmu. Aku
tahu banyak orang mengatakan Sengkala Angin
Darah jatuh ke tangan Gentong Ketawa. Tapi aku
lebih percaya pada penglihatan mata batinku.
Orang boleh memburu Gentong Ketawa, tapi aku
tidak bakal berbuat tolol dengan mengikuti arus
yang menyesatkan." batin si kakek dalam hati.
Setan Santet Delapan Penjuru kemudian memandang ke depan, memperhatikan Tunggul
Miring yang seperti orang kebingungan.
"Kau tidak kembali ke Kediri?" tanya si kakek tiba-tiba.
"Tidak. Aku tidak akan pernah kembali kesana."
"Itu berarti kau telah melakukan suatu ke-
salahan" Kau gagal melakukan tugasmu" Jika
begitu orang sepertimu sudah sepantasnya disingkirkan." Pucat wajah Tunggul
Miring mendengar ucapan si kakek. Dengan suara bergetar dia
bertanya." A... apa maksudmu?"
"Hahaha. Sebab betapapun kau dan pangeran mu sama memuakkan bagiku. Kau akan
kubunuh!" dengus kakek itu sengit. Seketika sepasang mata laki-laki itu mendelik
besar. Semula dia menaruh harapan bisa minta perlindungan
pada kakek ini, tidak disangka harapannya siasia. Tunggul Miring tidak mau mati
konyol. Dengan cepat dia mencabut pedang. Melihat ini si kakek tertawa tergelak-
gelak. "Dengan pedang itu kau hendak melawanku" Pedang itu tak bakal sanggup melukai
diriku." Selesai berkata Setan Santet Delapan Penjuru mengambil boneka kayu
berbentuk orangorangan. Dia juga mengeluarkan sebatang jarum.
Tunggul Miring tak tahu apa yang akan dilakukan
kakek itu yang jelas saat itu dia melihat bibir si
kakek berkemak kemik membaca sesuatu.
"Dia hendak melakukan sesuatu padaku"!"
fikir Tunggul Miring. Dan sebelum si kakek selesai dengan mantra-mantranya
Tunggul Miring segera mengambil tindakan.
Diawali dengan teriakan melengking Tunggul Miring melompat ke depan lalu
babatkan pedangnya ke perut lawan. Si kakek sama sekali tidak mengelak. Serangan
pedang tepat mengenai
sasaran. Bahkan ujung pedang amblas ke dalam
perut tembus ke punggung. Si kakek yang perutnya di tambus pedang tenang saja.
Malah dia masih sempat mengumbar tawa.
"Sudah kukatakan, pedangmu tidak berarti
bagiku!" kata si kakek.
Tunggul Miring tercengang, geram juga cemas. Dan selagi dirinya dalam keadaan
seperti itu, kaki si kakek tiba-tiba berkelebat menghantam dada Tunggul Miring. Tunggul
Miring jatuh terjengkang, pedang di tangan terlepas. Di depan


Gento Guyon 28 Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana Setan Santet Delapan Penjuru usap luka bekas tusukan. Luka itu mendadak
lenyap tidak berbekas. Laki-laki itu terkesima, wajahnya pucat
sedangkan sekujur tubuh basah bersimbah keringat.
"Dia bukan manusia, dia setan...!" Tunggul
Miring bangkit berdiri sambil memungut pedangnya. Melihat lawan siap
menyerangnya kembali si
kakek tertawa sambil berkata. "Kau hendak melawan Setan Santet Delapan Penjuru"
Semua usahamu hanya akan sia-sia manusia tidak berguna."
Setelah itu dia kemudian menusuk bagian
depan patung kayu itu.
Cees! Terdengar suara desis aneh disertai mengepulnya asap tipis dari bagian tangan
yang ditusuk jarum. Bersamaan dengan itu Tunggul Miring
tiba-tiba menjerit kesakitan. Pedang di tangan terlepas jatuh berkerontangan.
Tunggul Miring dekap lengan tangan kanan yang menggembung bi-
ru dan mengucurkan darah. Tetapi ketika si kakek menggoyang jarum yang menancap
di lengan patungnya. Tunggul Miring menjerit kembali. Sakit pada bagian lengannya semakin
menjadi-jadi. "Lenganmu sudah tidak berguna, sekarang
aku akan mengaduk-aduk perutmu! Hahaha...!"
kata si kakek yang menyerang lawan dengan
menggunakan ilmu hitamnya. Dengan cepat jarum yang menancap pada lengan patung
dicabut. Kemudian ditusukkannya kembali ke bagian perut. Sekali lagi Tunggul Miring
meraung kesakitan. Sambil mendekap perutnya yang seperti diremas-remas, Tunggul
Miring jatuh terduduk. Dari bagian pusar kaki tangan pangeran Kediri itu
mengucur darah. Tidak hanya sampai disitu, perut Tunggul Miring kini secara
perlahan namun pasti tampak menggelembung besar seperti perempuan hamil sembilan bulan.
Penderitaan Tunggul Miring tambah menjadi-jadi bila si kakek
memutar mutar jarum yang menghunjam pada
perut patung. Laki-laki itu mencoba bangkit berdiri, namun keinginannya ini
tidak terlaksana.
Di depannya sang dukun tersenyum dingin. Puas membuat perut lawan melembung
besar seperti mau meletus kini dia memindahkan jarum
dan menusukkannya di bagian kepala. Ketika jarum menembus kening patung, kening
Tunggul Miring kini menyemburkan darah. Darah ternyata
tidak keluar dari bagian itu saja. Tapi juga dari
bagian mata, hidung, mulut dan telinga. Tidak
terperikan bagaimana penderitaannya. Si kakek
lagi-lagi mengumbar senyum.
"Kakek keparat! Jika kau tidak membunuhku hari ini, kelak aku pasti mencarimu
untuk mengadakan perhitungan." kata Tunggul Miring
dengan suara tersendat.
"Tunggul Miring manusia terkutuk. Kau tidak bakal dapat melakukan keinginanmu.
Aku Setan Santet Delapan Penjuru telah menyantet
perut dan kepalamu. Jika aku mau sekarang juga
kepala dan perutmu meledak. Kau akan menemui
ajal secara menyedihkan. Hahaha..." kata si kakek sinis.
Tunggul Miring yang keadaannya sudah tidak karuan, kedua kakinya bergerak,
tangan menggapai berusaha bangkit berdiri. Tapi keinginannya itu tidak terlaksana.
Setan Santet Delapan Penjuru tertawa bergerak. Dia lalu balikkan
badan dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Setan Santet Delapan Penjuru... manusia
pengecut laknat! Kau... aark...!" Jerit Tunggul
Miring terhenti seketika karena tiba-tiba saja kepala dan perutnya meletus
secara bersamaan.
Darah, otak dan isi bagian dalam perut berhamburan keluar. Bersamaan dengan itu
Tunggul Miring pun tewas seketika.
8 Tidak berselang lama setelah Tunggul Miring menemui ajal secara menggenaskan di
tangan Setan Santet Delapan Penjuru. Tiba-tiba saja tidak jauh dari tepian sungai
tersebut muncul dua
sosok berpakaian hitam dan kuning. Kedua orang
tersebut yang satu adalah seorang kakek berpakaian hitam tidak terkancing.
Tubuhnya besar luar biasa, pipi tembem berkening lebar. Sedangkan orang yang bersamanya adalah
seorang gadis cantik berambut panjang.
Ketika mereka sampai di tepi sungai itu si
kakek gendut yang adalah Gentong Ketawa
adanya guru pendekar Sakti 71 sempat terkesiap
kaget melihat mayat Tunggul Miring yang dalam
keadaan menggenaskan sedemikian rupa. Gadis
yang datang bersamanya juga tidak kalah kagetnya.
Sejenak lamanya si gendut memperhatikan
keadaan mayat itu dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki. Dengan perasaan heran ia berkata, "Aneh...
orang ini tewas dengan kepala dan perut meledak.
Rasanya dia tidak mungkin jatuh dari langit. Bila
melihat bekas luka-luka di tubuhnya kemungkinan besar dia adalah korban guna-
guna." "Memangnya dia siapa kek?" tanya gadis
berpakaian serba kuning yang bernama Anggagini.
"Aku kurang begitu yakin. Tapi melihat ciri-ciri serta pakaiannya yang begini
mewah paling tidak dia adalah orang kepercayaan Pangeran Kediri. Rasanya aku belum pernah
melihat kekejian
sehebat ini. Setan Santet Delapan Penjuru, apa
salah dosa orang ini. Aku yakin ilmunya sangat
tinggi. Tetapi semua orang juga tahu tidak mudah
mengalahkan apalagi mencelakai kakek itu!"
"Apakah kau mengenal Setan Santet Delapan Penjuru itu kek?"
"Aku pernah mendengar. Ciri-ciri perbuatannya dapat kukenali tapi bertemu
orangnya aku belum pernah. Aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan benda sakti itu.
Nampaknya kekacauan mulai terjadi di mana-mana!" gumam
si kakek. Dia lalu melirik ke arah Anggagini. Selanjutnya orang tua ini berkata.
"Sebaiknya kita
teruskan perjalanan. Aku berharap semoga tidak
terjadi sesuatu pada bocah edan itu. Nanti kita
juga akan menyelidiki apa sebenarnya yang dicari
Setan Santet Delapan Penjuru." ujar si kakek. Baru saja si gendut dan Anggagini
hendak melangkah pergi, mendadak dia mendengar suara tambur yang diiringi suara
langkah kaki kuda. Kudakuda itu tampaknya memang menuju ke arah mereka.
"Lekas bersembunyi!" perintah si kakek ditujukan pada si gadis. Kedua orang ini
kemudian melompat ke balik sebatang pohon tidak jauh dari
mayat Tunggul Miring.
Tidak berselang lama di tempat itu muncul
dua penunggang kuda. Penunggang kuda pertama
berpakaian mewah seperti layaknya seorang
bangsawan. Sedangkan satunya lagi adalah seorang laki-laki berpakaian ungu. Di
punggung lakilaki itu membekal sebuah golok besar berwarna
putih mengkilap. Kehadiran orang ini kemudian
diikuti oleh kehadiran ratusan prajurit. Melihat
seragam orang-orang itu, si kakek segera tahu
bahwa mereka adalah para prajurit Kediri.
"Yang berbaju putih pastilah pangeran Kediri. Tapi apa perlunya dia membawa
serta sekian banyak prajurit?" fikir si kakek.
Sebaliknya begitu sampai pangeran Kediri
sendiri sangat terkejut melihat kuda milik Tunggul Miring berada di situ. Bukan
cuma itu dia lebih kaget begitu melihat mayat Tunggul Miring.
"Tangan Besi, cepat kau periksa apakah itu
mayat Tunggul Miring?" perintah sang pangeran.
Tangan Besi dengan hati berdebar segera turun
dari kudanya. Dia segera merinding begitu melihat keadaan si mayat.
"Gusti... ini memang mayat Tunggul Miring!" seru Tangan Besi. Pangeran Sobali
tercekat. "Aku menyuruhnya menemui Pengemis
Nyawa. Mengapa si tolol ini malah kesasar sampai
kemari" Lalu kemana Tunggul Oleng?" Tanya
sang pangeran dengan nada geram.
Di balik pohon Gentong Ketawa menjadi
terheran-heran. Dia membatin dalam hati. "Aku
kenal dengan keparat Pengemis Nyawa. Dia sahabat Empu Barada Sukma. Aku bahkan
tahu hu- bungan mereka tidak beda dengan kotoran dengan kentut. Lalu apa perlunya
pangeran ini meminta kaki tangannya menemui Pengemis Nyawa?"
Sementara pada kesempatan itu Tangan
Besi berkata, "Pangeran, menurut hemat saya ada
beberapa kemungkinan mengenai Tunggul Miring.
Kemungkinan pertama dia memisahkan diri dengan Tunggul Oleng. Kemungkinan kedua
bisa jadi dia dan Tunggul Oleng sudah sampai ke gunung
Kawi. Mungkin terjadi sesuatu yang luar biasa di
tempat itu. Merasa terdesak Tunggul Miring melarikan diri ke sini." Ujar Tangan
Besi menyampaikan pendapatnya.
"Kalau benar pendapatmu itu, lalu siapa
yang membunuhnya?" Tanya sang pangeran.
Tangan Besi terdiam. Dia kembali memperhatikan mayat Tunggul Miring. Melihat
lukaluka itu membuat Tangan Besi menggigil ketakutan.
"Pangeran..." ujarnya dengan suara tercekat.
"Kau menemukan suatu petunjuk?"
Dia menelan ludah basahi tenggorokannya
yang mendadak terasa kering. Akhirnya ia berkata, "Kalau tidak salah saya dapat
memastikan kematian Tunggul Miring pasti akibat perbuatan
santet. Tidak ada orang yang memiliki kemampuan santet seperti ini selain Setan
Santet Delapan Penjuru!"
Kening Pangeran berkerut tajam. Heran ju-
ga tidak begitu percaya.
"Setan Santet Delapan Penjuru" Mengapa
dia membunuhnya" Padahal dia tahu Tunggul
Miring adalah orang kepercayaanku" Dan yang
lebih mengherankan lagi beberapa hari yang lalu
kau menjumpainya untuk meminta bantuannya?"
"Memang betul pangeran!"
"Waktu itu kau mengatakan dia menyanggupi permintaanku. Bukankah begitu?"
"Benar pangeran." Sahut Tangan Besi.
"Jika benar, sekarang dapatkah kau menjelaskan padaku mengapa dia membunuh
Tunggul Miring?" Tangan Besi terdiam.
Tapi kemudian menjawab. "Apa yang gusti
tanyakan sangat sulit bagi saya untuk menjelaskannya. Tapi kemungkinan Setan
Santet tahu kemungkinan pengkhianatan yang dilakukan
Tunggul Miring. Karena dia membantu kita, si
kakek merasa perlu membereskan orang-orang
yang berusaha mengkhianati gusti!"
Penjelasan itu memang masuk di akal.
Pangeran manggut-manggut.
"Kebenarannya nanti bisa kita tanyakan
pada kakek itu. Sebenarnya saat ini kita kehilangan petunjuk. Gentong Ketawa
yang kita cari tidak kita ketahui dimana rimbanya. Aka takut didahului orang.
Padahal yang kuinginkan Sengkala
Angin Darah dapat kumiliki selekas mungkin."
"Pangeran apakah benar Sengkala Angin
Darah berada di tangan Gentong Ketawa?" Tanya
Tangan Besi ragu-ragu.
"Mengapa kau tidak mempercayainya" Banyak petunjuk mengarah pada orang tua itu.
buktinya orang-orang dunia persilatan kini mencaricari kakek itu."
Di tempat persembunyiannya bukan Anggagini saja yang dibuat kaget. Si gendut
juga terkesima.
Dalam hati ia memaki. "Sial betul. Bagaimana pangeran bisa-bisanya menuduhku"
Rupa benda keparat itu saja aku tidak tahu." Sadar dirinya difitnah orang kakek
gendut itu kemudian
berteriak lantang.
"Siapa berani menyebar kabar keji terhadap tua bangka sepertiku" Dia pasti akan
mendapat ganjaran yang setimpal. Ha ha ha....!"
Pangeran Sobali, Tangan besi dan semua
prajurit yang berada di situ terperanjat. Hampir
bersamaan mereka memandang ke pohon di mana suara tadi berasal.
Tanpa bicara Tangan Besi segera berkelebat ke arah pohon sambil hantamkan kedua
tangannya ke pohon itu.
Belum lagi pukulan mengenai sasaran dari
balik pohon ada angin menderu dan segera
menghantam Tangan Besi.
Tangan Besi terdorong mundur, jungkir balik lalu terjatuh di kaki kuda Pangeran
Sobali. Sambil menggeram marah Tangan Besi
bangkit berdiri, dia lalu berteriak keras. "Kurang
ajar! Siapa dirimu harap tunjukkan diri!"
Sebagai jawaban satu bayangan kuning
berkelebat ke arah Tangan Besi. Satu tamparan
keras melesat bersiutan di udara. Tangan Besi berusaha menghindar, tapi sayang
gerakannya kalah cepat dari datangnya tamparan itu.
Plak! Tamparan mendarat di pipi Tangan Besi.
Pipi laki-laki itu memerah sedangkan dirinya terjajar.
Dua kali Tangan Besi merasa dipermalukan orang. Tidak terkira betapa malunya
Tangan Besi dibuatnya. Ketika dia memandang ke arah
orang yang menamparnya tadi Tangan Besi jadi
melengak kaget.
Di depan sana berdiri tegak seorang gadis
berwajah cantik sekali berpakaian kuning ketat
berambut panjang. Gadis itu berkacak pinggang.
"Siapa kau?" hardik Tangan Besi.
Sementara itu Pangeran Sobali tetap mengawasi dari atas kudanya. Pangeran ini
sendiri memang harus mengakui kecantikan gadis ini tidak kalah cantik dengan putri-putri
raja. Tapi tindakannya menampar Tangan Besi merupakan


Gento Guyon 28 Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu yang tidak dapat dimaafkan.
"Kau bertanya diriku siapa?" ujar Anggagini
disertai senyum sinis. "Aku adalah sahabat orang
yang baru kalian fitnah."
Tangan Besi dan pangeran Sobali saling
pandang. "Jadi kau sahabat kakek Gentong Ketawa?"
Tanya sang pangeran beberapa saat kemudian.
rang?" "Betul."
"Hmm, lalu dimana orang tua itu seka-
"Buat apa kau menanyakannya?"
"Dia harus menyerahkan Sengkala Angin
Darah pada pangeran Sobali !" dengus Tangan
Besi. "Kurang ajar, pandai-pandainya kalian
mengatakan benda itu ada padanya!" hardik Anggagini marah.
"Gadis cantik, kau tidak perlu melindungi
sahabatmu. Semua orang tahu benda sakti itu
memang ada padanya." Tukas Tangan Besi tetap
bersikeras. "Segala fitnah keji memang sudah ada sejak iblis diciptakan. Tapi aku belum
pernah melihat tukang fitnah yang gilanya sehebat kalian.
Kurang ajar....benar-benar kurang ajar dan patut
diajar!" kata satu suara keras melengking.
Kemudian dari balik pohon melesat satu
sosok berbadan besar luar biasa.
Dengan gerakan enteng sosok itu kemudian berjumpalitan di udara. Selanjutnya dia
jejakkan kakinya di samping Anggagini.
Dengan lagaknya yang terkesan tidak perduli kakek itu berkipas-kipas dengan
menggunakan jari-jari tangannya yang sengaja dirapatkan.
Saat itu juga terdengar suara angin menderu-deru keluar dari jemari si kakek
yang digerakkan ke depan dan ke belakang.
Para prajurit yang berada di belakang kuda
pangeran tampak terhuyung-huyung nyaris terjengkang.
Sedangkan Pangeran Sobali sendiri yang
berada di depan hampir terpelanting dari atas
punggung kudanya.
9 Si gendut terus saja berkipas-kipas hingga
membuat jengkel orang sang pangeran dan Tangan Besi. Malah orang tua itu
bersikap acuh ketika belasan prajurit bergerak mengepungnya dengan senjata
terhunus. Orang tua ini selanjutnya berkata. "Suasana semakin bertambah panas ketika
tukang fitnah hadir di sini. Seharusnya aku marah besar
difitnah orang. Tapi biarlah tidak mengapa, aku
berusaha membuat badan jadi dingin. Agar hati
dan otakku ikutan menjadi dingin."
Walaupun Pangeran Sobali maupun Tangan Besi sebelumnya tidak pernah bertemu
dengan Gentong Ketawa. Melihat penampilan si kakek setidaknya mereka dapat
menduga tentu orang tua ini orangnya yang mereka cari.
Itu sebabnya pangeran Sobali segera berkata, "Orang tua, kau tentu sudah
mendengar pembicaraan kami."
Si kakek mendengus.
"Pembicaraan apa?" ujar si gendut berhenti
berkipas. "Tentu saja tentang Sengkala Angin Darah." Tangan Besi menyahuti.
Gentong Ketawa dongakkan kepala. "Tentang benda itukah yang kalian maksudkan?"
"Betul." Sahut Pangeran Sobali.
"Aku sama sekali tidak tahu tentang Sengkala Angin Darah. Jika benda sakti yang
lain tentu saja aku punya. Tapi benda itu tidak akan kuberikan kepada siapapun.
Lagipula buat apa sebab kalian juga punya. Ha ha ha...!"
"Gendut kau bicara apa?" hardik Tangan
Besi. "Ah kau siapa" Yang kukatakan cukup jelas, kau bicara tentang benda aneh milikku
sendiri." "Kakek jahanam, bukan itu yang kami
maksudkan!" hardik Tangan Besi marah. "Lalu
apa?" "Kami menginginkan Sengkala Angin Darah. Cepat kau serahkan benda yang kami
minta itu. Jika tidak kau akan segera merasakan akibatnya!" ujar Tangan Besi berapi-
api. Sambil berkacak pinggang si gendut kembali mengumbar tawa. Pada kesempatan itu
Anggagini berbisik. "Kakek gendut. Orang kerajaan ini
ngawur. Kalau tidak diberi pelajaran mereka semakin kurang ajar."
"Tenang saja. Jika mereka berani bertindak
gegabah akan kubuat barisan prajurit itu menjadi
porak poranda. Bahkan kalau perlu pangeran dan
orang jelek bersenjata golok itu akan ku obrakabrik!" sahut si kakek berbisik
sambil kedipkan
matanya. Anggagini terkejut.
Sementara kakek itu sendiri kini menghadap ke arah pangeran Sobali dan Tangan
Besi. "Pangeran, terus terang kukatakan padamu. Benda yang kalian cari itu memang
tidak ada padaku.
Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang
Sengkala Angin Darah." Ujar si kakek.
Pangeran Sobali mendengus.
"Siapa yang percaya ucapanmu?"
"Aku tidak pernah memintamu mempercayai ucapan tua bangka gendut sepertiku. Tapi
hendaknya kau mau berfikir dengan kepala dingin untuk melakukan fitnah keji
seperti yang kau
ucapkan tadi!"
"Hem, banyak bukti yang mengarah padamu, Gentong Ketawa. Orang-orang di rimba
persilatan kini mengincarmu. Jadi sebelum Sengkala
Angin Darah jatuh ke tangan orang lain, sebaiknya serahkan benda itu kepada
kami!" tegas Tangan Besi.
"Fitnah busuk. Monyet mana yang telah
mengatakan pada kalian benda itu ada padaku"
Coba jelaskan biar si tua ini bias memberi jawaban!" kata si kakek jengkel.
"Tidak perlu kami memberi penjelasan!"
dengus Tangan Besi. Dia kemudian berteriak pada belasan prajurit yang mengepung
si kakek dan Anggagini. "Prajurit, geledah orang tua dan gadis
itu!" "Pangeran sinting. Jangan kau salahkan
diriku jika kau terpaksa bertindak kasar!" teriak
Gentong Ketawa geram.
Sementara itu belasan prajurit berlompatan ke arah Anggagini dan Gentong Ketawa.
Belasan tangan menggerayangi tubuh gadis
itu. Tapi Anggagini tidak memberi hati. Melihat
tangan-tangan prajurit bergerak merayapi tubuhnya. Laksana kilat sebelum tangan-
tangan itu menyentuh bagian-bagian tubuhnya, Anggagini
gerakkan tangannya secara berputar. Sedikitnya
enam prajurit dibuatnya terpental, jatuh bergedebukkan. Sedangkan beberapa
prajurit yang menyerang si gendut mendadak berpelantingan seperti dihembus
angin, lalu jatuh tumpang tindih
sejarak tujuh tombak dari kakek itu. Gentong Ketawa mengumbar tawa. Sambil
berkacak pinggang
dia berkata. "Pangeran tolol. Kutegaskan sekali
lagi benda sakti itu tak ada padaku. Jika kau tetap nekad hendak menggeledahku
kalian semua bisa menemui nasib celaka atau paling tidak
mendapat bogem mentah dariku. Sebaiknya kau
pergilah, bawa semua prajuritmu!" perintah si
gendut. "Kau tidak layak memerintahku! Prajurit,
tangkap dan bunuh kakek gila dan gadis itu!" teriak Pangeran Sobali.
Bukan hanya puluhan, kini ratusan prajurit dengan senjata bagaikan serigala
kelaparan segera menyerang Gentong Ketawa dan Anggagini.
Anggagini menggeram, dua tangannya diam-diam
telah dialiri tenaga dalam mendadak sontak didorongkannya ke depan. Angin
menderu, sinar biru
berkiblat dan menghantam puluhan prajurit yang
menyerangnya dari arah depan. Para prajurit bergelimpangan roboh disertai raung
kesakitan di sana sini. Jika Anggagini tidak memberi hati pada
prajurit-prajurit yang menyerbu ke arahnya. Lain
halnya dengan Gentong Ketawa. Kakek ini sengaja
kebutkan lengan baju hitamnya melancarkan totokan dari jarak jauh. Akibatnya
sungguh luar biasa. Angin sedingin es menerpa prajurit-prajurit
itu. Suara pekikan kaget terdengar silih berganti.
Puluhan prajurit tak mampu lagi gerakkan tubuhnya. Mereka kaku tertotok dalam
posisi menyerang.
Melihat kenyataan ini kagetlah Pangeran
Sobali dibuatnya. Ketika puluhan prajurit lainnya
siap merangsak maju. Pangeran Sobali angkat
tangannya ke atas. "Tahan...! Ternyata gendut gila
ini punya sesuatu yang diandalkannya. Pantas
saja dia berani jual lagak di depanku!" geram sang
pangeran. "Tangan Besi, sekaranglah saatnya bagimu menunjukkan bakti kepadaku.
Cepat kau bunuh dia! Biar aku yang meringkus gadis cantik
itu!" perintah sang pangeran.
"Manusia tolol mencari penyakit. Majulah
kalian berdua jika memang ingin konyol." Dengus
Gentong Ketawa.
"Tua bangka gendut sambutlah kepalan
tanganku!" teriak Tangan Besi pula tak kalah
sengitnya. Gentong Ketawa tertawa pendek ketika melihat lawannya merangsak maju sambil
hantamkan kedua tangannya ke bagian dada dan perut.
Angin deras menyambar. Si kakek gembungkan
perutnya. Buuk! Satu hantaman keras mendarat di perut si
gendut. Sedangkan hantaman yang mengarah ke
bagian dada sengaja ditepisnya. Si kakek menjerit
tubuhnya bergetar. Sama sekali dia tidak mengangkat tangan lawannya ternyata
bukan saja sanggup menggoyahkan kuda-kudanya, tapi akibat hantaman itu membuat bagian isi
dalam perutnya seperti remuk. Si kakek meringis sambil
mengusap perutnya yang merah memar.
"Hem, tak percuma rupanya kau dijuluki
Tangan besi. Ternyata tanganmu memang seatos
besi! Boleh juga!" kata si kakek meski kesakitan
namun ternyata masih sempat mengumbar senyum.
Sebaliknya diam-diam Tangan Besi sendiri
dibuat kaget. Pukulan yang dilepaskannya tadi
menggunakan tenaga dalam penuh. Jangankan
batu karang, tembok baja sekalipun hancur jika
sampai terkena pukulannya. Aneh! Kakek itu jangankan tewas, ciderapun tidak.
Bahkan dia masih
sempatnya tersenyum.
Terdorong oleh rasa penasaran. Tangan
Besi kini salurkan seluruh tenaga dalamnya ke
bagian tangan. Dengan suara lantang Tangan Besi berkata. "Kakek gendut keparat!
Jika aku tidak sanggup membongkar isi perutmu dan meremukkan tulang belulangmu, biarlah untuk
selanjutnya aku ingin berhenti sebagai manusia!"
Si kakek tertawa ngakak. "Edan amat. Jika
kau hendak berhenti jadi manusia. Selanjutnya
kau mau jadi apa" Jadi monyet, jadi tikus comberan atau jadi arwah gentayangan
tak diterima langit dan bumi" Untuk merubahmu menjadi seperti yang kau inginkan, itu
persoalan mudah.
Cuma aku orangnya tidak tegaan. Orang yang sudah mati saja kalau dibolehkan
memilih oleh gusti Allah masih pingin hidup. Kau yang hidup malah ingin mampus!
Ha ha ha!" kata si kakek.
"Tua bangka bukan kau yang hidup! Sebaliknya kaulah yang pantas mati!" teriak
Tangan Besi. Disaksikan ratusan prajurit terkecuali
Pangeran Sobali yang kini terlibat perkelahian
sengit dengan Anggagini. Tangan Besi tiba-tiba
saja melompat ke depan. Dua tangannya dihantamkan ke tubuh si kakek dengan
gerakan cepat luar biasa. Gentong Ketawa tidak tinggal diam.
Meskipun tubuhnya besar luar biasa. Dengan gerakan ringan kakek ini berkelit. Di
lain waktu tangannya terjulur dan berhasil menyambar salah
satu tangan lawannya. Si kakek lakukan gerakan
jungkir balik. Dengan begitu tangan lawan jadi
terpelintir. Selanjutnya si gendut sentakkan tangan lawan ke atas.
Kraaak! Terdengar suara tulang lengan patah lepas
dari persendian. Tangan Besi meraung hebat,
tangan kanannya nyaris tanggal. Laki-laki itu terhuyung. Sambil menjerit-jerit
dia pandang ke depan. Di depan Gentong Ketawa berdiri tegak dengan dua tangan
dilipat ke depan. Kakek itu berkata. "Masih ada waktu bagimu untuk memperbaiki
diri, memperbaiki tangan dan terpenting lagi
memperbaiki kau punya mulut agar tidak melontarkan fitnah sembarangan! Aku masih
bisa mengampunimu!" ujar si gendut serius.
Dalam keadaan seperti itu apapun yang dikatakan Gentong Ketawa bagi Tangan Besi
sudah tidak ada gunanya. Dia sudah terlanjur cidera berat, dia sudah terlanjur malu.
Dan yang lebih mengerikan lagi saat itu hati dan fikirannya sudah disesaki amarah dendam yang
meluap-luap. Tanpa terduga Tangan Besi menyambar goloknya
yang tergantung di pinggang. Dengan tangan kanan golok itu dibabatkan ke arah si
kakek selagi orang tua itu berbalik arah siap membantu Anggagini yang nampaknya agak terdesak
menghadapi serangan pedang Pangeran Sobali.
Si kakek yang merasa ada sambaran angin
dingin menerpa punggungnya cepat berbalik. Dua
jari tangan digerakkan. Menakjubkan, mata golok
itu kemudian terjepit di antara celah jari tangannya. Tangan Besi berusaha
menarik lepas goloknya. Tapi jepitan jari si kakek amat keras sekali.
Si kakek menggeram. "Kuberi kau kesem-
patan hidup, ternyata tindakanmu makin nekad
tak berkejuntrungan." Ujar si gendut. Jemari tangan kemudian digerakkan ke kiri.
Taak! Golok besar patah dua, membuat prajurit


Gento Guyon 28 Semerah Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belalakkan mata. Tangan Besi terkesima. Belum
lagi hilang rasa kagetnya. Patahan golok berkelebat menyambar bagian dada dan
terus amblas sampai ke punggung. Tangan Besi menjerit tertahan. Matanya mendelik, dia
terhuyung sambil
mendekap dadanya yang tertembus potongan golok setelah itu jatuh menelentang.
Berkelonjotan sebentar. Lalu terdiam selamanya.
10 Sebenarnya apa yang terjadi pada Tangan
Besi tidak luput dari perhatian Pangeran Sobali.
Tapi nampaknya dia sendiri pada saat itu lebih
mengkonsentrasikan diri pada serangannya yang
ditujukan pada Anggagini. Kematian Tangan Besi
memang sempat membuatnya kaget, marah serta
kesal yang dikemudian dilampiaskannya pada
Anggagini. Tidaklah mengherankan jika kemudian
serangannya semakin bertambah hebat. Mata Pedang yang berkelebat di udara
menaburkan sinar
putih menyilaukan mata. Angin menderu-deru
menyertainya berputarnya pedang di tangan. Sedangkan tubuh pemuda itu laksana
kilat berkele- bat, memotong setiap jalan gerak yang dilakukan
lawannya. Dalam perkelahian yang telah berlangsung
belasan jurus itu Anggagini memang sempat terdesak hebat. Bahkan ketika dia
menghindari sambaran pedang yang mengarah ke bagian
ujung lawan masih sempat memapas rambutnya
yang panjang. Anggagini melompat ke samping
hindari tusukan pedang yang datang bertubi-tubi.
Tapi secara aneh pedang di tangan Pangeran Sobali kemudian bergerak dari bawah
lalu menyambar kebagian dagu. Tak mau wajahnya yang cantik menjadi sasaran
pedang lawannya. Maka Anggagini melompat mundur. Namun tak urung pedang lawannya
menggores bagian bahu.
Breet! Anggagini menjerit tertahan. Sambaran pedang bukan saja hanya merobek pakaiannya
hingga menyingkap kulit yang putih mulus. Tapi
kulit bahunya juga terluka mengucurkan darah.
Melihat kenyataan ini, Pangeran Sobali tertawa
tergelak-gelak. "Sekarang bahumu, sebentar lagi
tubuhmu akan kubuat telanjang!" kata pemuda
itu sambil terus merangsak maju.
"Pangeran kurang ajar! Kau boleh bicara
seenak perutmu. Tapi sebentar lagi aku akan
membuatmu menjadi patung hidup!" teriak sang
dara sengit. Hampir bersamaan dengan ucapannya itu Anggagini mendadak melompat
mundur. Tusukan dan babatan pedang yang dilancarkan
lawan dapat dihindarinya. Laksana kilat Anggagi-
ni melompat ke udara. Pangeran Sobali yang sudah merasa berada di atas angin mana mau
membiarkan lawan lolos begitu saja. Pemuda itu
dengan cepat jejakkan kaki, berjumpalitan dia
mengejar lawan sambil babatkan senjatanya secara menyilang. Serangan yang
dilancarkan pemuda
itu bukan serangan biasa karena sang pangeran
mempergunakan jurus Kidung Kematian. Sekejap
saja sinar pedang telah mengepung Anggagini dari
segala penjuru arah.
"Celaka! Pangeran sinting ini ilmu pedangnya ternyata tidak bisa dianggap
enteng. Haruskah aku turun memberi bantuan?" fikir Gentong Ketawa yang terus
mengawasi. Sementara itu Anggagini segera tidak terduga tiba-tiba hantamkan salah satu
tangannya ke bagian lengan Pangeran Sobali. Sekali pukul
pedang di tangan lawan paling tidak terjatuh. Tapi ternyata Pangeran Sobali
dapat membaca gelagat dan gerak orang. Melihat tangan si gadis berkelebat
menghantam lengannya dia cepat tarik
pedangnya ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Anggagini. Tangan kanannya bergerak cepat lancarkan totokan yang mengarah pada
bagian dada dan punggung Pangeran Sobali.
Wuuuut! Wuuuut!
Dua larik sinar merah menyambar ke dada
dan punggung pemuda itu. Lawannya masih berusaha menangkis, namun kalah cepat
dengan gerakan sinar berhawa dingin tersebut. Tak ayal
lagi begitu kedua sinar menghantam tubuhnya.
Seperti pohon ditebang Pangeran itu jatuh bergedebukan dengan tubuh kaku dalam
keadaan tertotok. Gentong Ketawa tersenyum. "Hebat, ternyata ilmu totokanmu
tidak mengecewakan Anggagini." kata si kakek. Cepat dia melompat menghampiri
Pangeran Sobali. Anggagini sendiri dengan
cepat memungut pedang milik lawannya. Pedang
kemudian ditempelkannya ke leher Pangeran itu.
Melihat kejadian ini ratusan prajurit yang sejak
tadi terkesima menyaksikan perkelahian antara
sang Pangeran dengan Anggagini kini di buat kaget. Sadar junjungannya berada
dalam ancaman bahaya besar. Dengan senjata terhunus mereka
berlompat mengurung si kakek gendut dan Anggagini.
"Kalian dengar! Siapa saja diantara kalian
yang berani maju. Jiwa pangeran mu pasti tidak
akan tertolong.!" ancam Anggagini.
"Berani kau melukainya. Kami semua pasti
akan membunuhmu!" teriak salah seorang prajurit berbadan tinggi besar berwajah
paling angker diantara prajurit lainnya. Anggagini tersenyum
sinis. Sedangkan Pangeran Sobali segera berseru.
"Kalian semua jangan perdulikan aku. Bunuh kedua manusia keparat ini!" perintah
si pemuda. "Ha ha ha. Aku memiliki bobot lebih dari
dua ratus kati. Jika kalian bertindak nekad mengikuti perintah pangeran gila
ini, sekali aku gerakkan kaki, tubuhnya akan menjadi mejret sampai ke ampas-
ampasnya!" seru si kakek sambil
angkat kaki kanannya siap di hentakkan ke
punggung Pangeran Sobali.
"Jangan kau hiraukan gendut miring itu.
Cepat kalian bunuh mereka'" teriak Pangeran Sobali yang sudah tak kuasa berbuat
apapun karena sekujur tubuhnya menjadi kaku. Meskipun
Pangeran Sobali sudah berkata begitu. Tapi tak
satupun di antara prajurit yang berani bertindak
gegabah. Mereka khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada pangerannya.
Lagipula mereka tahu si gendut tidak bisa dibuat main-main.
Terbukti dengan mudah dia dapat membunuh
Tangan Besi. Ingat semua itu, akhirnya prajurit
berwajah angker yang bicara tadi memilih mengambil jalan selamat dengan berkata.
"Jangan kau bunuh pangeran kami!"
"Jahanam, mengapa kau jadi sepengecut
itu!" hardik pangeran merasa terhina.
"Pangeran, keselamatanmu saat ini lebih
panting dari segalanya!" ujar pengawal itu.
"Bangsat tolol!" maki Pangeran Sobali sengit.
Anggagini dan Gentong Ketawa tersenyum.
Jika menuruti kata hati ingin sekali si gadis
membunuh Pangeran Sobali. Tapi dia merasa lebih baik menahan diri demi
menghormati si kakek gendut. Dalam kesempatan itu Gentong Ketawa berkata
ditujukan pada seluruh prajurit.
"Jika kalian ingin aku mengampuni pangeran sial
ini. Berlutut kalian semua di depanku!" Semua
prajurit saling berpandangan.
"Jangan kalian lakukan!" teriak Pangeran
Sobali. "Berlutut!" kata pengawal angker tanpa
menghiraukan ucapan junjungannya. Semua prajurit segera berlutut. Gentong Ketawa
kedipkan matanya ke arah Anggagini. Setelah itu dia melanjutkan. "Tundukkan kepala, mata
terpejam, setelah itu berkokok seperti ayam jantan sebanyak tiga kali!"
"Tapi...!" prajurit kepala hendak mengucapkan sesuatu.
Gentong Ketawa cepat memotong. "Membangkang berarti kepala pangeran mu kubuat
menggelinding.'" ancam si kakek.
"Jahanam tua. Aku bersumpah jika kau
biarkan aku hidup. Aku pasti akan terus memburumu. Mulai detik ini kau
kunyatakan sebagai
buronan Kediri!" teriak Pangeran Sobali. Si kakek
tertawa. "Terima kasih. Dengan begitu aku menganggap diriku ini termasuk orang
penting." sahut
si kakek. "Kalian tunggu apa lagi." teriak si kakek
ditujukan pada ratusan prajurit yang sudah berlutut didepannya.
Seluruh prajurit itu dengan terpaksa dan
demi keselamatan Pangeran Sobali akhirnya keluarkan suara seperti ayam jantan
berkokok. Di luar sepengetahuan mereka. Si kakek dan Anggagini sambil menahan geli dengan
cepat sekali berkelebat tinggalkan tempat itu. Pangeran Sobali
yang merasa terbebas dari ancaman orang, ketika
melihat prajuritnya masih saja berkokok seperti
ayam jantan dengan geram berteriak. "Prajurit
pandir tidak berguna. Hentikan kegilaan kalian!
Cepat bantu aku duduk!"
Ratusan prajurit tersentak kaget. Mereka
hentikan suaranya dan segera memandang ke depan. Ternyata kakek dan gadis itu
lenyap entah kemana. Beberapa prajurit saling bersirebut menolong Pangeran Sobali duduk.
Setelah pemuda itu dapat duduk bersila sambil menggerutu, memaki ketololan prajuritnya dia
segera kerahkan
tenaga dalam untuk melenyapkan pengaruh totokan yang bersarang di dada dan
punggungnya. Tapi aneh dan yang membuat pangeran itu terkejut, setiap tenaga dalam dialirkan
ke bagian yang tertotok, tenaga dalam itu selalu berbalik ke pusar, terus turun ke bawah perut.
Pangeran pun terkentut-kentut. Beberapa prajurit tidak dapat
menahan tawa. Sedangkan prajurit yang baru
menolong jadi terheran-heran.
"Prajurit keparat, menyingkirlah! Gadis itu
sengaja mengerjai aku. Totokannya sulit kumusnahkan. Sialan... keparat, jika
kelak bertemu akan kubuat dia sengsara seumur hidup." Pangeran Sobali jadi uring-uringan. Sisa
prajurit segera
menjauh takut kena didamprat. Beberapa diantaranya terpaksa menutupi mulut
menahan tawa. Sedangkan Pangeran Sobali cuma bisa mendelik
dan terus mendelik.
TAMAT NANTIKAN EPISODE
*IBLIS DALAM MATAHARI*
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Baju Putih 8 Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Senopati Pamungkas 21
^